BALI
Disusun :
Bagas Surya Mahendra (221003232010615)
PRODI ARSITEKTUR
UNIVERSITAS 17 AGUSTUS 1945 SEMARANG
2022/2023
KATA PENGANTAR
Ungkapan puji syukur penulis panjatkan kehadapan allah subhanahu wata’alla
karena berkatNYAlah, karya tulis singkat ini dapat diselesaikan.
Judul yang ditampilkan adalah Arsitektur Regionalisme di Bali ini disusun
sebagai salah satu tugas dan kewajiban dosen, yang sudah seharusnya selalu mencari
materi tentang arsitektur pada umumnya, dan mata kuliah yang diampu pada khususnya.
Sebagai pengasuh mata kuliah teknologi bahan bangunan , topik yang diangkat ini
menunjang perkuliahan khususnya dalam hal pemahaman arsitektur secara garis besar.
Untuk mengerjakan tulisan ini, banyak materi-materi, baik berupa bahan-bahan
bacaan maupun diskusi, wawancara dan lainnya. Tak kalah juga pentingnya adalah
dorongan semangat, bimbingan, masukan-masukan pemikiran, yang datangnya dari para
kolega dan semuanya itu memberi kontribusi positif bagi penulis.
Terima kasih penulis sampaikan untuk semua pihak yang telah berperan seperti
tersebut di atas, terutama bapak Djujun Rusmiatmoko ST . M.Ars (PENGAMPU
MATKUL TEKNOLOGI BAHAN BANGUNAN ) yang selalu mendorong untuk
meningkatkan kompetensi melalui pembuatan tulisan seperti ini. Selain dari pada itu
penulis juga menyampaikan terima kasih kepada pihak-pihak lainnya yang telah
membantu memperkaya materi.
Sebagai akhir kata penulis berharap, semoga tulisan sederhana ini ada manfaatnya
yaitu memperkaya materi perkuliahan khususnya, dan pengetahuan arsitektur pada
umumnya.
i
ABSTRAK
1. PENDAHULUAN ....................................................................................................1
II. TINJAUAN TEORI ..................................................................................................4
2.1. Pengertian Arsitektur Regionalisme ..................................................................4
2.2. Sejarah Arsitektur Regionalisme .......................................................................6
2.3. Ciri-ciri Regionalisme .........................................................................................7
2.4. Jenis Regionalisme .............................................................................................8
2.5. Pola Arsitektur Regionalisme .............................................................................13
2.6. Aplikasi Regionalisme Dalam Arsitektur ...........................................................14
DAFTAR PUSTAKA
BAB I PENDAHULUAN
Pulau Bali dengan segenap isinya memiliki kekayaan budaya yang sudah sangat
terkenal di dunia. Salah satu kekayaan yang menjadi daya tarik adalah arsitektur.
Masyarakat awam beranggapan bahwa arsitektur hanya berupa bangunan atau
gedunggedung saja. Anggapan tersebut tidak sepenuhnya salah, karena yang menjadi
daya tarik paling mudah untuk dirasakan oleh masyarakat adalah sosok fisik dari obyek
yang diamati. Padahal sesungguhnya arsitektur (baik yang universal maupun yang Bali)
selain tampilan fisiknya, juga memiliki satu kesatuan yang utuh dengan non fisik berupa
pedoman, konsep, filosofi. dan sebagainya.
Arsitektur Bali yang merupakan warisan mahakarya para leluhur, memiliki
pedoman-pedoman yang pada jamannya tertuang dalam beberapa lontar. Di antaranya
adalah lontar astha kosala, astha kosali, astha bumi, dan sebagainya. Di dalam lontar
tersebut tidak hanya termuat pedoman untuk mengerjakan fisik bangunan, tetapi juga
menyangkut baik buruknya waktu memulai pekerjaan, upacara – upacara untuk setiap
tahapan pekerjaan dari awal sampai selesai, mulai menempati bangunan dan
sebagainya.Termasuk juga di dalamnya penataan tata letak, baik sesama/antar bangunan
satu dengan lainnya, tetapi juga dengan tetangga dan lingkungan sekitar.
