Bukan karena karya-karya Nadin Amizah yang memikat
dan telah ku simpan dalam-dalam di hati, namun yang kali ini sungguh aku yang harus kau kenal lebih dalam. Aku rasa, aku ialah manusia yang paling sulit untuk dicintai, begitu juga mencintai. Aku tumbuh dengan cinta yang penuh, Namun sepenuhnya cinta yang datang layaknya air meluber di kolam hijau, aku tetap aku yang belum pantas menerima cinta yang utuh. Aku ialah wadah yang teramat kecil bila dibandingkan kolam renang di rumahmu. Aku ialah sebuah rumah yang teramat sempit bak segelas kecil sekali teguk.
Kabarnya, semua manusia yang hadir di hidupku penuh
kasih mencintaiku dan banyak juga bunga yang telah tumbuh di tangan mereka karena aku. Tapi sebelum aku layu di tanganmu, jauh-jauh hari sudah ku pastikan aku mengatakan di hati yang terdalam, “Kalau cintamu sebesar ini, aku membalasnya akan bagaimana?”. “Kalau cintamu seluas air di samudra dan aku ialah bara api yang membakar hutan sepuluh hektar, yang tak kan meredup, mau kah kamu tetap memadamkan api yang ku buat atas tanganku sendiri?”.
Sebesar-besarnya cinta yang telah mereka beri, aku
menganggapnya karena dunia sedang baik saja. Selanjutnya akan hilang dan meredup di hati yang baru saja penuh hari ini. Yang semula hatinya sebesar dunia dan nyala di antara ribuan bintang lainnya—yang juga terang—di angkasa, kini berubah menjadi redup dan (jika ada papan peringkat hati mana yang paling terang) ku pastikan redupku berperingkat nomor satu dari bawah. Selanjutnya dunia akan menyakiti oleh mereka yang ku rasa telah mencintaiku tadi pagi.
Kalau kau butuh validasi atas seberapa hatiku ini tak
mampu menampung rasa cinta yang utuh, maka pertanyaan dari ibuku yang satu ini, semoga dapat kau percaya atas narasi jelek nan bodohku malam ini. Di hari yang cukup membuat tetangga terusik atas kicauan kami berdua—yang berakhir berdamai satu sama lain—untuk mereda semua keras dan semua-mua yang menjadikanku tak merasa dicintai, ibu berkata dengan seluk-beluknya yang memikirkan anakku yang satu ini sedang mengapa dan kenapa. “Kamu sebenarnya merasakan sayang dari Ibu tidak, Nduk?” Satu pertanyaan telah tumbuh dan ku pelihara sampai hari ini, “Aku bisa merasa dicintai, tidak?” Aku merasa dicintai bila kau menatapku mendalam. Aku merasa dicintai bila kegilaanku hari ini dapat membuatmu tersenyum rapat karena telah mendengar nyerocosnya mulutku yang selalu bangga akan gilanya aku hari ini. Aku merasa dicintai bila secangkir teh buatanku, kau hirup dan teguk dengan nikmat sambil tersenyum manis di hadapanku. Aku merasa dicintai dengan sungguh bila kau tak lagi mengizinkan aku meminum obat terlarang lagi di pagi dan tengah malam. Aku merasa dicintai dengan utuh bila kau tak menguras air mataku lagi yang hanya tersedia untuk hari ini. Aku merasa dicintai sebesar dunia bila tangan kotorku tak lagi menjadi sebuah ejekan di kepalamu. Aku merasa dicintai seutuh bulan purnama di penghujung malam gelap gulita bila sakitku telah lumrah dan melunak di hatimu.
Semoga aku, yang kau cintai dengan sungguh.
Semoga aku, yang kau terima dengan utuh.
Merayakan takdir Tuhan, sehari utuh 19 Oktober 2023.