Anda di halaman 1dari 40

Final Report

Pentingnya Insentif untuk Biaya Sumbangan/Bantuan


(CSR) Iuran Jaminan Sosial bagi Pekerja Rentan pada
Sektor Informal

Prof. Bambang Riyanto, Ph.D.


Arti Adji, Ph.D.
Ratna Nurhayati, Ph.D.
Dreda Bumi Pamungkas, S.E., Ak.
Iqbal Kautsar, S.E.

Penelitian dan Pelatihan Ekonomika dan Bisnis (P2EB)


Fakultas Ekonomika dan Bisnis
Universitas Gadjah Mada
2023

FINAL REPORT
2 Pentingnya Insentif untuk Biaya Sumbangan/Bantuan (CSR) Iuran Jaminan Sosial
bagi Pekerja Rentan pada Sektor Informal
DAFTAR ISI
DAFTAR ISI ................................................................................................ 3
DAFTAR TABEL .......................................................................................... 4
DAFTAR GAMBAR ...................................................................................... 4
BAB 1 Pendahuluan ................................................................................ 5
1.1 Latar Belakang ................................................................................................. 5
1.2 Tujuan Kajian ................................................................................................... 8
1.3 Metode Kajian .................................................................................................. 8
1.4 Sistematika Kajian ........................................................................................... 9
BAB 2 Kajian Teoritis dan Regulasi di Indonesia.................................... 11
2.1 Kajian Teoritis: Social Insurance ...................................................................11
2.2 Perluasan Cakupan Peserta, CSR, serta Regulasi tentang Exemption untuk
Perlakuan Pajak bagi CSR di Indonesia .......................................................16
BAB 3 Praktik Cerdas Internasional (International Best-Practices) tentang
Universal Social Protection ....................................................................... 18
BAB 4 Perlunya Perluasan Cakupan Jaminan Sosial ............................. 24
4.1 Economic Rationale Perluasan Cakupan Jaminan Sosial ...........................25
4.2 Perlunya Insentif Fiskal dan Non-Fiskal untuk Perluasan Cakupan Program
Jaminan Sosial terutama untuk PBI: Hasil FGD ..........................................29
4.3 Forgone Tax Revenues v. Benefits dari Perluasan Cakupan Jaminan Sosial.
........................................................................................................................33
BAB 5 Kesimpulan dan Rekomendasi .................................................... 37
5.1 Kesimpulan ....................................................................................................37
5.2 Rekomendasi .................................................................................................38
REFERENSI............................................................................................... 39

FINAL REPORT
Pentingnya Insentif untuk Biaya Sumbangan/Bantuan (CSR) Iuran Jaminan Sosial 3
bagi Pekerja Rentan pada Sektor Informal
DAFTAR TABEL
Tabel 3.1 – Klasifikasi Pekerja atas Wewenang dan Risiko Ekonomi ........................19

DAFTAR GAMBAR
Gambar 1.1 – Kontribusi Sosial dan Kesempatan Kerja Informal ................................ 5
Gambar 1.2 – Pendekatan dan Tahapan Studi .............................................................. 8
Gambar 2.1 – Wealth Substitution Effect ......................................................................12
Gambar 4.1 – Rekomendasi DJSN untuk Strategi Perluasan Peserta .......................32

FINAL REPORT
4 Pentingnya Insentif untuk Biaya Sumbangan/Bantuan (CSR) Iuran Jaminan Sosial
bagi Pekerja Rentan pada Sektor Informal
BAB 1
Pendahuluan

1.1 Latar Belakang

Pandemi Covid-19 berperan seperti stress test bagi sistem perlindungan sosial di
seluruh dunia, mengekspos masih tingginya kesenjangan dalam cakupan,
comprehensiveness, dan adequacy yang masih mengkhawatirkan. Kesenjangan, yang
ada sejak sebelum pandemi dan diperburuk oleh pandemi, ini berhubungan
dengan tidak cukupnya investasi publik dan swasta dalam perlindungan sosial.
Menutup kesenjangan ini, memfasilitasi pemulihan sosial-ekonomi yang inklusif
dan cepat, dan mendorong resiliensi terhadap goncangan di masa depan
memerlukan lebih banyak investasi dalam perlindungan sosial.
Gambar di bawah ini menunjukkan kontribusi sosial sebagai persentase dari
GDP dan pangsa kesempatan kerja informal (dari kesempatan kerja total) di
berbagai negara. Indonesia memiliki kesempatan kerja sektor informal yang
tinggi (sekitar 90%) namun dengan kontribusi sosial (sebagai persentase dari
GDP) yang sangat rendah.

Gambar 1.1 – Kontribusi Sosial dan Kesempatan Kerja Informal

FINAL REPORT
Pentingnya Insentif untuk Biaya Sumbangan/Bantuan (CSR) Iuran Jaminan Sosial 5
bagi Pekerja Rentan pada Sektor Informal
Pekerja di sektor informal kerap mengalami dampak ekonomi yang cukup besar
di saat situasi ekonomi yang tidak stabil seperti saat terjadi pandemi. Para
pekerja informal hanya bisa mengalokasikan uangnya untuk memenuhi
kebutuhan hidupnya dan tidak mengikuti program jaminan sosial karena harus
membayar iuran. Pekerja informal ini menjadi sangat rentan terhadap
keselamatan maupun kecelakaan kerja, karena mereka seringkali lebih
mengutamakan perolehan pendapatan (upah kerja) dan abai terhadap risiko
dan keselamatan dirinya. Program jaminan sosial dapat memproteksi
kelangsungan ekonomi keluarga mereka apabila terjadi risiko-risiko sosial
seperti kecelakaan kerja hingga meninggal dunia, di mana santunan uang tunai
dan beasiswa pendidikan bagi janda/duda serta anak yang ditinggalkan
memberikan kepastian terkait keberlangsungan masa depan ekonomi keluarga
tersebut.
Saat ini, dapat dikatakan bahwa cakupan jaminan sosial di Indonesia masih
relatif rendah, karena partisipasi masyarakat yang masih belum tinggi dan
karena keterbatasan dana. Itulah sebabnya, dalam berbagai kesempatan, para
pimpinan pemerintahan, baik di tingkat pusat maupun daerah, menyerukan
penguatan sistem jaminan sosial nasional, dengan memperluas cakupan
keanggotannya. Dalam hal ini, Wakil Presiden K.H. Ma’ruf Amin dalam
berbagai kesempatan menyampaikan perlunya strategi jaring pengamanan
sosial untuk mengurangi kemiskinan, dengan mendorong partisipati aktif dan
sinergi para pemangku kepentingan. Dengan kata lain, agenda perluasan
cakupan peserta program jaminan sosial mendesak untuk dilakukan.
Salah satu masalah yang menghambat perluasan cakupan adalah masalah
pendanaan. Saat ini, perlindungan pekerja informal dilakukan dengan
membiayai iuran pekerja rentan dengan pengalokasian anggaran Penerima
Bantuan Iuran (PBI) melalui APBN/D. Alokasi pembiayaan anggaran untuk
PBI pekerja rentan melalui APBN/D dapat terlaksana di beberapa daerah dan
terkendala di beberapa daerah lainnya, bergantung pada kemampuan
keuangan Pemerintah Daerah tersebut. Kemampuan pembiayaan keuangan
negara/daerah seringkali mengalami keterbatasan dan berbenturan dengan
program-program prioritas lainnya sehingga tidak bisa sepenuhnya digunakan
untuk membiayai iuran para pekerja rentan dari sektor informal sehingga perlu
peran serta pihak perusahaan (baik swasta maupun BUMN/D) dalam
memberikan perlindungan jaminan sosial kepada para pekerja rentan di sektor
informal sebagai upaya peningkatan kesejahteraan masyarakat dan menjadi

FINAL REPORT
6 Pentingnya Insentif untuk Biaya Sumbangan/Bantuan (CSR) Iuran Jaminan Sosial
bagi Pekerja Rentan pada Sektor Informal
jaring pengaman agar tidak muncul masyarakat miskin baru yang terdampak
akibat risiko sosial ekonomi yang mungkin terjadi.
Untuk meningkatkan kapasitas pendanaan yang diperlukan guna memperluas
cakupan dan memperkuat program jaminan sosial adalah mengajak sektor
swasta untuk menyediakan pembiayaan iuran melalui dana Corporate Social
Responsibility (CSR). Potensi dana CSR di Indonesia sangat besar, apalagi
program CSR ini sebenarnya juga telah menjadi amanat Undang-Undang No.
40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas dan Undang Undang No. 25
Tahun 2007 tentang Penanaman Modal. Pemanfaatan potensi sumber
dana dari CSR yang sangat besar ini akan efektif jika didukung oleh regulasi
yang mendorong perusahaan untuk mengarahkan dana CSR guna
mendukung program jaminan sosial. Seperti terjadi di berbagai negara dan
di berbagai sektor, industri atau perusahaan akan termotivasi untuk
menyediakan pembayaran iuran apabila perusahaan-perusahaan tersebut
mendapatkan insentif, misalnya insentif perpajakan berupa pengurangan biaya
pembiayaan iuran tersebut dari perhitungan penghasilan kena pajaknya.
Namun, peraturan yang ada saat ini, yaitu Undang-Undang PPh 2020 dan
Peraturan Pemerintah No. 93 Tahun 2010 nampaknya belum secara
optimal mendorong industri untuk berpartisipasi dalam program jaminan
sosial. Menurut Peraturan Pemerintah No. 93 Tahun 2010, misalnya
kriteria untuk menentukan tax deductibility biaya CSR adalah:
1. Sumbangan untuk penelitian dan pengembangan yang dilakukan di
wilayah Republik Indonesia yang disampaikan melalui Lembaga
penelitian dan pengembangan
2. Sumbangan untuk penanggulangan bencana nasional
3. Sumbangan untuk pembinaan olahraga yang ditujukan untuk membina,
mengembangkan dan mengkoordinasi suatu/gabungan organisasi
cabang/jenis olahraga
4. Biaya pembangunan infrastruktur sosial yang dikeluarkan untuk
membangun sarana dan prasarana bagi kepentingan umum dan bersifat
nirlaba
5. Sumbangan untuk fasilitas Pendidikan melalui Lembaga Pendidikan

Peraturan tentang tax deductibility biaya CSR ini tidak memberi insentif bagi
industri untuk berpartisipasi dalam pendanaan program jaringan sosial tenaga
kerja. Partisipasi aktif industri dalam mendorong penguatan program jaminan
sosial, khususnya kemauan mereka untuk mengalokasikan dana CSR untuk
menopang pendanaan program jaminan sosial bagi pekerja informal, akan

FINAL REPORT
Pentingnya Insentif untuk Biaya Sumbangan/Bantuan (CSR) Iuran Jaminan Sosial 7
bagi Pekerja Rentan pada Sektor Informal
meningkat jika peraturan pajak menyediakan insentif bagi industri. Pada 2022
yang lalu, tercatat hanya beberapa perusahaan saja yang berpartisipasi dalam
program jaminan, dengan total iuran yang dibayarkan Rp36,963 miliar. Ini
berarti masih terbuka peluang yang sangat besar bagi industri untuk
berpartisipasi dalam program jaminan sosial sektor informal melalui
penyaluran dana CSR. Studi ini akan menyajikan rationale untuk menambahkan
satu lagi klausul Sumbangan/Bantuan Iuran Jaminan Sosial bagi Pekerja
Rentan yang dapat dikurangkan dari Penghasilan Bruto dalam perhitungan
Penghasilan Kena Pajak.

