Anda di halaman 1dari 3

Nama: M Salman Riski

Nim: 106223021
Mata kuliah: Sosiologi
Studi:Hubungan Internasional
Fakultas:Ilmu Komunikasi dan Diplomasi
Doasen Pengampu:Rusdi j.Abbas,Ph.d

Teori Sosiologi
(Dari Sosiologi Klasik Sampai Perkembangan Terakhir Postmodern)

Penjelasan mengenai keadaan sosial masyarakat tidak bisa dipisahkan dengan ilmu
pengetahuan sosiologi. Permasalahan sosial adalah aspek utama, mengapa teori-teori
sosiologi terus bermunculan. Tujuannya adalah sebagai suatu analasis terhadap permasalahan
tersebut dan menemukan resolusi konflik dalam masyarakat itu sendiri. konsep- konsep
bagaimana para filsuf sosiologi menganalisis.
suatu teori kedalam suatu penelitian ilmiahnya akan dijelaskan, dalam Goerge Ritzer.
Jenis metateorisasi yang kedua MP adalah suatu pendekatan teori yang
secara mendetail dan kajian cermat, reaksi, pada teoritisi yang lain. Contoh yang
menggunakan pendekatan ini adalah Karl Marx dimana dalam buku “Economic
dan Philosopic Manuscripts of 1844”, Marx mengembangkan teoritisnya
menggunakan analisis yang cermat, detail, dan kritik terhadap sejumlah karya para
ahli ekonomi, seperti Adam Smith, Jean-Baptiste Say, David Ricardo, dan para
filsuf lainnya. Bukan hanya karya itu saja, kebanyakan karya Marx menggunakan
metode pendekatan MP dalam menemukan suatu gagasan yang baru. Dengan kata
lain, Marx adalah seorang metateoretisi, yang mungkin paling metateoretis
diantaara semua teoretesi sosiologi klasik.
Jenis Metateorisasi yang ketiga MO suatu peerspektif yang berfungsi
untuk memayungi teori lainnya. Contoh metateorisasi yang ketiga ini bisa dilihat
dari karya Ritzer dan Gindoff mengenai “relasionisme metodologis” yang berperan
untuk melengkapi teori yang sudah ada, yaitu “individualisme metodologis”. Karya
relasionisme metodologis muncul dari kajian tentang karya mengenai integrasi
makro-mikro dan struktur-agensi maupun berbagai karya dari psikologi social. Jenis-jenis
Metateorisasi diatas adalah bagiamana membedakan para filsuf
dalam membentuk suatu karya. Bagaimanapun, para filsuf yang menggunakan
salah satu dari metateori tersebut akan cenderung tidak tertarik dengan metateori
lainnya. Tetapi ada saja para peneliti yang menggunakan ketiganya untuk
membentuk sebuah karya sosiologi. Alexander adalah salah satu filsuf yang
menggunakan ketiga mode tersebut di karyanya. Dia menciptakan perspektif yang
melingkupi (MO) “Theoretical Logic in Sociology”, dan mengembangkan
perspektifnya ke dalam tiga jilid untuk mencapai pemahaman yang maksimal (M U),
kemudian membantu teori klasik dengan menciptakan neofungsionalisme,
berfungsi sebagai penerus teori fungsionalisme struktural (MP). begitulah
penjelasan secara singkat mengenai pemahaman ketiga metateorisasi tersebut.
Sosiologi Refleksif dari Pierre Bourdieu
Berbeda dari Ritzer yang mengkelompokan Metateorisasi menjadi subjenis,
Bourdieu menyerukan sebuah sosiologi refleksif. “Bagi saya, sosiologi selayaknya
menjadi meta, tetapi selalu berhubungan dengan dirinya sendiri. Ia harus
menggunakan instrumennya sendiri untuk mengetahui apakah dirinya dan apa
yang sedang dilakukannya, berusaha mengetahui lebih baik di mana ia berposisi. Penjelasan
Bourdieu sebelumnya membuat saya menyimpulkan bahwa seorang
filsuf sosiologi harus menyadari sudah adanya pemikiran orang lain yang bisa
menjadi referensi dalam menganalisis data. Mengenai penjelasan Refleksif
“berusaha mengetahui lebih baik di mana ia berposisi”, saya menganggap hal ini
menjelaskan bagaimana para filsuf sosiologi memandang kehidupan pada masanya.
