Anda di halaman 1dari 35

BAB II

TINJAUAN TEORI

A. Penelitian Terdahulu

Tabel 1.1 Penelitian Terkait

No Judul Penelitian Desain Metodologi Hasil Penelitian Persamaan Perbedaan

(penelitian, tahun)

1. Tri Anisa Nurhayati 1. Desain Hasil penelitian Penelitian ini Penelitian

(2021), Hubungan penelitian ini tersebut adalah menggunakan sebelumnya

Pola Pemberian menggunakan bahwa kualitas metode menggunakan

Makan Dan observasional dan kuantitas kuantitatif desain case

Pengetahuan Gizi dengan desain asupan gizi pada control dan

Ibu Dengan case control. anak perlu pengambilan

Kejadian Stunting 2. Menggunakan ditunjang oleh data simple

Pada Balita Usia 24- metode kemaampuan random

59 Bulan kuantitatif pemberian makan sampling

dengan dan pengetahuan

pengambilan gizi ibu yang

data simple cukup, sehingga

random tingkat pegetahuan

sampling. ibu merupakan

faktor resiko

terjadinya stunting

pada balita.
2. Ridha Cahya (2018), 1. Desain Hasil penelitian Penelitian ini Penelitian

Hubungan Pola penelitian ini tersebut adalah mengguanakan sebelumnya

Pemberian Makan menggunakan ditemukan pendekatan hanya

Dengan Kejadian jenis penelitian terdapat hubungan cross-secional membahas

Stunting Pada Balita korelasional pola pemberian dan metode hubungan pola

Usia 12-59 Bulan Di dengan makan dengan purposive pemberian

Wilayah Kerja pendekatan kejadian stunting sampling. makan

Puskesmas Tambak cross-secional. pada balita usia terhadap

Wedi Surabaya 2. Menggunakan 12-59 bulan di stunting.

metode wilayah kerja Sedangkan

pengambilan Puskesmas dalam

data purposive Tambak Wedi. penelitian ini

sampling. membahas

pengetahuan

ibu tentang

gizi dan pola

pemberian

makan

terhadap

kejadian

stunting.

3. Ni Wayan dkk 1. Desain Hasil penelitian Penelitian ini Penelitian

(2022), Hubungan penelitian ini tersebut adalah mengguanakan sebelumnya

Tingkat menggunakan ada hubungan metode hanya

Pengetahuan Ibu desain cross- yang signifikan kuantitatif, membahas


Tentang Gizi secional. antara tingkat pendekatan hubungan

Seimbang Dengan 2. Menggunakan pengetahuan ibu cross-secional tingkat

Kejadian Stunting metode tentang gizi dan metode pengetahuan

Pada Balita Usia 2-5 kuantitatif seimbang dengan purposive ibu tentang

Tahun dengan kejadian stunting sampling. gizi seimbang

pengambilan pada balita usia 2- terhadap

data purposive 5 tahun. kejadian

sampling. stunting.

Sedangkan

dalam

penelitian ini

membahas

pengetahuan

ibu tentang

gizi dan pola

pemberian

makan

terhadap

kejadian

stunting.

B. Tinjauan Teori

1. Konsep Stunting

a. Definisi Stunting

Stunting disebut juga kerdil merupakan kondisi balita


yang mempunyai tinggi atau panjang badan kurang

dibandingkan dengan umur yang diukur dengan panjang atau

tinggi badan dengan nilai z-skor nya kurang dari -2SD/standar

deviasi (stunted) dan kurang dari – 3 SD (severely stunted) yang

berpedoman pada standar pertumbuhan anak dari WHO

(KEMENKES, 2018).

Stunting adalah masalah kurang nutrisi kronis yang

disebabkan oleh asupan nutrisi yang kurang dalam waktu cukup

lama akibat pemberian makanan yang tidak sesuai kebutuhan

gizi (Farid, dkk. 2017). Stunting adalah gangguan pertumbuhan

dan perkembangan anak akibat kekurangan gizi kronis dan

infeksi berulang. Stunting ditandai dengan panjang atau tinggi

badan anak berada di bawah standar yang ditetapkan oleh

menteri penyelenggara urusan pemerintahan di bidang kesehatan

(Perpers No. 72, 2021).

Berdasarkan tiga pendapat diatas dapat disimpulkan

bahwa stunting adalah kondisi dimana anak tidak tumbuh

secara maksimal dibandingkan pada anak di usianya yang diukur

dengan TB/U, tinggi badan (TB) didapatkan dari pengukuran

menggunakan microtoise dan umur dilihat dari buku

KIA/Akte/Kartu keluarga, pengukuran stunting menggunakan

kurva pertumbuhan WHO apabila hasil z-score kurang dari -2

SD disebut dengan pendek dan -3 SD disebut sangat pendek.


Tabel 1.2 Kategori Tinggi Badan Pada Balita

No Hasil Ukuran Keterangan

Kurva Pertumbuhan WHO

1. Sangat pendek (severely <-3 SD

stunted)

2. Pendek (stunted) -3 SD sd <-2 SD

3. Normal -2 SD sd +3 SD

4. Tinggi >+3 SD

Sumber : (KEMENKES, 2018)

b. Faktor Penyebab Stunting

Banyak faktor yang menyebabkan terjadinya keadaan

stunting pada anak. Faktor penyebab stunting ini dapat

disebabkan oleh faktor langsung maupun tidak langsung.

Penyebab langsung dari kejadian stunting adalah asupan gizi dan

adanya penyakit infeksi sedangkan penyebab tidak langsung

adalah 8 pemberian ASI dan MP-ASI, kurangnya pengetahuan

orang tua, faktor ekonomi, rendahnya pelayanan kesehatan dan

masih banyak faktor lainnya (Fitriyani, 2021).

