Anda di halaman 1dari 34

6

II. TINJAUAN PUSTAKA

A. Letak Geografis Kota Kendari

Wilayah Kota Kendari secara geografis terletak pada 3° 54’ 30”- 4° 3’

11” Lintang Selatan dan 122° 23’-122° 39’ Bujur Timur. Sedangkan secara

administratif, Kota Kendari berbatasan dengan (Anonim, 2016):

1. Sebelah utara berbatasan dengan Kecamatan Soropia dan Kecamatan Sampara

(Kabupaten Konawe).

2. Sebelah timur berbatasan dengan Laut Banda.

3. Sebelah selatan berbatasan dengan Kecamatan Moramo (Kabupaten Konawe

Selatan).

4. Sebelah Barat berbatasan dengan Kecamatan Sampara (Kabupaten Konawe),

Kecamatan Ranomeeto dan Kecamatan Konda (Kabupaten Konawe Selatan).

Wilayah administratif Kota Kendari dapat dilihat pada Gambar 1.


7

Gambar 1. Peta administrasi Kota Kendari


8

B. Geologi Regional Kota Kendari

1. Geomorfologi

Secara regional daerah penelitian termasuk dalam lembar peta Lasusua

Kendari yang terletak pada lengan Tenggara Pulau Sulawesi. Morfologi lembar

Lasusua Kendari dapat dibedakan menjadi empat satuan, yaitu pegunungan,

perbukitan, kras dan dataran rendah (Rusmana, dkk., 1993). Pegunungan

menempati bagian tengah dan barat lembar, perbukitan terdapat pada bagian barat

dan timur. Morfologi kras terdapat di Pegunungan Matarombeo dan di bagian

hulu Sungai Waimenda serta Pulau Labengke (Rusmana, dkk., 1993).

Satuan perbukitan umumnya tersusun oleh batuan sedimen dengan

ketinggian berkisar 75-750 meter diatas permukaan laut. Puncak yang terdapat

pada satuan perbukitan adalah Gunung Meluhu (517 meter) dan beberapa puncak

lainnya yang tidak memiliki nama. Sungai di daerah ini umumnya berpola aliran

meranting (dendritik). Dataran rendah terdapat didaerah pantai dan sepanjang

aliran sungai besar dan muaranya, seperti Aalaa Kokapi, Aalaa Konaweha dan

Aalaa Lasolo (Rusmana, dkk., 1993).

2. Struktur Geologi

Struktur geologi yang dijumpai pada Lembar Lasusua Kendari adalah

sesar, lipatan dan kekar. Sesar dan kelurusannya relatif berarah baratlaut-tenggara

searah dengan Sesar Lasolo. Sesar Lasolo berupa sesar geser mengiri yang diduga

masih aktif hingga sekarang. Sesar tersebut ada kaitannya dengan Sesar Sorong

yang aktif kembali pada Kala Oligosen (Simandjuntak, dkk., 1993). Sesar naik
9

ditemukan di Daerah Wawo sebelah barat Tampakura dan di Tanjung Labuandala

sebelah selatan Sesar Lasolo yaitu beranjaknya batuan ofiolit keatas batuan

malihan Mekongga, Formasi Meluhu dan Formasi Matano. Jenis sesar lain yang

dijumpai adalah sesar bongkah. Sesar Lasolo berarah baratlaut-tenggara, membagi

Lembar Lasusua Kendari menjadi dua bagian. Sebelah timurlaut sesar disebut

Lajur Hialu, dicirikan dengan batuan asal kerak samudera dan sebelah baratdaya

sesar disebut Lajur Tinondo, dicirikan dengan batuan asal paparan benua (Surono,

dkk., 1993).

Pada Kala Miosen Tengah, Lajur Hialu terdorong oleh benua kecil

Banggai-Sula yang bergerak ke arah barat, yang menyebabkan tersesarkannya

Lajur Hialu di atas Lajur Tinondo, yang kemudian diikuti oleh sesar bongkah.

Jenis lipatan berupa lipatan antiklin. Pada kawasan setempat juga di jumpai

lipatan rebah dan lipatan sinklin. Kekar terdapat pada semua jenis batuan. Pada

batugamping, kekar ini tampak teratur membentuk kelurusan. Kekar pada batuan

beku umumnya menunjukkan arah tak beraturan. Pada Kala Miosen Akhir sampai

Pliosen pengangkatan kembali berlangsung, dimana pada pantai timur dan

tenggara lembar dicirikan dengan undak-undak pantai dan sungai serta

pertumbuhan koral (Rusmana, dkk., 1993).


