Anda di halaman 1dari 16

MAKALAH PENGEMBANGAN KURIKULUM PAI

“Pengembangan Pendidikan Islam Di Sekolah”

Dosen Pengampu: Dr. Ahmad Abdullah, S.Ag., M.Pd.i

Oleh Kelompok 4
Putri Zildjian (105191106821)
Jumasari (105191107821)
Muhammad Akbar R. Syah (105191106421)

JURUSAN PENDIDIKAN AGAMA ISLAM

FAKULTAS AGAMA ISLAM

UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH MAKASSAR

2023
KATA PENGANTAR

Assalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh.

Puji syukur Alhamdulillah penulis panjatkan kehadirat Ilahi Robbi yang

dengan limpahan rahmat, taufiq, hidayah dan inayah-Nya penulis dapat

menyelesaikan makalah “Pengembangan Pendidikan Islam di Sekolah”

Dalam upaya penyelesaian makalah ini penulis telah banyak mendapatkan

bantuan dan bimbingan dari berbagai pihak. Oleh karena itu penulis ucapkan

ribuan terimakasih kepada rekan kelompok 4 yang membantu dalam penyelesaian

makalah ini.

Penulis menyadari meskipun penulis makalah ini telah upayakan

seoptoimal mungkin tentu masih ada kekurangan maupun kekeliruan yang tidak

sengaja, untuk itu bagi para pembaca yang budiman sangat penulis harapkan kritik

dan saran yang sifatnya membangun demi perbaikan dan kesempurnaan makalah

ini. Semoga makalah ini bermanfaat bagi para pembaca umumnya dan khususnya

bagi penulis serta memperoleh ridho Allah SWT. Semata.

Aamiin

Makassar, 29 Oktober 2023

Penulis

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR...............................................................................................i

DAFTAR ISI..............................................................................................................ii

BAB 1 PENDAHULUAN

A. Latar Belakang...............................................................................................1
B. Rumusan Masalah..........................................................................................2
C. Tujuan............................................................................................................2

BAB II PEMBAHASAN

A. Berbagai Kritik terhadap Pendidikan Agama Islam.......................................3


B. Peran dan Tugas Guru Pendidikan Agama Islam..........................................5
C. Model Evaluasi Pendidikan Agama Islam.....................................................6

BAB III PENUTUP

A. Kesimpulan....................................................................................................12
B. Saran...............................................................................................................13

DAFTAR PUSTAKA...................................................................................................14

ii
BAB 1

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Pendidikan yang disengarakan di setiap satuan pendidikan, mulai dari

pendidikan dasar sampai pendidikan tinggi, bahkan dilakukan di lembaga lembaga

non formal dan informal seharusnya dapat membentuk peribadi peserta didik, dan

masyarakat pada umumnya. Namun demikian, pada kenyataannya mutu

pendidikan, khususnya mutu output pendidikan masih rendah jika dibandingkan

dengan output pendidikan di Negara lain, baik dikawasan kawasan Asian.

Rendahnya mutu pendidikan, memerlukan penanganan secara menyeluruh, karena

kehidupan suatu bangsa, pendidikan memegang peranan amat penting untuk

menjalin kelangsungan hidup Negara dan bangsa, juga wahana untuk

meningkatkan dan mengembangkan kualitas sumber daya manusia.1

Prestasi belajar merupakan hasil belajar yang dicapai setelah melalui

proses kegiatan belajar mengajar. Prestasi belajar dapat ditunjukkan melalui nilai

yang diberikan oleh seorang guru, nilai yang maksud adalah nilai nilai dasar

ditanamkan kepada seluruh pelaku pengembangan pedidikan agama Islam kepada

peserta didik. Dalam pelaksanaan proses pembelajaran perlu adanya desain ulang

menkaitkan konsep, misalnya pendidik dapat meranngsang peserta didiknya

dengan menunjukan data data "anomali" Dari data tersebut pendidik diharapkan

mereka mampu mengubah paradikma (nilai kehidupan, mental, dan kognisi)

1
Pengembangan dan implementasi kurikulum 2012 hlm. 13-14

1
peserta didik kepada arah yang libih baik. Asumsinya, selama peserta didik tidak

merubah paradikmanya (merevolusi) kearah yang yang lebih unggul maka tingkat

pengetahuannnya tetap seperti semula, tidak terjadi pengembangan.2

Dalam pernyataan itu, semestinya nilai nilai dasar ditanamkan kepada

seluruh pelaku pengembangan pendidikan Islam (PA). Salah satu peserta didik.

