Anda di halaman 1dari 13

MAKALAH

Perencanaan dan Pelaksanaan Layanan Bimbingan dan Konseling Kasus Studi dan Simulasi
pada Siswa Tuna Netra, Tuna Rungu.
Di Susun Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Pelayanan BK pada Pendidikan Inklusi
Dosen Pengampu: Dr. Satrio Budi Wibowo, M. A.

Di Susun Oleh:
Kelompok 9
Maya Riswana 21130059
Wayan Juniasari 21130025
Nisa Armela 21130036
Delfia Sephany 21130044
Kurnia Ningsih 21130085
Riska Nursita F 21130086
Rifki Anggi S 21130017
Asnan Wahyudi 21130040

PRODI BIMBINGAN DAN KONSELING


FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH METRO
2023

i
KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa yang telah melimpahkan rahmat dan
karunianya sehingga makalah Pelayanan BK pada Pendidikan Inklusi dengan judul
“Perencanaan dan Pelaksanaan Layanan Bimbingan dan Konseling Kasus Studi dan Simulasi
pada Siswa Tuna Netra, Tuna Rungu” ini dapat terselesaikan dengan tepat waktu.
Penyusun mengucapkan terima kapada Bapak Dr. Satrio Budi Wibowo, M. A. selaku
dosen pengampu dari mata kuliah Pelayanan BK pada Pendidikan Inklusi yang telah
memberikan tugas membuat makalah ini, sehingga memberikan kesempatan kepada penyusun
untuk menambah wawasan dan ilmu pengetahuan mengenai hal yang dibahas.

Akhir kata, saya ucapkan terimakasih, dan juga semoga makalah ini dapat bermanfaat
bagi para pembaca, terimakasih.

Metro, 18 Desember 2023

Penyusun,

Kelompok 9

ii
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ............................................................................................. ii


DAFTAR ISI............................................................................................................. iii
BAB I PENDAHULUAN ........................................................................................ 1
A. Latar Belakang ............................................................................................... 1
B. Rumusan Masalah .......................................................................................... 1
C. Tujuan ........................................................................................................... 1
BAB II PEMBAHASAN ......................................................................................... 2
A. Karakteristik Tuna Netra, Tuna Rungu .......................................................... 2
B. Perencanaan dan Pelaksanaan Layanan BK pada siswa Tuna Netra dan
Tuna Rungu .................................................................................................. 5
BAB III PENUTUP .................................................................................................. 9
A. Kesimpulan .................................................................................................... 9
B. Saran .............................................................................................................. 9
Daftar Pustaka ......................................................................................................... 10

iii
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Ketunarunguan seringkali memiliki masalah komunikasi. Ketidakmampuannya untuk
berkomunikasi berdampak luas, baik pada segi keterampilan bahasa, membaca, menulis,
meupun penyesuaian sosial serta prestasi akademiknya. Hambatan-hambatan yang dialami
anak tuna rungu berawal dari kesulitannya mendengar, sehingga pembentukan bahasa
sebagai salah satu cara berkomunikasi menjadi terhambat. Dengan ketidakmampuan
berbahasa, khususnya secara verbal, iapun akan mengalami kesulitan dalam
menyampaikan pikiran dan gagasan, kebutuhan dan kehendaknya kepada orang lain.
Hambatan ini seringkali membuat anak frustasi, dan terisolir dari lingkungan sosialnya.
Kebanyakan orang mengira bahwa tunanetra indentik dengan buta, padahal tidaklah
demikian karena tunanetra dapat diklasifikasikan ke dalam beberapa kategori Anak yang
mengalami gangguan penglihatan dapat didefinisikan sebagaianak yang
rusakpenglihatannya yang walaupun dibantu dengan perbaikan, masih mempunyai
pengaruh yang merugikan bagi anak yang yang bersangkutan. Pengertian ini mencakup
anak yang masih memiliki sisa penglihatan dan yang buta.
Anak-anak ABK memerlukan bimbingan dan pendidikan khusus untuk mencapai
kehidupan yang layak. Menurut Hallahan dan Kauffman (dalam Suharsiwi, 2017: 3)bahwa
individu kebutuhan khusus adalah mereka yang memerlukan pendidikan dan pelayanan
terkait, jika mereka menyadari bahwa setiap manusia memiliki kelebihan sehingga
meyakini akan potensi kemanusiaan mereka. Pendidikan khusus diperlukan karena mereka
tampak berbeda dari siswa pada umumnya pada satu atau lebih hambatan seperti: mereka
memiliki hambatan intelektual (kecerdasannya), ketidak mampuan belajar atau gangguan
atensi, gangguan emosi dan perilaku, hambatan fisik, hambatan komunikasi, penglihatan
atau special gift and talents.

