Overview Kebijakan
Overview Kebijakan
Oleh:
Eddy Prahasta
eddypra2000@gmail.com
Bandung, Indonesia
(September 2023)
Pada konteks formal, istilah “kebijakan” merujuk pada seperangkat aturan, pedoman,
atau prinsip yang ditetapkan oleh pihak otoritas (pemerintah, pemerintah daerah, organisasi, atau
institusi tertentu) untuk mengatur prilaku atau tindakan tertentu sedemikian rupa hingga
sederhana, istilah ini bisa jadi merupakan ketentuan atau aturan yang mengatur suatu prilaku
hingga sesuai dengan yang diinginkan. Oleh sebab itu, sebelum kebijakannya dibuat, tujuan atau
Bisa jadi1, untuk mengatasi suatu masalah (memenuhi tujuannya), diperlukan lebih dari
satu kebijakan yang berjalan secara paralel dan/atau serial. Mengapa? Untuk mempercepat atau
memperbesar peluang perolehan tujuannya. Di lain pihak, bisa jadi suatu kebijakan akhirnya
(seolah) tidak berdampak. Hal ini antara lain disebabkan oleh konten kebijakannya yang kurang
realistis, pelaksanaannya tidak efektif (berjalan parsial, terjadi tarik-ulur, dan kompromi),
dampaknya justru merugikan, ketidak-siapan pihak-pihak yang menjadi subjek kebijakan itu
sendiri, atau terdapat masalah hulu di luar jangkauan dan kendali kebijakan itu sendiri.
Penerapan kebijakan tentu saja terdapat di berbagai bidang. Di antaranya adalah bidang-
termasuk di sektor lalu-lintas. Kebijakan di bidang lalu-lintas ini memiliki tujuan kelancaran
berlalulintas (transportasi), atau dengan kata lain, kebijakan ini bertujuan utama untuk
tertentu, masalah kemacetan masih tidak tertanggulangi meskipun beberapa kebijakan sudah
pernah dibuat dan dilaksanakan. Dalam kaitan ini, pemahaman atas permasalahannya secara
benar dan lengkap adalah yang paling penting, baru kemudian urusan kebijakannya.
1
Beberapa fakta/pengalaman menunjukkan hal ini.
Masalah hulu adalah masalah awal atau pertama (sebelumnya) yang perlu terlebih dahulu
diselesaikan sebelum masalah berikutnya (masalah hilir). Jika tidak, maka masalah ini sangat
mengatasinya. Salah satu contoh yang sering disebut banyak orang sebagai masalah hulu adalah
Populasi manusia (masalah hulu), terutama di kota-kota besar, makin besar dan padat dari
waktu ke waktu. Setidaknya, hal ini disebabkan oleh beberapa faktor: (1) luas wilayah yang
relatif tetap; (2) populasi yang memang sudah besar beserta pertumbuhannya yang tinggi; (3)
daya tarik (fasilitas pendidikan yang baik, layanan pemerintahan yang lengkap, sarana
transportasi lengkap, fasilitas & layanan kesehatan leboh baik, penyediaan kesempatan kerja
yang luas, dan potensi pendapatan yang lebih tinggi) kota sangat besar; dan (4) faktor urbanisasi
yang semakin deras. Oleh sebab itu, adalah wajar jika jumlah-jumlah manusia, kebutuhan,
kepemilikan, dan luas area pemukiman yang dibangun dan total kendaraan yang beredar2 di
jalanan kota besar menjadi sangat besar dalam waktu relatif singkat. Kebutuhan alat-alat
2
Sebenarnya, kebutuhan, kepemilikkan, dan kendaraan yang beredar di jalanan adalah variabel-variabel yang
berbeda. Tetapi dalam kasus fenomena kemacetan, untuk kemudahan (kesederhanaan), diasumsikan bahwa
kebutuhan kendaraan (yang merupakan fungsi populasi) akan mempengaruhi jumlah kendaraan yang beredar di
jalanan. Sebetulnya, sebagian (kecil?) kendaraan yang beredar di jalanan wilayah A itu bisa jadi milik populasi-
populasi yang berada di wilayah B, C, dan seterusnya. Tetapi yang jelas, populasi para pengendara beserta para
penumpangnya yang sedang berada ruas-ruas di jalanan di wilayah A, meskipun untuk sementara waktu, termasuk
ke dalam populasi wilayah A.
3
Pada dasarnya, makin besar populasinya, makin besar pula potensi kebutuhan kendaraan (sebagai alat
transportasi) dan jumlah total kendaraan yang beredar di jalanan wilayah yang bersangkutan. Meskipun demikian,
nilai-nilai perbandingannya akan bersifat khas; lokal (di suatu area bisa jadi berbeda dengan area-area yang kain)
dan temporal (untuk suatu perioda bisa jadi berbeda dengan perioda-perioda yang lain).
Konsekuensi dari populasi yang besar, kerapatan populasi yang tinggi, kapasitas (panjang
& lebar) ruas-ruas jalan yang relatif tetap, dan sejumlah besar kendaraan yang beredar di jalanan
adalah munculnya fenomena kemacetan lalulintas (masalah hilir); terutama di hari-hari kerja dan
jam-jam sibuk. Kemacetan adalah kondisi dimana sistem lalulintas sudah tidak lagi mampu
menampung kendaraan-kendaraan yang melintas di suatu (ruas-ruas) jalan pada periode tertentu
kendaraan yang bersangkutan. Pada kondisi itu, jumlah total kendaraan kendaraan di suatu (ruas)
yang beredar dan kapasitas (ruas) jalan yang bersangkutan pada periode tertentu4. Meskipun
demikian, dua atau lebih ruas jalan yang dilalui oleh kendaraan dengan jumlah yang sama (pada
periode waktu yang sama) tidak berarti (selalu) memiliki tingkat kemacetan yang sama.
Sehubungan dengan hal ini, sebagai alternatif, tingkat kemacetan juga dapat dinyatakan dalam
terminologi kecepatan rata-rata (Vr) kendaraan yang melintas di suatu (ruas) jalan5. Dengan
terminologi ini, berarti, tingkat kemacetan tidak semata-mata dipengaruhi oleh jumlah total
kendaraan yang beredar berikut kapasitas (ruas) jalannya (kerapatan atau ρ), tetapi juga
dipengaruhi oleh faktor-faktor lainnya (yang bisa jadi bersifat dominan atau tidak,
Faktor-faktor lain yang dimaksud di atas adalah (sebagian bersifat umum, sistematik,
instan, sesaat, atau temporer): [1] ruas-ruas jalan di Indonesia yang relatif pendek, sempit, dan
4
Tingkat kemacetan dinyatakan dalam jumlah kendaraan per-satuan luas (ruas jalan); kerapatan kendaraan.
5
Tingkat kemacetan dinyatakan dalam terminologi kecepatan rata-rata kendaraan.
lima7, adanya peristiwa-peristiwa: [3] kecelakaan lalulintas8, [4] kebanjiran (genangan air)9, [5]
tanah longsor10, [6] pasar tumpah11, [7] perbaikan jalan & konstruksi12, [8] cuaca buruk
(termasuk hujan)13, [9] demo mahasiswa & masyarakat14, [10] rekayasa lalulintas15, [11] antrian
6
Ruas-ruas jalan di Indonesia (tidak sekedar di kota-kota besarnya) kebanyakan relatif pendek. Panjang ruas-ruas
ini mulai dari belasan meter hingga ratusan meter. Hal ini disebabkan karena keberadaan jalan-jalan tidak dapat
dirancang secara ideal melainkan dibuat berdasarkan keberadaan sebaran (blok) pemukiman yang sudah ada (dan
berukuran relatif pendek). Dengan demikian, begitu suatu ruas jalan maju beberapa belas atau puluhan meter
sudah dijumpai titik perpotongan (pertigaan atau perempatan) dengan jalan lain atau jalan yang lebih kecil (gang);
jalan-jalan terpotong hingga menjadi ruas-ruas jalan yang relatif pendek. Konsekuensi dari ruas-ruas jalan yang
relatif pendek ini adalah terjadinya kemacetan; karena terdapat aktivitas manusia dan kendaraan yang masuk dan
keluar pemukiman secara intensif berikut keberadaan rambu-rambu lalulintas yang memaksa para pengendara
yang melalui ruas-ruas jalan seperti ini harus menunggu atau memperlambat kecepatan kendaraannya demi
keamanan & keselamatan bersama.
