Anda di halaman 1dari 42

LAPORAN PENDAHULUAN

GAGAL GINJAL KRONIS (CKD)

DI RUANG HEMODIALISA RSUD SIDOARJO

Disusu oleh:

RATNA CINDI LAILAWATI

201914201025

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN NERS

STIKES SATRIA BHAKTI NGANJUK

2023/2024
LEMBAR PENGESAHAN

LAPORAN PENDAHULUAN GAGAL GINJAL KRONIS (CKD)

DI RUANG HEMODIALISA RSUD SIDOARJO

Yang bertanda tangan dibawah ini, Dosen Pembimbing, Pembimbing Ruangan, dan Kepala
Ruang Hemodialisa mengatakan bahwa laporan pendahuluan dari :

RATNA CINDI LAILAWATI

201914201025

Telah selesai diperiksa dan disahkan oleh Dosen Pembimbing, Pembimbing Ruangan, dan
Kepala Ruang Hemodialisa.

Sidoarjo, Februari 2024

Mahasiswa

( )

Dosen Pembimbing Pembimbing Ruangan

( ) ( )

Kepala Ruangan

( )
LEMBAR KONSUL

Nama :

NIM :

Masa Praktek Ruangan :

No Tanggal Uraian Konsul Tanda Tangan


Pembimbing
Klinik/Akademik
KONSEP MEDIS CKD

A. Pengertian CKD

Gagal Ginjal terdiri dari gagal ginjal akut atau acute kidney injury (AKI) dan
gagal ginjal kronik atau chronic kidney disease (CKD). Penyakit gagal ginjal merupakan
suatu kondisi dimana fungsi ginjal melemah atau bahkan hilang dalam beberapa tahap
(Sukandar et al., 2011 dalam Pakingki et al., 2019).

AKI merupakan suatu kondisi dimana laju filtrasi glomerulus telah mengalami
penurunan yang terjadi selama beberapa jam hingga beberapa minggu, disertai dengan
terjadinya akumulasi pada produkproduk akhir atau sisa metabolisme tubuh, yaitu urea
dan kreatinin. Sedangkan CKD merupakan kehilangan fungsi ginjal yang terjadi selama
berbulan-bulan bahkan sampai bertahun-tahun dan ditandai dengan perubahan pada
struktur normal ginjal secara bertahap (Sukandar et al., 2011 dalam Pakingki et al.,
2019).

Ada juga pendapat yang mengatakan bahwa CKD merupakan keadaan terjadinya
penurunan terhadap fungsi ginjal yang cukup berat secara perlahan-lahan selama lebih
dari 3 bulan, disebabkan oleh berbagai penyakit ginjal. Kondisi ini dapat berkembang
menjadi semakin buruk dan umumnya tidak dapat normal kembali (Wish JB, 2014 dalam
Madania et al., 2022).

Berdasarkan beberapa pengertian diatas dapat disimpulkan bahwa CKD


merupakan suatu keadaan penurunan bahkan hilangnya fungsi ginjal yang terjadi selama
lebih dari 3 bulan. Keadaan ini dapat menyebabkan perubahan pada struktur normal
ginjal yang ditandai dengan penurunan laju filtrasi glomerulus.

B. Klasifikasi CKD

GFR adalah suatu penilaian fungsi ginjal untuk menilai fungsi ekskresi ginjal, dengan
menghitung jumlah dari hasil penyaringan yang dihasilkan oleh glomerulus. Derajat
penurunan nilai GFR menunjukkan tingkat keparahan kerusakan ginjal (Surya et al.,
2018).

GFR dapat diketahui dengan perhitungan menggunakan rumus sebagai berikut (Pahlevi
& Bachtiar, 2013) :

GFR = (140-umur) x (BB)/72 x Kreatinin Serum

CKD berdasarkan (GFR) diklasifikasikan menjadi beberapa derajat menurut , yaitu


(Suharyanto & Majid, 2013) :
Derajat GFR (ml/mnt/1.73m2 ) Penjelasan
1 >90 Kerusakan ginjal dengan GFR
normal
2 60-89 Kerusakan ginjal dengan GFR
menurun ringan
3 30-59 Kerusakan ginjal dengan GFR
menurun sedang
4 15-29 Kerusakan ginjal dengan GFR
menurun Berat
5 <15 Gagal ginjal

C. Etiologi

Terdapat beberapa penyakit yang dapat menyebabkan penyakit gagal ginjal


kronis diantaranya yaitu (Pranandari & Supadmi, 2015) :

1. Diabetes Melitus
Salah satu akibat dari komplikasi diabetes melitus (DM) yaitu penyakit yang
menyerang pembuluh darah kecil (mikrovaskuler), termasuk nefropati diabetika yang
merupakan penyebab utama penyakit ginjal stadium akhir. Berbagai teori mengenai
patogenesis nefropati seperti peningkatan produk glikosilasi dengan proses non-
enzimatik yang disebut AGEs (Advanced Glucosylation End Products), peningkatan
reaksi jalur poliol (polyol pathway), glukotoksisitas dan protein kinase C
berkontribusi terhadap kerusakan ginjal.
Kelainan glomerulus terjadi akibat denaturasi protein yang disebabkan oleh
tingginya kadar glukosa dan hipertensi intraglomerulus. Terjadi kelainan atau
perubahan pada membran basalis glomerulus dengan proliferasi dari sel-sel
mesangium. Kondisi ini akan mengakibatkan glomerulosklerosis dan berkurangnya
aliran darah, sehingga terjadi perubahan-perubahan pada permeabilitas membrane
basalis glomerulus yang ditandai dengan albuminuria.
2. Hipertensi
Tekanan darah tinggi dikaitkan dengan penyakit gagal ginjal kronis. Hipertensi
dapat memperparah kerusakan pada ginjal, hal ini dapat terjadi melalui peningkatan
tekanan intraglomeruler yang menyebabkan gangguan struktural dan gangguan
fungsional pada glomerulus yang dapat mengakibatkan penurunan laju filtrasi
glomerulus. Tekanan intravaskular yang tinggi dialirkan melalui arteri aferen ke
dalam glomerulus, dimana arteri aferen mengalami konstriksi akibat hipertensi.
3. Nefropati Analgetik
Nefropati analgetik merupakan suatu kondisi dimana nefron mengalami
kerusakan akibat penggunaan obat analgetik. Penggunaan obat analgetik dan Obat
Anti Inflamasi Non Streroid (OAINS) untuk meredakan rasa nyeri dan mengontrol
inflamasi dengan mekanisme kerja yang menekan sintesis prostaglandin. Akibat
penghambatan sintesis prostaglandin menyebabkan vasokontriksi renal sehingga
dapat menurunkan aliran darah ke ginjal dan berpotensi untuk menimbulkan iskemia
glomerular.
Obat analgetik dan OAINS juga menginduksi kejadian nefritis interstitial yang
selalu diikuti dengan kerusakan ringan glomerulus dan nefropati yang akan
mempercepat perkembangan kerusakan ginjal, nekrosis papila dan CKD. Obat
analgetik dan OAINS dapat menyebabkan nefrosklerosis yang berakibat
iskemiaglomerular sehingga menurunkan GFR kompensata dan GFR nonkompensata
atau CKD yang dalam waktu lama dapat menyebabkan gagal ginjal terminal.
D. Faktor Risiko

Menurut Pranandari & Supadmi (2015), beberapa faktor yang dapat


meningkatkan risiko penyakit gagal ginjal kronis diantaranya yaitu :

