TINJAUAN PUSTAKA
5
6
5. Pathway Cystitis
Invasi mikroorganisme
(bakteri, virus)
Setpoin
hipotalamus
Disuria Nyeri akut
hipertermi
Gangguan pola
Resiko tinggi Resiko
Eliminasi urin
Penularan penyakit infeksi
Kurangnya
pengetahuan
Defisit
pengetahuan
10
B. Konsep Lansia
1) Definisi lanjut usia
Lanjut usia adalah bagian dari proses tumbuh kembang. Manusia tidak
secara tiba – tiba menjadi tua, tetapi berkembang dari bayi, anak – anak,
dewasa dan akhirnya menjadi tua (Azizah, 2011)
2) Batas – batas lanjut usia
Batas – batas lanjut usia menurut (Aspiani, 2014) adalah : a.
Menurut WHO
Menurut Badan Kesehatan Dunia (World Health Organization) WHO
yang dikatakan lanjut usia tersebut dibagi kedalam tiga kategori yaitu :
1) Usia Lanjut : 60-74 tahun.
2) Usia tua : 75-89 tahun.
3) Usia lanjut : > 90 tahun.
b. Menurut Dep. Kes RI
Departemen Kesehatan Republik Indonesia membaginya lanjut usia
menjadi sebagai berikut :
1) Kelompok menjelang usia lanjut (45 – 54 tahun), keadaan
ini dikatakan masa virilitas.
2) Kelompok usia lanjut (55 – 64 tahun) sebagai masa
presenium.
3) Kelompok – kelompok usia lanjut (> 65 tahun) yang
dikatakan sebagai masa senium.
3) Tipe – tipe lanjut usia
Adapun beberapa tipe – tipe lajnut usia menurut (Azizah, 2011) meliputi: a.
Tipe Arif Bijaksana
12
Menurut teori ini menua telah dirprogram secara genetik untuk spesies
– spesies tertentu.
Ada banyak cara dalam melihat tip- tipe nyeri akut antara lain, melihat nyeri
akut dari segi durasinya, tingkat keparahan dan intensitasnya, model
trasmisi, lokasi nyeri, dan kausatif dari penyebab nyeri itu sendiri (Perry &
Potter, 2009)
Adapun pembagian dari nyeri aku, yaitu :
a. Nyeri Somatik,jika organ yang terkena adalah organ soma seperti kulit,
otot, sendi, tulang, atau ligament karena di sini mengandung kaya akan
nosiseptor. Terminologi nyeri muskuloskeletal diartikan sebagai nyeri
somatik. Nosiseptor disini menjadi sensitif terhadap inflamasi, yang akan
terjadi jika terluka atau keseleo. Selain itu, nyeri juga bias terjadi akibat
iskemik, seperti pada kram otot. Hal inipun termasuk nyeri nosiseptif.
Gejala nyeri somatik umumnya tajam dan lokalisasinya jelas, sehingga
dapat ditunjuk dengan telunjuk. Jika kita menyentuh atau
menggerakanbagian yang cedera, nyerinya akan bertambah berat (Perry &
Potter, 2009).
b. Nyeri viseral, jika yang terkena adalah organ-organ viseral atau organ
dalam yang meliputi rongga toraks (paru dan jantung), serta rongga
abdomen (usus, limpa, hati dan ginjal), rongga pelvis (ovaruim, kantung
kemih dan 10 kandungan). Berbeda dengan organ somatik, yang nyeri
kalau diinsisi, digunting atau dibakar, organ somatik justru tidak. Organ
viseral akan terasa sakit kalau mengalami inflamasi, iskemik atau teregang.
Selain itu nyeri viseral umumnya terasa tumpul, lokalisasinya tidak jelas
disertai dengan rasa mual - muntah bahkan sering terjadi nyeri refer yang
dirasakan pada kulit. (Perry & Potter, 2009).
