Anda di halaman 1dari 40

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Apprenticeship

Perkembangan ilmu pengetahuan dalam bidang administrasi


pendidikan, termasuk kekepalasekolahan, terjadi sangat cepat dari waktu ke
waktu, sebagai akibat dari perkembangan teknologi dan globalisasi.
Perkembangan ini merupakan suatu hal yang menggembirakan, karena
perkembangan ilmu Administrasi Pendidikan menunjukkan adanya
kesinambungan dalam memecahkan berbagai permasalahan dalam praktik
penyelenggaraan pendidikan. Dalam dimensi ruang dan waktu yang berbeda,
praktik penyelanggaraan pendidikan membutuhkan aplikasi ilmu pengetahuan
dan teknologi yang variatif, sehingga penyelenggaraan pendidikan dapat
dikelola secara efektif dan efisien.
Mahasiswa S2 Prodi Administrasi Pendidikan dan Mahasiswa program
kerjasama Program Studi administrasi Pendidikan SPs UPI dengan Direktorat
Pengembangan Pendidik dan Tenaga Kependidikan Pendidikan Dasar (P2TK
Dikdas), merupakan mahasiswa yang diwajibkan menguasai berbagai
kompetensi dalam kebijakan penyelenggaraan pendidikan dasar, khususnya
pada tingkat sekolah/madrasah. Kompetensi yang wajib dikuasai para
mahasiswa diarahkan kepada kemampuan dasar calon kepala
sekolah/madrasah, khususnya yang terkait dengan bidang kepemimpinan,
perencanaan pengembangan sekolah, dan manajemen sekolah/madrasah.
Untuk mencapai tujuan tersebut, maka mahasiswa diwajibkan melaksanakan
program magang (apprenticeship) pada sekolah dasar/madrasah ibtidaiyah
selama minimal satu semester (10 hari kerja).

B. Tujuan dan Manfaat

1. Tujuan
Tujuan pokok kegiatan magang (apprenticeship) kekepalasekolahan ini
adalah melengkapi kemampuan mahasiswa program S2 prodi administrasi
pendidikan dalam aspek keterampilan kepemimpinan, perencanaan dan
manajemen sekolah untuk tingkat sekolah dasar/madrasah ibtidaiyah dan
memfasilitasi percepatan penyelesaian studi mahasiswa.
2. Manfaat
a. Manfaat secara Teoritis
Menambah wawasan dan pengetahuan serta ilmu tentang
kekepalasekolahan baik dari segi manajemen sekolahnya,
kepemimpinan, tata kelola sekolah, perencanaan dan lain sebagainya.
b. Manfaat secara Praktis
1) Mahasiswa memiliki pengetahuan dan wawasan yang
komprehensif tentang realita tugas pokok dan pekerjaan kepala
sekolah dasar sesuai dengan kondisi nyata di lapangan.
2) Mahasiswa mampu menganalisis permasalahan yang dihadapi
kepala sekolah dasar dalam melaksanakan tugas keseharian dan
mengembangkan solusi yang efektif
3) Dapat dijadikan bekal bagi kami selaku mahasiswa untuk nanti
dipraktekan dan diaplikasikan pada saat kami menjabat sebagai
kepala sekolah.
4) Dapat dijadikan bahan komparasi dengan sekolah tempat kami
bertugas dalam memperbaiki hal-hal yang dianggap masih kurang
baik dalam hal manajemen sumber dayanya, maupun dalam
perencanaan sekolahnya.
5) Terjalinnya kerjasama/ hubungan baik antara Universitas dengan
lembaga persekolahan tempat mahasiswa magang.

C. Ruang Lingkup Kegiatan

Secara khusus, target yang hendak dicapai melalui kegiatan magang


kekepalasekolahan ini mencakup:
1. Melaksanakan kegiatan memimpin rapat di sekolah, baik rapat rutin, rapat
pembinaan guru, maupun rapat dengan orangtua/masyarakat;
2. Menganalisis gaya kepemimpinan kepala sekolah
3. Menganalisis pembuatan keputusan yang dilakukan oleh kepala sekolah
4. Menganalisis budaya yang ada di sekolah
5. Menganalisis bidang garapan manajemen pendidikan di sekolah;
6. Menganalisis permasalahan yang dihadapi sekolah dalam bidang
kepemimpinan, perencanaan, dan manajemen sekolah;
7. Menyusun laporan kegiatan magang secara komprehensif.
BAB II
LANDASAN TEORITIS

A. Kepemimpinan Kepala Sekolah

1. Definisi Kepemimpinan
Definisi kepemimpinan sangat bervariasi, sebanding dengan
banyak orang yang mencoba mendefinisikan konsep kepemimpinan. Yukl
(2010:3) mengemukakan bahwa sebagian besar definisi kepemimpinan
mencerminkan asumsi bahwa “kepemimpinan berkaitan dengan proses
yang disengaja dari seseorang untuk menekankan pengaruhnya yang kuat
terhadap orang lain untuk membimbing, membuat struktur, memfasilitasi
aktivitas dan hubungan di dalam kelompok atau organisasi”. Selanjutnya
Engkoswara dan Aan (2011:177) menguraikan beberapa definisi
kepemimpinan menurut para ahli, diantaranya:
a. Rauch and Behling (1984:46), mengemukakan bahwa:
“Kepemimpinan adalah proses mempengaruhi aktivitas-aktivitas
sebuah kelompok yang diorganisasikan ke arah pencapaian tujuan”.
b. Kottler (1988), mengemukakan bahwa: “Kepemimpinan adalah proses
menggerakkan seseorang atau sekelompok orang kepada tujuan-tujuan
yang umumnya ditempuh dengan cara-cara yang tidak memaksa”.
c. Jacobs and Jacques (1990), mengemukakan bahwa: “Kepemimpinan
adalah sebuah proses memberi arti (pengarahan berarti) terhadap usaha
kolektif, dan yang mengakibatkan kesediaan untuk melakukan usaha
yang diinginkan untuk mencapai sasaran”.
d. Dubrin, A.J. (2001:3), mengemukakan bahwa: “Kepemimpinan adalah
kemampuan untuk menanamkan keyakinan dan memperoleh dukungan
dari anggota organisasi untuk mencapai tujuan organisasi”.
e. Northouse, P.G. (2003:3), mengemukakan bahwa: “Kepemimpinan
adalah suatu proses dimana individu mempengaruhi kelompok untuk
mencapai tujuan umum”.
Selanjutnya Oteng Sutisna (1983) menggambarkan kepemimpinan
secara umum sebagai suatu proses mempengaruhi atau membujuk
(inducing) orang lain menuju pencapaian sasaran atau tujuan bersama.
Definisi ini mencakup tiga elemen sebagai berikut :
a. Kepemimpinan merupakan suatu konsep relasi (relational concept).
Kepemimpinan hanya ada dalam proses relasi dengan orang lain
(pengikut). Apabila tidak ada pengikut, maka tidak ada kepemimpinan.
b. Kepemimpinan merupakan suatu proses.
c. Pemimpin harus membujuk orang lain untuk mengambil tindakan.
Bedasarkan penjelasan tersebut dapat disimpulkan bahwa
kepemimpinan selalu melibatkan unsur pemimpin, pengikut, dan konteks.
Ketiadaan salah satu dari ketiga unsur tersebut akan menghilangkan esensi
pemimpin itu sendiri. Pemimpin yang efektif dalam hubungannya dengan
bawahan adalah pemimpin yang mampu meyakinkan pengikutnya bahwa
kepentingan pribadi dari bawahan adalah visi pemimpin, serta mampu
meyakinkan bahwa anggotanya mempunyai andil dalam
mengimplementasikannya.
Pemimpin mempengaruhi pengikutnya melalui berbagai cara,
seperti menggunakan otoritas yang terlegitimasi, menciptakan model
(menjadi teladan), penetapan sasaran, memberi imbalan dan hukum,
restrukturisasi organisasi, dan mengkomunikasikan visi. Mencermati
kekuasaan yang dimiliki seseorang di dalam organisasi, kekuasaan dapat
mengarahkan perilaku dan interaksi manusia di dalam organsasi. Razik
dan Swanson (1995:44) mendefiniskan kekuasaan dalam konteks
kepemimpinan sebagai kekuatan untuk menentukan arah perilaku yang
diharapkan dalam situasi interaksi manusia. Masih dalam sumber yang
sama, John Gardner pada tahun 1986-1988 (Razik dan Swanson, 1995:48)
mengemukakan bahwa kepemimpinan lebih dari sekedar menduduki suatu
otoritas, kendati posisi otoritas yang diformalkan mungkin sangat
mendorong proses kepemimpinan, namun sekedar menduduki posisi itu
tidak menandai seseorang untuk menjadi pemimpin.
2. Pendekatan Kepemimpinan
Ada empat macam pendekatan histories mengenai analisis
kepemimpinan yang dikemukakan oleh Wahjosumidjo (2002: 19) yaitu:
a. Pendekatan menurut pengaruh kewibawaan (Power Influence
Approach), pendekatan ini menekankan bahwa keberhasilan pemimpin
dipandang dari segi sumber dan terjadinya sejumlah kewibawaan yang
ada pada para pemimpin, dalam pendekatan ini menekankan sifat
timbal balik, proses saling mempengaruhi dan pentingnya pertukaran
hubungan kerjasama pimpinan dan bawahan.
b. Pendekatan sifat ( The Trait Approach), pendekatan ini menekankan
pada kualitas pemimpin yang ditandai dengan : (1) Tidak kenal lelah,
(2) Intuisi tajam, (3) Tinjauan ke masa depan yang tidak sempit, (4)
Kecakapan meyakinkan yang sangat menarik. Berdasarkan hasil studi
tersebut ada tiga macam sifat pribadi seorang pemimpin, yaitu: (1) ciri-
ciri fisik, (2) kepribadian, dan (3) kemampuan/ kecakapan.
c. Pendekatan perilaku (The Behaviour Approach), Yukl (2010:14) dalam
bukunya “Leadership in Organization” yang telah dialih bahasa oleh
Budi Supriyanto mengemukakan bahwa pendekatan perilaku diawali
pada tahun 1950 setelah para peneliti tidak puas dengan pendekatan
sifat dan mulai memberikan perhatian yang lebih mendalam terhadap
apa yang sebenarnya dilakukan oleh pemimpin dalam pekerjaannya.
Teori yang menggunakan perilaku memandang bahwa kepemimpinan
dapat dipelajari dari pola tingkah laku, dan bukan dari sifat (traits)
pemimpin. Dalam hal ini para pendukung teori perilaku
mengungkapkan bahwa cara seseorang bertindak akan menentukan
keefektifan kepemimpinan orang bersangkutan.
d. Pendekatan Kontigensi, pendekatan ini menekankan pada ciri-ciri
pribadi pemimpin dan situasi, mengukur atau memperkirakan ciri-ciri
pribadi ini dan membantu pemimpin dengan garis pedoman perilaku
yang bermanfaat yang didasarkan kepada kombinasi dari kemungkinan
yang bersifat kepribadian dan situasional. Salah satu dari model
kepemimpinan kontigensi adalah kepemimpinan situasional yang
mengandung pokok pikiran sebagai berikut:
1) Dalam melaksanakan tugasnya pemimpin dipengaruhi oleh faktor-
faktor situasional, yaitu: jenis pekerjaan, lingkungan organisasi,
karakteristik individu yang terlibat dalam organisasi;
2) Perilaku kepemimpinan yang paling efektif ialah perilaku
kepemimpinan yang disesuaikan dengan tingkat kematangan
bawahan;
3) Perilaku kepemimpinan yang efektif ialah pemimpin yang selalu
membantu bawahan dalam pengembangan dirinya dari tidak
matang menjadi matang. Ada tujuh tingkat proses pematangan,
yaitu:

