Anda di halaman 1dari 4

Sejarah Kristen di Tanah Batak

Sejarah penyebaran agama Kristen ke suku Batak adalah sejarah yang menceritakan masuknya Injil dan konteks
perkembangannya sekitar tahun 1820-an hingga berdirinya Huria Kristen Batak Protestan (HKBP), gereja yang umumnya dari
orang Batak Toba. Konteks kehidupan orang Batak sebelum Injil masuk di Tanah Batak.
Sebelum penyebaran agama Kristen, masyarakat Batak menganut sistem kepercayaan yang merupakan campuran
kepercayaan animisme, Hindu dan magi. Masyarakat Batak mempercayai Yang Maha Kuasa yang dikenal dengan nama Debata
Asiasi yang menciptakan seluruh alam semesta. Debata Asiasi tidak mengatur apa yang diciptakan dan memerintahkan ketiga
anaknya untuk menjadi dewa yang mengatur dunia. Anak pertama bernama Batara Guru yang merupakan Dewa
Keadilan, Soripada yang merupakan dewa belas kasih dan Mangala Bulan yang merupakan sumber kejahatan dan dewa paling kuat di
antara ketiga dewa ini. Masyarakat Batak pada masa itu percaya bahwa sangat penting untuk mengambil hati Mangala Bulan karena
dewa ini dipercaya dapat menghancurkan kehidupan mereka. Ketiga dewa ini juga tidak langsung memimpin karena juga
mempercayakan pemerintahan kepada para delegasinya yang dibagi menjadi tiga tingkatan, yaitu Debata Di Ginjang (dewa atas),
Debata Di Toru (dewa bawah dan Debata Dos Tonga (dewa tengah) . Selain para dewa, masyarakat batak pada masa tersebut juga
percaya terhadap penunggu.
Kepercayaan
Mereka juga percaya bahwa tiap individu dijaga oleh sejumlah roh, baik yang jahat disebut dengan nama setan dan yang baik
dikenal dengan nama begu. Mayoritas dari roh ini merupakan jiwa dari nenek moyang yang menjaga atau mengganggu mereka. Ada
banyak nama begu yang disembah, seperti Begu Jau (roh yang tidak dikenal orang), Begu Antuk (roh yang memukul kepala
seseorang sebelum ia mati), Begu Siberut (roh yang membuat orang kurus tinggal kulit). Selain para begu, masyarakat Batak juga
percaya terhadap beberapa dewa seperti Naga Padoha, Boru Saniang Naga, Boru Namora dan Martua Sombaon.
Setiap desa memiliki datu yang tugasnya adalah melakukan ramalan dan sihir. Pada saat pemakaman, para datu ini akan
dikuburkan dengan menggunakan peti mati berbahan kayu atau batu yang dirayakan dengan makan-makan. Karena para datu dipilih
berdasarkan pengetahuan terkait kitab-kitab, takhayul yang biasanya, pengetahuan ini hanya tersebar dikalangan para kepala suku,
maka biasanya para datu juga menjabat sebagai raja atau kepala suku dari desa tersebut. Sekecil apapun keputusan ekonomis yang
perlu diambil, bahkan seperti mengorbankan hewan untuk acara, keputusan ini harus didiskusikan dengan datu setempat. Saat sebuah
keputusan ingin diambil, para datu akan membaca bukunya untuk menentukan tanggal baik untuk melakukan kegiatan tersebut. Datu
akan membuka parhalaan yang terdiri dari dua belas garis horisontal yang melambangkan dua belas bulan dalam setahun. Selain itu,
juga empat garis diagonal yang tergambar tanda hieroglif yang melambangkan dua rasi bintang, yaitu skorpio atau yang dikenal
dengan nama "Bentang Hala" dan rasi bintang pleiades. Bentang Hala terbagi menjadi empat bagian yang terbagi menjadi empat hari
yang terdiri dari satu bagian di kepala, dua bagian di tubuh dan satu bagian di ekor. Ketika hari jatuh pada bagian selain tubuh, maka
hari tesebut akan dinyatakan sebagai hari buruk. Selain perhalaan, datu memiliki dua tongkat, yaitu tondung hujur dan tondung rangas
berukuran empat kaki berbahan kayu hitam yang keras dengan bagian kepala yang mengambarkan wajah hewan debngan beragam
tanda. Tanda-tanda di tongkat inilah yang digunakan untuk mencari barang yang hilang atau dicuri. Datu juga menggunakan buku
selain perhalaan, yaitu ati siporhas untuk menentukan waktu menyerang musuh dan tali yang bernama rombu siporhas untuk
menentukan kekuatan musuh. Pada ritualnya, datu juga menggunakan jeroan ayam yang memberikan 77 tanda berbeda, 70 tanda
dari kapur tohor dan 73 tanda dari lemon yang dipotong. Dia pun juga harus menghapal beragam jenis mantra yang sering digunakan
di wilayahnya.
