Anda di halaman 1dari 108

REPRESENTASI FEMINISME DALAM FILM SITI

( Analisis Semiotika Roland Barthes)

SKRIPSI

Diajukan kepada Sekolah Tinggi Ilmu Komunikasi “Almamater


Wartawan Surabaya” untuk Memenuhi Salah Satu Persyaratan dalam
Menyelesaikan Program Sarjana Ilmu Komunikasi

Disusun Oleh :

JULIA EKAWATI

12.31.0046

BROADCASTING

SEKOLAH TINGGI ILMU KOMUNIKASI

ALMAMATER WARTAWAN SURABAYA

( STIKOSA – AWS )
ABSTRAKSI

Semakin berkembangnya dunia perfilman semakin beraneka ragam pula


film yang diproduksi dengan gaya yang berbeda-beda. Secara garis besar, film
dapat diklasifikasikan berdasarkan cerita, orientasi pembuatan, dan berdasarkan
genre. Film kemudian diperkaya dengan unsur sinematografi seperti efek suara,
musik, cahaya, dan skenario yang memikat. Wajah perempuan dalam media
cenderung menggambarkan perempuan sebagai korban, pihak yang lemah, tak
berdaya, atau menjadi korban kriminalitas karena sikapnya yang mengundang atau
memancing terjadinya kriminalitas, atau sebagai obyek seksual. Penggambaran
dalam cerita-ceritanya sering kali stereotipe. Ideologi patriarki masih sangat kuat
mendominasi posisi perempuan, baik sebagai individu maupun kelompok. Pada
dasarnya, perempuan merupakan suatu pesan yang dikomunikasikan dalam budaya
patriarki. Perempuan “dituliskan” melalui pembentukan stereotip dan mitos bahwa
ia adalah suatu tanda yang dipertukarkan, begitulah akhirnya perempuan berfungsi
dalam bentuk-bentuk budaya dominan.
Diantara sekian banyak gambaran realitas yang ter-konstruksi dengan baik
dalam sebuah film, peneliti akan berfokus pada bagaimana representasi feminisme
dalam film Siti. Feminisme merupakan suatu upaya dalam menuntut persamaan
gender dalam masyarakat. Film Siti merepresentasikan bagaimana kehidupan sosial
perempuan di Indonesia dan kehidupan para pekerja malam. Selain itu film ini
merepresentasikan kekuatan dalam diri perempuan berupa kekuatan fisik dan
pikiran. Penelitian ini menggunakan pendekatan analisis Semiotika Roland Barthes,
dan penelitian komunikasi kualitatif, dengan melihat makna simbol dalam adegan,
denotasi, konotasi dan mitos dalam film Siti. Hasil dari penelitian ini, Film Siti
termasuk ke dalam feminisme Marxis, Aliran feminis ini menganggap bahwa
urusan mengelola rumah tangga ditransformasikan menjadi industri sosial serta
urusan menjaga dan mendidik anak menjadi urusan publik, maka perempuan tidak
akan mencapai kesetaraan yang sejati. Asumsinya sumber penindasan perempuan
berasal dari eksploitasi kelas dan cara produksi

Kata Kunci: Film Siti, Feminisme, Semiotika, Roland Barthes


DAFTAR ISI

Persetujuan Pembimbing Skripsi ............................................................................ i


Berita Acara Bimbingan Skripsi ........................................................................... ii
Pengesahan Tim Penguji ........................................................................................ iii
Pernyataan Orisinalitas .......................................................................................... iv
Motto dan Persembahan .......................................................................................... v
Kata Pengantar ........................................................................................................ vi
Abstraksi ................................................................................................................. viii

BAB I : PENDAHULUAN
1.1 LATAR BELAKANG MASALAH ............................................................. 1
1.2 RUMUSAN MASALAH ............................................................................ 7
1.3 TUJUAN PENELITIAN .............................................................................. 7
1.4 MANFAAT PENELITIAN ......................................................................... 7
1.4.1 Manfaat Teoritis ................................................................................... 7
1.4.2 Manfaat Praktis ..................................................................................... 7
1.5 KAJIAN PUSTAKA ................................................................................... 8
1.5.1 Komunikasi Massa ............................................................................... 8
1.5.2 Film....................................................................................................... 10
1.5.3 Film Sebagai Media Komunikasi Massa ............................................. 11
1.5.4 Kajian Media dan Budaya .................................................................... 14
1.5.5 Representasi .......................................................................................... 17
1.5.6 Feminisme ............................................................................................ 19
1.5.7 Semiotika .............................................................................................. 23
1.5.8 Semiotika Roland Barthes .................................................................... 24
1.6 KERANGKA BERFIKIR ............................................................................ 29
1.7 METODOLOGI PENELITIAN ................................................................... 30
1.7.1 Jenis dan Tipe Penelitian ...................................................................... 30
1.7.2 Unit Analisis ......................................................................................... 30
1.7.3 Jenis dan Sumber Data ........................................................................ 30
1.7.4 Teknik Pengumpulan Data .................................................................. 31
1.7.5 Teknik Analisis dan Interpretasi Data .................................................. 31

BAB II : DESKRIPSI OBYEK PENELITIAN


2.1 GambaranUmum ..................................................................................... 34
2.1.1 Siti ............................................................................................... 34
2.1.2 Sinopsis ....................................................................................... 35
2.1.3 Penayangan Perdana ................................................................... 37
2.1.4 Penghargaan ................................................................................ 37
2.1.5 Scene Objek Penelitian ............................................................... 39

BAB III : ANALISIA DATA


3.1 Penyajian Data ............................................................................................. 42
3.2 Hasil dan Analisis Penelitian ....................................................................... 94

BAB IV : PENUTUP
4.1 Kesimpulan .................................................................................................. 97
4.2 Saran ............................................................................................................. 98
4.2.1 Kepada Para Pelaku Film Indonesia ........................................... 98
4.2.2 Kepada Penonton Film di Indonesia ........................................... 99
4.2.3 Saran Untuk Penelitian Selanjutnya ........................................... 99
Daftar Pustaka ........................................................................................................... 100
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 LATAR BELAKANG MASALAH

Film Indonesia saat ini umumnya menimbulkan kecemasan dan

perhatian masyarakat ketika disajikan dalam film adalah adegan-adegan

seks dan kekerasan dengan wanita sebagai objeknya. Seringkali kecemasan

masyarakat berasal dari keyakinan bahwa isi seperti itu mempunyai efek

moral, psikologis, dan sosial yang merugikan, khususnya kepada generasi

muda, dan menimbulkan perilaku anti sosial (Wright,1986:173-174).

Terdapat beberapa karakteristik kunci yang dapat membantu

mengenali film perempuan. Salah satunya dikutip Joanne Hollows

(Feminism, Femininity and Popular Culture, 2000) dari kategori yang

dibuat Maria La Place. La Place menyebutkan, “film perempuan dibedakan

berdasarkan protagonis perempuannya, sudut pandang perempuan, dan

naratifnya yang umumnya berputar sekitar pengalaman perempuan:

keluarga, ruang domestik, romantisme karena di mana cinta, emosi, dan

pengalaman mendapatkan tempat lebih dari aksi dan peristiwa. Satu aspek

yang paling penting adalah menempatkan dalam posisi tertinggi

keserasiannya dengan relasi antara perempuan”. Perempuan dalam media

massa, pada dasarnya berbicara tentang representasi perempuan dalam

media massa, baik media cetak, media elektronik, maupun berbagai bentuk

multimedia. Media massa sejauh ini menjadikan wanita sebagai obyek, baik

di dalam pemberitaan, iklan komersial, maupun film. Wajah perempuan

1
dalam media cenderung menggambarkan perempuan sebagai korban, pihak

yang lemah, tak berdaya, atau menjadi korban kriminalitas karena sikapnya

yang mengundang atau memancing terjadinya kriminalitas, atau sebagai

obyek seksual. Penggambaran dalam cerita-ceritanya seringkali mejadi

stereotipe. Perempuan digambarkan tak berdaya, lemah, membutuhkan

perlindungan, dan korban kekerasan. Satu problem pokok yang

menampilkan sosok perempuan adalah keberadaan perempuan dalam dunia

laki-laki. Hal tersebut ditandai oleh pelecehan, diskriminasi,

ketidakberdayaan, dan dominasi oleh laki-laki. Ideologi patriarki masih

sangat kuat mendominasi posisi perempuan, baik sebagai individu maupun

kelompok. Dalam keadaan demikian tidak mengherankan bahwa masih

banyak terjadi pelecehan terhadap derajat maupun martabat perempuan.

Pada dasarnya, perempuan merupakan suatu pesan yang dikomunikasikan

dalam budaya patriarki. Perempuan “dituliskan” melalui pembentukan

stereotip dan mitos bahwa ia adalah suatu tanda yang dipertukarkan,

begitulah akhirnya perempuan berfungsi dalam bentuk-bentuk budaya

dominan. Karena itu, dalam bidang seni dan juga dalam teks film,

representasi perempuan terutama bukanlah suatu tema atau persoalan

sosiologis, seperti sering dipikirkan, melainkan sebuah tanda yang sedang

dikomunikasikan (Johnston, 1975:124).

Siti merupakan salah satu film fiksi karya anak bangsa yaitu Eddie

Cahyono, Sebagai film independen, awalnya Siti tidak ditayangkan melalui

bioskop berjaringan di seluruh Indonesia, namun justru pertama kali dirilis

dalam Jogja-Netpac Asian Film Festival 2014. Setelah mendapatkan

2
penghargaan di Festival Film Indonesia (FFI) 2015, barulah film ini

ditayangkan di bioskop.

Film ini sangat menarik untuk diteliti, tidak seperti film lain yang

konvensional. Salah satu keunggulan dalam film ini adalah berjenis film

monokrom. Pemilihan warna hitam putih dalam keseluruhan film ini,

sengaja dilakukan untuk memvisualisasikan betapa tidak berwarna-nya

hidup seorang Siti. Sutradara dan produser juga membuat keputusan untuk

mengubah rasio gambar dari 16:9 menjadi 4:3. Hal tersebut mempunyai

maksud untuk mendekatkan penonton dalam memaknai kehidupan Siti,

sekaligus menonjolkan terbatasnya pilihan-pilihan hidup Siti di film itu.

Pesan yang disampaikan dalam film ini adalah supaya perempuan tegas

untuk menentukan sikap dan mempunyai keberanian untuk memilih.

Film Siti ini terdapat juga unsur–unsur yang erat kaitannya dengan

ilmu komunikasi, diantaranya adalah sutradara dan produser sebagai

komunikator, penonton sebagai komunikan, film sebagai media, proses

pemaknaan dalam film tersebut sebagai pesan, dan efek atau timbal

balikknya adalah merubah cara berpikir dan perilaku para penonton dalam

jangka waktu yang lama (Effendy, 2002:208), dan pengaruh film yang dapat

membentuk budaya massa (McQuail, 1987:13). Hal ini bisa berbahaya

untuk tipe penonton yang selalu menelan mentah–mentah pemaknaan pesan

yang ada dalam sebuah film, karena jika diamati lebih dalam, film

mempunyai dua macam pemaknaan pesan, yang pertama adalah denotatif

atau makna sebenarnya, yang kedua adalah konotatif atau makna bukan

sebenarnya yang bisa juga diartikan sebagai makna kiasan. Banyak

3
pemaknaan konotatif yang terdapat di dalam film Siti, hal inilah yang

menjadi salah satu faktor bagi peneliti untuk menjadikan film Siti sebagai

obyek penelitian yang menarik untuk diteliti.

Penelitian ini, Peneliti ingin mengetahui bagaimana representasi

feminisme dalam Film Siti. Siti terlihat sebagai sosok feminis yang gigih

bekerja untuk memenuhi kebutuhan dan membayar hutang suaminya. Oleh

karena perjuangan tokoh Siti yang begitu gigih membuat Film Siti kental

dengan nilai-nilai fenimisme. Penelitian ini akan mencoba untuk memahami

peran perempuan yang mencerminkan feminisme di dalam Film Siti.

Memahami peran perempuan yang mencerminkan feminisme, maka dalam

penelitian ini akan diambil scene by scene adegan dengan obyek pemeran

Siti dalam Film Siti, yang merepresentasikan nilai-nilai feminisme tersebut.

Representasi menurut Stuart Hall memperlihatkan suatu proses di

mana arti (meaning) diproduksi dengan menggunakan bahasa (language)

dan dipertukarkan oleh antar anggota kelompok dalam sebuah kebudayaan

(culture). Representasi menghubungkan antara konsep (concept) dalam

benak kita dengan menggunakan bahasa yang memungkinkan kita untuk

mengartikan benda, orang, kejadian yang nyata (real), dan dunia imajinasi

dari objek, orang, benda, dan kejadian yang tidak nyata (fictional) (Hall,

2003).

Penggambaran ekspresi antara teks media dengan realitas

sebenarnya sering menggunakan konsep representasi. Teks media dimaknai

sebagai segala hal yang dikonstruksi untuk diekspresikan seperti pidato,

4
puisi, program televisi, film, teori-teori hingga komposisi musik (Anderson,

2006: 288). Representasi adalah sebuah istilah yang merujuk pada cara di

mana seseorang atau sesuatu dilukiskan dalam media. Sebagian besar dalam

kajian ini, representasi diteliti sebagai cara untuk mendasari pemaknaan

sebuah teks (Bardwell, 1989: 10).

Kajian yang digunakan peneliti adalah Semiotik, yang menjadi

tradisi dalam teori komunikasi. Tradisi semiotik terdiri atas sekumpulan

teori bagaimana tanda–tanda merepresentasikan benda, ide, keadaan, situasi,

perasaan dan kondisi diluar tanda–tanda itu sendiri (Littlejhon, 2009 : 53).

