Anda di halaman 1dari 3

BIOGRAFI KH.

SAHLAN THOLIB

KELAHIRAN

Perkenalkan nama beliau KH. Sahlan Tholib atau yang kerap disapa Romo atau Mbah Sahlan lahir
pada tahun 1909, di Desa Terik, Kecamatan Krian, Sidoarjo, Jawa Timur. Beliau merupakan putra
kedua dari empat bersaudara, dari pasangan KH. Muttholib dengan Ibu Nyai Khadijah.

Suadara-saudara beliau diantaranya, Gus Khusain, Romo (KH. Sahlan), Gus Isman, dan Gus Permadi.

WAFAT

KH. Sahlan Tholib wafat kira-kira tahun 1972-an. Jenazah beliau dimakamkan di Sidorangu Krian.

KELUARGA

KH. Sahlan melepaskan masa lajangnya dengan dinikahkan oleh gurunya dengan keponakannya
sendiri akan tetapi tidak dikarunia anak dan kemudian KH. Sahlan atas perintah Gurunya Untuk
menceraikannya.

Kemudian Mbah Sahlan mendalami ilmu agama lagi di Pondok Al-Khozini di Panji Buduran Sidoarjo
Pada KH. Khozin.
KH. Sahlan pulang ke kampungnya di Desa Terik setelah itu menikah dengan Nyai Mudrikah putri KH.
Mukti dengan Ibu Nyai Mar’ah dari di Dusun Sidorangu, Desa Watugolong, Kecamatan Krian,
Sidoarjo, Jawa Timur.

Buah dari pernikahannya, beliau dikaruniai, 3 putra 6 putri, anak-anak beliau diantaranya, Gus Abdul
Qohir, Nyai Hj.Miskiyah, Nyai Hj.Miskinah, Gus H.Chudlori, Nyai Mu’ayadah, Nyai Hj.Siti Isnainiyah,
Nyai Hj.Umi Kulsum, Gus Nur Hasan Samsul Arifin, dan Nyai Hj.Umi Mu’arofah.

Kemudian beliau menikah lagi dengan, Nyai Hj.Khomsatun dari Modong, Tulangan, Sidoarjo tidak
diberi keturunan dengan Mbah Sahlan, lalu menikah lagi dengan Nyai Hj.Karimah dari Padangan,
Bagusan, Mojokerto tidak diberi keturunan dengan Mbah Sahlan, lalu menikah lagi dengan Nyai
Qomariyah dari Kalongan, Kudu, Jombang tidak diberi keturunan dengan Mbah Sahlan, lalu menikah
lagi dengan Nyai Hj. Jonah dari Sumber, Terik, Krian, Sidoarjo tidak diberi keturunan dengan Mbah
Sahlan.

Dan ketika menikah lagi dengan Nyai Hj.Muthowwi’ah dari Tegalsari, Mojoagung, Jombang, beliau
dikaruniai 4 anak, diantaranya, Nyai Maslakhah, Nyai Hj. Maslamah, Nyai Masruroh dan Nyai
Mamnuah.

RIWAYAT PENDIDIKAN

KH. Sahlan Tholib memulai pendidikannya dengan belajar mengaji kepada saudara sendiri sampai
menjelang dewasa. Lalu Romo melanjutkan pendidikannya dengan mendalami ilmu agama di Pondok
Pesantren Di desa Mindi Porong Sidoarjo pada KH. Marzuki. Romo merupakan santri yang sangat taat
dan patuh pada gurunya sehingga dia menjadi santri yang sangat disayangi oleh Kiai Marzuki dan
namanyapun diganti oleh gurunya yang asalnya Romo menjadi Sahlan.

Setelah selesai, beliau kemudian melanjutkan pendidikannya disebuah pondok di Ketapang daerah
Malang sampai ia mendapatkan benar-benar ilmu agama yang matang, barulah kemudian beliau
melanjutkan pendidikannya di kiai ternama di Bangkalan yaitu KH. Kholil Bangkalan.

Beliau sewaktu menjalani masa pendidikan di pondok pesantren memiliki sifat yang sangat
dermawan, beliau tidak pernah kikir terhadap teman-temannya. Apa pun yang beliau miliki bila ada
orang membutuhkan pasti beliau bantu.

Suatu ketika, beliau disuruh oleh guru atau kiainya di pondok untuk mengajar di tiap-tiap rumah
sembari diberikan bekal uang dan sedikit beras, beliau terus bertanya kepada kyainya tersebut untuk
apa uang saku dan sedikit beras itu, kemudian gurunya hanya diam dan tidak menJawab, dengan
rasa bingung KH. Sahlan Tholib berangkat untuk menjalankan perintah dari kiainya tersebut.

Kemudian setelah KH. Sahlan Tholib berjalan dan tiba dirumah pertama beliau langsung berjalan ke
belakang rumah dan memanggil pemilik rumah dan bertanya apakah si pemilik rumah tersebut
sudah memasak buat keluarganya apa belum dan si pemilik rumah menjawab belum karena tidak
memiliki beras.Tanpa berpikir lama KH. SahlanTholib langsung mengeluarkan beras yang dibawanya
dan diberikan sedikit kepada pemilik rumah tersebut, begitu seterusnya hingga apa yang diberikan
oleh gurunya habis.

SANTRI-SANTRI

KH. Sahlan Tholib adalah sosok ulama ahli riyadhoh yang telah mencetak santri-santrinya menjadi
kiai-kiai yang masyhur. Santri-santri beliau diantaranya, Abah Thoyyib Krian, Mbah ‘Ud Pagerwojo,
dan Gus Ali Muhammad (Karib Gus Miek) Tropodo.

Dalam sebuah kisah, santri beliau, Abah Thoyyib Sumengko Krian, awal mula “nyantri” ke KH. Sahlan,
langsung diuji untuk meninggalkan duniawinya (Kekayaan, jabatan). Padahal Abah Thoyib kala itu
merupakan pejabat desa (konon sebagai lurah/camat) yang dihormati.

Dengan penuh takdzim, Abah Thoyyib melepaskan belenggu duniawinya, serta mengajak istrinya ikut
menyelam dunia riyadhoh. Abah thoyib pun mendermakan seluruh hartanya untuk umat Islam.

Kemudian, Abah Thoyib berjalan kaki meniti ajaran tasawuf dibawah bimbingan KH. Sahlan. Laku
spiritual seperti inilah yang memunculkan konsep “Sabar, Neriman, Loman, Akas, Temen, Ngalah”.

Pesan KH. Sahlan yang disampaikan kepada Abah Thoyyib hingga dikemudian hari dituturkan kepada
santri-santri beliau adalah “Langgengno kebiasaan apike leluhurmu” (lestarikan kebiasaan baik
pendahulumu).

Dalam artian: kebiasaan berpuasa sunnah senin-kemis, kebiasaan sedekah, kebiasaan sholat sunnah,
wirid, sholawat, mengaji, membangun masjid, bercocok tanam, berbuat baik dan bermanfaat untuk
orang lain harus dilestarikan.

TELADAN KH. SAHLAN THOLIB

Teladan yang dapat diikuti KH. Sahlan adalah sosok yang sangatlah istiqomah dalam mengaji dan
mengajarkan ilmu agama, selalu membaca sholawat tidak pernah putus dimanapun tempatnya dan
kapanpun, KH. Sahlan selalu bersholawat.

Anda mungkin juga menyukai