Persembahan
Masyarakat Batak tidak memiliki ritual persembahan individu khusus dalam keadaan senang kecuali dalam keadaan genting,
terancam peperangan, kesialan atau dilanda penyakit. Ketika hal ini terjadi mereka yang mengalami nasib buruk ini akan melakukan
ritual persembahan kepada roh nenek moyang dan dewa yang mereka sembah dengan meminta datu memimpin ritual ini. Datu akan
meminta burung dan sedikit beras sebagai persembahan. Kemudian, Datu akan membelah burung yang diberikan sebagai
persembahan dan menyatakan bahwa si pelapor harus melakukan persembahan atas kesalahan yang dilakukan nenek moyangnya
yang menyebabkan tragedi yang dia alami. Kemudian, datu akan memilih jenis hewan apa yang akan dikorbankan sebagai
persembahan tergantung masalah yang dihadapi setelah melihat buku yang dia punya. Sang pelapor akan melakukan ritual makan
besar terhadap hewan yang dikorbankan selama tiga hari tiga malam dengan mengundang saudara dan teman-temannya. Pada hari
ketiga, saat mereka sedang menari-menari, salah satu dari mereka akan kerasukan roh leluhur karena tertarik suara gong yang
dibunyikan. Orang tersebut akan diberikan persembahan dan akan makan dan minum dengan lahap. Orang yang kerasukan akan
ditanyakan terkait masalah yang dihadapi oleh orang yang melaksanakan pesta. Setelah mendapatkan jawaban dari orang yang
kerasukan maka rohnya akan pergi dan orang tersebut akan sadar kembali. Ritual ini pun akan dianggap selesai setelah hal ini terjadi.
Selain ritual individu di atas, mereka juga melakukan ritual bersama ketika ingin melancarkan serangan perang. Saat hari
yang ditentukan oleh Datu berlangsung, tempat tinggal sementara akan didirikan ditengah desa dan akan mengumpulkan seluruh
warga desa. Datu pun akan menggelar ulos di tengah-tengah lokasi yang diikat. Di tengah ulos ini akan diikatkan dua tali rambu
siporhas berukuran dua kaki yang tiap ujungnya ada dua kenop yang terbuat dari lilin yang melambangkan kepala manusia.
Pada rambu siporhas, akan diletakkan manik-manik yang berbeda yang menggambarkan tiap anggota desa, baik kepala suku,
petarung atau warga biasa. Setelah melakukan tarian, makan besar dan membunyikan gong, datu akan mengambil rambu
siporhas dan menjatuhkan rambu siporhas dan menentukan dari rambu siporhas situasi yang harus diikuti warga desanya. Bila ritual
ini menunjukkan keberuntungan, maka mereka akan segera melakukan operasi peperangan.
Sistem hukum
Hukuman
Hampir semua tindakan melanggar hukum di suku ini akan dikenai denda sesuai dengan pelanggaran dan posisi dari sang
pelaku. Tidak ada peraturan tertulis yang diterapkan di setiap lokasi dan hampir di setiap wilayah ditemukan bisa hanya satu atau lebih
buku hukum dengan beragam kegunaan dan pengaruhnya sesuai dengan pelaku pertama saat pelanggaran itu pertama kali dilakukan.
