Anda di halaman 1dari 77

See discussions, stats, and author profiles for this publication at: https://www.researchgate.

net/publication/339676335

Dye-Sensitized Solar Cell: Teori dan Aplikasinya

Book · March 2019

CITATIONS READS

0 1,914

1 author:

Hardani Hardani
Politeknik Medica Farma Husada Mataram
36 PUBLICATIONS 37 CITATIONS

SEE PROFILE

Some of the authors of this publication are also working on these related projects:

RISET KOLABORASI View project

SERI BUKU HASIL PENELITIAN View project

All content following this page was uploaded by Hardani Hardani on 04 March 2020.

The user has requested enhancement of the downloaded file.


i
DYE-SENSITIZED SOLAR CELL
(DSSC)
Teori dan Aplikasi
Penulis:
Hardani, M.Si

Editor:
Lily Maysari Angraini Ms.,S.Si.,M.Si

ii
KATA PENGANTAR

Buku Dye-Sensitized Solar Cell ini merupakan buku


hasil penelitian dalam bidang fisika material yang dapat
digunakan sebagai buku referensi bagi peneliti dalam
bidang fisika material. Buku ini memenuhi kebutuhan
untuk belajar fisika khususnya fisika material agar
memiliki sikap ilmiah, objektif, berfikir kritis, bekerja
sama ataupun mandiri dalam penelitian.

Buku ini disajikan dengan penjelasan materi yang


ditulis secara singkat dan jelas sehingga mudah diterima
dan dimengerti oleh mahasiswa beserta aplikasinya
dalam kehidupan sehari-hari. Penulis mengucapkan
terima kasih banyak kepada Guru Besar bidang Fisika
Material UNS Surakarta (Prof. Cari, M.Sc.,M.A., Ph.D)
yang telah memberikan masukan dan saran dalam
penulisan buku ini.

Tak ada gading yang tak retak. Penulis menyadari bahwa


buku ini banyak kekurangan dalam penyusunannya tapi

iii
penulis mengaharapkan semoga buku ini bermanfaat dan
bisa sebagai referensi untuk bahan ajar. Kritik dan saran
yang membangun sangat kami harapkan.

Penulis

Hardani

iv
DAFTAR ISI

HALAMAN SAMPUL.................................................i

DAFTAR ISI.................................................................ii

BAB I Pendahuluan ......................................................1

BAB II Dye-Sensitized Solar Cell.................................10

BAB III Pembuatan DSSC............................................17

BAB IV Hasil Eksperimen DSSC................................ 28

BAB V Aplikasi DSSC Silikon.....................................32

BAB VI Spektrum Radiasi Matahari.............................47

BAB VII Teknologi Hybrid...........................................52

Daftar Pustaka

Glosarry

Indeks

Sinopsis

Lampiran

v
BAB I. PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Kebutuhan akan energi di Indonesia terus meningkat.


Hal ini disebabkan oleh pembangunan infrastruktur,
perluasan daerah, pembangunan jalan raya, dll. Pada saat
ini, kebutuhan akan energi tersebut diperoleh dari
sumber energi yang bersifat konvensional, dan tidak
dapat diperbaharui, seperti batubara, dan gas dan minyak
bumi. Cadangan dari sumber energi tersebut akan
berkurang, sedangkan kebutuhan akan energi semakin
meningkat. Untuk mengatasi permasalahan tersebut
diperlukan sumber energi alternatif yang bisa membantu
untuk mengurangi ketergantungan akan sumber energi
yang tidak dapat diperbaharui.

Energi terbarukan yang berkembang pesat di dunia saat


ini adalah energi angin dan energi matahari. Sumber
energi angin dan surya merupakan sumber energi
terbarukan yang bersih dan tersedia secara bebas (free).
Masalah utama dari kedua jenis energi tersebut adalah

1
tidak tersedia terus menerus. Energi surya hanya tersedia
pada siang hari ketika cuaca cerah (tidak mendung atau
hujan). Sedangkan energi angin tersedia pada waktu
yang seringkali tidak dapat diprediksi (sporadic), dan
sangat berfluktuasi tergantung cuaca atau musim. Untuk
mengatasi permasalahan di atas, teknik hibrid banyak
digunakan untuk menggabungkan beberapa jenis
pembangkit listrik, seperti pembangkit energi angin,
surya, dan diesel, pembangkit energi angin dan surya,
pembangkit energi angin dan diesel. Dalam teknik hibrid
ini, pada umumnya baterai digunakan sebagai
penyimpan energi sementara, dan sebuah pengendali
digunakan untuk mengoptimalkan pemakaian energi dari
masing-masing sumber dan baterai, disesuaikan dengan
beban dan ketersedian energi dari sumber energi yang
digunakan.

Sel surya yang paling banyak digunakan saat ini


adalah sel surya silikon, sebagai sel surya generasi
pertama (ke-1). Walaupun sel surya sekarang didominasi
oleh bahan silikon, namun mahalnya biaya produksi
silikon membuat biaya konsumsinya lebih mahal dari

2
pada sumber energi fosil. Sel surya yang murah bisa
dibuat dari bahan semikonduktor organik. Hal ini karena
semikonduktor organik dapat di sintesis dalam jumlah
besar. Meskipun demikian efesiensinya jauh dibawah sel
surya silikon. Oleh karena itu penelitian terhadap
material organik sebagai bahan dari sel surya masih
perlu terus dikembangkan (Karnjanawipagul, 2010).

Sel surya jenis dye-sensitized solar cell (DSSC)


merupakan jenis sel surya generasi ketiga yang
memanfaatkan prinsip fotoelektrokimia. Sel surya jenis
ini diyakini mampu menyediakan konsep energi
alternatif dengan biaya produksi yang lebih terjangkau
dan dengan teknologi fabrikasi yang lebih sederhana
dibandingkan sel surya pendahulunya yang berbahan
silikon kristal (Natalita et.al., 2011).
Gratzel pada tahun 1991 menemukan bahwa
Titanium Dioxide (TiO2) yang disensitasi oleh dye dalam
larutan elektrolit dapat menghasilkan arus listrik dengan
efisiensi 7,1 %. Solar sel ini kemudian disebut sebagai
Dye-sensitized solar cell (DSSC). Ketebalan lapisan
TiO2 berpengaruh terhadap banyaknya dye yang dapat

3
teradsorbsi. Semakin tebal lapisan TiO2 maka akan
semakin banyak zat warna yang teradsorbsi (Meen et.al.,
2009). Dengan seiring bertambahnya partikel TiO2 maka
akan semakin banyak dye yang terikat pada partikel
TiO2, sehingga hal ini akan mempengaruhi kinerja dari
sel DSSC yang dibuat. Penyerapan dye zat warna
dilakukan dengan melakukan perendaman terhadap
lapisan tipis TiO2 selama beberapa waktu tertentu.
Berbagai metode untuk membuat lapisan tipis TiO2
menggunakan teknik spin coating, elektroforesis
chemical vapor deposition (CVD), dan lainnya (Cheng et
al, 2008). Pada penelitian ini menggunakan teknik spin
coating dalam deposisi lapisan tipis TiO2 dikarenakan
metode ini merupakan metode yang relatif murah,
mudah digunakan dan dapat digunakan untuk skala
produksi.

Salah satu faktor yang masih menjadi masalah


pada pembuatan sel surya DSSC adalah penggunaan
jenis elektrolit baik gel maupun larutan yang memiliki
peran penting dalam konversi energi cahaya menjadi
energi listrik pada sel surya tersebut. Karena bentuknya

4
yang pada umumnya berupa larutan, banyak
permasalahan yang timbul yang berhubungan dengan
penggunaan elektrolit, seperti halnya kebocoran,
penguapan kemungkinan terjadinya korosi pada counter-
elektroda, dan lain sebagainya. Kebanyakan
permasalahan diatas terkait isu kestabilan performa sel
dalam jangka panjang (Hinsch et.al., 2001). Selain itu,
pemilihan jenis larutan elektrolit yang tepat pun
merupakan salah satu faktor yang masih banyak
dipelajari oleh para peneliti (Gu Kang et.al., 2004).

Dye yang umumnya digunakan dan mencapai


efisiensi paling tinggi yaitu jenis ruthenium compleks.
Selain itu, dye-photosintezer merupakan faktor yang
penting dalam menentukan performansi DSSC, misalnya
sifat serapan fotosensitizernya, yang menentukan secara
langsung rentang fotorespon dari sel surya. Dye
berfungsi menyerap cahaya tampak, memompa/
menginjeksi elektron ke dalam semikonduktor,
menerima elektron dari pasangan redoks dalam larutan,
dan seterusnya dalam suatu siklus, sehingga dye
berperan sebagai pompa elektron molekuler. Dye harus

5
mempunyai kandungan antosianin yang tinggi,
mempunyai serapan yang kuat di daerah cahaya tampak,
stabilitas tinggi dan reversebilitas dalam bentuk
teroksidasinya. Dye yang digunakan dalam DSSC
mempunyai gugus kromofor terkonjugasi sehingga
memungkinkan terjadinya transfer elektron.