1) Faktor Penyebab Langsung

a) Asupan Gizi

Asupan gizi yang adekuat sangat diperlukan untuk

pertumbuhan dan perkembangan tubuh. Usia anak 1 – 2

tahun merupakan masa kritis dimana pada tahun ini terjadi


pertumbuhan dan perkembangan secara pesat. Konsumsi

makanan yang tidak cukup merupakan salah satu faktor

yang dapat menyebabkan stunting (Choiriyah dkk, 2020).

Hasil penelitian Choiriyah dkk, 2020 di Kabupaten

Bogor melaporkan setiap penambahan satu persen tingkat

kecukupan energi balita, akan menambah z-score TB/U

balita sebesar 0,032 satuan.

b) Penyakit Infeksi Kronis

Adanya penyakit infeksi dalam waktu lama tidak

hanya berpengaruh terhadap berat badan akan tetapi juga

berdampak pada pertumbuhan linier. Infeksi juga

mempunyai kontribusi terhadap defisiensi energi, protein,

dan gizi lain karena menurunnya nafsu makan sehingga

asupan makanan berkurang. Pemenuhan zat gizi yang

sudah sesuai dengan kebutuhan namun penyakit infeksi

yang diderita tidak tertangani tidak akan dapat

memperbaiki status kesehatan dan status gizi anak balita.

(Aisyatun, 2019).

Menurut penelitian dari Sari dkk, 2020

menunjukkan prevalensi stunting pada kelompok penyakit

infeksi lebih besar 1,07 kali.

2) Penyebab Tidak Langsung


a) Pemberian Asi Ekslusif dan MP-ASI

ASI eksklusif merupakan pemberian ASI tanpa

makanan dan minuman tambahan lain pada bayi berusia

0-6 bulan. ASI sangat penting bagi bayi karena memiliki

komposisi yang dapat berubah sesuai kebutuhan bayi.

Pada ASI terdapat kolostrum yang banyak mengandung

gizi dan zat pertahanan tubuh, foremik (susu awal) yang

mengandung protein laktosa dan kadar air tinggi dan

lemak rendah sedangkan hidramik (susu akhir) memiliki

kandungan lemak yang tinggi yang banyak memberi

energi dan memberi rasa kenyang lebih lama (Ruslianti

dkk, 2018).

Pemberian MP-ASI merupakan sebuah proses

transisi dari asupan yang semula hanya ASI menuju ke

makanan semi padat. Tujuan pemberian MP-ASI adalah

sebagai pemenuhan nutris yang sudah tidak dapat

terpenuhi sepenuhnya oleh ASI selain itu sebagai latihan

keterampilan makan, pengenalan rasa. MP- ASI

sebaiknya diberikan setelah bayi berusia 6 bulan secara

bertahap dengan mempertimbangkan waktu dan jenis

makanan agar dapat memenuhi kebutuhan energinya

(Ruslianti dkk, 2018). Hasil penelitian dari Aridiyah dkk,


2017 mengatakan bahwa pemberian ASI dan MP-ASI

memberi pengaruh 3,27 kali mengalami stunting.

b) Pengetahuan Orang Tua

Orang tua yang memiliki tingkat pengetahuan yang

baik akan memberikaan asuhan pada keluarga dengan

baik pula. Pengetahuan orang tua tentang gizi akan

memberikan dampak yang baik bagi keluarganya karena,

akan berpengaruh terhadap sikap dan perilaku dalam

pemilihan makanan yang pada akhirnya dapat

mempengaruhi kebutuhan gizi (Nikmah, 2019).

c) Faktor Ekonomi

Dengan pendapatan yang rendah, biasanya

mengkonsumsi makanan yang lebih murah dan menu

yang kurang bervariasi, sebaliknya pendapatan yang

tinggi umumnya mengkonsumsi makanan yang lebih

tinggi harganya, tetapi penghasilan yang tinggi tidak

menjamin tercapainya gizi yang baik. Pendapatan yang

tinggi tidak selamanya meningkatkan konsumsi zat gizi

yang dibutuhkan oleh tubuh, tetapi kenaikan pendapatan

akan menambah kesempatan untuk memilih bahan

makanan dan meningkatkan konsumsi makanan yang

disukai meskipun makanan tersebut tidak bergizi tinggi

(Fikawati,2017).
d) Rendahnya Pelayanan Kesehatan

Perilaku masyarakat sehubungan dengan pelayanan

kesehatan di mana masyarakat yang menderita sakit tidak

akan bertindak terhadap dirinya karena merasa dirinya

tidak sakit dan masih bisa melakukan aktivitas sehari-hari

dan beranggapan bahwa gejala penyakitnya akan hilang

walaupun tidak di obati. Berbagai alasan dikemukakan

mengapa masyarakat tidak mau memanfaatkan fasilitas

pelayanan kesehatan seperti jarak fasilitas kesehatan yang

jauh, sikap petugas yang kurang simpati dan biaya

pengobatan yang mahal (Nurkomala, 2017).

e) Pola Asuh Balita

Pola asuh anak merupakan perilaku yang di

praktikkan oleh pengasuh anak dalam pemberian makan,

pemeliharaan kesehatan, pemberian stimulasi, serta

dukungan emotional yang dibutuhkan anak untuk proses

tumbuh kembangnya. Kasih sayang dan tanggung jawab

termasuk juga pola asuh anak (Asrar, Hamam, Dradjat,

2019).