Sebagai contoh, orang yang ketahuan melakukan perampokan akan dibunuh secara publik dengan pisau atau kancing sumbu yang
nanti akan dimakan secara ramai-ramai. Akan tetapi, bila para pelaku berhasil melarikan diri, maka mereka bisa dengan hanya
membayar denda. Untuk pria yang berselingkuh, maka dia akan dimakan sepotong-sepotong tanpa dibunuh terlebih dahulu . Para
tawanan perang dan pria yang mati saat perang akan dimakan ramai-ramai kecuali bila hanya dua desa saja yang berperang karena
bila ini terjadi, maka para mayat akan dibiarkan di lokasi peperangan dan nantinya akan dikubur oleh pihak yang mengakui mayat
tersebut sebagai bagian dari mereka, sedangkan tawanan akan ditebus.
Hutang
Suku bunga dari hitang biasanya dipatok hingga seratus persen tiap bulannya yang bahkan menjadi hal yang biasa untuk
seseorang dan satu keluarganya dijual sebagai budak di Angkola yang awalnya hanya dari sebuah hutang yang berjumlah satu dollar
karena suku bunga yang tinggi selama dua tahun dia berhutang. Pada kasus perjudian, seseorang yang berhutang akan dipasung
hingga sanak saudaranya membayar hutang yang dia tanggung. BIla sanak saudara tidak mau membayar, maka penagih akan
mencoba segala cara untuk menimbulkan belas kasih atau melukai harga diri dari sanak saudara orang yang berhutang. Selama dia
berhutang, orang tersebut takkan dikeluarkan dari pasungan dengan makanan yang seadanya, bahkan hingga dia mati.
Perbudakan
Perbudakan suku batak hanya terjadi diantara mereka karena mereka tidak melakukan impor atau ekspor budak. Biasanya
budak tidak mengalami tindakan opresi dibandingkan manusia bebas yang menjadi pemilik mereka. Biasanya alasan perbudakan
terjadi karena kemiskinan yang menimpa suatu keluarga sehingga dia harus melepaskan salah satu keluarganya untuk diadopsi
sebagai buda, anak yatim piatu yang tidak ingin diasuh oleh keluarga dekatnya, orang yang tidak bisa membayar hutang dan tawanan
perang.
Makanan
Masyarakat Batak hidup dengan bercocok tanam, berternak hewan, dan berladang. Mereka menjual hasil dari perternakan
dan cocok tanam ke pasar (onan) pada hari tertentu. Di pasar mereka melakukan transaksi untuk keperluan sehari-hari seperti
membeli beras, garam, tembakau, dan lainnya. Pada saat itu juga, suku batak telah memiliki sistem hukum yang tertulis dengan
hukuman yang beragam. Seseorang yang ditangkap melakukan pencurian akan dibunuh di lokasi bila tertangkap dan langsung
dimakan, sedangkan bila berhasi lari, maka orang tersebut hanya akan diberi denda. Bila seseorang ketahuan selingkuh, maka akan
dimakan hidup-hidup. Para orang yang dibunuh dan tawanan perang akan dimakan di publik bila merupakan perang besar, tetapi
dilarang bila hanya ada dua desa yang berperang. Saat itu, para suku batak memakan apa segala jenis hewan termasuk anjing kucing,
ular , monyet dan kalelawar tanpa ada pantangan bagaimana hewan itu tersebut mati. Saat hewan yang dimakan ingin dimakan,
mereka menyimpan darahnya untuk digunakan sebagai saus saat memasak daging. Selain hewan, nasi dan ubi jalar dengan
kandungan garam yang tinggi menjadi makanan pokok suku ini saat itu.