Diharapkan mereka mampu merubah pradikma lama yang sudah mengalami fase

krisis (tidak lagi handal dalam memecahkan masalah). Salah satu pradikma yang

cenderung "fasif, pesimis permisif" diubah menjadi aktif optimis-progresif."

Dengan itu peserta didik akan mempunyai mental "pembaharu" yang tidak mudah

ikut arus yang menjurus negatif.

B. Rumusan Masalah

Adapun Rumusan Masalah dalam Makalah ini adalah sebagai berikut:

1. Apa yang menjadi kritik terhadap Pendidikan Agama Islam?

2. Apa peran dan tugas guru Pendidikan Agama Islam?

3. Bagaimana model evaluasi Pendidikan Agama Islam?

C. Tujuan

Adapun tujuan dari pembuatan makalah ini antara lain:

1. Untuk mengetahui berbagai kritik terhadap Pendidikan Agama Islam.

2. Untuk mengetahui peran dan tugas guru Pendidikan Agama Islam.

3. Untuk mengetahui model evaluasi Pendidikan Agama islam.

2
Hamzah B. Uno profesi Kependidikan probelema, solusi, dan reformasi pendidikan di indonesia
jakarta bumi aksara, 2007. Hal 9

2
BAB II

PEMBAHASAN

A. Berbagai kritik terhadap Pendidikan Agama Islam

Lahirnya Standar Nasional Pendidikan bermula dari adanya kritikan

perihal pelaksanaan pembelajaran Pendidikan Agama Islam di sekolah. Kritikan

tersebut antara lain:

 pertama, berhubungan dengan akhlak, dimana banyaknya para siswa

berbuat tindak kekerasan semacam perkelahian, tidak memiliki sikap

kesantunan di kelompok pelajar, narkoba, minum-minuman keras dan juga

budaya seks bebas antara pelajar. Selain itu, masalah pengetahuan

keagamaan eksklusif yang telah menyentuh sebagian pelajar juga menjadi

sorotan tersendiri. Kejadian seperti itu diperlihatkan dengan adanya

beberapa pelajar yang terlibat dalam kegiatan-kegiatan atau gerakan

radikalisme.

 Kedua, berhubungan dengan kompetensi lulusan sekolah yang tidak

mampu membaca Al-quran, apalagi menulis dan mengetahui artinya.

 Ketiga, menganggap lulusan sekolah belum bisa melakukan kegiatan

ibadah ritual seperti shalat.

 Keempat, lulusan sekolah dari tingkat Sekolah Dasar hingga Menengah

masih minim pengetahuan agama Islamnya. 3

Keempat kritikan tersebut merupakan penggerak dari munculnya Standar

Nasional Pendidikan Agama Islam di sekolah”. Ada pergeseran paradigma dalam


3
Jurnal Pendidikan Islam Volume 11, Nomor 2, November 2020

3
menumbuhkan Pendidikan Agama Islam, aspek Al-quran dan Hadist seperti,

lulusan Sekolah Dasar mesti dapat membaca Al-quran. Lulusan SMP har mampu

mengartikan ayat-ayat Al-quran dan Hadits. Adapun lulusan SMA/SMK mesti

memiliki pemahaman terhadap isi kandungan ayat-ayat Al-gquran dan Hadits”.

Sementara pada segi akhlak, penekanan kepada siswa untuk menerapkan nilai

ajaran Islam ke dalam diri sendiri untuk diaplikasikan dalam kehidupan sehari-

hari. Siswa mesti memiliki sikap toleran, tenggang rasa, jujur, anti kekerasan, anti

korupsi, anti radikalisme, dan sebagainya (Nuqtoh, 2020).

