Kehilangan Hutan
(Deforestasi)
Tanah Papua dan
Wilayah Maluku
Periode 2014 – 2021
1. Gambaran Umum
Deforestasi tidak dapat dihindarkan dari sebuah negara yang masih mengandalkan sumber daya alam
untuk modal pembangunan. Indonesia masih dalam kategori negara Ekonomi Lower Middle Income,
yaitu negara dengan penduduk memiliki rata-rata pendapatan per kapitanya antara $1.046 hingga
$4.095. Di wilayah Asia, Indonesia masih tertinggal jauh dari Singapura dari sisi pendapatan, rata-rata
penduduk Singapura sudah berpenghasilan tinggi (High) atau lebih dari $12.696 per kapita (World Bank,
2022)1. Untuk mengejar ketertinggalan ini, pemerintah mengeluarkan berbagai kebijakan percepatan
pembangunan di segala aspek. Pemerintah memasang target pertumbuhan ekonomi sebesar 5,2%
tahun 2022. Tingginya target pembangunan Indonesia mendorong kemudahan investasi salah satunya
investasi berbasis lahan. Undang–undang Cipta Kerja (UUCK) menjadi manifestasi tentang Indonesia
yang sedang memacu peningkatan pendapatan negara melalui kemudahan investasi demi dukungan
kebijakan percepatan pembangunan. Salah satu konsekuensinya adalah terjadinya deforestasi yang
pada 2020–2021 yang menyebabkan kehilangan hutan seluas 153.992,25 hektare (Server KLHK 2022).
Indonesia Timur, yaitu Pulau/Tanah Papua dan gugusan kepulauan Maluku, tidak terlepas dari target
investasi berbasis lahan. Tercatat setidaknya ada empat sektor investasi berbasis lahan yang beroperasi
di Tanah Papua dan Kepulauan Maluku, yaitu Izin Usaha Pertambangan, Izin Perkebunan Kelapa Sawit,
Izin Industri Bahan Baku Kertas melalui Hutan Tanaman Industri (HTI), Food Estate. Pembangunan jalan
trans Papua yang menghubungkan antara Kota Sorong di Papua Barat hingga ke Merauke di Provinsi
Papua menjadi pendukung kemudahan investasi dan percepatan pembangunan di Tanah Papua.
Sumber:
1
https://datahelpdesk.worldbank.org/knowledgebase/articles/906519-world-bank-country-and-lending-groups
Papua, (Papua
3 98 0,06 Miliar 3 -
dan Papua Barat)
Maluku Utara menjadi daerah paling banyak pemegang Izin Usaha Pertambangan (IUP) nikel di kawasan
Maluku karena terdapat 44 IUP dan 1 Kontrak Karya (KK). Sementara itu, Maluku hanya terdapat 2 IUP
nikel (Tabel 1). Kondisi ini jelas akan menimbulkan tekanan terhadap hutan tropis Indonesia Timur,
terutama di Tanah Papua dan Maluku. Kedua wilayah ini tercatat masih memiliki 44% hutan tropis
Indonesia. Sementara itu, 84% areal-areal izin masih berupa hutan di Papua dan Maluku (Tabel 2). Hal
ini jelas berpotensi menyebabkan terjadinya deforestasi yang terencana (planned deforestation).
2. Metode
Metode yang digunakan dalam analisis ini adalah tumpang susun data spasial dan raster to vector.
Ini untuk mendapatkan luas kehilangan hutan sejak 2014–2020 di wilayah Tanah Papua dan Wilayah
Maluku.
Sumber:
2
https://www.cnbcindonesia.com/news/20210726143011-4-263686/ini-daftar-daerah-di-ri-penyimpan-
harta-karun-nikel-terbesar
• Data yang digunakan dalam analisis ini adalah data kehilangan hutan yang dari Global Forest Change
(GFC)(Forest Loss, Hansen/UMD/Google/USGS/NASA) yang berupa data spasial yang dihasilkan dari
analisis serial (time series) setiap tahun dari Citra Landsat (citra satelit yang merekam permukaan
bumi dan menghasilkan gambaran permukaan bumi) sejak 2000 hingga 2020.