(1) Asupan Makanan

Praktik pemberian makanan yang tidak

memadai, meliputi pemberian makan yang jarang,

pemberian makan yang tidak adekuat selama dan


setelah sakit, konsistensi pangan yang terlalu ringan,

kuantitas pangan yang tidak mencukupi, pemberian

makan yang tidak berespon. Bukti menunjukkan

keragaman diet yang lebih bervariasi dan konsumsi

makanan dari sumber hewani terkait dengan

perbaikan pertumbuhan linear. Analisis terbaru

menunjukkan bahwa rumah tangga yang menerapkan

diet yang beragam, termasuk diet yang diperkaya

nutrisi pelengkap, akan meningkatkan asupan gizi

dan mengurangi risiko stunting (Sandra Fikawati

dkk, 2017).

(2) Asupan Energi

Menurut Fariza (2018), makanan adalah

sumber energi untuk menunjang semua aktivitas

manusia. Asupan zat gizi yang tidak adekuat,

terutama dari total energi, protein, lemak, dan zat

gizi mikro, berhubungan dengan defisit pertumbuhan

fisik di anak pra sekolah namun konsumsi diet yang

cukup tidak menjamin pertumbuhan fisik yang

normal, karena kejadian penyakit lain, seperti infeksi

akut atau kronis, dapat mempengaruhi proses yang

kompleks terhadap terjadinya atau pemeliharaan

deficit pertumbuhan pada anak.


(3) Protein

Protein yaitu suatu molekul yang penting yang

terdapat di semua sel hidup. Semua enzim, hormon,

pengangkut zat-zat gizi dan darah, matriks

intraseluler dan sebagainya merupaka protein.

Protein yang cukup akan mampu melakukan

fungsinya untuk proses pertumbuhan(Almatsier,

2019). Apabila seseorang memiliki pola asupan

protein yang mencukupi, maka proses pertumbuhan

akan berjalan lancar dan juga akan menyebabkan

sistem kekebalan tubuh bekerja dengan baik (Mita,

2018).

(4) Karbohidrat atau Hidrat Arang

Karbohidrat merupakan sakarida, yang

tergabung dalam berbagai tingkat kompleksitas

untuk membentuk gula sederhana, serta unit yang

lebih besar seperti olisakarida dan polisakarida.

Fungsi utamanya ysitu sebagai sumber energi dalam

bentuk glukosa.

(5) Lemak

Lemak meliputi beraneka ragam zat yang larut

dalam lipid, sebagian besar merupakan Trigliserida

atau Triasilhliserol (TAG). Produk turunannya,


seperti fosfolipid atau sterol (yang paling terkenal

yaitu kolestrol) juga termasuk dalam kelompok ini.

(6) Zink

Gizi seimbang menjadi kebutuhan mendasar

bagi kehidupan manusia. Bukan hanya untuk orang

dewasa namun juga bagi pertumbuhan anak-anak.

Mereka semua membutuhkan tersedianya gizi

seimbang dan memadai baik itu protein, karbohidrat,

maupun lemak. Untuk memenuhi tidak harus

mengkonsumsi makanan berharga mahal, yang

penting yaitu gizi seimbang untuk hidup sehat

(newsletter Andalas. novella, 2012).

c. Tanda dan Gejala Stunting

Anak yang kekurangan gizi akan berpotensi mengalami

stunting atau kerdil, ciri-ciri anak yang mengalami stunting akan

terlihat dari postur tubuh anak saat mencapai usia 2 tahun atau

lebih pendek dibandingkan anak-anak seusianya dengan jenis

kelamin yang sama, selain kerdil anak yang mengalami stunting

terlihat kurus walaupun pendek dan kurus tubuh anak tetap

proporsional. Namun tidak semua anak pendek disebut dengan

stunting karena selain pertumbuhan anak dengan stunting akan

mempengaruhi perkembangan anak dengan stunting akan

mengalami penurunan tingkat kecerdasan, gangguan berbicara,


dan kesulitan untuk belajar akibatnya prestasi anak di sekolah

terjadi penurunan dan memiliki dampak yang lebih jauh seperti

susah mendapat pekerjaan ketika dewasa (Imani, 2020).

Anak yang mengalami stunting adalah anak yang

tumbuhnya kekurangan gizi, menurut dr. Kevin Adrian dalam

buku (Imani, 2020) ada beberapa tanda gejala tubuh anak

mengalami kekurangan gizi, antara lain :

1) Penurunan berat badan

2) Mudah lelah

3) Konsentrasi menurun

4) Gusi dan mulut sering terluka atau merasa nyeri

5) Kulit dan rambut kering

6) Jaringan lemak dan otot di dalam tubuh berkurang

7) Pipi dan mata cekung

8) Pembengkakan pada bagian tubuh tertentu seperti perut,

wajah atau kaki

9) Mudah terkena infeksi karena mmelemahnya system

kekebalan tubuh

10) Proses penyembuhan luka jadi lambat

11) Mudah kedinginan

12) Perubahan mood atau suasana hati

13) Kehilangan selera makan

14) Mudah terjatuh karena otot melemah


Pola makan yang kurang sehat maka akan

mempengaruhi gizi, yang biasanya disebabkan karena tubuh

menyerap nutrisi dari makanan dengan baik atau tidak nafsu

makan. Menurut (Imani, 2020) ada beberapa hal yang

menyebabkan tubuh kekurangan gizi, yaitu :

1) Diet terlalu ketat

2) Gangguan makan seperti anoreksia nervosa atau bulimia

3) Penyakit yang membuat nafsu makan terganggu seperti

penyakit hati, HIV/AIDS dan kanker

4) Tubuh sulit mencerna atau menyerap nutrisi misalnya pada

penyakit radang usus

5) Kesulitan menelan (disfagia)

6) Gangguan mental seperti depresi atau skizofrenia

7) Konsumsi minuman beralkohol dalam jumlah banyak dan

sering

8) Menjalani pengobatan yang dapat menurunkan nafsu

makan, seperti kemoterapi, konsumsi obat tekanan darah

dan obat tiroid

9) Masalah ekonomi, karena kurangnya pengetahuan

mengenai nutrisi atau tinggal di daerah yang kekurangan

makanan atau daerah ekonomi kebawah.

d. Dampak Stunting
Stunting adalah kejadian yang tidak bisa dikembalikan

seperti semula jika sudah terjadi maka hal ini harus ditangani

dengan tepat karena akan menimbulkan banyak dampak (Imani,

2020).