Maju mundurnya pendidikan bergantung pada pelaku pendidikan dan juga

pihak-pihak yang peduli dengan pendidikan. Mereka itulah yang memberikan

pengaruh terhadap pertumbuhan pendidikan di lingkungan pendidikan baik kepala

sekolah, pengawas, guru, dan lain sebagainya. Guru menjadi ujung tombak dalam

pelaksanaan pendidikan di sekolah. 4

Berkaitan dengan kritik-kritik tersebut, pelaksanaan pembelajaran

pendidikan Agama Islam di sekolah perlu melakukan pembenahan-pembenahan

yang inovatif, khususnya dalam memberikan metode-metode yang mampu

melibatkan keaktifan siswa Oleh karena itu, peran guru sangat penting dalam

menentukan kuantitas dan kualitas pembelajaran yang dilaksanakan. Memandang

begitu pentingnya pendidikan agama Islam dalam sistem pendidikan nasional

sebagai salah satu mata pelajaran wajib, maka perlu adanya perubahan-perubahan

dalam sistem pembelajarannya yang didukung dengan semangat dan kreativitas

para gurunya untuk menemukan dan merumuskan sistem pembelajaran baru.

4
Hamdi Nuqtoh, Standar Nasional PAI lahir dari kritik. 2020 dalam laman (https: Www.
Kompasiana.Com/Hamdi/550e7f31813311842cbc652d/Standar-Nasional-Pai-Lahir-Dari-Kritik.)

4
B. Peran dan Tugas Guru Pendidikan Agama Islam

Secara kultural, pada dasarnya guru berada dalam bingkai tugas dan fungsi

yang sama yaitu membantu dan mengarahkan peserta didik mencapai

perkembangannya secara optimal. Tugas dan fungsi guru tersebut secara otomatis

juga menjadi tugas guru pendidikan agama Islam sebagai bagian dari komponen

sistem pendidikan nasional.

Sebagai guru yang mengajarkan agama, guru agama Islam lebih

ditekankan pada tugas-tugas membangun kerohanian dan mental spiritual siswa

dibandingkan dari guru-guru yang lain secara umum.

Dalam pendidikan Islam, tugas guru lebih diarahkan pada upaya

pembentukan sikap dan keperibadian, serta perubahan perilaku peserta didik

sesuai dengan nilai-nilai ajaran Islam. Lebih jauh, tugas guru agama Islam bukan

hanya menggali dan mengembangkan namun yang lebih penting dari itu adalah

upaya menemukan dan membangun tatanan perilaku sebagaimana idealnya

perilaku yang dicontohkan oleh Rasulullah saw. Seorang guru harus mampu

memerankan dirinya sebagai agent of learning (agen pembelajaran), yakni sebagai

fasilitator, motivator, pemacu, perekayasa pembelajaran, dan pemberi inspirasi

belajar bagi peserta didik.5

Guru sebagai motivator akhlak adalah yang bertugas memberikan

dorongan atau stimulasi kepada siswanya untuk bersikap dan bertutur laku dengan

baik mengenai perilaku dan kecerdasan pikiran, dalam hal ini budi pendidik harus

terlibat langsung dalam proses pengubahan sikap dan perilaku siswa dalam upaya

5
Azyumardi Azra, Pendidikan Islam dan Tradisi Moderanisasi Menuju Milenium Baru, (Jakarta,
Logos Wacana Ilmu, 2006) hal.5

5
mendewasakan siswa melalui upaya pengajaran. Jadi, upaya mendewasakan siswa

yang mencakup akhlak (moral) dan kecerdasan pikiran tidak sebatas dilakukan di

dalam ruang kelas. Ini berarti bahwa seorang guru tetap bertanggung jawab

menjalankan peran keguruannya walaupun di luar jam mengajarnya. Dia berperan

dalam pengembangan budi pekerti atau perilaku anak didiknya; bukan hanya

sekadar bertumpu pada pengalihan informasi.

