Anda di halaman 1dari 117

Buku Antologi

Prosa Baru Sastrawan dan Karangan


Pendidikan Bahasa dan Sastra Reguler E

Penulis :
Dara Aisyah,Depiska Tritanti Simamora,Hanna Allora Sianturi,Resa Restari
Sembiring,Rindy Antikah.
Prakata

Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa karena
atas berkat dan rahmat-Nya sehingga buku antologi yang berjudul “Kumpulan
Prosa Baru dan Bermuatan Pesan Moral” dapat penulis rampungkan tepat
waktu.
Menumbuh kembangkan Pendidikan karakter yang merupakan hal yang
penting dilakukan dijalam milenial ini,kareana banyaknya pengaruh negative
dari teknologi dari hal-hal yang bergantung pada internet. Dengan menumbuh
Kembangan karakter pada pembaca dari hal hal negative serta pengaruh media
digital.
Penulis mengucapkan terimaksih kepada seluruh pihak yang telah
membantu, baik doa maupun material dan karangan dari mahasiswa/I PBSI
Reguler E. tanpa bantuan orang lain, mungkin pelaksaan buku ini tidak akan
terlaksana.
Daftar Isi
Bab I
Konsep Prosa
A. Pengertian Prosa
Prosa menurut para ahli :
1. KBBI ( Kamus Besar Bahasa Indonesia)
Pengertian prosa menurut KBBI adalah karangan bebas ( tidak terikat oleh kaidah
yang terdapat pada puisi)

2. menurut Hendry Guntur Taringan (1993)


Prosa adalah karya sastra fiksi yang bersifat realitas,bukan bersikap aktualitas.

3. menurut Teeuw (1984)


Prosa adalah bentuk kisah fiksi yang mencoba menjelaskan suatu pernyataan

Dari pengertian prosa para ahli diatas dapat ditarik kesimpulan bahwa prosa
mengacu pada karya sastra yang tidak terikat dan realistis.

B. Jenis-jenis Prosa
Prosa dapat dibagi menjadi empat jenis yaitu:
1. prosa naratif
Prosa narasi adalah karangan yang menceritakan suatu kejadian (fiksi/nonfiksi)
berdasarkan urutan waktu (kronologis)
2. prosa dekskriptif
Prosa deskripsi adalah jenis prosa yang menggambarkan suatu objek sehingga
pembaca seolah-olah melihat sendiri objek tersebut.
4. prosa eksposisi
Pengertian dari teks eksposisi adalah sebuah bentuk tulisan yang menjelaskan atau
menguraikan suatu ide, pokok pikiran, pendapat, informasi, maupun pengetahuan
pembaca tanpa bermaksud memengaruhi. Bisa dibilang tujuan teks eksposisi ini adalah
cara bagi penulis menyampaikan apa yang ingin disampaikan dari sudut pandang tertentu
5. prosa argumentasi
Prosa jenis argumentasi merupakan sebuah karangan yang isinya ide atau sebuah
gagasan dari penulis dan disajikan lengkap dengan berbagai data pendukung yang
bertujuan untuk memengaruhi pembaca sehingga pembaca dapat menyatakan
persetujuannya terhadap isi prosa tersebut
C. Unsur Pembangun Prosa
Unsur Intrinsik dan Ekstrinsik Prosa

Unsur pembangun prosa terdiri dari struktur dalam atau unsur intrinsik serta struktur
luar atau unsur ekstrinsik. Unsur intrinsik prosa terdiri dari tema dan amanat, alur,
tokoh, latar, sudut pandang, serta bahasa yang dipergunakan pengarang untuk
mengekspresikan gagasannya.
1.Tema prosa fiksi terutama novel dapat terdiri dari tema utama serta beberapa tema
bawahan. Pada cerpen yang memiliki pengisahan lebih singkat, biasanya hanya
terdapat tema utama.

2. Alur merupakan struktur penceritaan yang dapat bergerak maju (alur maju),
mundur (alur mundur), atau gabungan dari kedua alur tersebut (alur campuran).

3. Pergerakan alur dijalankan oleh tokoh cerita. Tokoh yang menjadi pusat cerita
dinamakan tokoh sentral. Tokoh adalah pelaku di dalam cerita. Berdasarkan peran
tokoh dapat dibagi menjadi tokoh utama, tokoh bawahan, dan tokoh tambahan.
Tokoh tercipta berkat adanya penokohan, yaitu cara kerja pengarang untuk
menampilkan tokoh cerita.
Penokohan dapat dilakukan menggunakan metode (a) analitik, (b) dramatik, dan (c)
kontekstual.
Tokoh cerita akan menjadi hidup jika ia memiliki watak seperti layaknya manusia.
Watak tokoh terdiri dari sifat, sikap, serta kepribadian tokoh. Cara kerja pengarang
memberi watak pada tokoh cerita dinamakan penokohan, yang dapat dilakukan melalui
dimensi (a) fisik, (b) psikis, dan (c) sosial.

4. Latar berkaitan erat dengan tokoh dan alur. Latar adalah seluruh keterangan
mengenai tempat, waktu, serta suasana yang ada dalam cerita. Latar tempat terdiri dari
tempat yang dikenal, tempat tidak dikenal, serta tempat yang hanya ada dalam
khayalan. Latar waktu ada yang menunjukkan waktu dengan jelas, namun ada pula
yang tidak dapat diketahui secara pasti.

6. Cara kerja pengarang untuk membangun cerita bukan hanya melalui penokohan
dan perwatakan, dapat pula melalui sudut pandang. Sudut pandang adalah cara
pengarang untuk menetapkan siapa yang akan mengisahkan ceritanya, yang dapat
dipilih dari tokoh atau dari narator. Sudut pandang melalui tokoh cerita terdiri dari
(a) sudut pandang akuan, (b) sudut pandang diaan, (c) sudut pandang campuran.
Dalam menuangkan cerita menggunakan medium bahasa, pengarang bebas
menentukan akan menggunakan bahasa nasional, bahasa daerah, dialek, ataupun
bahasa asing.
Bab II
Konsep Prosa Baru

A. Bentuk-bentuk Prosa Baru


Prosa baru adalah karangan prosa yang telah mendapat pengaruh sastra atau budaya
barat. bentuk dari prosa baru yaitu:

1. roman
Roman merupakan bentuk prosa baru yang berkisah tentang kehidupan pelaku utama
dengan segala suka dukanya. Dalam sebuah roman, pelaku utama biasanya diceritakan
mulai dari masa kanak-kanak sampai dewasan atau bahkan sampai meninggal dunia.
Didalam roman diungkapkan adat atau aspek kehidupan suatu masyarakat secara detail
dan menyeluruh, alur yang bercabang-cabang, banyak pelanturan.

2. novel
Novel merupakan bentuk prosa baru yang menggambarkan sebagian kehidupan pelaku
utamanya yang terpenting, paling menarik, dan mengandung konflik. Konflik disini
merupakan pergulatan jiwa tersebut yang berakibat pada perubahan nasib pelakunya.

3. cerpen
Cerpen adalah prosa lama yang menceritakan sebagian kecil dari kehidupan pelaku
yang terpenting dan paling menarik. Terdapat konflik atau pertikaian di dalam cerpen,
tetapi tidak menyebabkan perubahan nasib pelakunya.

4. riwayat
Riwayat atau biografi merupakan suatu karangan prosa yang berisi pengalaman-
pengalaman hidup pengarang sendiri (otobiografi) atau dapat juga pengalaman hidup
orang lain dari mulai kecil sampai dewasa atau bahkan sampai meninggal dunia.

5. kritik
Kritik adalah karya yang menjelaskan dengan detail pertimbangan baik-buruk suatu
hasil karya dengan memberi alasan-alasan tentang isi dan bentuk dengan kriteria tertentu
yang bersifat objektif dan menghakimi.

6. resensi
Resensi adalah pembicaraan/pertimbangan/ulasan suatu karya baik dalam bentuk buku,
film, drama dan lain-lain. Isi dari resensi bersifat pemaparan agar pembaca mengetahui
karya tersebut dari berbagai aspek seperti tema, alur, perwatakan, dialog dan lain-lain.

7. esai
Esai merupakan ulasan/kupasan suatu masalah secara sepintas lalu berdasarkan
pandangan pribadi penulisnya. Isi dari esai berupa hikmah hidup, tanggapan, renungan,
atau komentar tentang budaya, senig, fenomena sosial, politik, pementasan drama, film
dan lain sebagainya.

B. Ciri Prosa Baru


1. Bersifat dinamis, yang berarti mengikuti perkembangan zaman
masyarakatnya.
2. Masyarakat sentris, artinya prosa mengungkap hal sehari-hari yang terjadi di
kalangan masyarkat
3. Memperhatikan urutan peristiwa, melalui pengolahan unsur Alur dan
Pengaluran yang disusun dengan lebih apik.
4. Bersifat rasional, meskipun terkadang masih meminjam mite dan legenda
tertentu, tetap dibedah secara logis.
5. Penulis tidak anonim, dan bentuknya sudah berupa tulisan saja.
Bab III
Cerpen Sastrawan

1. Kiamat Memang Sudah Dekat


Karya :Dewi “Dee”Lestari

Kiamat bagi sebagian orang adalah peristiwa magis cenderung komikal, melibatkan naga
berkepala tujuh atau jembatan dari rambut dibelah tujuh. Peristiwa ini merupakan
intervensi pihak eksternal, yakni Tuhan, yang akan datang menghakimi manusia di hari yang
tak terduga. Lalu, jika tiba peristiwa alam yang meluluhlantakkan sebagian besar Bumi
sebelah utara, melenyapkan sebagian besar Eropa, menihilkan kehidupan di Rusia,
menyusutkan populasi AS hingga separuh, merusak berat Australia, Jepang, dan
menenggelamkan pesisir pantai dunia hingga enam meter, menciutkan populasi Bumi
sekurangnya dua puluh persen, lalu membiarkan sisanya dicengkeram iklim ekstrem dan
kekacauan global, akankah ini cukup untuk sebuah definisi hari kiamat ?
Saya terusik ketika membaca buku Graham Hancock "Fingerprints of the Gods". Dengan
bukti bukti yang ia kompilasi dari peradaban kuno Aztec, Maya, Hopi, dan Mesir, Hancock
menemukan jejak peradaban yang kecanggihannya melebihi peradaban modern hari ini,
tapi hilang sekitar 10,000 tahun SM oleh sebuah bencana katastrofik yang mengempaskan
ras manusia kembali ke Zaman Batu. Bukti geologis pun mendukung bahwa Bumi telah
beberapa kali mengalami climate shift.
***
Suku Maya dikenal sangat obsesif terhadap hari kiamat. Mereka percaya lima siklus
kehidupan (atau 'matahari') telah terjadi. Dan sistem canggih kalendar mereka (Hancock
meyakininya sebagai warisan dan bukan temuan) menghasilkan perhitungan bahwa
matahari ke-5 (Tonatiuh), yakni zaman kita sekarang, berlangsung 5125 tahun dan berakhir
pada tanggal 23 Desember 2012 AD. Sementara itu, peradaban Mesir Kuno menghitung
siklus axial Bumi terhadap kedua belas rasi bintang. Siklus yang totalnya 25,920 tahun ini
bergeser teratur, masing-masing 2160 tahun untuk tiap rasi. Posisi kita sekarang, rasi Pisces,
telah menuju penghabisan, bertransisi ke Aquarius dengan pergolakan dahsyat.
Dengan pendekatan yang lebih esoterik, Gregg Braden dalam bukunya "Awakening to Zero
Point" meninjau fenomena polar shifting, yakni bertukarnya Kutub Utara dan Kutub Selatan
yang ditandai oleh melemahnya intensitas medan magnet Bumi tercatat sudah turun
sebanyak tigapulu delapan persen dibandingkan 2000 tahun lalu dan dipercaya akan sampai
ke titik nol sekitar tahun 2030 AD. Fenomena alam ini sudah 14 kali terjadi dalam kurun
waktu 4,5 juta tahun.
Di luar dari kontroversi saintifik soal teori Hancock dan Braden, sukar untuk disangkal
bahwa Bumi kita memang tak lagi sama. Tahun 1998 tercatat sebagai salah satu puncak
perilaku alam yang luar biasa. El Nino, disusul oleh La Nina, lalu Tibet dan Afrika Selatan
masing-masing mengalami musim dingin dan banjir terburuk dalam limapuluh tahun
terakhir. Memasuki tahun 2005, tsunami memporak-porandakan Asia, lalu Katrina
menghantam Amerika Serikat. Entah apa lagi yang akan kita hadapi.
Namun pemahaman kita merangkak lamban seperti siput dibandingkan alam yang bagai
kuda mengamuk. Isu pemanasan global membutuhkan satu dekade lebih untuk diakui para
skeptis dan birokrat. Di Indonesia, sumber energi alternatif baru ramai dibahas setelah
harga BBM melonjak. setelah bangsa ini terlanjur ketergantungan minyak. Isu pengolahan
sampah dapur hanya sampai taraf bisik-bisik, itu pun setelah gunung sampah longsor dan
memakan korban. Selain upaya kalangan industri yang dirugikan oleh turunnya konsumsi
energi fosil, lambannya. respons kita juga disebabkan perkembangan sains ke pecahan-
pecahan spesialiasi hingga fenomena yang tersebar acak jarang diintegrasikan menjadi satu
gambaran utuh, dan tanpa sebuah model analisa yang sanggup menunjuk satu tanggal pasti,
bencana katastrofik ini hanya menjadi wacana spekulatif. Sekarang ini bisa dibilang kita
dibanjiri data dan gejala tanpa sebuah kerangka diagnose.
Pengetahuan kita tentang akhir dunia pun stagnan dalam kerangka mitos biblikal yang sulit
dikorelasikan dengan efek panjang kebakaran hutan atau eksploitasi alam, hingga lazimlah
jika orang beribadah jungkir-balik demi mengantasipasi hari penghakiman tetapi terus
membuang sampahnya sembarangan. Untuk itu dibutuhkan pemahaman akan bahaya dari
pemanasan global,dan tindakan nyata untuk meresponsnya dengan urgensi skala hari
kiamat. Ada tidaknya hubungan knalpot mobil kita dengan caimya es di kutub, bukankah
kualitas udara yang baik berefek positif bagi semua? Lupakan plang
'Sayangilah Lingkungan'. Kita telah sampai pada era tindakan nyata. Banyak hal kecil yang
bisa kita lakukan dari rumah tanpa perlu menunggu siapa-siapa. Perubahan gaya hidup
adalah tabungan waktu kita, demi peradaban, demi yang kita cinta
Angkot kita satu dan sama: Bumi. Tarif yang kita bayar juga sama, mau kiamat jauh atau
dekat. Tidak ada angkot lain yang menampung kita jika yang satu ini mogok. Penumpang
yang baik akan memelihara dan membantu kendaraan satu-satunya ini. Sekuat tenaga.

PESAN MORAL

Perbanyaklah pahala didunia ini,karena itulah yang akan menjadi penolong kita diakhirat
nanti.Angkot kita satu dan sama: Bumi. Tarif yang kita bayar juga sama, mau kiamat jauh
atau dekat. Tidak ada angkot lain yang menampung kita jika yang satu ini mogok.
Penumpang yang baik akan memelihara dan membantu kendaraan satu-satunya ini,sekuat
tenaga.
2 . Virus Jahat Penghambat Sekolah

Cerpen Karangan: Angel Laurent, Zensen Chen

Kategori: Cerpen Pendidikan, Cerpen Pengalaman Pribadi

“Sekolah terus, bosan banget apalagi gurunya galak, fiuh…” keluh Julie di dalam
kelas. Teman sebangkunya May lalu meresponnya, “kenapa tidak bermain seperti dengan
anak anak lain?”. “Main!, aku kan udah remaja masa sih harus bermain” tambah julie sambil
melihat suasana kelas yang ramai.

David lalu datang ke kelas sambil tersenyum melihat suasana kelas, “Hai Julie, hai
May” sapa David. “Juga, kenapa kamu senyum-senyum seperti itu?” ucap May melihat
bangku tempat David dan Bryan. “Aku?, hahaha tidak kok hanya senang saja hari ini belajar
matematika” balas David mengambil buku dan tasnya.

Serontak seluruh murid menjadi senyap dan melihat David.

“Hah matematika!?” ucap salah satu teman sekelas mereka dengan kaget.

Semua teman-temannya lalu berlari melihat pengumuman kelas dengan wajah penuh kaget.

“Teng-teng-teng” suara lonceng berbunyi.

Semua murid lalu duduk di bangku masing-masing. Bu guru lalu masuk ke kelas membawa
penggaris panjang dan juga sejumlah kertas.

Julie bergumam “hah matematika, gak bakal dapat 100 nih, pulang sekolah langsung kena
marah deh”.

“Anak-anak hari ini kita test yah, keluarkan pulpen dan kertas untuk coret-coretan!” pinta Bu
Guru.

Semua murid mengeluh dan Bu Guru langsung memukul papan tulis dengan penggarisnya
itu.

“Siapa suruh kalian mengeluh, tutup mulut dan ikuti perintah!” ucap Bu Guru tegas.

Bu guru membagikan kertas berisi test matematika.

“Waktu kalian 30 menit, dimulai dari sekarang!” Pinta Bu Guru dengan nada tinggi.
Lonceng kembali berbunyi tanda jam belajar berakhir. Semua murid berbondong-bondong
keluar kelas sambil berpamitan pada guru. Semua murid menaiki bus sekolah dalam
perjalanan pulang.

Hari-hari yang sama dilewati begitu saja, dengan canda tawa, hari yang selalu dilewati
dengan ilmu. Tempat berkumpulnya teman-teman sambil mengobrol. Sampai suatu saat
sekolah ditutup. Virus baru datang ke seluruh dunia, Corona nama virus itu atau Covid-19.
Sejak 2 Maret 2020 beberapa sekolah juga mulai ditutup. Kegiatan belajar mengajar juga
dihentikan. Gejalanya adalah batuk, pilek dan demam. Sejauh itu belum ada obat penawar.

Seluruh Indonesia mulai diperingatkan menggunakan masker, mencuci tangan, dan menjaga
jarak. Minggu hingga bulan kematian meningkat, membunuh orang-orang yang tidak
bersalah. Seluruh negara terkena dampak virus tersebut. Sekolah-sekolah mulai belajar
online, beberapa aplikasi juga digunakan untuk membantu sekolah daring.

Hari pertama daring via zoom, setelah sekian lama…

Di Rumah Julie…

“Akhirnya sekolah juga” seru Julie bersiap-siap sambil menyisir rambutnya.

Di Rumah May…

“May cepat makan!” pinta Mamanya dari ruang dapur dengan nada tinggi.

Dengan senang May membalas kembali dengan berkata “Nanti mom aku belajar dulu!”.

“Baiklah” balas Mama May.

Di Rumah David…

David dan kakak laki-lakinya sedang mempersiapkan buku untuk bahan belajar.

Kerinduan semua murid dapat teratasi ketika mengikuti pembelajaran via zoom. Disana bu
guru bertanya apakah ada yang terjangkit virus tersebut. Beberapa murid mengatakan bahwa
mamanya sudah tiada, bahkan salah satu teman sekelas mereka Bryan juga, meninggal oleh
virus itu. Bu Guru mencoba menenangkan murid-muridnya dengan memberikan kata-kata
motivasi.

Bu Guru lalu menutup pelajaran dengan doa.

Hari-hari juga mulai dilewati dengan sekolah daring. Bu Guru mengajak murid-muridnya
untuk berkreasi.
Julie menatap langit sembari bertanya. “Kapan aku bisa kembali sekolah?, aku sudah lama
ingin jalan-jalan dengan teman, bercanda bersama May dan travelling”

Lalu Julie menatap di bawah apartemen yang sepi tanpa seorang pun.

Tiba-tiba hujan mengguyur deras disertai petir. Julie mengulurkan tangannya ke jendela
sambil meraba rintikan air yang membasahi telapak tangan.

Tidak ada seorangpun yang betah, setiap hari selalu dilewati tanpa ada peristiwa.

Lalu mama masuk mengintip kamar Julie. Julie yang tertidur di sudut kamar dengan
kedinginan. Mama lalu menyelimuti tubuh anaknya itu dan menutup jendela. Mama lalu
mengecup dahi anak tunggalnya itu dan keluar dari kamar.

Hari yang berlalu dengan cepat itu membawa kesedihan kepada sejumlah warga atas
kematian salah satu anggota keluarga maupun lainnya. Belum ada kabar mengenai kembali
sekolah, karena di daerah kami masih zona merah. Banyak anak-anak yang tidak bisa
mengikuti sekolah karena kuota internet yang terbatas juga fasilitas handphone.

Sampai tahun 2021 ini, covid masih merajalela merenggut nyawa nyawa. Pada 23 April 2021
ditemukan varian baru Covid-19 yaitu varian Delta.

PESAN MORAL :

Untuk menuntut ilmu, jangan patah semangat walau banyak virus-virus berbahaya. Tetap
jaga kesehatan.

3. “GEROBAK”
KARYA SENO GUMIRA AJIDARMA

Kira-kira sepuluh hari sebelum Lebaran tiba, gerobak-gerobak berwarna putih itu
akan muncul di berbagai sudut kota kami, seperti selalu terjadi dalam bulan puasa tahun-
tahun belakangan ini. Gerobak itu tidak ada bedanya dengan gerobak pemulung, atau bahkan
gerobak sampah lainnya, dengan roda karet dan pegangan kayu untuk dihela kedua lengan di
depan. Hanya saja gerobak ini ternyata berisi manusia. Dari balik dinding gerobak berwarna
putih itu akan tampak sejumlah kepala yang menumpang gerobak tersebut, biasanya seorang
ibu dengan dua atau tiga anak yang masih kecil, dengan seorang bapak bertenaga kuat yang
menjadi penghela gerobak tersebut.
Karena tidak pernah betul-betul mengamati, aku hanya melihat gerobak-gerobak itu selintas
pintas, ketika sedang berjalan merayapi berbagai sudut kota. Dari mana dan mau ke mana?
Aku tidak pernah berada di batas kota dan melihat gerobak-gerobak itu masuk kota. Mereka
seperti tiba-tiba saja sudah berada di dalam kota, kadang terlihat berhenti di berbagai tanah
lapang, memasang tenda plastik, menggelar tikar, dan tidur-tiduran dengan santai. Tidak
ketinggalan menanak air dengan kayu bakar dan masak seperlunya. Apabila tanah lapang
sudah penuh, mereka menginap di kaki lima, dengan plastik menutup gerobak dan mereka
tidur di dalamnya. Tidak jarang mereka memasang juga tenda di depan rumah-rumah gedung
bertingkat. Salah satu dari gerobak itu berhenti pula di depan rumah gedung kakekku.

“Kakek, siapakah orang-orang yang datang dengan gerobak itu Kek? Dari manakah mereka
datang?”

Kakek menjawab sambil menghela napas.

“Oh, mereka selalu datang selama bulan puasa, dan nanti menghilang setelah Lebaran.
Mereka datang dari Negeri Kemiskinan.”

“Negeri Kemiskinan?”

“Ya, mereka datang untuk mengemis.”

Aku tidak bertanya lebih lanjut, karena kakekku adalah orang yang sibuk. Di samping
menjadi pejabat tinggi, perusahaannya pun banyak sekali, dan Kakek tidak pernah membagi
pekerjaannya yang berat itu dengan orang lain. Semuanya ia tangani sendiri. Dari jendela
loteng, kuamati orang-orang di dalam gerobak itu. Anak-anak kecil itu tampaknya seusiaku.
Namun kalau aku setiap hari disibukkan oleh tugas-tugas sekolah, anak-anak itu
pekerjaannya hanya bermain-main saja. Kadang-kadang aku ingin sekali ikut bermain dengan
anak-anak itu, tetapi Kakek tentu saja melarangku.

“Jangan sekali-sekali mendekati kere-kere itu,” kata Kakek, “kita tidak pernah tahu apa yang
mereka pikirkan tentang kita.”

“Apa yang mereka pikirkan Kek?”


“Coba saja kamu setiap hari hidup di dalam gerobak di luar sana. Apa yang akan kamu pikir
jika dari kegelapan melihat lampu-lampu kristal di balik jendela, dalam kerumunan nyamuk
yang berdenging-denging melihat anak kecil berbaju bersih makan es buah dan pudding
warna-warni waktu berbuka puasa?”

Aku tertegun. Apa maksud Kakek? Apakah mereka akan menculik aku? Ataukah setidaknya
mereka akan melompat masuk jendela dan merampas makanan enak-enak untuk berbuka
puasa ini? Aku memang selalu mendapat peringatan dari orangtuaku untuk hati-hati, bahkan
sebaiknya menjauhi orang yang tidak dikenal. Memang mereka tidak pernah menyebutkan
kata-kata semacam, “Hati-hati terhadap orang miskin,” atau “Orang miskin itu jahat,” tetapi
kewaspadaan Ibu memang akan selalu meningkat dan segera menggandeng tanganku erat-
erat apabila didekati orang-orang yang berbaju compang-camping dan sudah tidak jelas
warnanya lagi. Dari balik topi tikar pandan mereka yang sudah jebol tepinya, memang selalu
kulihat mata yang menatap, tetapi tak bisa kuketahui apa yang dikatakan mata itu.

Sekarang aku tahu gerobak-gerobak berwarna putih itu datang dari Negeri Kemiskinan. Di
mana tempatnya, Kakek tidak pernah menjelaskan, tetapi kurasa tentunya dekat-dekat saja,
karena bukankah gerobak itu dihela oleh orang yang berjalan kaki? Demikianlah gerobak-
gerobak itu dari hari ke hari makin banyak saja tampaknya. Benarkah, seperti kata Kakek,
mereka datang untuk mengemis? Aku tidak pernah melihat mereka mengulurkan tangan di
depan rumah- rumah orang untuk mengemis. Juga tidak kulihat mereka menengadahkan
tangan di tepi jalan dengan batok kelapa atau piring seng di depannya. Jadi kapan mereka
mengemis?

Ternyata mereka memang tidak perlu mengemis untuk mendapat sedekah. Nenek misalnya
selalu mengirimkan makanan yang berlimpah-limpah kepada gerobak yang menggelar tenda
di depan rumah. Ketika kemudian gerobak-gerobak itu makin banyak saja berjajar-jajar di
depan rumah, gerobak-gerobak yang lain itu juga mendapat limpahan makanan pula.
Tampaknya orang-orang yang dianggap berkelebihan diandaikan dengan sendirinya harus
tahu, bahwa manusia-manusia dalam gerobak itu perlu mendapat sedekah. Demikian pula
manusia-manusia dalam gerobak itu tampaknya merasa, sudah semestinyalah mereka
mendapat limpahan pemberian sebanyak-banyaknya tanpa harus mengemis lagi. Mereka
cukup hanya harus hadir di kota kami dan mereka akan mendapatkan sedekah yang
tampaknya mereka anggap sebagai hak mereka.

Begitulah dari hari ke hari gerobak-gerobak putih itu memenuhi kota kami, bahkan mobil
Kakek sampai sulit sekali keluar masuk rumah karena gerobak yang berderet-deret di depan
pagar. Di jalan-jalan gerobak itu bikin macet, dan di tepi jalan keluarga gerobak yang
memasang tenda-tenda plastik seperti berpiknik itu sudah sangat mengganggu pemandangan.
Manusia-manusia gerobak ini seperti bersikap dunia adalah milik mereka sendiri. Sepanjang
hari mereka hanya bergolek-golek di atas tikar, tidur-tiduran menatap langit dengan santai,
dan mereka seperti merasa harus mendapat makanan tepat pada waktunya. Pernah pembantu
rumah tangga di rumah Kakek yang terlambat sedikit mengantar kolak untuk berbuka puasa,
karena tentu mendahulukan Kakek, mendapat omelan panjang dan pendek. Tetangga-
tetangga juga sudah mulai jengkel.

“Tenang saja,” kata Kakek, “sehabis Lebaran mereka akan menghilang, biasanya kan begitu.”

“Tapi kali ini banyak sekali, mereka seperti mengalir tidak ada habisnya.”

“Ya, tapi kapan mereka tidak kembali ke tempat asal mereka? Mereka selalu menghilang
sehabis Lebaran, pulang ke Negeri Kemiskinan.”

Para tetangga tidak membantah. Mereka juga berharap begitu. Setiap tahun menjelang hari
Lebaran gerobak-gerobak memenuhi kota, tetapi setiap tahun itu pula mereka akan selalu
menghilang kembali.

Pada hari Lebaran, gerobak-gerobak itu ternyata tidak semakin berkurang. Meskipun kota
kami selalu menjadi sunyi dan sepi setiap kali Lebaran tiba, kali ini kota kami penuh sesak
dengan gerobak yang rupanya setiap hari bertambah dengan kelipatan berganda. Gerobak-
gerobak itu masih saja berisi anak-anak kecil dan perempuan dekil, dihela seorang lelaki kuat
yang melangkah keliling kota. Mereka berkemah di depan rumah-rumah gedung, mereka
tidur-tiduran sambil memandang rumah-rumah gedung yang indah, kokoh, kuat, asri, dan
mewah dari luar pagar tembok. Pada hari Lebaran, penghuni rumahrumah gedung itu banyak
yang pulang kampung, meninggalkan rumah yang kadang-kadang dijaga satpam, dititipkan
kepada tetangga, atau ditinggal dan dikunci begitu saja.

Lebih dari separuh warga kota mudik ke kampungnya masing-masing pada hari Lebaran,
pada saat yang sama gerobak-gerobak masuk kota entah dari mana, pasti tidak lewat jalan tol,
entah dari mana, seperti hadir begitu saja di dalam kota. Apabila kemudian warga kota
kembali dari kampung, kali ini gerobak-gerobak itu masih tetap di sana. Berkemah dan
menggelar tikar di sembarang tempat, bahkan sebagian telah pula masuk, merayapi tembok,
melompati pagar, dan hidup di dalam rumah- rumah gedung itu.

Warga kota yang memasuki kembali rumah-rumah mereka terkejut, orang-orang yang datang
bersama gerobak itu telah menduduki rumah tersebut, makan di meja makan mereka, tidur di
tempat tidur mereka, mandi di kamar mandi mereka, dan berenang di kolam renang mereka.
Apakah mereka maunya hidup di dalam rumah-rumah gedung yang selalu mereka tatap dari
luar pagar dengan pikiran entah apa dan meninggalkan gerobak mereka untuk selama-
lamanya?
“Mereka masih di sini Kek, padahal hari Lebaran sudah berlalu,” kataku kepada Kakek.

Lagi-lagi Kakek menghela napas.

“Mereka memang tidak bisa pulang ke mana-mana lagi sekarang.”

“Bukankah mereka bisa pulang kembali ke Negeri Kemiskinan?”

“Ya, tetapi Negeri Kemiskinan sudah terendam lumpur sekarang, dan tidak ada kepastian
kapan banjir lumpur itu akan selesai.”

Sekarang aku mengerti kenapa orang-orang itu tampak sangat amat dekil. Rupa-rupanya
seluruh tubuh mereka seperti terbalut lumpur, sehingga kadang-kadang mereka tampak
seperti patung yang bisa hidup dan bergerak-gerak. Baru kusadari betapa manusia-manusia
gerobak ini memang sangat jarang berkata-kata. Seperti mereka betul-betul hanyalah patung
dan hanya mata mereka akan menatapmu dengan seribu satu makna yang terpancar dari sana.

Mereka yang tiada punya rumah di atas bumi, di manakah mereka mesti tinggal selain tetap
di bumi?

Kakek merasa gelisah dengan perkembangan ini.

“Bagaimana nasib cucu-cucu kita nanti,” katanya kepada Nenek, “apakah mereka harus
berbagi tempat tinggal dengan kere unyik itu?”

“Siapa pula suruh merendam negeri mereka dengan lumpur,” sahut Nenek, “kita harus
menerima segala akibat perbuatan kita. Heran, kenapa manusia tidak pernah cukup puas
dengan apa yang sudah mereka miliki.”

Aku tidak terlalu paham bagaimana lumpur bisa merendam Negeri Kemiskinan. Apakah
maksudnya lumpur kemiskinan? Aku hanya tahu, setelah hari Lebaran berlalu, gerobak-
gerobak putih sama sekali tidak pernah berkurang. Sebaliknya semakin lama semakin
banyak, muncul di berbagai sudut kota entah dari mana, menduduki setiap tanah yang
kosong, bahkan merayapi tembok, melompati pagar, memasuki rumah-rumah gedung
bertingkat, tidak bisa diusir dan tidak bisa dibunuh, tinggal di sana entah sampai kapan.
Barangkali saja untuk selama-lamanya.
Pesan Moral :

jangan pernah menganggap remeh sesuatu benda yang kelihatan rendah di mata orang ,karena
sekecil apapun barang itu mempunyai kelebihan dan ke gunaan yang sangat berarti bagi kita.

4. Misteri Hantu Di Sekolahku


Cerpen Karangan: Priskilla Verdina
Lolos moderasi pada: 18 March 2015

Sepasang sahabat, yaitu Risa dan Vinny duduk di teras sekolah. Mereka tertawa,
menangis dan tersenyum bersama di sekolah tersebut. Risa dan Vinny yang duduk sebangku
di kelas 5B tak pernah takut dengan apapun.

Konon, sekolah tersebut penuh dengan puluhan jenis hantu, karena sekolah tersebut
merupakan rumah sakit pada zaman penjajahan Belanda.
Beberapa siswa kelas 6 yang akan lulus tewas dengan wajah yang hancur. Ya, Risa dan
Vinny sudah lama mengetahui hal itu, tetapi mereka tidak percaya.

“Memangnya kamu percaya kalau ada hantu di sekolah ini?” Kata Vinny.
“Kamu percaya? Aku sih gak, jangan percaya gitu-gituan deh!” Jawab Risa.
“Tapi..Ris”.
“Udah deh, Vin. Malas aku ngomongin hal gak penting” Kata Risa dengan nada marah.

Pada malam hari, Risa yang tak percaya dengan hantu nekat mendatangi sekolahnya.
“Woiii..Hantu!! Sini kalian, aku berani kok sama kalian, aku kan pemberani.. Cepat kesini!”
Teriak Risa.
Tiba-tiba, ia merasakan makhluk halus datang padanya. Samar-samar, ia mendengar suara
berbunyi “Risaaa… kamu akan mati”.
“Papaaa… Mamaaa… tolong aku!!” Risa menangis ketakutan.

Risa pun berlari ke arah rumahnya. Dengan muka yang memerah seperti udang rebus, ayah
Risa memeluk Risa dan berkata “Risa, kenapa kamu pulang jam segini? Dan kenapa kamu
menangis seperti ini?”.
“Papa, aku takut. Aku tidak mau lagi bersekolah disana lagi. Disana banyak hantunya” Jawab
Risa yang mengelap air matanya.
“Ya sudah, kamu mandi dulu habis itu kamu tidur. Jangan lupa berdoa..”. Kata Papa Risa.

Esok harinya, Risa pun bersekolah kembali dengan ceria. Ia berjanji, ia tidak akan
menggangu hantu di sekolahnya.

PESAN MORAL :

Larangan dibuat untuk diikuti, sebagai manusia yang hidup dibawah aturan dan larangan
sebaik nya kita mengikuti peraturan peraturan tersebut agar terhindar dari hal hal yang tidak
diinginkan.
5. “TENTANG SESEORANG YANG MATI TADI PAGI”
Karya : Agus Noor
Sebagaimana sudah ia yakini sejak lama, ia akan mati hari ini, tepat pukul sembilan
pagi. Ia ingin segalanya berlangsung tenang dan nyaman. Ia ingin menikmati detik-detik
kematiannya dengan karib. Maka ia pun mandi, merasakan air yang meresap lembut dalam
pori-porinya dengan kesegaran yang berbeda dari biasanya. Kulitnya terasa lebih peka. Ia
bisa merasakan gesekan yang sangat lembut pelan, ketika sebutir air bergulir di ujung
hidungnya. Bahkan ia bisa merasakan dingin yang menggeletarkan bulu-bulu matanya.
Betapa waktu yang berdenyut lembut membuat perasaannya terhanyut. Dan ia memejam,
mencoba merasakan segala suara dan deretan cahaya yang masuk lewat celah ventilasi kamar
mandi.

Ia merasa bersyukur, betapa ia telah lama mengetahui kematiannya sendiri, hingga bisa
mempersiapkan segalanya tanpa tergesa-gesa. Ia memotong kuku, mencukur cambang, dan
merapikan kumisnya yang tipis. Ia ingat, teman-temannya selalu bilang kalau ia terlihat lebih
ganteng bila berkumis tipis. Ia tersenyum. Ia ingin tampak ganteng saat mati pagi ini. Ia
menyisir rambutnya belah tengah, mengoleskan minyak rambut hingga tampak klimis,
mengenakan pakaian terbaik miliknya, kemeja motif batik, dan tentu ia tak lupa
menyemprotkan minyak wangi. Sedikit di bawah ketiak, di leher, di lengan dan
menggosoknya pelan. Ia tak ingin wangi yang berlebihan.

Ini akan jadi kematian yang menyenangkan, batinnya. Sungguh ia merasa beruntung karena
bisa menikmati kematian seperti ini. Ia tak perlu susah-susah beli racun, lalu menenggaknya.
Alangkah menyedihkan mati seperti itu. Ia juga tak perlu repot-repot menyiapkan tali, dan
menggantung diri. Mati dengan cara seperti itu selalu menimbulkan kerumitan tersendiri. Ia
pun tak perlu menabrakkan diri ke laju kereta api. Betapa tidak sedapnya mati dengan tubuh
remuk terburai seperti itu: merepotkan dan menjijikkan. Orang-orang mesti memunguti
tetelan tubuhnya yang berserakan di tanah dan lengket di bantalan rel kereta. Sungguh
beruntung ia tak harus mati dengan cara-cara mengenaskan seperti itu. Ia tak perlu mati
menderita lantaran usia tua atau penyakit menahun yang menggerogoti tubuhnya. Ia merasa
segar – bahkan jauh merasa lebih segar dari hari-hari biasanya – hingga ia tak perlu merasa
cemas kalau-kalau kematian akan membuatnya merasa kesakitan.