Di beberapa tempat (desa di Bali), masih bisa dijumpai bangunan-bangunan yang
relatif bertahan dengan keasliannya. Misalnya Desa Penglipuran (Bangli), Tenganan
(Karangasem), Desa Julah (Buleleng) dan sebagainya. Selain daripada itu di pusat-pusat
kerajaan jaman dahulu, atau di puri-puri masih banyak terdapat bangunan yang
merupakan perwujudan arsitektur Bali. Hanya saja karena jaman sudah berubah dan
kebudayaan semakin berkembang beberapa bangunan sudah mulai berubah.
Kekayaan yang diwarisi tersebut, yang merupakan salah satu daya tarik di dunia
pariwisata saat belakangan ini, patut dilestarikan. Ini penting, karena aset yang sangat
khas ini, menjadi potensi yang hanya ada di Bali. Jadi dengan mudah bisa dibedakan
dengan daerah atau tempat lain, sehingga penampilan beda ini akan selalu membuat orang
ingin melihatnya langsung di tempat asalnya. Selain daripada itu, secara keseluruhan
perwujudan arsutektur Bali dalam cakupan yang lebih luas, mampu memberikan atmosfir
yang khas dan disukai. Minat masyarakat sebagai gambaran betapa bagian dari arsitektur
1
Bali sangat diminati, dapat dilihat dari berkembangnya usaha di bidang ekspor berupa
bangunan-bangunan Bali.
Sejalan dengan perkembangan jaman, peradaban manusia juga berkembang dalam
berbagai aspek kehidupan, dan menuntut ruang-ruang yang semakin beragam untuk
menampung aktifitas yang semakin banyak jenisnya. Sementara arus perkembangan
global tersebut tidak mungkin dibendung, di sisi lain lontar-lontar yang menjadi pedoman
pelaksanaan arsitektur Bali tidak menjangkau sejauh itu. Dalam arti, secara eksplisit tidak
ada ketentuan khusus untuk berbagai bangunan yang muncul di jaman modern ini. Tetapi
secara implisit, terdapat pedoman-pedoman yang secara umum dapat dipertimbangkan.
Misalnya keberadaan dengan lingkungan sekitar, tentang tata nilai ruang dan sebagainya.
Sementara itu keunikan arsitektur yang juga merupakan daya tarik wisata ini,
perlu dilestarikan dalam arti tidak harus ditampilkan persis seutuhnya seperti aslinya.
Namun mengingat fungsi-fungsi yang diwadahi semakin beraneka macam, maka
pelestarian dapat dilakukan dengan mengadopsi beberapa elemen bangunan Bali.
Memelihara dan mengembangkan arsitektur Bali ini telah direspon oleh
Pemerintah Daerah Bali, dengan menerbitkan peraturan daerah (PERDA) nomor 5 tahun
2005 tentang arsitektur yang dibangun di Bali. Peraturan ini sebetulnya bukan hal baru,
karena sesungguhnya peraturan tahun 2005 ini adalah semacam penyesuaian terhadap
Perda no 2, 3 dan 4 tahun 1974 yang mengatur hal yang sama. Jadi kepedulian
masyarakat terhadap keberadaan arsitektur Bali sudah mendapat tanggapan positif dari
pemerintah sejak 40 tahun yang lalu.
Persoalan sekarang adalah fakta di lapangan. Masih banyak dapat dijumpai
bangunan-bangunan yang sangat jauh dari nuansa Bali. Dengan kata lain hal ini adalah
pelanggaran terhadap perda. Adapun alasannya, solusi harus dicarikan agar tujuan Perda
untuk menciptakan lingkungan yang bernuansa Bali tidak sia-sia. Di lain pihak, para
perancang (arsitek) dihadapkan pada kondisi, dimana mereka memiliki idealisme yang
tinggi untuk mencipatakan desain yang selalu baru, sementara itu di Bali ada peraturan
Daerah yang membatasi.