B. Rumusan Masalah
1. Apa yang dimaksud karakteristik tunanetra dan tuna rungu?
2. Bagaimana prencanaan dan pelaksanaan layanan BK pada siswa tunan Netra dan
tuna rungu?

C. Tujuan
1. Untuk mengetahui karakteristik tuna Netra dan tuna rungu.
2. Untuk mengetahui prencanaan dan pelaksanaan layanan BK pada siswa tunan Netra
dan tuna rungu.

1
BAB II
PEMBAHASAN
A. Karakteristik Tuna Netra, Tuna Rungu
1. Tuna Netra
Anak yang mengalami gangguan penglihatan dapat didefinisikan sebagai anak yang
rusakpenglihatannya yang walaupun dibantu dengan perbaikan, masih mempunyai
pengaruh yang merugikan bagi anak yang yang bersangkutan. Pengertian ini mencakup
anak yang masih memiliki sisa penglihatan dan yang buta.

Tunanetra adalah salah satu jenis hambatan fisik yang ditandai dengan
ketidakmampuan seseorang untuk melihat, baik menyeluruh (total blind) ataupun
sebagian (low vision) dan walaupun telah diberi pertolongan dengan alat-alat khusus,
mereka masih tetap memerlukan pendidikan khusus. Sehingga diklasifikasi tunanetra
menjadi dua macam yaitu; Tunanetra Total (Totally Blind) dan Kurang Awas (Low
Vision), dijelaskan sebagai berikut:

a. Tunanetra total (totally blind)


Menurut batasan legal yang dimaksud tunanetra total adalah mereka yang
memiliki ketajaman penglihatan tidak lebih dari 20/200 dan luas pandang tidak
lebih dari 20 derajat meski telah mendapat upaya perbaikan terhadap kemampuan
penglihatannya.
b. Kurang Awas (Low Vision)
Menurut batasan legal yang dimaksud low vision adalah bila anak masih
mampu memerima rangsang cahaya dari luar, tetapi ketajamannya lebih dari 6/21,
atau berdasarkan tes anak hanya mampu membaca huruf pada jarak 6meter yang
oleh orang awas dapat dibaca pada jarak 21 meter.

Menurut Kauffman dan Hallahan, berdasarkan sudut pandang pendidikan, ada dua
kelompok gangguan penglihatan:

1) Siswa yang tergolong buta akademis (educational blind), mencakup siswa yang
tidak dapat lagi menggunakan penglihatannya untuk tujuan belajar huruf
awas/cetak. Pendidikan yang diberikan pada siswa meliputi program pengajaran
yang memberikan kesempatan anak untuk belajar melalui non visual senses (sensori
lain di luar penglihatan).

2
2) Siswa yang melihat sebagian / kurang awas (the partially sighted/ low vision)
meliputi siswa dengan penglihatan yang masih berfungsi secara cukup, diantaranya
20/70 – 20/200, atau mereka yang mempunyai ketajaman penglihatan normal tapi
medan pandangan kurang dari 20 derajat. Dengan demikian cara belajar utamanya
dapat semaksimal mungkin menggunakan penglihatan (visualnya).

Ciri utama dari mereka yang mengalami gangguan penglihatan/tuna netra adalah
ketidak normalan dalam melihat, yang dilihat dari :

1) Penglihatan samar-samar untuk jarak dekat dan jauh. Hal ini dijumpai pada kasus
myopia, hyperopia, ataupun astigmatismus. Semua ini masih dapat diatasi dengan
menggunakan kacamata ataupun lensa kontak.
2) Medan penglihatan yang terbatas, misalnya hanya jelas melihat tepi/perifer atau
sentral. Dapat terjadi pada salah satu atau kedua bola mata.
3) Tidak mampu membedakan warna.
4) Adaptasi terhadap terang dan gelap terhambat.
5) Sangat sensitive/peka terhadap Cahaya atau ruang terang atau photophobic. Orang-
orang Albino biasanya merasa kurang nyaman berada dalam ruangan yang terang.

Siswa yang kurang awas memiliki kesulitan dalam mengerjakan tugas-tugas yang
berupa tugas visual, namun dengan bantuan lensa yang sesuai, maka mereka dapat
meningkatkan kemampuannya dalam menyelesaikan tugas dengan menggunakan
strategi penglihatan lain, seperti peralatan low vision dan modifikasi lingkungan.