Untuk menjalankan peranannya sebagai motivator akhlak dalam proses

belajar-mengajar, seorang guru harus memberikan contoh-contoh penerapan

praktis dan konkret kepada anak didiknya. Karenanya, sudah otomatis ia juga

harus mampu menunjukkan akhlaknya yang positif agar dapat dituruti peserta

didiknya. Bukan hanya sekedar sebagai transformer materi akhlak semata. Hal ini,

dirasa lebih efektif dan akan menimbulkan efek kepada siswa ketimbang ia hanya

"mahir" dalanm memberikan segudang materi pembelajaran akhlak. Karena itu,

WF Connell dalam Ramayulis membedakan tujuh peran seorang guru yaitu

'pendidik (nurturer), model, pengajar dan pembimbing, pelajar (learner),

komunikator terhadap masyarakat setempat, pekerja administrasi, serta kesetiaan

terhadap lembaga": Dalam konteks ini, peran guru sebagai model dari nilai-nilai

yang diajarkannya sangat diharapkan. Akhlak seorang guru dituntut menjadi suri

teladan bagi peserta didiknya. Jangan sampai, guru yang menúntut siswanya untuk

berakhlak mulia, namun akhlak pribadinya dalam keseharian masih harus

diperatanyakan.6

C. Model Evaluasi Pendidikan Agama Islam

6
Ibid.,

6
Model evaluasi mulai berkembang. Taylor dan Cowley, misalnya, berhasil

mengumpulkan berbagai pemikiran tentang model evaluasi dan menerbitkannya

dalam suatu buku. Model evaluasi yang dikembangkan lebih banyak

menggunakan pendekatan positivisme yang berakar pada teori psikometrik.

Dalam model tersebut, pengukuran dan tes masih sangat dominan, sekalipun tidak

lagi diidentikkan dengan evaluasi. Penggunaan disain eksperimen seperti yang

dikemukakan Campbell dan Stanley menjadi ciri utama dari model evaluasi.

Berkembangnya model evaluasi pada tahun 70-an tersebut diawali dengan adanya

pandangan alternatif dari para expert. Pandangan alternatif yang dilandasi sebuah

paradigma fenomenologi banyak menampilkan model evaluasi.

Dari sekian banyak model-model evaluasi yang dikemukakan, tes dan

pengukuran tidak lagi menempati posisi yang menentukan. Penggunaannya hanya

untuk tujuan-tujuan tertentu saja, bukan lagi menjadi suatu keharusan, seperti

ketika model pertama ditampilkan. Tes dan pengukuran tidak lagi menjadi

parameter kualitas suatu studi evaluasi yang dilakukan. Perkembangan lain yang

menarik dalam model evaluasi ini adalah adanya suatu upaya untuk bersikap

eklektik dalam penggunaan pendekatan positivisme maupun fenomenologi yang

oleh Patton (1980) disebut paradigm of choice. Walaupun usaha ini tidak

melahirkan model dalam pengertian terbatas tetapi memberikan alternatif baru

dalam melakukan evaluasi.7

Dalam studi tentang evaluasi, banyak sekali dijumpai model-model

evaluasi dengan format atau sistematika yang berbeda, sekalipun dalam beberapa

7
Arief Aulia Rahman, Evaluasi Pembelajaran ( Sidoarjo, Kec Pulung, 2019), hal 37

7
model ada juga yang sama. Hal ini dapat dikelompokkan model evaluasi sebagai

berikut :

a. Model evaluasi kuantitatif, yang meliputi : model Tyler, model teoritik

Taylor dan Maguire, model pendekatan sistem Alkin, model Countenance

Stake, model CIPP, model ekonomi mikro.

b. Model evaluasi kualitatif, yang meliputi : model studi kasus, model

iluminatif, dan model responsif

Dari beberapa model evaluasi di atas, beberapa diantaranya akan

dikemukakan secara singkat sebagai berikut :

1. Model Tyler

Nama model ini diambil dari nama pengembangnya yaitu Tyler.

Model ini dibangun atas dua dasar pemikiran. Pertama, evaluasi ditujukan

kepada tingkah laku peserta didik. Kedua, evaluasi harus dilakukan pada

tingkah laku awal peserta didik sebelum melaksanakan kegiatan

pembelajaran dan sesudah melaksanakan kegiatan pembelajaran (hasil).