Dewasa ini telah banyak pula peneliti yang


mengembangkan DSSC berbagai jenis dye yang
diperoleh dari bahan alami yaitu ekstrak tumbuhan.
Beberapa yang telah dikembangkan diantaranya adalah
ekstrak dye atau pigmen tumbuhan seperti ekstrak
klorofil (Supriyanto et.al, 2009), antosianin
(Wongcharee, 2006), beta karoten (Gao et.al, 2000) dan
(Hardani et al, 2014). Pengembangan teknologi
sensitisasi dari bahan alam organik menarik untuk
dipelajari karena ketersediaan di alam yang melimpah.
Molekul dye-sensitizer dari senyawa alam atau pigmen
tumbuhan merupakan bahan organik yang sangat
menjanjikan untuk dijadikan bahan pembuatan devais sel
surya. Salah satu syarat agar dye bisa berfungsi sebagai
sensitizer, maka bahan tersebut haruslah mampu sebagai

6
medium transfer pembawa muatan listrik sebagai akibat
dari foton yang diserap. Dalam studi penelitian ini akan
dibuat sel surya DSSC berbahan alam mulai dari
klorofil, antosianin dan beta-karoten yang
dikombinasikan dengan material semikonduktor TiO 2
dan optimasi elektrolit sebagai media transfer transport
elektron.

Berdasarkan hasil penelitian sebelumnya,


ekstraksi dari berbagai bahan alam seperti tomat
(Solanum lycopersicum), labu kuning/waluh (Cucurbita),
wortel (Daucus carota), jagung (Zea mays), dan buah
melinjo (Genetum genemon) menghasilkan dye dengan
nilai serapan sekitar 380-520 nm. Nilai absorbansi
tersebut mirip dengan nilai absorbansi pada beta-karoten.
Dan dari berbagai bahan tersebut nilai absorbansi paling
tinggi terdapat pada melinjo dengan kulit merah. Dye
dari bahan tersebut mampu bekerja pada rentang
absorbansi cahaya tampak (visible light) sehingga bahan-
bahan alam tersebut dapat berfungsi sebagai
fotosensitizer dan dapat digunakan sebagai dye dalam
DSSC. Pengukuran I-V Meter pada berbagai bahan

7
tersebut menunjukkan bahwa bahan tersebut dapat
bekerja pada cahaya tampak, hal ini dikarenakan ada
perubahan tegangan dan arus ketika bahan diukur dalam
keadaan gelap dan terang. Hasil konduktivitas dapat
dilihat pada tabel I.

Tabel I Nilai Konduktivitas dari Berbagai Jenis


Bahan Alam.

Bahan Keadaan R σ (Ohm-1 m-1) I (mA)

Gelap 1.0 x 1010 2.27 x 10-8 1.22 x 10-6


Wortel
Terang 5.0 x 109 4.55 x 10-8 1.64 x 10-6

Gelap 6.02 x 109 7.95 x 10-8 1.61 x 10-6


Tomat
Terang 4.20 x 109 1.10 x 10-7 2.31 x 10-6

Gelap 5.0 x 109 4.55 x 10-8 2.43 x 10-6


Jagung
Terang 6.49 x 109 7.38 x 10-8 2.97 x 10-6

Labu Gelap 6.49 x 109 7.38 x 10-8 1.48 x 10-6


kuning Terang 4.35 x 109 1.10 x 10-7 2.21 x 10-6

Melijo Gelap 6.10 x 108 7.90 x 10-7 1.55 x 10-5

8
Bahan Keadaan R σ (Ohm-1 m-1) I (mA)

kulit
Terang 5.10 x 108 9.43 x 10-7 1.78 x 10-5
oren

Melinjo Gelap 5 x 108 9.58 x 10-7 2.14 x 10-5


kulit
merah Terang 3.33 x 108 1.44 x 10-6 2.66 x 10-5

Berdasarkan tabel I, dapat dilihat pengaruh


tegangan dan arus saat diukur dalam keadaan gelap dan
terang. Melinjo kulit merah memiliki nilai konduktivitas
paling tinggi. Dalam keadaan gelap melinjo merah
memiliki nilai konduktivitas sebesar
9,5 × 10−7 𝑂ℎ𝑚−1 𝑚−1 . Dan di bawah penyinaran
melinjo merah memiliki nilai konduktivitas 1,44 ×
10−6 𝑂ℎ𝑚−1 𝑚−1 .

Hasil pengukuran baik arus listrik, konduktivitas, dan


besar absorbansi yang dihasilkan oleh buah melinjo
merah menjadikan buah melinjo merah perlu untuk
diselidiki lebih lanjut sebagai bahan sensitizer DSSC.

9
BAB II Dye-Sensitized Solar Cell

Dye Sensitized Solar Cell (DSSC), sejak pertama


kali ditemukan oleh Professor Michael Gratzel pada
tahun 1991, telah menjadi salah satu topik penelitian
yang dilakukan intensif oleh peneliti di seluruh dunia.
DSSC disebut juga terobosan pertama dalam teknologi
sel surya sejak sel surya silikon.
Telah banyak peneliti yang telah
mengembangkan DSSC dengan mencoba berbagai jenis
dye alam dari ekstrak tumbuhan. Beberapa yang telah
dikembangkan diantaranya adalah ekstrak dye atau
pigmen tumbuhan seperti ekstrak klorofil (Supriyanto
et.al, 2009), beta karoten (Gao et.al, 2000) dan antosiain
(Hardani et al, 2014). Salah satu hasil DSSC yang telah
dikembangkan adalah DSSC yang dibuat oleh Gao
(2000) menggunakan karotenoid (Gambar, 2.1) berhasil
membuat DSSC dengan efisiensi 3% dan stabil pada 1
jam penyinaran cahaya matahari.

10
Gambar 2.1. Struktur molekul pigmen β-
Carotene (Hamann, 2008)

Beberapa keuntungan sistem sel surya ini adalah


proses pabrikasinya lebih sederhana tanpa menggunakan
peralatan rumit dan mahal sehingga biaya pabrikasinya
lebih murah (Huang et al. 2007). Namun demikian, sel
surya ini memiliki kelemahan yaitu stabilitasnya rendah
karena penggunaan elektrolit cair yang mudah
mengalami degradasi atau kebocoran (Huang et al.
2007).

Pengembangan teknologi sensitisasi dari bahan


alam organik menarik untuk dipelajari karena
ketersediaan di alam yang melimpah. Molekul dye-
sensitizer dari senyawa β-Carotene merupakan bahan
organik yang sangat menjanjikan untuk dijadikan bahan
pembuatan devais sel surya. Salah satu syarat agar dye
bisa berfungsi sebagai sensitizer, maka bahan tersebut

11
haruslah mampu sebagai medium transfer pembawa
muatan listrik sebagai akibat dari foton yang diserap.
Dalam studi penelitian ini akan dibuat sel surya DSSC
berbahan alam β-Carotene yang dikombinasikan dengan
material semikonduktor TiO2.

DSSC telah banyak membuat perhatian sebagai


sel photovoltaic padat yang konvensional dengan harga
yang rendah. DSSC adalah sel surya fotoelektrokimia
sehingga menggunakan elektrolit sebagai medium
transport muatan. Selain elektrolit, DSSC terbagi
menjadi beberapa bagian yang terdiri dari nanopori TiO 2
molekul dye yang teradsorpsi di permukaan TiO2 dan
katalis yang semuanya dideposisi diantara dua kaca
konduktif. Struktur DSSC nampak seperti Gambar 2.2.

12
Gambar 2.2. Struktur Dye-sensitized Solar Cell
(DSSC)

β-carotene sebagai sebuah pigmen utama yang


efektif sebagai fotosensitizer pada proses fotosisntesis
dari tumbuhan hijau, yang memiliki absorbsi maxium
pada 670 nm. Sehingga klorofil merupakan komponen
menarik sebagai bagian yang terlihat dari fotosensitizer
yang visibel.
Pengubahan energi radiasi matahari (cahaya)
menjadi energi kimia terjadi mula-mula karena eksitasi
rangsangan elektron. Ini dapat diartikan secara sederhana
dengan pemindah elektron dari orbit dasar (paling dekat

13
dengan inti) ke orbit yang lebih tinggi. Atom berada
pada keadaan paling stabil bila elektron menempati shell
(garis orbit) yang paling dekat dengan inti (keadaan
energi paling kecil atau posisi dasar elektron), Gambar
2.3.

