id
45
BAB IV
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
A. Deskripsi Data
Meski terkesan datar, novel Ibuk, merupakan novel sederhana yang
menginspirasi bagi pembacanya. Tidak hanya menitikberatkan perjuangan seorang
ibu, tetapi juga perjuangan sebuah keluarga untuk terus berjuang tanpa mengenal
putus asa. Adalah Tinah yang kelak menjadi ibu yang luar biasa bagi kelima anaknya,
Isa, Nani, Bayek, Rini dan Mira. Bayek, anak laki satu-satunya dalam keluarga itu
kelak akan mengubah nasib. Tidak hanya nasib dirinya sendiri. Tapi juga nasib Ibuk,
Bapak, dan semua saudara perempuannya.
Bayek anak ketiga dari lima bersaudara, hasil perkawinan antara gadis desa
yang lugu si Tinah dan Sim sang playboy pasar. Tinah dan Sim berasal dari keluarga
yang sederhana. Karena cinta mereka yang kuat, mereka berani melakukan pelayaran
hidup bersama Isa, Nani, Bayek, Rini dan Mira. Tinah yang berperan sebagai Ibuk
selalu merelakan apapun demi kebahagian keluarga sederhana mereka. Begitu pula
dengan Bapak yang selalu gigih membanting tulang untuk menghidupi anak-anak dan
istrinya. Keluarga sederhana itu tidak pernah mengeluh atas kekurangan mereka.
Walaupun hanya dengan nasi goreng terasi, tempe dan empal seadanya, anak-anak
Ibuk terus tumbuh menjadi anak yang mandiri, pintar dan begitu memaknai arti
kehidupan mereka yang seadanya.
Waktu kecil, Ibuk berhenti sekolah karena jatuh sakit. Ibuk pun tak tamat
SD. Begitu pula dengan Bapak, Bapak hanya mengenyam pendidikan sampai SMP.
Hal ini membuat Ibuk bertekad untuk mengubah takdir anak-anaknya kelak. Ibuk
ingin anak-anaknya sekolah sampai jenjang yang lebih tinggi, sampai sarjana. Tidak
seperti kedua orangtua mereka yang berpendidikan rendah. Ibuk berusaha menjadi
yang terbaik untuk kelima anaknya. Ibuk selalu memasak di dapur kecil mereka tiap
hari. Suatu ketika, Ibuk memandang dapur rumah. Dapur ini penuh jelaga. Begitu
juga kehidupan, namun anak-anak Ibuk telah menerangi hidup Ibuk. Mereka adalah
45
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
46
harta Ibuk. Kini saatnya, semua yang keluar dari rahim Ibuk hidup bahagia tanpa
jelaga. Hingga di suatu pagi yang cerah, ketika matahari dengan hangat menyinari
bumi dan awan-awan tampak cantik di tempatnya, Ibuk bertemu dengan Mbah Carik.
Nenek tua yang dipercaya sebagai orang pintar. Mbah Carik melihat Bayek, anak
laki-laki Ibuk satu-satunya berjalan di belakang Ibuk seraya berkata “Nah, sabar,
sekarang hidupmu susah. Kelak anak lanangmu itu yang membahagiakan keluarga
kalian”.
Pekerjaan Bapak adalah menarik angkot. Dengan ketekunan Ibuk
menyisihkan uang, akhirnya keluarga Bayek dapat membeli angkot tua sendiri.
Namun, angkot tua itu ternyata mendatangkan kesusahan. Uang yang harusnya dapat
disetor Bapak untuk belanja Ibuk, malah habis untuk membetulkan kerusakan-
kerusakan yang terus muncul di angkot tua itu. Keadaan itu membuat Ibuk sedih dan
menangis sesenggukan. Melihat Ibuk seperti itu, Bayek pun berjanji kalau sudah
besar akan membahagiakannya, janji Bayek dalam hati.
Berkat kegigihan dan keuletan, anak-anak Ibuk terus maju mengenyam
pendidikan yang lebih tinggi, dengan bantuan sana-sini, pinjaman dari Bang Udin dan
keseriusan janji Ibuk mengantarkan Bayek pada langkah kesuksesan. Empat tahun
Bayek mengenyam pendidikan di IPB Bogor jurusan Statistika dengan beasiswa.
