Anda di halaman 1dari 16

No Tanggal Waktu Halaman Materi

1. 11 November 2023 20.15 WIB 1-4 BAB 1 Ketepatan Memaknai Dan Ketepatan
Tulisan.

2 11 November 2023 21.10 WIB 5-8 BAB 2 Menentukan Panjang Pendek Laporan.

3. 23 November 2023 20.30 WIB 9-12 BAB 3 Fakta, Interpretasi, Dan Opini

24 November 2023 19.00 WIB 13-16 BAB 4 Mencari Dan Mengakresiasi Berita

26 November 2023 11.06 WIB 17-20 BAB 5 Deskripsi, Narasi Dan Eksplorasi

11.30 WIB 21-25 BAB 6 Melatih Kemampuan Responsif

20.00 WIB 27-31 BAB 7 Jurnalisme Presisi

27 November 2023 14.00 WIB 33-36 BAB 8 Pentingnya Kata Ganti

14. 38 WIB 37-40 BAB 9 Mengenal Kode Etik Jurnalistik

20. 20 WIB 41-44 BAB 10 Yang Paling Sulit, Bagaimana Memulai

20.35 WIB 45-50 BAB 11 Bagaimana Menjaga Stamina Dalam


Menulis
21.00 WIB 51-54
BAB 12 Metabolisme Intelektual
28 November 2023 10.30 WIB 55-59
BAB 13 Apa Yang Pantas Ditulis?
11.00 WIB 61-64 BAB 14 Trik Mengembangkan Gagasan
11.25 WIB 65-68 BAB 15 Memilih Features
11.40 WIB 69-73 BAB 16 Bermula Dari Pertanyaan-Pernyataan

15.00 WIB 75-79 BAB 17 Menulis Itu Gampang

3 Desember 2023 11.45 WIB 81-83 BAB 18 Variasi Menulis

12.06 WIB 85-89 BAB 19 Jangan Percaya Pada Bakat

12.42 WIB 91-94 BAB 20 Metafora

4 Desember 2023 22.19 WIB 95-98 BAB 21 Metamorfose


BAB 1 Ketepatan Memaknai Dan Ketepatan Tulisan.
Sebuah karya jurnalistik dikemas baik atau buruk diitentukan oleh kegiatan awal
pencarian fakta di lapangan. Dalam ilmu jurnalistik kegiatan ini disebut “news gatherin” Seorang
jurnalis harus mampu menangkap peristiwa-peristiwa yang ada di sekitarnya, sebab kesempatan
waktu yang diberikan oleh media tempat ia bekerja untuk menulis peristiwa ini seringkali sangat
terbatas. Jika media tempat ia bekerja tersebut surat kabar harian, misalnya, ia hanya diberikan
kesempatan waktu (deadline) paling banyak lima jam saja. Misalnya peristiwa tersebut terjadi
pukul 09.00 BBWI, maka ia harus sudah memiliki draft (outline) yang lengkap sebelum pukul
17.00 BBWI. Dan naskah jadinya mestinya harus satu jam kemudian, Naskah ini masih harus
diperiksa editor, disetting, dilayout, sebelum kemudian dicetak. Tegasnya cara kerja jurnalis
harus cepat. Karena itu orang yang ingin bekerja di bidang jurnalistik harus memiliki apa yang
disebut “kemampuan responsif” , yakni kemampuan dalam memaknai peristiwa yang hendak
diliput dengan cepat dan tepat. Tentang bagaimana metode latihan untuk membentuk kecepatan
dalam merespon gejala akan kita bahas nanti.
BAB 2 Menentukan Panjang Pendek Laporan.

Sebuah laporan jurnalistik sebaiknya ditulis panjang atau pendek? Jawabannya


tergantung keadaan. Bila yang ingin dilaporkan hanya hal-hal yang penting saja, sebaiknya
dibuat ringkas. Berita yang diringkas dinamai straight new, Tetapi bila banyak hal yang bernilai
pandang layak diketahui khalayak, bisalah dibuat lebih panjang, lebih dalam, dan lebih detail,
bentuk laporan yang ini disebut depth news. Pertimbangan lain, lihat juga ruang (space) yang
disediakan. Bila memungkinkan, suatu berita bisa dipecah-pecah jadi beberapa bagian.
Pembagian itu didasarkan pada “focus perhatian” yang diambil (ditentukan). Berita yang
merupakan bagian berita (utama) ini disebut “angel” yang artinya sisi. Pemecahan berita
kedalam “angel” ini bermanfaat untuk hindari kejenuhan pembaca. Disamping itu, berita yang
dibuat bisa lebih detail sekaligus dalam. Kita ambil contoh berita “kedatangan menpen R.
Hartono di sekolahmu” . Berita utamanya disajikan dalam bentuk straight news (rimgkas, hanya
menyangkut elemen 5W+1H). Hasilnya demikian: selama 2 hari (2-3 september) Menpen
Hartono mengunjungi SM 8 dalam rangka reuni (temu kangen) dengan beberapa guru setempat
dan alumni lainnya yang ada di Surabaya. Kunjungan tersebut di samping disertai Gubernur
M.Basofi Soedirman juga kakanwil Dekdikbud Jatim Drs.H. Atlan. Kegiatan yang dilakukan R.
Hartono selama dua hari tersebut meliputi ceramah dan dialog.