Gambar 2.3. Mekanisme transport elektron


pada DSSC
Pengukuran I-V

Pengukuran arus-tegangan (I-V) pada DSSC


untuk mengetahui efisiensi sel surya. Efisiensi daya sel
surya adalah perbandingan antara daya maksimum yang
dihasilkan oleh sel surya (Pmax) dengan daya yang
diberikan oleh sinar matahari Io (Watt/m) pada luasan

14
DSSC (A), Gambar 2.4. Efisiensi merupakan faktor yang
menggambarkan kinerja dari piranti sel surya yang
diproduksi.

Gambar 2.4. Skema Kurva (I-V) untuk menentukan


besaran efisiensi DSSC

Secara matematis, Efisiensi daya sel surya dapat dihitung


menggunakan persamaan di bawah ini:

P max
 100 0 0 ........................................................(1)
I0  A

15
𝑉 𝐽
FF = 𝑉𝑚 𝐽𝑚
𝑜𝑐 𝑠𝑐
.......................................(2)

I sc 1240
IPCE(%)    100 .........................(3)
I inc 

dimana : Isc adalah rapat arus pendek (short circuit)

yang terukur tiap panjang gelombang

(A.cm-2) dan,

Iinc adalah daya intensitas cahaya masuk

pada DSSC per satuan luas (W.cm-2)

16
BAB III Pembuatan DSSC

Sebelum kita ke pembuatan DSSC, kita perlu ketahui


tahapan proses dalam pembuatan DSSC. Berikut tahapan
proses yang dilakukan dalam pembuatan DSSC, antara
lain:

1. Ekstraksi
Ekstraksi merupakan pemisahan pigmen-pigmen
pewarna (dye). Ekstraksi menggunakan mortar
kemudian dilarutkan aseton (80%) sebanyak 100
ml. Larutan kemudian difilter dengan
menggunakan kertas saring.
2. Kromatografi.
Menyiapkan kolom kromatografi dengan
memasukkan kertas saring dan glassy wool ke
ujung kolom. Kemudian n-heksan dimasukkan
kedalam kolom dan silicon gel sedikit demi sedikit
dan mengusahakan tidak ada rongga atau
gelembung. Setelah itu, hasil ekstraksi dimasukkan
ke dalam kolom.

17
3. Preparasi elektrolit
Larutan elektrolit iodide/triiodide dibuat dengan
mencampurkan potassium Iodide ke acetone dan
dicampur dengan iodine sampai larut.
4. Penyusunan DSSC
TiO2 yang sudah dibuat pasta dioleskan pada
substrat, kemudian dicelupkan pada larutan dye
yakni larutan mikroalga spirulina hasil
kromatografi dan membentuk menjadi sandwich
kemudian dijepit dengan penjepit pada kedua sisi.
Kemudian larutan elektrolit diteteskan di sela-sela
antara kedua rongga elektrode.

5. Pengujian sel surya


Sel surya diuji elektriknya dengan sistem
pengukuran Keithley 2602A dan IPCE dengan
spectral response mesurement.

Proses inilah yang akan dilakukan oleh seorang peneliti


bidang fisika material dalam pembuatan divais DSSC.

Pembuatan DSSC sangat mudah dan sederhana. Berikut


tahapan pembuatan divais DSSC, antara lain:

18
1. Alat dan Bahan
Bahan-bahan yang digunakan dalam pembuatan divais
DSSC mencakup substrat kaca Fluorine doped Tin
Oxide (FTO), Titanium (IV) dioksida (TiO2)
nanopowder 21 nm, Poli Etilen Glikol (PEG) 400,
Kalium Iodida (KI), Iodin (I2), Etanol, Pt
(Hexachloroplatinic (IV) asam 10%), Isopropanol,
alkohol 70%, dan kulit Manggis. Peralatan yang
digunakan termasuk multimeter digital, hot plate dengan
magnetic stirrer, pengering rambut (hair dryer),
pembersih ultrasonic, gelas beaker ukuran 10 ml dan 50
ml, pipet, botol kaca ukuran 5 ml, timbangan digital,
filter paper Whatman no.42, mortar Kromatografi kolom,
dan spin coater.

2. Persiapan
Setelah alat dan bahan sudah siap, selanjutnya ke tahap
persiapan. Tahap persiapan ini termasuk membersihkan
alat untuk ekstraksi dan persiapan pembuatan TiO2 pasta.
Proses persiapan untuk ekstraksi dilakukan dengan alat
berupa mortar, kaca Fluorine doped Tin Oxide (FTO),
botol kaca, gelas beaker dan penetes dengan etanol

19
pembersih dan menggunakan pembersih ultrasonik agar
alat-alat bebas dari bahan-bahan yang tidak dapat
dibersihkan dengan air. Peralatan bersih mempengaruhi
hasil pengujian sampel.

3. Pembersihan kaca FTO


Alkohol 70% dituang ke dalam gelas beaker sebanyak
100 ml. Kaca FTO 2,5 x 2,5 cm yang akan dibersihkan
dimasukkan dalam gelas beaker. Ultrasonic cleaner diisi
aquades untuk batas yang ditentukan. Kaca FTO yang
telah dimasukkan ke dalam gelas beaker tersebut
kemudian dimasukkan ke dalam sebuah pembersih
ultrasonic selama 30 menit. Setelah 30 menit, kaca FTO
tersebut dikeringkan dengan menggunakan pengering
rambut (hairdryer). Kemudian kita ukur resistensi kaca
FTO tersebut menggunakan multimeter digital.

4. Pembuatan pasta TiO2


Serbuk TiO2 sebanyak 0,5 gram dilarutkan dalam 2 ml
etanol kemudian diaduk menggunakan pusaran pengaduk
dengan kecepatan 200-300 rpm selama 30 menit. Ketika
sudah terbentuk pasta TiO2 kemudian pasta TiO2
dimasukkan ke dalam botol dan ditutupi aluminium foil

20
kemudian disimpan di tempat yang sejuk dan terhindar
dari sinar matahari secara langsung untuk mengurangi
proses penguapan.

5. Ekstraksi Kulit Manggis


Kulit manggis yang sudah dikeringkan ditimbang
menggunakan timbangan digital sebanyak 25 gram.
Setelah itu, kulit buah Manggis dihaluskan
menggunakan mortar. Kulit buah Manggis yang sudah
halus dilarutkan dalam 125 ml pelarut etanol dengan
perbandingan (1:5) dan kemudian diaduk selama 60
menit menggunakan pusaran pengaduk dengan
kecepatan rotasi 300 rpm dengan suhu 60°C. Setelah
proses pengadukan selesai dan kemudian campuran
disaring dengan filter paper Whatman no.42 dan hasil
ekstraksi kulit manggis tersebut dimasukkan ke dalam
botol dan didiamkan selama 24 jam. Hasil ekstraksi
kemudian di kromatografi dengan menuangkan hasil
ekstraksi ke dalam kolom Kromatografi dan menunggu
hasil kromatografi.

21
6. Pembuatan Elektroda Kerja
Elektroda Kerja terbuat dari kaca konduktif FTO yang
TiO2 nano pasta disimpan oleh spin lapisan teknik. Di
FTO kaca berukuran 2,5 x 2,5 cm membentuk area untuk
pengendapan TiO2 berukuran 2 x 1.5 cm di atas
permukaan konduktif. Sisi FTO direkam rekaman
sebagai penghalang. Pasta TiO2 diteteskan di kaca FTO
yang telah terpaku di spinner, kemudian di pengadukan
dengan kecepatan rpm 200-300 dengan waktu yang telah
ditentukan. TiO2 FTO dilapisi kaca dipanaskan
menggunakan kompor pada 500° C selama 60 menit,
kemudian didinginkan hingga suhu kamar. Skema daerah
pengendapan pasta TiO2 ditunjukkan dalam gambar 3.1.

deposition
region TiO2

Gambar 3.1 Skema daerah TiO2 pasta pengendapan

7. Pembuatan Elektrolit
Kalium iodida (KI) sebanyak 0,8 gram (0,5 M) dalam
bentuk padat dicampur ke dalam 10 ml Polietilen Glikol
400 kemudian diaduk. Di samping solusi ditambahkan

22
yodium (I2) 0.127 gram (0.05 M) yang kemudian diaduk
dengan pusaran pengaduk pada 300 rpm selama 30
menit. Larutan elektrolit selesai disimpan dalam wadah
tertutup dilapisi dengan aluminium foil.

8. Pembuatan Elektroda Lawan


Elektrode lawan adalah FTO konduktif kaca yang sudah
dilapisi dengan lapisan tipis dari Platinum
(Hexachloroplatinic (IV) asam 10%). Langkah-langkah
pembuatan elektroda lawan adalah 1 ml dari
Hexachloroplatinic (IV) asam 10% dicampur dengan 207
ml isopropanol dan kemudian diaduk menggunakan
pengaduk vortex dengan kecepatan 300 rpm selama 30
menit. FTO kaca sengit menggunakan kompor di 250° C
selama 15 menit kemudian tumpah 3 ml larutan platinum
pada permukaan substrat kaca FTO dengan metode drop.
Kaca yang telah ditetesi platinum kemudian didinginkan
untuk mencapai suhu kamar. Skema daerah pengendapan
Platinum ditunjukkan pada gambar 3.2.

23
Gambar 3.2. Skema daerah pengendapan Platinum

9. Penyerapan pewarna pada lapisan TiO2


Substrat kaca FTO konduktif yang telah disimpan
lapisan TiO2 kemudian direndam dalam pewarna ekstrak
kulit manggis selama 24 jam.

10. Pembuatan Sandwich DSSC


Pengaturan DSSC lapisan kaca FTO yang telah dilapisi
TiO2 dan telah dicelup dalam larutan pewarna hasil
ekstraksi disebut elektroda kerja. Elektroda kerja ditetesi
larutan elektrolit dan kemudian ditutup dengan elektroda
lawan yang dilapisi platinum yang disebut elektroda
lawan. Kemudian divais DSSC tersebut dijepit di kedua
sisi kanan dan kiri sehingga tidak lepas. Divais DSSC
ditunjukkan pada gambar 3.3.