 Pasif  Aktif
 Tergantung  Tidak tergantung
 Mampu melakukan sedikit  Mampu melakukan
cara banyak cara
 Minat yang dangkal  Minat yang dalam
 Pandangan pendek  Pandangan luas
 Jabatan bawahan  Jabatan atasan
 Kurang percaya diri  Sadar diri terkontrol
4) Perilaku kepemimpinan cenderung berbeda-beda dari satu situasi
ke situasi lain. Oleh karena itu, dalam kepemimpinan situasi
penting bagi setiap pemimpin untuk mengadakan diagnosis,
dengan baik terhadap situasi. Pemimpin yang baik menurut teori
ini adalah pemimpin yang mampu mengubah-ubah perilakunya
sesuai dengan situasi, dan memperlakukan bawahannya sesuai
dengan tingkat kematangan yang berbeda-beda.
5) Pola perilaku kepemimpinan berbeda-beda sesuai dengan situasi
yang ada. Ada perilaku kepemimpinan yang cenderung
mengarahkan (direktif) selalu memberi petunjuk kepada bawahan,
dan ada pula pemimpin yang cenderung memberikan dukungan
(suportif).

3. Tipe Kepemimpinan
Tipe-tipe kepemimpinan menurut Sondang P. Siagian (1999: 27)
yaitu dibagi kedalam beberapa tipe kepemimpinan, yaitu sebagai berikut:
a. Tipe Otokratik
Dalam kepemimpinan otoriter, pemimpin bertindak sebagai diktator
terhadap anggota kelompoknya. Dalam tipe ini pemimpin bersifat
menggerakkan dan memaksa kelompoknya. Sehingga, para bawahan
mengikuti dan menjalankan perintah dengan patuh.
b. Tipe Paternalistik
Tipe kepemimpinan ini banyak ditemukan di lingkungan masyarakat
yang masih tradisional, biasanya dalam masyarakat yang agraris. Hal
ini disebabkan oleh beberapa faktor sebagai berikut:
 Kuatnya ikatan primordial
 Extended family system
 Kehidupan masyarakat yang komunalistik
 Adat istiadat yang sangat kuat dalam kehidupan bermasyarakat
 Masih dimungkinkannya hubungan pribadi yang intim antara
seorang anggota masyarakat dengan anggota masyarakat lainnya.
c. Tipe Kharismatik
Tipe kepemimpinan ini menonjolkan pada daya tariknya yang
memikat sehingga mampu mmperoleh pengikut yang jumlahnya
kadang-kadang sangat besar. Tegasnya seorang pemimpin kharismatik
yaitu seseorang yang dikagumi oleh pengikutnya tanpa memandang
dari fisik seorang pemimpin.
d. Tipe Laissez Faire
Laissez faire yakni tipe kepemimpinan yang lebih menonjolkan
kebebasan kepada para bawahan, sehingga kontrol dari pimpinan
sangat kurang. Hal ini bisa mengakibatkan ketidaktercapaiannya
tujuan apabila bawahan memiliki tingkat kematangan yang rendah.
Karakteristik utama tipe kepemimpinan ini bisa ditinjau dari persepsi,
nilai, sikap dan perilaku.
e. Tipe Demokratis
Tipe kepemimpinan seperti ini merupakan tipe kepemimpinan yang
ideal dan disukai banyak orang. Pemimpin yang demokratik biasanya
memandang peranannya selaku koordinator dan integrator dari
berbagai unsur dan komponen organisasi sehingga bergerak sebagai
suatu totalitas yang menggunakan pendekatan holistik dan
integralistik.
f. Tipe Pseudo Demokratis
Tipe kepemimpinan pseudo demokratis yaitu tipe kepemimpinan yang
bersikap demokratis padahal sebenarnya bersikap otokratis. Tipe
kepemimpinan ini pada awalnya memberikan kesempatan kepada para
bawahan untuk berpendapat dalam suatu musyawarah namun dengan
pengaruh pemimpin yang sangat kuat, pada akhirnya bawahan dapat
menerima ide, pikiran, konsep dari pemimpin sebagai keputusan
bersama.

B. Pembuatan Keputusan

Sepanjang hidupnya manusia senantiasa dibenturkan pada pilihan-


pilihan atau alternatif dan pembuatan keputusan. Hal ini sejalan dengan teori
real life choice, yang menyatakan dalam kehidupan sehari-hari manusia
melakukan atau membuat pilihan-pilihan di antara sejumlah alternatif yang
ada. Pilihan-pilihan tersebut biasanya berkaitan dengan alternatif dalam
penyelesaian masalah yakni upaya untuk menutup terjadinya kesenjangan
antara keadaan saat ini dan keadaan yang diinginkan. Pembuatan keputusan
merupakan salah satu fungsi administrasi yang penting dalam suatu organisasi.
Proses pembuatan keputusan bukanlah pekerjaan yang mudah dan
sederhana. Hal ini telah mengundang banyak para ahli untuk memikirkan cara
atau tehnik pembuatan keputusan yang paling baik. Pengambilan keputusan
memainkan peranan penting setelah pembuatan keputusan terutama bila
manajer menjalankan fungsi perencanaan. Pembuatan keputusan dan
pengambilan keputusan merupakan bagian integral yang saling berkaitan
dalam peroses administrasi. Perancanaan menyangkut keputusan-keputusan
sangat penting dan jangka panjang yang dapat dibuat manajer. Dalam
organisasi manajer memutuskan tujuan-tujuan organisasi yang akan dicapai,
sumber daya- sumber daya yang akan digunakan, dan siapa yang kan
melaksanakan setiap tugas yang dibutuhkan. Berikut akan disampaikan
mengenai pembutan konsep, proses dan pendekatan dalam pembuatan
keputusan.
1. Konsep Pembuatan Keputusan
Pembuatan keputusan adalah aspek yang penting dari kegiatan
manajemen. Pembuatan keputusan dalam Salusu (2002: 45) merupakan
kegiatan sentral dari manajemen (Perrone, 1968), merupakan kunci
kepemimpinan (Gore, 1959) atau inti dari kepemimpinan (Siagian, 1988),
sebagai suatu karakteristik yang fundamental (Moore, 1966), sebagai
jantung administrasi (Mitchell, 1978), suatu saat kritis bagi tindakan
administrasi (Robbins, 1978). Bahkan Higgins (1979) dalam Salusu (1996:
45) melanjutkan bahwa pengambilan keputusan adalah kegiatan yang
paling pentingdari semua kegiatan karena didalamnya manajer terlibat, dan
menurut Hoy dan Miskel (1987) dalam Salusu (2002: 45), itu merupakan
pertangungjawaban utama dari semua administrator melalui suatu proses
tempat keputusan-keputusan dibuat dan dilaksanakan.
Robin Hughes (Salusu, 2002: 45) dalam Discision Making
berkesimpulan bahwa karena pembatan keputusan terjadi dalam semua
bidang dan tingkat kegiatan serta pemikiran manusia, maka tidaklah
mengherankan bila begitu banyak disiplin yang berusaha menganalisis dan
membuat sistematika dari seluruh proses keputusan.
Keputusan (decision) oleh berbagai ahli dalam memberikan
pengertian berarti pilihan (choice). Pilihan tentu terdiri atas dua hal atau
lebih kemungkinan yang nantinya akan dipilih. Namun, yang perlu
ditekankan dalam hal ini adalah bahwa pilihan-pilihan tersebut bukanlah
pilihan antara yang benar dan salah, melainkan pilihan yang “hampir
benar” dan yang “mungkin salah” hal ini disampaikan oleh Drucker (1990)
dalam buku (Salusu, 2002: 51). Dalam makna keputusan, pilihan secara
lebih dipertajam dinyatakan sebagai “pilihan nyata” yang berarti bahwa
keputusan dibuat untuk mencapai suatu tujuan dan ia merupakan keadaan
akhir dari suatu proses pengambilan keputusan. Hal ini juga dipertegas
oleh pendapat Morgan dan Cerullo (1984) dalam buku (Salusu, 2002: 51)
yang mendefenisikan keputusan sebagai “sebuah kesimpulan yang dicapai
sesudah dilakukan pertimbangan, yang terjadi setelah satu kemungkinan
dipilih, sementara yang lain dikesampingkan.
Jika keputusan adalah hasil akhir atau dinyatakan sebagai
kesimpulan yang siap untuk dilaksanakan, maka pengambilan keputusan
bisa dikatakan sebagai proses berupa serangkaian kegiatan/tindakan yang
dilakukan dalam memilih dari alternatif yang ada dalam menghasilkan
keputusan. Serangkaian kegiatan atau tindakan tersebut juga harus
memiliki pendekatan yang ilmiah dan teruji yang dalam hal ini kembali
terjadi proses pemilihan dalam penggunaan pendekatan sebagai upaya
pengambilan keputusan. Hal ini senada dengan pendapat Sondang P.
Siagian (1988) yang menyatakan bahwa pengambilan keputusan adalah
suatu pendekatan yang sistematis terhadap hakikat alternatif yang dihadapi
dan mengambil tindakan yang menurut perhitungan merupakan tindakan
yang paling tepat. Satu hal yang perlu ditekankan menurut Drucker, 1967;
Hoy, 1978 (Salusu, 2002: 48) adalah bahwa pengambilan keputusan bukan
hanya terpaku dan selesai dengan adanya keputusan saja, tetapi keputusan
itu satu paket dengan tindakan sehingga dengan dilakukan suatu pemilihan
terhadap alternatif yang ada tetapi tidak dilaksanakan tidaklah dinamakan
sebagai keputusan melainkan hanyalah sebagai hasrat atau niat baik.
Tujuan dari pembuatan keputusan adalah manajer dapat
mengarahkan pencapaian tujuan organisasi secara lancar, mudah, efektif
dan efisien. Selain itu dalam implementasi program yang sedang
dijalankan pembuatan keputusan berperan untuk mencari dan
menyelesaikan pemecahan masalah atas kendala yang dihadapi organisasi
(yang efektif sering dilihat kontradiktif).
Hirarki pembuatan keputusan