Semiotika Roland Barthes digunakan dalam penelitian ini. Teori

semiotika milik Roland Barthes lebih menekankan pada relasi antara

ekspresi dan konteks, atau relasi antara ekspresi dan isi. Teori ini mengkaji

tentang makna atau simbol dalam bahasa atau tanda yang dibagi menjadi

dua tingkatan signifikasi, yaitu tingkat denotasi dan tingkat konotasi serta

aspek lain dari penandaan yaitu mitos. Dalam buku Mithologies Barthes ada

rasisme, kolonialisme, stereotip gender, dan propaganda perang dingin.

Peneliti menggunakan semiotika Barthes pada dasarnya hendak mempelajari

bagaimana kemanusiaan (humanity) memaknai hal-hal (things). Memaknai

(to sinify) dalam hal ini dapat dicampur adukkan dengan

mengkomunikasikan (to communicate).

Peneliti melakukan penelitian pada film Siti, karena film ini

bertema perempuan, dimainkan perempuan sebagai pemeran utamanya dan

mengangkat realitas serta peranan perempuan di Indonesia. Film Siti ini bisa

5
dibilang film yang mengandung sebuah teks yang tersusun atas tanda dan

lambang yang akan memperoleh suatu makna atau pesan yang ingin

disampaikan oleh sang sutradara, dengan pewarnaan film yang hitam putih

juga menjadi nilai yang lebih untuk film Siti. Pendekatan yang relevan pada

penelitian ini digunakan adalah pendekatan semiotika. Latar belakang yang

sudah disampaikan diatas, maka peneliti ingin melihat representasi

feminisme yang digambarkan melalui film Siti.

6
1.2 RUMUSAN MASALAH

Berdasarkan latar belakang masalah yang diamati, maka peneliti

merumuskan masalah penelitian sebagai berikut: “Bagaimana Representasi

Feminisme dalam film Siti ?”

1.3 TUJUAN PENELITIAN

Tujuan penelitian ini, untuk mengetahui bagaimana representasi

feminisme dalam tokoh Siti yang terdapat dalam scene by scene adegan

dalam film Siti.

1.4 MANFAAT PENELITIAAN

1.4.1 Manfaat Teoritis

 Memperkaya kajian film yang berkaitan dengan komunikasi,

terutama mengenai feminisme. Penelitian ini juga diharapkan

mampu menjadi bahan rujukan bagi mahasiswa yang ingin

membuat penelitian lebih lanjut ataupun dapat mempergunakan

penelitian ini sebagai bahan penulisan karya ilmiah sejenis.

1.4.2 Manfaat Praktis

 Menambah pengetahuan bagi para pembuat film di Indonesia,

bahwa untuk memproduksi film, sebaiknya memiliki pesan

moral yang kuat agar film itu berguna dalam proses edukasi

bagi penonton atau masyarakatnya.

7
1.5 KAJIAN PUSTAKA

1.5.1 Komunikasi Massa

Film merupakan salah satu bentuk dari penyampaian pesan yang

dilakukan melalui media komunikasi massa. Film saat ini tidak hanya

dimaknai sebagai karya seni, tetapi saat ini film lebih sebagai “praktik

sosial” serta “komunikasi massa”.

Komunikasi yang menggunakan media massa yang dikelola oleh

suatu lembaga atau orang yang dilembagakan, yang ditujukan kepada

sejumlah besar orang yang tersebar di banyak tempat, anonim dan

heterogen. Pesan–pesannya bersifat umum, disampaikan secara cepat,

serentak, selintas (khususnya media elektronik). Komunikasi antar pribadi,

komunikasi kelompok, dan komunikasi organisasi, berlangsung juga

dalam proses untuk mempersiapkan pesan yang disampaikan media

massa ini (Mulyana, 2000).

Karakteristik komunikasi massa meliputi sifat dan unsur yang

tercakup didalamnya (Suprapto, 2006:13). Adapun karakteristik

komunikasi massa adalah :

1. Sifat komunikan, yaitu komunikasi massa yang ditujukan kepada

khalayak yang jumblahnya relatif besar, heterogen, dan anonim.

Jumlah besar yang dimaksudkan hanya dalam periode waktu yang

singkat saja dan tidak dapat diukur, beberapa total jumlahnya. Bersifat

heterogen berarti khalayak bersifat berasal dari latarbelakang dan

pendidikan, usia, suku, agama, pekerjaan,. Sehingga faktor yang

8
menyatukan khalayak yang heterogen ini adalah minat dan

kepentingan yang sama. Anonim berarti bahwa komunikator tidak

mengenal siapa khalayaknya, apa pekerjaannya, berapa usianya, dan

lain sebagainya.

2. Sifat media massa, yaitu serempak dan cepat. Serempak (Simultanety)

berarti bahwa keserempakan kontak antara komunikatordengan

komunikan yang demikian besar jumlahnya. Pada saat yang sama,

media massa dapat membuat khalayak secara serempak dapat menaruh

perhatian kepada pesan yang disampaikan oleh komunikator. Selain itu

sifat dari media massa adalah cepat (rapid), yang berarti

memungkinkan pesan yang disampaikan pada banyak orang dalam

waktu yang cepat.

3. Sifat pesan, Pesan yang disampaikan melalui media massa adalah

bersifat umum (Public). Media massa adalah sarana untuk

menyampaikan pesan kepada khalayak, bukan untuk kelompok orang

tertentu. Karena pesan komunikasi melalui media massa sifatnya

umum, maka lingkungannya menjadi universal tentang segala hal, dan

dari berbagai tempat di seluruh dunia. Sifat lain dari pesan melalui

media massa adalah sejenak (Transient), yaitu hanya untuk sajian

seketika saja.

4. Sifat komunikator, karena media massa merupakan lembaga

organisasi, maka komunikator dalam komunikasi massa, seperti

wartawan, sutradara, penyiar, pembawa acara, adalah komunikator

yang terlembagakan. Media massa merupakan organisasi yang rumit,

9
pesan-pesan yang disampaikan kepada khalayak adalah hasil kerja

kolektif, oleh sebab itu, berhasil tidaknya komunikasi massa

ditentukan oleh berbagai faktor yang terdapat dalam orginisasi massa.

Sifat atau efek yang ditimbulkan pada komunikan

tergantung pada tujuan komunikasi yang dilakukan oleh para

komunikator. Apakah tujuannya agar komunikan hanya sekedar tahu

saja, atau komunikan berubah siap dan pandangannya, atau

komunikan dapat berubah tingkah lakunya, bahkan komunikan hanya

mengkonsumsi berita sesuai dengan kebutuhan yang ingin mereka

dapatkan dari media.

1.5.2 Film

Film pertama kali lahir di pertengahan kedua abad 19,

dibuat dengan bahan dasar seluloid yang sangat mudah terbakar

bahkan oleh percikan abu rokok sekalipun. Sejalan dengan waktu,

para ahli berlomba-lomba untuk menyempurnakan film agar lebih

aman, lebih mudah diproduksi dan enak ditonton menurut Heru

Effendy dalam bukunya Mari Membuat Film, terbitan kepustakaan

Populer Gramedia (2014:11).

Film adalah media komunikasi yang bersifat audio visual

untuk menyampaikan suatu pesan kepada sekelompok orang yang

berkumpul di suatu tempat tertentu(Effendy, 1986:134). Pesan film

pada komunikasi massa dapat berbentuk apa saja tergantung dari misi

film tersebut. Akan tetapi, umumnya sebuah film dapat mencakup

berbagai pesan, baik itu pesan pendidikan, hiburan dan informasi.

10
Pesan dalam film adalah menggunakan mekanisme lambang-lambang

yang ada pada pikiran manusia berupa isi pesan, suara, perkataan,

percakapan dan sebagainya. Film juga dianggap sebagai media

komunikasi yang ampuh terhadap massa yang menjadi sasarannya,

karena sifatnya yang audio visual, yaitu gambar dan suara yang hidup.

Dengan gambar dan suara, film mampu bercerita banyak dalam waktu

singkat. Ketika menonton film penonton seakan-akan dapat

menembus ruang dan waktu yang dapat menceritakan kehidupan dan

bahkan dapat mempengaruhi audiens.

Van Zoest mengemukakan bahwa, film dibangun dengan

tanda-tanda semata. Tanda-tanda itu termasuk berbagai sistem tanda

yang bekerjasama dengan baik untuk mencapai efek yang diharapkan.

Pada film digunakan tanda-tanda yang menggambarkan sesuatu, ciri

gambar-gambar dalam film adalah persamaan dengan realitas yang

ditunjuknya. Gambar dinamis dalam film merupakan ikonis bagi

realitas yang dinotasikannya (Sobur, 2009:128).

Film pertama kali dipertontonkan untuk khalayak umum

dengan membayar berlangsung di Grand Cafe Boulevard de

Capucines, Paris, Perancis pada 28 Desember 1895. Peristiwa ini

sekaligus menandai lahirnya film dan bioskop di dunia.

1.5.3 Film Sebagai Media Komunikasi Massa

Komunikasi massa menyiarkan informasi yang banyak

dengan menggunakan saluran yang disebut media massa. Dalam

perkembangannya film banyak digunakan sebagai alat komunikasi

11
massa, seperti alat propaganda, alat hiburan, dan alat –alat pendidikan.

Media film dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) adalah alat

atau sarana komunikasi, media massa yang disiarkan dengan

menggunakan peralatan film; alat penghubung berupa film.

Sebagai salah satu bentuk dari komunikasi massa, film

ada yang mempunyai tujuan untuk memberikan pesan–pesan yang

ingin disampaikan dari pihak kreator film. Pesan–pesan itu terwujud

dalam cerita dan misi yang dibawa film tersebut, serta terangkum

dalam bentuk drama, action, komedi, dan horor. Jenis – jenis film

inilah yang dikemas oleh seorang sutradarasesuai dengan tendensi

masing–masing. Ada yang tujuannya sekedar menghibur, memberi

penerangan, atau mungkin kedua-duanya. Ada juga yang

memasukkanideologi tertentu sekaligus mengajarkan sesuatu kepada

khalayak.

Ilmu komunikasi terbagi menjadi tiga, yaitu

bentukspesialisasinya, medianya, dan efeknya. Film termasuk ke

dalam medianya, yaitu media massa. Media massa digunakan

untuk komunikasi massa karena sifat massalnya. Film juga termasuk

media periodik, yang kehadirannya tidak terus menerus tapi

berperiode.

Sebagai media massa, konten film adalah informasi.

Informasi akan mudah dipahami dan tertangkap dengan visualisasi.

Pada hakekatnya film seperti juga pers berhak untuk menyatakan

12
pendapat atau protesnya tentang sesuatu yang dianggap salah.

Kelebihan film dibanding media massa lainnya terletak pada susunan

gambaryang dapat membentuk suasana. Film mampu membuat

penonton terbawa emosinya.

Sebagai seni, film sangat berbeda dengan seni sastra,

teater, seni rupa, seni suara, musik, dan arsitektur yang muncul

sebelumnya. Seni film sangat mengandalkan teknologi, baik sebagai

bahan baku produksi maupun dalam penayangan ke penontonnya.

Film merupakangabungan berbagai unsur, sastra, teater, seni rupa,

teknologi, dan sarana publikasi. Dalam kajian media massa, film

masuk ke dalam jajaran seni yang ditopang oleh industri hiburanyang

menawarkan impian kepada penonton yang ikut menunjang lahirnya

karya film.

Film diproduksi secara khusus untuk dipertunjukkan di

gedung bioskop. Salah satu yang menyebabkan dapat merubah

khalayak adalah dari segi tempat atau mediumnya. Karena pengaruh

film yang sangat besar terhadap khalayak. Biasanya pengaruh timbul

tidak hanya di tempat atau di gedung bioskop saja, akan tetapi

setelah penonton keluar dari bioskop dan melanjutkan aktivitas

kesehariannya, secara tidak sadar pengaruh film itu akan terbawa terus

sampai waktu yang cukup lama (Effendy, 2003:208). Anak-anak dan

pemuda-pemuda biasanya yang mudah terpengaruh, Mereka sering

menirukan gaya atau tingkah laku para bintang film.

13
Kekuatan dan kemampuan film menjangkau berbagai

segmen sosial, lantas membuat para ahli bahwa film memiliki

potensi untuk mempengaruhi khalayaknya. Sejak saat itu, maka

menjamur berbagai penelitian yang melihat dampak film terhadap

masyarakat. Banyak penelitian tentang dampak film terhadap

masyarakat, hubungan antara film dan masyarakat selalu dipahami

secara linier. Artinya, film selalu mempengaruhi dan membentuk

masyarakat berdasarkan muatan pesan (message) di baliknya, tanpa

pernah berlaku sebaliknya.

1.5.4 Kajian Media dan Budaya

Stuart Hall (1972) menjelaskan bahwa kajian media dan

budaya, atau yang dikenal dengan Media And Cultural Studies, pada

dasarnya mencoba untuk menggoyang kemapanan berpikir kita

tentang “realitas” dan apa yang dimaksud dengan “real” (yang

sebenarnya) dalam kehidupan budaya kita sehari-hari. Dalam dunia

yang sudah dipenuhi dengan images atau gambar-gambar, dan tulisan-

tulisan yang ada di Koran, televisi, film, video, radio, iklan, novel dan

lain sebagainya, cara kita menentukan diri kita atau mendefinisikan

diri kita dan lingkungan sekitar kita ternyata bervariasi dan berbeda

satu sama lain. Hall (1972) juga menyatakan bahwa sentral dari studi

media dan budaya adalah khalayak atau masyarakat yang selama ini

kurang disentuh, terutama masyarakat sebagai makhluk yang

membuat makna secara aktif dan masyarakat yang tidak dikooptasi

oleh kepentingan-kepentingan kekuasaan (power interest) yang

14
selama ini mendominasi media massa dan menentukan kehidupan

sosial budaya masyarakat.