24
Gambar 3.3 Divais DSSC

11. Ekstraksi Dye


Studi yang dilakukan dalam penelitian biasanya
menggunakan pelarut etanol untuk melarutkan
karotenoid yang diekstrak dari bahan alam pigmen kulit
buah manggis. Bahan tersebut diekstraksi dan
dibersihkan dengan air, kemudian sebanyak 25 gram
kulit Manggis dikeringkan dan setelah itu dihaluskan
menggunakan mortar. Kemudian hasil gerusan kulit
manggis itu dicampur dengan 50 ml etanol, diaduk
selama 60 menit 200 rpm menggunakan magnetic stirrer
pada suhu kamar. Setelah pengadukan dan kemudian
sampel didiamkan selama 24 jam dan disaring
menggunakan kertas Whatman No. 42. setelah
penyaringan, hasil ekstraksi disimpan dalam wadah
tertutup dan terlindungi dari sinar matahari.

25
12. Analisis Absorbansi
Metode Spektrofotometri digunakan untuk penentuan
simultan β-karoten. Metode Spektrofotometri
menunjukkan potensi untuk analisis β-karoten karena
pigmen dapat menyerap radiasi di cahaya tampak. Isi
dari masing-masing bahan yang diekstrak dianalisis
menggunakan Spectrophotometer UV-Vis Shimadzu
1601 PC untuk menentukan sifat absorbansi bahan.
Kisaran panjang gelombang analisa penyerapan
spektrum cahaya tampak adalah 300-800 nm, dari hasil
pengukuran karakteristik absorbansi kemudian dikenal
jenis pewarna konten dari bahan alami.

13. Konduktivitas Bahan


Pengukuran konduktivitas menggunakan Elkahfi 100/
IV-Meter dilakukan dalam keadaan gelap dengan
menutup semua bagian wadah menggunakan aluminium
foil dan di bawah radiasi menggunakan 100 W, dengan
sumber cahaya dari lampu halogen dan intensitas energi
680.3 W / m2. Lampu halogen digunakan karena
memiliki spektrum penuh yang menyerupai spektrum
cahaya tampak. Dari hasil pengukuran konduktivitas

26
kemudian ditentukan (σ) berbagai bahan. Untuk
menentukan konduktifitas larutan organik dapat
menggunakan persamaan:

𝑅𝐴
𝜌= …………………………………………. (4)
𝑙

1 𝑙
𝜎= = …………………………………….. (5)
𝜌 𝑅𝐴

dimana σ konduktivitas (ohm-1.m-1), R adalah resistansi


(Ohm), l adalah jarak antara dua elektroda (m) dan A
adalah luas permukaan penampang elektroda (m 2).

27
BAB IV Hasil Eksperimen DSSC

4.1 DSSC Berbahan Alam Kulit Manggis (Garcinia


mangostana).

4.1.1 Spektrum absorbansi Kulit Manggis (Garcinia


mangostana).

Ekstrak kulit manggis diuji absorbansinya menggunakan


UV-Visible Lambda 25, menggunakan pelarut etanol.

Gambar 4.1. Absorbansi kulit manggis dengan pelarut etanol

28
4.1.1 Karakterisasi I-V DSSC
DSSC menggunakan dye Kulit Manggis (Garcinia
mangostana L) dikarakterisasi arus dan tegangan.
Berdasarkan pelarut etanol dimana menggunakan dua
metode yang berbeda yaitu metode slip casting dan spin
coating.

Gambar 4.2. Karakterisasi I-V kulit manggis dengan pelarut etanol dengan
metode Slip Casting.

29
Gambar 4.3. Karakterisasi I-V kulit manggis dengan pelarut etanol
dengan metode Spin Coating

Tabel 5.1. Isc, Voc dan efisiensi


Voc (Volt)

Fill Factor

Efficiency
(Ampere)

(Ampere)
(Volt)
Vmax
Imax

(%)
Isc

Metode

-7
Slip Casting 0.00055 0.340 0.0007 0.550 2.4 x 10 0.084
-7
Spin 0.00048 0.430 0.0003 0.565 1.2x x 10 0.092
Coating

Dari tabel 5.1 dapat dijelaskan bahwa untuk dye Kulit


Manggis (Garcinia mangostana L) dengan metode yang
berbeda, untuk metode slip casting di dapat nilai arus
sebesar 7 x 10-4 Ampere sedangkan untuk metode spin
coating di dapat nilai arus sebesar 3 x 10-4 Ampere.
Untuk tegangan maksimal (Vmax) baik dengan
30
menggunakan metode slip casting dan spin coating
masing-masing sebesar 0,340 volt dan 0,430 volt. Dari
hasil uji karakterisasi menggunakan kethley dapat dilihat
bahwa efisiensi dye kulit manggis dengan metode yang
berbeda dihasilkan efisiensi sebesar 0,084% untuk
metode slip casting dan 0,092% untuk metode spin
coating.

31
BAB V Aplikasi DSSC Silikon

Sel surya atau juga sering disebut fotovoltaik adalah


divais yang mampu mengkonversi langsung cahaya
matahari menjadi listrik. Sel surya bisa disebut sebagai
pemeran utama untuk memaksimalkan potensi sangat
besar energi cahaya matahari yang sampai kebumi,
walaupun selain dipergunakan untuk menghasilkan
listrik, energi dari matahari juga bisa dimaksimalkan
energi panasnya melalui sistem solar thermal.

Sel surya dapat dianalogikan sebagai divais dengan dua


terminal atau sambungan, dimana saat kondisi gelap atau
tidak cukup cahaya berfungsi seperti dioda, dan saat
disinari dengan cahaya matahari dapat menghasilkan
tegangan. Ketika disinari, umumnya satu sel surya
komersial menghasilkan tegangan DC sebesar 0,5
sampai 1 volt, dan arus short-circuit dalam
2
skala milliampere per cm . Besar tegangan dan arus
ini tidak cukup untuk berbagai aplikasi, sehingga
umumnya sejumlah sel surya disusun secara seri
membentuk modul surya. Satu modul surya biasanya
terdiri dari 28-36 sel surya, dan total menghasilkan

32
tegangan dc sebesar 12 V dalam kondisi penyinaran
standar (Air Mass 1.5). Modul surya tersebut bisa
digabungkan secara paralel atau seri untuk memperbesar
total tegangan dan arus outputnya sesuai dengan daya
yang dibutuhkan untuk aplikasi tertentu. Gambar 5.1
menunjukan ilustrasi dari modul surya.

Gambar 5.1 Modul Sel Surya (The Physics of Solar Cell,


Jenny Nelson)

Struktur Sel Surya

Sesuai dengan perkembangan sains & teknologi,


jenis-jenis teknologi sel surya pun berkembang dengan
berbagai inovasi. Ada yang disebut sel surya generasi
satu, dua, tiga dan empat, dengan struktur atau bagian-

33
bagian penyusun sel yang berbeda pula. Dalam tulisan
ini akan dibahas struktur dan cara kerja dari sel surya
yang umum berada dipasaran saat ini yaitu sel surya
berbasis material silikon yang juga secara umum
mencakup struktur dan cara kerja sel surya generasi
pertama (sel surya silikon) dan kedua (thin film/lapisan
tipis).

Gambar 5.2 Struktur Sel Surya (How Stuff Works)

Gambar 5.2 menunjukan ilustrasi sel surya dan juga


bagian-bagiannya. Secara umum terdiri dari:

1. Substrat/Metal backing

Substrat adalah material yang menopang seluruh


komponen sel surya. Material substrat juga harus

34
mempunyai konduktifitas listrik yang baik karena juga
berfungsi sebagai kontak terminal positif sel surya,
sehinga umumnya digunakan material metal atau logam
seperti aluminium atau molybdenum. Untuk sel surya
dye-sensitized (DSSC) dan sel surya organik, substrat
juga berfungsi sebagai tempat masuknya cahaya
sehingga material yang digunakan yaitu material yang
konduktif tapi juga transparan seperti idium tin oxide
(ITO) dan flourine doped tin oxide (FTO).

2. Material semikonduktor

Material semikonduktor merupakan bagian inti dari


sel surya yang biasanya mempunyai tebal sampai
beberapa ratus mikrometer untuk sel surya generasi
pertama (silikon), dan 1-3 mikrometer untuk sel surya
lapisan tipis. Material semikonduktor inilah yang
berfungsi menyerap cahaya dari sinar matahari. Untuk
kasus gambar diatas, semikonduktor yang digunakan
adalah material silikon, yang umum diaplikasikan di
industri elektronik. Sedangkan untuk sel surya lapisan
tipis, material semikonduktor yang umum digunakan dan

35
telah masuk pasaran yaitu contohnya material
Cu(In,Ga)(S,Se)2 (CIGS), CdTe (kadmium telluride), dan
amorphous silikon, disamping material-material
semikonduktor potensial lain yang dalam sedang dalam
penelitian intensif seperti Cu2ZnSn(S,Se)4 (CZTS)
dan Cu2O (copper oxide).

Bagian semikonduktor tersebut terdiri dari junction


atau gabungan dari dua material semikonduktor yaitu
semikonduktor tipe-p (material-material yang disebutkan
diatas) dan tipe-n (silikon tipe-n, CdS,dll) yang
membentuk p-n junction. P-n junction ini menjadi kunci
dari prinsip kerja sel surya.

3. Kontak metal (contact grid)

Selain substrat sebagai kontak positif, diatas


sebagian material semikonduktor biasanya dilapiskan
material metal atau material konduktif transparan
sebagai kontak negatif.

