Anda di halaman 1dari 108

LAMPIRAN KEPUTUSAN DIREKTUR JENDERAL

PERHUBUNGAN LAUT
NOMOR : KP-DJPL 627 TAHUN 2022
TENTANG PEMBERLAKUAN BUKU PANDUAN
NASIONAL MENGENAI PENGAWASAN KEPATUHAN
DAN PENEGAKAN ATURAN TERHADAP PELAKSANAAN
PEMERIKSAAN PENGENDALIAN SISTEM ANTI TERITIP
(ANTI FOULING SYSTEM) DAN SISTEM MANAJEMEN AIR
BALAS (BALLAST WATER MANAGEMENT SYSTEM) OLEH
PEJABAT PEMERIKSA KESELAMATAN KAPAL
/PEJABAT PEMERIKSA KELAIKLAUTAN DAN
KEAMANAN KAPAL ASING DI INDONESIA

Panduan Nasional
Pengawasan Kepatuhan dan Penegakan Aturan Terhadap
Pelaksanaan Pemeriksaan Pengendalian Sistem Anti
Teritip (Anti Fouling System) dan Sistem Manajemen Air
Balas (Ballast Water Management System) oleh Pejabat
Pemeriksa Keselamatan Kapal / Pejabat Pemeriksa
Kelaiklautan dan Keamanan Kapal Asing di Indonesia

DIREKTORAT JENDERAL PERHUBUNGAN LAUT


KEMENTERIAN PERHUBUNGAN
1
KATA PENGANTAR

Segala Puji dan Syukur kami panjatkan selalu kepada Tuhan Yang Maha Esa
atas Rahmat, Taufiq, dan Hidayah yang sudah diberikan sehingga kami bisa
menyiapkan buku Panduan Nasional yang berjudul “Pengawasan kepatuhan
dan penegakan aturan terhadap pelaksanaan pemeriksaan pengendalian sistem
anti teritip (anti fouling system) dan sistem manajemen air balas (ballast water
management system) oleh pejabat pemeriksa keselamatan kapal / pejabat
pemeriksa kelaiklautan dan keamanan kapal asing di indonesia” dengan tepat
waktu.

Tujuan dari penyiapan buku Panduan Nasional ini tidak lain adalah untuk
mendukung peran dan tugas para pejabat pemeriksa keselamatan kapal /
pejabat pemeriksa kelaiklautan dan keamanan kapal asing di Indonesia sebagai
pedoman dan petunjuk pemeriksaan dalam rangka Pengawasan kepatuhan dan
penegakan aturan terhadap pelaksanaan pemeriksaan pengendalian sistem anti
teritip (anti fouling system) dan sistem manajemen air balas (ballast water
management system).

Buku Panduan Nasional ini memberikan informasi secara lengkap mengenai


definisi, dasar hukum ruang lingkup, pengelolaan, persyaratan, penilaian dan
pengawasan serta tatacara dan lampiran checklist yang berasal dari peraturan
yang telah ditetapkan sesuai peraturan perundang-undangan di lingkungan
Direktorat Jenderal Perhubungan Laut Kementerian Pehubungan.

Buku Panduan Nasional ini akan secara terus – menerus disempurnakan dan
disesuaikan dengan perkembangan ketentuan nasional dan Internasional
sehingga dapat dipergunakan secara akurat, efektif dan akuntabel.

DIREKTUR JENDERAL PERHUBUNGAN LAUT

ttd

ARIF TOHA

2
DAFTAR ISI

1. BAB I Pendahuluan......................................................................... 4
1.1 Tujuan............................................................................................................. 4
1.2 Kewajiban ...................................................................................................... 4
1.2.1 Kewajiban-kewajiban Umum................................................................... 4
1.2.2 Kewajiban Negara Bendera ...................................................................... 4
1.2.3 Kewajiban Negara Pantai .......................................................................... 5
1.2.4 Kewajiban Negara Pelabuhan.................................................................. 5
1.3 Pengawasan Kepatuhan dan Penegakan Aturan(PKPA) ................. 6

2. BAB II Konvensi AFS ..................................................................... 7


2.1 Model legislasi untuk penerapan PSC/FSI yang efektif ................. 7
2.2 Pemeliharaan Undang-undang ............................................................. 11
2.3 Sanksi untuk ketidakpatuhan .............................................................. 12
2.4 Prosedur administratif............................................................................. 14
2.5 Prosedur pelaksanaan ............................................................................. 18
2.6 Penegakan Aturan..................................................................................... 27
2.7 Pemeliharaan Catatan ............................................................................. 30
2.8 Penyebaran informasi ............................................................................. 31
2.9 Kualifikasi surveyor / inspektur dan pengalaman dan
pelatihan 32
2.10 Kode etik ...................................................................................................... 35
2.11 Memoar ......................................................................................................... 37

3. BAB III Konvensi BWM ................................................................ 43


3.1 Model legislasi untuk penerapan PSC/FSI yang efektif ............... 43
3.2 Pemeliharaan undang-undang ............................................................. 56
3.3 Penalti untuk ketidakpatuhan.............................................................. 57
3.4 Prosedur Administrasi ............................................................................. 60
3.5 Prosedur implementasi ............................................................................ 66
3.6 Penegakan Aturan..................................................................................... 76
3.7 Pemeliharaan catatan .............................................................................. 78
3.8 Penyebaran informasi ............................................................................. 79
3.9 Kualifikasi dan pengalaman surveyor / inspektur ........................ 80
3.10 Kode etik ...................................................................................................... 84
3.11 Memoar ......................................................................................................... 86
Catatan : Ditambahkan daftar Istilah
3
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Tujuan

Dokumen Panduan Nasional membantu Administrasi Maritim (regulator), entitas


yang diatur (pemilik kapal, pengelola kapal, dll.) dan pihak lain yang memiliki
tugas, kewajiban dan tanggung jawab di bawah undang-undang lingkungan
maritim Indonesia yang memberlakukan Konvensi yang dipilih, untuk memahami
berbagai panduan yang tersedia bagi regulator untuk memastikan terpenuhinya
kewajiban di bawah Konvensi yang dipilih.
Sementara Indonesia memiliki tanggung jawab untuk mengimplementasikan
Konvensi-konvensi yang dipilih, Konvensi-konvensi tersebut tidak mengatur
bagaimana seharusnya melakukan kegiatan Pengawasan Kepatuhan dan
Penegakan Aturan (PKPA)/ Compliance Monitoring and Enforcement (CME).
Dokumen ini memberikan panduan tentang bagaimana mencapai tujuan dari
Konvensi- konvensi yang dipilih.
Tujuan dari dokumen ini adalah untuk:
• Mengidentifikasi kewajiban Indonesia berdasarkan Konvensi yang dipilih
tentang fungsi PKPA.
• Memperkuat kapabilitas PKPA dan meningkatkan tingkat kepatuhan dengan
penetapan standar yang terbaik .
• Menekankan pentingnya PKPA sebagai seperangkat fungsi, dan proses
administrasi yang kuat.
• Memberikan transparansi dan akuntabilitas yang lebih besar untuk PKPA.
• Mendukung petugas PSC, Pejabat Pemeriksa Keselamatan Kapal (PPKK), dan
petugas penegakan aturan lainnya yang memiliki kewenangan PKPA dengan
menyediakan panduan yang terstandarisasi.

1.2 Kewajiban

Sejalan dengan Kode Implementasi Instrumen IMO (III Code), kewajiban Pemerintah
yang menerima suatu Konvensi (Contracting Government) telah dikelompokkan
menjadi berikut:

1.2.1 Kewajiban-kewajiban Umum


Berdasarkan ketentuan-ketentuan umum dari Konvensi-konvensi yang
dipilih, Para Pihak bertanggung jawab untuk memberlakukan instrumen-
instrumen tersebut secara penuh dan lengkap untuk menjamin keselamatan
jiwa di laut dan perlindungan lingkungan laut. Untuk memberlakukan
ketentuan-ketentuan Konvensi-konvensi yang dipilih secara penuh dan
lengkap, suatu Pihak diharuskan, antara lain, untuk mengumumkan
undang-undang dan peraturan- peraturan nasional dan untuk mengambil
semua tindakan lain untuk memastikan ketentuan-ketentuan Konvensi-
konvensi tersebut dilaksanakan dan ditegakkan secara efektif. Selain itu,
Pemerintah Pihak harus memiliki dasar hukum untuk Penegakan
Aturanatas peraturan nasionalnya tersebut termasuk proses investigasi dan
pidana terkait.

1.2.2 Kewajiban Negara Bendera

Untuk melaksanakan tanggung jawab dan kewajiban secara efektif, Negara


Bendera diharuskan untuk menerapkan kebijakan melalui penerbitan
undang-undang dan pedoman nasional, yang akan membantu dalam

4
implementasi dan penegakan persyaratan semua instrumen IMO yang
berlaku di mana Negara Bendera tersebut menjadi Pihak.1

Konvensi yang dipilih (selain Protokol London), mengizinkan negara bendera


untuk mendelegasikan wewenangnya kepada Organisasi yang Diakui (RO)
hanya untuk kapal yang berhak mengibarkan bendera negara tersebut,
dalam melakukan survei, inspeksi dan audit, penerbitan sertifikat dan
dokumen, dan pekerjaan wajib lainnya yang dipersyaratkan di bawah
Konvensi yang dipilih atau di bawah undang-undang nasionalnya.
Saat menggunakan hak ini, negara bendera dikenakan kewajiban tambahan
– negara tersebut berkewajiban untuk mengatur pelaksanaan otorisasi
tersebut sesuai dengan Kode Organisasi yang Diakui (RO Code). 2

1.2.3 Kewajiban Negara Pantai

Suatu Negara pantai mempunyai hak dan kewajiban tertentu berdasarkan


Konvensi-konvensi yang dipilih. Ketika melaksanakan hak-hak mereka
berdasarkan instrumen-instrumen tersebut, Negara pantai dikenakan
kewajiban tambahan. Untuk memenuhi kewajibannya secara efektif, suatu
Negara pantai diharuskan untuk melaksanakan kebijakan melalui
penerbitan peraturan perundang-undangan dan pedoman nasional, yang
akan membantu dalam pelaksanaan dan penegakan persyaratan yang
berlaku dari Konvensi-konvensi yang dipilih.3 Sebagai bagian dari strategi
penegakannya, Negara pantai harus mengambil semua tindakan yang
diperlukan, termasuk mengembangkan dan menerapkan program
pengendalian dan pemantauan yang sesuai.

1.2.4 Kewajiban Negara Pelabuhan

Negara Pelabuhan4 memiliki hak dan kewajiban tertentu berdasarkan


Konvensi yang dipilih. Ketika melaksanakan hak mereka berdasarkan
instrumen tersebut, Negara pelabuhan dikenakan kewajiban tambahan.5
Berdasarkan Konvensi yang dipilih, Negara pelabuhan memiliki hak untuk
melaksanakan yurisdiksi atas kapal berbendera asing yang mengunjungi
pelabuhannya untuk memastikan kapal tersebut mematuhi ketentuan
Konvensi yang dipilih dan undang- undang yang memberlakukan Konvensi-
konvensi yang dipilih. Ketika suatu Negara pelabuhan menggunakan hak ini,
maka timbul kewajiban untuk mengikuti prosedur-prosedur tertentu. Ketika
melakukan pengawasan, semua usaha yang mungkin harus dilakukan
untuk menghindari kapal ditahan atau ditunda secara berlebihan. Jika
sebuah kapal ditahan atau ditunda secara tidak semestinya, kapal itu
berhak atas kompensasi untuk setiap kerugian atau kerusakan yang
dialami.

1 Paragraph 15 of the III Code.


2 IMO Resolution MSC.349(92), Code for Recognized Organization (RO CODE).
3 Paragraphs 45 and 46 of the III Code.
4 Port states—the States at whose ports foreign flag vessels call.
5 Paragraph 52 of the III Code

5
1.3 Pengawasan Kepatuhan dan Penegakan Aturan (PKPA)

Fungsi di mana Negara Bendera dan badan hukum terkait lainnya memastikan
bahwa komunitas yang diatur memenuhi kewajibannya yang digariskan dalam
Konvensi, Kode, dan instrumen hukum lainnya dikenal sebagai Pengawasan
Kepatuhan.
Dalam hal ini, kepatuhan dipahami sebagai ketaatan terhadap undang-undang,
peraturan, dan aturan. Pengawasan kepatuhan mengacu pada pemantauan dan
investigasi yang dilakukan untuk memverifikasi tingkat kepatuhan atau tidak
adanya kepatuhan. Hasil dari tindakan pemantauan digunakan untuk
menentukan tindakan korektif dan perbaikan lanjutan yang mungkin diperlukan.
Penegakan Aturanmengacu pada tindakan mewajibkan kepatuhan terhadap
persyaratan masing-masing dan penerapan sanksi ketika pelanggaran terdeteksi.

Sementara standar dan Kode telah dikembangkan di tingkat internasional,


implementasi di lapangan menjadi tanggung jawab regulator dan perusahaan di
tingkat nasional. Negara Bendera, berdasarkan kinerja kapal yang mengibarkan
bendera mereka, pada akhirnya bertanggung jawab kepada IMO untuk tingkat
kepatuhan terhadap berbagai Konvensi, Kode dan instrumen yang Negara telah
menandatanganinya. Sistem pengawasan kepatuhan dan Penegakan Aturanyang
dijalankan secara efektif dapat memastikan bahwa Konvensi internasional, Kode
dan instrumen hukum dilaksanakan secara konsisten dan komprehensif.
Kerangka peraturan yang efisien yang menyediakan Penegakan Aturandari
Konvensi yang telah ditandatangani oleh negara. Kerangka hukum suatu negara
terkait erat dengan struktur kelembagaannya. Kerangka hukum berdampak pada
bagaimana mekanisme pengawasan kepatuhan dan Penegakan Aturan diterapkan,
alat dan metodologi yang dapat disediakan untuk untuk melakukan inspeksi dan
audit bagi entitas yang ditunjuk, menegakkan standar, mencegah pelanggaran,
atau meningkatkan kesadaran akan praktik manajemen terbaik.

Efektivitas keseluruhan program PKPA juga akan bergantung pada:


- pengaturan kelembagaan
- mekanisme pemerintahan yang baik
- alat pencegahan, pendisiplinan dan pengajuan banding
- keterlibatan aktif dengan industri

Sangat penting bagi pegawai yang terlibat dalam pengawasan kepatuhan dan
kegiatan Penegakan Aturan untuk memiliki kompetensi dan pengalaman
profesional yang sesuai. Jumlah pegawai yang kompeten harus sesuai dengan
konsep ideal organisasi yang akan memastikan semua sumber daya yang tersedia
dimanfaatkan secara efektif untuk memfasilitasi pelaksanaan program PKPA.
Penekanan harus diberikan pada teknologi baru (seperti penggunaan drone dan
aplikasi TI), keterampilan untuk menggunakan teknologi tersebut dengan cara yang
efisien, dan persyaratan pelatihan berkelanjutan untuk menegakkan standar yang
tinggi.
Mekanisme pengawasan kepatuhan dan Penegakan Aturan yang efektif juga
membutuhkan sumber daya keuangan yang sesuai, yang tanpanya ia tidak akan
dapat memenuhi mandat dan tujuannya. Dalam hal ini, model pendanaan yang
tepat juga merupakan elemen penting dari mekanisme pemantauan dan penegakan
kepatuhan. Sumber pendanaan bergantung pada lanskap peraturan nasional,
kekuatan internal dan eksternal yang pada akhirnya menentukan komitmen
finansial dimana Negara dapat berkontribusi, dalam rangka kesuksesan program
Pengawasan Kepatuhan dan Penegakan Aturan(PKPA)/ Compliance Monitoring and
Enforcement (CME).

6
2. BAB II Konvensi AFS

2.1 Model legislasi untuk penerapan PSC/FSI yang efektif

2.1.1. Negara yang berbeda mungkin memiliki cara yang berbeda dalam
merancang undang undang nasional mereka untuk memberlakukan
Konvensi AFS. Namun, undang-undang yang mengatur hal ini
setidaknya harus membahas hal-hal berikut:
(a) Larangan penerapan, penerapan ulang, pemasangan atau penggunaan
sistem anti-fouling berbahaya di kapal.
(b) Kapal yang tidak patuh tidak boleh masuk atau tetap berada di fasilitas
pelayaran.
(c) Limbah dari penerapan atau penghilangan sistem anti-fouling yang
mengandung senyawa organotin, yang bertindak sebagai biosida
dikumpulkan, ditangani, diolah, dan dibuang dengan cara yang aman
dan ramah lingkungan untuk melindungi kesehatan manusia dan
lingkungan.
(d) Negara Bendera, yang merupakan Pihak pada Konvensi AFS, harus
menerbitkan atau memberi wewenang kepada organisasi yang diakui
(RO) untuk menerbitkan Sertifikat Sistem Anti-fouling Internasional
(Sertifikat IAFS) untuk kapal dengan tonase kotor 400 atau lebih,
terlibat dalam pelayaran internasional, pada penyelesaian survei yang
memuaskan yang mengkonfirmasi kepatuhan terhadap persyaratan
anti-fouling.
(e) Negara Bendera, yang merupakan Pihak pada Konvensi AFS, harus
mendukung atau memberi wewenang kepada RO untuk mengesahkan
Sertifikat IAFS yang ada yang dikeluarkan untuk kapal dengan tonase
kotor 400 atau lebih pada penyelesaian yang memuaskan dari survei
yang mengonfirmasi kepatuhan terhadap anti -persyaratan pengotoran.
(f) Kapal dengan panjang sekurang-kurangnya 24 meter dan tonase kotor
kurang dari 400 dan melakukan pelayaran internasional harus
membawa deklarasi sistem anti-fouling.
(g) Sertifikat IAFS tidak berlaku lagi jika kapal berganti bendera atau sejak
sertifikat diterbitkan atau terakhir disahkan, setiap pelapisan atau
perlakuan diterapkan pada permukaan luar kapal yang ditentukan.
Sertifikat juga tidak berlaku lagi, jika setelah pelapisan atau perawatan
diterapkan, kapal dibawa ke laut tanpa sertifikat yang telah disahkan
sehubungan dengan pelapisan atau perawatannya.
(h) Administrasi bendera harus memiliki wewenang untuk membatalkan
Sertifikat IAFS jika kapal tidak memenuhi persyaratan anti-fouling atau
sertifikat anti-fouling diterbitkan atau disahkan atas informasi yang
salah atau keliru.
(i) Nakhoda atau pemilik kapal dengan tonase kotor 400 atau lebih harus
memastikan bahwa kapal tersebut memiliki Sertifikat IAFS yang sah di
atas kapal
(j) Nakhoda atau pemilik kapal dengan panjang paling sedikit 24 meter
dan kurang dari 400 gross tonase harus memastikan bahwa kapal
memiliki deklarasi sistem anti-fouling yang valid.
(k) Inspektur atau petugas penegakan aturan harus memiliki wewenang
untuk naik ke kapal mana pun dan memeriksa kapal, mengambil
sampel, meminta nakhoda untuk menunjukkan sertifikat dan
dokumen lain yang terkait dengan Konvensi AFS, membuat salinan
sertifikat dan dokumen, dll.
(l) Administrasi maritim harus memiliki kekuatan untuk menahan kapal
yang tidak patuh.
7
(m) Harus ada ketentuan untuk meninjau kembali keputusan yang dibuat
oleh Administrasi maritim dan kompensasi untuk penundaan atau
penahanan yang tidak semestinya.
(n) Nakhoda dan pemilik kapal wajib melaporkan kepada Administrasi
bendera jika sesuatu terjadi pada kapal yang mempengaruhi, atau
mungkin mempengaruhi, kepatuhannya terhadap persyaratan anti-
fouling.
Daftar di atas tidak baku dan negara yang mengadopsi undang-undang
untuk penerapan konvensi dapat mempertimbangkan konvensi
internasional lainnya dan prinsip-prinsip yang diakui secara luas yang
relevan dengan sistem anti-fouling termasuk Konvensi PBB tentang Hukum
Laut 1982 (UNCLOS), MARPOL, SOLAS, STCW dan instrumen IMO lain
yang relevan.

2.1.2. Konvensi AFS diadopsi di Indonesia melalui Peraturan Presiden Nomor


66 Tahun 2014. Pelaksanaan Konvensi AFS adalah melalui Undang-
Undang Nomor 17 Tahun 2008 tentang Pelayaran, Peraturan Pemerintah
Nomor 21 Tahun 2010 tentang Perlindungan Lingkungan Maritim,
Peraturan Menteri Perhubungan Nomor PM 29 Tahun 2014 tentang
Pencegahan Pencemaran Lingkungan Maritim, Peraturan Menteri
Perhubungan Nomor PM 119 Tahun 2017 tentang Pejabat Pemeriksa
Kelaiklautan Dan Keamanan Kapal Asing, Peraturan Menteri Perhubungan
Nomor PM 110 Tahun 2016 tentang Pejabat Pemeriksa Keselamatan Kapal
dan Peraturan Direktur Jenderal Perhubungan Laut Nomor:
HK.103/1/9/DJPL-18 tentang Pelaksanaan Pemeriksaan Kelaiklautan dan
Keamanan Kapal Asing.

Referensi:
 PENGENDALIAN SISTEM ANTI-TERITIP
Pengendalian sistem anti-teritip sebagaimana yang dimaksud, mengatur sebagai
berikut:
a. Melarang dan membatasi penggunaan system anti-teritip yang berbahaya di
kapal. tidak boleh memakai atau menggunakan senyawa Organotin yang
berperan sebagai biosida dalam sistem anti teritip.
b. Menggunakan langkah-langkah yang tepat agar limbah dari penerapan atau
pembersihan sistem anti-teritip dikendalikan dengan cara dikumpulkan,
ditangani, dirawat, dan dibuang di tempat yang aman dengan metode yang
ramah lingkungan untuk melindungi kesehatan manusia dan lingkungan.
 Peraturan nasional terkait cakupan minimum model legislasi
 Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2008 tentang Pelayaran
Pasal 134
(1) Setiap kapal yang beroperasi di perairan Indonesia harus memenuhi
persyaratan pencegahan dan pengendalian pencemaran.
(2) Pencegahan dan pengendalian pencemaran ditentukan melalui
pemeriksaan dan pengujian.

Pasal 138
(1) Nakhoda wajib berada di kapal selama berlayar.
(2) Sebelum kapal berlayar, Nakhoda wajib memastikan bahwa kapalnya telah
memenuhi persyaratan kelaiklautan dan melaporkan hal tersebut kepada
Syahbandar.
(3) Nakhoda berhak menolak untuk melayarkan kapalnya apabila mengetahui

8
kapal tersebut tidak memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud pada
ayat (2).
(4) Pemilik atau operator kapal wajib memberikan keleluasaan kepada
Nakhoda untuk melaksanakan kewajibannya sesuai dengan peraturan
perundang- undangan.

Pasal 234
Pengoperasian pelabuhan wajib memenuhi persyaratan untuk mencegah
timbulnya pencemaran yang bersumber dari kegiatan di pelabuhan.

Pasal 237
(1) Untuk menampung limbah yang berasal dari kapal di pelabuhan, Otoritas
Pelabuhan, Unit Penyelenggara Pelabuhan, Badan Usaha Pelabuhan, dan
Pengelola Terminal Khusus wajib dan bertanggung jawab menyediakan
fasilitas penampungan limbah.
(2) Manajemen pengelolaan limbah dilaksanakan sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan.
(3) Pengangkutan limbah ke tempat pengumpulan, pengolahan, dan
pemusnahanakhir dilaksanakan berdasarkan ketentuan yang ditetapkan
oleh Menteri yang bertanggung jawab di bidang lingkungan hidup.

 Peraturan Pemerintah Nomor 31 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan


Bidang Pelayaran
Pasal 104
(1) Kelaiklautan Kapal sebagairnana dimaksud dalam Pasal 87 ayat (1)
ditentukan melalui pemeriksaan dan pengujian yang dibuktikan dengan
sertifikat.
(3) Pemeriksaan dan pengujian serta penilikan sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) dan ayat (2) wajib dilakukan oleh pejabat pemeriksa Keselamatan
Kapal.

Pasal 109
(1) Sertifikat Kapal tidak berlaku apabila:
a. masa berlaku sudah berakhir;
b. tidak melaksanakan pengukuhan sertifikat (endorsement);
c. Kapal rusak dan dinyatakan tidak memenuhi persyaratan Keselamatan
Kapal;
d. Kapal berubah nama;
e. Kapal berganti bendera;
f. Kapal tidak sesuai lagi dengan data-data teknis dalam sertifikat
Keselamatan Kapal;
g. Kapal mengalami perombakan yang mengakibatkan perubahan
konstruksi Kapal, perubahan ukuran utama Kapal, dan perubahan
fungsi atau jenis Kapal;
h. Kapal tenggelam atau hilang; atau Kapal ditutuh (scrapping).
(2) Sertifikat Kapal dibatalkan jika:
a. keterangan dalam dokumen Kapal yang digunakan untuk penerbitan
sertifikat ternyata tidak sesuai dengan keadaan yang sebenarnya;
b. Kapal sudah tidak memenuhi persyaratan Keselamatan Kapal; atau
c. sertifikat diperoleh secara tidak sah.
(3) Tidak berlakunya sertifikat Kapal sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan
pembatalan sertifikat Kapal sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dapat
disesuaikan berdasarkan ketentuan standar internasional.

9
Pasal 130
(1) Setiap peralatan, bahan, dan perencanaan prosedur pencegahan
pencemaran yang digunakan di Kapal harus mendapatkan persetujuan
Menteri.
(2) Pemeriksaan kelengkapan dan pengujian peralatan pencegahan
pencemaran dalam rangka penerbitan sertifikat pencegahan pencemaran
dilakukan oleh pejabat pemeriksa Keselamatan Kapal atau dilakukan oleh
Badan Klasifikasi yang diakui dan ditunjuk.

 Peraturan Menteri Perhubungan Nomor PM 29 Tahun 2014 tentang


Pencegahan Pencemaran Lingkungan Maritim
Pasal 43
(1) Setiap kapal dengan ukuran sekurang-kurangnya GT 400 (empat ratus
Gross Tonnage) atau panjang kapal dengan ukuran 24 (dua puluh empat)
meter atau lebih yang berlayar di perairan internasional wajib memenuhi
ketentuan konvensi internasional mengenai pengendalian sistem anti
teritip (international anti-fouling systems convention).
(2) Setiap kapal dengan ukuran sekurang-kurangnya GT 400 (empat ratus
Gross Tonnage) atau panjang kapal dengan ukuran 24 (dua puluh empat)
meter atau lebih yang berlayar di perairan Indonesia wajib memenuhi
persyaratan pengendalian sistem anti teritip (antifouling systems) sesuai
dengan ketentuan dalam Peraturan Menteri ini.
(3) Setiap kapal dengan ukuran tonase kotor GT 100 (seratus Gross Tonnage)
sampai dengan GT 399 (tiga ratus sembilan puluh sembilan Gross Tonnage)
yang berlayar di perairan Indonesia maupun perairan internasional wajib
memenuhi persyaratan pengendalian sistem anti teritip (anti-fouling
systems) sesuai dengan ketentuan dalam Peraturan Menteri ini.
(4) Kapal yang telah memenuhi ketentuan dan persyaratan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) diterbitkan sertifikat sistem
anti teritip (anti-fouling systems certificate) oleh Direktur Jenderal.

Pasal 44
Persyaratan pengendalian sistem anti teritip (anti-fouling systems) terhadap
kapal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 43 ayat (2) dan ayat (3) meliputi:
a. bahan/zat pada cat yang digunakan untuk melapisi lambung kapal bagian
luar di bawah garis air tidak mengandung senyawa tributyltin (TBT);
b. luasan lambung kapal yang dilapisi cat sebagaimana dimaksud pada huruf
a sekurang-kurangnya 50% (lima puluh persen) bagian luar di bawah garis
air dihitung dari lunas (keel);
c. kandungan bahan cat anti teritip yang digunakan harus dibuktikan dengan
surat pernyataan dari pabrik/manufaktur yang meliputi informasi sebagai
berikut:
1. jenis sistem anti teritip (anti-fouling systems);
2. pernyataan penerapan cat anti teritip dari galangan; dan
3. material safety data sheet.
4. batas toleransi senyawa tributyltin (TBT) yang diberikan tidak lebih dari
2500 (dua ribu lima ratus) miligram kandungan Tin (Sn) per kilogram cat
kering.

Pasal 45

10
Pelaksanaan dan pengawasan persyaratan pengendalian sistem anti teritip
(anti-fouling systems) sebagaimana dimaksud dalam Pasal 44 dilaksanakan
oleh pejabat pemeriksa keselamatan kapal.

Pasal 64
(1) Berdasarkan permohonan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 63,
Direktur Jenderal menunjuk pejabat pemeriksa keselamatan kapal untuk
melakukan penelitian kelengkapan persyaratan dan pemeriksaan fisik
kapal.
(3) Dalam hal berdasarkan hasil penelitian sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) terpenuhi, Direktur Jenderal menerbitkan sertifikat, pernyataan
pemenuhan ketentuan (statement of compliance) atau surat persetujuan.

Pasal 67
(1) Sertifikat sistem anti teritip (anti-fouling system certificate) sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 64 ayat (5) huruf l dan huruf m diterbitkan dengan
masa berlaku paling lama 5 (lima) tahun atau sesuai jatuh tempo jadwal
pengedokan kapal dan jika selama kurun waktu tersebut dilakukan
perubahan atau pergantian sistem anti teritip (anti-fouling system) minimal
25% (dua puluh lima persen) dari luasan kulit lambung kapal, maka
dilakukan pengukuhan untuk catatan sertifikat sistem anti teritip dan
pengukuhan untuk catatan sertifikat nasional sistem anti teritip
(endorsement of the record of national anti-fouling system certificate).

Pasal 74
(1) Setiap pelabuhan dan terminal khusus yang dioperasikan wajib memenuhi
persyaratan untuk mencegah timbulnya pencemaran yang bersumber dari
kegiatan operasional kapal dengan melengkapi fasilitas penampungan
(reception facilities).
(2) Pencegahan pencemaran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi
tersedianya fasilitas penampungan (reception facilities) antara lain:
a. penampungan minyak kotor;
b. penampungan bahan cair beracun;
c. penampungan kotoran;
d. penampungan sampah;
e. penampungan bahan perusak ozon;
f. penampungan limbah B3;
g. penampungan sedimen/ endapan air balas.
(3) Kegiatan di pelabuhan termasuk di terminal khusus sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) meliputi operasional kapal, pembangunan,
perawatan, perbaikan, dan penutuhan kapal (ship recycling).

 Biro Klasifikasi Indonesia (BKI) sesuai dengan lingkup kewenangan sebagai


Recognized Organization (RO) menetapkan Instruction to Surveyor Part B-19
"Surveys for The Anti-Fouling Systems Certificate" yang berpedoman pada
ketentuan konvensi AFS dan peraturan nasional terkait. BKI melaksanakan
survei dan sertifikasi untuk kapal-kapal 500 GT ke atas yang melakukan
pelayaran internasional serta RO-RO feri domestik.

2.2 Pemeliharaan Undang-undang

Penting bagi suatu Pihak untuk terus memperbarui dan mengembangkan


undang-undang-nya karena alasan-alasan berikut:
11
(a) Perundang-undangan atau undang-undang nasional dapat
diklasifikasikan sebagai dokumen yang hidup. Ini adalah jenis dokumen
yang dibuat dengan mekanisme dan proses yang ditentukan untuk
mengedit, mengelola, mengontrol, meninjau, merevisi, memperbarui,
membagikan, dan mengomunikasikan dokumen secara akurat dan
efisien.
(b) Negara Pihak harus memastikan bahwa ketika ada amandemen terhadap
Konvensi AFS atau Resolusi IMO baru yang terkait dengan Konvensi AFS
mulai berlaku untuk Negara tersebut, Pemerintah Negara tersebut harus
berada dalam posisi untuk menerapkan dan menegakkan ketentuannya.
melalui undang-undang nasional yang sesuai dan untuk menyediakan
infrastruktur implementasi dan penegakan yang diperlukan.
Pedoman untuk survei dan sertifikasi sistem anti-fouling
Contoh pada kapal yang diadopsi oleh Resolusi IMO MEPC.102 (48)
pada tahun 2002 dicabut oleh pedoman 2010 untuk survei
dan sertifikasi sistem anti-fouling di kapal.
diadopsi oleh MEPC.195(61) dalam 201063.
(c) Kita hidup di era kemajuan teknologi yang pesat dan untuk
mengakomodasi perubahan teknologi, seringkali diperlukan pembaruan
terhadap undang-undang yang relevan.
(d) Perundang-undangan nasional di beberapa Negara memiliki 'ketentuan
matahari terbenam', yang berarti bahwa undang-undang tersebut akan
kedaluwarsa pada tanggal tertentu, kecuali jika ditinjau dan diterbitkan
Kembali.

Referensi:

Sesuai dengan ketentuan Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2000 tentang


Perjanjian, Pasal 3 “Pemerintah Indonesia menyatakan persetujuannya untuk
terikat pada suatu perjanjian melalui: penandatanganan, adopsi (pengesahan,
penerimaan, persetujuan atau aksesi), pertukaran instrumen yang
merupakan perjanjian, atau dengan cara lain jika disetujui.
Konvensi AFS diadopsi melalui Peraturan Presiden Nomor 66 Tahun 2014,
maka Pemerintah Indonesia wajib melaksanakan konvensi tersebut secara
penuh, termasuk melakukan pemutakhiran dan perubahan peraturan
nasional terkait apabila konvensi tersebut diubah dalam IMO.
Dalam Peraturan Pemerintah Nomor 21 Tahun 2010 tentang Perlindungan
Lingkungan Maritim, mengamanatkan Kementerian Perhubungan untuk
menetapkan kebijakan Perlindungan Lingkungan Maritim di Bidang
Pelayaran, dan dalam Peraturan Menteri Perhubungan Nomor PM 29 Tahun
2014 tentang Pencegahan Pencemaran Lingkungan Maritim, mengamanatkan
Direktur Jenderal Perhubungan Laut melakukan pelaksanaan pencegahan
pencemaran termasuk Ketentuan AFS.

Dapat disimpulkan bahwa otoritas yang bertanggung jawab untuk


memperbarui dan mengembangkan peraturan perundang-undangan terkait
dengan Konvensi AFS di Indonesia adalah Direktorat Jenderal Perhubungan
Laut.

2.3 Sanksi untuk ketidakpatuhan

Pelanggaran yang dapat menyebabkan pemberian sanksi dapat mencakup:


(a) Seseorang (termasuk pemilik, operator atau nakhoda kapal) melakukan

12
pelanggaran jika orang tersebut melakukan tindakan yang
mengakibatkan sistem anti-fouling yang mengandung zat yang
dikendalikan AFS diterapkan atau diterapkan kembali pada permukaan
luar kapal.
(b) Pemilik, operator atau nakhoda kapal yang tidak patuh melakukan
pelanggaran jika kapal itu masuk atau tinggal di suatu pelabuhan, atau
galangan kapal atau terminal lepas pantai suatu Negara.
(c) Pemilik, operator atau nakhoda kapal melakukan pelanggaran jika
kapal yang disyaratkan untuk membawa sertifikat anti-fouling atau
deklarasi tidak membawa sertifikat atau deklarasi tersebut.

Instansi atau otoritas terkait dari suatu Pihak dapat menerapkan hukuman
kepada kapal yang tidak patuh. Hukuman tersebut dapat bervariasi dari surat
peringatan kepada nakhoda kapal untuk pelanggaran sederhana, denda besar
atau hukuman lain yang mengikat secara hukum. Aspek penting mengenai
hukuman atau sanksi untuk ketidakpatuhan adalah bahwa mereka harus
memiliki dukungan undang-undang, yaitu harus ada undang-undang
nasional yang relevan. Sebagai bagian dari pembentukan undang-undang
yang memungkinkan, negara-negara harus memperkenalkan undang-undang
khusus untuk tujuan ini atau memutuskan bahwa mereka telah memiliki
undang-undang yang memberi mereka kekuasaan yang diperlukan.
Kekuasaan tersebut harus konsisten dengan persyaratan nasional dan
Konvensi AFS IMO.