Konsep kunci dalam kajian budaya antara lain, menurut

Barker (2012:7:10);

1. Praktik-praktik Budaya (signifying practice) dalam masyarakat

yang menghasilkan makna. Budaya yang dimaksudkan adalah

makna sosial yang dibagi, yakni bagaimana dunia (dan

kehidupannya) dimaknai. Bahasa bagi kajian budaya, bukan

merupakan medium yang netral bagi formasi makna dan

pengetahuan tentang dunia objek yang independen ‘out there’

atau diluar. Bahasa digeneralisasikan melalui tanda-tanda yang

terbentuk dan dihasilkan dalam sistem sosial.

2. Representasi, yakni bagaimana dunia dikonstruksi secara sosial

dan direpresentasikan kepada dan oleh kita dalam cara-cara

yang bermakna.

3. Materialisme dan Non-reductionism. Kajian budaya selama ini

fokus pada ekonomi industrialisasi modern dan budaya media

yang terorganisir dalam garis kapitalis. Non-reductionism

dalam kajian budaya mempertanyakan soal kelas, gender,

seksualitas, ras, etnisitas, kebangsaan dan usia yang mempunyai

kekhasan tertentu yang tidak dapat dikurangi baik oleh ekonomi

politik maupun sebaliknya.

4. Artikulasi. Kajian budaya juga memilih menggunakan konsep

‘artikulasi’, dalam rangka untuk menteorikan hubungan-

15
hubungan antara komponen dari formasi sosial. Konsep

artikulasi juga mengandung makna mendiskusikan hubungan

antara budaya dan ekonomi politik.

5. Kekuasaan (power). Kekuasaan selalu berada di setiap

tingkatan hubungan sosial. Kekuasaan tidak hanya menyatukan

kebersamaan sosial atau keseragaman, atau menekankan

tekanan melalui subordinasi terhadap proses-proses sosial,

tindakan sosial dan hubungan yang terjadi.

6. Budaya Populer. Budaya pop yang diproduksi menghasilkan

banyak sekali praktik-praktik proses produksi makna yang

beragam.

7. Teks dan Pembaca/Penonton. Kajian budaya memperhatikan

elemen medium seperti teks, terutama praktik-praktik teks yang

terhegemoni. Audiens menjadi penting untuk melihat

bagaimana makna diproduksi dalam hubungan antara teks itu

sendiri dan audiens. Momen konsumsi teks lalu menjadi

penting sebagai momen produksi yang sangat bermakna.

8. Subjektivitas dan Identitas. Identitas adalah konstruksi-

konstruksi diskursif, produk dari diskursus-diskursus atau

standar orang yang mengatakan tentang dunia. Identitas itu

dibuat dan dikonstitusikan, tidak ditemukan oleh representasi,

yang dikenal dengan bahasa.

16
1.5.5 Representasi

Representasi menurut Stuart Hall memperlihatkan suatu

proses di mana arti (meaning) diproduksi dengan menggunakan

bahasa (language) dan dipertukarkan oleh antar anggota kelompok

dalam sebuah kebudayaan (culture). Representasi menghubungkan

antara konsep (concept) dalam benak kita dengan menggunakan

bahasa yang memungkinkan kita untuk mengartikan benda, orang,

kejadian yang nyata (real), dan dunia imajinasi dari objek, orang,

benda, dan kejadian yang tidak nyata (fictional) (Hall, 2003).

Penggambaran ekspresi antara teks media dengan realitas

sebenarnya sering menggunakan konsep representasi. Teks media

dimaknai sebagai segala hal yang dikonstruksi untuk diekspresikan

seperti pidato, puisi, program televisi, film, teori-teori hingga

komposisi musik (Anderson, 2006: 288). Representasi adalah sebuah

istilah yang merujuk pada cara di mana seseorang atau sesuatu

dilukiskan dalam media. Dalam sebagian besar dalam kajian ini,

representasi diteliti sebagai cara untuk mendasari pemaknaan sebuah

teks (Bardwell, 1989: 10).

Melalui representasi, suatu makna diproduksi dan

dipertukarkan antar anggota masyarakat. Dapat dikatakan bahwa,

representasi secara singkat adalah salah satu cara untuk memproduksi

makna. Representasi bekerja melalui sistem representasi yang terdiri

dari dua komponen penting, yakni konsep dalam pikiran dan bahasa.

17
Kedua komponen ini saling berkorelasi. Konsep dari sesuatu hal

yang dimiliki dan ada dalam pikiran, membuat manusia atau

seseorang mengetahui makna dari sesuatu hal tersebut. Makna tidak

akan dapat dikomunikasikan tanpa bahasa, sebagai contoh sederhana,

konsep ‘gelas’ dan mengetahui maknanya. Seseorang tidak akan dapat

mengkomunikasikan makna dari ‘gelas’ (benda yang digunakan orang

untuk tempat minum) jika seseorang tidak dapat mengungkapkannya

dalam bahasa yang dapat dimengerti oleh orang lain.

Oleh karena itu, yang terpenting dalam sistem representasi

adalah bahwa kelompok yang dapat berproduksi dan bertukar makna

dengan baik adalah kelompok tertentu yang memiliki suatu latar

belakang pengetahuan yang sama sehingga dapat menciptakan suatu

pemahaman yang (hampir) sama. Berpikir dan merasa juga

merupakan sistem representasi, sebagai sistem representasi berarti

berpikir dan merasa juga berfungsi untuk memaknai sesuatu. Untuk

dapat melakukan hal tersebut, diperlukan latar belakang pemahaman

yang sama terhadap konsep, gambar, dan ide (cultural codes).

Pemaknaan terhadap sesuatu bisa sangat berbeda dalam budaya atau

kelompok masyarakat yang berlainan, karena pada masing-masing

budaya, kelompok, dan masyarakat tersebut tentunya ada cara-cara

tersendiri dalam memaknai sesuatu. Kelompok masyarakat yang

memiliki latar belakang pemahaman yang tidak sama terhadap kode-

kode budaya tertentu tidak akan bisa memahami makna yang

diproduksi oleh kelompok masyarakat lain.

18
Manusia mengkonstruksi makna dengan sangat tegas

sehingga suatu makna bisa terlihat seolah-olah alamiah dan tidak

dapat diubah. Makna dikonstruksi dengan sistem representasi melalui

kode. Kode inilah yang membuat masyarakat berada dalam suatu

komponen dan saling berelasi namun, makna tidak akan dapat

dikomunikasikan tanpa bahasa.

1.5.6 Feminisme

Perempuan merupakan makhluk lemah lembut dan penuh

kasih sayang karena perasaannya yang halus. Pada umumnya sifat

perempuan yaitu keindahan, kelembutan serta rendah hati dan

memelihara. Perbedaan secara anatomis dan fisiologis menyebabkan

pula perbedaan pada tingkah lakunya, dan timbul juga perbedaan

dalam hal kemampuan, selektif terhadap kegiatan-kegiatan intensional

yangbertujuan dan terarah dengan kodrat perempuan. Pengertian

Perempuan secara etimologis berasal dari kata empu yang berarti

“tuan”, orang yang mahir atau berkuasa, kepala, hulu, yang paling

besar.

Sekarang ini film Indonesia umumnya menimbulkan

kecemasan dan perhatian masyarakat karena banyak mengandung

adegan seks dan kekerasan dengan wanita sebagai objeknya. Namun

seringkali kecemasan masyarakat berasal dari keyakinan bahwa isi

seperti itu mempunyai efek moral, psikologis, dan sosial yang

merugikan, khususnya kepada generasi muda, dan menimbulkan

perilaku anti sosial (Wright, 1986:173-174).

19
Terdapat beberapa karakteristik kunci yang dapat

membantu mengenalifilm perempuan. Salah satunya dikutip Joanne

Hollows (Feminism, Femininity and Popular Culture, 2000) dari

kategori yang dibuat Maria LaPlace. LaPlace menyebutkan, “film

perempuan dibedakan berdasarkan protagonis perempuannya, sudut

pandang perempuan, dan naratifnya yang umumnyaberputar sekitar

pengalaman perempuan: keluarga, ruang domestik, romantisme arena

di mana cinta, emosi, dan pengalaman mendapatkan tempat lebih dari

aksidan peristiwa. Satu aspek yang paling penting adalah

menempatkan dalam posisi tertinggi keserasiannya dengan relasi

antara perempuan”.

Perempuan dalam media massa, pada dasarnya berbicara

tentang representasi perempuan dalam media massa, baik media cetak,

media elektronik, maupun berbagai bentuk multimedia. Sejauh ini

media massa menjadikan wanita sebagai obyek, baik di dalam

pemberitaan, iklan komersial, maupun film. Wajah perempuan dalam

media cenderung menggambarkan perempuan sebagai korban, pihak

yang lemah, tak berdaya, atau menjadi korban kriminalitas

karenasikapnya yang mengundang atau memancing terjadinya

kriminalitas, atausebagai obyek seksual. Penggambaran dalam cerita-

ceritanya seringkali stereotipe. Perempuan digambarkan tak berdaya,

lemah, membutuhkan perlindungan, dan korban kekerasan. Satu

problem pokok yang menampilkan sosok perempuan adalah

keberadaan perempuan dalam dunia laki-laki. Hal tersebut ditandai

20
oleh pelecehan, diskriminasi, ketidakberdayaan, dan dominasi oleh

laki-laki. Ideologi patriarki masih sangat kuat mendominasi posisi

perempuan, baik sebagai individu maupun kelompok. Dalam keadaan

demikian tidak mengherankan bahwa masih banyak terjadi pelecehan

terhadap derajat maupun martabat perempuan. Pada dasarnya,

perempuan merupakan suatu pesan yang dikomunikasikandalam

budaya patriarki. Perempuan “dituliskan” melalui pembentukan

stereotip dan mitos bahwa ia adalah suatu tanda yang dipertukarkan,

begitulah akhirnyaperempuan berfungsi dalam bentuk-bentuk budaya

dominan. Oleh karena itu, dalam bidang seni dan juga dalam teks film,

representasi perempuan terutama bukanlah suatu tema atau persoalan

sosiologis, seperti sering dipikirkan, melainkan sebuah tanda yang

sedang dikomunikasikan (Johnston, 1975:124).

Pada kehidupan sosial, pada hubungan perempuan dan

laki-laki, posisi perempuan selalu ditempatkan pada posisi

“wingking”, “orang belakang”, “subordinasi”, perempuan selalu yang

kalah, namun sebagai “pemuas” laki-laki, pelengkap dunia laki-laki.

Hal inilah yang direkonstruksi dalam media audio-visual termasuk

film dan video, bahwa media massa hanya merekonstruksi apa yang

ada disekitarnya, sehingga media massa juga disebut sebagai refleksi

dunia nyata, refleksi alam sekitarnya (Bungin,2003:131).

Menurut Sylvia Walby (1990) yang dijelaskan dalam

Storey (2012), sedikitnya ada 4 feminisme yang berbeda: Radikal,

Marxis, Liberal dan “dual systems theory.” Setiap pendekatan

21
feminisme ini merespon tekanan/dominasi terhadap perempuan

(women’s oppression) dalam cara yang berbeda, menggunakan kasus-

kasus yang berbeda, dan solusi-solusi yang berbeda. Feminis Radikal

misalnya memiliki argumentasi bahwa tekanan/dominasi perempuan

adalah hasil dari system patriarki, sebuah sistem yang mendominasi

dimana laki-laki adalah kelompok yang mempunyai kekuasaan

terhadap perempuan sebagai kelompok.

Sementara dalam feminisme Marxis, analisisnya mengarah

pada kondisi tekanan/dominasi terhadap perempuan sumber utamanya

adalah tekanan kapitalis terhadap buruh. Analisisnya mengarah pada

kondisi tekanan/dominasi terhadap perempuan sumber utamanya

adalah tekanan kapitalis. Feminis ini umumnya mendominasi

hubungan sosial dan politik dan sebagai akibatnya perempuan di

reduksi menjadi bagian dari properti belaka. Penganut Marxis percaya

bahwa status kaum perempuan akan berubah hanya melalui revolusi

sosial dan penghapusan pekerjaan domestik. Seperti model Liberal,

Marxisme juga menerima pandangan bahwa teknologi akan

membebaskan kaum perempuan. Feminisme Liberal, tidak seperti dua

feminis sebelumnya yang melihat sistem dan tekanan kapitalis sebagai

penyebab tekanan/dominasi terhadap perempuan, melainkan karena

sumbernya adalah prejudice laki-laki terhadap perempuan yang

berdampak pada hukum dan diekspresikan melalui pengecualian

perempuan dari area-area kehidupan tertentu, sehingga hak-hak

perempuan tidak terakomodasi. Terakhir, teori dual-sistem feminis,

22
merepresentasikan keberadaan argumen feminisme Marxis dan

Radikal, dengan kepercayaan yang dipegang bahwa tekanan terhadap

perempuan adalah hasil dari artikulasi kompleks dari sistem patriarki

dan kapitalisme.