Pada situasi seperti inilah para arsitek mesti menggali atau memunculkan
gagasan-gagasan kreatif dengan melihat kekayaan lokal yang ada. Salah satu cara yang
dapat dilakukan untuk tidak menyimpang dari peraturan Daerah yang ada, misalnya
2
dengan cara merancang di jalur arsitektur regionalisme, karena arsitektur regionalisme
adalah arsitektur universal (modern sekalipun) dengan memanfaatkan kearifan lokal yang
ada. Dalam hal ini adalah arsitektur Bali.
BAB II
TINJAUAN TEORI
3
menjadi „laku‟ kembali sehingga sistem produksi arsitektur pun semakin terbuka
peluangnya bagi tukang, pengrajin, produsen, bahan bangunan, yang bersifat lebih
komunal. Dengan demikian „strategi kebudayaan‟ semacam ini mendorong sektor
ekonomi kerakyatan menjadi semakin produktif, juga meninggalkan nilai apresiatif dan
kebanggaan pada kebudayaan lokal. Regionalisme bertujuan untuk mengungkap
kemungkinan-kemungkinan mereka berakar. Regionalisme tergantung pada kesadaran
politis bersama antara masyarakat dan kaum profesional. Persyaratan-persyaratan
lahirnya ekspresi ini, selain kemakmuran yang memadai juga diperlukan keinginan yang
tegar untuk melahirkan „identitas‟.
Beberapa pemikiran para ahli tentang definisi Regionalisme dalam Arsitektur antara
lain:
a. Peter Buchanan (1983)
Mendefinisikan regionalisme adalah kesadaran diri yang terus menerus, atau
pencapaian kembali, dari identitas atau simbolik. Berdasarkan atas situasi khusus dan
mistik budaya lokal, regionalisme merupakan gaya bahasa menuju kekuatan nasional dan
umum arsitektur modern, seperti budaya lokal itu sendiri, regionalisme lebih sedikit
diperhatikan dengan hasil secara abstrak dan nasional, lebih kepada penampakan fisik
yang lebih dalam nuansa pengalaman hidup.
b. Amos Rapoport
Menyatakan bahwa regionalisme meliputi berbagai kekhasan tingkat daerah dan
dia dinyatakan bahwa secara tidak langsung identitas diakui dalam hal kualitas dan
keunikan membuatnya berbeda dari daerah lain. Hal ini memungkinkan mengapa
arsitektur regional sering didentifikasikan dengan Vernakuler, yang berarti sebuah
kombinasi antara arsitektur lokal dan internasional (asli).
4
Berdasarkan hal diatas arsitektur regional oleh para arsitek diatas dapat
disimpulkan sebuah definisi yang lebih lengkap yang mana didefinisi ini dapat diterima
untuk segala jaman, yaitu definisi menurut Tan Hock Beng.
5
“concrete regionalism” dan “abstract regionalism”
“Concrete Regionalism” meliputi semua pendekatan kepada ekspresi daerah/regional
dengan mencontoh kehebatannya, bagian-bagiannya atau seluruh bangunan di daerah
tersebut. Apabila bangunan-bangunan tadi sarat dengan nilai spiritual maupun
perlambang yang sesuai, bangunan tersebut akan lebih dapat diterima di dalam bentuknya
yang baru dengan memperlihatkan kenyamanan pada bangunan baru, ditunjang oleh
kualitas bangunan lama.
“Abstract Regionalism”, hal yang utama adalah menggabung unsur-unsur kualitas
abstrak bangunan, misalnya massa, padat dan rongga, proporsi, rasa meruang,
penggunaan pencahayaan dan prinsip-prinsip struktur dalam bentuk yang diolah kembali.
Menurut Willaim Curtis, regionalisme diharapkan dapat menghasilkan bangunan yang
bersifat abadi, melebur melebur dan menyatukan antara yang lain dan yang baru, antara
regional dan universal.
