Ganggauan tersebut biasanya dapat diketahui pada anak sebelum usia tiga tahun. (Doernberg
and Hollander, 2016). Gangguan spektrum autisme (ASD) ditandai dengan terdapatnya
kesulitan dalam komunikasi sosial, interaksi sosial, interaksi sosial, serta aktifitas tertentu.
Menurut data WHO, satu dari 160 anak didunia menderita ASD(Alamri, 2020). Jumlah
kasus yang didiagnosis ASD terus meningkat secara drastic dalam 20 tahun terakhir (‘Data
& Statistics on Autism Spectrum Disorder’, 2016). Faktor penyebab terjadinya ASD masih
belum diketahui karena tidak dapat menjelaskan peningkatan dalam kasus ASD. Faktor
lingkungan, faktor genetik, serta gizi kemungkinan memiliki kontribusi dalam terjadinya
protein gluten dan kasein yang dapat menyebabkan aktifitas opioid yang berlebih di sistem
syaraf pusat (Piwowarczyk et al., 2018). Gluten dan kasein merupakan peptida yang mampu
usus bocor terjadi pada ASD. Hal tersebut dapad mengakibatkan peningkatan jumlah gluten,
kasein, dan hasil metabolitnya pada peredaran darah serta sistem syaraf pusat. Gluten dan
kasein yang beredar sirkulasi akan menduduki reseptor opioid, menyebabkan serabut saraf
pusat terganggu. Sehingga dapat berkembangnya gejala autis(Whiteley et al., 2013). Oleh
karena itu diusulkan diet bebas gluten dan kasein sebagai terapi penderita ASD.
Banyak bahan pangan yang mengandung gluten seperti gandum, barley atau jelai.
Bahan pangan tersebut ditemukan dalam produk olahannya seperti roti, mie, pasta, sereal,
dan produk lainnya (Nash and Slutzky, 2014). Kandungan nutrisi dalam produk gluten free
sangat penting bagi individu yang mengikuti diet tersebut. kondisi nutrisi yang kurang baik
dapat berpengaruh pada pada kesehatan apabila dilakukan dalam jangka panjang.
Keragaman makanan yang mendukung diet bebas gluten masih terbatas jenisnya di pasaran
(Shepherd and Gibson, 2013).(Mantos et al., 2011). terbatasnya produk bebas gluten
mengandung gluten
Terdapat penelitian yang menyatakan bahwa pada orang- orang yang melakukan diet
gluten free seringkali kekurangan nutrisi seperti kekurangan kandungan protein, asupan
serat, serta kurangnya asupan beberapa mikronutrien seperti vitamin A, vitamin B, kalsium,
zat besi, serta seng. Kondisi itu dapat menyebabkan banyak masalah kesehatan, mulai dari
kepadatan mineral tulang yang rendah juga masalah lain akibat kekurangan mikro nutrien
(Shepherd and Gibson, 2013). Terkadang juga jumlah lemak, lemak jenuh, gula dan garam
pada produk bebas gluten lebih tinggi, dibandingkan dengan produk biasa (Pellegrini and
Agostoni, 2015). Oleh karena itu, orang yang menjalani diet bebas gluten mengalami resiko
kesehatan karena asupan nutrisi yang tidak seimbang. Perbaikan nutrisi pada produk bebas
gluten dapat dilakukan dengan penambahan bahan pengganti yang memiliki nutrisi lebih
baik. Beberapa bahan pangan yang dapat digunakan guna peningkatan nutrisi antara lain
kacang-kacangan, buah-buahan, tepung berbasis sayuran, serta bahan pengganti bebas gluten
lain. Bahan pangan tersebut ditambahkan pada produk makanan bebas glten untuk
meningkatkan nutrisinya (El Khoury, Balfour-Ducharme and Joye, 2018). Salah satu
bahan pangan yang dapat ditmbahkan guna peningkatan nutrisi adalah daun kelor (Moringa
oleifera).
Kelor ( Moringa oleifera) merupakan tanaman liar yang banyak tumbuh di Indonesia,
namun tanaman tersebut masihbelum banyak dimanfaatkan sebagai bahan pangan secara
umum. tanaman kelor merupakan tanaman yang dengan beragam fungsi yang potensial
(Mohammed Nour et al., 2018). Daun kelor merupakan sumber vitmin A, B, dan C. Daun
kelor mengandung kalsium, zat besi, serta kalium yang tinggi sehingga dianggap sebagai
salah satu sumber nineral nabati terbaik. Kelor juga merupakan sumber protein yang baik,
kaya akan asam amino juga kandungan lemak dan karbohidratnya yang rendah (Wang et al.,
2017).daun kelor juga mengandung beberapa kelas polifenol, antara lain favonoid, asam
Daun kelor telah digunakan dalam formulasi bahan pangan. Umumnya sebelum
diaplikasikan pada pengolahan pangan, epung kelor terlebih dahulu diolah menjadi bentuk
bubuk atau tepung. Tepung daun kelor umumnya digunakan pada makanan berbasis tepung
(mi, kue, roti) (Oyeyinka and Oyeyinka, 2018). Beberapa penelitian dilakukan dengan
menambahkan 10-15 % tepung daun kelor pada pasta dan kue dapat meningkatkan nilai gizi
secara keseluruhan (Rocchetti et al., 2020). Penambahan tepung daun kelor lebih dari 10%
pad biskuit berbahan dasar terigu menghasilkan daya terima rendah dari uji sensori
(Simonato et al., 2021). Penelitin lain menunjukkan hasil sebaliknya, dimana penambahan
tepung kelor 15% pada pasta tidak berpengaruh terhadap daya terima produk secara
keseluruhan (Dachana et al., 2010a). Oleh karena itu penambahan tepung daun kelor dapat
digunakan untuk meningkatkan nilai nutrisi dariproduk bebas gluten, salah satunya adalah
Salah satu makanan ringan atau camilan yang popular di masyarakat adalah cookies.
Cookies banyak disukai oleh segala usia mulai dari dewasa, oramg tua, bahkan anak- anak.
Hal tersebut menjadikan cookies sebagai produk makanan ringan berpotensi besar sebagai
produk bebas gluten yang memiliki nilai gizi baik reformulasi produk tersebut (Giuberti et
al., 2021). Cookies umumnya berbahan dasar terigu yang mengandung gluten dengan bahan
tambahan lainnya. Selain tepung terigu, cookies dapat dibuat dengan bahan dasar lain
pengganti tepung terigu yang dapat dikonsumsi sebagai produk bebas gluten. Beberapa
penelitian mengembangkan pembuatan cookies dengan bahan lainnya seperti tepung beras,
tepung maizena, tapioca, bahkan mocaf. Namun produk tersebut masih belum diproduksi
Berdasarkan paparan sebelumnya maka perlu eksplorasi terhadap nutrisi produk bebas
gluten, salah satunya dengan penambahan tepung daun kelor terhadap cookies bebas gluten.
Oleh karena itu, penilis mengajukan penelitian dengan judul “Pengaruh Pemberian Tepung
Daun Kelor (Moringa oleifera) Terhadap Protein Dan Daya Terima Pada Cookies Bebas