1.5.7 Semiotika

Semiotik atau semiologi merupakan terminologi yang

merujuk pada ilmu yang sama. Istilah semiologi lebih banyak

digunakan di Eropa sedangkan semiotik lazim dipakai oleh ilmuwan

Amerika. Istilah yang berasal dari kata Yunani semeion yang berarti

‘tanda’ atau ‘sign’ dalam bahasa Inggris itu adalah ilmu yang

mempelajari sistem tanda seperti: bahasa, kode, sinyal, dan

sebagainya. Secara umum, semiotik didefinisikan sebagai berikut:

Semiotics is usually defined as a general philosophical theory

dealing with the production of signs and symbols as part of

code systems which are used to communicate information.

Semiotics includes visual and verbal as well as tactile and

olfactory signs (all signs or signals which are accessible to

and can be perceived by all our senses) as they form code

systems which systematically communicate information or

massages in literary every field of human behaviour and

enterprise.

(Semiotik didefinisikan sebagai teori filsafat umum yang

berkenaan dengan produksi tanda-tanda dan simbol-simbol sebagai

bagian dari sistem kode yang digunakan untuk mengomunikasikan

23
informasi. Semiotik meliputi tanda-tanda visual dan verbal serta

tactile dan olfactory (semua tanda atau sinyal yang bisa diakses dan

bisa diterima oleh seluruh indera yang kita miliki ketika tanda-tanda

tersebut membentuk sistem kode yang secara sistematis

menyampaikan informasi atau pesan secara tertulis di setiap kegiatan

dan perilaku manusia).

Menurut Pierce (dalam Sobur, 2009:114-115) makna

terdiri dari tiga elemen, yaitu sign (tanda), object (objek), dan

interpretant (interpretan). Salah satu bentuk tanda adalah kata.

Sedangkan objek adalah sesuatu yang dirujuk tanda. Sementara

interpretan adalah tanda yang ada dalam benak seseorang tentang

objek yang dirujuk sebuah tanda. Apabila ketiga elemen makna itu

berinteraksi dalam benak seseorang, maka muncullah makna tentang

sesuatu yang diwakili oleh tanda tersebut. Teori segitiga makna yang

dikupas adalah persoalan bagaimana makna muncul dari sebuah tanda

ketika tanda itu digunakan orang pada waktu berkomunikasi.

Film Siti terdapat dua unsur yang mempermudah

penelitian semiotika ini, yaitu gambar dan teks. Kedua unsur tersebut

(gambar dan teks) adalah unsur yang mengandung representasi

feminisme yang paling mudah diamati dan menjadi acuan peneliti

dalam menginterpretasi semiotika.

1.5.8 Semiotika Roland Barthes

Salah satu tokoh penting semiotika adalah Roland Barthes.

Ia banyak menulis buku seputar semiotika, antara lain Mythologies

24
(1973), Element of Semiology (1977), The Fashion System (1983),

dan Camera Lucida (1994). Barthes adalah penerus pemikiran

Saussure. Saussure tertarik pada cara kompleks pembentukan

kalimat dan cara bentuk-bentuk kalimat menentukan makna, tetapi

kurang tertarik pada kenyataan bahwa kalimat yang sama bisa saja

menyampaikan makna yang berbeda pada orang yang berbeda

situasinya.

Roland Barthes meneruskan pemikiran tersebut dengan

menekankan interaksi antara teks dengan pengalaman personal dan

kultural penggunanya, interaksi antara konvensi dalam teks dengan

konvensi yang dialami dan diharapkan oleh penggunanya. Gagasan

Barthes ini dikenal dengan “order of signification”, mencakup

denotasi (makna sebenarnya sesuai kamus) dan konotasi (makna

ganda yang lahir dari pengalaman kultural dan personal). Di sinilah

titik perbedaan Saussure dan Barthes, meskipun Barthes tetap

mempergunakan istilah signifier-signified yang diusung Saussure.

Barthes juga melihat aspek lain dari penandaan yaitu

“mitos” yang menandai suatu masyarakat. “Mitos” menurut Barthes

terletak pada tingkat kedua penandaan, jadi setelah terbentuk sistem

sign-signifier-signified, tanda tersebut akan menjadi penanda baru

yang kemudian memiliki petanda kedua dan membentuk tanda baru.

Jadi, ketika suatu tanda yang memiliki makna konotasi kemudian

berkembang menjadi makna denotasi, maka makna denotasi tersebut

akan menjadi mitos. Misalnya: Pohon beringin yang rindang dan

25
lebat menimbulkan konotasi “keramat” karena dianggap sebagai

hunian para makhluk halus. Konotasi “keramat” ini kemudian

berkembang menjadi asumsi umum yang melekat pada simbol pohon

beringin, sehingga pohon beringin yang keramat bukan lagi menjadi

sebuah konotasi tapi berubah menjadi denotasi pada pemaknaan

tingkat kedua. Pada tahap ini, “pohon beringin yang keramat”

akhirnya dianggap sebagai sebuah Mitos. Secara ringkas teori dari

Barthes ini dapat diilustrasikan sebagai berikut:

Dalam menelaah tanda, kita dapat membedakannya dalam

dua tahap. Pada tahap pertama, tanda dapat dilihat latar belakangnya

pada (1) penanda dan (2) petandanya. Tahap ini lebih melihat tanda

secara denotatif. Tahap denotasi ini baru menelaah tanda secara

bahasa. Dari pemahaman bahasa ini, kita dapat masuk ke tahap

kedua, yakni menelaah tanda secara konotatif. Pada tahap ini konteks

26
budaya, misalnya, sudah ikut berperan dalam penelaahan tersebut.

Dalam contoh di atas, pada tahap I, tanda berupa BUNGA MAWAR

ini baru dimaknai secara denotatif, yaitu penandanya berwujud dua

kuntum mawar pada satu tangkai. Jika dilihat konteksnya, bunga

mawar itu memberi petanda mereka akan mekar bersamaan di

tangkai tersebut. Jika tanda pada tahap I ini dijadikan pijakan untuk

masuk ke tahap II, maka secara konotatif dapat diberi makna bahwa

bunga mawar yang akan mekar itu merupakan hasrat cinta yang

abadi. Bukankah dalam budaya kita, bunga adalah lambang cinta?

Atas dasar ini, kita dapat sampai pada tanda (sign) yang lebih dalam

maknanya, bahwa hasrat cimta itu abadi seperti bunga yang tetap

bermekaran di segala masa. Makna denotatif dan konotatif ini jika

digabung akan membawa kita pada sebuah mitos, bahwa kekuatan

cinta itu abadi dan mampu mengatasi segalanya.

Penelitian ini menggunakan pendekatan Roland Barthes,

karena Barthes mengungkapkan bahwa pemikiran subjektif atau

setidaknya intersubjektif pengguna dipengaruhi oleh perasaan dan

kultural-kulturalnya. Di sinilah analisis mitos digunakan. Setelah

meneliti makna konotasi yang ditampilkan, akan muncul

keseluruhan struktur dalam film ini untuk mengungkapkan ideologi

melalui makna konotatif. Oleh sebab itu, setiap film menyampaikan

pesan dengan menggunakan unsur teks yang merupakan pemaknaan

ideologi pribadi dari si pembuat film itu sendiri. enginterpretasikan

tanda yang hadir, membutuhkan suatu perangkat analisis. Dengan

27
semiotika Roland Barthes, peneliti akan menghadirkan konstruksi

yang baru sesuai pemaknaannya, dan bukan konstruksi awal si

pembuat film.

28
1.6 KERANGKA BERPIKIR

Film Indonesia

Film Siti

Feminisme

Analisis Semiotika
(Teori Roland Barthes)

Denotatif Konotatif Mitos

Representasi Feminisme

Kesimpulan

29
1.7 METODOLOGI PENELITIAN

1.7.1 Jenis dan Tipe Penelitian

Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif.

Pendekatan ini memungkinkan peneliti untuk melakukan

pengamatan dan analisis secara mendalam terhadap topik yang

akan diteliti. Analisis dalam penelitian ini adalah deskriptif,

ini dimaksudkan untuk memberikan gambaran dan penjelasan

terkait dengan rumusan masalah.

1.7.2 Unit Analisis

Objek penelitian berupa film Siti, maka dapat diambil unit

analisis penelitiannya adalah potongan-potongan gambar yang

terdapat dalam film Siti. Juga dari dialog yang ada pada film

tersebut yang berkaitan dengan rumusan masalah penelitian.

1.7.3 Jenis dan Sumber Data

Data primer, yakni data pokok atau data utama yang

digunakan peneliti. Dalam hal ini adalah segala bentuk data

yang berasal dari dokumentasi film, baik itu berupa visual

gambar, teks, dialog, yang berhubungan dengan rumusan

masalah.

Data sekunder, diperoleh dari penelusuran peneliti melalui

literatur tentang kajian semiotika film dan buku-buku, internet

serta sumber lain sebagai landasan untuk mendukung penelitian

ini.

30
1.7.4 Teknik Pengumpulan Data

1. Dokumentasi

Dokumen merupakan catatan fenomena atau peristiwa,

yang sudah berlalu dan dikumpulkan dalam bentuk tulisan,

gambar, atau karya monumental dari seseorang. Dokumen yang

berbentuk lisan misalnya catatan harian, sejarah kehidupan,

cerita, biografi. Sedang dokumen yang berbentuk gambar

misalnya foto, karya seni yang berupa gambar, patung, film, dan

lain-lain.

Oleh karena itu, dalam mengumpulkan data guna

menganalisa film Siti, peneliti melakukan teknik dokumentasi

film secara keseluruhan ke dalam bentuk soft file.

2. Observasi

Melakukan pengamatan langsung dan bebas terhadap

objek penelitian dan unit analisis dengan cara menonton dan

mengamati teliti dialog-dialog, serta adegan-adegan dalam

film Siti yang sesuai dengan rumusan masalah kemudian

mencatat, memilih, dan menganalisanya sesuai dengan model

penelitian yang digunakan.

1.7.5 Teknik Analisis dan Interpretasi Data

Setelah data primer dan sekunder terkumpul, maka akan

dilakukan analisis data, dengan menggunakan teknik analisis

data penelitian berdasarkan teori yang dikemukakan oleh Roland

31
Barthes. Teknik ini berguna untuk menunjukkan bagaimana

Representasi Feminisme dalam film Siti, dengan memilah setiap

scene by scene dari tokoh pemeran Siti ke dalam kategori tanda.

Dalam teknik analisis data ini peneliti akan menggunakan

format tabel sebagai berikut:

Capture Screen

Scene

Denotasi Konotasi Mitos

32
BAB II

DESKRIPSI OBJEK PENELITIAN

Gambar 2.1: Poster Film Siti

Sumber :http://jakcity.com/siti-tayang-di-bioskop-indonesia-28-januari-2016-
sitidibioskop_2251/

Siti merupakan salah satu film "low budget" karena hanya

menghabiskan Rp150 juta untuk seluruh proses produksi film yang berdurasi

88 menit.Eddie Cahyono, sutradara sekaligus penulis naskah film juga hanya

menghabiskan dua bulan untuk menyelesaikan naskah Film Siti. Proses

pengambilan gambar film ini tergolong cepat karena hanya dilakukan selama

enam haridi sekitar Pantai Parangtritis, Yogyakarta. Penggunaan teknik

33
sinematografi dengan adegan panjang tanpa putus yang bergerak mengikuti

pergerakan para lakonnya sengaja dilakukan agar menonjolkan emosi berderak

dari peran Siti.

Pewarnaan hitam putih dalam film ini sengaja dilakukan untuk

menggambarkan betapa "tidak berwarna"-nya hidup seorang Siti. Selain itu,

sutradara dan produser juga membuat keputusan berani untuk mengubah rasio

gambar dari 16:9 menjadi 4:3 untuk "mendekatkan" kehidupan Siti dan

penontonnya, sekaligus menonjolkan terbatasnya pilihan-pilihan hidup Siti.

2.1 Gambaran Umum

2.1.1 Siti

 Sutradara : Eddie Cahyono


 Produser : Ifa Isfansyah
 Penulis : Eddie Cahyono
 Pemeran : - Sekar Sari

- Bintang Timur

- Haydar Saliz

- Ibnu Widodo

- Titi Dibyo

 Musik : Krisna Purna


 Sinematografi : Ujel Bausad
 Penyunting : Greg Arya
 Distributor : Four Colours Films
 Durasi : 88 menit
 Negara : Indonesia
 Bahasa : Jawa
 Anggaran : Rp 150 juta

34
2.1.2 Sinopsis

Siti (Sekar Sari) adalah perempuan 24 tahun yang hidup bersama

dengan ibu mertuanya Darmi (Titi Dibyo), anak semata wayangnya Bagas

(Bintang Timur Widodo), dan suaminya Bagus (Ibnu Widodo). Keluarga Siti

adalah keluarga miskin yang tinggal di pinggir pantai Parangtritis. Bagus

berprofesi sebagai seorang nelayan miskin yang membeli perahu baru dengan

cara berhutang. Namun, nasib sial menimpa satu tahun lalu ketika perahu baru

milik Bagus mengalami kecelakaan, melenyapkan perahu sekaligus membuat

Bagus lumpuh, serta membuat Bagus tidak mampu melunasi hutangnya.

Akibat kecelakaan itu, Siti dan Darmi beralih profesi sebagai penjual

peyekjingking untuk wisatawan di pantai Parangtritis. Di malam hari, Siti juga

bekerja menjadi pemandukaraokedi salah satu tempat karaoke ilegal.

