Anda di halaman 1dari 5

ARTIKEL PSIKOLOGI SOSIAL

PERSEPSI MAHASISWA TERHADAP MAHASISWI BERCADAR


DI UNIVERSITAS SEBELAS MARET SURAKARTA

Anggota Kelompok :
1. Adinda Samtono Putri (P0123005)
2. Aila Hasna Hanifah (P0123012)
3. Argya Grahita Apariminta (P0123042)

Latar Belakang Kasus


Penggunaan cadar bagi perempuan muslimah kerap menjadi topik pembahasan yang
tidak ada habisnya. Wanita muslimah bercadar adalah mereka yang mengenakan “hijab"
sesuai syar’i karena dilengkapi dengan kain penutup wajah dan hanya menampakkan kedua
mata. Pemaknaan cadar secara sadar oleh pemakainya tidak hanya sebagai bentuk penjagaan
diri melainkan sebagai identitas yang bersifat religi bagi wanita muslim.
Di Indonesia sendiri tidak ada aturan berupa larangan bagi kaum muslimah untuk
mengenakan cadar. Semakin kesini, semakin banyak perempuan yang mengenakan cadar
dengan maksud menjaga aurat dengan sempurna, baik dari kalangan artis, pelajar, maupun
masyarakat biasa. Meski tidak ada larangan di Indonesia terhadap penggunaan cadar, hal ini
masih sering menjadi perdebatan sehingga menimbulkan suatu pendapat dan persepsi yang
berbeda, salah satunya di kalangan mahasiswa. Oleh karena itu, kami ingin mengkaji persepsi
mahasiswa terhadap mahasiswi bercadar khususnya di Universitas Sebelas Maret Surakarta.

Kerangka Dasar Teori


● Teori Persepsi
Persepsi merupakan pengalaman tentang objek, peristiwa, hubungan-hubungan yang
diperoleh dengan menyimpulkan informasi dan menafsirkan pesan. Persepsi sosial
didefinisikan sebagai aktivitas mempersepsikan orang lain dan apa yang membuat
mereka dikenali. Melalui persepsi sosial, individu berusaha mencari tahu dan mengerti
orang lain.
Persepsi sosial adalah studi terhadap bagaimana orang membentuk kesan dan
membuat kesimpulan terhadap orang lain. Persepsi sosial merupakan proses yang
berlangsung pada diri individu untuk mengetahui dan mengevaluasi orang lain. Melalui
proses tersebut, individu membentuk kesan tentang orang lain.
Menurut Harvey dan Smith seperti dikutip Widyastuti dalam buku Psikologi Sosial,
persepsi sosial merupakan suatu proses membuat penilaian (judgement) atau membangun
kesan (impression) mengenai berbagai macam hal yang terdapat dalam lapangan
penginderaan seseorang. Serta menurut Verdeber, persepsi sosial yakni suatu pesan
melekatkan atau memberikan makna kepada informasi sensori yang diterima seseorang.

Proses Terjadinya Persepsi


Proses persepsi didasarı pada beberapa tahapan, yaitu :
1. Stimulus atau rangsangan
Stimulus merupakan rangsangan darı dunia sekeliling yang ditangkap indra, kontak
antara indra dengan stimulus inilah yang disebut respons, dan disaat inilah terjadi
proses stimulus. Terjadinya persepsi diawali ketika seseorang dihadapkan pada suatu
stimulus/rangsangan yang hadir darı lingkungannya.
2. Registrasi
Dalam proses registası, suatu gejala yang nampak adalah mekanisme fisik berupa
penginderaan dan syarat seseorang berpengaruh melalui alat indera yang dimilikinya.
Seseorang dapat mendengarkan atau melihat informasi yang terkırım kepadanya,
kemudian mendaftar semua informası tersebut.
3. Interpretasi
Interpretasi adalah suatu aspek kognitif dari persepsi yang sangat penting yaitu proses
memberikan arti kepada stimulus yang diterimanya. Proses iterpretası tersebut
tergantung pada cara pendalaman, motivası, dan kepribadian

● Prasangka
Menurut Baron & Byrne (2004) prasangka adalah sikap negatif terhadap anggota
kelompok tertentu. Banyak orang yang membentuk dan memiliki prasangka karena
dengan berprasangka dapat memainkan sebuah peran penting untuk melindungi atau
meningkatkan konsep diri atau citra diri individu (Baron & Byrne 2004). Sedangkan
Myres (2012) menyatakan prasangka adalah penilaian negatif yang telah dimiliki
sebelumnya terhadap satu kelompok dan masing-masing anggota kelompoknya. Inti dari
prasangka adalah praduga berupa penilaian negatif mengenai suatu kelompok dan setiap
individu atau anggotanya.