• Data spasial konsesi perkebunan kelapa sawit Provinsi Papua, Papua Barat, Maluku dan Maluku
Utara.
• Data spasial konsesi Izin Usaha Pertambangan, Kementerian ESDM.
• Jaringan-jaringan jalan, BIG.
• Areal rencana pengembangan Food Estate, KLHK, 2020.
Studi ini dilakukan dengan analisis meja (desktop analysis) dengan menggunakan data yang sudah
dipublikasi oleh pemerintah, lembaga non-pemerintah yang kredibel. Liputan wilayahnya mencakup
Provinsi Papua, Provinsi Papua Barat, selanjutnya disebut Tanah Papua. Juga Provinsi Maluku Utara, dan
Provinsi Maluku yang selanjutnya disebut Regional Maluku. Rentang waktu penilaian kehilangan hutan
ini sejak 2014 hingga 2021.
Studi ini difokuskan pada tren kehilangan hutan di Tanah Papua dan Regional Maluku, terutama pada
areal-areal perizinan berbasis lahan antara lain: Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan – Hutan Alam
(IUPHHK-HA), IUPHHK-Hutan Tanaman (IUPHHK-HT), Izin Usaha Pertambangan (IUP), Perkebunan
Kelapa Sawit, areal konsesi perkebunan tebu, areal program Ketahanan Pangan (food Estate), dan
Pembangunan Jalan Trans Papua.
Pemanfaatan lahan di Tanah Papua dan Regional Maluku sebagian besar untuk kegiatan kehutanan
(IUPHHK – HA dan IUPHHK – HT), budidaya non-kehutanan (gula dan kelapa sawit, dan kegiatan
pertambangan). Sementara itu, areal seluas 7 juta hektare untuk kegiatan investasi kehutanan, 2,3
juta hektare diperuntukkan budidaya non-kehutanan, dan 6 juta hektare dialokasikan untuk kegiatan
pertambangan (Tabel 3).
Sumber: KLHK (SK 783/2014, Papua Barat; SK 782/2012, Papua), SK 854/2014 Maluku, SK 302/2013
Maluku Utara.
Keterangan:
CA : Cagar Alam TWA : Taman Wisata Alam
CAL : Cagar Alam Laut TWAL : Taman Wisata Alam Laut
SM : Suaka Margasatwa HSA : Hutan Suaka Alam
SML : Suaka Margasatwa Laut HL : Hutan Lindung
KSA/KPA: Kawasan Suaka Alam/Kawasan Pelestarian Alam HPT : Hutan Produksi Terbatas
KSAL : Kawasan Suaka Alam Laut HP : Hutan Produksi
TN : Taman Nasional HPK : Hutan Produksi Konversi
TNL : Taman Nasional Laut APL : Areal Penggunaan Lain
Tabel 3 Luas perizinan di Papua dan Maluku pada tutupan lahan 2020
Sejak 2014 hingga 2021, hutan hilang di Tanah Papua dan Kepulauan Maluku seluas 780.066 hektare
(Tabel 4). Sebagian besar terjadi pada areal konsesi Perizinan Berusaha Pengelolaan Hasil Hutan Kayu
atau Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu – Hutan Alam (IUPHHK-HA), Izin Usaha Pemanfaatan
Hasil Hutan Kayu – Hutan Tanaman (IUPHHK-HT), perkebunan kelapa sawit, Izin Usaha Pertambangan
(IUP), areal pembangunan ketahanan pangan (Food Estate), dan pembangunan jalan. Luas kehilangan
hutan pada areal investasi berbasis lahan ini mencapai 51% dari total kehilangan hutan di Tanah Papua
dan Kepulauan Maluku, yaitu seluas 400.867,48 hektare. Kehilangan hutan akibat perkebunan kelapa
sawit dan pembangunan jalan lebih banyak terjadi di Provinsi Papua dan Papua Barat, luasnya mencapai
126.043,43 hektare. Sedangkan kehilangan hutan akibat pertambangan lebih banyak terjadi di Provinsi
Maluku dan Maluku Utara, luasnya mencapai 52.643,68 hektare. Secara keseluruhan, kehilangan hutan
di Provinsi Maluku dan Maluku Utara dari kegiatan perkebunan kelapa sawit dan pertambangan yaitu
240.015,18 hektare (Tabel 5).