Setelah lulus, berkat doa Ibuk, Bayek bekerja di Jakarta selama tiga tahun. Doa Ibuk
mampu menguatkan keteguhan hati Bayek untuk terus melangkah maju tanpa
mengenal lelah. Hingga pada suatu hari, Bayek mendapatkan apresiasi atas kerjanya
selama ini. Tawaran bekerja di New York. Dengan restu keluarga Bayek di kampung,
Bayek melangkah menuju pelayaran hidupnya. Dia ingin membangun kebahagian
untuk dirinya dan keluarga tercintanya. Dan itu dia mulai dari New York.
New York memberikan banyak pelajaran untuk hidup Bayek. Manis pahit
kehidupan dia rasakan disana. Hingga pada akhirnya setelah 9 musim panas dan 10
musim dingin yang Bayek lalui disana, Bayek memutuskan untuk pulang ke
Indonesia. Sudah cukup dia membahagiakan keempat saudara perempuannya, Bapak
dan tak luput pula Ibuk yang selalu memberi semangat dalam perjalan hidup Bayek.
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
47
Tuhan Maha Adil. Kebahagiaan tidak akan sepenuhnya ada. Kesedihan itu datang
ketika Sabtu 4 Februari 2012 Bapak dipanggil Tuhan. Sungguh terpukul hati Ibuk,
perempuan tangguh itu sangat kehilangan. Kehilangan belahan jiwanya yang selama
40 tahun belakangan selalu menemani Ibuk membangun keluarganya dengan segala
suka duka. Perjalanan cinta yang sederhana namun kokoh. Cinta mereka yang tak
pernah luntur. Cinta Ibuk yang menyelamatkan keluarga. Demikianlah kisah yang
diceritakan dalam novel Ibuk,. Novel ini merupakan novel yang sangat menginspirasi
dan memotivasi.
B. Hasil Penelitian
1. Struktur Novel Ibuk, Karya Iwan Setyawan
a. Tema
Tema adalah gagasan pokok dan utama yang mendasari sebuah cerita.
Tema berperan sangat penting dalam sebuah cerita, karena tema merupakan latar
belakang sebuah penceritaan. Dari seluruh cerita pada novel Ibuk, karya Iwan
Setyawan ini permasalahan yang menonjol adalah tentang keprihatinan, kerja
keras dan sebuah kesederhanaan. Dari ketiga permasalahan yang menonjol
tersebut, menjadikan novel ini sebagai novel yang dapat menginspirasi dan
memotivasi, karena banyak hal-hal yang dapat diteladani di dalam novel ini.
Novel Ibuk, karya Iwan Setyawan ini bercerita tentang kehidupan
sebuah keluarga pada zaman dulu hingga masa sekarang. Diceritakan, Tinah,
seorang gadis kecil yang hidup sederhana bersama orang tua dan saudara-
saudaranya di Gang Buntu kota Batu di Jawa Timur. Tinah tidak dapat
menamatkan SD nya kerena menjelang ujian ia sakit. Kegiatannya sehari-hari
ikut berdagang baju bekas Mbok Pah, neneknya, di pasar Batu. Tinah diasuh oleh
Mbok Pah, sampai pada suatu hari, ia berkenalan dengan seorang kenek angkot.
Abdul Hasyim namanya atau akrab dipanggil Sim. Dengan bermodalkan cinta
dan keberanian mereka memutuskan untuk hidup berumah tangga. Kehidupan
rumah tangga mereka pada awalnya dipenuhi dengan lika-liku. Permasalahan
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
48
yang sering muncul yakni perekonomian rumah tangga. Sim yang hanya seorang
kenek angkot dan Tinah seorang ibu rumah tangga sering dibuat kewalahan oleh
kebutuhan-kebutuhan rumah tangga. Pada awalnya masih belum terasa, namun
setelah mereka mempunyai lima orang anak, yakni Isa, Nani, Bayek, Rini, dan
Mira, beratnya biaya hidup semakin dirasakan oleh mereka.
Permasalahan ekonomi rumah tangga itu semakin terasa ketika anak-
anak mereka menginjak usia sekolah. Bukan saja mengurus kebutuhan untuk
makan sehari-hari, tetapi mereka juga harus mulai memikirkan biaya sekolah.