7
Keberadaan pedagang kaki lima (PKL) memang tidak tersebar di setiap jalan di kota-kota besar di Indonesia.
Meskipun demikian, keberadaan mereka di sekitar pasar, pemukiman, kompleks perkantoran, dan/atau ruas-ruas
jalan yang relatif pendek, jika tidak segera ditertibkan, akan mengundang manusia (para pembeli) untuk
berkerumun hingga pada akhirnya menyebabkan kemacetan.
8
Peristiwa kecelakaan lalulintas juga menyebabkan manusia berkerumun untuk sesaat hingga cukup mengganggu
kelancaran lalulintas untuk sesaat. Belum lagi jika melibatkan kehadiran mobil ambulan yang perlu diprioritaskan;
yang lain harus menepi (berkecepatan rendah) meskipun untuk sesaat.
9
Peristiwa banjir tentu saja cenderung menyebabkan fenomena kemacetan karena begitu hujan turun, banyak
pengendara yang menunda waktu keberangkatannya untuk sementara hingga ketika mereka harus berangkat,
jumlah kendaraan yang beredar di jalanan menjadi sangat banyak. Sedangkan ketika terjadi banjir atau setidaknya
genangan, tidak sedikit kendaraan yang mogok atau berkecepatan rendah hingga menghalangi kendaraan-
kendaraan yang berada di belakangnya secara beruntun. Selain itu, banyak pengendara menghindari area-area
ruas jalan yang digenangi oleh air seolah luas ruas jalan berkurang.
10
Bencana tanah longsor tentu saja biasa menyebabkan kemacetan, terutama yang menutup atau merusak ruas
jalan hingga tidak dapat digunakan untuk sementara waktu.
11
Di ruas-ruas jalan tertentu, pada hari dan jam-jam tertentu sering terjadi pasar tumpah. Para pedagang dan
pembeli menempati sebagian dari ruas jalan hingga mengganggu lalulintas; kapasitas jalan berkurang dan
kendaraan berjalan lambat demi keselamatan (kemacetan) pada waktu-waktu tersebut.
12
Perbaikan jalan dan konstruksi juga sering menjadi penyebab kemacetan karena pada periode itu minimal luas
jalan berkurang, (demi kehati-hatian) kecepatan kendaraan jauh berkurang, atau bahkan ruas jalan tersebut tidak
dapat digunakan sama sekali hingga menimbulkan kemacetan di ruas-ruas jalan lain yang menjadi alternatif.
13
Cuaca buruk juga dapat menyebabkan fenomena kemacetan. Sebagai misal, terik matahari di siang hari, hari
mulai gelap, atau mendung (pertanda akan hujan) sering menyebabkan para pengendara tergesa (untuk tiba di
tujuan) mengemudikan kendaraannya yang pada akhirnya justru menyebabkan berkumpulnya kendaraan dalam
jumlah banyak yang hendak masuk ke jalan atau kompleks perumahan & perkantoran.
14
Volume manusia yang berkumpul dalam jumlah yang besar tentu saja dapat mengganggu kelancaran lalulintas
dan meningkatkan volume sampah di ruas-ruas jalan yang bersangkutan. Demi keamanan dan keselamatan
berkendara, kecepatan kendaraan yang dekat dengan kerumunan masa seperti ini hampir pasti akan berkecepatan
rendah (tidak lancar atau macet).
15
Rekayasa lalulintas tenta saja dapat menyebabkan kemacetan di beberapa ruas jalan. Sebagai misal, karena
adanya suatu peristiwa penting, maka beberapa arah jalan dirubah. Sebagian besar pengendara yang tidak
mengetahui hal ini sebelumnya dan juga tidak biasa tentu saja bingung harus memilih ruas-ruas jalan yang menjadi
(telekomunikasi, air, listrik, serat-optik, dan lain sejenisnya)17, [13] penertiban (razia) kendaraan
dan/atau tilang18, [14] sekolah/kampus, [15] mini-market, super-marker/mall, dan [16] lain
sejenisnya; kapasitas (ruas) jalan seolah mengalami penyempitan dan para pengendara harus
Berdasarkan kriteria tertentu, di lain pihak, nilai-nilai tingkat kemacetan (di ruas-ruas
jalan) bisa saja dikelompokkan (dikualitatifkan) sedemikian rupa hingga menjadi beberapa
kelas19: kosong, lancar, normal, agak macet, macet, dan sangat macet (padat merayap).
alternatif. Sekalinya memilih ruas-ruas jalan, maka potensi kemacetan di ruas-ruas jalan tertentu benar-benar akan
terjadi.
16
Karena berburu bahan bakar bersubsidi, maka banyak kendaraan (terutama) roda-2 yang antri. Sebagian dari
antrian ini ternyata cukup panjang hingga sampai ke pinggir ruas jalan yang bersangkutan (mengganggu lalulintas
dan menyebabkan kemacetan untuk sesaat).
17
Perbaikan saluran air, dan penggalian/ timbunan kabel, serat optik, dan pipa sudah biasanya dilakukan di bulan-
bulan tertentu. Jadi, pada bulan-bulan ini, penyempitan jalan (tanah galian yang menumpuk sering diletakkan di
pinggir jalan untuk beberapa lama dan ketika prosesnya selesai tumpukkan tanah ini tidak jarang masih tersisa
[tidak benar-benar bersih dan rapi]) sering terjadi. Penyempitan ruas jalan menyebabkan kapasitas ruas jalan
kerkurang hingga akhirnya juga menyebabkan fenomena kemacetan.
18
Penertiban (razia) kendaraan atau tilang tetap perlu dilakukan untuk mentertibkan lalulintas sekaligus
mengendalikan jumlah kendaraan yang dibolehkan beredar di jalanan; akan menyebabkan turunnya sebagian dari
(jumlah) kendaraan yang beredar dengan delay tertentu (beberapa hari, minggu, atau bulan). Meskipun demikian,
ironisnya, aktivitas yang penting ini secara langsung (tanpa delay) dapat menyebabkan sejumlah antrian kendaraan
yang berkontribusi pada fenomena kemacetan.
19
Ini sekedar contoh, pihak-pihak yang berwenang bisa saja menghasilkan kelas-kelas yang berbeda dari ini.
oleh banyak orang? Tentu saja jawabannya sangat sederhana. Sebab, dampaknya sangat
merugikan (negatif) bagi manusia; baik sebagai individu, kelompok, masyarakat, perusahaan,
maupun pemerintah (negara). Jadi, secara umum, tidak ada pihak yang akan diuntungkan dengan
produktivitas, dan lain sejenisnya. Meskipun demikian, jika ditanya, tentu saja setiap orang
(kemungkinan besar) bisa jadi akan memberikan jawaban (dengan detil) yang bervariasi
Sehubungan dengan hal ini, maka berikut ini adalah sebagian dari dampak negatif dari
fenomena kemacetan:
20
Waktu untuk yang lain menjadi terpakai (terkurangi).
21
Potensinya adalah diberi peringatan, dimarahi, didenda, diberi tugas tambahan, dan lain sejenisnya.
22
Terutama jika berakumulasi dalam selang waktu tertentu.
23
Kecepatan kendaraan menjadi rendah, durasi perjalanan makin panjang, konsumsi bahan bakar meningkat,
biaya bahan bakar membengkak, dan biaya akomodasi juga membesar.
Untuk mengatasi masalah kemacetan beserta dampaknya (yang merugikan), secara logis,
ruas-ruas jalan-jalan baru; baik sebagai program rutin (normatif) tahunan maupun sebagai
solusi30 khusus bagi penanggulangan masalah kemacetan lalulintas. Tentu saja, kebijakan ini
tidak berdiri sendiri. Biasanya, kebijakan ini juga berkaitan dengan beberapa lain seperti halnya
tataruang, perbaikan infrastruktur jalan, sungai, dan aluran air yang sudah ada (untuk mencegah
genangan air dan banjir), rekayasa lalulintas, dan penertiban pasar tumpah. Akhirnya, dengan
kebijakan ini, panjang dan lebar (kapasitas) jalan makin bertambah, resiko banjir dan kemacetan
beserta komplikasinya menjadi berkurang. Pada kondisi itu, kenyamanan dan keleluasan
berkendara meningkat.
24
Kehilangan (berkurangnya) waktu, energi, dan sumber-daya (sebagai modal utama) untuk mengerjakan hal-hal
lain yang sebenarnya sangat bermanfaat.