Referensi:
 Peraturan nasional terkait sanksi ketidakpatuhan
 Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2008 tentang Pelayaran sebagaimana
telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 Tentang
Cipta Kerja
Pasal 325
(1) Setiap orang yang melakukan pembuangan limbah air balas,
kotoran, sampah atau bahan lain ke perairan di luar ketentuan
peraturan perundang-undangan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 229 ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling lama 2
(dua) tahun dan denda paling banyak Rp300.000.000,00 (tiga ratus
juta rupiah).
(2) Jika perbuatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
mengakibatkan rusaknya lingkungan hidup atau tercemarnya
lingkungan hidup dipidana dengan pidana penjara paling lama 10
(sepuluh) tahun dan denda paling banyak Rp500.000.000,00 (lima
ratus juta rupiah).
(3) Jika perbuatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
mengakibatkan kematian seseorang dipidana dengan pidana
penjara paling lama 15 (lima belas) tahun dan denda paling banyak
Rp2.500.000.000,00 (dua miliar lima ratus juta rupiah).
 Peraturan Pemerintah Nomor 21 Tahun 2010 Tentang Perlindungan
Lingkungan Maritim
Pasal 33 (1)
Pembuangan limbah di perairan hanya dapat dilakukan pada lokasi
tertentu yang ditetapkan oleh Menteri setelah memenuhi persyaratan
13
Pasal 39 ayat (3)
Barang siapa tidak memenuhi kewajibannya sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 33 ayat (3), dikenai sanksi denda administrasif sebesar Rp30.000.000
(tiga puluh juta rupiah).
 Peraturan Pemerintah Nomor 31 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan
Bidang Pelayaran
Pasal 220
(1) Setiap orang yang melanggar kewajiban dan/atau larangan yang diatur
dalam peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan
pelayaran, yang mengakibatkan kerugian barang, harta benda,
kecelakaan kapal, dan/atau kerusakan kesehatan, keselamatan,
keamanan, dan/atau lingkungan tetapi tidak menyebabkan hilangnya
nyawa dan/atau luka pada manusia dapat dikenakan sanksi
administratif.
(2) Sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdiri atas:
a. Peringatan tertulis;
b. Tidak termasuk dari layanan;
c. Pembekuan kegiatan usaha;
d. Pencabutan izin usaha; dan/atau
e. Sanksi administratif.
(3) Pengenaan sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
dilakukan sesuai dengan tingkat pelanggaran yang ditemukan dalam
pemeriksaan.
 Peraturan Pemerintah Nomor 15 Tahun 2016 tentang Jenis dan Tarif
atas Jenis Penerimaan Negara Bukan Pajak yang Berlaku pada
Kementerian Perhubungan
USD 350 per inspeksi ulang atas kekurangan pada item detensi.
 Peraturan Menteri Perhubungan Nomor PM 119 Tahun 2017 Pejabat
Pemeriksa Kelaiklautan dan Keamanan Kapal Asing
Pasal 7 ayat (5)
Setiap kapal yang mengajukan permintaan pemeriksaan ulang (follow
up/reinspection) sebagai tindak lanjut atas temuan berupa Detainable
Deficiency dikenakan tarif penerimaan negara bukan pajak.
 Peraturan Direktur Jenderal Perhubungan Laut Nomor:
Hk.103/1/9/DJPL-18 tentang Pelaksanaan Pemeriksaan Kelaiklautan
dan Keamanan Kapal Asing
Pasal 5 (3)
Setiap kapal yang mengajukan permintaan pemeriksaan ulang untuk
menindaklanjuti hasil pemeriksaan yang dinyatakan sebagai temuan
berupa detainable deficiency dikenakan tarif tarif penerimaan negara
bukan pajak sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
dan peraturan.

2.4 Prosedur administratif


Prosedur administrasi dapat mencakup:
(a) Prosedur untuk pembebanan biaya pada layanan, yang dapat
mencakup:

14
(i) Melakukan survei;
(ii) Melakukan survei tindak lanjut, jika diperlukan;
(iii) Penerbitan sertifikat;
(iv) Memperpanjang sertifikat, jika diizinkan untuk;
(v) Menerbitkan sertifikat pengecualian, jika sesuai;
(vi) Mengubah sertifikat, jika diperlukan.
(b) Prosedur komunikasi informasi
(c) Prosedur pendelegasian wewenang
(i) Jika Administrasi Negara Bendera memutuskan untuk
mendelegasikan atau mengesahkan fungsi survei dan sertifikasi
kepada surveyor yang ditunjuk atau kepada organisasi yang diakui
olehnya, maka otorisasi tersebut harus dilakukan sesuai dengan
Kode Organisasi yang Diakui (Kode RO) yang diadopsi oleh
Resolusi IMO MSC .349(92)
(ii) Negara Bendera harus mengeluarkan instruksi khusus kepada
organisasi yang diakui yang merinci tindakan yang harus diikuti
jika sebuah kapal ditemukan menghadirkan ancaman bahaya
yang tidak masuk akal terhadap lingkungan laut.
(iii) Negara Bendera harus memberikan kepada organisasi yang diakui
semua instrumen hukum nasional yang sesuai dan interpretasinya
yang memberlakukan ketentuan-ketentuan konvensi dan
menetapkan, hanya untuk penerapan pada kapal-kapal yang
berhak mengibarkan benderanya, apakah ada standar tambahan
dari Administrasi melampaui persyaratan konvensi dalam hal
apapun
(d) Prosedur untuk mengembangkan dan menyebarluaskan peraturan
nasional yang bersifat interpretatif.
(e) Prosedur untuk evaluasi dan tinjauan – Suatu Pihak harus secara
berkala mengevaluasi kinerjanya sehubungan dengan pelaksanaan
proses administrasi, prosedur, dan sumber daya.
(f) Prosedur untuk pencatatan.
Suatu Pihak harus memiliki prosedur untuk memastikan catatan
kegiatan terkait CME dipelihara oleh entitas yang ditunjuk dalam
Administrasi mereka.Prosedur harus menetapkan identifikasi,
penyimpanan, perlindungan, pengambilan, waktu retensi dan
disposisi rekaman.
(g) Prosedur penerbitan sertifikat dan pembebasan untuk kapal.
(h) Prosedur pemeliharaan legislasi. (lihat paragraf 2.2 dokumen ini).
(i) Prosedur untuk tindakan penegakan aturan. (lihat paragraf 2.6 dari
dokumen ini)

Referensi:
 Peraturan nasional terkait prosedur administratif sesuai item terkait:
a) Pembebanan pada biaya layanan:
 Peraturan Pemerintah Nomor 15 Tahun 2016 tentang Jenis dan Tarif
atas Jenis Penerimaan Negara Bukan Pajak yang Berlaku pada
Kementerian Perhubungan
Pasal 2 ayat (1) huruf c1: Jenis Penerimaan Negara Bukan Pajak yang
berasal dari jasa transportasi laut berupa pendelegasian yang meliputi
15
pemeriksaan dan sertifikasi keselamatan, garis muat dan pencegahan
pencemaran lingkungan maritim serta Endorsement.
Pasal 11 ayat (1) huruf m: Tarif atas jenis Penerimaan Negara Bukan Pajak
yang berasal dari jasa transportasi perkeretaapian, jasa transportasi laut
dan jasa transportasi udara berupa pemeriksaan dan Sertifikasi
Keselamatan, Garis Muat dan Pencegahan Pencemaran Lingkungan
Maritim serta Endorsement.
 Peraturan Direktur Jenderal Perhubungan Laut Nomor:
Hk.103/1/9/Djpl 18 Tentang Pelaksanaan Pemeriksaan Kelaiklautan
dan Keamanan Kapal Asing
Pasal 5 ayat (3)
Setiap kapal yang mengajukan permohonan Pemeriksaan Ulang (Follow
Up/Reinspection) untuk tindak lanjut hasil pemeriksaan yang dinyatakan
sebagai temuan berupa Detainable Deficiency dikenakan tarif Penerimaan
Negara Bukan Pajak sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan.

b) Komunikasi informasi:
 Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2008 tentang Pelayaran
Pasal 269 (1)
Sistem informasi pelayaran mencakup pengumpulan, pengolahan,
penganalisisan, penyimpanan, penyajian, serta penyebaran data dan
informasi pelayaran untuk: a. mendukung operasional pelayaran; b.
meningkatkan pelayanan kepada masyarakat atau publik; dan c.
mendukung perumusan kebijakan di bidang pelayaran.
 Peraturan Pemerintah Nomor 31 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan
Bidang Pelayaran
Pasal 201
(1) Fasilitas Pelabuhan yang telah dilakukan verifikasi dan telah
mendapatkan SoCPF yang perrnanen harus didaftarkan dalam situs
resmi IMO GISIS untuk mendapatkan nomor IMO.
(2) PFSO wajib menyampaikan pemutakhiran data informasi IMO GISIS
kepada Menteri.

 Peraturan Menteri Perhubungan Nomor PM 119 Tahun 2017 Pejabat


Pemeriksa Kelaiklautan Dan Keamanan Kapal Asing
Pasal 8 ayat (6): PSCO memasukkan data hasil pemeriksaan yang telah
diverifikasi melalui sistem informasi berbasis komputer APCIS dan
diketahui oleh Direktorat yang membidangi tugas tertib pelayaran.

c) Pendelegasian Wewenang:
 Keputusan Menteri Perhubungan Nomor KM 112 Tahun 2021 tentang
Penunjukan kepada Biro Klasifikasi Indonesia (Persero) untuk
Melaksanakan Survei dan Sertifikasi Statutoria pada kapal berbendera
Indonesia
DIKTUM KE EMPAT: Perjanjian Kerjasama sebagaimana dimaksud dalam
DIKTUM KEDUA didahului dengan pelaksanaan assessment dan evaluasi
terhadap PT. Biro Klasifikasi Indonesia (Persero) sesuai dengan persyaratan
dan kriteria penilaian sebagaimana di atur dalam Resolusi IMO MSC 349
(92) Code for Recognized Organization (RO Code).

16
d) Pengembangan dan penyebarluasan aturan nasional

 Penyebaran peraturan nasional terkait prosedur AFS di atur dalam


Peraturan Presiden (PERPRES) Nomor 33 tahun 2012 tentang Jaringan
Dokumentasi dan Informasi Hukum Nasional serta Keputusan Menteri
Perhubungan Nomor KM 3 Tahun 2000 tentang Jaringan Dokumentasi
dan Informasi Hukum di Lingkungan Departemen Perhubungan, yaitu
melalui JDIH Kemenhub RI (jdih.dephub.go.id / hubla.dephub.go.id).

e) Prosedur untuk evaluasi dan tinjauan


 Keputusan Menteri Perhubungan Nomor KM 112 Tahun 2021 tentang
Penunjukan kepada Biro Klasifikasi Indonesia (Persero) untuk
Melaksanakan Survei dan Sertifikasi Statutoria pada kapal berbendera
Indonesia
DIKTUM KE EMPAT: Perjanjian Kerjasama sebagaimana dimaksud dalam
DIKTUM KEDUA didahuui dengan pelaksanaan assessment dan evaluasi
terhadap PT. Biro Klasifikasi Indonesia (Persero) sesuai dengan persyaratan
dan kriteria penilaian sebagaimana di atur dalam Resolusi IMO MSC 349
(92) Code for Recognized Organization (RO Code)

f) Pemeliharaan catatan

 Peraturan Menteri Perhubungan Nomor PM Menteri Nomor PM 119


Tahun 2017 Pejabat Pemeriksa Kelaiklautan dan Keamanan Kapal
Asing

Pasal 8 ayat (8) Setiap pemeriksaan kelaiklautan dan keamanan Kapal


Asing yang dilakukan oleh PSCO dicatat dalam buku catatan kerja PSCO
dan laporan hasil pemeriksaan yang disampaikan tersimpan di dalam
suatu sistem informasi pelaporan berbasis teknologi yang dilaksanakan
oleh Direktur Jenderal.

g) Penerbitan sertifikat dan pembebasan

 Di Indonesia prosedur sertifikasi AFS di atur pada Bagian Kedua Paragraf


1 dan Bagian Ketiga Peraturan Menteri Perhubungan Nomor PM 29
Tahun 2014 tentang Pencegahan Pencemaran Lingkungan Maritim.
Sertifikasi AFS untuk kapal tujuan internasional diterbitkan oleh RO (BKI)
untuk kapal sesuai dengan ketentuan Peraturan Menteri No 112 Tahun
2021 Tentang Pendelegasian Survey dan Sertifikasi kepada BKI sebagai
Organisasi yang Diakui. BKI juga berwenang untuk memeriksa dan
menerbitkan sertifikat RO-RO feri domestik. RO telah menetapkan
Instruction to Surveyor Part B-19 "Surveys for The Anti-Fouling Systems
Certificate"

h) Pemeliharaan legislasi

 Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2000 tentang Perjanjian


Pasal 3: Pemerintah Indonesia menyatakan persetujuannya untuk terikat
pada suatu perjanjian melalui: penandatanganan, adopsi (pengesahan,
penerimaan, persetujuan atau aksesi), pertukaran instrumen yang
merupakan perjanjian, atau dengan cara lain jika disetujui.

17
i) Tindakan penegakan aturan

 Peraturan Presiden Nomor 23 Tahun 2022 Tentang Kementerian


Perhubungan
Pasal 45 (1): Direktorat Jenderal Perhubungan Laut menjadi penanggung
jawab pelaksanaan kegiatan dan administrasi Pemerintah pada
Organisasi Maritim Internasional dan/ atau lembaga internasional di
bidang pelayaran lainnya, sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-
undangan.

 PSCO melaksanakan pengawasan Negara Pelabuhan dengan berpedoman


pada:
 IMO Resolution A. 1155(32) Procedures for Port State Control,
2021
 TOKYO MoU PSC MANUAL Section 2.6 2011 yang merujuk pada
GUIDELINES FOR INSPECTION OF ANTI-FOULING SYSTEM ON
SHIPS (Resolution MEPC.208(62)
 Guidelines for brief sampling of antifouling systems on ships
(Resolution MEPC.104(49)

2.5 Prosedur pelaksanaan


Prosedur pelaksanaan dapat mencakup:

2.5.1. Prosedur program pengawasan terhadap RO


Prosedur harus membahas hal-hal berikut:
Di bawah RO Code dan III Code, Negara Bendera diharuskan untuk
membentuk atau berpartisipasi dalam program pengawasan dengan sumber
daya yang memadai untuk memantau, dan berkomunikasi dengan,
organisasi yang diakuinya untuk memastikan bahwa kewajiban
internasionalnya terpenuhi sepenuhnya. Dalam hal ini, Para Pihak pada
Konvensi AFS dapat bekerja sama satu sama lain untuk mengawasi
organisasi yang diakui bersama.

Referensi:
 Di Indonesia pendelegasian wewenang dilakukan sesuai dengan ketentuan
yang tertuang pada Keputusan Menteri Perhubungan Nomor KM 112 Tahun
2021 tentang Penunjukan kepada Biro Klasifikasi Indonesia (Persero)
untuk Melaksanakan Survei dan Sertifikasi Statutoria pada kapal
berbendera Indonesia.
 KM 112 Tahun 2021 tentang Penunjukan kepada Biro Klasifikasi
Indonesia (Persero) untuk Melaksanakan Survei dan Sertifikasi
Statutoria pada kapal berbendera Indonesia
DIKTUM KE EMPAT: Perjanjian Kerjasama sebagaimana dimaksud dalam
DIKTUM KEDUA didahului dengan pelaksanaan assessment dan evaluasi
terhadap PT. Biro Klasifikasi Indonesia (Persero) sesuai dengan persyaratan
dan kriteria penilaian sebagaimana di atur dalam Resolusi IMO MSC 349
(92) Code for Recognized Organization (RO Code).
Merujuk pada Perjanjian Kerja Sama antara Direktorat Jenderal
Perhubungan Laut Kementerian Perhubungan dan Biro Klasifikasi
Indonesia, pendelegasian kewenangan survey dan sertifikasi statutoria,
dilaksanakan dengan mengacu pada hasil program pengawasan (oversight
program) yang dilaksanakan oleh Direktorat Jenderal Perhubungan Laut
setiap 6 (bulan) sekali.
18
2.5.2. Prosedur untuk survei kapal

Prosedur survei mungkin mencerminkan hal-hal berikut:


2.5.2.1 Sebuah kapal harus tunduk pada jenis survei berikut:
(a) Survei Awal;
(b) Survei ketika sistem anti-fouling diubah atau diganti.
2.5.2.2 Survei awal harus dilakukan sebelum kapal dioperasikan atau sebelum
Sertifikat Sistem Anti-fouling Internasional dikeluarkan untuk pertama
kalinya. Pada prinsipnya, survei awal diadakan bersamaan dengan
survei docking.
2.5.2.3 Jika AFS akan diubah atau diganti, dokumen-dokumen berikut harus
diserahkan oleh pemohon:
(a) Surat Permohonan
(b) Lembar pemesanan sistem anti-fouling dan lapisan sealer, jika ada
(c) Tanda terima sistem anti-fouling dan lapisan sealer, jika ada,
dikeluarkan oleh pemasok.
(d) Sertifikat deklarasi sistem anti-fouling dan mantel sealer, jika
berlaku, dikeluarkan oleh produsen (termasuk Nomor Registri
Layanan Abstrak Kimia "CAS No.").
(e) Material safety data sheet "MSDS" yang dikeluarkan oleh produsen
(f) Spesifikasi pengecatan yang dikeluarkan oleh pabrikan (termasuk
nilai persiapan permukaan).
(g) Sejarah pekerjaan cat hingga saat ini dari aplikasi awal yang
dikeluarkan oleh masing-masing galangan kapal dan / atau
produsen cat atau pemilik kapal (termasuk spesifikasi peledakan,
penghapusan lengkap cat yang mengandung zat yang dikendalikan
AFS pada bagian bawah air lambung atau penutup cat tersebut oleh
sealer coat).
2.5.2.4 Dokumen yang tercantum dalam 2.5.2.3 harus diperiksa untuk
memverifikasi:

(a) Cat AF bebas dari zat yang dikendalikan AFS.


(b) Bahan aktif (s) dan Chemical Abstract Services Registry Numbers (s)
(Nomor CAS)) dari sistem anti-fouling dan sealer coat (jika ada).
(c) Penghapusan paint yang mengandung zat yang dikendalikan AFS
dari bagian bawah laut lambung kapal (jika ada);
(d) Jika cat yang mengandung zat yang dikendalikan AFS tidak
dihilangkan atau sebagian dikeluarkan dari bagian bawah laut
lambung kapal maka penerapan mantel sealer harus dikonfirmasi).
(e) Jenis(s), nama (s) dan warna (s) dari sistem anti-fouling dan sealer
coat (jika ada).
(f) Nama produsen sistem anti-fouling.

2.5.2.5 Survei lokasi pada saat Survei Awal -

(a) Konfirmasi dokumen sebagaimana ditentukan dalam 2.5.2.3


tersedia di atas kapal, selain yang terdapat pada surat permohonan
(b) Verification dari nama, warna dan produsen AFS benar-benar
dikirimkan ke atas kapal dengan deklarasi oleh catatan pengiriman.
(c) Penerapan cat AFS dan atau lapisan sealer, jika berlaku dengan hasil
yang memuaskan .
(d) Dalam kasus di mana penghapusan AFS yang ada tidak dapat
dikonfirmasi oleh daftar riwayatnya, AFS tersebut harus dihapus
19
sepenuhnya oleh sand blasting atau ditutupi oleh lapisan sealer.
Atau, pengambilan sampel dan analisis sistem anti-fouling atau
metode lain dapat dilakukan untuk memverifikasi kepatuhan
terhadap Konvensi AFS.

2.5.2.6 Survei harus dilakukan ketika sistem anti-fouling diubah atau diganti.
Rincian survei tersebut harus disahkan pada Sertifikat AFS atau
deklarasi tentang sistem anti-fouling.

2.5.3. Prosedur penerbitan dan pengesahan Sertifikat IAFS

Prosedur ini mungkin termasuk yang berikut:


2.5.3.1 Sebuah "International Anti-Fouling System Certificate" dengan "Record of
Anti-Fouling System" harus diterbitkan setelah menyelesaikan survei
awal baik oleh Administrasi atau oleh organisasi yang diakui yang
melakukan survei awal atas nama Administrasi.
2.5.3.2 Jika AFS diubah atau diganti, "Pengesahan (Endorsement)" akan
diterbitkan dan dilampirkan ke Sertifikat AFS yang telah ada .

Referensi:
 Ketentuan nasional terkait pemeriksaan dan penerbitan sertifikat AFS:
1. Untuk kapal dengan pelayaran domestik, pemeriksaan terhadap AFS dan
penerbitan sertifikat nasional AFS dilaksanakan oleh Ditjen Perhubungan
Laut dengan berpedoman pada PM. No 29 Tahun 2014 Bagian 2 Paragraf 1
Pasal 43 (2) (3), dan pasal 44. Dan kemudian Bagian 3 Pasal 57, 58 (1) (2)
(4i), 59, 60, 61, 63(11), 64(5m), 65(1), 66, 67(1).
2. Pemerintah Republik Indonesia melalui Direktorat Jenderal Perhubungan
Laut telah mendelegasikan pelaksanaan survey dan sertifikasi kapal-kapal
berbendera Indonesia yang berlayar keluar negeri kepada Biro Klasifikasi
Indonesia, melalui KM No. 112 Tahun 2021.
3. BKI dalam hal ini telah menerbitkan Part B-19 "Surveys for The Anti-
Fouling Systems Certificate", yang berpedoman pada persyaratan wajib
konvensi internasional, serta persyaratan-persyaratan sesuai regulasi
nasional yang tertuang pada PM. No 29 Tahun 2014 Pasal 43 (1), 57, 58 (1)
(2) (4i), 59, 60, 61, 63(10), 64(5l), 65(1), 66, 67(1).
 Pedoman untuk survey dan sertifikasi sistem anti-teritip pada kapal, namun
tidak terbatas pada, sebagai berikut:
1. Jenis Pemeriksaan AFS terdiri atas :
a. Pemeriksaan awal
(1) Pemeriksaan awal dilaksanakan pertama kalinya sebelum kapal
beroperasi; atau sebelum Sertifikat Internasional Sistem Anti-
Teritip diterbitkan.
(2) Pemeriksaan awal sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan
pertama kalinya untuk kapal yang :
(a) Bangunan Baru;
(b) Berganti bendera menjadi bendera Indonesia;
(c) Berganti nama kapal;
(d) Berganti kepemilikan;
(e) Baru menerapkan persyaratan sesuai ketentuan dalam
peraturan menteri.
20
(3) Pemeriksaan awal kapal bangunan baru sebagaimana dimaksud
pada ayat (2) huruf a terdiri dari : (MEPC.102 (48) 5)
(a) Mengidentifikasi produk pada wadah cat anti-teritip yang
digunakan.
(b) Pengambilan sampel sistem anti-teritip.
(c) Pengujian sistem anti-teritip.
(d) Pemeriksaan lain yang dilakukan di lokasi.
(4) Pemeriksaan awal kapal bangunan baru sebagaimana dimaksud
pada ayat (2) huruf a, dilakukan juga dengan memverifikasi mantel
sealer (sealer coat) apabila diterapkan, verifikasi dilakukan untuk
mengonfirmasi bahwa nama, jenis dan warna mantel sealer yang
diterapkan pada kapal cocok dengan yang diterapkan di kapal.

b. Pemeriksaan pembaharuan
Pemeriksaan pembaharuan dilaksanakan ketika sistem anti-teritip
diubah atau diganti minimal 20% dari total luasan sistem anti teritip
yang diterapkan di kapal
c. Pemeriksaan tambahan

2. Pelaksanaan Pemeriksaan
a. Pelaksanaan Pemeriksaan pengendalian sistem anti tritip (anti fouling
system) kapal sebagaimana dimaksud dalam pasal 6 dilaksanakan oleh
Pejabat Pemeriksa Keselamatan Kapal
b. Untuk dapat dilakukan pemeriksaan perusahaan pemilik atau operator
kapal mengajukan permohonan kepada Direktur Jenderal dengan
melengkapi :
(1) Surat permohonan dari perusahaan.
(2) Surat Laut / Pas Besar
(3) Surat ukur
(4) IMO Number
(5) Sertifikat bebas TBT atau Dokumen lain dari produsen cat anti
teritip yang menunjukkan Jenis Sistem anti teritip yang digunakan,
yang memuat informasi diantaranya Nama produsen sistem anti-
teritip, Nama dan warna sistem anti-teritip, Bahan aktif dan Nomor
Pendaftaran Layanan Abstrak Kimia (nomor CAS) dan Material
Safety Data Sheets system anti teritip dari pabrikan.
c. Berdasarkan permohonan dimaksud Direktur Jenderal menunjuk
Pejabat Pemeriksa Keselamatan Kapal untuk memeriksa penerapan
sistem anti teritip di kapal pada saat kapal melaksanakan dry dock
(dock kering)
d. Kapal yang telah dilakukan pemeriksaan dan dinyatakan telah
memenuhi ketentuan dapat diterbitkan Sertifikat yang tercantum
dalam lampiran II yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari
Peraturan Menteri ini
3. Masa Berlaku sertifikat system Anti Teritip:
a. Sertifikat Sistem Anti-teritip sebagaimana dimaksud pasal 9 diterbitkan
dengan masa berlaku tidak lebih dari 30 bulan atau mengikuti jadwal
dock kering (dry dock) berikutnya
b. Sertifikat Sistem Anti-teritip yang diterbitkan tidak berlaku apabila :
- sistem anti teritip diubah atau diganti;

21
- data kapal pada sertifikat tidak sesuai lagi atau berubah;atau
- kapal berganti bendera.
4. Ketentuan lain:
a. sejumlah kecil senyawa organotin yang bertindak sebagai katalis kimia
(seperti senyawa organotin mono dan tersubstitusi) diperbolehkan,
asalkan senyawa tersebut ada pada tingkat yang tidak menyediakan
efek biocidal ke lapisan. Pada tingkat praktis, ketika digunakan sebagai
katalis, senyawa organotin tidak boleh ada di atas 2.500 mg total timah
per kg cat kering.
b. Perbaikan atau dock yang mempengaruhi sekitar 25 (dua puluh lima)
persen atau lebih pada sitem anti teritip harus dianggap sebagai
perubahan atau penggantian sistem anti teritip.
c. Sistem anti teritip yang tidak memenuhi syarat peraturan ini yang
mengalami perbaikan harus diperbaiki atau diganti dengan sistem anti
teritip yang sesuai

2.5.4. Prosedur pemeriksaan kepatuhan untuk FSI dan PSC.

Pemeriksaan kepatuhan dapat mencerminkan diagram alur pada gambar 1


dan mencerminkan hal-hal berikut:
2.5.4.1 Surveyor Negara bendera atau PSCO harus memeriksa validitas
Sertifikat IAFS atau Deklarasi tentang Sistem Anti-Fouling, dan
Catatan Sistem Anti-Fouling yang terlampir , jika sesuai. Saat naik
dan pengantar ke master atau petugas kapal yang bertanggung jawab,
surveyor / PSCO harus memeriksa Sertifikat IAFS. Sertifikasi
membawa informasi tentang jenis kapal dan tanggal survei dan
inspeksi. Sebagai pendahuluan periksa harus dikonfirmasi bahwa
tanggal survei dan inspeksi masih berlaku. Dengan memeriksa
sertifikat, PSCO dapat menetapkan bagaimana kapal mematuhi
ketentuan Konvensi AFS.
2.5.4.2 Satu-satunya cara praktis untuk menerapkan cat ke bagian bawah
laut kapal adalah di dermaga kering. Ini berarti bahwa tanggal
penerapan cat pada IAFS Certificate harus diperiksa dengan
membandingkan periode dry-docking dengan tanggal pada sertifikat.
2.5.4.3 Jika cat telah diterapkan selama periode dry-dock yang dijadwalkan,
itu harus terdaftar di buku catatan kapal (agar legal). Selanjutnya,
dry-docking terjadwal ini dapat diverifikasi pada tanggal pengesahan
sertifikat konstruksi keselamatan (SOLAS) (SOLAS, peraturan I/10).
2.5.4.4 Dalam kasus periode dry-dock yang tidak terjadwal, itu dapat
diverifikasi dengan pendaftaran di buku catatan kapal (agar legal).
2.5.4.5 Hal ini juga dapat diverifikasi oleh tanggal pengesahan pada (Kelas)
Hull Certificate, tanggal pada Deklarasi Produsen atau dengan
konfirmasi galangan kapal.
2.5.4.6 Sertifikat IAFS mencakup empat kotak centang yang menunjukkan:
a) Sistem anti-fouling yang dikendalikan di bawah Lampiran 1 belum
diterapkan selama atau setelah pembangunan kapal ini.
Kapal yang dibangun dari 17 September 2008 dan seterusnya
jatuh di bawah pilihan (a) di atas, karena sejak tanggal
berlakunya Konvensi AFS (yaitu, 17 September 2008), aplikasi
atau penerapan kembali senyawa organotin (TBT) dilarang di
semua kapal.

22
b) Sistem anti-fouling yang dikendalikan di bawah Lampiran 1 telah
diterapkan pada kapal ini sebelumnya tetapi telah dihapus oleh
(galangan kapal atau nama perusahaan) pada (tanggal).
c) Sistem anti-fouling yang dikendalikan di bawah Annex 1 telah
diterapkan pada kapal ini sebelumnya tetapi telah ditutupi
dengan mantel sealer yang diterapkan oleh (galangan kapal atau
nama perusahaan) pada (tanggal).
Sebagian besar kapal pra-2008 berada di bawah opsi (b) dan (c)
di atas.
d) Sistem anti-fouling yang dikendalikan di bawah Lampiran 1
diterapkan pada kapal ini sebelum (tanggal) tetapi harus dilepas
atau ditutup dengan mantel sealer sebelum (tanggal).

Opsi di bawah item (d) di atas sekarang berlebihan untuk compound


organotin, yang bertindak sebagai biosida dalam sistem anti-fouling.
Perlu dicatat, bagaimanapun, bahwa menurut amandemen
Sertifikat IAFS yang disetujui oleh MEPC 75, setiap zat yang
dikendalikan akan dicantumkan secara terpisah dan eksplisit.

2.5.4.7 Perhatian utama harus diberikan untuk memverifikasi bahwa survei


untuk penerbitan Sertifikat IAFS saat ini cocok dengan periode dry-
dock yang tercantum dalam log kapal dan hanya satu kotak centang
yang ditandai.
2.5.4.8 Catatan Sistem Anti-Fouling harus dimasukkan ke Sertifikat IAFS dan
diperbarui .

Referensi:
 Pengawasan kepatuhan oleh PSCO berpedoman kepada:
 IMO Resolution A. 1155(32) Procedures for Port State Control, 2021
 TOKYO MoU PSC MANUAL Section 2.6 2011 yang merujuk pada
GUIDELINES FOR INSPECTION OF ANTI-FOULING SYSTEM ON SHIPS
(Resolution MEPC.208(62)
 Guidelines for brief sampling of antifouling systems on ships (Resolution
MEPC.104(49)

Kapal non-Pihak Konvensi AFS (PSC)

2.5.4.9 Kapal non-Pihak Konvensi AFS tidak berhak untuk diterbitkan


dengan Sertifikat IAFS. Oleh karena itu, PSCO harus meminta
dokumentasi yang berisi informasi yang sama seperti dalam Sertifikat
IAFS dan mempertimbangkannya dalam menentukan kepatuhan
terhadap persyaratan.

2.5.4.10 Jika sistem anti-fouling yang ada dinyatakan tidak dikendalikan


berdasarkan Lampiran 1 Konvensi, tanpa didokumentasikan oleh
Sertifikat Sistem Anti-Fouling Internasional, verifikasi harus
dilakukan untuk memastikan bahwa sistem anti-fouling sesuai
dengan persyaratan Konvensi. Verifikasi ini dapat didasarkan pada
pengambilan sampel dan/atau pengujian dan/atau dokumentasi yang
andal, jika dianggap perlu, berdasarkan pengalaman yang diperoleh
23
dan keadaan yang ada. Dokumentasi untuk verifikasi dapat berupa,
misalnya, MSDS (Material Safety Data Sheets), atau yang serupa,
pernyataan kepatuhan dari produsen sistem anti-fouling, faktur dari
galangan kapal dan/atau pabrikan sistem anti-fouling.
2.5.4.11 Kapal non-Pihak mungkin memiliki Pernyataan Kepatuhan yang
diterbitkan untuk memenuhi persyaratan regional, yang dapat
dianggap sebagai bukti kepatuhan yang cukup.
2.5.4.12 Dalam semua aspek lain, PSCO harus dipandu oleh prosedur untuk
kapal wajib membawa Sertifikat IAFS.
2.5.4.13 PSCO harus memastikan bahwa tidak ada perlakuan yang lebih
menguntungkan yang diterapkan pada kapal-kapal non-Pihak pada
Konvensi AFS.

Pemeriksaan lebih rinci (FSI dan PSC)


Clear Ground
2.5.4.14 Pemeriksaan yang lebih rinci dapat dilakukan ketika ada alasan yang
jelas untuk percaya bahwa kapal tidak secara substansial memenuhi
persyaratan Konvensi AFS. “Clear ground” untuk pemeriksaan yang
lebih rinci dapat terjadi ketika:
a) kapal berasal dari bendera non-Pihak dan tidak ada
dokumentasi AFS.
b) kapal berasal dari bendera Suatu Pihak tetapi tidak ada
Sertifikat IAFS yang valid.
c) tanggal pengecatan yang ditampilkan pada Sertifikat IAFS tidak
sesuai dengan periode dry-dock kapal.
d) lambung kapal menunjukkan bercak tambahan cat yang berbeda;
atau
e) Sertifikat IAFS tidak lengkap.

2.5.4.15 Jika Sertifikat IAFS tidak lengkap, pertanyaan-pertanyaan berikut


mungkin relevan:
a) Kapan sistem anti-fouling kapal terakhir diterapkan?
b) Jika sistem anti-fouling dikendalikan berdasarkan Lampiran 1
Konvensi AFS dan dihapus, apa nama fasilitas dan tanggal
pekerjaan yang dilakukan?
2.5.4.16 Jika sistem anti-fouling dikendalikan di bawah Lampiran 1 Konvensi
AFS dan telah ditutupi oleh lapisan sealer, apa nama fasilitas dan
tanggal yang diterapkan?
c) Apa nama produk anti-fouling / sealer dan produsen atau
distributor untuk sistem anti-fouling yang ada? dan
d) Jika sistem anti-fouling saat ini diubah dari sistem sebelumnya,
apa jenis sistem anti-fouling dan nama produsen atau distributor
sebelumnya ?

Sampling

2.5.4.17 Inspeksi yang lebih rinci dapat mencakup pengambilan sampel dan
analisis sistem anti-fouling kapal, jika perlu, untuk menentukan
apakah kapal mematuhi Konvensi AFS atau tidak. Pengambilan
24
sampel dan analisis semacam itu mungkin melibatkan penggunaan
laboratorium dan prosedur pengujian ilmiah yang terperinci. Namun,
hanya ada sangat sedikit bukti yang menunjukkan bahwa
pengambilan sampel dilakukan dalam skala besar selama inspeksi
PSC atau FSI. Umumnya, selama sertifikat tampak sesuai aturan,
inspektur PSC tidak mungkin untuk meminta tes pada pelapis
meskipun ini tidak boleh dikecualikan.
2.5.4.18 Jika pengambilan sampel dilakukan, time untuk memproses sampel
tidak dapat digunakan sebagai alasan untuk menunda kapal.
2.5.4.19 Setiap keputusan untuk melakukan pengambilan sampel harus
tunduk pada kelayakan praktis atau kendala yang berkaitan dengan
keselamatan orang, kapal atau pelabuhan (lihat lampiran 1 resolusi
IMO MEPC.208 (62) untuk prosedur pengambilan sampel dan
templat Laporan Inspeksi AFS untuk pengambilan sampel dan
analisis).

