Anda di halaman 1dari 18

BAB 9

KRITERIA KEPUTUSAN

A. PENGANTAR
Didalam penilaian keputusan investasi atau studi kelayakan bisnis menggunakan
berbagai kriteria. Dimulai dari kriteria yang “sempit” sampai dengan kriteria yang lebih
“luas”. Kriteria yang sempit hanya menekankan pada aspek profitabilitas dipandang
dari sudut bisnis yang sering disebut profitabilitas komersial. Sedangkan dari sudut
yang lebih luas adalah dengan memperhatikan manfaat proyek begi perekonomian
nasional dan segi sosial.
Dalam studi kelayakan bisnis yang sebagaian besar membicarakan segi bisnis
maka profitabilitas komersial lebih diperhatikan. Investor memiliki prioritas penilaian
atau suatu proyek yaitu apakah suatu proyek memberikan tingkat keuntungan yang
dianggap layak. Beru kemudian menyusul pertimbangan – pertimbangan lain yang
menyangkut manfaat yang lebih luas bagi masyarakat.
Studi kelayakan bisnis lebih menitikberatkanpada kriteria profitabilitas
komersial dari pada profitabilitas ekonmi nasional, namun tidak ada salahnya
mengetahui kriteria – kriteria penilaian lain untuk menilai sumbangan proyek pada
perekonomian nasional. Hal ini karena biasanya pemerintah akan lebih memperhatikan
dalam arti memberikan fasilitas dan dukungan pada proyek – proyek yang memberikan
manfaat bafi masyarakat luas.
Idealnya, suatu proyek yang lebih baik adalah tidak hanya sehat atau layak dari
segi teknis, ekonomis, serta aspek – aspek lain, namun juga memberikan tingkat
keuntungan yang tinggi baik kepada investor (profitabilitas komersial) maupun kepada
perekonomian nasional (profitabilitas ekonomi nasional).
Pada dasarnya terdapat dua pendekatan utama dalam menilai sumbangan proyek
kepada perekonomian nasional, yaitu sebagai berikut.
a. Menitikberatkan pada suatu atau lebih karakteristik penting, misalnya penerimaan
devisa, pnggunaan tenaga kerja sebanyak – banyaknya dan penggunaan modal
sekecil – kecilnya.
b. Mengkonsentrasikan pada hasil keseluruhan yang diharapkan dalam usaha untuk
menemunakan rata – rata, nilai bersih proyek yaitu dengan mempertimbangkan
semua faktor yang ada didalamnya. Misalnya, kriteria profitabilitas komersial dan
profitabilitas ekonomi nasional yang telah disinggung sebelumnya.
Berikut akan dijelaskan secara ringkas beberapa kriteria penilaian baik yang
menggunakan pendekatan pertama, sekalipun penggunaanya dalam praktik masih
dipertanyakan, maupun yang menggunakan pendekatan kedua, yang lebih sering
digunakan dalam praktik. Khusus untuk kriteria penilaian dengan pendekatan kedua,
yaitu profitabilitas komersial dan profitabilitas ekonomi nasional akan dibahas secara
lebih rinci.
Kriteria penilaian yang akan dibahas antara lain: a) kriteria intensitas faktor, b)
kriteria luas dan kompleksitas proyek, c) kriteria pendapatan valuta asing/devisa, d)
kriteria profitabilitas komersial, e)kriteria profitabilisa ekonomi nasional, dan f)kriteria
pemilihan proyek.
B. KRITERIA INTENSITAS FAKTOR
Setiap negara biasanya memiliki sumber tenaga kerja meilimpah yang sebagian
besar tidak mendapatkan pekerjaan yang sesuai dengan kemampuannya, atau terlalu
banyaknya tenaga kerja yang mengerjakan suatu pekerjaan dibandingkan yang
seharusnya sehingga sering terdengar istilah pengangguran tak kentara. Namun, dilain
pihak, negara – negarra berkembang sering kekurangan sumber modal investasi.
Melihat kondisi tersebut tidak heran jika kriteria keputusan invetasi yang
digunakan menitikberatkan pada seberapa jauh penggunaan tenaga kerja didalam
proyek semakin tinggi nilainya terhadap perekonomian.
Berdsarkan kriteria ini, pemerintah suatu negara sebaiknya memberikan
prioritas pembangunan proyek – proyek yang memanfaatkan faktor surplus, yaitu
misalnya tenaga kerja dari pada faktor yang jarang misalnya modal (kapital). Namun
perlu diperhatikan bahwa kelebihan tenaga kerja dalam kenyataanya bukan satu –
satunya faktor yang perlu diperhatikan karena masih banyak faktor – faktor lain yang
juga mempengaruhinnya. Terlalu menitikberatkan pada kelebihan satu faktor, tetapu
mengabaikan faktor- faktor lainya bisa mengakibatkan kegagalan proyek secara
keseluruhan yang bahkan bisa memberi dampak negatif terhadap perekonomian.
Kriterian ini memiliki kelemahan, yaitu harus diikuti dengan asumsi “faktor –
faktor lain dianggap tetap tidak tepengaruh dan dipengaruhi oleh faktor – faktor yang
dijadikan kriteria”. Padahal dalam kenyataan, keadaan tersebut sulit ditemui. Jadi,
penggunaan faktor surplus tenaga kerja sulit dijadikan kriteria satu satunnya tanpa
mempertimbangkan akibatnya, terutama akibat negatif terhadap faktor – fakktor lain,
misalnya produktivitas yang rendah, yang justru kemungkinan besar akan mengurangi
‘nilai’ proyek itu sendiri.
Walaupun kriteria intensitas faktor sulit diterapkan, dalam arti tidak bisa
dijadikan satu – satunya kriteria keputusan investasi, tetapi keputusan investasi akan
lebiih realistis jika selain menggunakan kriteria intensitas faktor, kriteria – kriteria lain