25
Bagi perusahaan, kemacetan dapat berdampak pada kerugian material yang cukup besar; ketidak-puasan
pelanggan, kehilangan pelanggan, kehilangan pemasukan, kehilangan pendapatan, dan kerugian perusahaan.
26
Pada prinsipnya, point utamanya, dampak negatif bagi individu dan masyarakat, perusahaan, dan negara
(hampir) sama saja atau tidak berbeda jauh. Yang berbeda hanya pada “skalanya” dan aspek luas terkait polusi
udara yang disebabkannya. Untuk tingkatan invidu, pengeluaran (dampak negatif) pribadinya yang meningkat.
Sementara untuk masyarakat, perusahaan, atau negara, agregasi dampak negatifnya yang meningkat plus ekses
polusi udara beserta seluruh konsekuensi dan kompleksitasnya.
27
Faktor kelelahan fisik dan mental dapat menurunkan kualitas hidup yang pada akhirnya dapat meningkatkan
biaya pemeliharaan kesehatan, pemulihan, terapi, dan berobat.
28
Biaya transportasi menjadi mahal.
29
Polusi udara akan menyebabkan atau menambah kompleksitas masalah yang sudah ada berikut penurunan
kualitas hidup msyarakatnya. Sementara itu biaya penanggulangan dan pemulihan akibat polusi udaranya menjadi
sangat besar, ditambah lagi dengan potensi biaya perawatan kesehatan yang diakibatkannya.
30
Program atau kebijakan pengembangan atau pembangunan ruas-ruas jalan baru bisa jadi merupakan aktivitas
rutin tahunan (sesuai kebutuhan, perencanaan, dan ketersediaan anggaran) yang tidak terkait dengan fenomena
kemacetan. Meskipun demikian, bisa saja kebijakan ini dikaitkan dengan fenomena kemacetan yang telah ada
hingga pengembangan ruas-ruas jalan-jalan baru dilaksanakan dengan prioritas sebagai solusi bagi masalah
kemacetan di ruas-ruas jalan-jalan tertentu sebagai alternatif.
kondisi berubah (dinamika waktu dan lingkungan). Jalan-jalan ini bisa jadi kembali mengalami
kejenuhan. Setelah itu, biasanya, kemacetan kembali terulang. Keleluasaan & kenyamanan
berkendara hanya berlaku untuk sementara waktu saja. Margin kenyamanan berkendara ternyata
tidak sebesar perkiraan banyak orang. Ternyata, kebijakan pengembangan ruas-ruas jalan-
jalan baru juga berefek-samping pada kenyamanan berkendara dan (memicu) kebutuhan
(demand) kendaraan baru yang pada akhirnya juga akan meningkatkan jumlah total
kendaraan yang beredar di jalanan. Meskipun demikian, kebijakan ini tetap perlu dan akan
terus berlanjut selama diprogramkan, anggarannya tersedia, dan lahannya masih tersisa; karena
tujuan pokoknya adalah untuk meningkatkan atau melancaran koneksi antar-lokasi yang memang
sangat diperlukan (dalam hal ini, secara umum, menurunkan tingkat kemacetan adalah bukan
tujuan utama).
Untuk mengatasi masalah kemacetan lalulintas, sebagian pihak bisa saja memberlakukan
kebijakan “three in one”. Dengan kebijakan ini, pada hari-hari kerja (Senin hingga Jum’at), pada
jam-jam sibuk (pagi [06.30 hingga 10.00] dan sore [16.00 hingga 19.00]), dan (ruas) jalan-jalan
tertentu (di kawasan pembatasan penumpang atau KPP), (khusus untuk kendaraan pribadi) hanya
kendaraan (roda-4) yang berpenumpang minimal tiga (3) orang (termasuk pengendaranya) yang
diperbolehkan. Tentu saja kebijakan ini membuat rasa ketidak-nyamanan bagi sebagian pihak
pengendara. Pada saat itu, pilihan mereka tidak banyak; [1] beralih pada kendaraan umum, [2]
menumpang teman [bisa bergantian] (dengan syarat jumlah penumpangnya lebih dari 3 orang),
[3] menempuh rute yang lain (alternatif) yang belum terbiasa, atau [4] mengajak beberapa teman
dan/atau orang lain yang bersedia [menjadi joki] hingga jumlah penumpangnya minimal 3 orang.
dan menyukai kenyamanan berkendara. Mereka perlu menekan ego, meningkatkan loyalitas, dan
mencari kendaraan umum yang rutenya sesuai dengan tujuannya. Belum lagi faktor kenyamanan
menumpang kendaraan umum (sebagai alternatif) yang masih jarang sesuai dengan selera
pribadi-pribadi yang mapan. Selain itu, pilihan ini juga beresiko bagi pemerintah atau pihak
ketiga untuk menyediakan kendaraan umum yang representatif berikut program peremajaannya
secara berkala (jika tidak ingin ditinggalkan oleh para penumpang yang berasal dari kelas-kelas
menengah ke atas); sebagian dari pengeluaran akan beralih dari para pengendara ke pemerintah
Pilihan yang kedua juga tidak mudah karena perlu persetujuan, kompromi, atau
kerjasama dengan pihak pemilik kendaraan, tanpa kendali dan kepastian, dan jumlah
penumpangnya minimal 3 orang (masih bergantung pada orang ketiga). Pilihan ini juga tidak
mudah bagi orang-orang yang sudah mapan dan memiliki gengsi yang cukup tinggi (pemilik
kendaraan roda-4 pribadi). Pilihan ketiga juga dapat dicoba demi kenyamanan dan privasi. Tetapi
karena belum terbiasa pada awalnya, rutenya berliku dan total rutenya bisa jadi lebih panjang,
tidak kecil; perlu waktu tambahan dan kesabaran untuk menemukan ruas-ruas jalan yang paling
efisien, perlu waktu yang lebih lama di perjalanan, perlu bahan bakar lebih banyak, dan sangat
potensial untuk terjebak pada (atau menyebabkan) kemacetan di lain tempat (ruas-ruas jalan
yang menjadi alternatif). Sementara itu, pilihan yang keempat juga tidak mudah; perlu biaya joki.
Meskipun demikian, bagi orang yang sudah mapan dan berkeinginan untuk tetap mengendarai
kendaraan sendiri di rute yang sudah dikuasainya, dan dengan dukungan sebagian orang yang
bersedia menjadi joki (karena kebutuhan ekonomi)31, maka pilihan ini juga dapat ditempuh.
Apakah kebijakan ini dapat berjalan lancar sesuai harapan; tanpa resistensi, tanpa biaya
& waktu tambahan, dan apakah jumlah total kendaraan pribadi yang beredar di ruas-ruas jalan
yang menjadi target pada hari kerja dan jam-jam sibuk menjadi berkurang secara signifikan
tanpa efek samping sama sekali? Jika jawabannya “ya”, muncul pertanyaan lain, seberapa lama
kondisi itu dapat bertahan? Untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan ini tentu saja diperlukan
31
Jika “pasarnya” cukup baik, nampaknya, “profesi” musiman ini bisa jadi dapat bertahan cukup lama.
cenderung berlaku untuk sementara waktu saja. Margin kenyamanan berkendara tidak sebesar
perkiraan banyak orang. Ternyata, secara logika dan fakta, kebijakan ini juga berefek samping
yang berpotensi merugikan dan/atau menimbulkan masalah baru. Oleh sebab itu, tidak
mengerankan jika kebijakan ini digantikan oleh kebijakan “ganjil-genap” (kendaraan roda-4).
Untuk mengatasi masalah kemacetan yang belum tuntas juga, sebagai pengganti
Dengan kebijakan ini, pada hari-hari kerja (Senin hingga Jum’at), pada jam-jam sibuk (pagi
[06.00 hingga 10.00] dan sore [16.00 hingga 21.00]), dan (ruas) jalan-jalan tertentu (khususnya
di kawasan pembatasan lalulintas ganjil-genap), hanya kendaraan (roda-4) tertentu saja yang
dapat beroperasi. Yang bernomor ganjil hanya dapat beroperasi pada tanggal-tanggal ganjil (1, 3,
5,.., 31) sedangkan yang bernomor genap hanya dapat beroperasi pada tanggal-tanggal genap (2,
4, 6,.., 30). Jika diasumsikan bahwa jumlah kendaraan yang bernomor genap dan ganjil sama
setengahnya. Dengan demikian, pada masa awalnya, secara teoritis, kebijakan ini memang akan
mengurangi jumlah total kendaraan roda-4 yang beredar di jalan-jalan yang menjadi target.