1.2 Tujuan Kajian

Kajian ini bertujuan menyajikan economic rationale untuk insentif perpajakan bagi
perusahaan-perusahaan yang menyediakan pembiayaan iuran jaminan sosial
bagi pekerja sektor informal.

1.3 Metode Kajian


Pendekatan dan Tahapan Studi
Tahapan dan metode kajian disajikan pada gambar berikut ini.

Get an Overview
Preliminary Research • Diskusi Data Collection
Studi data dan pengembangan • Brainstorming • Data Archival
pemahaman permasalahan • Kajian data historis • FGD
untuk point of view
• Pengembangan • Int’l Best Practice
Literature Overview
Protocal FGD

Analysis/Evaluasi
The Final Reporting • Pajak atas JHT
• Sumbangan JHT
Report dan • Draft expert opinion • Sumbangan JHT
• Kajian Teoritis
Presentasi • Presentation • PPh Badan
• Kajian Teoritis

Gambar 1.2 – Pendekatan dan Tahapan Studi

FINAL REPORT
8 Pentingnya Insentif untuk Biaya Sumbangan/Bantuan (CSR) Iuran Jaminan Sosial
bagi Pekerja Rentan pada Sektor Informal
Analisis yang akan dilakukan meliputi
a. Desk study, dengan cakupan meliputi:
1) Kajian teoritis mengenai jaminan sosial.
2) Praktik cerdas internasional tentang upaya perluasan cakupan
jaminan sosial, terutama bagi pekerja informal dan berpenghasilan
rendah.
b. FGD
FGD untuk mengumpulkan informasi yang diperlukan untuk
mendukung kajian dilakukan pada 15 Desember 2022. FGD dihadiri
oleh BPJS dan instansi yang relevan. Informasi yang dikumpulkan akan
digunakan untuk menambah insight dan memperluas juga mempertajam
hasil analisis desk study.

1.4 Sistematika Kajian

Bab I. Pendahuluan.
Pendahuluan ini berisi:
- Latar belakang
- Tujuan kajian
- Metode
- Timeline

Bab II. Kajian Teoritis dan Regulasi di Indonesia


Bab ini berisi:
- Kajian teoritis insentif pajak untuk social insurance: Economic rational
insentif pajak untuk social insurance bagi vulnerable groups of society.
- Regulasi di Indonesia tentang exemption untuk perlakuan pajak
bagi CSR.

Bab III. Praktik Cerdas Internasional (International Best-Practices)


Bab ini berisi:
- International best practices tentang upaya perluasan cakupan social
insurance.

Bab IV. Analisis


Bab ini berisi:
- Piranti dan analisis dari FGD.
- Analisis perlunya insentif pajak bagi perusahaan-perusahaan
yang membantu iuran untuk social insurance sebagai CSR-nya.

FINAL REPORT
Pentingnya Insentif untuk Biaya Sumbangan/Bantuan (CSR) Iuran Jaminan Sosial 9
bagi Pekerja Rentan pada Sektor Informal
- Analisis forgone tax revenues v. benefits dari perluasan cakupan
jaminan sosial

BAB V. Kesimpulan dan Rekomendasi


Bab ini berisi:
- Kesimpulan
- Rekomendasi bagi Pengambil Kebijakan

FINAL REPORT
10 Pentingnya Insentif untuk Biaya Sumbangan/Bantuan (CSR) Iuran Jaminan Sosial
bagi Pekerja Rentan pada Sektor Informal
BAB 2
Kajian Teoritis dan Regulasi di Indonesia

2.1 Kajian Teoritis: Social Insurance

Penyediaan jaminan sosial oleh Pemerintah merupakan hal yang esensial.


Namun, sektor swasta dapat juga memberikan kontribusinya untuk membantu
penyediaan jaminan sosial melalui iuran bagi peserta yang termasuk dalam
Penerima Bantuan Iuran (PBI). Program jaminan sosial memberikan jaminan
terhadap kemungkinan seseorang hidup lebih lama daripada yang
diharapkan—sehingga individu tersebut telah menggunakan seluruh tabungan
dan aset yang diperoleh saat bekerja. Program jaminan sosial juga memberikan
jaminan apabila dalam melakukan pekerjaannya, seseorang mengalami
kecelakaan sehingga dia tetap dapat membiayai konsumsinya meski dalam
keadaan tidak bekerja karena mengalami kecelakaan.

Program jaminan sosial menciptakan beberapa efek:


1. Wealth substitution effect.
2. Retirement effect.
3. Bequest effect.

Wealth substitution effect


Gambar di bawah ini menunjukkan keputusan menabung individu dengan
adanya jaminan sosial yang disediakan Pemerintah. Gambar 2.1 ini didasarkan
pada model yang mengasumsikan bahwa individu hidup dalam dua periode:
periode sekarang dan periode mendatang. Periode sekarang adalah masa di
mana individu bekerja. Periode mendatang adalah masa ketika individu
pensiun atau tidak bekerja lagi. Sumbu horizontal mewakili konsumsi sekarang,
c0. Sumbu vertikal mewakili konsumsi mendatang, c1. Penghasilan sekarang
adalah I0 dan penghasilan mendatang adalah I1. Apabila individu memutuskan
untuk mengonsumsi semua penghasilannya pada periode sekarang (c0 = I0),
maka individu tersebut berada pada titik endowment A.

FINAL REPORT
Pentingnya Insentif untuk Biaya Sumbangan/Bantuan (CSR) Iuran Jaminan Sosial 11
bagi Pekerja Rentan pada Sektor Informal
Gambar 2.1 – Wealth Substitution Effect

Sumber: Harvey S. Rosen and Ted Gayer (2014): Public Finance

Pada titik endowment A, individu tidak menabung dan tidak meminjam. Apabila
individu tersebut memutuskan pada periode sekarang untuk menabung, maka
konsumsi sekarang c0 akan lebih kecil daripada penghasilan sekarang I0 sebesar
S. Apabila individu tersebut menginvestasikan tabungannya pada aset dengan
rate of return r, individu dapat meningkatkan konsumsi periode mendatang
dengan S(1 + r), yaitu pokok tabungan sebesar S ditambah bunga sebesar rS.

Alternatifnya, individu tersebut dapat mengonsumsi lebih dari penghasilan


periode sekarang apabila ia dapat meminjam. Dengan asumsi bahwa individu
tersebut dapat meminjam pada tingkat bunga r—tingkat bunga yang sama
dengan tingkat bunga yang diperoleh ketika individu tersebut meminjamkan
uangnya. Apabila individu meminjam sebesar B untuk meningkatkan konsumsi

FINAL REPORT
12 Pentingnya Insentif untuk Biaya Sumbangan/Bantuan (CSR) Iuran Jaminan Sosial
bagi Pekerja Rentan pada Sektor Informal
periode sekarang, di periode mendatang dia harus mengembalikan B ditambah
bunga sebesar rB. Dengan demikian, individu tersebut dapat meningkatkan
konsumsinya pada periode sekarang sebesar B hanya apabila ia bersedia
mengurangi konsumsi periode mendatang sebesar B(1 + r).

Individu tersebut menghadapi kendala anggaran MN yang melalui titik


endowment A dan memiliki gradien dalam nilai absolut sebesar 1 + r. Gradien
kendala anggaran mewakili biaya oportunitas dari suatu komoditas diukur dari
komoditas lainnya. Gradien 1 + r menunjukkan bahwa biaya konsumsi sebesar
Rp1 pada periode sekarang adalah penurunan konsumsi periode mendatang
sebesar Rp (1 + r). Oleh karena kendala anggaran MN menunjukkan trade-off
konsumsi antara waktu, maka kendala anggaran tersebut disebut kendala
anggaran antar periode (intertemporal budget constraint).

Preferensi individu akan konsumsi sekarang dan mendatang diwakili oleh kurva
indiferens i, ii, dan iii. Dengan asumsi bahwa individu menyukai tingkat
konsumsi yang tinggi dibandingkan dengan tingkat konsumsi yang rendah,
maka semakin ke kanan atas, semakin tinggi tingkat kepuasan atau utilitas
individu tersebut. Individu memaksimalkan utilitas pada titik E1, di mana dia
mengonsumsi sebesar c0* pada periode sekarang dan mengonsumsi c1* pada
periode mendatang. Oleh karena penghasilan sekarang I0 melebihi konsumsi
sekarang c0*, maka selisihnya, I0 - c0* adalah tabungan. Namun demikian, tidak
selalu bahwa merupakan hal yang rasional untuk menabung. Apabila kurva
indiferens tertinggi yang dapat dicapai menyinggung kendala anggaran di
bawah titik A, maka konsumsi sekarang akan melebihi penghasilan sekarang
dan individu tersebut akan meminjam.

Untuk menyederhanakan model, diasumsikan bahwa hasil dari jaminan sosial


sama dengan tingkat bunga pasar—yaitu, apabila individu tersebut membayar
RpT untuk pajak jaminan sosial pada periode dia bekerja, maka manfaat
jaminan sosialnya adalah Rp(1 + r)T. Berangkat dari titik A, pajak atas jaminan
sosial merelokasi pilihan individu tersebut sebesar T unit ke sebelah kiri; pajak
mengurangi konsumsi sekarang. Namun, program jaminan sosial merelokasi
pilihan individu tersebut ke atas sebesar jarak (1 + r)T karena konsumsi
mendatang meningkat sebesar (1 + r)T. Kombinasi pajak di masa sekarang
dengan manfaat di masa mendatang memposisikan individu pada titik R pada
kendala anggaran awal MN. Akibatnya, titik R telah menggantikan titik A
sebagai titik endowment. Dengan demikian, selama individu tersebut dapat
menabung dan meminjam pada tingkat bunga pasar, kendala anggaran tetap

FINAL REPORT
Pentingnya Insentif untuk Biaya Sumbangan/Bantuan (CSR) Iuran Jaminan Sosial 13
bagi Pekerja Rentan pada Sektor Informal
sepanjang garis MN. Oleh karena kendala anggaran tetap, demikian juga
bundel konsumsi optimal tetap berada di E1. Namun demikian, meskipun pola
konsumsi sepanjang hayat sama, terdapat perbedaan perilaku individu. Untuk
mencapai E1, individu tersebut sekarang harus menabung sebesar I0T – c0*, yang
lebih kecil daripada jumlah yang ditabungnya sebelum ada program jaminan
sosial. Hal ini disebut dengan wealth substitution effect.

Retirement effect
Program jaminan sosial memungkinkan individu untuk pensiun lebih awal
daripada jika individu tersebut tidak mengikuti program jaminan sosial. Apabila
masa periode pensiun individu lebih lama, individu tersebut memiliki periode
tidak bekerja yang lebih panjang di mana konsumsinya harus dibiayai, namun
dengan jumlah tahun bekerja yang lebih pendek untuk mengakumulasi dana.
Retirement effect ini cenderung meningkatkan tabungan.