Stunting akan menimbulkan dampak jangka panjang dan

pendek pada anak. Balita yang mengalami stunting akan

menghambat tingkat kecerdasan pada anak sehingga kecerdasan

tidak berkembang secara maksimal, sehingga untuk kedepannya

akan menurunkan produktivitas pada suatu generasi dan

membuat anak lebih rentan terkena penyakit (KEMENKES,

2018).

Bukti internasional menunjukkan bahwa kejadian stunting

menghambat pertumbuhan ekonomi serta menurunkan

produktivitas pasar. Penurunan GDP (gross domestic products)

tidak terelakkan sebesar 11 % sehingga pendapatan pekerja

dewasa menurun sebesar 20% dan stunting berpengaruh

meningkatkan kesenjangan sehingga menyebabkan kemiskinan

antar generasi (KEMENKES, 2018).

Stunting mempengaruhi pertumbuhan anak ketika dewasa

nanti, dampak yang ditimbulkan tidak hanya secara fisik, berikut

adalah dampak yang dialami anak dengan stunting di kemudian

hari menurut (Imani, 2020) yakni :


1) Kesulitan belajar

2) Kemampuan kognitifnya lemah

3) Mudah lelah dan tidak lincah dibandingkan dengan anak-

anak pada usianya

4) Memiliki resiko yang lebih tinggi untuk terserang penyakit

infeksi di kemudian hari, karena daya tahan tubuh yang

lemah

5) Memiliki resiko lebih tinggi untuk mengalami penyakit

kronis (diabetes, penyakit jantung, kanker dan lain lain) di

usia dewasa

6) Memiliki tingkat produktivitas yang rendah dan sulit

bersaing di dalam dunia kerja

7) Bagi anak perempuan yang mengalami stunting maka akan

berisiko untuk mengalami masalah kesehatan dan

perkembangan pada keturunannya saat sudah dewasa.

Dampak stunting perlu menjadi perhatian terutama stunting

pada ibu hamil. Ibu hamil yang bertubuh pendek (maternal

stuting) akan mengalami perlambatan aliran darah ke janin, serta

terhambatnya pertumbuhan rahim dan plasenta. Pertumbuhan

yang terhambat akan mengakibatkan perkembangan saraf dan

kemampuan intelektual bayi dan hal tersebut akan berdampak

hingga dewasa. Dan ibu dengan tinggi badan dibawah normal

akan meningkatkan kematian pada janin karena ukuran panggul


yang kecil akan mempersempit jalan lahir sehingga sulit untuk

dilakukan persalinan normal (melalui vagina) jika hal tersebut

dipaksakan akan beresiko untuk bayi dan ibu (Imani, 2020).

e. Indikator Stunting

Stunting dapat diklasifikasikan dengan cara pengukuran

dan penilaian antropometri. Antopometri pengukuran tubuh

atau bagian tubuh manusia. Dalam menilai status gizi dengan

metode antropometri adalah menjadikan ukuran tubuh manusia

sebagai metode untuk menentukan status gizi (Wiyono, 2018).

Parameter yang digunakan dalam penilaian stunting yaitu

panjang badan (PB) atau tinggi badan (TB) dan usia anak.

Ukuran panjang badan (PB) digunakan untuk anak umur 0

sampai 24 bulan yang diukur terlentang dengan infantometer.

Bila anak umur 0 sampai 24 bulan diukur berdiri, maka hasil

pengukuran dikoreksi dengan menambahkan 0,7 cm. Ukuran

tinggi badan (TB) digunakan untuk anak umur diatas 24 bulan

yang diukur berdiri dengan microtoise. Bila anak umur diatas

24 bulan diukur telentang, maka hasil pengukurannya

dikoreksi dengan mengurangkan 0,7 cm.

Indeks yang digunakan dalam penilaian stunting yaitu

PB/U atau TB/U. Indikator status gizi berdasarkan indeks

PB/U atau TB/U memberikan indikasi masalah gizi yang

sifatnya kronis sebagai akibat dari keadaan yang lama.


Misalnya: kemiskinan, perilaku hidup tidak sehat, dan pola

asuh/pemberian makan yang kurang baik dari sejak anak

dilahirkan yang mengakibatkan anak menjadi pendek.

(Kusumawardhani, 2016). Berikut adalah klasifikasi status gizi

stunting berdasarkan indikator TB/U :

1) Sangat pendek (severely stunted), bila nilai Z-Score < -3SD

2) Pendek (stunted), bila nilai Z-Score – 3SD sd < - 2SD

3) Normal, bila nilai Z-Score -2SD sd 2 SD

4) Tinggi, bila nilai Z-Score > 2 SD

Yang dikatakan balita mengalami stunting yaitu apabila balita

dengan nilai z- score bedasarkan TB/U atau PB/U yaitu <- 3

SD sd <-2 SD yaitu dengan kategori sangat pendek dan pendek.

f. Upaya Pencegahan Stunting

Banyak masyarakat belum mengetahui bahwa stunting

dapat dicegah karena stunting tidak dapat diobati. Namun upaya

dan tindakan penyelamatan akan meminimalkan terjadinya

kerusakkan otak dan fisik.