Secara prinsip, tradisionalisme timbul sebagai reaksi terhadap tidak adanya
kesinambungan antara yang lama dan yang baru. Regionalisme merupakan peleburan atau
penyatuan antara yang lama dan yang baru, sedangkan post modern berusaha
menghadirkan yang lama dengan bentuk universal (Jencks, 1977).
Menurut William Curtis, regionalisme diharapkan dapat menghasilkan bangunan yang
bersifat abadi, melebur dan menyatukan antara yang lain dan yang baru, antara regional
dan universal. Kenzo Tange, menjelaskan bahwa regionalisme selalu melihat kebelakang
tetapi tidak sekedar menggunakan karakteristik regional untuk mendekor tampak
bangunan. Arsitektur tradisional mempunyai lingkup regional sedangkan arsitektur
modern mempunyai lingkup universal. Dengan demikian, maka yang menjadi ciri utama
regionalisme adalah menyatunya Arsitektur Tradisional dengan Arsitektur Modern.
6
Kemunculannya juga bukan merupakan ledakan dari pada sikap emosional sebagai
respon dari ketidak berhasilan dari arsitektur modern dalam memenuhi keinginan
masingmasing individu didunia, akan tetapi lebih pada proses pencerahan dan evaluasi
terhadap kesalahan-kesalahan pada massa arsitektur modern.
2.4 Jenis Regionalisme
EKLETIK
CONCRETE
REGIONALISME
REINTERPRETIF
ARSITEKTUR REGIONALISME IKLIM
ABSTRAC
POLA CULTURAL
REGIONALISME
ICONOGRAFIS
1. Concrete Regionalisme
a. Ekletik
7
Ekletik merupakan bagian dari concrete regionalisme yang mengambil dan
meniru bentuk nyata suatu bagian arsitektur budaya lokal dan
mengaplikasikannya pada bangunan.
Contoh :
Penggunaan atap Masjid Raya Sumatra Barat yang mengambil bentuk atap
Rumah Adat Minang, pengaplikasian ini termasuk ke dalam Ekletik
Regionalisme karena secara nyata mengambil bentuk arsitektur budaya lokal.
8
b. Representatif
Representatif merupakan bagian dari concrete regionalisme yang dimana
langgam-langgam arsitektur diletakkan begitu tanpa memperhatikan fungsi
dan filosofi sehingga mengubah makna yang sebenarnya.
Contoh : Penempatan patung Dewa Ganesha yang diletakkan di depan pintu
masuk yang seakan menandakan bahwa Dewa Ganesha adalah dewa penjaga
pintu masuk. Sedangkan dalam filsafat agama hindu, Dewa Ganesha
merupakan dewa penolak bala dan pemberi keselamatan. Berlatar belakang
mitologi tersebut, masyarakat awam banyak yang beranggapan bahwa Dewa
Ganesha adalah dewa penjaga sehingga dalam implementasi dalam
9
bangunannya diletakkan di
10
2. Abstract Regionalisme
Dalam penerapannya hal yang utama adalah menggabungkan unsur-unsur dan
kualitas abstrak bangunan, misalnya massa, solid, dan void, sense of space, pencahayaan,
dan prinsip-prinsi struktur dalam bentuk yang diolah kembali. Menggabungkan
unsurunsur kualitas abstrak bangunan misalnya massa, padat dan rongga, proporsi, rasa
meruang, penggunaan pencahayaan dan prinsip-prinsip struktur dalam bentuk yang diolah
kembali.
a. Responsif dari iklim, didasarkan pada pendekatan klimatologi (iklim) muncul
bangunan/elemen yang spesifik untuk mengoptimalkan bangunan yang
responsif terhadap iklim. Contoh : Ken Yang Tower di Singapura.
11
b. Pola-pola budaya/perilaku, sebagai penentu tata ruang, hirarki, sifat ruang
yang dipakai untuk membangun kawasan agar sesuai dengan keadaan sosial
budaya masyarakat tersebut. Contoh : Penerapan Konsep Sanga Mandala
Pada Rumah Bali Modern.