Keadaan yang dinamis ini, sering terusik oleh permusuhan antara satu kampung dengan kampung lainya. Tidak jarang
permusuhan berakibat pembunuhan dan terjadi saling balas dendam turun-temurun. Jika di kampung terjadi wabah,
seperti pes dan kolera, mereka akan meminta pertolongan Si Singamangaraja yang berada di Bangkara. Si Singamangaraja kemudian
datang dan melakukan upacara untuk menolak "bala" dan kehancuran.
Hampir semua roda kehidupan orang Batak dikuasai oleh aturan-aturan adat yang kuat. Sejak mulai lahirnya seorang anak,
beranjak dewasa, menikah, memiliki anak hingga meninggal harus mengikuti ritual-ritual adat.

Penginjil di Tanah Batak


Penginjil utusan Pekabaran Injil Baptis Inggris
Pada tahun 1820, tiga misionaris dari Baptist Missionary Society yaitu Nathan Ward, Evans Meers, dan Richard Burton dikirim
ke Bengkulu untuk menemui Thomas Stamford Raffles. Sebelumnya, mereka bertiga bertugas di Sumatra di tiga tempat berbeda.
Ward ditugaskan di Bengkulu, Burton di Sibolga dan Meers di Padang. Kemudian Raffles menyarankan supaya mereka pergi ke utara,
ke daerah tempat tinggal orang Batak yang masih belum menganut kristen.
Mereka berangkat pada tanggal 30 April 1824 dan melakukan perjalanan di pesisir Tapanuli. Setelah dua jam melewati
dataran rerumputan, mereka tiba di desa Parik Debata mencakup wilayah dari Pagaran lambung. Pagaran lambung terdiri dari 10-20
desa. Mereka disambut dengan baik oleh raja setempat dan dipersilakan menginap semalam di rumah kepala desa serta
mendapatkan tanda kehormatan keesokan harinya. Mereka melanjutkan perjalanan dan menyusuri rute selama 6 jam perjalanan
sebelum beristirahat di desa yang berlokasi di tengah Pagaran Lambung. Selama dua hari perjalanan, mereka akhirnya melewati Huta
Tinggi pada hari senin setelah 4 jam perjalanan dari tempat peristirahatan sebelumnya. Perjalanan ini merupakan perintah dari Raffles
untuk pergi ke utara, yakni Silindung (wilayah Batak Toba).
Mereka melanjutkan 5 jam perjalanan dari Huta Tinggi dan bermalam di sebuah gubuk sebelum melanjutkan perjalanan pada
selasa pagi atau tanggal 4 Mei dan tiba di Silindung. Pada awalnya, rencana perjalanan direncanakan hingga Danau Toba, tapi
perjalanan terhenti karena penyakit kolera yang harus ditangani oleh Ward. Ward merupakan seorang ahli medis yang ditugaskan
menyelediki penyakit yang menular di wilayah ini. Mereka tinggal di Silindung selama seminggu dan meninggalkan Silindung pada jam
7 pagi tanggal 11 Mei.
Saat mereka tiba di Silindung, mereka diterima dengan baik oleh raja setempat, namun perjalanan penginjilan mereka terhenti
ketika terjadi salah paham dengan penduduk. Penduduk salah menafsirkan khotbah penginjil tersebut yang mengatakan bahwa
kerajaan mereka harus menjadi lebih kecil, seperti anak kecil. Penduduk tidak suka hal ini, karena itu para penginjil tersebut diusir
pada tahun itu juga. Para misionaris tersebut juga menerjemahkan pasal satu dari Alkitab ke dalam bahasa Batak Toba.
Penginjil utusan American Board of Commissioners for Foreign Mission
Pada awalnya, Karl Gützlaff ingin ditugaskan ke Sumatra, tapi gagal karena keadaan lokasi yang sedang konflik. Konflik ini
merupakan perang padri yang akhirnya memindahkan tujuan Gutzlaff ke Jakarta untuk menyebarkan melakukan penginjilan
kepada Tionghoa yang tinggal disana. Kemudian pada tahun 1834, dua orang Amerika, yaitu Samuel Munson dan Henry Lyman yang
merupakan utusan gereja Kongregationalis Amerika yang diutus oleh The American Board of Commissioners for Foreign
Mission (ABCFM) di Boston untuk masuk ke Sumatra. Pada 17 Juni 1834 mereka tiba di Sibolga dan menetap beberapa hari di sana.