Konsumsi makanan dengan gizi seimbang setiap harinya.

Yang terdiri dari buah dan sayur, susu dan produk olahan

lainnya, dan juga makanan yang mengandung sumber

karbohidrat seperti nasi, kentang, roti, sereal dan pasta, lemak

sehat dan protein (daging, telur, ikan, atau kacang-kacangan)

(Imani, 2020).
Pada 1000 hari pertama kehidupan dapat menentukan anak

terjadi stunting atau tidak, dan bisa dicegah terutama dengan :

1) Pemenuhan kecukupan nutrisi ibu selama kehamilan dan

menyusui (zat besi, asam folat dan yodium)

2) Inisiasi menyusui dini dengan ASI eksklusif

3) Pengetahuan MPASI yang baik serta diterapkan

4) Perilaku bersih hidup sehat dengan cuci tangan

5) Meminum air yang terjamin kebersihannya

6) Mencuci peralatan makan dengan sabun cuci piring

untuk mencegah infeksi

7) Pemantauan anak ke posyandu atau puskesmas secara

rutin agar kondisi kesehatan anak terpantau

8) Penerapan konsep setengah piring diisi oleh sayur dan

buah dan setengahnya lagi diisi dengan sumber protein

baik nabati maupun hewani dengan porsi lebih banyak

dibandingkan dengan karbohidrat

9) Sosialisasi tentang kesehatan reproduksi pada remaja

seperti kebutuhan gizi saat hamil, persalinan yang aman

di fasilitas kesehatan, pentingnya melakukan inisiasi

menyusu dini (IMD) sehingga pemberian kolostrum ASI

juga wajib disosialisasikan

10) Membiasakan tidak membuang air besar atau kecil

sembarangan serta penerapan cuci tangan sebelum dan


sesudah BAK dan BAK, sebelum dan sesudah makan

menggunakan air dan sabun pengalir dengan 6 langkah

cuci tangan yang baik dan benar

11) Imunisasi lengkap untuk mendapatkan kekebalan tubuh

dari penyakit berbahaya.

Beberapa negara memiliki intervensi masing-masing

dalam menangani stunting di negaranya berikut adalah hasil

pernyataan jurnal intervensi yang dilakukan dalam

penanganan stunting dari beberapa negara :

1) Di Negara Georgia, Eropa Timur melakukan

percobaan intervensi pemeriksaan tinggi badan dan

berat badan secara berkala terutama pada 1000 hari

kehidupan (Preconceptional Maternal Nutritional

Status/PMNS) terbukti bahwa penelitian ini

mempengaruhi pertumbuhan linier terjadinya stunting

pada 1000 hari pertama kehidupan, sehingga program

ini dapat dikembangkan dalam kebijakan guna untuk

mengurangi angka kejadian stunting pada anak (Young

et al., 2018).

2) PRECOMIDA adalah program dari negara Guatemala,

Amerika Tengah atau disebut juga FA-MCHN (Food

Assisted Maternal and Child Health and Nutrition) atau

disebut juga program kesehatan dan gizi ibu dan anak


dalam pemenuhan nutrisi pada makanan terbukti dapat

mengurangi angka kejadian stunting pada 1000 hari

kehidupan di Guatemala, sehingga intervensi ini perlu

di kembangkan lebih lanjut (Gonzalez Casanova et al.,

2018).

Cara mengurangi anak yang sudah terjadi stunting

menurut (Imani, 2020) yaitu dengan memberikan pola

pengasuhan yang tepat dalam hal inisiasi menyusui dini (IMD),

pemberian ASI Eksklusif sampai 6 bulan seta pemberian ASI

bersama dengan makanan pendamping ASI (MPASI) sampai

anak berusia 2 tahun. Pemberian MPASI minimal mengandung

4 atau 7 jenis makanan meliputi umbi- umbian/serealia,

kacang-kacangan, produk olahan susu, telur atau sumber

protein lainnya yang kaya akan vitamin A atau lainnya (Imani,

2020).

Ketersediaan bahan makanan tersebut turut berperan

dalam mengatasi stunting dan yang menjadi problem sampai

saat ini bahan makanan yang banyak mengandung gizi

harganya cukup mahal dan hal tersebut bisa disiasati dengan

cara memodifikasi bahan makanan yang diperoleh sehingga

dapat tercukupi gizi di kalangan masyarakat bawah.


2. Konsep Pertumbuhaan Balita

Balita kependekan dari bawah lima tahun adalah anak

yang sudah menginjak usia satu tahun ke atas atau lebih dan

dihitung dalam hitungan 24-59 bulan. Balita menjadi masa yang

penting dalam pertumbuhan dan perkembangan karena akan

menentukan keberhasilan tumbuh kembang pada masa

selanjutnya (Yusdarif, 2017). Pada usia satu sampai lima tahun

disebut dengan periode emas, nutrisi sangat mendukung tumbuh

kembang pada periode ini. Balita merupakan kelompok populasi

yang rawan mengalami masalah gizi sehingga perlu rutin

dilakukan skrining untuk mendeteksi masalah kesehatan sedini

mungkin.