Tak jarang untuk menutupi semua kebutuhan itu, Tinah yang belakangan
dipanggil dengan sebutan Ibuk, harus menggadaikan barang-barang yang ia
miliki, mulai dari cangkir, kain jarik sampai perhiasan, bahkan sampai meminjam
uang kepada tukang kredit barang-barang peralatan rumah tangga. Kehidupan
rumah tangga mereka dipenuhhi dengan keprihatinan. Hal itu dapat dilihat dari
kutipan berikut
“Yang penting, pastiin ada uang buat makan besok ya, Pak!” Kata Ibuk
selalu memastikan. Dari uang belanja ini, Ibuk berusaha untuk
menyisakan sebagian untuk membayar SPP dan keperluan sekolah.
Bapak terkadang juga memakai uang tabungan Ibuk untuk memperbaiki
angkot yang rusak atau ketika kena tilang polisi (Setyawan, 2012:46)
Buku baru. “Ah, kamu coba peke buku bekas kakakmu, Yek! Yang
penting besok bawa buku dulu. Buku baru nanti saja kalau ada rezeki,
ya. Insya Allah, Ibuk belikan di toko buku pelajar. Sabaro sik, Le.”
Sepatu jebol. “Nan, coba minta lem ke Bapakmu! Jik iso digawe iku!”
kata Ibuk sembari memeriksa sepatu Bata yang belum setahun dipakai
Nani (Setyawan, 2012:59).
Dari kutipan di atas, dapat dilihat betapa keluarga Ibuk dalam keadaan
yang sangat prihatin, namun dengan usaha yang keras, akhirnya Sim yang
belakangan dipanggil Bapak, dapat membeli angkot sendiri dari uang tabungan
yang dikumpulkan selama ini. Ia dapat menarik angkotnya sendiri.
Namun, permasalahan tidak sampai di situ saja. Angkot tua yang
mereka beli sering rusak. Setoran uang belanja untuk kebutuhan sehari-hari
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
49
sering tidak ada. Uang sekolah sering menunggak. Tetapi Ibuk selalu berusaha
untuk membuat dapur mengepul. Entah bagaimana caranya. Ibuk selalu
mempunyai cara untuk mengaturnya. Mulai dari menghemat sabun, shampoo, air
dan listrik. Anak-anak ibuk selalu diajarkan untuk disiplin dan hemat. Makan
sehari-hari juga dengan lauk yang seadanya. Kadang kalau ada rezeki lebih, bisa
makan enak.
Hidup keluarga Ibuk dipenuhi dengan perjuangan dan kerja keras.
Untungnya semua anak Bapak dan Ibuk rajin dan pintar. Keprihatinan tidak
hanya sampai di situ saja, sampai pada saat Bayek diterima kuliah di IPB Bogor,
Ibuk memutuskan untuk menjual angkot mereka yang saat itu sebagai sumber
nafkah keluarga. Hingga saat itu Bapak harus menjadi sopir truk. Tetapi itu
semua tidak memutuskan harapan mereka. Mereka terus berjuang dan bekerja
keras. Usaha keras mereka tidak sia-sia, setelah lulus dari IPB dengan IP yang
membanggakan, akhirnya Bayek diterima kerja di NYC. Inilah yang menjadi
sebuah awal keadaan perekonomian yang baru di keluarga Ibuk.
Semenjak Bayek bekerja di NYC, perekonomian keluarganya
berangsur-angsur membaik. Hutang-hutang tetangga untuk biaya kuliah Bayek
dapat Bayek ganti dengan uang gajinya. Selain membahagiakan kedua orang
tuanya, Bayek juga menyenangkan keempat saudaranya. Ia membantu kuliah
kakak dan adiknya. Membantu biaya pernikahan dan membelikan rumah untuk
saudaranya. Bukan itu saja, ia yang tak tega melihat Bapak menjadi supir truk,
membuatkan usaha kos untuk Bapak. Kerja keras Bayeklah yang telah membawa
perubahan di keluarganya. Keprihatinan dan kesederhanaan hidup merekalah
yang membawa mereka pada keadaan yang lebih baik.