3. Penyebab nyeri akut
Menurut (Tim Pokja SDKI DPP PPNI, 2018 p.172) ada beberapa penyebab
nyeri akut yaitu :
a. Agen pencedera fisiologis
b. Agen pencedera kimiawi
c. Agen pencedera fisik
16
b. Minor
1) Subjektif : (tidak tersedia)
2) Objektif : a) Tekanan darah meningkat
b) Pola nafas berubah
c) Nafsu makan berubah
d) Proses berfikir terganggu
e) Menarik diri
f) Berfokus pada diri sendiri
g) Diaforesis
5. Mekanisme nyeri akut pada cystitis
Terdapat 5 proses elektrofisiologis antara suatu rangsang sampai
dirasakannya nyeri, dimulai dengan proses transduksi, konduksi, modulasi
transmisi dan presepsi. Keseluruhan proses ini disebut nosisepsi (Perry &
Potter, 2009). Mekanisme nyeri akut melalui proses nosisepsis adalah
sebagai berikut :
17
e. Persepsi adalah proses yang sangat kompleks yang sampai saat ini
belum diketahui secara jelas. Namun, yang dapat disimpulkan di sini
bahwa persepsi nyeri merupakan pengalaman sadar dari penggabungan
antara aktivitas sensoris di korteks somatosensoris dengan aktivitas
emosional dari sistim limbik, yang akhirnya dirasakan sebagai persepsi
nyeri berupa “unpleasant sensory and emotional experience” (Perry &
Potter, 2009).
18
ansietas yang tinggi. Nyeri yang tidak kunjung hilang sering kali
menyebabkan psikosis dan gangguan kepribadian (Perry & Potter,
2009).
h. Etnik dan nilai budaya Beberapa kebudayaan uakin bahwa
memperlihatkan nyeri adalah sesuatu yang alamiah. Kebudayaan lain
cenderung untuk melatih perilaku yang tertutup. Sosialisasi nudaya
menentukan perilaku psikologis seseorang.Dengan demikian, hal ini
dapat memngaruhi pengeluaran fisiologis opial endogen sehingga
terjadilah persepsi nyeri.Latar belakang etnik dan budaya merupakan
factor yang memengaruhi reaksi terhadap nyeri dan ekspresi nyeri.
Sebagai contoh, individu dari budaya tertentu cenderung ekspresif
dalam mengunngkapkan nyeri, sedangkan individu dari budaya lain
justru lebih memilih menahan perasaan mereka dan tidak ingin
merepotkan orang lain (Mubarak et al., 2015)
7. Dampak nyeri akut pada cystitis
Nyeri merupakan salah satu tanda dan gejala yang khas dari cystitis.
Respon fisiologis terhadap nyeri dapat menunjukan keadaan dan sifat nyeri
serta ancaman yang potensial terhadap kesejahteraan pasien. Saat awitan
nyeri akut, denyut jantung, tekanan darah dan frekuensi nafas akan
mengalami peningkatan. Slain itu pasien yang mengalami nyeri
menunjukkan ekspresi wajah dan Gerakan tubuh yang khas dan berespon
secara vocal serta mengalami kerusakan dalam interaksi social. Pasien akan
sering meringis, mengernyitkan dahi, menggigit bibir, gelisah, imobilisasi,
mengalami ketegangan otot, melakukan Gerakan melindungi bagian tubuh
sampai dengan menghindari percakapan, menghindari kontak sisial, dan
hanya focus pada aktivitas menghilangkan nyeri yang akan menurunkan
rentan perhatian. Serta pasien akan kurang mampu berpartisipasi dalam
aktivitas rutin, sepserti mengalami kesulitan dalam melakukan Tindakan
kebersihan noermal serta dapat mengganggu aktivitas social dan hubungan
social ( Perry & Pooter, 2009)
21
8. Peniaian nyeri
Penilaian nyeri merupakan elemen yang penting untuk menentukan
terapi nyeri yang efektif. Skala penilaian nyeri dan ketergantungan pasien
digunakan untuk menilai derajat nyeri. Intensitas nyeri haraus dinilai sedini
mungkin selama pasien dapat berkomunikasi dan menunjukkan ekspresi
nyeri yang dirasakan. Menurut (Mubarak et al., 2015) penilaian terhadap
intensitas nyeri dapat menggunakan beberapa skala yaitu :
a. Skala nyeri deskrptif
Skala nyeri deskriptif atau skala pendeskripsian verbal / Verbal
Descrptor Scale (VDS) adalah alat pengukuran tingkat keparahan nyeri
yang objektif, skala pendeskripsian merupakan garis yang terdiri tiga
sampai lima kata pendeskripsian yang tersusun dengan jarak yang sama
disepanjang garis. Pendeskripsian dimulai dari “tidak terasa nyeri”
sampai “nyeri tak tertahankan” dan pasien diminta untuk menunjukan
keadaan sesuai dengan keadaan nyeri saat ini (Mubarak et al., 2015)
Akut
1. Pengkajian
Pengkajian yang dilakukan pada klien Cystitis meliputi : a.