Adegan film dimulai ketika polisi menggrebek dan menutup tempat

karaoke Sarko (Agus Lemu Radia). Sementara itu, Bagus marah dan mogok

bicara dengan Siti karena ia menjadi pemandu karaoke, sementara Siti terpaksa

melakoni profesi malam itu demi melunasi hutang Bagus. Siti yang kesal

akhirnya ikut bersama dengan Sarko dan beberapa karyawan karaoke lainnya

melakukan unjuk rasa di depan kantor Polisi setempat. Di sanalah, Siti

bertemu dengan Gatot (Haydar Saliz), salah satu polisi tampan yang ikut

menjaga unjuk rasa. Siti dan Gatot mulai terlihat saling jatuh cinta dan terlibat

dalam hubungan gelap. Teman-teman sesama pemandu karaokenya mulai

membujuk Siti untuk segera meninggalkan Bagus dan menikah dengan Gatot

yang lebih mapan.

35
Siti menjadi frustrasi ketika sang penagih hutang kembali datang pada

suatu pagi dan memberikan tenggat waktu 3 hari bagi Siti untuk melunasi

utang suaminya sebesar lima juta rupiah. Sementara itu, Bagas menjadi malas

belajar dan beberapa kali melawan perintah Siti. Secara bersamaan, Sarko

mengundang Siti untuk datang lagi ke tempat karaoke, karena Sarko sedang

berusaha menyogok polisi dengan memberikan layanan karaoke gratis malam

itu agar tempat karaokenya dapat kembali dibuka. Siti dan teman-temannya

bertugas menjadi pramuria, menggoda para polisi, tidak terkecuali Gatot yang

hadir malam itu. Di ruang karaoke, Siti yang frustrasi berat merokok dan

minum bir hingga mabuk. Siti yang mulai tidak terkendali akhirnya mulai

mendekati Gatot.

Di luar ruang karaoke, Sarko dan teman-temannya terus memanas-

manasi situasi agar Siti mau menerima pinangan Gatot. Siti yang terpojok

melepaskan frustrasinya dengan mendekam di dalam kamar mandi, ketika

tiba-tiba Gatot masuk ke dalam kamar mandi. Di sana, mereka berdua

berciuman, namun tidak lama Gatot kebingungan karena Siti yang tiba-tiba

merasa "bukan Siti yang biasanya". Namun, setelah Gatot kembali

menanyakan apakah Siti akan menerima lamarannya, Siti memutuskan untuk

tetap bersama dengan Bagus sekalipun ia terlilit hutang. Gatot pun

memberikan uang untuk membantu melunasi hutangnya.

Siti yang mabuk berat hingga tidak mampu berdiri terpaksa pulang

sambil dipandu kedua temannya pada dini hari. Siti kemudian berjalan tertatih-

tatih menuju kamar suaminya untuk menunjukkan bahwa ia telah membawa

uang untuk melunasi utang, sekaligus menceritakan bahwa ia mencintai Gatot.

36
Mendengar hal itu, Bagus hanya mengucapkan "Pergi" dengan nada yang

berat. Mendengar hal itu, Siti marah dan film diakhiri dengan adegan Siti pergi

keluar rumah dan berjalan menuju pantai saat subuh, terus berjalan menuju

ombak lautan.

2.1.3 Penayangan Perdana

Siti adalah salah satu film karya anak bangsa yaitu Eddie Cahyono,

Sebagai film independen, Siti tidak ditayangkan melalui bioskop berjaringan

di seluruh Indonesia, namun justru pertama kali dirilis dalam Jogja-Netpac

Asian Film Festival 2014. Setelah mendapatkan penghargaan di Festival Film

Indonesia (FFI) 2015, baru film ini ditayangkan di bioskop.

2.1.4 Penghargaan

Penghargaan Tanggal Kategori Penerima Hasil

Singapore 13 Best Performance Sekar Sari Menang

International /12/2014 for Silver Screen

Film Festival Award

2014

"Asian New 20 /6/2015 Best Scriptwriter Eddie Menang

Talent Award" Cahyono

Shanghai Best Ujel Nominasi

International Cinematographer Bausad

Film Festival

2015

17th Taiwan Juli 2015 International New Siti Nominasi

International Talent Competition

37
Film Festival

2015

23rd Filmfest Oktober NDR Young Talent Siti Nominasi

Hamburg 2015 2015 Award

Apresiasi Film 24 Film Fiksi Panjang Siti Menang

Indonesia 2015 /10/2015 Terbaik

Poster Film Terbaik Siti Menang

19th Toronto 8 /11/2015 Honourable Feature Siti Menang

Reel Asian Mention

International

Film Festival

2015

9th Warsaw 20 /11/ Special Mention Siti Menang

Five Flavours 2015

Film Festival

201

Festival Film 23 Film Terbaik Siti Menang

Indonesia 2015 /11/2015 Penulis Skenario Eddie Menang

Asli Terbaik Cahyono

Penata Musik Krisna Menang

Terbaik Purna

Sutradara Terbaik Eddie Nominasi

Cahyono

Sinematografi Ujel Nominasi

Terbaik Bausad

38
2.1.5 Scene ObjekPenelitian

 Scene 1
 Kodewaktu(00:02:55 – 00:03:03)

 Scene 2
 Kode Waktu (00:06:05 – 00:06:18)

 Scene 3
 Kode Waktu (00:09:30– 00:10:00)

 Scene 4
 Kode Waktu (00:13:47 – 00:13:52)

 Scene 5
 Kode Waktu (00:14:33 – 00:15:27)

 Scene 6
 Kode Waktu (00:20:44– 00:22:10)

 Scene 7
 Kode Waktu (00:23:38 – 00:23:50)

 Scene 8
 Kode Waktu (00:27:33 – 00:27:55)


39
 Scene 9
 Kode Waktu (00:32:52– 00:33:00)

 Scene 10
 Kode Waktu (00:34:06 – 00:34:10)

 Scene 11
 Kode Waktu (00:34:56 – 00:35:11)

 Scene 12
 Kode Waktu (00:42:36 – 00:42:55)

 Scene 13
 Kode Waktu (00:4:08 – 00:43:41)

 Scene 14
 Kode Waktu (00:53:35 – 00:54:45)

 Scene 15
 Kode Waktu (01:01:27 – 01:03:13)

 Scene 16
 Kode Waktu (01:03:58 – 01:04:54)

40
 Scene 17
 Kode Waktu (01:05:13 – 01:05:32)

 Scene 18
 Kode Waktu (01:06:28 – 01:06:48)

 Scene 19
 Kode Waktu (01:07:45 – 01:08:06)

 Scene 20
 Kode Waktu (01:09:59 – 01:10:48)

 Scene 21
 Kode Waktu (01:11:32– 01:11:34)

 Scene 22
 Kode Waktu (01:16:52 – 01:18:00)

41
BAB III

ANALISA DATA

3.1 Penyajian Data

Peneliti melakukan penelitian terhadap scene to scene film Siti, untuk

menguji: simbol dalam scene, makna denotasi, makna konotasi dan mitos, sebagai

berikut:

1. Kode Waktu ( 00:02:55 – 00:03:03 )

Gambar 3.1 Polisi sedang memeriksa KTP para pemandu karaoke

42
Gambar 3.2 Polisi sedang memeriksa KTP Inem

Gambar 3.3 Polisi sedang memeriksa KTP para pemandu karaoke

SCENE

Pada suatu malam di tempat karaoke sedang ada pemeriksaan oleh

pihak kepolisian.

DIALOG:

-Polisi: yang punya karaoke mana?


-Sarko: saya pak
-Polisi: kamu? jenengmu sopo?

43
-Sarko: Sarko pak

-Polisi: Sarko..semuanya!! Keluarin KTPnya!


(sambil membentak)..ayoo.. KTP…KTP
(berbicara di depan Inem)
-Inem: ora nduwe aku pak.
-Polisi: KTP ora nduwe. Jenengmu sopo?
-Inem: Inem

-Polisi: KTP ora nduwe .. warga Negara ngendi ora nduwe KTP!
kowe ora nduwe KTP? (polisi menunjuk orang di sebelah
Inem)
kowe yo ora nduwe KTP?
KTP ? (sambil membentak)

jenengmu sopo ? (bertanya di depan Wati)


-Wati: Wati pak.
-Polisi: kamu ?
-Sri: (menunjukkan KTP ke polisi)
-Polisi: kamu ? Jenengmu sopo? (polisi berbicara di depan Siti)
heh! ditakoni meneng wae!

jenengmu sopo ?(sambil membentak)


heh ?? jawab! (sambil membentak)

DENOTATIF

Siti bersama dengan teman-temannya sedang bekerja di tempat

karaoke. Tiba-tiba tempat tersebut digerebek oleh polisi karena tidak

memiliki izin. Mereka dibariskan dan ditanya tentang KTP.

KONOTATIF

44
Kehidupan malam bagi Siti sudah menjadi hal yang biasa, bahkan

demi menutup kebutuhan sehari-hari, para wanita itu rela menjadi budak

nafsu para pria nakal.

MITOS

Tempat karaoke dijadikan tempat hiburan sekaligus tempat

mencari uang bagi Siti.Sebagai perempuan,tidak baik keluar di malam hari

apalagi dia bekerja di tempat karaoke. Siti juga mempunyai suami,

seharusnya dia menjaga nama baik keluarga terutama suaminya. Banyak

sebagian dari masyarakat menganggap bahwa bekerja di tempat hiburan

malam dianggap sebagai perempuan nakal.

2. Kode Waktu (00:06:05 – 00:06:18)

Gambar 3.4Siti membangunkan Bagas

45
Gambar 3.5Siti menggendong Bagas

Gambar 3.6Siti membujuk Bagas untuk pergi ke sekolah

Gambar 3.7 Simbok menyindir Bagas karena minta di gendong

46
SCENE

Siti membangunkan Bagas untuk pergi ke sekolah.

DIALOG:
-Siti: Bagas! Bagas!
ayo tangi! ndang adus!ayooo! Ayo toh!
-Bagas: arghhh..
-Siti: gas?? ayok toh!
-Bagas : gah
-Siti: lha ngopo? (Bagas tidak menjawab)
ditakoni kok ora njawab.ayoo toh!
-Bagas : aku emoh sekolah.
-Siti: lha ngopo?ayoo toh!
-Bagas : neng sekolah onok setane.
-Siti: ket wingi kok ngomong setan terus.jare arep
dadi pilot. Dadi pilot yo ora oleh wedi setan!
dadi pilot yo kudu gelem sekolah.
-Bagas : aku emoh sekolah.
(Siti menggendong Bagas dan beranjak ke Sumur, untuk
memandikan Bagas)
-Simbok: wes gede kok njaluk gendhong gas!
(sambil tertawa)

DENOTATIF

Di pagi hari Bagas menolak ajakan ibunya untuk pergi ke sekolah,

karena takut ada hantu disekolahnya.

KONOTATIF

47
Siti meyakinkan dan menenangkan Bagas untuk pergi ke sekolah,

karena dia ingin Bagas menjadi anak yang pemberani dan pintar supaya

tidak seperti orang tuanya.

MITOS

Seorang ibu harus bertanggung jawab untuk mengasuh dan

mendidik anak-anaknya supaya menjadi orang yang pintar dan terpelajar.

3. Kode Waktu (00:09:30–00:10:00)

Gambar 3.8 Siti menunjukkan seragam baru Bagas kepada suaminya

SCENE

Di pagi hari Siti memegang baju seragam sekolah.

DIALOG:
-Siti: mas aku wingi tuku seragam sekolah nggo Bagas.
Apik ora mas ?

48
(sambil menunjukkan seragam sekolah Bagas ke Bagus)

mas, mbok pisan-pisan ki ngomong!


aku pengen krungu suaramu mane.
(Siti pergi dengan wajah kecewa).

DENOTATIF

Sebagai ibu yang sayang kepada anaknya, dia membelikan seragam

baru untuk Bagas. Siti menunjukkan baju baru Bagas kepada suaminya.

Tetapi tidak ada respon dari Bagus.

KONOTATIF

Siti adalah gambaran seorang ibu yang menganggap bahwa dia

akan senang jika melihat anaknya juga senang.

Dengan membelikan seragam baru, Siti menunjukkan

kepeduliannya terhadap Bagas dan untuk memotivasi Bagas supaya lebih

giat sekolah.

MITOS

Membelikan barang kebutuhan anaknya sudah menjadi tanggung

jawab orangtua, dan menjadi hak seorang anak. Karena dengan barang-

barang tersebut dapat menjadi motivasi supaya giat bersekolah.

4. Kode Waktu (00:13:47 – 00:13:52)

49
Gambar 3.9Bagas berpamitan kepada Simbok sebelum berangkat sekolah

Gambar 3.10 Bagas berpamitan kepada Siti sebelum berangkat sekolah

Gambar 3.11Siti menyuruh Bagas untuk berpamitan kepada bapaknya

50
Gambar 3.12 Bagas tidak mau berpamitan kepada bapaknya

SCENE

Bagas berpamitan sebelum berangkat ke sekolah.

DIALOG:
-Simbok: seng akeh lek maem Gas??
ben gelis gede, ben iso, ngewangi ibumu.
-Bagas: aku wes ngewangi kok. Ngewangi ngentekke maem.

(Bagas meniup makanannya yang masih panas)


-Simbok: rasah didamoni ora ilok!
nyoh dikipasi wae nyoh.
(Simbok memberikan kipas tangam kepada Bagas)
-Bagas: ayo maem buk, ayo mbah.
-Siti: ibu mengko lek maem.
-Simbok: seragammu anyar yo gas ?

-Bagas: (menganggukkan kepala)


-Simbok: mbok ojo gelut maneh, ndak seragame suwek.
mesakke ibumu kuwi loh leh tuku larang-larang.
-Bagas: nggeh mbah.
-Simbok: lah lek ng sekolah yo ora oleh kurang ajar yo!

51
neng gurune, manut.

-Bagas: nggeh mbah.