Berdasarkan pernyataan di atas, dapat disimpulkan bahwa tema utama
novel Ibuk, karya Iwan Setyawan adala perjuangan dalam mengarungi hidup
yang tidak mudah, demi untuk mencapai impian dan cita-cita hidup yang lebih
baik dengan segenap keprihatinan dan kesederhanaan serta dengan kerja keras.
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
50
Pengalaman tokoh dalam novel ini mengajarkan bahwa segala sesuatu dapat kita
raih dengan perjuangan, keprihatinan, kerja keras dan tentunya dengan doa.
Selain itu, Ibuk adalah perempuan pekerja keras dan rajin. Sebagai ibu
rumah tangga, ia tak pernah lelah untuk selalu mengurus keluarganya. Semua
pekerjaan rumah mulai dari memasak, mencuci, dan mengasuh kelima anaknya,
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
51
Setelah mengerjakan PR, baru mereka tidur siang. Jam 2 siang rumah
mereka sepi. Gang Buntu juga sepi. Ibuk masih sibuk di dapur. Selalu
ada yang ia kerjakan. Entah itu mencuci piring, menata peralatan dapur,
mengepel lantai dapur, membersihkan lemari, menyiapkan bumbu buat
masak besok, atau menyetrika baju. Isa menemani Mira yang tertidur di
kamar Ibuk. Setelah melihat lima anaknya sudah kenyang, melihat
mereka tidur siang, Ibuk baru menikmati makan siangnya (Setyawan,
2012:51).
“Alhamdulillah, Le. Kamu hati-hati ya. Jangan lupa salat,” pesan Ibuk
(Setyawan, 2012:161)
Sifat playboy Sim ternyata juga diberengi dengan rasa tanggung jawab
yang tinggi. Semenjak memutuskan untuk menikahi Tinah, Sim menjadi suami
yang penuh tanggung jawab bagi keluarganya. Semenjak anak-anaknya lahir,
tanggung jawab Sim sebagai bapak semakin besar. Ia juga merupakan suami
yang penuh kerja keras. Pekerjaannya sebagai sopir angkot membuatnya harus
bekerja banting tulang mencari rupiah untuk keluarganya. Berangkat pagi-pagi
buta dan pulang larut malam telah menjadi kebiasaannya setiap hari. Hal itu
dapat dilihat dalam kutipan berikut.
Sebelum ayam berkokok, Bapak sudah terbangun. Ia masih mengenakan
baju yang dipakai tadi malam. Sandal jepit swallow warna biru tua
menanti di depan pintu rumahnya. Ia segera menghidupkan mesin
mobil.
Pukul 10 Bapak kembali kerumah. Tak seperti biasanya. “Nah, ini
segera ke sekolah Bayek. Bayar uang buku dan minta rapornya,” kata
Bapak. Ia menyerahkan beberapa lembar uang lima ratusan dan seribuan
yang ia kumpulkan sejak pagi (Setyawan, 2012:69).
Di hari pertama kerja, Bayek mengingat Bapak yang tak pernah berhenti
berjuang dalam hidup. Berpuluh-puluh tahun Bapak menelusuri jalanan
untuk menghidupi keluarga. Ia tidak pernah berhenti. Ia tidak pernah
menyerah. Terus berjuang untuk anak-anak dan keluarga. Tidak lulus
SMP, beliau menjadi kenek angkot. Setelah menjadi kenek angkot,
Bapak ingin menjadi sopir angkot. Menjadi sopir angkot untuk orang
lain saja tidak cukup, Bapak mencoba menabung untuk membeli angkot
bekas. Ia tidak pernah berhenti berjuang menghidupi kelima anaknya.
Dengan apa pun yang ia miliki. Hidup Bapak penuh dengan gelombang
besar. Tidak mudah, tapi Bapak selalu memikul tanggung jawab dengan
berani (Setyawan, 2012:141).
Ia sering menjadi guru les bagi adik-adiknya. Ia sangat rajin belajar. Hal itu dapat
dilihat dari kutipan berikut.
Setelah makan siang, Isa langsung mengerjakan PR dan mempersiapkan
buku-buku untuk pelajaran besok. Nani dan Bayek mengikuti kebiasaan
ini (Setyawan, 2012:51).