Tinggal berbaring tenang di ranjang, dan membiarkan maut bersejingkat mendekatinya


perlahan. Ia merasakan waktu yang beringsut berdenyut, dan cahaya mengusapnya lembut.
Lihatlah, cahaya matahari seperti susu segar yang ditumpahkan ke lantai, terasa kental.
Cahaya yang terlihat begitu jernih dan bening membuat semua benda lebih memancarkan
warnanya. Permukaan meja kayu yang sudah ia bersihkan makin terlihat kecokelatan dan
begitu detail alur serat kayunya. Barut tipis bekas paku pada cermin, tampak jelas. Sepasang
sandal kulit di pojok terlihat bersih, warnanya yang coklat tampak lebih cerah. Detak jam
begitu lembut. Kamarnya jadi terasa hangat dan menenangkan.
Lewat jendela yang ia biarkan terbuka, ia bisa merasakan senyum bunga-bunga. Ia bisa
mendengar suara lembut gesekan kelopak-kelopak bunga yang perlahan-lahan rekah. Ia
mencium harum kambium meruap di udara yang ranum. Harum yang sebelumnya tak pernah
ia cium. Juga bau aroma bawang goreng yang samar-samar mengambang di udara yang
bergeleparan pelan, membuat setiap aroma jadi terasa begitu kental dalam penciumannya. Ia
dengar suara sayap kupu-kupu yang terbang melintasi pagar. Beginikah rasanya saat
kematian makin mendekat? Segala terasa melambat. Segala terasa lebih pekat dan hangat.
Seperti ada yang memeluknya.

Menyelimutinya dengan kesunyian. Seperti ada yang ingin membisikkan penghiburan di


dekat telinganya. Dan ia merasakan ada yang perlahan mendekat, seakan mengingatkan agar
ia berkemas, meski tak perlu bergegas. Biarkan segalanya berjalan sebagaimana yang
direncanakan. Ia akan mati dengan nyaman, tenang dan membahagiakan. Sungguh, bila saat-
saat menjelang kematian ini merupakan saat-saat yang paling syahdu dalam hidupnya, ia
ingin menghayati dan merasakan kesyahduan itu dengan sempurna. Mati, barangkali memang
tak lebih melankoli, seperti puisi pucat pasi. Tapi ia ingin menghayati. Bukan untuk kenangan
yang akan dibikinnya abadi, tapi sekadar ingin mengerti bagaimana rasanya mati. Ketika ia
merasakan segalanya makin mendekat, ia pun segera menemui tukang kebun itu. Seperti yang
telah lama ia rencanakan, ia pun pamit untuk penghabisan kali pada tukang kebun yang sudah
menunggunya dengan sabar.

“Ini sekadar biaya buat pemakaman. Maaf, bila saya merepotkan…”


Kemudian ia berbaring tenang, hingga detik terakhir kematiannya datang.
Tepat pukul sembilan pagi, laki-laki itu pun mati. Alangkah menyenangkan bisa mati
dengan lembut seperti itu, batin tukang kebun sembari memandangi jenazah yang terbaring
tenang. Rasanya baru kali ini ia melihat wajah jenazah yang begitu bahagia. Bahkan dalam
mati pun laki-laki itu tampak santun dan menyenangkan.

Lalu tukang kebun itu teringat pada saat laki-laki itu datang hendak mengontrak kamar di
rumah yang dijaganya. Laki-laki itu mengatakan, ia akan tinggal di sini untuk menanti
kematian. Di sebutnya hari dan jam kapan ia akan mati. Tentu saja, ia – pada saat itu –
menganggap laki-laki itu hanya bercanda. Usianya masih muda dan terlihat segar. Kematian
memang tak bisa di duga, tetapi tukang kebun itu yakin laki-laki itu masih akan hidup lama.
Tidak, katanya, saya akan mati. Dan, sekali lagi, disebutnya hari dan jam kapan persisnya ia
akan mati.
Laki-laki tampan yang kesepian, tukang kebun itu membatin, sambil menatap wajah tenang
laki-laki itu. Mungkin dia hendak bunuh diri. Entah kenapa, tukang kebun itu tiba-tiba saja
merasa kasihan. Semuda dan sebagus itu, tapi sudah putus asa dan memilih mati. Karena
itulah, dengan halus dan sopan tukang kebun, yang dipercaya pemilik rumah untuk menjaga
kamar-kamar kontrakan itu, menolak menerima laki-laki itu. Di sini bukan tempat yang
pantas untuk mati, nak. Kalau kau ingin bunuh diri, carilah tempat lain. Mati di kamar hotel
yang sejuk pasti jauh lebih menyenangkan. Kamu bisa memilih tempat yang paling pantas
buat kematianmu. Asal jangan di kontrakan ini.

Tidak, Pak. Saya tak hendak bunuh diri. Sungguh. Saya memang mau mati, tetapi tak hendak
bunuh diri. Sudah lama saya tahu, saya akan mati di tempat ini. Di kamar kontrakan yang
sederhana dan tenang. Ini kematian yang telah saya pilih. Izinkan saya menentukan kematian
saya sendiri, Pak. Karna itulah satu-satunya kebahagiaan yang saya miliki dalam hidup.
Bukankah tak ada yang lebih menyenangkan selain kita tahu kapan di mana dan bagaimana
kita mati? Kita bisa mempersiapkan segalanya sendiri. Kita bisa menantinya dengan tenang.
Menyambutnya dengan cara yang paling karib. Dan saya ingin mati dengan tenang di sini,
Pak.
Bila itu lelucon, pastilah itu lelucon yang paling tak lucu. Tapi laki-laki itu tampak tak sedang
berkelakar. Matanya yang teduh membuat tukang kebun itu terpesona dan mempercayai kata-
katanya. Sepanjang ia menjaga rumah kontrakan ini, ia sudah bertemu banyak orang yang
terlihat aneh, tertutup bahkan misterius, yang datang mengontrak kamar sebentar kemudian
pergi dan tak pernah kembali. Rasanya laki-laki inilah yang paling aneh dan tak ia mengerti.

Bahkan kini pun ia tak kunjung bisa mengerti, kenapa laki-laki itu bisa tahu dengan persis
kapan ia mati. Ada rasa iri yang menyelusup ketika ia pelan-pelan menutup jenazah laki-laki
itu dengan selimut yang sudah dipersiapkan. Rasanya memang tak ada yang lebih
membahagiakan selain mengetahui kapan kita akan mati. Karna dengan begitu tak ada lagi
rahasia yang menakutkan dalam hidup ini. Ah, betapa ia juga ingin mati seperti laki-laki ini.
Mati dengan tenang – bahkan terasa riang – dan segalanya berlangsung dengan biasa dan
sederhana.
Di warung kopi, sore itu, sahabatmu mendengar tukang kebun itu bercerita tentang seseorang
yang baru saja mati dengan tenang dan bahagia, tadi pagi.

“Aku menyaksikannya sendiri, detik-detik ketika ia perlahan-lahan mati,” tukang kebun itu
bercerita, dan sahabatmu mendengarkan sembari menyeruput kopi. “Aku merasakan cahaya
yang perlahan jadi lanum. Seperti ada yang perlahan mendekat, seperti langkah-langkah
ringan yang melompati jendela dan masuk ke dalam kamar di mana laki-laki itu berbaring
tenang. Aku bayangkan maut mengecup keningnya pelan, dan ia tersenyum. Pada detik itulah
aku merasakan ada cahaya kelabu lembut, yang lebih tipis dari kabut, melayang terbang
menggelayut serupa senandung maut…”

Setiap sore, sahabatmu memang suka mampir ke warung kopi di sudut jalan itu. Tak seperti
sore-sore biasanya, yang gaduh dengan celoteh dan percakapan, sore itu sahabatmu
merasakan kemurungan yang luar biasa. Kemurungan, yang sepertinya terbawa oleh cerita
tukang kebun itu.
“Betapa aku ingin mati seperti laki-laki itu,” suara tukang kebun itu terdengar gemetar dan
hambar. “Aku sudah tua, aku sering membayangkan aku akan mati kesepian. Tapi aku selalu
cemas karena tak pernah tahu kapan.”

Sembari terus diam mengetuk-ngetuk tepian cangkir dengan ujung-ujung jari, pura-pura abai
pada cerita tukang kebun itu, seketika sahabatmu terkenang pada cerita yang sering kau
kisahkan perihal seseorang, yang pernah menjadi karib dalam hidupmu, tetapi kemudian
memilih hidup menyendiri untuk menanti mati. Biasanya, sahabatmu begitu betah
menghabiskan waktu di warung kopi itu. Tapi cerita kematian yang dituturkan tukang kebun
itu membuatnya ingin cepat-cepat bertemu denganmu.
Kau hanya terdiam, saat sahabatmu bercerita.
“Begitulah yang kudengar dari tukang kebun itu, ia sudah mati dengan tenang dan bahagia
pagi tadi, tepat jam sembilan pagi.”

Biasanya, menghabiskan waktu berjaga, kau dan sahabatmu akan bertukar kelakar sembari
bermain kartu, untuk mengusir kantuk dan jemu. Bertahun-tahun menjadi penjaga malam di
kamar mayat rumah sakit, kau sudah teramat tahu, bahwa kematian terasa lebih menakutkan
ketika dipercakapkan pelan-pelan. Tapi kau sudah terbiasa dengan ketakutan seperti itu.
Ketakutan yang selalu muncul bersama bau yang membeku di udara. Bau yang sepertinya
sengaja ditinggalkan maut untuk sekadar menjadi tanda. Kau selalu membayangkan bau itu
seperti jejak – atau tapak – kaki kucing yang mungil. Jejak yang melekat di lantai dan tembok
dan mengapung di udara. Kau sering melihatnya ada di mana-mana, membuatmu seperti
bocah pramuka yang sedang mencari jejak agar tak tersesat. Kau bisa mencium bau kematian
itu bergerak pelan, tetapi kau tak pernah tahu pasti kapan kematian akan menjemputmu. Kau
hanya merasa. Tapi tak kuasa menduga. Dan itu selalu menakutkan. Mencemaskan. Tapi juga
selalu membuatmu penasaran.

Itulah sebabnya kenapa kau melamar – dan akhirnya diterima – jadi penjaga malam di kamar
mayat rumah sakit. Kau hanya mau giliran jaga malam, karna kau percaya kematian akan
jauh lebih terasa pada malam hari. Seperti tinta hitam yang dituangkan ke kolam. Kau jadi
seperti bisa meraba dan menyentuhnya.
Kau suka sekali memandangi mayat yang terbaring beku dan pucat. Memandanginya lama-
lama. Menyentuh dan merasakan tilas hangat yang masih tersimpan di bawah kulit. Sering
kau merasakan denyut lembut yang masih terasa merayapi otot mayat-mayat itu.
Dan malam ini, kau jadi makin mencintai bau kematian, saat sahabatmu menceritakan
kematianku tadi pagi. Kau ingin menangis – entah kenapa. Yang pasti bukan karena
kehilangan. Kau hanya merasa betapa menyenangkannya bisa mengetahui kematian sendiri.
Karena itu, kau pun dulu tampak iri ketika aku bercerita betapa aku telah mengetahui kapan
aku mati. Kau merasa iri, karena aku kau anggap telah mampu memecahkan teka-teki.
“Kau tahu,” ucapmu pelan pada sahabatmu yang bersandar di kursi, “aku selalu
menginginkan kematian yang tenang dan bahagia seperti itu.” Dan kau pun mencoba
membayangkan kelopak mataku yang tampak rapuh ketika perlahan terkatup. Kau bayangkan
sisa redup cahaya terakhir yang melekat di retina mataku.
Kau ingin sekali bisa bertemu denganku. Kau ingin sekali bertanya, bagaimana mengetahui
kunci teka-teki kematian sendiri, dan mati dengan begitu tenang. Begitu bahagia.

Ingin sekali kau tanyakan itu kepadaku yang telah mati jam sembilan pagi tadi.

Pesan Moral :

Kita sebagai manusia tidak ada yang mengetahui kapan akan datangnya kematian. Maka, sebelum
kematian itu tiba, persiapkanlah dirimu dan amalmu kepada Tuhan, agar kelak kematianmu akan terasa
lebih indah.

6.“Dilarang Mencintai Bunga-bunga”


Karya : Kuntowijoyo

Jumat sore aku tidak pergi mengaji. Ditanganku ada sebuah layang-layang buatanku
yang terbagus, dengan benang gelasan. Udara meruah menerbangkan layang-layangku. Dari
kampung lain menyembul pula layang-layang. Layang-layangku terputus. Kawa-kawan
bersorak dan lari mengejar. Itu layang-layang terbagusku, aku berdiri saja memandangnya.
Tiba-tiba pundakku terasa dipegang. Aku terkejut. Seorang laki-laki tua degan rambut putih
dan piyama. Dia tersenyum kepadaku.

“Jangan sedih, Cucu,” katanya. Suara itu serak dan berat. Langsung darahku tersirap.
Aku teringat rumah tua berpagar tembok tinggi. Mataku melayang kepadanya. Di tangannya
ada setangkai bunga berwarna ungu. Tubuhku menjadi dingin.

“Jangan sedih, Cucu. Hidup adalah permainan layang-layang. setiap orang suka
hidup. Tidak seorang pun lebih suka mati. Layang-layang bisa putus. Engkau bisa sedih.
Engkau bisa sengsara. Tetapi, engkau akan terus memainkan layang-layang. Tetapi, engkau
akan terus mengharap hidup. Katakanlah, hidup itu permainan. Tersenyumlah, Cucu.”
Dia menjangkau tangan kananku. Membungkuk. Dan, tanganku dicium. Aku tidak
berdaya. Bunga itu dipindahkannya ke tanganku. Aku menggenggamnya. Seolah dalam
mimpi. Dia menarik tanganku. dan, aku mengikutinya. Di tangan kananku setangkai bunga.
Ketika aku sempat menyadari, kulihat pintu pagar rumah tua itu. Pasti dialah kakek itu! Ya
Allah! Aku menjerit sekerasnya. Teriakan itu tersumbat di kerongkongan. Aku meronta. Dia
memegangku lebih keras. Tertawa terkekeh. Aku meronta, dan tertawanya serak alangkah
kerasnya.
Ibu membawaku pulang. Aku tidak begitu sadar, tiba-tiba Ibu sudah menuntun aku.
Di rumah, kulihat Ayah membaca di kursi. Aku merasa tenang. Aku merasa malu.
“Untuk apa teriak-teriak, heh?” kata Ayah menyambut.
Ayah mengamati aku dari atas ke bawah. Dia berdiri dan menjangkau tangan
kananku. Katanya:
“Untuk apa bunga ini, heh?”
Aku tidak tahu karena apa, telah mencintai bunga di tanganku ini.
Ayah meraih. Merenggutnya dari tanganku. Kulihat bongkah otot tangan Ayah
menggenggam bunga kecil itu. Aku menahan untuk tidak berteriak.
“Laki-laki tidak perlu bunga, Buyung. Kalau perempuan, bolehlah. Tetapi, engkau
laki-laki.”
Ayah melemparkan bunga itu. Aku menjerit. Ayah pergi. Ibu masih berdiri. Aku
mebungkuk, mengambil bunga itu, membawanya ke kamar. Tangkai bunga itu patah-patah.
Selembar daun bunganya luka. Aku menciumnya, lama, lama sekali.

Pesan Moral :

Anak lelaki sangat diagung agungkan dalam keluarga dan jika ada sesuatu yang menyimpang
orang tua akan teags menyikapi hal itu baik menyerangnya secara mental ataupun fisik, namun
itu akan menjadi sesuatu yang membuat anak lelaki akan lebih mudah untuk lebih menyimpang.

7. SURAT DARI SAHABAT


Karya : Ainiya Ramadhani

Gak terasa kini kami sudah berpisah, tapi bagi kami berpisah bukan untuk
selamanya, bahkan perpisahan ini langkah kesuksesan untuk kami dimasa depan
nantinya.
Haii… nama saya Difa Ramadhani, biasanya saya dipanggil difa, saya mempunyai
sahabat namanya Syahla Aurel, panggilannya lala. Dia orangnya baik, pengertian
sama kawan, pintar, dan polos juga orangnya
Kami bersahabat sejak dari pertama kali masuk di SM , tepatnya di kelas 7-7,
disaat semua teman di kelas pada menjauhiku, dia selalu ada di sampingku, aku
merasa nyaman bersahabat dengan dia, karena dia orang satu-satunya di kelas itu
yang paling paham dengan kondisi kesehatanku.
Suatu hari disaat aku ke luar dari rumah sakit, besoknya aku langsung masuk
sekolah tepatnya pada tanggal 21 mei, tibanya sampai di kelas, aku langsung piket
karena itu jadwal piketku tapi, disaat lala melihat aku lagi piket, dia bawel banget
“Udah dif, lala aja yang menggantikan difa piket, difa kan baru keluar dari rumah
sakit, difa gak boleh capek-capek nanti masuk rumah sakit lagi gimana? Udah ya
lala aja yang piket okeey” tampak lala yang begitu perhatiannya samaku

“Gak perlu la, susah mulut-mulut teman di kelas ini, nanti mereka bilang aku
pemalas, udah ya, difa aja yang piket, kan sudah jadwal difa yang piket” balasku
ke lala
“Ya udah, selesai difa piket kita baca qur’an sama-sama ya, udah kangen lho baca
qur’an sama difa” ajak lala kepadaku

“Okeh lala”
Setelah aku selesai piket, dan sudah membaca qur’an sama lala seperti biasanya
yang kami lakukan sebelum jam pelajaran dimulai. Tidak terasa kami sudah kelas
9, yang sebentar lagi akan menghadapin segala macam ujian, yang dimulai dari
UTS, ujian semester, UAM, UAMBN dan terakhir UN.
Bel pun berbuyi menandakan pelajaran akan dimulai, hari ini pelajaran bahasa
arab “Assalamu’alaikum nanda, udah baca qur’an tadi?”pertanyan yang sering
dilontarkan sama guru bahasa arab kami BUNDA ASMA.

“Sebagian sudah bunda, sebagian lagi belum” jawab salah satu murid di kelas itu.
“Baca lagi qur’annya sama-sama, harus kompak dalam 1 kelas, jangan ada yang
sebagian sudah sebagian lagi belum” lanjut nasehat dari bunda asma.
Selesai membaca qur’an dilanjut dengan belajar bahasa arab, 45 menit kemudian
aku dan lala meminta izin untuk ke kamar mandi.
“Bunda kami izin ke kamar mandi ya bun” aku yang meminta izin ke bunda asma.
“Iya, silahkan dif” bunda pun mengizinkannya.
ada saat ke luar dari kelas

“Siapa yang sampai duluan di kamar mandi dia yang menang” kata lala.
“Iihh lala mah gitu, kan lala tau difa gak bisa lari-lari nantik kecapean gimana?
Lala… tunggu difa” aku berteriak memanggil lala supaya lala berhenti berlari.
“Hahaha… Maaf dif, lala kan hanya bercanda saja” lala berusaha menenagkanku.
Seperti biasa sehabis dari kamar mandi, lala selalu menjahili aku.
“Lala mah gitu, suka kali nyubit difa gak jelas, sakit lho la” keselku kepada lala.

“Difa jelek kalau cemberut gitu, udah ah senyum lagi dong” lala berusaha
membuat ku tersenyum
Sesampai di kelas entah kenapa aku merasa pening, tapi aku membawanya enjoy
saja
Sudah hampir seminggu aku tidak hadir di sekolah karena penyakitku kambuh
lagi

“Difa kemana la? Kok gak datang-datang” tanya lisa ke lala


“Gak tau lis, aku pun khawatir sama dia” jawab lala dengan penuh kekhawatiran
Bel pun berbunyi pertanda akan dimulainya pelajaran
“Assalamu’alaikum nanda” sapa bunda Nida ke murid-muridnya
“Wa’alaikum sallam bunda” jawab murid dengan kompak
“Sebelum pelajaran kita mulai, bunda mau menyampaikan kabar duka, kalau
teman kalian DIFA lagi terbaring lemas di rumah sakit, katanya difa lagi berada di
rumah sakit yang biasanya, kita do’a kan supaya difa cepat sembuh ya” jelas
bunda nida secara lebar
Lala yang mendengarnya langsung shock, sampai-sampai lala tidak fokus ke
pelajarannya.
Gak terasa, bel pulang pun bebunyi, bel yang ditunggu-tunggu banyak murid, lala
pun segera ke rumah sakit yang biasanya difa dirawat disana, tanpa menggantikan
pakaian seragam sekolahnya.
Sesampainya lala di ruangan rumah sakit, yang di dalamnya itu ada difa
“Difa, kamu kenapa gak kasih tau aku kalau kamu lagi sakit? asti kamu sakit
karena aku kan? Karena hari itu aku mengajak kamu lari-lari gini kan jadinya?
Maafkan aku difa, aku sudah jahat samamu” tanya lala ke difa dengan
kekhawatirannya
“Lala… kalau masuk itu biasakan ucapkan salam, jangan langsung main nyambar
gitu aja, lagian kamu ke sini kok enggak ganti baju seragam dulu? Cie… Yang
khawatir sama difa, difa gak papa kok, sehat-sehat aja, aku masuk rumah sakit
bukan karenamu kok” aku berusaha menenagkan lala yang begitu khawatirnya
samaku
“Iya iya, lala lupa, assalamu’alaikum ya cantik, lagi sakit pun di bilang sehat? Aku
khawatir lho dif samamu, aku gak fokus belajar, kenapa kamu gak kasih tau aku
kalau kamu itu lagi sakit?” Jawab lala dengan kesal

“Wa’alaikum salam cantik, aku gak mau kasih tau kamu, karena aku gak mau
kamu khawatir, nanti kamu gak fokus ke belajar, oh iya, sebentar lagi lala ulang
tahun kan? Cie… Udah besar lala nya” jawabku yang terus berusaha
menenangkan lala, dan menggoda lala
“Ini difa ada surat untuk lala, tapi jangan dibuka sekarang ya, nanti saja, sehabis
lala pulang dari sini” aku memberikan selembar surat untuk lala
“Ya sudah, lala pulang ke rumah dulu ya, lagian sudah sore, assalamu’alaikum
difa, syafakillah yaa ukhty (semoga allah menyembuhkan mu wahai saudaraku)”
lala pamit ke aku
Keesokan harinya tepat di hari ulang tahun lala yang ke 15, lala terus
menjengukku
“Assalamu’alaiku difa, bagaimana kondisinya?” Tanya lala kepadaku
“Wa’alaikum sallam lala, gak tau nih rasanya makin sakit, aku rasa aku gak
sanggup lagi deh, aku menyerah, kalau aku tidak ada lagi jangan sedih terus ya la,
kalau kamu sedih terus nanti akunya disana sedih juga” jawab ku dengan lemas
“Difa… kamu bicara apa sih? Jangan begitu dong, kamu harus kuat, harus
semangat lawan penyakitmu!” Lala yang terus menyemangatkan ku dengan
meneteskan air mata
“Aku gak kuat lagi la, udah dong jangan nangis, gak mau kan melihat sahabatnya
sedih? Kalau gak mau hapus dong air matamu, oh iya, jangan lupa baca surat yang
kukasih semalam untukmu ya” jawab ku yang juga berusaha menghapuskan air
mata lala.
Tanpa sadar, difa pun menghentikan nafas terakhirnya, lala yang melihatnya
menangis histeris, tapi lala tidak lupa dengan surat yang dikasih difa semalam
untuk dirinya.
“Assalamu’alaikum lala, happy birthday my lovely best, barakallah fil umrik ya,
maaf la di hari ulang tahunmu aku tidak bisa hadir, aku tidak bisa kasih apa-apa
samamu, aku hanya bisa kasih do’a ke kamu, supaya kamu bisa sukses, bisa
menjadi perempuan yang sholehah dan bisa menjadi muslimah sejati, makasih ya
la sudah mau jadi sahabatku dari kelas 7 yang selalu bisa paham dengan
kondisiku, jangan sedih la, jiwa aku memang sudah tiada tapi, aku selalu ada di
hatimu la, jaga aku di hatimu selalu ya la, nanti kita bisa jumpa lagi di jannatullah,
do’akan aku selalu la, biar aku bahagia di alam sana, kita masih bersahabat
walaupun alam kita sudah berbeda”
Salam sayang dari DIFA Untuk LALA sahabat baik ku
Lala yang membaca suratnya itu langsung tidak bisa menahan air matanya

8 MIMPI SANG DARA


Karya : Steven Making
Pagi menjelang saat seorang gadis yang biasa dipanggil dengan nama Dara mulai menjerang
air untuk membuat segelas teh panas. Dara, ialah gadis yang hidup dengan sejuta mimpi di dalam
sebuah rumah berdinding tinggi.

Dara merupakan gadis yang tumbuh di dalam keluarga berkecukupan, bahkan bisa dibilang
sangat kaya. Namun sayangnya Dara tidak bisa menopang tubuhnya sendiri tanpa menggunakan
bantuan kursi roda, sehingga merasa diacuhkan bahkan saat berada di istana mewah tersebut.

Kedua orang tua Dara selalu mengacuhkannya karena merasa tidak ada yang bisa diharapkan
dari gadis dengan kursi roda tersebut. Sementara kakaknya mungkin saja malu mempunyai adik
dengan kondisi seperti Dara.

Setiap hari Dara hanya menghabiskan waktunya di dalam kamar dan sesekali mengarahkan
kursi rodanya menuju arah taman. Gadis yang berusia 17 tahun tersebut sangat senang untuk
menggambar di taman guna menghilangkan pikiran buruknya yang menyesali keadaannya.

Suatu pagi Dara jatuh dari kursi rodanya, namun tidak ada seorangpun di dalam rumah tersebut
mendekat untuk menolongnya. Rasa kecewanya terhadap hal tersebut membuat Dara memiliki
kekuatan untuk menggerakan kursi rodanya ke arah taman kompleks, berniat menenangkan diri.
Saat sedang terisak di taman, tiba-tiba Dara dihampiri oleh seorang gadis seusianya dengan
kondisi yang sama. Gadis tersebut mengulurkan tangan untuk Dara dan mulai menyebutkan
namanya, yaitu Hana. mereka berdua mudah sekali akrab, mungkin karena keduanya saling mengerti
kondisi masing-masing.

Tiba-tiba Hana Berkata, “ Dara, ingatlah bahwa tidak ada seorangpun di dunia ini yang terlahir
sia-sia. Mungkin kita tidak bisa berdiri tegak layaknya manusia lain. Tapi, kita masih punya hak untuk
merasakan bahagia. Cobalah untuk menerima dirimu sendiri, Dara.” lalu, akhirnya gadis itu
berpamitan pada Dara.

Semenjak pertemuannya di taman dengan Hana, Dara mulai merenungi kata-kata yang
diucapkan oleh gadis tersebut. Dara berpikir bagaimana ia bisa seutuhnya menerima dirinya ketika
orang di dekatnya tidak mendukungnya sama sekali.

Dara mencoba mencerna perkataan dari Hana secara perlahan, meskipun seringkali ia menangis
ketika teringat kenyataan bahwa ia hanyalah seorang gadis yang diacuhkan. Hal yang dipikirkan oleh
Dara adalah bagaimana ia bisa mewujudkan mimpinya dengan kondisi tersebut.

Mimpi Dara adalah menjadi seorang pelukis yang karyanya bisa dipajang di dalam pameran
besar. Hal yang dilakukan Dara untuk memulainya adalah rajin membuat lukisan. Kesibukan tersebut
juga dilakukan Dara untuk tidak memikirkan mengenai dirinya yang selalu diacuhkan dan mulai
memahami perkataan Hana.

Perlahan mimpi sang Dara mulai terwujud saat diam-diam ia sering memposting lukisannya
melalui media sosial. Hingga suatu hari ada seseorang datang ke rumah Dara untuk menemui gadis
itu guna mengajaknya untuk bergabung di dalam sebuah pameran lukisan.

Kedua orang tua Dara terperangah mendengar ucapan pria tersebut, sebab tidak menyangka
bahwa Dara si gadis kursi roda bisa menghasilkan karya lukisan yang indah. Dara hanya tersenyum
melihat respon kedua orang tuanya dan memilih menerima tawaran pameran tersebut.

Berbagai lukisan indah dipajang dalam pameran yang diberi tema Mimpi Sang Dara. Orang tua
Dara menghadiri pameran tersebut dan merasa terharu atas pencapaian putri yang selama ini
diacuhkannya. Sementara Dara merasa lega bisa menerima keadaan fisiknya dan memanfaatkan apa
yang dimiliki.

PESAN MORAL

Jangan menilai orang dari luar atau fisiknya saja


9. NASIHAT UNTUK ANAKKU
Karya : Motinggo Busye
Ketika engkau sudah bisa membaca nasehat ini, anakku, tentu keadaan dunia telah
banyak berubah. Mungkin engkau pada saat itu telah menjadi salah seorang calon penerbang
ruang angkasa, dan tambang emas telah digali orang di Lampung, dan di dusun-dusun telah
berkilauan lampu-lampu listrik dari neon, dan Irian Barat telah menjadi hak milik Indonesia.
Pada waktu engkau membaca nasehat ini, anakku, mungkin engkau tidak perlu lagi
menunggu bis sampai tiga jam di Salemba, jalan di mana ayahmu pernah menanti bis sampai
tiga jam lebih di hujan dan di panas.
Waktu itu ayahmu sangat lapar sekali, dan hari telah jam dua siang. Pagi harinya ayahmu
belum sarapan, sebab keuangan tidak mengijinkan untuk makan tiga kali satu hari dan harga
beras itu dua puluh lima rupiah satu kilo. Kau bayangkan, anakku, bis pertama muncul dalam
keadaan penuh sesak, bis kedua yang datang sejam kemudian juga penuh sesak sehingga
orang-orang di dalam bis itu seperti ikan pepesan layaknya. Bis ketiga datang yang terlambat
setengah jam dari semestinya karena lalu lintas terganggu oleh kecelakaan yang berhimpit
kecelakaan.menurut kabar ada seorang anak sekolah rakyat ditabrak sebuah truk. Kemudian
lalu lintas yang terganggu itu terganggu lagi oleh beberapa oto pemadam kebakaran lewat
yang bunyinya meratap-ratap di jalan raya. Dan karena ratpannya itu, bis- bis, becak- becak
yang ditarik manusia dan mobil- mmobil pembesar pun diharuskan berhenti lebih dulu. Ayah
memaafkan hal itu., sebab pada waktu itu tiap-tiap orang haruslah memiliki kesabaran atas
dan maaf atas segala kejadian yang menimpa atau tidak menimpa dirinya namun menimpa
kepala orang lain.
Tentu pada saat engkau membaca nasehatku ini, anakku, jalan- jalan sudah tak sempit
lagi, bis-bis rakyat tentu sudah banyak, dan becak-becak pun Ayah kira sudah tak ditarik oleh
manusia lagi. Dan mungkin pula, tiap-tiap orang tidak perlu lagi naik becak atau naik bis,
tiap-tiap keluarga sudah mempunyai mobil sendiri sebab tambanga emas, dan tambang-
tambang yang lainnya sudah membikin makmur bangsamu.
Pada hari ini anakku, yaitu pada waktu Ayahmu membikin nasehat ini, adalah suatu hari
yang mulia buat diriku, karena pada hari itulah Ayah sempat merayakan ulang tahun yang
kedua puluh lima.
Kebetulan pada hari ini, redaktur tempat ayah mengirimkan karangan sangat baik hati.
Dengan tanda tangannya disecarcik kertas Ayah bisa pergi ke kantor majalah dan meminta
uang honorarium karangan yang berjumlah dua ratus rupiah. Biarpun nilai sebuah cerita
pendek di masa ayah membikin nasehat ini Cuma berharga beras delapan kilo, namun
ayahmu tetap bergembira, Ayah bawa seorang teman ke sebuah warung kopi dan kami
minum-minum di sana.
“Selamat ulang tahunmu,” kata teman Ayah.
“Terima kasih, “ jawabku.
“Kita anggap saja kita sekarang sedang pesta.
Pesanlah makananan dan minuman apasaja yang enak-enak,asal jangan melebihi melebihi
dua ratus rupiah” kataku.
Teman Ayah tersenyum-senyum tetapi sebenarnya dia kelaparan, dia pengarang juga
tetapi ia benar- benar pengarang yang mengantungkan leher dan perutnya serta kakinya yang
dua itu kepada uang hasil karangan.kereana itu, engakau jangan heran jika ayah katakan
kepadamu, bahwa temanku ini pernah dan sudah biasa tidak makan satu minggu. Untunglah
dia belum beristri, belum berkekasih, dan beranak. Untunglah semua keluarganya membenci
dia, kerena dia jadi pengarang itu, karena keluarganya memang orang-orang yang realis yang
menganggap para pengarang adalah pemburu- pemburu yang menembak rusa dia satu lembah
kelaparan. Tetapi temanku ini tetap tampak gembira, anakku, karena dengan sikap
keluarganya itu ia merasa tidak ada ikatan dengan satu orang pun di dunia ini, merdeka
di dunia ini, biarpun kemerdekaan ini cuma angan- angannya saja. Tetapi waktu itu ayah
berpikir demikian: yang penting adalah manusia dan kemerdekaan hanya sebahagiaan saja
dari manusia. Orang menyebut kemerdekaan sebagai lambang rasa hormat pada diri sendiri.
Suatu kepuasan duniawi yang mengauskan hatinya sampai mati. Aku sedih melihat manusia
sekarang kata ayah, dalam hati waktu itu, dan ayah sambung pula dalam hati: karena itu aku
bertambah mengasihi manusia.
” kapan bukumu terbit.?” Tanya temanku itu.
ayah kaget dan cepat- cepar sadar, sebab waktu jaman itu manusia manuasia harus lekas-
lekas memutuskan sesuatu, sehingga antara kaget dan sadar hanya sereduaratus saja. Beda
waktunya.
“bukuku? Bulan Desember barangkali,” jawabku.
“aku mau beli sebuah arloji”Jawabku.
“Arloji? Untuk apa arliji?”
“dengan arloji sebenarya orang bisa menghitung waktu,
“ kenapa harus menghitung waktu?” tanyanya.
“dengan menghitung waktu, orang tau berapa jam lagi hari malam. berapa jam lagi hari
siang, lama-lama ia pun tahu, berapa lama lagi ia akan bisa mempertahankan hidup kataku.
“apa lagi yang kau beli?”
“sebuah buku harian,”jawabku”
“sebuah buku harian?” “ya, sebuah buku harian, sebuah buku harian lebih tinggi nilaninya
dari pada arloji tadi, dalam buku harian itu aku bisa menulis apa saja, yang bisa kutulis, dan
aku takan bisa didakwa, atau ditangkap oleh tulisan itu. aku bisa memaki langit, gedung-
gedung, mobil-mobil, orang dari tingkat dan pangkat apapun juga. Juga dengan buku harian
itu akau kehilangan rasa cemas dan takut, aku merasa jauh lebih merdeka dari pada kau.
Biarpun kemerdekaan itu kumiliki untuk dirirku sendiri saja,”kataku”
“apalagi?” “jangan memotong dulu,” kataku” masih perllu disambung dalam buku harian
itu juga bisa kucatata hutang dan puitangku, yaitu neraca ekonomi. Kalau tiap-tiap orang bisa
mengatur prekonomian dirinya sendiri, itu berarti ia telah ikut menyumbang perekonomian
negaranya,. Biarpun sumbangan itu Cuma sepersembilan puluh juta, “kataku.”
“kau tentu bisa jadi menteri perekonomian.” Katanya”.
“aku tentu tak bisa menjabat jabatan itu. kalau aku jabat juga, maka ukurannya nanti
disesuaikan dengan perekonomian diriku sendiridan tidak untuk perekonomian semua orang.
Tentu aku akan membeli sembilan puluh juta arloji, umtuk semua orang didunia dan sembilan
puluh juta buku. Buku harian dan sembilan puluh juta pinsil. Atau pulpen. Aku tak mau
jabatan itu, biarpun ditawarkan karena aku merasa malu menjabat tugas yang aku sendiri
sadar bahwa diriku amat bodoh untuk tugas itu.”
Kawanku diam terpaku seperti disihir tukang sulap.kemudian ia bertanya.
“apalagi yang akan kau beli?”
“kalau bisa masuk akal, akan kubeli salah satu planeta yang ada diangkasa itu,”jawabku.
“aku mau coba untung disana,”sambungku.
Ia tetawa terkekeh dan orang –orang sekeliling itu menonton ketawanya. Ia seharusnya
berhenti ketawa, tetapi ia ketawa terus. Ia ketawa seperti orang- orang betul ketawa. Pada
masa zaman ayah membikin nasehat ini, anakku, banyak orang ketawa seperti temanku itu,
berjuta-juta banyaknya.
Pada jam delapan malam tadi, malam hari ulanga tahun ayahmu, ayah menerima kabar dari
seseorang, bahwa teman ayahku itu telah memotong nadinya dengan pisau silet. hal ini amat
memalukan sekali. Sebab ada sepotong suratnya yang berbunyi “aku, sudah malu padaMu,
Tuhan,karena aku tidak menjalankan hidupku sebagai manusia yang wajar dan baik seperti
yang kau firmankan.”
Besok pagi ayahmu bermaksud ikut menggali kubur untuk membenamkan mayat kawanku
kedalam bumi ini.buatku sendiri kematiannya tak begitu menyedihkan, karena sudah lazim
terjadi yang demikian di zamanku.
Sebenarnya nasehat ini, anakku,belum tentu ada, jika temanku itu tidak bunuh diri.
Bunuh diri adalah sifat yang paling pengecut dan memalukan, anakku. Sekiranya engkau
jadi penerbang ruang angkasa, sekiranya, dan penerbanganmu itu gagal sehingga kau
dilontarkan kembali ke bumi dengan selamat, janganlah engkau malu.sekiranya engkau
menjadi supir truk dan kau bangunkan sebuah gedung yang miring, kau jangan tumbukkakn
kepalamu ke dinding gedung itu hingga kepalamu hancur.
Ayahmu yakin pada waktu kau membaca nasehatku ini kau bisa jadi dan bisa kerja apa
saja anakku. Tetapi janganlah kau bercita-cita jadi seorang pengarang macam aku ini.
Mungkin sekali engakau ke perpustakaan dan melihat cerita pendek dimana tertulis nama
ayahmu dan bergerak hatimu ingin berbuat hal yang sama.
Aku mempunyai banyak alasan melarangmu, anakku. Tapi hanya bebebrapa alasan yang
bisa kusebutkan seorang pengarang yang baik selalu mencari kebenaran. Ide sebuah cerita
yang ditulisnya haruslah berdasarkan kebenaran. Tetapi kadang-kadang kebenaran
dikalahkan dengan kenyataan dan pada saat itulah para pengarang diuji. Suatu kenyataan
mungkin tidak benar anakku, karena itu ia harus berani disalib atau digantung untuk suatu
kebenaran.
Ayahmu merasa ganjil karena sebagai pengarang, ia Cuma membutuhkan dua macam
benda yang akan dibelinya pada saat ini yaitu sebuah buku arloji dan sebuah buku harian.
tetapi ayahmu merasa bangga, sebab dengan dua buah benda itu dia dapat membuktikan
kebenaran itu, kebenaran yang dianutnya.
“aku mau tahu di mana arloji itu sekarang. Itu benda bersejarah buatku, aku ingin
mendapatkannya,”katamu.
“sayang, anakku”jawab ayahmu.
“kenapa?” tanyamu.
“Arloji itu telah kugadaikan untuk membeli buku harian yang baru, sebab buku harian yang
lama-lama sudah penuh semuanya.”
“tentu sudah tidak bisa diambil lagi,”katamu.
“ya, ya. Tentu sudah daluwarsa. Tapi kalau punya uang kau bisa membelinya ditoko-
toko,”kataku.
“dan buku harian itu apakah isinya?”
“Macam-macam diantaranaya: kebenaran. Tetapi buku harianku itu tidak dapat digadaikan
dan yang kau baca ini tidak adalah kutipan dari salah sebuah dari lembaran-lembaran buku
harian itu, yang bertanggal dua puluh satu November tepat pada hari ulang tahunku kedua
puluh lima.”
Anakku yang tercinta. Kalau kuakhiri nasehat-nasehatku ini, pada waktu ini engkau belum
ada. Tambang emas itu pun belum dibuka. Tetapi aku punya usul: bagaimana kalau kau
berusaha untuk jadi insinyur pertambangan saja? Tetapi jangan marah, anakku, ini cuma
usul saja. Engkau memilih pilihan hidup ini sesuai dengan kemampuan pikiran dan
tenagamu, asal saja pilihan itu adalah pillihan yang benar: tidak merugikan masa depanmu
dan masa depan banyak manusia.