pun digunakan. Selain itu, dengan membandingkan suatu proyek yang intensif kerja
dengan proyek lain yang intensif modal akan dinilai kelemahan dan kelebihan masing –
masing dikaitkan dengan nilai proyek secara keseluruhan.
C. KRITERIA LUAS DAN KOMPLEKSITAS PROYEK
Kriteria lain yang bisa dipergunakan untuk membuat keputusan investasi adalah
luas dan tingkat kompleksitas elemen – elemen yang terdapat dalam proyek. Semakin
luas suatu proyek semakin kompleks permasalahan yang dihadapinya. Luas dan
kompleksitas tersebut meliputi aspek keuangan, produksi, dan keuntungan yang
diproleh dari aspek – aspek lain. Cotoh luas dan kopleksitas aspek keuangan, suatu
usaha penjahit membutuhkan modal tidak cukup dari pemilik saja, melainkan ada
kemungkinan bisnis membutuhkan kresit ekspor atau memerlukan partner usaha atau
bahkan membutuhkan modal langsung dari masyarakat melalui pasar modal. Hal ini
tentu saja menunjukkan semakin kompleksnya masalah dan risiko yang dihadapai oleh
proyek yang semakin besar.
Secara umum, pada tahap awal pembangunan suatu negara, jenis – jenis usaha
kecil yang menggunakan teknik produksi sederhana dan memberikan return yang cepat
sebaiknya diberi dukungan lebih kompleks yang dilaksanakan beberapa waktu
kemudian setelah masyarakat siap untuk melaksanakannya. Contoh: mari kita lihat
sasaran pembangunan bisang ekonomi setiap PELITA Republik Indonesia. Pada Pelita
pertama sasaran pembangunan ekonomi kita diprioritaskan pada sektor pertanian dan
industri pendukung pertanian. Pelita kedua, selain masih meneruskan pembangunan
pertanian dan insdustri pendukung pertanian, sasaran pembangunan kita adalah
insdustri pengolah bahan mentah menjasi bahan baku. Pelita ketiga, memiliki sasaran
pembangunan industri pendukung pertanian dan pertanian menuju swasembada pangan,
insdustri pengolahan bahan mentah menjadi bahan baku, serta industri pengolah bahan
baku menjadi bahan jadi. Pada Pelita keempat sasaran pembangunan, selain masih
meneruskan sasaran – sasaran sebelumnya juga mulai melaksanakan industri penghasil
mesin industri. Sedangkan pada Pelita kelima mulai diprioritaskan pada industri –
industri penghasil mesin industri untuk segera menuju tinggal landas.
Dari contoh diatas, dapat kita lihat suatu ilustrasi mengenai tahap – tahap
pelaksanaan pembangunan menuju industrialisasi suatu negara dari yang paling
sederhana sesuai dengan kemampuan masyarakat negara yang bersangkutan menuju
industri – industri yang lebih kompleks.
D. KRITERIA PENDAPATAN VALUTA ASING/DEVISA
Salah satu pertimbangan keputusan dilaksanakan suatu proyek adalah seberapa
besar penghematan devisa yang diproleh bagi produk – produk yang di produksi proyek
jika produk tersebut adalah substitusi impor atau seberapa besar pendapatan devisa
yang diperkirakan akan didapat dari ekspor produk yang akan dihasilkan peoyek.
Suatu negara kadang mengalami pengurangan sadangan devisa, baik disebabkan
oleh pengurangan pendapatan devisa ataupun ileh meningatnya pengeluaran devisa. Hal
tersebut disebabkan misalnya kegagalan produksi pertanian sehingga pemerintah perlu
membeli lebih banyak bahan pangan untuk memenuhi kebutuhan padan dalam negeri
agar tercukupi. Harga minyak turundengan drastis, hal ini mengakibatkan turunya
pendapatan devisa dari yang dirensanakan smula.
Pertimbangan yang menyertai perlunya digunakan kriteria pendapatan devisa
adalah sebagai berikut.
- Krisis cadangan devisa akan mengancam kelangsungan pembangunan jangka
panjang suatu negara, maka proyek – proyek secara komersial tidak layak pun
bisa diterima asal menghasilkan devisa yang relatif tinggi atau proyek tersebut
paling tidak bisa membantu mengatasi kesulitan devisa
- Jika proyek – proyek yang ada selama ini sinilai dalam jangka panjang tidak
mampu menghasilkan devisa yang cukup bagi negara yang bersangkutan,
pembangunan proyek – proyek yang memberikan pendapatan devisa atau
menghemat devisa merupakan proyek – proyek yang harus diperhatikan.
Kelehaman kriteria ini sebagaimana kriteria – kriteria sebelumnya adalah tidak
melihat atau mempertimbangkan dampaknya terhadap perekonomian secara
keseluruhan yang berkaitan tidak hanya satu atau dua faktor, melainkan berbagai faktor
yang saling mempengaruhi.
E. KRITERIA PROFITABILITAS KOMERSIAL
Berbeda dengan kriteria – kriteria sebelumnya yang hanya mempertimbangkan
satu aspek dalam proyek maka kriteria profitabilitas komersial yang mempertimbngkan
berbagai faktor, lebih diterima secara luas sebagai alat menilai proyek secara
keseluruhan. Kriteria tersebut digunakan oleh investor swasta maupun pemerintah atau
lembaga – lembaga keuangan, baik swasta maupun pemerintah. Perkiraan profitabilitas
adalah laba bersih (yang diharapkan) sesudah pajak.
Penggunaan profitabilitas komersial untuk menilai proyek – proyek sangat
disarankan karena kriteria ini cenderung bersifat objektif dan menggunakan aspek