Bequest effect
Misalkan salah satu motif dari menabung adalah untuk meninggalkan warisan
bagi keturunannya. Program jaminan sosial cenderung untuk menggeser
penghasilan dari generasi muda (pekerja/pembayar pajak) ke generasi tua
(pensiunan/penerima manfaat pensium). Orangtua, oleh karena itu, mungkin
menabung lebih banyak untuk meningkatkan warisan kepada anaknya untuk
mengimbangi efek distribusi dari program jaminan sosial. Esensinya, orang
akan meningkatkan tabungannya untuk mengimbangi dampak program
jaminan sosial terhadap penghasilan anaknya. Hal ini disebut bequest effect.
Program jaminan sosial membantu individu untuk men-smooth-out konsumsi dan
menjamin kelangsungan hidupnya di masa tidak bekerja. Namun demikian,
tidak semua individu mampu mengiur untuk mengikuti program jaminan sosial.
Meskipun pemerintah telah mengadakan program Penerima Bantuan Iuran
(PBI), namun cakupannya masih belum seperti yang diharapkan. Apabila sektor
swasta dilibatkan, cakupan diharapkan akan meningkat. Supaya sektor swasta
tertarik untuk terlibat, dibutuhkan insentif bagi sektor swasta, misalnya insentif
pajak atau insentif non-pajak.

Dampak total dari wealth substitution effect, retirement effect, dan bequest effect
Secara teoritis, dampak program jaminan sosial terhadap jumlah tabungan
masyarakat adalah ambigius. Wealth substitution effect memprediksi bahwa jumlah
tabungan masyarakat akan menurun dengan adanya program jaminan sosial,
sementara retirement effect dan bequest effect memprediksi bahwa jumlah tabungan

FINAL REPORT
14 Pentingnya Insentif untuk Biaya Sumbangan/Bantuan (CSR) Iuran Jaminan Sosial
bagi Pekerja Rentan pada Sektor Informal
masyarakat akan meningkat dengan adanya progoram jaminan sosial. Efek neto
dari ketiga effect tersebut tergantung pada besarnya wealth substitution effect dan
retirement effect ditambah dengan bequest effect.
Program jaminan sosial merupakan program di mana ideologi yang left-leaning
maupun right-leaning menganggap sangat penting. Di Amerika Serikat dengan
dua ideologi yang sangat polar, sepakat pada satu hal yaitu sangat pentingnya
program jaminan sosial. Dalam kampanyenya untuk menjadi presiden, Barack
Obama (saat itu adalah senator dari Partai Demokrat) mengatakan, “If we care
about Social Security, which I do, and if we are firm in our commitment to make sure that it’s
going to be there for the next generation, and not just for our generation, then we have an
obligation to figure out how to stabilize the system.” Empat tahun kemudian kandidat
presiden, dari Partai Republik, dalam kampanyenya mengatakan bahwa salah
satu prioritasnya adalah mengarahkan Social Security “on the path of solvency and
ensure that it is preserved for future generations.” Program jaminan sosial merupakan
program pengeluaran domestik Pemerintah terbesar di Amerika Serikat dengan
nilai mencapai hampir 5% dari GDP. Bukti empiris di Amerika Serikat
menunjukkan bahwa program jaminan sosial meredistribusi pendapatan dari
masyarakat yang berpenghasilan tinggi ke yang berpenghasilan rendah, dari
laki-laki ke perempuan, dan dari generasi muda ke generasi tua (Rosen and
Gayer, 2014).
Program jaminan sosial menjamin keberlangsungan hidup para pekerja ketika
memasuki masa pensiun. Program jaminan sosial berdampak pada peningkatan
kesejahteraan rakyat dengan membantu rakyat men-smooth out konsumsinya. Di
Indonesia, program jaminan sosial juga mengadopsi prinsip yang sama. Seperti
diutarakan oleh Menteri Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan
Kebudayaan (Menko PMK) Muhadjir Effendy, “Jaminan Sosial
Ketenagakerjaan dapat mencegah masyarakat pekerja dan keluarganya jatuh
menjadi keluarga miskin baru. Misalnya, ketika keluarga berada dalam
guncangan ekonomi akibat kecelakaan kerja ataupun krisis ekonomi, termasuk
PHK, maka bantalan utama yang bisa menjadi taruhan bagi keberlangsungan
kehidupan layak adalah Jamsostek. Jaminan sosial ketenagakerjaan di masa
depan harus menjadi lebih universal dan inklusif. Pemberian perlindungan
pekerja harus diberikan sejak usia produktif bekerja dan mudah diakses bagi
seluruh pekerja Indonesia, terlepas apakah mereka bekerja di sektor formal
ataupun informal.” (https://nasional.tempo.co 13 November, 2022, diakses 18
Januari 2023). Itulah sebabnya, perluasan cakupan perserta program jaminan
merupakan bagian penting dari kepentingan Pemerintah Indonesia.

FINAL REPORT
Pentingnya Insentif untuk Biaya Sumbangan/Bantuan (CSR) Iuran Jaminan Sosial 15
bagi Pekerja Rentan pada Sektor Informal
2.2 Perluasan Cakupan Peserta, CSR, serta Regulasi tentang Exemption untuk
Perlakuan Pajak bagi CSR di Indonesia

Saat ini cakupan Program Jamsostek masih rendah, seperti telah disebutkan
sebelumnya. Rendahnya cakupan ini terutama disebabkan oleh masih
rendahnya partisipasi masyarakat dan keterbatasan dana yang tersedia.
Perluasan jaminan cakupan peserta jaminan sosial tentu saja memerlukan
perluasan basis sumber pendanaan. Dalam konteks ini, partisipasi industri
dapat didorong karena potensinya sangat besar, terutama dari program
corporate social responsibility (CSR) yang memang merupakan amanat Undang-
Undang No. 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas dan Undang
Undang No. 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal. Pemanfaatan
potensi ini memerlukan insentif penunjang yang tepat.
Perusahaan (industri) sebenarnya telah lama menerapkan agenda corporate
social responsibility. Program-program seperti grow with stakeholders, giving back
to society, dan terakhir penerapan konsep sustainable development telah lama
diterapkan. Pada prinsipnya, perusahaan dalam menjalankan usahanya
tidak lagi hanya fokus pada profit, tetapi juga memperhatikan atau peduli
pada masyarakat dan lingkungan hidup. Secara teknis, pelaksanaan
dilakukan dengan menyisihkan sebagian laba untuk mewujudkan bisnis
yang beretika, melalui Corporate Sosial Responsibility (CSR) yang merupakan
bentuk tanggung jawab moral perusahaan. Populernya program CSR
karena ternyata dapat memberikan dampak positif bagi perusahaan, seperti
brand image yang baik, tingginya kedekatan dan loyalitas pelanggan, yang
pada akhirnya akan meningkatkan return perusahaan.
Di Indonesia CSR bersifat mandatori, yang merupakan amanat Undang-
Undang No. 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas dan Undang
Undang No. 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal. Pengeluaran
untuk CSR dapat dikurangkan dari penghasilan bruto dalam penghitungan
pajak. Namun, tidak semua pengeluaran CSR merupakan pengurang
penghasilan bruto.
Regulasi yang mengatur pengeluaran CSR sebagai pengurang pajak adalah
Pasal 6 ayat (1) huruf i, j, k, l dan m, Undang-Undang PPh dan Peraturan
Pemerintah No. 93 Tahun 2010. Beberapa hal yang diatur antara lain:
1. Pengeluaran terbatas hanya pada sumbangan dalam rangka
penanggulangan bencana nasional, penelitian dan pengembangan,

FINAL REPORT
16 Pentingnya Insentif untuk Biaya Sumbangan/Bantuan (CSR) Iuran Jaminan Sosial
bagi Pekerja Rentan pada Sektor Informal
fasilitas pendidikan, pembinaan olahraga dan pembangunan
infrastruktur sosial,
2. Mempunyai penghasilan netto fiskal Tahun Pajak sebelumnya,
3. Tidak dengan pihak yang mempunyai hubungan istimewa,
4. Didukung bukti yang sah dan penerima memiliki NPWP kecuali bukan
subjek pajak, dan
5. Besarnya tidak lebih dari 5% dari penghasilan neto tahun sebelumnya
dan tidak menyebabkan rugi.

Regulasi tentang tax exemptions untuk CSR di atas masih sangat membatasi
perusahaan untuk mendorong berkembangnya program CSR dan ‘menuntun’
perusahaan menjadi philantropy. Dalam konteks mendorong partisipasi industri
dalam pendanaan program jaminan sosial, terbatasnya kategori pengeluaran
untuk CSR mengakibatkan perusahaan-perusahaan tidak tertarik untuk
melakukan CSR dalam bentuk membantu iuran PBI. Cakupan jaminan sosial
akan meningkat apabila pengeluaran CSR dalam bentuk bantuan iuran PBI
dapat dikurangkan dari penghasilan pajak bruto.

FINAL REPORT
Pentingnya Insentif untuk Biaya Sumbangan/Bantuan (CSR) Iuran Jaminan Sosial 17
bagi Pekerja Rentan pada Sektor Informal
BAB 3
Praktik Cerdas Internasional (International Best-Practices)
tentang Universal Social Protection

Negara-negara di Asia Pasifik dalam beberapa dekade terakhir meraih


pencapaian di bidang ekonomi yang cukup baik. Sebagai contoh, proporsi
penduduk yang berada di bawah garis kemiskinan telah turun terutama di
India, Indonesia, dan China. Dalam beberapa tahun terakhir, penurunan
tingkat kemiskinan ini menghadapi tantangan dan mengalami pelambatan
dengan adanya pandemic Covid-19. Selain itu, tantangan yang lain negara-
negara di Asia Pasifik di bidang ekonomi, seperti meningkatnya
ketidakmerataan pendapatan dan kekayaan, dan peningkatan proporsi
penduduk yang menua. Sebagai konsekuensinya, bonus demografi yang
dinikmati negara-negara di kawasan ini nampaknya akan segera berakhir.

Inovasi dan sumber daya dibutuhkan untuk memperluas cakupan jaminan


sosial terutama cakupan pekerja di sektor kesempatan kerja non-baku misalnya
pekerja sektor informal, pekerja rumahtangga, dan pekerja di sektor pertanian.
Salah satu opsi adalah meningkatkan cakupan jaminan sosial dan contributory
revenues. Peningkatan cakupan jaminan sosial dan mengoleksi kontribusi sosial
merupakan cara yang dapat diandalkan untuk membiayai jaminan sosial dan
memberikan ruang fiskal kepada Kementerian Keuangan untuk belanja
sosial lainnya.

Peningkatan jaminan sosial perlu mempertimbangkan hal-hal berikut ini:


• Desain dan implementasi kebijakan formalisasi
• Inovasi pembiayaan jaminan sosial:
• Subsidi kontribusi sosial
• Simplified tax and contribution collection mechanisms
• Design adaptations considering the need of low-income self-employed workers,
UMKM, domestic workers, pekerja di sektor pertanian.
• Pertimbangan akan keberagaman situasi self-employed workers.