BAB 3 Fakta, Interpretasi, Dan Opini

Fakta adalah suatu kenyataan peristiwa atau keadaan yang sungguh-sungguh ada dan
terjadi. Interpretasi adalah penafsiran dari wartawan terhadap fakta. Sedangkan opini adalah
pendapat subjektif yang taka da dalam fakta. Contoh:

Fakta: Gatot diterima bekerja di radio Solitaire FM.

Interpretasi : Gatot diterima bekerja di radio Solitaire FM. Karena memiliki olah vocal yang
baik.

Opini : bila direkturnya bukan imam sudiro, pamannya sendiri, mustahil gatot diterima sebagai
penyiar di radio tersebut

Dari contoh jelas sekali bahwa opini bersifat sangat subyektif, karena muncul dari pendapat
pribadi si wartawan. Mengapa opini wartawan tidak boleh masuk dalam berita? Pertama, agar
pembaca tidak tersesat dalam memahami kenyataan yang sebenarnya, sebab boleh jadi opini
yang dimasukkan dalam berita sangat bertentangan dengan kenyataan yang ada (realitas
empirik). Kedua, dengan masuknya opini wartawan dalam berita dikhawatirkan menjurus kepada
“fitnah”. Pada contoh di atas jelas sekali Gatot dirugikan, karena ia terima melalui prosedur
penerimaan (rekruitmen) yang obyektif (melalui test dan wawancara). Dalam ilmu jurnaslitik,
berita yang memojokkan seseorang ini disebut libel, yang artinya kurang lebih penyebaran fitnah
secara tertulis.

Ketiga, bila masyarakat banyak yang dirugikan oleh opini wartawan, kemudian melalukan protes
(mungkin lewat surat pembaca di Koran lain), maka kredibilitas (kepercayaan masyarakat)
terhadap korannya menjadi hancur. Keempat, opini dalam berita mengesankan bahwa si
wartawan tidak mempunyai bahan akurat untuk ditulis. Kesan tambahannya wartawan Koran
tersebut malas terjun ke lapangan.

BAB 4 Mencari Dan Mengakresiasi Berita

Pernah memperhatikan orang mencari barang-barangnya yang jatuh di jalan? Ciri-cirinya


orang yang lagi nyari barang paling tidak akan toleh sana sini. Selain itu dia juga akan menanyai
pada setiap orang yang ditemuinya. Ujungnya, dia akan gelisah.

Gambaran di atas sudah tidak cocok lagi atau ketinggalan zaman kalau diterapkan dalam
kegiatan jurnalistik. Mencari berita tidak seperti pemulung di tempat pembuangan sampah.
Dengan kata lain jurnalis masa depan tidak boleh tergantung pada peristiwa atau mengandalkan
pengalamannya di sepanjang jalan yang dilaluinya. Ada tidak ada peristiwa, seorang wartawan
harus bisa bikin berita. Jika seorang wartawan hanya bergerak mencari berita setelah
memperoleh undangan dari seseorang atau pemberitahuan dari orang lain mengenai suatu
peristiwa, maka isi beritanya telah banyak diketahui khalayak. Masalahnya bagaimana bila suatu
ketika tidak ada undangan atau permintaan. Apakah wartawan tidak menulis berita? Krena itu,
prinsip mencari berita tidak lagi bersifat “menunnggu” tetapi harus “pro aktif” atau istilah
populernya jemput bola. Bagaimana mungkin suatu berita ditulis tanpa suatu peristiwa?
Maksudnya, peristiwa itu tetap ada, Cuma wartawan juga harus punya gagasan sendiri yang
kemudian ditindaklanjuti atau dijajaki kemungkinannya jadi berita. Misalnya begini, di
sekolahmu kebetulan belum bikin koperasi, itu berarti kamu tidak bisa membuat tentang koperasi
sekolah!

BAB 5 Deskripsi, Narasi Dan Eksplorasi

Deskripsi, narasi dan eksplorasi itu istilah yang sudah dikenal luas dalam istilah
jurnalistik, yang digunakan untuk menjelaskan bagaimana seorang wartawan menuturkan apa
yang diketahui, dilihat, dan didengarnya.

Deskripsi itu suatu pola tutur yang menggambarkan sesuatu. Seolah-seolah wartawannya terlibat
langsung dengan kejadian atau sesuatu yang ditulisnya. Kelihatannya si wartawan juga tahu atau
mengerti betul dengan yang ditulisnya. Kita ambil contoh berita tentang “Berdirinya koperasi
sekolah”. Jika menggunakan pola ini, beritanya begini: Senin (9 September). Drs. Rudy Rizaldy
meresmikan berdirinya koperasi sekolah di SMU Kebraon.
Peresmian koperasi sekolah yang banyak didambakan oleh guru, siswa dan karyawan di SMU
yang dipimpinnya itu, disertai gelar bazar yang diprakarsai anggota OSIS. Hari berikutnya
diadakan seminar tentang koperasi oleh ibu Desy Samidjo dari kanwil Depkop Jatim.

Pada tahap awal, koperasi ini baru melayani kebutuhan-kebutuhan untuk siswa, seperti
pengadaan buku, alat tulis, makanan ringan, dan sejenisnya. Bila modal sudah mencukupi akan
ditingkatkan menjadi koperasi simpan pinjam.