10

Gambar 2. Peta geologi Kota Kendari


11

Secara geologi, persebaran dan jenis batuan yang terdapat di Kota Kendari

adalah (Endharto dan Surono, 1991) :

a. Batu pasir,kuarsit, serpih hitam batu sabak, batu gamping dan batu lanau tersebar

di Kecamatan Kendari dan Kecamatan Mandonga sebelah utara sampai

perbatasan dengan Kecamatan Soropia, tepatnya di kawasan Hutan Raya

Murhum.

b. Endapan alluvium pasir, lempung dan lumpur tersebar dipesisir pantai Teluk

Kendari dan disekitar sungai-sungai yang mengalir di Kota Kendari.

c. Batu gamping, koral dan batu pasir yang tersebar di pulau Bungkutoko, pesisir

pantai Kelurahan Purirano dan Kelurahan Mata, serta Kecamatan Mandonga

kearah barat laut yang dibatasi Jalan R. Soeprapto, Jalan Imam Bonjol dan batas

antara Kota Kendari dengan Kecamatan Sampara.

d. Konglomerat dan batu pasir tersebar disepanjang kiri kanan jalan poros antara

kota Lama dengan Tugu Simpang Tiga Mandonga, bagian tengah Kecamatan

Mandonga dan bagian barat Kecamatan Baruga serta bagian tengah Kecamatan

Poasia sampai kearah selatan, yaitu kawasan rencana kompleks perkantoran 1.000

Ha kearah pegunungan Nanga-Nanga.

e. Filit, batu sabak, batu pasir, malik, kuarsa kalsiulit, napal, batu lumpur dan

kalkarenit lempung tersebar di arah tenggara Kecamatan Poasia tepatnya di

Kelurahan Talia, Kelurahan Abeli, Kelurahan Anggalomelai, Kelurahan

Tobimeita, Kelurahan Benuanirae dan Kelurahan Anggoeya.


12

f. Konglomerat,batu pasir, batu lanau dan batu lempung tersebar di Kecamatan

Poasia bagian timur yaitu di Kelurahan Petoaha, Kelurahan Sambuli dan

Kelurahan Nambo serta sebagian Kelurahan Tondonggeu.

g. Batu gamping, batu pasir dan batu lempung tersebar dibagian barat Kecamatan

Mandonga sampai dengan batas Kota Kendari dengan Kecamatan Sampara dan

Kecamatan Ranometo.

C. Gelombang Seismik

Gelombang seismik adalah gelombang elastis yang menjalar di dalam medium

bumi. Berdasarkan sifat-sifatnya, gelombang elastis yang menjalar di dalam medium

seperti gelombang suara dapat juga dikategorikan sebagai gelombang seismik.

Gelombang seismik sering timbul akibat adanya gempabumi atau ledakan.

Gelombang seismik diukur dengan menggunakan alat seismometer. Gelombang

seismik di bagi menjadi dua kelompok, yaitu gelombang badan dan gelombang

permukaan (Bath, 1979).

1. Gelombang badan (body wave)

Gelombang badan adalah gelombang yang merambat di sela-sela bebatuan di

bawah permukaan bumi. Efek kerusakan yang ditimbulkan dari gelombang ini cukup

kecil. Gelombang badan dibagi menjadi dua jenis, yaitu gelombang P dan gelombang

S. Kegunaan gelombang P dan S dalam ilmu kegempaan adalah dalam menentukan


13

posisi episenter gempabumi. Amplitudo gelombang P juga digunakan dalam

perhitungan magnitudo gempa.

a. Gelombang P (pressure wave)

Gelombang P atau gelombang longitudinal dapat menjalar melalui segala

medium (padat, cair dan gas). Gerakan partikel medium yang dilewati gelombang ini

adalah searah dengan arah penjalaran gelombang (Gambar 3). Oleh karena waktu

penjalaran gelombang P lebih cepat dari pada gelombang S, maka gelombang P

merupakan gelombang yang pertama tiba pada detektor gempa. Kecepatan penjalaran

gelombang P dapat dinyatakan dengan persamaan dilatasi (Ibrahim dan Subardjo,

2005):

(1)

Dengan menganalogikan persamaan (1) dengan bentuk umum persamaan gelombang:

(2)

maka didapatkan persamaan kecepatan gelombang P :


14

(3)

dimana adalah kecepatan gelombang P, modulus rigiditas, densitas material

yang dilalui gelombang, dispalcement dilatasi, konstanta Lame dan potensial

displacement rotasi.

Gambar 3. Penjalaran gelombang Rayleigh (Aster, 2011)

Gelombang S atau gelombang transversal memiliki arah gerakan yang tegak

lurus dengan arah perambatan gelombang (Gambar 4). Gelombang S merambat di

sela-sela bebatuan dan bergantung pada medium yang dilaluinya. Gelombang ini

hanya dapat menjalar melalui medium padat karena cairan dan gas tidak punya daya

elastisitas untuk kembali ke bentuk asal. Waktu penjalaran gelombang S lebih lambat

dari gelombang P (Ibrahim dan Subardjo, 2005).