1. Usia
Usia merupakan salah satu faktor risiko penyakit degeneratif yang tidak dapat
dihindari. Hal ini disebabkan karena semakin bertambahnya usia, semakin berkurang
juga fungsi ginjal dan berhubungan dengan penurunan kecepatan ekskresi glomerulus
dan memburuknya fungsi tubulus. Penurunan fungsi ginjal dalam skala kecil
merupakan proses normal bagi setiap manusia seiring dengan bertambahnya usia,
namun tidak menyebabkan kelainan atau menimbulkan gejala karena masih dalam
batas wajar yang dapat ditoleransi oleh ginjal dan tubuh.
2. Jenis Kelamin
Secara klinik pria memiliki risiko menderita CKD dua kali lebih besar daripada
wanita. Hal ini dimungkinkan karena wanita lebih memperhatikan kesehatan dan
menjaga pola hidup sehatnya dibandingkan pria, sehingga pria lebih mudah untuk
terkena CKD dibandingkan wanita. Wanita lebih patuh dibandingkan pria dalam
mengonsumsi obat karena wanita lebih dapat menjaga diri sendiriserta bisa mengatur
tentang pemakaian obat.
3. Riwayat Merokok
Efek merokok fase akut dapat meningkatkan pacuan simpatis yang akan
menyebabkan peningkatan tekanan darah, takikardi dan penumpukan katekolamin
dalam sirkulasi darah. Pada fase akut, beberapa pembuluh darah juga sering
mengalami vasokontriksi misalnya pada pembuluh darah koroner, sehingga pada
perokok akut sering diikuti dengan peningkatan tahanan pembuluh darah ginjal
sehingga terjadi penurunan GFR.
E. Manifestasi Klinis
CKD dapat menyebabkan timbulnya berbagai manifestasi klinis diantaranya yaitu
(Suharyanto & Majid, 2013) :
1. Sistem Pernapasan
Tanda dan gejala CKD yang dapat mengganggu sistem pernapasan diantaranya
yaitu kussmaul yaitu pernapasan dengan panjang ekspirasi dan inspirasi yang sama,
sehingga pernapasan menjadi lambat dan dalam, dispnea atau sesak napas, edema
paru yaitu penumpukan cairan di kantong udara di paru-paru dan pneumonitis atau
peradangan pada jaringan paru-paru.
Untuk menegakkan diagnosis edema paru, yang dapat dilakukan yaitu
pemeriksaan penunjang berupa pemeriksaan foto toraks. Dalam hal ini yang
diperhatikan adalah sudut sinus kostofrenikus. Tumpulnya sudut sinus kostofrenikus
menandakan adanya cairan pada area tersebut (Hasan et al., 2017).
Maka, penanganan yang dapat dilakukan salah satunya dengan cara water seal
drainase (WSD) yaitu pengaliran udara atau cairan secara cepat dan terus menerus
dari rongga pleura yang diikuti atau tanpa diikuti pemasangan pipa atau selang.
Tempat pemasangan WSD biasanya pada ICS ke IV dan V di linea aksilaris anterior
dan media.
2. Sistem Kardiovaskuler
Pada sistem kardiovaskular tanda dan gejala yang muncul yaitu berupa retinopati
hipertensi (kerusakan pada retina mata), hipertensi ensefalopati (sindrom akibat dari
peningkatan tekanan arteri yang mendadak menjadi tinggi sehingga dapat
berpengaruh pada fungsi otak), beban sirkulasi berlebih, edema, gagal jantung
kongestif (gagal jantung kiri yang diikuti dengan gagal jantung kanan yang terjadi
secara bersamaan) dan aritmia (detak jantung yang tidak teratur, terlalu cepat atau
terlalu lambat).
Selain itu, penurunan fungsi ginjal juga dapat mengakibatkan hipertensi yang
menyebabkan kardiomegali. Kardiomegali merupakan suatu kondisi dimana jantung
mengalami penebalan pada dinding atau hipertrofi dan pembesaran ukuran ruang atau
dilatasi jantung lebih dari ukuran normal (Afikah & Nurhasanah, 2021).
Salah satu cara yang dapat digunakan sebagai pemeriksaan kardiomegali yaitu
pemeriksaan fisik toraks untuk mengetahui batasan-batasan jantung. Organ jantung
terletak pada rongga mediastinum, yaitu rongga yang berada di antara paru-paru
kanan dan kiri. Batas normal jantung diantaranya, batas atas jantung yang terletak
pada ICS II parasternal kiri, batas bawah jantung pada ICS V parasternal kanan, batas
kanan jantung pada ICS IV parasternal kiri dan batas kiri jantung pada ICS IV
midklavikula kiri.
Pemeriksaan penunjang berupa foto toraks juga dapat dilakukan untuk mengukur
cardiothoracic ratio (CTR) pada foto toraks postanterior (PA) (Minati et. al., 2013) :
A +B
=100 %
c

Keterangan :

A : Bagian terlebar dari jantung kanan ke garis tengah

B : Bagian terlebar dari jantung kiri ke garis tengah

C : Diameter terlebar toraks

Apabila hasil pengukuran lebih dari 50%, jantung dikatakan mengalami


kardiomegali atau pembesaran jantung baik pada atrium ataupun ventrikel
(Candrasatria et. al., 2014).