Managem
ent
Decision
making

Leadaershi
p

Choosi
ng

Hirarki diatas menjelaskan bahwa seorang pembuat keputusan


dihadapkan pada masalah-maslaah yang sedang dihadapi organisasinya.
Dari masalah-masalah tersebut selaku manajer perlu mencari alternatif-
alternatif pemecahan masalahnya. Setelah memiliki alternatif
pemecahannya manajer mengambil keputusan berdasarkan kepemimpinan
yang dibawanya demi kepentingan proses manajemen yang ada di
organisasinya
2. Proses Pembuatan Keputusan
Proses pembuatan keputusan yang akhirnya berujung kepada
pengambilan keputusan di kutip dari bahan ajar Suryadi, meliputi beberapa
langkah pokok.diantaranya
a. Identifikasi masalah
Keputusan diperlukan untuk memecahkan masalah-masalah.
Langkah pertama yang harus dilakukan oleh pembuat keputusan
adalah masalah-masalah apa saja yang harus diputuskan. Menurut
Peter Drucker, seorang eksekutif yang efektif tidak membuat
keputusan untuk setiap masalah. Masalah yang harus mendapat
perhatian adalah masalah-masalah mendasar yang mempunyai dampak
luas dan menyeluruh bagi anggota dan bagi organisasi. Masalah-
masalah ini disebut dengan “generic problems”. Masalah biasa tidak
perlu diputuskan oleh eksekutif, tapi cukup oleh pimpinan tingkat yang
lebih rendah berdasarkan aturan organisasi yang berlaku. Identifikasi
masalah generik ini tidak perlu ditunjang oleh data yang lengkap,
sebab bila data yang lengkap harus terkumpul dahulu, maka tidak akan
ada suatu keputusan. Keputusan dapat dimulai dari judgment rasional
dari seorang pemimpin.
b. Perumusan tujuan
Tujuan apakah yang harus dicapai melalui pemecahan suatu
masalah? Asumsi dasar untuk setiap keputusan adalah bahwa suatu
keputusan dibuat oleh seorang pemimpin untuk mencapai tujuan
tertentu. Ini berarti tidak hanya masalah yang dipecahkan saja yang
perlu jelas, tapi juga tujuan yang akan dicapainya harus labih jelas lagi.
Kejelasan tujuan ini diperlukan sebagai pedoman untuk menentukan
pilihan-pilihan keputusan yang paling tepat untuk suatu masalah.
Keberhasilan suatu keputusan ditentukan oleh “apakah tujuan yang
sudah ditetapkan itu akhirnya dapat dicapai atau tidak”. Tujuan untuk
masalah-masalah yang generik harus dirumuskan secara umum dan
mendasar, yang kemudian diterjemahkan kedalam tujuan-tijuan yang
lebih operasional yang disebut dengan objektif. Setiap objektif perlu
pula dijabarkan kedalam target-target baik yang bersifat kuantitatif
maupun kualitatif. Suatu “decision tree” perlu dikembangkan sehingga
jangkauan dampak dan lingkup suatu keputusan dapat diketahui
dengan jelas.
c. Identifikasi Alternatif Solusi
Alternatifsolusi atau pemecahan untuk suatu masalah sangat
penting karena setiap masalah tidak mungkin dipecahkan hanya oleh
suatu cara pemecahan saja. Alternatif-alternatif ini diperlukan untuk
sampai kepada pilihan keputusan yang tepat dengan resiko yang sangat
minimal. Identifikasi alternatif solusi ini ditentukan oleh: latar
belakang pendidikan, pengalaman hidup, tingkat kecerdasan,
kemampuan antisipatif, kemampuan berfikir kedepan, imaginasi, cita-
cita, kreativitas, dan kemampuan untuk melihat secara jeli setiap resiko
dan dampak serta peluang yang mungkin diciptakan oleh suatu
alternatif keputusan tertentu.
d. Penentuan Kriteria Pemilihan Alternatif Solusi
Kriteria suatu alternatif pemecahan sangat sulit dikembangkan
secara pasti, karena sangat bergantung kepada kondisi dan visi
pembuat dan pelaksana keputusan untuk mencapai tujuan yang telah
ditentukan. Namun demikian kriteria umum dapat diungkap seperti
dibawah ini:
1) Alternatif solusi itu harus tepat untuk mencapai tujuan yang telah
ditentukan
2) Altertnatif solusi itu harus jelas dampak, resiko dan peluang yang
mungkin diciptakan
3) Alternatif solusi itu harus feasible untuk dilaksanakan
4) Alternatif solusi itu harus tidak bertentangan dengan nilai, etika,
moral yang dipegang oleh anggota organisasi dan oleh organisasi.
5) Alternatif solusi itu harus membawa perubahan bagi organisasi
menuju yang lebih baik dari keadaan sekarang.
Secara operasional akhirnya kriteria ini sangat ditentukan oleh
pembuat keputusan. Alternatif solusi yang dipilih mungkin mempunyai
resiko tinggi dan sulit dilaksanakan, tapi dapat membawa perubahan
yang diinginkan. Dalam manajemen acapkali ditemukan suatu
alternatif solusi yang sangat mahal yang harus diambil untuk suatu
hasil yang mempunyai nilai sangat tinggi.
e. Penentuan Pilihan Alternatif Solusi (Keputusan)
Penentuan pilihan solusi atau keputusan ini dalam tahapan
pembuatan keputusan merupakan tahapan yang sangat kritis dan sangat
menentukan. Pembuat keputusan atas dasar semua pilihan yang
tersedia, dengan berbagai resiko, dampak dan peluang akhirnya harus
sampai pada suatu titik pilihan keputusan. Pilihan ini harus diambil
dengan kecermatan, kejelian, keberanian, tanggung jawab, dan
komitmen yang besar. Tanpa sikap-sikap seperti itu suatu keputusan
tidak akan mempunyai makna apa-apa. Sikap seperti inilah yang
menciptakan berbagai dinamika dan perubahan dalam suatu organisasi.
f. Implementasi Keputusan
Langkah keenam adalah mengimplementasi keputusan.
mencakup penyampaian keputusan itu kepada orang yang terkait dan
mendapatkan komitmen mereka pada keputusan tersebut. Contoh:
Keputusan yang telah diambil perlu dikomunikasikan kepada para
stakeholder atau pimpinn agar dapat direalisasikan dengan baik.
3. Pendekatan Pembuatan Keputusan
Ada beberapa model tentang pendekatan terhadap pengambilan keputusan
yang telah diperkenalkan oleh para ahli teori pengambilan keputusan.
Salusu (2002: 64) mengemukakan dua model, yaitu:
a. Model Brinckloe
Menurut Brinckloe (1977) (Salusu, 2002: 64), seorang eksekutif dapat
membuat keputusan dengan menggunakan satu atau beberapa
pendekatan, yaitu:
1) Fakta. Fakta akan memberikan petunjuk keputusan apa yang akan
diambil
2) Pengalaman, seseorang yang sudah menimba banyak pengalaman
tentu akan lebih matang dalam membuat keputusan dibandingkan
dengan yang sama sekali belum memiliki pengalaman apa-apa.
3) Intuisi, tidak jarang orang menggunakan intuisinya dalam
mengambil keputusan dan tidak jarang keputusan-keputusan itu
dikritik sebagai immoral.
4) Logika. Pengambilan keputusan berdasarkan logika ialah suatu
studi yang rasional terhadap semua unsur pada setiap siis dalam
proses pengambilan keputusan.
5) Analisis sistem. Kecanggihan dari komputer telah merangsang
banyak orang untuk berkesimpulan bahwa pengambilan kuantitatif
memiliki tingkat kemampuan yang lebih tinggi sehingga ia
dipandang lebih superior terhadap penilaian dan pemikiran
manusia.
b. Model McGrew
McGrew (1985) (Salusu, 2002: 66) melihat ada tiga pendekatan, yaitu:
1) Pendekatan proses pengambilan keputusan rasional memberikan
perhatian utama pada hubungan antara keputusan dengan tujuan
dan sasaran dari pengambil kepuusan.
2) Model proses organisasional, menangani masalah yang jelas
tampak perbedaannya antara pengambil keputusan individu dan
organisasi
3) Model tawar-menawar politik melihat kedua pendekatan ini
mengatakan bahwa pengambil keputusan kolektif sesungguhnya
dilakukan dengan tawar-menawar.