Isa juga merupakan anak yang sangat berbakti pada orang tuanya. Ia
sangat mencintai kedua orang tuanya. Seiring bertambahnya umur, sifat
kedewasaannya semakin terlihat. Tamat SMA, Isa tidak langsung kuliah, Ia
bekerja sebagai guru les untuk membantu biaya hidup keluarga dan sekolah adik-
adiknya.
Dari berbagai kutipan di atas, dapat disimpulkan Isa adalah anak yang
rajin dan pekerja keras. Ia juga gadis yang pandai. Ia sangat berbakti dan
menyayangi orang tuanya. Ia juga peduli terhadap adik-adiknya.
4. Nani
Nani adalah anak perempuan kedua Bapak dan Ibuk. Sama halnya
dengan Isa, Nani juga merupakan gadis yang rajin dan pekerja keras. Ia juga anak
yang sangat pintar. Hal itu dapat dilihat dalam kutipan berikut.
Cahaya mulai menerangi rumah Ibuk. Isa masih memberikan les privat.
Rini bekerja membantu adik Ibuk yang menjadi bidan desa. Nani
bahkan bisa melanjutkan S2 (Setyawan 2012:140)
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
55
Dari kutipan di atas, Nani adalah seorang gadis yang pandai dan juga
pekerja keras. Nani adalah gadis yang berbakti pada orang tuanya. Ia sangat rajin
membantu Ibuk menyelesaikan pekerjaan rumah tangga. Ia adalah anak yang
tangguh. Hal itu dapat dilihat dalam kutipan berikut.
Bayek dan Rini bermain dengan Mira. Nani, anak Ibuk yang paling
gagah, membersihkan got di depan rumah di tengah hujan deras. Nani
mengepel lantai rumah, bocoran air hujan membuat rumah becek
(Setyawan, 2012:74-75).
Nani adalah anak yang rajin membatu Ibuk. Dari kutipan-kutipan di atas
dapat disimpulkan, Nani adalah anak yang rajin juga pintar. Ia juga anak yang
berbakti pada orang tuanya.
5. Bayek
Bayek adalah anak laki-laki satu-satunya dalam keluarga Bapak dan
Ibuk. Sebagai anak laki-laki, semasa kecilnya Bayek dapat dibilang cukup manja.
Ia juga anak yang penyendiri di sekolahnya. Ia tidak bisa jauh dari keluarganya.
Hal itu dapat dilihat dalam kutipan berikut.
Bayek anak penyendiri. Ia selalu merasa takut akan dunia di luar sana.
Rumahnya begitu nyaman. Ia merasa terlindung oleh kehangatan
saudara dan orangtuanya. Rini malah sudah bisa ditinggal Ibuk di kelas
(Setyawan, 2012:43).
Di Bogor Bayek berjuang melawan rasa takut, rasa kangen akan rumah
kecil di gang Buntu. Hampir setiap hari Bayek menelepon Ibuk. Ibuk
selalu meguatkannya. Seminggu di Bogor, Bayek bahkan sudah sangat
ingin pulang (Setyawan, 2012:134).
Dari kutipan di atas, kita tahu bahwa Bayek adalah anak yang sedikit
manja dan tidak bisa berpisah lama dari orang tuanya, terutama Ibuk. Bayek
adalah anak yang rajin. Ia sering membantu mengerjakan pekerjaan rumah. Ia
juga anak yang pandai. Ia selalu mendapat rangking yang baik. Bahkan saat
kuliah di IPB Bogor, ia lulus dengan IPK yang bagus dan merupakan lulusan
terbaik. Dalam dunia kerja, Bayek juga sering mendapat penghargaan di
kantornya. Hal itu dapat dilihat dalam kutipan berikut.
Bayek melewati tahun pertama di SMP Negeri 1 Batu dengan lancar. Ia
bahkan meraih ranking 1 di semester 2. Tubuh Bayek masih sekecil
waktu kelas 6 SD. Seragamnya terlihat kebesaran. Ia masih penyendiri,
masih penakut. Masih selalu merengek kalau minta apa-apa, apalagi
buku (Setyawan, 2012:125).
Sewaktu wisuda, Bayek memberi kejutan kepada Ibuk dan Isa yang
datang ke Bogor untuk menghadiri upacara wisudanya. Upacara
kemenangan atas perjuangan empat tahun keluarganya. Ibuk terlihat
bangga sekali melihat Bayek memakai baju toga. Tak disangka, anak
lelaki satu-satunya yang di tahun pertama dulu sudah ingin kembali ke
Batu sekarang menjadi sarjana.