Apa itu eksposisi? Suatu cara yang menggambarkan peristiwa yang menggunakan kiasan tertentu
guna memperoleh efek yang lebih hebat dan menarik.

BAB 6 Melatih Kemampuan Responsif

Wartawan itu harus memiliki kemampuan responsif, yaitu kemampuan cepat tanggap
atau peka terhadap lingkungannya. Peka dalam pengertian jurnalistik tak lain kemampuan
memberi makna pada gejala. Kepekaan itu baru ada manfaatnya bila bisa dituangkan dalam kata-
kata.

Peka terhadap apa yang ada di sekitar kita dan yang terjadi merupakan sesuatu yang tidak
memiliki oleh semua orang. Malahan banyak orang yang tidak mengerti terhadap segala sesuatu
yang dilakukannya, ada yang baru menyadari setelah sekian lama berlalu. Jika semua orang peka
terhadap lingkungannya, tentu lubang-lubang di jalan raya tidak berlama-lama dibiarkan
membahayakan pemakai jalan. Bila teman-teman kita mempunyai kemampuan responsif, tentu
tidak sampai mengalami LKMD (lamar keri meteng disik), sebab begitu ada hal-hal yang tidak
beres ia segera mengetahui dan mneyadari kemudian cepat mencegahnya. Masih banyak lagi
contoh, yang menunjukkan bahwa lambannya kepekaan kita itu menyebabkan kerugian besar.
Nah, dalam era jurnalistik ini bila wartawan tidak cepat tanggap terhadap lingkungannya, jelas ia
akan kehilangan bahan beritanya. Wartawan itu dilarang keras “telmi (telat mikir).

Apakah kemampuan cepat tanggap ini bisa dilatih? O, tentu. Cepat atau lambatnya seseorang
menanggapi peristiwa di sekitarnya tergantung pada kebiasaan. Jika seseorang punya kebiasaan
bangun kesiangan bisa jadi karena kebiasaan ngulet di tempat tidur, dan pikiran tidak
difungsikan buat merancang kreasi, buat belajar dan seterusnya. Nah, soal kebiasaan ini
seringkali tidak pernah kita koreksi. Kebiasaan yang menjebak kita dalam budaya “telmi” itu
adalah “doing nothing” (melakukan sesuatu tidak untuk apa-apa).

Contoh, ketika guru kebetulan berhalangan masuk sehingga jam pelajaran kosong, lebih banyak
digunakan buat guyonan, ngrumpi atau duduk-duduk di kantin sambil merokok klepas-klepus.

Sebenarnya, semua hal yang kita alami merupakan pengetahuan dan informasi bila kita mau
memahaminya. Semua yang kita lihat, dengan dan alami adalah “makna-makna”. Cuma,
seringkali kita enggan memaknai, karena dianggap kerja sia-sia. Padahal dengan membiasakan
memaknai gejala, itu sudah merupakan latihan menuju kepekaan.
BAB 7 Jurnalisme Presisi

Salah satu kelebihan dalam memberi makna atau memaknai suatu gejala adalah memiliki
banyak sisi, dan sekaligus juga mempunyai banyak cara untuk mengungkapkannya. Pada
bahasan terdahulu kita sudah membicarakan pelbagai teknik, seperti deskripsi, narasi, eksposisi,
dan sebagainya. Untuk menyusun sebuah alur ‘cerita’, wartawan bisa mengutip pendapat nara
sumber yang berkompeten di bidang yang menjadi topic liputan. Entah itu saksi kejadian, pihak
yang berwenang, ataupun karena keahliannya (pakar). Wartawan bisa juga
menuslikannyadengan cara menggambarkan (mendeskrpsikan) seolah-seolah benar terlibat
dalamnya.

Dua cara tersebut masing-masing memiliki kelemahan. Biasanya untuk mencari gampangnya,
wartawan sangat suka menuslikan kutipan-kutipan. Di samping mencari informasi sederhana,
cukup mewawancarai satu orang (bahkan seringkali hanya melalui telepon), jadilah sebuah
berita, jug ada perasaan ‘aman’, sebab bila ada protes dari masyarakat wartawan bisa membela
diri, “lho itu bukan pendapat saya, itu pendapat bapak X!”.

Kelemahan model narasi adalah bahwa apa yang dikatakan nara sumber bukan merupakan
peristiwa sendiri. Nara sumber hanyalah memberikan pendapatnya tentang suatu peristiwa.
Pendapat nara sumber tidak selalu benar. Karena itu, ada banyak kemungkinan (probalitas),
sebuah berita yang terlalu banyak mengutip pendapat nara sumber, akan menjadi bias
(menyimpang dari peristiwa sesungguhnya). Kelemahan yang kedua, seringkali wartawan
kehabisan bahan karena wawancaranya dilakukan tergesa-gesa, sehingga apa yang dikatakan
nara sumber dimuat semua yang dikatakan nara sumber dimuat semua (secara keseluruhan).
Padahal belum tentu semua kata-kata nara sumber mempunyai arti penting (nilai) bagi pembaca.
Meskipun nara sumbernya seorang menteri.

Sementara, model deskripsi, kelemahannya bila wartawan hanya mengandalkan bahan dari
kesaksian beberapa orang, tanpa didukung data-data ataupun bukti yang kuat. Hasilnya berupa
laporan yang kurang menarik, karena tidak memberi gambaran detail dan akurat.