Pertumbuhan adalah bertambahnya jumlah sel dan ukuran

pada fisik dan struktur tubuh secara keseluruhan yang bersifat

kuantitatif atau dapat diukur sehingga pertumbuhan dapat diukur

dengan satuan panjang dan satuan berat. Untuk menentukan

perkembangan pada usia balita menggunakan kurva

pertumbuhan WHO. Kurva tersebut dibedakan antara laki-laki

dan perempuan, adapun pembagian dalam kurva pertumbuhan

WHO dalam (Sinta, Yulizawati, & Insani, 2019), yaitu :

1. Panjang badan menurut usia

2. Berat badan menurut usia

3. Berat badan menurut panjang badan (0-2 tahun)


4. Berat badan menurut tinggi badan (2-5 tahun)

5. Indeks massa tubuh menurut usia

6. Lingkar kepala menurut usia

7. Lingkar lengan atas menurut usia

8. Lipatan kulit subscapular menurut usia

Kejadian stunting pada balita dapat dinilai dari kurva

pertumbuhan WHO jenis grafik panjang badan pada usia balita

atau tinggi badan pada usia balita/ Height for age 2 to 5 years for

boy & Height for age 2 to 5 years for girls. PB/U digunakan

pada anak yang belum bisa berdiri tegak dan TB/U digunakan

pada anak yang sudah dapat berdiri dengan sempurna.

Cara Menggunakan Grafik Pertumbuhan WHO :

1. Tentukan umur, panjang badan (anak di bawah 2

tahun)/tinggi badan (anak di atas 2 tahun).

2. Tentukan angka yang berada pada garis horisontal/mendatar

pada kurva. Garis horizontal pada beberapa kurva

pertumbuhan WHO menggambarkan umur dan

panjang/tinggi badan.

3. Tentukan angka yang berada pada garis vertikal/lurus pada

kurva. Garis vertikal pada kurva pertumbuhan WHO

menggambarkan panjang/berat badan dan umur.

4. Hubungkan angka pada garis horisontal dengan angka pada

garis vertical hingga mendapat titik temu (plotted point).


Titik temu ini merupakan gambaran perkembangan anak

berdasarkan kurva pertumbuhan WHO.

Rumus untuk menghitung z-score pada usia 24 sampai 59

bulan yaitu :

𝑃𝐵 ℎ𝑖𝑡𝑢𝑛𝑔 − 𝑚𝑒𝑑𝑖𝑎𝑛 𝑏𝑎𝑘𝑢 𝑟𝑢𝑗𝑢𝑘𝑎𝑛


Z Score =
𝑠𝑖𝑚𝑝𝑎𝑛𝑔𝑎𝑛 𝑏𝑎𝑘𝑢 𝑟𝑢𝑗𝑢𝑘𝑎𝑛

Sumber : ( Kemenkes, 2020)

3. Pengetahuan

a. Definisi Pengetahuan

Pengetahuan (knowledge) adalah hasil tahu dari manusia,

yang sekedar menjawab pertanyaan “what”, misalnya apa air,

apa manusia, apa alam, dan sebagainya. Pengetahuan merupakan

hasil dari tahu, dan ini terjadi setelah orang melakukan

penginderaan terhadap suatu objek tertentu. Penginderaan terjadi

melalui panca indera manusia, yakni indera penglihatan,

pendengaran, penciuman, perasaan, dan peraba. Sebagain besar

pengetahuan manusia diperoleh melalui mata dan telinga

(Eirene, 2017).

Pengetahuan gizi yang kurang atau kurangnya menerapkan

pengetahuan gizi dalam kehidupan sehari-hari dapat

menimbulkan masalah gizi pada seseorang. Tingkat pengetahuan


gizi seseorang akan sangat berpengaruh terhadap sikap dan

tindakan dalam memilih makanan yang akan berpengaruh

terhadap gizi. Pengetahuan tentang gizi orang tua terutama ibu

sangat berpengaruh terhadap tingkat kecukupan gizi yang

diperoleh oleh balita.Pengetahuan gizi ibu yang baik akan

meyakinkan ibu untuk memberikan tindakan yang tepat untuk

memenuhi kebutuhan gizi balita, terutama yang berkaitan

dengan kandungan zat-zat dalam makanan, menjaga kebersihan

makanan, waktu pemberian makan dan lain-lain,sehingga

pengetahuan yang baik akan membantu ibu atau orang tua dalam

menentukan pilihan kualitas dan kuantitas makanan (Fatimah,

Nurhidayah dan Rakhmawati, 2008; Rahmatillah, 2018).

Pengetahuan gizi ibu adalah salah satu faktor yang

mempunyai pengaruh signifikan pada kejadian stunting. Oleh

karena itu, upaya perbaikan stunting dapat dilakukan dengan

peningkatan pengetahuan sehingga dapat memperbaiki perilaku

pemberian makan pada anak. Salah satu upaya peningkatan

pengetahuan untuk merubah perilaku pemberian makan pada

anak yaitu dengan konseling gizi(Margawati,Astuti, 2018).

b. Tingkat Pengetahuan

Pengetahuan yang tercakup dalam kognitif menurut

Notoadmodjo (2012) mempunyai 6 tingkatan yaitu :

1) Tahu (Know)
Tahu diartikan sebagai mengingat suatu materi yang

telah dipelajari sebelumnya. Tahu merupakan tingkatan

pengetahuan yang paling rendah karena tingkatan ini hanya

mengingat kembali (recall) terhadap suatu spesifik dari

seluruh bahan yang dipelajari atau rangsangan yang telah

diterima.

2) Memahami (Comprehension)

Memahami diartikan sebagai suatu kemampuan untuk

menjelaskan secara benar tentang obyek yang diketahui

dan dapat menginterpretasikan materi tersebut secara

benar.

3) Aplikasi (Aplication)

Aplikasi diartikan sebagai kemampuan untuk

menerapkan atau menggunakan materi yang sudah

dipelajari pada situasi atau kondisi riil (sebenarnya).

