Anda di halaman 1dari 39

Tinjauan Sekilas

Beberapa Kebijakan Pembatasan Kendaraan


Terkait Fenomena Kemacetan Lalulintas

Oleh:

Eddy Prahasta
eddypra2000@gmail.com

Bandung, Indonesia

(September 2023)
Pada konteks formal, istilah “kebijakan” merujuk pada seperangkat aturan, pedoman,

atau prinsip yang ditetapkan oleh pihak otoritas (pemerintah, pemerintah daerah, organisasi, atau

institusi tertentu) untuk mengatur prilaku atau tindakan tertentu sedemikian rupa hingga

tujuannya tercapai atau permasalahannya (terkait) terselesaikan. Meskipun demikian, secara

sederhana, istilah ini bisa jadi merupakan ketentuan atau aturan yang mengatur suatu prilaku

hingga sesuai dengan yang diinginkan. Oleh sebab itu, sebelum kebijakannya dibuat, tujuan atau

permasalahan yang akan diselesaikannya beserta potensi-potensi dampaknya perlu terlebih

dahulu dipahami dengan baik oleh pihak-pihak yang bersangkutan.

Bisa jadi1, untuk mengatasi suatu masalah (memenuhi tujuannya), diperlukan lebih dari

satu kebijakan yang berjalan secara paralel dan/atau serial. Mengapa? Untuk mempercepat atau

memperbesar peluang perolehan tujuannya. Di lain pihak, bisa jadi suatu kebijakan akhirnya

(seolah) tidak berdampak. Hal ini antara lain disebabkan oleh konten kebijakannya yang kurang

realistis, pelaksanaannya tidak efektif (berjalan parsial, terjadi tarik-ulur, dan kompromi),

dampaknya justru merugikan, ketidak-siapan pihak-pihak yang menjadi subjek kebijakan itu

sendiri, atau terdapat masalah hulu di luar jangkauan dan kendali kebijakan itu sendiri.

Penerapan kebijakan tentu saja terdapat di berbagai bidang. Di antaranya adalah bidang-

bidang ekonomi, politik, pendidikan, keuangan (moneter), eksport-import, transportasi, dan

termasuk di sektor lalu-lintas. Kebijakan di bidang lalu-lintas ini memiliki tujuan kelancaran

berlalulintas (transportasi), atau dengan kata lain, kebijakan ini bertujuan utama untuk

menyelesaikan permasalahan kemacetan lalu-lintas. Inilah masalahnya. Di kota-kota (wilayah)

tertentu, masalah kemacetan masih tidak tertanggulangi meskipun beberapa kebijakan sudah

pernah dibuat dan dilaksanakan. Dalam kaitan ini, pemahaman atas permasalahannya secara

benar dan lengkap adalah yang paling penting, baru kemudian urusan kebijakannya.
1
Beberapa fakta/pengalaman menunjukkan hal ini.

Logika & Analisis Sederhana Halaman: 1


1. Masalah Hulu

Masalah hulu adalah masalah awal atau pertama (sebelumnya) yang perlu terlebih dahulu

diselesaikan sebelum masalah berikutnya (masalah hilir). Jika tidak, maka masalah ini sangat

berpotensi menimbulkan masalah-masalah berikutnya beserta komplikasinya; makin berat untuk

mengatasinya. Salah satu contoh yang sering disebut banyak orang sebagai masalah hulu adalah

populasi manusia yang besar beserta pertumbuhannya yang pesat.

Populasi manusia (masalah hulu), terutama di kota-kota besar, makin besar dan padat dari

waktu ke waktu. Setidaknya, hal ini disebabkan oleh beberapa faktor: (1) luas wilayah yang

relatif tetap; (2) populasi yang memang sudah besar beserta pertumbuhannya yang tinggi; (3)

daya tarik (fasilitas pendidikan yang baik, layanan pemerintahan yang lengkap, sarana

transportasi lengkap, fasilitas & layanan kesehatan leboh baik, penyediaan kesempatan kerja

yang luas, dan potensi pendapatan yang lebih tinggi) kota sangat besar; dan (4) faktor urbanisasi

yang semakin deras. Oleh sebab itu, adalah wajar jika jumlah-jumlah manusia, kebutuhan,

kepemilikan, dan luas area pemukiman yang dibangun dan total kendaraan yang beredar2 di

jalanan kota besar menjadi sangat besar dalam waktu relatif singkat. Kebutuhan alat-alat

transportasi cenderung sebanding3 dengan populasinya.

2
Sebenarnya, kebutuhan, kepemilikkan, dan kendaraan yang beredar di jalanan adalah variabel-variabel yang
berbeda. Tetapi dalam kasus fenomena kemacetan, untuk kemudahan (kesederhanaan), diasumsikan bahwa
kebutuhan kendaraan (yang merupakan fungsi populasi) akan mempengaruhi jumlah kendaraan yang beredar di
jalanan. Sebetulnya, sebagian (kecil?) kendaraan yang beredar di jalanan wilayah A itu bisa jadi milik populasi-
populasi yang berada di wilayah B, C, dan seterusnya. Tetapi yang jelas, populasi para pengendara beserta para
penumpangnya yang sedang berada ruas-ruas di jalanan di wilayah A, meskipun untuk sementara waktu, termasuk
ke dalam populasi wilayah A.
3
Pada dasarnya, makin besar populasinya, makin besar pula potensi kebutuhan kendaraan (sebagai alat
transportasi) dan jumlah total kendaraan yang beredar di jalanan wilayah yang bersangkutan. Meskipun demikian,
nilai-nilai perbandingannya akan bersifat khas; lokal (di suatu area bisa jadi berbeda dengan area-area yang kain)
dan temporal (untuk suatu perioda bisa jadi berbeda dengan perioda-perioda yang lain).

Logika & Analisis Sederhana Halaman: 2


2. Fenomena Kemacetan

Konsekuensi dari populasi yang besar, kerapatan populasi yang tinggi, kapasitas (panjang

& lebar) ruas-ruas jalan yang relatif tetap, dan sejumlah besar kendaraan yang beredar di jalanan

adalah munculnya fenomena kemacetan lalulintas (masalah hilir); terutama di hari-hari kerja dan

jam-jam sibuk. Kemacetan adalah kondisi dimana sistem lalulintas sudah tidak lagi mampu

menampung kendaraan-kendaraan yang melintas di suatu (ruas-ruas) jalan pada periode tertentu

hingga mengakibatkan rendahnya kecepatan pergerakan (atau bahkan berhentinya) kendaraan-

kendaraan yang bersangkutan. Pada kondisi itu, jumlah total kendaraan kendaraan di suatu (ruas)

jalan atau kerapatannya sudah dianggap tinggi.

Logika & Analisis Sederhana Halaman: 3


Tingkat kemacetan, seperti telah disinggung, terkait dengan jumlah total kendaraan

yang beredar dan kapasitas (ruas) jalan yang bersangkutan pada periode tertentu4. Meskipun

demikian, dua atau lebih ruas jalan yang dilalui oleh kendaraan dengan jumlah yang sama (pada

periode waktu yang sama) tidak berarti (selalu) memiliki tingkat kemacetan yang sama.

Sehubungan dengan hal ini, sebagai alternatif, tingkat kemacetan juga dapat dinyatakan dalam

terminologi kecepatan rata-rata (Vr) kendaraan yang melintas di suatu (ruas) jalan5. Dengan

terminologi ini, berarti, tingkat kemacetan tidak semata-mata dipengaruhi oleh jumlah total

kendaraan yang beredar berikut kapasitas (ruas) jalannya (kerapatan atau ρ), tetapi juga

dipengaruhi oleh faktor-faktor lainnya (yang bisa jadi bersifat dominan atau tidak,

bergantung pada situasinya).

Faktor-faktor lain yang dimaksud di atas adalah (sebagian bersifat umum, sistematik,

instan, sesaat, atau temporer): [1] ruas-ruas jalan di Indonesia yang relatif pendek, sempit, dan

4
Tingkat kemacetan dinyatakan dalam jumlah kendaraan per-satuan luas (ruas jalan); kerapatan kendaraan.
5
Tingkat kemacetan dinyatakan dalam terminologi kecepatan rata-rata kendaraan.

Logika & Analisis Sederhana Halaman: 4


keberadaan rambu/lampu lalulintas yang relatif berdekatan6, [2] keberadaan pedagang kaki

lima7, adanya peristiwa-peristiwa: [3] kecelakaan lalulintas8, [4] kebanjiran (genangan air)9, [5]

tanah longsor10, [6] pasar tumpah11, [7] perbaikan jalan & konstruksi12, [8] cuaca buruk

(termasuk hujan)13, [9] demo mahasiswa & masyarakat14, [10] rekayasa lalulintas15, [11] antrian