4.Lapisan antireflektif

36
Refleksi cahaya harus diminimalisir agar
mengoptimalkan cahaya yang terserap oleh
semikonduktor. Oleh karena itu biasanya sel surya
dilapisi oleh lapisan anti-refleksi. Material anti-refleksi
ini adalah lapisan tipis material dengan besar indeks
refraktif optik antara semikonduktor dan udara yang
menyebabkan cahaya dibelokkan ke arah semikonduktor
sehingga meminimumkan cahaya yang dipantulkan
kembali.

5.Enkapsulasi (cover glass)

Bagian ini berfungsi sebagai enkapsulasi untuk


melindungi modul surya dari hujan atau kotoran.

Cara kerja sel surya

Sel surya konvensional bekerja menggunakan


prinsip p-n junction, yaitu junction antara semikonduktor
tipe-p dan tipe-n. Semikonduktor ini terdiri dari ikatan-
ikatan atom yang dimana terdapat elektron sebagai
penyusun dasar. Semikonduktor tipe-n mempunyai
kelebihan elektron (muatan negatif) sedangkan

37
semikonduktor tipe-p mempunyai kelebihan hole
(muatan positif) dalam struktur atomnya. Kondisi
kelebihan elektron dan hole tersebut bisa terjadi dengan
mendoping material dengan atom dopant. Sebagai
contoh untuk mendapatkan material silikon tipe-p,
silikon didoping oleh atom boron, sedangkan untuk
mendapatkan material silikon tipe-n, silikon didoping
oleh atom fosfor. Ilustrasi dibawah menggambarkan
junction semikonduktor tipe-p dan tipe-n.

Gambar 5.3 Junction antara semikonduktor tipe-p dan


tipe-n (eere.energy.gov)

38
Peran dari p-n junction ini adalah untuk membentuk
medan listrik sehingga elektron (dan hole) bisa diekstrak
oleh material kontak untuk menghasilkan listrik. Ketika
semikonduktor tipe-p dan tipe-n terkontak, maka
kelebihan elektron akan bergerak dari semikonduktor
tipe-n ke tipe-p sehingga membentuk kutub positif pada
semikonduktor tipe-n, dan sebaliknya kutub negatif
pada semikonduktor tipe-p. Akibat dari aliran elektron
dan hole ini maka terbentuk medan listrik yang
mana ketika cahaya matahari mengenai susuna p-n
junction ini maka akan mendorong elektron bergerak
dari semikonduktor menuju kontak negatif, yang
selanjutnya dimanfaatkan sebagai listrik, dan sebaliknya
hole bergerak menuju kontak positif menunggu elektron
datang, seperti diilustrasikan pada gambar 5.4.

Gambar 5.4 Ilustrasi Cara Kerja Sel Surya Prinsip P-N Junction
(sun-nrg.org)

39
Cara kerja sel surya adalah dengan memanfaatkan teori
cahaya sebagai partikel. Sebagaimana diketahui bahwa
cahaya baik yang tampak maupun yang tidak tampak
memiliki dua buah sifat yaitu dapat sebagai gelombang
dan dapat sebagai partikel yang disebut dengan photon.
Penemuan ini pertama kali diungkapkan oleh Einstein
pada tahun 1905. Energi yang dipancarkan oleh sebuah
cahaya dengan kecepatan c dan panjang gelombang ?
dirumuskan dengan persamaan:
E = h.c/ λ.

Dengan h adalah konstanta Plancks (6.62 x 10-34 J.s)


dan c adalah kecepatan cahaya dalam vakum (3.00 x
108 m/s). Persamaan di atas juga menunjukkan bahwa
photon dapat dilihat sebagai sebuah partikel energi atau
sebagai gelombang dengan panjang gelombang dan
frekuensi tertentu. Dengan menggunakan sebuah divais
semikonduktor yang memiliki permukaan yang luas dan
terdiri dari rangkaian dioda tipe p dan n, cahaya yang
datang akan mampu dirubah menjadi energi listrik.

Hingga saat ini terdapat beberapa jenis solar sel yang


berhasil dikembangkan oleh para peneliti untuk

40
mendapatkan divais solar sel yang memiliki efisiensi
yang tinggi atau untuk mendapatkan divais solar sel yang
murah dan mudah dalam pembuatannya.
Tipe pertama yang berhasil dikembangkan adalah
jenis wafer (berlapis) silikon kristal tunggal. Tipe ini
dalam perkembangannya mampu menghasilkan efisiensi
yang sangat tinggi. Masalah terbesar yang dihadapi
dalam pengembangan silikon kristal tunggal untuk dapat
diproduksi secara komersial adalah harga yang sangat
tinggi sehingga membuat panel sel surya yang dihasilkan
menjadi tidak efisien sebagai sumber energi alternatif.
Sebagian besar silikon kristal tunggal komersial
memiliki efisiensi pada kisaran 16-17%, bahkan sel
surya silikon hasil produksi SunPower memiliki efisiensi
hingga 20% [www.sunpowercorp.com]. Bersama
perusahaan Shell Solar, SunPower menjadi perusahaan
yang menguasai pasar silikon kristal tunggal untuk solar
sel.
Jenis sel surya yang kedua adalah tipe wafer silikon
poli kristal. Saat ini, hampir sebagian besar panel solar
sel yang beredar di pasar komersial berasal dari screen
printing jenis silikon poli cristal ini. Wafer silikon poli

41
kristal dibuat dengan cara membuat lapisan lapisan tipis
dari batang silikon dengan metode wire-sawing. Masing-
masing lapisan memiliki ketebalan sekitar 250-500
micrometer.
Jenis sel surya tipe ini memiliki harga pembuatan
yang lebih murah meskipun tingkat efisiensinya lebih
rendah jika dibandingkan dengan silikon kristal tunggal.
Perusahaan yang aktif memproduksi tipe solar sel ini
adalah GT Solar, BP, Sharp, dan Kyocera Solar.

Kedua jenis silikon wafer di atas dikenal sabagai


generasi pertama dari sel surya yang memiliki ketebalan
pada kisaran 180 hingga 240 mikro meter. Penelitian
yang lebih dulu dan telah lama dilakukan oleh para
peneliti menjadikan solar sel berbasis silikon ini telah
menjadi teknologi yang berkembang dan banyak
dikuasai oleh peneliti maupun dunia industri. Divais sel
surya ini dalam perkembangannya telah mampu
mencapai usia aktif mencapai 25 tahun.
Modifikasi untuk membuat lebih rendah biaya
pembuatan juga dilakukan dengan membuat pita silikon
(ribbon si) yaitu dengan membuat lapisan dari cairan

42
silikon dan membentuknya dalam struktur multi kristal.
Meskipun tipe sel surya pita silikon ini memiliki
efisiensi yang lebih rendah (13-15%), tetapi biaya
produksinya bisa lebih dihemat mengingat silikon yang
terbuang dengan menggunakan cairan silikon akan lebih
sedikit.

Generasi kedua sel surya adalah sel surya tipe lapisan


tipis (thin film). Ide pembuatan jenis sel surya lapisan
tipis adalah untuk mengurangi biaya pembuatan sel surya
mengingat tipe ini hanya menggunakan kurang dari 1%
dari bahan baku silikon jika dibandingkan dengan bahan
baku untuk tipe silikon wafer. Dengan penghematan
yang tinggi pada bahun baku seperti itu membuat harga
per KwH energi yang dibangkitkan menjadi bisa lebih
murah.

Metode yang paling sering dipakai dalam pembuatan


silikon jenis lapisan tipis ini adalah dengan PECVD dari
gas silane dan hidrogen. Lapisan yang dibuat dengan
metode ini menghasilkan silikon yang tidak memiliki
arah orientasi kristal atau yang dikenal sebagai
amorphous silikon (non kristal). Selain menggunakan

43
material dari silikon, sel surya lapisan tipis juga dibuat
dari bahan semikonduktor lainnya yang memiliki
efisiensi solar sel tinggi seperti Cadmium Telluride (Cd
Te) dan Copper Indium Gallium Selenide (CIGS).

Efisiensi tertinggi saat ini yang bisa dihasilkan oleh


jenis sel surya lapisan tipis ini adalah sebesar 19,5%
yang berasal dari sel surya CIGS. Keunggulan lainnya
dengan menggunakan tipe lapisan tipis adalah
semikonduktor sebagai lapisan sel surya bisa dideposisi
pada substrat yang lentur sehingga menghasilkan divais
sel surya yang fleksibel. Kedua generasi dari sel surya
ini masih mendominasi pasaran sel surya di seluruh
dunia dengan silikon kristal tunggal dan multi kristal
memiliki lebih dari 84% sel surya yang ada dipasaran.
Penelitian agar harga sel surya menjadi lebih murah
selanjutnya memunculkan generasi ketiga dari jenis sel
surya ini yaitu tipe sel surya polimer atau disebut juga
dengan sel surya organik dan tipe sel surya foto
elektrokimia. Sel surya organik dibuat dari bahan
semikonduktor organik seperti polyphenylene vinylene
dan fullerene.