Referensi:
 Pedoman PSCO terkait Pemeriksaan lebih linci dan pengambilan sampel:
 IMO Resolution A. 1155(32) Procedures for Port State Control, 2021
 TOKYO MoU PSC MANUAL Section 2.6 2011 yang merujuk pada
GUIDELINES FOR INSPECTION OF ANTI-FOULING SYSTEM ON SHIPS
(Resolution MEPC.208(62)
 Guidelines for brief sampling of antifouling systems on ships
(Resolution MEPC.104(49)

 Pedoman Pengambilan sampel sistem anti-teritip


 Pedoman untuk Pengambilan Sampel Sistem Anti-Teritip di Kapal
memberikan prosedur pengambilan sampel untuk mendukung efektivitas
survei dan pemeriksaan untuk memastikan bahwa sistem anti-teritip kapal
mematuhi ketentuan.

 Beberapa hal yang perlu menjadi perhatian pada saat pengambilan sampel,
namun tidak terbatas kepada, sebagai berikut:
1) Pengambilan sampel harus memperhatikan bahwa pelarut atau bahan
lain yang digunakan untuk pengambilan sampel merupakan bahan yang
berbahaya termasuk cat basah yang diambil sampelnya juga dapat
berbahaya sehingga Lembar data keselamatan bahan (MSDS) untuk
pelarut atau cat harus dibaca dan tindakan pencegahan yang tepat
harus diambil hal seperti pemakaian sarung tangan lengan panjang dari
bahan kedap udara yang cocok dan tahan pelarut.
2) Akses pada saat kapal ditambatkan untuk melakukan pengambilan
sampel dengan aman mungkin sulit sehingga pengambilan sampel harus
dipastikan memiliki akses yang aman untuk mencapai lambung kapal
misalnya platform, crane, gangway dan lain sebagainya, sehingga
mereka tidak jatuh ke dalam air antara dermaga dan kapal.
3) Akses ke kapal pada saat di dok kering harus dilakukan dengan cara
yang aman, tangga stegger atau lengan penyangga harus dibangun
dengan aman dan dijaga dengan baik.
4) Selama pengambilan sampel, harus dilakukan dengan teliti dan hati-hati
untuk tidak mempengaruhi kemurnian atau pengoperasian sistem anti-
teritip.
5) Pengambilan sampel di mana lapisan anti-teritip tampak rusak1 atau
25
pada area tanda blok di bagian bawah rata kapal (di mana sistem anti-
teritip yang utuh tidak diterapkan) harus dihindari. Pengambilan sampel
yang berdekatan dengan atau di bawah area di mana sistem anti teritip
rusak juga harus dihindari. Ketika titik sampel pada lambung telah
dipilih, semua teritip yang ada harus dihilangkan dengan air dan spons
/ kain lembut sebelum mengambil spesimen sistem anti-teritip (untuk
menghindari kontaminasi sampel). Jika memungkinkan, jika dilakukan
di dok kering, pengambilan sampel harus dilakukan setelah lambung
telah dicuci dengan air.
6) Prosedur pengambilan sampel idealnya harus dilakukan dengan mudah
dan andal, orang yang melakukan pengambilan sampel harus menerima
pelatihan yang sesuai dalam metode pengambilan sampel.

 Aspek Teknik Pengambilan Sampel


1) Metode pengambilan sampel harus mempertimbangkan jenis sistem
anti-teritip yang digunakan di kapal.
2) Spesimen cat untuk analisis selama survei dan sertifikasi dapat diambil
baik sebagai cat basah2 dari wadah produk, atau sampel cat kering dari
lambung
3) Strategi pengambilan sampel tergantung pada ketepatan metode
pengambilan sampel, persyaratan analitis, biaya dan waktu yang
diperlukan dan tujuan pengambilan sampel. Jumlah spesimen cat yang
diambil dari setiap sampel harus memungkinkan jumlah retensi untuk
cadangan / penyimpanan jika terjadi perselisihan. Untuk sampel kering,
spesimen rangkap tiga cat pada setiap titik pengambilan sampel harus
diambil berdekatan satu sama lain pada lambung (mis. Dalam jarak 10
cm satu sama lain).
4) Jika lebih dari satu jenis sistem anti-teritip pada lambung, di mana
akses dapat diperoleh, sampel harus diambil dari masing-masing jenis
sistem anti teritip.
5) Jumlah titik sampel harus mencerminkan area yang representatif dari
lambung kapal;
6) sampel pada lambung harus dipilih yang meliputi area yang representatif
di mana sistem anti-teritip utuh. Bergantung pada ukuran kapal dan
aksesibilitas ke lambung kapal, setidaknya empat titik sampel harus
sama-sama diberi jarak panjang lambung. Jika pengambilan sampel
dilakukan di dok kering, area dasar lambung harus diambil sampelnya
selain sisi vertikal karena sistem anti-teritip yang berbeda dapat hadir
pada area yang berbeda ini

 Analisis
1) Analisis sistem anti-teritip idealnya harus melibatkan upaya analitis
minimal dan biaya ekonomi.
2) Analisis harus dilakukan oleh laboratorium yang diakui memenuhi
standar ISO 17025 atau fasilitas lain yang sesuai dengan kebijaksanaan
Administrasi atau Negara pelabuhan
3) Proses analitis harus cepat, sehingga hasilnya cepat dikomunikasikan
kepada petugas yang berwenang.
4) Analisis tersebut harus menghasilkan hasil yang tidak ambigu yang
dinyatakan dalam unit yang konsisten dengan Konvensi dan Pedoman
terkaitnya. Misalnya, untuk organotin, hasilnya harus dinyatakan
sebagai: mg timah (Sn) per kg cat kering.
5) Pengambilan sampel khusus dan metodologi analitik dijelaskan dalam
lampiran IV yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan
Menteri ini

26
6) prosedur pengambilan sampel singkat (khusus senyawa) harus
didokumentasikan
7) Semua upaya yang mungkin harus dilakukan harus menghindari kapal
tertahan atau tertunda operasionalnya

Gambar 1 - Diagram alur inspeksi

2.6 Penegakan Aturan


Langkah-langkah Penegakan Aturan adalah tindakan yang dapat diambil di
mana telah ditetapkan bahwa kapal belum memenuhi persyaratan Konvensi
27
AFS atau persyaratan Negara Pelabuhan. Penegakan Aturan mungkin perlu
diterapkan jika terjadi kurangnya ketekunan oleh kapal, misalnya, pencatatan
yang tidak lengkap, atau ketidakpatuhan yang disengaja terhadap
persyaratan AFS Negara Pelabuhan. Setiap situasi ketidakpatuhan harus
diperlakukan pada tempatnya dengan semua faktor yang diperhitungkan
sebelum tindakan Penegakan Aturandiambil. Itu selalu penting untuk
memverifikasi tingkat / keseriusan ketidakpatuhan, yang dapat bervariasi
dari insiden yang relatif sederhana, tidak disengaja dan tidak penting untuk
upaya yang disengaja lebih serius untuk menipu. Penting juga untuk
mengkonfirmasi pelanggaran dengan pihak berwenang yang sesuai. Ini
biasanya termasuk Nakhoda kapal yang mungkin diberi kesempatan untuk
memberikan bukti lebih lanjut. Tindakan penegakan harus selalu sesuai
dengan undang-undang nasional dan konsisten dengan ketentuan
pelanggaran lain yang berkaitan dengan pelayaran internasional. IMO dan
pihak terkait harus selalu diberitahu tentang langkah-langkah penegakan
yang diambil oleh Negara Pelabuhan.
Tindakan Penegakan Aturandapat mencakup hal-hal berikut:

2.6.1. Penahanan

2.6.1.1 Negara bendera atau negara pelabuhan dapat memutuskan untuk


menahan kapal setelah mendeteksi kekurangan selama inspeksi di
atas kapal.
2.6.1.2 Penahanan bisa sesuai dalam salah satu kasus berikut:
(a) sertifikasi tidak valid atau hilang.
(b) kapal mengakui bahwa kapal tersebut tidak mematuhi (sehingga
menghilangkan kebutuhan untuk membuktikan dengan
pengambilan sampel); dan
(c) sampling membuktikan itu tidak sesuai.
2.6.1.3 Tindakan lebih lanjut akan tergantung pada apakah masalahnya
adalah dengan sertifikasi atau sistem anti-fouling itu sendiri.
2.6.1.4 Jika tidak ada fasilitas di pelabuhan penahanan untuk membawa
kapal ke kepatuhan, negara bendera atau negara pelabuhan dapat
memungkinkan kapal untuk berlayar ke pelabuhan lain untuk
membawa sistem anti-fouling ke kepatuhan. Ini akan membutuhkan
kesepakatan dari pelabuhan itu.

2.6.2. Pemberhentian

2.6.2.1 Negara pelabuhan dapat memberhentikan kapal, yang berarti bahwa


negara pelabuhan menuntut agar kapal meninggalkan pelabuhan –
misalnya jika kapal memilih untuk tidak membawa AFS ke dalam
kepatuhan tetapi Negara pelabuhan khawatir bahwa kapal ini
melepaskan tributyltin (TBT) ke perairannya.

2.6.2.2 Pemecatan bisa sesuai jika kapal mengakui tidak mematuhi atau
mengambil sampel membuktikan tidak patuh saat kapal masih di
pelabuhan. Karena ini juga akan menjadi kekurangan yang dapat
ditahan, PSCO dapat menahan terlebih dahulu dan memerlukan
perbaikan sebelum dibebaskan. Namun, mungkin tidak ada fasilitas
yang tersedia untuk perbaikan di pelabuhan penahanan. Dalam hal
ini negara pelabuhan dapat memungkinkan kapal untuk berlayar ke
pelabuhan lain untuk membawa sistem anti-fouling ke dalam
kepatuhan. Ini bisa membutuhkan persetujuan dari pelabuhan itu.

28
2.6.2.3 Pemberhentian dapat dilakukan dalam salah satu kasus berikut:
(a) sertifikasi tidak valid atau hilang.
(b) kapal mengakui bahwa kapal tersebut tidak mematuhi (sehingga
menghilangkan kebutuhan untuk mengumpulkan bukti dengan
pengambilan sampel; dan
(c) pengambilan sampel membuktikan bahwa kapal tidak sesuai
dengan yurisdiksi pelabuhan.

2.6.2.4 Dalam kasus ini, kapal mungkin sudah ditahan. Namun, penahanan
tidak memaksa kapal untuk membawa AFS ke dalam kepatuhan
(hanya jika ingin berangkat). Dalam situasi seperti itu Negara
pelabuhan mungkin khawatir bahwa kapal itu melepaskan TBT while
itu tetap di perairannya.

2.6.3. Pengecualian

2.6.3.1 Negara pelabuhan dapat memutuskan untuk mengecualikan kapal


untuk mencegahnya memasuki perairannya. Pengecualian bisa sesuai
jika pengambilan sampel membuktikan bahwa kapal tidak patuh,
tetapi hasilnya telah diperoleh setelah berlayar atau setelah
diberhentikan.

2.6.3.2 Pasal 11 (3) Konvensi AFS hanya menyebutkan bahwa "pihak yang
melakukan inspeksi" dapat mengambil langkah-langkah tersebut. Ini
berarti bahwa, jika negara pelabuhan mengecualikan kapal,
pengecualian tidak dapat secara otomatis diterapkan oleh negara-
negara pelabuhan lainnya.

2.6.3.3 Sesuai dengan Prosedur untuk Kontrol Negara Pelabuhan (resolusi


A.1141 (31)), di mana kekurangan tidak dapat diperbaiki di
pelabuhan inspeksi, PSCO memungkinkan kapal untuk melanjutkan
ke pelabuhan lain, tunduk pada setiap kondisi yang tepat ditentukan.
Dalam keadaan seperti itu, PSCO harus memastikan bahwa otoritas
yang kompeten dari pelabuhan panggilan berikutnya dan Negara
bendera diberitahu.

Referensi:
 PELANGGARAN (VIOLATIONS)
1. Setiap pelanggaran terhadap persyaratan dalam Peraturan ini wajib dicegah dan
sanksi wajib ditetapkan sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang
berlaku dimana pun pelanggaran terjadi. Jika ditemukan adanya suatu
pelanggaran, Direktur Jenderal wajib menyelidiki perihal tersebut dan dapat
meminta untuk melengkapi bukti tambahan terhadap pelanggaran yang
dilakukan.
2. Direktur Jenderal dapat melakukan inspeksi, mengambil langkah-langkah
untuk memperingatkan, menahan, memberhentikan kapal, apabila pelanggaran
dilakukan oleh kapal berbendera selain bendera Indonesia maka Direktur
Jenderal dapat mengambil tindakan terhadap kapal dengan alasan bahwa kapal
tidak mematuhi Konvensi serta segera memberi tahu Administrasi kapal.
3. Direktur Jenderal juga dapat memutuskan untuk menahan kapal setelah
pendeteksian defisiensi selama inspeksi di kapal, Penahanan bisa sesuai dalam
salah satu kasus berikut:
a. sertifikasi tidak valid atau hilang;
29
b. kapal mengaku tidak patuh (dengan demikian menghilangkan kebutuhan
untuk membuktikannya) dan
c. pengambilan sampel membuktikan bahwa kapal tidak memenuhi
persyaratan konvensi atau persyaratan peraturan menteri ini
d. Apabila tidak ada fasilitas di pelabuhan penahanan untuk membuat kapal
memenuhi aturan ini, maka Direktur Jenderal dapat memberikan
persetujuan yang memungkinkan kapal berlayar ke pelabuhan lain untuk
melakukan pemenuhan terhadap peraturan ini.

 Pelaksanaan penegakan aturan AFS oleh PSCO berpedoman pada


 IMO Resolution A. 1155(32) Procedures for Port State Control, 2021
 TOKYO MoU PSC MANUAL Section 2.6 2011 yang merujuk pada
GUIDELINES FOR INSPECTION OF ANTI-FOULING SYSTEM ON SHIPS
(Resolution MEPC.208(62)
 Guidelines for brief sampling of antifouling systems on ships (Resolution
MEPC.104(49)

2.7 Pemeliharaan Catatan

Kode Implementasi Instrumen IMO (III) mensyaratkan bahwa pemeliharaan


catatan, sebagaimana mestinya, harus ditetapkan dan dipelihara untuk
memberikan bukti kesesuaian dengan persyaratan dan operasi efektif
Negara. Catatan harus tetap terbaca, mudah diidentifikasi dan dapat di tinjau
kembali. Prosedur terdokumentasi harus ditetapkan untuk menentukan
kontrol yang diperlukan untuk identifikasi, penyimpanan, perlindungan,
pengambilan, waktu retensi dan disposisi catatan.
Catatan dapat diterapkan untuk:
(a) Daftar kapal yang diperiksa di bawah PSC dan laporan inspeksi
(b) Daftar kapal yang diperiksa di bawah FSC dan laporan inspeksi
(c) Catatan tindakan penegakan aturan
(d) Analisis tren
(e) Efektivitas tindakan penegakan aturan

Referensi:
 Peraturan Menteri Perhubungan Nomor PM 119 Tahun 2017 tentang Pejabat
Pemeriksa Kelaiklautan dan Keamanan Kapal Asing
Pasal 8
(1) UPT akan memperoleh self-password dari Direktorat yang membidangi
tugas tertib pelayaran untuk memasukkan data hasil pemeriksaan
kelaiklautan dan keamanan Kapal Asing yang telah dilaksanakan oleh
PSCO yang bertugas melalui sistem informasi berbasis komputer APCIS.
(2) PSCO di UPT yang akan melaksanakan pemeriksaan kelaiklautan dan
keamanan Kapal Asing, sebelum naik ke atas kapal wajib
menginformasikan tentang data dan dasar pemeriksaan kepada
Direktorat yang membidangi tugas tertib pelayaran dan Syahbandar.
(3) PSCO yang telah melaksanakan pemeriksaan kelaiklautan dan keamanan
Kapal Asing sebagaimana dimaksud pada ayat (2), wajib memberikan
laporan hasil pemeriksaan kepada Nakhoda berupa: a. Notification of
Orderly Inspection; b. Form A PSC report; c. Form B PSC report; d.
Notification of Detention bagi Nakhoda; e. Subject Information Detained of
the Vessel bagi negara bendera kapal; dan/atau f. Form Release of

30
Detention bagi Nakhoda.
(4) Laporan hasil pemeriksaan sebagaimana dimaksud pada ayat (3),
disampaikan paling lambat 2 x 24 (dua kali dua puluh empat) jam setelah
PSCO selesai melaksanakan pemeriksaan kelaiklautan dan keamanan
Kapal Asing kepada Direktorat yang membidangi tugas tertib pelayaran
dan Syahbandar.
(5) Laporan hasil pemeriksaan yang telah diterima Direktorat yang
membidangi tugas tertib pelayaran dan Syahbandar sebagaimana
dimaksud pada ayat (4), akan diverifikasi sebagai dasar dalam
memberikan persetujuan kepada PSCO untuk memasukkan data hasil
pemeriksaan ke Pusat Data PSC wilayah Asia Pasifik melalui sistem
informasi berbasis komputer APCIS.
(6) PSCO memasukkan data hasil pemeriksaan yang telah diverifikasi
melalui sistem informasi berbasis komputer APCIS dan diketahui oleh
Direktorat yang membidangi tugas tertib pelayaran.
(7) PSCO di UPT wajib menyampaikan laporan bulanan pemeriksaan
kelaiklautan dan keamanan Kapal Asing yang telah dilaksanakan kepada
Direktorat yang membidangi tugas tertib pelayaran dan diketahui oleh
Syahbandar dengan menggunakan format contoh 7 yang tercantum dalam
Lampiran I yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan
Menteri ini.
(8) Setiap pemeriksaan kelaiklautan dan keamanan Kapal Asing yang
dilakukan oleh PSCO dicatat dalam buku catatan kerja PSCO dan laporan
hasil pemeriksaan yang disampaikan tersimpan di dalam suatu sistem
informasi pelaporan berbasis teknologi yang dilaksanakan oleh Direktur
Jenderal.
(9) Buku catatan kerja PSCO sebagaimana dimaksud pada ayat (8), sesuai
dengan format contoh 8 yang tercantum dalam Lampiran I

2.8 Penyebaran informasi

Informasi relevan yang diperlukan untuk dikomunikasikan berdasarkan


Konvensi AFS harus mencakup:
(a) Suatu Pihak wajib mengkomunikasikan kepada IMO daftar surveyor
yang dinominasikan atau organisasi yang diakui yang berwenang
untuk bertindak atas nama mereka dalam administrasi hal-hal yang
berkaitan dengan kontrol sistem anti-fouling sesuai dengan Konvensi
AFS untuk diedarkan kepada Para Pihak untuk informasi petugas
mereka. Oleh karena itu, Administrasi harus memberi tahu IMO
tentang tanggung jawab dan kondisi spesifik dari otoritas yang
didelegasikan kepada surveyor yang dinominasikan atau organisasi
yang diakui. (lihat ayat 1 (a) Pasal 9 Konvensi).
(b) Setiap tahun, suatu Pihak harus mengkomunikasikan kepada IMO
informasi mengenai sistem anti-fouling yang disetujui, dibatasi, atau
dilarang berdasarkan hukum domestiknya. (lihat ayat 1 (a) Pasal 9
Konvensi).
(c) Suatu dapat memenuhi kewajiban di atas dengan mengunggah
informasi yang relevan ke Modul IMO GISIS IMO GISIS Module of
Pollution Prevention Equipment and Anti fouling Systems, di bawah tab
Anti-fouling System.
(d) Suatu Pihak harus mengkomunikasikan hukum nasionalnya kepada
semua pihak termasuk RO, Pemilik Kapal, Operator Kapal dan IMO
ketika undang-undang nasional melebihi ketentuan Konvensi.
(e) Administrasi harus memberikan panduan dan instruksi kepada RO-
nya mengenai melakukan survei dan inspeksi.
31
(f) Konvensi AFS mensyaratkan bahwa ketika sebuah kapal ditahan,
diberhentikan atau dikeluarkan dari pelabuhan karena melanggar
Konvensi, Pihak yang mengambil tindakan tersebut harus segera
memberi tahu Administrasi bendera kapal dan Organisasi Yang Diakui
yang telah mengeluarkan sertifikat yang relevan (lihat Pasal II (3)
Konvensi AFS).

Referensi:
Di Indonesia, penyebaran peraturan nasional terkait prosedur AFS di atur dalam
Peraturan Presiden (PERPRES) 33 tahun 2012 tentang Jaringan Dokumentasi dan
Informasi Hukum Nasional serta Keputusan Menteri Perhubungan Nomor KM 3
Tahun 2000 tentang Jaringan Dokumentasi dan Informasi Hukum di Lingkungan
Departemen Perhubungan. Pengumuman informasi dilakukan oleh DJP dan RO
melalui JDIH Kemenhub RI (jdih.dephub.go.id / hubla.dephub.go.id)

2.9 Kualifikasi surveyor / inspektur dan pengalaman dan pelatihan

Kualifikasi dan pengalaman


Idealnya seorang petugas penegakan aturan (surveyor atau inspektur) untuk
tujuan PKPA di bawah Konvensi yang dipilih harus memiliki pengetahuan
praktis dan teoritis yang tepat tentang kapal dan pelayaran.
Kode Implementasi Instrumen IMO/ IMO Instrumen Implementation Code (III
Code) mensyaratkan bahwa personel yang bertanggung jawab atas, atau
melakukan, survei, inspeksi, dan audit pada kapal dan perusahaan yang
dicakup oleh instrumen wajib internasional yang relevan harus memiliki
minimal sebagai berikut:
(a) kualifikasi yang sesuai dari institusi kelautan atau nautis dan
pengalaman berlayar yang relevan sebagai perwira kapal bersertifikat
yang memegang atau telah memegang sertifikat kompetensi tingkat
manajemen yang valid dan tetap mengikuti perkembangan
pengetahuan teknis tentang kapal dan operasionalnya sejak
mendapatkan sertifikat kompetensi mereka; atau
(b) gelar atau setara dari lembaga tersier dalam bidang teknik atau
pengetahuan yang relevan yang diakui oleh Negara bendera; atau
(c) akreditasi sebagai surveyor melalui program pelatihan formal yang
mengarah pada standar pengalaman dan kompetensi surveyor yang
sama seperti yang dipersyaratkan dalam paragraf (a) dan (b) di atas.

Berikut ini adalah contoh kualifikasi yang mungkin dianggap cocok untuk
peran petugas penegakan aturan , surveyor, atau inspektur perkapalan.
(a) Sertifikat Kompetensi sebagai Master Kelas 1 / ANT I (tidak terbatas)
(b) Sertifikat Kompetensi sebagai Perwira Navigasi (tidak terbatas)
(c) Sertifikat Kompetensi sebagai Perwira Mesin Kelas 1/ ATT I
(d) Sertifikat Kompetensi sebagai Perwira Mesin Kelas 2/ ATT II; atau
(e) Gelar atau diploma dalam Arsitek Naval

Namun, ini tidak membatasi Administrasi untuk mengidentifikasi jenis


kualifikasi lain yang menurut mereka sama-sama tepat untuk tugas tersebut.
Akan sangat menguntungkan jika calon petugas penegakan aturan, surveyor
atau inspektur memiliki pengalaman bekerja di atas kapal dalam kapasitas
senior atau bekerja di industri terkait pelayaran. Diharapkan pengetahuan
dan pengalaman di bidang-bidang berikut :
32
(a) Pemahaman yang baik tentang peran administrasi maritim dan
industri maritim internasional.
(b) Pengetahuan tentang rezim regulasi keselamatan maritim
internasional.
(c) Memahami prinsip-prinsip berbagai rezim inspeksi kapal.
(d) Pengalaman dalam desain kelautan, konstruksi, perbaikan, operasi,
inspeksi, jaminan kualitas atau bidang terkait maritim lainnya.
(e) Pengalaman dalam manajemen teknis atau operasional kapal

Pelatihan

Sebelum melakukan kegiatan kepatuhan dan penegakan aturan, petugas


penegakan aturan harus menyelesaikan pelatihan komprehensif dalam
prosedur inspeksi kapal termasuk pelatihan praktis di atas kapal .
Ini adalah persyaratan wajib di bawah III Code, negara bendera harus
menerapkan sistem terdokumentasi untuk kualifikasi personil dan terus
memperbarui pengetahuan mereka yang sesuai dengan tugas-tugas yang
mereka berwenang untuk melakukannya.
Selanjutnya, tergantung pada fungsi yang akan dilakukan, kualifikasi harus
mencakup:
(a) pengetahuan tentang aturan dan peraturan internasional dan nasional
yang berlaku untuk kapal, perusahaan, awak kapal, muatan, dan
operasional.
(b) pengetahuan tentang prosedur yang akan diterapkan dalam fungsi
survei, sertifikasi, kontrol, investigasi dan pengawasan .
(c) pemahaman tentang tujuan dan sasaran instrumen internasional dan
nasional yang berhubungan dengan keselamatan maritim dan
perlindungan lingkungan laut, dan program-program terkait.
(d) memahami proses baik di atas kapal dan darat, internal maupun
eksternal.
(e) memiliki kompetensi profesional yang diperlukan untuk melakukan
tugas-tugas yang diberikan secara efektif dan efisien.
(f) kesadaran penuh akan aspek keselamatan dalam segala situasi, juga
untuk keselamatan diri; dan
(g) pelatihan atau pengalaman dalam berbagai tugas yang dilakukan dan
juga dalam fungsi yang menjadi aspek penilaian.

Referensi:
 Di Indonesia, undang-undang yang memungkinkan untuk Kualifikasi,
Pengalaman, dan Pelatihan Inspektur dilakukan melalui Peraturan Menteri
Perhubungan Nomor PM 119 Tahun 2017 tentang Pejabat Pemeriksa
Kelaiklautan dan Keamanan Kapal Asing Pasal 9, Pasal 14 dan Peraturan
Menteri Perhubungan Nomor PM 110 Tahun 2016 tentang Pejabat Pemeriksa
Keselamatan Kapal Pasal 8 dan Pasal 9.

 Ketentuan Nasional terkait kualifikasi petugas pemeriksa:


 Peraturan Menteri Perhubungan Nomor PM 119 Tahun 2017 tentang Pejabat
Pemeriksa Kelaiklautan dan Keamanan Kapal Asing
Pasal 9
Port State Control Officer (PSCO)
(1) PSCO diangkat oleh Direktur Jenderal setelah memenuhi persyaratan.
(2) Persyaratan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), meliputi:
a. menyelesaikan pendidikan dan pelatihan PSC dan dinyatakan lulus yang
dibuktikan dengan sertifikat;
b. memiliki sertifikat keahlian pelaut ANT-I atau ATT-I atau ijazah Sarjana

33
Teknik Perkapalan dengan kualifikasi Senior Marine Inspector;
c. memiliki pengetahuan praktis atau teoritis mengenai kapal dan
pengoperasiannya untuk mengaplikasikan ketentuan konvensi yang
melekat pada Kapal Asing yang diperiksa;
d. memiliki integritas, profesionalitas, dan transparansi; dan
e. memiliki kartu identitas yang dikeluarkan oleh Direktur Jenderal.
(3) PSCO yang telah diangkat oleh Direktur Jenderal sebagaimana dimaksud
pada ayat (1), ditempatkan pada:
a. Direktorat yang membidangi tugas tertib pelayaran; atau
b. pelabuhan yang terbuka untuk perdagangan luar negeri yang telah
ditetapkan.
(4) Direktur Jenderal menyediakan sistem data base dan informasi yang mudah
diakses untuk meregistrasi dan mendata serta memberikan informasi
internal mengenai PSCO.

Pasal 14
PENDIDIKAN DAN PELATIHAN
Persyaratan untuk mengikuti pendidikan dan pelatihan PSC, meliputi:
a. Pegawai Negeri Sipil di lingkungan Direktorat Jenderal;
b. usia maksimal 45 (empat puluh lima) tahun;
c. surat usulan dari Syahbandar;
d. memiliki sertifikat Pejabat Pemeriksa Keselamatan Kapal dengan kualifikasi
telah dikukuhkan sebagai Marine Inspector;
e. memiliki sertifikat Kesyahbandaran;
f. memiliki TOEFL minimal 480 (empat ratus delapan puluh) serta mampu aktif
berkomunikasi secara lisan dan tulisan menggunakan bahasa Inggris dan
dibuktikan dengan sertifikat yang berlaku paling lama 2 (dua) tahun sejak
tanggal diterbitkan;
g. sehat jasmani dengan bukti surat keterangan sehat dari dokter yang telah
ditunjuk di rumah sakit yang disetujui Direktur Jenderal;
h. tidak buta warna, dengan bukti surat keterangan tidak buta warna dari
dokter;
i. bebas narkoba dan obat terlarang dengan bukti surat keterangan dari
instansi berwenang; dan
j. tidak sedang menjalani sanksi disiplin kepegawaian.

 Peraturan Menteri Perhubungan Nomor PM 110 Tahun 2016 tentang Pejabat


Pemeriksa Keselamatan Kapal
Pasal 8
Persyaratan Pejabat Pemeriksa Keselamatan Kapal
(1) Persyaratan untuk menjadi Pejabat Pemeriksa Keselamatan Kapal harus
memenuhi paling sedikit sebagai berikut:
a. memiliki kualifikasi teknis dari Institusi Pendidikan bidang nautika atau
teknika dengan pengalaman berlayar sebagaimana sertifikat kepelautan
yang dimiliki sebagai perwira kapal atau yang memiliki sertifikat dalam
kemampuan manajemen dan yang menguasai bidang keteknisannya
tentang kapal dan pengoperasian kapal sejak mendapatkan sertifikat
kompetensinya; atau
b. Sarjana Teknik Perkapalan atau setara dari institusi bidang teknis yang
diakui oleh Pemerintah.
(2) Persyaratan untuk menjadi Pejabat Pemeriksa Keselamatan Kapal
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a, harus memiliki pengalaman
paling sedikit 3 (tiga) tahun bekerja diatas kapal sebagai perwira dek atau
mesin senior (operatorial level).
(3) Persyaratan untuk menjadi Pejabat Pemeriksa Keselamatan Kapal

34
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b, harus memiliki pengalaman
kerja ditempat kerja yang sesuai dengan kapasitas kompetensinya selama
paling sedikit 3 (tiga) tahun.
(4) Selain persyaratan sebagamana dimaksud pada ayat (1), ayat (2) dan ayat (3)
harus memiliki pengetahuan praktis dan teoritis tentang kapal,
pengoperasian kapal dan instrumen peraturan perundang-undangan
nasional dan internasional tentang perkapalan.

Pasal 9
Pendidikan Dan Pelatihan Pejabat Pemeriksa Keselamatan Kapal
(1) Untuk dapat mengikuti pendidikan dan pelatihan Pejabat Pemeriksa
Keselamatan Kapal, harus memenuhi persyaratan meliputi:
a. mendapatkan usulan dari kepala kantor ditempat calon Pejabat
Pemeriksa Keselamatan Kapal bertugas;
b. sehat jasmani dan rohani yang dibuktikan dengan surat keterangan
sehat oleh dokter dan/atau rumah sakit Pemerintah yang ditunjuk;
c. surat keterangan dokter tidak buta warna;
d. Pegawai Negeri Sipil atau Aparatur Sipil Negara pada Direktorat Jenderal
dengan masa kerja paling sedikit 2 (dua) tahun;
e. berijazah minimal ANT II/ATT II atau S1 teknis (Perkapalan atau yang
sederajat) dengan pengalaman kerja paling sedikit selama 3 (tiga) tahun;
f. memiliki kepangkatan minimal Penata Muda (III/a) pada saat
pengusulan; dan
g. mampu berbahasa Inggris aktif atau memiliki nilai TOEFL paling sedikit
450 (empat ratus lima puluh) atau penilaian lain yang setara dan
dibuktikan dengan sertifikat yang berlaku tidak lebih dari 6 (enam) bulan
sejak tanggal terbit dihitung hingga saat pengusulan.
(2) Berkas dan dokumen persyaratan untuk mengikuti pendidikan Pejabat
Pemeriksa Keselamatan Kapal sebagaimana sebagaimana maksud pada ayat
(1), harus diperiksa dan mendapatkan persetujuan oleh Direktur Perkapalan
dan Kepelautan.
(3) Data base/file pemenuhan persyaratan untuk setiap personel Pejabat
Pemeriksa Keselamatan Kapal sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2)
dan ayat (3) harus dimiliki Direktorat Jenderal dan dapat diakses sewaktu-
waktu sebagai bagian dari obyek pelaksanaan audit.

2.10 Kode etik

Aparat penegakan aturan diharapkan bertindak sesuai hukum dan aturan


Pemerintah mereka dan secara adil, terbuka, tidak memihak, dan konsisten.

Referensi:
 Ketentuan terkait Kualifikasi, Pengalaman, dan Pelatihan Petugas Pemeriksa
tertuang di dalam Peraturan Menteri Perhubungan Nomor PM 119 Tahun 2017
tentang Pejabat Pemeriksa Kelaiklautan dan Keamanan Kapal Asing Pasal 25 dan
Peraturan Menteri Perhubungan Nomor PM 110 Tahun 2016 tentang Pejabat
Pemeriksa Keselamatan Kapal Pasal 22.
 Ketentuan Nasional terkait Kode Etik:
 Peraturan Menteri Perhubungan Nomor PM 119 Tahun 2017 tentang Pejabat
Pemeriksa Kelaiklautan dan Keamanan Kapal Asing
Pasal 25
(1) Untuk memastikan integritas, profesionalitas dan transparansi dalam
melaksanakan fungsi, tugas dan peran, serta kewenangan, PSCO
dilengkapi dengan kode etik sebagai norma dasar yang wajib dipegang
35
teguh dan dilaksanakan.
(2) Kode etik PSCO sebagaimana dimaksud pada ayat (1), terdiri atas:
a. bekerja dengan etika, jujur dan tidak bertindak curang;
b. independen dan tidak memiliki kepentingan bisnis di wilayah
pelabuhan dan di kapal yang diperiksa atau di perusahaan yang
menyediakan jasa di wilayah pelabuhan;
c. tidak dapat diintervensi oleh pihak lain untuk membuat keputusan
berdasarkan temuan pemeriksaan;
d. tidak menyalahgunakan kewenangannya untuk mendapatkan
keuntungan pribadi;
e. menerapkan prosedur PSCO dan pengetahuan teknis serta standar
perilaku profesi yang telah ditetapkan serta disetujui oleh anggota
Tokyo MOU;
f. menggunakan penilaian secara profesional dalam melaksanakan
tugasnya;
g. mengisyaratkan keterbukaan dan keadaan yang dapat
dipertanggung jawabkan;
h. menghormati kapal sebagai tempat tinggal dan tempat kerja awak
kapal sehingga tidak mengganggu kenyamanan dan keamanan di
atas kapal;
i. tidak memandang ras, jenis kelamin, agama atau kebangsaan
awak kapal saat membuat keputusan dan memperlakukan
seluruh awak kapal dengan hormat;
j. menghormati kewenangan Nakhoda dan wakilnya di atas kapal;
k. bersikap sopan dan tegas;
l. tidak mengancam, kasar atau berkuasa atau menggunakan bahasa
yang dapat menyebabkan ketersinggungan;
m. tidak mengharapkan untuk diperlakukan secara istimewa;
n. tidak mengungkapkan identitas orang yang menyampaikan laporan
keluhan atau pengaduan dan tidak meminta awak kapal untuk
melakukan hal-hal yang bertentangan dengan ketentuan;
o. meminta awak kapal untuk menunjukkan fungsi dan pengoperasian
peralatan di atas kapal serta tidak membuat uji peralatan sendiri;
p. menyarankan Nakhoda mengikuti prosedur pengaduan yang tepat
apabila terjadi perselisihan yang tidak dapat diselesaikan dalam
waktu yang wajar dan menggunakan hak banding dan prosedur yang
terkait Detention keberangkatan kapal; dan
q. menjelaskan dengan baik dan jelas secara tenang dan sabar kepada
Nakhoda terhadap temuan dan perbedaan pendapat yang timbul
serta tindakan perbaikan yang diperlukan untuk memastikan
laporan pemeriksaan dipahami sebelum meninggalkan kapal.