penting, yaitu biaya. Dengan mendapatkan informasi akurat mengenai permintaan atau
pasar, harga, produksi dan biaya, profitabilitas komersial tidak sulit dihitung dan cara
perhitungannya telah dikenal melalui prosedur akuntansi.
Profitabilitas komersial ini bisa juga dipergunakan untuk membandingkan
investasi satu dengan yang lain bagi para investor swasta. Bagi pemerintah yang akan
menangani proyek secara langsung dalam arti menginvestasikan dananya ke dalam
suatu bisnis negara, profitabilitas komersial bisa digunakan untuk meperkirakan
prestasi keuangan bisnis negara yang akan dilaksanakan.
Profitabilitas komersial merupakan sebuah prakiraan yang tidak lepas dari
penyimpangan. Terdapat dua bagian besar didalam profitabilitas komersial ini, yaitu
estimasi biaya produksi dan estimasi penerimaan penjualan. Jika terdapat kesalahan
pada salah satu bagian tersebut, akan mengakibatkan kesalahan pada perhitungan rate
of return. Sebaliknya dika estimasi profitabilitas komersial dengan teliti dibuat dan
mendasarkan pada konsep konservatif, profitabilitas komersial tersebut bisa digunakan
sebagai dasar penilain prospek proyek, terutama dalam kaitannya sebagai bisnis
komersial. Namun dalam kebijaksanaan perencanaan pembangunan dan/atau bagi
proyek – proyek yang memerlukan bantuan pemerintah (dana atau lainya) sebaiknya
tidak menggunakan kriteria profitabilitas komersial sebagai pertimbangan satu –
satunya dalam pengambilan keputusan, melainkan perlu dilengkapi pula dengan kriteria
profitabilitas ekonomi nasional yang akan dibahas lebih lanjut.
F. KRITERIA PROFITABILITAS EKONOMI NASIONAL
Kriteria profitasbilitas ekonomi nasional merupakan kriteria yang paling tepat
untuk mengukur nilai bersih suatu proyek terhadap perekonomian nasional.
Profitabilitas ekonomi nasional adalah rata – rata rate of return bersih suatu investasi
dalam hubungannya dengan perekonomian nasional.
Perhitungan profitabilitas ekonomi nasional, selain memasukkan biaya
ekonomis dan laba yang sering tidak diperhitungkan juga memasukkan biaya dan
manfaat nonekonomis yang seharusnya dibutuhkan dalan suatu penilaian proyek agar
diproleh nilai proyek yang sebenarnya terhadap perekonomian nasional.
Metode untuk menilai profitabilitas ekonomi nasional yang paling mudah
adalah berdasarkan pada perhitungan profitabilitas komersial lalu diseuaikan dengan
kondisi yang memerlukan penyesuaian. Misalnya, suatu proyek yang mendapatkan
fasilitas pembebasan bea masuk untuk inpor bahan baku. Guna perhitungan ekonomi
nasional, bea masuk harus ditambahkan dalam biaya produksi sehongga mengurangi
laba yang diproleh dalam perhitungan profitabilitas komersial.
Meskipun kriteria profitabilitas ekonomi nasional jika diterapkan dengan benar
memiliki kelebihan, yaitu bisa memperlihatkan nilai yang sebenarnya suatu proyek
terhadap perekonomian nasional, namun tetap memiliki kelemahan, antara lain
sebagaimana perhitungan profitabilitas komersial, perhitungan profitabilitas ekonomi
nasional pun tidak luput dari kesalahan perhitungan. Selain itu, kriteria inin tidak begitu
dikenal masyarakat sehingga jarang digunakan. Keadaan ini bisa mengakibatkan
kuarangnya kepercayaan masyarakat terhadap keguanaan kriteria profitabilitas ekonomi
nasional, meskipun hal ini tidak boleh terjadi.
G. KRITERIA PEMILAHAN PROYEK
Kedua kriteria sebelumnya merupakan kriteria yang sangat berguna untuk
menganalisis proyek secara objektif dan sistematis. Kriteria pemilihan proyek
mendasarkan pada kedua kriteria tersebut ditambah dengan pertimbangan kualitatif.
Kriteria ini dipergunakan pada saat mengambil keputusan menghadapi alternatif
proyek, proyek apa yang harus didahulukan dan proyek apa yang sebaiknya ditunda
pelaksanaanya.
Bahaya yang mengancam dengan digunakan kriteria ini adalah jika
pertimbangan kualitatif diluar pertimbangan ekonomis mendominasi pengambilan
keputusan. Misalnya faktor politik, kelembagaan, kebiasaan sosial, kepercayaan, dan
lain – lain. Faktor – faktor tersebut bisa menjadi penghambat jika masyarakat dan
pelaksana proyek belum siap untuk menciptakan iklim usaha yang mendukung proyek,
dalam arti proyek belum saatnya dilaksanakan tetapi dipaksanakan untuk
dilaksankan.sebaliknya, faktor – faktor diatas bisa menjadi faktor pendukung bagi
pelaksanaan suatu proyek, dalam arti bahwa pelaksanaan proyek disesuaikan dengan
kondisi masyarakat setempat sehingga proyek yang dilaksankaan akan didukung oleh
masyarakat.
Objektivitas tidak saja dituntut untuk mendapatkan proyek – proyek yang dapat
diterima, melainkan juga memilih proyek prioritas, yaitu proyek yang sebaiknya
didahulukan pelaksanaanya dibandingkan dengan yang lain. oleh Karena itu, kriteria
pemilihan proyek ini dipergunakan untuk menentukan urutan proyek dari sekelompok
usulan proyek. Caranya dengan membuat analisis perbandingan sekelompok usulan
proyek kemudian menentukan prioritasnya.
BAB 12
KONSEP NILAI WAKTU UANG DAN BERBAGAI KRITERIA INVETASI