3. Sistem Metabolisme
Sistem metabolisme pada penderita CKD juga dapat terganggu yaitu
menyebabkan keabnormalan pada sintesis protein, hiperglikemia (kondisi dimana
kadar gula darah mengalami peningkatan yang berlebihan) dan peningkatan kadar
trigliserida yang disebabkan oleh konsumsi lemak secara berlebih.
4. Sistem perkemihan
Normal urine output adalah 0,5 hingga 1,5 cc/kg/BB/jam. Tanda dan gejala yang
dapat muncul pada sistem perkemihan yaitu poliuria dimana jumlah produksi urin
lebih banyak daripada biasanya, berlanjut menuju oliguria atau produksi urin
berkurang, lalu anuria atau tidak dapat memproduksi urin, nokturia atau kondisi
buang air kecil berlebih di malam hari dan proteinuria yaitu adanya protein serta
glukosa dalam urine.
5. Sistem Neuromuskuler
Pada sistem neuromuskuler pasien akan mudah merasa lelah, otot mengecil dan
mengalami kelemahan otot. Sedangkan pada sistem saraf pusat pasien dapat
mengalami penurunan kesadaran, konsentrasi memburuk, kekacauan mental, koma,
otot berkedut dan kejang.
6. Sistem Pencernaan
Pasien akan mengalami penurunan nafsu makan atau anoreksia. Mual, muntah,
nafas berbau amoniak, mulut terasa kering, perdarahaan pada saluran cerna, diare,
stomatitis atau radang yang terjadi pada mukosa mulut dan parotitis yaitu infeksi
virus yang menyebabkan bengkaknya kelenjar parotis pada wajah.
7. Sistem Dermatologi
Pasien dengan penyakit gagal ginjal kronis juga dapat mengalami perubahan atau
gangguan pada sistem dermatologi. Tanda dan gejala yang dapat di rasakan adalah
kulit tampak pucat, muncul rasa gatal pada kulit atau pruritus, kulit terasa kering dan
juga muncul memar pada kulit serta hiperpigmentasi yang dapat terjadi karena
peningkatan kadar ureum yang dapat berpengaruh terhadap Melanocyte-Stimulating
Hormone (MSH) yang memproduksi melanin.
8. Biokimia
Penyakit gagal ginjal kronis juga dapat menyebabkan asidosis metabolik dimana
status asam basa lebih bergeser ke sisi asam. Selain itu, azotemia yaitu penurunan
GFR sehingga blood urea nitrogen (BUN) dan kreatinin mengalami peningkatan.
Hiperkalemia atau peningkatan kadar kalium dalam darah, retensi natrium,
hipermagnesia atau peningkatan kadar magnesium dalam darah dan hiperurisemia
atau peningkatan kadar asam urat.
9. Seksualitas
CKD juga dapat berakibat pada seksualitas. Tanda dan gejala yang dapat
dirasakan oleh pasien dengan gagal ginjal kronisyaitu penurunan libido atau gairah
seks. Selain itu, amenore pada wanita yaitu kondisi dimana seorang wanita tidak
dapat mengalami menstruasi sebagaimana mestinya serta impotensi pada pria yaitu
ketika penis tidak bisa ereksi atau tidak dapat mempertahankan ereksi.
10. Hematologi
Penyakit gagal ginjal juga dapat mengakibatkan gangguan pada darah. Tanda dan
gejala yang mungkin terjadi yaitu berupa anemia, dimana jumlah sel darah merah
dalam tubuh mengalami penurunan, hemolisis atau pecahnya sel darah merah. Selain
itu, pasien juga menjadi berisiko terkena infeksi dan cenderung untuk mengalami
perdarahan yang disebabkan oleh disfungsi platelet atau trombosit. Disfungsi platelet
tersebut dikarenakan adanya peningkatan ureum yang tidak dapat dibuang karena
adanya penurunan fungsi ginjal.
11. Gangguan Kalsium
Gangguan kalsium yang dapat terjadi antara lain hiperfosfatemia yaitu kondisi
fosfat yang terlalu tinggi dalam darah, hipokalsemia atau rendahnya kadar kalsium
dalam darah, serta konjungtivitis atau mata merah akibat peradangan pada selaput
yang melapisi permukaan bola mata dan pada kelopak mata bagian dalam.
F. Patofisiologi
Patofisiologi CKD dimulai dari terjadinya peradangan pada glomeruli yang dapat
menyebabkan glomerulonefritis. Dapat juga disebabkan karena suatu kondisi
penyempitan pembuluh nadi yang menyebabkan penyakit vaskular. Selain itu, kelainan
kongenital dan penggunaan obat juga dapat menjadi faktor risiko terjadinya penyakit
gagal ginjal. Kondisi ini jika tidak mendapatkan perawatan yang maksimal dapat
memperparah kondisinya sehingga dapat menjadi penyakit gagal ginjal kronis (Prabowo,
2014).
Jika CKD telah berkembang, proses reabsorbsi dapat terganggu. Reabsorbsi
merupakan suatu proses mekanisme tubuh untuk menyerap zat-zat yang dibutuhkan oleh
tubuh. Proses reabsorbsi yang terganggu dapat menyebabkan penurunan GFR, yang
meningkatan akumulasi cairan dan meningkatkan preload sehingga terjadilah penurunan
curah jantung. Selain itu, gangguan penyerapan ini juga dapat meningkatkan kadar
natrium di dalam tubuh yang menyebabkan retensi cairan sehingga volume dalam
pembuluh darah meningkat dan mengakibatkan peningkatan pada permeabilitas kapiler
(Prabowo, 2014).
Peningkatan permeabilitas kapiler dapat menyebabkan edema atau penumpukan
cairan. Hal ini dapat mempengaruhi dua hal yaitu stagnansi vena yang dapat menjadi
gangguan integritas kulit/jaringan dan penurunan ekspansi paru yang menyebabkan sesak
napas sehingga pola napas tidak efektif dapat diangkat menjadi masalah keperawatan
(Prabowo, 2014).
Selain itu penurunan ekspansi paru dapat menyebabkan retensi karbondioksida
yang mengakibatkan asidosis respiratorik dimana gangguan pertukaran gas dapat
diangkat menjadi masalah keperawatan. Produksi urin juga dapat terganggu ketika organ
ginjal pada penderita CKD mengalami penurunan fungsi. Awalnya berupa poliuria,
kemudian berlanjut menuju oliguria, lalu anuria, nokturia dan proteinuria (Prabowo,
2014).
Pada CKD stadium akhir, ginjal sudah tidak berfungsi lagi sehingga diperlukan
cara alternatif untuk menggantikan fungsi ginjal tersebut. Salah satunya adalah dengan
proses hemodialisa yaitu terapi ginjal yang bertujuan untuk mengeluarkan toksin uremik
melalui penggunaan alat invasif secara berulang, sehingga penderita berisiko terkena
infeksi, peningkatan asam lambung karena kecemasan dan mual dan muntah sehingga
timbul masalah keperawatan defisit nutrisi serta intoleransi aktivitas yang disebabkan
oleh defisiensi energi (Prabowo, 2014).
Proses hemodialisa dengan tindakan invasif yang dilakukan secara berulang dapat
menyebabkan penurunan fungsi tubuh yang menimbulkan masalah keperawatan berupa
gangguan citra tubuh. Kondisi ini membuat penderita merasa sedih, berduka dan merasa
marah terhadap Tuhan sehingga dapat muncul masalah keperawatan distress spiritual
(Prabowo, 2014).
G. Pathway
H. Komplikasi
Penyakit ginjal yang sudah parah atau sudah berlangsung sejak lama
dapat menyebabkan anemia dan menurunnya hematokrit. Hal ini disebabkan
karena berkurangnya jumlah hormon pembentuk sel darah merah atau
eritropoietin yang dihasilkan oleh ginjal. Anemia terjadi ketika konsentrasi
hemoglobin berada di bawah 13 g/dl pada laki-laki dan di bawah 12 g/dl pada
perempuan. Serta nilai hematokrit di bawah rentang normal, dimana nilai
normal untuk hematokrit yaitu sebesar 40-52% (Ermawardani & Permatasari,
2021).
I. Pemeriksaan Penunjang
Menurut Prabowo & Pranata (2014) terdapat beberapa pemeriksaan
penunjang yang diperlukan untuk membantu menegakkan diagnosis CKD,
diantaranya :
1. Biokimiawi
Pemeriksaan utama dari analisa fungsi ginjal adalah pemeriksaan
kadar ureum dan keratinin di dalam darah. Pada pasien CKD, kadar
ureum dan kreatinin akan mengalami peningkatan. Namun, untuk hasil
yang lebih akurat untuk mengetahui fungsi ginjal adalah dengan analisa
klirens kreatinin.
Pada pemeriksaan biokimiawi, perlu diperhatikan mengenai batasan
normal ureum. Batasan normal ureum pada laki-laki yaitu 15-38 mg/dl,
sedangkan pada perempuan 7-18 mg/dl. Kadar kreatinin normal pada laki-