4) Analisis (Analysis)

Analisis diartikan suatu kemapuan untuk menjabarkan

materi atau suatu objek kedalam komponen-komponen,

tetapi masih didalam satu struktur organisasi tersebut dan

masih ada kaitannya satu sama lain.

5) Sintesis (Synthesis)

Sintesis adalah kemampuan untuk menyusun

formulasi baru dari formulasi-formulasi yang ada


6) Evaluasi (Evaluation)

Evaluasi diartikan dengan kemampuan untuk

melakukan justifikasi atau penilaian terhadap suatu

materi atau suatu objek berdasarkan kriteria yang

ditentukan sendiri atau menggunakan kriteria-kriteria yang

telah ada.

c. Faktor Faktor yang Mempengaruhi Pengetahuan

Terdapat 8 hal yang mempengaruhi pengetahuan yaitu (Sunita,

2019):

1) Pendidikan

Tingkat pengetahuan seseorang akan membantu orang

tersebut untuk lebih mudah menangkap dan memahami

suatu informasi. Semakin tinggi pedidikan seseorang maka

tingkat pemahaman juga menigkat serta tepat dalam

pengambilan sikap.

2) Pekerjaan

Lingkungan pekerjaan dapat menjadikan seseorang

mendapatkan pengalaman dan pengetahuan, baik secara

langsung maupun tidak langsung.

3) Pengalaman

Pengalaman merupakan sebuah kejadian atau

peristiwa yang pernah dialami oleh seseorang dalam


berinteraksi dengan lingkungannya.

4) Usia

Umur seseorang yang bertambah dapat membuat

perubahan pada aspek fisik psikologis dan kejiwaan. Dalam

aspek psikologis taraf berpikir seseorang semakin matang

dan dewasa. Semakin bertambah umur seseorang, semakin

berkembang pula daya tangkap dan pola pikirnya sehingga

akan lebih mampu untuk menerima pengetahuan atau

informasi yang baik.

5) Kebudayaan

Kebudayaan tempat dimana kita dilahirkan dan

dibesarkan mempunyai pengaruh yang cukup besar terhadap

terbentuknya cara berfikir dan perilaku kita.

6) Minat

Minat merupakan suatu bentuk keinginan dan

ketertarikan terhadap sesuatu. Minat menjadikan seseorang

untuk mencoba dan menekuni suatu hal dan pada akhirnya

dapat diperoleh pengetahuan yang lebih mendalam.

7) Sumber informasi

Pengetahuan juga dipengaruhi oleh sumber informasi

atau bacaan yang berguna bagi perluasan cakrawala pandang

atau wawasan sehingga dapat meningkatkan pengetahuan

dan dapat dijadikan tempat bertanya tentang berbagai


pengetahuan untuk memenuhi apa yang ingin dicapai.

8) Media

Contoh media yang didesain secara khusus untuk

mencapai masyarakat luas seperti televisi, radio, Koran,

majalah dan internet.

d. Cara Mengukur Tingkat Pengetahuan

Pengukuran pengetahuan dapat dilakukan dengan

wawancara atau angket yang menanyakan tentang isi materi

yang ingin diukur dari subjek penelitian atau responden. Cara

mengukur tingkat pengetahuan dengan memberikan pertanyaan-

pertanyaan, kemudian dilakukan penilaian 1 untuk jawaban

benar dan nilai 0 untuk jawaban salah. Berdasarkan skala data

rasio makan rentang skor pengetahuan yaitu 0 sampai 100

(Sunita, 2019).

4. Konsep Pola Pemberian Makan

a. Definisi Pola Makan

Pola makan merupakan perilaku paling penting yang

dapat mempengaruhikeadaan gizi yang disebabkan karena

kualitas dan kuantitas makanan danminuman yang dikonsumsi

akan mempengaruhi tingkat kesehatan individu. Giziyang

optimal sangat penting untuk pertumbuhan normal serta

perkembangan fisikdan kecerdasan bayi, anak-anak serta seluruh

kelompok umur. Pola makanmerupakan tingkah laku seseorang


atau sekelompok orang dalam pemenuhankebutuhan makan yang

meliputi sikap, kepercayaan dan pilihan makanan. Polamakan

terbentuk sebagai hasil dari pengaruh fisiologis, psikologis,

budaya dansosial (Waryono, 2020).

b. Faktor-faktor yang mempengaruhi pola pemberian

makan pada balita.

Ada beberapa pendapat faktor-faktor yang dapat

mempengaruhi pola makan.

1) Faktor status sosial ekonomi

Menurut (Septiana, Djannah dan Djamil, 2019),

ekonomi keluarga secara tidak langsung dapat

mempengaruhi ketersediaan pangan keluarga.

Ketersediaan pangan dalam keluarga mempengaruhi

pola konsumsi yang dapat berpengaruh terhadap

intake gizi keluarga Tingkat pendapatan keluarga

menyebabkan tingkat konsumsi energi yang baik.

Berdasarkan pendapat (Fatimah, Nurhidayah

dan Rakhmawati, 2018), status sosial ekonomi dapat

dilihat dari pendapatan dan pengeluaran keluarga.

Keadaan status ekonomi yang rendah dapat

mempengaruhi pola keluarga, baik untuk konsumsi

makanan maupun bukan makanan. Status sosial

ekonomi keluarga akan mempengaruhi kualitas


konsumsi makanan. Hal ini berkaitan dengan daya

beli keluarga. Keluarga dengan status ekonomi

rendah, kemampuan untuk memenuhi kebutuhan

pangan terbatas sehingga akan mempengaruhi

konsumsi makanan.