A. PENGANTAR
Secara ekonomi, segala suatu didunia ini tidak ada yang diperoleh tanpa
pengorbanan. Untuk mendapatkan air minum, makan, pakaian, dan kebutuhan yang
lain, semua itu diproleh dengan mengorbankan atau biaya, udara sekalipun bagi orang
yang sakit harus diproleh dengan pengorbanan. Dengan kata lain, bahwa untuk
mendapatkan apa yang kita inginkan karena keterbatasan, maka diperlukan biaya.
Bagi bisnis yang ingin mendapatakan dana bagi pembiayaan kegiatannya juga
harus mengeluarkan biaya yang sleanjutnya disebut dengan biaya modal. Apabila
meminjam uang di bank sebesar Rp. 1.000.000 dan harus mengembalikan satu tahun
kemudian sebesar Rp. 1.000.000 plus bunga misalnya sebesar Rp. 200.000 maka saat
kita memproleh penjaman tersebut sesuai perjanjiannya sebesar Rp. 1.000.000 dapat
dikatakan bahwa biaya modalnya tersebut adalah sebesar 20%
Itu berarti bahwa kita menghargai Rp. 1.200.000 satu tahun yang kan datang
mempunyai nilai yang sama dengan Rp. 1.000.000 saat ini. Demikian pula halnya,
apabila kita mempunyai uang sebesar Rp. 2.000.000 seandainya tingkat bunga yang
wajar sebesar 20%, maka kita bersedia memberikan pinjaman pada pihak yang
membutuhkan hanya apabila peminjam bersedia membayar 20% lebih besar satu tahun
yang akan datang. Atau kita akan menilai bahwa uang sebesar Rp. 2.400.000 satu tahun
yang akan datang mempunyai nilai sama dengan Rp. 2.000.000 saat ini.
B. TERMINAL (FUTURE) VALUE
Bunga majemuk menjadi pusat untuk mempelajari aspek keuangan (finance)
secara sistematik. Secara sederhana sebenarnya konsep ini hanya menghitung bunga
atas dasar pokok pinjaman, dan bunga tersebut akan menjadi pokok pinjaman untuk
periode berikutnya dan bunga pada periode selanjutnya dihitung atas dasar pokok
pinjaman yang baru. Atau dengan kata lain bunga berbunga.
Sebagai contoh seorang yang mempunyai Rp. 100.000 yang disimpan di bank
dengan tingkat bunga sebesar 8%, maka satu tahun kemudian atau pada akhir tahun
simpanannya akan menjadi sebesar:
Terminal Value (TV1) = Rp. 100.000 (1 + 0.08)
= Rp. 108.000
Apabila uang tersebut disimpan untuk jangka waktu 2 tahun maka pada akhir
kedua simpanannya akan menjasi sebesar Rp. 116.640 karena pokok simpanan awal
tahun kedua tidak lagi sebesar Rp. 100.000 melainkan Rp. 108.000 dan bunga tahun
kedua adalah 2% x Rp. 108.000 = Rp. 8.640. dengan kata lain maka dengan bunga
majemuk kita dapat mencari secara singkat:
TV2 = Rp. 100.000 (1 + 0.08)2
= Rp. 116.640
Pada akhir tahun ketiga akan menjadi:
TV3 = Rp. 100.000 (1 + 0.08)3
= Rp. 125.971
Secara umum kita dapat menuliskan menjadi:
TVn = X0 (1 +r)n
Dimana X0 adalah jumlah simpanan awal dan r adalah besarnya tingkat bunga
Apabila tingkat bunga dihitung lebih dari sekali dalam setahun, maka kita juga
dapat mencari dengan menggunakan formulasi sebagai berikut. Misalnya kita
menyimpan uang Rp. 100.000 di bank dengan bunga 8% dan dibayar dua kali dalam
setahun (artinya, 4% pada semester pertama dan 4% pada semester kedua). Maka pada
akhir semester pertama akalnya terjadi sebagai berikut.
X1/2 = Rp. 100.000 (1 + 0.08/2)
= Rp. 104.000
Pada akhir tahun akan menjadi:
TV2 = Rp. 100.000 (1 + 0.08/2)2
= Rp. 108.160
Secara umum kita dapat memformulasikan untuk terminal value pada akhir tahun ke n
dimana bunga dibayar sebanyak m kali adalah:
TVn = X0 (1 +r/m)mn
Untuk memberikan gambaran tersebut misalnnya bunga dibayar kuartalan, maka
simpanan sebesar Rp. 100.000 pada akhir tahun pertama akan menjadi:
TV1 = Rp. 100.000 (1 + 0.08/4)4
= Rp. 108.240
Dan nilai akhir pada tahun ketiga adalah:
TV3 = Rp. 100.000 (1 + 0.08/4)12
= Rp. 126.820
Bandingkan apabila setahun dibayar hanya 2 kali maka:
TV3 = Rp. 100.000 (1 + 0.08/4)6
= Rp. 126.530
kemudian apabila setahun hanya sekali maka:
TV3 = Rp. 100.000 (1 + 0.08/4)3
= Rp. 125.971
C. PRESENT VALUE (NILAI SEKARANG)
Sebagai contoh sederhana apabila kita menginginkan simpanan kita di bank satu
tahun akan datang sebesar Rp. 700.000, sedangkan bunga ynag berlaku adalah 9%
maka berapa kita harus menyimpan saati ini. Atau berapa nilai sekarang (present value)
dari Rp. 700.000 yang akan kita terima satu tahun yang akan datang?
Apabila A1 menunjukkan jumlah yang diharapkan 1 tahun dari sekarang dan PV
adalah jumlah tabungan serta k adalah tingkat bunga maka:
A1 = PV (1 + k)
A1
PV =
(1+k )
Rp . 700.000
=
(1+0.08)
= Rp. 648.150
Dengan demikian, apabila kita menyimpan Rp. 648.150 merupakan present
value dari Rp. 700.000penerimaan datu tahun yang akan datang dengan tingkat bunga
sebesar 8%. Present value penerimaan Rp. 700.000 dua tahun yang akan datang akan
sebesar:
A1
PV = 2
(1+k )
Rp . 700.000
= 2
(1+0.08)
= Rp. 600.140
Present value dengan perhitungan bunga lebih dari sekali dalam setahun juga
dapat diselesaikan seperti halnya pada terminal value. Secara umum dapat dituliskan:
An
PV = nm
(1+k )
Dimana An adalah aliran kas pada akhir tahun ke n, dan m adlaah berapa
kalibunga dihitung dalam satu tahun, sedangkan k adalah tingkat bunga. Sebagai contoh
present value dari Rp. 100.000 yang akan diterima akhir tahun ke-3, dengan discount
rate sebesar 10% dihitung kuartalan adalah:
Rp .100.000
PV =
( 1+ 0 ,10 )(4 ) (3 )
= Rp. 74.360
Present value Rp. 100.000 penerimaan satu tahun yang akan datang apabila
bunganya dihitung bulanan, dengan bunga 10%, adalah sebesar:
Rp . 100.000
PV =
( 1+ 0 ,10 )12
= Rp. 38.270
D. INTERNAL RATE OF RETURN (IRR)
Internal rate of return (IRR) adalah tingkat bunga yang menyamakan present
value aliran kas keluar yang diharapkan (expected cash outflows) dengan present value
aliran kas masuk diharapkan (expected cash inflows). Secara sistematis dapat dijelaskan
sebagai berikut.
n
A
∑ (1+ r)t 2 =0
t =0