Pada 23 Juni 1834, mereka berangkat menuju pegunungan Silindung. Dalam perjalanan, ketika tiba di pinggir Lembah Silindung, pada
malam hari 28 Juni 1834, mereka dihadang, ditangkap, dan dibunuh di dekat Lobu Pining. Pembunuhnya adalah Raja Panggalamei,
yang merupakan Raja di Pintubosi yang tinggal di Singkak. Ia membunuh bersama dengan rakyatnya.
Penginjil utusan Rheinische Missionsgesellschaft
Ludwig Ingwer Nommensen, misionaris Jerman yang berhasil menyebarkan Injil diantara orang Batak Toba. Pada tahun
1840, seorang ilmuwan berkebangsaan Jerman, Franz Wilhelm Junghuhn melakukan perjalanan ke daerah Batak dan kemudian
menerbitkan karangan tentang suku Batak. Dalam buku tersebut Junghuhn menasihatkan pemerintah kolonial untuk membuka
zending Kristen guna membendung pengaruh Islam di bagian utara Pulau Sumatra. Karangan tersebut sampai ke tangan tokoh-tokoh
Lembaga Alkitab Nederlandsche Bijbelgenootschap di Belanda, hingga mereka mengirim seorang ahli bahasa bernama Herman
Neubronner van der Tuuk untuk meneliti bahasa Batak dan untuk menerjemahkan Alkitab.
Van der Tuuk adalah orang Barat pertama yang melakukan penelitian ilmiah tentang bahasa Batak, Lampung, Kawi, Bali. Ia
juga orang Eropa pertama yang menatap Danau Toba dan bertemu dengan Si Singamangaraja. Ia merasa senang berkomunikasi dan
menyambut orang Batak di rumahnya. Van der Tuuk memberi saran supaya lembaga zending mengutus para penginjil ke Tapanuli,
langsung ke daerah pedalamannya. Tahun 1857, pekabar Injil G. Van Asselt, utusan dari jemaat kecil di Ermelo, Belanda, melakukan
pelayanan di Tapanuli Selatan. Ia menembus beberapa pemuda dan memberi mereka pengajaran Kristiani.
Pada 31 Maret 1861, dua orang Batak pertama dibaptis, yaitu: Jakobus Tampubolon dan Simon Siregar. Pada tahun yang
sama tepatnya pada 7 Oktober 1861, diadakan rapat empat pendeta di Sipirok, yang diikuti oleh dua pendeta Jerman, yaitu: Pdt. Heine
dan Pdt. Klemmer serta oleh dua pendeta Belanda, yaitu: Pdt. Betz dan Pdt. Asselt. Mereka melakukan rapat untuk menyerahkan misi
penginjilan kepada Rheinische Missionsgesellschaft. Hari tersebut dianggap menjadi hari berdirinya Huria Kristen Batak
Protestan (HKBP). Kemudian Ludwig Ingwer Nommensen (1834—1918) tiba di Padang pada tahun 1862. Ia menetap
di Barus beberapa saat untuk mempelajari bahasa dan adat Batak dan Melayu. Ia tiba melalui badan Misi Rheinische
Missionsgesellschaft. Kemudian, pada tahun 1864, ia masuk ke daerah Silindung, mula-mula di Huta Dame, kemudian di Pearaja (kini
menjadi kantor pusat HKBP).