15

Gambar 4. Penjalaran gelombang Rayleigh (Aster, 2011)

Kecepatan gelombang S dapat diperlihatkan dengan didasarkan pada

persamaan gerak rotasi:

(4)

Dengan menganalogikan persamaan (4) dengan persamaan umum gelombang :

(5)

maka diperoleh persamaan kecepatan gelombang S:

(6)

dimana adalah kecepatan gelombang S, modulus rigiditas, densitas material

yang dilalui gelombang, dispalcement dilatasi, konstanta Lame dan potensial

displacement rotasi.
16

Gelombang S dibagi menjadi dua bagian (Bath, 1979), yaitu :

1). Gelombang SV adalah gelombang S yang gerakan partikelnya terpolarisasi pada


bidang vertical.

2). Gelombang SH adalah gelombang S yang gerakan partikelnya terpolarisasi


horisontal.

2. Gelombang permukaan (surface wave)

Gelombang permukaan adalah gelombang yang merambat di permukaan

bumi, tidak menetrasi kedalam medium bumi. Frekuensi gelombang permukaan lebih

rendah dari gelombang badan, sehingga bersifat merusak. Amplitudo gelombang

permukaan akan mengecil dengan cepat terhadap kedalaman. Hal ini diakibatkan oleh

adanya dispersi pada gelombang permukaan, yaitu penguraian gelombang

berdasarkan panjang gelombangnya sepanjang perambatan gelombang. Gelombang

permukaan dibagi menjadi dua jenis, yaitu Gelombang Love dan Gelombang

Rayleigh (Ibrahim dan Subardjo, 2005).

a. Gelombang Love

Gelombang Love adalah gelombang geser (S-wave) yang terpolarisasi secara

horizontal dan tidak menghasilkan perpindahan vertikal (Gambar 5). Gelombang

Love merambat pada permukaan bebas medium berlapis dengan gerak partikel seperti

gelombang SH. Kecepatan merambat gelombang Love selalu lebih kecil dari

gelombang P, dan umumnya lebih lambat dari gelombang S.


17

Gambar 5. Penjalaran gelombang Rayleigh (Aster, 2011)

Gelombang Love terbentuk karena adanya interferensi konstruktif dari

gelombang SH pada permukaan bebas. Awal gelombang terbentuk ketika gelombang

SH yang datang membentur permukaan bebas pada sudut poskritis sehingga energi

terperangkap pada lapisan tersebut. Secara ringkas, pembentukan gelombang Love

sebagaimana ditunjukan pada Gambar 6.

Gambar 6. Pembentukan gelombang Love (Lay dan Wallace, 1995)

Gelombang SH berulang-ulang memantul pada lapisan X1. Awalnya,

gelombang SH datang pada bidang X3= 0 (permukaan bebas), kemudian memantul


18

pada bidang X3=H. Untuk , sudut kritis akan melebihi

reverberasi SH yang terperangkap pada lapisan .

b. Gelombang Rayleigh

Gelombang Rayleigh adalah gelombang yang menjalar di permukaan bebas

medium berlapis maupun homogen dengan pergerakan menyerupai elips (Gambar 7).

Oleh karena menjalar di permukaan bumi, maka amplitudo gelombang Rayleigh akan

berkurang dengan bertambahnya kedalaman. Pada saat gempabumi besar, gelombang

Rayleigh terlihat pada permukaan tanah yang bergerak keatas dan kebawah.

Kecepatan merambat gelombang Rayleigh lebih lambat daripada gelombang Love.

Gerakan pertikel gelombang Rayleigh adalah vertikal, sehingga gelombang

Rayleigh hanya ditemukan pada komponen vertikal seismogram (Gambar 7).

Disebabkan karena gelombang Rayleigh adalah gelombang permukaan, maka sumber

yang lebih dekat dengan permukaan akan menimbulkan gelombang Rayleigh yang

lebih kuat dibandingkan sumber yang terletak di dalam bumi (Lay dan Wallace,

1995).

Gelombang Rayleigh adalah gelombang yang dispersif dengan periode yang

lebih panjang akan mencapai material yang lebih dalam dan sampai sebelum periode

pendek. Hal ini menjadikan gelombang Rayleigh sebagai alat yang sesuai untuk

menentukan struktur keras tidaknya suatu lokasi.


19

Gambar 7. Penjalaran gelombang Rayleigh (Aster, 2011)

Gelombang Rayleigh yang menjalar pada permukaan medium homogen (tidak

berlapis) tidak mengalami dispersi. Dalam hal ini gelombang dengan frekuensi

rendah menjalar lebih lambat daripada kecepatan gelombang dengan frekuensi yang

lebih tinggi, sehingga gelombang akan mengalami dispersi dan berubah bentuk

sepanjang penjalarannya. Gelombang Rayleigh terbentuk karena adanya interaksi

antara gelombang SV dan P pada permukaan bebas yang kemudian merambat secara

paralel terhadap permukaan.