Diamana At adalah cash flows pada periode t, baik itu kas masuk atau kas
keluar, n adalah akhir periode aliran kas yang diharapkan, sedangkan r adalah jumlah
discount cash flows tahun 0 dampai dengan n. Dapat juga dijabarkan menjadi:
A1 A2 A3 + An
A0 = + + 3 + .... +
(1+2) (1+ 2) (1+ 2)
2
(1+2)
n

Sebagai gambaran perhatikan contoh berikut. Suatu investasi senilai Rp.


18.000.000 akan memberikan aliran kas masuk bersih Rp. 5.600.000 setiap tahun
selama 5 Tahun. berapakah internal rate of return investasi tersebut? Untuk
menyelesaikan maslah ini bisa ditempuh dengan cara trial and error atau coba – coba.
A0 =

Rp . 5.600 .000 Rp .5.600 .000 Rp . 5.600 .000 Rp .5.600 .000 Rp . 5.600 .000
+ + + +
(1+ r ) (1+r )
2
(1+r )
3
(1+r )
4
(1+r )
5
Kita tentukan tingkat bunga 16% maka present value proceeds akan sebesar Rp.
18.336.080. dikarenakan terlalu tinggi, berarti pembangiannya terlalu kecil. Oleh
karena itu, kita coba menaikkan discount rate-nya menjasi 17% dan diproleh present
value-nya sebesar Rp. 17.512.3320.
Discount Discount Aliran Kas Per Present Value
Rate Faktor Tahun Proceed
18% 3,1272 Rp. 5.600.000 Rp. 17.512.320
17% 3,1993 Rp. 5.600.000 Rp. 17.916.080
16% 3,2743 Rp. 5.600.000 Rp. 18.336.080
14% 3,4351 Rp. 5.600.000 Rp. 19.225.360