Dalam menyampaikan Injil, Ludwig Ingwer Nommensen dibantu oleh Raja Pontas Lumbantobing (Raja Batak pertama yang
dibaptis) untuk mengantarnya dari Barus ke Silindung dengan catatan tertulis bahwa ia tidak bertanggung jawab atas
keselamatannya. Pada awalnya Nommensen tidak diterima baik oleh penduduk, karena mereka takut kena bala karena menerima
orang lain yang tidak memelihara adat. Pada satu saat, diadakan pesta nenek moyang Siatas Barita, biasanya disembelih
korban. Saat itu, sesudah kerasukan roh, Sibaso (pengantara orang-orang halus) menyuruh orang banyak untuk membunuh
Nommensen sebagai korban, yang pada saat itu hadir di situ. Dalam keadaan seperti ini, Nommensen hadir ke permukaan dan
berkata kepada orang banyak:
Roh yang berbicara melalui orang itu sudah banyak memperdaya kalian. Itu bukan roh Siatas Barita, nenekmu, melainkan roh
jahat. Masakan nenekmu menuntut darah salah satu dari keturunannya! Segera Sibaso jatuh ke tanah.
Ludwig Ingwer Nommensen
Menghadapi keadaan yang menekan, Nommensen tetap ramah dan lemah lembut, hingga lama-kelamaan membuat orang
merasa enggan dan malu berbuat tidak baik padanya. Pada satu malam ketika para raja berada di rumahnya hingga larut malam dan
tertidur lelap, Nommensen mengambil selimut dan menutupi badan mereka, hingga pagi hari mereka terbangun dan merasa malu,
melihat perbuatan baik Nommensen. Sikap penolakan Raja Batak ini disebabkan kekhwatiran bahwa Nommensen adalah perintisan
dari pihak Belanda.
Perkembangan Kekritenan setelah Injil Masuk ke Tanah Batak
Orang Batak yang masuk Kristen mendapat tekanan dan diusir dari kampung halamannya karena tidak mau memberi
sumbangan untuk upacara-upacara suku. Keadaan seperti ini memaksa mereka berkumpul pada satu kampung tersendiri, yaitu Huta
Dame (kampung damai). Setelah tujuh tahun Nommensen melakukan penginjilan, orang Batak yang masuk Kristen berjumlah 1.250
jiwa. Sepuluh tahun kemudian—pada tahun 1881, jumlahnya naik lima kali lipat, hingga jumlah orang Batak yang masuk Kristen
adalah sekitar 6.250 orang. Pada tahun 1918, sudah tercatat 185.731 orang Kristen di wilayah RMG Sumatera Utara. Pada tahun
1881, Ludwig Ingwer Nommensen diangkat menjadi Ephorus oleh RMG. Jabatan tersebut dipegangnya hingga ia meninggal dunia
pada 23 Mei 1918. Orang Batak memberi gelar kepada Nommensen dengan sebutan Ompu i. Awalnya, gelar ini merupakan sebutan
khusus masyarakat Batak kepada para Singamangaraja.

Huria Kristen Batak Protestan (disingkat sebagai HKBP) adalah gereja yang berdenominasi Kristen Protestan dengan warisan
tradisi Lutheran dan Reformed di kalangan masyarakat Batak, umumnya Batak Toba. Gereja ini merupakan yang terbesar di antara
gereja-gereja Protestan yang ada di Indonesia dan Asia Tenggara, sehingga menjadikannya organisasi keagamaan terbesar ketiga di
Indonesia setelah Nahdlatul Ulama dan Muhammadiyah. Gereja ini tumbuh dari misi Rheinische Missionsgesellschaft (RMG)
asal Jerman yang berdiri pada Senin, 7 Oktober 1861.
Saat ini, HKBP memiliki jemaat sekitar 4,133,000 jemaat di seluruh Indonesia. HKBP juga mempunyai beberapa gereja di luar negeri,
seperti di Singapura, Kuala Lumpur, dan di beberapa negara bagian Amerika Serikat yaitu California, New York, dan Colorado. Meski
memakai nama Batak, HKBP juga terbuka bagi suku bangsa lainnya.