PESAN MORAL

1. Walau terkadang kebenaran dikalahkan oleh kenyataan, tetap tegakkanlah kebenaran!


Jangan mudah putus asa, lakukanlah kehidupan ini dengan penuh kegigihan dan
ketabahan!
2. Syukurilah semua nikmat yang telah Dia berikan kepadamu!
3. Pilihlah kehidupan ini dengan pilihan yang kau suka tetapi tetap mengandung
kebenaran

10. INDAHNYA BERBAGI DENGAN SAHABAT


Karya : Desinta Ramadani

Pagi itu hujan turun dengan deras. Ani merasa bingung bagaimana untuk berangkat ke
sekolah. Ketika sedang memandang hujan, terdengar suara HP berdering dari kamar Ani,
lantas saja Ani masuk ke kamar dan menjawab telepon. Ternyata yang menghubungi Ani
adalah Lia sahabatnya. Dalam teleponnya Lia mengatakan bahwa ia akan menjemput Ani,
sebab Lia tahu jika Ani sedang kebingungan bagaimana untuk pergi ke sekolah. Tak selang
berapa lama, Lia sudah sampai di depan rumah Ani bersama ayahnya menggunakan mobil.
Ani pun bergegas berpamitan pada orang tuannya dan keluar untuk menemui Lia. Setelah
sampai di sekolah, yang merupakan teman sebangku tersebut pun masuk menuju kelasnya.
Istirahat pun tiba, keduanya pergi ke kantin untuk menghilangkan rasa lapar. Ketika hendak
membayar ternyata Lia lupa membawa dompet. Sehingga Ani sang sahabat
membayarkannya.

PESAN MORAL

Persahatan yang baik itu adalah persahabatan yang saling mendukung dan saling melengkapi

11. LUKA SEMALAM

Karya: Hasina Binti Haris

Sinar lembut matahari memancarkan cahaya memasuki celah-celah tingkap.

Samar-samar cahaya itu memberi satu ruang hidup yang baru selepas hari

semalam. Permulaan kehidupan untuk hari ini bagi membaiki kesilapan lalu dan

meneruskan perjalanan hidup yang belum pasti ini. Semuanya bermula di sini.

Pencarian sebuah perjalanan yang di penghujungnya menuju titik pengakhiran.

Perjuangan yang tidak pernah berakhir selagi kaki memijak kenyataan dan tangan

menggenggam segunung harapan.

“ Apa yang Tina termenungkan tu? Ingatkan orang jauh ke? ” Tegur
Kak Shah. “ Tak ada apalah akak. Cuma ingatkan kampung aje, ”

balas Hartina ringkas.

“ Biasalah dik, akak dulu pun pernah jadi macam adik. Maklumlah tak

pernah berpisah dengan keluarga. Tina tak payah la risau, nanti lama-lama

biasalah tu. Kita datang sini nak menuntut ilmu, dik. ”

Aku tidak tahu mengapa begitu pilu hati ini. Baru seminggu aku di

sini, tetapi aku rasakan setiap saat itu terlalu lama bagiku. Dari jauh aku datang

untuk menggapai impian aku selama ini. Aku mahu jadi seorang yang berbudi

untuk bangsaku. Aku mahu mencurahkan baktiku untuk bumi bertuah ini. Aku

mahu menjadi sesiapa sahaja yang boleh membahagiakan orang lain. Aku mahu

menjadi semuanya.

“ Entahlah kak. Mungkin inilah perasaan apabila kita meninggalkan

orang yang dikasihi. Hati ini rasa kosong bila berjauhan dengan keluarga.

Selama ini saya tak pernah berenggang dengan umi saya, akak. ” Luah aku

sambil menyembunyikan kesedihan ini.

Aku menahan sebak yang semakin memuncak ini. Wajah umi terus

terbayang di dalam benakku. Wajah adikku yang selama ini menjadi teman

setiaku di kala sunyi berselang-seli muncul bersama raut wajah insan

yang tidak pernah lupa akan

tanggungjawabnya sebagai seorang anak dan kakak kepada adik-adiknya. Tanpa

sedar wajah yang selama ini cukup mengajarku apa itu kehidupan yang

sebenarnya terus menerpa memecah kesunyian hati ini. Lelaki inilah yang cukup

mengajarku tentang erti kehidupan.

“ Kuatkan semangat, Tina. Mereka menaruh harapan yang tinggi


untuk kita. Kita tinggalkan mereka bukan bererti kita lupakan mereka, tapi kita

datang sini untuk menunaikan impian mereka jugak. Bukan saja impian kita,

dik. ”

“ Baiklah Tina. Akak dah lewat ni, nak ke kelas. Akak pergi dulu ye.

Jangan sedih-sedih lagi. Kuatkan semangat. Nanti kalau dah lama-lama Tina

biasalah tu. Entah- entah dah tak ingat nak balik kampung kot, ” usik Kak Shah.

Mungkin nak menghiburkan hati ini.

“ Ke situ pulak akak ni. Terima kasihlah atas nasihat akak tu. Baik-baik
jalan. ”

Kak Shah terus meninggalkan aku. Tinggal aku sendirian lagi. Aku

berasa amat bersyukur kepada-Mu Tuhanku kerana masih memberi ruang

kepadaku untuk menggapai impianku ini. Dahulu aku menangisi hidupku. Tetapi

sekarang aku sedar, sedar yang kepahitan itulah yang mengajar aku untuk

menjadi lebih berani. Kepahitan yang Engkau curahkan itulah yang membuatkan

aku berada di sini, kerana luka semalam telah cukup mengajar aku.

PESAN MORAL

anganlah mudah menyerah dalam menghadapi sesuatu.

Tetap semangat.

12. DARI JERUJI BUI PERPUSTAKAAN

Karya: Uais Qorni


Aku tak pandai bercerita. Ceritaku hanya berputar-putar seputar apa yang dilakukan
orang-orang biasa. Garing. Herannya orang-orang pada tertarik dengan ceritaku ini. Apa
karena aku yang menceritakan saja yang begitu fasih dalam masalah mimik. Wajah yang
kubuat sedemikian rupa tak berbentuk diri pribadi. Tak sama dengan apa yang kurasakan.
Tapi sebelum berlanjut dengan sesuatu yang kuceritakan untukmu, perkenankan diriku
terlebih dahulu. Karena kebanyakan orang yang mendengarkan ceritaku ini tidak satu pun
yang mengenal diriku, di mana tempat tinggalku, bahkan tidak peduli dengan siapa aku.
Mereka peduli dengan cerita yang memang sengaja kubuat menarik sekali. Dan ini sudah
perlu kusyukuri.

Sebagai orang pertama yang ingin mengenal diriku secara baik, bolehlah engkau tahu
tentang siapa aku yang sebenarnya. Engkau yang mungkin tertarik bukan terhadap diriku
yang bercerita, tapi lebih tepatnya kepada penampilanku yang tidak karuan ini mungkin.
Benarkah? Atau barangkali terhadap buku-buku yang berserakan ini? Apa yang engkau
amati dengan diriku sampai engkau terdiam tak bergeming. Nanti sehabis aku bercerita.
Sabar. Jelas semua apa yang sebenarnya terjadi.

“Kecoak yang banyak sekali kutemui di lantai itu. Berimbun. Buku-buku tertimbun. Aku
hanya duduk menunggu kapan pintu ini terbuka. Sudah berapa hari tidak ada pengunjung
atau penjaga perpustakaan yang merapibersihkan tempat ilmu yang seperti tempat sampah
saja. Banyak kecoak jadinya. Banyak debunya. Siswa yang melakukan pelanggaran memang
sengaja diungsikan di sini. Kenapa musti di tempat yang tidak layak, tapi layak. Tidak layak
untuk ditempati karena kotor dan tidak pantas untuk dijadikan tempat tinggal walau untuk
sementara waktu. Tapi, tempat ini layak sekali untuk dijadikan tempat tinggal. Banyak sekali
ilmu pengetahuan. Tinggal bermukim di sini sampai buku-buku semua dilahapnya sudah
membuat penuh otakmu dengan segala macam informasi. Tapi hal ini tak akan terjadi…”
Engkau masih menatapku lama. Jijik sekali aku untuk membalas tatapan penghinaanmu itu.
Biarlah.

“Perpustakaan ini adalah rumah pengetahuan terburuk dari yang pernah kujelajahi. Karena
mengetahui bahwa yang melakukan pelanggaran di sana akan segera dipenjarakan di
perpustakaan itu dan masalah diberi makan tidaknya sudah dijamin oleh pihak di sana,
maka segera saja aku melakukan pelanggaran dengan sengaja. Di sana dilarang keras
berteriak dan berbuat keonaran-keonaran yang lain. Dan aku melakukan semuanya. Penjaga
perpustakaan itu…” Apakah akan kulanjutkan ceritaku ini?

“Sudah berapa lama engkau bertingkah seperti ini?” Engkau bertanya seperti ini apa
maksudnya? Engkau menghinaku? Bukan masalah bodohnya aku. Masalahnya adalah
sampai kapan aku berdiam lama di sini? Memang orangtuaku tidak ada sejak aku kecil. Aku
menjelajah Indonesia dengan cara bernyanyi di bus-bus yang berlalu-lalang. Dengan pakaian
yang serba buruk. Aku masih bisa bersyukur karena Tuhan memberiku hidup dan ilmu
tersebab aku dipenjara di tempat terburuk ini. Engkau sudah tahu karena aku yang
memberitahu semua tentang diriku, bukan? Tempat kelahiranku di sebuah terminal besar
Indonesia. Dan tersebab aku membaca di sini, aku jadi tahu bahwa Indonesia adalah Negara
yang amat kaya.

Dari buku-buku yang telah kulahap habis, Indonesia Negara dengan beribu bahasa, bukan?
Aku tidak tahu apa itu ‘beribu’, namun di tempat buruk ini masih ada kamus yang dapat
kupahami makna kata dengannya. Tapi, sampai sekarang aku belum tahu pasti apakah kita
sebagai manusia bisa memaknai rasa dengan ‘kamus’ raut wajah seseorang saja. Belum
kutemui buku yang membahas seperti itu di sini. Apa di perpustakaan yang lain ada buku
yang membahas teori memaknai perasaan dengan sebuah mimik wajah?

Ayolah, engkau pasti tahu. Engkau kan pustakawan di perpustakaan ini. Mana mungkin tidak
tahu tentang buku. Mungkin seperti rakyat Indonesia yang tidak tahu akan kekayaan
Negaranya. Yang kulihat rakyat sepertiku masih mencari nafkah di setiap terminal atau bus-
bus yang berlalu-lalang. Anak kecil yang seharusnya bersekolah, dibuat bersusah payah
menjalani aktifitas layaknya orang dewasa. Entah.

“Pustakawan itu amat busuk bak busuknya perpustakaan yang dirawatnya. Dirawat?
Tembok-tembok yang pada berlubang. Tempat lalu tikus atau apa pun yang merasa baikan
hidup di perpustakaan ini. Nyamuk-nyamuk pun bersinggah. Untungnya ada toilet di
perpustakaan, jadi aku tidak khawatir aku mau buang air di mana. Jadi, perpustakaan itu
luas. Ada ruang kecil tempat buku-buku yang sudah tak layak dipandang, berdebu. Hanya
karena berdebu buku-buku itu dimasukkan ke ruangan seperti itu. Dan mungkin karena
hidupku yang juga berdebu, aku dimasukkan ke tempat ini, selain pelanggaran tadi
pastinya.”

“Aku membersihkan tempat yang tidak dijangkau orang-orang. Orang-orang tertarik dengan
hal bagus. Aku ditempatkan di sini membuat beruntung ruangan itu memilikiku. Toh, aku
sudah tidak dikeluarkan lagi olehnya. Dan dia memberiku makan yang ‘lumayan enak’. Roti
basah atau…” Engkau sudah puas dipuji? Roti dan cuman air mineral berukuran sedang yang
engkau beri. Untung aku masih bisa bersyukur. Itu karena aku pernah membaca buku yang
menjelaskan tentang kesedihan teramat di luar sana. Indonesia yang kaya, syukurlah
Indonesia masih kaya. Walau tak ada yang bisa memanfaatkan sumber daya alamnya yang
melimpah. Termasuk aku dulu dan aku yang sekarang mungkin.

Jika engkau mengeluarkanku, aku pasti akan menjayakan Negara ini. Sumpah! Apa katamu?
Aku gila. Aku bercerita seperti tadi hanya mengalihkan perhatianmu saja. Beneran! Kau
tahu, saat kubaca peraturan yang terpajang di pojok perpustakaan itu, aku begitu tertarik.
Pasalnya tanpa bekerja aku sudah dapat makan dan dapat tempat tidur enak. Makan roti
besar yang hanya untuk satu hari yang membuat aku belajar berhemat. Buku-buku yang
kubaca membuat otakku semakin hari semakin bekerja. Jika engkau tahu kehidupanku dulu,
engkau pasti akan menangis terharu. Engkau mau tahu?
”Sebenarnya dilihat dari penampilan, aku tidak bisa masuk ke perpustakaan yang bersih ini.
Berhubung aku masuk dengan cara mencuri-curi waktu dan kondisi, bisa masuklah diriku
seperti sekarang ini. Dulu-dulu sekali. Pada waktu itu…” Sudah cukup kau bilang? Ini baru
pertengahan cerita, boy! Jangan seperti ini lah! Tak suka aku dengan sikapmu yang seperti
ini. Engkau bilang mau tahu kebenarannya. Makanya dengarkan!

Ooo… mau langsung saja. Jadi perkenalan dulu donk. Iya? BaiklahNamaku kau tahu, Didin.
Ini nama julukan sih. Nama asliku Uwais qorni. Seperti nama narator saja, bukan? Katanya
biar terasa bahwa ini merupakan cerita rekayasa, jadi dibuatlah semenarik mungkin.
Namaku ini adalah nama sang narator. Memang sengaja disamakan katanya. Tujuannya
entah apa aku tidak tahu.

Aku kelahiran terminal. Terminal yang mana itu rahasia. Ibu dan bapakku katanya juga
kelahiran terminal. Itu kata orang-orang sih. Dan memang pembicaraan dari mulut ke mulut
itu butuh yang namanya pembuktian. Seperti yang dijelaskan di sebuh buku yang pernah
kubaca, ‘katanya’ itu kalau bahasa jawa yaitu jarene. Jarene yang merupakan akronim dari
jarang benere. Sedikit benarnya. Salahnya banyak. Jadi engkau percaya boleh, engkau
dustakan boleh. Itu terserah engkau. Tapi aku jujur loh ini.

Aku ke perpustakaan dulu-dulu itu untuk mencari kehidupan baru. Aku penasaran apa yang
menarik dari sebuah tempat pengungsian buku. Buku yang hanya buku. Tak ada gunanya. Ya
maaf saja dengan penampilanku yang tak terurus seperti ini; kaos yang lusuh, wajah lusuh,
rambut acak-acakan, tak beralas kaki, dan serba buruk lainnya itu. Maaf. Engkau sampai
berburuk sangka kepadaku, bukan? Mungkin aku yang malah berburuk sangka terhadapmu.
Jangan dibahas itu sekarang ya. Malu aku!

Daripada menjalani hidup yang pagi berangkat dari satu terminal dan pulangnya ke sebuah
terminal yang lain. Daripada melihat ibu-ibu menggendong bayinya sambil mengamen.
Daripada aku melihat senyum terpaksa dari raut wajah lelaki tua yang menjajakan
kacangnya itu, dan hasilnya engkau tahu, tidak satu pun dibeli. Daripada melihat orang-
orang yang naik bus tanpa memerhatikan nasib kehidupan kami yang merupakan anak
jalanan. Apa tak ada badan pemerintahan yang menanggulangi hal-hal semacam ini? Apa
dahulu di pelajaran sosialnya tidak ada yang berhubungan dengan anak jalanan. Yang
disalahkan hanya anak jalanan saja, sedangkan… maaf jika aku terlalu nge-gas. Dibuat santai
ya? Oke.

Karena itu semua aku ingin berhijrah. Tepat sekali saat aku turun dari sebuah bus aku
melihat orang-orang berpakaian rapi dan santai itu menuju rumah tempat engkau
bermukim. Perpustakaan yang engkau jaga. Aku pun tertarik. Orang-orang menyaksikanku
dengan tatapan yang mungkin meremehkan aku. Aku melihat anda, ya anda karena
terkesan lebih sopan penyebutannya, menempelkan peraturan di tembok pojok. Aku
mendekatimu, bukan? Melihat apa yang anda tempelkan: Dilarang berteiak! Hukumannya
adalah dipenjara di sebuah ruangan perpustakaan. Dan banyak peraturan yang terpajang.
Dapat makanan kalau sampai dibui. Tertarik diriku dengan hukuman ini. Jadi… Hehehe.

Buat penghidupan saja, mas. Tak ada makanan gratis di luar sana. Serba membayar.
Berhubung saya juga membaca buku tentang ekonomi di sini, jadi harus ada pekerjaan jika
ingin meraih hasil katanya. Jadi saya bisa bekerja di sini? Tak mengapa walau cuman satu
roti saja. Karena yang terpenting sekarang adalah mengisi kosongnya otak ini. Lapar otak ini,
mas. Mungkin jika keluar nanti saya akan bekerja dengan pekerjaan yang lebih baik. Kapan-
kapan saya mampir ke perpustakaan ini untuk bantu-bantu jaga. Tapi ya gitu, carikan
pekerjaan dulu saya, mas. Gimana? Setuju enggak-nya tergantung anda. Pemilik kunci
adalah anda. Saya tidak bisa apa-apa lagi kecuali bercerita sendiri hitung-hitung
mengamalkan buku yang membahas retorika itu. Beneran saya tidak gila. Sumpah saya tidak
gila. Cuman kemaren itu mengikuti orang-orang luar itu saja. Apa namanya? Mengikuti
arahan atasan itu. Memerankan karakter orang lain itu. Hehe. Maaf gak tau istilahnya.

Bagaimana? Tertarik mempekerjakan saya?

Terserah.

Tapi jika bercerita orang ini mah panjang jadinya ini cerita. Kalau anda mau mempekerjakan
saya ya boleh-boleh saja. Sudah tidak ada? Cukup untuk berlatih selanjutnya. Kulanjut saja
pelajaran retorika saya dulu ya. Cukup anda pikirkan dulu mana yang terbaik buat anak
jalanan macam diri saya ini. Saya mau melanjutkan cerita saya tadi. Cukup?

“Dan penjaga perpustakaan itu bingung bukan main. Pasalnya…”

Cerpen karya Hotmauli Sri Yulina Pandiangan

Seperti bunga dan lebah

Sore ini Risa dan Rifa sedang bermain, “Rif,berikan aku satu kisah untuk ku jadikan
pelajaran,”ucap Risa kepada Rifa

“hmmm, kisah apa ya? Baik lah aku bacakan satu kisah analogi tentang bunga dan lebah,
setuju?” jawab ku dengan semangat.

“hemmm, boleh” ucap Risa

Begini lah Analogi ny, cerita dimulai

Ya, aku lebah dan ia bunganya atau mungkin sebaliknya. Aku tidak peduli.
Simbosis mutualisme,pikirku. Karena kami saling memberi,dan tanpa sadar saling
menerima. Lalu aku mulai meminta lebih banyak, dan otomatis ia memberikan lebih banyak
lagi.

Begitu yang kami lakukan sebagai bunga dan lebah.

Tapi aku sadar.

Mungkin aku bunganya.

Objek yang tidak akan pernah bisa berpindah tempat, hanya menunggu untuk disinggahi
sesaat. Ia lebahnya.

Hadir kala memang saatnya hadir. Pergi kala memang saatnya pergi.

Kala sang bunga menutup diri, berhenti untuk meminta, maka sunyi akan segera tercipta.
Sang lebah boleh pergi, mencari keindahan bunga yang lain. Lalu sepi.

Risa menatapku dengan nanar, seraya berkata “Tuan Rifazi, sejak kapan kamu pandai
bercerita seperti ini?”.

“Sejak aku sadar, bahwa aku dan kamu hanya bisa sekedar menjadi teman, Nyonya Risa.
Aku-lah bunganya, dan tentu, kau lebahnya” ujarku, tentu saja hanya berani kusampaikan
dalam hati.

PESAN MORAL

hati adalah cerminan diri kita sendiri

12. MIMPI SANG DARA

Karya: Unknown

Pagi menjelang saat seorang gadis yang biasa dipanggil dengan nama Dara
mulai menjerang air untuk membuat segelas teh panas. Dara, ialah gadis yang hidup dengan
sejuta mimpi di dalam sebuah rumah berdinding tinggi. Dara merupakan gadis yang tumbuh
di dalam keluarga berkecukupan, bahkan bisa dibilang sangat kaya. Namun sayangnya Dara
tidak bisa menopang tubuhnya sendiri tanpa menggunakan bantuan kursi roda, sehingga
merasa diacuhkan bahkan saat berada di istana mewah tersebut.
Kedua orang tua Dara selalu mengacuhkannya karena merasa tidak ada yang bisa
diharapkan dari gadis dengan kursi roda tersebut. Sementara kakaknya mungkin saja malu
mempunyai adik dengan kondisi seperti Dara. Setiap hari Dara hanya menghabiskan
waktunya di dalam kamar dan sesekali mengarahkan kursi rodanya menuju arah taman. Gadis
yang berusia 17 tahun tersebut sangat senang untuk menggambar di taman guna
menghilangkan pikiran buruknya yang menyesali keadaannya.

Suatu pagi Dara jatuh dari kursi rodanya, namun tidak ada seorangpun di dalam
rumah tersebut mendekat untuk menolongnya. Rasa kecewanya terhadap hal tersebut
membuat Dara memiliki kekuatan untuk menggerakkan kursi rodanya ke arah taman
kompleks, berniat menenangkan diri. Saat sedang terisak di taman, tiba-tiba Dara dihampiri
oleh seorang gadis seusianya dengan kondisi yang sama. Gadis tersebut mengulurkan tangan
untuk Dara dan mulai menyebutkan namanya, yaitu Hana. mereka berdua mudah sekali
akrab, mungkin karena keduanya saling mengerti kondisi masing-masing.

Tiba-tiba Hana Berkata, “ Dara, ingatlah bahwa tidak ada seorang pun di dunia ini
yang terlahir sia-sia. Mungkin kita tidak bisa berdiri tegak layaknya manusia lain. Tapi, kita
masih punya hak untuk merasakan bahagia. Cobalah untuk menerima dirimu sendiri, Dara.”
lalu, akhirnya gadis itu berpamitan pada Dara. Semenjak pertemuannya di taman dengan
Hana, Dara mulai merenungi kata-kata yang diucapkan oleh gadis tersebut. Dara berpikir
bagaimana ia bisa seutuhnya menerima dirinya ketika orang di dekatnya tidak mendukungnya
sama sekali.

Dara mencoba mencerna perkataan dari Hana secara perlahan, meskipun seringkali ia
menangis ketika teringat kenyataan bahwa ia hanyalah seorang gadis yang diacuhkan. Hal
yang dipikirkan oleh Dara adalah bagaimana ia bisa mewujudkan mimpinya dengan kondisi
tersebut. Mimpi Dara adalah menjadi seorang pelukis yang karyanya bisa dipajang di dalam
pameran besar. Hal yang dilakukan Dara untuk memulainya adalah rajin membuat lukisan.
Kesibukan tersebut juga dilakukan Dara untuk tidak memikirkan mengenai dirinya yang
selalu diacuhkan dan mulai memahami perkataan Hana.
Perlahan mimpi sang Dara mulai terwujud saat diam-diam ia sering memposting
lukisannya melalui media sosial. Hingga suatu hari ada seseorang datang ke rumah Dara
untuk menemui gadis itu guna mengajaknya untuk bergabung di dalam sebuah pameran
lukisan. Kedua orang tua Dara terperangah mendengar ucapan pria tersebut, sebab tidak
menyangka bahwa Dara si gadis kursi roda bisa menghasilkan karya lukisan yang indah. Dara
hanya tersenyum melihat respon kedua orang tuanya dan memilih menerima tawaran
pameran tersebut. Berbagai lukisan indah dipajang dalam pameran yang diberi tema Mimpi
Sang Dara. Orang tua Dara menghadiri pameran tersebut dan merasa terharu atas pencapaian
putri yang selama ini diacuhkannya. Sementara Dara merasa lega bisa menerima keadaan
fisiknya dan memanfaatkan apa yang dimiliki.

PESAN MORAL

Disaat seseorang mulai tidak percaya akan kemampuannya, maka seharusnya seseorang tersebut
berusaha ikhlas dan yakin jika kemampuannya dapat menjadi kebanggaan bagi dirinya.

Sebuah Pertanyaan Untuk Cinta


Oleh: Seno Gumira Ajidarma

Pada sebuah telepon umum, seorang wanita berbicara dengan wajah gelisah.

“Katakanlah sekali lagi, kamu cinta padaku.”

Mendengar kalimat itu, orang yang mengantre di belakangnya memberengut, sambil


melihat arlojinya. Pengalaman menunjukkan, orang tidak bias berbicara tentang cinta
kurang dari 15 menit. Namun, sungguh terlalu kalau wanita itu masih juga bertanya
tentang cinta setelah 30 menit. Apalagi sudah ada beberapa orang berdatangan ke telepon
umum itu, sambil sengaja mengecrek-gecrekkan koin di tangannya.

“Kamu benar-benar cinta padaku? Sampai kapan?”

Orang-orang mendengar kalimat itu dengan jelas. Wanita yang menelepon dengan wajah
gelisah itu memang terlihat berusaha menahan suaranya, tapi rupanya perasaannya
berteriak lebih keras. Menjadi tidak penting lagi baginya, apakah orang-orang itu
mendengar atau tidak. Mereka toh tidak tahu siapa dirinya. Di kota besar seperti ini, kita
tidak selalu bertemu orang yang sama di jalanan. Begitu juga di telepon umum.
“Kamu gombal, kamu juga mengatakan hal yang sama pada pacar-pacarmu.”

Wanita itu melirik kea rah orang-orang yang menunggu, kemudian melihat arlojinya,
seolah-olah ingin menunjukkan bahwa ia bukan tidak tahu tentang waktu yang
dihabiskannya. Tapi, kemudian ia menyembunyikan wajahnya ke dalam kotak kuning,
berbicara pelan-pelan dan tersendat-sendat. Barangkali lelaki di seberang sana itu
memberikan jawaban yang kurang berkenan.

“Aku cuma salah satu di antara mereka, aku cuma salah satu dari wanita-wanita itu, aku
tidak ada artinya bagimu.”

Wajah wanita yang tadi gelisah itu kini tampak menderita. Matanya penuh cinta, tapi
memancarkan rasa takut kehilangan.

“Ternyata kamu bohong, kamu tidak mencintaiku,” katanya.

Para pengantre berdecak-decak gelisah. Mulut mereka memperdengarkan bunyi ‘ck’ yang
sengaja dikeras-keraskan. Sebagian menggeser-geser dan menghentak-hentakkan
sepatunya. Sebagian, untuk kesekian kalinya, melihat arloji. Sebagian lagi terus terang
menggerutu.

“Siang-siang panas begini bicara tentang cinta, seperti tidak ada waktu lain.”

“Terlalu!”

“Sudah setengah jam.”

“Kalau pergi ke telepon umum yang di sana, sudah sampai dari tadi, tapi sekarang jadi
tanggung!”

“Berapa lama lagi dia selesai?”

“Ini sudah setengah jam.”

“Paling lama sepuluh menit lagi, dia kan tahu dari tadi kita menunggu.”

“Saya cuma perlu menelepon setengah menit, penting sekali.”

“Saya juga cuma sebentar, tapi penting sekali.”

“Saya harus segera telepon, sangat penting, kalau tidak, saya bisa celaka.”

***

Kemudian, terdengar suara wanita itu, yang tanpa disadarinya sudah menjadi jauh lebih
keras.

“Kamu ini bagaimana, sih? Kamu tahu kan aku sayang padamu, aku selalu kangen padamu.
Aku cinta sekali padamu, kamu jangan begitu, dong!”

Wanita itu sudah memasukkan koin lagi, dua sekaligus. Artinya percakapan masih akan
berlangsung, setidaknya 12 menit lagi. Kalau setelah itu masih juga bicara, sungguh-
sungguh keterlaluan, karena pengantre yang paling dekat dengannya sudah menunggu
selama 42 menit. Sebagian orang yang datang belakangan sudah pergi. Mereka bisa
memperkirakan waktu yang lama melihat banyaknya para penunggu. Namun, yang sudah
terlanjur menunggu lama agaknya merasa rugi jika pergi. Mereka masih menunggu dengan
wajah yang disabar-sabarkan.

“Aku ingin yakin bahwa kamu memang cinta padaku. Aku harus yakin kamu memang cinta,
kamu memang sayang, kamu memang selalu memikirkan aku. Apakah kamu selalu
memikirkan aku? Katakan padaku kamu cinta, cinta, cinta…”

Apakah yang dikatakan lelaku di telepon sebelah sana? Wanita yang menelepon dengan
wajah gelisah itu kini untuk pertama kalinya tersenyum. Pasti yang disebut cinta itu ajaib
sekali, karena bisa menelusuri kabel telepon dan mengubah wajah seorang wanita yang
gelisah jadi bahagia. Menjadi cantik, dan menyegarkan, meski di siang panas terik yang
melelehkan aspal jalanan.

Mata wanita itu berbinar-binar, bagaikan mata kanak-kanak di sebuah dunia fantasi.

Pemandangan ini agak melegakan para pengantri. Pasangan yang bercinta di telepon biasa
memutuskan percakapan mereka pada saat-saat terbaik. Mata wanita itu menunjukkan
kebahagiaan. Pada saat seperti itu ia bisa berpisah di telepon dengan senang, dengan
perasaan seolah-olah dunia sudah menjadi miliknya. Tinggal sebentar lagi, pikir orang-
orang yang menunggu itu, sambil lagi-lagi melihat arlojinya.

“Satu koin lagi, ya? Ngomong cinta lagi, dong.”

Meluncur satu koin lagi. Berarti enam menit lagi. Orang-orang mengerutkan dahi. Alangkah
memabukkannya cinta yang bergelora itu. Tapi, sudahlah, enam menit bukan waktu yang
lama.

“Kamu masih akan mencintaiku kalau aku sudah tua?”

“Kamu masih akan mencintaiku, meskipun ada seorang wanita cantik merayumu?”

“Benarkah cuma aku seorang di dunia ini yang ada di dalam hatimu?”

“Masih cintakah kamu pada istrimu?”

***

Semua orang menoleh. Wajah wanita itu sudah gelisah lagi.

“Masih cintakah kamu pada istrimu?”

Meluncur lagi satu koin.

“Gila! Hampir satu jam!” Seseorang berteriak dengan marah.

“He! Mbak! Ini telepon umum! Gantian, dong.”


Pengantre yang paling lama mendekatkan kepalanya ke kotak kuning, sengaja
memperlihatkan dirinya di depan mata wanita itu, sambil mengetuk-ngetukkan koinnya
dari luar kotak. Wanita itu berkata pada yang diteleponnya.

“Sebentar, sebentar.”

Lantas ia mendekapkan telepon itu ke dadanya, dan berkata pada pengantre yang
terdekat dengannya.

“Maaf, sebentar lagi, ya, Pak? Sebentar saja.”

Kemudian, ia menolehkan kepalanya ke arah lain. Berbicara setengah berbisik, maunya,


karena yang terjadi adalah ia berteriak tertahan.

“Katakan yang jelas, apakah kamu masih mencintainya?”

Angin berhembus. Mega menutupi matahari. Langit mendung.

Orang-orang yang menunggu hanya melihat wanita itu mengeluarkan tissue dari tasnya,
dan mulai mengeluarkan ingus. Matanya basah.

“Kamu masih tidur dengan dia?”

Orang yang berada di dekatnya menjauh. Mencari tempat untuk duduk. Tidak ada lagi
yang bisa dilakukan, selain menunggu. Angin makin kencang berhembus. Daun-daun
berguguran.

“Kamu kok bisa, sih? Kamu terga sekali padaku. Sebetulnya kamu tidak mencintai aku.”

Seseorang pura-pura batuk, mengingatkan, tapi wanita itu sudah tidak peduli. Ia
meluncurkan satu koin lagi.

“Apa sih artinya aku buat kamu? Apa sih artinya aku?”

Wanita itu membuang tissue ke bawah, dan mengambil lagi tissue yang lain. Sambil
menjepit telepon dengan kepalanya, ia mendenguskan ingusnya. Tiada yang lebih sendu
selain wanita yang menangis karena cinta.

“Jadi, kamu bisa mencintai lebih dari satu orang? Kamu bisa mencintai dua orang
sekaligus?”

Ia seorang wanita yang cantik, menarik, dan indah. Wajahnya gelisah dan sendu, tapi ini
membuatnya semakin lama semakin indah. Apakah cinta yang membuat seorang wanita
menjadi indah? Mungkinkah seorang wanita menjadi indah tanpa cinta? Apakah artinya
cinta bagi seorang wanita?

“Jadi, apa artinya hubungan kita? Apa artinya?”

Debu cinta bertebaran. Suatu ketika di suatu tempat, entah kapan dan di mana, seseorang
bisa begitu saja saling jatuh cinta dengan seseorang yang lain. Ah, ah, ah-lelaki macam
apakah kiranya yang berada di seberang telepon itu, yang telah membuat seorang wanita
yang indah menjadi gelisah?

“Apa sih artinya cinta untukmu? Coba jelaskan padaku. Apa sih artinya cinta?”

Jeglek! Tuuuuuuttt…

Koinnya habis. Hubungan pun terputus. Wanita itu tertegun. Ia merogoh dompetnya. Tak
ada lagi koin di sana. Ia banting gagang telepon itu dengan kesal.

Pengantre yang sejak tadi menunggu segera menyerobot dengan setengah memaksa.
Pengantri yang lain pun mendekat dengan wajah mengancam. Semua orang punya
keperluan penting. Tak seorang pun peduli dengan wanita itu, yang setelah menukarkan
uang kertasnya dengan setumpuk koin di kios rokok, segera ikut menunggu kembali,
meskipun hujan kini turun dengan deras.

Wanita indah yang wajahnya gelisah itu tidak lari berteduh-ia tetap menunggu, sampai
basah kuyup. Ia juga punya keperluan penting. Ia masih menyimpan sebuah pertanyaan
untuk cinta.

Pesan Moralnya:

Janganlah kamu selingkuh ketika kamu sudah merasa bosan dengan


pasanganmu

Sinopsis Novel Miss Takakura (Sepotong Cinta dalam Tong Sampah)


Karya: Dewi Liez

Kiera gadis manis kelas XI SMU bercita-cita jadi Menteri Lingkungan Hidup. Sejak
sekolah dasar, Kiera senang dengan segala hal yang berhubungan dengan lingkungan. Satu
pagi Kiera menjadi korban tabrak lari saat bersepeda ke sekolah. Kiera kesal si penabrak
tidak meminta maaf atas perbuatannya. Dia pun melempar kunci sepeda motor ke dalam
selokan. Ternyata penabrak adalah tetangga baru sekaligus siswa baru di sekolahnya. Tak
hanya itu, Ryu si penabrak adalah anak dari sahabat ayah Kiera.
Adapula secret admirer meneror Kiera dengan kado yang dimasukan dalam tong sampah
milik keluarganya. Kiera merasa selalu diawasi gerak geriknya, jika berurusan dengan kado-
kado dalam tong sampah.
Satu masalah belum selesai, Renaldi sahabatnya menyatakan cinta. Kaget, bingung,
marah menjadi satu. Akhirnya, Renaldi menyadari bahwa Kiera hanya menganggap dirinya
tak lebih dari sahabat. Kiera jatuh cinta, bukan pada teman sebaya. Tapi pada Arga
sepupunya. Bertepuk sebelah tangan, Kiera harus patah hati. Demi melupakan kisah cintanya
yang kandas, Kiera makin gencar melakukan berbagi aksi pelestarian lingkungan.

Judul : Miss Takakura (Sepotong Cinta dalam Tong Sampah)


Penulis : Dewi Liez
Penerbit : HAFAMIRA
Cetakan I : Mei, 2013
Pesan moral karya sastrawan:
Daripada berlarut-larut dalam patah hati lebih baik gunakan waktumu, dan fokus untuk
melakukan hal-hal yang baik dan bermanfaat.