 Peraturan Menteri Perhubungan Nomor PM 110 Tahun 2016 tentang Pejabat


Pemeriksa Keselamatan Kapal
Pasal 22:
Pejabat Pemeriksa Keselamatan Kapal mempunyai kode etik:
a. menjaga keselamatan, keamanan, kesehatan diri dalam melaksanakan
tugasnya;
b. melaksanakan tugas secara profesional di bidang yang sesuai dengan
kompetensinya;
c. tidak mengeluarkan pernyataan publik tanpa izin pimpinan;
d. bertindak secara profesional dan menghindari konflik kepentingan;
e. mampu membangun reputasi baik sebagai pejabat pemeriksa
keselamatan kapal atas nama pribadi maupun atas nama unit pelaksana
teknis Direktorat Jenderal;

36
f. melakukan tindakan untuk menjaga kehormatan, integritas dan
martabat profesinya;
g. tidak melakukan tindakan kompromi terhadap keselamatan jiwa dan
harta benda atau kerusakan lingkungan atau yang mengarah kepada
penurunan standar teknis kelaiklautan kapal;
h. terus menerus mengembangkan profesionalisme sepanjang kariernya
dan memberikan kesempatan untuk mengembangkan profesionalisme
tersebut dibawah pengawasannya sendiri; dan.
i. tidak melakukan tindakan yang mengarahkan kepada penurunan
reputasi atau yang merugikan citra Direktorat Jenderal.

2.11 Memoar
Memoar berikut dapat membantu surveyor selama pemeriksaan di bawah
Konvensi AFS :

Kuesioner Ya Tidak
1 Apakah kapal lebih besar dari 400 GT dan terlibat
dalam pelayaran internasional?
2 Jika jawaban atas pertanyaan 1 adalah 'ya' maka kapal
diharuskan membawa Sertifikat IAFS. Apakah kapal
membawa Sertifikat IAFS ?

3 Apakah Sertifikat IAFS lengkap ?


4 Apakah kapal lebih besar dari 24 m tetapi kurang dari
400 tonase kotor?
5 Jika jawaban atas pertanyaan 4 adalah 'ya' maka kapal
diharuskan membawa deklarasi AFS. Apakah kapal
membawa Deklarasi AFS?

6 Apakah Catatan Sistem Anti-Fouling dilampirkan


sebagai suplemen untuk Sertifikat IAFS up to date?

7 Apakah tanggal penerapan sistem anti-fouling pada


Sertifikat IAFS sesuai dengan tanggal docking kering
kapalnya?
8 Untuk kapal-kapal non-Pihak dalam Konvensi AFS –
apakah kapal membawa dokumen apa pun (seperti
pernyataan kepatuhan) yang menyatakan bahwa kapal
mematuhi Konvensi AFS?
9 Apakah lambung menunjukkan bercak cat yang
berbeda yang berlebihan?
Jika ada jawaban atas pertanyaan 2, 3, dan 5 hingga 9 N/A N/A
adalah "tidak" maka surveyor atau PSCO dapat
melakukan inspeksi yang lebih rinci.
10 Apakah pengambilan sampel dan analisis sistem
antifouling kapal memuaskan? (jika pengambilan
sampel dilakukan)
Tindakan Penegakan Aturanyang tepat
(memperingatkan, menerbitkan kekurangan ,
mengecualikan, memberhentikan atau menahan) dapat
diambil jika salah satu jawaban atas pertanyaan 2, 3,
dan 5 sampai 10 adalah 'tidak'.
Tabel 1 Memoar

37
38
LAPORAN
PEMERIKSAAN KONDISI TEKNIS KAPAL UNTUK
PENCEGAHAN PENCEMARAN DARI SISTEM ANTI TERITIP DIKAPAL
SESUAI PERSYARATAN CONVENTION ON THE CONTROL OF HARMFULL ANTI –
FOULING SYSTEM ON SHIP, 2001

CHECK LIST FOR SURVEY OF


THE CONDITION FOR THE PREVENTION OF
ANTI-FOULING SYSTEM FROM SHIP UNDER THE TERMS
OF CONVENTION ON THE CONTROL OF HARMFULL ANTI – FOULING SYSTEM ON
SHIP, 2001

NAMA KAPAL
NAME OF SHIP : _________________________________________

NO. REGISTER
REGISTERED NO :
_____________________________________________

PEMERIKSAAN PERTAMA
INITIAL SURVEY

PEMERIKSAAN PEMBAHARUAN
RENEWAL SURVEY

PEMERIKSAAN TAMBAHAN
ADDITIONAL SURVEY

DIREKTORAT PERKAPALAN DAN KEPELAUTAN


DIREKTORAT JENDERAL PERHUBUNGAN LAUT
KEMENTERIAN PERHUBUNGAN
LAPORAN PEMERIKSAAN KONDISI TEKNIS KAPAL UNTUK PENCEGAHAN
PENCEMARAN SISTIM ANTI TERITIP DARI KAPAL SESUAI PERSYARATAN

39
KONVENSI SISTEM ANTI – TERITIP , 2001
CHECK LIST FOR SURVEY OF THE CONDITION FOR THE PREVENTION OF
ANTI-FOULING SYSTEM FROM SHIP UNDER THE TERMS OF CONVENTION ON THE
CONTROL OF HARMFULL ANTI – FOULING SYSTEM ON SHIP, 2001

I. DATA KAPAL
SHIP PARTICULAR

Nama Kapal : ……………………………………………………….......


Name of Ship

Nomor atau huruf pengenal : ……………………………………………………………


Distinctive number or letters

Kebangsaan dan Pelabuhan Pendaftaran : ……………………………………………………………


Nationality and Port of Registry

Isi Kotor : ……………………………………………………………


Gross Tonnage

Nomor IMO : ……………………………………………………………


IMO No.

Tipe Kapal :.......................................................................................................


Type Kapal

Nomor Lambung : ……………………………………………………………


Hull No.

Pembuat : ……………………………………………………………
Builder

Tanggal Kontrak Pembangunan : ……………………………………………………………


Date of building contract

Tanggal Peletakan Lunas atau


tahapan pembangunan yang serupa : ……………………………………………………………
Date on which keel was laid or ship
was at similar stage of construction

Tanggal Penyerahan : ……………………………………………………………


Date of delivery

II. DOKUMENTASI
DOCUMENTATION

1. Data tentang keselamatan dari bahan yang digunakan :.................................................................................


Material Safety Data Sheet

2. Data kapal............................................................................................................................................................................
Ships particular

3.Dokumen kapal...............................................................................................................................
Ships document

4. Bukti pengiriman cat anti teritip dari pabrik/distributor ke kapal/galangan ....................................................


Delivery order of antifouling system from manufacturer/distributor to ship/ shipyard

III. PENERAPAN
APPLICATION
1. Sistem anti teritip yang diatur sesuai annex 1 belum diterapkan selama atau setelah konstruksi kapal ini
An anti-fouling system controlled under Annex 1 has not been applied during or after construction of this ship

2. Sistem anti teritip yang diatur sesuai annex 1 telah diterapkan pada kapal ini sebelumnya, tetapi
telah dibersihkan oleh…………………………………………………...pada tanggal………………………
An anti-fouling system controlled under Annex 1 has been applied on this ship previously, but has been
removed by ............ (insert name of the facility) on .................(date)

3. Sistem anti teritip yang diatur sesuai annex 1 telah diterapkan pada kapal ini sebelumnya, tetapi telah
40
dilapisi dengan sealer coat oleh…………………………………….pada tanggal……………………………
An anti-fouling system controlled under Annex 1 has been applied on this ship previously, but has been
covered with a sealer coat applied by …………………….……(insert name of the facility)
………………………………………………………………….…on……………..............................(date)

4. Sistem anti teritip yang diatur sesuai annex 1 telah diterapkan pada kapal ini sebelum……….
tetapi harus dibersihkan atau dilapisi sealer coat sebelum tanggal……………
An anti-fouling system controlled under Annex 1 was applied on this ship prior to............ (date),
but must be removed or covered with a sealer coat prior to ............(date)

IV. PEMERIKSAAN
SURVEY

(1) Detail dari sistim anti teritip yang diterapkan………………………………………………………………..


Details anti-fouling system(s) applied

Jenis anti teritip yang digunakan……………………………………………………………………………..


Type(s) of anti-fouling system(s) used

(2) Tanggal pengecatan dari sistim anti-teritip……………………………………………………………………


Date(s) of application of anti-fouling system(s)

Nama perusahaan dan fasilitas/lokasi dimana dilakukan pengecatan…………………………………………..


Name(s) of company(ies) and facility(ies)/location(s) where applied

(3) Nama pabrik pembuat sistim anti teritip……………………………………………………………………….


Name(s) of anti-fouling system manufacturer(s)

(4) Nama, warna, bahan aktif dan nomor CAS dari sistim anti teritip……………………………………………
Name(s), colour(s),active ingredient(s) and their Chemical Abstract Services Registry Number(s) (CAS
number(s))of anti-fouling system(s)

Nomor Nama Warna Bahan Aktif CAS Number


Number Name Colour Active ingredient CAS Number

(5) Luasan dan ketebalan dari cat anti teritip yang digunakan …………………………………………………..
Large and thickness of anti-fouling system that applied

(6) Jenis dari sealer coat, jika digunakan……………………………………………………………………….......


Type(s) of sealer coat, if applicable

(7) Nama dan warna dari sealer coat yang digunakan, jika digunakan……………………………………………..
Name(s) and colour(s) of sealer coat applied, if applicable

(8) Tanggal pengecatan sealer coat…………………………………………………………………………………


Date of application of sealer coat

V. TAMBAHAN UNTUK PEMERIKSAAN KHUSUS SISTEM ANTI TERITIP PADA KONDISI TERTENTU
*
ADDITIONAL FOR SPECIAL INSPECTION OF ANTIFOULING SYSTEM IN CERTAIN CONDITIONS*

(1) Jumlah sample yang diambil


....................................................................................................................................................
Number of sample taken

(2) Nama laboratorium yang digunakan untuk melakukan pengujian


Name of the laboratory are used to perform testing

41
CATATAN PEMERIKSAAN :
SURVEY REMARK

________________________________________________________________________________

________________________________________________________________________________

________________________________________________________________________________

________________________________________________________________________________

Pelabuhan/ Galangan _________________________


Port/ Shipyard
Tanggal _________________________
Date

MENGETAHUI PEMERIKSA
Acknowledged Surveyor

__________________ ____________________

*) Dilakukan untuk kapal yang berganti bendera dan sistem anti teritip sudah diterapkan
sebelumnya

42
3. BAB III Konvensi BWM
3.1 Model legislasi untuk penerapan PSC/FSI yang efektif
3.1.1. Suatu Pihak harus memiliki undang-undang dan peraturan nasional
yang menyediakan hal-hal berikut:
(a) Langkah-langkah yang memberikan efek penuh dan lengkap terhadap
ketentuan Konvensi dan Lampirannya. Setiap Pihak harus memiliki
undang-undang yang mengharuskan kapal-kapal yang menjadi ruang
lingkup konvensi ini, untuk mematuhi persyaratan Konvensi, yang
antara lain, dapat mencakup:
(i) pembuangan air balas hanya akan dilakukan sesuai dengan
peraturan Konvensi BWM (peraturan A-2).
(ii) operator kapal harus memberikan laporan kepada otoritas negara
yang berwenang, jika kapal tersebut bermaksud membuang air
balas di perairan Negara tersebut.
(iii) International Ballast Water Management Certificate (IBWMC)
dipersyaratkan untuk semua kapal 400 GT atau lebih, tidak
termasuk platform terapung, FSU dan FPSO, sebagaimana tertuang
dalam peraturan E-2.
(iv) setiap kapal diharuskan untuk memiliki di atas kapal dan
menerapkan Ballast Water Management Plan (BWMP) yang telah
disetujui oleh Administrasi.
(v) setiap kapal diharuskan untuk memiliki di atas kapal dan
memelihara buku catatan air Balas/ Ballast Water Record Book
(BWRB), yang setidaknya akan berisi informasi yang ditentukan
dalam lampiran II Annex Konvensi BWM dan disimpan di atas kapal
untuk jangka waktu minimum dua tahun setelah entri terakhir
sudah dibuat (peraturan B-2).
(vi) Setiap kapal dipersyaratkan untuk memenuhi standar pertukaran
air balas (peraturan D-1) atau standar kinerja air balas (peraturan
D-2) sesuai dengan peraturan B-3.
(vii) Pertukaran air balas dilakukan setidaknya dengan jarak minimal
200 nm dari daratan terdekat dengan kedalaman air minimal 200
m, atau dalam kasus di mana kapal tidak mampu memenuhinya,
setidaknya jarak minimal 50 nm dari daratan terdekat dengan
kedalaman air minimal 200 m, atau di area pertukaran air balas
yang ditetapkan Administrasi dan diterapkan sesuai dengan
peraturan B-4.
(viii) sedimen dikeluarkan dan dibuang dari ruang yang ditetapkan
untuk membawa air balas sesuai dengan ketentuan yang terdapat
pada BWMP kapal tersebut sesuai dengan peraturan B-5.
(ix) perwira dan awak kapal harus familiar dengan tugasnya dalam
pelaksanaan pengelolaan air balas sesuai dengan peruntukan kapal
dan BWMP kapal sesuai dengan peraturan B-6.
(x) setiap pengecualian dari Konvensi BWM harus dicatat dalam
BWRB (peraturan A-4.4) serta catatan setiap pembuangan yang
tidak disengaja dan situasi khusus (peraturan B-2.3) dan hal di
mana air balas tidak dipertukarkan sesuai dengan Konvensi BWM
(peraturan B-4.5).

43
(xi) ketentuan untuk langkah-langkah tambahan - apabila suatu
Pihak, secara sendiri, atau bersama-sama dengan Pihak lain,
menentukan bahwa langkah-langkah selain yang ada di Bagian B
Konvensi diperlukan, maka Pihak tersebut dapat merumuskan
persyaratan bagi kapal untuk memenuhi standar atau persyaratan
tertentu (peraturan C-1).
(xii) kapal - kapal yang menjadi objek pemeriksaan harus tunduk pada
peraturan E-1
(xiii) kapal diwajibkan untuk melaporkan kecelakaan atau kerusakan
yang mempengaruhi kemampuannya untuk mengelola air balas ke
Negara bendera dan Negara pelabuhan (peraturan E-1.7).
(xiv)kondisi kapal, dan peralatan, sistem dan prosesnya harus
dipelihara agar memenuhi ketentuan Konvensi BWM (peraturan E-
1.9); dan
(xv) setelah pemeriksaan kapal yang dilaksanakan berdasarkan
peraturan E-1.1 telah selesai, tidak diperkenankan adanya
perubahan pada struktur, peralatan, peralatan, susunan atau
material yang terkait dengan BWMP dan yang termasuk lingkup
pemeriksaan tanpa pemberian sanksi dari Administrasi, kecuali
penggantian langsung peralatan atau perlengkapan tersebut
(peraturan E-1.10).
(xvi)pelanggaran atas pembuangan air balas.
(b) Legislasi harus dirancang untuk secara otomatis mengadopsi
amandemen Konvensi BWM atau, sebagai alternatif, amandemen harus
dituangkan dalam undang-undang dan peraturan nasional yang
sesuai.
(c) Undang-undang harus menetapkan kapal apa yang mejadi lingkup
pemeriksaan dan keadaan-keadaan di mana pembebasan dapat
diberikan.
(d) Undang-undang harus mendefinisikan entitas yang bertanggung jawab
untuk menyediakan fasilitas pembuangan (reception facilities) jika
diperlukan khususnya di mana pembersihan dan perbaikan tangki air
balas dilaksanakan. Fasilitas pembuangan tersebut harus dioperasikan
sesuai dengan panduan Organisasi.
Resolusi IMO MEPC.152(55), “Guidelines for sediment
Referensi
reception facilities (G1)”.

(e) Kecuali Negara bendera bermaksud untuk melaksanakan semua


inspeksi dan sertifikasi sendiri, legislasi harus memuat aturan bagi
suatu Pihak untuk menunjuk organisasi yang diakui/ recognized
organization (RO) untuk melakukan inspeksi atas nama Negara dan
mengeluarkan sertifikat yang disyaratkan oleh Konvensi BWM. RO
berkewajiban untuk memberi tahu Negara bendera ketika telah terjadi
pelanggaran terhadap Konvensi yang mempengaruhi sertifikasi atau
kepatuhan kapal. Dalam hal apapun setiap Pihak dalam Konvensi ini
harus memastikan bahwa kapal yang mengibarkan benderanya tunduk
pada survei dan sertifikasi sesuai dengan Konvensi.
(f) Suatu Pihak juga dapat memiliki ketentuan dalam undang-undangnya
untuk dapat menunjuk Pihak lain untuk melakukan survei atas
namanya dan untuk menerbitkan atau mengukuhkan sertifikat ketika
kapal tersebut sesuai dengan Konvensi.
44
(g) Pejabat pemeriksa atau petugas penegakan aturan harus diberdayakan
untuk naik ke atas kapal dan melaksanakan pemeriksaan pada setiap
kapal. Kapal dapat dipilih untuk diperiksa berdasarkan profil risikonya.
Kampanye Inspeksi Terkonsentrasi/ Concentrated Inspection
Campaign (CIC) dapat diselenggarakan oleh PSC MOU untuk fokus
pada area bidang tertentu. Ketika didapati informasi bahwa
pelanggaran peraturan telah terjadi, inspeksi dapat dilakukan secara
ad hoc.
(h) Harus ada ketentuan dalam undang-undang untuk memungkinkan
petugas penegakan aturan untuk melaksanakan pengambilan sampel
of air balas kapal jika diperlukan.
(i) Undang-undang harus menetapkan hukuman atau denda yang
dikenakan untuk pelanggaran peraturan Konvensi, dimana hukuman
atau denda tersebut harus cukup berat untuk mencegah terjadinya
pelanggaran.
(j) Undang-undang harus memuat ketentuan untuk penahanan dan
pembebasan kapal yang ditahan dalam kasus-kasus yang dapat
dipertanggungjawabkan.

3.1.2. Konvensi BWM diadopsi di Indonesia melalui Peraturan Presiden


Nomor 132 Tahun 2015 dan dilaksanakan melalui Undang-Undang
Nomor 17 Tahun 2008 tentang Pelayaran, Peraturan Pemerintah Nomor
21 Tahun 2010 tentang Perlindungan Lingkungan Maritim, Peraturan
Menteri Perhubungan Nomor PM 29 Tahun 2014 tentang Pencegahan
Pencemaran Lingkungan Maritim, Peraturan Menteri Perhubungan
Nomor PM 119 Tahun 2017 tentang Pejabat Pemeriksa Kelaiklautan dan
Keamanan Kapal Asing, Peraturan Menteri Perhubungan Nomor PM 110
Tahun 2016 Pejabat Pemeriksa Keselamatan Kapal dan Peraturan
Direktur Jenderal Perhubungan Laut Nomor: HK.103/1/9/DJPL-18
tentang Pelaksanaan Pemeriksaan Kelaiklautan dan Keamanan Kapal
Asing. Keputusan Menteri Perhubungan Nomor KM 112 Tahun 2021
tentang Penunjukan kepada Biro Klasifikasi Indonesia (Persero) untuk
Melaksanakan Survei dan Sertifikasi Statutoria pada kapal berbendera
Indonesia.

REFERENSI:

 Penerapan dan Pemberlakuan


(1) Ketentuan ini diterapkan pada:
a. Seluruh kapal berbendera Indonesia yang beroperasi untuk pelayaran
internasional;
b. Seluruh kapal asing yang beroperasi di Perairan Indonesia (no more
favourable treatment).
(2) Ketentuan ini tidak diterapkan pada:
a. Seluruh kapal yang tidak dirancang atau dibangun untuk membawa
Air Balas;
b. Seluruh kapal yang hanya beroperasi di Perairan Indonesia, kecuali
zona perairan tertentu yang telah disinyalir apabila terjadi pembuangan
Air Balas maka akan dianggap dapat menimbulkan kerusakan
lingkungan hidup laut atau kerugian lingkungan hidup laut;
c. Seluruh kapal yang hanya beroperasi di dalam zona resiko yang sama
dan semata-mata memiliki kesamaan dalam ekosistem dan
keanekaragaman biota hayati laut;
45
d. Seluruh kapal yang hanya beroperasi dengan trayek tetap yakni khusus
dari kolam pelabuhan ke laut lepas atau sebaliknya secara terus
menerus dan berkelanjutan;
e. Seluruh kapal perang, kapal negara, kapal pemanduan atau kapal
perintis milik negara;
f. Seluruh kapal yang memiliki sistem air balas permanen yang disegel
mati dalam tangki kapal secara terus menerus dan berkelanjutan, serta
system pemipaannya tidak berfungsi sebagai pembuangan air balas.

(3) Ketentuan ini pemberlakuannya dikecualikan, apabila:


a. Penghisapan atau pembuangan Air Balas dan Sedimennya diperlukan
dengan didukung alasan yang kuat dan memastikan keselamatan
kapal pada saat situasi darurat atau dalam rangka menyelamatkan jiwa
di laut, termasuk membawa air balas ke dalam tangki bahan bakar
untuk mempertahankan stabilitas dan kondisi keselamatan dan
keamanan pelayaran;
b. Kapal atau perlengkapannya mengalami kerusakan sehingga
mengakibatkan pembuangan yang tidak disengaja atau rembesan
masuk air balas karena disebabkan oleh:
 dengan ketentuan bahwa seluruh tindakan pencegahan telah
dilakukan baik pada saat sebelum dan sesudah kejadian kerusakan,
atau pada saat ditemukannya kerusakan, atau pembuangan
dilakukandisertai dengan alasan yang kuat yakni untuk kepentingan
mencegah atau memperkecil pembuangan; dan
 pemilik, Perusahaan atau perwira jaga di kapal yang dengan sengaja
atau lalai menjadi penyebabkerusakan.
c. Penghisapan dan pembuangan Air Balas dan Sedimennya memiliki
tujuan untuk menghindari atau memperkecil terjadinya insiden
pencemaran dari kapal;
d. Penghisapan dan pembuangan Air Balas telah dilakukan sebelumnya
di laut lepas yang memiliki zona Air Balas dan Sedimen yang sama;
e. Pembuangan Air Balas dan Sedimennya terjadi pada wilayah/lokasi
yang sama seperti pada saat wilayah/lokasi asal penghisapan, dimana
seluruh Kapasitas Air Balas tidak tercampur dengan Air Balas dan
Sedimen yang berasal dari wilayah/lokasi lainnya.14
(4) Ketentuan ini pemberlakuannya dapat diberikan Pembebasan, apabila:
a. Ketika sebuah kapal atau seluruh kapal dalam pelayaran antar
pelabuhan atau wilayah/lokasi rute perdagangan yang sama yang telah
ditetapkan oleh Direktur Jenderal;
b. Ketika sebuah kapal beroperasi secara khusus dengan trayek tetap
antar pelabuhan dalam wilayah/lokasi tertentu yang memiliki jarak
tempuh sangat pendek, berbagi area biogeografi yang sama namun
memiliki ekosistem dan keanekaragaman biota hayati laut yang
berbeda dan tidak berbahaya;
c. Ketika sebuah kapal atau seluruh kapal beroperasi secara khusus
dengan trayek tetap antar pelabuhan antar negara dalam satu regional
yang sama;
d. Ketika hasil Penilaian Resiko memiliki tingkat proteksi yang sama
(same level of protection) pada area biogeografi yang berbeda;
e. Ketika sebuah kapal atau seluruh kapal beroperasi secara tetap dan
teratur hanya pada satu wilayah/lokasi tertentu secara terus menerus
sepanjang tahun.
(5) Pembebasan sebagaimana dimaksud dalam ayat (4) dapat disetujui dengan
ketentuan meliputi:

46
a. Efektif untuk masa berlaku tidak lebih dari 5 (lima) tahun dengan
survei antara;
b. Diberikan kepada kapal yang Kapasitas Air Balas tidak tercampur
dengan Air Balas dan Sedimen yang berasal dari wilayah/lokasi
lainnya;
c. Diberikan berdasarkan petunjuk pelaksana tentang Penilaian Resiko
yang disusun sesuai dengan standard Organisasi Maritim
Internasional.
(6) Pembebasan yang disetujui sebagaimana dimaksud pada ayat (5), wajib
dianggap tidak berlaku, sampai dengan terbitnya informasi Pembebasan
tersebut yang telah dikomunikasikan kepada Organisasi Maritim
Internasional dan diedarkan kepada negara anggota.
(7) Pembebasan lainnya diluar yang terkait dengan Pembebasan sebagaimana
dimaksud pada ayat (5), wajib tidak mengganggu atau merusak lingkungan,
kesehatan manusia, aset atau sumber daya negara tetangga dalam regional
yang sama.
(8) Pembebasan yang disetujui sebagaimana dimaksud pada ayat (6), wajib
dicatat di Buku Catatan Air Balas (Ballast Water Record Book) dengan
pengaturan sebagai berikut:
a. Seluruh kapal berbendera Indonesia yang beroperasi di dalam Perairan
Indonesia, dicatat dan ditandatangani oleh Pejabat Pemeriksa
Keselamatan Kapal (Flag State)
b. Seluruh kapal berbendera Indonesia yang beroperasi untuk pelayaran
internasional, dicatat dan ditandatangani oleh Pejabat Pemeriksa
Keselamatan Kapal Asing (Port State atau Coastal State);
c. Seluruh kapal asing yang beroperasi di Perairan Indonesia dan/atau
pelayaran internasional, dicatat dan ditandatangani oleh Pejabat
Pemeriksa KeselamatanKapal Asing (Port State).

 Perencanaan Manajemen Air Balas (ballast water management plan)


diatur sebagai berikut:
(1) Setiap kapal wajib memiliki dan menerapkan Perencanaan Manajemen Air
Balas;
(2) Perencanaan Manajemen Air Balas wajib berlandaskan pada Pedoman
Standard yang telah disusun atau diamandemen oleh Organisasi Maritim
Internasional;
(3) Perencanaan Manajemen Air Balas wajib dituangkan ke dalam Dokumen
Perencanaan Manajemen Air Balas berbentuk Buku Manual dan harus
mendapatkan pengesahan;
(4) Klasifikasi Dokumen Perencanaan Manajemen Air Balas bersifat rahasia,
serta wajib disahkan dan disetujui oleh Direktur Jenderal;
 Pedoman Standard sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b ayat (2),
paling sedikit menguraikan tentang:
a. Cuplikan atau saduran hukum dan aturan yang berlaku pada setiap
negara pelabuhan di dunia;
b. Lokasi-lokasi pelabuhan yang menyediakan fasilitas koneksi
pembuangan Air Balas dan Sedimennya ke darat;
c. Pemetaan kesamaan atau perbedaan dalam ekosistem dan
keanekaragaman biota hayati laut pada pelabuhan yang sering
dikunjungi;
d. Prosedur keselamatan kapal dan anak buah kapal dalam tugas
pengoperasian Manajemen Air Balas;
e. Prosedur Keselamatan dan Keamanan Pemompaan;

47
f. Varietas zona perairan tertentu yang telah disinyalir apabila terjadi
pembuangan Air Balas maka akan dianggap dapat menimbulkan
kerusakan lingkungan hidup laut atau kerugian lingkungan hidup laut;
g. Lokasi perairan pantai yang telah ditetapkan dan disahkan sebagai
tempat pertukaran Air Balas;
h. Sistem Manajemen Air Balas (Ballast Water Management System);
i. Gambaran umum setiap tangki kapal, sistem pompa dan pemipaannya,
serta lokasi ideal pengambilan sampel;
j. Uraian terperinci tindakan yang diambil apabila menemukan kendala
dalam penerapan persyaratan Manajemen Air Balas dan praktik
tambahan perhitungan lainnya;
k. Prosedur untuk pembuangan Sedimen di laut dan ke darat;
l. Prosedur koordinasi Manajemen Air Balas, meliputi:
1. Koordinasi antara Kapal Berbendera Indonesia dengan Direktur
Jenderal yakni selaku negara bendera dan negara pantai pada saat
akan melakukan pembuangan Air Balas di laut atau pantai dalam
Perairan Indonesia;
2. Koordinasi antara Kapal Asing dengan Direktur Jenderal yakni
selaku negara pelabuhan dan negara pantai pada saat akan
melakukan pembuangan Air Balas di laut atau pantai.
b. Penugasan Perwira dan Anak Buah Kapal yang ditunjuk secara khusus
untuk memastikan bahwa perencanaan diterapkan dengan baik;
m. Mekanisme dan prosedur pelaporan setiap pengoperasian Manajemen
Air Balas baik pada saat operasional rutin pelayaran, floating repair
maupun naik galangan (dry- dock);
n. Prosedur tanggap darurat Manajemen Air Balas;
o. Tata cara penulisan dalam bahasa kerja di kapal;
p. Terjemahan ke dalam salah satu bahasa mayoritas apabila bahasa
kerja di kapal tidak menggunakan bahasa Inggris, bahasa Perancis
atau bahasa Spanyol.

 Buku Catatan Air Balas (ballast water record book) sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 11 ayat (3) huruf b, diatur sebagai berikut:
(1) Setiap kapal wajib memiliki Buku Catatan Air Balas;
(2) Buku Catatan Air Balas dapat berupa sistem catatan elektronik
(spreadsheet atau excel) dan dapat terintegrasi dalam sistem aplikasi
lainnya (visual basic, access atau voyage data recorder) atau dalam bentuk
buku jurnal;
(3) Apabila dicatat dalam bentuk buku jurnal, maka wajib memiliki periode
pencatatan untuk suatu periode minimum 2 (dua) tahun setelah tanggal
penghisapan Air Balas yang terakhir;
(4) Buku jurnal sesudah periode 2 (dua) tahun, maka wajib diserahkan,
dikendalikan dan disimpan oleh Perusahaan untuk suatu periode
minimum 3 (tiga) tahun;
(5) Catatan Air Balas wajib tetap tersedia di atas kapal atau di Perusahaan
untuk pemeriksaan sewaktu-waktu;
(6) Untuk kapal tak berawak yang ditunda, maka dapat disimpan di kapal
tunda;
(7) Apabila Buku Catatan Air Balas berupa sistem catatan elektronik, maka
pada saat pemeriksaan wajib di cetak atau membuat salinan setiap catatan
dan meminta Nakhoda untuk melegalisir salinan
 Buku Catatan Air Balas paling sedikit menguraikan tentang:
a. Nama Kapal (Ship’s Name);
48
b. Bendera (Flag)
c. Tanda Panggilan (Call Sign);
d. IMO Number;
e. Gross Tonnage;
f. Nama Perusahaan (Company’s Name);
g. IMO Company’s Number;
h. Nama Perwira Penanggung Jawab dan ABK Operator Air Balas;
i. Rincian rekaman pengoperasian terdiri dari Hari/Tanggal/Jam di
kapal, Posisi Kapal, Posisi Kedalaman dan Gambaran Penjelasan
Pengoperasian Air Balas (tanks and volume);
j. Pemeriksaan dan Pengambilan Sampel;
k. Kolom tandatangan Perwira Penanggung Jawab dan pengesahan
Nakhoda.
 Hal-hal lainnya yang wajib dicatat dalam Buku Catatan Air Balas, meliputi:
a. Dalam hal sebuah kapal atau seluruh kapal mendapat suatu
Pengecualian atau Pembebasan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7,
Pasal 8 dan Pasal 9;
b. Apabila sebuah kapal atau seluruh kapal melakukan pembuangan Air
Balas pada Fasilitas Penampungan Limbah atau Fasilitas
Penampungan Sedimen; dan/atau
c. Apabila sebuah kapal atau seluruh kapal melakukan pembuangan Air
Balas karena kecelakaan kapal;
 Setiap operasi mengenai Air Balas wajib dicatat secara penuh dan lengkap
dengan segera di dalam Buku Catatan Air Balas.
 Setiap catatan operasi wajib ditandatangani oleh Perwira Penanggung
Jawab dan setiap halaman yang diselesaikan wajib disahkan oleh Nakhoda.
 Pencatatan Buku Catatan Air Balas wajib sesuai dengan bahasa kerja di
kapal dan terjemahan ke dalam salah satu bahasa mayoritas dapat
dilaksanakan sepanjang seluruh anak buah kapal memahaminya apabila
bahasa kerja di kapal tidak menggunakan bahasa Inggris, bahasa Perancis
atau bahasa Spanyol.
 Pemeriksaan terhadap Buku Catatan Air Balas wajib dilakukan oleh port
state dan/atau coastal state untuk kepentingan penertiban hukum dan
Penegakan Aturanbaik di pelabuhan, pantai atau laut.