C. Budaya Sekolah

1. Konsep Budaya Organisasi


Terdapat kesepakatan luas bahwa budaya organisasi merujuk pada
sistem pengertian bersama yang dipegang oleh anggota-anggota suatu
organisasi yang membedakan organisasi tersebut dengan organisasi lainnya
(Robbins, 2005;485). Sistem pengertian bersama ini dalam pengamatan yang
lebih seksama merupakan serangkaian karakter penting yang menjadi nilai
bagi suatu organisasi.
Budaya organisasi mengacu pada norma prilaku, asumsi, dan keyakinan
dari suatu organisasi, sementara dalam iklim organisasi mengacu pada
persepsi orang-orang dalam organisasi yang merefleksikan norma-norma,
asumsi-asumsi dan keyakinan (Owens, 1991). Sedangkan Sonhadji dalam
Soetopo (2010) mengatakan bahwa budaya organisasi adalah proses
sosialisasi anggota organisasi untuk mengembangkan persepsi, nilai dan
keyakinan terhadap organisasi untuk mengembangkan persepsi, nilai, dan
keyakinan terhadap organisasi. Sementara Soetopo (2010) mengatakan bahwa
budaya organisasi berkenaan dengan keyakinan, asumsi, nilai, norma-norma
prilaku, ideology, sikap, kebiasaan dan harapan-harapan yang dimiliki oleh
organisasi (dalam hal ini termasuk organisasi universitas swasta).
Gibson, Ivanichevich & Donelly dalam Soetopo (2010) berpendapat
bahwa budaya organisasi adalah “kepribadian organisasi yang mempengaruhi
cara bertindak individu dalam organisasi”. Budaya mengandung pola eksplisit
dan implisit dari dan untuk prilaku yang dibutuhkan dan diwujudkan hasil
kelompok manusia secara berbeda termasuk benda-benda ciptaan manusia.
Dari semua definisi tentang budaya organisasi diatas, secara umum
dapat ditetapkan bahwa budaya organisasi berkaitan dengan makna bersama,
nilai, sikpa dan keyakinan. Dapat dikatakan bahwa jantung dari suatu
organisasi adalah sikap, keyakinan, kebiasaan dan harapan dari seluruh
individu anggota organisasi mulai dari manajemen puncak hingga manajemen
yang paling rendah, sehingga tidak ada aktifitas manajemen yang dapat
melepaskan diri dari budaya.
2. Karakteristik Budaya Organisasi
Robbins dalam Soetopo (2010) mengemukakan tujuh karakteristik
budaya organisasi yaitu :
1. Otonomi individu yaitu kadar kebebasan, tanggung jawab dan
kesempatan individu untuk berinisiatif dalam organisasi
2. Struktur yaitu kadar peraturan dan ketetapan yang digunakan untuk
mengontrol prilaku pegawai
3. Dukungan yaitu kadar bantuan dan keramahan manajer kepada
pegawai
4. Identitas yaitu kadar kenalnya anggota terhadap organisasinya secara
keseluruhan, terutama informasi kelompok kerja dan keahlian
profesionalnya
5. Hadiah performansi yaitu kadar alokasi hadiah yang didasarkan pada
criteria performansi pegawai
6. Toleransi konflik yaitu kadar konflik dalam hubungan antar sejawat
dan kemauan untuk jujur dan terbuka terhadap perbedaan
7. Toleransi resiko yaitu kadar dorongan terhadap pegawai untuk
agresif, inovatif dan berani menanggung resiko.
3. Fungsi Budaya Organisasi
Soetopo (2010) mengemukan bahwa fungsi budaya organisasi bergayut
dengan fungsi eksternal dan fungsi internal. Fungsi eksternal budaya
organisasi adalah melakukan adaptasi terhadap lingkungan diluar organisasi,
sementara fungsi internal berkaitan dengan integrasi berbagai sumber daya
yang ada didalamnya termasuk sumber daya manusia. Jadi secara eksternal
budaya organisasi akan selalu beradaptasi dengan budaya-budaya yang ada
diluar organisasi, begitu seterusnya sehingga budaya organisasi tetap akan
selalu ada penyesuaian-penyesuaian.
Lebih lanjut Soetopo menjelaskan bahwa makin kuat budaya organisasi,
makin tidak mudah organisasi itu akan terpengaruh oleh budaya luar yang
berkembang di lingkungannya. Sementara kekentalan fungsi internal makin
dirasakan menguat jika didalam organisasi itu semakin berkembang norma-
norma, peraturan, treadisi, adat istiadat organisasi yang terus menerus
dipupuk oleh para anggotanya sehingga berangsur-angsur budaya itu akan
menajdi semakin kuat.
Sementara Robbins (2005) mengemukakan tentang fungsi budaya
dalam organisasi menjadi lima fungsi yaitu :
1. Budaya memiliki suatu peran batas-batas tertentu yaitu budaya
menciptakan perbedaan antara satu organisasi dengan organisasi
lainnya.
2. Budaya menyampaikan rasa identitas kepada anggota-anggota
organisasi
3. Budaya mempermudah penerusan komitmen hingga mencapai
batasan yang lebih luas, melebihi batasan ketertarikan individu
4. Budaya mendorong stabilitas sistem sosial. Budaya merupakan suatu
ikatan sosial yang membantu mengikat kebersamaan organisasi
dengan menyediakan standar-standar yang sesuai mengenai apa yang
harus dikatakan dan dilakukan karyawan
5. Budaya sebagai pembentuk rasa dan mekanisme pengendalian yang
memberikan panduan dan bentuk prilaku serta sikap karyawan.
Dalam organisasi, seringkali terjadi pembandingan antara budaya yang
kuat dan budaya yang lemah. Alasan ini seringkali memiliki dampak yang
lebih besar terhadap sikap karyawan dan lebih tertuju langsung untuk
mengurangi keluar masuknya karywan. Dalam hal ini, Robbins menjelaskan
bahwa budaya yang kuat selalu ditandai oleh nilai-nilai inti organisasi yang
dipegang kukuh dan disepkati secara luas. Semakin banyak anggota
organisasi yang menerima nilai-nilai inti dan semakin besar komitmen
mereka terhadap nilai-nilai tersebut, maka budaya tersebut akan semakin
kuat. Sejalan dengan definisi ini, suatu budaya yang kuat jelas sekali memiliki
pengaruh yang besar dalam sikap anggota organisasi dibandingkan dengan
budaya yang lemah.
Hasil spesifik dari suatu budaya yang kuat adalah keluar masuknya
pekerja yang rendah. Suatu budaya yang kuat akan memperlihatkan
kesepakatan yang tinggi mengenai tujuan organisasi diantara anggota-
anggotanya. Kebulatan suara terhadap tujuan akan membentuk keterikatan,
kesetiaan, dan komitmen organisasi. Kondisi ini selanjutnya akan mengurangi
kecendrungan karyawan untuk keluar dari organisasi.
4. Proses Pembentukan Budaya Organisasi
Munculnya gagasan-gagasan atau jalan keluar yang kemudian tertanam
dalam suatu budaya dalam organisasi bisa bermula dari mana pun, dari
perorangan atau kelompok, dari tingkat bawah atau puncak. Ndraha (1997)
menginventarisir sumber-sumber pembentuk budaya organisasi, diantaranya:
(1) pendiri organisasi; (2) pemilik organisasi; (3) Sumber daya manusia asing;
(4) luar organisasi; (4) orang yang berkepentingan dengan organisasi (stake
holder); dan (6) masyarakat. Selanjutnya dikemukakan pula bahwa proses
budaya dapat terjadi dengan cara: (1) kontak budaya; (2) benturan budaya;
dan (3) penggalian budaya. Pembentukan budaya tidak dapat dilakukan dalam
waktu yang sekejap, namun memerlukan waktu dan bahkan biaya yang tidak
sedikit untuk dapat menerima nilai-nilai baru dalam organisasi.
Setelah mapan, budaya organisasi sering mengabadikan dirinya dalam
sejumlah hal. Calon anggota kelompok mungkin akan disaring berdasarkan
kesesuaian nilai dan perilakunya dengan budaya organisasi. Kepada anggota
organisasi yang baru terpilih bisa diajarkan gaya kelompok secara eksplisit.
Kisah-kisah atau legenda-legenda historis bisa diceritakan terus menerus
untuk mengingatkan setiap orang tentang nilai-nilai kelompok dan apa yang
dimaksudkan dengannya.
Para manajer bisa secara eksplisit berusaha bertindak sesuai dengan
contoh budaya dan gagasan budaya tersebut. Begitu juga, anggota senior bisa
mengkomunikasikan nilai-nilai pokok mereka secara terus menerus dalam