6
Ruas-ruas jalan di Indonesia (tidak sekedar di kota-kota besarnya) kebanyakan relatif pendek. Panjang ruas-ruas
ini mulai dari belasan meter hingga ratusan meter. Hal ini disebabkan karena keberadaan jalan-jalan tidak dapat
dirancang secara ideal melainkan dibuat berdasarkan keberadaan sebaran (blok) pemukiman yang sudah ada (dan
berukuran relatif pendek). Dengan demikian, begitu suatu ruas jalan maju beberapa belas atau puluhan meter
sudah dijumpai titik perpotongan (pertigaan atau perempatan) dengan jalan lain atau jalan yang lebih kecil (gang);
jalan-jalan terpotong hingga menjadi ruas-ruas jalan yang relatif pendek. Konsekuensi dari ruas-ruas jalan yang
relatif pendek ini adalah terjadinya kemacetan; karena terdapat aktivitas manusia dan kendaraan yang masuk dan
keluar pemukiman secara intensif berikut keberadaan rambu-rambu lalulintas yang memaksa para pengendara
yang melalui ruas-ruas jalan seperti ini harus menunggu atau memperlambat kecepatan kendaraannya demi
keamanan & keselamatan bersama.
7
Keberadaan pedagang kaki lima (PKL) memang tidak tersebar di setiap jalan di kota-kota besar di Indonesia.
Meskipun demikian, keberadaan mereka di sekitar pasar, pemukiman, kompleks perkantoran, dan/atau ruas-ruas
jalan yang relatif pendek, jika tidak segera ditertibkan, akan mengundang manusia (para pembeli) untuk
berkerumun hingga pada akhirnya menyebabkan kemacetan.
8
Peristiwa kecelakaan lalulintas juga menyebabkan manusia berkerumun untuk sesaat hingga cukup mengganggu
kelancaran lalulintas untuk sesaat. Belum lagi jika melibatkan kehadiran mobil ambulan yang perlu diprioritaskan;
yang lain harus menepi (berkecepatan rendah) meskipun untuk sesaat.
9
Peristiwa banjir tentu saja cenderung menyebabkan fenomena kemacetan karena begitu hujan turun, banyak
pengendara yang menunda waktu keberangkatannya untuk sementara hingga ketika mereka harus berangkat,
jumlah kendaraan yang beredar di jalanan menjadi sangat banyak. Sedangkan ketika terjadi banjir atau setidaknya
genangan, tidak sedikit kendaraan yang mogok atau berkecepatan rendah hingga menghalangi kendaraan-
kendaraan yang berada di belakangnya secara beruntun. Selain itu, banyak pengendara menghindari area-area
ruas jalan yang digenangi oleh air seolah luas ruas jalan berkurang.
10
Bencana tanah longsor tentu saja biasa menyebabkan kemacetan, terutama yang menutup atau merusak ruas
jalan hingga tidak dapat digunakan untuk sementara waktu.
11
Di ruas-ruas jalan tertentu, pada hari dan jam-jam tertentu sering terjadi pasar tumpah. Para pedagang dan
pembeli menempati sebagian dari ruas jalan hingga mengganggu lalulintas; kapasitas jalan berkurang dan
kendaraan berjalan lambat demi keselamatan (kemacetan) pada waktu-waktu tersebut.
12
Perbaikan jalan dan konstruksi juga sering menjadi penyebab kemacetan karena pada periode itu minimal luas
jalan berkurang, (demi kehati-hatian) kecepatan kendaraan jauh berkurang, atau bahkan ruas jalan tersebut tidak
dapat digunakan sama sekali hingga menimbulkan kemacetan di ruas-ruas jalan lain yang menjadi alternatif.
13
Cuaca buruk juga dapat menyebabkan fenomena kemacetan. Sebagai misal, terik matahari di siang hari, hari
mulai gelap, atau mendung (pertanda akan hujan) sering menyebabkan para pengendara tergesa (untuk tiba di
tujuan) mengemudikan kendaraannya yang pada akhirnya justru menyebabkan berkumpulnya kendaraan dalam
jumlah banyak yang hendak masuk ke jalan atau kompleks perumahan & perkantoran.
14
Volume manusia yang berkumpul dalam jumlah yang besar tentu saja dapat mengganggu kelancaran lalulintas
dan meningkatkan volume sampah di ruas-ruas jalan yang bersangkutan. Demi keamanan dan keselamatan
berkendara, kecepatan kendaraan yang dekat dengan kerumunan masa seperti ini hampir pasti akan berkecepatan
rendah (tidak lancar atau macet).
15
Rekayasa lalulintas tenta saja dapat menyebabkan kemacetan di beberapa ruas jalan. Sebagai misal, karena
adanya suatu peristiwa penting, maka beberapa arah jalan dirubah. Sebagian besar pengendara yang tidak
mengetahui hal ini sebelumnya dan juga tidak biasa tentu saja bingung harus memilih ruas-ruas jalan yang menjadi

Logika & Analisis Sederhana Halaman: 5


panjang di sekitar pompa bensin16, [12] penggalian dan timbunan saluran, kabel, dan pipa

(telekomunikasi, air, listrik, serat-optik, dan lain sejenisnya)17, [13] penertiban (razia) kendaraan

dan/atau tilang18, [14] sekolah/kampus, [15] mini-market, super-marker/mall, dan [16] lain

sejenisnya; kapasitas (ruas) jalan seolah mengalami penyempitan dan para pengendara harus

memperlambat (atau bahkan hingga menghentikan sama sekali) laju kendaraannya.

Berdasarkan kriteria tertentu, di lain pihak, nilai-nilai tingkat kemacetan (di ruas-ruas

jalan) bisa saja dikelompokkan (dikualitatifkan) sedemikian rupa hingga menjadi beberapa

kelas19: kosong, lancar, normal, agak macet, macet, dan sangat macet (padat merayap).

alternatif. Sekalinya memilih ruas-ruas jalan, maka potensi kemacetan di ruas-ruas jalan tertentu benar-benar akan
terjadi.
16
Karena berburu bahan bakar bersubsidi, maka banyak kendaraan (terutama) roda-2 yang antri. Sebagian dari
antrian ini ternyata cukup panjang hingga sampai ke pinggir ruas jalan yang bersangkutan (mengganggu lalulintas
dan menyebabkan kemacetan untuk sesaat).
17
Perbaikan saluran air, dan penggalian/ timbunan kabel, serat optik, dan pipa sudah biasanya dilakukan di bulan-
bulan tertentu. Jadi, pada bulan-bulan ini, penyempitan jalan (tanah galian yang menumpuk sering diletakkan di
pinggir jalan untuk beberapa lama dan ketika prosesnya selesai tumpukkan tanah ini tidak jarang masih tersisa
[tidak benar-benar bersih dan rapi]) sering terjadi. Penyempitan ruas jalan menyebabkan kapasitas ruas jalan
kerkurang hingga akhirnya juga menyebabkan fenomena kemacetan.
18
Penertiban (razia) kendaraan atau tilang tetap perlu dilakukan untuk mentertibkan lalulintas sekaligus
mengendalikan jumlah kendaraan yang dibolehkan beredar di jalanan; akan menyebabkan turunnya sebagian dari
(jumlah) kendaraan yang beredar dengan delay tertentu (beberapa hari, minggu, atau bulan). Meskipun demikian,
ironisnya, aktivitas yang penting ini secara langsung (tanpa delay) dapat menyebabkan sejumlah antrian kendaraan
yang berkontribusi pada fenomena kemacetan.
19
Ini sekedar contoh, pihak-pihak yang berwenang bisa saja menghasilkan kelas-kelas yang berbeda dari ini.

Logika & Analisis Sederhana Halaman: 6


3. Dampak Kemacetan
Mengapa fenomena kemacetan tidak diinginkan? Mengapa kemacetan selalu dihindari

oleh banyak orang? Tentu saja jawabannya sangat sederhana. Sebab, dampaknya sangat

merugikan (negatif) bagi manusia; baik sebagai individu, kelompok, masyarakat, perusahaan,

maupun pemerintah (negara). Jadi, secara umum, tidak ada pihak yang akan diuntungkan dengan

adanya kemacetan; semuanya mendapatkan kerugian-kerugian waktu, biaya, energi,

produktivitas, dan lain sejenisnya. Meskipun demikian, jika ditanya, tentu saja setiap orang

(kemungkinan besar) bisa jadi akan memberikan jawaban (dengan detil) yang bervariasi

mengenai dampak kemacetan.

Sehubungan dengan hal ini, maka berikut ini adalah sebagian dari dampak negatif dari

fenomena kemacetan:

[1] Bagi individu:


a) Kehilangan waktu (modal utama)20.
b) Keterlambatan tiba di tujuan (dengan segala konsekuensinya)21.
c) Kelelahan (terganggunya kesehatan) fisik & mental22.
d) Peningkatan biaya23.
e) Penurunan produktivitas24.

20
Waktu untuk yang lain menjadi terpakai (terkurangi).
21
Potensinya adalah diberi peringatan, dimarahi, didenda, diberi tugas tambahan, dan lain sejenisnya.
22
Terutama jika berakumulasi dalam selang waktu tertentu.
23
Kecepatan kendaraan menjadi rendah, durasi perjalanan makin panjang, konsumsi bahan bakar meningkat,
biaya bahan bakar membengkak, dan biaya akomodasi juga membesar.

Logika & Analisis Sederhana Halaman: 7


[2] Bagi masyarakat, perusahaan25, dan negara:
a) Sama dengan dampak negatif pada individu (di atas)26.
b) Penurunan kualitas hidup secara umum27.
c) Peningkatan biaya transportasi28.
d) Peningkatan polusi udara29.

4. Pengembangan [Ruas] Jalan Baru

Untuk mengatasi masalah kemacetan beserta dampaknya (yang merugikan), secara logis,

biasanya, pemerintah (daerah/pusat) melaksanakan kebijakan pengembangan atau pembangunan

ruas-ruas jalan-jalan baru; baik sebagai program rutin (normatif) tahunan maupun sebagai

solusi30 khusus bagi penanggulangan masalah kemacetan lalulintas. Tentu saja, kebijakan ini

tidak berdiri sendiri. Biasanya, kebijakan ini juga berkaitan dengan beberapa lain seperti halnya

tataruang, perbaikan infrastruktur jalan, sungai, dan aluran air yang sudah ada (untuk mencegah

genangan air dan banjir), rekayasa lalulintas, dan penertiban pasar tumpah. Akhirnya, dengan

kebijakan ini, panjang dan lebar (kapasitas) jalan makin bertambah, resiko banjir dan kemacetan

beserta komplikasinya menjadi berkurang. Pada kondisi itu, kenyamanan dan keleluasan

berkendara meningkat.