BAB 8 Pentingnya Kata Ganti

Tentu kesannya menjemuhkan bila setiap kali mengutip pendapat nara sumber selalu diakhirinya
dengan kat-kata ‘menurutnya’, ‘katanya’, ‘ujarnya’, dan ‘-nya’ lainnya. Ini sangat sering
dilakukan wartawan yang malas mencari kata ganti nama nara sumber yang lebih memiliki nilai.
Memang kata gantinya ‘nya’ sudah mewakili subjek yang namanya disebut di bagian muka,
tetapi bila dalam sebuah laporan ‘nya’ tersebut diulang-ulang hingga puluhan kali kesannya
menjadi ‘monoton’.
Apalagi untuk suatu laporan yang tujuannya untuk menonjolkan seseorang yang punya peran
penting, pendapatnya yang cemerlang, atau memang laporan tersebut memang sebagai ‘profil’
seseorang, yang namanya kata ganti itu bukan saja bertujuan menghindari kebosanan, tetapi yang
lebih penting kata ganti bisa menunjukkan informasi-informasi yang bernilai, seperti:karakter
subjek, prestasi subjek, sejarah, bahkan sampai ke wawasan masa depan.

Kata ganti yang bisa memberi informasi-informasi karakter subjek misalnya: demikian kata
bujangan yang punya tinggi 172 cm, ujar jago angkat besi ini yang bobotnya 89 kg, seloroh anak
sulung jenderal panuju ini, tegas pria berambut ikal yang punya hobi makan bakso ini.

BAB 9 Mengenal Kode Etik Jurnalistik

Kode Etik Jurnalistik (KEJ) merupakan nilai-nilai yang disepakati oleh wartawan
Indonesia sebagai landasan dalam melaksanakan profesinya. Tujuannya agar dalam meliput
berita maupun menuliskannya, wartawan tidak sampai melakukan perbuatan yang merugikan
orang atau pihak lain. Dengan demikian, bila KEJ ini dihayati sebenarnya juga merupakan
‘rambu-rambu’ yang melindungi dirinya sendiri.

Sejarahnya, pada tahun 1946 (9 pebruari), Persatuan wartawan Indonesia (PWI) yang bersidang
di Surakarta (jawa tengah) merupakan Kode Etik tersebut. Tahun 1954 (1-2 Mei) mengalami
perubahan dan penyempurnaan pada Rapat Para Pemimpin Redaksi di Jakarta. Kemudian sejak 1
januari 1995 diberlakukan KEJ PWI yang telah disempurnakan.

Isi KEJ sangat singkat dan ringkas, terdiri dari Pembukaan dan tiga Bab yang mencangkup 17
pasal. Hal-hal yang diatur dalam KEJ meliputi: Kepribadian dan integritas, wartawan Indonesia
harus beriman dan bertaqwa Kepada Tuhan Yang Maha Esa, berjiwa pancasila, dan taat kepada
UUD 1945, ksatria, menjungjung tinggi harkat dan martabat manusia serta lingkungannya.

Dalam hal integritas, yang penting wartawan Indonesia harus penuh rasa tanggung jawab dan
biajksana mepertimbangkan patut tidaknya menyiarkan berita, tulisan, atau gambar yang dapat
membahayakan keselamatan dan keamanan Negara, persatuan dan kesatuan bangsa,
menyinggung perasaan agama, kepercayaan dan keyakinan suatu golongan yang dilindungi oleh
undang-undang. Kemudian juga, tidak menyiarkan berita, tulisan, atau gambar yang
menyesatkan, memutarbalikan fakta, bersifat fitnah, cabul, sadis, dan sensasi berlebihan.
Wartawan Indonesia tidak (dilarang keras!) menerima imbalan untuk menyiarkan berita atau
tidak menyiarkan berita, tulisan atau gambar yang dapat menguntungkan atau merugikan
seseorang atau pihak lain.

BAB 10 Yang Paling Sulit, Bagaimana Memulai

Aktivitas menulis, entah itu menulis laporan jurnalistik, opini, maupun karangan ilmiah, pada
hakekatnya adalah upaya memindahkan apa-apa yang dilihat, dialami, dan dipikirkan ke dalam
kata-kata (bahasa).
Setiap manusia sesungguhnya diberi karunia oleh Yang maha Kuasa berupa kemampuan
berbahasa untuk bisa berkomunikasi dengan orang lain. Nyaris kita tidak tahu, kapan mulai
kalinya seorang bocah berusia tiga atau empat tahun bisa berkata-kata dan maknanya bisa
mengerti dengan jelas. Kata-kata yang diucapkan tidak kita ketahui darimana belajarnya. Itulah
salah satu misteri kehidupannya yang membuat kita percaya, bahwa setiap manusia mempunyai
potensi mampu menyampaikan maksud dengan bahasa. Tentu saja, karena bahasa telah menjadi
salah satu bentuk kebudayaan manusia, maka keberadaannya dikemas dalam norma-norma atau
kaidah-kaidah sesuai dengan kesepakatan masyarakat sekelilingnya. Dalam dunia penulisan pun
terdapat norma-normanya. Misalnya, norma-norma yang mengatur bagaimana menggunakan
huruf-huruf Besar (kapital); bagaimana menggunakan titik koma; bagaimana menulis sebuah
kutipan dan sebagainya. Hal-hal teknis tersebut pastilah harus dikuasai melalui proses pelajaran
dan latihan. Belajar dan latihan pun tidak cukup hanya satu dua kali saja melainkan mesti harus
terus menerus dan dengan disiplin yang tinggi.