Benarkah dampaknya akan selalu berjalan sesuai dengan harapan tersebut? Berapa lama
dampak seperti itu mampu bertahan? Untuk menjawabnya diperlukan data pengamatan selama
beberapa waktu. Tentu saja ceritanya akan berbeda untuk setiap ruas jalan & perioda waktunya.
Yang jelas, di samping terdapat faktor kenyamanan berkendara (meskipun untuk sesaat),
sebagian pemilik kendaraan tunggal merasa tidak nyaman dengan kebijakan ini. Oleh sebab itu,
begitu esoknya mereka tak dapat lagi menggunakan kendaraan tunggalnya untuk bekerja,
berbisnis, atau mengantar anaknya ke sekolah via jalan-jalan yang menjadi target, maka yang ada
hanya pilihan-pilihan berikut: (1) langsung beralih pada kendaraan umum (pinjaman atau
sewaan) yang sudah ada (termasuk yang berbasis aplikasi online) sambil berfikir bagaimana
tindakan selanjutnya untuk hari-hari berikutnya; (2) berfikir dan berusaha untuk membeli
kendaraan baru yang sejenis (tetapi dengan nomor polisi yang melengkapi yang sudah ada).
Kedua pilihan ini tentu saja memiliki resiko tersendiri; perlu waktu, biaya, energi, dan
pertimbangan yang matang baik bagi pemerintah lokal maupun masyarakat pemilik kendaraan
tunggal yang menjadi target. Agar mayoritas anggota masyarakat mau dan beralih menggunakan
kendaraan umum, pemerintah daerah atau pihak ketiga perlu terlebih dahulu menyediakan
sejumlah kendaraan yang representatif dengan rute-rutenya yang melewati jalan-jalan yang
menjadi target. Sementara itu, bagi pengendara yang mampu dan merasa lebih nyaman dengan
kendaraan pribadi, mereka akan segera membeli kendaraan baru sejenis dengan nomor yang
komplementer dengan nomor kendaraan yang sudah dimilikinya. Artinya, konsekuensi dari
kedua hal ini juga akan berakibat pada peningkatan kebutuhan (dan pembelian) kendaraan-
beredar di jalan pun kembali tak terbendung, dan fenomena kemacetan pun terulang kembali
paska kebijakan pembatasan “ganjil-genap” bagi kendaraan roda-4 pribadi. Menanggapi masalah
ini, sebagian pihak juga mewacanakan usulan kebijakan sejenis bagi kendaraan roda-2 pribadi di
jalan-jalan tertentu sebagai solusi (sebagai pelengkap bagi kebijakan pembatasan kendaraan
roda-4 pribadi yang sudah ada). Apakah kebijakan ini akan berdampak efektif pada penurunan
tingkat kemacetan dan meningkatkan kenyamanan dalam berkendara dalam jangka panjang?
Tentu saja, untuk menjawabnya, juga diperlukan data pengamatan beberapa periode beserta
kajiannya.
tidak sesederhana kendaraan roda-4 pribadi; potensi tantangannya jauh lebih besar. Sebab,
jumlah atau populasi kendaraan yang menjadi target menjadi jauh lebih besar dan bervariasi.
Selain itu, segmen pengendara kendaraan roda-2 jauh lebih luas hingga (potensi) pelaksanaan
lebih besar.
Mayoritas pengguna kendaraan roda-2 berasal dari kalangan menengah ke bawah. Hanya
sebagian kecil yang berasal dari kelas atas. Belum lagi jika terdapat resistensi dan/atau demo
(masalah susulan) dari elemen-elemen masyarakat dengan berbagai bentuknya. Banyak siswa
atau pelajar, mahasiswa, pengusaha kecil-menengah, pekerja, buruh, karyawan, dan ibu rumah-
tangga (emak-emak) yang merasa tidak nyaman dengan kebijakan ini. Apalagi jika mereka harus
Apalagi jika sebagian dari mereka terganggu aktivitas ekonominya; akan muncul isu-isu
miring terkait ekonomi. Mereka keberatan dengan potensi solusi atau konsekuensi yang ada
(beralih ke kendaraan umum atau membeli motor baru dengan nomor yang komplementer).
Selain itu, jika kebijakan yang masih dalam wacana ini pun dapat berjalan dengan baik di suatu
ruas jalan (kawasan pembatasan kendaraan) hingga jalan yang bersangkutan menjadi lebih
lengang dan berkendara menjadi sedikit lebih nyaman (meskipun untuk sesaat), maka ruas-ruas
jalan lain (di luar kawasan pembatasan kendaraan) yang akan menanggung resikonya.
Fenomena kemacetan, pada kasus ini, tidak akan benar-benar berkurang, tetapi
kendaraan). Potensinya, jika kebijakan ini segera dipaksakan32 berjalan, maka hanya berlaku di
kawasan & di jam-jam tertentu saja, dan dilakukan secara bertahap; sebagai kompromi.
Potensinya, karena hambatan dan resistansinya cukup besar, maka efektivitas kebijakan ini
cenderung rendah.
32
Tentu saja, pada dasarnya, suatu kebijakan tidak akan dijalankan dengan dipaksakan.
serius. Sebagian dari itu tentu saja disebabkan oleh emisi gas buang kendaraan bermotor yang
beredar di jalanan. Dampaknya adalah munculnya berbagai penyakit (gangguan pernafasan dan
masih banyak lagi), kerusakan/pencemaran tanah, tanaman, dan air, pemanasan global,
perubahan iklim, dan lain sejenisnya. Oleh sebab itu, faktor penyebabnya perlu diminimalisir
sedangkan dampaknya perlu ditanggulangi. Sehubungan dengan hal ini, maka meskipun sama-
sama merugikan, persoalan polusi udara cenderung dianggap jauh lebih penting dan bersifat
Karena pentingnya kedua hal ini, maka beberapa pihak mewacanakan kebijakan
pembatasan kendaraan bermotor berbasiskan emisi gas buangnya33. Dengan kebijakan ini,
nantinya, diharapkan: [1] sebagian dari sumber polusi udara (kendaraan bermotor yang beredar
di jalanan) beserta dampaknya dapat dieliminasi; [2] potensi kemacetan lalulintas berkurang;
33
Yang dibahas tulisan ini adalah dampak kebijakan pembatasan kendaraan berbasis emisi gas buangnya.
Sementara bagaimana menanggulangi efek (dampak negatif) emisi gas buangnya tidak dibahas.
& nyaman.
Untuk menilai sejauh mana dampak dan efektivitas kebijakan ini, tentu saja perlu data
demikian, sebagian dari itu, nampaknya, sudah dapat diprediksi; baik berdasarkan logika umum
maupun berdasarkan pengalaman penerapan beberapa kebijakan sejenis pada masa yang lalu.
Adapun sebagian dari prediksi itu adalah: [1] diperlukan waktu & energi yang besar untuk
kerumunan manusia beserta kendaraannya meskipun untuk sesaat); [2] sejak di masa persiapan
sudah diperlukan banyak personil penguji, alat uji, dan tempat uji emisi dan gas buang kendaraan
bermotor (biaya, waktu, personil, dan lokasi); [3] sebagian pengendara (yang kendaraannya tidak
lolos uji emisi secara mandiri) segera menservis atau mengganti sebagian dari onderdilnya (agar
lolos uji pada tahap berikutnya), atau bahkan membeli kendaraan baru yang dipastikan akan
lolos-uji emisi (pengeluaran tambahan bagi masyarakat); [4] sebagian dari kendaraan bermotor
akan beralih menjadi kendaraan listrik (bisnis penyedia kendaraan beserta bengkel-bengkelnya
mengalami perubahan) hingga jumlah total kendaraan yang beredar pun sangat berpotensi untuk
bertambah banyak34 (justru akan berpotensi menyebabkan kemacetan); [5] adanya resistensi dari
masyarakat (karena sebagian kendaraan mereka tidak lagi dapat digunakan35, tingkatan atau
34
Jika jumlah total kendaraan yang beredar tidak bertambah maka kendaraan lama menjadi “bangkai”; perlu
penanganan tersendiri (mau didaur ulang atau dibuang kemana).