24
Kehilangan (berkurangnya) waktu, energi, dan sumber-daya (sebagai modal utama) untuk mengerjakan hal-hal
lain yang sebenarnya sangat bermanfaat.
25
Bagi perusahaan, kemacetan dapat berdampak pada kerugian material yang cukup besar; ketidak-puasan
pelanggan, kehilangan pelanggan, kehilangan pemasukan, kehilangan pendapatan, dan kerugian perusahaan.
26
Pada prinsipnya, point utamanya, dampak negatif bagi individu dan masyarakat, perusahaan, dan negara
(hampir) sama saja atau tidak berbeda jauh. Yang berbeda hanya pada “skalanya” dan aspek luas terkait polusi
udara yang disebabkannya. Untuk tingkatan invidu, pengeluaran (dampak negatif) pribadinya yang meningkat.
Sementara untuk masyarakat, perusahaan, atau negara, agregasi dampak negatifnya yang meningkat plus ekses
polusi udara beserta seluruh konsekuensi dan kompleksitasnya.
27
Faktor kelelahan fisik dan mental dapat menurunkan kualitas hidup yang pada akhirnya dapat meningkatkan
biaya pemeliharaan kesehatan, pemulihan, terapi, dan berobat.
28
Biaya transportasi menjadi mahal.
29
Polusi udara akan menyebabkan atau menambah kompleksitas masalah yang sudah ada berikut penurunan
kualitas hidup msyarakatnya. Sementara itu biaya penanggulangan dan pemulihan akibat polusi udaranya menjadi
sangat besar, ditambah lagi dengan potensi biaya perawatan kesehatan yang diakibatkannya.
30
Program atau kebijakan pengembangan atau pembangunan ruas-ruas jalan baru bisa jadi merupakan aktivitas
rutin tahunan (sesuai kebutuhan, perencanaan, dan ketersediaan anggaran) yang tidak terkait dengan fenomena
kemacetan. Meskipun demikian, bisa saja kebijakan ini dikaitkan dengan fenomena kemacetan yang telah ada
hingga pengembangan ruas-ruas jalan-jalan baru dilaksanakan dengan prioritas sebagai solusi bagi masalah
kemacetan di ruas-ruas jalan-jalan tertentu sebagai alternatif.

Logika & Analisis Sederhana Halaman: 8


Tidak lama berselang (delay dalam satuan bulan atau beberapa tahun saja), situasi dan

kondisi berubah (dinamika waktu dan lingkungan). Jalan-jalan ini bisa jadi kembali mengalami

kejenuhan. Setelah itu, biasanya, kemacetan kembali terulang. Keleluasaan & kenyamanan

berkendara hanya berlaku untuk sementara waktu saja. Margin kenyamanan berkendara ternyata

tidak sebesar perkiraan banyak orang. Ternyata, kebijakan pengembangan ruas-ruas jalan-

jalan baru juga berefek-samping pada kenyamanan berkendara dan (memicu) kebutuhan

(demand) kendaraan baru yang pada akhirnya juga akan meningkatkan jumlah total

kendaraan yang beredar di jalanan. Meskipun demikian, kebijakan ini tetap perlu dan akan

terus berlanjut selama diprogramkan, anggarannya tersedia, dan lahannya masih tersisa; karena

tujuan pokoknya adalah untuk meningkatkan atau melancaran koneksi antar-lokasi yang memang

sangat diperlukan (dalam hal ini, secara umum, menurunkan tingkat kemacetan adalah bukan

tujuan utama).

Logika & Analisis Sederhana Halaman: 9


5. Kebijakan Three in One

Untuk mengatasi masalah kemacetan lalulintas, sebagian pihak bisa saja memberlakukan

kebijakan “three in one”. Dengan kebijakan ini, pada hari-hari kerja (Senin hingga Jum’at), pada

jam-jam sibuk (pagi [06.30 hingga 10.00] dan sore [16.00 hingga 19.00]), dan (ruas) jalan-jalan

tertentu (di kawasan pembatasan penumpang atau KPP), (khusus untuk kendaraan pribadi) hanya

kendaraan (roda-4) yang berpenumpang minimal tiga (3) orang (termasuk pengendaranya) yang

diperbolehkan. Tentu saja kebijakan ini membuat rasa ketidak-nyamanan bagi sebagian pihak

pengendara. Pada saat itu, pilihan mereka tidak banyak; [1] beralih pada kendaraan umum, [2]

menumpang teman [bisa bergantian] (dengan syarat jumlah penumpangnya lebih dari 3 orang),

[3] menempuh rute yang lain (alternatif) yang belum terbiasa, atau [4] mengajak beberapa teman

dan/atau orang lain yang bersedia [menjadi joki] hingga jumlah penumpangnya minimal 3 orang.

Logika & Analisis Sederhana Halaman: 10


Pilihan yang pertama tidak mudah, apalagi bagi orang-orang yang sudah hidup mapan

dan menyukai kenyamanan berkendara. Mereka perlu menekan ego, meningkatkan loyalitas, dan

mencari kendaraan umum yang rutenya sesuai dengan tujuannya. Belum lagi faktor kenyamanan

menumpang kendaraan umum (sebagai alternatif) yang masih jarang sesuai dengan selera

pribadi-pribadi yang mapan. Selain itu, pilihan ini juga beresiko bagi pemerintah atau pihak

ketiga untuk menyediakan kendaraan umum yang representatif berikut program peremajaannya

secara berkala (jika tidak ingin ditinggalkan oleh para penumpang yang berasal dari kelas-kelas

menengah ke atas); sebagian dari pengeluaran akan beralih dari para pengendara ke pemerintah

atau pihak ketiga.

Pilihan yang kedua juga tidak mudah karena perlu persetujuan, kompromi, atau

kerjasama dengan pihak pemilik kendaraan, tanpa kendali dan kepastian, dan jumlah

penumpangnya minimal 3 orang (masih bergantung pada orang ketiga). Pilihan ini juga tidak

mudah bagi orang-orang yang sudah mapan dan memiliki gengsi yang cukup tinggi (pemilik

kendaraan roda-4 pribadi). Pilihan ketiga juga dapat dicoba demi kenyamanan dan privasi. Tetapi

karena belum terbiasa pada awalnya, rutenya berliku dan total rutenya bisa jadi lebih panjang,

Logika & Analisis Sederhana Halaman: 11


dan melewati ruas-ruas jalan yang lebih ramai, maka ironisnya, resiko pilihan ketiga ini juga

tidak kecil; perlu waktu tambahan dan kesabaran untuk menemukan ruas-ruas jalan yang paling

efisien, perlu waktu yang lebih lama di perjalanan, perlu bahan bakar lebih banyak, dan sangat

potensial untuk terjebak pada (atau menyebabkan) kemacetan di lain tempat (ruas-ruas jalan

yang menjadi alternatif). Sementara itu, pilihan yang keempat juga tidak mudah; perlu biaya joki.

Meskipun demikian, bagi orang yang sudah mapan dan berkeinginan untuk tetap mengendarai

kendaraan sendiri di rute yang sudah dikuasainya, dan dengan dukungan sebagian orang yang

bersedia menjadi joki (karena kebutuhan ekonomi)31, maka pilihan ini juga dapat ditempuh.

Apakah kebijakan ini dapat berjalan lancar sesuai harapan; tanpa resistensi, tanpa biaya

& waktu tambahan, dan apakah jumlah total kendaraan pribadi yang beredar di ruas-ruas jalan

yang menjadi target pada hari kerja dan jam-jam sibuk menjadi berkurang secara signifikan

tanpa efek samping sama sekali? Jika jawabannya “ya”, muncul pertanyaan lain, seberapa lama

kondisi itu dapat bertahan? Untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan ini tentu saja diperlukan

31
Jika “pasarnya” cukup baik, nampaknya, “profesi” musiman ini bisa jadi dapat bertahan cukup lama.

Logika & Analisis Sederhana Halaman: 12


data pengamatan untuk beberapa periode. Yang jelas, keleluasaan dan kenyamanan berkendara

cenderung berlaku untuk sementara waktu saja. Margin kenyamanan berkendara tidak sebesar

perkiraan banyak orang. Ternyata, secara logika dan fakta, kebijakan ini juga berefek samping

yang berpotensi merugikan dan/atau menimbulkan masalah baru. Oleh sebab itu, tidak

mengerankan jika kebijakan ini digantikan oleh kebijakan “ganjil-genap” (kendaraan roda-4).

6. Kebijakan Ganjil-Genap bagi Kendaraan Roda-4

Untuk mengatasi masalah kemacetan yang belum tuntas juga, sebagai pengganti

kebijakan “three in one”, sebagian pihak kemudian memberlakukan kebijakan “ganjil-genap”.

Dengan kebijakan ini, pada hari-hari kerja (Senin hingga Jum’at), pada jam-jam sibuk (pagi

[06.00 hingga 10.00] dan sore [16.00 hingga 21.00]), dan (ruas) jalan-jalan tertentu (khususnya

di kawasan pembatasan lalulintas ganjil-genap), hanya kendaraan (roda-4) tertentu saja yang

dapat beroperasi. Yang bernomor ganjil hanya dapat beroperasi pada tanggal-tanggal ganjil (1, 3,

5,.., 31) sedangkan yang bernomor genap hanya dapat beroperasi pada tanggal-tanggal genap (2,

4, 6,.., 30). Jika diasumsikan bahwa jumlah kendaraan yang bernomor genap dan ganjil sama

Logika & Analisis Sederhana Halaman: 13


besar, harapannya, maka jumlah kendaraan roda-4 yang menjadi target akan berkurang

setengahnya. Dengan demikian, pada masa awalnya, secara teoritis, kebijakan ini memang akan

mengurangi jumlah total kendaraan roda-4 yang beredar di jalan-jalan yang menjadi target.

Benarkah dampaknya akan selalu berjalan sesuai dengan harapan tersebut? Berapa lama

dampak seperti itu mampu bertahan? Untuk menjawabnya diperlukan data pengamatan selama

beberapa waktu. Tentu saja ceritanya akan berbeda untuk setiap ruas jalan & perioda waktunya.