Masalah lain yang tak kalah pentingnya dalam proses belajar menulis adalah sikap mental yang
belum total. Artinya, belajar apa saja, jika dilakukan setengah-setengah (nanggung istilahnya),
hasilnya tentu tidak bisa optimal. Seringkali penyakit yang paling “berbahaya” bagi seseorang
penulis adalah sikap GR (gede rumangsa). Baru sekali saja tulisan dimuat di Koran, sudah
merasa puas. Kemudian ogah nulis lagi. Padahal, kemampuan menulis itu ibaratnya pisau, bila
jarang dipakai akan cepat mengarat, dan sebaliknya semakin sering dipakai akan semakin tajam.

BAB 11 Bagaimana Menjaga Stamina Dalam Menulis

Rekan Ang Tek Khun yang sehari-harinya sebagai redaktur buletinny itu. Sebagiam besar
orang lebih senang mengirimkan puisinya ketimbang artikel, esai ataupun cerpen. Rupanya
orang menganggap bersastra itu identik dengan berpuisi, begitu rekan kita dari Surabaya itu
menyimpulkan.

Benarkah bersastra itu identik dengan berpuisi? Berpuisi sudah memberikan pengertian yang
denotatif, pengertian yang jelas dan konsisten. Berpuisi artinya tidak akan lepas dari lingkungan
menciptakan/menulis puisi, memberi makna yang dalam terhadap puisinya, menyampaikan puisi
tersebut, kepada orang lain (sosialisasi), dan melakukan hubungan kemanusiaan lewat puisi.
Sementara yang disebut bersastra mengalami perkembangan yang sangat luas dan mempunyai
pengertian konotatif. Bersastra tidak terbatas pada kegiatan tulis menulis ataupun menulis puisi,
tetapi untuk berbagai hal yang menyangkut penyampaian makna kemanusiaan lewat bahasa fiksi
kemudian disebut bersastra, sehingga di samping ada istilah sastra tertulis juga ada sastra lisan.

Sekalipun dalam bentuknya penulisan puisi juga mengalami pertumbuhan yang amat pesat,
terutama munculnya karya-karya orisinil yang berani melakukan perubahan radikal terhadap
bentuk, isi, maupun bahasa dalam puisi. Akan tetapi, konvensi penulisan puisi tersebut tetap
menunjukkan keajegan tertentu: misalnya orientasi makna, titik fokus narasi, tipografi. Jadi puisi
itu menunjukkan aspek yang spesifik atau khusus, sementara bersastra merupakan ungkapan
yang luas dan umum.

Barangkali yang perlu dijaga agar kegiatan menulis yang satu tidak menghancurkan yang lain,
adalah soal ambisi untuk mengejar target. Menulis apa pun kalau dipaksakan hasilnya tentu akan
tidak sempurna/ tidak optimal. Oleh karenanya banyak penulis kita yang mutu tulisannya kadang
lumayan tapi tak jarang harus rela mendekam dikeranjang sampah redaktur surat kabar.

BAB 12 Metabolisme Intelektual

Dalam dunia tulis menulis, intelektual kita juga membutuhkan cara kerja seperti itu agar
mampu mengasilkan output yang bagus. Sistem kerja dalam tulis menulis mirip dengan cara
kerja sistem jaringan dalam tubuh kita, yakni memasukkan sejumlah bahan untuk digubah
menjadi keluaran. Upaya yang harus menerus menjadikan sesuatu dari sesuatu yang lain inilah
yang disebut pola piker (frame of thingking).

Mungkin saja kita telah mempunyai banyak pengetahuan untuk ditulis. Bisa dari hasil membaca,
mengikuti seminar atau pengamatan langsung. Tugas seorang penulis adalah bagaimana kita
memilih secara selektif pengetahuan-pengetahuan itu menjadi suatu tema tertentu. Disini, si
penulis harus memiliki sudut pandang sendiri berdasarkan pemahamannya terhadap tema yang
tertulis. In yang disebut interpretasi.

Kemampuan metabolism intelektual ini sebenarnya merupakan kemampuan memberi pendapat


terhadap sesuatu. Kalau begitu kuncinya untuk berlatih ya harus berani membuat pendapat-
pendapat. Termasuk pendapat yang berbeda dengan pendapat orang lain. Tentunya pendapat
tersebut harus tetap pada bingkai “masuk akal”.

BAB 13 Apa Yang Pantas Ditulis?

Melaporkan dalam pengertian jurnalistik tidak berarti menyusun suatu pesan yang layak
untuk diketahui oleh orang banyak (kalayak). Dalam laporan itu mengandung nilai-nilai yang
patut untuk direnungkan, dipelajari, ditiru dan ditarik hikmahnya sebagai pelajaran hidup.