35
Diperlukan banyak waktu, energi, biaya, dan kesabaran untuk mentransformasikan seluruh kendaraan bermotor
masyarakat dari kondisi semula ke kondisi yang ramah lingkungan. Tidak semua elemen masyarakat sanggup untuk
melakukan hal ini, sementara itu kebanyakan kendaraan tua mereka menjadi tidak dapat digunakan lagi.
diberlakukan (hanya masalah waktu saja). Tetapi karena sebagian dari dampaknya justru
berpotensi untuk memberatkan masyarakat (hingga mengundang resistensi yang kuat), maka
besar kemungkinan akan terjadi kompromi (bertahap, tarik-ulur, parsial, dan temporal) pada
pelaksanaannya (seperti halnya kebijakan sebelumnya yang sejenis); hanya diwajibkan pada
kawasan yang terbatas (ruas-ruas jalan tertentu), pada jam-jam tertentu (sibuk) saja, dimulai
dari kendaraan pribadi roda-4, dan seterusnya. Oleh sebab itu, dapat diprediksi bahwa
efektivitas kebijakan seperti ini (terkait penurunan tingkat kemacetan) cenderung signifikan di
stagnan (menuju keseimbangan atau kestabilan yang baru) di sekitar titik atau angka tertentu.
Nampaknya, urgensi dan ancaman dari dampak-dampak polusi udara dan fenomena
kemacetan belum dapat “mengalahkan” kondisi dan prilaku masyarakat luas yang cenderung
Electornic road pricing [ERP] adalah kebijakan sistem jalan berbayar36; pengendara
kendaraan pribadi harus membayar jika melewati (ruas-ruas) jalan-jalan tertentu37; tidak berbeda
jauh dengan jalan-tol dalam kota. Kebijakan ini, pada dasarnya, bertujuan untuk mendorong para
pengguna kendaraan pribadi agar segera beralih menggunakan kendaraan umum; yang pada
Kebijakan ini tentu saja berpengaruh pada prilaku para pengendara yang sebelumnya
selalu melewati ruas-ruas jalan yang kemudian dijadikan kawasan ERP. Pilihan mereka tidak
banyak: [1] tetap menggunakan kendaraan pribadi di ruas-ruas jalan itu seperti biasa
(konsekuensinya berbayar plus biaya bahan bakar seperti biasa); [2] beralih menggunakan
kendaraan umum (hanya mengeluarkan biaya transport); atau [3] tetap menggunakan kendaraan
pribadi tetapi dengan rute alternatif (yang tidak berbayar tetapi juga beresiko terlambat dan
menambah biaya bahan bakar). Sehubungan dengan hal ini, tidak mudah untuk menebak
skenario para pengendara dan bagaimana dinamikanya; diperlukan sampel data untuk beberapa
periode.
persiapan pihak penyelenggara. Pilihan pertama cenderung diambil oleh para pengendara pribadi
yang sudah mapan dan tidak mau repot-repot untuk mencari ruas-ruas jalan alternatif dengan
segala resikonya. Mereka tidak keberatan dengan kompensasinya. Pilihan kedua bisa diambil
dengan asumsi bahwa kendaraan umum yang ada sudah cukup nyaman, melayani rute yang
36
Yang diterapkan secara elektronik.
37
Diutamakan jalan-jalan tertentu yang dianggap padat dan dengan tarif progresif; pada kondisi padat dan jam-
jam sibuk akan dikenakan tarif yang lebih tinggi.
ketiga bisa dicoba beberapa kali oleh pengendara pribadi untuk mengevaluasi rute-rute efektif di
luar ruas-ruas jalan yang berbayar. Jika ditemukan dan ternyata lebih murah, maka rute itulah
yang akan menjadi pilihan seterusnya (menghindari kawasan ERP). Tetapi jika rute itu juga tidak
ditemukan, maka mereka akan kembali ke pilihan pertama (menggunakan kendaraan pribadi di
Untuk menganalisa kebijakan ini, diperlukan pengamatan beberapa periode sebelum dan
sesudah kebijakan ini berlaku; berapa jumlah kendaraan pribadi, kendaraan umum, penumpang
kendaraan umum yang melintas, dan berapa biaya rata-rata kendaraan untuk memasuki kawasan
ERP. Berdasarkan analisa data inilah nantinya dapat dihitung efektivitas dan peningkatan biaya
transportasi sebagai dampak kebijakan ini. Meskipun demikian, nampaknya, dampak kebijakan
yang cenderung akan terus dipertahankan (dalam jangka panjang) ini pada tingkat kemacetan,
secara perlahan akan mengkerucut pada persentase tertentu yang bisa berbeda secara lokal (ruas-
ruas jalan mana saja), temporal (kapan saja periode waktunya), dan situasional (keberadaan
pendapatan pemerintah daerah yang bersangkutan dan/atau pihak ketiga, terlepas dari seberapa
8. Diskusi
Pada dasarnya, arus selalu mengarah dari hulu ke hilir; sesuai dengan topografinya.
Demikian pula halnya dengan kecenderungan arah dan sebaran suatu masalah; selalu menuju dan
berakulumasi di hilirnya. Selama masih tersisa masalah di hulunya, maka masalah di hilirnya
tidak akan pernah berhenti; apapun upaya (kebijakan atau solusi) yang dilakukan. Selama
“atap rumahnya bocor”, maka selamanya “laintainya” tidak akan pernah bersih; harus
selalu disapu. Sementara itu, petugas yang menyapu lantai hampir selalu berbeda dengan
petugas yang berkewajiban untuk membetulkan genteng yang bocor. Mereka memiliki
kewenangan masing-masing.
Fenomena kemacetan sangat merugikan banyak pihak; selalu menjadi masalah di banyak
tempat. Sebagian dari fenomena itu bersifat unik38, khas, dan/atau memiliki sebab-sebab tertentu
hingga bisa jadi setiap kasusnya (pada periode waktu dan ruas jalan yang berbeda) memerlukan
penanganan (solusi atau kebijakan) yang berbeda. Sehubungan dengan hal ini, maka sudah
beberapa kebijakan yang pernah, sedang, masih, dan akan dirancang dan dilaksanakan untuk
menanggulanginya.
kebijakan tersebut masih saja belum memuaskan; durasi dampaknya tidak selama perkiraan
38
Biasanya terkait dengan ruas-ruas jalan yang relatif pendek, keberadaan rambu/lampu lalulintas, keberadaan
landmarks tertentu yang terdapat di sekitarnya, dan/atau peristiwa temporer tertentu yang terkadang terjadi
seperti halnya demo mahasiswa/masyarakat, kecelakaan lalulintas, antrian BBM, pasar tumpah, dan lain
sejenisnya.
sementara waktu, biaya, dan energi yang telah dihabiskan cukup banyak. Hal ini terbukti dengan
silih bergantinya kebijakan sejenis yang telah dibuat dengan tujuan yang kurang-lebih sama;
tetapi masalahnya selalu tidak tuntas (fenomenanya berulang kembali). Memang, setiap solusi
memiliki batas-batas tertentu. Di dunia nyata, tidak ada aturan, kebijakan, atau solusi yang
sempurna; akan ada saja kekurangannya. Demikian pula halnya dengan kebijakan-kebijakan
terkait kemacetan.
Jika direnungkan, pada kasus-kasus kemacetan parah dan sistematik (selalu berulang,
periodik, atau tetap di jam-jam dan lokasi-lokasi tertentu) kemungkinan besar terdapat beberapa
sebab mengapa efektivitas dan dampak positif sebagian dari kebijakan seperti itu cenderung
menurun40 dan tidak berumur panjang (digantikan yang lain), sementara yang lain (tetapi masih
sejenis) efektifitasnya cenderung stagnan di angka-angka tertentu41 tetapi dapat bertahan dalam
jangka panjang (karena urgensinya)42: [1] tidak sepenuhnya didasari oleh pertimbangan yang
menyeluruh (holistik); [2] masih menyisakan masalah yang bersifat sistematik (bawaan); [3]
(secara sadar atau tidak sadar) dirancang (dan dilaksanakan) untuk mengatasi (sementara waktu)
gejalanya saja (dan bukan benar-benar masalahnya43); [4] masih adanya faktor atau variabel
pengendali (berpengaruh besar) yang belum/tidak diperhitungkan44, dan/atau [5] kondisi ketidak-
39
Untuk menambah pemahaman mengenai potensi-potensi dampak-dampak relatif positif dan negatif dari
kebijakan yang dimaksud, perhatikan gambar-gambar (diagram) sebab-akibatnya.
40
Tidak sebesar perkiraan banyak orang.