-Simbok: terus nek karo….
(Bagas memotong pembicaraan Simbok)
-Bagas: Simbah ikilo ngejak ngomong terus, aku lagi maem selak
telat mengko.
-Siti: wes gek ndang dientekke.
-Bagas: (Bagas bersendawa)
-Siti: Bocah ikilo.
-Bagas: pamit mbah
-Simbok:iyo, ati-ati yo le.
-Bagas:pamit bu

-Siti: pamit karo Bapak!


-Bagas: moh!
-Siti: Gas!(sambil memberikan uang saku)
ngomong opo?
-Bagas: nuwun nggeh bu.
(mengambil sepeda dan berangkat ke sekolah).

DENOTATIF

Bagas adalah murid SD di daerah Parang Tritis. Setiap pagi

sebelum berangkat sekolah dia selalu berpamitan kepada Simbok dan Siti.

Tetapi dia tidak mau berpamitan kepada bapaknya. Meskipun Siti sudah

menyuruhnya untuk berpamitan.

KONOTATIF

Dalam adegan ini seakan-akan Bagas tidak peduli kepada

bapaknya. Bagusdianggap sebagai orang asing bagi Bagas. Karena tidak

52
pernah mengajak bermain ataupun mengobrol dengannya. Bagas merasa

kecewa terhadap bapaknya.

MITOS

Sebelum meninggalkan rumah pasti kita selalu berpamitan kepada

orang tua. Itu sudah menjadi suatu kebiasaan. Supaya kita mendapatkan

restu dari orang tua dalam setiap langkah kita.

5. Kode Waktu (00:14:33 – 00:15:27)

Gambar 3.13 Simbok menyarankan Siti untuk mencari pekerjaan lain

Gambar 3.14 Siti sedang mengobrol dan merokok di depan Simbok

53
Gambar 3.15 Siti sedang mengobrol dengan Simbok

Gambar 3.16 Simbok menyuruh Siti mencari pekerjaan lain

54
Gambar 3.17 Simbok menyarankan Siti untuk mencari pekerjaan lain
karena tidak mau dia keluar setiap malam untuk bekerja

SCENE

Tampak dua orang sedang mengobrol di meja makan.

DIALOG:

(Siti merokok di depan mertuanya)


-Simbok: duwit ki mbok ra diobong ti!
kowe ra golek gawean liyo to?
mumpung Bagas ki saiki isok ditinggal.
-Siti: gawean opo mbok?
-Simbok: lha yo golek-golek to.

kae loh sopo?? Si Ratmi kae saiki dadi pegawai negeri.


terus si Imah, kerjo neng Taiwan dadi TKW, hehe jare ki
bayare yuto.
-Siti: wong aku ki SMA ora lulus kon dadi pegawai Negeri. Dadi
TKI yo angel, butuh pelatihan. Ono duwit panjere barang,
duit administrasine yo nganti puluhan yuto. Kuwi tapi kudu
dibayar soko duit bulanan.
-Simbok: lha kowe ngunu kuwi, opo arep ngunu kuwi terus. Saben
bengi metu.
(mereka terdiam sejenak)

55
-Siti: mambengi karaoke ne di grebek polisi.

-Simbok: Ya Allah lha kok iso?


-Siti: penertiban.. kabeh peralatan karaokene disita polisi. omben-
ombene yo digowo kabeh. saiki raoleh no karaokean,
karaokene ditutup.
-Simbok: Alhamdulillah.
-Siti: Simbok ikiloh.

DENOTATIF

Seorang wanita yang memakai daster batik, rambut diikat sedang

merokok di dalam rumah.Dia terlihat asik merokok di depan mertuanya.

KONOTATIF

Merokok biasanya dianggap bisa menghilangkan stress, kebosanan,

menghabiskan waktu, dan penambah semangat.

MITOS

Perempuan yang merokok dianggap kurang lazim bagi sebagian

orang. Karena biasanya para perokok itu diidentikkan dengan laki-laki.

6. Kode Waktu (00:20:44– 00:22:10)

Gambar 3.18Siti sedang memandikan suaminya

56
SCENE

Di pagi hari Siti merawat suaminya.

DENOTATIF

Seorang perempuan memegang handuk basah untuk memandikan

suaminya yang lumpuh.

KONOTATIF

Siti menunjukkan rasa sayang, cinta dan tanggungjawabnya kepada

Bagas. Meskipun bagas tidak mau berkomunikasi dengannya, Siti tetap

menjalankan tugasnya sebagai seorang istri.

MITOS

Sudah menjadi tugas dan tanggungjawab seorang istri untuk

merawat suaminya. Istri harus selalu hati-hati, teliti, rajin, dan terampil

melayani suami. Dalam melayani suami sebaiknya cepat tetapi tetap

lembut. Menjadi seorang istri juga harus menjaga martabat suami.

7. Kode Waktu (00:23:38– 00:23:50)

Gambar 3.19 Siti sedang melampiaskan kemarahannya dengan


menginjak-injak cucian

57
SCENE

Seorang perempuan sedang mencuci baju di pinggir sumur.

DENOTATIF

Siti melampiaskan kekesalan terhadap ketidakpedulian yang

dilakukan oleh suaminya. Dia melampiaskan dengan menginjak-injak

cucian.

KONOTATIF

Cucian diibaratkan sebagai Bagus, yang hanya bisa berdiam, tidak

mau berbicara kepada istrinya. Siti sudah hilang kesabaran tetapi dia tidak

menunjukkan di depan suaminya.

MITOS

Seorang istri harus menghormati dan melayani suaminya, apalagi

suaminya lumpuh. Disini peran seorang istri sangat dibutuhkan.

8. Kode Waktu (00:27:33 – 00:27:55)

Gambar 3.20 Simbok mengucapkan terimakasih kepada Siti karena sudah


merawat anaknya

58
Gambar 3.21 Simbok menceritakan masa kecil Bagus kepada Siti

SCENE

Siti duduk diatas pasir pantai dengan Simbok.

DIALOG:
-Simbok: Nuwun yo Ti?
-Siti: Aku seng matur nuwun mbok.
-Simbok: Duduk kuwi.
Matur nuwun kowe wes ngerawat anakku.
aku dadi kelingan jamane bagus isih cilik
kae.
Mbiyen ki seneng banget ngerewangi aku
dodol

Mlayu mrono, mlayu mrene nawakke peyek


jingking hahaha
Laut seng menehi pangan, laut ugo seng
njupuk pangan
(sambil tertawa kecil)

DENOTATIF

Seorang wanita tua yang memakai kerudung dan capil mengucapkan

terima kasih karena sudah merawat anaknya yang lumpuh.

59
KONOTATIF

Seorang perempuan yang menjadi kepala keluarga, dia bekerja pagi

dan malam demi menutup kebutuhan hidup dan untuk melunasi hutang

suaminya.

MITOS

Sebagai menantu, Siti melaksanakan tugasnya dengan baik dalam

mengurus suami, anak, dan mertuanya. Dia juga rela bekerja di tempat

hiburan malam, yang orang awam bisa menganggap Siti perempuan nakal.

Semua itu dilakukannya tanpa pamrih.

9. Kode Waktu (00:32:52– 00:33:00)

Gambar 3.22Siti sedang melampiaskan kemarahannya dengan berteriak


di pinggir pantai

SCENE

Siti bersama dengan temannya berdiri dipinggir pantai.

DIALOG:
-Siti : Asu..!Asuu…! Asuuuu….!

60
DENOTATIF

Seorang wanita yang kesal terhadap suaminya, dia mengeluh

kepada sahabatnya dan melampiaskan dengan berteriak dipinggir pantai.

KONOTATIF

Seorang istri ini mengandaikan suaminya seperti binatang, Karena

dia kesal suaminya tidak mempedulikan ataupun berbicara kepadanya.

MITOS

Berteriak dengan mengucapkan kata kasar dapat menghilangkan

sedikit beban pikiran. Dan membuat hati dan perasaan menjadi lebih lega.

10. Kode Waktu (00:34:06 – 00:34:10)

Gambar 3.23 Siti dan Sri sedang mengobrol dan makan pisang

61
Gambar 3.24Sri sedang makan pisang pemberian Siti

SCENE

Dua perempuan sedang memakan pisang di pinggir pantai.

DIALOG:
-Siti: gelem ra ?
(Siti menawarkan pisang ke Sri)
-Sri: mas Gatot piye?

-Siti: ngomong kangen.


(siti sambil mencari Hp di dalam keranjang peyek
jingking)
-Sri: ciyee tenane?

we ki ngopo to sit? Nggolek i opo ?


-Siti: nggoleki Hp
-Sri: piye mas Gatot?
-Siti: ngomong kangen kuwi.
-Sri: kangen!!
aku kangen kowe mas Gatot.(sambil tertawa dan
makan pisang).hmm pisange ra enak.
Yo wes Sit iki tak balekke!
(mengembalikan pisang ke keranjang)

62
aku tak balek sek yo? Mengko ndak bojoku nesu.
ngerti dewe. Ngko nek iso kabari aku yo?

DENOTATIF

Siti memberikan pisang kepada Sri. Dia menanyakan bagaimana

hubungan Siti dengan Gatot, lelaki yang mencintai Siti.

KONOTATIF

Teman Siti memakan pisang dan mengibaratkan pisang sebagai

alat kelamin mas Gatot. Karena pisang identik dengan alat kelamin pria.

MITOS

Perempuan yang bekerja di dunia malam, setiap perkataan, ucapan

ataupun tingkah lakunya tidak jauh dengan seks, dan mereka sudah

terbiasa dengan hal-hal tersebut.

11. Kode Waktu (00:34:56 – 00:35:11)

Gambar 3.25 Bagas mengajak Siti bermain layang-layang

63
Gambar 3.26 Bagas dan Siti sedang menerbangkan layang-layang

SCENE

Anak dan ibu sedang bermain di pinggir pantai.

DIALOG:
-Bagas: ibuuu..!!
-Siti: opo?
-Bagas: sido ora buk?

-Siti: sido opo ?


-Bagas: jarene arep dolanan layangan karo aku?
-Siti: mbok dolan dewe kono karo koncomu.
-Bagas: moh!
-Siti: ibuk kan kudu nggolek duit.
-Bagas: nggolek duit terus, mbok ra sah nggolek duit, pokoke
kancani aku dolanan!
(kemudian Siti bermain layang-layang dengan Bagas)
-Siti: mundur gas! terus…
hop..ji..ro..cul…

64
DENOTATIF

Bagas rindu ingin bermain bersama orang tuanya, bahkan dia

berbicara kepada ibunya tidak usah mencari uang, bermain saja dengan

Bagas. Siti juga menunjukkan kalau dia sayang kepada anaknya, dia

mengiyakan ajakan Bagas bermain layang-layang.

KONOTATIF

Siti mengindahkan ajakan Bagas untuk bermain, meski dia harus

berjualan peyek jingking. Semata-mata hanya ingin membuat anaknya

bahagia dan tidak kesepian. Dan mengobati sedikit rasa rindu Bagas

terhadap bapaknya

MITOS

Kasih sayang ibu sepanjang masa. Seorang ibu sangat menyayangi

anaknya, dan rela berkorban demi anaknya, terlihat dalam adegan saat Siti

bermain layang-layang dengan Bagas.

12. Kode Waktu (00:42:36 – 00:42:55)

Gambar 3.27 Pak Sarko sedang mengobrol dengan Siti, Sri, dan Wati

65
Gambar 3.28 Pak Sarko menyuruh Siti untuk datang bekerja nanti malam

Gambar 3.29 Pak Sarko memberitahukan kepada Siti bahwa nanti malam
ada tamu spesial

66
Gambar 3.30 Wati sedang menggoda Siti

Gambar 3.31 Sri sedang menggoda Siti

SCENE

Terlihat Siti sedang mengobrol dengan temannya.

DIALOG:
-Sarko: Siti, ojo lali kowe mengko teko yo! Mangkat, iki tamu
spesial Ti.
-Siti : nggeh pak..
-Wati : spesial nganggo ndog… hahahaa.
( Wati sambil menggoda Siti)
-Sri: ndog lanang…hahahaha.

67
DENOTATIF

Sarko memberitahukan kepada Siti bahwa nanti malam dia harus

datang bekerja, karena ada tamu spesial. Teman perempuan Siti yang

memakai kaos dan memakai jaket dengan rambut diikat terus menggoda

Siti.

KONOTATIF

Mereka mengatakan ndog lanang, bahwa itu adalah bagian intim

dari laki-laki. Mereka mengatakan kata-kata seperti itu seakan-akan sudah

terbiasa, dan mengidentikkan bahwa memang seperti itu etika para pekerja

malam.

MITOS

Perempuan yang bekerja di tempat karaoke, etika, perkataan,

ucapan ataupun tingkah lakunya tidak jauh dengan lelucon tentang seks.

karena menurut mereka lelucon seperti itu lucu, dan membuat mereka bisa

tertawa.

13. Kode Waktu (00:4:08 – 00:43:41)

Gambar 3.32 Sri, wati, dan Siti sedang mengobrol

68
Gambar 3.3 Siti, Sri, dan Wati sedang membicarakan kumis Gatot

Gambar 3.34 Wati membujuk Siti supaya meninggalkan Bagus dan hidup
bersama Gatot

Gambar 3.35 Wati sedang membicarakan harta kekayaan Gatot

69
Gambar 3.36 Sri membicarakan bahwa Gatot hanya belum mempunyai
seorang istri

Gambar 3.37 Wati berbicara seperti itu hanya ingin Siti dan Bagas
bahagia

SCENE

Di siang hari Siti sedang berjalan dengan dua sahabatnya.

DIALOG:

-Sri: sakjane kae yo sit, mas Gatot kae wonge ngganteng


loh!kumise kuwi loh geli-geli ahh…ra nguati pokok e.
-Wati: geli-geli piye ngunu.