Identitas Klien
Identitas klein dan keluarga mengenai nama, umur, dan jenis kelamin
karena pengkajian umur dan jenis kelamin diperlukan pada pasien
dengan cystitis.
b. Keluhan Utama
Klien cystitis akan mengeluh rasa sakit atau terbakar saat buang air kecil
dan nyeri pada perut bagian bawah.
c. Riwayat Penyakit Sekarang
Klien dengan riwayat cystitis datang ke Rumah Sakit dengan keluhan
rasa sakit saat buang air kecil, sering buang air kecil, urin berwarna
kuning keruh, dan nyeri pada perut bagian bawah.
Pengkajian nyeri dilakukan dengan cara PQRST : P (pemicu) yaitu
faktor yang mempengaruhi gawat atau ringannya nyeri. Q (quality)
nyeri terasa seperti ditusuk-tusuk, ditekan, atau tersayat. R (region)
yaitu daerah perjalanan nyeri . S (severty) adalah keparahan atau
intensitas nyeri. T (time) adalah lama/waktu serangan atau freakuensi
nyeri.
d. Riwayat Penyakit Dahulu
Pada pengkajian biasannya di temukan kemungkinan penyebab infeksi
saluran kemih dan memberi petunjuk berapa lama infeksi sudah dialami
klien.
e. Riwayat Penyakit keluarga
Merupakam riwayat kesehatan keluarga yang biasanya dapat
memperburuk keadaan klien akibat adanya gen yang membawa
penyakit turunan seperti DM, hipertensi, dll. Cystitis bukanlah penyakit
turunan karena penyakit ini lebih disebabkan dari anatomi reproduksi,
24
higyene seseorang dan gaya hidup seseorang. Namun jika ada penyakit
turunan dicuriai dapat memperburuk atau emperparah klien.
f. Riwayat Psikososial
Adanya kecemasan, mekanisme koping menurun dan kurangnya
berinteraksi dengan orang lain sehubungan dengan proses penyakit.
g. Riwayat Kesehatan Lingkungan
Lingkungan kotor dapat menyebabkan berkembang biaknya penyakit
seperti stafilokok, juga kuman yang dapat menyebabkan terjadinya
Cystitis.
h. Pola kebutuhan dasar
1) Kebutuhan Nutrisi dan Cairan
Kaji adanya mual, muntah, nyeri tekan abdomen, diet tinggi purin,
ketidak cukupan pemasukan cairan, terjadinya distensi abdomen.
2) Kebutuhan Eliminasi
Kaji adanya rasa sakit atau terbakar, keinginan doronga ingin
berkemih terus menerus, oliguri, hematuria, piuri atau perubahan
pola bekemih.
3) Kebutuhan Aktivitas dan Latihan
Kaji tentang keterbatasan aktivitas misalnya karena penyakit yang
kronis atau adanya cedera pada medulla spinalis.