 KONVENSI BWM
 Pasal 3 Penerapan
1. Kecuali secara tegas ditentukan lain dalam Konvensi ini, Konvensi ini
akan berlaku pada:
(a) kapal yang berhak mengibarkan bendera suatu Pihak; dan
(b) kapal-kapal yang tidak mengibarkan bendera suatu Pihak tetapi
beroperasi di bawah kewenangan Pihak tersebut.
2. Konvensi ini tidak berlaku untuk:
(a) kapal yang tidak dirancang atau dibangun untuk membawa Air
Ballas;
(b) kapal suatu Pihak yang hanya beroperasi di perairan di bawah
yurisdiksi Pihak tersebut, kecuali Pihak menentukan bahwa
pembuangan Air Balast dari kapal-kapal tersebut akan merusak
atau merusak lingkungan mereka, kesehatan manusia, properti
atau sumber daya, atau negara-negara tetangga atau negara lain;
(c) kapal-kapal suatu Pihak yang hanya beroperasi di perairan di
bawah yurisdiksi Pihak lain, tunduk pada otorisasi Pihak terakhir
49
untuk pengecualian tersebut. Tidak Ada Pihak akan memberikan
otorisasi tersebut jika hal tersebut akan mengganggu atau merusak
lingkungan, kesehatan manusia, properti atau sumber daya, atau
negara lain yang berdekatan. Setiap Pihak yang tidak memberikan
otorisasi tersebut harus memberitahu Administrasi dari kapal yang
bersangkutan bahwa Konvensi ini berlaku untuk kapal tersebut;
(d) kapal-kapal yang hanya beroperasi di perairan di bawah yurisdiksi
salah satu Pihak dan di laut lepas, kecuali untuk kapal yang tidak
diberikan izin sesuai dengan ayat (c), kecuali Pihak tersebut
menentukan bahwa pembuangan Air Balast dari kapal akan
merusak atau merusak lingkungan, kesehatan manusia, harta
benda atau sumber daya, atau negara lain yang berdekatan.;
(e) setiap kapal perang, kapal bantu angkatan laut atau kapal lain
yang dimiliki atau dioperasikan oleh suatu Negara dan digunakan,
untuk saat ini, hanya pada layanan non-komersial pemerintah.
Namun, masing-masing Pihak harus memastikan, dengan
mengadopsi langkah-langkah yang tepat yang tidak mengganggu
operasi atau kemampuan operasional kapal yang dimiliki atau
dioperasikan olehnya, dimana kapal tersebut bertindak dengan
cara yang konsisten, sejauh wajar dan dapat dilakukan, terhadap
ketentuan pada Konvensi ini; dan
(f) (Kapal dengan air Ballast permanen dalam tangki tertutup yang di
segel, yang tidak boleh dibuang.
3. Sehubungan dengan kapal non-Pihak Konvensi ini, Para Pihak wajib
menerapkan persyaratan Konvensi ini yang mungkin diperlukan untuk
memastikan bahwa tidak ada perlakuan yang lebih menguntungkan
(no more favourable treatment) diberikan kepada kapal tersebut.
 Peraturan A-4 Pembebasan
1. Suatu Pihak atau Para Pihak, di perairan di bawah yurisdiksinya, dapat
memberikan pengecualian kepada setiap persyaratan untuk
menerapkan peraturan B-3 atau C-1, selain pembebasan lain yang
terkandung di dalam Konvensi ini, tetapi hanya jika:
(a) diberikan kepada kapal atau kapal-kapal yang melaksanakan
pelayaran antara pelabuhan-pelabuhan atau lokasi tertentu; atau
ke kapal yang beroperasi secara eksklusif antara pelabuhan atau
lokasi tertentu;
(b) efektif untuk jangka waktu tidak lebih dari lima tahun dengan
tunduk pada tinjauan antara;
(c) diberikan kepada kapal yang tidak mencampurkan Air Ballast atau
Sedimen di luar pelabuhan atau lokasi yang ditentukan dalam
paragraf 1.a); dan
(d) diberikan berdasarkan Pedoman penilaian risiko yang
dikembangkan oleh Organisasi.
2. Pengecualian yang diberikan sesuai dengan ayat 1 tidak akan berlaku
efektif sebelum adanya komunikasi dengan Organisasi dan pemberian
informasi yang relevan kepada para Pihak.
3. Pengecualian apa pun yang diberikan berdasarkan peraturan ini tidak
boleh mengurangi atau merusak lingkungan, kesehatan manusia,
harta benda atau sumber daya negara lain yang berdekatan. Negara
yang oleh Pihak yang di nilai dapat terkena dampak negatif harus
dikonsultasikan, dengan maksud untuk menyelesaikan setiap
kekhawatiran yang teridentifikasi.
4. Pengecualian yang diberikan berdasarkan peraturan ini harus dicatat
50
dalam buku Catatan.Air Ballast (Ballast Water Record Book)

 STANDAR PENGELOLAAN AIR BALLAST


A. Peraturan D-1 (Standar Pertukaran Air Ballast)
1. Kapal yang melakukan pertukaran Air Ballast sesuai dengan
peraturan ini harus melakukannya dengan efisiensi sekurang-
kurangnya 95 persen volumetrik pertukaran Air Ballast.
2. Untuk kapal yang menukar Air Ballast dengan metode pumping-
through, pemompaan melalui tiga kali volume masing-masing
tangki Air Ballast harus dianggap memenuhi standar yang
dijelaskan dalam ayat 1. Pemompaan melalui kurang dari tiga kali
volume dapat diterima asalkan kapal dapat menunjukkan bahwa
setidaknya 95 persen pertukaran volumetrik terpenuhi.
B. Peraturan D-2 (Standar Kinerja Air Ballast)
1. Kapal yang melakukan Pengelolaan Air Ballast sesuai dengan
peraturan ini harus melepaskan kurang dari 10 organisme hidup
per meter kubik lebih besar dari atau sama dengan 50 mikrometer
dalam dimensi minimum dan kurang dari 10 organisme hidup per
mililiter kurang dari 50 mikrometer dalam dimensi minimum dan
lebih besar dari atau sama hingga 10 mikrometer dalam dimensi
minimum; dan pembuangan mikroba indikator tidak boleh melebihi
konsentrasi tertentu yang dijelaskan dalam paragraf 2.
2. Mikroba indikator sebagai standar kesehatan manusia meliputi:
a) Vibrio cholerae (O1 dan O139) toksikogenik dengan kurang dari
1 unit pembentuk koloni (cfu) per 100 mililiter atau kurang dari
1 cfu per 1 gram (berat basah) sampel zooplankton;
b) Escherichia colikurang dari 250 cfu per 100 mililiter;
c) Enterococci usus kurang dari 100 cfu per 100 mililiter.

 PERSYARATAN SURVEI DAN SERTIFIKASI UNTUK PENGELOLAAN AIR


BALLAST
Peraturan E-1 (Survei)
Kapal-kapal dengan tonase kotor 400 ke atas yang mana Konvensi ini
berlaku, tidak termasuk anjungan terapung, FSU dan FPSO, harus tunduk
pada survei yang ditentukan di bawah ini:
1. Survey awal sebelum kapal dioperasikan atau sebelum Sertifikat yang
dipersyaratkan berdasarkan regulasi E-2 atau E-3 diterbitkan untuk
pertama kalinya. Survei ini harus memverifikasi bahwa rencana
Pengelolaan Air Ballast yang disyaratkan oleh peraturan B-1 dan setiap
struktur, peralatan, sistem, pemasangan, pengaturan dan bahan atau
proses terkait yang terkait sepenuhnya memenuhi persyaratan
Konvensi ini.
2. Survei pembaruan pada interval yang ditentukan oleh Badan
Pemerintah, tetapi tidak melebihi lima tahun, kecuali jika berlaku
peraturan E-5.2, E-5.5, E-5.6, atau E-5.7. Survei ini harus
memverifikasi bahwa rencana Pengelolaan Air Ballast yang disyaratkan
oleh peraturan B-1 dan setiap struktur, peralatan, sistem,
pemasangan, pengaturan dan bahan atau proses terkait yang terkait
sepenuhnya memenuhi persyaratan yang berlaku dari Konvensi ini.

51
3. Survei perantara dalam waktu tiga bulan sebelum atau setelah tanggal
Peringatan kedua atau dalam waktu tiga bulan sebelum atau setelah
tanggal Ulang Tahun ketiga Sertifikat, yang akan menggantikan salah
satu survei tahunan yang ditentukan dalam paragraf 1.4. Survei
perantara harus memastikan bahwa peralatan, sistem dan proses
terkait untuk Pengelolaan Air Ballast sepenuhnya memenuhi
persyaratan yang berlaku dari Lampiran ini dan dalam keadaan baik.
Survey perantara tersebut harus disahkan pada Sertifikat yang
diterbitkan berdasarkan regulasi E-2 atau E-3.
4. Survei tahunan dalam waktu tiga bulan sebelum atau setelah setiap
tanggal Hari Jadi, termasuk inspeksi umum terhadap struktur, setiap
peralatan, sistem, perlengkapan, pengaturan dan bahan atau proses
yang terkait dengan rencana Pengelolaan Air Ballast yang disyaratkan
oleh peraturan B-1 untuk memastikan bahwa mereka telah dipelihara
sesuai dengan paragraf 9 dan tetap memuaskan untuk layanan
tersebut untuk apa kapal itudimaksudkan survei tahunan harus
disahkan pada Sertifikat yang diterbitkan berdasarkan peraturan E-2
atau E-3.
5. Survey tambahan baik secara umum atau sebagian, sesuai dengan
keadaan, harus dilakukan setelah perubahan, penggantian, atau
perbaikan yang signifikan dari struktur, peralatan, sistem,
perlengkapan, pengaturan dan bahan yang diperlukan untuk mencapai
kepatuhan penuh terhadap Konvensi ini. Survey harus sedemikian
rupa untuk memastikan bahwa setiap perubahan, penggantian, atau
perbaikan yang signifikan telah dilakukan secara efektif, sehingga
kapal memenuhi persyaratan Konvensi ini. Survei tersebut harus
disahkan pada Sertifikat yang diterbitkan berdasarkan peraturan E-2
atau E-3.

 Peraturan nasional terkait cakupan model legislasi


 Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2008 tentang Pelayaran
Pasal 134
(1) Setiap kapal yang beroperasi di perairan Indonesia harus memenuhi
persyaratan pencegahan dan pengendalian pencemaran.
(2) Pencegahan dan pengendalian pencemaran ditentukan melalui
pemeriksaan dan pengujian.
Pasal 138
(1) Nakhoda wajib berada di kapal selama berlayar.
(2) Sebelum kapal berlayar, Nakhoda wajib memastikan bahwa kapalnya
telah memenuhi persyaratan kelaiklautan dan melaporkan hal tersebut
kepada Syahbandar.
(3) Nakhoda berhak menolak untuk melayarkan kapalnya apabila
mengetahui kapal tersebut tidak memenuhi persyaratan sebagaimana
dimaksud pada ayat (2).
(4) Pemilik atau operator kapal wajib memberikan keleluasaan kepada
Nakhoda untuk melaksanakan kewajibannya sesuai dengan peraturan
perundang- undangan.
Pasal 229 (1)
Setiap kapal dilarang melakukan pembuangan limbah, air balas, kotoran,
sampah, serta bahan kimia berbahaya dan beracun ke perairan. (2) Dalam
hal jarak pembuangan, volume pembuangan, dan kualitas buangan telah
sesuai dengan syarat yang ditetapkan dalam ketentuan peraturan

52
perundangundangan, ketentuan pada ayat (1) dapat dikecualikan.
Pasal 325
(1) Setiap orang yang melakukan pembuangan limbah air balas, kotoran,
sampah atau bahan lain ke perairan di luar ketentuan peraturan
perundang-undangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 229 ayat (1)
dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun dan denda
paling banyak Rp300.000.000,00 (tiga ratus juta rupiah).
(2) Jika perbuatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mengakibatkan
rusaknya lingkungan hidup atau tercemarnya lingkungan hidup
dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan
denda paling banyak Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah).
(3) Jika perbuatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mengakibatkan
kematian seseorang dipidana dengan pidana penjara paling lama 15
(lima belas) tahun dan denda paling banyak Rp2.500.000.000,00 (dua
miliar lima ratus juta rupiah).
 Peraturan Pemerintah Nomor 31 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan
Bidang Pelayaran
Pasal 104
(1) Kelaiklautan Kapal sebagairnana dimaksud dalam Pasal 87 ayat (1)
ditentukan melalui pemeriksaan dan pengujian yang dibuktikan dengan
sertifikat.
(3) Pemeriksaan dan pengujian serta penilikan sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) dan ayat (2) wajib dilakukan oleh pejabat pemeriksa Keselamatan
Kapal.
Pasal 129
(2) Pembebasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat disetujui
dengan ketentuan sebagai berikut:
a. sesuai dengan hasil penilaian risiko yang berpedoman pada konvensi
manajemen air balas (ballast water management conuention) oleh
Pemerintah Pusat;
b. efektif untuk masa berlaku tidak lebih dari 5 (lima) tahun dengan
survei antara; dan
c. diberikan kepada Kapal yang kapasitas air balas tidak tercampur
dengan air balas dan sedimen yang berasal dari wilayah/lokasi lain
di luar Perairan Indonesia.
(3) Pembebasan yang disetujui sebagaimana dimaksud pada ayat (2) wajib
dicatat di buku catatan air balas (ballast water record book) dan
ditandatangani oleh pejabat pemeriksa Keselamatan Kapal
Pasal 130
(1) Setiap peralatan, bahan, dan perencanaan prosedur pencegahan
pencemaran yang digunakan di Kapal harus mendapatkan persetujuan
Menteri.
(2) Pemeriksaan kelengkapan dan pengujian peralatan pencegahan
pencemaran dalam rangka penerbitan sertifikat pencegahan
pencemaran dilakukan oleh pejabat pemeriksa Keselamatan Kapal atau
dilakukan oleh Badan Klasifikasi yang diakui dan ditunjuk

 Peraturan Menteri Perhubungan Nomor PM 29 Tahun 2014 tentang


Pencegahan Pencemaran Lingkungan Maritim
Pasal 48
(1) Settiap kapal dengan ukuran tonase kotor GT 400 (empat ratus Gross
53
Tonnage) atau lebih yang membawa air balas dan berlayar di perairan
internasional wajib memenuhi ketentuan konvensi manajemen air balas
(ballast water management convention).
(2) Setiap kapal yang membawa air balas dengan kapasitas 1500 m3 atau
lebih yang berlayar di perairan Indonesia wajib memenuhi ketentuan
manajemen air balas dalam Peraturan Menteri ini.
(3) Kapal yang telah memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) dan ayat (2) diterbitkan sertifikat manajemen air balas oleh
Direktur Jenderal.
Pasal 49
Ketentuan manajemen air balas terhadap kapal sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 48 ayat (2) adalah sebagai berikut:
a. dilengkapi buku catatan air balas (ballast water record book) dan buku
rencana pengelolaan air balas (ballast water management plan) yang
disahkan oleh pejabat yang berwenang dan dilaporkan untuk diketahui
Syahbandar pada pelabuhan setempat;
b. peralatan sistem manajemen air balas yang harus disetujui oleh
Pemerintah dengan memperhatikan panduan yang dikembangkan oleh
organisasi maritim internasional (International Maritime
Organization/IMO).
Pasal 50 Ayat (1)
Kapal-kapal yang dibebaskan dalam persyaratan sistem manajemen air
balas meliputi:
a. kapal yang hanya beroperasi di area pelabuhan dan/atau hanya berlayar
tidak lebih dari 50 (lima puluh) mil; dan
b. kapal yang digunakan sebagai unit penampungan terapung yang tidak
berpindah
Pasal 57
Untuk memenuhi persyaratan pencegahan pencemaran dari pengoperasian
kapal dan pencegahan pencemaran yang bersumber dari barang dan bahan
berbahaya yang ada di kapal dilakukan pemeriksaan, pengujian, dan
penerbitan sertifikat pencegahan pencemaran.

 Peraturan Menteri Perhubungan Nomor PM 110 Tahun 2016 tentang


Pejabat Pemeriksa Keselamatan Kapal
Pasal 3
(1) Kelaiklautan kapal diverifikasi melalui pemeriksaan dan pengujian
(3) Pemeriksaan dan pengujian sebagaimana dimaksud pada ayat (2) wajib
dilakukan oleh Pejabat Pemeriksa Keselamatan Kapal
 Peraturan Menteri Perhubungan Nomor PM 119 Tahun 2017 Pejabat
Pemeriksa Kelaiklautan dan Keamanan Kapal Asing
Pasal 3
(1) Dalam melaksanakan fungsi keselamatan dan keamanan pelayaran,
Syahbandar mempunyai tugas pengawasan dan memiliki kewenangan
melaksanakan pemeriksaan kelaiklautan dan keamanan Kapal Asing.
(2) Tugas pengawasan dan kewenangan Syahbandar melaksanakan
pemeriksaan kelaiklautan dan keamanan Kapal Asing sebagaimana
dimaksud pada ayat (1), dilakukan oleh PSCO.
(3) Pemeriksaan kelaiklautan dan keamanan Kapal Asing sebagaimana
dimaksud pada ayat (2), berlaku bagi semua jenis dan ukuran Kapal
Asing di wilayah pelabuhan Indonesia.
54
(4) Pemeriksaan kelaiklautan dan keamanan Kapal Asing sebagaimana
dimaksud pada ayat (3), dilaksanakan untuk memastikan bahwa kapal
memenuhi persyaratan ketentuan konvensi yang telah diratifikasi.
Pasal 4
(1) Pemeriksaan kelaiklautan dan keamanan Kapal Asing dilakukan PSCO
sesuai dengan ketentuan konvensi yang mengatur mengenai PSC.
(2) Pelaksanaan pemeriksaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1),
didasarkan:
a. NIR; dan/atau
b. Clear Grounds.
(3) NIR sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a, dilaksanakan sesuai
dengan tingkatan resiko kapal:
a. low risk level untuk periode waktu 9 (sembilan) sampai 18 (delapan
belas) bulan;
b. standard risk level untuk periode waktu 5 (lima) sampai 8 (delapan)
bulan; atau
c. high risk level untuk periode waktu 2 (dua) sampai 4 (empat) bulan.
(4) Clear Grounds sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b, dapat
berupa:
a. laporan atau pengaduan dari awak kapal, petugas pandu, atau
negara lain;
b. permintaan/informasi dari organisasi dan/atau negara yang
berkepentingan; dan/atau
c. pengamatan fisik oleh Syahbandar dan/atau PSCO terhadap kondisi
umum kapal.
Pasal 10
(1) PSCO melaksanakan fungsi pengawasan terhadap kelaiklautan dan
keamanan Kapal Asing yang masuk di wilayah pelabuhan Indonesia
sesuai dengan ketentuan konvensi yang telah diratifikasi.
Pasal 13
Dalam melaksanakan fungsi, tugas dan peran sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 10, Pasal 11, dan Pasal 12, PSCO mempunyai kewenangan: a.
melakukan pemeriksaan administrasi dan fisik terkait kelaiklautan dan
keamanan Kapal Asing; b. mengambil keputusan melakukan Detention
keberangkatan sekaligus memberikan form Release of Detention kepada
Nakhoda berdasarkan hasil pemeriksaan; c. menginformasikan kepada
Nakhoda dan negara bendera kapal serta Direktorat yang membidangi tugas
tertib pelayaran mengenai Detention keberangkatan dan Release of
Detention kapal

 PSCO melaksanakan pengawasan Negara Pelabuhan dengan berpedoman


pada:
 IMO Resolution A. 1155(32) Procedures for Port State Control, 2021
 TOKYO MOU PSC MANUAL Section 3.28 Guidelines To Port State Control
Officers for Verifying Compliance with The International Convention for The
Control and Management of Ships’ Ballast Water and Sediments, 2004
 MEPC.173(58) Guidelines for ballast water sampling (G2)
 MEPC.252(67) Guidelines for port State control under the BWM Convention
 MEPC.279(70) 2016 Guidelines for approval of ballast water
management systems (G8)

55
 MEPC.297(72)
Amendments to regulation B-3 (Implementation
schedule of ballast water management for ships)
 BWM.2/Circ.42/Rev.2
Guidance on ballast water sampling and analysis for trial use in accordance
with the BWM Convention and Guidelines (G2)

 Biro Klasifikasi Indonesia (BKI) sesuai dengan lingkup kewenangan sebagai


Recognized Organization (RO) menetapkan Instruction to Surveyor Part B-19
"SURVEYS FOR THE ANTI-FOULING SYSTEMS CERTIFICATE" yang
berpedoman pada ketentuan konvensi AFS dan peraturan nasional terkait. BKI
melaksanakan survei dan sertifikasi untuk kapal-kapal 500 GT ke atas yang
melakukan pelayaran internasional serta RO-RO feri domestik.

3.2 Pemeliharaan undang-undang


3.2.1. Harus ada ketentuan dalam undang-undang yang akan
memungkinkannya ditinjau, direvisi, diperbarui, dan diubah bila
diperlukan.

3.2.2. Suatu Pihak harus memastikan bahwa, ketika setiap amandemen Konvensi
BWM atau resolusi baru IMO terkait dengan Konvensi BWM yang
diberlakukan pada Negara, Pemerintah Negara tersebut harus berada
dalam posisi untuk menerapkan dan menegakkan ketentuannya melalui
undang-undang nasional yang sesuai dan untuk menyediakan
infrastruktur implementasi dan penegakan yang diperlukan.

3.2.3. Sesuai dengan ketentuan Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2000 tentang


Perjanjian, pasal 3 "Pemerintah Indonesia menyatakan persetujuannya
untuk terikat oleh perjanjian melalui: tanda tangan, adopsi (ratifikasi,
penerimaan, persetujuan atau aksesi), pertukaran instrumen yang
merupakan perjanjian, atau dengan cara lain jika disetujui.

Konvensi BWM diadopsi melalui Peraturan Presiden Nomor 132 Tahun


2015, sehingga Pemerintah Indonesia terikat untuk sepenuhnya
melaksanakan konvensi, termasuk untuk memperbarui dan mengubah
terkait peraturan nasional jika konvensi tersebut diubah di IMO

Dalam Peraturan Pemerintah Nomor 21 Tahun 2010 tentang Perlindungan


Lingkungan Maritim, menetapkan Kementerian Perhubungan untuk
menetapkan kebijakan Perlindungan Lingkungan Maritim di
BidangPelayaran, dan dalam Peraturan Menteri Number 29 Tahun 2014
tentang Pencegahan Pencemaran di Lingkungan Maritim tersebut,
menunjuk Direktur Jenderal Perhubungan Laut untuk melakukan
pelaksanaan Pencegahan Pencemaran termasuk Ketentuan BWM.

Peraturan Pemerintah Nomor 31 Tahun 2021 tentang Pelayaran memuat


persyaratan tambahan untuk pelayaran kapal domestik di perairan
homogen (Same Risk Area).

Sehingga dapat disimpulkan bahwa otoritas yang bertanggung jawab


untuk memperbaharui dan pengembangan peraturan perundang-
undangan terkait dengan Konvensi BWM adalah Direktorat Jenderal
Perhubungan Laut.

56
REFERENSI:
 KEWAJIBAN UTAMA DIREKTORAT JENDERAL
(1) Direktorat Jenderal sebagai penanggung jawab pelaksanaan kegiatan dan
administrasi Pemerintah pada Organisasi Maritim Internasional yakni
selaku negara bendera (flag state), negara pelabuhan (port state) dan negara
pantai (coastal state), wajib menerapkan dan memberlakukan seluruh
ketentuan dalam konvensi beserta lampirannya secara utuh, penuh dan
lengkapdan mendorong pengembangan lebih lanjut
(2) Seluruh ketentuan dalam Konvensi sebagaimana dimaksud pada ayat (1),
mengutamakan tanggung jawab dan upaya untuk mencegah,
meminimalisir dan mengeliminir secara serius dan tuntas atas segala resiko
yang ditimbulkan dari perpindahan organisme akuatik dan patogen
berbahaya, dilakukan melalui pengendalian dan manajemen Air Balas dan
Sedimennya;
(3) Menerapkan dan memberlakukan seluruh ketentuan dalam Konvensi
beserta lampirannya secara utuh, penuh dan lengkap sebagaimana
dimaksud pada ayat (1), merupakan kewajiban untuk mengupayakan kerja
sama yang meliputi implementasi efektif (prinsip Tujuan
Penerapan/effective implementation), pemenuhan persyaratan (prinsip
Kepatuhan/ compliance) dan penyelenggaraannya (prinsip Penegakan
Konvensi/ enforcement) antara para ilmuwan (scientists), negara bendera
(flag state), negara pelabuhan (port state), negara pantai (coastal state) dan
badan klasifikasi (recognized organization);
(4) Tanggung jawab dan upaya sebagaimana dimaksud pada ayat (2),
merupakan kewajiban yang harus sejalan dan konsisten untuk mengambil
tindakan tegas dalam setiap pelanggaran tanpa kekhawatiran akan dibatasi
oleh hukum internasional dan/atau peraturan perundang-undangan;

3.3 Penalti untuk ketidakpatuhan


3.3.1. Ketika pelanggaran terhadap persyaratan Konvensi terdeteksi, Suatu
Pihak harus dapat:
(a) Melakukan penanganan dan tindak lanjut sesuai dengan hukumnya,
atau
(b) Memberikan kepada Administrasi kapal informasi dan bukti yang
dimiliki terkait dugaan pelanggaran telah terjadi.

3.3.2. Hukuman akan tergantung pada bukti yang ditemukan dan tingkat
keparahan pelanggaran. Undang-undang harus diinformasikan untuk
memungkinkan Contracting Party dalam mengambil langkah-langkah
untuk memperingatkan, menahan atau mengecualikan kapal.
Hukuman harus dikenakan sebagai upaya terakhir atau ketika
ditemukan bahwa kasusnya pelanggarannya parah atau berulang
dimana tindakan korektif dinilai telah gagal. Para pihak dapat
mengembangkan ketentuan untuk menjatuhkan denda sebagai bentuk
sanksi.

3.3.3. Hukuman dapat dikenakan pada kapal untuk hal-hal berikut, tetapi tidak
terbatas pada :
(a) tidak membawa IBWMC yang valid.
(b) tidak memiliki pembebasan yang diperlukan sebagai pengganti IBWMC.
(c) tidak memiliki Ballast Water management Plan (BWMP) yang disetujui
(d) tidak memiliki buku catatan air balas (BWRB) , atau tidak membuat
entri yang diperlukan di dalamnya
57
(e) peralatan di atas kapal ditemukan rusak dan tidak ada tindakan
korektif yang telah dilakukan
(f) rincian peralatan di atas kapal tidak sesuai dengan informasi yang
diberikan pada sertifikat.

3.3.4. Sanksi untuk ketidakpatuhan tertuang dalam peraturan nasional melalui


Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2008 tentang Pelayaran, Peraturan
Pemerintah Nomor 21 Tahun 2010 tentang Perlindungan Lingkungan
Maritim, Peraturan Pemerintah Nomor 15 Tahun 2016 Tentang jenis dan
tarif atas jenis penerimaan negara bukan pajak yang berlaku pada
kementerian perhubungan, Peraturan Pemerintah Nomor 31 Tahun 2021
tentang Penyelenggaraan pada Bidang Pelayaran Pasal 220, Peraturan
Menteri Perhubungan Nomor PM 119 Tahun 2017 tentang Pejabat
Pemeriksa Kelaiklautan Dan Keamanan Kapal Asing, Peraturan Menteri
Perhubungan Nomor PM 110 Tahun 2016 tentang Pejabat Pemeriksa
Keselamatan Kapal dan Peraturan Direktur Jenderal Perhubungan Laut
Nomor: HK.103/1/9/DJPL-18 tentang Pelaksanaan Pemeriksaan
Kelaiklautan dan Keamanan Kapal Asing.

REFERENSI:
 Pelanggaran (Violations)
(1) Setiap pelanggaran terhadap persyaratan dalam Konvensi iniwajib dicegah
dan sanksi wajib ditetapkan sesuai dengan peraturan perundang-
undangan yang berlaku pada Administrasi kapal terkait, dimana pun
pelanggaran terjadi. Jika Administrasi diberitahukan tentang adanya suatu
pelanggaran, Administrasi wajib menyelidiki perihal tersebut dan dapat
meminta Pihak pelapor untuk melengkapi bukti tambahan terhadap
pelanggaran yang dituduhkan. Jika Administrasi merasa puas dengan
cukup bukti yang ada untuk menindaklanjuti penuntutan berkenaan
dengan pelanggaran yang dituduhkan, hal ini wajib menyebabkan
penuntutan untuk dilakukan secepat mungkin, sesuai dengan peraturan
perundang-undangan yang berlaku. Administrasi wajib dengan segera
menginformasikan Pihak yang melaporkan pelanggaran yang dituduhkan,
dan juga kepada Organisasi, tentang tindakan apa pun yang diambil. Jika
Administrasi belum mengambil suatu tindakan apa pun dalam jangka
waktu 1 (satu) tahun setelah menerima informasi tersebut, maka
Administrasi wajib menginformasikan hal tersebut kepada Pihak yang
melaporkan pelanggaran yang dituduhkan.
(2) Pelanggaran apa pun terhadap persyaratan dalam Konvensi ini yang terjadi
dalam yurisdiksi Pihak mana pun wajib dicegah dan sanksi wajib
ditetapkan di bawah peraturan perundang-undangan Pihak tersebut.
Kapan pun pelanggaran tersebut terjadi, Pihak tersebut wajib:
(a) mengusahakan tuntutan dilakukan sesuai dengan peraturan
perundang-undangannya; atau
(b) melengkapi kepada Administrasi kapal informasi dan bukti yang
mungkin dimiliki yang menunjukkan bahwa suatu pelanggaran telah
terjadi.
 Ketentuan nasional terkait pelanggaran
 Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2008 tentang Pelayaran
Pasal 325
(1) Setiap orang yang melakukan pembuangan limbah air balas, kotoran,
sampah atau bahan lain ke perairan di luar ketentuan peraturan
perundang-undangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 229 ayat (1)
58
dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun dan denda
paling banyak Rp300.000.000,00 (tiga ratus juta rupiah).
(2) Jika perbuatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mengakibatkan
rusaknya lingkungan hidup atau tercemarnya lingkungan hidup
dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan
denda paling banyak Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah).
(3) Jika perbuatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mengakibatkan
kematian seseorang dipidana dengan pidana penjara paling lama 15
(lima belas) tahun dan denda paling banyak Rp2.500.000.000,00 (dua
miliar lima ratus juta rupiah).
 Peraturan Pemerintah Nomor 21 Tahun 2010 tentang Perlindungan
Lingkungan Maritim
Pasal 39
(1) Setiap Nahkoda yang tidak melaksanakan kewajibannya sebagaumana
dimaksud dalam pasal 25 huruf a dikenai sanksi administratif berupa
pembekuan sertifikat keahlian pelaut selama 1 (satu) tahun;
(2) Penanggung jawab unit kegiatan lain di perairan yang tidak
melaksanakan kewajibannya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25
huruf a yang mengakibatkan pencemaran lingkungan di perairan
dikenai sanksi administratif sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan;
(3) Setiap orang yang tidak melaksanakan kewajibannya sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 33 ayat (3) dikenai sanksi denda administratif
sebesar Rp30.000.000,00 (tiga puluh juta rupiah).
 Peraturan Menteri Perhubungan Nomor PM 119 Tahun 2017 Tentang
pejabat pemeriksa kelaiklautan dan keamanan kapal asing
Pasal 7(5)
Setiap kapal yang mengajukan permohonan pemeriksaan ulang (follow
up/reinspection) sebagai tindak lanjut hasil temuan berupa Detainable
Deficiency dikenakan tarif Penerimaan Negara Bukan Pajak.
 Peraturan Direktur Jenderal Perhubungan Laut Nomor:
Hk.103/1/9/Djpl-18 Tentang Pelaksanaan Pemeriksaan Kelaiklautan
dan Keamanan Kapal asing
Pasal 5 (3)
Setiap kapal yang mengajukan permohonan Pemeriksaan Ulang (Follow Up/
Reinspection) untuk tindak lanjut hasil pemeriksaan yang dinyatakan
sebagai temuan berupa Detainable Deficiency dikenakan tarif Penerimaan
Negara Bukan Pajak sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan.
 Peraturan Pemerintah Nomor 31 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan
Bidang Pelayaran
Pasal 220
(1) Setiap orang yang melakukan pelanggaran kewajiban dan/atau larangan
yang diatur dalam peraturan perundang-undangan yang terkait dengan
Pelayaran yang menimbulkan kerugian terhadap barang, harta benda,
kecelakaan Kapal dan/atau kerusakan terhadap kesehatan,
keselamatan, keamanan, dan/atau lingkungan namun tidak
menimbulkan korban jiwa dan/atau cedera pada manusia dapat dikenai
sanksi administratif.
(2) Sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdiri atas:
a. peringatan tertulis;
b. tidak diberikan pelayanan;
c. pembekuan kegiatan usaha;
d. pencabutan Perizinan Berusaha; dan/atau
59
e. denda administratif.
(3) Pengenaan sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
dilakukan berdasarkan tingkat kesalahan yang ditemukan pada
kegiatan pengawasan

 Peraturan Pemerintah Nomor 15 Tahun 2016 Tentang jenis dan tarif


atas jenis penerimaan negara bukan pajak yang berlaku pada
kementerian perhubungan
USD 350 per inspeksi ulang atas kekurangan pada item detensi.

3.4 Prosedur Administrasi

Prosedur administrasi dapat mencakup:


3.4.1. Prosedur untuk pembebanan biaya pada layanan.
Harus ada biaya terstruktur untuk kegiatan yang dilakukan oleh
Administrasi. Hal tersebut dapat mencakup tetapi tidak terbatas pada:
(a) Pelaksanaan survei (kecuali dilimpahkan pada RO).
(b) Pelaksanaan survei lanjutan , jika diperlukan.
(c) Pengambilan sampel air balas (beberapa Negara telah menunjuk ahli
independen untuk melakukan pengambilan sampel dan tes).
(d) Penerbitan sertifikat (kecuali dilimpahkan pada RO).
(e) Persetujuan Rencana Pengelolaan Air Ballast (BWMP) kecuali
persetujuan dilimpahkan pada RO.
(f) Perpanjangan sertifikat, jika diizinkan (kecuali diizinkan untuk RO).
(g) Memberikan pembebasan.
(h) Mengubah sertifikat, jika diperlukan (kecuali dilimpahkan pada RO).
(i) Besaran sanksi yang ditentukan dalam paragraf 3.3 dari dokumen ini.
(j) Pengukuhan sertifikat (endorsement)
(k) Penerbitan Sertifikat Persetujuan Tipe (type approval)

REFERENSI:
 Peraturan nasional terkait prosedur pembebanan biaya layanan:
 Peraturan Pemerintah Nomor 15 Tahun 2016 tentang Jenis dan Tarif
atas Jenis Penerimaan Negara Bukan Pajak yang Berlaku pada
Kementerian Perhubungan
Pasal 2 ayat (1) huruf c1
Jenis Penerimaan Negara Bukan Pajak yang berasal dari jasa transportasi
laut berupa pendelegasian yang meliputi pemeriksaan dan sertifikasi
keselamatan, garis muat dan pencegahan pencemaran lingkungan maritim
serta Endorsement

Pasal 11 (1) huruf m:


Tarif atas jenis Penerimaan Negara Bukan Pajak yang berasal dari jasa
transportasi perkeretaapian, jasa transportasi laut dan jasa transportasi
udara berupa pemeriksaan dan Sertifikasi Keselamatan, Garis Muat dan
Pencegahan Pencemaran Lingkungan Maritim serta Endorsement.
 Peraturan Direktur Jenderal Perhubungan Laut Nomor:
Hk.103/1/9/Djpl 18 Tentang Pelaksanaan Pemeriksaan Kelaiklautan
dan Keamanan Kapal Asing
Pasal 5(3)
Setiap kapal yang mengajukan permohonan Pemeriksaan Ulang (Follow

60
Up/Reinspection) untuk tindak lanjut hasil pemeriksaan yang dinyatakan
sebagai temuan berupa Detainable Deficiency dikenakan tarif Penerimaan
Negara Bukan Pajak sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan.
 Biaya survei dan sertifikasi yang dilakukan oleh RO ditentukan melalui
dasar kontrak dengan Pemilik Kapal.