Yang jelas, di samping terdapat faktor kenyamanan berkendara (meskipun untuk sesaat),

sebagian pemilik kendaraan tunggal merasa tidak nyaman dengan kebijakan ini. Oleh sebab itu,

Logika & Analisis Sederhana Halaman: 14


adalah tidak mengherankan jika muncul riak-riak kegelisahan dan sedikit resistensi. Sebab,

begitu esoknya mereka tak dapat lagi menggunakan kendaraan tunggalnya untuk bekerja,

berbisnis, atau mengantar anaknya ke sekolah via jalan-jalan yang menjadi target, maka yang ada

hanya pilihan-pilihan berikut: (1) langsung beralih pada kendaraan umum (pinjaman atau

sewaan) yang sudah ada (termasuk yang berbasis aplikasi online) sambil berfikir bagaimana

tindakan selanjutnya untuk hari-hari berikutnya; (2) berfikir dan berusaha untuk membeli

kendaraan baru yang sejenis (tetapi dengan nomor polisi yang melengkapi yang sudah ada).

Kedua pilihan ini tentu saja memiliki resiko tersendiri; perlu waktu, biaya, energi, dan

pertimbangan yang matang baik bagi pemerintah lokal maupun masyarakat pemilik kendaraan

tunggal yang menjadi target. Agar mayoritas anggota masyarakat mau dan beralih menggunakan

kendaraan umum, pemerintah daerah atau pihak ketiga perlu terlebih dahulu menyediakan

sejumlah kendaraan yang representatif dengan rute-rutenya yang melewati jalan-jalan yang

menjadi target. Sementara itu, bagi pengendara yang mampu dan merasa lebih nyaman dengan

kendaraan pribadi, mereka akan segera membeli kendaraan baru sejenis dengan nomor yang

komplementer dengan nomor kendaraan yang sudah dimilikinya. Artinya, konsekuensi dari

kedua hal ini juga akan berakibat pada peningkatan kebutuhan (dan pembelian) kendaraan-

Logika & Analisis Sederhana Halaman: 15


kendaraan baru yang pada akhirnya juga akan menambah jumlah total kendaraan bermotor yang

beredar di jalanan setelah sesaat menikmati kenyamanan berkendara.

Kebijakan Ganjil-Genap bagi Kendaraan Roda-2


Akhirnya, setelah sempat delay beberapa bulan atau tahun saja, jumlah kendaraan yang

beredar di jalan pun kembali tak terbendung, dan fenomena kemacetan pun terulang kembali

paska kebijakan pembatasan “ganjil-genap” bagi kendaraan roda-4 pribadi. Menanggapi masalah

ini, sebagian pihak juga mewacanakan usulan kebijakan sejenis bagi kendaraan roda-2 pribadi di

jalan-jalan tertentu sebagai solusi (sebagai pelengkap bagi kebijakan pembatasan kendaraan

roda-4 pribadi yang sudah ada). Apakah kebijakan ini akan berdampak efektif pada penurunan

tingkat kemacetan dan meningkatkan kenyamanan dalam berkendara dalam jangka panjang?

Tentu saja, untuk menjawabnya, juga diperlukan data pengamatan beberapa periode beserta

kajiannya.

Pelaksanaan kebijakan “ganjil-genap” bagi kendaraan roda-2 pribadi nampaknya

tidak sesederhana kendaraan roda-4 pribadi; potensi tantangannya jauh lebih besar. Sebab,

jumlah atau populasi kendaraan yang menjadi target menjadi jauh lebih besar dan bervariasi.

Selain itu, segmen pengendara kendaraan roda-2 jauh lebih luas hingga (potensi) pelaksanaan

Logika & Analisis Sederhana Halaman: 16


dan penanganannya menjadi lebih berat; memerlukan SDM, biaya, waktu, dan energi yang juga

lebih besar.

Mayoritas pengguna kendaraan roda-2 berasal dari kalangan menengah ke bawah. Hanya

sebagian kecil yang berasal dari kelas atas. Belum lagi jika terdapat resistensi dan/atau demo

(masalah susulan) dari elemen-elemen masyarakat dengan berbagai bentuknya. Banyak siswa

atau pelajar, mahasiswa, pengusaha kecil-menengah, pekerja, buruh, karyawan, dan ibu rumah-

tangga (emak-emak) yang merasa tidak nyaman dengan kebijakan ini. Apalagi jika mereka harus

merasa berkorban demi kenyamanan berkendara bagi kalangan menengah ke atas.

Apalagi jika sebagian dari mereka terganggu aktivitas ekonominya; akan muncul isu-isu

miring terkait ekonomi. Mereka keberatan dengan potensi solusi atau konsekuensi yang ada

(beralih ke kendaraan umum atau membeli motor baru dengan nomor yang komplementer).

Selain itu, jika kebijakan yang masih dalam wacana ini pun dapat berjalan dengan baik di suatu

ruas jalan (kawasan pembatasan kendaraan) hingga jalan yang bersangkutan menjadi lebih

lengang dan berkendara menjadi sedikit lebih nyaman (meskipun untuk sesaat), maka ruas-ruas

jalan lain (di luar kawasan pembatasan kendaraan) yang akan menanggung resikonya.

Fenomena kemacetan, pada kasus ini, tidak akan benar-benar berkurang, tetapi

berpindah tempat ke ruas-ruas jalan-jalan yang menjadi alternatif (non-kawasan pembatasan

kendaraan). Potensinya, jika kebijakan ini segera dipaksakan32 berjalan, maka hanya berlaku di

kawasan & di jam-jam tertentu saja, dan dilakukan secara bertahap; sebagai kompromi.

Potensinya, karena hambatan dan resistansinya cukup besar, maka efektivitas kebijakan ini

cenderung rendah.

32
Tentu saja, pada dasarnya, suatu kebijakan tidak akan dijalankan dengan dipaksakan.

Logika & Analisis Sederhana Halaman: 17


Kebijakan Pembatasan Kendaraan Berbasis Emisi Gas Buang
Polusi udara, terutama di kota-kota besar di dunia, sudah berdampak nyata dan dianggap

serius. Sebagian dari itu tentu saja disebabkan oleh emisi gas buang kendaraan bermotor yang

beredar di jalanan. Dampaknya adalah munculnya berbagai penyakit (gangguan pernafasan dan

masih banyak lagi), kerusakan/pencemaran tanah, tanaman, dan air, pemanasan global,

perubahan iklim, dan lain sejenisnya. Oleh sebab itu, faktor penyebabnya perlu diminimalisir

sedangkan dampaknya perlu ditanggulangi. Sehubungan dengan hal ini, maka meskipun sama-

sama merugikan, persoalan polusi udara cenderung dianggap jauh lebih penting dan bersifat

global dari pada sekedar fenomena kemacetan lalulintas (bersifat lokal).

Karena pentingnya kedua hal ini, maka beberapa pihak mewacanakan kebijakan

pembatasan kendaraan bermotor berbasiskan emisi gas buangnya33. Dengan kebijakan ini,

nantinya, diharapkan: [1] sebagian dari sumber polusi udara (kendaraan bermotor yang beredar

di jalanan) beserta dampaknya dapat dieliminasi; [2] potensi kemacetan lalulintas berkurang;

33
Yang dibahas tulisan ini adalah dampak kebijakan pembatasan kendaraan berbasis emisi gas buangnya.
Sementara bagaimana menanggulangi efek (dampak negatif) emisi gas buangnya tidak dibahas.

Logika & Analisis Sederhana Halaman: 18


dan [3] masyarakat dapat menikmati udara yang segar, sehat, dan dapat berkendara lebih santai

& nyaman.

Untuk menilai sejauh mana dampak dan efektivitas kebijakan ini, tentu saja perlu data

pengamatan beberapa periode (sebelum dan setelah diberlakukannya kebijakan). Meskipun

demikian, sebagian dari itu, nampaknya, sudah dapat diprediksi; baik berdasarkan logika umum

maupun berdasarkan pengalaman penerapan beberapa kebijakan sejenis pada masa yang lalu.

Adapun sebagian dari prediksi itu adalah: [1] diperlukan waktu & energi yang besar untuk

mempersiapkan dan mengurus (menguji) sejumlah besar kendaraan bemotor (mengundang

kerumunan manusia beserta kendaraannya meskipun untuk sesaat); [2] sejak di masa persiapan

sudah diperlukan banyak personil penguji, alat uji, dan tempat uji emisi dan gas buang kendaraan

bermotor (biaya, waktu, personil, dan lokasi); [3] sebagian pengendara (yang kendaraannya tidak

lolos uji emisi secara mandiri) segera menservis atau mengganti sebagian dari onderdilnya (agar

lolos uji pada tahap berikutnya), atau bahkan membeli kendaraan baru yang dipastikan akan

lolos-uji emisi (pengeluaran tambahan bagi masyarakat); [4] sebagian dari kendaraan bermotor

akan beralih menjadi kendaraan listrik (bisnis penyedia kendaraan beserta bengkel-bengkelnya

mengalami perubahan) hingga jumlah total kendaraan yang beredar pun sangat berpotensi untuk

bertambah banyak34 (justru akan berpotensi menyebabkan kemacetan); [5] adanya resistensi dari

masyarakat (karena sebagian kendaraan mereka tidak lagi dapat digunakan35, tingkatan atau

kemampuan ekonomi yang beragam, dan lain sejenisnya).

34
Jika jumlah total kendaraan yang beredar tidak bertambah maka kendaraan lama menjadi “bangkai”; perlu
penanganan tersendiri (mau didaur ulang atau dibuang kemana).
35
Diperlukan banyak waktu, energi, biaya, dan kesabaran untuk mentransformasikan seluruh kendaraan bermotor
masyarakat dari kondisi semula ke kondisi yang ramah lingkungan. Tidak semua elemen masyarakat sanggup untuk
melakukan hal ini, sementara itu kebanyakan kendaraan tua mereka menjadi tidak dapat digunakan lagi.

Logika & Analisis Sederhana Halaman: 19


Kebijakan semacam ini memang sangat diperlukan; cepat atau lambat pasti akan segera

diberlakukan (hanya masalah waktu saja). Tetapi karena sebagian dari dampaknya justru

berpotensi untuk memberatkan masyarakat (hingga mengundang resistensi yang kuat), maka

besar kemungkinan akan terjadi kompromi (bertahap, tarik-ulur, parsial, dan temporal) pada

pelaksanaannya (seperti halnya kebijakan sebelumnya yang sejenis); hanya diwajibkan pada

kawasan yang terbatas (ruas-ruas jalan tertentu), pada jam-jam tertentu (sibuk) saja, dimulai

dari kendaraan pribadi roda-4, dan seterusnya. Oleh sebab itu, dapat diprediksi bahwa

efektivitas kebijakan seperti ini (terkait penurunan tingkat kemacetan) cenderung signifikan di

masa awal pelaksanaannya, tetapi kemudian berangsung-angsur menurun hingga akhirnya

stagnan (menuju keseimbangan atau kestabilan yang baru) di sekitar titik atau angka tertentu.