Gambar 8. Pembentukan gelombang Rayleigh (Lay dan Wallace, 1995)


20

Berdasarkan Gambar 8, secara ringkas pembentukan gelombang Rayleigh

adalah :

1). Gelombang SV poskritisdatang pada permukaan bebas menimbulkan gelombang

P yang merambat sepanjang bidang batas sebagaimana halnya refleksi SV.

2). Gelombang P dan SV secara simultan menyebabkan energi gelombang menjalar

secara horisontal sepanjang permukaan bebas yang akibatnya menghasilkan

gelombang permukaan yang disebut sebagai gelombang Rayleigh.

D. Mikrotremor

Mikrotermor merupakan getaran tanah selain gempabumi, bisa berupa getaran

akibat aktivitas manusia maupun aktivitas alam. Mikrotremor dapat juga diartikan

sebagai getaran harmonik alami tanah yang terjadi secara terus menerus disebabkan

oleh getaran mikro di bawah permukaan tanah dan kegiatan alam lainnya, serta dapat

juga diakibatkan oleh gangguan setempat seperti lalu lintas, industri atau getaran

permukaan udara yang diteruskan ke permukaan tanah (Daryono, 2009).

1. Karakteristik gelombang mikrotremor

Mikrotremor merupakan simpangan (amplitudo) getaran (vibrasi) yang sangat

kecil dan terus menerus dari tanah atau struktur. Karakteristik mikrotremor

mencerminkan karakterisitik batuan di suatu daerah. Gelombang seismik memiliki

rentang frekuensi antara 0,0003-100 Hz dengan panjang gelombang bervariasi

tergantung dari kecepatan rambat gelombang, yakni beberapa meter hingga 10.000
21

km (Lay dan Wallace, 1995). Sedangkan mikrotremor sebagai gelombang seismik

memiliki karakteristik frekuensi antara 0,5 sampai 1-10 Hz dan umumnya disebabkan

oleh aktivitas perdagangan, aktivitas industri dan aktivitas manusia

(www.geopsy.org).

Dalam studinya, Nogoshi dan Igarashi (1971) membandingkan spektrum

amplitudo H/V gelombang Rayleigh dengan mikrotremor, dan menyimpulkan bahwa

mikrotremor kebanyakan terbentuk oleh gelombang Rayleigh. Beberapa studi teoritik

lainnya (Bard, 1999; Konno dan Ohmachi, 1998) mengusulkan bahwa puncak H/V

pada spektrum merupakan akibat adanya gelombang Rayleigh. Jika perkiraan ini

benar, maka mikrotremor dapat dianggap sebagai gelombang Rayleigh saja. Akan

tetapi, Nakamura (1989) menjelaskan bahwa spektrum H/V mikrotremor untuk

frekuensi dominan tanah terjadi akibat gelombang SH. Berdasarkan observasi pada

rekaman mikrotremor dan pengalaman menunjukkan bahwa mikrotremor terdiri atas

gelombang badan (body wave) dan gelombang permukaan (surface wave), tapi tidak

ada teori yang menjelaskan jenis dari gelombang mikrotremor tersebut.

2. Aplikasi mikrotremor

Mikrotremor dapat digunakan untuk menentukan dinamika karateristik

permukaan tanah termasuk nilai periode dominan tanah dan nilai faktor amplifikasi

tanah pada suatu wilayah (Nakamura, 2000). Pengukuran mikrotremor memiliki

keunggulan untuk penyelidikan bawah permukaan, antara lain adalah :

a. Dapat dioperasikan disetiap tempat dan setiap waktu


22

b. Instrumen dan cara pengukurannya relatif mudah

c. Tidak menyebabkan gangguan pada lingkungan

Kegunaan metode mikrotremor untuk identifikasi struktur bawah permukaan

pertama kali dilakukan oleh Irikura dan Kawanka dari Jepang pada tahun 1980.

Mereka menggunakan gelombang mikrotremor dengan periode pendek untuk

mengidentifikasi batuan yang lunak. Dalam beberapa kasus, peningkatan ketebalan

dan kekompakan batuan juga berbanding lurus dengan kenaikan amplitudo (Daryono,

2001).

Pada dasarnya pengukuran mikrotremor dapat dilakukan dengan alat pencatat

gempabumi atau seismograf. Namun karena Mikrotremor mempunyai karakteristik

berbeda dengan gempabumi baik periode maupun amplitudonya, maka untuk

mengukur parameter-parameter Mikrotremor di gunakan amplitudo seismograf.