FINAL REPORT
18 Pentingnya Insentif untuk Biaya Sumbangan/Bantuan (CSR) Iuran Jaminan Sosial
bagi Pekerja Rentan pada Sektor Informal
Pertimbangan akan keberagaman situasi pekerja swasta (self-employed
workers)
Self-employment (pekerjaan swasta) secara tradisional diartikan sebagai pekerjaan
yang menghasilkan profit dan tidak menerima upah. Hal ini tentu saja tidak
mempertimbangkan bahwa pekerja memiliki otoritas dan kontrol yang berbeda
pada organisasi tempat mereka bekerja. The Revised Classification of Status in
Employment (ICSE-18), yang diadopsi oleh 20th International Conference of
Labour Statisticians pada 2018, mengklasifikasikan pekerjaan ke dalam dua
dimensi, yakni:
• Tipe Otoritas (wewenang), mengacu pada kontrol yang dimiliki pekerja
atas organisasi tempat bekerjanya, wewenang yang dijalankan pada unit
ekonomi di tempat pekerjaannya, sejauh mana pekerja dapat
bergantung satu sama lain dalam menjalankan organisasi tempat mereka
bekerja dan/atau dalam hal mencapai akses ke pasar
• Tipe Risiko Ekonomi, mengacu pada sejauh mana pekerja dapat terkena
dampak kerugian keuangan atau sumber daya lainnya saat menjalankan
aktivitas organisasi dan sejauh mana mengalami penurunan remunerasi
dalam bentuk tunai atau barang, atau bahkan hingga tidak menerima
remunerasi.

Berdasarkan klasifikasi di atas, kategori pekerja dapat dibedakan berdasarkan


dua dimensi tersebut sebagai berikut:

Tabel 3.1 – Klasifikasi Pekerja atas Wewenang dan Risiko Ekonomi

RISIKO EKONOMI
Pekerja pada Usaha Berupah Pekerja pada Usaha Berprofit
• Pemberi kerja pada korporasi • Pemberi kerja pada usaha rumah
• Owner-operators pada usaha tangga (tidak berbadan hukum)
Pekerja
tanpa pegaw ai • Pekerja mandiri pada usaha rumah
Mandiri
WEWENANG

tangga (tidak berbadan hukum)


tanpa karyawan
• Pegawai permanen • Dependent contractors
• Pegawai tetap • Pekerja keluarga
Pekerja
• Pegawai kontrak jangka
Tanggungan
pendek & casual
• Magang dan trainee

Keberagaman situasi self-employed workers harus dipertimbangkan dalam cakupan


jaminan sosial. Terdapat tantangan khusus bagi dependent workers (pekerja
tanggungan) yaitu: dependent contractors dan pekerja keluarga. Dalam konteks

FINAL REPORT
Pentingnya Insentif untuk Biaya Sumbangan/Bantuan (CSR) Iuran Jaminan Sosial 19
bagi Pekerja Rentan pada Sektor Informal
tertentu, pekerja mandiri pada usaha berupah mungkin berada dalam situasi
yang dapat dibandingkan dengan pekerja pada usaha berprofit, sehubungan
dengan cakupan jaminan sosial mereka. (Sumber: ILO Brief, March 2021).
Sub-bagian berikut ini menyajikan beberapa contoh praktik cerdas
internasional untuk meningkatkan cakupan jaminan sosial, terutama bagi self-
employed workers atau pekerja di sektor informal.

Microemprendedor (Pengusaha Mikro) Individual di Brazil


Brazil menetapkan kategori legal dari self-employed micro-entrepreneurs pada tahun
2008 melalui the Complementary Law No. 128, dengan mendefinisikan
perorangan swasta (self-employed person) sebagai orang dengan pendapatan
tahunan bruto maksimal sebesar R$81,000 (sekitar US$20,800) yang bukan
merupakan partner maupun pemegang saham perusahaan tertentu, dan
memiliki tidak lebih dari satu karyawan. Undang-undang ini menyederhanakan
registrasi dan pembayaran iuran dengan menggabungkan iuran pajak dan
jaminan sosial dalam satu pembayaran. Meskipun undang-undang tersebut
merupakan bagian dari Simples Nacional yang menangani usaha mikro dan
kecil, undang-undang tersebut memperhitungkan iuran yang lebih rendah
untuk pengusaha mikro jika dibandingkan pada umumnya. Program MEI telah
berkontribusi terhadap peningkatan asuransi sosial pada pekerja swasta dari
33% pada tahun 2009 menjadi 41,7% pada tahun 2015. (Sumber: ILO Brief,
March 2021)

Dominika: Perluasan perlindungan sosial pada pekerja swasta-mandiri


melalui perjanjian registrasi kolektif
Asosiasi yang didukung oleh serikat pekerja AMUSSOL di Republik Dominika
didirikan pada tahun 2005 untuk memfasilitasi akses ke skema asuransi sosial
bagi pekerja swasta-mandiri dan kategori pekerja lainnya.

Asosiasi bertindak sebagai perantara antara lembaga jaminan sosial dan pekerja
di sektor ekonomi informal, dengan mengumpulkan iuran jaminan sosial dari
anggotanya dan mentransfernya ke lembaga jaminan sosial. AMUSSOL telah
memiliki 60.000 anggota hingga saat ini. Fakta bahwa pekerja bersedia
membayar biaya tambahan 1% untuk biaya operasional AMUSSOL di
samping iuran jaminan sosial, menunjukkan bahwa mereka sangat menghargai
perlindungan jaminan sosial. (Sumber: ILO Brief, March 2021)

FINAL REPORT
20 Pentingnya Insentif untuk Biaya Sumbangan/Bantuan (CSR) Iuran Jaminan Sosial
bagi Pekerja Rentan pada Sektor Informal
Inovasi pengumpulan iuran untuk pekerja swasta: AlkanSSSya Programme
di Filipina
Pada tahun 2011, AlkanSSSya Programme (SSS) di Filipina memperkenalkan
mekanisme inovatif untuk memfasilitasi pengumpulan iuran bagi pekerja
swasta-informal dengan pendapatan tidak tetap. Didukung oleh asosiasi pekerja
informal (kelompok sektor informal), “boks” pengumpulan iuran diperkenalkan
agar para pekerja menabung jumlah kecil dalam slot individu ketika memiliki
sejumlah uang, sehingga mereka bisa melakukan setoran harian atau mingguan
dalam jumlah kecil.
Jumlah tersebut kemudian dihitung dan dikumpulkan setiap bulan dengan
menggunakan laporan transaksi berbasis komputer. “Boks” pengumpulan iuran
dipasang di dalam atau di dekat tempat kerja, seperti di terminal ‘tricycle’. Pada
akhir April 2015, lebih dari 100.000 pekerja telah berpartisipasi. (Sumber: ILO
Brief, March 2021).

Penyederhanaan mekanisme iuran dan pembayaran pajak di Uruguay


Di Uruguay, pekerja mandiri dan usaha kecil di bawah threshold tertentu, dapat
memilih satu di antara dua opsi berikut:
(a) menggunakan mekanisme monotributo (monotax) yang
disederhanakan untuk pembayaran tunggal pajak dan iuran dalam
pendapatan mereka, atau
(b) membayar iuran jaminan sosial biasa dan pajak normal.
Iuran monotax dikumpulkan oleh Uruguayan Social Security Institute (BPS),
yang mentransfer bagian pajak ke otoritas fiskal dan menggunakan bagian iuran
untuk membiayai tunjangan jaminan sosial bagi anggota yang terafiliasi,
melalui skema dan sejenisnya.
Anggota yang berpartisipasi ini memiliki akses ke semua tunjangan
perlindungan sosial kecuali tunjangan pengangguran. Afiliasi ke asuransi
kesehatan bersifat sukarela untuk memberikan fleksibilitas sehubungan dengan
iuran jaminan sosialnya. Pengenalan mekanisme monotax memperluas secara
signifikan cakupan di antara pekerja swasta-informal dan usaha mikro.
Mekanisme monotax juga digunakan untuk memastikan cakupan jaminan
sosial bagi yang bekerja di platform digital, seperti pengemudi transportasi
online (Uber, Cabify atau EasyGo), menggunakan aplikasi yang menyediakan
kemudahan perhitungan dan transfer atas iuran dan pajak yang berlaku.
(Sumber: ILO Brief, March 2021).

FINAL REPORT
Pentingnya Insentif untuk Biaya Sumbangan/Bantuan (CSR) Iuran Jaminan Sosial 21
bagi Pekerja Rentan pada Sektor Informal
Thailand: two-dimensional extension strategy
Thailand telah menerapkan strategi perluasan cakupan perlindungan sosial
yang terdiri terdiri dari dua pilar. Pilar pertama, perluasan skema non-iuran
(non-contributory schemes). Skema non-iuran memungkinkan penyediaan
perlindungan sosial bagi sebagian besar penduduk Thailand termasuk mereka
yang tidak mampu berkontribusi pada Dana Jaminan Sosial (Social Security Fund).
Sebagai contoh, Thailand menerapkan program tunjangan hari tua (old-age
allowance) yang merupakan satu-satunya bentuk pensiun bagi pekerja di sektor
informal. Pilar kedua, perluasan cakupan manfaat yang diberikan serta cakupan
sistem jaminan sosial. Perluasan tersebut dihasilkan dari serangkaian reviu
terhadap UU Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN) di Thailand yang terbukti
dapat meningkatkan cakupan perlindungan sosial, meningkatkan keanggotaan
self-employed individuals (wiraswastawan), pekerja migran, dan pekerja domestik
(domestic workers). Namun demikian, tidak semua dari anggota dalam kelompok
rentan tersebut membayar kontribusi secara teratur sehingga hal ini merupakan
tantangan tersendiri bagi Pemerintah Thailand. Tidak seperti halnya kelompok
pekerja tertentu (e.g., pegawai pemerintah dan karyawan sektor swasta) yang
bersifat relatif komprehensif, cakupan jaminan sosial untuk kelompok rentan
memiliki permasalahan yang jauh lebih kompleks. Ketidaktercakupan secara
penuh (fully covered) bagi kelompok pekerja rentan tersebut disebabkan terutama
oleh kendala keuangan, dan masalah kepatuhan hingga hambatan hukum (legal
barriers). Oleh karena itu, diperlukan pendekatan efektif dan upaya lebih lanjut
secara komprehensif. Program kemitraan dengan sektor swasta melalui aktivitas
CSR tampaknya dapat digunakan sebagai salah satu alternatif untuk
memeningkatkan cakupan perlindungan soasial bagi kelompok rentan.

Argentina, Brazil, Ekuador, Uruguay: Monotax, a triple-win-strategy


Penerapan skema Monotax diharapkan dapat meningkatkan cakupan jaminan
sosial. Skema ini memungkinkan usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM)
serta self-employed individuals (wiraswasta) untuk dapat membayar tingkat pajak
lebih rendah dan membayar iuran jaminan sosial dalam satu pembayaran
gabungan (Monotax). Dengan kata lain, skema Monotax ditujukan untuk
menyederhanakan tax collection for small contributors sehingga memotivasi pelaku
UMKM dan self-employed individuals berperan lebih aktif. Skema Monotax tentu
saja membutuhkan kolaborasi yang erat antara otoritas pajak dan lembaga
jaminan sosial. Beberapa negara seperti Brazil, Argentina, Ekuador, dan
Uruguay telah menerapkan skema monotax tersebut. Bahkan, penerapan

FINAL REPORT
22 Pentingnya Insentif untuk Biaya Sumbangan/Bantuan (CSR) Iuran Jaminan Sosial
bagi Pekerja Rentan pada Sektor Informal
skema Monotax di Brazil (dikenal dengan istilah skema Simples) telah secara
efektif menyumbangkan kontribusi berupa:
(a) memformalkan UMKM dan memperluas cakupan jaminan sosial bagi
jutaan self-employed individuals,
(b) meningkatkan pendapatan pajak, dan
(c) memperluas cakupan perlindungan sosial.