percakapan sehari-hari atau melalui ritual dan perayaan-perayaan khusus.
Orang-orang yang berhasil mencapai gagasan-gagasan yang tertanam
dalam budaya ini dapat terkenal dan dijadikan pahlawan. Proses alamiah
dalam identifikasi diri dapat mendorong anggota muda untuk mengambil alih
nilai dan gaya mentor mereka. Barangkali yang paling mendasar, orang yang
mengikuti norma-norma budaya akan diberi imbalan (reward) sedangkan
yang tidak, akan mendapat sanksi (punishment). Imbalan (reward) bisa
berupa materi atau pun promosi jabatan dalam organisasi tertentu sedangkan
untuk sanksi (punishment) tidak hanya diberikan berdasar pada aturan
organisasi yang ada semata, namun juga bisa berbentuk sanksi sosial. Dalam
arti, anggota tersebut menjadi isolated di lingkungan organisasinya.
Dalam suatu organisasi sesungguhnya tidak ada budaya yang “baik”
atau “buruk”, yang ada hanyalah budaya yang “cocok” atau “tidak cocok” .
Jika dalam suatu organisasi memiliki budaya yang cocok, maka
manajemennya lebih berfokus pada upaya pemeliharaan nilai-nilai- yang ada
dan perubahan tidak perlu dilakukan. Namun jika terjadi kesalahan dalam
memberikan asumsi dasar yang berdampak terhadap rendahnya kualitas
kinerja, maka perubahan budaya mungkin diperlukan.
Karena budaya ini telah berevolusi selama bertahun-tahun melalui
sejumlah proses belajar yang telah berakar, maka mungkin saja sulit untuk
diubah. Kebiasaan lama akan sulit dihilangkan. Walaupun demikian, Howard
Schwartz dan Stanley Davis dalam bukunya Matching Corporate Culture and
Business Strategy yang dikutip oleh Bambang Tri Cahyono mengemukakan
empat alternatif pendekatan terhadap manajemen budaya organisasi, yaitu :
(1) lupakan kultur; (2) kendalikan disekitarnya; (3) upayakan untuk
mengubah unsur-unsur kultur agar cocok dengan strategi; dan (4) ubah
strategi. Selanjutnya Bambang Tri Cahyono (1996) dengan mengutip
pemikiran Alan Kennedy dalam bukunya Corporate Culture mengemukan
bahwa terdapat lima alasan untuk membenarkan perubahan budaya secara
besar-besaran : (1) Jika organisasi memiliki nilai-nilai yang kuat namun tidak
cocok dengan lingkungan yang berubah; (2) Jika organisasi sangat bersaing
dan bergerak dengan kecepatan kilat; (3) Jika organisasi berukuran sedang-
sedang saja atau lebih buruk lagi; (4) Jika organisasi mulai memasuki
peringkat yang sangat besar; dan (5) Jika organisasi kecil tetapi berkembang
pesat.
Selanjutnya Kennedy mengemukakan bahwa jika tidak ada satu pun
alasan yang cocok dengan di atas, jangan lakukan perubahan. Analisisnya
terhadap sepuluh kasus usaha mengubah budaya menunjukkan bahwa hal ini
akan memakan biaya antara 5 sampai 10 persen dari yang telah dihabiskan
untuk mengubah perilaku orang. Meskipun demikian mungkin hanya akan
didapatkan setengah perbaikan dari yang diinginkan. Dia mengingatkan
bahwa hal itu akan memakan biaya lebih banyak lagi. dalam bentuk waktu,
usaha dan uang.
Dengan memahami konsep tentang budaya organisasi sebagaimana
telah diutarakan di atas, selanjutnya di bawah ini akan diuraikan tentang
pengembangan budaya organisasi dalam konteks persekolahan. Secara umum,
penerapan konsep budaya organisasi di sekolah sebenarnya tidak jauh
berbeda dengan penerapan konsep budaya organisasi lainnya. Kalaupun
terdapat perbedaan mungkin hanya terletak pada jenis nilai dominan yang
dikembangkannya dan karakateristik dari para pendukungnya. Berkenaan
dengan pendukung budaya organisasi di sekolah Paul E. Heckman
sebagaimana dikutip oleh Stephen Stolp (1994) mengemukakan bahwa “the
commonly held beliefs of teachers, students, and principals.”
Nilai-nilai yang dikembangkan di sekolah, tentunya tidak dapat
dilepaskan dari keberadaan sekolah itu sendiri sebagai organisasi pendidikan,
yang memiliki peran dan fungsi untuk berusaha mengembangkan,
melestarikan dan mewariskan nilai-nilai budaya kepada para siswanya. Dalam
hal ini, Larry Lashway (1996) menyebutkan bahwa “schools are moral
institutions, designed to promote social norms,…” .
Dengan merujuk pada pemikiran Fred Luthan, dan Edgar Schein, di
bawah ini akan diuraikan tentang karakteristik budaya organisasi di sekolah,
yaitu tentang (1) obeserved behavioral regularities; (2) norms; (3) dominant
value. (4) philosophy; (5) rules dan (6) organization climate.
1. Obeserved behavioral regularities
Budaya organisasi di sekolah ditandai dengan adanya keberaturan
cara bertindak dari seluruh anggota sekolah yang dapat diamati.
Keberaturan berperilaku ini dapat berbentuk acara-acara ritual tertentu,
bahasa umum yang digunakan atau simbol-simbol tertentu, yang
mencerminkan nilai-nilai yang dianut oleh anggota sekolah.
2. Norms
Budaya organisasi di sekolah ditandai pula oleh adanya norma-
norma yang berisi tentang standar perilaku dari anggota sekolah, baik
bagi siswa maupun guru. Standar perilaku ini bisa berdasarkan pada
kebijakan intern sekolah itu sendiri maupun pada kebijakan pemerintah
daerah dan pemerintah pusat. Standar perilaku siswa terutama
berhubungan dengan pencapaian hasil belajar siswa, yang akan
menentukan apakah seorang siswa dapat dinyatakan lulus/naik kelas
atau tidak. Standar perilaku siswa tidak hanya berkenaan dengan aspek
kognitif atau akademik semata namun menyangkut seluruh aspek
kepribadian.
Jika kita berpegang pada Kurikulum Berbasis Kompetensi, secara
umum standar perilaku yang diharapkan dari tamatan Sekolah
Menengah Atas, diantaranya mencakup : (1) Memiliki keyakinan dan
ketaqwaan sesuai dengan ajaran agama yang dianutnya; (2)Memiliki
nilai dasar humaniora untuk menerapkan kebersamaan dalam
kehidupan; (3) Menguasai pengetahuan dan keterampilan akademik
serta beretos belajar untuk melanjutkan pendidikan; (4)
Mengalihgunakan kemampuan akademik dan keterampilan hidup
dimasyarakat local dan global; (5) Berekspresi dan menghargai seni; (6)
Menjaga kebersihan, kesehatan dan kebugaran jasmani; (7)
Berpartisipasi dan berwawasan kebangsaan dalam kehidupan
bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara secara demokratis.
(Depdiknas, 2002). Sedangkan berkenaan dengan standar perilaku guru,
tentunya erat kaitannya dengan standar kompetensi yang harus dimiliki
guru, yang akan menopang terhadap kinerjanya.
Dalam perspektif kebijakan pendidikan nasional, pemerintah telah
merumuskan empat jenis kompetensi guru sebagaimana tercantum
dalam Penjelasan Peraturan Pemerintah No 14 Tahun 2005 tentang
Standar Nasional Pendidikan, yaitu : (1) Kompetensi pedagogik yaitu
merupakan kemampuan dalam pengelolaan peserta didik yang meliputi:
(a) pemahaman wawasan atau landasan kependidikan; (b) pemahaman
terhadap peserta didik; (c) pengembangan kurikulum/ silabus; (d)
perancangan pembelajaran; (e) pelaksanaan pembelajaran yang
mendidik dan dialogis; (f) evaluasi hasil belajar; dan (g) pengembangan
peserta didik untuk mengaktualisasikan berbagai potensi yang
dimilikinya; (2) Kompetensi kepribadian yaitu merupakan kemampuan
kepribadian yang: (a) mantap; (b) stabil; (c) dewasa; (d) arif dan
bijaksana; (e) berwibawa; (f) berakhlak mulia; (g) menjadi teladan bagi
peserta didik dan masyarakat; (h) mengevaluasi kinerja sendiri; dan (i)
mengembangkan diri secara berkelanjutan; (3) Kompetensi sosial yaitu
merupakan kemampuan pendidik sebagai bagian dari masyarakat untuk:
(a) berkomunikasi lisan dan tulisan; (b) menggunakan teknologi
komunikasi dan informasi secara fungsional; (c) bergaul secara efektif