E. Metode Horizontal to Vertical Spectral Ratio (HVSR)

Metode HVSR merupakan metode yang membandingkan spektrum Fourier

komponen horisontal terhadap komponen vertikal dari gelombang mikrotremor.

Mikrotremor terdiri dari gelombang Rayleigh dimana periode dominan spektrum H/V

berkorelasi dengan periode gelombang S. Metode HVSR didefinisikan dengan

persamaan :

SH
HVSR = (7)
SV
23

dimana SH adalah spektrum komponen horisontal dan SV spektrum komponen vertikal

(Nakamura, 1989).

HVSR dikembangkan berdasarkan informasi terperangkapnya getaran

gelombang geser (gelombang SH) pada medium sedimen di atas batuan dasar

(bedrock). Akibat getaran, permukaan tanah akan mengalami deformasi geser

(Gambar 9) sebesar:

(8)

dengan δ adalah pergeseran seismik batuan dasar dengan frekuensi dominan tanah

(9)
Oleh karena percepatan tanah akibat getaran ini adalah

(10)

maka deformasi geser menjadi

(11)
24

Gambar 9. Deformasi geser

Jika efisiensi gaya seismik diasumsikan e % dari gaya statik, maka efektifitas

deformasi adalah:

(12)

(13)

dengan Kg(e) adalah indeks kerentanan seismik untuk efisiensi e % (Nakamura,

2000).

Pada umumnya, hasil analisis HVSR akan menunjukkan suatu puncak

spektrum pada frekuensi dominan tanah (f0) dan faktor amplifikasi tanah (A0) yang

menggambarkan karakteristik dinamis tanah (Nakamura, 2000). Nakamura (1989)

mengatakan bahwa jika diasumsikan gelombang S dominan pada mikrotremor, maka

rasio spektrum horisontal terhadap vertikal (HVSR) pada data mikrotremor di suatu

tempat sama dengan fungsi transfer gelombang shear yang bergetar antara

permukaan dan batuan dasar (bedrock) di tempat tersebut. Berdasarkan analisis data
25

gempa, nilai maksimum rasio getaran horisontal terhadap vertikal dalam setiap

pengamatan H/V berkaitan dengan kondisi tanah, dan hampir setara dengan satu

kekuatan tanah dengan beberapa getaran ke semua arah.

Gambar 10. Model cekungan yang berisi material sedimen halus (Slop, 2007)

Beberapa asumsi yang digunakan dalam metode Nakamura adalah (Gambar

10) (www. geopsy.org):

1. Data Mikrotremor tersusun atas beberapa jenis gelombang, tetapi utamanya

adalah gelombang Rayleigh yang merambat pada lapisan sedimen di atas batuan

dasar (bedrock).

2. Efek gelombang Rayleigh (TV) pada noise terdapat pada spektrum komponen

vertikal di dataran alluvial (SVS), tetapi tidak terdapat pada spektrum komponen

vertikal di batuan dasar (SVB):

(14)

3. Komponen vertikal mikrotremor tidak teramplifikasi oleh lapisan sedimen di

dataran alluvial.
26

4. Efek gelombang Rayleigh pada rekaman mikrotremor adalah ekivalen untuk

komponen vertikal dan horisontal. Untuk rentang frekuensi lebar (0,2-20,0

Hz), rasio spektrum antara komponen horisontal dan vertikal di batuan dasar

mendekati nilai satu:

(15)

5. Pada kondisi tersebut, rasio spektrum antara komponen horisontal dan

vertikal dari mikrotremor yang terekam di permukaan memungkinkan efek

gelombang Rayleigh untuk dieliminasi, menyisakan hanya efek yang

disebabkan oleh kondisi geologi lokal. Inilah konsep dasar metode

Horizontal to Vertical Spectral Ratio atau yang populer disebut sebagai metode

HVSR:

(16)

dan site effect yang terjadi adalah:

(17)

Metode HVSR sangat bermanfaat untuk mengidentifikasi respon

resonansi pada cekungan yang berisi material sedimen. Fenomena resonansi dalam

lapisan sedimen yakni terjebaknya gelombang seismik di lapisan permukaan

karena adanya kontras impedansi antara lapisan sedimen dengan lapisan batuan

keras yang lebih dalam. Interferensi antar gelombang seismik yang terjebak
27

pada lapisan sedimen berkembang menuju pola resonansi yang berkenaan dengan

karakteristik lapisan sedimen.