Karena yang kita cari adalah present value untuk 18.000.000 dan ini terletak
antara discount rate 16% dan 17% maka kita cari nilai selanjutnya.
Discount Discount Aliran Kas Per Present Value
Rate Faktor Tahun Proceed
18% 3,1272 Rp. 5.600.000 Rp. 17.512.320
17% 3,1993 Rp. 5.600.000 Rp. 17.916.080
1% 3,4331 Rp. 5.600.000 Rp. 420.000

Perbedaan sebesar Rp. 18.000.000 – Rp. 18.336.000 = Rp. 336.000


Rp .336.000
x 1 %=0 , 80 %
Rp . 420.000
Dengan demikian, IRR = 16% + 0.80 = 16,10%
E. KRITERIA PENILAIAN INVESTASI
Terdapat enam metode penilaian investasi suatu proyek yang biasa digunakan:
(a) accounting rate of return, (b) average accounting rate of return, (c) payback, (d)
internal rate of return, (e) net present value, dan (f) profitability index. Tia metode
yang pertama hanya cocok digunakan apabila kas yang diharapkan terjadi setiap akhir
tahun.
1. Accounting Rate Of Return
Accounting rate of return merupakan rasio antara laba setelah pajak
terhadap investasi. Metode ini hanya didasarkan atas data laporan keuangan.
Sebagai contoh penggantian mesin lama yang masih memiliki nilai buku Rp.
2.000.000 dengan mesin baru senilai Rp. 18.500.000 sedangkan biaya
pemasangan Rp. 1.500.000 sehingga total investasi adalah sebesar Rp.
20.000.000 dikurangi penjualan mesin lama Rp. 2.000.000 atau sebesar Rp.
18.000.000. penggantian mesin tersebut dapat menghemat biaya tenaga kerja,
biaya perawatan, dan biaya kas lainnya sebesar Rp. 7.100.000 setiap tahun selama
5 tahun. misalnya, tarif pajak sebesar 40% dan metode depresiasi yang digunakan
adalah garis lurus, maka aliran kas masuk bersihnya sebagai berikut.
Tambahan Penghematan Rp. 7.100.000
Depresiasi Mesin Baru Rp. 4.000.000
Depresiasi Mesin Lama (Rp. 400.000)
Tambahan Depresiasi Rp. 3.600.000
Tambahan Keuntungan Sebelum Pajak Rp. 3.500.000
Pajak Penghasilan 40% (Rp. 1.400.000)
Tambahan Keuntungan Setelah Pajak Rp. 2.100.000
Tambahan Depresiasi Rp. 3.600.000
Tambahan Aliran Kas Masuk Bersih Rp. 5.700.000
Rp . 2.100 .000
Accountig Rate of Return = x 100 %
Rp . 18.000 .000
= 11,67%
Sedangkan average accounting rate of return adalah rasio antara laba
setelah pajak terhadap investasi rata – rata atau Rp. 18.000.000 dibagi 2 atau
sebesar Rp. 9.000.000.
Rp. 2.100 .000
Accountig Rate of Return = x 100 %
Rp . 9.000 .000
= 23,33%
Setelah diproleh berapa accounting rate of return-nya, maka untuk
menilai apakah investasi tersebut diterima atau ditolak maka accounting rate of
return dibandingkand engan rate of return yang diisyaratkan atau ditentukan. Jika
accounting rate of return lebih besar dari rate of return yang diisyaratkan maka
invesatsi tersebut diterima, sebaliknya apabila lebih kecil maka ditolak.
Metode tersebut sangat sederhana dan mudah dilakukan, namun memiliki
banyak kelemahan. Kelemahan yang paling utama adalah karena metode tersebut
berdasarkan pada data akuntansi, bukan aliran kas. Bagi para investor tentunnya
kas lebih penting karena dengan kas investor dapat memenuhi kewajiban
finansialnya dan membiayai kegiatan operasional bisnis. Kelemahan yang lain
adalah apabila metode depresiasi yang digunakan berbeda maka akam
memberikan hasil yang berbeda pula, disamping itu juga metode pernilaian yang
berbeda juga akan berpengaruh terhadap perhitungan. Kelemahan berikutnya
adalah metode ini tidak diperhatikan konsep nilai waktu uang, metode ini menilai
Rp. 1,00 saat ini memilini nilai yang sama dengan Rp. 1,00 satu atau dua tahun
yang akan datang.
Dalam hal untuk memiliki investasi, metode ini tidak jarang memberikan
penilaian yang salah. Sebagai contoh, ada tiga proyek senilai Rp.
20.000.000selama 5 tahun yang masing – masing memberikan aliran kas sebagai
berikut.