dengan peserta didik, sesama pendidik, tenaga kependidikan,
orangtua/wali peserta didik; dan (d) bergaul secara santun dengan
masyarakat sekitar; dan (4) Kompetensi profesional merupakan
kemampuan penguasaan materi pembelajaran secara luas dan
mendalam yang meliputi: (a) konsep, struktur, dan metoda
keilmuan/teknologi/seni yang menaungi/koheren dengan materi ajar;
(b) materi ajar yang ada dalam kurikulum sekolah; (c) hubungan konsep
antar mata pelajaran terkait; (d) penerapan konsep-konsep keilmuan
dalam kehidupan sehari-hari; dan (e) kompetisi secara profesional
dalam konteks global dengan tetap melestarikan nilai dan budaya
nasional.
3. Dominant value
Jika dihubungkan dengan tantangan pendidikan Indonesia dewasa
ini yaitu tentang pencapaian mutu pendidikan, maka budaya organisasi
di sekolah seyogyanya diletakkan dalam kerangka pencapaian mutu
pendidikan di sekolah. Nilai dan keyakinan akan pencapaian mutu
pendidikan di sekolah hendaknya menjadi hal yang utama bagi seluruh
warga sekolah. Adapun tentang makna dari mutu pendidikan itu sendiri,
Jiyono sebagaimana disampaikan oleh Sudarwan Danim (2002)
mengartikannya sebagai gambaran keberhasilan pendidikan dalam
mengubah tingkah laku anak didik yang dikaitkan dengan tujuan
pendidikan.
Sementara itu, dalam konteks Manajemen Peningkatan Mutu
Berbasis Sekolah (Depdiknas, 2001), mutu pendidikan meliputi aspek
input, proses dan output pendidikan. Pada aspek input, mutu pendidikan
ditunjukkan melalui tingkat kesiapan dan ketersediaan sumber daya,
perangkat lunak, dan harapan-harapan. Makin tinggi tingkat kesiapan
input, makin tinggi pula mutu input tersebut. Sedangkan pada aspek
proses, mutu pendidikan ditunjukkan melalui pengkoordinasian dan
penyerasian serta pemanduan input sekolah dilakukan secara harmonis,
sehingga mampu menciptakan situasi pembelajaran yang
menyenangkan (enjoyable learning), mampu mendorong motivasi dan
minat belajar, dan benar-benar mampu memberdayakan peserta didik.
Sementara, dari aspek out put, mutu pendidikan dapat dilihat dari
prestasi sekolah, khususnya prestasi siswa, baik dalam bidang akademik
maupun non akademik. Berbicara tentang upaya menumbuh-
kembangkan budaya mutu di sekolah akan mengingatkan kita kepada
suatu konsep manajemen dengan apa yang dikenal dengan istilah Total
Quality Management (TQM), yang merupakan suatu pendekatan dalam
menjalankan suatu unit usaha untuk mengoptimalkan daya saing
organisasi melalui prakarsa perbaikan terus menerus atas produk, jasa,
manusia, proses kerja, dan lingkungannya.
Berkaitan dengan bagaimana TQM dijalankan, Gotsch dan Davis
sebagaimana dikutip oleh Sudarwan Danim (2002) mengemukakan
bahwa aplikasi TQM didasarkan atas kaidah-kaidah : (1) Fokus pada
pelanggan; (2) obsesi terhadap kualitas; (3) pendekatan ilmiah; (4)
komitmen jangka panjang; (5) kerjasama tim; (6) perbaikan kinerja
sistem secara berkelanjutan; (7) diklat dan pengembangan; (8)
kebebasan terkendali; kesatuan tujuan; dan (10) keterlibatan dan
pemberdayaan karyawan secara optimal. Dengan mengutip pemikiran
Scheuing dan Christopher, dikemukakan pula empat prinsip utama
dalam mengaplikasikan TQM, yaitu: (1) kepuasan pelanggan, (2)
respek terhadap setiap orang; (3) pengelolaan berdasarkan fakta, dan (4)
perbaikan secara terus menerus.(Sudarwan Danim, 2002). Selanjutnya,
dalam konteks Manajemen Peningkatan Mutu Berbasis Sekolah,
Depdiknas (2001) telah memerinci tentang elemen-elemen yang
terkandung dalam budaya mutu di sekolah, yakni : (a) informasi
kualitas harus digunakan untuk perbaikan; bukan untuk
mengadili/mengontrol orang; (b) kewenangan harus sebatas tanggung
jawab; (c) hasil harus diikuti penghargaan (reward) atau sanksi
(punishment); (d) kolaborasi dan sinergi, bukan kompetisi, harus
merupakan basis kerja sama; (e) warga sekolah merasa aman terhadap
pekerjaannya; (f) atmosfir keadilan (fairness) harus ditanamkan; (g)
imbal jasa harus sepadan dengan nilai pekerjaannya; dan (h) warga
sekolah merasa memiliki sekolah. Di lain pihak, Jann E. Freed et. al.
(1997) dalam tulisannya tentang A Culture for Academic Excellence:
Implementing the Quality Principles in Higher Education. dalam ERIC
Digest memaparkan tentang upaya membangun budaya keunggulan
akademik pada pendidikan tinggi, dengan menggunakan prinsip-prinsip
Total Quality Management, yang mencakup : (1) vision, mission, and
outcomes driven; (2) systems dependent; (3) leadership: creating a
quality culture; (4) systematic individual development; (4) decisions
based on fact; (5) delegation of decision making; (6) collaboration; (7)
planning for change; dan (8) leadership: supporting a quality culture.
Dikemukakan pula bahwa “when the quality principles are implemented
holistically, a culture for academic excellence is created.
Dari pemikiran Jan E.Freed et. al. di atas, kita dapat menarik
benang merah bahwa untuk dapat membangun budaya keunggulan
akademik atau budaya mutu pendidikan betapa pentingnya kita untuk
dapat mengimplementasikan prinsip-prinsip Total Quality
Management, dan menjadikannya sebagai nilai dan keyakinan bersama
dari setiap anggota sekolah.
4. Philosophy
Budaya organisasi ditandai dengan adanya keyakinan dari seluruh
anggota organisasi dalam memandang tentang sesuatu secara hakiki,
misalnya tentang waktu, manusia, dan sebagainya, yang dijadikan
sebagai kebijakan organisasi. Jika kita mengadopsi filosofi dalam dunia
bisnis yang memang telah terbukti memberikan keunggulan pada
perusahaan, di mana filosofi ini diletakkan pada upaya memberikan
kepuasan kepada para pelanggan, maka sekolah pun seyogyanya
memiliki keyakinan akan pentingnya upaya untuk memberikan
kepuasan kepada pelanggan.
Dalam konteks Manajemen Peningkatan Mutu Berbasis Sekolah,
Depdiknas (2001) mengemukakan bahwa : “pelanggan, terutama siswa
harus merupakan fokus dari semua kegiatan di sekolah. Artinya, semua
in put – proses yang dikerahkan di sekolah tertuju utamanya untuk
meningkatkan mutu dan kepuasan peserta didik. Konsekuensi logis dari
ini semua adalah bahwa penyiapan in put, proses belajar mengajar harus
benar-benar mewujudkan sosok utuh mutu dan kepuasan yang
diharapkan siswa.”
5. Rules
Budaya organisasi ditandai dengan adanya ketentuan dan aturan
main yang mengikat seluruh anggota organisasi. Setiap sekolah
memiliki ketentuan dan aturan main tertentu, baik yang bersumber dari
kebijakan sekolah setempat, maupun dari pemerintah, yang mengikat
seluruh warga sekolah dalam berperilaku dan bertindak dalam
organisasi.
Aturan umum di sekolah ini dikemas dalam bentuk tata- tertib
sekolah (school discipline), di dalamnya berisikan tentang apa yang
boleh dan tidak boleh dilakukan oleh warga sekolah, sekaligus
dilengkapi pula dengan ketentuan sanksi, jika melakukan pelanggaran.
Joan Gaustad (1992) dalam tulisannya tentang School Discipline yang
dipublikasikan dalam ERIC Digest 78 mengatakan bahwa : “ School
discipline has two main goals: (1) ensure the safety of staff and
students, and (2) create an environment conducive to learning.
6. Organization climate
Budaya organisasi ditandai dengan adanya iklim organisasi. Hay
Resources Direct (2003) mengemukakan bahwa “oorganizational
climate is the perception of how it feels to work in a particular
environment. It is the “atmosphere of the workplace” and people’s
perceptions of “the way we do things here.