12
c. Iconografis (simbol-simbol), memunculkan bangunan-bangunan modern yang
baru tapi menimbulkan representasi (simbol masyarakat) makna-makna yang
sesuai/khas. Contoh : Penggunaan Simbol-Simbol Pada Toilet Yang
Menandakan Gender. Gender wanita disimbolkan dengan topeng ratu
sedangkan gender pria disimbulkan dengan topeng raja.
13
1. Pola Derivativ
Desainer yang bekerja dengan pola derivativ, sebenarnya meniru atau memelihara
bentuk arsitektur tradisi atau vernakular, untuk fungsi bangunan baru atau
modern, dalam hal ini kita melihat tiga kecenderungan, yakni :
a. Tipologis, dimana arsitek berusaha untuk mengelompokan bangunan
vernakular, kemudian memilih dan membangun salah satu tipe dianggap
baik untuk kepentingan baru.
b. Interpritif atau interpretasi, dimana arsitek berusaha untuk menafsirkan
bangunan vernakular kemudian membangunnya untuk kepentingan baru.
c. Konservasi, dimana perancang berusaha untuk mempertahankan bangunan
lama yang masih ada, kemudian menyesuaikannya dengan kepentingan
baru.
2. Pola Transformatif
Gagasan arsitektur regional yang bersifat transformatif, tidak lagi sekedar meniru
bangunan lama. Tetapi berusaha mencari bentuk-bentuk baru, dengan titik tolak
ekspresi bangunan lama baik yang visual maupun abstrak.
Gagasan arsitektur yang bersifat visual dapat dilihat dari usaha pengambilan
elemen-elemen bangunan lama yang dianggap baik, menonjol atau ekspresif
untuk diungkapkan kepada bangunan baru. Pemilihan elemen yang dianggap baik
ini disebut ekletik. Kemudian pastiche atau mencampu-baurkan beberapa elemen
bangunan baik moden maupun tradisional, beberapa diantara desain bangunan
seperti ini juga dapat menimbulkan kesan ketidakserasian. Sedangkan reinterpratif
adalah menafsirkan kembali bangunan lokal itu dalam versi baru.
Pencarian dan penafsiran bentuk-bentuk arsitektur tradisi ini pernah di kritik oleh
arsitek Jepang Kenzo Tange, yang hanya akan melahirkan monstermonster
arsitektur lokal. Namun tidak dapat disangkal bahwa, pola transpormasi adalah
salah satu cara untuk menciptakan arsitektur modern yang dapat merangsang
kreativitas arsitek untuk menciptakan karya arsitektur baru dan modern, tetapi
masih memperlihatkan karakter arsitektur lokal dari massa silam. Secara umum,
pola transpormasi dapat diartikan perubahan bentuk lama ke bentuk baru.
14
2.6 Aplikasi Regionalisme dalam Arsitektur
Arsitek masa lalu dan arsitek masa kini secara visual luluh menjadi satu kesatuan.
Menurut Wondoamiseno, kemungkinan-kemungkinan pengkaitan tersebut adalah :
a. Tempelan elemen pada arsitektur masa lalu
b. Elemen fisik arsitektur masa lalu menyatu dalam arsitektur masa kini
c. Elemen fisik arsitektur masa lalu terlihat jelas dalam arsitektur masa kini
d. Wujud arsitektur masa lalu mendominasi arsitektur masa kini
e. Ekspresi wujud arsitektur masa lalu menyatu dalam arsitektur masa kini
Untuk mengatakan bahwa arsitektur masa lalu menyatu dalam arsitektur masa
kini, maka arsitektur masa lalu dan arsitektur masa kini secara visual harus merupakan
kesatuan (unity). Kesatuan yang dimaksud adalah kesatuan dalam komposisi arsitektur.
Apabila yang dimaksud menyatu bukan menyatu secara visual, misalnya kualitas abstrak
bangunan berhubungan dengan perilaku manusia, maka secara penilaian dapat dengan
menggunakan observasi langsung maupun tidak langsung.