3.4.2. Prosedur komunikasi informasi ke IMO


Administrasi harus memiliki prosedur untuk komunikasi informasi kepada
IMO terkait informasi berikut:
(a) Berdasarkan Artikel 5 ayat 2 dari Konvensi, masing-masing Pihak
diwajibkan untuk memberi tahu IMO untuk transmisi ke Pihak lain
yang terkait, pada setiap kasus di mana fasilitas penerimaan sedimen
yang tersedia berdasarkan Artikel 5 ayat 1 diduga tidak memadai.
(b) setiap persyaratan dan prosedur yang berkaitan dengan pengelolaan
air balas, termasuk undang-undang, peraturan dan pedoman untuk
pelaksanaan Konvensi ini.
(c) ketersediaan dan lokasi fasilitas penerimaan untuk pembuangan air
balas dan sedimen yang aman bagi lingkungan.
(d) setiap persyaratan terkait informasi dari kapal yang tidak dapat
mematuhi ketentuan Konvensi ini karena alasan yang ditentukan
dalam peraturan A-3 dan B-4 dari lampiran (Annex).
(e) setiap pembebasan yang diberikan berdasarkan peraturan A-4,
pembebasan tersebut tidak akan efektif hingga komunikasi dilakukan
ke IMO dan sirkulasi informasi yang relevan kepada para pihak.
(f) setiap pengaturan tambahan yang dilaksanakan oleh Suatu Pihak,
secara individu atau bersama-sama dengan Pihak lain, sesuai dengan
peraturan C-1, langkah-langkah tersebut harus dikomunikasikan
kepada IMO setidaknya enam bulan sebelum tanggal pelaksanaan
tindakan tersebut.
(g) setiap area di bawah yurisdiksi Suatu Pihak, di mana kapal tidak
boleh mengambil air balas karena kondisi yang diketahui, jika
memungkinkan, lokasi alternatif untuk pengambilan harus
disediakan, informasi tersebut harus diketahui oleh para pelaut.
Suatu Pihak juga harus memberi tahu IMO tentang negara-negara
pantai yang berpotensi terkena dampak di mana pengambilan balas
harus dihindari. Pemberitahuan kepada IMO dan setiap Negara
pantai yang berpotensi terkena dampak harus mencakup koordinat
yang tepat dari daerah atau kawasan, dan, jika mungkin, lokasi setiap
daerah alternatif atau daerah untuk pengambilan air balas.
Pemberitahuan tersebut harus mencakup saran kepada kapal yang
perlu mengambil Air Ballast di daerah tersebut, menjelaskan tentang
pengaturan yang dibuat untuk persediaan alternatif. Pihak juga harus
memberi tahu pelaut, IMO, dan negara-negara pantai yang berpotensi
terkena dampak ketika peringatan yang diberikan tidak lagi berlaku.
(h) Laporan persetujuan tipe harus diberikan kepada IMO oleh
Administrasi yang telah menyetujui BWMS. Setelah menerima laporan
persetujuan tipe, IMO akan membuatnya tersedia untuk umum dan
negara Anggota dengan cara yang tepat.
(i) dalam kasus persetujuan tipe yang sepenuhnya didasarkan pada
pengujian yang sudah dilakukan di bawah pengawasan oleh
Administrasi lain, laporan persetujuan tipe harus disiapkan dan
disimpan pada file dan IMO harus diberitahu tentang persetujuan
tersebut.
(j) Dalam kasus BWMS yang sebelumnya disetujui oleh Administrasi
dengan mempertimbangkan Pedoman yang telah direvisi (G8) yang
61
diadopsi oleh resolusi MEPC.174 (58), pabrikan (manufacturer), yang
mengajukan persetujuan tipe yang baru sesuai dengan Kode, hanya
akan diminta untuk menyerahkan kepada Administrasi laporan tes
tambahan dan dokumentasi yang ditetapkan dalam Kode ini.
(k) Jika administrasi negara bendera diberitahu tentang pelanggaran
terhadap persyaratan Konvensi, maka investigasi atas masalah
tersebut harus dilakukan dan dapat meminta Pihak yang melaporkan
untuk memberikan bukti tambahan tentang dugaan pelanggaran
tersebut. Jika Administrasi meyakini bahwa bukti yang memadai telah
tersedia atas dugaan pelanggaran tersebut, proses tindak lanjut harus
diambil sesegera mungkin, sesuai dengan peraturan yang berlaku.
Administrasi harus segera memberi tahu Pihak yang melaporkan
dugaan pelanggaran tersebut, serta IMO, tentang Tindakan-tindakan
yang diambil (lihat Artikel 8).
(l) Setiap Pihak harus melaporkan kepada IMO dan, jika perlu,
memberikan informasi berikut kepada Pihak lain:
(i) setiap persyaratan dan prosedur yang berkaitan dengan
Pengelolaan Air Ballast, termasuk undang-undang, peraturan,
dan pedoman untuk pelaksanaan Konvensi ini.
(ii) ketersediaan dan lokasi fasilitas penerimaan untuk pembuangan
Air Balas dan Sedimen yang aman bagi lingkungan; dan
(iii) setiap persyaratan terkait informasi dari kapal yang tidak dapat
mematuhi ketentuan Konvensi ini untuk alas an-alasan yang
ditentukan dalam peraturan A-3 dan B-4 dari Lampiran Konvensi.

REFERENSI:
 Peraturan nasional terkait prosedur komunikasi informasi:
 Peraturan Presiden Nomor 23 Tahun 2022 Tentang Kementerian
Perhubungan
Pasal 45 (1)
Direktorat Jenderal Perhubungan Laut menjadipenanggung jawab
pelaksanaan kegiatan danadministrasi Pemerintah pada Organisasi Maritim
Internasional dan/ atau lembaga internasional di bidang pelayaran lainnya,
sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
 Peraturan Pemerintah Nomor 31 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan
Bidang Pelayaran
Pasal 139 (3)
Untuk menjamin kelancaran penyampaian limbah atau residu dari Kapal ke
fasilies penampungan limbah di Pelabuhan, Terminal Khusus, dan Terminal
untuk Kepentingan Sendiri termasuk galangan Kapal maka Menteri
membuat basis data fasilitas penampungan limbah di seluruh Pelabuhan
Indonesia yang dapat diakses secara umum dan diinformasikan juga kepada
IMO.

3.4.3. Prosedur untuk menyebarkan informasi ke industri.


Semua Pihak yang menandatangani suatu Konvensi (Contracting Party)
harus memiliki platform untuk mengumumkan informasi kepada industri.
Informasi tersebut biasanya ditampilkan di situs web Contracting Party.
Untuk tujuan praktis, informasi tersebut dapat dibedakan umumnya ke
dalam kategori berikut:
(a) Pemberitahuan Pelayaran (Marine Notice): peringatan navigasi,
peringatan cuaca buruk/ badai yang diperoleh dari kantor
meteorologi, dan peringatan pergerakan kapal khususnya bagi kapal

62
draft yang dalam.
(b) Pemberitahuan Perkapalan (Shipping Notice): pembaharuan tentang
peraturan dan persyaratan wajib yang baru termasuk interpretasi
spesifik oleh Negara Bendera
(c) Surat Edaran Pelabuhan (Port Circular): informasi tentang pekerjaan /
operasi yang mempengaruhi hal-hal mengenai pelayaran dan
operasional di pelabuhan.

REFERENSI:
 Penyebaran peraturan nasional terkait prosedur BWM di atur dalam
Peraturan Presiden (PERPRES) 33 tahun 2012 tentang Jaringan Dokumentasi
dan Informasi Hukum Nasional serta KM 3 Tahun 2000 tentang Jaringan
Dokumentasi dan Informasi Hukum di Lingkungan Departemen Perhubungan,
yaitu melalui JDIH Kemenhub RI (jdih.dephub.go.id/ hubla.dephub.go.id)

3.4.4. Prosedur untuk pendelegasian wewenang


(a) Jika Administrasi dari Negara Bendera memutuskan untuk
mendelegasikan atau memberikan kewenangan fungsi survei dan
sertifikasi kepada surveyor yang dinominasikan atau kepada
organisasi yang diakui olehnya, maka otorisasi tersebut harus
dilakukan sesuai dengan Kode untuk Organisasi yang Diakui (RO
Code) diadopsi oleh Resolusi IMO MSC.349(92).
(b) Pihak yang menandatangani suatu Konvensi (Contracting Party) harus
mengeluarkan instruksi khusus kepada organisasi yang diakui (RO)
yang merinci tindakan yang harus diikuti jika kapal ditemukan
menghadirkan ancaman bahaya yang tidak dapat diterima terhadap
lingkungan perairan.
(c) Contracting Party harus menyediakan semua instrumen yang sesuai
dari hukum nasional dan interpretasi berkenaan ketentuan Konvensi
organisasi yang diakui (RO), dan memberikan keterangan hanya
untuk penerpaan pada kapal yang berhak untuk mengibarkan
benderanya, jika ada standar tambahan dari Administrasi yang
melampaui persyaratan Konvensi.

REFERENSI:
 Peraturan nasional terkait pendelegasian wewenang:
 Keputusan Menteri Perhubungan Nomor KM 112 Tahun 2021 tentang
Penunjukan kepada Biro Klasifikasi Indonesia (Persero) untuk
Melaksanakan Survei dan Sertifikasi Statutoria pada kapal berbendera
Indonesia
DIKTUM KE EMPAT
Perjanjian Kerjasama sebagaimana dimaksud dalam DIKTUM KEDUA
didahuui dengan pelaksanaan assessment dan evaluasi terhadap PT. Biro
Klasifikasi Indonesia (Persero) sesuai dengan persyaratan dan kriteria
penilaian sebagaimana di atur dalam Resolusi IMO MSC 349 (92) Code for
Recognized Organization (RO Code).

3.4.5. Prosedur untuk mengembangkan dan menyebarkan interpretatif dari


peraturan nasional.
Prosedur untuk pengembangan dan penyebarluasan peraturan nasional
yang memuat tentang persyaratan yang ditetapkan oleh Konvensi. Legislasi
nasional tersebut dapat terkait tentang:
63
(a) Pembebasan, perairan di bawah yurisdiksi mereka, yang
pengecualiannya dapat diberikan sesuai dengan peraturan A-4.
(b) Mendefinisikan area pertukaran air balas, khususnya ketika jarak dan
kedalaman diperlukan untuk melakukan pertukaran air balas yang
dipersyaratkan dalam peraturan B-4 tidak bisa dilaksanakan.
(c) Setiap ketentuan tambahan yang diterapkan untuk mencegah,
mengurangi atau menghilangkan, transfer organisme akuatik yang
berbahaya, sesuai dengan peraturan C-1.

REFERENSI:
 Penyebaran peraturan nasional terkait prosedur BWM di atur dalam
Peraturan Presiden (PERPRES) 33 tahun 2012 tentang Jaringan Dokumentasi
dan Informasi Hukum Nasional serta Keputusan Menteri Perhubungan Nomor
KM 3 Tahun 2000 tentang Jaringan Dokumentasi dan Informasi Hukum di
Lingkungan Departemen Perhubungan, yaitu melalui JDIH Kemenhub RI
(jdih.dephub.go.id / hubla.dephub.go.id)
 Berdasarkan amanat Peraturan Presiden Nomor 23 Tahun 2022 Tentang
Kementerian Perhubungan, Direktorat Jenderal Perhubungan Laut
bertanggungjawab untuk pengembangan dan perumusan peraturan nasional
terkait implementasi Konvensi Ballast Water Management

3.4.6. Prosedur untuk evaluasi dan peninjauan


Pihak yang menandatangani suatu Konvensi (Contracting Party) secara
berkala harus mengevaluasi kinerjanya sehubungan dengan pelaksanaan
proses administrasi, prosedur, dan segala sumber daya.

REFERENSI:
 Sesuai dengan ketentuan Peraturan Menteri Perhubungan Nomor PM 67
Tahun 2021 tentang Organisasi dan Tata Cara Kementerian
Perhubungan, di Indonesia dilakukan evaluasi dan kajian terhadap
pelaksanaan proses administrasi dilakukan dengan melakukan
monitoring, evaluasi dan pengendalian oleh Direktorat Jenderal
Perhubungan Laut.
 Keputusan Menteri Perhubungan Nomor KM 112 Tahun 2021 tentang
Penunjukan kepada Biro Klasifikasi Indonesia (Persero) untuk
Melaksanakan Survei dan Sertifikasi Statutoria pada kapal berbendera
Indonesia
DIKTUM KE EMPAT: Perjanjian Kerjasama sebagaimana dimaksud dalam
DIKTUM KEDUA didahuui dengan pelaksanaan assessment dan evaluasi
terhadap PT. Biro Klasifikasi Indonesia (Persero) sesuai dengan persyaratan dan
kriteria penilaian sebagaimana di atur dalam Resolusi IMO MSC 349 (92) Code
for Recognized Organization (RO Code)
Merujuk pada Perjanjian Kerja Sama antara Direktorat Jenderal Perhubungan
Laut Kementerian Perhubungan dan Biro Klasifikasi Indonesia, pendelegasian
kewenangan survey dan sertifikasi statutoria, dilaksanakan dengan mengacu
pada hasil program pengawasan (oversight program) yang dilaksanakan oleh
Direktorat Jenderal Perhubungan Laut setiap 6 (bulan) sekali.

3.4.7. Prosedur untuk pencatatan


Pihak yang menandatangani suatu Konvensi (Contracting Party) harus
memiliki prosedur untuk memastikan catatan kegiatan terkait Pengawasan

64
Kepatuhan dan Penegakan Aturan(PKPA)/ Compliance Monitoring and
Enforcement (CME) dikelola oleh entitas yang ditunjuk dalam organisasi
mereka. Hal ini harus mencakup tetapi tidak terbatas pada :
(a) Inspeksi kapal dan laporan terkait dan temuannya.
(b) Catatan tindakan apa pun yang diambil ketika pelanggaran telah
terdeteksi.
(c) Otorisasi yang diberikan kepada ROs untuk pendelegasian tugas dan
tindakan yang diperlukan ketika pelanggaran telah terdeteksi oleh
ROs.
(d) Catatan mengenai pelatihan yang diberikan kepada petugas Negara
bendera/ negara pelabuhan.
(e) Catatan informasi yang dikomunikasikan kepada komunitas
pelayaran.
(f) Catatan informasi yang dikomunikasikan ke IMO.
(g) Catatan sertifikat yang diterbitkan untuk kapal.
(h) Catatan mengenai Ballast Water management Plan yang telah disetujui
(BWMP).

REFERENSI:
 Sesuai dengan ketentuan Peraturan Menteri Perhubungan Nomor PM 110
Tahun 2016 tentang Pejabat Pemeriksa Keselamatan Kapal, Peraturan
Direktur Jenderal Perhubungan Laut Nomor: Hk.103/1/9/Djpl-18 tentang
Pelaksanaan Pemeriksaan Kelaiklautan dan Keamanan Kapal Asing dan
Peraturan Menteri Perhubungan Nomor PM 29 Tahun 2014 tentang
Pencegahan Pencemaran Lingkungan Maritim, kewenangan terkait pencatatan
adalah Direktorat Jenderal Perhubungan Laut.
 Catatan mengenai inspeksi yang dilakukan oleh RO disimpan dalam sistem
internal RO yaitu One Gate System (OGS).

3.4.8. Prosedur untuk menerbitkan sertifikat dan pembebasan untuk kapal


3.4.8.1 Sertifikat:
Kecuali jika RO telah diberi wewenang untuk melakukannya, Administrasi
harus memiliki prosedur untuk menerbitkan sertifikat yang
dipersyaratkan pada peraturan E-2 Konvensi, setelah selesai
melaksanakan survei yang dipersyaratkan pada peraturan E-1 Konvensi.
(lihat paragraf 3.5.3 dari dokumen ini)
3.4.8.2 Pembebasan:
Administrasi harus memiliki prosedur untuk memberikan pembebasan
terhadap peraturan B-3 atau C-1, di samping pembebasan yang
diperbolehkan pada peraturan lain. Pembebasan tersebut harus sesuai
dengan peraturan A-4 dan harus dicatat dalam buku catatan air balas
(BWRB).
Setiap pembebasan atau relaksasi yang diberikan untuk tujuan kepatuhan
terhadap Konvensi juga harus sesuai dengan undang-undang nasional.
(lihat paragraf 3.1.1 (c) dari document ini).

REFERENSI:
 Di Indonesia prosedur sertifikasi BWM di atur pada Bagian Kedua Paragraf 3
dan Bagian Ketiga Peraturan Menteri Perhubungan Nomor PM 29 Tahun
2014 tentang Pencegahan Pencemaran Lingkungan Maritim.
Survei dan sertifikasi BWM untuk kapal 500 GT ke atas dengan tujuan
65
internasional dilaksanakan oleh RO (BKI) sesuai dengan ketentuan Peraturan
Menteri Perhubungan Nomor PM 112 Tahun 2021 Tentang Pendelegasian
Survey dan Sertifikasi kepada BKI sebagai Organisasi yang Diakui. BKI juga
berwenang untuk memeriksa dan menerbitkan sertifikat RO-RO feri domestik.
RO telah menetapkan Instruction to Surveyor Part B-24 "Surveys of the
International Ballast Water Management Certificate" yang berpedoman pada
ketentuan konvensi AFS dan peraturan nasional terkait.

3.4.9. Prosedur untuk tindakan penegakan hukum


(Lihat paragraf 3.3 dan paragraf 3.6 dari dokumen ini)

3.5 Prosedur implementasi


MEPC.252(67), “Guidelines for Port State Control under the BWM
Convention”, adopted on 17 October 2014 provides basic guidance for
Referensi the conduct of Port State Control (PSC) inspections for the purpose of
verifying compliance with the requirements of the BWM Convention

3.5.1. Prosedur program pengawasan terhadap RO


Di bawah RO Code dan III Code, Negara Bendera diharuskan untuk
membentuk atau berpartisipasi dalam program pengawasan dengan
sumber daya yang memadai untuk memantau, dan berkomunikasi dengan,
organisasi yang diakuinya untuk memastikan bahwa kewajiban
internasionalnya terpenuhi sepenuhnya. Untuk mencapai hal ini pihak
dapat bekerja sama satu sama lain dalam menerima hasil audit atau
program verifikasi yang telah dilakukan agar tidak terjadi duplikasi pada
program pengawasan. Ini sangat membantu dalam kasus-kasus di mana
Contracting Party memiliki sumber daya yang terbatas. Namun perlu
perhatikan bahwa tanggung jawab untuk memastikan bahwa RO
menjalankan fungsinya secara efektif masih di tangan otoritas yang
menyetujui. Program pengawasan akan menentukan apakah RO yang
ditunjuk beroperasi sesuai dengan Kode untuk Organisasi yang Diakui
(Code for Recognized Organizations) yang diadopsi oleh IMO resolution
MSC.349(92).

REFERENSI:
 Di Indonesia pendelegasian wewenang dilakukan sesuai dengan ketentuan
yang tertuang pada Keputusan Menteri Perhubungan Nomor KM 112 Tahun
2021 tentang Penunjukan kepada Biro Klasifikasi Indonesia (Persero) untuk
Melaksanakan Survei dan Sertifikasi Statutoria pada kapal berbendera
Indonesia
 KM 112 Tahun 2021
DIKTUM KE EMPAT: Perjanjian Kerjasama sebagaimana dimaksud dalam
DIKTUM KEDUA didahuui dengan pelaksanaan assessment dan evaluasi
terhadap PT. Biro Klasifikasi Indonesia (Persero) sesuai dengan persyaratan
dan kriteria penilaian sebagaimana di atur dalam Resolusi IMO MSC 349 (92)
Code for Recognized Organization (RO Code)
Merujuk pada Perjanjian Kerja Sama antara Direktorat Jenderal
Perhubungan Laut Kementerian Perhubungan dan Biro Klasifikasi
Indonesia, pendelegasian kewenangan survey dan sertifikasi statutoria,
dilaksanakan dengan mengacu pada hasil program pengawasan (oversight
program) yang dilaksanakan oleh Direktorat Jenderal Perhubungan Laut
setiap 6 (bulan) sekali.

66
3.5.2. Prosedur untuk survei kapal.
3.5.2.1 Kapal dengan 400 tonase kotor dan di atasnya dimana Konvensi ini
berlaku, tidak termasuk platform terapung, FSO dan FPSO, diharuskan
memiliki Sertifikat Manajemen Air Ballast Internasional yang valid
sebagaimana diwajibkan oleh peraturan E-2 atau E-3 sebagaimana
ditetapkan.
3.5.2.2 Survei awal harus dilakukan oleh petugas yang diberi wewenang oleh
Negara atau RO yang diberikan kewenangan oleh Negara sebelum kapal
dioperasikan atau sebelum sertifikat yang diwajibkan berdasarkan
peraturan E-2 atau E-3 diterbitkan untuk pertama kalinya. Survei ini
memverifikasi bahwa Rencana Pengelolaan Air Balas (Ballast Water
Management Plan) yang disyaratkan oleh peraturan B-1 dan seluruh
struktur, peralatan, sistem, pemasangan, pengaturan, dan material atau
proses terkait sepenuhnya sesuai dengan persyaratan Konvensi ini.
3.5.2.3 Survei selanjutnya yang dirinci dalam peraturan E-1 akan mencakup survei
tahunan, survei menengah, survei pembaruan, dan survei tambahan bila
diperlukan. Negara bendera harus memiliki prosedur untuk melakukan
survei ini, sebagai alternatif RO dapat diberi wewenang untuk
melakukannya atas nama Negara bendera. (lihat paragraf 3.11 dari
dokumen ini untuk contoh checklist survei).

REFERENSI:
 KONVENSI BWM
 PERSYARATAN SURVEI DAN SERTIFIKASI UNTUK PENGELOLAAN AIR
BALLAST
Peraturan E-1 (Survei)
(1) Kapal-kapal dengan tonase kotor 400 ke atas yang mana Konvensi ini
berlaku, tidak termasuk anjungan terapung, FSU dan FPSO, harus
tunduk pada survei yang ditentukan di bawah ini:
1. Survey awal sebelum kapal dioperasikan atau sebelum Sertifikat
yang dipersyaratkan berdasarkan regulasi E-2 atau E-3 diterbitkan
untuk pertama kalinya. Survei ini harus memverifikasi bahwa
rencana Pengelolaan Air Ballast yang disyaratkan oleh peraturan B-
1 dan setiap struktur, peralatan, sistem, pemasangan, pengaturan
dan bahan atau proses terkait yang terkait sepenuhnya memenuhi
persyaratan Konvensi ini.
2. Survei pembaruan pada interval yang ditentukan oleh Badan
Pemerintah, tetapi tidak melebihi lima tahun, kecuali jika berlaku
peraturan E-5.2, E-5.5, E-5.6, atau E-5.7. Survei ini harus
memverifikasi bahwa rencana Pengelolaan Air Ballast yang
disyaratkan oleh peraturan B-1 dan setiap struktur, peralatan,
sistem, pemasangan, pengaturan dan bahan atau proses terkait yang
terkait sepenuhnya memenuhi persyaratan yang berlaku dari
Konvensi ini.
3. Survei perantara dalam waktu tiga bulan sebelum atau setelah
tanggal Peringatan kedua atau dalam waktu tiga bulan sebelum atau
setelah tanggal Ulang Tahun ketiga Sertifikat, yang akan
menggantikan salah satu survei tahunan yang ditentukan dalam
paragraf 1.4. Survei perantara harus memastikan bahwa peralatan,
sistem dan proses terkait untuk Pengelolaan Air Ballast sepenuhnya
memenuhi persyaratan yang berlaku dari Lampiran ini dan dalam
keadaan baik. Survey perantara tersebut harus disahkan pada
Sertifikat yang diterbitkan berdasarkan regulasi E-2 atau E-3.
67
4. Survei tahunan dalam waktu tiga bulan sebelum atau setelah setiap
tanggal Hari Jadi, termasuk inspeksi umum terhadap struktur,
setiap peralatan, sistem, perlengkapan, pengaturan dan bahan atau
proses yang terkait dengan rencana Pengelolaan Air Ballast yang
disyaratkan oleh peraturan B-1 untuk memastikan bahwa mereka
telah dipelihara sesuai dengan paragraf 9 dan tetap memuaskan
untuk layanan tersebut untuk apa kapal itu dimaksudkan survei
tahunan harus disahkan pada Sertifikat yang diterbitkan
berdasarkan peraturan E-2 atau E-3.
5. Survey tambahan baik secara umum atau sebagian, sesuai dengan
keadaan, harus dilakukan setelah perubahan, penggantian, atau
perbaikan yang signifikan dari struktur, peralatan, sistem,
perlengkapan, pengaturan dan bahan yang diperlukan untuk
mencapai kepatuhan penuh terhadap Konvensi ini. Survey harus
sedemikian rupa untuk memastikan bahwa setiap perubahan,
penggantian, atau perbaikan yang signifikan telah dilakukan secara
efektif, sehingga kapal memenuhi persyaratan Konvensi ini. Survei
tersebut harus disahkan pada Sertifikat yang diterbitkan
berdasarkan peraturan E-2 atau E-3.
 Prosedur survei dan sertifikasi BWM pada legislasi nasional di atur pada pada
Bagian Kedua Paragraf 3 dan Bagian Ketiga Peraturan Menteri Perhubungan
Nomor PM 29 Tahun 2014 tentang Pencegahan Pencemaran Lingkungan
Maritim.
 Survei dan sertifikasi IBWM untuk kapal 500 GT ke atas dengan tujuan
internasional dilaksanakan oleh RO (BKI) sesuai dengan ketentuan
Peraturan Menteri Perhubungan Nomor PM 112 Tahun 2021 Tentang
Pendelegasian Survey dan Sertifikasi kepada BKI sebagai Organisasi yang
Diakui. BKI juga berwenang untuk memeriksa dan menerbitkan sertifikat
RO-RO feri domestik. RO telah menetapkan Instruction to Surveyor Part B-
24 "Surveys of the International Ballast Water Management Certificate
yang berpedoman pada ketentuan konvensi BWM dan peraturan nasional
terkait.

3.5.3. Prosedur sertifikasi


Kapal dengan tonase kotor 400 dan di atasnya dimana Konvensi ini
berlaku, tidak termasuk platform terapung, FSO dan FPSO, diharuskan
memiliki Sertifikat Manajemen Air Ballast Internasional (International
Ballast Water Management Certificate/ IBWMC) yang valid.
(a) Administrasi harus memastikan bahwa kapal yang berlaku konvensi
BWM diterbitkan sertifikat setelah menyelesaikan survei yang
dilaksanakan sesuai dengan peraturan E-1. Bentuk sertifikat sesuai
dengan Appendix I pada Annex Konvensi.
(b) Sertifikat harus diterbitkan atau dikukuhkan (endorsed) baik oleh
Administrasi atau organisasi yang diakui (RO) yang diberi wewenang
oleh Administrasi setelah melakukan survei yang disyaratkan oleh
peraturan E-1 Konvensi. Atas permintaan Administrasi, Pihak lain juga
dapat diminta untuk memeriksa dan menerbitkan atau mengotorisasi
penerbitan sertifikat kapal. Sertifikat yang diterbitkan dengan cara
ini harus berisi pernyataan yang membuktikan bahwa sertifikat
tersebut telah diterbitkan atas permintaan Administrasi kapal tersebut.
Bagaimanapun, Administrasi memikul tanggung jawab penuh atas
sertifikat tersebut.
(c) Konvensi tidak berlaku untuk kapal-kapal berikut dan oleh karena itu
68
sertifikasi tidak akan diperlukan untuk:
(i) kapal tidak dirancang atau dibangun untuk membawa air balas.
(ii) kapal suatu Pihak yang hanya beroperasi di perairan di bawah
yurisdiksi Pihak tersebut, kecuali Pihak menentukan bahwa
pembuangan Air Balast dari kapal-kapal tersebut akan merusak
atau merusak lingkungan mereka, kesehatan manusia, properti
atau sumber daya, atau negara-negara tetangga atau negara lain
(iii) kapal-kapal suatu Pihak yang hanya beroperasi di perairan di
bawah yurisdiksi Pihak lain, tunduk pada otorisasi Pihak terakhir
untuk pengecualian tersebut. Tidak Ada Pihak akan memberikan
otorisasi tersebut jika hal tersebut akan mengganggu atau merusak
lingkungan, kesehatan manusia, properti atau sumber daya, atau
negara lain yang berdekatan. Setiap Pihak yang tidak memberikan
otorisasi tersebut harus memberitahu Administrasi dari kapal yang
bersangkutan bahwa Konvensi ini berlaku untuk kapal tersebut;
(iv) kapal-kapal yang hanya beroperasi di perairan di bawah yurisdiksi
salah satu Pihak dan di laut lepas, kecuali untuk kapal yang tidak
diberikan izin sesuai dengan ayat (c)(iii), kecuali Pihak tersebut
menentukan bahwa pembuangan Air Balast dari kapal akan
merusak atau merusak lingkungan, kesehatan manusia, harta
benda atau sumber daya, atau negara lain yang berdekatan;
(v) setiap kapal perang, kapal bantu angkatan laut atau kapal lain
yang dimiliki atau dioperasikan oleh suatu Negara dan digunakan,
untuk saat ini, hanya pada layanan non-komersial pemerintah.
Namun, masing-masing Pihak harus memastikan, dengan
mengadopsi langkah-langkah yang tepat yang tidak mengganggu
operasi atau kemampuan operasional kapal yang dimiliki atau
dioperasikan olehnya, dimana kapal tersebut bertindak dengan
cara yang konsisten, sejauh wajar dan dapat dilakukan, terhadap
ketentuan pada Konvensi ini; dan
(vi) kapal dengan air Ballast permanen dalam tangki tertutup yang di
segel, yang tidak boleh dibuang.

REFERENSI:
 Prosedur survei dan sertifikasi BWM pada legislasi nasional di atur pada pada
Bagian Kedua Paragraf 3 dan Bagian Ketiga Peraturan Menteri Nomor 29
Tahun 2014 tentang Pencegahan Pencemaran Lingkungan Maritim.
 Survei dan sertifikasi IBWM untuk kapal 500 GT ke atas dengan tujuan
internasional dilaksanakan oleh RO (BKI) sesuai dengan ketentuan
Peraturan Menteri No 112 Tahun 2021 Tentang Pendelegasian Survey dan
Sertifikasi kepada BKI sebagai Organisasi yang Diakui. BKI juga berwenang
untuk memeriksa dan menerbitkan sertifikat RO-RO feri domestik. RO
telah menetapkan Instruction to Surveyor Part B-24 "Surveys of the
International Ballast Water Management Certificateyang berpedoman pada
ketentuan konvensi BWM dan peraturan nasional terkait.

3.5.4. Prosedur pemeriksaan kepatuhan untuk FSI dan PSC.


Pasal 9 Konvensi menyatakan bahwa kapal yang konvensi ini berlaku, di
setiap pelabuhan atau terminal lepas pantai dari Pihak lain, dapat
dilakukan pemeriksaan oleh petugas yang diberikan wewenang oleh Pihak
tersebut untuk tujuan menentukan apakah kapal tersebut memenuhi
Konvensi ini.
Resolusi MEPC.252(67), “Guidelines for Port State Control under the BWM
69
Convention” , yang diadopsi pada tanggal 17 Oktober 2014 memberikan
panduan dasar untuk pelaksanaan inspeksi Port State Control (PSC) untuk
tujuan memverifikasi kepatuhan terhadap persyaratan Konvensi BWM .
Pejabat yang diberi wewenang oleh Suatu Negara dapat melakukan inspeksi
untuk menentukan kepatuhan terhadap Konvensi, sebagai bagian dari
pelaksanaan pengawasan Negara bendera atau negara pelabuhan mereka
atau pemeriksaan tersebut juga dapat dilakukan ketika telah ada keluhan
dari pihak ketiga yang mengandung indikasi telah terjadi beberapa bentuk
pelanggaran terhadap Konvensi.
Secara umum, ada 4 tingkatan/ level inspeksi, yang terendah adalah yang
cakupan pemeriksaannya paling tidak luas dan terbatas pada pemeriksaan
dokumentasi, semakin mendalam dan terperinci sampai level 4 yang
memerlukan tes terperinci pengambilan sampel air balas yang dilakukan di
fasilitas laboratorium yang telah disetujui.
3.5.4.1 Inspeksi awal
Level 1: "inspeksi awal" berfokus pada sertifikasi dan dokumentasi dan
akan memverifikasi bahwa seorang petugas yang telah dinominasikan
untuk bertanggung jawab atas pengelolaan air balas operasi di atas kapal.
Petugas tersebut harus familar dengan pengoperasian sistem manajemen
air balas (BWMS).
3.5.4.2 Inspeksi yang lebih rinci
Setelah ditemukan “clear ground” bahwa kapal tidak mematuhi Konvensi,
inspeksi/ pemeriksaan yang lebih rinci harus dilakukan, (Artikel 9 (2)).
Level 2 : "inspeksi yang lebih rinci" dilakukan di mana pengoperasian
BWMS harus diuji dan petugas yang diberi wewenang oleh Pihak yang
berwenang mengklarifikasi apakah BWMS telah dioperasikan secara
memadai sesuai dengan Ballast Water management Plan (BWMP) dan
indikator operasional “self monitored” dari system tersebut telah diverifikasi
selama prosedur persetujuan tipe.
 Di mana inspeksi yang lebih rinci akan dilakukan, Negara pelabuhan
akan mengambil langkah-langkah tersebut untuk memastikan kapal
tidak akan membuang air balas sampai dapat melakukannya sesuai
dengan Pasal 9.3 Konvensi BWM dan / atau mempertimbangkan
untuk menerapkan Langkah-langkah kontigensi jika diperlukan.
Petugas yang diberikan wewenang oleh Administrasi dapat memeriksa setiap
elemen dari sistem air balas untuk memeriksa apakah system itu berfungsi
dengan baik. Petugas harus mengidentifikasi kekurangan-kekurangan yang
ada melalui inspeksi terperinci. Jika dia memiliki keraguan tentang
implementasi Konvensi BWM di atas kapal, atau fungsi dari alat pengolahan
air balas, petugas dapat melanjutkan ke tingkatan berikutnya yaitu
pengambilan sampel air balas.
3.5.4.3 Sampling/ Pengambilan Sampel
Level 3: Inspeksi yang lebih rinci dapat mengarah kepada pengambilan
sampel. Petugas harus melakukan analisis indikatif terlebih dahulu, untuk
memastikan apakah kapal memenuhi standar kinerja pengelolaan air
balas yang sesuai peraturan D-2, atau apakah analisis terperinci diperlukan
untuk memastikan kepatuhan.
Pengambilan sampel untuk kepatuhan terhadap peraturan D-2
membutuhkan peralatan dan keterampilan khusus, itu akan menjadi
tanggung jawab otoritas terkait dari Negara pelabuhan untuk menerapkan
Pedoman Ballast Water Sampling (G2) dan panduan terkait yang
70
dikembangkan oleh IMO. Beberapa negara pelabuhan mungkin sudah
memiliki peralatan pengambilan sampel air balas mereka sendiri, petugas
berwenang yang bertanggung jawab atas pengambilan sampel harus
dilatih tentang penggunaan peralatan tersebut. Ada beberapa negara
pelabuhan yang telah mengalihkan tugas uji sampel kepada pihak ketiga.
Negara harus menentukan peran pihak ketiga yang terlibat dan menentukan
pemilihan fasilitas untuk pengetesan. Bagaimanapun, panduan dalam
Pedoman (G2) Konvensi menjadi rujukan utama.
Jumlah air sampling yang akan diambil dan lokasi di kapal yang dipilih
harus sesuai dengan Guidelines for ballast water sampling (G2).
 Setiap upaya harus dilakukan untuk menghindari penundaan yang
tidak semestinya pada kapal.
Jika analisis indikatif menunjukkan bahwa sampel air balas tidak
melebihi standar kinerja D-2, dan peralatan pemantauan menunjukkan
operasi yang benar, maka pengujian dianggap berhasil dan kapal
memenuhi ketentuan.
 Peralatan analisis indikatif yang digunakan harus di setujui oleh
Administrasi.
1.Meskipun tidak terkait secara langsung dengan elemen Port State
Control, IMO Circular BWM.2/Circ.42/Rev.2, dan amandemennya,
Referensi memberikan panduan tentang rekomendasi umum tentang
metodologi dan pendekatan untuk pengambilan sampel dan uji
Analisa untuk kepatuhan terhadap standar yang ditetapkan pada
peraturan D-1 dan D-2 Konvensi BWM.
2.Panduan tentang prosedur pengambilan sampel oleh Para Pihak
dalam menilai kepatuhan terhadap peraturan D-1 atau D-2
disediakan dalam lampiran Annex Guidelines for ballast water
sampling (G2) (Resolution MEPC 173(58))

Jika analisis indikatif menunjukkan hasil yang melebihi standar D2 atau


tidak meyakinkan, analisis terperinci mungkin diperlukan. Diketahui bahwa
hasil analisis indikatif tidak dapat digunakan untuk membenarkan
penundaaan keberangkatan kapal (detention), hasil analisis indikatif dapat
digunakan untuk membenarkan pelaksanaan analisis terperinci (Lihat Level
4).
3.5.4.4 Analisis terperinci untuk memverifikasi kepatuhan terhadap standar D-
2
Level 4: - Seperti yang dinyatakan di bagian sebelumnya, petugas yang
diberi wewenang oleh Administrasi dapat melakukan analisis terperinci
ketika hasil analisis indikatif melebihi standar D2 atau hasil non-konklusif.
Jumlah air sampling yang akan diambil dan lokasi di kapal yang dipilih
harus sesuai dengan Guidelines for ballast water sampling (G2), serta
dokumen panduan terkait yang dikembangkan oleh IMO dari waktu ke
waktu. Mengingat kompleksitas dalam sampel air alami dan olahan,
kelangkaan organisme yang diperlukan dalam sampel yang diolah
berdasarkan peraturan D-2, dan persyaratan biaya dan waktu metode
standar saat ini, kemungkinan beberapa pendekatan baru akan
dikembangkan untuk analisis komposisi, konsentrasi, dan kelangsungan
hidup organisme dalam sampel air balas. Administrasi / Pihak didorong
untuk berbagi informasi tentang metode untuk analisis sampel air balas,
menggunakan fasilitas ilmiah, dan makalah yang didistribusikan melalui

71
Organisasi.
Setiap upaya harus dilakukan untuk menghindari penundaan yang tidak
semestinya pada kapal. Jika kapal diizinkan untuk meninggalkan pelabuhan
sebelum hasil analisis terperinci tersedia dan lalu kemudian hasilnya
menunjukkan bahwa kapal menimbulkan ancaman terhadap lingkungan,
kesehatan manusia, properti atau sumber daya, Otoritas berwenang akan
meminta Negara bendera atau organisasi yang diakui (RO) untuk mengambil
langkah-langkah yang diperlukan, dan juga dapat menginformasikan
hasilnya kepada Negara pelabuhan di perairan tempat kapal beroperasi.
Negara pelabuhan yang mendapat informasi tersebut dapat melarang kapal
tersebut dari pembuangan air balas sesuai dengan Artikel 10 Konvensi
sampai hasilnya tersedia atau potensi ancaman telah dihilangkan. Negara
pelabuhan juga dapat mengizinkan kapal untuk masuk, sementara Negara
bendera atau RO mengambil tindakan yang tepat sampai mereka
membuktikan bahwa ancaman tersebut telah dihilangkan.
Setiap analisis indikatif atau terperinci tidak boleh terlalu menunda operasi,
pergerakan, atau keberangkatan kapal. PSCO tidak semestinya meminta
operasi pembuangan air balas hanya untuk tujuan pengambilan sampel,
mengingat bahwa pembuangan dapat menimbulkan ancaman bagi
keselamatan, lingkungan, kesehatan manusia, properti, atau sumber daya.
Untuk kondisi dan persyaratan terperinci mengenai pelaksanaan inspeksi
PSC yang terkait dengan Konvensi BWM, silakan perhatikan ‘Procedures for
PSCOs verifying compliance with the International Convention for the Control
and Management of Ships’ Ballast Water and Sediments, 2004’yang
dilampirkan sebagai Lampiran 1 pada dokumen ini.