Tebal Halaman : 218 hlm


ISBN : 979-26-7502-7
Pesan moral:
Daripada berlarut-larut dalam patah hati lebih baik gunakan waktumu, dan fokus untuk
melakukan hal-hal yang baik dan bermanfaat

Pesan moral karya sastrawan:


Daripada berlarut-larut dalam patah hati lebih baik
gunakan waktumu, dan fokus untuk melakukan hal-hal
yang baik dan bermanfaat.
PROSA BARU RESENSI NOVEL
“HUJAN

Resensi Novel Hujan


Novel menceritakan tentang Esok dan Lail yang memerankan tokoh utama. Keduanya
dipertemukan pasca gunung meletus di tahun 2042. Sedangkan, tokoh pendampingnya ada
Maryam yang menjadi sahabat Lail, wali kota beserta istrinya, Claudia, Elijah, ibunya Lail,
ibu penjaga asrama dan ibunya Esok.

Efek letusan gunung sangat dahsyat karena memporak porandakan hampir seluruh isi bumi
dan hanya menyisihkan 10% manusia. Selain itu, cuaca dan iklim menjadi kacau.

Esok yang memiliki nama lengkap Soke Bahtera ini merupakan anak muda yang pintar dan
jenius. Ketika berumur 16 tahun, ia berpindah ke ibukota untuk meneruskan sekolah.
Akhirnya, ia bisa membuat mobil terbang untuk pertama kali.

Lail adalah tokoh wanita yang sederhana, tinggal di panti sosial, menjadi relawan
kemanusiaan dan mengenyam pendidikan di sekolah perawat. Ia menyimpan perasaan cinta
yang mendalam selama bertahun-tahun kepada Esok, namun tidak bisa diungkapkan.

Esok sendiri tidak memiliki waktu lebih walau hanya sekedar menemani atau
menghubunginya karena kesibukannya.

Cerita dengan latar di tahun 2042-2050 ini mengangkat genre science-fiction. Di dalamnya
terdapat bumbu-bumbu kisah percintaan remaja. Selain itu, juga menceritakan dunia masa
depan yang penuh teknologi canggih. Peran manusia sudah digantikan dengan teknologi dan
ilmu pengetahuan.

Manusia semakin dimanja dengan teknologi yang ada, tidak perlu memasak, menjahit dan
mengerjakan aktivitas lainnya. Namun, manusia tidak bisa lepas dari kodratnya memiliki
berbagai jenis perasaan seperti sedih, cinta, senang, rindu, benci dan lain-lain.

Inilah yang menimbulkan konflik dalam cerita. Pertama-tama, diawali dengan kedatangan
Lail yang akan memodifikasi ingatannya di pusat terapi saraf. Saat ditanya, ia menjawab
ingin melupakan tentang hujan.

Kemudian, Lail menceritakan tentang kehidupannya dari terjadinya bencana alam sampai tiba
di pusat terapi syaraf kepada Elijah yang merupakan paramedis senior.
Kelebihan
Topik yang diangkat dalam cerita dikemas dengan bahasa yang ringan dan gampang
dipahami. Meskipun cukup tebal halamannya namun alurnya tetap bagus, sesuai jalan cerita,
tidak dipanjang-panjangkan ataupun diperlambat sehingga tidak membosankan.

Ada beberapa bagian yang ceritanya dipercepat. Jalan ceritanya sulit untuk ditebak sehingga
membuat pembaca penasaran. Banyak kejutan-kejutan menarik yang sebelumnya tidak
pernah terpikirkan.

Contoh, terjadinya gunung meletus menyebabkan musim dingin berlangsung panjang. Akibat
campur tangan manusia, kini cuaca berubah menjadi musim panas dan menimbulkan
malapetaka.

Tidak ada orang yang tahu kapan musim panas akan berakhir. Hujan pun tidak kunjung turun
membasahi bumi. Hal-hal tersebut mampu melambungkan imajinasi dari pembaca.

Ditambah lagi kehadiran berbagai teknologi canggih seperti anting-anting yang berfungsi
untuk pemandu online, kendaraan tanpa sopir, alat komunikasi yang ditanam di tangan dan
masih banyak lagi lainnya. Semua benda-benda tersebut tampak nyata dan seolah benar-benar
ada di masa depan.

Ketiadaan sinopsis pada sampul belakang dan daftar isi mengundang daya tarik pada novel
karena sukses membuat semua orang penasaran untuk mengikuti sampai akhir.

Kekurangan
Karakter Lail dalam cerita kurang kuat karena hanyalah gadis cengeng yang lemah dan tidak
memiliki inisiatif. Tanpa adanya Maryam, Lail tidak mungkin mencapai keberhasilan.

Alangkah baiknya, sebagai tokoh utama, Lail digambarkan sebagai seorang inisiator bukan
pengikut. Meskipun dalam cerita ini hasilnya bagus.

Semua aspek yang terkandung pada cerita hanya seputar ilmu pengetahuan dan teknologi saja
tanpa menyinggung agama.

Meskipun penulis telah menyebutkan bahwa secanggih apa pun teknologi itu tidak bisa
menandingi kekuasaan dari Tuhan. Namun, sangat disayangkan tidak dijumpai aktivitas
keagamaan seperti berdoa maupun beribadah.

Alhasil, pembaca tidak mampu menebak agama dari masing-masing tokoh sehingga terasa
ada yang janggal. Selain itu, masih ditemukan adanya typo. Ada juga kalimat yang
menjadikan pembaca bingung.
Contohnya pada halaman 120 ditulis bahwa Lail dan Maryam akan ditugaskan pada Sektor 3.
Sedangkan, di halaman 135 tertulis Lail dan Maryam akan berangkat ke Sektor 4 untuk
penugasan pertama. Semoga untuk kedepannya bisa diperbaiki kembali sebelum dicetak.

Salah satu tanda bahwa novel itu bagus dan berkualitas adalah penulis bisa memunculkan
keinginan dari pembaca untuk terus mengikuti cerita sampai tamat karena tidak mudah
diterka kelanjutannya. Resensi novel Hujan ini membuktikan kesuksesan Tere Liye dalam
mempengaruhi pembaca.

Pesan moralSelamat
Novel prosa baru sastrawan
Tinggal
Kita harus selalu menerima dan mensyukuri
nikmat Tuhan. Sesungguhnya bukan
melupakan melupakannya, tapi bagaimana
cara menerimanya.

Novel Selamat Tinggal


Kisah ini menceritakan seorang penjaga toko buku ‘Berkah’ yang berada di dekat stasiun
kereta listrik. Ia adalah Sintong Tinggal yang juga seorang mahasiswa rantau Fakultas Sastra
yang sudah tahun ke tujuh masa kuliahnya dan belum lulus. Hal demikian yang membuat
dirinya disebut sebagai “mahasiswa abadi”.

Toko buku Berkah tidaklah seperti toko buku lainnya yang ada di dalam Mal dengan berbagai
rak yang tertata rapi, pencahayaan yang terang, dan lantai yang bersih mengkilat. Toko buku
milik Paklik ini hanya bermodalkan kipas angin tua dengan suara deritnya yang khas.
Namun, sayangnya toko buku tersebut tidak seperti namanya ‘Berkah’ sebab toko buku yang
dijaga oleh Sintong merupakan sebuah toko yang menjual berbagai buku bajakan.

Tidak tahu di mana letak ‘berkah’ dari berbagai buku bajakan yang dijual di toko tersebut.
Bagi Sintong sendiri, menjual buku bajakan membuat idealisme yang ada di dalam dirinya
seolah tergadaikan. Terlebih, ia sama saja turut andil pada ranah ilegal tersebut, serta merauk
hak kekayaan intelektual milik orang lain.

Di samping itu, Sintong memikirkan bagaimana kedua orang tuanya yang tidak mempunyai
dana untuk membayar segala kebutuhkan kampusnya. Sementara Paklik hendak membantu
biaya kebutuhan kampusnya, tetapi dengan ketentuan Sintong menjadi penjaga di toko buku–
yang katanya berkah–miliknya.

Layaknya mahasiswa abadi lainnya yang ditekan untuk segera menuntaskan kuliahnya,
Sintong pun kerap kali ditanya terkait kapan dirinya hendak menuntaskan persoalan
kuliahnya. Sintong sebenarnya merupakan salah satu mahasiswa aktif nan cerdas. Tulisan
yang pernah dibuatnya pun pernah dimuat di salah satu koran nasional.

Ia pernah menjadi wakil pemimpin redaksi majalah di kampusnya. Lantas, mengapa dirinya
memilih menjadi mahasiswa abadi? Hal itu tentu bukan sesuatu yang diinginkan olehnya.
Dirinya menjadi seperti itu sebab ada luka di hati terkait kisah cintanya dengan kawan semasa
SMA-nya.

Sintong mempunyai cerita seperti orang-orang pada umumnya. Ia memegang kuat sebuah
prinsip, tetapi sebab keadaan finansial yang memaksakan dirinya untuk menepikan
prinsipnya tersebut. Begitu pula dengan kita yang kadang kala terpaksa dan dipaksa untuk
menjalani hal yang sebenarnya sangat kita hindari, bahkan benci.

Dengan keadaan perekonomian yang serba kekurangan, tentu kita tidak dapat menangkalnya.
Bila dihadapkan dengan hal seperti itu, bisa saja kita akan mengambil langkah untuk
melepaskan prinsip tersebut daripada melewati sulitnya kehidupan sehari-hari dengan prinsip
yang kita pegang.

Begitu pula dengan kisah cinta Sintong saat dirinya tengah dilanda patah hati karena
persoalan cintanya. Dirinya berani untuk mengucapkan selamat tinggal pada masa lalunya.
Saat hari itu setelah Sintong meladeni seorang pembeli, ada seorang perempuan, salah satu
mahasiswa Fakultas Ekonomi yang mampu memikat hatinya.

Perempuan itu berambut panjang, berwajah bersih, pakaiannya cukup trendi dengan tema
bunga–yang mana kerap kali dirinya memperlihatkan sikap ketidaktertarikannya pada
Sintong. Perempuan itu bernama Jess. Walaupun ia tidak menyukai menjadi seorang penjaga
toko buku bajakan, tetapi setidaknya ia bahagia dapat berjumpa dengan Jess. Terlebih
Sintong menjadi dekat dan acap kali bertukar pesan dengan perempuan berparas cantik.
Sintong pun dengan segenap perasaannya, siap untuk membuka hati.

Dalam menjadi hidup yang tidak disukai, ada kalanya manusia mendapati hal berharga dalam
kuatnya putaran kehidupan. Sama halnya dengan tokoh Sintong yang kadang kala merasa
senang apabila menjaga toko buku tersebut sebab dirinya dapat sekaligus membaca buku
sebanyak yang dirinya mau dan suka.

Hal demikian yang digemari oleh para penjaga toko buku, ia dapat memperoleh harta karus,
yakni sebuah buku dari penulis besar yang menghilang dengan tanpa kabar, Sutan Pane
namanya. Raganya sekaan hilang di kancah literasi Indonesia yang mana hal tersebut hendak
menjadi kajian dalam penulisan tugas akhir skripsinya.

Buku dan tugas akhir skripsi yang hendak dibuat itu, menyebabkan dirinya dalam mengikuti
perjalanan jejak seorang Sutan Pane. Menggali segala informasi dari orang-orang yang
memang mengenal bukan hanya karena sosoknya, melainkan karya-karya Sutan Pane.

Tugas akhir skripsi mengenai Sutan Pane acap kali mengetuk hatinya. Bagaimana bisa,
dengan beraninya ia menulis mengenai penulis besar berpegang pada berbagai ideologinya,
tetapi justru dirinya menjadi seorang penjaga toko buku bajakan yang mana hal tersebut
menentang ideologi yang dipegang olehnya–kontradiktif sekali.

Bahkan, tidak hanya di toko buku dekat stasiun itu, melainkan menyebar hingga mendirikan
toko buku online di marketplace yang saat ini tengah ramainya dipakai oleh masyarakat
untuk melakukan transaksi. Hebatnya, ia pun mengetahui caranya untuk mengatasi berbagai
persoalan formalitas dengan penegak hukum. Sama halnya dengan rata-rata manusia, dalam
menjalani kehidupan ini, kadang kala kita terpaksa melakukan sesuatu yang kontradiktif.

Memegang teguh dengan suatu prinsip, tetapi justru melanggar prinsip tersebut. Memikirkan
X dan melakukan Y. Akan tetapi, apabila hendak berubah dan berjuang untuk menjadi
pribadi yang lebih baik, tentu dapat menghadapi dan melewatinya. Dengan begitu, kehidupan
akan menjadi lebih baik dari sebelumnya. Kita dapat melihat hal tersebut melalui tokoh
Sintong yang mana kehidupannya menjadi lebih baik sehingga dapat aktif kembali dalam
kegiatan tulis-menulisnya.

Selain itu, tugas akhir skripsinya pun ada kemajuan dan berkembang dengan pesat. Bahkan,
ia sempat menulis dan dimuat pada surat kabar nasional dan tulisannya itu menjadi trending
topic dan diperbincangkan oleh kritikus juga masyarakat. Sintong berhasil untuk bangkit dari
keterpurukannya itu, membuat kawan-kawannya menjadi bangga.

Melalui kisah Sintong dalam novel Selamat Tinggal ini, Tere liye yang memang dikenal
sebagai salah satu penulis yang kerap kali mengingatkan akan pembajakan, berhasil
membagikan sudut pandang seorang yang berkecimpung dalam ramah pembajakan tersebut.
Hebatnya, dengan rasa tidak tanggung, hampir setiap tokoh di novelnya ini pun berkaitan erat
dengan pengambilan hak kekayaan intelektual milik orang lain.

Tidak hanya terkait pembajakan buku, tetapi berbagai fenomena pencurian hak kekayaan
intelektual sebagaimana yang sudah dijelaskan, serta bisnis yang sifatnya ilegal–sangatlah
kental dengan kehidupan masyarakat.

Pesan moral
yaitu tetap lah bekerja keras demi
sebuah impian dan tujuan yang
akan kita capai

Tinggal Matanya Berkedi-kedip


Cerpen Ahmad Tohari

Kami tidak menyangka akhirnya si Cepon, kerbau kami, rubuh di tengah


sawah yang hendak di bajak. Benar-benar rubuh tak berdaya. Badannyayang bes
ar dan bulat setengah terapung di atas lumpur. Keberingasannya
yang kami kenal selama ini lenyap. Barangkali sisa tenaganya habis buat
meronta, memberontak dari cengkeraman bajak yang membelenggu
lehernya.
Keadaan si capon bertambah nista dengan darah yang terus menetes dari
kedua lubang hidungnya yang dipasang kaluk, tali kekang yang menembus
cingurnya.
Romah muka si Cepon, terutama matanya, bahkan ternyata bisa
menunjukkan sikap pasrah total, suatu hal yang terlambat diketahui oleh
anak seorang petani: aku. Tidak seperti pada tahun-
tahun yang lalu, musim penghujan kali ini dibuat pusing oleh si capon.
Kerbau itu menjadi binal. Ayah tak berhasil
mengalungkan tali di lehernya apalagi memasangkan bajak.
Maka ayah
berbuat sesuatu yang pasti dibenarkan oleh para petani di kampung kami,
memanggil Musgepuk untuk menjinakkan kembali si Cepon. Musgepuk
seorang lakilaki yang kuat dan bermuka kukuh sudah dikenal sebagai
pawang bagi segala macam ternak yang dipelihara para petani. Ironisnya,
pagi ini kerbau kami rubuh secara menyedihkan di tangan pawang itu.
“Hayo! Hiyah! Hiyyah!” teriak Musgepuk. Tangan kirinya
menggoyanggoyangkan tangkai bajak. Tangan kanannya mengayunkan cambuk
. Tetapi
si Cepon tetap tak bergerak. Musgepuk mengulangi teriakannya lebih keras.
Tali kekang disentakkannya kuatkuat. Cambuknya melecutlecut,
menambah garisgaris memar di punggung si Cepon. Tetes.
“Ah.. ayo, Ayolah,” Musgepuk mencoba mengubah seruannya dengan su
ara yang lebih santun dengan harapan si capon akan menurut. Namun kali ini
pun dia siasia. Kerbau itu tetap mengonggok tanpa gerak. Kepalanya
seperti terpaku mati pada leher. Seakan dia telah mendapat pelajaran
bahwa sedikit saja kepalanya bergerak berarti tali kaluh akan menggesek
luka pada sekat lubang hidungnya. Musgepuk bersungutsungut. Dan uring-
uringan.
Semangatnya rontok.
Aku, meskipun belum lama disunat, bisa mengerti perasaannya. Perasaan
seorang lakilaki kukuh yang kebanggaannya sedang terancam.
Kelebihannya sebagai pawang ternak sudah terkenal di seputar kampung.
Dan kebanggaannya itu akan rusak bila Musgepuk gagal mengatasi ulah si
Cepon. Dua hari yang lalu ketika datang atas panggilan ayah, Musgepuk mulai
menangani kerbau kami dengan tipu daya. Mulamula dibawanya sepikul
daun tebu ke dalam kandang.
Pada pintu kandang yang sengaja setengah terbuka dipasangnya tali
besar sebagai jerat. Musgepuk dengan jitu
berhasil membuktikan kepada kami bahwa dia lebih pintar dari si Cepon.
Kerbau kami terjerat. Dan meskipun pagar kandang berantakan, si Cepon gagal
membebaskan diri. Bahkan akhirnya dia jatuh terguling ketika
Musgepuk, dengan jerat yang kedua, berhasil membelenggu kaki
belakangnya.
Dalam keadaan terguling di tanah, kerbau kami tidak bisa berbuat banyak
. Apalagi kemudian Musgepuk juga mengikat kedua kaki depannya. Juga
sepasang tanduknya disatukan dengan kuat pada tonggak pemasung. Si capon
yang murka hanya bisa mendengusdengus. Matanya merah,
Musgepuk mutlak sudah menguasainya.
“Nah, lihatlah,” ujar Musgepuk sambil berdiri menghadap orangorang yang
menontonnya. “Aku seorang diri telah berhasil menangkap si Cepon dan
merebahkannya. Seorang diri!”
Para penonton, termasuk aku dan ayah, mengangguk bersama. Entahlah,
padahal aku sendiri tak mengerti mengapa aku ikut mengangguk. Setuju
atas cara Musgepuk melumpuhkan si Cepon! Tidak, rasanya memang tidak.
Boleh jadi kami terkesima karena kerbau kami yang perkasa telah
terkalahkan.
“Ya, Musgepuk,” kata ayah. “Tapi tugas sampean yang sebenarnya adalah
membuktikan bahwa si Cepon bisa diambil tenaganya untuk membajak.
Dan hal itu belum terlaksana.” “Oh, itu gampang. Gampang!
Sampean akan melihat nanti si Cepon yangbaru kujinakkan ini akan
menggarap sawah sampean dengan
gampang. Empat petak sawah sampean akan diselesaikannya dalam waktu
setengah hari. Percayalah!” Bertentangan dengan perasaanku, orangorang
kembali
menganggukangguk, membuat Musgepuk makin bergairah. Diinjaknya pantat si
Cepon karena kerbau kami itu membuat gerakangerakan meronta.
Masih dengan sebuah kakinya menginjak pantat si Cepon, Musgepuk mul
ai meraut serpih bambu yang sejak tadi dipegangnya. Serpih bambu itu terus
dirautnya hingga runcing seperti jarum besar lengkap dengan lubang di
pangkalnya. Seutas tali ijuk sebesar lidi dimasukkannya pada lubang jarum
bambu itu.
“Tunggu,” seru Ayah, “Jadi sampean hendak memasang kaluh?”
“Ya, kenapa?” “Tidak cukup dengan hanya tali kekang biasanya?”
“Memang, banyak kerbau yang bisa dikendalikan dengan tali kekang biasa.
Tetapi buat si Cepon terang tidak cukup,. Hidungnya harus dicucuk kaluh
. Ah, untuk urusan seekor kerbau, akulah yang lebih tahu. Kalau tidak
demikian, mengapa aku sampean undang kemari?” Kulihat Ayah
memaksakan dirinya untuk bungkam. Namun garisgaris samar pada
wajah Ayah bisa kubaca. Aku tidak suka melihat darah.
Memang ayahku tidak suka melihat darah. Sehingga Ayah selalu mencari
orang lain bila Emak menyuruhnya memotong ayam. Nah, tak lama lagi
kami akan melihat pekerjaan berdarah. Barangkali Ayah menyesal telah
menyerahkan si Cepon kepada Musgepuk. Entahlah.
Beberapa orang perempuan menunjukkan rasa ngeri melihat jarum besar
serta tali ijuk di tangan. Musgepuk, mereka menguncupkan bahu dan
menutup wajah dengan telapak tangan. Terdengar suarasuara mendesis pertanda
nista. Tetapi suara itu justru membuat Musgepuk makin bertingkah.
“Lha, lihat,” kata Mugepuk sambil mendekat ke arah seorang perempuan.
“Yang hendak kutusukkan ini bukan apaapa, melainkan sekadar bambu. Yang
hendak kutusuk juga bukan apaapa melainkan sekadar cingur
kerbau dungu. Dasar perempuan. Apa yang membuat kau merasa ngeri?”
Wajah perempuan itu berubah masam. Musgepuk tertawa lebar karena
merasa sayap katakatanya sampai kepada sasaran dengan telak. Dia
makin bergairah. Musgepuk kelihatan sadar betul bahwa dia berada pada
saat yang tepat, yang jarang terjadi, untuk lebih menonjolkan kelebihannya.
Dalam hal ini, kelebihan Musgepuk adalah kemampuannya
melipatgandakan rasa tega sambil menghapus bersih rasa iba. Dan kami
para penonton melihat dengan jelas bahwa Musgepuk sungguh menikmati
kesempatan itu.
Jadi, sementara semua orang menahan rasa karena akan melihat darah
mengucur dari hidung si Cepon, Musgepuk malah bermainmain, tepatnya
mempermainkan perasaan orang. Dia, dengan ulah seperti anak kecil
mendapat mainan, bersiap memasang kaluh. Sambil tertawa kecil, dan ini ku
kira dilakukannya buat menunjukkan kelebihannya dalam hal
menumpas rasa kasihan, Musgepuk menusukkan jarum bambunya pada
cingur si Cepon.
Hasil permainan Musgepuk segera terlihat. Darah mengucur membasahi
tangannya. Tubuh si Cepon meregang. Melenguhlenguh dan meronta siasia.
Ekornya mengibas memukulmemukul bumi. Telinganya berputar
sebagai balingbaling. Tetapi yang menjadikan perempuan memekik adalah
semburan kencing dari kubul si Cepon. Disusul dengan
gumpalangumpalan tinja yang terdorong keluar melalui duburnya.
Terbukti Musgepuk bersyaraf tangguh. Tangannya terus bekerja. Tak peduli
apa pun. Tidak juga air mata si Cepon yang kelihatan mengambang ketika
tali ijuk yang kasar menggesek luka yang masih segar. Bahkan Musgepuk
menarik tali yang menyangkut luka itu ke belakang buat mengukur
ketegangannya sebelum membuat simpul mati di antara kedua tanduk
kerbau kami.
Tak ada manusia yang merasa lebih puas daripada dia yang baru saja
berhasil menerangkan arti keberadaannya. Musgepuk telah membuktikan
dengan gerakan dirinya sebagai seorang pawang. Dia lebih perkasa
daripada si Cepon. Dia merasa bangga dengan kelebihannya.
Adalah si Cepon yang tergolek dan setengah mengapung di atas lumpur dua
hari kemudian. Atau, apakah yang mengonggok itu masih layak disebut
seekor kerbau bila dia nyaris kehilangan kepentingannya untuk bereaksi.
Dia membiarkan puluhan lalat merubung darah yang mengental di kedua lubang
hidungnya. Ekornya tidak lagi mengibas mengusir agas yang mengusik
belurbelur luka di kulit dan menaruh telur di sana. Seekor lintah berenang
dengan gerakan vertikal mendekat dan perlahanlahan melekatkan
dirinya pada kulit leher si Cepon. Langau pun mulai
berdatangan dengan satu tujuan; hinggap pada kulit kerbau kami dan
mengisap darahnya sepuas hati.
Aku dan Ayah berdiri agak jauh dari pematang. Kami melihat Musgepuk
menggelenggelengkan kepala. Sebelum melampiaskan keputusasaannya,
dia sekali lagi mengayunkan cambuk dan menyentak tali kekang. Si Cepon yang
hanya mengedipkan mata tepat ketika tali cambuk merapat di
kulitnya. Atau tepat ketika tali kekang menyentak ke belakang. Di bawah
matahari yang mulai panas, aku dan ayah menyaksikan
Musgepuk menjatuhkan pundak lalu pergi meninggalkan si Cepon tanpa
bicara sedikit pun. Aku menoleh pada ayah dan beliau hanya menganggukanggu
kan kepala. Boleh jadi ayah kecewa karena sawahnya gagal dibajak atau
karena si Cepon rubuh dan menyedihkan. Atau keduaduanya.
Manakah yang benar aku tak mengerti. Dan aku lebih tak mengerti lagi kata-
kata ayah yang kemudian diucapkannya. “Musgepuk jadi tak berdaya justru
setelah Cepon rubuh dan tak mau
melawannya. Dia Musgepuk telah kehilangan motivasi. Seorang pawang
baru mempunyai makna bila dia berdiri di belakang seekor kerbau yang
tetap tegar dan mau bekerja sama. Di hadapan mata kerbau yang hanya
bisa berkedipkedip. Musgepuk kehilangan arti dan nilainya. Dia bukan apaapa.”

Cerpen

Pengarang : A.A Navis


SARASWATI

Episode 1

Saraswati Si Gadis Dalam Sunyi

Sunyi adalah duniaku. Sunyi adalah nasibku. Sunyi dunia tanpa bunyi, tanpa
suara. Segala-galanya sunyi. Bagiku dunia terkembang sama seperti bagimu,
Saudaraku. Engkau kenal suka. Aku pun kenal. Engkau tahu pahit dan manis,
aku pun tahu. Engkau senang pada yang lembut, benci pada yang kasar, aku
pun begitu. Engkau riang pada yang terang, sepi pada yang gelap, aku pun
demikian. Tapi duniaku tidak semuanya sama dengan duniamu, Saudaraku.
Duniaku adalah sunyi. Engkau tidak akan tahu kenapa duniaku mesti sunyi,
Saudaraku. Aku juga tidak tahu. Semua orang mengatakan, itulah suratan
nasib. Kenapa hidup seperti ini dipilihkan nasib bagiku. Aku tidak tahu. Hanya
Tuhanlah yang tahu. Maka terkembanglah duniaku sendiri yang tak dapat kau
kenal, dunia tanpa bunyi dan suara. Karena aku tuli dan karenanya pula aku
bisu. Kalau aku bisa bercerita padamu sekarang, Saudaraku, adalah suatu
keajaiban yang dijalin oleh nasib. Setelah kau selesai membaca kisah ini nanti,
kau akan tahu betapa nasib itu telah menjalin semuanya dalam diriku. Aku
seorang gadis. Dari kecil telah begini dan aku tidak tahu kapan nasib begini
bermula. Aku punya dua orang kakak laki-laki. Dua orang adik, juga laki-laki.
Aku punya ayah dan ibu. Tapi mereka semua telah tiada lagi kini, Saudaraku.
Mereka telah meninggal oleh suatu penghadangan pasukan pemberontak
dalam perjalanan kembali dari Bandung. Mobilnya jatuh ke jurang dan
terbakar.
Dan aku tidak pernah lagi bertemu mereka semenjak itu. Peristiwa itu lama
kemudian aku ketahui secara jelas. Pada hari Sabtu sore, semua keluarga ke
Bandung menghadiri pesta perkawinan kerabat karib kami. Aku tidak dibawa
karena waktu itu aku sakit. Aku tinggal bersama Si Bibi di rumah. Minggu sore
mestinya mereka telah kembali. Karena besoknya, hari Senin, Ayah harus
masuk kantor, kakak dan adikku sudah harus ke sekolah. Tapi sampai pagi hari
Senin mereka tidak kembali. Terlambat kembali sehari dua bila kami ke
Bandung sebenarnya hal yang biasa. Tapi sekali ini, mereka tidak kembali
sampai hari Rabu. Ada perasaan ttidak enak menjalar dalam diriku. Namun aku
tidak menduga sama sekali bahwa semenjak itu aku telah kehilangan semua
yang aku cincai. Hari Kamis barulah aku diberitahu oleh keluarga kami, bahwa
semua yang aku sayangi tidak akan kembali. Aku tidak akan pernah bertemu
mereka lagi. Seorang paman dengan istrinya datang ke rumah. Pada wajah
mereka tergurat kisah duka. Mereka membawa aku duduk di sofa dengan
rangkulan mesra. Dalam hatiku, timbul rasa aneh oleh perlakuan Paman
demikian itu. Padahal selama ini, meski mereka baik padaku, amun tidak
pernah seramah itu. Seperti tiba-tiba Si Bibi enangis bagai orang kesurupan.
Duduk tegak dan menarik-narik rambutnya. Lalu istri Paman membawanya ke
ruang belakang. Ketika kembali lagi, dia duduk di sisiku. Paman lama tercenung
sebelum mulai menerangkan apa yang terjadi. Kemudian Paman menggerak-
gerakkan tangannya. Tapi aku tidak bisa memahami. Namun hatiku terasa
tidak enak. Paman seperti putus asa ketika tahu aku tidak paham pada gerakan
tangannya itu. Kemudian Paman mengambil potret di dinding. Potret kami
sekeluarga beberapa tahun yang lalu bersama sedan dinas yang baru saja Ayah
pakai. Ayah, dalam potret itu, menggendong adikku terkecil. Si Kecil menangis.
Tangannya menggapai Ibu. Ibu mencoba membujuknya seraya menunjuk ke
arah depan. Kakakku tertua duduk di spatbor sambil mengacungkan kedua
tangannya. Kakakku yang muda menjulurkan kepala dari jendela sedan dan
tangannya seperti melambai-lambai. Adikku tertua berpegang pada tangan
Ibu. Sedangkan aku berdiri di antara Ibu dan Ayah. Aku tersenyum melihat
adikku terkecil.
Paman menunjuk ke semua anggota keluarga dalam potret itu. Lalu
menggerakgerakkan tangannya lagi. Selanjutnya tangan itu ditaruhnya di kasur
sofa. Pelanpelan didorongnya ke depan sampai ke tepi sofa. Menyusuri
tepinya. Lalu tangan itu berputar-putar sampai ke lantai. Tergeletak di sana
dengan telapaknya menghadap ke atas. Mataku terpejam demi teringat pada
peristiwa sebuah oplet terjun masuk Ciliwung. Begitulah maksud Paman
dengan tangannya itu. Sedan ayahku jatuh, di mana semua orang yang aku
cintai berada di dalamnya. Tiba-tiba rasa takut, sedih dan tidak tahu pada
apapun yang akan aku alami, merasuki diriku. Aku pun menangis. Aku berbuat
sama dengan Si Bibi. Malah memukul-mukul dada. Menerjang-nerjangkan
kedua kakiku sembari duduk di lantai. Aku menjerit-jerit juga. Kemudian,
kemudian sekali secara tiba-tiba pula aku merasa bahwa sekarang aku telah
sebatang kara di dunia ini. Tidak tahu aku berapa lama aku menangis terisak-
isak. Tidak tahu aku berapa lama aku jatuh sakit. Album keluarga senantiasa
berada di pangkuanku bila sendirian di kamar. Aku membalik-balik
lembarannya untuk mengembalikan kenangan-kenanganku kepada mereka
yang telah pergi. Sepotong-sepotong peristiwa manis membayang lagi pada
anganku. Oh, alangkah indahnya semua kenangan itu. Aku ingat sikap Ayah
setiap pagi akan pergi ke kantor. Ayah bersisir rapi di depan kaca. Memasang
dasi pada lehernya. Sepatu Ayah selalu mengilap. Aku yang selalu
menyemirnya. Dengan senang hati aku melakukannya sebagai pernyataan
cintaku padanya. Sejak punya sedan dinas, Ayah berangkat ke kantor bersama
kakak-kakakku ke sekolah. Ayah senantiasa pulang kantor pada waktu yang
tetap. Aku ingat bagaimana cara Ayah masuk rumah. Dasi Ayah telah longgar
ikatannya. Rambut sedikit kusut. Tas dijinjing dengan tangan kiri. Setelah
menukar pakaian, Ayah ke kamar mandi untuk berwudhu. Ayah selalu
sembahyang dulu sebelum makan. Makan Ayah senantiasa banyak. Ayah
makan bersama Ibu. Saudara-saudaraku makan lebih dulu karena waktu
pulangnya lebih cepat. Akulah yang melayani Ayah. Kalau makan malam, kami
makan bersama. Pada waktu makan, Ayah tidak suka jika ada yang bicara. Ayah
akan menegur. Sehabis makan barulah Ayah berbicara tentang macam-macam
hal di meja makan. Aku tidak tahu apa yang dibicarakan. Bila sudah di rumah,
Ayah jarang keluar lagi. Kalau Ayah keluar, Ibu selalu diajak. Tapi setiap petang
Sabtu atau hari Minggu, bila cuaca baik, Ayah membawa kami keliling kota.
Ada kalanya ke luar kota. Setiap bepergian Ibu selalu siap dengan makanan.
Biasanya kami baru pulang ketika senja telah datang. Ayah mempunyai
kegemaran bertukang kayu atau melukis. Semua hiasan dinding rumah kami
tentulah lukisan Ayah. Ada beberapa lukisan lain. Yaitu lukisan yang
dihadiahkan oleh teman-teman Ayah. Perabot taman atau mainan ketika kami
kecil juga Ayah yang membuatnya. Ayah punya bengkel bertukang. Semua
kami dibiarkan menggunakan semua alat untuk membuat apa yang disukai.
Hanya sekali-sekali saja Ayah membantu. Ayah memang banyak memberi
kenangan indah kepadaku, Saudaraku. Sangat terasa sekali betapa indahnya
setelah Ayah telah tiada. Betapapun juga, Ayah tidak pernah menunjukkan
perhatian yang berlebihan terhadapku. Sama saja layanannya terhadap kami
semua. Meski kepadaku yang tuli dan bisu.

Pesan Moral
pada cerpen ini kita diajarkan
mencari Wanita yang Tangguh,yang
dapat menghadapi segala macam
cobaaan.(moral)
Anak Kebanggaan
A. A. Navis

Semua orang, tua-muda, besar-kecil, memanggilnya Ompi. Hatinya akan kecil bila
dipanggil lain. Dan semua orang tak hendak mengecilkan hati orang tua itu.

Di waktu mudanya Ompi menjadi klerk di kantor Residen. Maka sempatlah ia


mengumpulkan harta yang lumayang banyaknya. Semenjak istrinya meninggal dua belas
tahun berselang, perhatiannya tertumpah kepada anak tunggalnya, laki-laki. Mula-mula si
anak di namainya Edward. Tapi karena raja Inggris itu turun takhta karena perempuan,
ditukarnya nama Edward jadi Ismail. Sesuai dengan nama kerajaan mesir yang pertama.
Ketika tersiar pula kabar, bahwa ada seorang Ismail terhukum karena maling dan membunuh,
Ompi naik pitam. Nama anaknya seolah ikut tercemar. Dan ia merasa terhina. Dan pada suatu
hari yang terpilih menurut kepercayaan orang tua-tua, yakin ketika bulan sedang
mengambang naik, Ompi mengadakan kenduri. Maka jadilah Ismail menjadi Indra Budiman.
Namun si anak ketagihan dengan nama yang dicarinya sendiri, Eddy.

Ompi jadi jengkel. Tapi karena sayang sama anak, ia terima juga nama itu, asal di
tambah di belakangnya dengan Indra Budiman itu. Tak beralih lagi. Namun dalam hati Ompi
masih mengangankan suatu tambahan nama lagi di muka nama anaknya yang sekarang.
Calon dari nama tambahan itu banyak sekali. Dan salah satunya harus dicapai tanpa peduli
kekayaan akan punah. Tapi itu tak dapat dicapai dengan kenduri saja. Masa dan keadaanlah
yang menentukan. Ompi yakin, masa itu pasti akan datang. Dan ia menunggu dnegan hati
yang disabar-sabarkan. Pada suatu hari yang gilang gemilang, angan-angannya pasti menjadi
kenyataan. Dia yakin itu, bahwa Indra Budimannya akan mendapat nama tambahan dokter di
muka namanya sekarang. Atau salah satu titel yang mentereng lainnya. Ketika Ompi mulai
mengangankan nama tambahan itu, diambilnya kertas dan potlot. Di tulisnya nama anaknya,
dr. Indra Budiman. Dan Ompi merasa bahagia sekali. Ia yakinkan kepada para tetangganya
akan cita-citanya yang pasti tercapai itu.

"Ah, aku lebih merasa berduka cita lagi, karena belum sanggup menghindarkan
kemalangan ini. Coba kalau anakku, Indra Budiman, sudah jadi dokter, si mati ini akan pasti
dapat tertolong," katanya bila ada orang meninggal setelah lama menderita sakit.
Dan kalau Ompi melihat ada orang membuat rumah, lalu ia berkata, "Ah sayang.
Rumah-rumah orang kita masih kuno arsitekturnya. Coba kalau anakku, Indra Budiman,
sudah menjadi insinyur, pastilah ia akan membantu mereka membuat rumah yang lebih
indah."

Semenjak Indra Budiman berangkat ke Jakarta, Ompi bertambah yakin, bahwa setahun
demi setahun segala cita-citanya tercapai pasti. Dan benarlah. Ternyata setiap semester Indra
Budiman mengirim rapor sekolahnya dengan angka-angka yang baik sekali. Dan setiap tahun
ia naik kelas. Hanya dalam tempo dua tahun, Indra Budiman menamatkan pelajarannya di
SMA seraya mengantungi ijazah yang berangka baik.

Ketika Ompi membaca surat anaknya yang memberitakan kemajuannya itu, air mata
Ompi berlinang kegembiraan. "Ah, Anakku," katanya pada diri sendiri, "Aku bangga,
anakku. Baik engkau jadi dokter. Karena orang lebih banyak memerlukanmu. Dengan begitu
kau disegani orang. Oooo, perkara uang? Mengapa tiga ribu, lima ribu akan kukirim, Anakku.
Mengapa tidak?".