2. Tuna Rungu
Ketunarunguan seringkali memiliki masalah komunikasi. Ketidakmampuannya
untuk berkomunikasi berdampak luas, baik pada segi keterampilan bahasa, membaca,
menulis, meupun penyesuaian sosial serta prestasi akademiknya. Definisi dan
kategorisasi dari ketulian tampak sebagai berikut :

a) Kelompok 1: Hilangnya pendengaran yang ringan (20-30 dB). Orang-orang dengan


kehilangan pendengaran sebesar ini masih mampu berkomunikasi dengan
menggunakan pendengarannya. Gangguan ini merupakan ambang batas
(borderline) antara orang yang sulit mendengar dengan orang normal.

3
b) Kelompok 2: Hilangnya pendengaran marginal (30-40 dB). Orang-orang dengan
gangguan ini sering mengalami kesulitan untuk mengikuti suatu pembicaraa pada
jarak beberapa meter. Pada kelompok ini, orang-orang masih bisa menggunakan
telinganya untuk mendengar, namun harus dilatih.
c) Kelompok 3: Hilangnya pendengaran yang sedang (40 – 60 dB). Dengan bantuan
alat bantu dengar dan bantuan mata, orang-orang ini masih bisa belajar berbicara
dengan mengandalkan alat-alat pendengaran.
d) Kelompok 4: Hilangnya pendengaran yang berat (60 – 75dB). Orang-orang ini tidak
bisa belajar berbicara tanpa menggunakan teknik-teknik khusus. Pada gangguan ini
mereka sudah dianggap sebagai “tuli secara edukatif”. Mereka berada pada ambang
batas antara sulit mendengar dengan tuli.
e) Kelompok 5: Hilangnya pendengaran yang parah (>75dB). Orang-orang dalam
kelompok ini tidak bisa belajar bahasa hanya semata-mata dengan mengandalkan
telinga, meskipun didukung dengan alat bantu dengar sekalipun.

Jadi, menurut definisi di atas, kelompok 1, 2 dan 3 tergolong sulit mendengar.


Sedangkan kelompok 4, 5 tergolong tuli. Kesulitan dalam berbicara akan semakin
bertambah sejalan dengan semakin bertambahnya kesulitan pendengaran.

Menurut Telford dan Sawrey, karakteristik ketunarunguan tampak dari simtom-


simtom seperti:
1) Ketidakmampuan memusatkan perhatian yang sifatnya kronis.
2) Kegagalan berespon apabila diajak berbicara.
3) Terlambat berbicara atau melakukan kesalahan artikulasi.
4) Mengalami keterbelakangan di sekolah.

Rata-rata anak tunarungu pada awal kehidupan mengeluarkan bunyi yang sama
dengan anak normal. Namun pada anak normal, sesuai dengan penelitian
perkembangan dari para ahli, secara umum anak akan mulai meggunakan kata-kata
pada usia 12 – 18 bulan. Sedangkan anak tunarungu tidak mampu mengeluarkan kata-
kata pertama yang terarah. Jika pada tahun kedua anak tidak juga mengeluarkan kata-
kata pertamanya kemungkinannya anak mengalami ketulian. Tentu saja, diagnosa ini
harus diperkuat dengan cara-cara lain mengingat ada kemungkinan ketidakmampuan

4
berbicara anak disebabkan kasus lain seperti kurangnya stimulasi lingkungan, konflik
emosional, autism, keterbelakangan mental dan keterlambatan perkembangan.

Secara rinci cartwright dan cartwright mengemukakan tiga cara identifikasi yang
dapat dilakukan orangtua atau guru dalam kehidupan sehari-hari yaitu identfikasi
melalui indikator perilaku, tanda-tada fisik serta keluhan yang dikemukakan anak.