Pada saat mereka ingin melakukan suatu analisa sosial, mereka harus paham
tentang situasi saat itu. Pemikiran filsuf baru, mungkin saja sudah dipikirkan orang
lain sebelumnya, untuk itu para filsuf perlu untuk menghubungkan pemikiranpemikiran
sebelumnya dengan pemikiran mereka. Pemikiran sebelumnya itu
digunakan sebagai warisan atau sumbangan masa lalu.
Bourdieu berargumen “sosiolog perlu menghindar menjadi mainan bagi
kekuatan-kekuatan sosial dalam praktik sosiologi [mereka]”. Dalam menghindari
hal ini Bourdieu memahami penggunaan metateoritis sebagai “sosioanalisis”,
tujuannya adalah untuk membebaskan dari semua kekuatan yang menentukan.
Meski Bourdieu berusaha untuk membatasi efek-efek eksternal pada karyanya,
tetap saja dia tidak bisa terbebas dari kekuatan-kekuatan tersebut. Tetap saja, usahausaha
Bourdieu sama benarnya dengan usaha metateorisasi secara umum. Bourdieu tidak sepakat
untuk memisahkan metateorisasi sebagai
disiplin sosiologi tersendiri dari aspek-aspek sosiologi. hal ini disimpulkan oleh
Swartz (1997) bahwa Bourdieu dengan Ritzer tidak memiliki visi yang sama untuk
menetapkan metateori sebagai subbidang yang sah dalam disiplin sosiologi.
Gambaran umum demikian membawa kita untuk meneliti lebih lanjut tentang
metateoritis, gagasan-gagasan itu diutarakan oleh filsuf filsafat ilmu yaitu Thomas. contoh
dari sifat paradigma majemuk dalam mengidentifikasi suatu masalah. Dilanjutkan penjelasan
teori yang berhubungan dengan masing-masing masalah. Selain sifat paradigma majemuk
sosiologi, Ritzer menyediakan argumen bagi integrasi paradigma dalam sosiologi. Inti dari
paradigma yang terintegrasi adalah gagasan berbagai tingkatan analisis sosial.
Nantinya digunakan untuk menghadapi kompleksitas dunia sosial.
Dalam pembangunan paradigma diperlukan suatu tingkatan analisis.
Penentuan paradigma tergantung dari bagaimana pandangan kita terhadap tingkatan
analisis. Dunia sosial sangatlah rumit, untuk memahaminya kita membutuhkan
suatu metode yang sederhana. Terdapat dua kontinum untuk menentukan tingkatan
analisis antara lain. Kontinum pertama Mikroskopik dan Makroskopik, Kontinum
yang kedua adalah Objektif dan Subjektif. suatu level-level utama sebuah analisis sosial,
digunakan terus-menerus dalam pengembangan suatu proses historis. Level-level analisis
sosial itu tidak dapat dibahas terpisah karena semua fenomena makro-mikro juga
bersifat objektif-subjektif. Kesimpulannya adalah terdapat empat level utama dalam
analisis sosial, dan sosiologi harus berfokus pada antarhubungan dialektis antara
level-level tersebut. Tingkatan analisis sosial berhubungan dengan kebanyakan
teoritisi yang mendukung sebuah paradigma. Serta, bermanfaat dalam memahami
sebuah teori untuk membandingkannya dengan teori sebelumnya, dan kita harus
berusaha menghubungkan sebuah teori dengan tingkatan analisis tersebut. suatu level-level
utama sebuah analisis sosial, digunakan terus-menerus dalam pengembangan suatu proses
historis. Level-level analisis sosial itu tidak dapat dibahas terpisah karena semua fenomena
makro-mikro juga bersifat objektif-subjektif. Kesimpulannya adalah terdapat empat level
utama dalam analisis sosial, dan sosiologi harus berfokus pada antarhubungan dialektis antara
level-level tersebut. Tingkatan analisis sosial berhubungan dengan kebanyakan
teoritisi yang mendukung sebuah paradigma. Serta, bermanfaat dalam memahami
sebuah teori untuk membandingkannya dengan teori sebelumnya, dan kita harus
berusaha menghubungkan sebuah teori dengan tingkatan analisis tersebut.

Anda mungkin juga menyukai