Dan semenjak itu Ompi kurang punya kesabaran oleh kelambatan jalan hari. Seperti
calon pengantin yang sedang menunggu hari perkawinan. Tapi semua orang tahu, bahkan
tidak menjadi rahasia lagi bahwa cita-cita Ompi hanyalah akan menjadi mimpi semata.
Namun orang harus bagaimana mengatakannya, kalau orang tua itu tak hendak percaya.
Malah ia memaki dan menuduh semua manusia iri hati akan kemajuan yang di capai
anaknya. Dan segera ia mengirim uang lebih banyak, tanpa memikirkan segala akibatnya.
Dan itu hanya semata untuk menantang omongan yang membusukkan nama baik anaknya.

"Sekarang kau diomongi orang-orang yang busuk mulut, Anakku. Tapi ayah mengerti,
kalau mereka memfitnahmu itu karena mereka iri pada hidupmu yang mentereng. Cepat-
cepatlah kau jadi dokter, biar kita sumpal mulut mereka yang jahat itu," tulisnya dalam
sepucuk surat.

Dan akhirnya orang jadi kasihan pada Ompi. Tak seorang pun lagi membicarakan Indra
Budiman padanya. Malah sebaliknya kini, semua orang seolah sepakat saja untuk memuji-
muji.

"Ooo, anak Ompi itu. Bukan main dia. Kalau tidak ke sekolah, tentu menghafal di
rumah," kata seseorang yang baru pulang dari Jakarta menjawab tanya Ompi. "Ke sekolah?
Kenapa ke sekolah dia?" Ompi merasa tersinggung. "Kalau studen tidak menghafal, tahu?
Tapi studi. Tidak ke sekolah. Tapi kuliah". "O, ya, ya, Ompi. Itulah yang kumaksud."
"Aku sudah kira Indra Budiman, anakku anak baik. Ia pasti berhasil. Aku bangga
sekali. Ah, kau datanglah ke rumahku makan siang. Aku potong ayam."

Dan oleh perantau pulang lainnya dikatakan kepada Ompi. "Siapa yang tak kenal dia.
Indra Budiman. Seluruh Jakarta kenal. Seluruh gadis mengharap cintanya."

Lalu Ompi geleng-geleng kepala dengan senyumnya. "Bukan main. Bukan main. Indra
Budiman anakku itu. Ia memang anak tampan. Perempuan mana yang tak tergila-gila
kepadanya. Ha ha ha. Ah, datanglah kau ke rumahku nanti. Ada oleh-oleh buatmu."

Kemudian kalau Ompi ketemu gadis cantik yang di kenalnya, ditegurnya: "Hai, kau
kenal anakku, studen dokter itu, bukan? Nanti kalau ia pulang, aku perkenalkan padamu. Biar
kau dipinangnya. Ha ha ha."

Si gadis tentu saja merah mukanya, karena merasa tersinggung. Tapi menurut Ompi,
muka merah itu karena malu tersipu. Dan ia jadi tambah gembira.

Akan tetapi ketika Ompi tahu aku bakal kawin, dia dapat ilham baru. Dia pun merasa
pula, bahwa Indra Budiman sudah patut di tunangkan. Dan pada sangkanya, tentu Indra
Budiman akan gembira dan bertambah rajin menuntut ilmu, sebagai imbangan budi baik
ayahnya yang tak pernah melupakan segala kebutuhan anaknya. Dan diharapkannya pula
kedatangan orang-orang meminang Indra Budimannya. Karena di kampung kami pihak
perempuanlah yang datang meminang. Sudah tentu harapan Ompi tinggal harapan saja. Tapi
Ompi tak mau mengerti. Sikap keangkuhannya mudah tersinggung. Dan bencinya bukan
kepalang kepada orang-orang tua yang mempunyai anak gadis cantik. Bahkan bukan
kepalang meradangnya Ompi, jika ia tahu orang-orang mengawinkan anak gadisnya yang
cantik tanpa mempedulikan Indra Budiman lebih dulu. Tak masuk akal, orang-orang tak
menginginkan anaknya, si calon dokter itu. Lama-lama rasa dendamnya pada mereka bagai
membara. "Awaslah nanti. Kalau Indra Budimanku sudah menjadi dokter, akan kuludahi
mukamu semua. Sombong."

Kepada Indra Budiman tak dikatakannya kemarahannya itu. Malah sebaliknya.


Dikatakannya, banyak sudah orang yang punya gadis cantik datang meminang. Tapi semua
telah ditolak. Karena menurut keyakinannya, Indra Budimannya lebih mementingkan studi
daripada perempuan. Apalagi seorang studen dokter tentu takkan mau dengan gadis
kampungan yang kolot lagi. "Pilihlah saja gadis di Jakarta, Anakku. Gadis yang sederajat
dengan titelmu kelak," penutup suratnya.
Celakanya Indra Budiman yang selama ini menyangka bahwa tak mungkin ia dimaui
oleh orang kampungnya, lantas jadi membalik pikirannya. Ia jadi sungguh percaya, bahwa
sudah banyak orang yang datang melamarnya. Tak teringat olehnya, bahwa bohongnya
kepada ayahnya selama ini sudah diketahui oleh orang kampungnya. Lupa ia bahwa semua
mata orang kampungnya yang tinggal di Jakarta selalu saja mempercermin hidupnya yang
bejat. Sejak itu berubahlah letak panggung sandiwara. Jika dulu si anak yang berbohong, si
ayah yang percaya, maka kini si ayah yang menipu, si anak yang percaya. Lalu si anak
mengharapkan kepada ayahnya supaya dikirimu foto-foto gadis yang dicalonkan.

Untuk membuktikan kebenaran suratnya, Ompi mengirimkan foto gadis yang kebetulan
ada padanya. Tidak peduli ia, apa foto itu gambar dari gadis yang sudah kawin atau
bertunangan. Bahkan juga tidak peduli ia apa gadis itu sudah meninggal. Ia kirim terus
dengan harapan semoga anaknya tidak berkenan. Dan alangkah gembiranya Ompi, andai kata
tidak ada sebuah pun dari foto-foto itu yang berkenan di hati anaknya. Disamping itu ia sadar
juga, bahwa kepalsuan sandiwaranya sudah tentu akan berakhir juga pada suatu masa.
Anaknya pasti lama-lama tahu dan dengan begitu akan timbul kesulitan lain yang tak mudah
di selesaikan.

Tapi rupanya Tuhan mengasihi ayah yang sayang kepada anaknya. Persis ketika Ompi
kehabisan foto para gadis itu, dengan tiba-tiba saja surat Indra Budiman tak datang lagi.
Antara rusuh dan lega, Ompi gelisah juga menanti surat dari anaknya. Layaknya macan lapar
yang terkurung menunggu orang memberikan daging. Pasai ia menunggu, dikiriminya surat.
Ditunggunya beberapa hari. Tapi tak datang balasan. Dikiriminya lagi. Ditunggunya. Juga tak
terbalas. Dikirim. Ditunggu. Selalu tak berbalas. Bulan datang, bulan pergi, Ompi tinggal
menunggu terus.

Pada suatu hari yang tak baik, di kala Ompi sudah mulai putus asa, datanglah Pak Pos
dengan di tangannya segenggam surat. Maka darah Ompi kencang berdebar. Gemetar karena
ia bahagia. Tetapi alangkah remuknya hati orang tua itu, karena ternyata pengantar surat itu
Cuma mengantarkan semua surat-suratnya yang dikembalikan. Ia tak percaya bahwa surat-
suratnya itu kembali. Ia seperti merasa bermimpi dan tubuhnya serasa seringan kapas yang
melayang di tiup angin. Dibalik-baliknya surat itu berulang kali. Lalu di bukanya dan
dibacanya satu persatu. Dan tahulah ia, bahwa semuanya memang surat untuk anaknya yang
ia kirimkan dulu. Tapi ia tak meyakininya dengan sungguh-sungguh. Malah ia coba
meyakinkan dirinya sendiri, bahwa ia sedang bermimpi. Dan berdoalah ia kepada Tuhan,
agar apa yang terjadi adalah memang mimpi.
Semenjak itu segalanya jadi tak baik. Ia jatuh sakit, bahkan sampai mengigau. Dan oleh
seleranya yang patah, Ompi bertambah menderita jua. Lahir dan batin. Kini dalam hidupnya
hanya satu hal yang dinantikannya. Yaitu surat. Surat dari anaknya, Indra Budimannya.
Seluruh hidupnya bagai jadi meredup seperti lampu kemersikan sumbu. Dan ia telentang di
ranjangnya, enggan bergerak. Tapi matanya selalu lebar terbuka memandang langit-langit
kelambu. Mata itu kian hari semakin jadi besar tampaknya oleh badannya yang kian
mengurus. Tapi mata yang lebar itu tiada cemerlang. Redup.

Akan tetapi setiap sore, diantara jam empat dan jam lima, Ompi kelihatan seperti orang
sakit yang bakal sembuh. Dan ia sanggup berdiri dan melangkah ke pintu depan. Dan cahaya
matanya kembali bersinar-sinar. Karena pada jam itu biasanya Pak Pos biasanya
mengantarkan surat-surat ke alamatnya masing-masing. Tapi saat-saat seperti itu, yang
membiarkan masa bahagia dan harapan, adalah juga masa yang menambah dalam luka
hatinya, hingga lebih meroyak. Sebab selamanya Pak Pos itu tak mampir lagi membawakan
surat dari Indra Budiman. Dan kalau Pak Pos itu telah lewat tanpa singgah, reduplah lagi
mata Ompi.

Namun kemalangan itu bertambah lagi. Yaitu ketika Ompi jatuh terduduk. Lama orang
baru tahu dan memapahnya ke ranjangnya di kamar. Ompi jadi lumpuh dan habislah sejarah
Ompi menanti di ambang pintu setiap sore. Ia kini menanti dengan telentang di ranjangnya.
Sebuah kaca disuruhnya supaya di pasang pada dinding yang dapat memberi pantulan ke
ambang pintu depan, sehingga ia akan serta-merta dapat melihat Pak Pos mengantarkan surat
Indra Budiman. Dan semenjak itu, pada setiap jam empat hingga jam lima sore, matanya
akan menatap ke kaca itu. Hanya di waktu itu saja. Sedangkan di waktu lain Ompi seolah tak
peduli pada segalanya.

Kami tak pernah lagi memanggil dokter setelah tiga kali ia datang. Karena kedatangan
dokter hanya akan memperdalam luka hatinya saja. Kehadiran dokter itu menimbulkan risau
hatinya karena ingat pada Indra Budiman yang bakal jadi dokter, tapi tak pernah lagi
mengiriminya surat. Kedatangan seorang dokter di pandangnya sebagai suatu sindiran, bahwa
anaknya masih juga belum berhasil menjadikan cita-citanya tercapai.
Ketika terakhir aku menemui dokter yang sudah enggan datang, dokter hanya
menggelengkan kepala saja. "Aku tak mampu mengobatinya lagi. Carilah dokter lain saja.
Atau bawa ia ke rumah sakit. Kalau semua tak mungkin, jangan tinggalkan dia sendirian. Bila
perlu, meski dengan resiko besar, bangunkanlah kembali mahligai angan-angannya."
Semenjak itu, berganti-ganti orang aku menyediakan diriku selalu dekat Ompi. Aku
sadar, bahwa tiada harapan lagi buatnya hidup lebih lama. Itulah sebabnya tak kusampaikan
kepadanya bahwa hari perkawinanku sudah berlangsung. Karena aku takut berita itu akan
menambah dalam penderitaannya. Di samping itu secara samar-samar aku elus terus
harapannya yang indah bila Indra Budiman kembali. Kukarang cerita masa lalu dan angan-
angan masa depan yang menyenangkan. Kuceritakan dengan hati yang kecut.

Aku pun tahu, tidak ada gunanya semua. Hanya satu yang dikehendakinya. Surat dari
Indra Budiman. Surat yang mengatakan bahwa ia sudah lulus dan telah mendapat titel
dokterya. Kadang-kadang terniat olehku hendak menulis sendiri surat itu. Tapi aku
selamanya bimbang, malahan takut, kalau-kalau permainan itu akan berakibat yang lebih
fatal. Maka tak pernah aku coba menulisnya.

Pada suatu hari terjadilah apa yang kuduga bakal terjadi. Tapi tak kuharapkan
berlangsungnya. Kulihat Pak Pos memasuki halaman rumah Ompi. Hari waktu itu jam
sebelas siang. Aku tahu itu pastilah bukan surat yang dibawanya. Melainkan sepucuk
telegram. Dan pada telegram itu pastilah bertengger saat-saat kritis sekali. Tergesa-gesa aku
menyongsong Pak Pos itu ke ambang pintu. Maksudku hendak membuka telegram itu untuk
mengetahui isinya lebih dulu. Dan jika perlu akan kuubah isinya. Agar terelakkan saat-saat
yang menyeramkan.

Akan tetapi semua kejadian datang dengan serba tiba-tiba. Hingga gagallah recanaku.
Tak sempat aku membuka surat itu. Karena di luar segala dugaanku, Ompi yang sudah
lumpuh selama ini, telah berada saja di belakangku. Sesaat ketika aku menerima dan
menandatangani resi telegram itu. Gemetar kaki Ompi mendukung tubuhnya yang kisut.
Tangannya berpegang pada sandaran kursi. Dan aku kehilangan kepercayaan pada pandangan
mataku sendiri. Kekuatan apakah yang menyebabkan Ompi bisa berdiri dan bahkan berjalan
itu. Aku tak tahu.

"Bukalah. Bacakan segera isinya." Ompi berkata seperti ia memerintah orang-orang di


waktu mudanya dulu.
Aku sobek sampul yang kuning muda itu dengan tangan yang menggigil. Sekilas saja
tahulah aku, bahwa saat yang paling kritis sudah sampai di puncaknya. Indra Budiman
dikabarkan sudah meninggal.

"Telegram dari anakku? Apa katanya? Pulanglah dia membawa titel dokternya?" Ompi
bertanya dengan suara yang mendesis tapi terburu-buru berdesakan keluar. Tak tahulah aku,
apa yang harus kukatakan. Dan kuharapkan sebuah keajaiban yang diberikan Tuhan untuk
membebaskan aku dari siksa ini. Tapi keajaiban tidak juga datang. Aku mengangguk. Sedang
dalam hatiku berteriak, terjadilah apa yang akan terjadi.

Ompi terduduk di kursi. Matanya cemerlang memandang. Tangannya diulurkannya


kepadaku meminta telegram itu. Aku merasa ngeri memberikannya. Tapi aku tak bisa berbuat
lain. Telegram itu kusodorkan ke tangannya. Telegram itu digenggamnya erat. Lalu
didekapkan ke dadanya. "Datang juga apa yang kunantikan," katanya. Sepi begitu menekan,
sehingga aku dapat mendengar denyut jantungku sendiri.

"Ah, tidak. Aku takkan membaca telegram ini. Aku takut kegembiraanku akan
meledakkan hatiku. Kaubacakan buatku. Bacakan pelan-pelan. Biar sepatah demi sepatah
bisa menjalari segala saraf sarafku," kata Ompi dengan terputus-putus.

Dalam kegugupan kususun sebuah taruhan jiwa dan sesalam bagi selama hidupku.
Akan kukarang kisah yang menyenangkan hatinya. Tapi telegram itu tak diberikannya
padaku. Masih terletak pada dekapan dadanya. Sedangkan bibirnya membariskan senyum,
serta matanya menyinarkan cahaya yang cemerlang.

"Tak usah dibacakan. Takkan sanggup aku mendengarnya. Aku akan mati lemas oleh
kebahagiaan yang datang bergulung ini. Aku mau sehat. Mau kuat dulu. Sehingga ledakan
kegembiraan ini tak membunuhku. Panggilkan dokter. Panggilkan. Biar aku jadi segar bugar
pada waktu anakku, Dokter Indra Budiman, datang. Pergilah. Panggilkan dokter," kata Ompi
dengan gembira.

Dan telegram itu dibawa ke bibirnya. Diciumnya dengan mesra. Lama diciumnya
seraya matanya memicing. Selama tangannya sampai terkulai dan matanya terbuka setelah
kehilangan cahaya. Dan telegram itu jatuh dan terkapar di pangkuannya.

Pesan moral yang terkandung dalam cerpen “Anak Kebanggaan” karya A.A. Navis,
yaitu:
1. Janganlah menjadi orang yang sombong.
2. Jangan menjadi orang yang suka berbohong.
3. Jadilah orang yang baik dan suka menolong.
4. Jangan suka membuat orang tua kita khawatir.
5. Jadilah orang yang bisa membuat bangga orang tua.

6. Jangan menggunakan sesuatu yang baik untuk melakukan hal-hal yang tidak baik.
BOLA LAMPU
Oleh: Asrul Sani

Beberapa waktu yang lalu seorang sahabat menceritakan cerita sebagai


berikut kepada saya:

Pernah sekali saya memperoleh penyakit cinta lampu dan cinta matahari.
Cinta matahari ini tidak berapa lama, hanya seminggu, yaitu sewaktu saya
masih bekerja antara pukul 8 pagi sampai pukul 5 sore. Kalau pukul 1
memperoleh waktu beristirahat seperti untuk makan tengah hari, terlebih
dahulu saya memandang mengap-mengap ke langit seperti ikan di daratan,
baru saya pergi makan. Penyakit cinta ini demikian mendalamnya, sehingga
sesudah seminggu saya tidak tahan lagi, lalu minta berhenti. Sekarang saya
mengeluh kepanasan kalau berjalan dalam cahaya matahari. Lagi pula ia
tidak memberi akibat apa-apa kepada saya.

Penyakit cinta lampu saya lebih berat: Dan saya tidak menyangka-nyangka
bahwa ia akan berkesudahan dengan kecewa, geram, malu. Begini jalannya.

Saya tinggal pada suatu keluarga orang baik-baik yang bercita-cita masuk
surga dan yang suka menolong orang supaya mendapat balasan jasa.
Karena baiknya mereka ini, maka saya telah dianggap anggota keluarga —
moga-moga Tuhan merahmati mereka dengan jalan memberi mereka
rumah yang lebih besar, lebih banyak kursi dan meja, tempat tidur, dan
sebagainya. Nah, karena saya telah masuk anggota keluarga, sudah tentu
saja harus ikut sakit senang.
Sekali datang seorang anak muda hendak membayar makan. Ini adalah
suatu celaka buat saya. Karena anak muda ini — ia perlente — memerlukan
lampu untuk melancung dan untuk tidur (ia tidak memerlukan lampu
antara pukul 6 dan pukul 12 malam). Akibatnya ialah lampu yang ada dalam
kamar saya harus diperkecil, diperkecil lagi, hingga jadinya terlalu amat
kecil. Sudah itu timbul pula semacam kemauan yang tidak tertahan-tahan:
hendak membaca, hendak menulis, hendak mengarang, pendeknya hendak
segala-galanya, asal saja untuk itu diperlukan lampu yang terang. Nah, sejak
itulah saya mendapat penyakit cinta lampu. Ada-ada saja.

Waktu itu, kalau saya melihat lampu terang, terus timbul rasa sentimentil,
agak-agak rindu dendam dalam hati saya. Kepada orang saya tanyakan,
kalau-kalau mereka ada yang mempunyai lampu yang terang di rumah.
Kalau dijawab ada, saya terus iri hati. Inilah orang yang paling berbahagia.
Saya maklum apa sebabnya orang-orang yang tinggal di Jalan Madura
misalnya berbahagia besar kelihatannya. Semata-mata karena mempunyai
lampu yang terang, paling kurang 60 lilin. Filsafat hidup saya berputar
sekeliling lampu. Lampu mengenakkan makan, menyehatkan otak, dan
barangkali juga memperenak tidur.

Dalam pada itu saya berkenalan dengan seorang gadis yang baik, yang
cantik, dan yang menurut sahabat saya tidak begitu "dingin". Perkenalan ini
baik jalannya, sehingga saya berjanji akan datang sekalisekali ke rumahnya.

Rumahnya baik, lampunya besar hingga saya katakana kepadanya bahwa


saya iri hati benar melihat kebahagiaannya. Lalu ia bertanya mengapa
begitu benar. Saya katakan bahwa saya tidak mempunyai lampu sebesar
punya mereka. Ayahnya berkata: "Datang-datanglah kemari kalau begitu. Di
sini lampu terang."

Sesudah itu saya datang sekali seminggu. Gadis itu makin lama makin cantik
kelihatannya, makin banyak aksi, makin "panas".Saya makin kerap kali
datang, sampai tiap malam. Setiap datang saya membawa buku untuk
dibaca — sampai sekarang belum juga tamat. Akhimya saya rasa bahwa
saya datang ke rumah itu bukan karena melihat lampu terang. Saya datang
karena dia ada di situ. Tetapi meskipun begitu, setiap, saya datang saya
berkata: "Ah, alangkah senangnya hati jika mempunyai lampu seterang itu."

Ia tersenyum mendengar perkataan saya. Apa maksudnya, entahlah.


Penyakit saya tidak hilang. Dahulu saya berpenyakit "cinta lampu".
Sekarang nama penyakit saya cinta "bola lampu".

Suatu kali saya mendapat kiriman dari gadis sahabat saya itu.
Bungkusannya besar dan bagus dan di sampingnya ada lagi sepucuk surat
bersampul biru. Waktu bungkusan itu saya buka, saya temui di dalamnya
bola lampu 60 lilin. Hilang akal saya melihat bola lampu itu, Apa
maksudnya?

Dalam suratnya tertulis, "Sahabat senang benar hati saya, dapat mengirim
engkau bola lampu ini".

Sekarang saya tahu maksudnya. Mereka di sana telah bosan melihat


tampang saya yang datang setiap malam. Sekarang dikirimkannya bola
lampu, supaya saya jangan lagi "rindu lampu". Sebetulnya kalimat itu harus
berbunyi,

"Sahabat ..senang benar hati saya dapat mengirim engkau bola lampu ini,
sehingga engkau. tidak punya alasan lagi untuk menyatakan senang hati
melihat lampu dan mulai saat ini tidak usah lagi engkau datang-datang".
Nah, ini dia. Celaka tiga belas telah datang.

Semenjak itu tidak pernah lagi saya datang ke rumah gadis itu. Kamarsaya
tetap gelap. Bola yang 60 lilin itu juga tidak saya pasang, karena jumlah watt
untuk menghidupkannya tidak cukup.

Demikianlah, karena tak ada lampu, saya beroleh penyakit cinta lampu. Lalu
saya beroleh kiriman bola lampu. Karena kiriman ini saya kehilangan "bola
lampu" yang lain, yang menurut pikiran saya tidak akan kurang dari 200 lilin
cahayanya. Dalam cahaya yang besar ini rasanya akan dapat saya
mengarang sebuah cerita yang 300 halaman tebalnya.***

pesan moral
jangan mudah putus asa dengan apa yang
terjadi pada kehidupan kita jadikanlah suatu
kekalahan sebagai awal mula dari
kemenangan dan uang bukanlah
penghalang dari pendidikan.

Bab VI
Prosa Baru Karangan Mahasiswa Reguler E

1.Bersahabat Itu Menyenangkan


Karya : Amelia Br Barus

Pagi itu hujan turun dengan deras. Stella merasa bingung bagaimana untuk berangkat ke
sekolah. Ketika sedang memandang hujan, terdengar suara HP berdering dari kamar Stella,
lantas saja Stella masuk ke kamar dan menjawab telepon.Ternyata yang menghubungi Stella
adalah Lia sahabatnya. Dalam teleponnya Lia mengatakan bahwa ia akan menjemput Stella,
sebab Lia tahu jika Stella sedang kebingungan bagaimana untuk pergi ke sekolah.
Tak selang berapa lama, Lia sudah sampai di depan rumah Stella bersama ayahnya
menggunakan mobil.Stella pun bergegas berpamitan pada orang tuannya dan keluar untuk
menemui Lia.
Setelah sampai di sekolah, yang merupakan teman sebangku tersebut pun masuk
menuju kelasnya. Istirahat pun tiba, keduanya pergi ke kantin untuk menghilangkan rasa
lapar. Ketika hendak membayar ternyata Lia lupa membawa dompet. Sehingga Stella sang
sahabat membayarkannya.Mereka pun makan dikantin bersama sambil bersenda gurau.
Jam pelajaran pun telah usai mereka pulang kerumah masing masing,namun
sesampainya dirumah. Stella merasa sangat hancur melihat para warga yang berbondong-
bodong berdiri dirumahnya. Hal yang dikhawatirkannya terjadi,ayahnya kembali kerumah
tapi bukan dalam keadaan sehat. Ayah Stella sudah sakit dan dirawat dirumah sakit selama
kurang dari enam tahun dan pada akhirnya ayahnya pulang ke Yang Maha Kuasa.
Lia datang ke rumah Stella dan langsung memeluknya erat saat menyaksikan
sahabatnya itu terduduk lemas di samping jenazah Ayahnya. Lia berjanji akan selalu berada
disisi Stella sampai kapanpun.

PESAN MORAL :

Jangan pernah melupakan kebaikan orang lain yang sudah banyak berkorban untuk kita, dan
jangan meninggalkan orang yang berharga bagi kita.

2. Mimpi Seorang Anak Petani

2. Mimpi Seorang Anak Petani


(Karya Atikah Supiyah Ansoriyah)
Amar, seorang anak petani yang masih duduk di bangku SMP selalu penasaran dengan
kehidupan di kota. Setiap pagi sebelum berangkat ke sekolah, Amar selalu berjalan di jalan
raya yang biasa dilewati oleh motor dan mobil milik orang kota yang melewati desanya untuk
menempuh perjalanan.
“Sepertinya enak jadi anak kota. Bisa diantar jemput orang tua pakai kendaraan mewah,”
ucap Amar dalam hati. Amar memang selalu ingin menjadi anak orang kota agar bisa
menikmati betapa mudahnya hidup dengan kemudahan teknologi di kota. Sayangnya, ia
hanya bisa berkhayal.
Lahir sebagai anak seorang petani sering membuat Amar tidak berpuas hati, namun ia tak
pernah menyalahkan atau meminta banyak hal kepada kedua orang tuanya. Amar hanya bisa
berusaha dan terus belajar agar kelak ia bisa hidup di kota besar. Sampai akhirnya, Amar
lulus SMA, ia mulai merangkai mimpi demi mimpinya.
Amar dinyatakan sebagai lulusan terbaik di sekolahnya. Ia mendapat penawaran dari sekolah
untuk masuk ke universitas negeri di salah satu kota dekat dengan desanya. Tentu saja Amar
sangat senang dan menyampaikan keberhasilannya kepada kedua orang tuanya. Kedua orang
tua Amar yang seorang petani ikut senang dan bangga.
Sayangnya di tengah kebahagiaan yang Amar rasakan, ayahnya jatuh sakit. Ayahnya ditabrak
oleh mobil mewah ketika akan berangkat ke desa. Padahal hari itu adalah hari pendaftaran
universitas yang merupakan hari bersejarah bagi Amar. Amar dengan sangat sedih harus
mengantar ayahnya ke rumah sakit karena kondisinya sangat parah.
Awalnya, Amar diantar dengan mobil yang menabrak ayahnya ke salah satu rumah sakit di
kota. Amar tak punya pikiran apa-apa saat itu, meski itu baru pertama kalinya Amar
menginjakkan kaki di kota. Ia hanya fokus pada kesehatan sang ayah. Betapa kagetnya Amar
ketika mengetahui penabrak ayahnya orang yang punya jabatan tinggi di rumah sakit tempat
sang ayah diobati.
Hari demi hari dilalui Amar di ruang rawat inap rumah sakit untuk menemani sang ayah. Ia
merasakan tidur di kamar cukup baik di rumah sakit tersebut. Sayangnya, ia merasa tak
nyaman karena ia harus tidur dengan kondisi ayahnya yang mengkhawatirkan. Beberapa
minggu setelahnya, sang ayah baru dinyatakan sembuh.
Karena penabrak adalah orang yang baik, ia mengantarkan kembali ayah dan Amar sampai
rumah dengan selamat dan memberinya bantuan sebagai tanda permintaan maaf. Selama
perjalanan, Amar ditanyai mengenai kehidupan sehari-hari dan Amar menceritakan
kegagalannya masuk universitas terbaik karena kejadiannya pas dengan kecelakaan sang
ayah.
Kaget, bahagia, sekaligus terharu, orang yang menabrak sang ayah menawari Amar untuk
bekerja di rumah sakit yang ia kelola. Amar akhirnya dapat mencapai mimpinya hidup
sebagai orang kota meski harus melalui musibah yang tak terduga. Orang tua Amar
menyambut niat baik dari penabraknya dan merestui Amar bekerja di rumah sakit kota itu.

Pesan Moral :

kerjalah mimpimu setinggi mungkin jangan dengerkan apa kata orang, percaya diri lah, tetap
semangat menempuh cita-cita.

3. Dua Sahabat
Karya:Artha Silalahi
Di sebuah sekolah terdapat banyak siswa yang sedang belajar. Tidak terkecuali Kevin, dia
merupakan seorang anak yang bersekolah di sekolah tersebut. O iya, dia itu kelas 3 SMP dan
sedang fokus menghadapi ujian nasional.
Kevin merupakan anak yang pintar dan mampu menyelesaikan masalah dengan cepat. Tidak
heran dia selalu mendapat ranking 1 di kelas. Dia juga mempunyai teman sebangku yang
sangat baik namanya Udin. Udin memang tidak sepintar Kevin tetapi dia merupakan anak
yang sangat bertanggung jawab dan juga merupakan anak yang paling berisik di kelas.
Tiba-tiba bel pun berbunyi itu berarti menandakan siswa-siswi di sekolah untuk pulang ke
rumahnya masing-masing (bukan pulang ke kandangnya masing-masing, hehe).
Kevin dan Udin selalu pulang ke rumah bersama-sama karena rumah mereka berdekatan.
Sewaktu berjalan untuk pulang, tiba-tiba saja mereka dicegat oleh seorang preman yang
lumayan besar badannya. Preman itu lalu meminta uang kepada Kevin dan Udin yang sedang
asyik ngobrol tentang ujian nasional. Preman itu lalu berkata “Woi mana duit lu atau gua
bunuh lu (sambil menunjukkan pisau yang baru ia keluarkan)”.
“Emang siapa lu seenaknya minta duit ke kita, kalo berani jangan pake pisau, dasar banci”
ujar Udin.
“Mending kita kabur daripada kita cari masalah sama orang ini” bisik Kevin kepada Udin.
Preman itu lalu memasukkan pisaunya kembali ke dalam kantong celananya dan berkata
“Untuk lawan dua bocah kayak kalian cukup pake satu tangan”.
Udin langsung melempar batu yang ada di dekatnya dan ternyata batu itu tepat mengenai
kepala si preman tersebut sehingga kepalanya bocor.
Preman tersebut yang sedang terluka langsung ditonjok oleh Udin sehingga preman itu pun
pingsan.
“Hebat kamu din, belajar darimana cara nonjok kayak gitu”. “Nanti gua ajarin vin soalnya
gua biasa latihan karate setiap minggu jadi bisa kayak gitu”.
Mereka pun pulang sambil bercerita satu sama lain. Sementara itu preman yang tadi pingsan
dilihat oleh temannya. Preman itu pun mengatakan kepada temannya bahwa dia diserang oleh
dua anak SMP. Lalu teman si preman itu langsung memanggil anak buahnya dan langsung
menyuruh anak buahnya supaya besok untuk menangkap dua anak SMP yang telah
menyerang temannya.
Keesokan harinya seperti biasa Kevin dan Udin pergi ke sekolah untuk belajar intensif
menghadapi ujian nasional. Tidak terasa waktu begitu cepat berlalu, jam pelajaran pun telah
selesai. Kevin dan Udin lalu pulang bersama-sama seperti biasa. “Din kita sebaiknya jangan
pulang melalui jalan yang sama, soalnya nanti preman kemarin datang lagi”.
“Ya elah vin, lu masih aja takut sama preman, kalo ada preman lagi nanti gua yang hajar”.
“Terserah apa kata kamulah din, pokoknya nanti kalo ada preman itu salah kamu”.
Mereka pun tetap melalui jalan yang sama untuk pulang ke rumahnya masing-masing. Tiba-
tiba mereka dicegat oleh sekumpulan preman yang telah menunggu mereka.
Kevin dan Udin pun langsung kabur melarikan diri. Mereka lari sekencang-kencangnya
seperti kijang yang dikejar singa.
Mereka lalu mengumpat di sebuah warung. “Tuh kan bener din kataku pasti mereka ada
lagi”.
“Ya deh maaf vin, gua juga gak nyangka mereka ada lagi disitu”.
Mereka lalu menelpon polisi supaya mereka tidak diganggu lagi oleh preman-preman
tersebut. Polisi pun lalu langsung menangkap preman-preman tersebut sehingga Kevin dan
Udin merasa senang.
“Kalo besok-besok ada preman lagi nanti gua abisin tenang aja vin, soalnya nanti gua kalo
udah besar mau jadi polisi”.
“Baguslah din kalo kamu mau jadi polisi daripada jadi preman, betul kan din?”.
“Betul vin oleh karena itu kita itu harus melindungi orang yang sedang dalam kesusahan,
karena tujuan hidup itu adalah untuk menjadi orang yang bermanfaat bagi orang lain”.

Pesan Moral :

Dalam pertemanan mari lah kita saling mendukung satu sama lain apapun keadaan nya
4. BERMAIN DI HUTAN LARANGAN
Karya : Christin

Rintik hujan di sore hari mengiringi suara gelak tawa lima orang pemuda yang sedang
berbagi cerita disebuah rumah ditepi pedesaan itu. Mereka bernama Asep, Dadang, Didi, Pur,
dan Agus. Mereka duduk bersama seraya mendiskusikan tentang rencana apa yang akan
mereka lakukan di libur sekolah kali ini..
Agus berpendapat , ” bagaimana jika kita pergi ke kolam renang ?”. Semua menjawab
“Tidak, itu hal yang membosankan”.
”Bagimana jika kita pergi ke cafe saja?”, timpal Asep. Mereka menatap tajam mata Asep,
secara bersamaan menjawab , “Tidak ada uang ”.
Lalu Pur mengeluarkan pendapat yang sedikit berbeda, “ Bagaimana jika kita pergi ke hutan
larangan ?” .
“ Tidak, tidak. Dari namanya saja kita sudah tau, itu adalah hutan yang sangat dilarang untuk
didatangi. Jawab Agus spontan.
“ Hahaha penakut sekali kau, Gus. Ayo kita buktikan bahwa dihutan itu tidak ada apa-apa.
Dan kita akan dianggap hebat oleh orang lain”, kata Asep, Dadang, Didi, dan Pur,.
Pada akhirnya Agus terpaksa ikut karena kalah suara. Agus terlihat sangat pasrah.
Keesokan harinya mereka mempersiapkan semua yang mereka butuhkan untuk berkemah di
hutan itu. Mereka membawa senter, tenda, korek api, mie instan, dan cemilan yang banyak.
Sepertinya mereka akan berkemah dalam waktu yang cukup lama.
Sudah sangat banyak warga yang menasehati mereka untuk tidak pergi ke hutan Larangan itu,
karna hutan yang akan mereka kunjungi itu sudah banyak merenggut nyawa, seperti tetangga
Agus yang sebulan lalu menghilang 40 hari dan temukan wafat di hutan itu, mereka pun
seolah acuh dengan itu dan seperti meremehkan semuanya.
Akhirnya mereka pun berangkat dengan gembira, kecuali Agus yang takut.
Selama perjalanan tidak ada yang aneh atau mencurigakan, semua berjalan lancar.
Tak butuh waktu lama, mereka tiba di hutan Larangan itu. Mereka menelusuri hutan itu
terlebih dahulu untuk mencari tempat yang nyaman untuk mendirikan tenda, dan
memutuskan mendirikan tenda di tempat yang lapang, di tepi sungai. Kemudian mereka
memutuskan untuk bermain air sungai di dekat tenda mereka.
Tak terasa waktu sudah siang, mereka lapar dan merasa lelah setelah main air.
Mereka membagi tugas, Agus dan Pur mencari kayu bakar. Didi membuat api. Asep, Dadang
bertugas untuk memasak.
Ditengah hutan, saat Agus dan Pur mencari kayu bakar mereka merasa seperti ada yang
mengikuti dari belakang. Agus merasa sangat takut, namun Pur selalu meyakinkan Agus
kalau itu adalah hewan liar. Dengan sedikit ragu, Agus mencoba mempercayai kata-kata
temannya,Pur.
Ditempat berbeda, saat Didi , Asep, dan Dadang menunggu kayu bakar , Didi merasa seperti
ada yang melempar kerikil ke arahnya, dan Asep mencium bau yang sangat busuk, tapi
Dadang tidak merasakan apapun dan merasa bahwa teman-temannya tersebut hanya
bergurau.
Tidak lama Agus dan Pur datang, dengan segera mereka menyalakan api dan mulai memasak.
Setelah selesai, merekapun memutuskan untuk tidur.
Tak terasa, waktu sudah menunujukkan pukul 17.00 sore. Mereka semua mandi di
sungai, Ditengah asiknya mandi sungai,Asep dan Agus melihat sosok perempuan berbaju
putih duduk di batu sungai dan rambutnya panjang, Asep dan Agus spontan meloncat dan
keluar dari sungai tersebut. . Melihat tingkah Agus dan Asep, Didi, Pur dan Dadang merasa
heran dan segera menyusul teman-temannya itu.
“ Mengapa kalian seperti sangat ketakutan? Apakah kalian melihat sesuatu yang aneh ? “
Tanya Didi sedikit menginstropeksi.
“ Aku melihat wanita berbaju putih, namun anehnya dia tidak memiliki wajah. Wajahnya
rata, sungguh menyeramkan. Hampir saja aku ingin teriak” Jawab Asep seraya menahan
tangis. Sementara Agus hanya diam dan diam-diam mengusap sesuatu yang jatuh dari
pelupuk matanya, Agus menangis.
Hari sudah larut dan keadaan sangat sunyi, di tambah cerita seram dari masing-masing orang,
menambah suasana semakin mencekam. Mereka memutuskan untuk tidur cepat di malam
itu .