D. Manajemen Sekolah

Manajemen merupakan suatu proses pengelolaan berbagai sumber


daya yang ada secara efektif dan efisien untuk mencapai tujuan yang telah
ditentukan secara optimal. Hal tersebut sesuai dengan pendapat Ibrahim
Bafadal (2009) yang mengemukakan bahwa manajemen merupakan proses
pendayagunaan semua sumber daya, baik sumber daya manusia maupun
sumber daya lainnya dalam upaya mencapai tujuan secara efektif dan efisien.
Para pakar administrasi pendidikan, seperti Sergiovanni, Burlingame,
Coombs, & Thurston (1987) mendefinisikan manajemen sebagai process of
working with and through others to accomplish organizational goals
efficienctly, yaitu proses kerja dengan dan melalui (mendayagunakan) orang
lain untuk mencapai tujuan organisasi secara efisien. Oleh karena itu, banyak
pakar administrasi pendidikan yang berpendapat bahwa manajemen
merupakan kajian administrasi ditinjau dari sudut prosesnya.
Dengan demikian manajemen merupakan proses yang terdiri atas
kegiatan-kegiatan dalam upaya mencapai tujuan secara efisien. Pengertian
tersebut sesuai dengan pendapat Gorton (1976) yang menegaskan bahwa
manajemen merupakan metode yang digunakan administrator untuk
melakukan tugas-tugas tertentu untuk mencapai tujuan.
1. Fungsi Manajemen
Menurut Gorton, manajemen pada hakikatnya merupakan proses
pemecahan masalah, sehingga fungsi manajemen tidak ubahnya
sebagaimana langkah-langkah pemecahan masalah. Gorton
mengidentifikasi langkah-langkah manajemen sebagai berikut:
a. Identifikasi masalah
b. Diagnosis masalah
c. Penetapan tujuan
d. Pembuatan keputusan
e. Perencanaan
f. Pengorganisasian
g. Pengkoordinasian
h. Pendelegasian
i. Penginisiasian
j. Pengkomunikasian
k. Kerja dengan kelompok-kelompok
l. Penilaian
Sedangkan menurut Sergiovanni dkk (1987), fungsi manajemen
meliputi: perencanaan (planning), pengorganisasian (organizing),
pengerahan (leading), dan pengawasan (controlling). Secara kuantitatif,
apa yang dikemukakan oleh Sergiovanni dan kawan-kawannya tentang
fungsi manajemen berbeda dengan apa yang dikemukakan oleh Gorton.
Namun apabila dikaji hakikat konsepnya, ternyata keduanya sama.
Perbandingan antara konsep Gorton dan konsep Sergiovanni tentang
fungsi manajemen terlihat sebagaimana gambar berikut:
Konsep Sergiovanni Konsep Gorton
Perencanaan Identifikasi masalah
Diagnosis masalah
Penetapan tujuan
Pembuatan keputusan
Perencanaan

Pengorganisasian Pengorganisasian

Kepemimpinan Pengkoordinasian
Pendelegasian
Penginisiasian
Pengkomunikasian
Kerja dengan kelompok

Pengawasan Penilaian

Dengan demikian, kedua belas fungsi manajemen yang


dikedepankan Gorton dapat disederhanakan menjadi empat fungsi
manajemen yang dikedepankan Sergiovanni, yaitu: perencanaan,
pengorganisasian, pengerahan/ kepemimpinan, dan pengawasan. Kegiatan
tersebut merupakan fungsi organik manajemen, yang harus ada dalam
administrasi. Keempat kegiatan tersebut oleh Flippo (1966) disebut
sebagai siklus manajemen. Dengan ilustrasi:
a. perencanaan yang baik, rinci, dan jelas;
b. pengorganisasian semua anggota untuk mengerjakan tugas-tugas yang
sesuai dengan perencanaan;
c. pengarahan, dorongan, penggerakkan yang disebut dengan
kepemimpinan;
d. pemantauan/ kontrol secara kontinu, yang hasilnya dapat dijadikan
dasar pertimbangan dalam perencanaan berikutnya.
Siklus manajemen dapat divisualisasikan melalui gambar berikut:

Perencanaan Pengorganisasian
Manajemen

Pengawasan Pengarahan
2. Tujuan Manajemen
Ibrahim Bafadal (2009) mengemukakan tujuan manajemen adalah
terselenggaranya keseluruhan program kerja secara efektif dan efisien.
Efektif berarti mencapai tujuan, sedangkan efisien dalam arti umum
bermakna hemat. Dengan demikian ada dua tujuan pokok manajemen
yaitu:
a. Efektivitas, merupakan tujuan manajemen yang diupayakan dalam
rangka mencapai efektivitas. Suatu program kerja dikatakan efektif
apabila program kerja tersebut dapat mencapai tujuan yang telah
ditetapkan sebelumnya.
b. Efisiensi, merupakan tujuan manajemen yang diupayakan dalam
rangka mencapai efisiensi dalam pelaksanaan program. Efisiensi
merupakan suatu konsep perbandingan antara pelaksanaan suatu
program dengan hasil akhir yang diraih atau dicapai.
3. Ruang lingkup manajemen sekolah
Adapun ruang lingkup manajemen sekolah adalah sebagai berikut:
1) Manajemen peserta didik
2) Manajemen sarana prasarana
3) Manajemen hubungan dengan masayrakat
4) Manajemen kurikulum
5) Manajemen keuangan
6) Manajemen tenaga pendidik dan kependidikan
BAB III
LAPORAN KEGIATAN

A. Pelaksanaan Kegiatan di Sekolah

1. Profil Sekolah
Di bawah ini merupakan profil dari SMP Negeri 15 Bandung, sebagai
berikut:
Nama Sekolah : SMP Negeri 15 Bandung
NSS/NIS : 201026001002
Tahun di dirikan : 1966
Status Sekolah : Negeri
Tahun Akreditasi/Nilai : 2013/ Amat Baik
Alamat Sekolah : Jl. Dr. Setiabudhi No.89
Kelurahan Geger Kalong
Kecamatan Sukasari
Kota Bandung
Telepon : 022-2034914
Email : smpn15bandung@gmail.com

SMP Negeri 15 Bandung dirintis pada tahun 1963 dan dioperasionalkan


pada 29 Oktober 1966 dengan luas tanah 2.250 m2, dan luas bangunan 1.486 m2.
Rombongan belajar (Rombel) di SMP Negeri 15 berjumlah 28 dengan masing-
masing level kelas VII = 8 rombel, kelas VIII = 10 rombel, dan kelas IX = 8
rombel. Jumlah seluruh siswa pada tahun ajaran 2014/2015 berjumlah 915 orang,
yang terdiri dari kelas VII 287 sebanyak siswa, kelas VIII sebanyak 343 siswa,
dan Kelas IX sebanyak 286 siswa. Jumlah tenaga pendidik (guru) sebanyak 40
orang yang terdiri dari 36 orang guru tetap, dan 4 orang guru tidak tetap. Jumlah
tenaga kependidikan sebanyak 10 orang terdiri dari 3 orang PNS dan 7 orang
pegawai tidak tetap.
Sarana dan prasarana SMP Negeri 15 Bandung adalah sebagai berikut:
2. Visi, Misi dan Strategi SMP Negeri 15 Bandung
a. Visi SMP Negeri 15 Bandung

“Terbentuknya insan yang sukses, unggul, berprestasi, menguasai Ilmu


Pengetahuan serta berakhlak mulia, menuju terwujudnya sekolah hijau ,sehat dan
berkarakter”.
Visi tersebut mencerminkan profil dan cita-cita sekolah yang tergambar pada
uraian berikut:
1) berorientasi ke depan dengan memperhatikan potensi SDM
2) ingin mencapai keunggulan dan prestasi
3) mendorong semangat dan komitmen seluruh warga sekolah
4) mendorong adanya perubahan yang lebih baik
5) mendorong adanya pengembangan IPTEK
6) mendorong warga sekolah yang religius
7) mendorong warga sekolah untuk mewujudkan sekolah hijau dan sehat

Untuk mencapai visi tersebut, perlu dirumuskan misi yang berupa kegiatan
jangka panjang dengan arah yang jelas. Berikut ini merupakan misi yang
dirumuskan berdasarkan visi tersebut.
b. Misi SMP Negeri 15 Bandung
Untuk mencapai visi tersebut di atas, ditetapkan misi sebagai berikut :
1) Meningkatkan pembelajaran yang aktif, kreatif, efektif, inovatif dan
menyenangkan.
2) Meningkatkan prestasi akademik dan non akademik berbasis Iptek dan Imtaq.
3) Meningkatkan layanan bagi tenaga pendidik dan kependidikan menjadi profil
personal yang profesional.
4) Meningkatkan budaya dan iklim sekolah yang kondusif, berwawasan
lingkungan dan sehat.
5) Meningkatkan sarana dan prasarana yang representatif
6) Menjalin kerja sama yang harmonis antarwarga sekolah , lingkungan terkait
dan lembaga pendidikan dan/atau lembaga nonpendidikan dalam upaya
peningkatan akses dan dana
7) Strategi SMPN 15 Bandung
Berdasarkan Visi dan Misi tersebut di atas, SMPN 15 Bandung menetapkan
berbagai tujuan pendidikan di lingkungan SMPN 15 Bandung sebagai berikut :
1) Akademis
 Tercapainya tingkat kelulusan 100% dengan rata-rata min nilai 8,0.
 Meningkatnya persentase lulusan yang diterima di sekolah negeri
(SMA/SMK/ MA) sekurang-kurangnya 80% dari lulusan.
 Meningkatkan perolehan nilai rata-rata untuk seluruh mata pelajaran
untuk setiap tahun, sehingga tercapai KKM standar nasional (75)
 Mampu berkomunikasi secara aktif dengan Bahasa Indonesia, Bahasa
Sunda, dan Bahasa Inggris
 Meningkatkan potensi dan kompetensi guru sehingga menjadi guru
profesional
 Terlaksananya pembelajaran dengan multi metoda dan media
pembelajaran berbasisIT.