Pada metode HVSR untuk seismogram 3 komponen terdapat satu data

komponen vertikal (V) dan 2 data komponen horisontal yaitu East-West (EW) dan

North-South (NS) (Gambar 11). Metode ini dilakukan dengan terlebih dahulu

melakukan transformasi Fourier data hasil pengukuran yang masih dalam domain

waktu menjadi domain frekuensi dengan FFT. Untuk menghaluskan hasil FFT

digunakan smoothing Konno-Ohmachi untuk ketiga komponen. Untuk komponen

horisontal, komponen EW dan NS dirata-ratakan menggunakan kaidah Phytagoras

dalam domain frekuensi. Selanjutnya, menentukan rasio komponen horisontal rata-

rata terhadap komponen vertikal.


28

Gambar 11. Diagram alir metode HVSR (Tuladhar, 2002)

1. Frekuensi dominan tanah

Frekuensi dominan tanah adalah nilai frekuensi yang kerap muncul sehingga

diakui sebagai nilai frekuensi dari lapisan batuan di wilayah tersebut. Nilai frekuensi

ini mempresentasikan jenis dan karakterisktik batuan. Bard (1999) melakukan uji

simulasi dengan menggunakan 6 model struktur geologi sederhana dengan kombinasi

variasi kontras kecepatan gelombang geser dan ketebalan lapisan tanah. Hasil

simulasi menunjukkan bahwa nilai frekuensi dominan tanah berubah terhadap variasi

kondisi geologi. Nilai frekuensi dominan tanah secara substansi dapat diperkirakan

dari spektrum HVSR.


29

2. Periode dominan tanah

Periode dominan tanah memiliki keterkaitan yang sangat dekat dengan

kedalaman lapisan sedimen lunak (Nakamura, 1989). Periode yang tinggi

menunjukan sedimen lunak yang tebal, dan sebaliknya periode dominan yang rendah

menunjukan sedimen lunak yang tipis. Daerah yang memiliki periode dominan tinggi

umumnya memiliki kerentanan untuk mengalami kerusakan wilayah yang cukup

tinggi jika terlanda gempabumi. Nilai periode dominan didapatkan berdasarkan

perhitungan :

(18)

dimana T0 adalah periode dominan (s) dan f0 frekuensi dominan (Hz).

Periode dominan memiliki nilai semakin tinggi di daerah lembah dan di

sepanjang sesar. Hal ini menunjukan bahwa di lembah dan daerah sepanjang sesar

disusun oleh sedimen yang lunak juga tebal. Lembah adalah cekungan pengendapan

sehingga dapat dipahami bahwa endapan sedimen lunak di lembah lebih tebal dari

pada di puncak. Sebaliknya di puncak bukit, proses erosi mencapai tingkat

maksimum sehingga tidak ditemukan endapan sedimen lunak yang tebal (Nakamura,

2000).

Nilai periode dominan di suatu wilayah juga berkonstribusi pada nilai

amplifikasi di wilayah tersebut. Periode dominan tinggi pada suatu wilayah


30

menunjukan kecenderungan suatu wilayah untuk mengalami penguatan

goncangan/amplifikasi yang tinggi sehingga rentan mengalami kerusakan. Wilayah

yang memiliki nilai periode dominan tinggi umumnya adalah wilayah pedaratan yang

disusun oleh endapan permukaan. Namun demikian, besarnya nilai periode dominan

di wilayah endapan permukaan (alluvial) tidak mutlak sama. Hal ini menunjukan

ketebalan alluvial di wilayah ini tidak sama (Gosar, 2007).

3. Faktor amplifikasi

Faktor amplifikasi gempabumi adalah perbandingan percepatan maksimum

gempabumi di permukaan tanah dengan batuan dasar. Kandungan frekuensi dan

amplitudo gelombang gempabumi yang menjalar dari batuan dasar ke permukaan

bumi akan berubah saat melewati endapan tanah (Gambar 12). Proses ini dapat

menghasilkan percepatan yang besar terhadap struktur dan menimbulkan kerusakan

yang parah, terutama saat frekuensi gelombang seismik sama dengan resonansi

frekuensi struktur bangunan buatan manusia (Bard, 1999).

Terdapat dua sebab terjadinya amplifikasi gelombang gempa yang dapat

mengakibatkan kerusakan bangunan. Pertama, adanya gelombang yang terjebak di

lapisan lunak, sehingga gelombang tersebut mengalami superposisi antar gelombang.

Jika gelombang tersebut mempunyai frekuensi yang relatif sama, maka terjadi proses

resonansi gelombang gempa. Akibat proses resonansi ini, gelombang tersebut saling

menguatkan. Kedua, adanya kesamaan frekuensi natural antara geologi setempat

dengan bangunan yang akan mengakibatkan resonansi antara bangunan dan tanah
31

setempat. Amplifikasi dapat dituliskan sebagai suatu fungsi perbandingan nilai

kontras impedansi (Gosar, 2007):

(19)

dimana adalah faktor amplifikasi, densitas batuan dasar, kecepatan rambat

gelombang di batuan dasar, kecepatan rambat gelombang di batuan lunak dan

rapat massa dari batuan lunak.