Pesan Moral :

Disetiap daerah pasti ada pamali atau larangan yang dibuat oleh orang orang didaerah tersebut.
Sebaiknya kita mengikuti dan menaatinya untuk menghindarkan kita dari hal hal yang tidak
diinginkan.
5. Kerikil Menuju Mimpi
Karya: Dara Aisyah

Hari itu terasa mendung sendu, padahal matahari seperti ingin mengeluarkan semua
energinya. Sabrina, gadis yang lahir 17 tahun lalu di Medan, Sumatra Utara tengah duduk
muram menikmati hari yang terik namun terasa sendu itu.
"Tidak, kamu tidak boleh kuliah di sana!. Seperti tidak ada kampus di sini saja, kamu tahu itu
hanya buang-buang uang ?!."
Kalimat menohok sang ayah yang terus berputar di pikiran Sabrina seperti kaset rusak.
Impiannya untuk masuk jurusan kedokteran di Universitas Gadjah Mada (UGM) seperti
nyaris tinggal cerita tak terjadi. Keinginan yang telah lama bertengger pada wish list (daftar
harapan), sepertinya akan dicoret dan tidak akan menulisnya kembali pada poin selanjutnya.
Dialog pada dirinya sendiri terus berlangsung sejak pernyataan sang ayah terucap kemarin
malam. Sabrina menyalahkan dirinya sendiri, namun juga bersikeras agar mimpinya dapat
terwujud.
Ibu adalah satu-satunya sosok yang ada di samping Sabrina, mendukungnya sejak
mengatakan mimpinya ini, hingga sang Ayah mengatakan kalimat itu pun, Ibu terus memberi
dukungan dan semangat pada Sabrina.

"Setiap mimpi yang diinginkan, pasti akan ada kerikil bahkan batu besar yang
menghalanginya. Ini adalah salah satu cara Tuhan untuk melihat keseriusanmu dalam
mencapai mimpimu itu, Tuhan ingin melihat kamu berjuang, nak."

Perkataan Ibu yang juga terus berputar di pikiran Sabrina, berharap ini akan membantu setiap
langkahnya menuju mimpi. Akhirnya, Sabrina bertekad untuk tetap melanjutkan mimpinya
menjadi mahasiswi kedokteran UGM. Ia belajar bersungguh-sungguh untuk persiapan
SBMPTN, sembari mencoba untuk mendapatkan beasiswa untuk masuk ke Universitas
Negeri. Semangat Sabrina sangat membuncah, ia ingin membuktikan pada Ayahnya bahwa,
apabila dirinya masuk ke Universitas tersebut, ia bisa membiayainya sendiri tanpa
membebani siapa pun.
Namun, saat mendaftar SBMPTN, Sabrina tidak hanya mendaftar pada UGM, namun juga
Universitas yang berada di Medan, yaitu Universitas Sumatra Utara (USU) jurusan Psikologi,
ini sebagai bentuk menghargai sang Ayah. Bagaimana pun, beliau tetaplah orang tuanya, dan
pasti ada alasan yang melatar belakangi dirinya melarang Sabrina untuk berkuliah di UGM.
Hari pengumuman pun tiba, perasaan yang campur aduk dirasakan Sabrina. Takut, penasaran,
dan bahagia hadir bersamaan di detik-detik pengumuman SBMPTN. Sabrina menunggu hasil
pengumuman di depan laptop sambil didampingi sang Ibu.
Sabrina tercengang, terkejut, bahagia, dan tidak menyangka. Hal yang sama pun dirasakan
sang Ibu. Ibu pun memeluk Sabrina sebagai bentuk ucapan selamat dan rasa bangga terhadap
anak semata wayangnya ini.
Sang Ayah yang mendengar kehisterisan istri dan anaknya itu pun bertanya, “Ada apa?”.
Sabrina sedikit takut untuk mengatakannya, namun Ibu menyentuh pundaknya, seperti
memberikannya kekuatan. Ia pun mengatakan tentang hasil pengumuman hari ini, sekaligus
memberi tahu bahwa dirinya juga mendapatkan beasiswa, sehingga orang tuanya tidak perlu
mengkhawatirkan biaya perkuliahan.
Awalnya Ayah ingin marah, karena ternyata Sabrina tetap mendaftarkan dirinya di UGM,
tapi melihat gurat kebahagiaan yang sangat terpancar di wajahnya, membuat Ayah luluh dan
memeluk sang putri sebagai ucapan selamatnya.
Kini, Sabrina sadar dan mengerti bahwa Tuhan memberi cobaan berupa kerikil bahkan batu
besar untuk menguji setiap hal yang ingin kita capai, sesuai apa yang dikatakan Ibunya.
Jangan pernah takut bermimpi, karena mimpi tidak akan datang sendiri.

Pesan Moral :

Jangan takut untuk bermimpi, walau mimpi itu terlihat mustahil. Bermimpilah setinggi
langit, karena jika jatuh, maka kau akan jatuh di atas bintang-bintang. Mimpi tidak akan
datang dengan sendirinya, tapi kita lah yang harus menjemput mimpi itu.

6. PERSAHABATAN
Cipt .Depiska Tritanti
Dulu saya mempunyai sahabat yang begitu baik ke pada saya yaitu namanya cinta kami
bersahabatan sudah 5 Tahun, lamanya mulai dari tk sampai smp kami selalu kemana-mana dan selalu
semangati satu sama lain setiap pergi ke mana-mana selalu sama sering tidur bersama, namun
semenjak SMA kami berpisah karena dia pendidikan di Luar kota dan kami pun sangat sedih karena
harus berpisah satu sama lain,dan kami pun berbuat janji satu sama lain kalok kami harus sukse sama-
sama,setelah mau masuk Kuliah kami ketemu di Medan namun beda Universitas kami sangat bahagia
akhirnya bertemu dengan sahabat lama.kami habis kan waktu berdua untuk mengingat masa-masa
kecil kami yang selalu nagis kalok tidak di belikan mainan dengan orang tua kami. Kami sangat
bahagia di saat itu , dia bercerita tentang masa SMA nya di medan dia bercertita kalok masa-masa
SMA itu sangat tidak enak karena dia tidak punya teman seperti sayang yang selalu ngertiin dia yang
selalu buat dia tersenyum.
Namun saya berkata kamu sabar ya gimana mau suskse kalok kita selalu sedih gini... kita
harus semangat sekarang kan kita di medan Kita bakalan sering jumpa,Lalu dia menjawab kamu lah
salah satu nya saya bisa bertahan di sana karena kamu saya kuat di masa-masa ini.

Pesan Moral :

Kita sebagai manusia harus lah menerima pa ada nya karena setiap manusia mempunyai
kekurangan dan kelebihan.namun jika kamu memiliki kekurangan jangan berkecil hati karena
dimata yang mahakuasa kamu lah sangat berakti dari pada semuanya
7. KISAH BERSAMA PRIS MISTERIUS

Cipt.Eka Pransiska Pardede

Pada suatu pagi, seorang gadis berjalan menyusuri setiap ruangan kelas.
Nampaknya nya nya ah masih sepi dan tidak ada siswa-siswi yang tampak di lapangan sekolah.
Dengan langkah kecil gadis itu memberanikan diri menuju ruangan kelas nya. Saat berada di depan
pintu kelas, si gadis terkejut melihat sosok wanita yang duduk di bangku depan papan tulis. Setelah
melihat wajahnya ternyata itu adalah teman sebangkunya. Saat jam pelajaran akan dimulai, mereka
mempersiapkan segala hal yang akan digunakan saat pembelajaran.

Setelah jam istirahat berbunyi, si gadis dan temannya pergi menuju kantin. Saat tiba di kantin,
mereka langsung memesan 2 gelas minuman dingin karena cuaca sangat panas. Saat keduanya
menikmati minumannya, tiba-tiba seorang pria berseragam seperti mereka menghampiri meja gadis
tersebut. Sontak garis tersebut canggung akan kehadiran pria tersebut. Lalu si gadis dan temannya
meninggalkan meja itu dan kembali ke ruangan kelas.

Saat jam pulang sekolah berbunyi, sigadis dan temannya keluar menuju gerbang sekolah. Tidak
sampai di gerbang sekolah, rupanya pria misterius yang ada di kantin itu telah menunggu si gadis di
parkiran sekolah. Hingga si gadis pun tercengang melihat tingkah pria misterius tersebut. Siapakah
pria misterius itu?

PESAN MORAL.

Berjuanglah demi menggapai hal yang kamu impikan

8. KESENDIRIAN

Cipt. Fatiah Radianti

Air mata memang tidak bisa dihitung seberapa banyak, tetapi dari rasa sakit dihatilah
kalian bisa merasakan sebesar apa rasa sakitnya. Itulah yang kini tengah terjadi pada seorang
gadis cantik bermata hazel berwarna cokelat.
Bahagia? Bagi Daisy kata itu hanya ilusi semata. Ada, tapi tidak bermakna baginya. Dari
mulai dirinya sadar akan kehidupan, sampai dirinya menelan berbagai macam rasa
kehidupan. Mungkin bagi orang lain kebahagiaan memiliki banyak makna, tetapi tidak bagi
gadis cantik bernama Daisy Callista.
Disinilah dia berada, di sebuah pemakaman yang tak begitu luas dan tampak sepi. Dia
menatap gumpalan tanah yang kini membentuk sebuah kuburan dengan nisan bertuliskan
Aquila Anatasya. Walaupun tak melihat wujudnya, namun dapat dirasakannya sosok
perempuan itu memperhatikannya dari kejauhan. Entah itu dari bawah pohon besar yang
berjarak sekitar 5 meter darinya, atau mungkin dari atas langit yang selalu dikaguminya.
“Assalamu’alaikum sya.” Dia berbisik.
“ Kamu apa kabar, udah bahagia disana ya, udah gak ngerasain sakit lagi pastinya kan
sya”
“ Aku datang lagi sya, aku capek sama tuntutan hidup yang harus aku jalani, semenjak
kamu hadir di hidup dan menjadi sahabat aku, aku ngerasa dunia aku sedikit berwarna, dan
sekarang kamu pergi tinggali aku untuk selama-lamanya, rasanya dunia aku hancur sya, gak
ada lagi orang yang bisa buat aku bahagia kecuali kamu, aku benar-benar sendiri sekarang.”
Walau hanya gumaman, kali ini air matanya tak kuat lagi ia bendung, dan tak ada kata-
kata lagi yang terucap dari bibirnya, kecuali tertegun menyikapi sikapnya sendiri.
Kalian bertanya dimana keluarga Daisy? Lima tahun yang lalu kecelakaan menimpa
kedua orang tuanya dan ia menjadi sebatang kara karena peristiwa itu, orang tua nya juga
pergi meninggalkannya untuk selama-lamanya. Saat orang tua menjadi orang pertama yang
siap mendengar berbagai macam keluh dan kesah. Daisy hanya akan memendam segalanya
sendiri.
Tidak untuk 3 tahun belakangan ini. Dalam 3 tahun ini ia dihadirkan sesosok gadis
berbadan mungil, dan memiliki senyuman yang hangat. Sosok yang membuat seorang Daisy
menjadi lebih ceria setelah kehilangan orang tua nya. Tetapi tidak lama sosok itu juga pergi
meninggalkannya, bukan untuk meninggalkan dalam waktu satu hari, satu minggu, satu
bulan, bahkan satu tahun, tetapi ia benar-benar pergi dari hidup Daisy untuk selama-lamanya
bertemu dengan sang pencipta. Dia yang saat itu menarik daisy dari lubang hitam bernama
kesepian. Dia yang menjadi alasan untuk Daisy tetap tersenyum. Dia yang selalu mengatakan
bahwa semua akan baik-baik aja. Tetapi kenapa? Kenapa Tuhan seperti enggan untuk
membuatnya berapas lebih lama?
Dikeheningan pemakaman, hati itu merintih penuh kesakitan. Menjerit pilu dengan takdir
yang menurutnya selalu tragis. Seakan semesta tahu apa yang dirasakannya saat ini, hujan
mengguyur bumi dikala ia tengah bersedih. Saat hujan mengguyur, ia ikut bergabung disana.
Menyatukan air mata dengan air hujan agar samar dan tak terlihat bahwa dirinya sedang
menangis.
Dia menghapus air mata nya dan beranjak bangun dari duduknya, sebelum ia benar-benar
pergi dari tempat itu ia bergumam
“ Bahagia disana ya Aquila Anastasya, aku janji aku akan menjalani hidup lebih baik lagi
dan berusaha buat selalu bersyukur seperti apa yang kamu bilang dahulu.”
“ Meski rasanya seluruh galaksi telah hancur dihadapanku. Seluruh udara disekitarku
direnggut paksa hingga terasa menyesakkan. Tapi bagaimanapun nyatanya dunia ini akan
tetap berjalan layak biasanya bagi semua orang, tak peduli bila duniaku hancur seperti
apapun. Waktu tak akan berhenti disitu.”
PESAN MORAL

Seberat apapun masalah dalam kehidupan tetap harus selalu bersyukur apapun
keadannya karena dunia ini akan terus tetap berjalan. Tidak ada yang benar-benar
mengerti keadaan kita kecuali diri kita sendiri.

9. SAHABAT BERTUJUH

Cipt. Futi Hamdiyah

Aku Virda, aku beruntung mempunyai sahabat yang selalu ada untukku, kami melewati
suka duka bersama. Suatu ketika aku dan sahabatku bertengkar karena masalah yang
kuanggap sepele, semua itu baru kusadari bahwa sahabatku sangat penting bagiku. Suatu hari
aku pergi ke mall bersama sahabatku, aku menyuruhnya membawa belanjaanku, dan ternyata
belanjaanku yang dibawanya tertinggal. Saat itu juga aku marahi dia dengan perkataan yang
kasar karena keegoisanku. “Vir, tolong pegang belajaan ku ini ya, soalnya berat banget”
Kataku. “Iya sini aku bantu bawa belanjaannya, takut kamu keberatan” Katanya. “Siap, kamu
memang sahabatku yang paling pengertian” Jawabku.

“Haha iyalah sesama sahabat memang seharusnya saling membantu” Jawabnya sambil
tersenyum. Sembari berpelukan.

“Kamu lapar ngga?” Tanyanya

“Lapar si, mulai keruyukan nih perut” Jawabku.

“Makan yuk! sekarang aku yang traktir, aku juga lapar” Sambil menatapku dengan lemas.

“Hmm ya sudah ayoo” Jawabku.

Lalu sampailah kami di warung seberang mall.

“Kamu mau pesan apa vir?” Tanyanya.

“Aku ngikut kamu deh” Jawabku.

“Hmm oke deh” Jawabnya.

Beberapa menit kemudian kami selesai makan dan mulai berkendara untuk pulang.
“Eh.. kayaknya ada yang ketinggalan deh, tapi apa ya?” Tanyanya dengan muka yang heran.
“Hmm apa ya?” Aku membantu berpikir.

“Oh iya belanjaanku mana? Celetukku. “Ya ampun.. oh iya aku lupa, ketinggalan di warung
tempat kita makan tadi” Jawabnya dengan rasa bersalah “Apa? Ketinggalan? Yang bener aja,
kita kan udah jauh dari warung tempat kita makan tadi” Jawabku dengan kesal. “Duh, maaf
banget ya vir, aku benar-benar lupa” Jawabnya dengan berkeringat. “Apa? minta maaf? kamu
pikir dengan minta maaf bisa membuat barangku kembali dan masalah selesai? Enggak kan?
Seenaknya aja kamu minta maaf” Jawabku dengan kesal, lalu tanpa basa basi aku pergi
meninggalkannya. Keesokan hari, dia datang membawa belanjaanku dan meminta maaf
karena kejadian kemarin, tetapi aku tetap menghiraukan nya. Maka setelah beberapa lama
lama, aku sadar bahwa hal yang aku lakukan adalah sebuah kesalahan, dan aku tersadar
betapa egoisnya diriku. Akupun meminta maaf.

PESAN MORAL:

Jangan menjadi orang yang egois terhadap orang lain. Belajarla memaafkan dan
menghargai upaya atau usaha orang lain yang sudah membantu kita dengan setulus
hatinya.

10. DUNNIA KEDUAKU

Cipt. Hanna Alorra Sianturi

“ Bangun… ”

“ Terima kasih, Cikgu. ”

“ Sama-sama. Jangan lupa siapkan tugasan

yang Cikgu baru berikan tu, ” pinta Cikgu

Halimah.
“ Baik Cikgu, ” balas rakan-rakanku sambil

menguntum senyuman dan diiringi dengan

ketawa kecil.

Barangkali sudah tidak sabar untuk pulang ke rumah ataupun

melencong ke tempat lain setelah penat memerah otak di sekolah.

Kadang-kadang aku ingin menjadi seperti mereka. Hidup mereka

dipenuhi dengan keriangan. Hari esok amat dinantikan mereka.

Alangkah bahagianya jika aku mampu menjadi seperti mereka. Kalau

aku dapat keluar dari situasi ini, akulah manusia yang paling bahagia.

Rasanya semua ini tidak akan berlaku. Mungkin apa yang pernah aku

lalui selama ini terlalu perit ataupun aku yang takut untuk menghadapi

kenyataan hidup ini. Adakah aku ini terlalu keterlaluan dalam

memikirkan tentang kehidupan yang belum pasti ini?

Apa yang pernah berlaku dalam hidupku ini masih tidak dapat

dilupakan. Adakah aku seorang yang pendendam ataupun aku terlalu

belajar daripada kesilapan? Terlalu berat untuk aku menghadapinya

lagi. Apatah lagi untuk melupakannya. Apa yang telah tersurat untukku,

aku terima seadanya, andai itu bisa mengubati hati ini. Kadang- kadang

aku merasakan terlalu letih untuk meneruskan kehidupan ini. Aku

hanya berserah kepada-Mu Ya Allah Ya Tuhanku…andai inilah

ketentuan-Mu.
“ Haaa…! ” Aku terus tersentak dari lamunan. Jantung ini aku rasakan bagai

nak tercabut dek sergahan daripada sahabat baikku itu.

“ Kau ni Ana, terkejut aku dibuatnya. Nasib baik aku tak ada sakit jantung.

Kalau tak dah lama aku kena heart attack. ” Aku mengurut dadaku yang berdegup

kencang ini.

“ Macam nak tercabut jantung aku ni, teruk la kau. ”

“ Alaa…salah kau jugak. Siapa suruh kau berangan sampai tak ingat aku kat

sebelah ni. Lain kali ajak la aku sama kalau nak berangan. Haa…haa… ” Tempelak Ana.

“ Kau ingatkan buah hati ye. Hah, kawan aku ni dah ada pakwe la ni. Sampai

hati kau tak bagitau aku…huhuhu, ” ejek Ana dengan penuh minat.

“ Engkau ni Ana, tak habis-habis nak menyakat aku. Siapa la nak kat aku ni.

Lain la kau tu, pakwe keliling pinggang. Aku tak berminat la pakwe-pakwe ni. Buang

karan aje. Tak ada maknanya, ” aku mencebikkan bibir kepada sahabat baikku itu.

“ Biasalahkan. Orang cantik la katakan. Mestilah pakwe ramai, ” balas Ana

selamba. “ Tak ada peminat konon. Habis tu mamat yang sorang tu bukan peminat kau?

Atuk kau ke? ”

Ha…ha…ha! Kelas yang sunyi seketika tadi terus menjadi bising dengan gelak

tawa kami. Hanya tinggal kami berdua sahaja di dalam kelas ketika ini. Rakan-rakan

yang lain semuanya sudah pulang.

“ Ke situ pulak engkau ni. Sudahlah…malas aku nak layan kau. Makin dilayan

makin menjadi. ” Aku terus mengambil beg dan melangkah meninggalkan sahabatku itu.

Malas aku nak melayan cerita dongeng sahabatku itu. Bukan boleh dilayan, makin

dilayan makin panjang pula ceritanya. Mungkin boleh dibuat novel barangkali. Aku

ketawa sendiri di dalam hati.


“ Alaa…janganlah marah adik manis. Aku gurau je la. Tunggulah aku sama,

Tina.”

Aku mencebikkan bibirku ke arahnya. Itulah Suhana Suhaimi. Sahabat baikku

yang sentiasa menemaniku ke mana sahaja aku pergi. Dialah satu-satunya sahabat yang

sangat memahamiku. Kami bagaikan isi dengan kuku. Barangkali kami punya kisah

hidup yang hampir sama, pernah dilukai oleh insan yang disayangi. Kami menangis dan

ketawa bersama.

“ Nak solat dulu ke? Or…nak makan? ”

“ Kita makan dulu la ek. Perut aku dah berkeroncong ni. And then…baru kita

pergi solat. Apa-apa pun kita pergi library dulu, letak beg. ” Jelas aku.

“ Okey, aku ikut je. Jomlah, dah lambat ni. ”

Kami terus mempercepat langkah menuju ke perpustakaan. Langit kelihatan

cerah sekali dengan awan-awan yang berarak memecah kilauan panas mentari.

Barangkali mahu melindungi bumi ini daripada terkena pancaran terik matahari. Aku
PESAN MORAL
menguntum senyuman
Lakukan sekarang kecil.
juga,jangan Inilah duniaku.
suka menunda nunda. LebihDunia ciptaan
baik dilakukan dariTuhan yang Maha Agung.
pada hanya
menyusun rencana saja
Setiap hari selepas sekolah aku habiskan waktuku di perpustakaan sehingga petang. Ana

adalah sahabat yang setia menemani aku dan buku-buku di perpustakaan itu. Dan aku

adalah penunggu setia…

11. MENGUKIR PELANGI DINEGARA RANGSANG

Cipt. Hotmauli Sri Yulina Pandiangan

Suasana pagi nan indah, semilir angin yang berhembus dari arah laut, menyeberangi bebatuan pantai yang
berbaris dengan rapi di mulut pantai. Tak tertinggal, burung-burung berterbangan di sekitaran semenanjung pantai
sembari bersiul mesra menyambut indahnya pagi. Dan dari ufuk timur, surya kembali terbit, dengan senyumannya
yang sumbringah dan memberikan semangat baru kepada anak-anak di Pulau Rangsang dan juga masyarakat yang
ada di Pulau tersebut.

Sementara itu, ada sebuah Sekolah Menengah Pertama yang berdiri dengan bangunannya yang sederhana di
sekitaran rumah penduduk. Walau tampak sederhana, dan sangat tidak layak pakai, namun hal ini tidak pernah
mengurungkan niat para anak-anak di Pulau Rangsang untuk dapat bersekolah. Mereka tetap semangat, untuk
mencapai masa depan. Hal ini dikarenakan, adanya Ibu Aisyah, yang mana merupakan guru mereka satu-satunya di
Sekolah ini.

“Assalamualaikum Anak-anak,” dengan wajahnya yang ramah, Ibu Aisyah menyapa mereka dengan ramah dan
santu “Waalaikumsalam Bu,” jawab mereka semua dengan lantang dan semangatnya.

“Alhamdulillah, kita bisa bertemu lagi seperti biasanya pada pagi hari ini, bagaimana, apakah kalian semua telah
paham dengan pelajaran matematika yang Ibu berikan semalam?” ibu Aisyah mencoba bertanya.

Tampak semuanya diam tanpa kata. Ibu Aisyah mengerti, keterbatasan teknologi, dan ilmu pengetahuanlah yang
terkadang membuat anak-anak di Pulau Rangsang ketertinggalan dengan kemajuan zaman yang telah mengarah ke
arah modern seperti sekarang ini. Namun apa daya, bagaimanapun juga, tugasnya sebagai seorang guru, haruslah
berupaya untuk menjadikan anak didiknya bisa mendapatkan pendidikan yang layak, dan pada intinya, suatu hari
nanti, dapat bersaing dengan anak-anak yang berada di Kota.

“Hem, baiklah Ibu tahu, mungkin Ibu akan mengajarkan kalian sekali lagi, agar tetap paham,”
“Bu?” tiba-tiba saja, salah satu seorang muridnya berdiri dan menghampiri Ibu Aisyah.
“Iya, Harri, ada apa?” Ibu Aisyah mencoba menghampirinya.
“Apakah benar, jika Ibu akan meninggalkan kami? dan kembali ke kota?”

Sungguh tidak pernah dibayangkan, Harri salah satu muridnya yang juga merupakan murid terpintar di kelas, telah
mengetahui surat edaran dari Dinas Pendidikan yang telah menyuruhnya untuk meninggalkan Pulau Rangsang, dan
berpindah ke Kota. “Ah, tidak Harri. Bagaimanapun, Ibu akan berusaha, agar kalian semua menjadi pintar.

Ibu telah berniat, Ibu akan tetap di sini, sampai kalian sukses semua. Ibu percaya, kalian semua bisa bersaing
dengan anak-anak yang di kota. Apalagi, bapak Kepala Desa, sudah meyakinkan kepada Ibu, untuk mendidik
kalian di sini,” Ibu Aisyah mencoba meyakinkan murid-muridnya.

“Ibu Aisyah, jujur, kami semua sangat senang sekali, ketika kami tahu, Ibu mau mengajar dan memberikan ilmu
bagi kami anak-anak Pulau Rangsang. Karena, Ibu kan tahu, jika kami ingin melanjutkan ke SMP, kami harus
menyeberang dulu ke Pulau Merbau, dan itu sangatlah jauh, orangtua kami tidak akan pernah mengizinkan,
dikarenakan biayanya yang cukup mahal. Tapi, semenjak ada Ibu di sini, kami jadi bisa merasakan melanjutkan
sekolah kembali, ya walaupun di dalam ruang kelas yang sederhana ini, kami sudah senang kok,” Kemudian, Ibu
Aisyah tersenyum kepada Harri, dan juga kepada murid-muridnya, “Anak-anak, Ibu janji, Ibu akan mencoba
menghubungi teman-teman Ibu yang berada di kota, insya Allah mereka pasti akan mau membantu kita untuk
merenovasi sekolah kita, dan kita harus buktikan, jika sekolah kita juga bisa bersaing dengan Sekolah Menengah
Pertama lainnya yang ada di kota, kalian mengerti?” kata Ibu Aisyah sembari memberikan semangat kepada murid-
muridnya.

Di siang harinya, tepatnya jam 13.00 WIB, Berjalanlah ibu Aisyah, menyusuri jalanan setapak yang tersusun dari
tumpukan-tumpukan papan kecil untuk menuju ke rumahnya. “Memang, sungguh miris keadaan Pulau ini. Pulau
yang indah, namun tidak semuanya mengetahuinya. Pulau yang sangat jauh dari keramaian dan hiruk-pikuk kota.
Andaikan semua orang tahu, jika masyarakat dan anak-anak yang berada di Pulau Rangsang ini, juga memiliki
kemampuan yang sama dengan anak-anak yang ada di kota. Anak-anak Pulau Rangsang juga pintar, aku yakin,
suatu hari, Pulau Rangsang dan anak-anak yang ada di sini, pasti akan berubah menjadi lebih maju,” kata Ibu
Aisyah di dalam hatinya. Sesampai di rumah, tiba-tiba saja handphone-nya berdering, dan ternyata setelah dilihat,
adalah telepon dari sahabatnya Jaka.

“Hai, Jaka, Assalamualaikum?” Ibu Aisyah mencoba menyapanya dengan ramah.


“Waalaikumsalam, Syah, kamu di mana? aku di Pulau Rangsang sekarang, aku sudah berada di depan SMP tempat
kamu mengajar,”
“Kamu serius? baiklah, aku akan menemui kamu sekarang,”
Setibanya di depan SMP Rangsang, “Jaka, kamu apa kabar?”
“Aku baik Syah. Syah, kamu serius ngajar di tempat ini? Syah, kamu kan tahu, semua orang juga tahu, kamu itu
lulusan terbaik ketika kuliah, kenapa sih kamu mau mengajar di tempat seperti ini? kenapa kamu tidak mengajar di
kota saja denganku?”

“Jaka, bagiku, di manapun aku mengajar, itu adalah yang terbaik bagiku. Aku sudah nyaman di sini.
Masyarakatnya yang sangat ramah dan terbuka menerimaku. Belum lagi, semangat belajar anak-anak di Pulau
Rangsang ini sangat kuat Jak, kemudian juga aku sudah berjanji pada diriku, aku tidak akan pergi dari Pulau ini,
sampai pada saatnya, anak-anak di Pulau Rangsang ini bisa sukses mengejar cita-cita mereka,”
“Aku bangga mempunyai sahabat seperti kamu Syah. Aku tahu, cita-cita kamu sangatlah mulia, kamu memang
guru yang sejati. Oh, ya jika kamu memperbolehkan, aku punya jalan untuk mempermudah cita-cita kamu,”
“Oh ya? apakah itu Jak?”

Kemudian, Jaka memberikan sebuah undangan berupa Olimpiade Sains yang akan digelar di Kabupaten Meranti,
tapatnya berada di Ibu Kota Selat Panjang, “Jak, makasih ya, kamu sudah mau jauh-jauh datang ke mari hanya
untuk memberikan undangan Olimpiade ini, semoga aja, kami dapat memenangkannya, dan kemudian murid–
muridku dapat lebih mengenal dunia luar dan tidak ketertinggalan lagi seperti sekarang ini,” tampak ibu Aisyah
sangat senang dan lebih bersemangat. “Assalamualaikum Ibu Aisyah,” terlihat keempat sekawan yang juga
merupakan murid kebanggaan ibu Aisyah di sekolah menghampiri ibu Aisyah dan Jaka. Mereka adalah Latif,
Harri, Sofwan, dan Nur.

“Waalaikum salam. Kebetulan kalian semua di sini, ke mari Nak, ini ada undangan Olimpiade Sains buat kita,
kalian mau membacanya?” kemudian ibu Aisyah memberikan undangan tersebut kepada keempat muridnya.
“Kalian semua sepertinya tampak pintar, saya harap kalian ikut ya di Olimpiade Sains ini?” Jaka menyapa mereka
dengan ramah pula.
“Terima kasih ya Pak, untuk undangannya buat kami. Semoga, kami menang di dalam Olimpiade Sains ini, dengan
begitu, kami bisa membanggakan untuk Ibu Aisyah, dan nantinya, semua orang bisa tahu keberadaan sekolah kami
ini, khususnya keberadaan Pulau Rangsang,” jawab Nur dengan semangat pula.

Satu minggu kemudian, tepatnya hari Selasa, 13 Maret 2016,“Bu Aisyah, gak menyangka ya, besok adalah
keberangkatan kami untuk mengikuti Olimpiade Sains di Kabupaten,” kata Sofwan sembari tersenyum lebar.
“Iya. Dengan demikian, hari ini, kita harus tingkatkan pengetahuan kalian berempat ya, agar kalian nantinya bisa
lanjut ke Olimpiade Sains tingkat Provinsi, hingga sampai Mancanegara, kalian mau kan?”

“Wah, Bu Aisyah, jangankan sampai mancanegara, kami di sini bisa pergi ke kota saja, sudah kebanggaan luar
biasa untuk kami Bu,” kata Nur dengan senyumnya yang manis.
“Dan, insya Allah impian kalian akan terwujud, percayalah,” ibu Aisyah kembali memberi semangat.
“Tapi Bu, bagaimana dengan biaya kami untuk pergi ke kota? dan pasti anak-anak yang di kota lebih pintar
daripada kami,”

Ibu Aisyah begitu terkejut, ketika mendengar pernyataan yang begitu menyayat hatinya, ya, mengenai biaya untuk
pergi ke kota. Sungguh pernyataan Harri, begitu membingungkan untuknya, “Kalian tenang saja, yang terpenting
tugas kalian saat ini adalah belajar dan kembali belajar untuk lomba Olimpiade Sains besok pagi. Kalian pasti bisa.
Urusan biaya, biar itu adalah tugas Ibu sebagai guru kalian, mengerti?” kemudian ibu Aisyah memeluk keempat
muridnya.

Di bawah pohon rindang, Harri, Sofwan, Nur dan Latif mencoba berdiskusi mengenai keberangkatan mereka besok
pagi.
“Kita tidak boleh diam saja, kita harus membantu Ibu Aisyah mencari biaya untuk kita pergi besok ke kota?” Latif
memulai pembicaraan. “Iya kamu benar, bagaimana, jika kita sekarang pergi ke pantai untuk menjaring ikan,
kemudian kita jual ke pengepul ikan?” Nur memberikan usul.
“Kami akan membantu kalian,” tiba-tiba saja tampak terlihat teman-teman mereka yang juga merupakan murid dari
ibu Aisyah ikut serta membantu mereka berempat mengumpulkan uang.

“Kami ingin, keempat teman kami, pergi dan meraih juara di Kota. Dengan begitu, suatu hari Pulau Rangsang,
akan mencapai kemajuan dan banyak dikenal oleh orang-orang yang berada di luar sana. Pokoknya kita harus
buktikan jika kita ini mampu, maka dari itu, kami ingin membantu kalian,”
“Terima kasih semuanya, pokoknya kami janji, aku, Nur, Latif, dan Sofwan akan berjuang memenangkan lomba
Olimpiade ini,” Harri begitu menyambut dengan gembira bantuan dari temannya Haikal. Kemudian beramai-
ramailah mereka semua menuju ke pantai untuk mencari ikan dan menjualnya ke pengepul.

Sementara di Kantor Kepala Desa, tampak ibu Aisyah mencoba berdiskusi kepada Pak Yunus, untuk
membicarakan biaya transportasi ke Kota. “Maaf Bu Aisyah, untuk sekarang ini, khas Desa Rangsang, sangatlah
defisit, jadi tidak bisa diberikan untuk keberangkatan mereka berempat ke Kota,” Ibu Asiyah kembali membujuk.
“Tapi Pak, saya janji, mereka berempat pasti akan mendapatkan juara dan akan membanggakan Desa Rangsang
tentunya, percayalah Pak, anak-anak di Pulau Rangsang inilah, yang suatu hari akan memajukan Pulau Rangsang
ke arah yang lebih maju,”

“Maaf Bu, tetap saja tidak bisa. Dan, saya mohon janganlah membawa anak-anak di Pulau Rangsang terlalu
berangan-angan tinggi. Sungguh mustahil, jika mereka dapat bersaing dengan anak-anak yang di Kota,” Entah
mengapa, pernyataan dari Pak Yunus, sangat begitu menyayat hati Bu Aisyah, tanpa berpikir panjang, ibu Aisyah
pamit dan pergi dari Kantor Kepala Desa.

Keesokan paginya, menjelang keberangkatan ke Kota, “Bu, Aisyah, Ibu tidak usah khawatir mengenai pembiayaan
ke kota, kami berempat telah berhasil mengumpulkan uang dari hasil kerja keras kami kemarin Bu, Ibu senang
kan?” Nur mencoba memberikan penjelasan kepada ibu Aisyah.

“Ibu bangga dengan kalian semua. Semoga saja, dari kota nanti kita membawa kemenangan ya. Dan Ibu minta
maaf, karena Ibu tidak mempunyai biaya untuk keberangkatan kalian ke kota, ditambah lagi, sudah 5 bulan ini, Ibu
belum menerima gaji dari dinas pendidikan. Kalian tahu kan, Ibu hanya seorang guru honorer, selain berperan
sebagai guru, Ibu juga sekaligus Kepala Sekolahnya, jadi Ibu minta maaf dengan kalian semua,” kata ibu Aisyah.
“Ibu, justru kami yang sangat berterima kasih dengan Ibu, Ibu sudah mengizinkan kami bersekolah di sini dengan
gratis, Ibu juga telah membimbing kami hingga kami menjadi pintar, dan pastinya, kami jadi semakin tahu dengan
perkembangan ilmu pengetahuan yang semakin meluas,”

Kemudian, Sofwan, Harri, Latif, dan Nur pun memeluk ibu Aisyah. Dan sampailah mereka di kota, dengan
semangat, mereka berempat dengan giatnya mengerjakan soal-soal Olimpiade Sains. Hingga, dengan berjalannya
waktu, akhirnya mereka berempat, dengan bimbingan ibu Aisyah berhasil memenangkan Olimpiade Sains tingkat
Kabupaten, dan sampailah pula tingkat Provinsi Riau, dan kemudian, salah satu di antara mereka berempat, yaitu
Nur, berhasil mengukir prestasi Olimpiade Sains hingga ke tingkat Internasional, dan berhasil mendapatkan medali
perak ke Indonesia, khususnya ke Pulau Rangsang, Kabupaten Meranti, Riau.

3 Tahun kemudian. Sungguh, prestasi yang didapatkan oleh Nur, Latif, Harri, dan Sofwan, lambat laun, dapat
membawa suatu perubahan yang besar bagi perkembangan Pulau Rangsang, hingga berubah menjadi sebuah Desa
yang maju, dan banyak dikenal oleh para wisatawan lokal maupun mancanegara. Selain itu, saat ini, berkat prestasi
mereka pula, Pulau Rangsang telah berubah menjadi suatu tempat destinasi wisata dan budaya melayu. Dan yang
paling utama adalah, SMP Rangsang, telah mengalami perkembangan dan perubahan ke arah yang lebih baik lagi.

Banyak, para orangtua, yang menyekolahkan anak-anaknya untuk bersekolah di SMP Rangsang, ditambah lagi,
banyaknya para donatur yang memberikan sumbangan untuk kemajuan pembangungan SMP Rangsang. “Saya
sendiri, begitu bangga menjadi anak Pulau Rangsang. Terima kasih kepada Ibu Aisyah yang telah memberikan
motivasi terbaik untuk saya, dan juga teman-teman semua, sehingga dapat meraih kesuksesan seperti sekarang ini,
dan dapat memajukan Pulau Rangsang yang kami cintai. Ibu Aisyah, sungguh, Ibu adalah pahlawan terbaik bagi
kami selamanya,” kata Nur, di saat memberikan sambutan dalam acara peresmian gedung SMP Rangsang, yang
sekarang berubah menjadi SMP Terpadu Rangsang.

PESAN MORAL

Pendidikan adalah nilai utama dalam hidup, raihlah selagi bisa


12. KEJUTAN DARI KEJUJURAN

Karya: Khadavi

“Tidak usah terlalu rajin, ini aku sudah siapkan contekan”, ujar Fahmi pada Randi.

“Boleh boleh, sini”, tanggap Randi.

Hari ujian tengah semester di sekolah pun tiba. Fahmi dan Randi telah menyiapkan contekannya di tangan masing-
masing dengan begitu hati-hati.

Seminggu kemudian, hasil ujian tengah semester pun keluar. Namun, ternyata hasilnya diluar dugaan, nilai mereka
sangat jauh dibawah rata-rata, mereka heran mengapa bisa seperti ini.

“Aku tidak mau membuat contekan lagi untuk ujian seterusnya, aku ingin berusaha sendiri”. Ujar Randi pada
Fahmi dan dirinya sendiri. Sejak saat itu, mereka mulai giat belajar, tanpa ingin lagi sedikit pun melakukan hal
curang.

Setelah beberapa waktu berlalu, ujian akhir semester pun tiba. Randi dan Fahmi sangat gugup menghadapi ujian
kali ini, tentunya mereka mengharapkan hasil yang memuaskan.