Nampaknya, urgensi dan ancaman dari dampak-dampak polusi udara dan fenomena

kemacetan belum dapat “mengalahkan” kondisi dan prilaku masyarakat luas yang cenderung

Logika & Analisis Sederhana Halaman: 20


masih tidak siap. Apalagi jika sebagian orang berpendapat bahwa solusi bagi masalah polusi

udara dapat terlebih dahulu dilakukan di sektor-sektor non-pembatasan kendaraan bermotor.

7. Kebijakan Pembatasan Kendaraan Berbayar Elektronik [ERP]

Electornic road pricing [ERP] adalah kebijakan sistem jalan berbayar36; pengendara

kendaraan pribadi harus membayar jika melewati (ruas-ruas) jalan-jalan tertentu37; tidak berbeda

jauh dengan jalan-tol dalam kota. Kebijakan ini, pada dasarnya, bertujuan untuk mendorong para

pengguna kendaraan pribadi agar segera beralih menggunakan kendaraan umum; yang pada

akhirnya (diharapkan) akan berefek pada penurunan tingkat kemacetan.

Kebijakan ini tentu saja berpengaruh pada prilaku para pengendara yang sebelumnya

selalu melewati ruas-ruas jalan yang kemudian dijadikan kawasan ERP. Pilihan mereka tidak

banyak: [1] tetap menggunakan kendaraan pribadi di ruas-ruas jalan itu seperti biasa

(konsekuensinya berbayar plus biaya bahan bakar seperti biasa); [2] beralih menggunakan

kendaraan umum (hanya mengeluarkan biaya transport); atau [3] tetap menggunakan kendaraan

pribadi tetapi dengan rute alternatif (yang tidak berbayar tetapi juga beresiko terlambat dan

menambah biaya bahan bakar). Sehubungan dengan hal ini, tidak mudah untuk menebak

skenario para pengendara dan bagaimana dinamikanya; diperlukan sampel data untuk beberapa

periode.

Apapun pilihannya, pengadaan sistem ERP (infrastrukturnya) memerlukan biaya dan

persiapan pihak penyelenggara. Pilihan pertama cenderung diambil oleh para pengendara pribadi

yang sudah mapan dan tidak mau repot-repot untuk mencari ruas-ruas jalan alternatif dengan

segala resikonya. Mereka tidak keberatan dengan kompensasinya. Pilihan kedua bisa diambil

dengan asumsi bahwa kendaraan umum yang ada sudah cukup nyaman, melayani rute yang
36
Yang diterapkan secara elektronik.
37
Diutamakan jalan-jalan tertentu yang dianggap padat dan dengan tarif progresif; pada kondisi padat dan jam-
jam sibuk akan dikenakan tarif yang lebih tinggi.

Logika & Analisis Sederhana Halaman: 21


menjadi tujuan, dan biayanya tidak jauh dari penggunaan kendaraan pribadi. Sedangkan pilihan

ketiga bisa dicoba beberapa kali oleh pengendara pribadi untuk mengevaluasi rute-rute efektif di

luar ruas-ruas jalan yang berbayar. Jika ditemukan dan ternyata lebih murah, maka rute itulah

yang akan menjadi pilihan seterusnya (menghindari kawasan ERP). Tetapi jika rute itu juga tidak

ditemukan, maka mereka akan kembali ke pilihan pertama (menggunakan kendaraan pribadi di

kawasan ERP) atau yang kedua (menggunakan kendaraan umum).

Untuk menganalisa kebijakan ini, diperlukan pengamatan beberapa periode sebelum dan

sesudah kebijakan ini berlaku; berapa jumlah kendaraan pribadi, kendaraan umum, penumpang

kendaraan umum yang melintas, dan berapa biaya rata-rata kendaraan untuk memasuki kawasan

ERP. Berdasarkan analisa data inilah nantinya dapat dihitung efektivitas dan peningkatan biaya

transportasi sebagai dampak kebijakan ini. Meskipun demikian, nampaknya, dampak kebijakan

yang cenderung akan terus dipertahankan (dalam jangka panjang) ini pada tingkat kemacetan,

secara perlahan akan mengkerucut pada persentase tertentu yang bisa berbeda secara lokal (ruas-

ruas jalan mana saja), temporal (kapan saja periode waktunya), dan situasional (keberadaan

Logika & Analisis Sederhana Halaman: 22


peristiwa tertentu yang bisa jadi juga menentukan). Yang jelas, kebijakan ini akan meningkatkan

pendapatan pemerintah daerah yang bersangkutan dan/atau pihak ketiga, terlepas dari seberapa

besar pengaruhnya pada fenomena kemacetan.

8. Diskusi

Pada dasarnya, arus selalu mengarah dari hulu ke hilir; sesuai dengan topografinya.

Demikian pula halnya dengan kecenderungan arah dan sebaran suatu masalah; selalu menuju dan

berakulumasi di hilirnya. Selama masih tersisa masalah di hulunya, maka masalah di hilirnya

tidak akan pernah berhenti; apapun upaya (kebijakan atau solusi) yang dilakukan. Selama

“atap rumahnya bocor”, maka selamanya “laintainya” tidak akan pernah bersih; harus

selalu disapu. Sementara itu, petugas yang menyapu lantai hampir selalu berbeda dengan

petugas yang berkewajiban untuk membetulkan genteng yang bocor. Mereka memiliki

kewenangan masing-masing.

Fenomena kemacetan sangat merugikan banyak pihak; selalu menjadi masalah di banyak

tempat. Sebagian dari fenomena itu bersifat unik38, khas, dan/atau memiliki sebab-sebab tertentu

hingga bisa jadi setiap kasusnya (pada periode waktu dan ruas jalan yang berbeda) memerlukan

penanganan (solusi atau kebijakan) yang berbeda. Sehubungan dengan hal ini, maka sudah

beberapa kebijakan yang pernah, sedang, masih, dan akan dirancang dan dilaksanakan untuk

menanggulanginya.

Tanpa mengecilkan hasil-hasil pencapaian yang telah diperoleh, nampaknya, efektivitas

kebijakan tersebut masih saja belum memuaskan; durasi dampaknya tidak selama perkiraan

38
Biasanya terkait dengan ruas-ruas jalan yang relatif pendek, keberadaan rambu/lampu lalulintas, keberadaan
landmarks tertentu yang terdapat di sekitarnya, dan/atau peristiwa temporer tertentu yang terkadang terjadi
seperti halnya demo mahasiswa/masyarakat, kecelakaan lalulintas, antrian BBM, pasar tumpah, dan lain
sejenisnya.

Logika & Analisis Sederhana Halaman: 23


banyak orang (marginnya tipis), menurun seiring dengan waktu, efek sampingnya signifikan39,

sementara waktu, biaya, dan energi yang telah dihabiskan cukup banyak. Hal ini terbukti dengan

silih bergantinya kebijakan sejenis yang telah dibuat dengan tujuan yang kurang-lebih sama;

tetapi masalahnya selalu tidak tuntas (fenomenanya berulang kembali). Memang, setiap solusi

memiliki batas-batas tertentu. Di dunia nyata, tidak ada aturan, kebijakan, atau solusi yang

sempurna; akan ada saja kekurangannya. Demikian pula halnya dengan kebijakan-kebijakan

terkait kemacetan.

Jika direnungkan, pada kasus-kasus kemacetan parah dan sistematik (selalu berulang,

periodik, atau tetap di jam-jam dan lokasi-lokasi tertentu) kemungkinan besar terdapat beberapa

sebab mengapa efektivitas dan dampak positif sebagian dari kebijakan seperti itu cenderung

menurun40 dan tidak berumur panjang (digantikan yang lain), sementara yang lain (tetapi masih

sejenis) efektifitasnya cenderung stagnan di angka-angka tertentu41 tetapi dapat bertahan dalam

jangka panjang (karena urgensinya)42: [1] tidak sepenuhnya didasari oleh pertimbangan yang

menyeluruh (holistik); [2] masih menyisakan masalah yang bersifat sistematik (bawaan); [3]

(secara sadar atau tidak sadar) dirancang (dan dilaksanakan) untuk mengatasi (sementara waktu)

gejalanya saja (dan bukan benar-benar masalahnya43); [4] masih adanya faktor atau variabel

pengendali (berpengaruh besar) yang belum/tidak diperhitungkan44, dan/atau [5] kondisi ketidak-

39
Untuk menambah pemahaman mengenai potensi-potensi dampak-dampak relatif positif dan negatif dari
kebijakan yang dimaksud, perhatikan gambar-gambar (diagram) sebab-akibatnya.
40
Tidak sebesar perkiraan banyak orang.
41
Pertanda bahwa kebijakannya memang penting [urgen] tetapi karena resistansi atau kondisi masyarakatnya
tidak/belum siap, maka nampaknya pencapaian efisiensi bagi penurunan kemacetan juga tidak tinggi; stagnan di
angka-angka tertentu.
42
Seperti halnya kebijakan yang terkait dengan polusi atau pencemaran udara (yang tidak sekedar terkait urusan
kemacetan lalulintas).
43
Masalahnya belum dipahami secara utuh dan/atau belum sepenuhnya dimasukkan (diimplementasikan) ke
dalam kebijakan yang dibuat & dilaksanakan.
44
Dimana variabel pengendali ini, ironisnya, di luar konteks atau kewenangan pihak perancangnya. Yang nampak
hanya pengaruhnya saja tanpa dapat menyentuhnya sama sekali. Jadi masalah seperti ini harus diselesaikan
(bersinergi) dengan kebijakan-kebijakan yang lain. Kemacetan parah, sistematik, dan menetap di sekitar lokasi-

Logika & Analisis Sederhana Halaman: 24


siapan (keterbatasan kemampuan mayoritas) masyarakat beserta “infrastruktur” pendukungnya

untuk menjalankan kebijakan yang bersangkutan (hingga sebagian menimbulkan resistensi dan

“kompromi”45 pada pelaksanaanya).