Gambar 12. Amplifikasi gelombang seismik (Nakamura, 1989)

Besaran amplifikasi dapat diestimasi dari kontras impedansi antara bedrock

dan sedimen permukaan. Dengan kata lain, kontras parameter perambatan gelombang

(densitas dan kecepatan) pada bedrock dan sedimen permukaan. Semakin besar
32

perbedaan parameter tersebut, semakin besar pula nilai amplifikasi perambatan

gelombangnya. Nilai amplifikasi dipengaruhi oleh variasi formasi geologi, ketebalan

dan sifat-sifat fisika lapisan tanah dan batuan, kedalaman bedrock dan permukaan air

bawah.

F. Indeks Kerentanan Seismik

Menurut Nakamura (2008), Indeks Kerentanan Seismik merupakan indeks

yang menggambarkan tingkat kerentanan lapisan tanah permukaan terhadap

deformasi saat terjadi gempabumi. Indeks kerentanan seismik bermanfaat untuk

memprediksi zona lemah saat terjadi gempabumi (Saita dkk., 2004; Gurler dkk.,

2000), bermanfaat untuk memprediksi zona rawan liquefaction (Huang dan Tseng,

2002) dan rekahan tanah akibat gempabumi (Daryono, 2011). Disamping itu, Indeks

Kerentanan Seismik bersama-sama dengan percepatan batuan dasar dapat digunakan

untuk menghitung nilai shear strain lapisan tanah permukaan (Nakamura, 2000).

Indeks Kerentanan Seismik dapat dihitung dengan menggunakan persamaan

(14) untuk daerah Shinkansen Jepang dimana 60%, Vb= 600 m/s dan = 1,69.10-
6
(s/cm) (Nakamura, 2008), sehingga:

(20)
33

dimana Kg adalah Indeks Kerentanan Seismik, A0 faktor amplifikasi, f0 frekuensi

dominan, dan Vb kecepatan gelombang di bedrock.

G. Spektrum Fourier

Dalam penelitian ini, data yang terukur dalam domain waktu, sehingga untuk

menghasilkan spektrum dalam domain frekuensi dapat dilakukan dengan

menggunakan transformasi. Ada dua jenis transformasi domain waktu ke domain

frekuensi yang sering digunakan yaitu transforasi fourier atau Fourier Transform

(FT) dan Fast Fourier Transform (FFT).

1. Transformasi Fourier

Transformasi Fourier adalah transformasi yang dapat merubah suatu sinyal

dari domain waktu s(t) kedalam domain frekuensi s(f). Transformasi Fourier

menggabungkan sinyal kebentuk fungsi eksponensial dari frekuensi yang berbeda-

beda. Caranya adalah dengan didefinisikan kedalam persamaan (Champeney, 1993):

(21)

Berdasarkan persamaaan (22) dapat dikatakan bahwa x(f) adalah transformasi

Fourier dari x(t) yang mengubah x(t) dari domain waktu ke domain frekuensi. Dalam

bentuk diskrit, persamaan (23) dapat dituliskan:


34

N =1 -j (2πN )mn
x ( m,n )=∑ x ( n ) e (22)
N =0

dimana n adalah indeks dalam domain waktu = 0, 1, ..., N-1 dan m indeks dalam

domain frekuensi = 0, 1, ..., N-1. Gambar 13 di bawah ini adalah contoh Transformasi

Fourier dari domain waktu ke domain frekuensi.

Gambar 13. Proses FFT suatu data dari domain waktu ke dalam domain
frekuensi (Lamoureuxdan Margrave, 2008)

2. Fast Fourier Transform (FFT)

FFT (Fast Fourier Transform) merupakan salah satu metode untuk

transformasi sinyal atau data dari domain waktu menjadi sinyal dalam domain

frekuensi. Artinya proses perekaman disimpan dalam bentuk digital berupa

gelombang spektrumyang berbasis frekuensi sehingga lebih mudah dalam

menganalisa spektrum frekuensi yang telah direkam. Secara matematis FFT dapat di

tuliskan (Champeney, 1993):


35

N
2
-1 (N2 )-1
x ( m ) = ∑ x [2 n ] WN + WN ∑ x [2 n +1] ( 2 3 )
nm m

n =0 2 n =0

H. Filtering

Filtering adalah upaya untuk meloloskan frekuensi yang dikehendaki dari

gelombang seismik dan membuang yang tidak dikehendaki. Secara umum, ada

beberapa jenis filter yang biasa digunakan (Gambar 14), yaitu:

1. Low Pass Filter, yaitu filter yang digunakan untuk membuang sinyal dengan

frekuensi tinggi.