2) Non Akademis
Menjuarai berbagai kompetisi OSN, O2SN, FL2N
3) Budaya
 Menciptakan lingkungan sekolah yang berbudaya Sunda
 Terlaksananya program 7 K (Keamanan Ketertiban Keindahan
Kebersihan Kenyamanan Kerindangan Kekeluargaan) sehingga sekolah
menjadi kondusif
 Terlaksanannya progam 5 S (salam, salim, senyum, sapa, dan santun)
 Terlaksananya pelayanan yang optimal kepada semua pihak yang
memerlukan berdasarkan SAS (Sistem Administrasi Sekolah).
4) Religi
 Membiasakan setiap kegiatan diwarnai dengan nilai-nilai religi (K1 dan
K2) ImplementasiKurikulum 2013.
 Terlaksananya berbagai program kegiatan pembinaan kesiswaan seperti:
sholat berjamaah, Bimbingan baca tulis Al-Quran, Pesantren
Kilat/Ramadhan, ceramah jumat pagi dan peringatan hari besar
keagamaan.
5) Berwawasan Lingkungan
 Menciptakan lingkungan sekolah yang nyaman, bersih, sehat dan hijau
 Membiasakan pola hidup bersih dan sehat
 Terjalinnya kerja sama antarwarga/keluarga besar sekolah dan lingkungan
sekitar
 Optimalisasi Progam Adhiwiyata
 Optimalisasi Gerakan Pungut Sampah (GPS)
 Optimalisasi Program Bike to School

3. Profil Tenaga Pendidik dan Tenaga Kependidikan


Tenaga Pendidik di SMP Negeri 15 Bandung berjumlah 40 orang orang.
Berikut adalah profil tenaga pendidik di SMP Negeri 15:
Jml STATUS KUALIFIKASI
NO
MATA PELAJARAN/BK DII
. Total Sert GTT GTY PNS S2 S1 DII SMA
I
1. Pendidikan Agama 4 3 3 - 1 - 4 - - -
Pendidikan
2. 3 3 - - 3 2 1 - - -
Kewarganegaraan
3. Bahasa Indonesia 4 3 - - 4 - 4 - - -

4. Bahasa Inggris 3 3 - - 3 - 3 - - -

5. Matematika 5 5 - - 5 - 4 1 - -

6. IPS 4 4 - - 4 - 3 1 - -

7. IPA 5 5 - - 5 - 5 - - -

8. Seni Budaya 4 4 - - 4 - 4 - - -
Pendidikan Olah Raga &
9. 3 3 - - 3 1 2 - - -
Kesehatan
10. TIK/ Prakarya 2 - 2 - - - 2 - - -

11 Bahasa Daerah (Sunda) 2 2 - - 2 1 1

12. Bimbingan Konseling 2 - - - 2 1 1 - -

JUMLAH 40 35 5 0 35 4 33 4 0 0

Tenaga Kependidikan yang ada di SMP Negeri 15 Kota Bandung


berjumlah 10 orang, profil tenaga kependidikan sebagai berikut:
STATUS KUALIFIKASI

NO TENAGA KEPENDIDIKAN Jml


TAST
PNS TASTY SI DIV DIII SMA SMP SD
T

1. TenagaAdministrasiSekolah 5 3 2 - 1 1 3 - -

2. TenagaPerpustakaan 1 - 1 - 1 - - - - -

3. Tenagalaboratorium - - - - - - - - - -
Tenagakhusus (Satpam,
4. 4 - 4 - - - - 1 1 2
Kebersihan, dll)

JUMLAH 10 3 7 - 2 0 1 4 1 2

4. Data Tenaga Pendidik dan Kependidikan

5. Profil Peserta Didik dan Prestasi

Kelas Kelas Kelas


VII VIII IX
Jmlh
JMLH Rom. Rom. Rom. Jml %
Tahun Pelajaran PG JML JML JML Rom.
PPDB Bel Bel Bel siswa Lulus
Bel

Siswa Siswa Siswa

2010/2011 698 24,9 408 10 317 7 407 9 1132 26 100%

2011/2012 598 24,8 405 10 387 9 317 7 1109 26 100%

2012/2013 504 25,9 286 8 405 10 386 10 1077 28 100%

2013/2014 596 25.35 339 10 286 8 394 10 1019 28 100%

2014/2015 536 26.35 287 8 343 10 286 8 915 26 100%

Prestasi yang pernah diraih oleh siswa SMP Negeri 15 adalah sebagai berikut:
No Nama Kejuaraan Hasil Prestasi Tingkat Penyelenggara Tahun

1 FLS2N Juara Favorit Nasional Nasional 2014

2 FLS2N Juara 1 Seni Tari Prov.Jawa Pemprov Jabar 2014


Barat

3 O2N Finalis Nasional Nasional 2013


4 FLS2N Juara 1 Seni Tari Kota Bandung Pemkot Bandung 2013

5 FLS2N Juara 1 Seni Tari Kota Bandung Pemkot Bandung 2012

6 FLS2N Juara 2 Cipta Kota Bandung Pemkot Bandung 2012


Puisi

7 Mitahul Khoir Science Rally Juara 2 Kota Bandung Mitahul Khoir 2012

8 The Star Team National Juara 2 Nasional JHS Elite Open 2012
Cheerleading Divison

9 Baris Berbaris & Pengibaran Juara 2 Kota Bandung BRIGASPARA 2012


Bendera SMPN 9

10 Turnamen Sepak Bola Juara 3 Kota Bandung SMA Kartika XIX-2 2013

11 The Star Team National Juara 3 Prov.Jawa JHS Elite Open 2013
Cheerleading Barat Divison

12 Story Telling Juara 3 Kota Bandung SMK ILB Cinta 2012


Wisata

13 Lomba Melukis Juara 3 Kota Bandung PGPB 2013

14 Miftahul Khoir Science Rally Juara 3 Kota Bandung M iftahul Khoir 2013

15 Lomba Jaipong Rampak Juara 3 Kota Bandung SMK ILB Cinta 2012
Wisata

16 Miftahul Khoir Science Rally Juara 3 Kota Bandung Miftahul Khoir 2012

17 PGRI Cup XVI Juara 3 Kota Bandung PGRI 2012

18 Lomba PBB Juara 3 Kota Bandung Pemkot Bandung 2012

19 Gelar LBB antar Pelajar Juara 3 Kota Bandung PASUSPABA 2012

20 Kompetisi Regu Pengibar Juara 3 Kota Bandung SMA Pasundan 1 2012


Bendera Bdg

21 Kompetisi Regu Pengibar Harapan Mulia 2 Kota Bandung SMA Pasundan 1 2013
Bendera Bdg

22 POP Sunda Putra Harapan 2 Prov.Jawa SMK Yapari 2012


Barat Bandung

23 Gerak Jalan Harapan 2 Kota Bandung Pemkot Bandung 2012

24 Lomba LKBB Harapan Mulia 2 Kota Bandung BEO & SMA 3 2012
Bandung

25 Gelegar Penggalang II Favorit VI Putri Kota Bandung Kwaran 2012

26 Lomba LKBB Lantas Harapan 6 Kota Bandung SIDJA Management 2013

27 Lomba LPBB Terbuka Harapan I Prov.Jawa SMA 12 Bandung 2012


Barat

28 Lomba Mneggambar Juara 1 Prov.Jawa FPPL 2012


Barat

B. Realisasi Kegiatan

Secara umum kegiatan magang (apprenticeship) yang dilaksanakan


mengikuti jadwal yang telah ditetapkan oleh Lembaga, dalam hal ini Program
studi Administrasi Pendidikan Pascasarjana Universitas Pendidikan Indonesia
(UPI) Bandung. Namun, secara khusu program apprenticeship terdiri dari
kegiatan kelompok dan kegiatan individu. Secara umum jadwal kegiatan
apprenticeship diuraikan sebagai berikut:
Tabel 3.
Jadwal Kegiatan Magang (Apprenticeship) di SMP Negeri 15 Kota Bandung

No Waktu Kegiatan Pelaksana


1.
2.
3. 
4. 
5.
6.
7.
8.
9.
10.

Kegiatan kelompok merupakan kegiatan rutin yang dilakukan secara


bersama-sama. Sebelum melaksanakan kegiatan apprenticeship ini, terlebih
dahulu dibuat job description sebagai pedoman dan arah dalam melakukan
kegiatan kelompok agar dapat mencapai tujuan yang diharapkan secara produktif,
berkualitas, efektif dan efisien. Di bawah ini merupakan uraian dari pembagian
tugas pokok dan fungsi (TUPOKSI) masing-masing anggota kelompok.
Tabel 3.
Tugas Pokok dan Fungsi Anggota Kelompok

Nama
No TUPOKSI
Mahasiswa/NIM/Jabatan
1.
2.
3.
4.

Secara operasional kegaiatan magang (Apprenticeship) yang dilaksanakan


secara berkelompok di SMP Negeri 15 Kota Bandung sebagai berikut:
1.
2.

Kegiatan individu merupakan kegaiatan yang dilakukan oleh masing-


masing mahasiswa magang (apprenticeship) yang lebih diarahkan pada upaya
pengembangan diri dan melatih keterampilan berpikir dan bertindak aktif, kreatif
dan inovatif. Substandi materi lebih pada pengembangan terhadap kegiatan-
kegiatan yang telah dilakukan secara berkelompok. Berikut merupakan uraian dari
kegiatan-kegiatan individu yang dilakukan mahasiswa magang (apprenticeship) di
SMP Negeri 15 Kota Bandung.

C. Analisis Hasil Pelaksanaan Kegiatan Magang (Apprenticeship)

D. SWOT

1. Analisis SWOT SMP Negeri 15 Kota Bandung, sebagai berikut:

Anda mungkin juga menyukai