Lessons-learned dari Praktik Cerdas Internasional


Berbagai negara menggunakan beragam cara untuk memperluas cakupan
jaminan sosial dalam rangka memperkuat program jaminan sosial dan
mengatasi kemisikinan di negara mereka. Perluasan cakupan jaminan sosial ini
terutama menyasar pada self-employment dan pekerja di sektor informal. Beragam
cara ini mencakup pendekatan fiskal dan non-fiskal. Sejalan dengan trend ini,
Menko Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan Muhadjir Effendi,
dalam suatu kesempatan, menyampaikan di media bahwa “jaminan sosial
ketenagakerjaan di masa depan harus menjadi lebih universal dan inklusif.
Pemberian perlindungan pekerja harus diberikan sejak usia produktif bekerja
dan mudah diakses bagi seluruh pekerja Indonesia, terlepas apakah mereka
bekerja di sektor formal ataupun informal.”

Pemerintah Indonesia dapat menerapkan pendekatan fiskal dan non-fiskal


untuk memperluas cakupan jaminan sosial. Pendekatan fiskal dapat dilakukan
dengan memetakan potensi sumber dana alternatif yang dapat ‘diarahkan’
untuk mendorong partisipasi aktif industri, khususnya pemanfaatan dana CSR,
yang saat ini potensinya masih belum dimanfaatkan secara maksimal, karena
hambatan fiscal insentive bagi industri. Dengan kata lain, peraturan pajak yang
ada belum memberi insentif bagi industri untuk mengarahkan potensi dana
CSR dari industri yang cukup besar, yang dapat dimanfaatkan untuk
menopang penguatan pendanaan program jaminan sosial bagi sektor informal.
Sebagai contoh, Pemerintah memberikan insentif pajak berupa pengurangan
dari penghasilan bruto perusahaan untuk pengeluaran CSR berupa bantuan
iuran bagi PBI. Pendekatan non-fiskal misalnya dapat berupa kemudahan bagi
proses perizinan untuk perusahaan yang mengeluarkan CSR dalam bentuk
bantuan iuran bagi PBI.

FINAL REPORT
Pentingnya Insentif untuk Biaya Sumbangan/Bantuan (CSR) Iuran Jaminan Sosial 23
bagi Pekerja Rentan pada Sektor Informal
BAB 4
Perlunya Perluasan Cakupan Jaminan Sosial

Seperti telah dipahami bersama, pada prinsipnya jaminan sosial di Indonesia


merupakan suatu sistem yang digunakan untuk melindungi masyarakat dari
risiko sosial ekonomi seperti sakit, pensiun, dan kematian. Sistem jaminan sosial
di Indonesia saat ini terdiri dari jaminan sosial tenaga kerja, jaminan sosial
pensiun, dan jaminan sosial kesehatan. Akan tetapi, sampai saat ini masih
banyak masyarakat Indonesia yang tidak ter-cover oleh sistem jaminan sosial saat
ini. Hal ini disebabkan oleh beberapa faktor seperti masih rendahnya tingkat
partisipasi masyarakat dalam sistem jaminan sosial dan keterbatasan dana yang
tersedia.
Perluasan cakupan peserta jaminan sosial di Indonesia sangat penting untuk
dilakukan agar masyarakat dapat terlindungi dari risiko sosial ekonomi yang
mungkin dialami. Hal ini akan dapat membantu masyarakat untuk
meningkatkan kualitas hidup mereka, serta mengurangi beban pemerintah
dalam memberikan bantuan sosial kepada masyarakat yang kurang mampu.
Perlunya perluasan cakupan peserta jaminan sosial ini ditegaskan oleh Wakil
Presiden (Wapres) K. H. Ma’ruf Amin. Dalam acara Pencanangan Gerakan
Nasional Perlindungan Pekerja Rentan dan Penyerahan Penghargaan Jaminan
Sosial Ketenagakerjaan “Paritrana Award 2021” di Istana Wapres Jl. Medan
Merdeka Selatan No. 6 Jakarta Pusat (27/10/2022), Bapak Wakil Presiden
menyampaikan perlunya ‘mendorong adanya partisipasi aktif para pemangku
kepentingan dalam memperkuat program Jaminan Sosial Ketenagakerjaan.’
Lebih lanjut, beliau menegaskan bahwa “para pekerja rentan seperti petani,
nelayan, peternak, dan pedagang kaki lima membutuhkan perlindungan rasa
aman dan tenang dalam bekerja…. diperlukan strategi jaring pengaman sosial
untuk mencegah kemiskinan…..” (dikutip dari https://www.kominfo.go.id/27
Oktober 2022, yang diakses 18 Januari 2023). Perluasan cakupan peserta
jaminan sosial dapat dilakukan dengan berbagai cara seperti meningkatkan
partisipasi masyarakat dalam sistem jaminan sosial, memberikan insentif
kepada perusahaan yang menerapkan jaminan sosial pada sektor informal, serta
meningkatkan dana yang tersedia untuk jaminan sosial.

FINAL REPORT
24 Pentingnya Insentif untuk Biaya Sumbangan/Bantuan (CSR) Iuran Jaminan Sosial
bagi Pekerja Rentan pada Sektor Informal
Secara keseluruhan, perluasan cakupan peserta jaminan sosial di Indonesia
merupakan suatu kebutuhan yang harus segera diperhatikan dan dilakukan
agar masyarakat dapat terlindungi dari risiko sosial ekonomi dan dapat
meningkatkan kualitas hidup mereka. Pemerintah harus memprioritaskan
perluasan cakupan peserta jaminan sosial dalam perencanaan dan
pengelolaannya agar masyarakat dapat merasakan manfaat dari jaminan sosial.
Kendala keterbatasan dana dapat diatasi, salah satunya, dengan mengundang
partisipasi dari kalangan industri. Seperti telah disebutkan sebelumnya, untuk
mendorong partisispasi industri, diperlukan insentif dari Pemerintah, baik
insentif fiskal maupun non-fiskal.

4.1 Economic Rationale Perluasan Cakupan Jaminan Sosial

Dibutuhkan peran sentral Pemerintah dalam pengadaaan jaminan sosial.


Berikut ini merupakan alasan mengapa pengadaan jaminan sosial memerlukan
intervensi kebijakan Pemerintah (Rosen and Gayer, 2014).
1. Consumption smoothing.
Selama masa bekerja, pekerja memberikan kontribusinya. Setelah
pensiun, pekerja berhak mendapatkan pembayaran pensiun bulanan
berdasarkan kontribusinya. Pada dasarnya, jaminan sosial memberikan
jaminan terhadap kemungkinan seseorang hidup lebih lama dari yang
diharapkan dan secara prematur telah menggunakan semua aset yang
diakumulasi untuk masa pensiun. Terdapat risiko bahwa individu dapat
hidup terlalu lama. Salah satu contohnya adalah kasus di Amerika
Serikat: Larry Hobner, yang pada usia 107 tahun telah outlived
tabungannya. Bahkan ketika teman-temannya mengumpulkan
USD56,000 untuk membantu membayar assisted living center, Larry tetap
kehabisan dana.
Seseorang dapat menghindari outlive tabungannya dengan membeli
annuity. Untuk membeli annuity, individu membayar sejumlah uang
kepada perusahaan asuransi, yang merupakan premi polis. Sebagai
kompensasinya, individu menerima fixed annual income selama dia hidup.
Jaminan sosial memungkinkan masyarakat untuk melakukan consumption
smooth, yaitu mengurangi konsumsi pada tahun-tahun memperoleh
penghasilan tinggi dengan tujuan untuk meningkatkan konsumsi pada
tahun-tahun memperoleh penghasilan rendah. Individu yang mampu
membeli annuity dan individu yang risk-averse, bersedia mengurangi

FINAL REPORT
Pentingnya Insentif untuk Biaya Sumbangan/Bantuan (CSR) Iuran Jaminan Sosial 25
bagi Pekerja Rentan pada Sektor Informal
konsumsi di saat bekerja dengan membeli annuity untuk memperoleh
jaminan tingkat penghasilan tertentu selama masa pensiunnya.
2. Adverse Selection.
Mengapa pasar tidak dapat diandalkan untuk menyediakan annuity?
Salah satu alasannya adalah bahwa informasi asimetrik mengakibatkan
kegagalan di pasar anuitas. Profit penjual anuitas tergantung pada
harapan hidup pembelinya. Semakin lama pembeli hidup, semakin
sedikit penjual memperoleh profit. Hal ini berarti bahwa harga yang
ditetapkan penjual harus memertimbangkan harapan hidup pembeli.
Masalah timbul ketika pembeli anuitas mengetahui lebih banyak tentang
harapan hidupnya daripada pembeli. Apabila penjual menetapkan
premi berdasarkan harapan hidup rata-rata antar pembeli, hal ini
merupakan bad deal untuk pembeli dengan harapan hidup yang lebih
rendah daripada rata-rata dan merupakan good deal untuk pembeli
dengan harapan hidup yang lebih tinggi daripada rata-rata. Apabila
calon pembeli dengan harapan hidup yang lebih rendah daripada rata-
rata memutuskan untuk tidak membeli anuitas, maka penjual hanya
menghadapi pool orang-orang yang sehat, dan harus meningkatkan
premi untuk dapat membayarkan payouts. Hal ini, pada gilirannya, akan
mengakibatkan orang-orang dengan harapan hidup yang rendah pada
pool tersebut memutuskan untuk tidak membeli anuitas. Akibatnya,
terjadi death spiral di pasar anuitas. Oleh karena itu, masalah adverse
selection di pasar anuitas ini dapat diatasi dengan program jaminan sosial
milik Pemerintah. Pemerintah dapat melakukan intervensi lebih jauh
dengan memberikan insentif bagi sektor swasta untuk berpartisipasi,
misalnya dengan memberikan insentif fiskal atau non-fiskal agar
perusahaan-perusahaan di sektor swasta bersedia memberikan bantuan
untuk iuran jaminan sosial bagi pekerja-pekerja yang tidak mampu.