2) Faktor Pendidikan

Berdasarkan pendapat (Saxton et al., 2019),

pendidikan ibu dalam pemenuhan nutrisi akan

menentukan status gizi anaknya. Hal tersebut dapat

berpengaruh pada pemilihan bahan makanan dan

pemenuhan kebutuhan gizi. Tingkat pendidikan yang

tinggi pada seseorang akan cenderung memilih dan

menyeimbangkan kebutuhan gizi untuk anaknya.

Tingkat pendidikan yang rendah pada seseorang, akan

beranggapan bahwa hal yang terpenting dalam

kebutuhan nutrisi adalah mengenyangkan. Pendidikan

yang didapat akan memberikan pengetahuan tentang

nutrisi dan faktor risiko yang dapat mempengaruhi

masalah gizi pada anak.

Tingkat pendidikan formal merupakan faktor

yang ikut menentukan ibu dalam menyerap dan

memahami informasi gizi yang diperoleh (Septiana,

Djannah dan Djamil, 2018).


3) Faktor Lingkungan

Lingkungan dibagi menjadi lingkungan

keluarga, sekolah dan promosi yang dilakukan oleh

perusahaan makanan baik pada media cetak maupun

elektronik. Lingkungan keluarga dan sekolah akan

mempengaruhi kebiasaan seseorang yang dapat

membentuk pola makannya. Promosi iklan makanan

juga akan membawa daya tarik kepada seseorang

yang nantinya akan berdampak pada konsumsi

makanan tersebut, sehingga dapat mempengaruhi pola

makan seseorang (Sulistyoningsih, 2019).

4) Faktor Sosial Budaya

Konsumsi makanan seseorang akan dipengaruhi

oleh budaya. Pantangan dan anjuran dalam

mengkonsumsi makanan akan menjadi sebuah batasan

seseorang untuk memenuhi kebutuhannya.

Kebudayaan akan memberikan aturan untuk

menentukan tata cara makan, penyajian, persiapan

dan makanan tersebut dapat dikonsumsi. Hal tersebut

akan menjadikan gaya hidup dalam pemenuhan

nutrisi. Kebiasaan yang terbentuk berdasarkan

kebudayaan tersebut dapat mempengaruhi status gizi

dan menyebabkan terjadinya malnutrisi. Upaya untuk


pencegahan harus dilakukan dengan cara pendidikan

akan dampak dari suatu kebiasaan pola makan yang

salah dan perubahan perilaku untuk mencegah

terjadinya malnutrisi sehingga dapat meningkatkan

status kesehatan seseorang serta memelihara

kebiasaan baru yang telah dibentuk dengan tetap

mengontrol pola makan (Booth and Booth, 2018).

Budaya atau kepercayaan seseorang dapat

mempengaruhi pantangan dalam mengkonsumsi

makanan tertentu. Pada umumnya, pantangan yang

didasari kepercayaan mengandung sisi baik atau

buruk. Kebudayaan mempunyai kekuatan yang cukup

besar untuk mempengaruhi seseorang dalam memilih

dan mengolah makanan yang akan dikonsumsi.

Keyakinanan terhadap pemenuhan makanan berperan

penting untuk memelihara perilaku dalam mengontrol

pola makan seseorang (Ames et al., 2020).

5) Faktor Agama

Segala bentuk kehidupan di dunia ini telah

diatur dalam agama. Salah satunya yaitu tentang

mengkonsumsi makanan. Sebagai contoh, agama

Islam terdapat peraturan halal dan haram yang

terdapat pada setiap bahan makanan. Hal tersebut juga


akan mempengaruh konsumsi dan memilih bahan

makanan.

c. Pola Pemberian Makan sesuai Usia

Pola makan balita sangat berperan penting dalam proses

pertumbuhan pada balita, karena dalam makanan banyak

mengandung gizi. Gizi merupakan bagian penting dalam

pertumbuhan. Gizi tersebut memiliki keterkaitan yang sangat

erat hubungannya dengan kesehatan dan kecerdasan. Apabila

pola makan tidak tercapai dengan baik pada balita maka

pertumbuhan balita akan terganggu, tubuh kurus, pendek bahkan

terjadi gizi buruk pada balita (Purwani dan Mariyam, 2019).

Tipe kontrol yang diidentifikasi dapat dilakukan oleh

orang tua terhadap anaknya-anaknya ada tiga, yaitu memaksa,

membatasi dan menggunakan makanan sebagai hadiah.

Beberapa literatur mengidentifikasi pola makan dan perilaku

orang tua seperti memonitor asupan nutrisi, membatasi jumlah

makanan, respon terhadap pola makan dan memperhatikan status

gizi anak (Karp et al., 2020).

Pola pemberian makan anak harus disesuaikan dengan

usia anak supaya tidak menimbulkan masalah kesehatan

(Yustianingrum dan Adriani, 2017).

d. Upaya Dalam Memenuhi Kebutuhan Balita

Menurut (Gibney, Margetts and Kearney, 2017), upaya yang


harus dilakukan oleh ibu dalam memenuhi kebutuhan nutrisi

balita diantaranya adalah :

1) Membuat makanan

Ibu dapat mengolah makanan dengan

memperhatikan jenis makanan yang sesuai dengan usia

anak. Ibu juga harus menjaga kebersihan dan cara

menyimpan makanan.

2) Menyiapkan makanan

Ibu harus mengetahui cara menyiapkan yang baik

dan benar sesuai dengan usia anak.

3) Memberikan makanan

Ibu harus memberikan makanan kepada bayi

sampai habis, bisa dengan porsi sedikit tapi sering atau

sebisa mungkin porsi yang diberikan harus dapat habis.

Anda mungkin juga menyukai