“Dan, lulusan terbaik dari jurusan MIPA, Bayek Setyawan dari jurusan
Statistika dengan IPK 3.52”! seru pembawa acara memanggil Bayek
(Setyawan, 2012:136).
sama, setelah dua tahun bekerja. Malam itu juga Bayek menelepon Ibuk
dan membagikan kabar gembiranya (Setyawan, 2012:152).
“Buk, aku sudah nabung banyak. Kebetulan, bonus juga lumayan tahun
ini. Bosku apik, Buk. Aku barusan transfer buat bangun rumah kita,
Buk.” (Setyawan, 2012:175).
Air mata Bayek meleleh setelah salat Isya. Terlintas bayangan orang-
orang yang terjebak dalam gedung saat pesawat menabrak (Setyawan,
2012:158).
“Kamu coba cari tiket yang paling pagi, Yek. Bapak sudah kritis ini,”
kata Nani mencoba menenangkan Bayek. Jerit tangis Rini terdengar
memanggil-manggil Bapak. Bayek kini tahu, Bapaknya telah berpulang.
Ia segera berangkat ke bandara, jam 4 pagi (Setyawan, 2012:273).
Dari kutipan di atas terlihat Rini adalah anak yang sangat mencintai
Bapaknya. Ia tidak tega melihat Bapaknya dalam keadaan sakit sehingga ia selalu
meneteskan air mata jika melihat Bapak. Apalagi saat Bapak berpulang, Rini
adalah anak yang sulit untuk tabah. Ia bahkan menangis menjerit-jerit karena
merasa sangat kehilangan Bapaknya.
7. Mira
Mira adalah anak perempuan kelima Bapak dan Ibuk. Sebagai anak
terakhir, Mira bukanlah gadis yang manja. Sama halnya dngan kakak-kakaknya,
Mira juga merupakan gadis yang rajin dan pekerja keras. Hal itu dapat dilihat
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
59
dalam kutipan berikut. Mira adalah gadis yang pintar. Ia juga gadis yang sangat
berbakti dan menyayangi orang tuanya. Saat Mira menikah, ia tinggal jauh dari
orang tua yakni di Karawang mengikuti suaminya. Walaupun jauh dari orang tua,
Mira selelu menyempatkan telepon ke rumah. Hal itu dapat dilihat dalam kutipan
berikut.
Sudah menjadi kebiasaan anak-anak Ibuk selalu meminta doa. Isa dan
adik-adiknya baru berangkat ke sekolah setelah Ibuk menjawab, iya,
Ibuk doakan, semoga semua bisa mengerjakan ujian dengan lancar.
Semua dapat nilai bagus (Setyawan, 2012:131).
Dua cucu Ibuk, anak Mira, tinggal di karawang. Hampir setiap hari
mereka menelepon Ibuk dan Bapak. Kadang, Arti, cucu yang paling
kecil, masih belum setahun, hanya bisa merengek di telepon. Ibuk dan
Bapak kadang mengunjungi mereka meskipun tak sering (Setyawan,
2012:245).
“Nah, ini ada sedikit rezeki buat membantu pernikahanmu nanti,” kata
Mbok Pah yang tergeletak lemas di dipan kayu. “sebentar lagi kamu
akan menikah, Nah. Doakan Mbok bisa menemanimu,” mata Mbok Pah
menatap Tinah dalam-dalam.
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
60
Itulah pesan terakhir Mbok Pah. Ia tak lagi bisa mengucapkan sepatah
kata pun. Kondisinya semakin lemah. Mbok Pah meninggal seminggu
kemudian (Setyawan, 2012:24).
Mbok Pah adalah nenek yang perhatian terhadap cucunya. Sakit pun ia
masih memikirkan masa depan cucunya. Dari kutipan di atas, terlihat Mbok Pah
adalah nenek yang sangat peduli dengan cucunya. Bahkan di sakit kerasnya ia
masih sangat peduli dengan Tinah dan memikirkan masa depan Tinah.