Saat hasil akhir ujian akhir telah diumumkan, mereka sangat terkejut dan tidak percaya, karena mendapatkan nilai
yang sungguh luar biasa, tidak pernah sebelumnya mereka mendapatkan nilai seperti ini. A, ya, mereka
mendapatkan nilai A dengan upaya belajar yang luar biasa.

PESAN MORAL

Kejujuran adalah hal yang sangat indah, dalam hal apa pun tetaplah mengikutsertakan
kejujuran. Jujur itu membawa kebahagiaan, walaupun awalnya sulit.
KAFA DAN ARUNIKA
OLEH: KHANAYA SHALSABILLA

Kafa Malazi, hujan yang lembut dan memberi perlindungan. Tetapi tidak dengan kisahnya, sendirian yang tak
bertepi. Apa yang ingin melindungi? Bukankah orang tak menyukai hujan sebab Ia adalah kesakitan?
Meskipun begitu, Kafa adalah sosok lelaki penyayang, ramah, dan pandai titik dengan segala ketakutan dan
kesengsaraan, Iya teramat disayang oleh ibunya. Hanya ibunya saat ini yang menerima hujannya.
Disaat semesta memberi hujan yang keras Kafa dengan tenang memberi hujan yang lembut. Bukankah Kafa
baik? Tapi mengapa hidup tak berpihak pada kebaikannya?
Ini kisah Kafa dan segala kesakitan yang tak pernah selesai.
****
“Kenapa harus gini? Kenapa segala sebab tak pernah ada sudahnya?”. Kafa tidak terima, dia marah sejadi-
jadinya.
Kafa tak ingin ini semua terjadi, rasanya ia ingin ini semua terjadi bukan untuknya. Tapi tidak dengan kehendak
tuhan bukan? Harus siap, hujan yang begitu lembut dari dirinya kini berubah menjadi hujan paling keras dan
paling sakit yang pernah ada.
Satu-satunya manusia yang paling mau menerima hujannya kini sudah hilang kau hilang dibawa ke tempat
paling nyaman titik yang Kafa bisa lakukan saat ini adalah mengirim doa paling amin.
Ya, Iya baru saja kehilangan ibunya. Luka yang tak bisa ia obati sampai kapanpun. Baarangkali bukan tak bisa,
tapi tak ingin Kafa obati.
Ini ia tak tahu kemana arah tujuan hidupnya, seakan berjalan pada lorong-lorong sempit dan gelap gulita.
Bagaimanapun ia harus segera membawa ibunya ke pemakaman untuk dikuburkan dan mengadakan pengajian di
rumahnya.
Ia tidak bisa berlarut dalam kesedihan yang tak berkesudahan. Semoga kelak ia akan menemukan seseorang
yang mau menerima hujan yang kembali.
*****
Perjalanan hidup yang baru akan segera Kafa mulai. Hari ini Iya mengunjungi sebuah kedai kopi dan memesan
Americano panas. Duduk di pojok meja nomor 6 menanti kopi favorit yang Kafa pesan. Membuka gambar;
memandang letak gambar yang tersimpan rapih, mengistirahatkan pekat masa silam.
Tak lama setelah Kafa duduk, hujan lebat turun seperti tahu isi hati Kafa saat ini, seorang perempuan cantik
datang menghampiri meja dan mengajaknya berkenalan.
“Nama aku Arunika,” sahutnya sambil mengulurkan tangannya, pertanda mengenalkan dirinya. Tangannya
lembut, kuku-kukunya bersih dan cantik.
Kami tenggelam pada sebuah dialog yang hangat. Hujan di luar tak kunjung reda titik rintiknya semakin
menjadi-jadi, hembusan anginnya semakin membabi buta titik namun, syukurlah karena kami menemukan
sebuah kedai kopi yang hangat di dalamnya.
Setelah 35 menit kami kehabisan pokok pembicaraan titik Papa kembali terdiam begitu pula dengan arunika
titik kembali, suasana menjadi asing bagi kami berdua kapal lihat di luar jendela kaca hujan semakin deras.
Gemuruh yang menggelegar menghentakkan kaca kedai. Ingin sekali Arunika berbincang dengan Kafa seorang
pria manis yang baru kukenal tadi. Mungkin hujan bisa jadi pokok pembicaraan yang menarik bagi kami berdua.
Setelah cukup lama kami berdua terdiam memandangi jalanan di luar yang basah kuberanikan untuk
menyambung pembicaraan.
“Oh iya, tadi kamu bilang kalau hujan itu kejam? Mengapa bisa?” aku berpindah posisi ke sebelah jendela dan
mataku tak pernah terlepas darinya.
“ hujan pernah merebut seseorang dariku. Beberapa minggu yang lalu seorang perempuan pernah berkata
kepadaku bahwa aku ini seperti hujan yang lembut yang rintiknya menyejukkan mata Siapa saja yang
memandangnya. Aku sungguh mencintai hujan saat itu tapi Setelah beberapa lama, perempuan itu pergi ke
tempat yang paling nyaman Mungkin dia sudah menemukan hujan yang lebih menyejukkan hatinya daripada aku
titik selepasnya, hingga saat ini aku tak lagi terlalu menyukai hujan.”
Setelah kamu memberikan jawaban, arunika mulai diam membisu mencerna kalimat yang diberikan oleh Kafa.
Tanpa arunika sadari, Kapan sedari tadi terus memperhatikannya.
“ gadis ini cantik rambutnya pun menarik. Sepertinya aku mulai tertarik padanya. Baris giginya yang putih
tertata rapi titik besit senyumnya sungguh manis melebihi gula gula. Aku menyukainya. Mungkin dengan
mengenalnya, Aku akan kembali mencintai hujan.” Gumam Kafa dalam hati.
Kafa berharap, Arunika adalah gadis yang mau menerima hujan lembutnya kembali seperti Ibu Kafa. Kafa
berharap, tubuhnya yang penuh luka belum sembuh dan semakin bertambah karena rindu belum uUsai bisa
kembali pulih dengan kehadiran Arunika.

Pesan Moralnya:
segala sesuatu baik buruknya sudah
ditakdirkan dan akan datang pada
waktu yang tepat dan telah
ditetapkan.

Bullying

Karya: Lilis Dwi Anzani

Ayodya berjalan tertatih sendirian menuju toilet sekolah. Sesampainya di sana, ia langsung bercermin.
Miris. Penampilannya sekarang compang-camping, tidak seperti anak sekolaha pada umumnya. Kerah baju robek,
siku dan sudut bibir berdarah, rambut kusut seperti tidak pernah disisir. Sudah biasa Ayodya mendapatkan
perlakuan buruk dari teman-temannya. “Lemah banget aku ya? Sampe ga bisa buat ngealawan mereka. Mau aja
diperlakukan buruk oleh mereka,” Monolognya sambil mengusap sudut bibir yang berdarah.

Lima belas menit kemudian Ayodya selesai membenahi penampilannya, meskipun tidak seutuhnya rapi,
namun cukup lebih baik daripada penampilan yang sebelumnya. Ia kembali berjalan menyusuri koridor sekolah
yang sudah sepi. Was-was matanya memperhatikan sekitar, takut jika gerombolan Tasya masih berada di sekolah.
Karena mereka tidak segan-segan untuk membullinya lagi. Ayodya pulang ke rumah dengan angkutan umum.
Sesampainya di rumah ia langsung disambut oleh Bi Asih. “Eh non Ayodya kok babak belur begini sih?
Kenapa non? Non habis berantem ya?” tanya Bi Asih asisten rumah tangga yang sudah bekerja dari sejak mereka
masih tinggal di Kompleks perumahan yang lama.

“Ga apa-apa kok Bi, tadi ini aku jatuh karena ga hati-hati waktu jalan,” Jawab Ayodya berbohong.

“Ga apa-apa gimana sih non? Jelas-jelas lihat ini babak belur semua. Ayo sini Bibi bantu jalan terus nanti
Bibi bantu buat obati lukanya non,” ucap Bi Asih sambil memapah Ayodya.

“Makasih ya Bi, Tapi nanti aku obati sendiri aja Bi lukanya, aku ga apa-apa kok” ucap Ayodya.

“Beneran non? Bisa ngobatin sendiri?.” “Iya Bi beneran. Oh iya Bi, Mama sama Papa lembur lagi ya Bi?”
tanyanya.

“Tadi pagi sih waktu nelpon Bibi katanya ngga jadih lembur deh non, cuman besok harus ke kantor lagi,”
Jawab Bi Asih.

“Loh besokkan hari libur Bi? Kok kerja juga sih?” “Kalau masalah itu Bibi kurang tau non.” “Yauda deh
kalau gitu aku langsung bersih-bersih dulu deh Bi. Nanti kalau Mama atau Papa pulang terus nanya aku kemana,
bilang aja aku lagi tidur ya Bi, ga mau diganggu, kecapean karena tadi malam harus begadang.”

“Oke non! Laksanakan!” ucap Bi Asih sambil mengangkat tangannya memberi hormat.

Ayodya merebahkan tubuhnya di atas ranjang, memeluk boneka beruang kesayangannya. Sakit. Itu yang
dirasakan Ayodya saat ini. Ia ingin sekali melaporkan perbuatan Tasya ke pihak sekolah namun ia takut jika
masalah ini tidak ditindak lanjutin justru Tasya semakin gencar membulinya. Ia capek, Ia lelah. Ia terlalu rapuh
untuk melawan kawanan Tasya. Ayodya muak dengan hidupnya yang monoton, ia muak dengan hidupnya yang
terlalu kelabu. Sayup-sayup mata Ayodya mulai dihinggapi rasa kantuk. Dalam sekejap Ayodya sudah tertidur.
Mulai menyelami dunia mimpinya.

Keesokan paginya Ayodya segera bangun untuk menunaikan sholat subuh, setelah itu ia duduk di balkon
kamarnya. Menikmati udara pagi yang memenuhi rongga pernapasannya. Sejenak beban yang terpanggul
dipundaknya terasa sedikit terangkat. “Ayodya, Ayodya sayang kamu segera siap-siap ya nak kita akan pergi.”
Ucap Diana_Mama Ayodya.

Ayodya segera membuka pintu kamarnya. Pemandangan yang pertama ia lihat wajah Mamanya dengan
senyum menenangkan. “Kita mau kemana Ma? Bukannya hari ni Mama sama Papa harus ke kantor lagi ya?” tanya
Ayodya.

“Mama juga ga tau mau kemana, kata Papa ke kantornya masih bisang nanti siang, makanya siap-siap ntar
keburu siang.”

“Oke Ma aku ganti baju dulu.” Diana menuruni tangga menuju meja makan, di sana sudah ada
Candra_Papa Ayodya.

“Mana Ayodya Ma?” tanyanya.

“Masih ganti baju Pa, palingan bentar lagi turun.”

“Pagi Pa, pagi Ma,” sapa Ayodya.

“Nah itu anaknya.” “Pagi sayang, kita sarapannya di luar aja ya, kalau di rumah takut kesiangan,” ucap
Papa.

“Emang mau kemana sih? Buru-buru amat,” tanya Ayodya.

“Ada deh, udah yuk kita berangkat,” ajak Papa.

Di perjalanan Ayodya hanya diam mendengarkan obrolan Mama dan Papanya mengenai masalah pekerjaan
mereka. Ayodya heran dengan kedua orangtuanya seperti tidak ada topik pembicaraan yang lain saja sampai harus
membahas masalah pekerjaan di pagi buta seperti ini. Karena bosan, Ayodya mendengarkan musik dari
smartphone-nya, berharap dapat mengusir rasa kebosanan yang dirasakan, namun, justru Ayodya terbawa kantuk
dan tertidur di mobil.
“Ayodya, ayo keluar udah nyampe kita,” ajak sang Mama.

“Lah inikan rumahnya kepala sekolah tempat aku sekolah Ma? Ngapain kita ke sini?”

Bukannya dijawab pertanyaan yang dilontarkan oleh Ayodya, justru orang tuanya menyurh Ayodya untuk
mengatakan yang sejujurnya apa yang telah dilakukan temanya terhadap dirinya. Ayodya melihat mobil milik
Papanya Tasya terpakr tepat disebelah mobil mereka. Perasaan Ayodya mulai tidak enak. Ia berpikiran jika
tindakan Tasya sudah diketahui oleh kedua orangtuanya dan pihak sekolah.

Keluarga candra memasuki rumah kepala sekolah itu, di sana sudah terlihat Tasya dengan Papanya.

“Pak Candra, silakan duduk Pak, mari Bu, Ayodya, silakan duduk.” Ucap Pak Irwan. Papa tersenyum dan
mengucapkan, “Terimakasih Pak.”

“Baik, nak Ayodya silakan ceritakan apa yang sudah dilakukan Tasya terhadap kamu? Katakan sejujurnya
nak, jangan berbohong,” ucap Pak Irwan.

Ayodya tersenyum. Bersikap seolah-olah dia tidak diperlakukan buruk oleh Tasya. “Maaf Pak,
diperlakukan gimana ya Pak? Saya dengan Tasya bak-baik saja kok Pak. Saya berteman baik dengan Tasya, iya
kan Tasya?”

“Jangan berbohong Ayodya, kami pihak sekolah sudah mengetahui bahwa kamu selalu menerima
perlakuaan buruk dari Tasya dan teman-temannya.”

“Ceritakan sejujurnya nak, Papa ga mau kamu dibuli oleh mereka nak. Papa ga mau ngeliat kamu babak
belur lagi,” ucap Candra.

“Sebenernya, aku sering dibuli Pa, aku sering dijambak, dipukul, dikunciin di dalam gudang juga pernah,”
jelas Ayodya.

“Lalu mengapa kamu tidak pernah mengadukan permasalah ini kepada pihak sekolah atau ke orang tua
kamu, Ayodya?” tanya Pak Irwan.
“Saya pernah mau melaporkannya Pak, tapi saya diancam oleh Tasya, dan saya dikurung di dalam gudang
dari jam pelajaran pertama sampai jam pelajaran terakhir Pak,” jelas Ayodaya kepada Pak Irwan.

“Papa ingat waktu Papa dipanggil untuk datang ke sekolah karena bolos? Aku ga bolos Pa tapi aku
dikunciin di dalam gudang,” jelasnya lagi, kali ini kepada Sang Papa.

“Tasya, mengapa kamu lakukan hal itu?” tanya Pak Irwan kepada Tasya.

“Maaf Pak waktu itu saya niat cuman bercanda Pak.”

“Bercanda kamu bilang? Ayodya sampe babak belur gitu kamu bilang cuman bercanda? Di mana otak
kamu? Di mana hati nurani kamu?” ucap Candra.

“Sabar Pa, sabar,” ujar Mama seraya mengusap legan Papa.

“Tasya, karena hal yang sudah kamu lakukan ini di luar batas kewajaran maka kamu akan saya pecat dari
SMA Ganda Sakti dengan tanpa hormat. Saya melakukan ini karena saya tidak mau jika kejadian ini akan terulang
kembali dan mengakibatkan lebih banyak korban,” ucap Pak Irwan.

Tasya mencoba menyanggah pernyataan yang dibrikan oleh Pak Irwan. “Tapi Pak, Bapak ga ada buktinya
Pak kaau saya melakukan hal itu.”

“Tasya, mendingan kamu perbaiki diri kamu, masalah bukti Papa sudah melihat sendiri rekaman cctv
tersebut,” ucap Papa Tasya. Lagi-lagi Tasya mencoba membantah.

“Tapi Pak, yang ngelakuin itu ga sepenuhnya saya Pak, teman-teman saya juga ngelakuin itu Pak, masa
hanya saya saja yang dipecat Pak, saya ga terima dong Pak.”

“Masalah teman-teman kamu, kami pihak sekolah, khususnya pihak bimbingan konselig sudah melakukan
pemeriksaan kepada mereka. Dan ternyata mereka melakukan hal tersebut karena adanya ancaman dari kamu. Dan
kamu mengancam jika mereka tidak melakukan apa yang kamu perintahkan maka kamu akan membuli mereka
juga. Ingat Tasya, posisi kamu sebagai dalangnya, jadi wajar saja jika balasan yang kamu terima lebih buruk dari
mereka. Satu lagi, kamu tidak usah khawatir megenai hukuma bagi mereka, kami dari pihak sekolah dudah
memberikan hukuman skors selama dua minggu. Saya harap kamu dapat memahaminya,” tutur Pak Irwan panjang
lebar.

“Sudahlah Tasya, akui saja kesalahanmu,” ucap Papa Tasya.

“Tapi Pa....” “Sudah kami tidak butuh lagi penjelasanmu, kami izin pamit undur diri karena masih ada
urusan yang lain yang harus diurus dan diselesaikan segera,” ucap Candra.

“Baik Pak Candra, saya mewakili pihak sekolah meminta maaf sebesar-besarnya atas kelalaian kami dalam
menjaga anak didik.” Ucap Pak Irwan.

“Baik Pak, saya harap kejadian seperti ini jangan sampai terulang kembali Pak.” Papa berjabat tangan
dengan Pak Irwan dan Papanya Tasya, begitu juga dengan Mama dan Ayodya.

Sementara Tasya langsung melengos ke luar rumah menuju ke mobilnya. Selesai berpamitan keluarga
Candra tidak langsung pulang, ataupun berangkat ke kantor, mereka menyempatkan diri untuk sarapan di warung
bubur tempat langganan mereka waktu masih tinggal di kompleks perumahan yang lama. Ayodya merasa senang
sudah lama sekali rasanya ia tidak merasakan kebersamaan seperti ini.

Pesan moral:

Pada dasarnya kekerasan dalam bentuk apapun itu sangat tidak


dibenarkan, karena sangat berpengaruh pada seseorang. Kondisi fisik
dan mental setiap orang berbeda-beda, maka jagalah tingkahlaku dan
lisanmu agar tidak melukai orang lain. Dan janganlah bersembunyi
dari masalah yang sudah diperbuat.

PROSA BARU ” JADILAH PEREMPUAN MANDIRI AGAR TAK MUDAH DIREMEHKAN MASALAH
MATERI”
KARYA LUCI EPITA BANJARNAHOR
Seringkali ibu menyembunyikan banyak kesedihan di balik senyumannya yang menguatkan. Ibu juga diibaratkan
sebagai rumah bagi anak-anaknya, suaminya, dan bahkan dirinya sendiri. Sejauh mana pun kita pergi, pangkuan
ibu selalu menjadi tempat kita untuk kembali. Dari dulu ibu selalu berpesan kepada anaknya untuk menjadi
perempuan yang mandiri supaya kita tidak mudah diremehkan oleh lelaki hanya karena masalah materi. Di balik
pesan ibu ternyata ada banyak kejadian mengenai masa lalunya yang bisa dijadikan pelajaran untuk ke depan. Tapi
ibu jarang sekali mengeluh, ibu jarang menunjukkan mengenai bagaimana letihnya beliau sehabis bekerja. Karena
berbagai macam kejadian itulah sehingga pesan ibu setiap kami mengobrol adalah supaya anak perempuannya
dapat tumbuh menjadi wanita yang mandiri. Pesan itu kemudian tertanam sampai sekarang dan menjadi sumber
kekuatan setiap kali menghadapi masalah di dunia perkuliahan, hubungan pertemanan, hingga hubungan asmara.
Untuk ibu, semoga nanti aku bisa membahagiakanmu dengan baik ya. Tetaplah jaga kesehatan dan menjadi sumber
kebahagiaan orang-orang terdekat. I love you, Bu.

Pesan moral
Luci Selalu berjuang untuk menjadi
perempuan yang mandiri agar tak mudah
diremehkan masalah materi.

SEBASTIAN

Karya:Novita Hutabalian

Gadis cantik itu terduduk di sebuah bangku putih menjulang panjang. Angin semilir berhembus hingga membuat
helaian demi helaian rambut indahnya seolah menari terbawanya.
Sekilas gadis itu tersenyum menatap layar benda pipih di tangannya. Rasanya bagai melayang ke langit tertinggi.
Setelah sadar dengan aktivitasnya, gadis itu segera memasukkan handphonenya ke dalam tas biru dongkarnya, ia
lantas pergi meninggalkan bunga yang mengayun indah di tengah taman.

Pingg!!
Raina: apa lagi sih my prince, Hmmm?

Sebuah pesan berhasil terkirim, gadis yang bernama Raina itu kembali meninggalkan handphonenya yang
tergeletak di queen sizenya.
Baru saja ia akan membuka knop pintu, suara pesan dari layar handphone langsung berbunyi, membuat gadis itu
berjalan kembali ke arah tempat tidur.
Revan: malam jadi kan ke party-nya Raisa?
Raina: sipp, jadi kok, tenang aja, mas..
Revan: dih manggil mas, emang aku mas-mas tukang siomay
Raina: tau ah. Aku mau mandi dulu buat siap-siap nanti
Revan: aaa ikutt
Raina: Cih, Njs
Revan: jahat lu

Raina mengabaikan pesan terakhir yang sampai di chatt BBMnya, ia hanya terkekeh sendiri melihatnya. Tak mau
pikir panjang, ia lantas menuju kamar mandi untuk segera mempersiapkan dirinya agar terlihat manis di acara
Raisa, kebetulan sahabatnya itu malam ini akan mengadakan acara pertunangan dengan pasangannya, Reino.

“Raina, Revan udah ada di bawah nih” teriak mama Raina dari lantai bawah.

Sementara itu Raina masih sibuk membereskan tatanan rambutnya yang tergelung apik ke atas kepala. Ia terlihat
sangat cantik menggunakan dress biru dongkar selutut tanpa lengan dengan high heels 10 cm yang membalut
telapak kaki mulusnya. Raina tersenyum sekilas ke arah cemin, ia baru sadar bahwa seorang Raina Adrenda sangat
menawan jika dipangkas seperti ini.

Dengan segera Raina turun ke ruang tamu, dilihatnya Revan sedang duduk sambil menyender ke sofa ruang tamu.

Revan menatap tak percaya ke arah Raina yang ia sudah sadari telah turun dari kamarnya. Sungguh indah ciptaan
mu ini Tuhan, pahatan Tihan memang tidak pernah melenceng.

“woyy malah bengong, Yo cepet udah telat nih” ujar Raina berhasil membuyarkan pandangan kabur Revan yang
hampir mati rasa melihatnya. Revan tersadar dari lamunannya, mereka segera berpamitan kepada mama Raina dan
setelah itu Revan menancapkan gas mobil sedannya membelah jalanan ibu kota yang sekang lenggang di
perjalanan.

“ciee, yang datang barengan” celetuk Raisa yang saat itu langsung menangkap sahabatnya sedang turun dari mobil
Revan.
Raina menyusul Raisa yang sedang santai di meja bundar, Sementara Revan membuntutinya dari belakang.
“apaan sih lo Sa.. Ehh btw congratulation ya buat pertunangan lo ini”
“thanks ya. Oh ya kapan nih kalian nyusul, nggak mau gitu ikutin langkah gue. Masa mau kaya gini gini aja. Nggak
capek apa sebastianan tiga tahun” ujar Raisa yang langsung mendelik kearah Revan yang masih diam membisu,
sementara Raina diam-diam tertunduk malu.
“udah deh nggak usah malu-malu gitu, kalian cocok kok, lo juga Rai. Lo kan udah bilang pengen married di umur
21, lah sekarang lo udah 25 tahun. Sama yang ada aja deh.” Raisa terus menghoda dua insan yang sudah melting di
hadapannya itu.
“udah deh Raisa, lo jangan terus ngomporin. Resek lo ah”
“Hahah iya iya, sorry. Yaudah kalian gabung aja sama yang lain, gue mau ke depan dulu. Bye” ujar Raisa yang kini
sudah melangkahkan kakinya menjauh dari Revan dan Raina yang masih saling diam. Ini karena Raisa, andai dia
tidak mengompor-ngompori. Huhh

Acara berjalan begitu lancar, acara tukar cincin pun telah usai dilaksanakan. Kini hanya tinggal untuk saling
menikmati acara pesta yang lumayan meriah itu.

“Raina….” Raina menoleh ke belakang, dilihatnya ada Revan yang sedang berdiri tegak di hadapannya.
“ya? Kenapa Van?” tanya Raina dengan bingungnya, tak biasanya Revan memanggilnya begitu.
“Emmm gue… guee”
“gue?” tanya Raina meluruskan perkataan Revan yang sedikit bingung, ia tak mengerti dengan sikap Revan.
“gue mau jujur sama lo…”
“jujur? Maksud lo apa?”
“gue… Sebenernya, gue udah suka sama lo Raina. Bukan maksud gue, gue… nggak bermaksud mau kaya gini.
Tapi…” ujar Revan dengan setengah menahan gugupnya, ia meraih kedua tangan Raina dan ia genggam erat. “Gue
sayang sama lo Rain, lo nggak bisa tahu perasaan gue selama ini. Rasa ingin memiliki itu selalu ada di dalam diri
gue, gue udah terlanjur jatuh pada hati yang lo kasih secara diam-diam. Gak, gue nggak mau jadi pengecut ataupun
jadi seorang PhP. So, will you marry me, Raina?”

Seketika Raina terdiam terpaku melihat Revan, sungguh ia tak terpikir Revan akan melakukan hal yang selama ini
tidak ia sangka. Jika bisa jujur, Raina memang juga jatuh cinta pada Revan, namun ia terus menunggu sampai
akhirnya penantiannya berpuncak pada detik ini juga.

“Ciee udah deh terima aja Rain, cepet” teriak Raisa dari kejauhan.

Perlahan Raina memgulurkan tangannya dan memeluk Revan, ia sangat bahagia. Statusnya sekarang bukan lagi
sebagai Sebastian tapi sebagai Future Wife seorang Revan.

Pesan Moral
dimana kita tidak perlu berharap kepada
orang yang belum tentu memberikan
kepastian yang tidak pasti dan lebih
percaya diri akan diri kita dan tidak
memberi kepercyaan kepada orang yang
belum kita percayai.

Dara
Karya: Nur Annisa Fatin
Pagi menjelang saat seorang gadis yang biasa dipanggil dengan nama Dara mulai menjerang air untuk
membuat segelas teh panas. Dara, ialah gadis yang hidup dengan sejuta mimpi di dalam sebuah rumah berdinding
tinggi.
Dara merupakan gadis yang tumbuh di dalam keluarga berkecukupan, bahkan bisa dibilang sangat kaya.
Namun sayangnya Dara tidak bisa menopang tubuhnya sendiri tanpa menggunakan bantuan kursi roda, sehingga
merasa diacuhkan bahkan saat berada di istana mewah tersebut.
Kedua orang tua Dara selalu mengacuhkannya karena merasa tidak ada yang bisa diharapkan dari gadis
dengan kursi roda tersebut. Sementara kakaknya mungkin saja malu mempunyai adik dengan kondisi seperti Dara.
Setiap hari Dara hanya menghabiskan waktunya di dalam kamar dan sesekali mengarahkan kursi rodanya
menuju arah taman. Gadis yang berusia 17 tahun tersebut sangat senang untuk menggambar di taman guna
menghilangkan pikiran buruknya yang menyesali keadaannya.
Suatu pagi Dara jatuh dari kursi rodanya, namun tidak ada seorangpun di dalam rumah tersebut mendekat
untuk menolongnya. Rasa kecewanya terhadap hal tersebut membuat Dara memiliki kekuatan untuk menggerakan
kursi rodanya ke arah taman kompleks, berniat menenangkan diri.
Saat sedang terisak di taman, tiba-tiba Dara dihampiri oleh seorang gadis seusianya dengan kondisi yang
sama. Gadis tersebut mengulurkan tangan untuk Dara dan mulai menyebutkan namanya, yaitu Hana. mereka
berdua mudah sekali akrab, mungkin karena keduanya saling mengerti kondisi masing-masing.
Tiba-tiba Hana Berkata, “ Dara, ingatlah bahwa tidak ada seorangpun di dunia ini yang terlahir sia-sia.
Mungkin kita tidak bisa berdiri tegak layaknya manusia lain. Tapi, kita masih punya hak untuk merasakan bahagia.
Cobalah untuk menerima dirimu sendiri, Dara.” lalu, akhirnya gadis itu berpamitan pada Dara.
Semenjak pertemuannya di taman dengan Hana, Dara mulai merenungi kata-kata yang diucapkan oleh
gadis tersebut. Dara berpikir bagaimana ia bisa seutuhnya menerima dirinya ketika orang di dekatnya tidak
mendukungnya sama sekali.
Dara mencoba mencerna perkataan dari Hana secara perlahan, meskipun seringkali ia menangis ketika
teringat kenyataan bahwa ia hanyalah seorang gadis yang diacuhkan. Hal yang dipikirkan oleh Dara adalah
bagaimana ia bisa mewujudkan mimpinya dengan kondisi tersebut.
Mimpi Dara adalah menjadi seorang pelukis yang karyanya bisa dipajang di dalam pameran besar. Hal yang
dilakukan Dara untuk memulainya adalah rajin membuat lukisan. Kesibukan tersebut juga dilakukan Dara untuk
tidak memikirkan mengenai dirinya yang selalu diacuhkan dan mulai memahami perkataan Hana.
Perlahan mimpi sang Dara mulai terwujud saat diam-diam ia sering memposting lukisannya melalui media
sosial. Hingga suatu hari ada seseorang datang ke rumah Dara untuk menemui gadis itu guna mengajaknya untuk
bergabung di dalam sebuah pameran lukisan.
Kedua orang tua Dara terperangah mendengar ucapan pria tersebut, sebab tidak menyangka bahwa Dara si
gadis kursi roda bisa menghasilkan karya lukisan yang indah. Dara hanya tersenyum melihat respon kedua orang
tuanya dan memilih menerima tawaran pameran tersebut.
Berbagai lukisan indah dipajang dalam pameran yang diberi tema Mimpi Sang Dara. Orang tua Dara
menghadiri pameran tersebut dan merasa terharu atas pencapaian putri yang selama ini diacuhkannya. Sementara
Dara merasa lega bisa menerima keadaan fisiknya dan memanfaatkan apa yang dimiliki.
Pesan moral
Walaupun kita sedang berada dalam suatu
masalah atau penyakit janganlah menyerah,
sebab semua akan indah pada waktunya.
Tetap semangat apapun itu, lakukanlah sesuka
hati kita selagi tida merugikan orang lain
Penyu kecil dan Penyu besar

Dongeng ini menceritakan dua ekor penyu yang saling bersaudara,penyu kecil sebagai sang adik sedangkan penyu
besar sebagai sang kaka

Diceritakan hiduplah dua ekor penyu di sebuah sungai kecil,satu penyu yang bertubuh cukup besar sedangkan
penyu yang satu masih bertubuh kecil,penyu besar sangat menyayangi adiknya yaitu si penyu kecil,mereka hidup
saling melindungi,sang adik sangat suka sekali mengganggu si kaka,jika ada waktu yang tepat pasti si adik selalu
menjahili si kaka,jika si adik menjahili si kaka,si kakapun hanya bisa pasrah sambal geleng-gelng kepala melihat
kelakuan adiknya tersebut.
Pada suatu hari si kaka permisi ke si adik untuk mencari makanan,lalu si kaka atau penyu besarpun bergi,dan pada
saat si kaka sedang mencari makan tidak sengaja si kaka terkena jebakan manusia.Disisi lain si adik sudah
khawatir karna kakanya sudah lama tidak pulang sedari pergi mencari makanan tadi,tampa berfikir lama penyu
kecilpun memutuskan untuk pergi mencari sang kaka.
Setelah beberapa lama mencari akhirnya penyu kecil melihat kakanya yang sudah terjebak tadi,penyu kecilpun
menangis melihat keadaan kakanya yang terjebak perangkap itu,tiba-tiba saya penyu kecil itu memiliki
ide ,dengan sigap dia menggigit tali-tali yang mengikat penyu besar tersebut,dengan tubuh mungilnya dia
perlahan menggigit tali demi tali sehingga talinyapun putus dan penyu besarpun terlepas dari jebakan,Penyu
besar berkata kepada penyu kecil: adikku yang sangat bungil kau sngat luar biasa,ternyata kau sudah tumbuh
sngat baik,aku sangat bangga padamu,Terimakasih karena telah melepaskan kakak.Saut si penyu kecil sambal
tersenyum dan memeluk si penyu besar .Merekapun akhirnya pulang ke rumah hidup dengan bahagia saling
melengkapi dan selalu didampingi dengan canda tawa dan juga kejahilan penyu kecil tetap berlanjut.

PESAN MORAL

Dalam bersaudara biarlah kiranya kisa saling


menjaga satu sama lain ,jika kita hidup saling
membantu satu sama lain makan kita juga yang akan
Diriku
merasakan hasil yang dan.(keluarga)
indah Impianku
Karya Putri Enjel Tarigan

Gantunglah cita-citamu setinggi langit, bermimpilah setinggi langit, karena jika engkau jatuh, engkau akan
jatuh diantara bintang-bintang. Ya, kata-kata itulah yang terus kujadikan sebagai penyemangatnku sampai saat ini.
Namaku Naura, seorang gadis yang terlahir dari keluarga sederhana, yang duduk di bangku Sekolah Menengah
Atas (SMA), tepatnya kelas XI. Aku memiliki sebuah impian yang menurutku sangat besar, yang mungkin atau
bahkan tidak mungkin bisa terwujud. Tetapi aku yakin bisa, aku yakin bahwa apa yang aku impikan akan terwujud.

Impian terbesarku adalah melanjutkan sekolahku ke universitas, khususnya Universitas Tinggi Negeri (PTN)
dengan jurusan Kedokteran. Jurusan yang paling banyak peminatnya dan paling mahal tentunya. Mungkin orang
diluar sana sudah memiliki tabungan puluhan bahkan ratusan juta untuk masuk ke jurusan ini. Itulah yang
terkadang membuatku kehilangan percaya diri. Untuk membeli seragam baru saja, aku harus berpikir berkali-kali,
apalagi memiliki tabungan sebanyak itu. Dari mana aku bisa mendapatkan uang itu, selama ini aku belajar dengan
giat, bahkan sangat giat, aku selalu berdoa kepada Tuhan agar impianku ini bisa tercapai.
Aku ingin melihat kedua orang tuaku bangga dengan apa yang aku capai. Aku yakin, suatu saat nanti, yang
entah kapan datangnya, aku bisa membuat ayah dan ibuku tersenyum melihatku mengenakan baju wisuda. Setahun
berjalan begitu cepat, tak terasa sekarang aku sudah duduk dikelas akhir Sekolah Menengah Atas (SMA). Inilah
saatnya, semua yang aku usahakan bertahun-tahun lamanya akan kuperjuangkan sepenuhnya, agar apa yang aku
impikan bisa terwujud.

Setiap hari, aku mempelajari materi-materi yang belum kumengerti dan kuulang materi-materi yang sudah
diajarkan oleh bapak dan ibu guru dari pagi hingga malam. Hari berganti hari , bahkan bulan sudah berganti bulan.
Kini, soal ujian akhir itu sudah di depan mataku, aku membaca doa terlebih dahulu lalu kukerjakan soal-soal itu
dengan hati-hati, supaya aku bisa mendapatkan hasil yang maksimal.

Hari dimana yang kuimpian tiba, aku sangat puas dengan hasil ujian akhir sekolah. Aku memutuskan untuk
mengikuti tes di Universitas Tinggi Negeri yang aku impikan. Dirumah ibu selalu menasehatiku agar aku selalu
menjalankan ibadah dan berdoa yang terbaik untuk hasil tes nantinya. Sampai akhirnya, setelah menunggu hampir
sebulan lamanya, hasil tes keluar. Rasanya sedih, marah, hancur, dan kecewa. Ya… aku tidak diterima di
universitas tersebut, padahal ini impian terbesarku. Semua yang telah kulakukan bertahun-tahun lalu, rasanya sia-
sia.

Nakk… Kamu tidak boleh menyalahkan takdir, ujar ibuku yang melihatku nangis dikamar. Tapi bu… aku
sudah bersusah payah, aku sudah berusaha, apa karena kita dari keluarga yang tidak mampu makanya aku tidak
diterima disana, jawabku marah. Bukan begitu nak, Tuhan sudah membagi rezeki hamba-hambanya, dan mungkin
itu bukan rezekimu, tetap semangat ya, ucap ibu menenangkan. Iya bu, maafin aku ya, aku belum bisa
membahagiakan ibu dan ayah, ucapku. Sudah ya, belum rezekimu, balas ibu.

Karena ucapan ibu, aku akhirnya tersadar, berusaha bangkit kembali, mungkin ini bukan jalanku, mungkin
ini bukan rezekiku. Aku tetap berdoa agar tuhan memberikanku jalan yang terbaik nantinya, dari kejadian ini aku
belajar bahwa tidak diterima bukan berarti masa depanku terhenti sampai di sini. Aku berusaha untuk bangkit
menemukan jati diriku yang sesungguhnya. Pada sore hari itu dengan ditemani senja dan satu gelas aqua, aku
menuangkan semua emosiku ke dalam kertas dan pena, lalu kubaca ulang. Aku merasa bahwa diriku memiliki
bakat dalam bidang menulis.

Ah.. bagaimana kalau aku membuat novel saja, batinku. Aku mengirimkan novelku ke penerbit buku, butuh
waktu beberapa bulan karena semuanya butuh proses. Sampai akhirnya aku mendapat kabar bahwa penerbit itu
senang dengan ceritaku dan pembaca pun puas dan saat ini namaku sudah dikenal banyak orang . Aku sadar, bahwa
kesuksesan setiap orang berbeda. Kedua orang tuaku bangga dengan apa yang telah aku capai saat ini menjadi
penulis terkenal, aku pun tidak pernah menyangka. Aku diundang dalam acara yang diselenggarakan oleh
universitas yang dulu kuincar menjadi narasumber inspirator, walaupun tidak kuliah di tempat itu setidaknya kaki
ini pernah berada di tempat impian itu.

Pesan moral :

Gantunglah cita-citamu setinggi langit,


bermimpilah setinggi langit, karena jika
engkau jatuh, engkau akan jatuh diantara
bintang-bintang.

Kesuksesan setiap orang berbeda-beda, jika


kau gagal ayo bangkit dan tetap semangat
dalam mencapai impian, ingat berusaha dan
berdoa.
Anak Bermalasan
Karya : Refin Yusnita Octavia

Minggu adalah hari libur yang ditunggu kaum rebahan, malas beraktivitas. Ada yang hanya ingin rebahan di
rumah menghilangkan penat selama satu minggu beraktivitas dan ada pula yang berencana akan berlibur. Nita
memilih opsi pertama, Nita memilih bersantai rebahan di rumah, dan parahnya Nita akan selalu merasa kurang
dengan liburnya.