Proyek A Proyek B Proyek C


Tahun Net Cash Net Cash Net Cash
Profit Profit Profit
Flow Flow Flow
1. 6.000 11.000 4.000 9.000 2.000 7.000
2. 5.000 10.000 4.000 9.000 3.000 8.000
3. 4.000 9.000 4.000 9.000 4.000 9.000
4. 3.000 8.000 4.000 9.000 5.000 10.000
5. 2.000 7.000 4.000 9.000 6.000 11.000
Tabel 12.1 Aliran Kas Masuk Bersih (salam Rp.000)
Setiap proyek tersebut sebenarnya sama – sama memiliki accounting rate
of return sebesar 45%. Dengan demikian, apabila rate of return yang ditentukan
sebesar 30%, maka ketiga proyek tersebut favourable (menguntungkan). Namun
demikian, bukanlah sebaiknya memilih proyek A karena proyek tersebut
memberikan aliran kas masuk bersih yang lebih besar pada tahun – tahun
pertama?
2. Payback
Payback period suatu investasi menunjukkan berapa lama (jangka waktu)
yang diisyaratkan untuk pengembalian initial investment dengan cash flow. Untuk
mencari payback period apabila cah inflow-nya tidak sama setiap tahun, maka
dapat dilakukan dengan mengurangkan masuk terhadap investasi. Sebagai contoh
investasi penggantian mesin lama dengan mesin baru, maka payback period-nya
sebagai berikut.
Rp . 18.000 .000
Payback Period = x 1tahun=¿ 3,16 tahun
Rp . 5.700 .000
Jika payback period telah kita dapatkan, maka untuk menilai apakah
investasi tersebut diterima atau ditolak kita bandingkan payback period yang
diisyaratkan atau ditentukan. Apabila payback period –nya ternyata lebih pendek
daripada payback period yang ditentukan maka investasi tersebut sebaiknya
diterima. Sebaliknya, apabila lebih lama maka sebaiknya ditolak.
Metode ini cukup sederhana sehingga mempunyai banyak kelebahan.
Kelemahan utamnya adalah metode ini tidak memperhatikan aliran kas masuk
setelah payback. Jadi, seandainya ada dua atau lebih investasi yang sama – sama
memiliki payback yang sama, maka metode ini akan menilai indefference
terhadap investasi tersebut.

3. Internal Rate of Return (IRR)


Metode yang telah dibahas selanjutnya mendasarkan pada aliran kas dan
laporan rugi laba, tanpa memperhatikan nilai waktu uang. Oleh karena itu, berikut
akan dibahas metode lain yang lebih baik. metode ini disebut dengan discounted
cash flow methods, yang terditi dari tida metode, yakni interval rate of return,
net present value, dan profitability index.
Internal rate of return adalah tingkat bunga yang menyamakan present
value aliran kas keluar yang diharapkan (expected cash outflow) dengan present
value aliran kas masuk yang diharapkan (expected cash inflow). Internal rate of
return ditunjukan oleh r dalam persamaan berikut.
n
A
∑ (1+ r)t 2 =0
t =0

Dimana At asalah cash flow untuk periode t tidak itu net cahs inflow
maupun net cash outflow, dan n adalah lamanya periode aliran kas yang
diharapkan. Dari persamaan tersebut dapat dijalankan menjadi:
A1 A2 A3 + An
A0 = + + 3 + .... +
(1+2) (1+ 2) (1+ 2)
2
(1+2)
n

Kembali pada contoh semula, pada penggantian aktiva maka kita dapat
mencari besarnya internal rate return adalah sebesar 17,5%, dengan cara trial
and error.
Rp . 5.700 .000 Rp .5.700 .000 Rp . 5.700 .000
Rp. 18.000.000 =
+ + +¿
(1+ r ) (1+r )
2
(1+r )
3

Rp . 5.700 .000 Rp .5.700 .000


4
+ 5
(1+r ) (1+ r )
Kemudian internal rate of return yang diproleh dibandingkan dengan rete
of return yang ditentukan, sebenarnya yang lebih tepat adalah dibandingkan
dengan weighted average cost of capital sebagai out-off atau hurdle rate. Apabila
internal rate of return lebih besar dari rate of return yang ditentukan maka
investasi tersebut diterima, karena akan menaikkan harga pasar saham, dan
sebaliknya apabila internal rate return lebih kecil dibanding rate of return yang
ditentukan maka invesstasi itu akan ditolak.
4. Net Present Value (NPV)
Seperti halnya dengan metode internal rate of return, metode net present
value pun merupakan pendekatan discounted cash flow dalam capital budgeting.
Dengan menggunakan metode net present value, seluruh aliran kas di net present
value-kan dengan required rate of return. Secara umum net present value dapat
disajikan sebagai berikut.
n
A
∑ (1+ tk )
t =0 t

Dimana k adalah required rate of return, atau lebih tepat lagi adalah
weighted average cost of capital. Jika net present value-nya positif atau sama
dengan nol, maka investasi tersebut diterima. Namun demikian, tidak berarti
bahwa apabila net present value sama dengan nol berarti sama dengan break even
point, hal ini desebabkan dalam keadaan net present value sama dengan nol
sebenarnya investasi tersebut telah mendapatkan keuntungan besar required of
returni atau tingkat keuntungan yang diisyaratkan. Sedangkan break even point
adlah keadaan dimana bisnis tidak untuk dan tidak rugi.
NPV = Rp. 18.000.000 =
Rp . 5.700 .000 Rp .5.700 .000 Rp . 5.700 .000
+ + +¿
( 1+ 12% ) (1+ 12% )
2
(1+12 %)
3

Rp . 5.700 .000 Rp .5.700 .000


4
+ 5 = Rp. 2.547.000
(1+12 %) (1+ 12% )
Perhitungan ini dapat diselesaikan dengan cepat apabila menggunakan
bantuan tabel present value. Dikarenakan net present value-nya positif lebih besar
dari pada nol maka investasi tersebut sebaiknya diterima.
5. Profitability Index (PI)
Probability index atau sering disebut juga dengan benefir cost ratio adalah
ratio antara present value proceed dengan present value outlay. Secara umum kita
dapat tuliskan sebagai berikut.
N
A
PI =
∑ t