Untuk mendapatkan kesatuan dalam komposisi arsitektur ada tiga syarat utama,
yaitu adanya :
a. Dominasi
Dominasi yaitu ada satu yang menguasai keseluruhan komposisi. Komposisi
dapat dicapai dengan menggunakan warna, material maupun objek-objek
pembentuk komposisi itu sendiri.
b. Pengulangan
Pengulangan di dalam komposisi dapat dilakukan dengan mengulang bentuk,
warna, tekstur maupun proporsi. Didalam pengulangan dapat dilakukan
dengan berbagai irama atau repetisi agar tidak terjadi kesenadaan(monotone).
15
BAB III
ARSITEKTUR REGIONALISME DI BALI
Berdasarkan materi yang telah disampaikan tadi, dapat dilihat bahwa arsitektur
regionalisme mengajak para arsitek untuk menonjolkan arsitektur nusantara agar nantinya
arsitektur nusantara lebih berkembang. Selain itu juga bisa dapat menonjolkan ciri khas
bangunan di setiap wilayah sesuai dengan bangunan ciri khas daerah setempat dengan
dikombinasikan dengan arsitektur modern. Selain itu juga agar nantinya bangunan
tersebut bisa menjadi identitas di masing-masing wilayah.
Pada dasarnya, arsitektur regionalisme adalah arsitektur (yang mewadahi aktifitas)
modern dengan mendapat sentuhan daerah setempat. Memang tidak dapat dipungkiri
bahwa aktifitas dan pola kehidupan masyarakat tidak akan mandeg pada sebuah tradisi.
Pengaruh perkembangan dan kemajuan jaman pastilah akan menuntut adanya wadah-
wadah baru yang tidak/belum ada di kehidupan masyarakat tradisional.
Tidak begitu sulit mewadahi aktifitas kehidupan dengan modernitas yang terus
berkembang dengan mengembangkan desain arsitektur modern. Ini disebabkan desain
arsitektur yang menampilkan struktur sebagai andalan estetika, banyak dijumpai pada
bangunan-bangunan berskala besar. Misalnya sarana olahraga (stadion), taman rekreasi
yang luas dan besar, bangunan perindustrian (pabrik) dan sebagainya.
Bagaimana halnya jika aktifitas dan fungsi modern tersebut harus dirancng dan
dibangun di suatu tempat yang memiliki peraturan bangunan khusus, seperti di Bali?
Seperti diketahui Pemerintah Provinsi Bali telah memiliki Peraturan Daerah (Perda)
nomor 5 tahun 2005, yaitu tentang arsitektur bangunan gedung. Peraturan ini juga
merupakan penyempurnaan dari perda yang sudah ada di Bali sejak tahun 1974 dengan
Peraturan Daerah Nomor 2,3 dan 4 tahun 1974. Isinya juga pada dasarnya mengatur agar
bangunan-bangunan (arsitektur) di Bali tetap tampil dengan nuansa Bali.
Peaturan yang bagus tersebut belakangan ini ternyata banyak tidak diikuti oleh
para perancang dan pemilik bangunan. Barangkali ada semacam rasa untuk tampil beda
dan lebih modern dibandingkan dengan bangunan-bangunan yang lahir sebelumnya.
Sebut saja bangunan yang diberi nama arsitektur minimalis. Bangunan ini sesuai dengan
16
sebutannya (minimalis) menonjolkan tampilannya dengan permainan bidang dan warna
saja. Kekayaan arsitektur lokal tidak mendapat tempat di sini.
Lalu, apa yang bisa dilakukan? Di sinilah arsitektur regionalisme dapat menjadi
alternatif. Jika arsitek beranggapan bahwa Perda menjadi hambatan untuk berkreasi,
bukanlah hal yang tepat. Arsitek sesuai dengan kode etik profesi, mestinya turut dan taat
pada peraturan yang ada, di mana pun rancangannya akan dibangun. Kreatifitas bukanlah
berarti dapat berbuat apa saja. Arsitek yang baik dan benar adalah arsitek yang mampu
menuangkan kreasinya tanpa melanggar peraturan.