41
Pertanda bahwa kebijakannya memang penting [urgen] tetapi karena resistansi atau kondisi masyarakatnya
tidak/belum siap, maka nampaknya pencapaian efisiensi bagi penurunan kemacetan juga tidak tinggi; stagnan di
angka-angka tertentu.
42
Seperti halnya kebijakan yang terkait dengan polusi atau pencemaran udara (yang tidak sekedar terkait urusan
kemacetan lalulintas).
43
Masalahnya belum dipahami secara utuh dan/atau belum sepenuhnya dimasukkan (diimplementasikan) ke
dalam kebijakan yang dibuat & dilaksanakan.
44
Dimana variabel pengendali ini, ironisnya, di luar konteks atau kewenangan pihak perancangnya. Yang nampak
hanya pengaruhnya saja tanpa dapat menyentuhnya sama sekali. Jadi masalah seperti ini harus diselesaikan
(bersinergi) dengan kebijakan-kebijakan yang lain. Kemacetan parah, sistematik, dan menetap di sekitar lokasi-
untuk menjalankan kebijakan yang bersangkutan (hingga sebagian menimbulkan resistensi dan
Bisa dimaklumi bahwa sebagian dari fenomena memiliki dinamika dan ketidak-pastian
yang cukup besar hingga tidak mudah untuk dipahami sepenuhnya dengan benar dalam waktu
singkat. Oleh sebab itu, kebanyakan pemahaman terhadapnya masih saja bersifat parsial. Pada
kondisi itu, masalahnya tidak mudah untuk diformulasikan atau dimodelkan secara tepat.
Sayangnya, terkadang, sebagian pengamat (analis) juga keliru dalam menafsirkan masalahnya;
gejalanya (akibat) sudah dianggap sebagai masalah (sebab), sedangkan masalah yang sebenarnya
(sebab) justru belum banyak “tersentuh”. Jika pada saat itu juga masalahnya dipaksakan untuk
dimengerti atau setidaknya terlalu disederhanakan, dan segera diintervensi oleh suatu kebijakan
(sebagai solusi cepat), maka tidak lama kemudian sebagian dari gejalanya tetap akan muncul
point di atas, bahwa sebenarnya produk analisis yang dihasilkannya masih berpotensi tidak
lokasi tertentu dan jam-jam tertentu, sebagai misal, tidak cukup diatasi dengan “kebijakan kemacetan biasa” atau
“rekayasa lalulintas biasa”. Masalah kemacetan seperti ini perlu analisis lebih dalam. Akibatnya, bisa jadi
memerlukan “kebijakan besar” (di luar kebijakan lalulintas/kemacetan biasa) yang berkonsekuensi pada
pemindahan atau relokasi sebagian dari pemukiman (populasinya) berikut lahan-lahan & landmarks yang terkait
dengan fasilitas-fasilitas kerja dan pendukung ekonominya. Ini keputuhan besar yang jarang terjadi. Jika tidak
dilakukan, maka selamat menikmati kemacetan selamanya. Berkaitan dengan hal ini, maka adanya pemindahan
IKN (Ibu Kota Negara) ke pulau Kalimantan adalah contoh nyata dari kebijakan besar dan berani. Dengan
pemindahan ini, meskipun masih memerlukan waktu dan kesabaran (proses), Jakarta akan mengalami dinamika-
dinamika menuju keseimbangan (kondisi-kondisi ekonomi, sosial, tenaga kerja, kemacetan, polusi, dan lain
sejenisnya) baru yang lebih baik dari pada saat ini. Demikian pula halnya dengan IKN yang baru, meskipun penuh
tantangan, potensi lebih baiknya jauh lebih besar. Orang Indonesia tidak banyak yang mau berinisiatif dan
kemudian berani mewujudkan ide-ide besar. Inilah tantangan bagi bangsa Indonesia sejak dahulu.
45
Sejak di masa perancangannya (analisis), terutama pada kasus kebijakan yang urgen sementara kondisi
masyarakat & insfrastruktur pendukungnya tidak/belum siap, bisa jadi sudah terjadi (sedikit) “kompromi”; apalagi
ketika kebijakannya telah berjalan beberapa periode. Contoh kebijakan yang mungkin seperti ini adalah kebijakan
pembatasan kendaraan bermotor (roda-4 dan roda-2) yang berbasis emisi gas buang; meskipun kebijakannya
sudah mendesak, banyak elemen masyarakat yang tidak/belum siap biaya untuk menservis, mengganti onderdil,
atau bahkan membeli kendaraan (listrik) baru yang bebas atau normal polusi. Akhirnya, pelaksanaan kebijakan
semacam ini kemungkinan (komprominya) dilakukan secara bertahap dan hanya berlaku di kawasan tertentu saja.
berlangsung lama), biasanya, sebagian dari mereka tetap melanjutkannya. Sebab, mereka berfikir
bahwa solusi yang ideal (yang menuntaskan masalah) cukup sulit hingga belum ditemukan.
Selain itu, solusi yang ada merupakan bagian dari serangkaian upaya yang hasilnya masih perlu
dibuktikan (diuji-cobakan) di dunia nyata. Yang paling penting, bagi mereka, sudah terdapat
alibi (alasan dan bukti kuat) bahwa mereka telah bekerja keras dalam menanggulangi suatu
Seperti telah dijelaskan di muka bahwa fenomena kemacetan sangat dipengaruhi oleh
(jumlah) total kendaraan yang beredar. Oleh sebab itu, sebelum kebijakan penanggulangan
(kebijakan) prasyarat “penyaringan” (filtering atau normalisasi) sedemikian rupa hingga dapat
dipastikan bahwa hanya kendaraan-kendaraan yang normal, syah, atau layak47 saja yang boleh
beredar di jalanan; kriteria atau definisi kendaraan yang menjadi target kebijakan pembatasan
Kebijakan yang bersifat pendahuluan ini (bagi kebijakan-kebijakan lain setelahnya) tentu
saja juga nampak bernuansa penegakkan hukum, pendisiplinan, penertiban polusi (udara dan
46
Sebagian dari perancang, biasanya, secara logika, prediksi awal, dan/ atau insting, sedari awal sudah dapat
memperkirakan potensi mengenai sejauh mana produk/sistemnya dapat berperan.
47
Sebagaimana diketahui bahwa, akhir-akhir ini, tidak sedikit dapat ditemui di ruas-ruas jalan dimana kendaraan-
kendaraan yang nomor polisinya dipasang tidak pada tempatnya (agak sulit terlihat), tidak terpasang secara
lengkap (hanya dipasang di depan), tidak terpasang sama sekali, sudah terpasang tetapi sudah kadaluarsa (pajak
tahunannya belum dibayar) atau mati (tidak dibayar sama sekali), menggunakan pelat (nomor) palsu, sebagian
(kecil) kendaraan pribadi tetapi nampak dari luar sebagai (seperti) kendaraan dinas, suara knalpot kendaraan
terlalu keras (mengganggu masyarakat), asap knalpotnya kotor & hitam (emisi gas buangnya di luar toleransi),
surat-suratnya sudah tidak ada (kendaraan bodong dan/atau yang terkait dengan peristiwa kriminal),
spesifikasinya sudah berubah secara signifikan dengan yang tertera pada suratnya (warnanya, bentuknya, atau
fungsinya yang berubah secara signifikan), dan/atau sebagian kendaraan beroperasi di luar jam-jam operasi yang
seharusnya (misalkan truk-truk yang seharusnya beroperasi di jalan-jalan tertentu saja di waktu-waktu yang telah
ditentukan). Jika kebijakan ini dilaksanakan dengan rutin dan tegas, maka kendaraan yang beredar agak berkurang,
tingkat disiplin para pengendara & masyarakat meningkat, dan resiko kriminalitas cenderung menurun.
kemacetan. Jika ternyata kebijakan semacam ini memang sudah ada sebelumnya, maka yang
lama itu perlu dilengkapi (di-update)48 dan kemudian dilaksanakan kembali secara berkala
(konsisten). Dengan kebijakan ini, maka (jumlah) total kendaraan yang beredar di jalanan akan
kendaraan di lapangan) yang penting dan normatif ini pun berpotensi menyebabkan antrian
kendaraan & kerumunan manusia yang pada akhirnya menjadi bagian dari penyebab kemacetan
9.2 Ruas Jalan yang Pendek, Sempit, Rambu, dan Permukaan yang Tidak Datar
Sebagaimana telah dibahas, pada konteks ini, luas wilayah diasumsikan tidak bertambah.