laki yaitu 0,7-1,4 mg/dl, sedangkan pada perempuan 0,6-1,2 mg/dl.
Namun, kadar ureum dikatakan tinggi apabila telah mencapai lebih dari
50 mg/dl.
2. Urinalis
Pemeriksaan urinalisis merupakan pemeriksaan yang dilakukan
melalui analisis sample urine. Pemeriksaan ini dilakukan untuk
mengetahui ada atau tidaknya infeksi yang terjadi pada ginjal atau
perdarahan aktif akibat inflamasi atau peradangan pada jaringan ginjal.
3. Ultrasonografi Ginjal
Ultrasonografi ginjal atau USG ginjal yaitu sebuah tindakan
pengambilan gambar non-invasif yang menentukan dan mengevaluasi
kondisi ginjal dan organ terkait seperti kandung kemih dan ureter,
merupakan salah satu pemeriksaan penunjang pada penyakit gagal ginjal
kronis. Hal ini dilakukan untuk memberikan informasi yang mendukung
menegakkan diagnosis pada gagal ginjal.
J. Penatalaksanaan
Penatalaksaan medis terhadap CKD dapat dibagi menjadi dua tahap,
yaitu (Suharyanto & Majid, 2013) :
1. Tindakan Konservatif
Tindakan penatalaksanaan medis pada penyakit gagal ginjal kronis
yang dapat dilakukan salah satunya adalah tindakan konservatif, dimana
tindakan ini memiliki tujuan untuk meredakan atau memperlambat
gangguan pada fungsi ginjal. Tindakan konservatif ini dapat
diimplementasikan dengan beberapa cara, antara lain :
a. Pengaturan diet protein, kalium, natrium dan cairan
1) Pembatasan protein
Pembatasan protein tidak hanya mengurangi kadar
(BUN), tetapi juga mengurangi peroduksi ion hidrogen yang
berasal dari protein. Pembatasan asupan protein telah terbukti
dapat memperlambat terjadinya penyakit gagal ginjal.
2) Diet rendah kalium
Hiperkalemia biasanya merupakan masalah pada gagal
ginjal lanjut. Kurangi asupan pada kalium. Diet yang
dianjurkan adalah 40-80 mEq/hari. Penggunaan makanan dan
obat-obatan yang tinggi kadar kaliumnya dapatmenyebabkan
hiperkalemia.
3) Diet rendah natrium
Ginjal normal mampu membuang kelebihan natrium
dalam tubuh namun pasien dengan CKD biasanya mengalami
penurunan kemampuan tersebut sehingga diet natrium sangat
dianjurkan dalam hal ini. Yaitu dengan mengonsumsi 40-90
mEq/hari (1-2 gram natrium). Asupan natrium yang terlalu
berlebih dapat mengakibatkan retensi cairan, edema perifer,
edema paru, hipertensi dan gagaljantung kongestif.
4) Pengaturan cairan
Asupan cairan penderita gagal ginjal tahap lanjut harus
diawasi dengan seksama. Parameter yang tepat untuk diikuti
selain data asupan dan pengeluaran cairan yang dicatat dengan
tepat adalah pengukuran berat badan harian. Aturan yang
dipakai untuk menentukan banyaknya asupan cairan adalah
jumlah urin yang dikeluarkan selama 24 jam terakhir dan
dijumlahkan dengan Insensible Water Loss (IWL).
b. Pencegahan dan pengobatan komplikasi
1) Hipertensi
Pasien penderita penyakit ginjal biasanya juga disertai
dengan hipertensi. Hal ini dapat dicegah dengan menjaga
keseimbangan garam. Selain mengandung yodium garam juga
mengandung natrium. Sehingga dalam hal ini sangat
dianjurkan untuk melakukan diet rendah natrium dikarenakan
fungsi ginjal sudah tidak normal seperti sebelumnya.
2) Hiperkalemia
Hiperkalemia merupakan komplikasi yang paling
serius, karena apabila K + serum mencapai sekitar 7 mEq/L,
dapat mengakibatkan aritmia dan juga henti jantung.
Hiperkalemia dapat diobati dengan pemberian glukosa dan
insulin melalui rute intravena, yang akan memasukkan K + ke
dalam sel, atau dengan pemberian kalium glukonat 10%.
3) Anemia
Anemia pada gagal ginjal kronis diakibatkan oleh
penurunan pada sekresi eritropoeitin oleh ginjal.
Pengobatannya adalah pemberian hormon eritropoeitin, yaitu
eritropoeitin rekombinan (r-EPO), selain dengan pemberian
vitamin dan asam folat, zat besi dan transfusi darah.
2. Terapi Pengganti Ginjal
Pada penyakit gagal ginjal tahap stadium akhir berarti ginjal sudah
tidak berfungsi lagi, sehingga diperlukan cara untuk membuang zat-zat
racun dari tubuh dengan terapi pengganti ginjal, seperti :
a. Continuous Ambulatory Peritoneal Dialysis (CAPD)
CAPD merupakan proses difusi dan ultrafiltrasi dari
kompartemen darah yang banyak mengandung toksin uremik ke
dalam cairan dialisat peritoneal yang bersifat hiperosmolar melalui
membran peritoneum. CAPD jarang digunakan dan tidak berkembang
di Indonesia disebabkan oleh masalah ekonomi dan kurangnya tenaga
kesehatan yang terampil untuk CAPD (Aida, 2020).
b. Hemodialisis
Hemodialisis merupakan salah satu terapi ginjal yang
menggunakan alat khusus dengan tujuan mengeluarkan racun atau
toksin uremik dan mengatur cairan akibat penurunan laju filtrasi
glomerulus dengan mengambil alih fungsi ginjal yangmenurun
(Djarwoto, 2018 dalam Isnayati & Suhatridjas, 2020).
Hemodialisis dilakukan dengan cara mengalirkan darah ke
dalam tabung ginjal buatan yang bertujuan untuk mengeliminasi sisa-
sisa metabolisme protein dan elektrolit antara kompartemen dialisat
melalui membran semi permeable (Manus et al., 2015 dalam Isnayati
& Suhatridjas, 2020).
Pasien gagal ginjal yang menjalani hemodialisa biasanya
dibuatkan akses pembuluh darah untuk prosedur hemodialisa, yaitu
Arteriovenous Shunt (AV Shunt) atau cimino merupakan akses yang
diperlukan dalam jangka waktu yang panjang dan berulang. Cimino
merupakan tindakan menyambungkan pembuluh darah arteri dan
vena pada lengan dengan tujuan menjadikan sambungan tersebut
sebagai akses hemodialisa dengan melalui tindakan operasi
(Sebayang & Hidayat, 2020).
Lokasi pembuatan cimino ini yaitu pada lengan bagian distal
tangan tidak dominan. Jika tidak memungkinkan, AV Shunt dapat
dibuat pada lengan proksimal tangan tidak dominan, menggunakan
arteri radialis dan vena cephalica dengan nama lain AV shunt
radiocephalica (Sebayang & Hidayat, 2020).
Sebelum dilakukan tindakan cimino, ahli bedah akan
melakukan pemetaan pembuluh darah yang dilakukan dengan
menggunakan USG Doppler vaskuler. Namun, apabila setelah
dilakukan USG tersebut tidak ditemukan vena cephalica yang cocok
di daerah pergelangan tangan maka dapat dilakukan pada arteri
brachialis dengan vena cephalica dengan nama lain AV shunt
brachiocphalica. Umumnya cimino membutuhkan waktu sekitar 4-16
minggu hingga dapat digunakan hemodialisis (Sebayang & Hidayat,
2020).
Selain itu, terdapat juga akses pembuluh darah yang bersifat
sementara yaitu berupa catheter double lumen (CDL). Umumnya
pemasangan CDL ini dilakukan dibagian leher atau paha. Sebelum
cimino digunakan, tindakan inilah yang akan dilakukan untuk proses
hemodialysis.
Terdapat beberapa kondisi yang menjadi indikasi
dilakukannya hemodialisis yaitu laju filtrasi glomerulus yang kurang
dari 15 ml/menit, hiperkalemia, kegagalan terapi konservatif, kadar
ureum lebih dari 200 mg/dl, edema dan anuria berkepanjangan yang
lebih dari lima kali.
Pada saat pasien datang ke ruang hemodialisis, pasien akan
diminta untuk membantu mengisi format pengkajian awal pada
pasien dialisis. Asesmen awal tersebut berisi data awal yang akan
diisi oleh perawat yaitu berupa data psikososial dan spiritual, riwayat
kesehatan, tanda-tanda vital.
Selain itu juga ada pengkajian kondisi psikologi, sosial
ekonomi dan spiritual, kebutuhan komunikasi dan edukasi, skrining
nutrisi dan cairan, status fungsional, pengkajian risiko jatuh untuk
pasien rawat jalan, evaluasi akses dialisis, masalah keperawatan dan
rencana keperawatan. Kemudian ada beberapa data pada formulir
asesmen awal tersebut yang harus diisi oleh dokter, diantaranya yaitu
pemeriksaan fisik, evaluasi laboratorium dan pemeriksaan penunjang
lain, diagnose medis dan care of plan.
KONSEP ASUHAN KEPERAWATAN