Di wilayah Provinsi Papua bagian selatan, yakni Kabupaten Merauke, Boven Digoel, dan Kabupaten
Mappi, deforestasi terjadi pada beberapa wilayah alokasi untuk program ketahanan pangan (food
estate). Areal ini tumpang tindih dengan konsesi perkebunan kelapa sawit.
Gambar 1 Grafik Kehilangan Hutan di Provinsi Papua, Papua Barat, Maluku dan Maluku Utara
2014 – 2021
Tabel 5 Deforestasi pada areal konsesi investasi berbasis lahan di Provinsi Papua, Papua Barat, Maluku
dan Maluku Utara periode 2014 – 2021
Praktik pembangunan perkebunan kelapa sawit di Tanah Papua sebagian besar dilakukan pada areal
pelepasan kawasan hutan. Kawasan hutan produksi yang dilepaskan oleh Kementerian Lingkungan Hidup
dan Kehutanan (KLHK) menjadi Areal Penggunaan Lain (APL) yang diperuntukkan sebagai kegiatan
budidaya non-kehutanan, yaitu perkebunan kelapa sawit, lebih dari 90% arealnya masih berupa hutan.
Hal ini yang menyebabkan angka pembukaan hutan untuk perkebunan kelapa sawit menjadi sangat
tinggi (Gambar 6). Terutama pada periode sebelum 2018, yaitu masa di mana penghentian pemberian
izin sementara (Moratorium) untuk perkebunan kelapa sawit belum diterbitkan oleh presiden melalui
Instruksi Presiden Nomor 8 tahun 2018.
Pembangunan infrastruktur jalan di Tanah Papua yang masif pada 5 tahun terakhir menargetkan
pembangunan jalan yang panjangnya lebih dari 4.000 km (Gaveau, Santos et al. 2021). Pembangunan
jalan Trans Papua mendorong terjadinya pembukaan hutan (Gambar 5). Tidak dapat dihindarkan,
proses pembangunan jalan Trans Papua harus melewati areal hutan Papua. Angka kehilangan hutan dari
kegiatan pembangunan jalan di Papua dan Papua Barat mencapai 253,907 hektare per tahun (Gaveau,
Santos et al. 2021).
Gambar 3 Grafik kehilangan hutan pada konsesi perkebunan kelapa sawit di Papua, Papua Barat,
Maluku, dan Maluku Utara
Tabel 6 Kehilangan hutan pada konsesi perkebunan kelapa sawit periode 2014 – 2021
Sumber: Konsesi perkebunan Kelapa Sawit, berbagai sumber, 2021; Hansen Forest Loss, 2021.
Deforestasi akibat kegiatan pertambangan di Indonesia Timur selama periode 2014–2021 tercatat
sebesar 102.661,80 hektare. Sebagian besar terjadi di Maluku Utara, di mana luasnya mencapai
38.596,17 hektare (Tabel 7). Pada 2016, pembukaan hutan untuk pertambangan di Maluku Utara
luasnya mencapai 11.386,38 hektare dan ini merupakan angka deforestasi tertinggi oleh kegiatan
pertambangan sejak 2014.