9. Mak Gini
Mak Gini adalah ibu dari Tinah (Ibuk). Sehari-hari Mak Gini bekerja di
pegadaian. Ia adalah ibu yang baik. Ia peduli dengan anak-anaknya dan selalu
giat bekerja untuk menghidupi keluarga dan anak-anaknya. Hal itu dapat dilihat
dari kutipan berikut.
Ketika itu Ibuk hanya melihat bagaimana Mak Gini membesarkannya
dan saudara-saudaranya. Mak Gini menyusui semua anaknya dengan air
susunya sendiri, memasak tiap pagi, dan memastikan anaknya tidak
kelaparan. Mak Gini pun bekerja untuk menambah nafkah keluarga.
Hidup begitu sederhana. Mereka makan bersama di dapur berlantai
tanah, di depan tungku perapian yang menjadi tempat memasak, juga
untuk menghangatkan diri dari udara dingin Kota Batu. Di dapur inilah
kebersamaan itu tumbuh. Rezeki yang didapat hari ini untuk makan
besok. Kalau kurang, Mak Gini menjual atau menggadaikan barangnya.
Mak Gini menjauhi hutang (Setyawan, 2012:29-30).
Dari kutipan di atas, dapat disimpulkan Mak Gini adalah Ibu yang
bertanggung jawab pada anak dan keluarganya. Sebagai ibu, ia juga masih
bekerja membantu suaminya untuk mencari nafkah bagi keluarga. Mak Gini
adalah perempuan tangguh dan ulet.
10. Bapak Mun
Bapak Mun, adalah suami Mak Gini. Ia adalah ayah Ibuk. Sehari-hari
pekerjaannya sebagai tukang reparasi jam di pasar Batu. Ia adalah kakek yang
sangat menyayangi cucu-cucunya. Hal itu dapat dilihat dari kutipan berikut.
Nani dan Isa berdiri di depan pintu dapur. Kedua cucunya ini lebih
mengerti dari pada Bayek dan Rini. Bapak Mun yang rambutnya telah
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
61
Sim tak lagi menemui Suci, anak juragannya di Malang. Kini ada gadis
desa lugu yang selalu menghangatkan dan menyegarkan hidup Sim yang
sendiri. Cak Ali masih sering memberi tempe kepada Tinah maskipun ia
tahu, sang playboy pasar telah memenangkan hati Tinah (Setyawan,
2012:15).
Dari ruang tamu apartemen yang dia tumpangi inilah Bayek memulai
hidup baru. Mbak Ati, yang membuka jalan Bayek di Amerika,
memperkenalkan kehidupan di New York mulai dari grocery shopping
sampai jadi tourist guide selama beberapa bulan pertama. Mbak Ati juga
yang membimbing Bayek memulai karirnya di sana (Setyawan,
2012:148).
Dari kutipan di atas dapat disimpulkan bahwa Mbak Ati adalah orang
yang baik, ia suka menolong. Ia membimbing Bayek, rekannya untuk
menemukan karir di negeri yang asing bagi Bayek. ia juga memberikan
apartemennya untuk Bayek dapat menginap.
14. Pak Lurah
Dalam novel ini, pak lurah diceritakan sebagai orang yang tegas. ia
bahkan tidak segan-segan menegur warganya yang tidak menjalankan tugas
dengan baik. hal itu dapat dilihat dalam kutipan berikut.
“Wah, saya tidak bisa tanda tangani ini, Bu,” kata Pak Lurah singkat
setelah melihat semua surat pengantar.
“Loh, bukanya semua sudah lengkap, Pak,” jawab Ibuk. Ketiga anaknya
diam menunggu di depan kantor.
“Begini. Saya dengar ketua RT di sana, Pak Hasyim, suami Ibu, tidak
melaksanakan tugas sebagai ketua RT sebagaimana mestinya,” kata Pak
Lurah Berkopiah hitam.
“Pak, suami saya mesti kerja narik angkot siang malam. Ia hanya bisa
mengurusi kampung setelah bekerja. Gotong royong masih rutin.
Pengajian juga masih jalan,” balas Ibuk dengan tegas.
“Harusnya, Pak Hasyim lebih bisa mengurusi kampungnya,” kilah Pak
Lurah.
…..