A. Pengkajian Keperawatan
Pengkajian adalah pemikiran dasar dari proses keperawatan yang
bertujuan untuk mengumpulkan informasi atau data tentang klien agar dapat
mengidentifikasi masalah-masalah yang dialami oleh klien, baik berupa
mental, sosial dan lingkungan (Supratti, 2016).
Beberapa hal yang harus dikaji pada pasien CKD menurut Prabowo
(2014) diantaranya yaitu :
1. Identitas
Penderita CKD kebanyakan berusia diantara 30 tahun, namun ada
juga yang mengalami CKD dibawah umur tersebut yang diakibatkan oleh
berbagai hal seperti proses pengobatan, penggunaan obat-obatan dan
sebagainya. CKD dapat terjadi pada siapapun, pekerjaan dan lingkungan
juga mempunyai peranan penting sebagai pemicu kejadian CKD. Karena
kebiasaan kerja dengan duduk / berdiri yang terlalu lama dan lingkungan
yang tidak menyediakan cukup air minum / mengandungbanyak senyawa/
zat logam dan pola makan yang tidak sehat.
2. Keluhan Utama
Keluhan berupa urine output menurun (oliguria) sampai pada anuria,
penurunan kesadaran karena komplikasi pada sistem sirkulasi-ventilasi,
anoreksia, mual dan muntah, fatigue, napas berbau amoniak dan pruritus.
Kondisi ini dipicu karena penumpukan zat sisa metabolisme/toksik dalam
tubuh karena ginjal mengalami kegagalan filtrasi.
3. Riwayat Keperawatan
a. Riwayat Kesehatan Sekarang
Pada klien dengan CKD biasanya terjadi penurunan urine
output, penurunan kesadaran, penurunan pola napas karena
komplikasi dari gangguan sistem ventilasi, fatigue, perubahan
fisiologis kulit, napas berbau amoniak. Kemudian juga berdampak
pada sistem metabolisme, sehingga akan terjadi anoreksia, nausea,
vomit dan berisiko untuk terjadi gangguan nutrisi.
b. Riwayat Kesehatan Dahulu
Riwayat penyakit yang diderita pasien sebelum CKD seperti
DM, glomerulonefritis, hipertensi, rematik, hiperparatiroidisme,
obstruksi saluran kemih, dan traktus urinarius bagian bawah juga
dapat memicu kemungkinan terjadinya CKD.
c. Riwayat Kesehatan Keluarga
CKD bukan penyakit menular atau menurun, sehingga silsilah
keluarga tidak terlalu berdampak pada penyakit ini. Namun pencetus
sekunder seperti diabetes melitus dan hipertensi memiliki pengaruh
terhadap penyakit CKD, karenapenyakit tersebut bersifat herediter.
4. Fokus Pengkajian
a. Pola Nutrisi
Pada pasien dengan CKD, biasanya terjadi peningkatan pada
berat badan karena adanya edema, namun dapat juga terjadi
penurunan berat badan dikarenakan kebutuhan nutrisi yang kurang
ditandai dengan adanya anoreksia serta mual atau muntah.
b. Pola Eliminasi
Terjadi oliguria atau penurunan produksi urine kurang dari 30
cc/jam atau 500 cc/24 jam. Bahkan dapat juga terjadi anuria yaitu
tidak bisa mengeluarkan urine. Selain itu juga terjadi perubahan warna
pada urine seperti kuning pekat, merah dan cokelat.
c. Pola Istirahat dan Tidur
Pada pasien yang menderita penyakit gagal ginjal kronis,
biasanya pola istirahat dan tidur akan terganggu. Hal ini terjadikarena
terdapat gejala nyeri panggul, kepala terasa sakit , kramotot dan
perasaan gelisah yang akan memburuk pada malam hari.
d. Pola Aktivitas
Pada pola aktivitas, pasien dengan penyakit gagal ginjal kronis
atau chronic kidney disease biasanya akan merasakan kelemahan otot.
Selain itu, pasien juga akan mengalami kelelahan yang ekstrem saat
melakukan aktivitas sehingga terdapat perbedaan yang dirasakan jika
dibandingkan dengan kondisi sebelumnya.
e. Personal Hygiene
Pada pasien gagal ginjal kronis, cara pemeliharaan kesehatan
dengan perawatan diri juga dapat berpengaruh terhadap system
dermatologi. Hal ini karena penggunaan sabun yang mengandung
gliserin akan mengakibatkan kulit bertambah kering.
5. Pemeriksaan Tanda-Tanda Vital
a. Tekanan Darah
Tekanan darah pasien yang menderita gagal ginjal kronis
cenderung mengalami peningkatan. Rentang pengukuran tekanan
darah normal pada dewasa yaitu 100- 140/60-90 mmHg dengan rata-
rata 120/80 mmHg dan pada lansia 100- 160/60-90 mmHg dengan
rata-rata 130/180 mmHg.
b. Nadi
Pada penderita gagal ginjal kronis biasanya ditemukan kondisi
denyut jantung yang tidak teratur. Dapat terlalu cepat atau juga terlalu
lambat. Jumlah frekuensi normal nadi bervariasi pada setiap orang,
tapi kisaran normal pada orang dewasa yaitu 60-100 x/menit.
c. Suhu
Suhu tubuh akan mengalami peningkatan karena adanya sepsis
atau dehidrasi sehingga dapat terjadi demam. Suhu tubuh pada orang
dewasa normalnya berbeda-beda pada setiap lokasi. Pada aksila
36,4℃, rektal 37,6℃ sedangkan oral 37℃.
d. Respirasi
Pada sistem pernapasan pasien gagal ginjal kronis cenderung
mengalami gangguan. Hal tersebut karena laju pernapasan terlalu
cepat dari seharusnya serta sesak napas. Rentang normal frekuensi
pernapasan pada orang dewasa yaitu12-20 x/menit dengan rata-rata 18
x/menit.
e. Keadaan Umum
Pada pasien dengan gagal ginjal kronis, keadaan umum
cenderung tampak lemah dan nampak sakit berat sedangkan untuk
tingkat kesadaran menurun karena sistem saraf pusat yang
terpengaruhi sesuai dengan tingkat uremia yang mempengaruhi.
6. Pemeriksaan Fisik
a. Kepala
Pada pasien gagal ginjal kronis, yang dapat terjadi biasanya
rambut mengalami kerontokan sehingga tampak tipis dan kering dan
berubah warna. Selain itu wajah juga akan tampak pucat, kulit tampak
kering dan kusam, rambut dan kulitakan terasa kasar.
b. Telinga
Pada pemeriksaan fisik dibagian telinga pasien dengan gagal
ginjal, yang perlu dilakukan yaitu pemeriksaan kesimetrisan dan
pemeriksaan posisi pada kedua telinga, pemeriksaan produksi
serumen atau kotoran telinga dan kebersihan telinga serta kemampuan
mendengar.
c. Mata
Pada pemeriksaan mata pasien dengan gagal ginjal kronis
biasanya akan tampak endapan mineral kalsium fosfat akibat uremia
yang berlarut-larut di daerah pinggir mata. Selain itu, disekitar mata
akan tampak edema, penglihatan kabur dan konjungtiva akan terlihat
pucat pada pasien yang mengalami anemia berat.
d. Hidung
Pada pemeriksaan fisik dibagian hidung, yang diperiksa adalah
ada atau tidaknya produksi secret dan adanya pernapasan cuping
hidung. Selain itu, diperhatikan juga kesimetrisan pada kedua lubang
hidung dan pada kulit apakah terlihat kering dan kusam.
e. Mulut
Pada pasien dengan gagal ginjal, dilakukan juga pemeriksaan
fisik pada mulut. Dalam hal ini yang dinilai adalah pada saat bernapas
biasanya akan tercium bau amoniak karena faktor uremik dan ulserasi
pada gusi serta bibir yang tampak kering.
f. Leher
Pemeriksaan fisik dibagian leher pada pasien gagal ginjal yaitu
dilakukan pemeriksaan untuk dinilai apakah ada massa atau tidak,
pembengkakan atau kekakuan leher, kulit kering, pucat dan kusam,
ada atau tidaknya pembesaran kelenjar limfe serta posisi trakea ada
pergeseran atau tidak.
g. Dada
Pergerakan dada akan cepat karena pola napas juga cepat dan
dalam atau kussmaul, batuk dengan ada atau tidaknya sputum kental
dan banyak. Periksa pergerakan dinding dada teraba sama atau tidak,
terdapat nyeri dan edema atau tidak. Pada seluruh lapang paru
normalnya resonan dan pada CKD pekak apabila paru terisi cairan
karena edema. Dengarkan apakah ada suara napas tambahan seperti
ronkhi, wheezing,pleural friction rub dan stridor.
h. Abdomen
Kulit abdomen akan tampak mengkilap karena asites dan kulit
kering, tampak pucat, bersisik, berwarna cokelat kekuningan dan akan
muncul pruritus. Dengarkan bising usus di keempat kuadran abdomen.
Pasien dengan CKD akan mengeluh nyeri pada saat dilakukan
pemeriksaan di sudut costo-vertebrae. Kemudian periksa pada daerah
yang terasa nyeri apakah teraba massa atau tidak pada ginjal.
i. Kulit dan Kuku
Pada pasien dengan gagal ginjal kronis, biasanya kuku akan
menjadi rapuh dan tipis, kulit menjadi pucat, kering dan mengelupas,
bersisik, muncul pruritus, berwarna cokelat kekuningan,
hiperpigmentasi, memar, uremic frost, ekimosis, CRT >3 detik, kulit
teraba kasar dan tidak rata.
j. Genitalia
Kelemahan dalam libido, genetalia kotor, ejakulasi dini,
impotensi, terdapat ulkus.
k. Ekstremitas
Pada pasien gagal ginjal kronis biasanya terdapat edema pada
kaki karena adanya gravitasi. Biasanya ditemukan di betis dan paha
pada klien yang bedrest, kelemahan, kelelahan, kulit kering,
hiperpigmentasi, bersisik, dan turgor kulit >3 detik karena edema.
l. Kulit
Turgor jelek, terjadi edema, kulit jadi hitam, kulit bersisik dan
mengkilat / uremia, dan terjadi perikarditis.