3.5.4.5 Persyaratan khusus dari Konvensi BWM


Tanggal implementasi:
Konvensi BWM, yang mulai berlaku pada 8 September 2017, mengakui dua
standar pengelolaan air balas untuk kapal yang beroperasi. Pertama adalah
standar pertukaran air balas (D-1) yang dapat diterima sampai survei
pembaruan pertama atau kedua dari Sertifikat Pencegahan Pencemaran
Minyak Internasional (IOPPC) di bawah MARPOL Annex I setelah 8
September 2017, sesuai dengan jadwal perubahan dalam peraturan B-3.
Standar kedua adalah standar kinerja air balas (D-2). Kapal baru dengan
peletakan lunas setelah 8 September 2017 dan kapal setelah survei
pembaruan pertama atau kedua IOPPC setelah 8 September 2017 akan
mematuhi standar D-2. Tanggal implementasi dalam regulasi B-3 untuk
standar D-2 dijelaskan dalam diagram di bawah ini:

72
Gambar 5 – Kepatuhan terhadap Konvensi BWM

Menurut gambar 5:
(a) Kapal baru, yang dibangun pada atau setelah 08 September 2017, harus
memenuhi standar D2.
(b) Kapal eksisting (kapal yang dibangun sebelum 08 September 2017)
harus memenuhi setidaknya standar D-1 (pertukaran air balas). Kapal-
kapal tersebut juga dapat memilih untuk memasang sistem pengelolaan
air balas atau memenuhi standar D-2 (discharge), tetapi hal ini tidak
diwajibkan sampai tanggal kepatuhan terkait yang sesuai dengan
tanggal pembaharuan Sertifikat Pencegahan Polusi Minyak Internasional
(IOPPC) mereka.
(c) Survei pembaharuan IOPPC setelah 08 September 2019
Sebuah kapal yang menjalani survei pembaruan IOPPC kapal setelah 8
September 2019 harus memenuhi standar D-2 pada tanggal survei
pembaruan ini.
(d) Survei Pembaruan IOPPC antara 8 September 2017 dan 8 September
2019:
i. Jika survei pembaharuan IOPPC sebelumnya dilaksanakan antara 8
September 2014 dan 8 September 2017, maka kapal harus
mematuhi standar D-2 pada survei pembaruan ini.
ii. Jika survei perpanjangan IOPPC sebelumnya dilaksanakan sebelum
8 September 2014, maka kapal dapat menunggu sampai survei
pembaruan berikutnya (yang akan dilakukan setelah 8 September
2019).
(e) Kapal yang tidak memerlukan IOPPC harus memenuhi standar D2
sesuai dengan persyaratan bendera Negara nya tetapi tidak lebih dari
tanggal 08 September 2024.

73
a) RESOLUTION MEPC.297(72) - Amendments to Regulation B-
3 of the International Convention for the Control and
Referensi Management of Ships' Ballast Water and Sediments, 2004.
(b) RESOLUTION MEPC.298(72) - Determination of the survey
referred to in regulation B-3, as amended, of the BWM
Convention.

Karena 8 September 2019 telah berlalu, secara praktis, semua kapal yang
saat ini menjalani survei pembaruan yang terkait dengan IOPPC harus
memenuhi standar D-2 pada tanggal survei pembaruan tersebut.
Sehubungan dengan kapal-kapal non-Pihak dalam Konvensi BWM, petugas
yang diberi wewenang oleh Negara pelabuhan harus menerapkan
persyaratan yang sama untuk memastikan bahwa tidak ada perlakuan yang
lebih menguntungkan (no more favourable treatment) diberikan kepada
kapal-kapal tersebut.
3.5.4.6 Ringkasan metode pengelolaan air balas:
Standar D-1 :
a) Sebuah kapal yang melakukan pertukaran air balas untuk memenuhi
standar dalam peraturan D-1 harus:
(i) bila memungkinkan, pertukaran air balas tersebut dilakukan
setidaknya 200 mil laut dari daratan terdekat dan di kedalaman air
setidaknya 200 meter, dengan mempertimbangkan Pedoman yang
dikembangkan oleh Organisasi *.
Referensi IMO Guidelines * MEPC288(71) 2017 Guidelines for ballast
water exchange (G6)

(ii) dalam kasus di mana kapal tidak dapat melakukan pertukaran air
balas sesuai dengan ayat (a) (i) di atas, pertukaran air balas tersebut
harus dilakukan dengan mempertimbangkan Pedoman yang
dijelaskan dalam ayat (a) (i) di atas dan sejauh mungkin dari daratan
terdekat, dan dalam semua kasus setidaknya 50 mil laut dari
daratan terdekat dan di kedalaman air setidaknya 200 meter.
b) Di wilayah laut di mana jarak dari daratan terdekat atau kedalaman
tidak memenuhi parameter yang dijelaskan dalam paragraf (a) (i) atau
(a) (ii) di atas, Negara pelabuhan dapat menunjuk area, melalui
konsultasi dengan Negara yang berdekatan atau negara lain,
sebagaimana mestinya, di mana kapal dapat melakukan pertukaran air
balas, dengan mempertimbangkan Pedoman yang dijelaskan dalam
paragraf (a) (i).
c) Sebuah kapal tidak boleh diwajibkan untuk menyimpang dari pelayaran
yang dituju, atau menunda pelayaran, untuk mematuhi persyaratan
tertentu dari ayat (a).
d) Sebuah kapal yang melakukan pertukaran air balas tidak diharuskan
untuk mematuhi paragraf (a) atau (b), sebagaimana mestinya, jika
Nakhoda dengan pertimbangan yang dapat diterima, memutuskan
bahwa pertukaran tersebut akan mengancam keselamatan atau
stabilitas kapal, awaknya, atau penumpangnya dikarenakan cuaca
buruk, desain kapal atau stress, malfungsi peralatan, atau kondisi luar
biasa lainnya.
74
e) Ketika sebuah kapal diminta untuk melakukan pertukaran air balas dan
tidak melakukannya sesuai dengan peraturan ini, alasannya harus
dimasukkan dalam buku catatan air balas.
f) Pedoman pertukaran air balas (G6) menetapkan 3 metode yang diterima
untuk menukar air pemberat, yaitu:
(i) Metode sekuensial: tangki pemberat dikosongkan dan diisi ulang
dengan air balas pengganti untuk mencapai setidaknya 95% dari
pergantian volumetrik air.
(ii) Metode aliran: penggantian air balas dipompa melalui tangki untuk
meluap melalui ventilasi. Tiga kali volume tangki diperlukan untuk
dipompa melalui to mencapai pergantian volumetrik 95%; dan
(iii) Metode pengenceran: air pengganti dipompa ke dalam tangki dari
atas dan dibuang pada tingkat konstan yang sama melalui bagian
bawah tangki, dengan mempertahankan tingkat air yang sama di
dalam tangki. Seperti pada metode ii di atas, 3 kali volume tangki
dipompa untuk mencapai pergantian volumetrik 95%.
g) Semua kapal harus memiliki:
(i) Rencana Pengelolaan Air Balas/ Ballast Water Management Plan
(BWMP)
(ii) Buku catatan air balas/ Ballast Water Record Book (BWRB)
(iii) Sertifikat Internasional Pengelolaan Air Ballast/ International
Ballast Water Management Certificate (IBWMC)
Standar D-2 :
Kepatuhan terhadap standar D-2 akan dipersyaratkan setelah tanggal yang
dijelaskan dalam 3.5.4.5. Konvensi terbuka mengenai bagaimana hal ini
dapat dicapai, seperti dengan membongkar air balas melalui fasilitas
penerimaan (reception facility) (Peraturan B-3.6). Negara pelabuhan harus
memiliki keputusan akhir apakah mereka menerima metode apa pun yang
setara dengan standar D-2. Bagi sebagian besar kapal, instalasi, pengujian
dan commissioning sistem manajemen air balas akan menjadi cara terbaik
untuk mematuhi peraturan D-2. Sistem pengelolaan air balas harus
disetujui oleh Administrasi sesuai dengan standar dalam peraturan D-3.
Setelah 01 Juni 2022, uji commissioning sistem pengelolaan air balas
(BWMS) berdasarkan BWM.2/Circ.70/Rev.1 (direvisi oleh MEPC 75) akan
dipersyaratkan untuk survei awal sebelum penerbitan Sertifikat BWM, atau
saat melakukan survei tambahan untuk retrofit.
Tes commissioning akan mencakup analisis indikatif air balas untuk
memverifikasi bahwa sistem manajemen air balas memenuhi standar D-2.
Persyaratan ini tidak akan berlaku untuk kapal yang sudah memiliki BWMS
terpasang bersertifikat di bawah BWMC. Perlu diperhatikan bahwa beberapa
administrasi bendera mensyaratkan pengujian commissioning menjelang
amandemen BWMC mulai berlaku.
3.5.4.7 Standar persetujuan
BWMS Code diadopsi oleh MEPC 72 dan menyatakan bahwa semua BWMS
yang memiliki persetujuan tipe sesuai dengan Pedoman G8 sebelumnya yang
diadopsi oleh Res. MEPC.174(58) dapat dipasang di atas kapal hingga 28
Oktober 2020. Instalasi kemudian, pada atau setelah 28 Oktober 2020, akan
mematuhi Res. MEPC.279(70) atau BWMS Code yang diadopsi oleh Res.
MEPC.300(72) dan harus memiliki persetujuan tipe terkait.

Tipe standar persetujuan Tanggal instalasi

75
MEPC.174(58) Sebelum 28 Oktober 2020
MePC.279(70), 2016 Guidelines (G8) Pada atau setelah 28 Oktober 2020
MEPC.300(72), BWMS Code Pada atau setelah 28 Oktober 2020

Kepatuhan terhadap standar D-2 setelah tanggal yang dijelaskan dalam


peraturan B-3 yang telah di amandemen dalam praktiknya akan
memerlukan, dalam banyak kasus, pemasangan, pengujian dan
commissioning sistem pengelolaan air balas. Sistem pengelolaan air balas
harus disetujui sesuai dengan standar dalam regulasi D-3.
3.5.4.8 Tanggal instalasi (BWM.2/Circ 66)
Berkenaan dengan batas waktu untuk memasang sistem manajemen air
balas, kata 'dipasang/ installed' berarti tanggal kontrak pengiriman sistem
pengelolaan air balas ke kapal. Apabila tidak adanya tanggal seperti itu, kata
''dipasang/ installed’ berarti tanggal pengiriman sebenarnya sistem
pengelolaan air balas tersebut ke kapal.
Akibatnya, dua penanggalan, yaitu tanggal pengiriman kontraktual atau
tanggal pengiriman yang sebenarnya, dan tanggal commissioning dan
operasional berikutnya, mungkin diperlukan dalam kaitannya dengan
pemasangan sistem pengelolaan air balas.
Referensi:
 PSCO melaksanakan pengawasan Negara Pelabuhan dengan berpedoman
pada:
 IMO Resolution A. 1155(32) Procedures for Port State Control, 2021
 TOKYO MOU PSC MANUAL Section 3.28 Guidelines To Port State Control
Officers for Verifying Compliance with The International Convention for The
Control and Management of Ships’ Ballast Water and Sediments, 2004
 MEPC.173(58) Guidelines for ballast water sampling (G2)
 MEPC.252(67) Guidelines for port State control under the BWM Convention
 MEPC.279(70) 2016 Guidelines for approval of ballast water management
systems (G8)
 MEPC.297(72)
Amendments to regulation B-3 (Implementation schedule of ballast water
management for ships)
 BWM.2/Circ.42/Rev.2
Guidance on ballast water sampling and analysis for trial use in accordance
with the BWM Convention and Guidelines (G2)

3.6 Penegakan Aturan


3.6.1. Tindakan yang harus diambil berdasarkan Konvensi BWM (FSI dan PSC).
3.6.1.1 Artikel 10 Konvensi menyatakan bahwa Para Pihak harus bekerja sama
dalam mendeteksi pelanggaran dan Penegakan Aturanatas ketentuan
Konvensi ini.
3.6.1.2 Jika sebuah kapal terdeteksi telah melanggar Konvensi ini, Pihak bendera
kapal, dan/ atau Pihak di pelabuhan atau terminal lepas pantai tempat
kapal beroperasi, dapat, di samping sanksi yang dijelaskan dalam Artikel
8 (violations) atau tindakan lain yang dijelaskan dalam Artikel 9 (inspeksi
kapal) untuk mengambil langkah-langkah untuk memperingatkan,
menahan, atau menolak kapal.
3.6.1.3 Pihak dimana kapal beroperasi pada pelabuhan atau terminal lepas
pantainya, bagaimanapun, dapat memberikan izin kapal tersebut untuk
76
meninggalkan pelabuhan atau terminal lepas pantai untuk tujuan
pembuangan air balas atau melanjutkan ke galangan perbaikan terdekat
atau fasilitas penerimaan yang tersedia, sehingga hal itu tidak
menimbulkan ancaman bahaya bagi lingkungan, kesehatan manusia,
properti atau sumber daya.
3.6.1.4 Jika pengambilan sampel yang dijelaskan pada Level 3 atau Level 4 di atas
(lihat paragraf 3.5.4.3 dan 3.5.4.4 dari dokumen ini) mengarah pada hasil,
atau mendukung informasi yang diterima dari pelabuhan lain atau
terminal lepas pantai, yang mengindikasikan bahwa kapal menimbulkan
ancaman bagi lingkungan, kesehatan manusia, properti atau sumber
daya, Pihak yang dimana kapal beroperasi di perairannya dapat melarang
kapal tersebut untuk membuang air balas sampai potensi ancaman
dihilangkan dan setiap perbaikan yang mungkin diperlukan untuk fungsi
normal peralatan terkait telah bekerja efektif.

3.6.2. Kekurangan-kekurangan yang dapat mengarah pada penahanan kapal


Dalam menjalankan fungsinya, petugas yang diberi wewenang oleh
Contracting Party harus menggunakan penilaian profesional untuk
menentukan apakah akan menahan kapal sampai setiap kekurangan yang
ditemukan telah diperbaiki atau mengizinkan kapal berlayar dengan
kekurangan, yang tidak menimbulkan ancaman bahaya yang serius
terhadap lingkungan perairan.

3.6.3. Laporan Negara Bendera sebagai tanggapan atas dugaan dan pelanggaran
yang terdeteksi.
3.6.3.1 Dalam hal suatu tindakan telah diambil sehubungan dengan kekurangan
yang menyebabkan penahanan, Negara pelabuhan harus
menginformasikan, secara tertulis, Administrasi kapal yang
bersangkutan, atau jika tidak memungkinkan, kepada konsulat atau
perwakilan diplomatik dari kapal yang bersangkutan, semua hal dimana
tindakan tersebut di anggap perlu. Selain itu, organisasi yang diakui (RO)
yang bertanggung jawab atas penerbitan sertifikat harus diberitahu (Artikel
11.2); dan
3.6.3.2 Dalam keadaan dimana PSCO tidak dapat mengambil tindakan yang
dimaksudkan, atau jika kapal telah diizinkan untuk melanjutkan ke
pelabuhan panggilan berikutnya, otoritas Negara pelabuhan harus
mengkomunikasikan semua kekurangan kepada Negara bendera, kepada
organisasi yang diakui, dan kepada otoritas negara pada pelabuhan
panggilan berikutnya (Article 11.3 of the Convention; Resolution A.1138(31)
Procedures for Port State Control, paragraph 4.1.4)
3.6.3.3 Selain itu, kapal harus diberitahu tentang pelanggaran dan laporan yang
diteruskan ke Negara bendera harus menyertakan bukti terkait (Artikel
11.1)

3.6.4. Untuk kondisi rinci dan persyaratan-persyaratan mengenai kekurangan


yang menyebabkan penahanan dan mekanisme pelaporannya dapat dilihat
pada ‘Procedures for PSCOs verifying compliance with the International
Convention for the Control and Management of Ships’ Ballast Water and
Sediments, 2004’ yang dilampirkan pada Lampiran 1 dokumen ini.

REFERENSI:

77
 PSCO melaksanakan pengawasan Negara Pelabuhan dengan berpedoman
pada:
 IMO Resolution A. 1155(32) Procedures for Port State Control, 2021
 TOKYO MOU PSC MANUAL Section 3.28 Guidelines To Port State Control
Officers for Verifying Compliance with The International Convention for The
Control and Management of Ships’ Ballast Water and Sediments, 2004
 MEPC.173(58) Guidelines for ballast water sampling (G2)
 MEPC.252(67) Guidelines for port State control under the BWM Convention
 MEPC.279(70) 2016 Guidelines for approval of ballast water management
systems (G8)
 MEPC.297(72)
Amendments to regulation B-3 (Implementation schedule of ballast water
management for ships)
 BWM.2/Circ.42/Rev.2
Guidance on ballast water sampling and analysis for trial use in accordance
with the BWM Convention and Guidelines (G2)

3.7 Pemeliharaan catatan


Catatan, sebagaimana mestinya, harus ditetapkan dan dipelihara untuk
memberikan bukti kesesuaian dengan persyaratan dan operasi yang efektif
dari Negara. Catatan harus tetap terbaca, mudah diidentifikasi dan dapat
ditinjau Kembali. Prosedur terdokumentasi harus ditetapkan untuk
menentukan pengawasan yang diperlukan untuk identifikasi, penyimpanan,
perlindungan, peninjauan, waktu retensi serta catatan disposisi.
REFERENSI:
 Ketentuan nasional terkait pemeliharaan catatan
 Peraturan Menteri Perhubungan Nomor PM 29 Tahun 2014 tentang
Pencegahan Pencemaran Lingkungan Maritim
Pasal 85
(1) Sistem informasi pencegahan pencemaran lingkungan maritim
sekurang-kurangnya memuat informasi nama kapal yang telah
memenuhi persyaratan pencegahan pencemaran lingkungan maritim.
(2) Sistem informasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dilakukan
melalui kegiatan:
a. pengumpulan data;
b. pengolahan data;
c. penganalisaan data;
d. penyajian data;
e. penyebaran data dan informasi; dan
f. penyimpanan data dan informasi.

Pasal 86
(1) Pengumpulan data sebagaimana dimaksud dalam Pasal 85 ayat (2) huruf
a, diperoleh dari Kantor Unit Pelaksana Teknis di lingkungan Direktorat
Jenderal.
(2) Pengolahan dan penganalisaan data sebagaimana dimaksud dalam Pasal
85 ayat (2) huruf b dan huruf c, dilakukan melalui:
a. identifikasi;
b. inventarisasi;
c. penelitian;
d. evaluasi;
e. kesimpulan; dan
f. pencatatan.
78
 Peraturan Menteri Perhubungan Nomor PM 119 Tahun 2017 tentang
Pejabat Pemeriksa Kelaiklautan dan Keamanan Kapal Asing
Pasal 8
(1) UPT akan memperoleh self-password dari Direktorat yang membidangi
tugas tertib pelayaran untuk memasukkan data hasil pemeriksaan
kelaiklautan dan keamanan Kapal Asing yang telah dilaksanakan oleh
PSCO yang bertugas melalui sistem informasi berbasis komputer APCIS.
(2) PSCO di UPT yang akan melaksanakan pemeriksaan kelaiklautan dan
keamanan Kapal Asing, sebelum naik ke atas kapal wajib
menginformasikan tentang data dan dasar pemeriksaan kepada
Direktorat yang membidangi tugas tertib pelayaran dan Syahbandar.
(3) PSCO yang telah melaksanakan pemeriksaan kelaiklautan dan
keamanan Kapal Asing sebagaimana dimaksud pada ayat (2), wajib
memberikan laporan hasil pemeriksaan kepada Nakhoda berupa: a.
Notification of Orderly Inspection; b. Form A PSC report; c. Form B PSC
report; d. Notification of Detention bagi Nakhoda; e. Subject Information
Detained of the Vessel bagi negara bendera kapal; dan/atau f. Form
Release of Detention bagi Nakhoda.
(4) Laporan hasil pemeriksaan sebagaimana dimaksud pada ayat (3),
disampaikan paling lambat 2 x 24 (dua kali dua puluh empat) jam
setelah PSCO selesai melaksanakan pemeriksaan kelaiklautan dan
keamanan Kapal Asing kepada Direktorat yang membidangi tugas tertib
pelayaran dan Syahbandar.
(5) Laporan hasil pemeriksaan yang telah diterima Direktorat yang
membidangi tugas tertib pelayaran dan Syahbandar sebagaimana
dimaksud pada ayat (4), akan diverifikasi sebagai dasar dalam
memberikan persetujuan kepada PSCO untuk memasukkan data hasil
pemeriksaan ke Pusat Data PSC wilayah Asia Pasifik melalui sistem
informasi berbasis komputer APCIS.
(6) PSCO memasukkan data hasil pemeriksaan yang telah diverifikasi
melalui sistem informasi berbasis komputer APCIS dan diketahui oleh
Direktorat yang membidangi tugas tertib pelayaran.
(7) PSCO di UPT wajib menyampaikan laporan bulanan pemeriksaan
kelaiklautan dan keamanan Kapal Asing yang telah dilaksanakan
kepada Direktorat yang membidangi tugas tertib pelayaran dan
diketahui oleh Syahbandar dengan menggunakan format contoh 7 yang
tercantum dalam Lampiran I yang merupakan bagian tidak terpisahkan
dari Peraturan Menteri ini.
(8) Setiap pemeriksaan kelaiklautan dan keamanan Kapal Asing yang
dilakukan oleh PSCO dicatat dalam buku catatan kerja PSCO dan
laporan hasil pemeriksaan yang disampaikan tersimpan di dalam suatu
sistem informasi pelaporan berbasis teknologi yang dilaksanakan oleh
Direktur Jenderal.
(9) Buku catatan kerja PSCO sebagaimana dimaksud pada ayat (8), sesuai
dengan format contoh 8 yang tercantum dalam Lampiran I

3.8 Penyebaran informasi


Information yang relevan harus dikomunikasikan kepada semua pemangku
kepentingan sehingga Konvensi ditegakkan dan dipatuhi secara efektif.

3.8.1. Semua Contracting Party harus memiliki platform untuk mengumumkan


informasi pada industri. Seringkali informasi tersebut ditampilkan di situs
web Contracting Party.

79
Untuk tujuan pratikal , informasi tersebut dapat dipisahkan secara umum
menjadi tiga kategori seperti yang ditunjukkan dalam paragraf dalam
paragraf 3.4.3.

3.8.2. Contracting Party yang berkewajiban untuk mengkomunikasikan kepada


IMO daftar surveyor yang dinominasikan atau organisasi yang diakui (RO)
yang berwenang untuk penerapan aturan atas nama Negara. Oleh karena
itu, Administrasi harus memberi tahu IMO tentang tanggung jawab dan
kondisi spesifik dari otoritas yang didelegasikan kepada surveyor yang
dinominasikan atau organisasi yang diakui.

3.8.3. Contracting Party dapat memenuhi kewajiban pelaporannya dengan


mengunggah informasi yang relevan ke IMO GISIS. Modul Ballast Water
Management berisi informasi tentang hal-hal berikut seperti yang
dipersyaratkan oleh Konvensi BWM:
(a) Pembebasan yang diberikan kepada kapal di bawah regulasi A-4;
(b) Area pertukaran air balas yang ditetapkan berdasarkan peraturan B-
4.2;
(c) Langkah-langkah tambahan berdasarkan peraturan C-1; dan
(d) Peringatan tentang pengambilan air balas di daerah-daerah tertentu dan
langkah-langkah negara bendera terkait berdasarkan peraturan C-2.
(e) Sistem pengelolaan air balas yang telah mendapat persetujuan tipe
sesuai dengan Pedoman (G8) atau BWMS Code, pada modul 'Pollution
Prevention Equipment and Anti-fouling Systems'
(f) Titik kontak (Contact Point) untuk penerapan pembebasan sesuai
dengan Pedoman (G7), pada modul ‘Contact Point;
(g) Ketersediaan fasilitas penerimaan (reception facility) air balas dan
sedimen serta dugaan kekurangan terkait fasilitas penerimaan sedimen
sesuai dengan Artikel 5 dan 14, pada modul 'Port Reception Facilities';
dan
(h) Tanggung jawab dan kondisi otoritas yang didelegasikan kepada
surveyor yang dinominasikan atau organisasi yang diakui sesuai
dengan peraturan E-1, dalam modul 'Recognized Organizations'.

3.8.4. Administrasi harus memberikan panduan dan instruksi to RO untuk


melakukan survei dan inspeksi.

3.9 Kualifikasi dan pengalaman surveyor / inspektur

3.9.1. Kualifikasi dan pengalaman


Idealnya seorang petugas penegakan aturan (surveyor atau inspektur) untuk
tujuan PKPA di bawah Konvensi yang dipilih harus memiliki pengetahuan
praktis dan teoritis yang tepat tentang kapal dan pelayaran.
Kode Implementasi Instrumen IMO/IMO Instrumen Implementation Code (III
Code) mensyaratkan bahwa personel yang bertanggung jawab atas, atau
melakukan, survei, inspeksi, dan audit pada kapal dan perusahaan yang
dicakup oleh instrumen wajib internasional yang relevan harus memiliki
minimal sebagai berikut:
(a) kualifikasi yang sesuai dari institusi kelautan atau nautis dan
pengalaman berlayar yang relevan sebagai perwira kapal bersertifikat
yang memegang atau telah memegang sertifikat kompetensi tingkat
manajemen yang valid dan tetap mengikuti perkembangan
pengetahuan teknis tentang kapal dan operasionalnya sejak
80
mendapatkan sertifikat kompetensi mereka; atau
(b) gelar atau setara dari lembaga tersier dalam bidang teknik atau
pengetahuan yang relevan yang diakui oleh Negara bendera; atau
(c) akreditasi sebagai surveyor melalui program pelatihan formal yang
mengarah pada standar pengalaman dan kompetensi surveyor yang
sama seperti yang dipersyaratkan dalam paragraf (a) dan (b) di atas.

Berikut ini adalah contoh kualifikasi yang mungkin dianggap cocok untuk
peran petugas penegakan aturan , surveyor, atau inspektur perkapalan.
(a) Sertifikat Kompetensi sebagai Master Kelas 1 / ANT I (tidak terbatas)
(b) Sertifikat Kompetensi sebagai Perwira Navigasi (tidak terbatas)
(c) Sertifikat Kompetensi sebagai Perwira Mesin Kelas 1/ ATT I
(d) Sertifikat Kompetensi sebagai Perwira Mesin Kelas 2/ ATT II; atau
(e) Gelar atau diploma dalam Arsitek Naval

Namun, ini tidak membatasi Administrasi untuk mengidentifikasi jenis


kualifikasi lain yang menurut mereka sama-sama tepat untuk tugas
tersebut.
Akan sangat menguntungkan jika calon petugas penegakan aturan,
surveyor atau inspektur memiliki pengalaman bekerja di atas kapal dalam
kapasitas senior atau bekerja di industri terkait pelayaran. Diharapkan
pengetahuan dan pengalaman di bidang-bidang berikut :
(a) Pemahaman yang baik tentang peran administrasi maritim dan
industri maritim internasional .
(b) Pengetahuan tentang rezim regulasi keselamatan maritim
internasional.
(c) Memahami prinsip-prinsip berbagai rezim inspeksi kapal.
(d) Pengalaman dalam desain kelautan, konstruksi, perbaikan, operasi,
inspeksi, jaminan kualitas atau bidang terkait maritim lainnya.
(e) Pengalaman dalam manajemen teknis atau operasional kapal

3.9.2. Pelatihan
Sebelum melakukan kegiatan kepatuhan dan penegakan aturan, petugas
penegakan aturan harus menyelesaikan pelatihan komprehensif dalam
prosedur inspeksi kapal termasuk pelatihan praktis di atas kapal .
Ini adalah persyaratan wajib di bawah III Code, negara bendera harus
menerapkan sistem terdokumentasi untuk kualifikasi personil dan terus
memperbarui pengetahuan mereka yang sesuai dengan tugas-tugas yang
mereka berwenang untuk melakukannya.
Selanjutnya, tergantung pada fungsi yang akan dilakukan, kualifikasi harus
mencakup:
(a) pengetahuan tentang aturan dan peraturan internasional dan nasional
yang berlaku untuk kapal, perusahaan, awak kapal, muatan, dan
operasional.
(b) pengetahuan tentang prosedur yang akan diterapkan dalam fungsi
survei, sertifikasi, kontrol, investigasi dan pengawasan .
(c) pemahaman tentang tujuan dan sasaran instrumen internasional dan
nasional yang berhubungan dengan keselamatan maritim dan
perlindungan lingkungan laut, dan program-program terkait.
(d) memahami proses baik di atas kapal dan darat, internal maupun
eksternal.
(e) memiliki kompetensi profesional yang diperlukan untuk melakukan
tugas-tugas yang diberikan secara efektif dan efisien.
(f) kesadaran penuh akan aspek keselamatan dalam segala situasi, juga
untuk keselamatan diri; dan
(g) pelatihan atau pengalaman dalam berbagai tugas yang dilakukan dan
81
juga dalam fungsi yang menjadi aspek penilaian.
REFERENSI:
 Di Indonesia, undang-undang yang memungkinkan untuk Kualifikasi,
Pengalaman, dan Pelatihan Inspektur dilakukan melalui Peraturan Menteri
Perhubungan Nomor PM 119 Tahun 2017 tentang Pejabat Pemeriksa
Kelaiklautan dan Keamanan Kapal Asing Pasal 9, Pasal 14 dan Peraturan
Menteri Perhubungan Nomor PM 110 Tahun 2016 tentang Pejabat Pemeriksa
Keselamatan Kapal Pasal 8 dan Pasal 9.
 Ketentuan Nasional terkait kualifikasi petugas pemeriksa:
 Peraturan Menteri Perhubungan Nomor PM 119 Tahun 2017 tentang Pejabat
Pemeriksa Kelaiklautan dan Keamanan Kapal Asing
Pasal 9
Port State Control Officer (PSCO)
(1) PSCO diangkat oleh Direktur Jenderal setelah memenuhi persyaratan.
(2) Persyaratan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), meliputi:
a. menyelesaikan pendidikan dan pelatihan PSC dan dinyatakan lulus
yang dibuktikan dengan sertifikat;
b. memiliki sertifikat keahlian pelaut ANT-I atau ATT-I atau ijazah
Sarjana Teknik Perkapalan dengan kualifikasi Senior Marine
Inspector;
c. memiliki pengetahuan praktis atau teoritis mengenai kapal dan
pengoperasiannya untuk mengaplikasikan ketentuan konvensi yang
melekat pada Kapal Asing yang diperiksa;
d. memiliki integritas, profesionalitas, dan transparansi; dan
e. memiliki kartu identitas yang dikeluarkan oleh Direktur Jenderal.
(3) PSCO yang telah diangkat oleh Direktur Jenderal sebagaimana
dimaksud pada ayat (1), ditempatkan pada:
a. Direktorat yang membidangi tugas tertib pelayaran; atau
b. pelabuhan yang terbuka untuk perdagangan luar negeri yang telah
ditetapkan.
(4) Direktur Jenderal menyediakan sistem data base dan informasi yang
mudah diakses untuk meregistrasi dan mendata serta memberikan
informasi internal mengenai PSCO.

Pasal 14
Pendidikan Dan Pelatihan
Persyaratan untuk mengikuti pendidikan dan pelatihan PSC, meliputi:
a. Pegawai Negeri Sipil di lingkungan Direktorat Jenderal;
b. usia maksimal 45 (empat puluh lima) tahun;
c. surat usulan dari Syahbandar;
d. memiliki sertifikat Pejabat Pemeriksa Keselamatan Kapal dengan
kualifikasi telah dikukuhkan sebagai Marine Inspector;
e. memiliki sertifikat Kesyahbandaran;
f. memiliki TOEFL minimal 480 (empat ratus delapan puluh) serta mampu
aktif berkomunikasi secara lisan dan tulisan menggunakan bahasa
Inggris dan dibuktikan dengan sertifikat yang berlaku paling lama 2
(dua) tahun sejak tanggal diterbitkan;
g. sehat jasmani dengan bukti surat keterangan sehat dari dokter yang
telah ditunjuk di rumah sakit yang disetujui Direktur Jenderal;
h. tidak buta warna, dengan bukti surat keterangan tidak buta warna dari
dokter;
i. bebas narkoba dan obat terlarang dengan bukti surat keterangan dari
instansi berwenang; dan
j. tidak sedang menjalani sanksi disiplin kepegawaian.
82
 Peraturan Menteri Perhubungan Nomor PM 110 Tahun 2016 tentang Pejabat
Pemeriksa Keselamatan Kapal
Pasal 8
Persyaratan Pejabat Pemeriksa Keselamatan Kapal
(1) Persyaratan untuk menjadi Pejabat Pemeriksa Keselamatan Kapal harus
memenuhi paling sedikit sebagai berikut:
a. memiliki kualifikasi teknis dari Institusi Pendidikan bidang nautika
atau teknika dengan pengalaman berlayar sebagaimana sertifikat
kepelautan yang dimiliki sebagai perwira kapal atau yang memiliki
sertifikat dalam kemampuan manajemen dan yang menguasai
bidang keteknisannya tentang kapal dan pengoperasian kapal sejak
mendapatkan sertifikat kompetensinya; atau
b. Sarjana Teknik Perkapalan atau setara dari institusi bidang teknis
yang diakui oleh Pemerintah.
(2) Persyaratan untuk menjadi Pejabat Pemeriksa Keselamatan Kapal
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a, harus memiliki
pengalaman paling sedikit 3 (tiga) tahun bekerja diatas kapal sebagai
perwira dek atau mesin senior (operatorial level).
(3) Persyaratan untuk menjadi Pejabat Pemeriksa Keselamatan Kapal
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b, harus memiliki
pengalaman kerja ditempat kerja yang sesuai dengan kapasitas
kompetensinya selama paling sedikit 3 (tiga) tahun.
(4) Selain persyaratan sebagamana dimaksud pada ayat (1), ayat (2) dan
ayat (3) harus memiliki pengetahuan praktis dan teoritis tentang kapal,
pengoperasian kapal dan instrumen peraturan perundang-undangan
nasional dan internasional tentang perkapalan.