Jenis Kegiatan Kehilangan Hutan pada areal pertambangan periode 2014 - 2021 (Ha)
Pertambangan
Papua Barat Papua Maluku Maluku Utara Luas Total per Jenis
Kegiatan
Eksploitasi - 3,16 - 188,89 192,05
Operasi Produksi 820,53 0,16 588,96 18.852,00 20.261,65
Konstruksi 165,85 3.077,84 3.243,69
Eksplorasi 15.737,09 28.123,08 13.458,55 16.477,44 73.796,16
Studi Kelayakan 5.168,25 5.168,25
Luas Total per 16.723,47 33.294,65 14.047,51 38.596,17 102.661,80
Provinsi
Sumber: Data Izin Usaha Pertambangan, ESDM, 2019; Hansen Forest Loss, 2021.
Gambar 7 Kehilangan hutan akibat kegiatan pertambangan dan kebun kelapa sawit di Provinsi Maluku
Utara hingga 2021
5. Diskusi
Arah kebijakan pembangunan Tanah Papua pada periode 2020–2024 di era pemerintahan Presiden
Joko Widodo menekankan pada tiga aspek, yaitu: (1) Percepatan pembangunan untuk mengejar
ketertinggalan dibanding wilayah lainnya melalui transformasi ekonomi dari berbasis SDA ke industri
berbasis komoditas lokal dan pariwisata, hilirisasi industri pertambangan, minyak, dan gas bumi; (2)
Pelaksanaan Otonomi Khusus Papua dan Papua Barat berlandaskan pendekatan budaya dan kontekstual
Papua, dan berbasis ekologis dan wilayah adat; (3)Peningkatan kawasan konservasi dan daya dukung
lingkungan untuk pembangunan rendah karbon3.
Dampak dari pelaksanaan kebijakan ini, secara positif terlihat pada beberapa program pembangunan
infrastruktur jalan agar Tanah Papua bisa memiliki daya dukung yang memadai untuk bisa setara dalam
pertumbuhan ekonomi. Pembangunan jalan baru maupun peningkatan kelas jalan terus dilakukan
dengan cepat. Pembangunan jalan Trans Papua yang menghubungkan Kota Sorong di Papua Barat hingga
Kabupaten Merauke di Provinsi Papua adalah bentuk realisasi dari program percepatan pembangunan
agar Papua saling terkoneksi dan tidak terisolasi. Sisi lain dari pelaksanaan program ini mengakibatkan
Sumber:
2
https://www.cnbcindonesia.com/news/20210726143011-4-263686/ini-daftar-daerah-di-ri-penyimpan-
harta-karun-nikel-terbesar
Menggenjot investasi berbasis lahan untuk upaya percepatan pertumbuhan ekonomi di daerah menjadi
pilihan yang logis, tetapi harus tetap mengacu pada rambu-rambu investasi hijau. Ini untuk menjaga
target percepatan penyelesaian kesenjangan ekonomi Tanah Papua dari wilayah lain di bagian barat
Indonesia. Ekses negatif dari kebijakan ini tentunya akan berimbas kepada perubahan fungsi ekologis
lahan. Kerusakan secara lokal akan terjadi jika investasi berbasis lahan tidak dibarengi dengan upaya-
upaya kontrol dari berbagai pihak, terutama oleh instrumen pemerintah. Beberapa riset yang berkaitan
dengan dampak investasi berbasis lahan terhadap peningkatan kesejahteraan masyarakat menunjukkan
bahwa dampak secara ekonomi, pendidikan, dan kesehatan tidak mengalami kenaikan secara signifikan
dalam rentang selama investasi (Tjawikrama, Arifin et al. 2020). Ini tentu harus menjadi perhatian
untuk mempertanyakan apakah memang investasi berbasis lahan merupakan solusi untuk menggenjot
target peningkatan kesejahteraan masyarakat di Tanah Papua.
6. Referensi
Gaveau, D. L. A., et al. (2021). “Forest loss in Indonesian New Guinea (2001–2019): Trends, drivers and
outlook.” Biological Conservation 261: 109225.
Tjawikrama, D., et al. (2020). “Dinamika Lanskap Kabupaten Ketapang Dan Kabupaten Kayong Utara
Terhadap Perubahan Indeks Pembangunan Manusia.” JURNAL TENGKAWANG 10(2): 109-122.