HKBP berkantor pusat di Pearaja (Kabupaten Tapanuli Utara, Sumatera Utara) yang berjarak sekitar 1 km dari pusat kota Tarutung,
ibukota kabupaten tersebut. Pearaja merupakan sebuah desa yang terletak di sepanjang jalan menuju Kabupaten Tapanuli
Tengah dan Kota Sibolga. Kompleks perkantoran HKBP, pusat administrasi organisasi HKBP, berada dalam area ± 20 hektare. Di
kompleks ini juga ada Ephorus sebagai pucuk pimpinan HKBP berkantor.
HKBP adalah anggota Persekutuan Gereja-gereja di Indonesia (PGI), anggota Dewan Gereja-gereja Asia (CCA), UEM Jerman, dan
anggota Dewan Gereja-Gereja Sedunia (WCC). Sebagai gereja yang berasaskan ajaran Lutheran, HKBP juga menjadi anggota
dari Federasi Lutheran Sedunia (LWF) yang berpusat di Jenewa, Swiss.

Penyebaran awal Injil di Tanah Batak


Beberapa sumber mencatat bahwa penyebaran Injil di tanah Batak dimulai sejak diutusnya Pendeta Ward dan Pendeta
Barton dari Gereja Baptis Inggris ke Tanah Batak. Usaha pengabaran Injil di Tanah Batak dimulai kembali pada tahun 1834 dengan
diutusnya Pdt. Samuel Munson dan Pdt. Henry Lyman dari badan zending di Boston. Usaha ini mengalami kegagalan karena kedua
missionaris tersebut mati martir di Lobu Pining (Tapanuli Utara). Usaha menginjili Tanah Batak sempat terhenti sampai berita
mengenai Tanah Batak terdengar lagi di Eropa dari hasil ekspedisi seorang Ilmuwan yang bernama Junghuhn pada tahun 1840.
Akibatnya pada tahun 1849, Lembaga Alkitab Belanda mengirim Van der Tuuk (di Tanah Batak dikenal sebagai Tuan Pandortuk atau
Tuan Pandoltuk) untuk mempelajari Bahasa Batak. Hasilnya adalah diterjemahkannya sebagian Alkitab ke dalam bahasa Batak
menggunakan aksara Batak. Setelah melihat hasil karya Van der Tuuk, Badan Zending Rheinshe (RMG) mengalihkan konsentrasinya
dalam menyebarkan Injil ke daerah Batak dengan mengutus Pendeta Dr. Fabri ke sana. Sebagian sumber menyebutkan bahwa hal ini
disebabkan terhalangnya usaha RMG di Kalimantan.
Kelahiran HKBP
Penetapan hari jadi HKBP pada tanggal 7 Oktober 1861 memiliki makna sejarah dan teologis yang mendalam. Tanggal 7
Oktober 1861 menjadi titik balik sejarah penginjilan dan sejarah Gereja HKBP. Sejarah penginjilan dan sejarah gereja adalah ibarat
dua sisi dari satu mata uang logam yang sama. Gereja tanpa penginjilan bukanlah Gereja. Itulah sebabnya, peristiwa 7 Oktober 1861
diartikan dan dimaknai dari dua segi, yakni penginjilan dan gereja. Hasil penginjilan di Tanah Batak adalah kekristenan yang di
dalamnya terdapat sejumlah jemaat atau pargodungan (stasi zending dan sekaligus huria). Jemaat-jemaat tersebut sejak awal sudah
diarahkan akan membentuk sebuah gereja-zending yang kelak menjadi sebuah gereja yang mandiri dari RMG.
Jauh sebelum tahun 1861, RMG telah membuka misi penginjilan di Namibia, Afrika Selatan, China, Kalimantan, dan
di Amerika Utara. Tetapi sejak 7 Oktober 1861, dibuka satu misi penginjilan baru di Sumatra, yakni Bataklanden (Tanah Batak). Misi
penginjilan baru di Tanah Batak diberi nama Battamission, dikemudian hari disebut Batakmission atau Mission-Batak.