Kalau gitu apa bedanya dengan “ngerumpi”? Beda banget. Ngerumpi di kantin seringkali
tujuannya nggak jelas. Kadang hanya sekedar iseng. Sedangkan laporan jurnalistik muatan
informasinya mengandung nilai-nilai tertentu. Kalau misalnya kamu jengkel sama pak guru,
masak harus dilaporkan lewat surat kabar. Mana mungkin redakturnya mau muat. Hal kalayak
gitu hanya untuk konsumsi rasan-rasan sesame teman. Sangat berbeda misalnya ada temanmu
memperoleh prestasi siswa teladan tingkat nasional, maka itu patut menjadi bahan laporan
jurnalistik. Sebab mempunyai nilai-nilai yang patut diketahui orang banyak.

Nilai-nilai yang menjadi kriteria sesuatu itu layak dimuat di surat kabar oleh arek-arek
mahasiswa sering dijuluki “nilai berita” (news value). Ragamnya banyak, tapi yang penting ada
beberapa, misal: aktualitas pembicaraan yang hangat, proximitas sesuatu yang berhubungan atau
berkaitan dengan nilai-nilai sosial yang menjadi sasaran (pembaca), “Human Interest” masalah
yang menyentuh ruang batin kemanusiaan. Kelangkaan, sesuatu itu hanya ada secara khas.

BAB 14 Trik Mengembangkan Gagasan

Cara menyusun laporang dengan alat bantu unsur-unsur (who/what,how,when,where)


seperti yang dibahas dibagian terdahulu mungkin kurang memuaskan. Memang kelemahan
metode tersebut cukup banyak, misalnya kita menjadi sangat terpaku pada rumus, sehingga
gagasan tidak leluasa berkembang.

Silahkan Anda abaikan cara tersebut. Tapi bagi pemula metode tersebut masih menolong.
Sekiranya sudah cukup mahir menyusun kata-kata, kita bisa menggunakan patokan lain yang
lebih leluasa.

Misalnya tema yang kita tulis tentang “wati Sang Juara Pencak Silat se-Jatim”. Ada beberapa
pola yang bisa kita ikuti;

 Kita tulis laporan tersebut berdasarkan unsur-unsur yang terlibat dalam kejuaraan
tersebut.

 Kedua, kita tulis alasan-alasan mengapa kejuaraan tersebut diadakan

 Ketiga, kita tulis hal-hal yang melatarbelakangi keberhasilan wati.

 Keempat, kita tulis hal-hal yang berkaitan dengan perbandingan.

 Kelima, kita tulis hal-hal yang berhubungan dengan “proses” bagaimana urut-urutan
kejuaraan tersebut (sistem pertandingannya, siapa lawan siapa hingga mencapai final),

BAB 15 Memilih Features

Cara-cara yang dipergunakan dalam membuat laporan jurnalistik pada bahasan terdahulu
mungkin membuat anda bosan. Sebab yang ditonjolkan apa-apa yang tampak di permukannya
saja, kurang mendalam, dan kurang menyentuh hati nurani. Jika anda seseorang wartawan ,
masih ada cara lain yang lebih bebas untuk melaporkan “Wati Sang Juara Silat se Jatim” itu,
yakni dengan membuat tulisan dalam format yang biasa disebut features.

Menurut buku seandainya saya wartawan tempo (1996) yang ditulis oleh Goenawan Mohammad
dkk, yang dimaksud dengan features adalah “teknik mengisahkan sebuah cerita”. Yang
terpenting dai teknik ini bukan pada informasi aktualnya jadi, kita tak perlu menulis panjang
lebar tentang kejuaraan tersebut.Cukup menyinggunya sedikit bahwa Wati Sang Juara Silat se
Jatim. Yang terpenting kita menceritakan hal-hal yang “menarik” di balik si wati tersebut.
Dengan menyusun sebuah features tentang wati, kita bisa leluasa menuturkan hal-hal yang tidak
berkaitan dengan kejuaraan tersebut.

Oleh karena sifat laporan mendalam, maka tidak cukup hanya melakukan sekali wawancara
dengan nara sumber,dalam hal ini Wati. Pewawancara mesti berusaha akrab untuk bisa menguak
rahasia terdalam yang disembunyikannya. Maka, wawancara pun mesti dilakukan dalam suasana
santai, penuh keakraban. Pendeknya jauhkan dari segala bentuk formalitas.

Pendek kata, melalui features kita dapat menyeguhkan hal-hal yang bisa mengharukan,
mengagumkan, membanggakan atau sekaligus cerita tentang kepedihan, kepiluan, kesengsaraan,
dan semua hal yang menyentuh hati nurani.

BAB 16 Bermula Dari Pertanyaan-Pernyataan

Dengan bahasan terdahulu, mungkin kamu sudah menemukan tema-tema yang siap untuk
ditulis. Inti atau hakekat tema-tema tersebut dapat digolongkan menjadi dua, yakni menyangkut
tentang apa (what) dan yang lain menyangkut siapa (who). Tema yang menyangkut tentang apa,
contohnya:”Juara Umum Lomba Basket Se Jatim”,”Pentas Wayang Kulit Oleh Dalang Siswa
SMU”, “Kerja Sama SMU Dr. Soetomo dengan tabloid nyata”. Sedangkan tema-tema yang
menyangkut tentang siapa, contohnya : Panuju Memperoleh Penghargaan Karya Tulis Dari
Menpen”, Wati Juara Pencak Silat se jatim”, “Mengenal Peroleh NEM tertinggi se-Indonesia”,
dan sejenisnya.