● Ekspektasi
Ekspektasi adalah harapan yang tidak konstan, yang timbul dari gagasan tentang suatu
hal di masa depan (Boeree, 2005). Sedangkan menurut Sutisna (2001:79) ekspektasi
adalah suatu keyakinan atau kepercayaan individual sebelumnya mengenai hal-hal apa
saja yang seharusnya terjadi pada situasi tertentu.

● Teori Atribusi Sosial


Kajian tentang atribusi pada awalnya dilakukan oleh Heider (1925). Menurut
Heider, ada dua sumber atribusi terhadap tingkah laku :
1. Atribusi internal atau disposisional : tingkah laku seseorang disebabkan oleh
sifat-sifat atau disposisi (unsur psikologis yang mendahului tingkah laku).
2. Atribusi eksternal atau lingkungan : tingkah laku disebabkan oleh situasi tempat
orang itu berada.
Teori atribusi berhubungan dengan bagaimana orang menyimpulkan sebab-sebab
dari kejadian sosial. Untuk sebab-sebab perilaku, seseorang menggunakan prinsip
kovariasi yang berarti mereka mencari asosiasi antara efek tertentu dengan sebab tertentu
dalam sebuah kondisi yang berbeda.

● Teori Interaksi Simbolik


Teori Interaksi Simbolik ini diperkenalkan oleh Herbert Blumer sekitar tahun
1939. Dalam lingkup sosiologi, ide ini sebenarnya sudah lebih dahulu dikemukakan
George Herbert Mead, tetapi kemudian dimodifikasi oleh Blumer guna mencapai tujuan
tertentu. Teori ini memiliki ide yang baik, namun tidak terlalu dalam dan spesifik
sebagaimana yang diajukan G.H. Mead.
Karakteristik dasar teori ini yaitu suatu hubungan yang terjadi secara alami antar
manusia dalam masyarakat dan hubungan masyarakat dengan individu. Interaksi yang
terjadi antar-individu berkembang melalui simbol-simbol yang mereka ciptakan.
Interaksi yang dilakukan antar individu itu berlangsung secara sadar.
Teori interaksi simbolik merupakan teori yang memandang masyarakat dibentuk
oleh suatu pertukaran gerak tubuh dan bahasa (simbol) yang mewakili proses mental.
Simbol atau tanda yang diberikan oleh manusia dalam melakukan interaksi mempunyai
makna-makna tertentu, sehingga menimbulkan komunikasi. Interaksi simbolik berkaitan
dengan gerak tubuh, seperti suara atau vokal, gerakan fisik, ekspresi tubuh, yang
semuanya itu mempunyai maksud dan disebut dengan ''simbol''. Menurut Mead,
komunikasi secara murni baru terjadi ketika masing-masing pihak tidak saja memberikan
makna terhadap perilaku mereka sendiri, melainkan juga memahami makna yang
diberikan pihak lain.

List Pertanyaan Pada Kuesioner


1. Nama/Inisial
2. Apakah Anda memiliki teman atau kenalan yang mengenakan cadar di Universitas
Sebelas Maret Surakarta?
3. Bagaimana tanggapan Anda mengenai mahasiswi yang bercadar?
4. Apakah Anda menaruh ekspektasi pada mahasiswi bercadar tersebut? Ya/tdk
5. Jika iya, tuliskan ekspektasi Anda! (jika tidak, isi dengan tanda strip (-))
6. Bagaimana first impression Anda terhadap mahasiswi bercadar tersebut?
7. Jika Anda mengenal seseorang yang bercadar, apakah persepsi Anda berubah antara
sebelum dengan sesudah mengenalnya? Ya/tidak
8. Bagaimana tanggapan Anda setelah mengenal seseorang yang bercadar tersebut?