44
Berbeda dengan tipe sel surya generasi pertama dan
kedua yang menjadikan pembangkitan pasangan electron
dan hole dengan datangnya photon dari sinar matahari
sebagai proses utamanya, pada sel surya generasi ketiga
ini photon yang datang tidak harus menghasilkan
pasangan muatan tersebut melainkan membangkitkan
exciton. Exciton inilah yang kemudian berdifusi pada
dua permukaan bahan konduktor (yang biasanya di
rekatkan dengan organik semikonduktor berada di antara
dua keping konduktor) untuk menghasilkan pasangan
muatan dan akhirnya menghasilkan efek arus foto
(photocurrent).
Tipe sel surya photokimia merupakan jenis sel surya
exciton yang terdiri dari sebuah lapisan partikel nano
(biasanya titanium dioksida) yang di endapkan dalam
sebuah perendam (dye). Jenis ini pertama kali
diperkenalkan oleh Profesor Graetzel pada tahun 1991
sehingga jenis sel surya ini sering juga disebut dengan
Graetzel sel atau dye-sensitized solar cells (DSSC).

Graetzel sel ini dilengkapi dengan pasangan redok


yang diletakkan dalam sebuah elektrolit (bisa berupa

45
padat atau cairan). Komposisi penyusun sel surya seperti
ini memungkinkan bahan baku pembuat Graetzel sel
lebih fleksibel dan bisa dibuat dengan metode yang
sangat sederhana seperti screen printing. Meskipun sel
surya generasi ketiga ini masih memiliki masalah besar
dalam hal efisiensi dan usia aktif sel yang masih terlalu
singkat, sel surya jenis ini akan mampu memberi
pengaruh besar dalam sepuluh tahun ke depan mengingat
harga dan proses pembuatannya yang sangat murah.

46
Bab VI Spektrum Radiasi Matahari

Secara sederhana sel surya terdiri dari persambungan


bahan semikonduktor bertipe p dan n (p-n junction
semikonduktor) yang jika tertimpa sinar matahari maka
akan terjadi aliran elektron, aliran elektron inilah yang
disebut sebagai aliran arus listrik.

Bagian utama perubah energi sinar matahari menjadi


listrik adalah absorber (penyerap), meskipun demikian,
masing-masing lapisan juga sangat berpengaruh terhadap
efisiensi dari sel surya. Sinar matahari terdiri dari
bermacam-macam jenis gelombang elektromagnetik
yang secara spektrum dapat dilihat pada gambar 6.1.
Oleh karena itu absorber disini diharapkan dapat
menyerap sebanyak mungkin solar radiation yang
berasal dari cahaya matahari.

47
Gambar 6.1 Spektrum Radiasi Matahari

Lebih detail lagi sinar matahari yang terdiri dari photon-


photon, jika menimpa permukaaan bahan sel surya
(absorber), akan diserap, dipantulkan atau dilewatkan
begitu saja, dan hanya foton dengan level energi tertentu
yang akan membebaskan elektron dari ikatan atomnya,
sehingga mengalirlah arus listrik. Level energi tersebut
disebut energi band-gap yang didefinisikan sebagai
sejumlah energi yang dibutuhkan untuk mengeluarkan
elektron dari ikatan kovalennya sehingga terjadilah
aliran arus listrik.

Untuk membebaskan elektron dari ikatan


kovalennya, energi foton (hc/v) harus sedikit lebih besar

48
atau diatas daripada energi band-gap. Jika energi foton
terlalu besar dari pada energi band-gap, maka extra
energi tersebut akan dirubah dalam bentuk panas pada
solar sel.

Tentu saja agar efisiensi dari sel surya bisa tinggi maka
foton yang berasal dari sinar matahari harus bisa diserap
sebanyak banyaknya, kemudian memperkecil refleksi
dan rekombinasi serta memperbesar konduktivitas dari
bahannya.

Sel surya merupakan pembangkit yang tidak hanya


terdiri dari sistem konversi dari photon sinar matahari
menjadi arus listrik atau yang disebut sebagai modul
photovoltaik. Perlu ada sistem pendukung yang
berfungsi menyimpan energi listrik yang dibangkitkan
agar keluarannya dapat lebih stabil dapat digunakan saat
tidak ada sinar matahari atau pada saat malam hari.
Serta satu unit sistem pembangkit listrik Sel surya terdiri
dari beberapa komponen antara lain adalah:

1. Modul sel surya atau disebut juga panel Photo


Voltaik (Panel PV). Modul sel surya terdiri dari

49
beberapa jenis ada yang berkapasitas 20 Wp, 30 Wp,
50 Wp, 100 Wp. Modul PV dilihat dari jenisnya dapat
berjenis mono kristal, poli kristal, atau amorphous.
2. Penyimpan energi listrik atau dikenal dengan Aki
(battery) yang bebas perawatan. Batere biasanya
dapat bertahan 2-3 tahun. Kapasitas batere
disesuaikan dengan kapasitas modul dan besar daya
penggunaan listrik yang diinginkan.
3. Pengatur pengisian muatan batere atau disebut dengan
kontroler pengisian (solar charge controller).
Komponen ini berfungsi untuk mengatur besarnya
arus listrik yang dihasilkan oleh modul PV agar
penyimpanan ke batere sesuai dengan kapasitas
batere.
4. Inverter, merupakan modul untuk mengkonversi
listrik searah (dc) menjadi listrik bolak-balik (ac).
Komponen ini digunakan ketika penggunaan listrik
yang diinginkan adalah bolak-balik (ac). Meskipun
begitu saat ini sudah banyak terdapat alat-alat
elektronik maupun lampu penerang yang
menggunakan tipe arus searah sehingga beberapa
sistem sel surya tidak membutuhkan inverter ini.

50
5. Kabel (wiring), yang merupakan komponen standar
sebagai penghubung tempat mengalirkan arus listrik.

Mounting hardware atau framework, yang merupakan


pendukung untuk menempatkan atau mengatur posisi
panel sel surya agar dapat menerima sinar matahari
dengan baik. Biasanya framework digunakan untuk
menempatkan solar panel pada posisi yang lebih tinggi
dari bagian lain yang ada disekitarnya.

Pertumbuhan teknologi sel surya di dunia memang


menunjukkan harapan akan sel surya yang murah dengan
memiliki efisiensi yang tinggi. Sayangnya sangat sedikit
peneliti di Indonesia yang terlibat dengan hiruk pikuk
perkembangan tentang teknologi sel surya ini. Sudah
seharusnya pemerintah secara jeli melihat potensi masa
depan Indonesia yang kaya akan sinar matahari ini
dengan mendorong secara nyata penelitian dan
pengembangan industri di bidang energi surya ini.

51
BAB VII Teknologi Hybrid

Tahukah Anda apa itu teknologi Hybrid? Tentu kalian


pasti tahu bahwa teknologi hybrid juga bisa digunakan
dalam aplikasi sel surya. Teknologi Hybrid adalah
sebuah istilah yang menjelaskan tentang penggunaan
teknologi yang menggunakan dua sumber energi atau
lebih. Misalnya teknologi hybrid berbasis energi surya
dan energi angin.

Teknologi hibrid berbasis energi surya dan angin perlu


diterapkan dalam mencukupi kebutuhan energi dunia
karena beberapa hal berikut:

a. Perlunya solusi untuk mengurangi ketergantungan


energi dari sumber daya fosil (energi tak terbarukan)
yang semakin menipis dan upaya untuk
menyelamatkan bumi dari proses pengambilan energi
ataupun dampak penggunaan energi tersebut.
b. Perlunya upaya pemberdayaan sumber energi
terbarukan khususnya energi surya dan energi angin
secara cepat dan tepat, hal ini dimaksudkan agar biaya
operasional penggunaan teknologi hibrid ini bisa

52
ditekan sehingga bisa terjangkau diterapkan oleh
seluruh masyarakat, dan diharapkan mampu menarik
investor untuk memproduksi teknologi hibrid ini
dalam skala besar.
c. Besarnya potensi energi surya dan energi angin yang
melimpah di dunia, Potensi ini bukan hanya pada
besarnya nilai energi yang dapat dihasilkan namun
juga akan memberikan lapangan pekerjaan bagi
masyarakat Indonesia. Dalam beberapa tahun
mendatang diperkirakan dapat menjadi sumber energi
tumpuan bagi Indonesia.
d. Perubahan iklim akibat pemanasan global yang
ternyata semakin meningkatkan potensi angin dan
enrgi surya di Indonesia terutama di daerah-daerah
tertentu seperti di Nusa Tenggara, pantai selatan Jawa
Sumatera dan Sulawasi Selatan.
e. Banyak negara-negara di dunia, termasuk Indonesia
termasuk tertinggal dalam memanfaatkan energi
angin dan energi surya sebagai sumber energi listrik.
f. Semakin meledaknya jumlah penduduk di Indonesia
menyebabkan semakin meningkatnya kebutuhan akan
energi. Tingkat kebutuhan energi yang tinggi serta

53
masih tergantungnya Indonesia akan sumber energi
fosil menyebabkan polusi lingkungan yang semakin
meningkat dan tentunya berpengaruh juga pada
anggaran negara yang harus terus-menerus
memberikan subsidi pada BBM.
g. Tidak meratanya jumlah energi surya dan energi
angin serta ketergantungan energi ini terhadap kondisi
alam sehingga untuk mengatasinya
diperlukan teknologi hibrid agar mampu saling
melengkapi kelemahan masing-masing.
h. Menurut International Sustainable Energy
Organization (ISEO), biaya Energi Terbarukan seperti
Energi Surya, Energi Angin, Panas Bumi, Arus Laut
dan Hidrogen akan turun di masa depan, sedangkan
Pembangkit Listrik Tenaga Air (PLTA) akan naik
(walaupun masih tetap rendah). Biaya Energi Tak
Terbarukan seperti Minyak, Gas, Batubara dan Nuklir
akan naik di masa depan.
Kelebihan dan Kekurangan Teknologi Hibrid