B. Diagnosa Keperawatan
Diagnosis keperawatan merupakan bagian vital dalam menentukan
asuhan keperawatan yang sesuai untuk membantu klien dalam mencapai
kesehatan yang optimal (PPNI, 2020). Kemungkinan diagnosis keperawatan
dari orang dengan kegagalan ginjal kronis adalah sebagai berikut (PPNI,
2018) :
1. Hipervolemia b.d gangguan mekanisme regulasi d.d edema anasarka
dan/atau edema perifer (D. 0022)
2. Perfusi perifer tidak efektif b.d penurunan konsentrasi hemoglobin d.d
pengisian kapiler >3 detik (D.0009)
3. Defisit nutrisi b.d faktor psikologis d.d nafsu makan pasien menurun dan
berat badan pasien menurun minimal 10% di bawah rentang ideal (D.
0019)
4. Defisit Pengetahuan b.d kurang terpapar informasi d.d menanyakan
masalah yang dihadapi (D. 0111)
5. Intoleransi aktivitas b.d kelemahan pasien d.d mengeluh lelah (D.0056)
6. Pola napas tidak efektif b.d hambatan upaya napas d.d pasien mengeluh
sesak napas (dispnea) (D.0005)
7. Penurunan curah jantung b.d perubahan preload d.d pasien tampak edema
(D.0008)
8. Gangguan eliminasi urin b.d efek tindakan medis d.d pasien mengeluh sering
buang air kecil atau nokturia (D.0040)
9. Gangguan pertukaran gas b.d ketidakseimbangan ventilasi-perfusi d.d
pasien mengeluh sesak napas (dispnea), PCO2 meningkat (D.0003)
10. Gangguan integritas kulit/jaringan b.d kelebihan volume cairan d.d
tampak kerusakan jaringan dan/atau lapisan kulit pasien (D.0129)
11. Gangguan citra tubuh b.d perubahan fungsi tubuh d.d pasien
mengungkapkan perubahan gaya hidup (D.0083)
12. Ansietas b.d ancaman terhadap kematian d.d pasien merasa khawatir
dengan akibat dari kondisi yang dihadapi dan tampak gelisah (D.0080)
13. Distress spiritual b.d kondisi penyakit kronis d.d pasien merasa tidak
berdaya (D.0082)
14. Risiko infeksi d.d efek prosedur invasif (D.0142)

C. Intervensi Keperawatan
Tahap perencanaan keperawatan atau tahap intervensi keperawatan
merupakan suatu proses penyusunan berbagai intervensi keperawatan yang
dibutuhkan untuk mencegah, menurunkan atau mengurangi masalah-masalah
klien (Supratti, 2016).