Bisa dimaklumi bahwa sebagian dari fenomena memiliki dinamika dan ketidak-pastian

yang cukup besar hingga tidak mudah untuk dipahami sepenuhnya dengan benar dalam waktu

singkat. Oleh sebab itu, kebanyakan pemahaman terhadapnya masih saja bersifat parsial. Pada

kondisi itu, masalahnya tidak mudah untuk diformulasikan atau dimodelkan secara tepat.

Sayangnya, terkadang, sebagian pengamat (analis) juga keliru dalam menafsirkan masalahnya;

gejalanya (akibat) sudah dianggap sebagai masalah (sebab), sedangkan masalah yang sebenarnya

(sebab) justru belum banyak “tersentuh”. Jika pada saat itu juga masalahnya dipaksakan untuk

dimengerti atau setidaknya terlalu disederhanakan, dan segera diintervensi oleh suatu kebijakan

(sebagai solusi cepat), maka tidak lama kemudian sebagian dari gejalanya tetap akan muncul

kembali. Sementara masalahnya masih tidak tersentuh.

Kalaupun perancangnya memahami sedari awal46, dengan mempertimbangkan kelima

point di atas, bahwa sebenarnya produk analisis yang dihasilkannya masih berpotensi tidak

lokasi tertentu dan jam-jam tertentu, sebagai misal, tidak cukup diatasi dengan “kebijakan kemacetan biasa” atau
“rekayasa lalulintas biasa”. Masalah kemacetan seperti ini perlu analisis lebih dalam. Akibatnya, bisa jadi
memerlukan “kebijakan besar” (di luar kebijakan lalulintas/kemacetan biasa) yang berkonsekuensi pada
pemindahan atau relokasi sebagian dari pemukiman (populasinya) berikut lahan-lahan & landmarks yang terkait
dengan fasilitas-fasilitas kerja dan pendukung ekonominya. Ini keputuhan besar yang jarang terjadi. Jika tidak
dilakukan, maka selamat menikmati kemacetan selamanya. Berkaitan dengan hal ini, maka adanya pemindahan
IKN (Ibu Kota Negara) ke pulau Kalimantan adalah contoh nyata dari kebijakan besar dan berani. Dengan
pemindahan ini, meskipun masih memerlukan waktu dan kesabaran (proses), Jakarta akan mengalami dinamika-
dinamika menuju keseimbangan (kondisi-kondisi ekonomi, sosial, tenaga kerja, kemacetan, polusi, dan lain
sejenisnya) baru yang lebih baik dari pada saat ini. Demikian pula halnya dengan IKN yang baru, meskipun penuh
tantangan, potensi lebih baiknya jauh lebih besar. Orang Indonesia tidak banyak yang mau berinisiatif dan
kemudian berani mewujudkan ide-ide besar. Inilah tantangan bagi bangsa Indonesia sejak dahulu.
45
Sejak di masa perancangannya (analisis), terutama pada kasus kebijakan yang urgen sementara kondisi
masyarakat & insfrastruktur pendukungnya tidak/belum siap, bisa jadi sudah terjadi (sedikit) “kompromi”; apalagi
ketika kebijakannya telah berjalan beberapa periode. Contoh kebijakan yang mungkin seperti ini adalah kebijakan
pembatasan kendaraan bermotor (roda-4 dan roda-2) yang berbasis emisi gas buang; meskipun kebijakannya
sudah mendesak, banyak elemen masyarakat yang tidak/belum siap biaya untuk menservis, mengganti onderdil,
atau bahkan membeli kendaraan (listrik) baru yang bebas atau normal polusi. Akhirnya, pelaksanaan kebijakan
semacam ini kemungkinan (komprominya) dilakukan secara bertahap dan hanya berlaku di kawasan tertentu saja.

Logika & Analisis Sederhana Halaman: 25


sesuai harapan (efektivitasnya tidak signifikan atau dampak positifnya tidak besar dan tidak akan

berlangsung lama), biasanya, sebagian dari mereka tetap melanjutkannya. Sebab, mereka berfikir

bahwa solusi yang ideal (yang menuntaskan masalah) cukup sulit hingga belum ditemukan.

Selain itu, solusi yang ada merupakan bagian dari serangkaian upaya yang hasilnya masih perlu

dibuktikan (diuji-cobakan) di dunia nyata. Yang paling penting, bagi mereka, sudah terdapat

alibi (alasan dan bukti kuat) bahwa mereka telah bekerja keras dalam menanggulangi suatu

masalah, sedangkan hasilnya adalah hal lain di luar kemampuan mereka.

9.1 Penyaringan (Filtering)

Seperti telah dijelaskan di muka bahwa fenomena kemacetan sangat dipengaruhi oleh

(jumlah) total kendaraan yang beredar. Oleh sebab itu, sebelum kebijakan penanggulangan

kasus-kasus kemacetan benar-benar dilaksanakan, sebaiknya, perlu terlebih dahulu dilakukan

(kebijakan) prasyarat “penyaringan” (filtering atau normalisasi) sedemikian rupa hingga dapat

dipastikan bahwa hanya kendaraan-kendaraan yang normal, syah, atau layak47 saja yang boleh

beredar di jalanan; kriteria atau definisi kendaraan yang menjadi target kebijakan pembatasan

menjadi jelas (clear & clean).

Kebijakan yang bersifat pendahuluan ini (bagi kebijakan-kebijakan lain setelahnya) tentu

saja juga nampak bernuansa penegakkan hukum, pendisiplinan, penertiban polusi (udara dan

46
Sebagian dari perancang, biasanya, secara logika, prediksi awal, dan/ atau insting, sedari awal sudah dapat
memperkirakan potensi mengenai sejauh mana produk/sistemnya dapat berperan.
47
Sebagaimana diketahui bahwa, akhir-akhir ini, tidak sedikit dapat ditemui di ruas-ruas jalan dimana kendaraan-
kendaraan yang nomor polisinya dipasang tidak pada tempatnya (agak sulit terlihat), tidak terpasang secara
lengkap (hanya dipasang di depan), tidak terpasang sama sekali, sudah terpasang tetapi sudah kadaluarsa (pajak
tahunannya belum dibayar) atau mati (tidak dibayar sama sekali), menggunakan pelat (nomor) palsu, sebagian
(kecil) kendaraan pribadi tetapi nampak dari luar sebagai (seperti) kendaraan dinas, suara knalpot kendaraan
terlalu keras (mengganggu masyarakat), asap knalpotnya kotor & hitam (emisi gas buangnya di luar toleransi),
surat-suratnya sudah tidak ada (kendaraan bodong dan/atau yang terkait dengan peristiwa kriminal),
spesifikasinya sudah berubah secara signifikan dengan yang tertera pada suratnya (warnanya, bentuknya, atau
fungsinya yang berubah secara signifikan), dan/atau sebagian kendaraan beroperasi di luar jam-jam operasi yang
seharusnya (misalkan truk-truk yang seharusnya beroperasi di jalan-jalan tertentu saja di waktu-waktu yang telah
ditentukan). Jika kebijakan ini dilaksanakan dengan rutin dan tegas, maka kendaraan yang beredar agak berkurang,
tingkat disiplin para pengendara & masyarakat meningkat, dan resiko kriminalitas cenderung menurun.

Logika & Analisis Sederhana Halaman: 26


suara), dan pembayaran pajak kendaraan bermotor; tidak sekedar penanggulangan masalah

kemacetan. Jika ternyata kebijakan semacam ini memang sudah ada sebelumnya, maka yang

lama itu perlu dilengkapi (di-update)48 dan kemudian dilaksanakan kembali secara berkala

(konsisten). Dengan kebijakan ini, maka (jumlah) total kendaraan yang beredar di jalanan akan

menjadi menjadi “wajar”. Meskipun demikian, memang, pelaksanaan49 kebijakan (razia

kendaraan di lapangan) yang penting dan normatif ini pun berpotensi menyebabkan antrian

kendaraan & kerumunan manusia yang pada akhirnya menjadi bagian dari penyebab kemacetan

di ruas-ruas jalan-jalan tertentu (sebagai efek samping yang tak terhindarkan).

9.2 Ruas Jalan yang Pendek, Sempit, Rambu, dan Permukaan yang Tidak Datar

Sebagaimana telah dibahas, pada konteks ini, luas wilayah diasumsikan tidak bertambah.

Sementara itu, pada kenyataannya, sebagian besar ruas jalan (non-tol) yang berada di Indonesia

48
Pemeriksaannya bukan sekedar keberadaan surat ijin mengemudi (SIM) dan kelengkapan surat-surat
kendaraannya (STNK), tetapi ditambahkan dengan beberapa parameter yang mudah dikenali dengan cepat dan
secara visual seperti halnya pemeriksaan nomor polisi (terkait pajak kendaraan), knalpot (tertkait polusi udara &
suara), dan lain sejenisnya. Jadi, item-item atau kriteria (kebijakan) terkait emisi karbon bisa saja dimasukkan ke
dalam kebijakan “penyaringan” ini (di lain pihak, emisi karbon sebenarnya merupakan masalah yang lain dan lebih
luas, tetapi kemudian diwacanakan untuk dijadikan kebijakan khusus atau tersendiri untuk membatasi kendaraan
yang beroperasi).
49
Oleh sebab itu, teknisnya juga perlu diatur sedemikian rupa.