Adapun kelebihan teknologi hibrid berbasis energi surya


dan energi angin adalah sebagai berikut:

54
1. Teknologi berbasis energi surya dan angin ini mampu
mengatasi permasalahan masyarakat akan
ketergantungan terhadap sumber energi tak
terbarukan, sehingga dapat mencegah kerusakan
lingkungan.
2. Dapat menyediakan energi listrik dalam skala lokal
regional maupun nasional.
3. Mampu memanfaatkan potensi sumber daya energi
setempat yang ada.
4. Ramah lingkungan, dalam artian proses produksi dan
pembuangan hasil produksinya tidak merusak
lingkungan hidup disekitarnya.
5. Sistem hibrid yang dirancang mempunyai prinsip
kerja satu arah yaitu pada saat PLTS on maka PLTB
off dan begitu pula sebaliknya
6. Tidak memerlukan sistem transmisi (gearbox) yang
mengakibatkan rendahnya efisiensi turbin.
7. Pengendalian sistem dan pemeliharaan yang
cenderung lebih mudah.
8. Sistem dapat digunakan secara terus menerus baik
baik pada temperatur rendah dan pada kecepatan

55
angin yang rendah sekalipun (2,5 – 3 m/s), sehingga
efisiensi tinggi.
9. Teknologi ini hemat, berkualitas tinggi, dan ramah
lingkungan.
Adapun kekurangan teknologi hibrid berbasis energi
surya dan energi angin adalah sebagai berikut:

1. Biaya investasi pembangunan yang tinggi


menimbulkan masalah finansial pada penyediaan
modal awal.
2. Belum banyak industri yang bermain di wilayah ini
karena biaya investasi yang masih cenderung mahal.
3. Belum ada pemetaan spasial yang spesifik dan akurat,
yang secara khusus dilakukan untuk menghitung
potensi aktual tiap daerah.
4. Secara ekonomis, energi ini belum bisa bersaing
dengan energi fosil. Mahal dan Rumitnya Instalasi
Teknologi PLTB.
5. Sedikitnya peneliti yang mencoba mengembangkan
PLTB, mungkin pemerintah bisa membuat berbagai
kebijakan yang mendukung berkembangnya PLTB
ini, antara lain pemberian insentif atau bantuan dana

56
bagi para peneliti yang berminat mengembangkan
PLTB, mengurangi pajak bea-import bagi peralatan
atau komponen yang berhubungan dengan
pengembangan PLTB, ataupun mencarikan investor-
investor yang siap membantu mengembangkan PLTB
ini.
Pembangkit Energi Angin

Pembangkit energi angin pada dasarnya mengubah


energi kinetik yang dihasilkan angin menjadi energi
listrik. Komponen utama pembangkit energi angin
adalah turbin angin (wind turbine), unit generator listrik
(electrical generation unit) dan pengendali (controller)
seperti terlihat pada gambar 7.1.

57
Gambar 7.1 Komponen Sistem Pembangkit Energi
Angin

Sesuai susunan dan fungsi dari beberapa komponen


penting dalam turbin pembangkit listrik tersebut, maka
dapat diuraikan tugas dan fungsinya masing-masing
sebagai berikut:

1. Blades (Bilah Kipas). Kebanyakan turbin angin


mempunyai 2 atau 3 bilah kipas angin yang
menghembus menyebabkan turbin tersebut berputar.

58
2. Rotor: Bilah kipas bersama porosnya dinamakan
rotor Tower (Menara). Menara bisa dibuat dari pipa
baja, beton, ataupun rangka besi. Karena kencangnya
angin bertambah dengan seiring dengan
bertambahnya ketinggian, maka makin tinggi menara
makin besar tenaga angin yang didapat.
3. Pitch (Sudut Bilah Kipas): Bilah kipas dapat diatur
sudutnya sesuai dengan kecepatan rotor yang
dikehendaki. Tergantung kondisi angin yang terlalu
rendah atau terlalu kencang.
4. Brake (Rem): Suatu rem cakram yang dapat
digerakkan secara mekanis dengan bantuan tenaga
listrik atau hidrolik untuk menghentikan rotor atau
saat keadaan darurat.
5. Low-speed shaft (Poros Puutaran Rendah): Poros
turbin yang berputar kira-kira 30-60 rpm.
6. Gear box (Roda Gigi): Roda gigi menaikkan putaran
dari 30-60 rpm menjadi sekitar 1000-1800 rpm. Ini
merupakan tingkat putaran standar yang disyaratkan
untuk memutar generator listrik.
7. Generator: Generator pembangkit listrik, biasanya
sekarang disebut alternator arus bolak-balik.

59
8. Controller (Alat Pengontrol). Alat Pengontrol ini
men-start turbin pada kecepatan angin kira-kira 12-
25 km/jam, dan kemudian mematikannya pada
kecepatan 90 km/jam. Turbin tidak beroperasi di atas
90 km/jam. Hal ini dikarenakan tiupan angin yang
terlalu kencang dapat merusakkannya.
9. Anemometer. Mengukur kecepatan angin dan
mengirim data angin ke alat pengontrol.
10. Wind vane (Tebeng Angin). Mengukur arah angin,
berhubungan dengan penggerak arah yang memutar
arah turbin disesuaikan dengan arah angin.
11. Nacelle (Rumah Mesin). Rumah mesin ini terletak di
atas menara. Di dalamnya berisi gearbox, poros
putaran tinggi/rendah, generator, alat pengontrol dan
alat pengereman.
12. High-speed shaft (Poros Putaran Tinggi). Berfungsi
untuk menggerakkan generator.
13. Yaw drive (Penggerak Arah). Penggerak arah
memutar turbin ke arah angin untuk desain turbin
yang menghadap angin. Untuk desain turbin yang
mendapat hembusan angin dari belakang tak
memerlukan alat ini.

60
14. Yaw motor (Motor Penggerak Arah). Motor listrik
yang menggerakkan Yaw drive.
15. Tower (Menara).
Persyaratan dan Kondisi Angin

Adapun syarat-syarat dan kondisi angin yang dapat


digunakan untuk menghasilkan energi listrik dapat
dilihat pada tabel 7.1 dan tabel 7.2.

Tabel 7.1 Tabel Kondisi Angin

Tabel Kondisi Angin


Kelas Kecepatan Kecepatan Kecepatan
Angin Angin Angin Angin
(m/d) (km/jam) (Knot/jam)
1 0.3 – 1.5 1 – 5.4 0.58 – 2.92
2 1.6 – 3.3 5.5 – 11.9 3.11 – 6.42
3 3.4 – 5.4 12.0 – 19.5 6.61 – 10.5
4 5.5 – 7.9 19.6 – 28.5 10.7 – 15.4
5 8.0 – 10.7 28.6 – 38.5 15.6 – 20.8
6 10.8 – 13.8 38.6 – 49.7 21 – 26.8
7 13.9 - 17.1 49.8 – 61.5 27 – 33.3
8 17.2 – 20.7 61.6 – 74.5 33.5 – 40.3
9 20.8 – 24.4 74.6 – 87.9 40.5 – 47.5
10 24.5 – 28.4 88.0 – 102.3 47.7 – 55.3
11 28.5 – 32.6 102.4 – 55.4 – 63.4
117.0
12 >32.6 >118 >63.4

61
Tabel 7.2 Tingkat Kecepatan Angin 10 Meter di atas
Permukaan Tanah

Tingkat Kecepatan Angin


10 meter di atas permukaan Tanah
Kelas Kecepatan Angin Kondisi Alam di Daratan
Angin (m/d)
1 0.00 – 0.02
2 0.3 – 1.5 angin tenang, asap lurus ke atas
3 1.6 – 3.3 asap bergerak mengikuti arah
angin
4 3.4 – 5.4 wajah terasa ada angin, daun-
daun bergoyang pelan,
petunjuk arah angin bergerak
5 5.5 – 7.9 debu jalan, kertas
berterbangan, ranting pohon
bergoyang
6 8.0 – 10.7 ranting pohon bergoyang,
bendera berkibar
7 10.8 – 13.8 ranting pohon besar bergoyang,
air plumpang berombak kecil
8 13.9 – 17.1 ujung pohon melengkung,
hembusan angin terasa di
telinga
9 17.2 – 20.7 dapat mematahkan ranting
pohon, jalan berat melawan
arah angin
10 20.8 – 24.4 dapat mematahkan ranting

62
Tingkat Kecepatan Angin
10 meter di atas permukaan Tanah
pohon, rumah rubuh
11 24.5 – 28.4 dapat merubuhkan pohon,
menimbulkan kerusakan
12 28.5 – 32.6 menimbulkan kerusakan parah
13 32.7 – 36.9 tornado