-Siti: geli-geli basah.


(mereka bertiga tertawa)

70
-Wati: lek aku dadi kowe loh yo Ti. Tak sikat wae. Kowe ra kesel
po karo bojomu?
-Siti: yo kesel!
-Wati: lha gene!jare kuwi loh yo mas Gatot neng Mbantul wes
nduwe omah dewe, motor yo ono, kurang opo jal ?
-Sri: kurang bojo!
-Siti: kurang ajar!
-Wati: uwes to! Iki demi kowe toh Ti, demi anakmu Bagas.
-Sri: alahh Sit, ora usah dirungokne Sit.
-Wati: ho.oh Ti, ben mas Gatot karo aku.hehehe

-Siti: hihh opo se iki!!


DENOTATIF

Siti, Wati, dan Sri sedang membicarakan tentang Gatot. Wati

sedang mempengaruhi Siti dengan mengiming-imingi harta kekayaan

Gatot. Dan meminta Untuk meninggalkan Bagus.

KONOTATIF

Mereka meledek Siti bahwa Gatot itu tampan dan memiliki kumis

yang membuat geli-geli basah. Geli-geli basah mempunyai arti bahwa bisa

membuat nafsu seks bagi wanita.

MITOS

Bahwa perempuan yang terbiasa dengan dunia malam, setiap

perkataan, ucapan ataupun tingkah lakunya tidak jauh dengan seks.

71
14. Kode Waktu (00:53:35 – 00:54:45)

Gambar 3.38 Siti sedang berganti Baju

Gambar 3.39 Siti sedang bersolek bersiap untuk pergi bekerja

SCENE

Siti sedang bersiap untuk pergi.

DENOTATIF

Di malam hari Siti sedang merias wajah danbersiap-siap bekerja di

tempat karaoke.

72
KONOTATIF

Pada saat dirumah dan ditempat karaoke Siti berdandan berbeda

seakan dia mempunyai dua kepribadian. Apabila dirumah dia berdandan

sederhana dan tanpa riasan, tetapi saat bekerja malam dia berbeda dengan

Siti di pagi hari.

MITOS

Perempuan yang menjadi pemandu karaoke biasanya dipandang

kurang baik oleh sebagian masyarakat, dan biasanya mereka dijauhi atau

dikucilkan.

15. Kode Waktu (01:01:27 – 01:03:13)

gvghj

Gambar 3.40 Siti sedang merokok dan menikmati alunan lagu dangdut

73
Gambar 3.41Gatot memegang tangan Siti

Gambar 3.42Gatot sedang menggoda dan memegang tangan Siti

74
Gambar 3.43Gatot sedang memandangi Siti dengan penuh nafsu

Gambar 3.44Siti sedang berciuman dengan Gatot

SCENE

Siti menikmati alunan musik dangdut dengan Gatot

DIALOG:

-Gatot:piye kabarmu Ti?

-Siti: apik!

-Gatot: SMS ku kok ora tau dibales to?

-Siti: ra nduwe pulsa!

-Gatot: gaya.. (sambil tertawa lirih)

75
(lalu Gatot memegang tangan Siti)

-Siti: Nakal!

(lalu Gatot mencium Siti)

DENOTATIF

Ditempat karaoke yang berisik Gatot mencoba merayu Siti. Siti

yang sedang asik merokok tidak mempedulikan Gatot dan tetap menikmati

alunan musik.

KONOTATIF

Siti wanita yang mudah jatuh hati kepada laki-laki, terbukti dia

menjalin hubungan dengan Gatot. Dia terpengaruh oleh lingkungan tempat

dia bekerja di karaoke.

MITOS

Faktor lingkungan bisa mempengaruhi individu, jika lingkungan

sekitar tempat tinggalnya baik maka individu juga bisa menjadi lebih baik,

begitu juga sebaliknya. Siti terpengaruh dengan lingkungan tempat dia

bekerja, dia menjadi seorang perokok dan peminum, bahkan yang lebih

parah dia berselingkuh dengan lelaki lain di belakang suaminya.

76
16. Kode Waktu (01:03:58 – 01:04:54)

Gambar 3.45 Siti menanyakan minuman apa yang sedang dibuatSarko

Gambar 3.46 Sarko sedang menyiapkan minuman keras untuk para


tamunya

77
Gambar 3.47 Siti meminta minuman yang dibuat Sarko

Gambar 3.48 Siti mengobrol dengan Sarko sambil merokok

Gambar 3.49 Siti meminum minuman keras

78
Gambar 3.50 Siti memberikan jempol kepada Sarko karena minumannya
enak

SCENE

Siti sedang mengobrol dengan laki-laki.

DIALOG:
-Sarko: kowe Ti?
(Siti menyalakan rokok)
-Siti: opo kuwi pak ?
-Sarko: iki seng marai methit kae loh Ti!(sambil tertawa)
urip pisan lak mek mampir ngombe toh Ti!
we ki nopo toh Ti ?
-Siti: orapopo .. njaluk pak!
-Sarko: iyo yo yo…
nyohh (Sarko memberikan minuman kepada siti, tetapi
minta diisi penuh)

-Siti: maneh
-Sarko: oh.. iyo!(sambil tertawa)
nyohh..(Siti meminumnya)
piye ?

79
-Siti: sip!!

-Sarko: hahahaaa…
jelas gaweane pakde Sarko!

DENOTATIF

Terlihat seorang lelaki yang sedang menyiapkan minuman. Siti

yang sedang sedih, ingin mencoba minuman yang dibuat oleh Sarko.

KONOTATIF

Bagi sebagian orang minuman keras dapat membuat pikiran

melayang, menghilangkan rasa stress.

MITOS

Di sebuah tempat hiburan sudah terlihat biasa jika seorang

perempuan meminum minuman keras dan merokok. Dan itu sudah

menjadi sebuah kebiasaan bagi Siti. Bahkan dirumah pun dia tidak

sungkan untuk merokok di depan mertuanya.

17. Kode Waktu (01:05:13 – 01:05:32)

Gambar 3.51 Siti meminjam uang kepada Sarko

80
Gambar 3.52 Sarko menjelaskan kepada Siti bahwa dia tidak mempunyai
uang

Gambar 3.53 Sarko menyuruh Siti untuk melayani para tamu supaya
mendapatkan uang

81
Gambar 3.54 Siti mengobrol dengan Sarko masalah keuangan

SCENE

Sarko dan Siti sedang mengobrol.

DIALOG:
Sarko: lohh we iki jane keno opo to Ti?
-Siti: aku oleh nyilih duit ra pak ?
-Sarko: ahh!Siti..Siti.. lha kowe iki lak yo ngerti toh Ti, lek bisnis
karaoke ne awakdewe iki lagi macet!
hah! Tapi ngene Ti, kowe rasah kuwatir yo. Seng penting
tamu-tamune kae mok senengke.
mengko iso metu duit seng okeh loh! Yo?
hehee..
yowes, nek ngunu aku tak rono sek, we ngko nyusul, ning
ojo suwe-suwe, yo Ti yo!

DENOTATIF

Wanita yang bekerja sebagai pemandu karaoke ini, ingin

meminjam uang kepada pemilik karaoke. Dia mencari pinjaman untuk

membayar hutang suaminya.

82
KONOTATIF

Siti gali lobang tutup lobang untuk membayar hutang. Meskipun

dia bekerja siang dan malam tetapi masih belum bisa melunasi hutangnya.

MITOS

Terlihat dalam adegan, siti menganggap meminjam uang bisa

melunasi hutang, padahal dia juga sedang berhutang dan dia juga harus

membayar hutang tersebut. Itu semua dilakukannya karena paksaan orang

yang meminjamkan uang kepada Siti.

18. Kode Waktu (01:06:28 – 01:06:48)

Gambar 3.55 Gatot mengajak Siti menikah

83
Gambar 3.56 Gatot ingin hubungannya dengan Siti ke jenjang yang lebih
jauh karena mereka sudah lama menjalin hubungan

Gambar 3.57 Gatot menyuruh Siti meninggalkan Suaminya

Gambar 3.58 Gatot menyuruh Siti meninggalkan Bagus karena atas dasar
keinginan Siti

84
SCENE

Lelaki yang berkumis dan berambut cepak sedang mengungkapkan

perasaan di depan teman wanitanya.

DENOTATIF

Lelaki yang bekerja sebagai polisi menyatakan bahwa dia ingin

menikahi Siti.

KONOTATIF

Hubungan gelab yang terjalin antara Gatot dan Siti, membuat Gatot

ingin mempersunting Siti.

MITOS

Secara sosial telah terbukti bahwa perselingkuhan bisa berbuntut

kehancuran rumah tangga yang berakibat buruk untuk kehidupan anak-

anak yang tidak bersalah. Dan jika orang tua bercerai Karena keegoisan

mereka, juga dapat mengganggu mental dan tumbuh kembang anak

tersebut.

85
19. Kode Waktu (01:07:45 – 01:08:06)

Gambar 3.59 Gatot menunggu Siti didepan kamar mandi sambil merokok

Gambar 3.60 Siti dan Gatot sedang berciuman di kamar mandi

SCENE

Terlihat Gatot sedang menunggu Siti di depan toilet.

DIALOG:
(Gatot mengejar Siti sampai kamar mandi)

-Gatot: kowe arep nendi Ti?


-Siti: arep nguyuh!

86
(sambil menunggu Siti didepan kamar mandi, Gatot
merokok)
(kemudian Gatot ditarik masuk kamar mandi dan mereka
berciuman)

DENOTATIF

Lelaki berambut cepak dan berkumis itu mengejar Siti sampai ke

toilet. Siti menarik Gatot masuk ke toilet. Mereka berciuman di dalam

toilet.

KONOTATIF

Terdapat kesan bahwa wanita pekerja malam tidak setia kepada

suaminya. Terbukti dia melakukan hubungan gelab dengan pria lain.

MITOS

Perselingkuhan tidak hanya memberikan pengaruh buruk pada

orang yang berselingkuh saja, orang yang diselingkuhi juga merasakan

dampak negatif pada kesehatan mental mereka.

20. Kode Waktu (01:09:59 – 01:10:48)

Gambar 3.61 Siti meminjam uang kepada Gatot

87
Gambar 3.62 Siti meminjam uang untuk membayar hutang

Gambar 3.63 Siti dan Gatot sedang berpelukan

SCENE

Wanita dengan rambut terurai sedang mengobrol dengan lelaki berambut

cepak dan berkumis.

DIALOG:
-Gatot: kenopo to kowe iki, ono opo? cerito wae, onok opo?onok
masalah opo?
-Siti: nduwe duit sak yuto gak mas?
-Gatot: hah!!

88
-Siti: aku nyilih duit sak yuto, sesuk tak balekke.

-Gatot: arep nggo ngopo Ti?


-Siti: oleh ora?
(Gatot membuka isi dompetnya)
-Gatot: aku ora nggowo sak yuto Ti.
aku mung nggowo 750.000 ..iki..
cekelen sek, sesuk tak genepi rasah nyilih.

(kemudian mereka berpelukan)

DENOTATIF

Wanita yang bekerja sebagai pemandu karaoke ini, ingin

meminjam uang kepada Gatot, untuk membayar hutang suaminya.

KONOTATIF

Siti gali lobang tutup lobang untuk membayar hutang. Meskipun

dia bekerja siang dan malam tetapi masih belum bisa melunasi hutangnya.

MITOS

Jangan mudah untuk berhutang, apalagi hutang sana hutang

siniatau gali lubang tutup lubang,karena hanya akan membebani diri

sendiri. Jangan dijadikan hutang sebagai kebiasaan, karena akan

berdampak buruk.

89
21. Kode Waktu (01:11:32 –01:11:34)

Gambar 3.64 Siti dan Gatot sedang menikmati alunan musik dangdut

SCENE

Wanita dengan rambut terurai dengan lelaki berkumis dan rambut

cepak, sedang menikmati alunan musik dangdut.

DENOTATIF

Siti berjoget sambil sesekali menempelkan badannya ke Gatot. Siti

yang sedang mabuk menikmati apa yang sedang dilakukannya.

KONOTATIF

Bagi sebagian orang minuman keras dapat membuat melayang,

menghilangkan stress.

MITOS

Di sebuah tempat hiburan sudah terlihat biasa jika seorang

perempuan meminum minuman keras dan merokok.

90
22. Kode Waktu (01:16:52 – 01:18:00)

Gambar 3.65 Siti sedang mabuk dia menceritakan kepada Bagus bahwa
dia sudah mendapatkan uang untuk membayar hutang

Gambar 3.66 Siti menceritakan hubungannya dengan lelaki lain

91
Gambar 3.67 Nama lelaki yang mencintai siti adalah Gatot

Gambar 3.68 Siti menceritakan bahwa Bagus bahwa Gatot ingin


menikahinya

Gambar 3.69 Siti menanyakan apakah boleh dia menikah dengan Gatot

92
Gambar 3.70 Bagus marah dan menyuruh Siti pergi

Gambar 3.71 Siti menangis dan mengolok-olok Bagus dengan sebutan asu

SCENE

Siti tidur disamping suaminya.

DIALOG:
(Siti yang sedang mabuk, berbicara dengan Bagus)
-Siti: mas, aku wes entuk duit mas. ngge mbayar kapal.aku wes
entuk mas, 5 yuto.
mas kowe ki kok ratau ngomong toh?
aku iki pengeeennn banget kerungu suaramu.
(Siti diam sejenak)

93
aku pengen pisah mas.

aku ketemu wong lanang liyo jenenge mas Gatot, polisi.


mas Gatot ngejak aku nikah mas. oleh ora mas?
-Bagus: lungo o Ti! lungo o!
-Siti: asu o kowe mas!!
(kemudian Siti keluar meninggalkan Bagus dan memberikan
uang untuk membayar hutang kepada mertuanya)

DENOTATIF

Wanita dengan rambut terurai dalam kondisi mabuk, dia

menceritakan kepada suaminya bahwa dia sudah mendapatkan uang untuk

membayar hutang.