3. Lack of Foresight and Paternalism.


Apabila dibiarkan memutuskan sendiri, sebagian besar orang tidak akan
mengakumulasi cukup aset untuk membiayai tingkat konsumsi yang
memadai pada masa pensiun, bahkan apabila mereka hidup tidak lebih
lama dari yang diharapkan. Hal ini dapat terjadi karena: i) lack of foresight
untuk merencanakan masa depan secara memadai, ii) orang memiliki
foresight, namun karena preferensinya, mereka menabung dengan jumlah
yang lebih sedikit daripada yang dianggap tepat oleh masyarakat.
Argumen paternalistik menyatakan bahwa individu sebaiknya dipaksa

FINAL REPORT
26 Pentingnya Insentif untuk Biaya Sumbangan/Bantuan (CSR) Iuran Jaminan Sosial
bagi Pekerja Rentan pada Sektor Informal
untuk menabung dan pemerintah harus menyedaiakan rencana anuitas
wajib sehingga masyarakat dapat secara memadai terjamin di tahun-
tahun pensiunnya. Ada pandangan yang menyatakan bahwa merupakan
hal yang unacceptable bagi masyarakat untuk mengabaikan atau pura-pura
tak melihat adanya orang-orang tua yang hidup dalam kemiskinan,
meskipun keadaan tersebut merupakan kesalahan mereka sendiri.
4. Moral Hazard.
Individu dengan tabungan pensiun yang tidak cukup mungkin meyakini
bahwa pemerintah akan merasa wajib untuk membantu apabila
situasinya cukup darurat. Dengan keyakinan ini, individu mungkin
mengabaikan upaya menabung secara memadai atau sengaja tidak
membeli anuitas selama masa bekerja karena mengetahui bahwa
pemerintah akan membantu di masa pensiun. Kemungkinan bahwa
pemerintah akan turun tangan untuk mem-bail out mengakibatkan
tingkat tabungan masyarakat yang rendah. Hal ini merupakan contoh
dari moral hazard yang terjadi ketika keberadaan atau ekspektasi jaminan
meningkatkan kemungkinan terjadinya adverse outcome. Salah satu
justifikasi untuk jaminan sosial wajib (compulsory) adalah untuk mengatasi
masalah tingkat tabungan yang rendah dan inefisien yang diakibatkan
oleh moral hazard.
5. Economize on Decision Making and Administrative Costs.
Seseorang yang bertujuan men-smooth konsumsi secara optimal perlu
menentukan seberapa banyak dana untuk ditabung sebagai persiapan
pensiun, aset mana yang akan diinvestasikan, dan program anuitas mana
yang dibeli. Selain itu, tiap pilihan tergantung pada harapan hidup
seseorang. Hal-hal di atas merupakan keputsuan yang rumit dan
melibatkan waktu dan upaya. Apabila pemerintah dapat memilih
program anuitas yang tepat untuk setiap orang, individu tidak harus
menyia-nyiakan sumber daya untuk membuat keputusan.
Penyedia anuitas perlu mendapatkan informasi detil mengenai pembeli
dalam upaya mengestimasi harapan hidup guna menentukan premi.
Penyedia anuitas juga harus membayar komisi kepada tenaga
penjualnya yang bertugas mencari pembeli. Kedua hal tersebut dapat
berkontribusi pada tingginya biaya administrasi. Dengan mensyaratkan
setiap orang untuk berpartisipasi dalam program jaminan sosial, dan
denga membatasi opsi yang tersedia bagi peserta, program jaminan
sosial pemerintah dapat menjadi program yang lebih murah biaya

FINAL REPORT
Pentingnya Insentif untuk Biaya Sumbangan/Bantuan (CSR) Iuran Jaminan Sosial 27
bagi Pekerja Rentan pada Sektor Informal
adminsitrasinya daripada program anuitas yang diselenggarakan
perusahaan swasta.
6. Redistribusi pendapatan.
Dalam program jaminan sosial, orang dengan lifetime earnings yang lebih
tinggi cenderung menerima returns dari pajaknya daripada orang dengan
lifetime earnings yang lebih rendah. Dengan demikian, program jaminan
sosial meredistribusi pendapatan—suatu hal yang tidak dicapai oleh
program anuitasi swasta. Hal ini menjelaskan mengapa program
jaminan sosial sebaiknya adalah compulsory.
7. Meningkatkan status ekonomi kaum tua.
Salah satu tujuan utama program jaminan sosial adalah untuk
mempertahankan penghasilan kaum tua. Tingkat kemiskinan di
kalangan lanjut usia diharapkan turun dengan adanya program jaminan
sosial. Beberapa studi empiris di Amerika Serikat menunjukkan bahwa
program jaminan sosial menurunkan tingkat kemiskinan.

Hal-hal di atas - consumption smoothing, adverse selection, lack of foresight and paternalism,
moral hazard, economize on decision making and adminstrative costs, income redistribution,
dan perbaikan status kaum tua - memberikan economic rationales untuk perluasan
cakupan program jaminan sosial. Perluasan cakupan program jaminan sosial
ini akan berdampak besar bagi peningkatan kesejahteraan masyarakat dan lebih
memperbaiki distribusi pendapatan apabila difokuskan pada golongan
masyarakat yang tidak mampu mengiur untuk menjadi peserta program
jaminan sosial.
Program Bantuan Iuran (PBI) BPJS Ketenagakerjaan adalah program yang
ditunjukan untuk masyarakat berpenghasilan rendah yang kesulitan membayar
iuran BPJS Ketenagakerjaan. Program ini diluncurkan pada tahun 2015.
Peserta PBI BPJS Ketenagakerjaan adalah pekerja yang berstatus sebagai
pekerja formal atau yang bekerja di sektor formal dengan pendapatan bulanan
kurang dari Rp5 juta. Calon peserta harus memnuhi kriteria lain seperti belum
terdaftar sebagai peserta BPJS Ketenagakerjaan atau tidak memiliki iuran yang
terutang pada BPJS Ketenagakerjaan.

Peserta PBI BPJS Ketenagakerjaan akan dibantu untuk membayar iuran BPJS
selama dua tahun. Bantuan tersebut diberikan dengan cara pembayaran iuran
secara berkala oleh Pemerintah dan besarnya bantuan tergantung dari jenis
iuran yang dibayarkan.

FINAL REPORT
28 Pentingnya Insentif untuk Biaya Sumbangan/Bantuan (CSR) Iuran Jaminan Sosial
bagi Pekerja Rentan pada Sektor Informal
4.2 Perlunya Insentif Fiskal dan Non-Fiskal untuk Perluasan Cakupan Program
Jaminan Sosial terutama untuk PBI: Hasil FGD

Tim Peneliti P2EB FEB UGM telah melakukan FGD pada tanggal 15
Desember 2022 terkait dengan Perlakuan Perpajakan atas Biaya
Sumbangan/Bantuan (CSR) Iuran Jaminan Sosial bagi Pekerja Rentan pada
Sektor Informal. FGD tersebut dilaksanakan untuk mengumpulkan data dan
informasi sebagai konfirmasi atas hasil analisis desk study. Secara umum, hasil
desk study adalah sebagai berikut:
• Saat ini, cakupan peserta jaminan sosial masih rendah, dan oleh karena
itu Pemerintah, baik Pemerintah Pusat maupun Pemerintah Daerah,
mendorong perlunya peningkatan cakupan ini. Penyebab rendahnya
cakupan ini adalah rendahnya partisipasi masyarakat dan keterbatasan
dana.
• Kajian literatur sejalan dengan harapan dari Pemerintah tersebut. Hasil
kajian memberikan economic rationales untuk perluasan cakupan program
jaminan sosial. Perluasan cakupan program jaminan sosial ini akan
berdampak besar bagi peningkatan kesejahteraan masyarakat dan lebih
memperbaiki distribusi pendapatan apabila difokuskan pada golongan
masyarakat yang tidak mampu mengiur untuk menjadi peserta program
jaminan sosial.
• Masalah keterbatasan dana dapat diatasi dengan mencari alternatif
pendanaan melalui peningkatan partisipasi industri melalui
pemanfaatan dana CSR dalam penyediaan dana jaminan sosial bagi
sektor informal. Saat ini, partisipasi industri masih kecil, karena insentif
fiskal dan nonfiskal yang ada belum mendukung pemanfaatan dana CSR
untuk memperkuat program jaminan sosial.

Narasumber yang diundang dalam FGD adalah mereka yang dianggap


memiliki kepedulian terhadap peningkatan kekuatan program jaminan sosial.
Adapun pihak yang diundang adalah BPJS Ketenagakerjaan, Badan Kebijakan
Fiskal (BKF), Dewan Jaminan Sosial Nasional (DJSN), Kementerian
Ketenagakerjaan (Kemnaker), dan PT Tower Bersama.
Berikut ini merupakan esensi materi yang menjadi pokok diskusi dalam FGD:
• Sampai saat ini, ada berapa perusahaan-perusahaan yang memberikan
bantuan iuran bagi peserta jaminan sosial?
• Berapa jumlah total Rp kontribusinya?

FINAL REPORT
Pentingnya Insentif untuk Biaya Sumbangan/Bantuan (CSR) Iuran Jaminan Sosial 29
bagi Pekerja Rentan pada Sektor Informal
• Apa motivasi utama perusahaan-perusahaan ini untuk membayarkan
iuran?
• Bagi perusahaan yang belum berpartisipasi dalam pembiayaan iuran,
apabila bantuan pembiayaan tersebut exempted dari pajak, apakah tertarik
untuk berpartisipasi?

Secara umum, hasil FGD menguatkan analisis desk study yang telah dilakukan
sebelumnya. Kementerian Ketenagakerjaan (Kemenaker) menggarisbawahi
bahwa penggunaan dana CSR iuran jaminan sosial merupakan ide yang sangat
baik. Terkait dengan penerima bantuan, diharapkan pemerintah daerah
berperan utama dalam menyediakan data karena merekalah yang dapat
memotret siapa saja anggota masyarakat yang berhak mendapatkan bantuan di
daerahnya. Selain itu, peran para anggota DPRD sangatlah penting. Sebagai
contoh best practice adalah Sulawesi Utara. Pemerintah Daerah Sulawesi Utara
bekerjasama dengan DPRD dalam membuat regulasi untuk mengalokasikan
anggaran bagi pekerja rentan. Anggaran tersebut dialokasikan dalam APBD
untuk program jamsostek. Diperlukan kebijakan untuk pekerja informal berupa
regulasi sehingga ide penggunaan dana CSR jaminan sosial tersebut dapat
diimplementasikan. Dalam hal ini, BPJS Ketenagakerjaan berperan untuk
memverifikasi data dan menentukan siapa saja yang berhak menerima bantuan
iuran jaminan sosial.

BKF menyadari bahwa penggunaan CSR sebagai bentuk dukungan swasta


terhadap pengurangan beban fiskal yang ditanggung oleh Pemerintah
merupakan inisiasi yang menarik. Penggunaan CSR sebagai wahana iuran
jaminan sosial di mana perusahaan memperoleh insentif perpajakan atas
mekanisme tersebut merupakan inisiatif yang patut diapresiasi. Inisiasi ini
sebenarnya sedang dibahas oleh BKF agar Pemerintah dapat membantu para
pekerja informal masuk ke dalam sektor keuangan, khususnya dana pensiun
ataupun JHT. Meskipun demikian, BKF belum menentukan apa dan
bagaimana jenis bantuan fiskal yang dapat diberikan oleh Pemerintah kepada
pekerja rentan. Bantuan fiskal tersebut mungkin dapat berupa bantuan, matching
grants atau jenis kebijakan lainnya. Terkait dengan hal ini, terlibatnya pihak
swasta merupakan hal yang baik sehingga perlu didukung pelaksanaannya.
Namun demikian, ketika mendiskusikan perlakuan pajak maka harus
mempertimbangkan baik unsur material maupun formal. Secara formal,
sumbangan-sumbangan yang dapat dikurangkan dari penghasilan sudah
ditentukan dalam UU. Membuat PP baru terkait dengan hal tersebut juga
bukan merupakan hal yang sederhana. Di samping itu, perlu dikaji adanya