Kita coba menyusun out line tentang “who” misalnya untuk tema “Wati juara Pencak Silat se-
Jatim”.

 Siapakah Wati itu? Siapa nama ayah ibunya, pekerjaan apa, anak nomor berapa, dari
berapa saudara, tempat tinggal lahirnya, hobi lainnya dan seabagainya. (who).

 Bagaimana ceritanya ia sampai berhasil menjadi juara? (how).

 Kapan atau sejak kapan ia berlatih? Sejak kapan ia mengikuti kejuaraan tersebut? (when).

 Dimana saja ia berlatih? Di mana saja ia mengikuti kejuaraan silat? (where)

Dari daftar pertanyaan ini kita cari jawabnya melalui sejumlah wawancara. Mungkin dengan
Wati sendiri, gurunya, orangtuanya, ataupun teman dekatnya. Catat secara detail hasil
wawancara tersebut, kemudian kita coba tulis dengan cara selang-seling dari unsur-unsur
tersebut (who, how, when, where).

BAB 17 Menulis Itu Gampang

Pertama:
Jadikan menulis sebagai kebiasaan. Misalnya, saat hati gundah karena dimarahi Mama,
jangan sungkan sungkan tuangkan isi hati dalam buku catatan harian. Juga saat jalan-jalan ke
mana saja, jangan lupa bawa sobekan kertas kecil (tentu jangan lupa alat tulis). Sebenarnya kita
malu bila melihat para penulis Manca Negara di negeri kita ini. Di samping nyengklang tustel
(alat memotret), biasanya tak lupa membawa notes ataupun blok-note. Mereka menuliskan
kesan-kesannya dengan rajin. Sampai di negaranya bisa ditulis untuk media massa ataupun
dibuat buku. Nah, kebiasaan menulis inilah yang kelak tanpa disadari membantu kita berpikir
sistematis (teratur) dan lancar dalam mengemukakan pendapat.

Kedua:

Supaya tahu menuliskan sesuatu, maka harus tahu dulu tentang sesuatu itu. Wah, kok mbulet sih?
Begini. Tidak mungkin (mustahil) orang bisa menulis dengan benar tanpa mengetahui
sebelumnya apa yang ditulisnya itu. Misal. Kita disuruh menulis GAJAH. Jika kita sebelumnya
tidak mengetahui secara pasti tentang binatang itu, kemungkinan menuliskannya menjadi salah.
Mosok ditulis……… Gajah adalah binatang melata berkaki banyak yang hidupnya di lautan
lepas. Makanannya cacing pita. Dan jika tidur menggelantung di antara dahan-dahan tanaman
bakau…… itu pasti salah kan? Karena itu, banyaklah mengamati gejala kehidupan di sekitar,
mengikuti diskusi dan seminar, serta perbanyak membaca (buku, surat kabar, majalah, dsb).

Ketiga:

Untuk sementara jangan takut salah. Inilah penyakit umum dalam dunia tulis menulis.
Sebaliknya, justru jangan takut meminta pendapat orang lain untuk mengoreksi tulisan kita. Kita
sangat membutuhkan masukan orang lain untuk mengetahui bagian mana yang kurak menarik,
kurang tepat, kurang dimengerti dan sebagainya. Jika belum apa-apa sudah takut, itu namanya
kalah sebelum bertanding

BAB 18 Variasi Menulis

Sebaiknya seorang penulis hanya menulis satu jenis tulisan saja ataukah perlu variasi?
Dengan menimba pengalaman banyak penulis yang telah “sukses”, dan tetap bertahan dalam
dunia menulis, saya menyarankan kepada penulis pemula untuk memilih yang terakhir, yakni
mencoba menulis dengan pelbagai variasi.

Siapa yang tidak kenal dengan prof. Dr. Umar Kayam? Hingga saat ini, budayawan yang
bermukim di Yogyakarta ini masih tetap menulis, mulai dari menulis esai (opini) untuk media
massa, menulis novel, maupun menulis makalah untuk kepentingan seminar.

Dengan mencoba menulis pelbagai variasi jenis tulisan, seseorang banyak belajar tentang teknik-
teknik mengungkapkan sesuatu dengan banyak cara. Hal ini akan melatih keterampilan
memindahkan realitas kedalam symbol-simbol verbal (bahasa). Di samping itu, ada kalanya
sesuatu cocok ditulis untuk cerpen. Dengan demikian, dengan menguasai banyak teknik
penulisan berarti semakin terbuka luas kesempatan untuk aktivitas penulisan.

Pertimbangan yang lain, dengan mencoba menulis bervariasi tersebut seseorang sebenarnya
sedang mencari teknis penulisan mana yang paling pas untuk dirinya.

Penulis-penulis yang telah melampaui proses kreatif sepuluh hingga dua puluh tahun biasanya
sudah mencoba menspesialisasikan diri dengan hanya menulis satu jenis tulisan dan bidangnya
pun spesifik. Tetapi, bukan berarti proses kreatif demikian (menulis bervariasi) otomatis
menjamin keberhasilan atau menjamin kelanggengan (kesetiaan). Sebab, yang menentukan itu
semua adalah “keseriusan”.