Dasar pemikiran yang kedua ini menunjukkan bahwa seorang evaluator

harus dapat menentukan perubahan tingkah laku apa yang terjadi setelah

peserta didik mengikuti pengalaman belajar tertentu, dan menegaskan

bahwa perubahan yang terjadi merupakan perubahan yang disebabkan oleh

pembelajaran.8

2. Model yang berorientasi pada tujuan

Model ini dapat membantu Anda menjelaskan rencana pelaksanaan

pembelajaran dengan proses pencapaian tujuan. nstrumen yang digunakan


8
Arief Aulia Rahman, loc. Cit. Hal 38

8
bergantung kepada tujuan yang ingin diukur. Hasil evaluasi akan

menggambarkan tingkat tingkat keberhasilan keberhasilan tujuan program

pembelajaran berdasarkan kriteria program khusus. Kelebihan model ini

terletak pada hubungan antara tujuan dengan kegiatan dan menekankan

pada peserta didik sebagai aspek penting dalam program pembelajaran.

Kekurangannya adalah memungkinkan terjadinya proses evaluasi melebihi

konsekuensi yang tidak diharapkan.

3. Model pengukuran

Model pengukuran (measurement model) banyak mengemukakan

pemikiran-pemikiran dari Rthorndike dan R.L.Ebel. Sesuai dengan

namanya, model ini sangat menitikberatkan pada kegiatan pengukuran.

Pengukuran digunakan untuk menentukan kuantitas suatu sifat (atribute)

tertentu yang dimiliki oleh objek, orang maupun peristiwa, dalam bentuk

unit ukuran tertentu. Anda dapat menggunakan model ini untuk

mengungkap perbedaan- perbedaan individual maupun kelompok dalam

hal kemampuan, minat dan sikap. Objek evaluasi dalam model ini adalah

tingkah laku peserta didik, mencakup hasil belajar (kognitif), pembawaan,

sikap, minat, bakat, dan juga aspek-aspek kepribadian peserta didik. Untuk

itu, instrumen yang digunakan pada umumnya adalah tes tertulis (paper

and pencil test) dalam bentuk tes objektif, yang cenderung dibakukan. 9

4. Model Kesesuain (Ralph W.Tyler, John B.Carrol, and Lee J.Cronbach)

Menurut model ini, evaluasi adalah suatu kegiatan untuk melihat

kesesuaian (congruence) antara tujuan dengan hasil belajar yang telah


9
Arief Aulia Rahman, loc. Cit. Hal 41

9
dicapai. Hasil evaluasi dapat Anda gunakan untuk menyempurnakan

sistem bimbingan peserta didik dan untuk memberikan informasi kepada

pihak-pihak yang memerlukan. Teknik evaluasi yang dapat Anda gunakan

tidak hanya tes (tulisan, lisan, dan perbuatan), tetapi juga non-tes

(observasi, wawancara, skala sikap, dan sebagainya). Model evaluasi ini

memerlukan informasi perubahan tingkah laku pada dua tahap, yaitu

sebelum dan sesudah kegiatan pembelajaran. Berdasarkan konsep ini,

Anda perlu melakukan pre and post-test.

5. Educational System Evaluation Model (Daniel L.Stufflebeam, Michael

Scriven, Robert E.Stake, dan Malcolm M.Provus)