Hasil Kuesioner
● Responden berjumlah 40 orang yang merupakan mahasiswa Universitas Sebelas Maret
dari berbagai jurusan.
● 25% orang memiliki teman atau kenalan yang mengenakan cadar di Universitas Sebelas
Maret Surakarta sedangkan 75% lainnya tidak.
● Garis besar jawaban responden dari pertanyaan “Bagaimana tanggapan Anda mengenai
mahasiswi yang bercadar?” :
- Tidak masalah selagi tidak mengganggu aktivitas dan tidak ada larangan
mengenakan cadar di kampus.
- Bercadar identik dengan perilakunya yang baik. Responden yang memiliki teman
bercadar mengklaim bahwa temannya tersebut berperilaku serta berakhlak baik.
- Menganggap bahwa mahasiswi mengenakan cadar untuk menutup diri demi
menjauhi syahwat.
- Keren, salut, bagus, syar’i
- Kagum karena bisa menjaga diri dan istiqamah di lingkungan yang “bebas”
(mungkin maksudnya lingkungan umum/bukan kampus berbasis islam).
- Menghargai pilihannya dengan alasan cara berpakaian merupakan hak setiap orang.
- Terkesan religius dan kaku.
- Beberapa orang bercadar susah diajak ngobrol dan kurang dalam bersosialisasi
sehingga responden memilih untuk menghindar dan meminimalisir interaksi dengan
orang tersebut.
● Sebanyak 50% responden menaruh ekspektasi pada mahasiswi bercadar dan 50% lainnya
tidak berekspektasi apapun.
● Jawaban responden mengenai ekspektasi dan first impression terhadap mahasiswi
bercadar kurang lebih sama dengan list tanggapan di atas.
● 32,5% responden memiliki persepsi yang berbeda antara sebelum dengan sesudah
mengenal mahasiswi bercadar tersebut, sedangkan 67,5 % lainnya memiliki persepsi
yang tetap.
● Garis besar tanggapan 32,5% responden setelah mengenal mahasiswi yang bercadar :
- Merasa beruntung karena terdorong untuk mendekatkan diri kepada Allah SWT.
- Ternyata tidak semua orang yang bercadar pendiam, malu, dan kalem, beberapa di
antaranya ternyata cukup asik untuk diajak ngobrol (berinteraksi).
- Tidak se-religius yang saya (responden) ekspektasikan.
- Sebelumnya responden kurang suka dengan wanita bercadar karena kebanyakan
yang ia temui orangnya kurang menjaga kebersihan. Setelah mengenal orang
bercadar lainnya, responden merasa bahwa perilaku individu tergantung
masing-masing orang. Responden memiliki kenalan bercadar lain yang asik dan
humble sehingga mengubah persepsinya.

Analisis Kasus
Persepsi adalah aktivitas mempersepsikan orang lain baik berupa positif maupun
negatif. Seperti yang penulis temukan dalam penelitian ini, kebanyakan persepsi dari
mahasiswa Universitas Sebelas Maret adalah positif. Adapun persepsi positif tersebut adalah
suatu pandangan yang baik yang diberikan oleh mahasiswa Universitas Sebelas Maret
terhadap mahasiswi bercadar. Hal tersebut dikarenakan adanya sebagian mahasiswa yang
beranggapan bahwa mahasiswi yang memakai cadar itu bisa melindungi diri mereka dari hal
yang negatif karena cadar merupakan pakaian yang menutupi aurat.
Sebagian mahasiswa Universitas Sebelas Maret mengakui tidak masalah ataupun
terganggu dengan mahasiswi bercadar. Mereka menghargai pilihannya dengan alasan cara
berpakaian merupakan hak setiap orang. Dukungan positif yang ditujukan kepada perempuan
bercadar dikarenakan individu memiliki pengalaman pribadi yang “positif” ketika
mengenal/berada dekat dengan mahasiswi bercadar.
Ekspektasi mahasiswa Universitas Sebelas Maret tentunya beragam, mulai dari yang
baik hingga yang buruk. Banyak yang berekspektasi bahwa mahasiswi bercadar memiliki
pemahaman ilmu agama yang tinggi, pemalu, tertutup, dan merupakan orang yang alim.
Sebagian responden tidak memiliki ekspektasi apapun terhadap mahasiswi bercadar. Mereka
beranggapan bahwa mahasiswi yang bercadar juga merupakan manusia biasa seperti kita
yang tidak luput dari salah dan dosa.
Penulis juga menanyakan mengenai ada tidaknya perbedaan persepsi sebelum dengan
sesudah mengenal individu yang bercadar. Sebagian besar responden menjawab tidak ada
perbedaan dari persepsi pertama kali bertemu, mereka beranggapan mahasiswi yang bercadar
sama seperti mahasiswi pada umumnya yang ramah, humble, dan asyik ketika
berkomunikasi, terdapat beberapa responden yang menjawab bahwa dia merasa senang,
beruntung, dan termotivasi untuk istiqomah dalam menjalankan ibadah sejak mengenal
mahasiswi bercadar. Terdapat juga responden yang menjawab bahwa mahasiswi bercadar
tidak se-religius yang diekspektasikan.
Pola interaksi antara mahasiswi bercadar dengan yang tidak bercadar di lingkungan
kampus Universitas Sebelas Maret memiliki karakteristik yang berbeda. Misalnya ketika
berkomunikasi dengan lawan jenis, mereka sangat menjaga batasan seperti dengan
menundukkan pandangan. Selain itu, ketika berkomunikasi dengan mahasiswi yang tidak
bercadar biasanya mereka harus melantangkan suara mereka agar terdengar jelas. Biasanya
mahasiswi bercadar ketika berkomunikasi diiringi dengan gerakan tangan, tujuannya agar
yang disampaikan dapat dipahami oleh lawan bicara dan meminimalisir kesalahpahaman.

Anda mungkin juga menyukai