Berbicara tentang membangun di Bali yang memiliki peraturan daerah, para
perancang dapat memanfaatkan kekayaan budaya lokal yang ada. Pakem-pakem yang ada
seperti kepala, badan, dan kaki tidaklah sulit untuk diterapkan. Beberapa jenis kontruksi
yang ada di Bali sebetulnya dapat menjadi inspirasi untuk menciptakan sistem struktur
yang estetis. Apalagi sistem struktur pada arsitektur Bali, tampil tanpa ditutupi atau
dengan kata lain di ekspos. Keberadaanya mudah dilihat sehingga mudah dipersepsi
mulai dari struktur tiang, struktur rangka atap dan sebagainya. Ditambah lagi dengan
adanya beberapa sistem struktur yang unik yng sering dijumpai pada bangunan-bangunan
publik (wantilan), bangunan peribadatan (kompleks pura), dan sebagainya.
17
Kemudian inspirasi juga bisa muncul dari kekayaan ragam hias yang ada di Bali.
Ragam hias ini tidak hanya bisa dilihat pada bangunan tetapi juga banyak di jumpai pada
peralatan upacara, busana penari, peralatan rumah tangga dan sebagainya. Sebagaimana
diketahui ragam hias di Bali ada tiga golongan yaitu : pepatran, kekarangan, dan
keketusan. Motif-motif yang muncul dari ketiga aspek tersebut berupa alam hewan, alam
tumbuh-tumbuhan, dan petikan-petikan dari unsur alam lainnya merupakan pilihan yang
sangat kaya. Motif-motif tersebut bisa ditempatkan pada bagian kepala, badan dan kaki
bangunan sesuai dengan kebutuhan. Para arsitek tentu dapat mengembangkan
kreativitasnya berdasarkan motif-motif tersebut tanpa harus meniru persis seperti aslinya.
Contoh salah satu patra :
18
Contoh beberpa kekarangan :
Salah satu Hotel di Kuta (Padma Resort) mencerminkan nuansa Bali meskipun material
bangunannya bukan eks lokal.
Bangunan dengan fungsi modern bisa memunculkan nuansa Bali dengan sentuhan
arsitektur Regionalisme.
21
Penggunaan material pabrikasi ini juga bisa menjadi solusi untuk mengatasi
semakin terbatasnya ketersediaan material lokal. Ditambah lagi dengan isu-isu
lingkungan yang menyatakan keprihatinan terhadap eksploitasi alam apalagi jika
dilakukan secara ilegal. Misalnya penggalian batu paras di berbagai tempat, batu karang,
batu kali di daerah aliran sungai dan sebagainya. Jadi terhadap keadaan ini material hasil
olahan pabrik dapat menjadi pilihan. Apalagi pada umumnya material dari pabrik
ukurannya sudah presisi, tekstur dan warnanya beraneka ragam dan sering kali
pengerjaannya bisa lebih cepat.
Contoh di Bandara Ngurah Rai bahan yang digunakan adalah bahan pabrikasi tapi setelah
diolah, tampilanya bisa mengekspresikan suasana Bali.
22
Dengan diskusi yang tersebut diatas dapatlah dikatakan bahwa peraturan daerah
bukanlah sesuatu yang menjadi hambatan bagi arsitek untuk berkreasi. Sepanjang arsitek
23
sadar akan kode etiknya dan mempunyai komitmen yang kuat maka berkreasi bisa
dilakukan tanpa harus terbelenggu oleh peraturan.