KONOTATIF

Siti mengatakan bahwa suaminya Asu, karena dia diusir dari rumah

karena marah melihat istrinya berkelakuan seperti itu. Mengatakan hal

seperti itu tidak baik bagi seorang istri kepada suaminya.

MITOS

Orang yang sedang mabuk tanpa sadar mengucapkan apa yang ada

di pikirannya. Tanpa memikirkan apakah ucapannya menyakiti orang yang

diajak berbicara atau tidak. Karena dia diluar kendali dirinya sendiri.

94
3.2 HASIL DAN ANALISIS PENELITIAN

Dari hasil analisis data diatas, yang menggunakan semiotika

Roland Barthes, maka dapat dilihat bahwa film ini kental akan nilai-nilai

feminisme.

Pertama, Film Siti bercerita tentang seorang wanita yang rela

bekerja pagi dan malam untuk melunasi hutang dan menghidupi keluarganya.

Pekerjaan itu terpaksa dia lakukan karena tidak ada pilihan lain, pendidikan

yang kurang membuatnya terjerumus dalam pekerjaan itu. Siti harus melayani

tamunya setiap malam, sampai pada akhirnya dia bertemu dengan lelaki yang

bekerja sebagai polisi, dia bernama Gatot. Hal tersebut menyiratkan bahwa

perempuan yang bekerja di tempat hiburan malam, identik dengan perempuan

nakal.

Kedua, selain sebagai ibu, Siti juga menggantikan peran kepala

keluarga, terbukti saat Siti membelikan seragam baru, bermain layang-layang,

memandikan Bagas. Siti sangat menyayangi anaknya dan keluarganya,

meskipun Suaminya lumpuh dia tetap merawat dengan baik, menyuapi dan

memandikan Bagus sudah menjadi kegiatan rutin Siti, meskipun dia kesal

suaminya tidak mau berbicara lagi karena Siti bekerja sebagai pemandu

karaoke. Siti juga merupakan istri yang rajin, dia selalu membantu mertuanya

membuat peyek jingking, dan berjualan di pantai Parang Tritis.

Ketiga, kehidupan malam yang dijalani oleh Siti membuatnya

menjadi perokok aktif, meminum minuman keras. Siti juga tidak segan

merokok di depan mertuanya, meskipun disindir oleh mertuanya tetapi Siti

95
tetap merokok didepannya. Begitu juga dengan gaya bicara Siti dan teman-

temannya yang vulgar, bercanda mereka selalu berhubungan dengan seks. Ini

mengindikasikan bahwa mereka seakan terbiasa dengan hal-hal yang seperti

itu.

Keempat, Sudah lama Siti menjalin hubungan gelab dengan Gatot,

Siti melakukan itu karena dia merasa kesal dengan suaminya yang tidak

mempedulikannya. Teman Siti, Sri dan Wati menghasutnya supaya

menceraikan Bagus dan menikah dengan Gatot, mereka menyuruh Siti

melakukan itu atas dasar untuk kelanjutan hidup Siti dan Bagas kedepannya.

Gatot ingin menikahi Siti meskipun mengetahui Siti mempunyai suami. Siti

menceritakan tentang Gatot kepada suaminya dalam keadaan mabuk, dia

menjelaskan semua, akhirnya Siti diusir dari rumah oleh suaminya. Dalam hal

ini Perselingkuhan tidak hanya memberikan pengaruh buruk kepada orang

yang berselingkuh saja, tetapi orang yang diselingkuhi juga merasakan dampak

negatif pada kesehatan mental mereka.

Tokoh Siti dalam film ini diklasifikasikan kedalam feminisme

Marxis, analisisnya mengarah pada kondisi tekanan/dominasi terhadap

perempuan sumber utamanya adalah tekanan kapitalis. Mereka mendominasi

hubungan sosial dan politik dan sebagai akibatnya perempuan di reduksi

menjadi bagian dari properti belaka. Penganut Marxis percaya bahwa status

kaum perempuan akan berubah hanya melalui revolusi sosial dan penghapusan

pekerjaan domestik. Seperti model Liberal, Marxisme juga menerima

pandangan bahwa teknologi akan membebaskan kaum perempuan. Terbukti

bahwa dalam film ini Siti menentukan dia ingin bekerja sebagai pemandu

96
karaoke, dia juga menjadi seorang kepala keluarga karena dia menggantikan

peran suaminya yang tidak bisa bekerja, Siti juga mengurus suami dan anaknya

dengan baik Karena itu sebuah tanggung jawab seorang ibu kepada anaknya.

Dalam film ini, tokoh Siti diperankan sebagai wanita yang tangguh,

bertanggung jawab, dan penuh perjuangan.

97
BAB IV

KESIMPULAN

4.1 Kesimpulan

Berdasarkan analisis dan pembahasan data pada bab sebelumnya

mengenai representasi feminisme dalam film Siti, maka ada beberapa

kesimpulan yang dapat peneliti sampaikan dalam bab ini:

1. Film ini sangat menarik untuk diteliti, tidak seperti film lain yang

konvensional. Salah satu keunggulan dalam film ini adalah berjenis

film monokrom. Pemilihan warna hitam putih dalam keseluruhan

film ini, sengaja dilakukan untuk memvisualisasikan betapa tidak

berwarna-nya hidup seorang Siti. Rasio gambar yang seharusnya

16:9 diubah menjadi 4:3. Hal tersebut mempunyai maksud untuk

mendekatkan penonton dalam memaknai kehidupan Siti, sekaligus

menonjolkan terbatasnya pilihan-pilihan hidup Siti di film itu.

2. Film Siti, menggambarkan tokoh Siti sebagai seorang perempuan

yang rela bekerja pagi dan malam untuk melunasi hutang dan

menghidupi keluarganya. Pekerjaan itu terpaksa dia lakukan karena

tidak ada pilihan lain, pendidikan yang kurang membuatnya

terjerumus dalam pekerjaan itu. Siti harus melayani tamunya setiap

malam, sampai pada akhirnya dia bertemu dengan lelaki yang

bekerja sebagai polisi, dia bernama Gatot. Menyiratkan bahwa

perempuan yang bekerja di tempat hiburan malam, identik dengan

perempuan nakal.

97
3. Film Siti juga merepresentasikan kehidupan sosial perempuan di

Indonesia, khususnya kehidupan para pekerja malam. Selain itu

film ini merepresentasikan kekuatan dalam diri perempuan berupa

kekuatan fisik dan pikiran. Pesan yang disampaikan dalam film ini

adalah supaya perempuan tegas untuk menentukan sikap dan

mempunyai keberanian untuk memilih.

4. Film Siti ini diklasifikasikan kedalam feminisme Marxis

analisisnya mengarah pada kondisi tekanan/dominasi terhadap

perempuan sumber utamanya adalah tekanan kapitalis. Mereka

mendominasi hubungan sosial dan politik dan sebagai akibatnya

perempuan di reduksi menjadi bagian dari properti belaka.

Penganut Marxis percaya bahwa status kaum perempuan akan

berubah hanya melalui revolusi sosial dan penghapusan pekerjaan

domestik. Seperti model Liberal, Marxisme juga menerima

pandangan bahwa teknologi akan membebaskan kaum perempuan.

4.2 Saran

Dari hasil penelitian yang telah disimpulkan, maka peneliti dapat

menyampaikan saran sebagai berikut:

4.2.1 Kepada Para Pelaku Film Indonesia

Meningkatnya produksi perfilman yang berarti perfilman

Indonesia sedang beranjak dari tidur, menuju kebangkitannya memang

menggembirakan. Namun, masih ada yang perlu diperhatikan dalam

pembuatan sebuah film. Ide cerita dan pesan yang bisa menginspirasi

98
para penonton sangat diperlukan dalam pembuatan sebuah film yang

bagus.

4.2.2 Kepada Penonton Film di Indonesia

Kepada para penonton, harus lebih cerdas untuk mengolah

semua informasi yang terdapat dalam film. Penonton sebaiknya tidak

menelan mentah-mentah informasi tersebut dan menjadi penonton yang

cerdas dalam menghadapi terpaan media seperti ini. Penonton

diharapkan bisa mengambil sisi positif dan membuang sisi negatif pada

film yang mereka tonton.

4.2.3 Saran Untuk Penelitian Selanjutnya

Peneliti yang akan melakukan penelitian selanjutnya,

disarankan untuk mencari dan membaca referensi lain lebih banyak lagi

sehingga hasil penelitian selanjutnya akan semakin baik serta dapat

memperoleh ilmu pengetahuan yang baru.

99
Daftar Pustaka

Buku:

Barthes, Roland. 1972. Membedah Mitos-Mitos Budaya Massa. Jakarta: Jalasutra

Culler, Jonathan. 2002. Barthes, Seri Pengantar Singkat (terjemahan Ruslani).


Yogyakarta: Jendela

Dennis McQuail, Teori Komunikasi Massa, Salemba Humanika, Jakarta, 2012,


Hal. 98.

Effendy, Heru. 2014. Mari Membuat Film. Jakarta: KPG (Kepustakaan Populer
Gramedia).

Effendy, Heru. 2014. Mengawali Industri Film Indonesia, Jakarta. Penerbit:


Kepustakaan Populer Gramedia

Fiske, John. Cultural and Communication Studies Sebuah Pengantar Paling


Komprehensif. Bandung : Jalasutra

Ida, Rachmah. 2014. Metode Penelitian Studi Media dan Kajian Budaya. Jakarta:
Prenada Media Group.

Imanjaya, Ekky. 2010. Mau dibawa Kemana Sinema Kita, Jakarta. Penerbit :
Salemba Empat

Kamus Besar Bahasa Indonesia, terbitan Balai Pustaka (1990 : 242).

Mulyana, Deddy. 2005. Ilmu Komunikasi Suatu Pengantar. Bandung. Remaja


Rosdakarya.

Sobur, Alex 2009, Semiotika Komunikasi, Bandung : Rosda

Tong, Rosemarie Putnam. 1998. Feminist Thought. Yogyakarta: Jalasutra.

100
Non Buku:

http://perfilman.perpusnas.go.id/artikel/detail/127 (diakses pada Sabtu 13 Agustus


2016)
https://id.wikipedia.org/wiki/Sinema (diakses pada Sabtu 13 Agustus 2016)

https://namafilm.blogspot.co.id/2014/08/sejarahperkembanganfilmdiindonesia.ht
ml (diakses pada Sabtu 13 Agustus 2016)
http://tulisanterkini.com/artikel/artikelilmiah/9200pengertianperempuan.html#_ftn
ref2 (diakses pada Senin 15 Agustus 2016)
https://shofisme.wordpress.com/2013/04/21/perempuan-dan-wanita/ (diakses pada
Senin 15 Agustus 2016)
https://id.wikipedia.org/wiki/Siti_%28film%29#Rilis (diakses pada Senin 15
Agustus 2016)

101
Daftar Pustaka

Buku:

Barthes, Roland. 1972. Membedah Mitos-Mitos Budaya Massa. Jakarta: Jalasutra

Culler, Jonathan. 2002. Barthes, Seri Pengantar Singkat (terjemahan Ruslani).


Yogyakarta: Jendela

Dennis McQuail, Teori Komunikasi Massa, Salemba Humanika, Jakarta, 2012,


Hal. 98.

Effendy, Heru. 2014. Mari Membuat Film. Jakarta: KPG (Kepustakaan Populer
Gramedia).

Effendy, Heru. 2014. Mengawali Industri Film Indonesia, Jakarta. Penerbit:


Kepustakaan Populer Gramedia

Fiske, John. Cultural and Communication Studies Sebuah Pengantar Paling


Komprehensif. Bandung : Jalasutra

Ida, Rachmah. 2014. Metode Penelitian Studi Media dan Kajian Budaya. Jakarta:
Prenada Media Group.

Imanjaya, Ekky. 2010. Mau dibawa Kemana Sinema Kita, Jakarta. Penerbit :
Salemba Empat

Kamus Besar Bahasa Indonesia, terbitan Balai Pustaka (1990 : 242).

Mulyana, Deddy. 2005. Ilmu Komunikasi Suatu Pengantar. Bandung. Remaja


Rosdakarya.

Sobur, Alex 2009, Semiotika Komunikasi, Bandung : Rosda

Tong, Rosemarie Putnam. 1998. Feminist Thought. Yogyakarta: Jalasutra.

97
Non Buku:

http://perfilman.perpusnas.go.id/artikel/detail/127 (diakses pada Sabtu 13 Agustus


2016)
https://id.wikipedia.org/wiki/Sinema (diakses pada Sabtu 13 Agustus 2016)

https://namafilm.blogspot.co.id/2014/08/sejarahperkembanganfilmdiindonesia.ht
ml (diakses pada Sabtu 13 Agustus 2016)
http://tulisanterkini.com/artikel/artikelilmiah/9200pengertianperempuan.html#_ftn
ref2 (diakses pada Senin 15 Agustus 2016)
https://shofisme.wordpress.com/2013/04/21/perempuan-dan-wanita/ (diakses pada
Senin 15 Agustus 2016)
https://id.wikipedia.org/wiki/Siti_%28film%29#Rilis (diakses pada Senin 15
Agustus 2016)

98

Anda mungkin juga menyukai