BAB 19 Jangan Percaya Pada Bakat

Meskipun bakat menentukan keberhasilan seseorang, tapi masalahnya tidak semua orang
secara tepat menunjukkan bakatnya sendiri. Bakat yang tersimpan dalam diri individu tidak bisa
hanya diidentifikasikan (ditengarai) berdasarkan perasaan-perasaan belaka. Untuk mengetahui
apakah seseorang berbakat atau tidak pada suatu bidang tertentu, mestilah melalui proses yang
panjang terlebih dahulu.

Sebagai contoh, jenderal besar soedirman semula mengira bahwa bakatnya adalah seorang guru,
karena itu beliau pada masa mudanya sempat menjalani profesi sebagai seorang pendidik. Dalam
perjalanan hidup selanjutnya ternyata ia temukan bakatnya sebagai seorang prajurit.

Dari sedikit ilustrasi di atas, kesimpulannya sederhana saja, yakni bahwa bakat tidak bisa
diketahui secara mendadak. Dan orang yang tidak pernah menjalani proses kreatif di suatu
bidang dapat dipastikan tidak akan pernah mengetahui apa bakatnya.

Kata lainnya, bakat itu sebenarnya tidak identic dengan kerja keras. Bakat tidaknya seseorang
bisa diketahui setelah yang bersangkutan menjalani secara tuntas proses “jatuh bangun” di suatu
bidang. Makna kata puitis “kegagalan merupakan sukses yang tertunda” adalah bahwa untuk bisa
berhasil di suatu bidang, tidak ada jalan lain kecuali “berusaha pantang menyerah”.

BAB 20 Metafora

Ini adalah suatu teknis menjelaskan suatu gejala dengan cara menghadirkan gejala lain,
yang tujuannnya agar apa yang dipaparkan menjadi lebih sederhana, lebih jelas dan mudah
dicerna. Biasanya gejala yang dipakai untuk mengganti gejala yang ingin disampaikan sifatnya
lebih konkret, sesuatu yang sudah akrab dengan kehidupan sehari-hari.

Sebagai contoh, rostow menggunakan analog take off (pesawat terbang yang siap meninggalkan
landasan untuk menggambarkan bagaimana suatu Negara menuju apa yang disebut
“kemakmuran”.
Para pakar politik banyak menciptakan metafor-metafor untuk menjelaskan sesuatu yang sangat
ruwet. Misalnya, untuk menjelaskan bagaimana suatu proses pengambilan keputusan dibuat,
meminjam cara kerja “sistem” dalam tubuh manusia di mana ada unsur-unsur dalam tubuh yang
saling bekerja sama, tetapi ada juga yang saling bertolak belakang. Dalam ajaran agama juga
banyak menggunakan metafora untuk menjelaskan pesan-pesan tertentu. Misalnya, untuk
menggambarkan betapa ilmu pengetahuan manusia sangat amat terbatas dibandingkan
pengetahuan manusia yang dimiliki Sang Maha Pencipta, digunakan gambaran pengetahuan
manusia itu seperti butiran pasir di lautan yang maha luas.

BAB 21 Metamorfose

Pernahkah kita merenungkan metamorfose seekor ulat menjadi kepompong kemudian


menjadi kupu-kupu? Sebelum tumbuh sayap di tubuhnya ada proses panjang harus dilalui:
bertahan hidup selama menjadi ulat, puasa dengan tabah dalam balutan, untuk kemudian pada
saatnya bisa terbang tinggi hinggap ke sana ke mari. Itulah yang disebut metamorphose. Selain
ulat masih ada jenis binatang lain yang harus melalui fase-fase tertentu. Kira-kira dalam dunia
tulis menulis juga ada proses semacam itu. Tidak mungkin ada seorang penulis yang “ujung-
ujung” (tiba-tiba) langsung mahir. Pasti harus melalui liku-liku. Memang ada para penulisyang
sebelumnya tidak dikenal, tiba-tiba dalam waktu yang tak begitu lama begitu produktif.
Tulisannya dimuat di banyak media. Apakah mereka sebelumnya tidak berbuat apa-apa? Tidak
begitu. Pada periode sebelumnya waktu yang dimiliki tidak digunakan untuk menulis. Tetapi
lebih terfokus menekuni bidang tertentu atau belajar secara total sehingga mencapai jenjang
tertentu. Apa yang mereka lakukan sebetulnya termasuk langkah-langkah yang memberi “modal
dasar” penulisan. Mereka itu begitu lama menumpuk pengalaman (experinces) dan
mengumpulkan ilmu pengetahuan (scientific knowledge). Pengalaman di bidang tertentu yang
dimiliki seseorang berhasil dalam menulis, sebab pengalaman ini bila dibeberkan (eksplanasi)
akan menjadi bahan penulisan yang menarik. Sedangkan ilmu pengetahuan yang dimiliki
membentuk ketajaman analisis, pemilihan focus perhatian, dan kemampuan berpikir sistematis
(runtut dan logis). Pengalaman dan pengetahuan ilmiah merupakan salah satu bahan mentah
dalam penulisan.

Faktor berikutnya tinggal ada atau tidaknya “kemauan” , sebab banyak orang yang punya
pengalaman segudang dan pengetahuan seabrek tidk mencuat dalam tulisan karena tidak adanya
kemauan.

Anda mungkin juga menyukai