FINAL REPORT
30 Pentingnya Insentif untuk Biaya Sumbangan/Bantuan (CSR) Iuran Jaminan Sosial
bagi Pekerja Rentan pada Sektor Informal
potensi komplikasi dalam praktiknya ketika suatu perusahaan memberikan
CSR kepada pekerja informal seperti misalnya basis data dan tingkat
penghasilan pekerja. Selain itu, tampaknya perilaku dari perusahaan atas
kemauan melakukan CSR juga perlu dikaji. Berdasarkan pengalaman salah
satu narasumber, biasanya perusahaan telah memiliki program CSR andalan.
Di sisi lain, Pemerintah juga telah memberikan fasilitas pajak bagi perusahaan
dan tentunya Pemerintah ingin memastikan bahwa dana CSR yang disalurkan
tepat sasaran yaitu bagi pekerja informal yang dibantu oleh perusahaan.
Namun demikian, economic agents respond to incentive. Apabila diberi tax credit,
perusahaan-perusahaan di sektor swasta akan memiliki insentif untuk
mengeluarkan CSR dalam bentuk bantuan iuran bagi PBI.
DJSN menyatakan bahwa BPJS Ketenagakerjaan telah mempunyai program
dan langkah strategis yang bagus, seperti misalnya program Agen Perisai dan
Gerakan Nasional (GN) Lingkaran. Program Agen Perisai merupakan inovasi
BPJS Ketenagakerjaan untuk memperluas cakupan perlindungan sosial.
Program GN Lingkaran adalah program yang disusun sebagai sarana bagi
masyarakat dan sektor swasta untuk berdonasi dan membayarkan iuran BPJS
Ketenagakerjaan bagi pekerja yang tidak mampu. Program GN Lingkaran
ditujukan untuk membantu pekerja rentan agar dapat terlindungi oleh
program BPJS Ketenagakerjaan. Melalui Program GN Lingkaran, BPJS
Ketenagakerjaan menawarkan mekanisme donasi pembayaran iuran dari dana
CSR perusahaan baik sektor swasta, negeri maupun sumbangan sosial
masyarakat dan individu. Selain pengupayaan partisipasi pihak swasta terkait
dengan iuran jaminan sosial melalui aktivitas CSR perusahaan, penguatan
program-program inovasi BPJS Ketenagakerjaan tersebut perlu semakin
dioptimalkan. Hal tersebut bertujuan agar dapat bersinergi dengan upaya untuk
mendorong pihak swasta turut berpartisipasi dalam iuran jaminan sosial
khususnya bagi pekerja rentan di sektor informal. Lebih lanjut, sebagai Badan
Negara di bawah Presiden, BPJS Ketenagakerjaan tentunya dapat menerbitkan
regulasi sebagai peraturan badan negara (PerBPJS), yang dicatatkan pada
KemenkumHAM untuk memperkuat langkah strategik BPJS Ketenagakerjaan
terhadap pihak eksternal (perusahaan). Sebagai langkah kongkrit, DJSN
menyampaikan rekomendasi jangka pendek strategi perluasan peserta BPJS
Ketenagakerjaan. Rekomendasi tersebut adalah sebagai berikut:

FINAL REPORT
Pentingnya Insentif untuk Biaya Sumbangan/Bantuan (CSR) Iuran Jaminan Sosial 31
bagi Pekerja Rentan pada Sektor Informal
Gambar 4.1 – Rekomendasi DJSN untuk Strategi Perluasan Peserta

Sumber: DJSN (2022): Presentasi FGD Kajian Perlakuan Perpajakan, BPJS Ketenagakerjaan dan P2EB
FEB UGM, 15 Desember 2022 di Gran Melia, Jakarta

DJSN juga menyarankan optimalisasi strategi komunikasi Jamsosnaker BPJS


Ketenagakerjaan. Sebagai Program Negara, seharusnya Kementerian Kominfo
turut berperan dalam melakukan sosialisasi kepada para peserta. Apabila
sosialisasi tersebut dilakukan dengan menggunakan Dana Operasional BPJS
Ketenagakerjaan maka dikhawatirkan cakupannya menjadi terbatas. Selain itu,
DJSN juga menyarankan agar BPJS Ketenagakerjaan menguji efektivitas
sosialisasi jaminan sosial kepada para peserta. Lebih lanjut, sosialisasi
hendaknya tidak hanya dilakukan kepada HRD perusahaan tetapi juga kepada
pihak manajemen dan bagian lain perusahaan yang terkait.
Sebagai salah satu perusahaan penyedia infrastruktur telekomunikasi terbesar
di Indonesia, Tower Bersama Infrastructure Group (TBIG) diundang oleh BPJS
Ketenagakerjaan untuk berpartisipasi dalam Program Gerakan Nasional (GN)
Lingkaran dengan membantu 2000 pekerja rentan.
TBIG memandang bahwa program ini akan menarik jika perusahaan
mendapatkan insentif ketika berpartisipasi dalam CSR jaminan sosial.
Perusahaan-perusahaan di sektor swasta yang melakukan CSR berupa
pemberian iuranbagi PBI diusulkan untuk diberi insentif non-fiskal berupa
kelancaran proses perizinannya. Selain itu, TBIG menyampaikan perlunya
terdapat level minimal besaran jumlah rupiah donasi atau jumlah pekerja
rentan yang dibantu iurannya.
DJSN juga menyampaikan bahwa pekerja rentan-miskin dan tidak mampu
seperti petani, nelayan, dan pemulung baru tercakup oleh jaminan kesehatan

FINAL REPORT
32 Pentingnya Insentif untuk Biaya Sumbangan/Bantuan (CSR) Iuran Jaminan Sosial
bagi Pekerja Rentan pada Sektor Informal
(JKN-PBI), namun belum memiliki jaminan sosial ketenagakerjaan. Disinyalir
bahwa pembengkakan tagihan BPJS Kesehatan pada beberapa tahun lalu
merupakan akibat pembiayaan kecelakaan di layanan kesehatan yang
ditagihkan melalui JKN. Apabila cakupan jaminan sosial ketenagakerjaan
dengan PBI meluas, maka pembiayaan kecelakaan di layanan kesehatan yang
ditagihkan melalui JKN akan berkurang secara signifikan.
Dalam rangka perluasan cakupan jaminan sosial ketenagakerjaan, terutama
untuk PBI, DJSN telah melakukan kajian. Skema perluasan cakupan ini adalah
dengan meutilisasi PBI JKN. PBI Jamsosnaker dapat menggunakan PBI JKN
sebagai basis datanya. Namun demikian, PBI Jamsosnaker perlu menyesuaikan
dengan kriteria bagi pekerja miskin seperti petani, nelayan, pemulung dan
pekerja tidak mampu seperti ojek dan ojol (ojek online).
Perpres RPJMN menyatakan bahwa paling lambat pada tahun 2024, 20 juta
orang telah tercakup oleh PBI Jamsosnaker. SJSN telah menghitung kebutuhan
dana APBN untuk perluasan cakupan tersebut, yaitu Rp4,1 triliun. Dengan
adanya Inpres Nomor 2 Tahun 2021, PBI telah dieksekusi oleh kepala daerah
dengan menggunakan dana APBD.
Eksekusi perluasan cakupan PBI ini akan lebih berhasil apabila sektor swasta
diberi kesempatan untuk berpartisipasi. Supaya sektor swasta tertarik untuk
berpartisipasi, dibutuhkan insentif fiskal dan non-fiskal. Insentif fiskal dapat
diberikan berupa tax credit bagi pengeluaran perusahaan untuk membantu PBI.
Secara lebih spesifik, kajian ini mengusulkan pengurangan dari penghasilan
bruto perusahaan untuk pengeluaran CSR berupa bantuan iuran bagi PBI.

4.3 Forgone Tax Revenues v. Benefits dari Perluasan Cakupan Jaminan Sosial

Seperti telah disampaikan sebelumnya, potensi dana CSR sebagai salah satu
alternatif pendanaan program jaminan sosial sangat tinggi. Namun, kebijakan
fiskal yang ada belum memberi insentif bagi industri untuk berpartisipasi dalam
mendukung program jaminan sosial bagi pekerja informal, dengan
memanfaatkan dana CSR. Peraturan Pemerintah No. 93 Tahun 2010
menjabarkan kriteria yang cukup ketat untuk menentukan biaya CSR dapat
dikurangkan dari pendapatan bruto, yaitu:
1. Pengeluaran terbatas hanya pada sumbangan dalam rangka
penanggulangan bencana nasional, penelitian dan pengembangan,

FINAL REPORT
Pentingnya Insentif untuk Biaya Sumbangan/Bantuan (CSR) Iuran Jaminan Sosial 33
bagi Pekerja Rentan pada Sektor Informal
fasilitas pendidikan, pembinaan olahraga dan pembangunan
infrastruktur sosial,
2. Mempunyai penghasilan netto fiskal tahun pajak sebelumnya,
3. Tidak dengan pihak yang mempunyai hubungan Istimewa,
4. Didukung bukti yang sah dan penerima memiliki NPWP kecuali bukan
subjek pajak, dan
5. Besarnya tidak lebih dari 5% dari penghasilan neto tahun sebelumnya
dan tidak menyebabkan rugi.

Namun, di sisi yang lain, biaya promosi diberi ruang yang lebih besasr untuk
dikurangkan sebagai biaya pengurang pendapatan bruto. Jika biaya promosi
merupakan biaya yang terkait langsung dengan upaya untuk memperoleh
penghasilan penjualan, dari aspek teori akuntansi ini dapat dibenarkan. Prinsip
matching, salah satu prinsip akuntansi, menyatakan bahwa biaya-biaya yang
terkait langsung dengan upaya untuk memperoleh pendapatan yang dihasilkan
dalam satu periode harus dipertemukan (dikurangkan) dengan pendapatan
penjualannya. Dalam Peraturan Menteri Keuangan No 02/PMK.03/2010
disebutkan bahwa biaya promosi yang dapat dijadikan pengurang
penghasilan bruto antar lain:
1. Biaya periklanan
2. Biaya pameran produk,
3. Biaya pengenalan produk baru
4. Biaya sponsorship yang berkaitan dengan promosi produk.