Sementara itu, pada kenyataannya, sebagian besar ruas jalan (non-tol) yang berada di Indonesia
48
Pemeriksaannya bukan sekedar keberadaan surat ijin mengemudi (SIM) dan kelengkapan surat-surat
kendaraannya (STNK), tetapi ditambahkan dengan beberapa parameter yang mudah dikenali dengan cepat dan
secara visual seperti halnya pemeriksaan nomor polisi (terkait pajak kendaraan), knalpot (tertkait polusi udara &
suara), dan lain sejenisnya. Jadi, item-item atau kriteria (kebijakan) terkait emisi karbon bisa saja dimasukkan ke
dalam kebijakan “penyaringan” ini (di lain pihak, emisi karbon sebenarnya merupakan masalah yang lain dan lebih
luas, tetapi kemudian diwacanakan untuk dijadikan kebijakan khusus atau tersendiri untuk membatasi kendaraan
yang beroperasi).
49
Oleh sebab itu, teknisnya juga perlu diatur sedemikian rupa.
pendek & sempit karena beberapa sebab (diantaranya adalah karena pengembangan ruas jalan
terkendala oleh keberadaan bangunan atau pemukiman [landmarks] yang telah ada); setiap
beberapa puluh hingga ratusan meter akan dijumpai persimpangan atau perpotongan jalan
(terutama karena adanya ruas-ruas jalan atau gang untuk keluar & masuk komplek pemukiman
atau pertokoan). Hal ini tentu saja juga tidak lepas dari aspek-aspek budaya, daya-beli
masyarakat, kebijakan tataruang, dan lain sejenisnya. Oleh sebab itu, singkat cerita, para
pengendara perlu selalu berhati-hati dan mengurangi kecepatan (atau bahkan menghentikan)
kendaraannya setiap kali mendekati ruas-ruas jalan yang menanjak (pandangan ke depan
manusia.
Apalagi jika di setiap perpotongan ruas jalan itu juga dipasangi rambu/lampu lalulintas
hingga jarak-jarak antar-lampu lalulintas itu tidak terlalu jauh yang pada akhirnya akan memaksa
para pengendara harus memperlambat laju kendaraannya (atau bahkan berhenti) untuk beberapa
saat beberapa kali50. Tentu saja hal ini akan menyebabkan fenomena kemacetan lalulintas secara
50
Biasanya, jika kita mulai memasuki lampu lalulintas dalam kondisi lampu merah menyala, dengan kecepatan
normal, maka kita akan mendatangi lampu lalulintas berikutnya juga dalam kondisi lampu merah menyala.
becek, banjir, dan adanya peristiwa tertentu di jalan (terjadi pencampuran beberapa jenis
kendaraan [truk, bis, mobil, motor, sepeda, dan pejalan kaki], kumpulan PKL, demo masyarakat,
kecelakaan, tanah longsor, perbaikan jalan, dan sejenisnya) yang menyebabkan kerumuman
manusia. Ini semua merupakan masalah di hulu bagi masalah kemacetan (hilir).
Faktor penyebab kemacetan sistematik tidak hanya ruas-ruas jalan yang relatif pendek,
sempit, dan menanjak (naik) beserta jarak-jarak lampu-lampu lalulintasnya yang berdekatan.
Keberadaan landmarks tertentu (yang detilnya telah disebutkan di atas) dalam jangka panjang di
ruas-ruas jalan tertentu dan berposisi tetap juga menjadi penyebab fenomena kemacetan
sistematik (hal ini juga termasuk masalah hulu). Faktor-faktor ini beserta masalah-masalah
turunan yang ditimbulkannya (termasuk kerumunan manusia dan kahirnya kemacetan) cukup
sulit untuk dipecahkan (menyangkut faktor alam dan berbagai pihak & kepentingan),
diformulasikan, dan dibuatkan solusinya (harus ada pihak-pihak yang bersedia untuk mengalah,
misalnya dengan pembebasan lahan, relokasi pasar & pemukiman, dan lain sejenisnya).
diberlakukan di semua ruas jalan dan di setiap waktu; hanya ruas-ruas jalan-jalan tertentu saja
(kawasan yang menjadi prioritas) dan di jam-jam sibuk. Bisa jadi hal ini dimaksudkan sebagai
langkah uji-coba, pentahapan, atau karena sebab telah terjadinya sebuah kompromi. Akibatnya:
(1) bisa jadi, ruas-ruas jalan di depan pasar tradisional, kompleks pertokoan, mall, dan lain
sejenisnya tidak/belum dikenakan kebijakan secara penuh (untuk mengurangi efek negatifnya
pada aktivitas ekonomi). (2) jika semua ruas jalan dikenakan untuk setiap waktu memang tidak
mungkin; akan besar resistansi atau resikonya. (3) jika sebagian ruas-ruas jalan dikenakan
kebijakan, maka pengaruhnya juga bisa berpindah ke ruas-ruas jalan-jalan yang lain; masalahnya
tidak hilang tetapi bepindah lokasi. (4) berdasarkan kenampakkannya, kebijakan semacam ini
memang tidak dimaksudkan untuk menuntaskan masalah kemacetan secara keseluruhan (100%)
di semua ruas jalan untuk selamanya; tujuannya masih bersifat parsial dan instan (temporer).
Variabel populasi (manusia) tentu saja dengan sendirinya akan meningkatkan dampak
(langsung atau tidak langsung) dan/atau kebutuhan (demand) apa saja; termasuk sampah, limbah,
pemukiman), alat transportasi, dan lain sejenisnya. Jadi, pada kasus ini, makin besar populasinya,
makin besar pula (potensi) kebutuhan kendaraannya. Jika faktor ini juga didukung oleh daya-beli
masyarakat dan penawaran berbagai jenis kendaraannya, maka jumlah kendaraan yang beredar di
jalanan akan segera bertambah pesat; terlepas dari baik-buruk kondisi ruas-ruas jalannya. Sebab,
kebutuhan alat transportasi sudah tidak lagi dapat dibendung dan telah menjadi rutinitas seperti
halnya makan dan minum; kebutuhan pokok. Hal ini memang logis.
beredar di ruas-ruas jalan sebagai akibat adanya kebijakan pembatasan kendaraan, dari waktu-
ke-waktu, cenderung lebih rendah dari pada peningkatan (jumlah) total kendaraan yang
disebabkan oleh peningkatan kebutuhannya akibat populasi yang tumbuh lebih cepat (karena
populasi yang memang sudah besar, pertumbuhannya yang pesat, dan urbanisasi yang masif dari
tahun-ke-tahun). Kalau pun kebijakannya dianggap efektif, maka hal itu cenderung terjadi di
perioda awal yang relatif singkat. Tetapi seiring dengan berjalannya waktu, efektifitas kebijakan
Artinya, pada kasus-kasus seperti ini, (jumlah, angka pertumbuhan, daya-tarik perkotaan,
dan faktor urbanisasi) populasi menjadi variabel yang sangat berpengaruh (menjadi faktor
pengendali). Populasi adalah masalah hulu (di awal dan menjadi penyebab utama). Sayangnya,
meskipun perlu dikendalikan, variabel yang penting ini tidak dapat disentuh oleh kebijakan-
kebijakan yang menjadi concern. Kemacetan adalah masalah hilir (akibat). Hal inilah yang
perlu disadari sejak awal. Kewenangan mengenai (urusan) populasi berada di luar (konteks)
lalulintas, kendaraan, dan kemacetan. Masalah populasi, kepadatan, dan sebarannya beserta
berurusan dengan satu atau lebih variabel yang sebenarnya merupakan akibat (gejala masalah
Pengaruh populasi berikut sebarannya tentu saja berdampak pada kepadatan penduduk
dan sebaran beberapa tipe landmarks yang berpotensi menyebabkan banyak kerumunan manusia.
Tentu saja landmarks seperti ini tidak (selalu) mudah untuk ditata-ulang. Bahkan, keberadaannya
sering kali menimbulkan konflik-konflik horizontal. Oleh sebab itu, dampak tidak langsung dari
populasi yang besar ini juga dapat menyebabkan fenomena kemacetan secara sistematik.
Meskipun demikian, dampak ini, walaupun mudah dipahami dan disadari, tidak mudah untuk
diformulasikan.