4) Kebuthan Istirahat dan tidur
Kaji kesulitan tidur karena mungkin terdapat nyeri, cemas akan
hospitalisasi.
5) Kebutuhan Kenyamanan
Kaji episode akut nyeri berat, nyeri kolik, lokasi etergantung pada
lokasi batu misalnya pada panggul di regio sudut costovertebal
dapat menyebar ke punggung, abdomen, dan turun ke lipat paha
genetalia, nyeri dangkal konstan menunjukan kalkulus ada di pelvis
atau kalkulus ginjal, nyeri yang khas adalah nyeri akut tidak hilang
25
dengan posisi atau tindakan lain, nyeri tekan pada area ginjal pada
palpasi.
6) Kebutuhan Persepsi dan Sensori
Perkembangan kognitif klien dengan kejadian di luar penampilan
luar mereka.
7) Kebutuhan Personal higyene
Kaji perubahan aktifitas perawatan diri sebelum dan selama dirawat
di rumah sakit.
i. Pemeriksaan Fisik (head to toe)
1) Keadaan umum
Meringis, lemas, pucat.
2) Tingkat Kesadaran Composmentis.
3) Tanda-tanda Vital
a) TD : Tekanan darah bisa meningkat atapun menurun (TD=
120/90 mmHg)
b) Nadi : Frekuensi nadi bisa meningkat ataupun menurun (N=
60-100 x/menit)
c) Suhu : Suhu meningkat (S= 36,5 – 37,20C)
d) RR : Rasio pernafasan bisa meningkat ataupun menurun
(RR= 16-24 x/menit)
4) TB dan BB
Dapat dilakukan penimbangan BB ataupun menanyakan pada klien
terakhir BB Klien, dan pengukuran TB pada klien.
5) Kulit
Kulit teraba kering, tampak pucat, kadang berkeringat dingin.
6) Kepala
Bentuk kepala klien biasanya normal jika tidak ada kelainan
tertentu.
26
7) Mata
Konjungtiva klien tampak anemis, sklera tidak ikterik, kelainan
pada mata tidak ada, reflek cahaya pada bola mata pasien biasanya
tidak ada kelainan, keadaan pupil.
8) Hidung
Tidak ada kelainan pada hidung.
9) Mulut
Mukosa bibir biasanya kering dan pucat.
10) Telinga
Bentuk dan fungsi pendengaran klien biasanya normal tidak ada
kelainan.
11) Leher
Tidak ada kelainan pada leher.
12) Thorax
a) Jantung
I : Ictus cordis tidak tampak
P : Ictus cordis teraba di midklavikula sinistra
P : Sonor
A : Terjadinya bunyi jantung reguler
b) Paru – paru
I : Pengembangan dada simetris, napas normal
P : Tidak ada kelainan paru seperti pleural effusion
maupun pneumathorak
P : resonan
A : suara paru normal, tidak ada kelainan seperti ronchi,
wheezing, Rales.
c) Abdomen
Adanya nyeri kolik menyebabkan pasien terlihat mual dan
muntah. Palpasi ginjal dilakukan untuk mengidentifikasi massa,
27
Kriteria hasil :
a) Keluhan nyeri berkurang.
b) Meringis menghilang.
c) Kesulitan tidur menghilang.
d) Frekuensi nadi membaik.
2) Intervensi
Menejmen nyeri
a) Observasi
(1) Identifikasi lokasi nyeri, karakteristik, durasi, frekuensi,
kualitas, intensitas nyeri.
(2) Indentifikasi skala nyeri.
(3) Indentifikasi respon nyeri nonverbal.
(4) Indentifikasi faktor yang memperberat dan mempringan
nyeri.
(5) Identifikasi pengetahuan pengetahuan dan keyakinan
tentang nyeri.
(6) Identifikasi pengaruh nyeri pada kualitas hidup.
(7) Monitor efek samping penggunaan analgetik.
c) Teraupetik
(1) berikan teknik nonfarmakologi untuk mengurangi rasa
nyeri.