Dalam praktik, banyak ditemui perusahaan yang memperlakukan biaya


sponsorship sebagai bagian dari CSR. Misalnya, perusahaan farmasi
memberikan sponsorship kepada dokter untuk mengadakan seminar
internasional, atau perusahaan rokok memberikan sponsorship pada kegiatan
kesenian lokal. Bisa juga diartikan, perusahaan farmasi melakukan CSR
untuk meningkatkan kualitas layanan kesehatan, atau perusahaan rokok
melakukan CSR untuk mengembangkan kesenian lokal. alam laporan
pajak, perushaan memberikan sponsorship dalam rangka mengiklankan
produk obat kepada dokter atau mengiklankan produk rokok kepada
penonton kegiatan kesenian lokal. Pada intinya, dalam praktik, tidak jarang
perusahaan memperlakukan biaya sponsorship sebagai CSR, yang
sebenarnya kurang tepat. Jika hal ini dibandingkan dengan tidak dapat
dikurangkannya dana CSR yang diperuntukkan sebagai partisipasi
perusahaan dalam program jaminan sosial menjadi satu anomali. Dengan

FINAL REPORT
34 Pentingnya Insentif untuk Biaya Sumbangan/Bantuan (CSR) Iuran Jaminan Sosial
bagi Pekerja Rentan pada Sektor Informal
mempertimbangkan pentingnya program peningkatan cakupan peserta
jaminan sosial di satu sisi, dan di sisi lain adanya keterbatasan sumber
pendanaan, membolehkan penggunaan dana CSR sebagai kontribusi
program jaminan sosial sebagai biaya pengurang pendapatan kena pajak
perusahaan merupakan bagian dari strategi penguatan program jaminan
sosial yang baik.
Apabila perusahaan-perusahaan di sektor swasta diberi insentif pajak untuk
pengeluaran CST berupa bantuan iuran bagi PBI perluasan cakupan jaminan
sosial, akan timbul forgone tax revenues sebesar tarif pajak dikalikan dengan
pengeluaran bantuan iuran bagi PBI tersebut. Namun demikian, forgone tax
revenues tersebut secara potensial akan jauh lebih kecil dibandingkan dengan nilai
Rupiah dari manfaat akibat perluasan cakupan jaminan sosial. Manfaat ini
akan lebih besar bagi masyarakat tidak mampu dibandingkan dengan apabila
manfaat tersebut diterima oleh masyarakat mampu karena tanpa jaminan
sosial, masyarakat tidak mampu tidak memiliki buffer stock untuk
keberlangsungan hidupnya. Sebagai ilustrasi, jika kebijakan perpajakan
membolehkan biaya CSR untuk iuran program jaminan sosial bagi pekerja
informal, dan besarnya sumbangan mencapai Rp200 miliar, maka forgone revenue
Pemerintah adalah Rp44 miliar (22% dari Rp200 miliar). Namun, manfaat
yang akan diperoleh adalah Pemerintah dapat mengurangi alokasi untuk iuran
program jaminan sosial sebesar Rp200 miliar, sehingga ada net benefits sebesar
Rp156 miliar, yang dapat dialihkan untuk kegiatan lainnya. Manfaat lain yang
tidak kalah pentingnya adalah tujuan untuk memperluas cakupan peserta,
terutama pekerja rentan di sektor informal, akan dapat tercapai.

Data dari Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan bahwa terdapat 120 juta
pekerja di Indonesia. Dari 120 juta pekerja tersebut, 92 juta di antaranya
memiliki potensi yang harus dilindungi, namun hanya 52 juta pekerja saja yang
terdaftar di BPJS Ketenagakerjaan. Dari 52 juta pekerja yang terdaftar di BPJS
Ketenagakerjaan tersebut, hanya 32 juta yang aktif membayar iuran. Lebih
lanjut, Direktur Utama BPJS Ketenagakerjaan Anggoro Eko Cahyo
menyatakan bahwa banyak para pekerja yang terpapar risiko karena belum
memiliki jaminan sosial ketenagakerjaan. Anggoro lebih lanjut mengatakan
bahwa jika dari 92 juta pekerja tersebut hanya terdapat 32 juta yang terlindungi,
berarti ada sekitar 60-an juta pekerja yang belum terlindungi sehingga mereka
terpapar risiko kecelakaan, risiko tidak mampu melindungi di hari tua, risiko
tidak memiliki dana pensiun, risiko kehilangan pekerjaan, dan risiko bahwa
tanggungannya tidak terlindungi apabila pekerja tersebut meninggal dunia.

FINAL REPORT
Pentingnya Insentif untuk Biaya Sumbangan/Bantuan (CSR) Iuran Jaminan Sosial 35
bagi Pekerja Rentan pada Sektor Informal
Dari 92 juta pekerja tersebut, 60%-nya adalah pekerja bukan penerima upah
atau pekerja informal. Dengan demikian, terdapat sekitar 52 juta pekerja
informal yang belum memiliki jaminan sosial ketenagakerjaan
(https://bisnis.tempo.co/read/1632057/bpjs-ketenagakerjaan-60-juta-
pekerja-belum-terlindungi-jaminan-sosial).

Apabila sektor swasta diberi insentif untuk mengiur bagi pekerja informal yang
belum tercakup jaminan sosial, akan tercipta ruang fiskal bagi Pemerintah
untuk mengalokasikan anggarannya bagi program prioritas lain. Berikut ini
merupakan ilustrasi ruang fiskal yang akan tercipta, jika sektor swasta bersedia
berpartisipasi untuk menanggung iuran 52 juta pekerja informal:
• Iuran yang dibutuhkan bagi seorang pekerja untuk menjadi peserta
Jaminan Kecelakaan Kerja (JKK), Jaminan Kematian (JKM), dan
Jaminan Hari Tua (JHT) adalah Rp36.800 per bulan atau 12 x
Rp36.800 = Rp441.600.
• Untuk memasukkan 52 juta pekerja informal ini ke dalam Program BPJS
dibutuhkan biaya sebesar: 52.000.000 x Rp441.600 =
Rp22.963.200.000.000.
• Jika insentif biaya iuran dapat diperlakukan sebagai bagian dari CRS,
yang nantinya akan mengurangi pendapatan kena pajak, dan apabila
10% saja dari Rp22.963.200.000.000 tersebut dibantu iurannya oleh
sektor swasta, maka akan tercipta ruang fiskal sebesar:
10% x Rp22.963.200.000.000 = Rp2.296.320.000.

Ruang fiskal sebesar Rp2.296.320.000 tersebut dapat digunakan untuk


menambah anggaran program prioritas lain seperti program penurunan
kemiskinan ekstrem, program penurunan stunting, program penciptaan
lapangan kerja. Hal ini sesuai dengan amanat Presiden Jokowi kepada para
menteri dan pimpinan lembaga negara, APBN tahun 2023 difokuskan untuk
program-program yang produktif, terutama dalam rangka penciptaan lapangan
kerja dan pengentasan kemiskinan (https://setkab.go.id/presiden-minta-apbn-
difokuskan-untuk-ciptaan-lapangan-kerja-dan-entaskan-kemiskinan/).

FINAL REPORT
36 Pentingnya Insentif untuk Biaya Sumbangan/Bantuan (CSR) Iuran Jaminan Sosial
bagi Pekerja Rentan pada Sektor Informal
BAB 5
Kesimpulan dan Rekomendasi

5.1 Kesimpulan

Pentingnya meningkatkan cakupan peserta program jaminan sosial


disampaikan oleh Pemerintah, baik Wapres, Menko Bidang PMK, dan
berbagai kepala daerah di berbagai kesempatan. Menko Bidang PMK
mengutarakan bahwa jaminan sosial ketenagakerjaan di masa depan harus
menjadi lebih universal dan inklusif, dan Wapres menekankan perlunya
partisipasi aktif dan sinergi antar pemangku kepentingan untuk memperkuat
dan memperluas cakupan program jaminan sosial. Dari kajian literatur,
consumption smoothing, adverse selection, lack of foresight and paternalism, moral hazard,
economize on decision making and adminstrative costs, income redistribution, dan perbaikan
status kaum tua memberikan economic rationales untuk perluasan cakupan
program jaminan sosial. Perluasan cakupan program jaminan sosial ini akan
lebih besar bagi peningkatan kesejahteraan masyarakat dan lebih memperbaiki
distribusi pendapatan apabila difokuskan pada golongan masyarakat yang tidak
mampu mengiur untuk menjadi peserta program jaminan sosial.
Marginal utility dari perluasan cakupan jaminan sosial dengan pemberian insentif
pajak bagi perusahaan-perusahaan yang membantu iuran bagi PBI dalam
program CSR akan lebih besar bagi masyarakat tidak mampu dibandingkan
dengan marginal utility dari masyarakat mampu. Tanpa jaminan sosial,
masyarakat tidak mampu akan memiliki buffer stock untuk keberlangsungan
hidupnya. Multiplier effect terjaminnya masyarakat tidak mampu akan sangat
besar. Manfaat pemberian insentif pajak untuk pengeluaran CSR berbentuk
bantuan iuran bagi PBI akan lebih besar daripada biayanya, yaitu forgone tax
revenues akibat deductibility dari pengeluaran CSR tersebut.
Dana yang dibutuhkan untuk melindungi pekerja informal yang belum
terlindungi adalah sebesar Rp22.963.200.000.000. Apabila sektor swasta
membantu 10% saja dari iuran yang dibutuhkan bagi pekerja informal yang
belum terlindungi tersebut, akan tercipta ruang fiskal sebesar Rp2.296.320.000.
Ruang fiskal sebesar Rp2.296.320.000 ini dapat digunakan untuk menambah
anggaran program prioritas lain yang merupakan fokus belanja APBN 2023
seperti program penurunan kemiskinan ekstrem, program penurunan stunting,
dan program penciptaan lapangan kerja.

FINAL REPORT
Pentingnya Insentif untuk Biaya Sumbangan/Bantuan (CSR) Iuran Jaminan Sosial 37
bagi Pekerja Rentan pada Sektor Informal
5.2 Rekomendasi
Pada prinsipnya, economic agents respond to incentive. Sektor swasta atau kalangan
industri akan memiliki dorongan untuk membantu iuran program jaminan
sosial bagi pekerja tidak mampu dan pekerja miskin apabila diberikan insentif
baik fiskal maupun non-fiskal. Insentif fiskal dapat berupa dikategorikannya
pengeluaran untuk membantu iuran sebagai pengeluaran CSR yang dapat
dikurangkan dari penghasilan bruto perusahaan dalam perhitungan PPh
Badan. Kebijakan ini akan memberi dampak neto penghematan anggaran yang
cukup besar bagi Pemerintah, baik Pusat maupun Daerah. Penghematan
anggaran akan memberi ruang fiskal yang lebih besar bagi Pemerintah untuk
mendanai program prioritas lainnya. Selain itu, terdapat pula multiplier effect dari
benefits akibat terlindunginya para pekerja informal dalam sistem jaminan sosial.
Di samping itu, Pemerintah juga dapat memberi insentif non-fiskal, misalnya
saja kemudahan dalam proses perizinan bagi perusahaan yang membantu iuran
program jaminan sosial bagi pekerja tidak mampu dan pekerja miskin.

FINAL REPORT
38 Pentingnya Insentif untuk Biaya Sumbangan/Bantuan (CSR) Iuran Jaminan Sosial
bagi Pekerja Rentan pada Sektor Informal
REFERENSI

BPJS Ketenagakerjaan. (2022). “Monitoring Kesinambungan Program


Jaminan Sosial Ketenagakerjaan”. Unpublished Manuscript. 30
November 2022.
Dewan Jaminan Sosial Nasional. (2022). “Telaahan Tentang Pajak Progresif
Manfaat Jamsosnaker & Perbaikan Ekosistem Jamsos Indonesia”.
Unpublished Manuscript. 15 Desember 2022.
https://bisnis.tempo.co/read/1632057/bpjs-ketenagakerjaan-60-juta-pekerja-
belum-terlindungi-jaminan-sosial
https://setkab.go.id/presiden-minta-apbn-difokuskan-untuk-ciptaan-
lapangan-kerja-dan-entaskan-kemiskinan/
International Labor Organization. (2021). “Extending Social Security to Self-
Employed Workers: Lessons from International Experience. ILO Brief -
March 2021
Rosen, Harvey S. and Ted Gayer. (2014). “Public Finance”. 10th Edition.
McGraw Hill

FINAL REPORT
Pentingnya Insentif untuk Biaya Sumbangan/Bantuan (CSR) Iuran Jaminan Sosial 39
bagi Pekerja Rentan pada Sektor Informal
FINAL REPORT
40 Pentingnya Insentif untuk Biaya Sumbangan/Bantuan (CSR) Iuran Jaminan Sosial
bagi Pekerja Rentan pada Sektor Informal

Anda mungkin juga menyukai