Dengan populasinya yang sudah besar, tentu saja Indonesia memerlukan banyak
kendaraan sebagai alat transportasi. Demikian pula dengan pihak-pihak lain yang sudah biasa
ini. Oleh sebab itu, mereka (dealer, pabrikan, dan sejenisnya) selalu menawarkan dan mensuplai
banyak bentuk, merk, dan harga kendaraan yang dapat dipilih; terutama roda-2 dan roda-4. Tentu
di TV (terutama balap-balap motor & mobil) & media online (termasuk video). Masyarakat
tergiur; demand kendaraan meningkat. Selain itu, untuk meningkatkan daya-beli masyarakatnya
ketiga (hingga pembayaran dapat diangsur). Akhirnya, harga-harga kendaraan pun menjadi
sangat terjangkau oleh banyak pihak; banyak peminatnya hingga kendaraan yang beredar di
jalanan semakin banyak dalam waktu relatif singkat. Tetapi anehnya, sebagian dari pihak ketiga
Berdasarkan bahasan di atas, maka untuk mencapai efektivitas yang lebih tinggi dalam
tidak berada dalam jangkauan (di luar konteks atau kewenangan), maka diperlukan sinergi
(keselarasan)51 dengan kebijakan-kebijakan lain (yang sudah ada). Oleh sebab itu, para
51
Suatu kebijakan yang tidak selaras (bersinergi), apalagi “bentrok”, dengan kebijakan-kebijakan lain yang sudah
ada cenderung akan mengalami penurunan efektivitasnya lebih cepat; bisa mengganggu keberadaan kebijakan itu
sendiri.
yang terkait untuk mendapatkan banyak keuntungan sekaligus berpotensi untuk mendatangkan
manfaat lain bagi proses penyelesaian masalah di sektor lainnya. Jadi, sebagai misal, untuk
mengurangi dampak kemacetan (dan polusi udara akibat emisi gas buang), selain diperlukan
kebijakan pembatasan terhadap kendaraan bermotor secara langsung (yang beredar di jalanan),
faktor-faktor lain juga perlu dikendalikan (melalui kebijakan lain yang mengatur: [1] penyediaan
sistem transportasi umum yang memadai; [2] pengendalian populasi, sebaran, urbanisasinya, dan
kesempatan kerja yang merata di berbagai daerah; [3] pembatasan kendaran berbasis emisi gas
buang dan kebisingan knalpotnya; [4] tataruang yang juga mengatur kapasitas [ruas] jalan yang
optimal beserta sebaran wilayah pemukiman dan penempatan industri beserta kadar emisi yang
diijinkannya52; [5] lokasi-lokasi rambu/lamput lalulintas dan landmarks yang berpotensi untuk
Sebaik-baiknya kebijakan (solusi atau intervensi) yang dibuat tetap saja tidak akan
pernah efektif jika tidak ditaati oleh masyarakatnya (yang menjadi target). Selain itu, bisa jadi,
suatu kebijakan akan dievaluasi kembali jika akhirnya tidak ditaati oleh mayoritas
masyarakatnya. Oleh sebab itu, diperlukan kedisiplinan, mental & spiritual yang kuat, dan
52
Kebijakan terkait batasan-batasan emisi kendaraan bermotor dan industri tentu saja dibuat terpisah.
bahkan “revolusi mental”53. Bangsa yang kuat, baik, dan maju adalah bangsa yang bermental
Populasi manusia adalah variabel penting dan berpotensi akan menentukan banyak hal.
Meskipun demikian, terkadang, terdapat situasi kekecualian yang bersifat istimewa (kecelakaan,
bencana alam, wabah, atau situasi lain yang sejenis dan tergolong sebagai force majeure).
Sebagai misal, dulu, ketika pandemi Covid-19 masih berlangsung ketat, dalam kurun waktu
sekitar 2020-an hingga 2022-an, nilai-nilai variabel populasi dan jumlah kepemilikkan kendaraan
yang sudah tinggi pun tidak serta-merta (pasti dan secara langsung) menyebabkan kemacetan54.
Mengapa? Pada saat itu, fenomena yang muncul adalah sepinya ruas-ruas jalanan di seluruh
dunia dari manusia dan kendaraan. Kondisi pada saat itu disebabkan oleh beberapa faktor: [1]
sebagian orang meninggal dunia akibat Covid-19 dan komplikasinya dengan penyakit bawaan
53
Sehubungan dengan hal ini, maka aktivitas-aktivitas pendisiplinan dan pengembangan mental-spiritual seperti
halnya latihan-latihan kepemimpinan, survival, olahraga beladiri, resimen mahasiswa, semacam wanadri atau
pecinta alam, wajib-militer, dan lain sejenisnya juga sangat diperlukan.
54
Kejadian ini membuktikan bahwa populasi yang sudah besar dan/atau tingkat kepemilikkan kendaraan yang
tinggi tidak serta-merta (pasti) menyebabkan fenomena kemacetan. Masih terdapat faktor (variabel-variabel) lain
yang menyebabkan (memicu) kedua variabel penting ini “berinteraksi” hingga akhirnya dapat dikatakan
“berbanding lurus” dengan kendaraan yang beredar di jalanan dan akhirnya fenomena kemacetan.
[isoman] atau di rumah sakit/klinik); [3] banyak orang yang tinggal di rumah (karena takut
tertular, ter-phk55, belajar secara online (daring), atau bahkan sedang mendapat giliran work from
home/anywhere [WFH/A]; [4] adanya kebijakan [syarat] harus sudah divaksin bagi yang akan
besar (PSBB) secara ketat, protokol kesehatan, dan lain sejenisnya. Semua itu menyebabkan
(seolah) populasi berkurang, orang yang bepergian berkurang, penggunaan kendaraan berkurang,
kebutuhan kendaraan [baru] berkurang, dan jumlah total kendaraan yang beredar juga sangat
jauh berkurang.
menentukan; yaitu, kebutuhan (minat atau demand), durasi, frekuensi, dan hambatan (rintangan
atau larangan) bepergian (berkendara). Jadi, jika populasinya besar, daya-beli masyarakatnya
tinggi, dan kepemilikkan terhadap kendaraannya juga tinggi, seharusnya, jumlah total kendaraan
yang beredar di jalanan tidak akan besar (jauh berkurang) jika nilai-nilai variabel-variabel
tambahan ini, di dalam model, secara teori, dapat dikendalikan untuk mencegah fenomena
kemacetan lebih lanjut. Meskipun demikian, nampaknya, variabel-variabel ini bersifat kompleks
55
Pemutusan hubungan kerja (berhenti bekerja).
56
Variabel-variabel kebutuhan, durasi, dan frekuensi berkendara cenderung bersifat internal (dari diri sendiri) dan
berbeda (unik) untuk setiap individu. Meskipun demikian, untuk yang berdekatan atau yang memiliki pola-pola
tertentu (misalnya sesama petani, mahasiswa, pelajar, karyawan, pekerja, buruh, dan lain sejenisnya),
kemungkinan besar memiliki unsur-unsur keserupaan atau irisan aktivitas yang sama. Sedangkan variabel
hambatan lebih cenderung bersifat eksternal (berasal dari luar individu) meskipun juga bisa bersifat internal
(hambatan untuk mengendara berasal dari diri sendiri).
sejenisnya menjadi variabel tunggal “kebutuhan berkendara” (maksimum), dan [2] bagaimana
menterjemahkan segala hambatan menjadi variabel tunggal “indeks bepergian”. Oleh sebab itu,
“indeks bepergian” (nilai-nilainya merupakan bilangan real antara 0.0 [hambatan maksimum]
Lain halnya jika kita berada di tempat atau wilayah yang relatif masih kosong seperti
halnya di sebagian area di pulau-pulau Sumatera, Kalimantan, Sulawesi, Papua, dataran Siberia,
gurun Sahara, pada rumput Serengeti, dan lain sejenisnya. Di wilayah-wilayah seperti itu,
perencanaan dapat dilakukan lebih leluasa hingga hasilnya berpotensi mendekati ideal. Hal itu
perekonomian), jalan, dan infrastruktur lainnya sama sekali belum terbentuk atau setidaknya
masih sedikit hingga tidak terlalu menjadi batasan (kekangan) yang ketat bagi proses-proses
pengembangan atau pembangunan. Selain itu, di area-area ini, potensi konfliknya (antar-
rupa (jalan lebih panjang dan lebar, lokasi-lokasi landmarks lebih tertata rapi, dan lain
sejenisnya) hingga memungkinkan lebih banyak kebutuhan masyarakat yang terpenuhi dengan
baik & nyaman; termasuk kebutuhan tingkat kemacetan yang rendah (kenyamanan berkendara