Logika & Analisis Sederhana Halaman: 27


(terutama di kota-kota besar di pulau Jawa) tidak rata (topografinya naik & turun) dan relatif

pendek & sempit karena beberapa sebab (diantaranya adalah karena pengembangan ruas jalan

terkendala oleh keberadaan bangunan atau pemukiman [landmarks] yang telah ada); setiap

beberapa puluh hingga ratusan meter akan dijumpai persimpangan atau perpotongan jalan

(terutama karena adanya ruas-ruas jalan atau gang untuk keluar & masuk komplek pemukiman

atau pertokoan). Hal ini tentu saja juga tidak lepas dari aspek-aspek budaya, daya-beli

masyarakat, kebijakan tataruang, dan lain sejenisnya. Oleh sebab itu, singkat cerita, para

pengendara perlu selalu berhati-hati dan mengurangi kecepatan (atau bahkan menghentikan)

kendaraannya setiap kali mendekati ruas-ruas jalan yang menanjak (pandangan ke depan

tidak jauh), titik-titik perpotongan jalan (persimpangan), pemukiman, dan kerumunan

manusia.

Apalagi jika di setiap perpotongan ruas jalan itu juga dipasangi rambu/lampu lalulintas

hingga jarak-jarak antar-lampu lalulintas itu tidak terlalu jauh yang pada akhirnya akan memaksa

para pengendara harus memperlambat laju kendaraannya (atau bahkan berhenti) untuk beberapa

saat beberapa kali50. Tentu saja hal ini akan menyebabkan fenomena kemacetan lalulintas secara

50
Biasanya, jika kita mulai memasuki lampu lalulintas dalam kondisi lampu merah menyala, dengan kecepatan
normal, maka kita akan mendatangi lampu lalulintas berikutnya juga dalam kondisi lampu merah menyala.

Logika & Analisis Sederhana Halaman: 28


sistematik. Belum lagi jika kondisi ini berkomplikasi dengan cuaca panas terik, dingin, hujan,

becek, banjir, dan adanya peristiwa tertentu di jalan (terjadi pencampuran beberapa jenis

kendaraan [truk, bis, mobil, motor, sepeda, dan pejalan kaki], kumpulan PKL, demo masyarakat,

kecelakaan, tanah longsor, perbaikan jalan, dan sejenisnya) yang menyebabkan kerumuman

manusia. Ini semua merupakan masalah di hulu bagi masalah kemacetan (hilir).

9.3 Faktor-Faktor Sistematik Lainnya

Faktor penyebab kemacetan sistematik tidak hanya ruas-ruas jalan yang relatif pendek,

sempit, dan menanjak (naik) beserta jarak-jarak lampu-lampu lalulintasnya yang berdekatan.

Keberadaan landmarks tertentu (yang detilnya telah disebutkan di atas) dalam jangka panjang di

ruas-ruas jalan tertentu dan berposisi tetap juga menjadi penyebab fenomena kemacetan

sistematik (hal ini juga termasuk masalah hulu). Faktor-faktor ini beserta masalah-masalah

turunan yang ditimbulkannya (termasuk kerumunan manusia dan kahirnya kemacetan) cukup

sulit untuk dipecahkan (menyangkut faktor alam dan berbagai pihak & kepentingan),

diformulasikan, dan dibuatkan solusinya (harus ada pihak-pihak yang bersedia untuk mengalah,

misalnya dengan pembebasan lahan, relokasi pasar & pemukiman, dan lain sejenisnya).

Logika & Analisis Sederhana Halaman: 29


9.4 Tidak Semua Jalan Dikenakan Kebijakan

Sebagaimana diketahui bahwa kebijakan pembatasan kendaraan tentu saja tidak

diberlakukan di semua ruas jalan dan di setiap waktu; hanya ruas-ruas jalan-jalan tertentu saja

(kawasan yang menjadi prioritas) dan di jam-jam sibuk. Bisa jadi hal ini dimaksudkan sebagai

langkah uji-coba, pentahapan, atau karena sebab telah terjadinya sebuah kompromi. Akibatnya:

(1) bisa jadi, ruas-ruas jalan di depan pasar tradisional, kompleks pertokoan, mall, dan lain

sejenisnya tidak/belum dikenakan kebijakan secara penuh (untuk mengurangi efek negatifnya

pada aktivitas ekonomi). (2) jika semua ruas jalan dikenakan untuk setiap waktu memang tidak

mungkin; akan besar resistansi atau resikonya. (3) jika sebagian ruas-ruas jalan dikenakan

kebijakan, maka pengaruhnya juga bisa berpindah ke ruas-ruas jalan-jalan yang lain; masalahnya

tidak hilang tetapi bepindah lokasi. (4) berdasarkan kenampakkannya, kebijakan semacam ini

memang tidak dimaksudkan untuk menuntaskan masalah kemacetan secara keseluruhan (100%)

di semua ruas jalan untuk selamanya; tujuannya masih bersifat parsial dan instan (temporer).

9.5 Faktor Populasi

Variabel populasi (manusia) tentu saja dengan sendirinya akan meningkatkan dampak

(langsung atau tidak langsung) dan/atau kebutuhan (demand) apa saja; termasuk sampah, limbah,

Logika & Analisis Sederhana Halaman: 30


polusi, bahan makanan (lahan-lahan pertanian, perkebunan, dan industri), air, perumahan (lahan

pemukiman), alat transportasi, dan lain sejenisnya. Jadi, pada kasus ini, makin besar populasinya,

makin besar pula (potensi) kebutuhan kendaraannya. Jika faktor ini juga didukung oleh daya-beli

masyarakat dan penawaran berbagai jenis kendaraannya, maka jumlah kendaraan yang beredar di

jalanan akan segera bertambah pesat; terlepas dari baik-buruk kondisi ruas-ruas jalannya. Sebab,

kebutuhan alat transportasi sudah tidak lagi dapat dibendung dan telah menjadi rutinitas seperti

halnya makan dan minum; kebutuhan pokok. Hal ini memang logis.

Di Indonesia, apalagi di kota-kota besarnya, penurunan (jumlah) total kendaraan yang

beredar di ruas-ruas jalan sebagai akibat adanya kebijakan pembatasan kendaraan, dari waktu-

ke-waktu, cenderung lebih rendah dari pada peningkatan (jumlah) total kendaraan yang

disebabkan oleh peningkatan kebutuhannya akibat populasi yang tumbuh lebih cepat (karena

populasi yang memang sudah besar, pertumbuhannya yang pesat, dan urbanisasi yang masif dari

tahun-ke-tahun). Kalau pun kebijakannya dianggap efektif, maka hal itu cenderung terjadi di

perioda awal yang relatif singkat. Tetapi seiring dengan berjalannya waktu, efektifitas kebijakan

tersebut cenderung terus menurun.

Artinya, pada kasus-kasus seperti ini, (jumlah, angka pertumbuhan, daya-tarik perkotaan,

dan faktor urbanisasi) populasi menjadi variabel yang sangat berpengaruh (menjadi faktor

pengendali). Populasi adalah masalah hulu (di awal dan menjadi penyebab utama). Sayangnya,

meskipun perlu dikendalikan, variabel yang penting ini tidak dapat disentuh oleh kebijakan-

kebijakan yang menjadi concern. Kemacetan adalah masalah hilir (akibat). Hal inilah yang

perlu disadari sejak awal. Kewenangan mengenai (urusan) populasi berada di luar (konteks)

kewenangan pihak-pihak perancang atau para analis kebijakan terkait urusan-urusan

lalulintas, kendaraan, dan kemacetan. Masalah populasi, kepadatan, dan sebarannya beserta

Logika & Analisis Sederhana Halaman: 31


seluruh konsekuensinya jauh lebih luas, penting, dan kompleks; perlu penanganan tersendiri.

Lingkup dan kewenangan kebijakan pembatasan kendaraan menyebabkan para perancangnya

berurusan dengan satu atau lebih variabel yang sebenarnya merupakan akibat (gejala masalah

atau variabel turunan).

Pengaruh populasi berikut sebarannya tentu saja berdampak pada kepadatan penduduk

dan sebaran beberapa tipe landmarks yang berpotensi menyebabkan banyak kerumunan manusia.

Tentu saja landmarks seperti ini tidak (selalu) mudah untuk ditata-ulang. Bahkan, keberadaannya

sering kali menimbulkan konflik-konflik horizontal. Oleh sebab itu, dampak tidak langsung dari

populasi yang besar ini juga dapat menyebabkan fenomena kemacetan secara sistematik.

Meskipun demikian, dampak ini, walaupun mudah dipahami dan disadari, tidak mudah untuk

diformulasikan.

9.6 Faktor-Faktor Dayabeli, Iklan, Tayangan, Penawaran, dan Suplai Kendaraan

Dengan populasinya yang sudah besar, tentu saja Indonesia memerlukan banyak

kendaraan sebagai alat transportasi. Demikian pula dengan pihak-pihak lain yang sudah biasa

menawarkan kendaraan. Mereka sudah melihat, memperhitungkan, dan memanfaatkan potensi

ini. Oleh sebab itu, mereka (dealer, pabrikan, dan sejenisnya) selalu menawarkan dan mensuplai

banyak bentuk, merk, dan harga kendaraan yang dapat dipilih; terutama roda-2 dan roda-4. Tentu

Logika & Analisis Sederhana Halaman: 32


saja mereka juga melengkapi penawarannya dengan brosur, iklan, dan tayangan-tayangan acara

di TV (terutama balap-balap motor & mobil) & media online (termasuk video). Masyarakat

tergiur; demand kendaraan meningkat. Selain itu, untuk meningkatkan daya-beli masyarakatnya

(calon-customer), proses pembayaran kendaraan banyak dimudahkan dengan hadirnya pihak

ketiga (hingga pembayaran dapat diangsur). Akhirnya, harga-harga kendaraan pun menjadi

sangat terjangkau oleh banyak pihak; banyak peminatnya hingga kendaraan yang beredar di

jalanan semakin banyak dalam waktu relatif singkat. Tetapi anehnya, sebagian dari pihak ketiga

ini menghindari pembayaran secara kontan.