Pasal 9
Pendidikan Dan Pelatihan Pejabat Pemeriksa Keselamatan Kapal
(1) Untuk dapat mengikuti pendidikan dan pelatihan Pejabat Pemeriksa
Keselamatan Kapal, harus memenuhi persyaratan meliputi:
a. mendapatkan usulan dari kepala kantor ditempat calon Pejabat
Pemeriksa Keselamatan Kapal bertugas;
b. sehat jasmani dan rohani yang dibuktikan dengan surat keterangan
sehat oleh dokter dan/atau rumah sakit Pemerintah yang ditunjuk;
c. surat keterangan dokter tidak buta warna;
d. Pegawai Negeri Sipil atau Aparatur Sipil Negara pada Direktorat
Jenderal dengan masa kerja paling sedikit 2 (dua) tahun;
e. berijazah minimal ANT II/ATT II atau S1 teknis (Perkapalan atau
yang sederajat) dengan pengalaman kerja paling sedikit selama 3
(tiga) tahun;
f. memiliki kepangkatan minimal Penata Muda (III/a) pada saat
pengusulan; dan
g. mampu berbahasa Inggris aktif atau memiliki nilai TOEFL paling
sedikit 450 (empat ratus lima puluh) atau penilaian lain yang setara
dan dibuktikan dengan sertifikat yang berlaku tidak lebih dari 6
(enam) bulan sejak tanggal terbit dihitung hingga saat pengusulan.
(2) Berkas dan dokumen persyaratan untuk mengikuti pendidikan Pejabat
Pemeriksa Keselamatan Kapal sebagaimana sebagaimana maksud pada
ayat (1), harus diperiksa dan mendapatkan persetujuan oleh Direktur
Perkapalan dan Kepelautan.
(3) Data base/file pemenuhan persyaratan untuk setiap personel Pejabat
Pemeriksa Keselamatan Kapal sebagaimana dimaksud pada ayat (1),
ayat (2) dan ayat (3) harus dimiliki Direktorat Jenderal dan dapat diakses

83
sewaktu-waktu sebagai bagian dari obyek pelaksanaan audit.

3.10 Kode etik


Tindakan dan perilaku petugas penegakan aturan adalah inti untuk mencapai
tujuan PKPA. Mereka yang melakukan kontak setiap harinya dengan dunia
pelayaran. Mereka diharapkan untuk menegakkan hukum sesuai dengan
peraturan per-Undang-undangan dan setiap aturan pemerintah dengan cara
yang adil, terbuka, tidak memihak, dan konsisten.
Seorang petugas penegakan aturan harus:
(a) menggunakan penilaian profesional dalam melaksanakan tugas mereka.
respek
(b) memahami bahwa kapal adalah rumah sekaligus tempat kerja bagi awak
kapal dan tidak mengganggu istirahat atau privasi mereka.
(c) mematuhi aturan rumah tangga kapal seperti melepas sepatu kotor atau
pakaian kerja.
(d) tidak berprasangka atas dasar ras, jenis kelamin, agama, atau
kebangsaan awak kapal ketika membuat keputusan dan memperlakukan
semua personel di kapal dengan hormat dan menghormati otoritas
nakhoda atau yang mewakili .
(e) bersikap sopan tetapi profesional dan tegas sesuai kebutuhan.
(f) tidak pernah mengancam, kasar atau diktator atau menggunakan bahasa
yang dapat menyebabkan pertikaian.
(g) bersikap agar diperlakukan dengan sopan dan hormat.
Pelaksanaan inspeksi
(h) mematuhi semua persyaratan kesehatan dan keselamatan kapal dan
administrasi mereka, misalnya mengenakan pakaian pelindung diri, dan
tidak mengambil tindakan apa pun atau menyebabkan tindakan apa pun
yang dapat membahayakan keselamatan petugas penegakan aturan
atau awak kapal.
(i) mematuhi semua persyaratan keamanan kapal dan menunggu untuk
dikawal di setiap area kapal oleh orang yang bertanggung jawab.
(j) menunjukkan kartu identitas mereka kepada Nakhoda atau perwakilan
pemilik pada awal inspeksi.
(k) menjelaskan alasan inspeksi; namun, di mana pemeriksaan dipicu oleh
laporan atau keluhan, maka petugas tidak boleh mengungkapkan
identitas pihak yang mengajukan keluhan.
(l) menerapkan prosedur inspeksi dan persyaratan konvensi secara
konsisten dan profesional dan menafsirkannya secara pragmatis bila
diperlukan.
(m) tidak mencoba menyesatkan kru, misalnya dengan meminta mereka
untuk melakukan hal-hal yang bertentangan dengan konvensi terkait.
(n) meminta kru untuk menunjukkan fungsi peralatan dan kegiatan operasi
, seperti latihan drill dan tidak melakukan tes sendiri.
(o) Mencari saran ketika mereka tidak yakin akan persyaratan atau temuan
mereka daripada membuat keputusan yang tidak tepat, misalnya dengan
berkonsultasi dengan rekan kerja, publikasi, Administrasi bendera, atau
organisasi yang diakui.
(p) mengakomodasi kebutuhan operasional pelabuhan dan kapal, jika
tindakan tersebut aman untuk dilakukan
(q) menerangkan dengan jelas kepada Nakhoda temuan inspeksi dan
tindakan korektif yang diperlukan dan memastikan bahwa laporan
inspeksi dipahami dengan jelas.
(r) Mamberikan laporan inspeksi yang terbaca dan dapat dipahami kepada
Nakhoda sebelum meninggalkan kapal.
Perselisihan
84
(s) menangani setiap ketidaksepakatan atas perlakuan atau temuan
pemeriksaan dengan tenang dan sabar.
(t) Menjelaskan kepada Nakhoda mengenai prosedur pengaduan jika
perselisihan tidak dapat diselesaikan dalam waktu yang cukup.
(u) Memberi tahu Nakhoda atas hak banding dan prosedur terkait kasus
penahanan.
Integritas
(v) independen dan tidak memiliki kepentingan komersial di pelabuhan
mereka dan kapal yang mereka periksa atau perusahaan yang
menyediakan layanan di pelabuhan mereka.
(w) Bebas untuk membuat keputusan berdasarkan temuan inspeksi mereka
dan bukan pada pertimbangan komersial pelabuhan.
(x) selalu mengikuti aturan Administrasi mengenai penerimaan hadiah dan
bantuan, misalnya makanan di atas kapal.
(y) dengan tegas menolak setiap upaya penyuapan dan melaporkan setiap
kasus kepada Otoritas Maritim.
(z) tidak menyalahgunakan wewenang mereka untuk keuntungan, keuangan
atau sebaliknya; dan
Memperbarui pengetahuan
(aa) memperbaharui/ meningkatkan pengetahuan teknis mereka secara
berkala.

REFERENSI:
 Ketentuan terkait Kualifikasi, Pengalaman, dan Pelatihan Petugas Pemeriksa
tertuang di dalam Peraturan Menteri Perhubungan Nomor PM 119 Tahun 2017
tentang Pejabat Pemeriksa Kelaiklautan dan Keamanan Kapal Asing Pasal 25
dan Peraturan Menteri Perhubungan Nomor PM 110 Tahun 2016 tentang
Pejabat Pemeriksa Keselamatan Kapal Pasal 22.
 Ketentuan Nasional terkait Kode Etik:
 Peraturan Menteri Perhubungan Nomor PM 119 Tahun 2017 tentang Pejabat
Pemeriksa Kelaiklautan dan Keamanan Kapal Asing
Pasal 25
(1) Untuk memastikan integritas, profesionalitas dan transparansi dalam
melaksanakan fungsi, tugas dan peran, serta kewenangan, PSCO
dilengkapi dengan kode etik sebagai norma dasar yang wajib dipegang
teguh dan dilaksanakan.
(2) Kode etik PSCO sebagaimana dimaksud pada ayat (1), terdiri atas:
a. bekerja dengan etika, jujur dan tidak bertindak curang;
b. independen dan tidak memiliki kepentingan bisnis di wilayah
pelabuhan dan di kapal yang diperiksa atau di perusahaan yang
menyediakan jasa di wilayah pelabuhan;
c. tidak dapat diintervensi oleh pihak lain untuk membuat keputusan
berdasarkan temuan pemeriksaan;
d. tidak menyalahgunakan kewenangannya untuk mendapatkan
keuntungan pribadi;
e. menerapkan prosedur PSCO dan pengetahuan teknis serta standar
perilaku profesi yang telah ditetapkan serta disetujui oleh anggota
Tokyo MOU;
f. menggunakan penilaian secara profesional dalam melaksanakan
tugasnya;
g. mengisyaratkan keterbukaan dan keadaan yang dapat
dipertanggung jawabkan;
h. menghormati kapal sebagai tempat tinggal dan tempat kerja awak
kapal sehingga tidak mengganggu kenyamanan dan keamanan di
85
atas kapal;
i. tidak memandang ras, jenis kelamin, agama atau kebangsaan awak
kapal saat membuat keputusan dan memperlakukan seluruh awak
kapal dengan hormat;
j. menghormati kewenangan Nakhoda dan wakilnya di atas kapal;
k. bersikap sopan dan tegas;
l. tidak mengancam, kasar atau berkuasa atau menggunakan bahasa
yang dapat menyebabkan ketersinggungan;
m. tidak mengharapkan untuk diperlakukan secara istimewa;
n. tidak mengungkapkan identitas orang yang menyampaikan laporan
keluhan atau pengaduan dan tidak meminta awak kapal untuk
melakukan hal-hal yang bertentangan dengan ketentuan;
o. meminta awak kapal untuk menunjukkan fungsi dan pengoperasian
peralatan di atas kapal serta tidak membuat uji peralatan sendiri;
p. menyarankan Nakhoda mengikuti prosedur pengaduan yang tepat
apabila terjadi perselisihan yang tidak dapat diselesaikan dalam
waktu yang wajar dan menggunakan hak banding dan prosedur yang
terkait Detention keberangkatan kapal; dan
q. menjelaskan dengan baik dan jelas secara tenang dan sabar kepada
Nakhoda terhadap temuan dan perbedaan pendapat yang timbul
serta tindakan perbaikan yang diperlukan untuk memastikan
laporan pemeriksaan dipahami sebelum meninggalkan kapal.

 Peraturan Menteri Perhubungan Nomor PM 110 Tahun 2016 tentang Pejabat


Pemeriksa Keselamatan Kapal
Pasal 22:
Pejabat Pemeriksa Keselamatan Kapal mempunyai kode etik:
a. menjaga keselamatan, keamanan, kesehatan diri dalam melaksanakan
tugasnya;
b. melaksanakan tugas secara profesional di bidang yang sesuai dengan
kompetensinya;
c. tidak mengeluarkan pernyataan publik tanpa izin pimpinan;
d. bertindak secara profesional dan menghindari konflik kepentingan;
e. mampu membangun reputasi baik sebagai pejabat pemeriksa
keselamatan kapal atas nama pribadi maupun atas nama unit pelaksana
teknis Direktorat Jenderal;
f. melakukan tindakan untuk menjaga kehormatan, integritas dan
martabat profesinya;
g. tidak melakukan tindakan kompromi terhadap keselamatan jiwa dan
harta benda atau kerusakan lingkungan atau yang mengarah kepada
penurunan standar teknis kelaiklautan kapal;
h. terus menerus mengembangkan profesionalisme sepanjang kariernya
dan memberikan kesempatan untuk mengembangkan profesionalisme
tersebut dibawah pengawasannya sendiri; dan.
i. tidak melakukan tindakan yang mengarahkan kepada penurunan
reputasi atau yang merugikan citra Direktorat Jenderal.

3.11 Memoar

3.11.1. Peraturan yang harus dipatuhi oleh semua kapal


Peraturan berikut harus dipatuhi oleh semua kapal.
Peraturan B-1 – Rencana Pengelolaan Air balas. (Ballast Water Management
Plan/ BWMP)
Setiap kapal harus memiliki dan menerapkan rencana pengelolaan air balas
(BWMP). Rencana semacam itu harus disetujui oleh Administrasi atau
86
organisasi yang diakui, dengan mempertimbangkan Pedoman yang
dikembangkan oleh Organisasi.
MEPC.127(53), sebagaimana telah diubah oleh “Guidelines for
ballast water management and the development of ballast
Referensi water management plans (G4) yang memberikan panduan dan
format standar untuk rencana pengelolaan air balas (BWMP)

Ballast Water management Plan harus spesifik untuk setiap kapal dan
setidaknya harus:
(a) merinci prosedur keselamatan untuk kapal dan awak kapal yang terkait
dengan pengelolaan air balas seperti yang dipersyaratkan oleh Konvensi
ini
(b) memberikan deskripsi rinci tentang tindakan yang harus diambil untuk
menerapkan persyaratan pengelolaan air balas dan praktik pengelolaan
air balas tambahan sebagaimana diatur dalam Konvensi ini
(c) merinci prosedur pembuangan sedimen ke laut dan ke daratan
(d) termasuk prosedur untuk berkoordinasi dengan otoritas Negara tempat
pembuangan akan dilakukan mengenai pengelolaan air balas kapal yang
melibatkan pembuangan ke laut
(e) menunjuk petugas di atas kapal yang bertugas memastikan bahwa
rencana (BWMP) tersebut dilaksanakan dengan benar
(f) berisi persyaratan pelaporan untuk kapal yang diatur dalam Konvensi
ini; dan
(g) ditulis dalam bahasa kerja kapal. Jika bahasa yang digunakan bukan
bahasa Inggris, Prancis, atau Spanyol, maka terjemahan ke dalam salah
satu bahasa ini harus disediakan.

Regulasi B-2 Buku Catatan Air Balas / Ballast Water Record Book (BWRB)
(a) Setiap kapal harus memiliki buku catatan air balas yang dapat saja
berupa sistem catatan elektronik, atau yang dapat diintegrasikan ke
dalam buku atau sistem catatan lain dan, yang setidaknya akan berisi
informasi yang ditentukan dalam Appendix II Annex Konvensi.
(b) Entri buku catatan air balas harus disimpan di atas kapal untuk jangka
waktu minimum dua tahun setelah entri terakhir telah dibuat dan
setelah itu dalam kendali Perusahaan untuk jangka waktu minimum tiga
tahun.
(c) Dalam hal pembuangan air balas sesuai dengan peraturan A-3, A-4 atau
B-3.6 atau dalam hal pembuangan air balas yang tidak disengaja atau
situasi luar biasa lainnya yang tidak dibebaskan oleh Konvensi ini, entri
harus dibuat dalam buku catatan air balas yang menggambarkan
kondisi, dan alasan, pembuangan.
(d) Buku catatan air balas harus tersedia untuk diperiksa setiap saat yang
wajar dan, dalam kasus kapal tak berawak yang di tarik, dapat disimpan
di kapal penariknya.
(e) Setiap operasi pada air balas harus sepenuhnya dicatat tanpa
penundaan dalam buku catatan air balas. Setiap entri harus
ditandatangani oleh petugas yang bertanggung jawab atas kegiatam
operasional terkait dan setiap halaman yang dibuat harus
ditandatangani oleh Nakhoda. Entri dalam buku catatan air balas
harus dalam bahasa kerja kapal. Jika bahasa itu bukan bahasa Inggris,
Prancis, atau Spanyol, entri tersebut akan berisi terjemahan ke dalam
salah satu bahasa tersebut. Ketika entri dalam bahasa nasional resmi
Negara bendera kapal juga digunakan, ketentuan ini akan berlaku dalam
kasus sengketa atau perselisihan.

87
(f) Petugas berwenang dari Suatu Pihak dapat memeriksa buku catatan air
balas di setiap kapal dimana peraturan ini berlaku saat kapal berada di
pelabuhan atau terminal lepas pantainya, dan dapat membuat salinan
atas entri apa pun, dan mengharuskan Nakhoda untuk menyatakan
bahwa salinan tersebut adalah salinan yang benar. Setiap salinan yang
divalidasi harus diterima dalam proses peradilan apa pun sebagai bukti
kekurangan yang dinyatakan dalam entri. Pemeriksaan buku catatan
air balas dan pengambilan salinan tervalidasi harus dilakukan sesegera
mungkin tanpa menyebabkan penundaan kapal yang tidak perlu.

Buku catatan air balas harus dalam format yang ditentukan yang diatur
Appendix II dari Annex Konvensi dan minimal wajib berisi informasi berikut:
1 Ketika kapal mengisi air 1. Tanggal, waktu dan lokasi pelabuhan
balas atau fasilitas pengisian (nama
pelabuhan atau lintang/ bujur),
kedalaman jika di luar pelabuhan
2. Perkiraan volume pengisian dalam
meter kubik
3. Tanda tangan petugas yang
bertanggung jawab atas operasi balas
2 Setiap kali air balas di 1. Tanggal dan waktu operasi
sirkulasi atau di olah 2. Perkiraan volume yang sirkulasi atau di
untuk tujuan pengelolaan olah (dalam meter kubik)
air balas 3. Apakah dilakukan sesuai dengan
Ballast Water management Plan
4. Tanda tangan petugas yang
bertanggung jawab atas operasi balas
3 Ketika air balas dibuang 1. Tanggal, waktu dan lokasi pelabuhan
ke laut atau fasilitas pembuangan (nama
pelabuhan atau lintang/ bujur )
2. Perkiraan volume pembuangan dalam
meter kubik ditambah volume yang
tersisa dalam meter kubik
3. Apakah Ballast Water management
Plan (BWMP) yang telah disetujui, telah
dilaksanakan sebelum pembuangan
4. Tanda tangan petugas yang
bertanggung jawab atas operasi balas
4 Ketika air balas dibuang 1. Tanggal, waktu, dan lokasi
ke fasilitas penerimaan pengambilan
2. Tanggal, waktu, dan lokasi
pembuangan
3. Pelabuhan atau fasilitas
4. Perkiraan volume yang dikeluarkan
atau diambil, dalam meter kubik
5. Apakah Ballast Water management
Plan yang disetujui telah dilaksanakan
sebelum pembuangan
6. Tanda tangan petugas yang
bertanggung jawab atas operasi balas

88
5 Pengambilan atau 1. Tanggal dan waktu kejadian
pembuangan air balas 2. Pelabuhan atau posisi kapal pada saat
yang tidak disengaja atau kejadian
kondisi luar biasa lainnya 3. Perkiraan volume air balas yang
dibuang
4. Keadaan pengisian, pembuangan,
terbuang, alasan kejadian dan
keterangan umum.
5. Apakah BWMP yang telah disetujui
telah dilaksanakan sebelum
pembuangan
6. Tanda tangan petugas yang
bertanggung jawab atas operasi balas
6 Prosedur operasi --
tambahan dan
keterangan umum

Tabel 1 – Entri yang diperlukan dalam buku catatan air balas

Peraturan E-2, Penerbitan atau Pengesahan Sertifikat


Administrasi harus memastikan bahwa kapal dimana peraturan E-1
diberlakukan, diterbitkan sertifikat setelah berhasil menyelesaikan survei
yang dilakukan sesuai dengan peraturan E- 1. Semua kapal tersebut
diwajibkan untuk memiliki Sertifikat Pengelolaan Air Ballast Internasional
(IBWMC) yang valid berdasarkan Konvensi BWM dalam format yang
ditetapkan dalam Appendix I Annex konvensi.

3.11.2. Checklist untuk inspeksi FSC / PSC.

Checklist berikut dapat diadopsi untuk inspeksi FSC / PSC:

INSPEKSI NEGARA BENDERA/PORT UNTUK KEPATUHAN


KONVENSI BWM.
Nama kapal: Tonase kotor:
Standar kepatuhan D1 O D2 O Pelabuhan Pendaftaran:
Nomor IMO : No. Official:
Tanggal konstruksi: Kapasitas air balas (dalam M3)
Item Komenta Ya Tidak Di atas
r
1 Sertifikat Manajemen Air Ballast Internasional (IBWMC)
a Periksa apakah IBWMC yang valid ada di kapal
jika kapal 400 GT atau lebih
b Tanggal dan tempat penerbitan.
c Tanggal dan tempat pengesahan untuk survei
tahunan, menengah, dan pembaruan.
89
d Penerapan paragraph peraturan D-1, D-2, D-4,
E-1, E-5.8.3, E-5.3
e Apakah sertifikat diterbitkan oleh otoritas yang
tepat atau organisasi yang diberi wewenang oleh
Administrasi dalam format yang terkandung dalam
Appendix I Annex Konvensi BWM?
f Jika sertifikat telah habis masa berlaku, apakah
sertifikat telah diperpanjang sesuai dengan
peraturan E-5.3, E-5.5 atau E-5.6 Annex
Konvensi?
g Jika tanggal ulang tahun dimajukan sesuai
dengan peraturan E-5.8 telah disetujui apakah
pengukuhan telah dibuat oleh Administrasi atau
RO?
Catatan: Jika kapal tidak diterbitkan IBWMC, PSCO
harus mencari klarifikasi mengapa kapal tidak
diterbitkan dengan sertifikat. Deskripsi peralatan
dan pengaturan di atas kapal yang dirancang
untuk mencegah pembuangan air balas yang tidak
terkendali harus disediakan.
2 Rencana Pengelolaan Air Ballast (BWMP)
a Periksa apakah BWMP ada di kapal dan telah
disetujui oleh Negara bendera atau RO atas nama
Negara bendera, dengan mempertimbangkan
Pedoman yang dikembangkan oleh Organisasi.
Lihat Pedoman untuk BWM dan pengembangan
Rencana BWM (G4) (MEPC.127(53), sebagaimana
telah diubah oleh MEPC.306(76)
b Apakah rencana itu khusus untuk kapal?
c Apakah kru mengelola sedimen air balas sesuai
dengan Konvensi dan BWMP?
d Apakah rencana tersebut mencakup setidaknya
aspek-aspek berikut?
i. merinci prosedur keselamatan untuk kapal dan
awak yang terkait dengan pengelolaan air balas
seperti yang dipersyaratkan oleh Konvensi ini
ii. deskripsi rinci tentang tindakan yang harus
diambil untuk menerapkan persyaratan
pengelolaan air balas dan praktik pengelolaan
air balas tambahan sebagaimana diatur dalam
Konvensi ini;
iii. prosedur untuk pembuangan sedimen: di
laut, dan ke fasilitas penerimaan di darat;
iv. prosedur untuk mengkoordinasikan
pengelolaan air balas kapal yang melibatkan
pembuangan ke laut dengan otoritas Negara
ke perairan dimana pembuangan tersebut
akan terjadi;
v. penunjukan petugas di atas kapal yang akan
bertanggung jawab untuk memastikan bahwa
rencana BWMP tersebut dilaksanakan dengan
benar

90
vi. berisi persyaratan pelaporan untuk kapal yang
diatur dalam Konvensi ini; dan hal ini terus
dilaksanakan;
vii. ditulis dalam bahasa kerja kapal. Jika bahasa
yang digunakan bukan bahasa Inggris, Prancis,
atau Spanyol, terjemahan ke dalam salah satu
bahasa ini harus disertakan.
3 Buku Catatan Air Ballast (BWRB)
a Apakah ada BWRB sesuai dengan Peraturan B-
2 Annex Konvensi BWM?
b BWRB setidaknya berisi informasi yang
ditentukan dalam Appendix II Annex Konvensi
BWM, (yang mungkin merupakan sistem catatan
elektronik dan dapat diintegrasikan ke dalam buku
atau sistem catatan lainnya).
c Periksa apakah rincian semua operasi air balas
yang dilakukan dicatat di BWRB bersama dengan
pengecualian yang diberikan. Apakah setiap
operasi pada air balas sepenuhnya dicatat tanpa
penundaan di BWRB?
d Petugas yang bertanggung jawab atas operasi
balas harus menandatangani setiap entri di BWRB
dan Nakhoda harus menandatangani setiap
halaman yang telah selesai.
e Apakah entri di BWRB disimpan di atas kapal
untuk jangka waktu minimum dua tahun setelah
entri terakhir
telah dibuat dan setelah itu dalam kendali
Perusahaan untuk jangka waktu minimum tiga
tahun?
f Apakah entri di BWRB dalam bahasa kerja
kapal? Jika bahasa itu bukan bahasa Inggris,
Prancis atau Spanyol, apakah entri berisi
terjemahan ke dalam salah satu bahasa tersebut?
g Apakah ada entri yang dibuat di BWRB yang
menggambarkan keadaan, dan alasan,
pembuangan air balas sesuai dengan peraturan A-
3 (Pengecualian), A-
4 (Pembebasan) atau B-3.6 (pembuangan ke
fasilitas penerimaan) atau dalam hal pembuangan
air balas yang tidak disengaja atau kondisi luar
biasa lainnya yang tidak dikecualikan oleh
Konvensi ini?
h Apakah BWRB tetap tersedia untuk diperiksa
setiap saat yang wajar dan, dalam kasus kapal tak
berawak di tarik, BWRB tersedia di kapal penarik?
i Apakah Nakhoda dan petugas yang bertugas
menyadari bahwa Petugas berwenang dari Suatu
Pihak dapat memeriksa BWRB di atas kapal mana
pun yang berlaku di Konvensi BWM saat kapal
berada di pelabuhan atau terminal lepas
pantainya, dan dapat membuat salinan entri apa
pun, dan mengharuskan Nakhoda untuk
menyatakan bahwa salinan tersebut adalah
91
salinan yang benar?

j Apakah Nakhoda dan petugas yang bertugas


menyadari bahwa salinan apa pun yang divalidasi
akan diterima dalam proses peradilan apa pun
sebagai bukti kekurangan yang dinyatakan dalam
entri?
Catatan: Pemeriksaan buku catatan air balas dan
pengambilan salinan tervalidasi harus dilakukan
sesegera mungkin tanpa menyebabkan penundaan
kapal yang tidak perlu
4 BWMS (Sistem Pengelolaan Air Ballast)
a Periksa apakah seorang petugas telah ditugaskan
untuk implementasi BWMP yang efektif (Reg. B-
1.5) dan bahwa dia dan awak kapal cukup terlatih
dan familiar dengan BWMS (Reg B-6)
b Periksa Sertifikat Persetujuan Tipe untuk BWMS
(jika dipasang).
c Apakah BWMS dan peralatan terkait dalam kondisi
kerja yang baik dan merupakan proses perawatan
utama yang berfungsi penuh (ini bisa termasuk
filter, pompa, semua lampu UV dan peralatan
pembilasan)?
d Verifikasi bahwa BWMS tidak di bypass
e Apakah BWMS dioperasikan sesuai dengan
instruksi maker?
f Jika diperlukan, apakah zat aktif cukup dipasok di
atas kapal dan apakah mereka dipergunakan ke
BWMS?
g Apakah BWMS dan peralatan terkait dalam
kondisi kerja yang baik (filter, pompa, peralatan
pembilasan)?
Verifikasi bahwa setiap kekurangan atau cacat
yang membahayakan efisiensi BWMS telah
dilaporkan dan dicatat.
h Apakah ada catatan perawatan untuk BWMS?
Tabel 2 – Checklist untuk inspeksi FSC / PSC
Nota:
Setiap kekurangan terkait BWMS yang ditemukan harus dicatat sebagai
kekurangan tunggal dalam laporan inspeksi. PSCO harus menilai semua
kekurangan dan semua observasi selama inspeksi perinci . Jika petugas
masih ragu tentang implementasi Konvensi BWM di atas kapal ketika
penilaian mereka menunjukkan kemungkinan air balas yang dikelola oleh
BWMS tidak memenuhi Konvensi, itu dapat berujung pada pengambilan
sampel.

92
LAPORAN PEMERIKSAAN MANAJEMEN AIR BALLAS
UNTUK PERSYARATAN
KONVENSI INTERNASIONAL UNTUK PENGENDALIAN
DAN MANAJEMEN AIR BALLAS DAN SEDIMEN DARI
KAPAL
2004
Survey of Ballast Water Management for Requirement
under the International Convention for the Control and Management of Ship’s Ballast Water and
Sediments
2004

Pemeriksaan / Survey :

Pemeriksaan Pertama / Initial Survey

Pemeriksaan Tahunan / Annual Survey

Pemeriksaan Antara / Intermediate Survey

Pemeriksaan Pembaharuan / Renewal Survey

NAMA KAPAL :
NAME OF SHIP

TANDA PANGGILAN :
CALL SIGN

NOMOR IMO :
IMO NUMBER

DIREKTORAT PERKAPALAN DAN KEPELAUTAN


DIREKTORAT JENDERAL PERHUBUNGAN LAUT
KEMENTERIAN PERHUBUNGAN

93
I. DATA KAPAL
Particular Ship

Nama Kapal
:
Name of Ship
Angka atau Huruf Pengenal
:
Distinctive Number or Letters / Call Sign
Pelabuhan Pendaftaran
:
Port of Registry
Tonase Kotor
:
Gross Tonnage (GT)
Nomor IMO
:
IMO Number
Tanggal Peletakan Lunas
:
Date of Keel Laying
Kapasitas Tangki Air Ballas (m3)
:
Ballast Water Capacity ( m3)
Ukuran Kapal (P/L/T)
:
Ship Dimension (l/w/h)
Bobot Mati Kapal
:
Deadweight
Daerah Pelayaran
:
Trading Area

II. METODE PENGELOLAAN AIR BALLAST


Ballast Water Management method(s)

Metode Pengelolaan Air Ballast utama yang digunakan pada kapal ini adalah :
The principal Ballast Water Management method(s) employed on this ship is/are :
Sesuai dengan Peraturan D-1
In accordance with Regulation D-1
Sesuai dengan Peraturan D-2
In accordance with Regulation D-2
Sesuai dengan Peraturan D-4
In accordance with Regulation D-4

94
III. PENERAPAN PERATURAN D-1
Appliying D-1 Regulation

Uraian berikut harus dikonfirmasi pada saat survei, sesuai kebutuhan :


Following items are to be confirmed at the survey, as applicable :
A. Survei awal Peraturan D-1 (Standar pertukaran air ballast)
Initial survey of Regulation D-1 (Ballast Water exchange standard)
Metoda Pengelolaan Air Ballas digunakan:
Methode of Ballast Water Management used :
I. Dokumentasi
Documentation
Telah dikonfirmasi bahwa dokumen berikut telah disimpan di kapal :
It is confirmed that following documents have been kept on board :
(1) Rencana Pengelolaan Air Ballas yang disetujui untuk Pertukaran Air Balas
Approved Ballast Water Management Plan for Ballast Water Exchange
(2) Buku Catatan Air Ballas.
Ballast Water Record Book.
II. Pemeriksaan
Survey
(1) Pemeriksaan umum sistem perpipaan Air Ballast, pompa balast dan pipa
udara dan pipa pengukur tangki air ballast.
The survey of the general examination of Ballast Water piping system, ballast
pumps and air pipes and sounding pipes of ballast water tank.

IV. PENERAPAN PERATURAN D-2


Appliying D-2 Regulation

Tanggal dimana hanya Peraturan D-2 yang diterapkan :


Date on which only Regulation D-2 applied :
Pemeriksaan pertama sertifikat IOPP setelah masuknya Konvensi
First renewal survey of IOPP certificate after the Convention entry to
force

A. Pemeriksaan Pertama Peraturan D-2 (Standar Kinerja Air Ballast)


Initial Survey of Regulation D-2 (Ballast Water performance standard)
Data Utama Sistem Pengelolaan Air
Ballast (BWMS)
:
Particular of Ballast Water Management
System (BWMS)
Metode Pengelolaan Air Ballast yang
digunakan
:
Method of Ballast Water Management
used

95
Tanggal pemasangan
:
Date installed
Nama pabrik pembuat
:
Name of manufacturer

96
Tipe
:
Type
Kapasitas
:
Capacity
Disetujui oleh
:
Approved by
Nomor sertifikat dan / atau tanggal
:
Certificate number and/or date
I. Dokumentasi
I. Documentation
Telah dikonfirmasi bahwa dokumen berikut telah disimpan di kapal :
It is confirmed that the following documents have been kept on board :

(1) Rencana Pengelolaan Air Pengaman yang Disetujui untuk kinerja air ballast, dan
Buku Catatan Air Ballast.
Approved Ballast Water Management Plan for ballast water performance, and
Ballast Water Record Book.
(2) Salinan Sertifikat Persetujuan Tipe BWMS (G8) yang dikeluarkan oleh
administrasi bendera atau organisasi yang dianggap sesuai dengan administrasi
bendera.
A copy of the Type Approval Certificate of the BWMS (G8) issued by the flag
administration or organization which is considered as appropriate by flag
administration.
(3) Pernyataan untuk memastikan bahwa komponen listrik dan elektronik BWMS telah
diuji jenisnya sesuai dengan G8 yang ditentukan untuk pengujian lingkungan.
A statement to confirm that the electrical and electronic components of the BWMS
have been type-tested in accordance with G8 which is the specified for
environmental testing.
(4) Buku pedoman peralatan untuk komponen utama BWMS.
Equipment manuals for major components of BWMS.
(5) Buku petunjuk operasi dan teknis untuk BWMS yang spesifik untuk kapal.
An operations and technical manual for the BWMS specific to the ship.
(6) Sistem perpipaan air balas
Water ballast piping system.
(7) Prosedur pengoperasian BWMS.
BWMS operational procedures.
(8) Prosedur kalibrasi
Calibration procedures.
(9) Buku manual yang berkaitan dengan penggunaan dan penyimpanan zat aktif dan
zat kimia yang digunakan untuk Pengolahan Air Ballas
A manual with regard to use and storage of the active substances and chemical
substances used for Ballast Water Treatment.

97
II. Pemeriksaan
II. Survey
(1) Tata letak aktual sistem perpipaan air ballast, termasuk pompa ballast dan BWMS
serta fasilitas pengambilan contoh dengan mengacu pada rencana dan dokumen
yang disetujui.
Actual layout of ballast water piping system, including ballast pumps and BWMS as
well as sampling facilities with reference to approved plans and documents.
(2) Uji coba BWMS (secara umum, pengujian ini harus mencakup operasi ballast dan
deballast agar tidak berada dibawah kapasitas pemeringkatan.
Operation test of BWMS (in general, this test should include both ballast and
deballast operation lest under rating capacity.
(3) Konfirmasi penyimpanan dan pemeliharaan zat kimia yang tepat yang digunakan
untuk BWMS.
Confirmation of proper storage and maintenance of chemical substance used for
BWMS.
(4) Konfirmasi pada perangkat BWMS dan Sertifikat Persetujuan Tipenya.
Confirmation of on board BWMS and its Type Approval Certificate.
(5) Pengawasan stok barang habis pakai yang diperlukan dan pemantauan untuk uji
operasi dan catatan hasilnya, jika perangkat perekaman Pengelolaan Ballast Water
terpasang.
Necessary stocks of consumables for the control and monitoring devices for operation
test and the record of its result, if the Ballast Water Management recording device is
installed.
(6) Untuk BWMS yang memproduksi produk sisa seperti sedimen dalam operasinya,
penyimpanan fasilitas yang secara eksklusif digunakan untuk zat ini.
For BWMS that produce residual products such as sediments in its operations,
storage of facilities exclusively used for these substances.

98
DATA TANGKI BALLAST
Data of Ballast Tanks
Kapasitas Setiap Tangki Balas
Capacity of Each Ballast Tank
Tanki/ Tank Kapasitas/ Capacity Tanki/ Tank Kapasitas/ Capacity

Total :

Kapasitas Tangki Balas Permanen


Capacity of Permanent Ballast Tank
Tanki/ Tank Kapasitas/ Capacity Tanki/ Tank Kapasitas/ Capacity

Total :

Tangki Tolak Bara Bersih (CBT) :


Dedicated Clean Ballast Tank (CBT)
Tanki/ Tank Kapasitas/ Capacity Tanki/ Tank Kapasitas/ Capacity

Total :

99
CATATAN :
Notes

100
REKOMENDATION :
RECOMENDATION

Mengetahui : Diperiksa di :
Acknowledge Pada Tanggal :

101

Anda mungkin juga menyukai