No. Diagnosis (SDKI) Tujuan dan Intervensi (SIKI)


Kriteria Hasil
(SLKI)
1. Hipervolemia b.d Setelah Manajemen Hipervolemia
gangguan dilakukan (I.03114)
mekanisme tindakan Observasi
regulasi d.d edema keperawatan 1. Periksa tanda dan gejala
anasarka dan atau selama 3x24 hypervolemia (mis.
edema perifer jam, maka Ortopnea, dispnea, edema,
(D.0022) Keseimbangan JVP/CVP meningkat,
Cairan refleks hepato jugular
meningkat positif, suara napas
dengan kriteria tambahan)
hasil : 2. Identifikasi penyebab
1. Edema hipervolemia
menurun (5) 3. Monitor status
2. Haluaran hemodinamik (mis.
urine Frekuensi jantung,tekanan
meningkat darah, MAP, CVP, PAP,
(5) POMP, CO, CI), jika
3. Berat badan tersedia
membaik (5) 4. Monitor intake dan output
cairan
5. Monitor tanda
hemokonsentrasi (mis.
Kadar natrium, BUN,
hematokrit, berat jenis
urine)
6. Monitor tanda peningkatan
tekanan onkotik plasma
(mis. Kadar protein dan
albumin meningkat)
7. Monitor kecepatan infus
secara ketat
8. Monitor efek samping
diuretik (mis.
Hipotensiortostatik,
hipovolemia, hypokalemia,
hiponatremia)
Terapeutik
9. Timbang berat badan setiap
hari pada waktu yang sama
10. Batasi asupan cairan dan
garam
11. Tinggikan kepala tempat
tidur 30-40o
Edukasi
12. Anjurkan melapor jika
haluaran urine <0,5 ml/kg
dalam 6 jam
13. Anjurkan melapor jika BB
bertambah >1 kg dalam
sehari
14. Ajarkan cara mengukur
dan mencatat asupan dan
haluaran cairan
15. Ajarkan cara membatasi
cairan
Kolaborasi
16. Kolaborasi pemberian
diuretic
17. Kolaborasi penggantian
kehilangan kalium akibat
diuretic
18. Kolaborasi pemberian
continuous renal
replacement therapy
(CRRT), jika perlu
2. Perfusi perifer Setelah Perawatan sirkulasi (I. 02079)
tidak efektif b.d dilakukan Observasi
penurunan tindakan 1. Periksa sirkulasi perifer
konsentrasi keperawatan 2. Identifikasi faktor resiko
hemoglobin d.d selama 3x24 3. Monitor panas,kemerahan,
pengisian kapiler jam, maka nyeri, atau bengkak pada
>3 detik (D.0009) Perfusi Perifer ekstremitas
meningkat Terapeutik
dengan kriteria 4. Hindari pemasangan
hasil : infusatau pengambilan
1. Pengisian darah di area keterbatasan
kapiler perfusi
membaik (5) 5. Lakukan pengukuran
2. Warna kulit tekanan darah pada
pucat ekstremitas dengan
menurun (5) keterbatasan perfusi
3. Akral 6. Hindari pemasangan dan
membaik (5) penekanan torniquet pada
area yang cedera
7. Lakukan pencegahan
infeksi
8. Lakukan perawatan
kakidan kuku
9. Lakukan hidrasi Edukasi
10. Anjurkan berhentimerokok
11. Anjurkan berolahraga rutin
12. Anjurkan mengecek air
mandi untuk menghindari
kulit terbakar
13. Anjurkan penggunaan obat
penurun tekanan darah,
antikoagulan, dan penurun
kolesterol, jikaperlu
14. Anjurkan meminum obat
pengontrol tekanan darah
secara teratur
15. Anjurkan menghindari obat
penyekat beta
16. Anjurkan melakukan
perawatan kulit yang tepat
17. Anjurkan program
rehabilitasi vascular
18. Ajarkan program diet
untuk memperbaiki
sirkulasi
19. Informasikan tanda dan
gejala darurat yang harus
dilaporkan
3. Defisit nutrisi b.d Setelah Manajemen Nutrisi (I. 03119)
faktor psikologis dilakukan Observasi
d.d nafsu makan tindakan 1. Identifikasi status nutrisi
pasien menurun keperawatan 2. Identifikasi alergi dan
dan berat badan selama 3x24 intoleransi makanan
pasien menurun jam, maka 3. Identifikasi makanan yang
minimal 10% di Status Nutrisi disukai
bawah rentang membaik 4. Identifikasi kebutuhan
ideal (D. 0019) dengan kriteria
hasil : kalori dan jenis 41ntiemet
1. Nafsu makan 5. Identifikasi perlunya
membaik (5) penggunaan selang
2. Berat badan antiemetik
membaik (5) 6. Monitor asupan makanan
3. Porsi 7. Monitor berat badan
makanan 8. Monitor hasil pemeriksaan
yang laboratorium
dihabiskan Terapeutik
meningkat 9. Lakukan oral hygiene
(5) sebelum makan, jika perlu
4. Indeks Massa 10. Fasilitasi menentukan
Tubuh (IMT) pedoman diet (mis.
membaik (5) Piramida makanan)
11. Sajikan makanan secara
menarik dan suhu yang
sesuai
12. Berikan makan tinggi serat
untuk mencegah konstipasi
13. Berikan makanan tinggi
kalori dan tinggi protein
14. Berikan suplemen
makanan, jika perlu
15. Hentikan pemberian makan
melalui selang nasogastrik
jika asupan oral dapat
ditoleransi Edukasi
16. Anjurkan posisi duduk, jika
mampu
17. Ajarkan diet yang
diprogramkan Kolaborasi
18. Kolaborasi pemberian
medikasi sebelum makan
(mis. Pereda nyeri,
antiemetik), jika perlu
19. Kolaborasi dengan ahli gizi
untuk menentukan jumlah
kalori dan jenis nutrient
yang dibutuhkan, jika perlu
4. Defisit Setelah Edukasi Prosedur Tindakan (I.
Pengetahuan b.d dilakukan 12442)
kurang terpapar tindakan Observasi
informasi d.d keperawatan 1. Identifikasi kesiapan dan
menanyakan selama 3x24 kemampuan menerima
masalah yang jam, maka informasi
dihadapi (D. 0111) Tingkat Terapeutik
Pengetahuan 2. Sediakan materi dan media
meningkat pendidikan kesehatan
dengan kriteria 3. Jadwalkan pendidikan
hasil : kesehatan sesuai
1. Pertanyaan kesepakatan Edukasi
tentang 4. Jelaskan tujuan dan
masalah yang manfaat tindakan yang
dihadapi akan dilakukan
menurun (5) 5. Jelaskan perlunya tindakan
2. Perilaku dilakukan
sesuai 6. Jelaskan keuntungan dan
anjuran kerugian jika tindakan
meningkat dilakukan
(5) 7. Jelaskan langkah-langkah
3. Perilaku tindakan yang akan
sesuai dilakukan
dengan 8. Jelaskan persiapan pasien
pengetahuan sebelum tindakan
meningkat dilakukan
(5) 9. Informasikan durasi
tindakan dilakukan
10. Anjurkan bertanya jika ada
sesuatu yang tidak
dimengerti sebelum
tindakan dilakukan
11. Anjurkan kooperatif saat
tindakan dilakukan
12. Ajarkan teknik untuk
mengantisipasi/mengurangi
ketidaknyamanan akibat
tindakan, jika perlu
5. Intoleransi Setelah Manajemen Energi (I.05178)
aktivitas b.d dilakukan Observasi
kelemahan d.d tindakan 1. Identifkasi gangguan
pasien mengeluh keperawatan fungsi tubuh yang
lelah (D.0056) selama 3x24 mengakibatkan kelelahan
jam, maka 2. Monitor kelelahan fisik
Toleransi dan emosional
Aktivitas 3. Monitor pola dan jam
meningkat tidur
dengan kriteria 4. Monitor lokasi dan
hasil : ketidaknyamanan selama
1. Keluhan melakukan aktivitas
lelah Terapeutik
menurun (5) 5. Sediakan lingkungan
2. Kemudahan nyaman dan rendah
dalam stimulus (mis. cahaya,
melakukan suara, kunjungan)
aktivitas 6. Lakukan rentang gerak
sehari-hari pasif dan/atau aktif
meningkat 7. Berikan aktivitas distraksi
(5) yang menyenangkan
3. Jarak 8. Fasilitas duduk di sisi
berjalan tempat tidur, jika tidak
meningkat dapat berpindah atau
(5) berjalan
Edukasi
9. Anjurkan tirah baring
10. Anjurkan melakukan
aktivitas secara bertahap
11. Anjurkan menghubungi
perawat jika tanda dan
gejala kelelahan tidak
berkurang
12. Ajarkan strategi koping
untuk mengurangi
kelelahan
Kolaborasi
13. Kolaborasi dengan ahli
gizi tentang cara
meningkatkan asupan
makanan
6. Pola napas tidak Setelah Pemantauan Respirasi
efektif b.d dilakukan (I.01014)
hambatan upaya tindakan Observasi
napas d.d pasien keperawatan 1. Monitor frekuensi, irama,
mengeluh sesak selama 3x24 kedalaman, dan upaya
napas (dispnea) jam, maka Pola napas
(D.0005) Napas membaik 2. Monitor pola napas
dengan kriteria (seperti bradipnea,
hasil : 3. takipnea, hiperventilasi,
1. Dispnea kussmaul, cheyne-stokes,
menurun (5) biot, ataksik)
2. Penggunaan 4. Monitor kemampuan
otot bantu batuk efektif
napas 5. Monitor adanya produksi
menurun (5) sputum
3. Frekuensi 6. Monitor adanya sumbatan
napas jalan napas
membaik (5) 7. Palpasi kesimetrisan
4. Kedalaman ekspansi paru
napas 8. Auskultasi bunyi napas
membaik (5) 9. Monitor saturasi oksigen
10. Monitor nilai AGD
11. Monitor hasil x-ray toraks
Terapeutik
12. Atur interval waktu
pemantauan respirasi
sesuai kondisi pasien
13. Dokumentasikan hasil
pemantauan
Edukasi
14. Jelaskan tujuan dan
prosedur pemantauan
15. Informasikan hasil
pemantauan, jika perlu
7. Penurunan curah Setelah Perawatan Jantung (I.02075)
jantung b.d dilakukan Observasi
perubahan preload tindakan 1. Identifikasi tanda/gejala
d.d pasien tampak keperawatan primer penurunan curah
edema (D.0008) selama 3x24 jantung (meliputi dispnea,
jam, maka kelelahan, edema
Curah Jantung ortopnea, paroxysmal
meningkat nocturnal dyspenea,
dengan kriteria peningkatan CPV)
hasil : 2. Identifikasi tanda/gejala
1. Edema sekunder penurunan
menurun curah jantung (meliputi
(5) peningkatan berat badan,
2. Dispnea hepatomegali ditensi vena
menurun jugularis, palpitasi, ronkhi
(5) basah, oliguria, batuk,
3. Lelah kulit pucat)
menurun 3. Monitor tekanan darah
(5) (termasuk tekanan darah
ortostatik, jika perlu)
4. Monitor intake dan output
cairan
5. Monitor berat badan
setiap hari pada waktu
yang sama
6. Monitor saturasi oksigen
7. Monitor keluhan nyeri
dada (mis. intensitas,
lokasi, radiasi, durasi,
presivitasi yang
mengurangi nyeri)
8. Monitor EKG 12 sadapan
9. Monitor aritmia (kelainan
irama dan frekuensi)
10. Monitor nilailaboratorium
jantung (mis. elektrolit,
enzim jantung, BNP,
NTproBNP)
11. Monitor fungsi alat pacu
Jantung
12. Periksa tekanan darah dan
frekuensi nadi sebelum
dan sesudah aktifitas
13. Periksa tekanan darah dan
frekuensi nadi sebelum
pemberian obat (mis.
betablocker, ACE
inhibitor, calcium channel
blocker, digoksin)
Terapeutik
14. Posisikan pasien
semifowler atau fowler
dengan kaki kebawah
atau posisi nyaman
15. Berikan diet jantung yang
sesuai (mis. batasi asupan
kafein, natrium, kolestrol,
dan makanan tinggi
lemak)
16. Gunakan stocking
elastisatau pneumatik
intermiten, sesuai indikasi
17. Fasilitasi pasien dan
keluarga untuk modifikasi
hidup sehat
18. Berikan terapi relaksasi
untuk mengurangi stres,
jika perlu
19. Berikan dukungan
emosional dan spiritual
20. Berikan oksigen untuk
memepertahankan
saturasi oksigen >94%
Edukasi
21. Anjurkan beraktivitas
fisik sesuai toleransi
22. Anjurkan beraktivitas
fisik secara bertahap
23. Anjurkan berhenti
merokok
24. Ajarkan pasien dan
keluarga mengukur berat
badan harian
25. Ajarkan pasien dan
keluarga mengukur intake
dan output cairan harian
Kolaborasi
26. Kolaborasi pemberian