2. High Pass Filter, yaitu filter yang digunakan untuk membuang sinyal dengan

frekuensi rendah.

3. Band Pass Filter, yaitu filter yang digunakan untuk meloloskan sinyal dengan

frekuensi antara F1 dan F2.

4. Reject Band Filter (Notch), yaitu filter yang digunakan untuk membuang sinyal

dengan frekuensi antara F1 dan F2.


36

Gambar 14. Jenis-jenis filter dalam domain waktu (time domain) dan dalam
domain frekuensi (frequency domain)
Tanda A, B, C, D pada band pass filter merupakan frekuensi sudut (corner

frequency). Secara matematis, operasi filtering merupakan konvolusi dalam kawasan

waktu antara gelombang mentah dengan fungsi filter (Gambar 15).

.
Gambar 15. Fungsi filter dalam domain frekuensi (www.geopsy.org)

I. Smoothing
37

Smoothing adalah proses memperhalus pola data dengan meminimalisasi efek

aliasing sehingga hasil dari smoothing tidak berbeda dengan data sebelum

dismoothing (Gambar 16). Penghalusan data didasarkan pada persamaan Konno dan

Ohmachi (1998) :

[ ]
4

( ( ))
b
f
sin log10
fc
W b=( f, f c ) = (24 )

( )
b
f
log
fc

dimana f adalah frekuensi, fc frekuensi tengah dimana smoothing dilakukan, dan b

koefisien bandwidth.

Gambar 16. Smoothing Konno dan Ohmachi

J. Klasifikasi Tanah dari Hasil Pengukuran Mikrotremor

Beberapa pengukuran mikrotremor yang telah di lakukan di Jepang diperoleh

hubungan antara periode dominan (T0) dan jenis tanah. Dari hasil pengukuran

tersebut kemudian dibuat klasifikasi yang menunjukkan hubungan antara periode

dominan (T0) dengan jenis tanah. Kanai dan Omete-Nakajima mengusulkan dua
38

metoda untuk mengklasifikasi profil tanah. Usulan pertama Kanai berdasarkan jenis

I, II, III dan IV, dan jenis A, B dan C oleh Omete-Nakajima sebagaimana pada

Tabel 1 yang memberikan indikasi jenis tanah (Ibrahim dan Subarjo, 2005).

Tabel 1. Klasifikasi tanah menurut Kanai dan Omete-Nakajima (Anonim, 1998)


Klasifikasi tanah Periode
Omete- dominan Keterangan Sifat
No Kanai
Nakajima (sekon)
Batuan tersier atau lebih
tua terdiri dari batuan
1 Jenis I 0,05 – Keras
hard sandy, gravel dan
0,15
lain-lain.
Jenis A Batuan alluvial, dengan
kedalaman 5 m, terdiri
0,15 –
2 Jenis II dari sandy - gravel, Sedang
0,25
sandy hard clay, loam
dan lain-lain.
Batuan alluvial, hampir
0,25 – sama dengan II, hanya
3 Jenis III Jenis B Lunak
0,40 dibedakan oleh adanya
formasi bulff
Bataun alluvial, yang
terbentuk dari
Jenis sedimentasi delta, Sangat
4 Jenis C > 0,40
IV topsoil, lumpur dan lain- lunak
lain dengan kedalaman
30 m.
39

Selain itu, Kanai juga membagi dua klasifikasi tanah berdasarkan nilai

frekuensi dominan tanah seperti pada Tabel 2.

Tabel 2. Klasifikasi tanah berdasarkan nilai frekuensi dominan mikrotremor oleh


Kanai (Anonim, 1998)
Klasifikasi Frekuensi
Klasifikasi Kanai Deskripsi
Tipe Jenis (Hz)
Batuan tersier atau Ketebalan sedimen
lebih tua.Terdiri dari permukaannya sangat
Jenis I 6,667–20
batuan hard sandy, tipis, didominasi oleh
gravel, dan lain-lain. batuan keras
Batuan alluvial,
Tipe IV
dengan ketebalan Ketebalan sedimen
Jenis 5m, terdiri dari permukaannya masuk
10–4
II sandy-gravel, sandy dalam kategori
hardclay, loam, dan menengah 5-10 meter
lain-lain.
Batuan alluvial,
dengan ketebalan Ketebalan sedimen
Jenis >5 m, terdiri dari dari permukaan masuk
Tipe III 2,5–4
III sandy-gravel, sandy dalam kategori tebal,
hard clay, loam, dan sekitar10-30 meter
lain-lain.
Batuan alluvial, yang
terbentuk dari
Ketebalan sedimen
Jenis sedimentasi delta, top
Tipe II < 2,5 permukaannya
IV soil, lumpur dengan
sangatlah tebal
kedalaman 30 m atau
lebih.

Anda mungkin juga menyukai