BAB IV
PENUTUP
4.1 Kesimpulan
Dari uraian yang telah tersaji pada bab-bab sebelumnya dapatlah dikatakan bahwa
Bali memiliki kekayaan arsitektur yang patut untuk dilestarikan. Untuk ini pemerintah
daerah sudah memiliki peraturan yang bertujuan untuk tetap terpeliharanya arsitektur Bali
meskipun penampilannya tidak harus sesuai persis dengan aslinya. Hal ini untuk
mengantisipasi kemungkinan bahwa perkembangan jaman menuntut adanya ruang-ruang
baru yang sebelumnya tidak ada pada arsitektur Bali terdahulu.
Hanya saja kondisi di lapangan terlihat masih banyak bangunan-bangunan yang
tampilannya tidak mentaati peraturan tersebut. Padahal jika diperhatikan dengan seksama
keberadaannya masih memiliki peluang untuk dapat diberikan sentuhan-sentuhan yang
bernuansa Bali. Misalnya pada kolom, dinding, dan atapnya. Hal-hal yang bisa
dipergunakan misalnya mengambil dari sistem struktur bangunan Bali dan juga ragam
hias yang sangat kaya di Bali.
Arsitektur regionalisme sebagai mana sudah terlihat pada bab 2 merupakan
saluran yang dapat mengakomodir tuntutan berkreasi tanpa harus terbelenggu oleh
peraturan daerah. Arsitektur regionalisme dapat menampilkan desain yang bernuansa
lokal tanpa harus merasa tidak mengikuti gaya modern. Lokalitas melalui arsitektur
regionalisme antara lain dapat ditempuh melalui pemilihan sistem struktur, ragam hias
dan material bahan bangunan setempat.
4.2 Saran
Mestinya para arsitek (para perancang) tetap mentaati kode etik dan berkomitmen
untuk ikut melestarikan kekayaan warisan budaya Bali dibidang arsitektur melalui
karyakarya kreatif yang terus dapat dikembangkan tanpa kehilangan lokalitasnya. Para
arsitek mestinya juga menyampaikan kepada para pemilik bangunan bahwa pemilik
24
bangunan tidak boleh memaksakan kehendaknya untuk meminta desain yang tidak taat
pada peraturan daerah. Untunglah dalam hal ini jika pemilik bangunan adalah instansi
pemerintah, disini dapat diterapkan dengan lebih mudah peraturan yang ada tersebut,
seperti bangunan kantor, sekolah, bangunan publik dan sebagainya.
Upaya-upaya untuk menciptakan desain arsitektur yang mentaati peraturan, dapat
dilakukan melalui berbagai saluran (stakeholder). Di Bali yang dikenal memiliki sistem
banjar, dapat memanfaatkan acara-acara dibanjar (terutama pada saat rapa/paruman),
dengan melakukan sosialisasi. Baik oleh aparat banjar, maupun oleh instansi pemerintah
dengan meminjam tempat dan waktu dibanjar.
Demikian pula stakeholder lain, dapat melakukan hal serupa. Misalnya organisasi
profesi seperti ikatan arsitek Indonesia (IAI), Ikatan Nasional Consultan Indonesia
(INKINDO), Gabungan Pelaksana Kontruksi Nasional Indonesia (GAPENSI), ikatan ahli
planologi (IAP) Indonesia, dan sebagainya. Organisasi-organisasi tersebut bahkan paling
berdiri paling depan dalam menegakkan peraturan. Dan pemahaman tentang arsitektur
regionalisme, sebagai salah satu pilihan, mestinya tidak sulit bagi mereka untuk
mengimplementasikan.
25
DAFTAR PUSTAKA
Acwin Dwijendra, Ngakan Ketut, 2009 :ARSITEKTUR & KEBUDAYAAN BALI KUNO;
CV. Bali Media Adhikasa dan Udayana University
Press; Denpasar.
Budihardjo, Eko 1995 :ARCHITECTURAL CONSERVATION IN BALI;
Gadjah Mada; University; Press; Yogyakarta.
Gelebet, I Nyoman, Ir, 1981/1982 :ARSITEKTUR TRADISIONAL DAERAH BALI;
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan – Proyek
Inverentasi dan Dokumentasi Kebudayaan Daerah.
26