“Nita bangun sudah siang, nanti kamu terlambat.” Tanya ibunya.

“Bu Nita masih capek, Nita bolos sehari ya.” Nita memelas pada ibunya.

“ Jangan begitu, bayaran sekolahmu mahal jangan menyepelekan menuntut ilmu” Jawab ibunya menyanggah.

“Sehari saja bu, Nita tidur lagi.”

Melihat kelakuan Nita Ibunya geram, hingga ibunya mengajak Nita melihat anak keterbelakangan di suatu panti
asuhan.

“Nah sekarang coba kamu buka mata kamu, mereka ingin sekolah sepertimu, namun tidak ada orang tua yang
akan membiayai mereka bersekolah” Jelas ibunya, mereka masih di dalam mobil.

Dengan kejadian itu Nita tersadar dan mau berangkat sekolah walau terlambat. Di perjalanan menuju sekolah
Nita melihat seorang anak yang pincang berseragam sekolah sama dengannya, dalam hati Nita berkata, aku
bersyukur masih punya fisik yang sempurna untuk bisa menuntut ilmu.

Pesan Moral
Jika kita malas tidak akan pernah ada
hasilnya, bersemangat lah dalam hal
apapun karena masa depanmu ada di
dalam dirimu”

Janji Ayah
karya : Resa Restari

Aska adalah seorang anak laki-laki yang pemberani, tepat pada hari ini dia menginjak umur 17 tahun. Tidak
berasa sekarang dia sudah tumbuh cepat menjadi dewasa. Aska tinggal Bersama kedua orang tuannya dia memilki
sati adik perempuan yang benama astri. Kehupan kelurga aska sangat harmonis dan romantis. Pada ualng tahun
aska yang ke-17 ini dia ingin meminta sesuatu kepada ayahnya yaitu ia ingin ayahnya sakit-sakitan lagi.
Permintaannya itu dia sampaikan kepada ayahnya, ayahnya menuruti permintaan aska asalkan aska bermain bola
basket bersama ayahnya .aska sangat senang walaupun dia harus bermain bersama ayahnya untuk mendapatkan apa
yang dia inginkan

Keesokan harinya aska dan ayahnya bermain bola basket dilapangan kecil di belakng rumahnya, sedang asik
bermain basket tiba-tiba penyakit jantung ayahnya aska kambuh, dengan cepat aska mengendong ayahnya dan
membawanya kerumah sakit, dengan sangat khawatir aska menghubungi ibunya yang sedang berada di kantor,
tidak lama kemudian ibunya aska datang ke rumah sakit. Selang beberapa waktu dokter keluar dari ruang UGD,
aska dan mamanya segera mendatagi dokter tersebut dan menanyakan kondidi ayahnya aska,dengan berat hati
dokter itu mengatakan bahwa ayahnya aska sudah tidak bisa ditolong lagi.

Aska sangat sedih dan menyerit karena harus kehilangan sosok seorang ayah yang dia sangat sayang. Ayahnya
memenuhi permintaan aska yang ingin melihat ayahnya sembuh dan sekarang sudah terpenuhi walaupun ayahnya
sudah tidak ada lagi di dunia, ayahnya sudah sehat tidak lagi merasakan sakit, ayahnya juga sudah tidak lagi harus
minum obat, sekarang ayah aska sudah tenang di alam sana untuk selama-lamanya.

PESAN MORAL

Sayangi lah ayah dan ibu kamu, selagi kamu masih bisa
melihat mereka berdua, Karena maut dapat mengambil
nyawa orang yang kita sayang kapan saja

Prosa Baru “ Essai Tentang Diri Ku”


Karya : Rindy Antika

Nama saya Rindy Antika. Saya dilahirkan di kota Pakam pada tanggal 27 Januari 2003. Sejak kecil saya tinggal
dikota kelahiran saya bersama dengan 4 kakak laki-laki saya dan 2 kakak prempuan saya.saya anak bungsu yang
mungkin orang mengira anak paling kecil pasti bersifat manja tapi tidak untuk saya. Saya bersyukur karna terlahir
dikuluarga yang menyayangi saya dan keluarga saya mendidik saya dengan sangat baik. Dan sekali lagi saya
mengatakan bahwa saya sangat bersyukur akan hal itu.
Sekarang saya sudah menduduki bangku mahasiswa. Saya berkuliah Di Universitas terbaik dimedan yaitu
Universits Negeri Medan.Saya mengambil jurusan Pend.Bahasa Dan sastra Indonesia.Ini adalah langkah awal saya
untuk mencapai tujuan hidup saya dan mencapai cita-cita saya untuk menjadi seorang wanita karir. Saya juga ingin
menjadi orang yang berguna untuk orang lain seperti membagi ilmu untuk orang banyak. Dan hal yang sangat
penting untuk saya,saya tidak mau mengecewakan kedua orangtua saya,karena saya adalah harapan terakhir bagi
mereka. Saya akan berusaha keras agar saya bisa mewujudkan harapan mereka terhadap saya.

Pada saat saya masi dibangku sekolah saya tidak pernah berpikir untuk bercita-cita menjadi seorang guru. Tetapi
saya berpikir jalan yang allah kasi untuk saya itulah jalan yang paling terbaik untuk saya karna jalan atau keinginan
yang saya mau belum tentu itu yang terbaik untuk saya.

PESAN MORAL

Kita sebagai manusia hanya bisa berencana, namun


tuhanlah yang menentukan. Maka dari itu kita sebagai
Safnah
manusia harus berusaha namun serahkan segalanya
kepada Tuhan.

MEMANDANG SEBELAH MATA

Karya : Safnah Sagala

Suara ibu terdengar ditelinga tasya, seorang gadis yang cantik dan manis. saat membangunkan adiknya. Tasya
bergegas bangun terus mandi, agar pergi ke sekolah. Hari ini adalah hari pertama tasya masuk sekolah. Tasya
pindah sekolah karena terlalu jauh sekolah dijakarta ditempat kakek dan neneknya, orang tua tasya dibandung, lalu
tasya memutuskan unuk pindah saja.

Tasya memiliki satu adik laki-laki yang masih sekolah tk.

Tasya masih duduk di bangku SMP. Selesai tasya bersiap-siap, ia pergi menemui ibunya untuk berpamitan.

Tasya : “ibu, tasya pergi sekolah dulu”

Mama : “ini bekalmu sayang, jangan lupa dimakan. hati-hati dijalan, Yang rajin belajarnya.

Tasya : “siapp mama cantik, (cium pipi mamanya, lalu pergi)

Sesampai nya disekolah, tasya bergegas masuk kekelas dan duduk didepan paling pojokan. Tasya mengambil bekal
yang dibuat oleh mamanya lalu memakannya. Pada saat sesuapan terakhir bekal tasya, tiba-tiba ada seorang cewek
cantik tapi judes mendatangi tasya. Cewek ini bernama Fuja seorang anak kepala sekolah. Ia selalu membanggakan
kedudukan ayahnya dengan teman sekelasnya.

Fuja : ehhh cewek manis, siapa namamu?

Tasya : nama saya tasya.

Fuja : perkenal saya fuja, anak kepala sekolah disini. kamu manis sihh, tapi gak rapi banget dalam berpakaian.
Kamu orang mana sih, kampung yahh hahaha

Tasya : saya tinggal dibandung ini juga jalan melati no 05

Fuja : oyahhhh gak perlu juga sih. (lalu fuja sigadis yang judes ini pergi ke tempat duduknya karena bel sudah
berbunyi. Menenandakan masuk, pelajaran akan dimulai).

Selesai pelajaran, murid-murid pada berpulangan. Tasya berjalan ke gerbang untuk menunggu angkot. Tiba-tiba
datang cewek judes dan sombong itu.

Fuja : ehh nunggu angkot yahhh, lama sih itu. Mana mobilnya gak jemput. Is is is

Tasya : enggak fuja.

Fuja langsung pergi karena mobilnya sudah menjemput, tasya juga naik keangkot. Tiba-tiba fuja mengikut angkot
yang ditumpangi tasya.

Sesampainya didepan pagar, tasya turun tetapi belu buka pintu pagarnya, masih berdiri mencek buku-bukunya.
Fuja gak percaya “ pasti dia masuk ke gang-gang lagi dasar anak kampungan”. Tetapi fuja lihat nomor nya pas
nomor 05 pada saat tasya member tau. Tasya berkata “ ini yah anak kampung, gk tau malu ngaku-ngaku rumahnya.
Tasya memanggil manggil security yang ada dirumah nya agar membukakan pagarnya karena dikunci. “baik tuan
putri tasya”, kata security. Fuja langsung terkejut, tak percaya yang dilihatnya itu seorang tuan putri.

Fuja : “astaga, masih gak percaya. Yang aku hina orang kampung ternyata seorang tuan putri, aku sangat bersalah
telah memandang sebelah mata dengannya. Aku akan meminta maaf besok. Anak kepala sekolah sangat jauh beda
dengan anak seorang terkaya di kota ini.”

Fuja lalu bergegas pulang, ia sangat merasa menyesal karena telah menghina seorang tuan putri.

Pesan moralnya adalah kita tidak boleh memandang orang dari luarnya nya maksud dari luar itu penampilannya
karena penampilan belum tentu baik atau kaya seperti yang dilakukan fuja ke Tasya. Maka dari itu kita tidak boleh
memandang sesorang dari penampilan atau pun sifatnya.

PESAN MORAL

Kita tidak boleh memandang orang dari luarnya nya maksud dari
luar itu penampilannya karena penampilan belum tentu baik atau
kaya seperti yang dilakukan fuja ke Tasya. Maka dari itu kita
Pangling

Karya : Sunarti

Bisa, tidak ? Cewek dan cowo dekat tapi enggak usah pacaran? Cuma untuk jadi temen dekat, saling sharing. Kalau
ada masalah saling bantu, dan kalau pun lost kontak, seenggaknya tidak di-cap sampah, karena kebanyakan mereka
beranggapan, mantan itu kan sampah? Bahkan lebih jijik dari sampah! Akhirnya kalo udah putus, musuhan, yaa
walaupun ada beberapa yang baikan dan temenan lagi.

Aku tak tahu, karena aku belum perna punya mantan, kebanyakan, mantan crush yang kutinggal lari karena kasih
kode ngajak pacaran. Hmm, salah satu kerandoman saya. Anak Rohis yang enggak mau pacaran, tapi pengen
punya kawan cowok! Ya, sekadar kawan, gak lebih, kalau ngajak lebih, kutinggal lari.

Sebelumnya perkenalkan, mantan gebetan saya anak tenis meja di SMA. Dia suhunya karena dianggap sudah
banyak menyabet medali tiap tahun. Dia juga masuk ke dalam kategori cowok-cowok famous, tapi anehnya dia
jarang menampakkan diri, hanya orang yang beruntung yang bisa lihat dia. Kalau tidak ada kepentingan, pasti
dikelas terus. Satu rahasia kenapa aku bisa lihat dia, adalah dia sering dhuha 4 rakaat di jam istirahat pertama,
kemudian menghilang. Perawakannya tinggi;178 cm putih;campuran chines-jawa. Gossip-gosipnya dia itu anak
Abi-Umi yang belum pernah pacaran dan enggak mau pacaran. Dengar berita itu aku langsung OMG, rasanya
ingin terbang atau mungkin lompat dari ketinggian. Punya teman cowok untuk sharing apapun itu pasti keren.
Karena dikelasku, teman-teman cewek yang punya teman cowok, entah itu sekelas atau abang kelas, kelihatannya
asik; ditambah bocoran dari mereka kalau temen cowok itu mulutnya enggak ember kayak temen cewek, yaa tapi
tetap aja cowok juga suka gossip. Walaupun suka gossip, ya gossip itu untuk sharing atau tukar pendapat, bukan
untuk menjelekkan atau menjatuhkan orang lain dalam obrolan itu. Kembali ke mantan gebetanku, Namanya
Ilham, anak guru bahasa Inggris disekolah yang khusus mengajar kelas tiga. Seperti yang sudah kusebutkan tadi,
Ilham itu anak tenis, aku anak Osis. Anehnya, kita bisa dekat padahal aku enggak ikut ekskul olahraga. Oya, waktu
itu aku baru memulai pendidikan di SMA, sedangkan dia tinggal satu tahun lagi, kemudian lulus.

Perasaan yang muncul pertama kali melihatnya, hanya kagum, karena kelebihannya dibidang olahraga, ditambah
dia tipikal anak laki-laki sederhana yang pendiam, dingin dan aku suka. Mungkin karena keahliannya dalam satu
bidang, sehingga ada nilai plus di mata wanita, kecuali tampang. Ganteng itu relatif, Kelebihan yang dia punya
membuat rasa kagumku semakin hari semakin berkembang seperti virus. Mungkin virus baik, seperti yakult.
Kuikuti alurnya. Ke sekolah seperti biasa, tapi dengan perasaan yang berbeda. Perasaan seperti ketika punya ponsel
baru dengan modelan terbaru. Jantungku sampai tak terasa lagi berdegup waktu itu.
Hari senin tak terlupakan. Aku telat, dia juga telat; itu sebuah kebetulan yang menyedihkan sekaligus
menyenangkan. Tiga bulan lagi dia lulus. Mengingat itu dadaku sempit, wajahku memerah, dia sangka karena lelah
dihukum keliling lapangan 10 kali putaran, dia salah! Wajahku memerah, karena dia yang berada disebelah, seolah
sedang mendampingiku untuk terakhir kalinya. Senin ke 10 menjelang kelulusannya.

“Aduh-aduh, lari keliling lapangan 7 kali, makin kecil nanti badan si Sunaa, Pak!”ledek Bu Aini, guru Kimia yang
baru sampai ke sekolah. Aku hanya meringis, lalu megulum bibir dan Kembali berlari.

“Yang perempuan saya kurangi 2, tapi laki-laki saya tambahi 2,”kata pak Fahmi, guru piket yang terkenal cringe.

Beberapa murid laki-laki menolak, tetapi Jaemin tetap berlari tanpa berhenti, sebelum pak Fahmi bilang berhenti.
“Oke, boleh Kembali ke kelas. “

Aku menyambar tas yang ada di lapangan, kemudian berlari bergerak lebih dulu dari mereka yang ada di lapangan,
memasuki koridor kelas, kemudian menjerit di muka pintu kelas. “AAAARGGH!”. Itu masih salah satu, dari
seribu rasa manis yang pernah kurasa di satu tahun terakhir Pendidikan Jaemin. “Kenapa nak?”tanya Bu Laila,
ibunya Jaemin. Aku terdiam dengan tampang bodoh, “eumm, itu.., tadi ada ulat Bu!”aku berbohong, sambil
meringis malu.

“Owh Maam kira kenapa-kenapa,”ucap Maam, menepuk bahuku pelan, “ada liat bang Jaemin?”

“Ada Maam, masih dilapangan.”

Bu Laila, mengangguk, “makasih ya nakk!”ucap beliau beranjak pergi.

“Iyaa, Maam,”aku langsung ngeloyor masuk ke kelas dengan nafas naik turun. Kalian tahu, di dalam kelas aku
baru sadar, teman-temanku sudah masuk jam pelajaran pertama. Semuanya senyap dan khusyuk mencatat materi
dari papan tulis. Syukur, tidak ada guru di kelas, mengingat suara teriakanku tadi. Aku duduk di bangkuku,
melepas ransel dan tiba-tiba satu kelas menuju jendela belakang, berkerumun. Aidah, teman semejaku yang kepoan
sampai naik ke atas bangku . Aku baru baru masuk kelas, selesai dihukum, jadi acuh tak acuh. Kakiku masih lemah
untuk melakukan pergerakan lagi. Kuamati mereka dengan tampang ikut penasaran, ditambah ekspresi Aidah
berhasil membuatku ikut naik ke atas bangku. “Yaampun! Bang Jaemin!!”suara Aidah histeris melihat sebuah
pukulan mendarat di wajah Jaemin. Pertengkaran di pagi hari menjadi tontonan gratis murid-murid.

“Kau! Beraninya!”

Bugh! Pukulan lain kembali mendarat, “Bisa-bisanya, kau!”

“Kenapa guys, kenapa??”

“Ilham ngehamilin Herin?”

“Hah? Serius?”

“Tunggu, kemana guru ketika murid bertengkar. Kemana pak Fahmi? Kemana guru piket dan guru Bk yang
lain?”tanyaku.

Temanku menarik nafas dalam-dalam, dan berkata, “itu drama begoo. Ga seriusan! Itu liat ke orang disana yang
pegang kamera.”
Aku meringis malu, dan pergi dari kerumunan itu.

RINDU IBU

Karya : Talenta Septina Br Sebayang

Setiap kali aku jatuh dalam sebuah masalah, dengan setianya mama memberikan nasihat. Hanya mama yang tidak
pernah meninggalkan aku dalam keterpurukan. Mama selalu bersedia beri dukungan untuk ku.

Beruntungnya aku memiliki seorang mama yang menjadi penguat bagi anaknya. Kini mama telah pergi,
meninggalkan rasa rindu yang tidak bisa tertahan.

Sampai kapan pun, Mama selalu ada di dalam hatiku. Mama adalah penguat dan tidak terlupan bagiku untuk
selama –lamanya

Kasih sayang mama adalah doa bagiku

PESAN MORAL

Kita harus bisa bersikap bijaksana ketika sedang menghadapi


segala macam bentuk kejadian yang dialami dalam hidup ini dan
jangan lupa selalu bersyukur sebab apa yang kita hadapi dan kita
dapatkan sekarang itu adalah pemberian dari Tuhan.

Tinggal Kenangan

Karya : Vera Adzania

Pagi itu sangatlah cerah, mentari pagi muncul memancarkan sinar cerah dengan semangat 67 eh semangat 45
maksudnya. Sama denganku, hari ini adalah hari ulang tahun orang yang sangat aku kagumi bahkan kucintai.
Semua sudah aku persiapkan termasuk kue ultah serta kadonya.

Aku masuk ke kelas dengan hati gembira dan bibir tersenyum-senyum sendiri. Kakiku melangkah tepat di depan
pintu masuk kelas dan disambut ceria oleh sahabat sahabatku Syarif dan Renata.
Yaps! hampir lupa, aku Sherly kepanjangan dari Sherlyna rantika putri. Cewek manis berkumis tipis yang kini
sedang dilanda asmara cinta.

“Ciee yang senyum senyum sendiri, kenapa? sakit?” ucap Renata sambil menekan tangannya ke jidatku.

“Apaan sih Ren, emang aku gila” ucapku (memanyunkan bibir 5 meter).

“Ya mungkin, ya gak Rif?” ucap Renata melirik Syarif.

“Betul, kenapa kamu Sher?” ucap Syarif.

“Hari ini tuh hari special banget buat aku, aku mau bikin suprise buat pangeran cecakku” ucapku panjang lebar
sambil bayangin apa yang akan terjadi nantinya.

Pangeran cecak? Ya, pangeran cecak adalah cowok yang aku kagumi selama ini. Aku julukin pengeran cecak
karena dia super duper takut sama cecak, namanya Tara.

Bel waktu istirahat pun tiba, siswa siswi berbondong-bondong ingin memanjakan lidah dan juga perutnya yang dari
tadi demo minta makan.

“Hay guys, doain aku ya. Semoga rencana ini sukses berjalan mulus semulus jalan tol, amin” ucapku.

“Oke, tuh ada Tara kebetulan banget deketin gih” ucap Syarif.

“Sukses ya say” ucap mereka berdua serentak serta kepala dimiringkan ala-ala Rita sugiarto penyanyi dangdut.

Aku berjalan dengan pedenya sampai gak lihat ada batu di depanku, untungnya gak jatuh, kalau jatuh malu dong
sama pangeran cecakku.

Setelah melewati lorong-lorong kelas, aku melihat Tara lagi berduaan sama Lyla cewek yang paling aku benci
karena gayanya yang kecentilan, sok cantik, sombong pokoknya aku ilfeel banget deh sama dia. Tanpa sadar kue
dan kadonya jatuh ke lantai, aku berlari secepat mungkin sambil menangis.

Aku melihat ekspresi Renata dan Syarif kebingungan dengan tingkahku yang mula ceria berubah drastis menjadi
duka membara.

“Sherly, kamu kenapa?” ucap Renata sambil memelukku.

“Tara sama Lyla berduaan mereka mesra banget” ucapku terbata bata.

“Udahlah cari yang lain, masih banyak kok” ucap Syarif.

Sepulang Sekolah kurebahkan tubuhku di kasur empuk milikku. Kutatap langit biru kamarku. Pikiran itu selalu
terngiang ngiang di memory otakku. Kubangkitkan tubuh ini menuju meja belajar.

Pena menari nari amat lambat di atas kertas polos putih. Kutulis kata puitis yang berisi sesuai isi hatiku.

Tinggal kenangan.

Kuukir namamu dalam hatiku

Agar hati ini tak dalam kekosongan.

Meskipun kau telah menodai hati ini,


Akan kuhapus dengan sejuta air mata.

Aku rela mentari membakar kulitku

Aku rela kebahagiaanku kuberikan padamu

Asal kau bahagia.

Namun itu dulu

Sekarang sudah terbalut

Oleh balutan kenangan.

For Tara (pangeran cecakku)

Pagi ini mendung, mentari enggan tuk memancarkan sinarnya, sama dengan hatiku.

Mungkin mentari mengerti apa yang sedang aku rasakan.

Aku berjalan sempoyongan dengan mata sembab gara-gara menangis semalaman menuju kelasku disambut oleh
sahabat-sahabatku.

“Sherly kamu jangan begitu dong, kita kan juga turut sedih jadinya. Strong bro move on bangkit dari keterpurukan
ini” ucap Renata menenangkanku.

“Dan kamu jangan kaget ya, kalau Tara sama Lyla sudah jadiab kemarin. Aku tahu berita ini dari Gita teman
sekelas kita” ucap Syarif.

“Iya makasih ya sahabat sahabatku. Kalian itu orang yang selalu suport aku, aku sayang kalian. Aku akan move on
dari Tara dan selalu bersama kalian” ucapku menangis terharu.

Kita bertiga saling berpelukan.

Sahabat bukanlah selayaknya pacaran yang dapat putus atau nyambung. Namun, Sahabat adalah persatuan yang
abadi.

Mimpi Seorang Gadis

Karya : Vina Agustina

Pagi menjelang saat seorang gadis yang biasa dipanggil dengan nama Dara mulai menjerang air untuk membuat
segelas teh panas. Dara, ialah gadis yang hidup dengan sejuta mimpi di dalam sebuah rumah berdinding tinggi.

Dara merupakan gadis yang tumbuh di dalam keluarga berkecukupan, bahkan bisa dibilang sangat kaya. Namun
sayangnya Dara tidak bisa menopang tubuhnya sendiri tanpa menggunakan bantuan kursi roda, sehingga merasa
diacuhkan bahkan saat berada di istana mewah tersebut.
Kedua orang tua nya selalu mengabikan nya, karena merasa bahwa ia hanya gadis yang cacat dan tidak ada yang
bisa diharapkan dari nya. Sedangkan kakak nya malu untuk mengakui ia sebagai adik dikarena kan kondisi nya
yang menggunakan kursi roda. Dara merupakan gadis yang berusia 17 tahun yang suka menggambar di taman
komplek rumah nya.

Suatu hari dara sedang berada di taman untuk menggambar. Kemudian ia terjatuh dari kursi roda nya dan tidak bisa
bangkit. Hal itu membuat dara kecewa dan sangat sedih karna ia tidak melakukan apa – apa. Kemudian ada seorang
gadis dating menghampiri nya. Ia membantu dara untuk bangun dan duduk kembali di kursi roda.

Mereka pun berkenalan dan menjadi teman setelah hari itu. Dara selalu menceritakan kejadian dalam hidup nya
dan rasa penyesalan nya karna telah dilahirkan dengan kondisi seperti ini.

Tetapi teman nya itu berkata “Dara, ingatlah bahwa tidak ada seorangpun di dunia ini yang terlahir sia-sia.
Mungkin kita tidak bisa berdiri tegak layaknya manusia lain. Tapi, kita masih punya hak untuk merasakan bahagia.
Cobalah untuk menerima dirimu sendiri, Dara.”

Dari situla dara mulai berusaha mencerna dan memahami maksud dari teman nya. Lama kelamaan dara mulai bisa
menerima diri nya. Ia bertekad menjadi pelukis yang handal dan professional. Dan cita – cita itupun perlahan mulai
digapai oleh dara, seorang gaids yang mempunyai keterbasan.

PESAN MORAL

Jangan pernah merasa diri kita itu tidak berguna hanya


karena keterbatasan fisik. Kita harus selalu bersyukur
dengan hal yang kita miliki. Jangan pernah putus asa untuk
mengapai cita – cita yang kita miliki.

BINTANG

Karya Wulan Nurhasanah

Seorang gadis kecil yang hidup dengan ekonomi yang sulit dimana dia bahkan harus memendam apa yang iya
inginkan karna sadar akan keadaan. Ia gadis kecil yang hanya terus berandai-andai mempunyai mainan bagus
seperti temannya ia yang hanya dapat memandangi namun tak dapat memilikinya yaa itu aku bintang 15 tahun
yang lalu adalah gadis kecil yang selalu bahagia dengan apa yang dia punya

Suatu hari aku diajak ayah untuk pergi kerumah paman, ayah ku adalah anak ke 3 dari 6 bersaudara, kami pergi
kerumah paman untuk sekedar singgah karna pamanku mempunyai gadis kecil yang hanya terpaut satu tahun lebih
tua dariku yang dimana aku sering bermain dengannya.

Saat itu aku selalu senang dan selalu bersemangat jika ayah mengajakku kerumah paman dimana banyak
permainan yang bisa aku mainkan bersama bunga aku juga bersemangat untuk bertemu bunga anak pamanku yang
hanya terpaut setahun dariku, bunga adalah gadis manis yang pemalu, anggun, dan cengeng.

Kami selalu bermain bersama sama seperti dihari itu dimana kami bermain boneka barbie, bunga memiliki banyak
boneka barbie dari berbagai jenis serta ukuran yang beragam bunga adalah anak perempuan satu-satunya dimana ia
akan mendapat apa yang ia inginkan.

Pada saat itu aku tak memikirkan seberuntung apa ia memiliki keluarga yang harmonis serta ekonomi yang
berkecukupan, yang aku pikirkan saat itu hanya aku ingin bermain dengan bunga, aku ingin memainkan mainan
yang bahkan aku tidak mampu untuk menyentuhnya namun aku bisa mainkan mainan bunga itu sudah kebahagian
bagiku, pada saat itu yang akuinginkan bermain sepanjang hari dan tidak ingin pulang

Saat ayah mengajak ku untuk pulang karnan sudah malam berat hatiku untuk ikut dengan ayah aku berjalan dengan
berkaca-kaca aku ingin bermain lebih lama lagi hingga pamanku menyadari bahwa aku masih ingin tinggal lebih
lama lagi dan menyuruh aku untuk menginap satu malam dirumahnya.

Akhirnya ayah mengizinkan aku untuk menginap satu malam diruman paman betapa bahagianya aku bisa bermain
satu harian dengan bunga, pada saat itu ada sebuah pasar malam didekat rumah pamanku, pamanku pun membawa
kami untuk pergi kesana kakek dan nenek bunga juga ikut pada saat itu kakek dan nenek bunga sedang berkunjung
untuk menemui bunga

Malam itu kami bermain seluncuran, permainan bola dan masih banyak lagi dan diakhiri dengan membeli gulali
besar aku sangat bahagia karna itu pertama kalinya untuk ku datang kepasar malam yang penuh dengan wahana
anak-anak serta makanan yang banyak

Keesokan harinya saat gadis kecil ini bangun dengan polosnya keluar kamar dengan membawa boneka ditangannya
berjalan kearah dapur untuk mengambil minum, namun sebelum aku sampai di dapur diambang pintu terlihat
kakek dan nenek melihatku, lalu aku menyapa mereka “ pagi kek pagi nek ” sambil tersenyum manis, namun kakek
bertanya kepada gadis kecil yang tidak tau apapun selain bermain “ kemarin emang kamu ga di kasih uang jajan ya
buat kesini, kok ikut-ikutan bunga beli apa-apa aja, emang ayahmu ga ngasih uang untuk jajanmu ya” dengan nada
lembut namun menusuk bahkan kalimat itu masih terdengar jelas ditelingaku walaupun sudah 15 tahun yang lalu.
Sang gadis kecil pun menjawab dengan lugunya “ engga kek ” akupun langsung pergi kedapur setelah menjawab
pertanyaan kakek bunga.

Mungkin disitu aku masih gadis kecil yang lugu dimana masih belum sadar kemana arah pembicaraan itu dan tidak
memikirkannya, namun seiring berjalannya waktu kenangan itu tak pernah pudar dalam ingatan dimana itu selalu
terngiang hingga aku berfikir apakah segitu hebatnya ia bisa merendahkan orang lain
Aku yang selalu disepelakan karna hanya sekolah swasta tidak dapat bersekolah di sekolah negeri aku yang tidak
pernah dapat peringkat dan ditambah ekonomi keluarga ku yang masih sulit semakin membuat mereka
memandangku dengan sebelah mata, namun aku tak memperdulikan itu aku selalu hidup dengan apa yang aku
yakinin dan selama itu masih di arah yang baik ayah ibu selalu mendukungku

Aku memang terlahir dari keluarga yang tidak kaya namun tidak juga miskin hanya dalam kata cukup dimana itu
hanya cukup untuk kebutuhan keluarga tidak ada uang untuk bisa hedon untuk membeli barang mahal. Ibu selalu
berkata belajarlah yang giat agar kamu jadi anak yang bisa berdiri di atas kakimu sendiri tanpa bantuan siapapun
buktikan bahwa kau bisa, angkatlah nama baik keluarga kita agar orang tidak memandang rendah kita.

Sekarang aku sadar bahwa dulu gadis kecil ini hanya kekurangan materi namun tak sedikitpun kekurangan kasih
sayang orang tua serta keharmonisan keluarga walaupun dalam keadaan yang tidak bergelimang kemewahan. Aku
juga belajar bahwa seberapa hina engkau dimata orang kau bisa mengubah pandangan itu dengan usaha dan hal-hal
baik lainnya.

Berkat doa ibu dan ayah serta usahaku untuk membanggakan orang tua ku sekarang aku adalah seorang gadis yang
bisa berdiri dikaki sendiri yang bisa merubah pandangan orang 15 tahun yang lalu. Seperti dengan namaku
Bintang, sebuah bintang yang terus mencoba menyinari dunia yang sangat luas dengan cahaya yang ia keluarkan
sendiri, walaupun terkadang cahaya kecil itu tidak di anggap namun masih banyak orang yang menyukai dan selalu
mengagumi keindahan bintang yang menghiasi langit.

PESAN MORAL

Janganlah kita menyepelekan segala sesuatu serta janganlah kita memandang


sebelah mata dan merendahkan orang karna roda itu berputar yang senang tak
selamanya senang yang sedih tak selamanya sedih dan yang kaya tak selamanya
Pesan Moral
kaya yang miskin tak selamanya miskin.

Kita juga harus dapat menjaga lisan kita agar tidak menyakiti hati orang lain,
jangan sampai lisan kita melukai orang lain dan akan mempersulit kita. Karna
sakit hati itu lebih sulit sembuh dibanding luka terbuka.

HIDUPKU

OLEH:Yandika Lamtorang Gurusinga

Bagus adalah orang yang ingin selalu nomor satu.


Jika ada ujian dia selalu ingin selesai duluan, PR pun ia kerjakan setelah pulang dari sekolah.

Saking rajinnya, ia jarang sekali bermain bersama teman-temannya.

Memang hal itu tidaklah buruk, justru sangat baik.

Kebiasaan di atas, sudah dilakukan bagus sejak duduk di bangku sekolah dasar hingga waktu SMA.

Prestasi di sekolahnya pun memang terbilang mentereng, selalu masuk 3 besar di kelasnya.

Lambat laun, Bagus dewasa dan mulai merenungi banyak hal.

Satu hal yang paling mengganggu pikirannya adalah mengenai kehidupan sosialnya.

Ia merasa tak mempunyai banyak teman karena terlalu sibuk belajar untuk menyiapkan masa depan.

Walau ia jago dalam urusan belajar, tapi hatinya merasa hampa karena selalu sendirian.

Hingga satu waktu, saat menjelang libur semester, ketika teman-temannya sibuk menyiapkan liburan Bagus justru
siap-siap untuk kembali belajar.

Namun ia kembali merenung dan sedih, lantaran tak ada satu pun yang mengajaknya untuk pergi berlibur.

Waktu liburan akhir tiba dan bagus menghabiskan waktu liburannya dengan belajar untuk semester selanjutnya.

Kembali sekolah, Bagus kini tampak lebih murung.

Ia murung berhari-hari dan diketahui oleh gurunya.

Merasa khawatir, sang guru lalu meminta Bagus untuk datang ke ruangannya.

Mulanya Bagus bingung, apakah ia melakukan kesalahan?

Bagus pun bergegas menemui gurunya tersebut.

“Bagus, kenapa?” jawab sang guru.

Bagus lalu menceritakan mengenai persoalannya yang sedang ia hadapai.

Sang guru hanya memberikan pesan singkat.

“Bagus, hiduplah untuk hari ini, biar esok menjadi misteri,” tutur si guru.

“Maksudnya begini, kamu boleh mengerjakan sesuatu untuk besok hari, tapi jangan lupakan hari ini, nikmatilah
hari ini.”

“Jangan sampai kamu hidup terlalu cepat hingga tidak punya teman, ingat, Gus, hiduplah hari ini.”

Kata-kata guru di atas membuat Bagus berpikir, ia ternyata terlalu sibuk dan khawatir dengan masa depan,
sedangkan masa sekarang ia hiraukan.

Perkataan sang guru termaktub oleh Bagus, si murid rajin ini mulai hidup pelan-pelan dan tak serba cepat.

Ia mulai bisa menikmati hidup dan sedikit demi sedikit mempunyai teman.
Saat Nathan Tak Ada

Karya : Yemima Rina Yanti

Namaku Melfa. Melfa Kirana. Aku punya teman bernama Nathan. Gabriel Nathaniel. Dia adalah musuhku. Dia
menjadi musuhku sejak 1 SMP. Sekarang aku 2 SMA. Sangking kami sangat bermusuhan, aku punya catatan
permusuhan aku sama Nathan! Begitu juga dengannya.

Suatu hari, aku berdiri di tepi kolam. Lalu tanpa kusadari ada seseorang di belakangku. Dia mendorongku, dan aku
pun kecebur di kolam. Malah, aku nggak bisa berenang!

Dia meninggalkanku. Aku cuma bisa teriak teriak minta tolong. Kebetulan, ada temanku yang datang, James.
James Richardo. “James?” “Melfa? Kamu tenggelam?” Katanya kaget sambil berlari menyelamatkan aku.

“Thanks James.” Kataku. “Gak apa-apa kok.” Jawabnya. Tiba tiba, Agnes Olivia alias Agnes datang. Agnes adalah
pacar James. Lalu dia menghampiriku dan berkata, “Melfa? Ayo, pake baju aku aja. Kebetulan aku bawa baju ganti
dua. Pake punya aku aja dulu.” Kata Agnes. “Oke, makasih.” Kataku.

Besoknya, aku memberi sebuah jebakan untuk Nathan. Tapi kutunggu-tunggu, dia belum datang juga. Sampai guru
masuk kelas, dia belum datang. “Anak-anak, pulang sekolah, kita akan menjenguk Nathan. Dia sakit tifus.” Kata
Bu Maria. Aku kaget. “Huh! Giliran aku punya rencana, dia malah nggak masuk. Mau gak mau, aku harus
menjenguknya.” Kataku dalam hati.

Sampai kami di Rumah Sakit Siloam, tempat Nathan dirawat, kami masuk ke kamar Nathan. “Nat, nih buah untuk
kamu. Dari Tante Michelle.” Kataku. “Makasih Mel. Titip salam buat Tante Michelle yah.” Jawabnya. Aku
menganggukan kepala.

Besoknya, Nathan belum sembuh. Sepanjang istirahat, aku hanya melamun. “Hei! Kok melamun? Mikirin Nathan
yaaa?” Tanya Kekez alias Kezia. “Enak aja! Ada-ada aja nih si Kekez!” Seruku mencibir. Memang sih, aku sedang
memikirkan Nathan. Aku nggak tahu kenapa. Apa aku sedang menyukai Nathan ya? Ah, tidak usah dipikirkan lah!
Aku fokus pada pendidikan saja!

PESAN MORAL

Semua kejahatan tidak harus


dibalas dengan kejahatan tetapi
kejahatan haruslah di balas
dengan kebaikan
Jangan Lihat Dari Belakang, Lihatlah Dari Depan.

Karya : Yolanda Purba

Siang itu Viktor dan Budi duduk di sebuah taman. Tak selang beberapa lama lewatlah seorang berpakaian wanita
dengan rambut panjang dan sepatu yang tinggi. Sontak keduanya melihat ke arah wanita tersebut. Dan tentu saja
keduanya memiliki niatan untuk mengikuti wanita tersebut.Karena penasaran, keduanya pun mengikuti kemana
wanita tersebut itu berjalan. Ternyata ia berhenti pada sebuah cafe. Keduanya pun mengikutinya hingga masuk ke
dalam. Namun sayangnya tak menemukan wanita yang diikutinya. Mereka pun mencari hingga ke lantai dua dalam
cafe tersebut, ternyata memang benar wanita yang diikutinya tersebut ada di lantai dua.Namun sayangnya
keduanya tak memiliki keberanian untuk menegur sang wanita. Sehingga mereka hanya mampu mendengarnya dari
belakang. Hingga sangat lama, karena asa penasaran yang begitu besar, maka Viktor pun memiliki keberanian
untuk menyapa sang wanita.Dari belakang, Viktor pun menepuk pundak sang wanita sambil mengatakan “Hai”.
Sang wanita pun menoleh ke arah Viktor. Sontak Viktor pun kaget dengan wajah yang aman sangat menyesal dan
malu. Sebab wanita yang diikuti bersama Budi bukanlah wanita, namun pria yang menyamar sebagai wanita.

PESAN MORAL

Menilai seseorang itu jangan


hanya dari penampilan luar, hati
Yolanda
dan akhlak lah hal yang
terutama.

Anda mungkin juga menyukai