Model yang menekankan sistem sebagai suatu keseluruhan ini

sebenarnya merupakan penggabungan dari beberapa model, sehingga

objek evaluasinyapun diambil dari beberapa model, yaitu (1) model

countenance dari Stake, yang meliputi : keadaan sebelum kegiatan

pembelajaran berlangsung (antecedents), kegiatan yang terjadi dan saling

mempengaruhi (transactions), hasil yang diperoleh (outcomes), (2) model

CIPP dari Stufflebeam, yang meliputi Context, Input, Process, dan

Product, (3) model Scriven yang meliputi instrumental evaluation and

consequential evaluation, (4) model Provus yang meliputi : design,

operation program, interim products, dan terminal products. 10

6. Illuminative Model ( Malcolm Parlett dan Hamilton)

Model ini lebih menekankan pada evaluasi kualitatif-terbuka

(open-ended). Kegiatan evaluasi dihubungkan dengan learning milieu,


10
Arief Aulia Rahman, loc. Cit. Hal 43

10
dalam konteks madrasah sebagai lingkungan material dan psiko-sosial,

dimana guru dan peserta didik dapat berinteraksi. Tujuan evaluasi adalah

untuk mempelajari secara cermat dan hati-hati terhadap pelaksanaan

sistem pembelajaran, faktor-faktor yang mempengaruhinya, kelebihan dan

kekurangan sistem, dan pengaruh sistem terhadap pengalaman belajar

peserta didik. Hasil evaluasi lebih bersifat deskriptif dan interpretasi,

bukan pengukuran dan prediksi. Model ini lebih banyak menggunakan

judgment.

7. Model responsive

Sebagaimana model illuminatif, model ini juga menekankan pada

pendekatan kualitatif-naturalistik. Evaluasi tidak diartikan sebagai

pengukuran melainkan pemberian makna atau melukiskan sebuah realitas

dari berbagai perspektif orang-orang yang terlibat, berminat dan

berkepentingan dengan program pembelajaran. Tujuan evaluasi adalah

untuk memahami semua komponen program pembelajaran melalui

berbagai sudut pandangan yang berbeda. Sesuai dengan pendekatan yang

digunakan, maka model ini kurang percaya terhadap hal- hal yang bersifat

kuantitatif. Instrumen yang digunakan pada umumnya mengandalkan

observasi langsung maupun tak langsung dengan interpretasi data yang

impresionistik. 11

11
Arief Aulia Rahman, loc. Cit. Hal 46

11
BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
Prestasi belajar merupakan hasil belajar yang dicapai setelah melalui proses
kegiatan belajar mengajar. Prestasi belajar dapat ditunjukkan melalui nilai
yang diberikan oleh seorang guru, nilai yang maksud adalah nilai nilai dasar
ditanamkan kepada seluruh pelaku pengembangan pedidikan agama Islam
kepada peserta didik. Dalam pelaksanaan proses pembelajaran perlu adanya
desain ulang menkaitkan konsep, misalnya pendidik dapat meranngsang
peserta didiknya dengan menunjukan data data "anomali" Dari data tersebut
pendidik diharapkan mereka mampu mengubah paradikma (nilai kehidupan,
mental, dan kognisi) peserta didik kepada arah yang libih baik. Asumsinya,
selama peserta didik tidak merubah paradikmanya (merevolusi) kearah yang
yang lebih unggul maka tingkat pengetahuannnya tetap seperti semula, tidak
terjadi pengembangan

B. Saran

Diharapkan makalah ini dapat mengingatkan pembaca pada umumnya dan


penulis pada khususnya bahwa pengembangan kurikulum pendidikan agam islam
perlu dipelajari, karena dengan cara ini juga kita secara tidak langsung telah
mengetahui lembaga pendidikan islam itu sendiri ,sebagai bangsa yang beragama.

12
DAFTAR PUSTAKA

Hamdi Nuqtoh, Standar Nasional PAI lahir dari kritik. 2020 dalam laman (https:
Www. Kompasiana.Com/Hamdi/550e7f31813311842cbc652d/Standar-
Nasional-Pai-Lahir-Dari-Kritik.)
Azyumardi Azra, Pendidikan Islam dan Tradisi Moderanisasi Menuju Milenium
Baru, (Jakarta, Logos Wacana Ilmu, 2006) hal.5
Arief Aulia Rahman, Evaluasi Pembelajaran ( Sidoarjo, Kec Pulung, 2019), hal
37
Nisa, K. (2018). Analisis Kritik Tentang Kebijakan Standar Proses Pembelajaran
Pendidikan Agama Islam. Inovatif, 4(1), 51-76.
Jurnal Pendidikan Islam Volume 11, Nomor 2, November 2020 (Available At :
htp:/ljournal. uhamka.ac. id/index, phpljpi)

13

Anda mungkin juga menyukai