Tanggal lahir Batakmission pada 7 Oktober 1861 bertepatan dengan tanggal dari rapat pertama para penginjil utusan RMG di
Tanah Batak. Hari lahir Batakmission tersebut disambut pengurus RMG di Jerman dengan rasa sukacita. Mereka memberitahukan
kabar gembira ini kepada jemaat-jemaat pendukung RMG di Jerman pada awal 1862 sebagai berikut:
" die ersten Briefe unserer Brueder aus dem Battalande sind uns gekommen,und wir koenen heute der Heimathgemeinde den
Beginn der Battamission melden. Den 7 oktober 1861 werden wir als den Geburtstag diesses gliedes in dem umkreis unserer arbeit
bezeichnen duerfen. An diesem tage traten die dortigen brueder zur ersten Conferenz in Sipirok zusammen "
Inilah pemaknaan yang pertama akan arti dari tanggal 7 Oktober 1861, suatu pemaknaan dari kacamata pengurus RMG di
Jerman. Batakmission dalam hal ini berarti himpunan dari seluruh para utusan RMG di Tanah Batak beserta asetnya mencakup
seluruh pargodungan dan jemaat serta pelayan pribumi. Lembaga zending dan lembaga kegerejaan dipadukan dalam satu lembaga
yang bernama Batakmission. Lembaga ini sejak 1881 dipimpin oleh seorang pemimpin dengan jabatan ephorus yang dilayankan oleh
penginjil Ingwer Ludwig Nommensen (1881-1918).
Sejarah Berdirinya HKBP (Huria Kristen Batak Protestan)
HKBP adalah singkatan dari Huria Kristen Batak Prostestan merupakan gereja Kristen Protestan yang tumbuh dari hasil misi
RMG ((Rheinische Missionsgesellschaft) dari Jerman.
Pada tahun 1824, sebelum Misionaris dari Jerman datang ke Tanah Batak, Pekabar Injil dari Gereja Baptis Inggris : Pdt
Burton dan Pdt Ward, datang dan melakukan perjalanan misi ke Tanah Batak di bagian utara Pulau Sumatera. Bukanlah hal yang
mudah untuk memberitakan Injil kepada orang-orang yang ada di suku Batak. Sulitnya bahasa untuk berkomunikasi, membuat para
pekabar Injil yang tergabung dalam Persekutuan Zending Boston (bagian dari Rheinische Zending), mati terbunuh.
Pada tahun 1840, Franz Wilhelm Junghuhn, seorang Ilmuwan Jerman diutus untuk melakukan perjalanan misi, mempelajari
Bahasa Batak serta adat istiadat Batak dan menuliskannya kedalam sebuah tulisan yang kemudian dikirimkan ke Bangsa Eropa,
sehingga membuat para misionaris di seluruh gereja-gereja Eropa mengenal akan Tanah Batak.
Dampak dari tulisan yang dibuat oleh Franz Wilhelm Junghuhn membuat para misionaris dari Belanda meneliti Bahasa Batak
untuk kemudian menterjemahkan Alkitab kedalam Bahasa Batak dan juga membuat kamus Alkitab kedalam Bahasa Batak.
Dengan diterbitkannya tulisan mengenai keadaan dan kondisi suku Batak yang terdapat di Tanah Batak di bagian utara Pulau
Sumatera, membuat Rheinische Zending - Belanda dan Jerman, mengirimkan akan missionaris mereka untuk memberitakan Injil dan
membangun gereja serta melakukan baptisan perdana yang dilakukan oleh Pdt. Van Asselt terhadap dua orang suku Batak (Jakobus
Tampubolon dan Simon Siregar) di Parau Sorat, Sipirok - Tapanuli Selatan.
Pada tanggal 7 Oktober 1861 lahirlah gereja Huria Kristen Batak Protestan (HKBP), yang didirikan oleh empat orang
Missionaris; Pdt. Heine, Pdt. J.C. Klammer, Pdt. Betz dan Pdt. Van Asselt (mereka berasal dari zending Emerllo Belanda dan Zending
Rheinische Mission Jerman).

Anda mungkin juga menyukai