1) Indikator perilaku seperti :


a) Ketidakmampuan memberikan perhatian
b) Mengarahkan kepala atau telinga ke arah pembicara
c) Gagal mengikuti instruksi lisan, terutama dalam situasi kelompok
d) Meminta pengulangan, terutama untuk pertanyaan
e) Memiliki masalah wicara
f) Menolak menjadi sukarelawan dalam kelas atau kelompok diskusi
g) Menarik diri
h) Berkonsentrasi secara berlebihan pada wajah atau mulut lawan bicaranya
i) Respon-respon tidak sesuai atau inkonsisten

2) Tanda-tanda fisik, ditunjukkan dengan :


a) Telinga yang mengeluarkan cairan
b) Bernapas melalui mulut
c) Sering menggunakan kapas pada telinga
d) Ekspresinya tampak letih dan tertekan meskipun pada pagi hari

3) Keluhan yang kerap dikatakan :


a) Sakit pada telinga
b) Mendengar dengungan atau deringan
c) Ada “suara” di dalam kepala
d) Merasa ada benda di dalam telinga
e) Telinga yang luka
f) Sering demam, sakit tenggorakan dan/ atau tonsillitis

B. Perencanaan dan Pelaksanaan Layanan BK pada siswa Tuna Netra dan Tuna
Rungu
1. Perencanaan dan Pelaksanaan Layanan BK pada siswa Tuna Netra
Secara umum pemberian layanan BK pada siswa tunanetra ini hampir sama
dengan yang dilakukan pada sekolah umum. Semua layanan dan kegiatan pendukung
BK dapat diimplementasikan pada siswa tunanetra dan tidak mengalami hambatan yang
berarti (Pangestuti et al., 2018).
Guru BK dapat melakukan pelayanan dengan metode ceramah, diskusi dan
tanya jawab. Metode ini biasanya dilaksanakan oleh guru BK baik di dalam kelas
maupun di ruang BK. Sedangkan media yang dapat dipergunakan guru BK adalah
media audio, media berbasis komputer yang dilengkapi dengan screen reader dan media
internet.

5
Guru BK telah memberikan beberapa layanan yang dibutuhkan oleh siswa
tunanetra, agar dapat memperoleh hasil yang baik maka perlu kolaborasi baik dengan
guru mata pelajaran, guru kelas ataupun dengan orang tua siswa. Adapun layanan yang
telah diberikan yaitu layanan orientasi, layanan informasi, layanan penempatan dan
penyaluran, dan layanan konseling individu.
a. Layanan orientasi
Bimbingan Konseling untuk anak Tuna Netra yaitu suatu perlakuan pemberian
bantuan kepada para individu maupun kelompok dengan cara melalui pembicaraan,
interaksi, nasehat, dan gagasan dengan arahan yang dapat memperhatikan norma
sehingga dia bisa mandiri.
Anak Tuna Netra yang memiliki keterbatasan atau ketidakmampuan dalam
menerima informasi dari luar melalui indra penglihatannya dan penerimaan
rangsang hanya dapat melalui pemanfaatan indera lainnya. Sehingga anak Tuna
Netra perlu sekali dengan adanya pelayanan bimbingan konseling yang dapat
memungkinkan anak itu dapat memahami lingkungan yang ada di sekitar dia yang
baru dimasuki.
Hal ini dapat mempermudah dan mempelancar anak itu dalam adanya
lingkungan yang baru, kegiatan orientasi ini memungkinkan anak tuna netra bisa
mengetahui dengan posisi tujuan yang ada di sekitarnya lalu dapat memungkinkan
serta mengetahui cara bagaimana anak tersebut untuk mencapai tujuan.
b. Layanan Informasi
Indera pendengaran sebagai saluran yang utama penerima informasi
keterbatasan atau ketidakmampuan dalam fungsi penglihatan, sebagai pengganti
layanan informasi ini memungkinkan kepada anak tuna netra dapat menerima dan
dapat memahami berbagai ragam informasi di sekitarnya.
c. Layanan Penempatan dan Penyaluran
Layanan ini yang dimaksudkan agar pembagian dapat dikosentrasikan dengan
tepat dan tidak ada kesalahan penempatan penyaluran yang di dalam kelas,
kelompok belajar, program latihan, kegiatan ekstra kurikuler yang sesuai dengan
potensi bakat minat di dalam dirinya dan harus tau kondisi pribadinya.
d. Layanan Konseling Individu
Anak Tuna Netra yang memiliki keterbatasan dalam visualisasi akibatnya anak
tersebut akan mempunyai permasalahan sehingga anak tersebut harus memerlukan
sebuah layanan konseling individu. Layanan ini memungkinkan kepada anak Tuna
6
Netra untuk mendapatkan secara langsung dengan tatap muka di guru pembimbing
dalam pembahasan dalam permasalahan dan solusi dalam pribadi yang dialaminya.