Energi yang dihasilkan oleh turbin angin dinyatakan


sebagai berikut. Energi kinetik yang dihasilkan oleh
benda yang bergerak adalah

𝟏
𝑬𝒌 = 𝟐 𝒎𝒗𝟐 (7.1)

dimana m adalah massa udara yang mengenai turbin


angin dan v adalah kecepatan angin. Massa m tersebut
dapat diturunkan dari persamaan berikut:

𝒎 = 𝝆(𝑨𝒅) (7.2)

dimana ρ adalah densitas udara, A adalah luas daerah


yang menyapu turbin angin, dan d adalah jarak yang
ditempuh angin. Daya yang dihasilkan oleh turbin angin
(Pw) merupakan energi kinetik per detik yang
dinyatakan oleh:

63
𝟏
𝑬𝒌 𝝆𝑨𝒅𝒗𝟐 𝟏
Pw = 𝒕 = 𝟐
= 𝟐 𝝆𝑨𝒗𝟐 (7.3)
𝒕

Energi aktual yang diserap turbin angin tergantung dari


efisiensi turbin angin yang dinyatakan dalam Cp (λ ,β )
yang merupakan fungsi dari λ (perbandingan kecepatan
ujung: tip speed ratio) dan β (sudut angguk:pitch angle).
Sudut angguk β adalah sudut antara bilah turbin dengan
sumbu longitudinal (horisontal). Sedangkan
perbandingan kecepatan ujung λ didefinisikan sebagai
perbandingan antara kecepatan rotor turbin dengan
kecepatan angin, yang dinyatakan oleh persamaan:

𝝎𝑹𝒓𝒐𝒕𝒐𝒓
𝝀= (7.4)
𝒗

dimana ω adalah kecepatan sudut turbin angin, dan R


adalah jari-jari turbin angin. Sehingga daya aktual yang
diserap turbin angin dinyatakan oleh:
1
P = 2 𝐶𝑝 (𝜆, β) ρA𝑣 3 (7.5)

Dengan menggunakan persamaan (7.5), maka torsi yang


didefinisikan sebagai daya dibagi kecepatan sudut
putaran dapat dinyatakan sebagai:

64
1 2
T= 𝐶 (𝜆, β)ρARv (7.6)
2 𝑡

Dimana Ct (λ, β) = Cp (λ, β) /λ adalah koefisien torsi dari


turbin angin.

65
DAFTAR PUSTAKA

Cheng-YI Kuo, Shui-Yang Lien. 2008. TiO2 thickness


effect on performance of dye-sensitized solar
cells. AMTACT 2008.

Chiba Y, Islam A, Watanabe Y, Komiya R, Koide N &


Han L. 2006. Dye-Sensitized Solar Cell with
Conversion Efficiency of 11.1%. Jpn. J. Appl.
Phys. 45:L638.

E. Ortjohann, O. Omari, R. Saiju, N. Hamsic, D. Morton.


2003. A simulation Model For Expandable
Hybrid Power Systems. Proceedings of 2nd
European PV-Hybrid and Mini-Grid Conference.
Kassel, Germany.

Febriansyah Arif Juwito. 2013. Pemodelan Sistem


Pembangkit Hibrid Berbasis
Energi Terbarukan Untuk Menuju Desa Mandiri
Energi Di Desa
Margajaya. Tesis. Universitas Gadjah Mada.

Gao, Frank G.2000.Photocurrent generated on a


carotenoid-sensitized TiO2 nanocrystalline
mesoporous electrode. Elsevier : Chemistry 130
(2000) 49–56.

1
Gibilisco, S. 2007. Alternative Energy Demystified. New
York: McGraw Hill.

Grätzel, M. 2003. Dye-Sensitized Solar Cell.Journal of


Photochemistry and Photobiology
C:Photochemistry Reviews 4 hal 145-153.

Gu Kang, K. Sun Ry, S. Ho Chang, N. Park, 2004, A


new ionic liquid for a redox electrolyte of dye-
sensitized solar cells, ETRI Journal, vol. 26, no.
6, hal. 647-652.
Halme J., 2002, Dye sensitized Nanostructured and
Organic Photovoltaic Cells : Technical Review
And Preeliminary Test, Master Thesis of Helsinki
University of Technology.

Hamann, T. W.; Jensen, R. A.; Martinson, A. B. F.;


Ryswyk, H. V.; Hupp, J. T. Advancing beyond
current generation dye-sensitized solar cells.
Energy Environ. Sci.2008, 1, 66–78.

Hardani, Cari, Agus Supriyanto. 2018. Efficiency of


Dye-Sensitized Solar Cell (DSSC) Improvement
as a Light Party TiO2-Nano Particle With Extract
Pigment Mangosteen Peel (Garcinia
mangostana). AIP Conference Proceedings 2014,
020002,
(2018); https://doi.org/10.1063/1.5054406

2
Hardani, Hendra, Iman, Cari, Agus Supriyanto. 2014.
Penggunaan Ekstrak Pigmen Kulit Buah Manggis
(Garcinia mangostana) Sebagai Zat Peka Cahaya
TiO2-Nano Partikel
Dalam Dye-Sensitized Solar Cell (DSSC).
Prosiding Mathematics and Sciences Forum. 31-
34.

Hao, S., Wu, J., Huang, Y., dan Lin, J. 2006.Natural


dyes as photosensitizers for dye-sensitized solar
cell. Science Direct, Solar Energy 80 (2006) 209–
214.

Hinsch, J. M. Kroon, R. Kern, I. Uhlendorf, J. Holzbock,


A. Meyer, J. Ferber, 2001 , Longterm stability of
dye- sensitised solar cells, Progress in
Photovoltaics, vol. 9, hal. 425-438.

Huang M.L, Yang H.X, Wu J.H, Lin J.M, Lan Z, Li P.J,


Hao S.C, Han P & Jiang Q.W. 2007. Preparation
of a Novel Polymer Gel Electrolyte Gel based on
N-methyl-quinoline Iodide and Its Application in
Quasi-Solid-State Dye-Sensitized Solar Cell. J.
Sol-Gel Sci. Techn. 42 (27): 65-70.

Karnjanawipagul. 2010. Analysis of β-Carotene in


Carrot by Spectrophotometry. Mahidol
University Journal of Pharmaceutical Science
2010; 37 1-2, 8-16.

3
Meen,T.H, W. Water, W. R. Chen, S. M. Chao, L. W.
Ji, C. J. Huang. 2009. Application of TiO2 nano-
particles on the electrode of dye-sensitized solar
cells. Journal of Physics and Chemistry of
solids70, 472-476.

Manan, Saiful. 2012. Energi Matahari, Sumber Energi


Alternatif yang Efisien, Handal dan Ramah
Lingkungan Di Indonesia. Jurusan Teknik
Elektro Fakultas Teknologi Universitas
Diponegoro.

Natalita M. Nursam, L. Muliani, J. Hidayat.2011.Sel


surya dye-sensitized TiO2: Fabrikasi dan analisa
material elektrolit.Bandung: PPET-LIPI.

Nawawi, Hadari. 1991. Metode Penelitian Bidang


Sosial. Yogyakarta: Gajahmada University Press.
O’regan dan Grätzel, M. 1991.A Low-Cost, High
Efficiency Solar Cell Based On Dye-Sensitized
Colloidal Tio2 Films. Nature Vol. 353.Issue
6346, 737.

Pagliaro Mario. 2008. Working principles of dye-


sensitised solar cell and future applications.
Photovoltaics Internasional journal. Hal 47-
51.49.

4
Rusnoto. Lauidi Shofani. 2009. Pengaruh Susunan
Sudut Turbin Angin Savonius
Terhadap Karakteristik Saya Turbin. Jurnal
upstegal.

Diakses dari:

http://ejournal.upstegal.ac.id/index.php/Cermin/ar
ticle/view/135/140.

Saekung, C., Pungwiwat, N., Laosooksathit, 2004,


Using klorofil and eosin as electron donor in dye
sensitized solar cells, Proc. Technical Digest of
the International PVSEC-14 Bangkok Thailand.

Setiawan S, dkk. 2014. Pusat Penelitian Perkembangan


Iptek Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia.
Bandung : LIPI.

Soetedjo, Aryuanto, dkk. 2011. Pemodelan Sistem


Pembangkit Listrik Hibrid Angin dan Surya.
Jurusan Teknik Elektro Fakultas Teknologi
Industri. Institut Teknologi Malang. Diakses dari:
http://aryuanto.files.wordpress.com/2011/07/pape
rebt2011_aryu.pdf.

5
Supriyanto, A., Kusminarto, Kuwat Triyana, Roto, 2009,
Optical and Electrical Characteristics of
Chlorophyll-Porphyrins Isolated from Spinach
and Spirulina Microalgae for Possible Use as
Dye Sensitizer of Optoelectronic Devices,
International Chemistry conference, Universitas
Gadjah Mada,

Wei Lin, Tsun. 2007. Absorption Spectra Analysis of


Natural Dyes for Applications in Dye-Sensitized
Nano Solar Cells. The 31st National Conference
on Theoretical and Applied Mechanics,
December 21-22, 2007, ISU, Kaohsiung, Taiwan,
R.O.C.

West K. 2003. Solar Cell Beyond Silicon, Riso


International Energy Confrence.

Yuliarto B. 2005.Serba-serbi Energi. Penerbit ISTECS.

View publication stats

Anda mungkin juga menyukai