antiaritmia, jika perlu
27. Rujuk ke program
rehabilitasi jantung
8. Gangguan Setelah Manajemen Eliminasi Urin
eliminasi urin b.d dilakukan (I.04152)
efek tindakan tindakan Observasi
medis d.d pasien keperawatan 1. Identifkasi tanda dan
mengeluh sering selama 3x24 gejala retensi atau
buang air kecil jam, maka inkontinensia urine
atau nokturia Eliminasi Urin 2. Identifikasi faktor yang
(D.0040) membaik menyebabkan retensi atau
dengan kriteria inkontinensia urine
hasil : 3. Monitor eliminasi urine
1. Frekuensi (mis. frekuensi,
BAK konsistensi, aroma,
membaik
(5) volume, dan warna)
2. Disuria Terapeutik
menurun 4. Catat waktu-waktu dan
(5) haluaran berkemih
3. Anuria 5. Batasi asupan cairan, jika
menurun (5 perlu
4. Nokturia 6. Ambil sampel urine
menurun tengah (midstream) atau
(5) kultur
Edukasi
7. Ajarkan tanda dan gejala
infeksi saluran kemih
8. Ajarkan mengukur
asupan cairan dan
haluaran urine
9. Anjurkan mengambil
specimen urine
midstream
10. Ajarkan mengenali tanda
berkemih dan waktu yang
tepat untuk berkemih
11. Ajarkan terapi modalitas
penguatan otot-otot
pinggul/berkemihan
12. Anjurkan minum yang
cukup, jika tidak ada
kontraindikasi
13. Anjurkan mengurangi
minum menjelang tidur
Kolaborasi
14. Kolaborasi pemberian
obat suposituria uretra,
jika perlu
9. Gangguan Setelah Pemantauan Respirasi
pertukaran gas b.d dilakukan (I.01014)
ketidakseimbangan tindakan Observasi
ventilasi-perfusi keperawatan 1. Monitor frekuensi, irama,
d.d pasien selama 3x24 kedalaman, dan upaya
mengeluh sesak jam, maka napas
napas (dispnea), Pertukaran Gas 2. Monitor pola napas
PCO2 meningkat meningkat (seperti bradipnea,
(D.0003) dengan kriteria takipnea, hiperventilasi,
hasil : kussmaul, cheyne-stokes,
1. Dispnea biot, ataksika)
menurun (5) 3. Monitor kemampuan
2. PCO2 batuk efektif
membaik (5) 4. Monitor adanya produksi
3. Pola napas sputum
membaik (5) 5. Monitor adanya sumbatan
jalan napas
6. Palpasi kesimetrisan
ekspansi paru
7. Auskultasi bunyi napas
8. Monitor saturasi oksigen
9. Monitor nilai AGD
10. Monitor hasil x-ray toraks
Terapeutik
11. Atur interval waktu
pemantauan respirasi
sesuai kondisi pasien
12. Dokumentasikan hasil
pemantauan
Edukasi
13. Jelaskan tujuan dan
prosedur pemantauan
14. Informasikan hasil
pemantauan, jika perlu
10. Gangguan Setelah Perawatan Integritas Kulit
integritas dilakukan (I.11353)
kulit/jaringan b.d tindakan Observasi
kelebihan volume keperawatan 1. Identifikasi penyebab
cairan d.d tampak selama 3x24 gangguan integritas kulit
kerusakan jaringan jam, maka (mis. perubahan sirkulasi,
dan/atau lapisan Integritas Kulit perubahan status nutrisi,
kulit pasien dan Jaringan penurunan kelembaban,
(D.0129) meningkat suhu lingkungan ekstrem,
dengan kriteria penurunan mobilitas)
hasil: Terapeutik
1. Kerusakan 2. Ubah posisi setiap 2 jam
jaringan jika tirah baring
menurun (5) 3. Lakukan pemijatan pada
2. Kerusakan area penonjolan tulang,
lapisan kulit jika perlu
menurun (5) 4. Bersihkan perineal dengan
3. Tekstur air hangat, terutama
membaik selama periode diare
(5) 5. Gunakan produk berbahan
petrolium atau minyak
pada kulit kering
6. Gunakan produk berbahan
ringan/alami dan
hipoalergik pada kulit
sensitive
7. Hindari produk berbahan
dasar alkohol pada kulit
kering
Edukasi
8. Anjurkan menggunakan
pelembab (mis. lotion,
serum)
9. Anjurkan minum air yang
cukup
10. Anjurkan meningkatkan
asupan nutrisi
11. Anjurkan meningkat
asupan buah dan sayur
12. Anjurkan menghindari
terpapar suhu ekstrem
13. Anjurkan menggunakan
tabir surya SPF minimal
30 saat berada diluar
rumah
14. Anjurkan mandi dan
menggunakan sabun
secukupnya
11. Gangguan citra Setelah Promosi Citra Tubuh
tubuh b.d dilakukan (I.09305)
perubahan fungsi tindakan Observasi
tubuh d.d pasien keperawatan 1. Identifikasi harapan citra
mengungkapkan selama 3x24 tubuh berdasarkan tahap
perubahan gaya jam, maka Citra perkembangan
hidup (D.0083) Tubuh 2. Identifikasi budaya,
meningkat agama, jenis kelamin, dan
dengan kriteria umur terkait citra tubuh
hasil : 3. Identifikasi perubahan
1. Verbalisasi citra tubuh yang
perubahan mengakibatkan isolasi
gaya hidup sosial
menurun (5) 4. Monitor frekuensi
2. Fokus pada pernyataan kritik tehadap
kekuatan diri sendiri
masa lalu 5. Monitor apakah pasien
menurun (5) bisa melihat bagian tubuh
3. hubungan yang berubah
sosial Terapeutik
membaik 6. Diskusikan perubahan
(5) tubuh dan fungsinya
7. Diskusikan perbedaan
penampilan fisik terhadap
harga diri
8. Diskusikan akibat
perubahan pubertas,
kehamilan dan penuaan
9. Diskusikan kondisi stres
yang mempengaruhi citra
tubuh (mis. luka,
penyakit, pembedahan)
10. Diskusikan cara
mengembangkan harapan
citra tubuh secara realistis
11. Diskusikan persepsi
pasien dan keluarga
tentang perubahan citra
tubuh
Edukasi
12. Jelaskan kepada keluarga
tentang perawatan
perubahan citra tubuh
13. Anjurkan mengungkapkan
gambaran diri terhadap
citra tubuh
14. Anjurkan menggunakan
alat bantu (mis. pakaian,
wig, kosmetik)
15. Anjurkan mengikuti
kelompok pendukung
(mis. kelompok sebaya)
16. Latih fungsi tubuh yang
dimiliki
17. Latih peningkatan
penampilan diri (mis.
berdandan)
18. Latih pengungkapan
kemampuan diri
kepadaorang lain maupun
kelompok
12. Ansietas b.d Setelah Reduksi Ansietas (I.09314)
ancaman terhadap dilakukan Observasi
kematian d.d tindakan 1. Identifikasi saat tingkat
pasien merasa keperawatan anxietas berubah (mis.
khawatir dengan selama 3x24 Kondisi, waktu, stresor)
akibat dari kondisi jam, 2. Identifikasi kemampuan
yang dihadapi dan makatingkat mengambil keputusan
tampak gelisah ansietas 3. Monitor tanda ansietas
(D.0080) menurun dengan
kriteria hasil : (verbal dan nonverbal)
1. Verbalisasi Terapeutik
khawatir 4. Ciptakan suasana
akibat terapeutik untuk
kondisi menumbuhkan
yang kepercayaan
dihadapi 5. Temani pasien untuk
menurun (5) mengurangi kecemasan,
2. Perilaku jika memungkinkan
gelisah 6. Pahami situasi yang
menurun (5) membuat ansietas
3. Perilaku 7. Dengarkan dengan penuh
tegang perhatian
menurun (5) 8. Gunakan pedekatan yang
4. Pola tidur tenang dan meyakinkan
membaik 9. Motivasi mengidentifikasi
(5) situasi yang memicu
kecemasan
10. Diskusikan perencanaan
realistis tentang peristiwa
yang akan datang
Edukasi
11. Jelaskan prosedur,
termasuk sensasi yang
mungkin dialami
12. Informasikan secara
faktual mengenai
diagnosis, pengobatan,
dan prognosis
13. Anjurkan keluarga untuk
tetap bersama pasien, jika
perlu
14. Anjurkan melakukan
kegiatan yang tidak
kompetitif, sesuai
kebutuhan
15. Anjurkan mengungkapkan
perasaan dan persepsi
16. Latih kegiatan pengalihan,
untuk mengurangi
ketegangan
17. Latih penggunaan
mekanisme pertahanan
diri yang tepat
18. Latih teknik relaksasi
Kolaborasi
19. Kolaborasi pemberian
obat anti ansietas, jika
perlu
13. Distress spiritual Setelah Dukungan Spiritual (I.09276)
b.d kondisi dilakukan Observasi
penyakit kronis d.d tindakan 1. Identifikasi perasaan
pasien merasa keperawatan khawatir, kesepian dan
tidak berdaya selama 3x24 ketidakberdayaan
(D.0082) jam, makastatus 2. Identifikasi pandangan
spiritual tentang hubungan antara
membaik spiritual dan kesehatan
dengan kriteria 3. Identifikasi harapan dan
hasil : kekuatan pasien
1. Verbalisasi 4. Identifikasi ketaaatan
perasaan dalam beragama
keberdayaan Terapeutik
meningkat 5. Berikan kesempatan
(5) mengekspresikan
2. Verbalisasi perasaan tentang penyakit
perasaan dan kematian
tenang 6. Berikan kesempatan
meningkat mengekspresikan dan
(5) meredakan marah secara
3. Verbalisasi tepat
penerimaan 7. Yakinkan bahwa perawat
meningkat bersedia mendukung
(5) selama masa
ketidakberdayaan
8. Sediakan privasi dan
waktu tenang untuk
aktivitas spiritual
9. Diskusikan keyakinan
tentang makna dan tujuan
hidup, jika perlu
10. Fasilitasi melakukan
kegiatan ibadah
Edukasi
11. Anjurkan berinteraksi
dengan keluarga, teman
dan/atau orang lain
12. Anjurkan berpartisipasi
dalam kelompok
pendukung
13. Ajarkan metode relaksasi,
meditasi danimajinasi
terbimbing
Kolaborasi
14. Atur kunjungan dengan
rohaniawan (mis. Ustadz,
pendeta, romo, biksu)
14. Risiko infeksi d.d Setelah Pencegahan Infeksi (I.14137)
efek prosedur dilakukan Observasi
invasif (D.0142) tindakan 1. Identifikasi riwayat
keperawatan kesehatan dan riwayat
selama 3x24 alergi
jam, maka 2. Identifikasi kontraindikasi
tingkat infeksi pemberian imunisasi
menurun dengan 3. Identifikasi status
kriteria hasil : imunisasi setiap
1. Kemerahan kunjungan ke pelayanan
menurun (5) kesehatan
2. Nyeri Terapeutik
menurun (5) 4. Berikan suntikan pada
pada bayi dibagian paha
3. Bengkak anterolateral
menurun (5) 5. Dokumentasikan
informasi vaksinasi
6. Jadwalkan imunisasi pada
interval waktu yang tepat
Edukasi
7. Jelaskan tujuan, manfaat,
resiko yang terjadi, jadwal
dan efek samping
8. Informasikan
imunisasiyang diwajibkan
pemerintah
9. Informasikan imunisasi
yang melindungiterhadap
penyakit namun saat ini
tidak diwajibkan
pemerintah
10. Informasikan vaksinasi
untuk kejadian khusus
11. Informasikan penundaan
pemberian imunisasi tidak
berarti mengulang jadwal
imunisasi kembali
12. Informasikan penyedia
layanan pekan imunisasi
nasional yang
menyediakan vaksin gratis

D. Implementasi Keperawatan
Tahap pelaksanaan atau implementasi merupakan tahap pengelolaan
dan perwujudan dari rencana keperawatan yang telah disusun pada tahap
perencanaan sebelumnya (Supratti, 2016).
E. Evaluasi Keperawatan
Evaluasi merupakan tahap untuk mengkaji respon klien terhadap
tindakan keperawatan yang telah dilakukan oleh perawat dengan mengacu
pada standar atau kriteria hasil yang telah ditetapkan pada rumusan tujuan
(Hartati, 2010 dalam Supratti, 2016). Evaluasi dibagi menjadi dua yaitu
evaluasi proses atau formatif yang dilakukan setiap selesai memberikan
tindakan kepada klien dan evaluasi hasil atau sumatif yang dilakukan dengan
membandingkan respon klien pada tujuan khusus dan tujuan umum yang
telah ditentukan (Nurjanah S, 2013 dalam Supratti, 2016).

Anda mungkin juga menyukai