2. Perencanaan dan Pelaksanaan Layanan BK pada siswa Tuna Rungu


Guru BK melaksanakan beberapa layanan yang sangat dibutuhkan oleh siswa
tunarungu seperti bimbingan kelompok, metode berpusat pada diri sendiri, metode non-
direktif, metode direktif, metode elektif.
a. Bimbingan kelompok
Bimbingan kelompok dapat mengembangkan sikap sosial, sikap memahami
peran anak bimbingan dalam lingkungan karena ingin mendapatkan pandangan
baru tentang dirinya dari orang lain. Dalam bimbingan kelompok guru BK atau
konselor harus memiliki inisiatif dan memegang peranan instruksional. Seperti
berlaku sebagai instruktur atau sumber ahli untuk berbagai macam pengetahuan
atau informasi. Tujuan utama dari bimbingan kelompok ini untuk penyebaran
informasi mengenai penyesuaian diri dengan lingkungannya.
b. Metode berpusat pada diri sendiri
Metode ini mempunyai dasar pandangan bahwa konseli sebagai makhluk yang
memiliki kemampuan berkembang sendiri dan sebagai pencari kematangan diri
sendiri. Dalam menggunakan teknik ini konselor harus sabar mendengarkan,
memperhatikan dan melayani segala yang diungkapkan dan di inginkan konseli.
Dengan ini konselor terlihat secara pasif namun tetap menganalisis segala hal yang
didapat dari konseli.
c. Metode Non-direktif
Pada metode ini bersumber pada beberapa keyakinan dasar tentang manusia,
bahwa manusia berhak menentukan jalan hidupnya sendiri. Manusia juga memiliki
daya kuat untuk mengembangkan dirinya. Konseli mengungkapkan segala apa yang
dirasakan dan pikiran kemudia ditinjau kembali dengan mendapatkan bantuan dari
konselor.
d. Metode direktif
Membantu konseli dalam mengatasi masalahnya dengan menggali daya berfikir
mereka, segala tingkah laku yang mungkin terlalu berdasarkan perasaan dan
dorongan implusif harus diganti dengan yang lebih rasional. Tujuan dari metode ini
adalah membantu konseli mengganti tingkah laku emosional dan implusif dengan

7
tingkah laku yang lebih rasional. Lepasnya berbagai perasaan yang mengganggu
dengan tingkah laku yang lebih baik dan rasional.
e. Metode eletif
Metode ini gabungan antara teknik non direktif dan direktif. Munculnya metode
ini karena lemahnya penggunaan mode tunggal yang sebenarnya dalam praktiknya
tidak mudah.

8
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Anak yang mengalami gangguan penglihatan dapat didefinisikan sebagai anak
yang rusak penglihatannya yang walaupun dibantu dengan perbaikan, masih
mempunyai pengaruh yang merugikan bagi anak yang yang bersangkutan. Pengertian
ini mencakup anak yang masih memiliki sisa penglihatan dan yang buta. Tunanetra
adalah salah satu jenis hambatan fisik yang ditandai dengan ketidakmampuan seseorang
untuk melihat, baik menyeluruh (total blind) ataupun sebagian (low vision). Sedangkan
Ketunarunguan seringkali memiliki masalah komunikasi. Ketidakmampuannya untuk
berkomunikasi berdampak luas, baik pada segi keterampilan bahasa, membaca,
menulis, meupun penyesuaian sosial serta prestasi akademiknya.
Layanan bimbingan dan konseling bagi siswa tunanetra diberikan dalam bentuk
layanan orientasi, layanan informasi, layanan konseling individu, dan layanan
penempatan dan penyaluran. Layanan bimbingan konseling bagi siswa tunarungu
diberikan dalam bentuk bimbingan kelompok, metode berpusat pada diri sendiri,
metode non-direktif, metode direktif, dan metode elektif.
B. Saran
Dalam penyusunan makalah ini, tentu masih ada kekurangan yang hendaknya
penulis dapat perbaiki, mulai dari sistematika, kajian teori, dan kurangnya referensi
yang menentukan kualitas makalah ini kedepannya. Oleh karena itu, kritik dan saran
dari para pembaca atas terbitnya makalah ini penulis harapkan dalam rangka evaluasi
dan demi peningkatan kualitas penulisan kedepannya.

9
DAFTAR PUSTAKA

Pangestuti, L., Aspin, & Arifyanto, A. T. (2018). Implementasi Bimbingan dan Konseling
Bagi Anak Berkebutuhan Khusus SLB AC Mandara Kendari. Bening, 2(1), 57–67.
http://ojs.uho.ac.id/index.php/bening/article/view/10580
Suharsiwi. (2017). Pendidikan Anak Berkebutuhan KHusus. CV Prima Print.

10

Anda mungkin juga menyukai