9.7 Sinergi Antar-Kebijakan

Berdasarkan bahasan di atas, maka untuk mencapai efektivitas yang lebih tinggi dalam

jangka panjang, diperlukan pelibatan variabel-variabel pengendali. Jika variabel-variabel itu

tidak berada dalam jangkauan (di luar konteks atau kewenangan), maka diperlukan sinergi

(keselarasan)51 dengan kebijakan-kebijakan lain (yang sudah ada). Oleh sebab itu, para

51
Suatu kebijakan yang tidak selaras (bersinergi), apalagi “bentrok”, dengan kebijakan-kebijakan lain yang sudah
ada cenderung akan mengalami penurunan efektivitasnya lebih cepat; bisa mengganggu keberadaan kebijakan itu
sendiri.

Logika & Analisis Sederhana Halaman: 33


perancang (analis) kebijakan (baru) perlu terlebih dahulu mempelajari (existing) kebijakan lain

yang terkait untuk mendapatkan banyak keuntungan sekaligus berpotensi untuk mendatangkan

manfaat lain bagi proses penyelesaian masalah di sektor lainnya. Jadi, sebagai misal, untuk

mengurangi dampak kemacetan (dan polusi udara akibat emisi gas buang), selain diperlukan

kebijakan pembatasan terhadap kendaraan bermotor secara langsung (yang beredar di jalanan),

faktor-faktor lain juga perlu dikendalikan (melalui kebijakan lain yang mengatur: [1] penyediaan

sistem transportasi umum yang memadai; [2] pengendalian populasi, sebaran, urbanisasinya, dan

kesempatan kerja yang merata di berbagai daerah; [3] pembatasan kendaran berbasis emisi gas

buang dan kebisingan knalpotnya; [4] tataruang yang juga mengatur kapasitas [ruas] jalan yang

optimal beserta sebaran wilayah pemukiman dan penempatan industri beserta kadar emisi yang

diijinkannya52; [5] lokasi-lokasi rambu/lamput lalulintas dan landmarks yang berpotensi untuk

menyebabkan kerumunan orang dan kemacetan; dan [6] lain sejenisnya).

9.8 Faktor Disiplin, Mental, dan Ketaatan

Sebaik-baiknya kebijakan (solusi atau intervensi) yang dibuat tetap saja tidak akan

pernah efektif jika tidak ditaati oleh masyarakatnya (yang menjadi target). Selain itu, bisa jadi,

suatu kebijakan akan dievaluasi kembali jika akhirnya tidak ditaati oleh mayoritas

masyarakatnya. Oleh sebab itu, diperlukan kedisiplinan, mental & spiritual yang kuat, dan

52
Kebijakan terkait batasan-batasan emisi kendaraan bermotor dan industri tentu saja dibuat terpisah.

Logika & Analisis Sederhana Halaman: 34


konsistensi untuk dapat taat hukum, peraturan, dan kebijakan yang telah dibuat. Jika hal tidak

tercapai, maka lakukanlah upaya-upaya pembinaan-pembinaan mental, spiritual, disiplin, atau

bahkan “revolusi mental”53. Bangsa yang kuat, baik, dan maju adalah bangsa yang bermental

kuat, disiplin, dan taat hukum, peraturan, dan kebijakan.

9.9 Kejadian Istimewa & Variabel Baru

Populasi manusia adalah variabel penting dan berpotensi akan menentukan banyak hal.

Meskipun demikian, terkadang, terdapat situasi kekecualian yang bersifat istimewa (kecelakaan,

bencana alam, wabah, atau situasi lain yang sejenis dan tergolong sebagai force majeure).

Sebagai misal, dulu, ketika pandemi Covid-19 masih berlangsung ketat, dalam kurun waktu

sekitar 2020-an hingga 2022-an, nilai-nilai variabel populasi dan jumlah kepemilikkan kendaraan

yang sudah tinggi pun tidak serta-merta (pasti dan secara langsung) menyebabkan kemacetan54.

Mengapa? Pada saat itu, fenomena yang muncul adalah sepinya ruas-ruas jalanan di seluruh

dunia dari manusia dan kendaraan. Kondisi pada saat itu disebabkan oleh beberapa faktor: [1]

sebagian orang meninggal dunia akibat Covid-19 dan komplikasinya dengan penyakit bawaan

53
Sehubungan dengan hal ini, maka aktivitas-aktivitas pendisiplinan dan pengembangan mental-spiritual seperti
halnya latihan-latihan kepemimpinan, survival, olahraga beladiri, resimen mahasiswa, semacam wanadri atau
pecinta alam, wajib-militer, dan lain sejenisnya juga sangat diperlukan.
54
Kejadian ini membuktikan bahwa populasi yang sudah besar dan/atau tingkat kepemilikkan kendaraan yang
tinggi tidak serta-merta (pasti) menyebabkan fenomena kemacetan. Masih terdapat faktor (variabel-variabel) lain
yang menyebabkan (memicu) kedua variabel penting ini “berinteraksi” hingga akhirnya dapat dikatakan
“berbanding lurus” dengan kendaraan yang beredar di jalanan dan akhirnya fenomena kemacetan.

Logika & Analisis Sederhana Halaman: 35


tertentu (mengurangi populasi); [2] banyak orang yang sakit (hingga harus tetap tinggal di rumah

[isoman] atau di rumah sakit/klinik); [3] banyak orang yang tinggal di rumah (karena takut

tertular, ter-phk55, belajar secara online (daring), atau bahkan sedang mendapat giliran work from

home/anywhere [WFH/A]; [4] adanya kebijakan [syarat] harus sudah divaksin bagi yang akan

menempuh perjalanan; dan [5] dijalankannya kebijakan-kebijakan pembatasan sosial berskala

besar (PSBB) secara ketat, protokol kesehatan, dan lain sejenisnya. Semua itu menyebabkan

(seolah) populasi berkurang, orang yang bepergian berkurang, penggunaan kendaraan berkurang,

kebutuhan kendaraan [baru] berkurang, dan jumlah total kendaraan yang beredar juga sangat

berkurang, tetapi kenyamanan berkendara tinggi (jalanan sepi). Faktor-faktor penurunan

kebutuhan (motif) dan peningkatan hambatan (larangan) bepergian menyebabkan kemacetan

jauh berkurang.

Berdasarkan fenomena langka ini, ternyata, ditemukan variabel-variabel baru yang

menentukan; yaitu, kebutuhan (minat atau demand), durasi, frekuensi, dan hambatan (rintangan

atau larangan) bepergian (berkendara). Jadi, jika populasinya besar, daya-beli masyarakatnya

tinggi, dan kepemilikkan terhadap kendaraannya juga tinggi, seharusnya, jumlah total kendaraan

yang beredar di jalanan tidak akan besar (jauh berkurang) jika nilai-nilai variabel-variabel

kebutuhan, durasi, dan frekuensi bepergiannya rendah sementara hambatannya tinggi56.

Model konseptual fenomena kemacetan bertambah kompleks. Variabel-variabel

tambahan ini, di dalam model, secara teori, dapat dikendalikan untuk mencegah fenomena

kemacetan lebih lanjut. Meskipun demikian, nampaknya, variabel-variabel ini bersifat kompleks

55
Pemutusan hubungan kerja (berhenti bekerja).
56
Variabel-variabel kebutuhan, durasi, dan frekuensi berkendara cenderung bersifat internal (dari diri sendiri) dan
berbeda (unik) untuk setiap individu. Meskipun demikian, untuk yang berdekatan atau yang memiliki pola-pola
tertentu (misalnya sesama petani, mahasiswa, pelajar, karyawan, pekerja, buruh, dan lain sejenisnya),
kemungkinan besar memiliki unsur-unsur keserupaan atau irisan aktivitas yang sama. Sedangkan variabel
hambatan lebih cenderung bersifat eksternal (berasal dari luar individu) meskipun juga bisa bersifat internal
(hambatan untuk mengendara berasal dari diri sendiri).

Logika & Analisis Sederhana Halaman: 36


(abstrak) hingga tidak mudah untuk dirumuskan secara sederhana & konkrit; [1] terutama

bagaimana menterjemahkan kebutuhan aktivitas-aktivitas ekonomi, sosial, pendidikan, dan lain

sejenisnya menjadi variabel tunggal “kebutuhan berkendara” (maksimum), dan [2] bagaimana

menterjemahkan segala hambatan menjadi variabel tunggal “indeks bepergian”. Oleh sebab itu,

diperlukan penyederhanaan. Misalkan, dengan munculnya variabel “kebutuhan berkendara” dan

“indeks bepergian” (nilai-nilainya merupakan bilangan real antara 0.0 [hambatan maksimum]

hingga 1.0 [hambatan minimum atau nol]).

9.10 Keleluasaan Berkendara di Tempat Baru (Masih Kosong)

Lain halnya jika kita berada di tempat atau wilayah yang relatif masih kosong seperti

halnya di sebagian area di pulau-pulau Sumatera, Kalimantan, Sulawesi, Papua, dataran Siberia,

gurun Sahara, pada rumput Serengeti, dan lain sejenisnya. Di wilayah-wilayah seperti itu,

perencanaan dapat dilakukan lebih leluasa hingga hasilnya berpotensi mendekati ideal. Hal itu

disebabkan karena unsur-unsur bangunan (pemukiman manusia dan lokasi-lokasi

perekonomian), jalan, dan infrastruktur lainnya sama sekali belum terbentuk atau setidaknya

masih sedikit hingga tidak terlalu menjadi batasan (kekangan) yang ketat bagi proses-proses

pengembangan atau pembangunan. Selain itu, di area-area ini, potensi konfliknya (antar-

Logika & Analisis Sederhana Halaman: 37


manusia) masih minim. Jadi, di area-area contoh itu, tataruangnya bisa dirancang sedemikian

rupa (jalan lebih panjang dan lebar, lokasi-lokasi landmarks lebih tertata rapi, dan lain

sejenisnya) hingga memungkinkan lebih banyak kebutuhan masyarakat yang terpenuhi dengan

baik & nyaman; termasuk kebutuhan tingkat kemacetan yang rendah (kenyamanan berkendara

dalam jangka panjang).

Logika & Analisis Sederhana Halaman: 38

Anda mungkin juga menyukai