(1+k )
t
t =0

An
Seperti halnya contoh diatas maka besarnya benefit cost ratio atau
profitability index adalah 1,14. Kemudian apabila profitability index-nya lebih
dari 1 maka sebaiknya proyek tersebut diterima, sebaliknya apabila kurang dari 1
maka ditolak.
Rp . 20.547 .000
PI = = 1,14
Rp. 18.000 .000
Metode ini juga mempunyai kelemahan, yaitu saati kita dihadapan untuk
memiliki proyek yang profitable, ini disebabkan profitability index tidak lebih
sebagai rasio saja, bukan dalam angka absolut. Sehingga bisa jadi satu invetasi
yang mempunyai profitability index yang besar katakanlah proyek A senilai Rp.
100.000.000 dengan profitability index 1,20 dan proyek B lebih besar senilai Rp.
500.000.000 dengan profitability index isebesar 1,10 maka proyek A yang
disarankan untuk diambil. Padahal dalam kenyaannya proyek A hanya
mempunyai net present value yang lebih besar, yakni sebesar Rp. 50.000.000.
bukankah kita seharusnya memilih proyek yang memberikan tambah keuntungan
riil yang lebih besar, yaitu proyek B?
Hubungan antara net present value dengan internal rate of return dapat
dilihat pada gambar berikut ini. NPV dan IRR berhubungan terbalik. Contohnya,
pada saat required rate of return sebesar 10% maka besarnya net present value
adalah sebesar Y. Dalam Gambar dibawah ini IRR = 16,80%.

NPV (Rp)

0
5 10 15 20 25
Kemudian setelah mempelajari berbagai kriteria penilaian investasi,
timbul pertanyaan metode mana yang seharusnya dipergunakan. Secara teoritis
net present value memberikan hasil yang lebih baik, karena net present value
mengasumsikan bahwa cash inflow setiap tahun diinvestasikan kembali dengan
reinvestment rate sebesar required rete of return. Sedangkan internal rate of
return mengasumsikan bahwa cash inflow diinvestasikan kembali dengan
reinvestment rate sebesar internal rate of return. Dengan demikian, untuk
investasi yang memberikan internal rate return yang tinggi diasumsikan
reinvestment rate-nya tinggi juga. Asumsi semacam ini kurang relevan, karena
pada dasarnya cash inflow mempunyai kesempatan yang sama sehingga kita
harus mengasumsikan bahwa reinvestment rate untuk setiap investasi baru adalah
sama.
Keuntungan lain dengan menggunakan net present value adalah apabila
tingkat bunga yang berlaku setip tahun berbeda (r1 ≠ r2 ≠ r3 ≠ r4) maka apabila
menggunakan metode internal rate of return kita akan kesulitan karena hanya
dengan satu persamaan harus mencari lebih dari satu bilangan. Hal semacam ini
tidak akan terjadi apabila kita menggunakan metode net present value.
Tahun Proceed Disc. Faktor PV Proceed
1989 16.755.000 0,90909 Rp. 15. 249.984
1990 15.860.000 0,82645 13.107.497
1991 14.042.000 0,75131 10.549.895
1992 10.385.375 0,68301 7.093.315
1993 11.658.120 0,62092 7.238.760
1994 15.359.190 0,56447 8.669.802
1995 15.164.290 0,52316 7.781.707
1996 20.858.300 0,46651 9.730.606
1997 22.290.800 0,42410 9.453.528
1998 42.253.000 0,38554 16.251.668
*) 52.500.000 0,38554 20.240.850
**) 20.538.000 0,38554 19.484.420
Present Value Of Proceed Rp. 144.852.032

Kembali pada contoh sebelumnya, yakni bisnis pengelolaan udang di


daerah Jawa Tengah. Kita dapat menilai apakah proyek tersebut layak atau tidak
untuk dilaksanakan. Misalnya required rate of return 10% maka besarnya net
present value adalah Rp. 19.352.032
NPV = PV Proceed – PV Outlay
= Rp. 144.852.032 – Rp. 125.500.000
= Rp. 19.352.032
Karena net present value-nya positif maka investasi tersebut sebaiknya
diterima. Kemudian kita juga dapat menghitung profitability index-nya yakni
sebesar 1,154
PI = Rp. 144.852.032
Rp. 125.500.000
= 1,154
Dan internal rate of return-nya sebesar:
Discount Rate Present Value Proceed
15% Rp. 108.930.709
Rp. 16.569.291
........ Rp. 125.500.000
Rp. 19.352.032
10% Rp. 144.852.032
5% Rp. 35.921.323
Rp. 19.352 .032
x 5 %−2 , 69 %
Rp .35 .921 .323
IRR = 10% + 2,69% = 12, 69%
Karena internal rate of return-nya ternyata lebih besar dari required rate
return, yakni 10% maka investasi tersebut sebaiknya diterima. Sedangkan
payback period-nya adalah 8 tahun 2 bulan 27 hari. Dengan demikian, secara
umum atau hasil keseluruhan, usulan investasi tersebut layak untuk dilaksanakan.

Anda mungkin juga menyukai