(2) kontrol lingkungan yang memperberat rasa nyeri.
(3) fasilitasi istirahat dan tidur.
(4) pertimbangkan jenis dan sumber nyeri dalam pemilihan
strategi meredakan nyeri.
d) Edukasi
(1) jelaskan penyebab, periode, dan pemicu nyeri.
29
e) Kolaborasi
(1) kolaborasi pemberian analgetik.
b. Diagnosa keperawatan : Hipertermi berhubungan dengan proses
penyakit (Tim Pokja SDKI DPP PPNI, 2018 p. 129).
1) Tujuan
Setelah dilakukan tindakan keperawatan diharapkan suhu tubuh
tetap berada pad rentang normal.
Kriteria hasil :
a) Suhu tubuh menurun.
b) Suhu tubuh menurun.
c) Menggigil menghilang.
2) Intervensi
Menejmen hipertermi
a) Observasi
(1) Identifikasi penyebab hipertermia (mis. Dehidrasi, terapapar
lingkungan panas, penggunaan inkubator).
(2) Monitor suhu tubuh.
(3) Monitor kadar elektrolit.
(4) Monitor haluaran urine.
(5) Monitor komplikasi akibat hipertermia.
b) Teraupetik
(1) Sediakan lingkungan yang dingin.
(2) Longgarkan atau lepaskan pakaian.
(3) Basahi dan kipasi permukaan tubuh.
(4) Berikan cairan oral.
(5) Hindari pemberian antipiretik atau aspirin.
30
1) Tujuan
Setelah dilakukan tindakan keperawatan diharapkan tingkat
pengetahuan membaik.
Kriteria hasil :
a) Perilaku sesuai anjuran meningkat.
b) Kemampuan menjalankan pengetahuan suatu topik meningkat.
c) Pertanyaan tentang masalah yang dihadapi menurun.
d) Persepsi yang keliru terhadap masalah menurun.
e) Menjalani pemeriksaan yan tidak tepat menurun.
2) Intervensi
Edukasi kesehatan
a) Observasi
(1) Identifkasi kesiapan dan kemampuan menerima informasi.
(2) Idetifikasi faktor-faktor yang dpaat meningkatkan motivasi
perilaku – perilaku hidup bersih dan sehat.
b) Teraupetik
(1) Sediakan materi dan media pendidikan kesehatan.
(2) Jadwalkan pendidikan kesehatan sesuai kesepakatan.
(3) Berkan kesempatan untk bertanya.
c) Edukasi
(1) Jelaskan faktor resiko yang dapat mempengaruhi kesehatan.
(2) Ajarkan perilaku hidup bersih dan sehat.
(3) Ajarkan strategi yang dapat digunakan untuk meningkatkan
perilaku hidup bersih dan sehat
4. Implementasi
33
5. Evaluasi
Evaluasi merupakan langkah terakhir dari proses keperawatan.
Semua tahap keperawatan harus dievaluasi dengan melihat klien, perawat,
anggota tim kesehatan lainnya dan bertujuan untuk menilai apakah tujuan
dalam perencanaan tercapai atau tidak untuk melakukan pengkajian ulang
dalam perencanaan tercapai atau tidak atau untuk melakukan pengkajian
ulang jika tindakan belum berhasil.
Evauasi terbagi menadi dua jenis yaitu evaluasi formatif dan evauasi
sumatif. Evaluasi formatif berfokus pada aktivitas proses keperawatan
dan hasil tindakan keperawatan. Evaluasi formatif ini dilakukan segera
setelah perawat mengimplementasikan rencana keperawatan guna
menilai keefektifan tindakan keperawatan yang telah dilaksanakan.
Perumusan evaluasi formatif ini meliputi empat komponen yang dikenal
denga istilah SOAP, yakni subjetif (data berupa keluhan klien), objektif
34
(data hsil pemeriksaan), analisa data (pembagian data dengan teori), dan
perencanaan (Asmadi, 2008)