“Lain kali, Pak Hasyim mesti melaksanakan tugasnya dengan benar ya
Bu,” kata Pak Lurah sambil membubuhkan tanda tangan dan kemudian
stempel kelurahan.
Dari kutipan di atas dapat disimpulkan bawa Pak Lurah adalah orang
yang sangat tegas. Semua warganya harus menjalankan tugas dengan baik, tidak
peduli latar belakangnya apa. Namun, dibalik ketegasannya, beliau juga orang
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
64
yang baik karena tetap mau memberikan tanda tangannya untuk surat keterangan
yang akan digunakan untuk keringanan biaya SPP.
15. Rachel
Rachel adalah rekan kerja Bayek di NYC. Ia berasal dari Thailand.
Rachel sangat dekat dengan Bayek. Mereka sering menghabiskan waktu istirahat
dengan makan siang bersama. Rachel adalah orang yang baik. Ia sering memberi
nasihat pada Bayek. Hal itu dalap dilihat dalam kutipan berikut.
Siang hari, Bayek dan Rachel makan siang di restoran Korea di Mercer
Street yang terletak satu blok di sebelah gedung kantor mereka. Mereka
sering makan siang di tempat kecil ini sambil membicarakan keluarga
masing-masing, kehidupan di Manhattan, atau pernak-pernik pekerjaan
(Setyawan, 2012:181-182).
nasihat Rachel, dan benar, nasihat-nasihat Rachel membuat hidupnya lebih baik.
Karena kedekatan mereka berdua, kepergian Rachel untuk kembali ke negara
asalnya sangat mengguncang Bayek. Tidak akan ada lagi teman sedekat Rachel.
Bahkan karena kepedulian Rachel pada Bayek, sempat membuat Bayek
menyukainya. Namun Bayek enggan mengungkapkan, karena takut akan
merusak persahabatan mereka.
16. Lek Giyono
Lek Giyono adalah tetangga Bapak dan Ibuk di Gang Buntu. Dalam
hidupnya, Lek Giyono pernah dibantu oleh Bapak. Ia merasa berhutang budi
pada Bapak. Saat Bapak meninggal, Lek giyono juga yang menjemput Bayek ke
bandara. Hal itu dapat dilihat dalam kutipan berikut.
“Yek, Bapak kamu itu amalnya banyak. Satu hal yang saya nggak akan
pernah lupa. Bapakmu dulu pernah mengajari saya menyetir,” kata Lek
Giyono sambil menarik napas panjang.
“Dia mengajari saya nyetir, sampai saya bisa narik angkot sendiri. Saat
itu, setelah berminggu-minggu narik angkot, saya nabrak mobil dan
hampir dipecat sama juragan. Bapakmu bilang, kalau Giono dipecat,
saya juga keluar,” kata lek Giono (Setyawan, 2012:274).
Dari kutipan di atas, kita tahu bahwa watak Lek Giyono adalah orang
yang baik. ia tak pernah melupakan jasa orang yang pernah menolongnya
menyelamatkan pekerjaannya.
17. Bang Udin
Bang Udin adalah tukang kredit langganan di kampung Ibuk. Ia biasa
menjajakan dagangannya yang berupa peralatan dapur dan pelanggannya
biasanya membayar dengan cara mencicil. Ibuk sering meminjam uang pada
Bang Udin. Hal itu dapat dilihat dalam kutipan berikut.
“Mbak Nah lagi setrika ya?” sapa Bang Udin yang tiba-tiba muncul di
depan pintu ruang tamu.
“Ah, silakan masuk Bang. Langsung ke dapur saja!” jawab Ibuk.
Bayek dan Nani sibuk mengerjakan PR, tidak menghiraukan kedatangan
Bang Udin, tukang kredit asli Bandung. Dari Bang Udin, Ibuk selalu
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
66
“Nah ini buat bayar SPP Bayek dan Rini besok. Untuk belanja, kamu
hutang dulu ke Bang Udin,” kata Bapak (Setyawan, 2012:117).
Carik setiap kali melewati rumah Ibuk. Mbah Carik sering ke dapur. Ia
mengamati Ibuk memasak sambil memberikan petuah-petuah yang
bijak. Selain Ibuk, Mbah Carik selalu menyentuh hati orang-orang yang
ia jumpai di sepanjang perjalanan (Setyawan, 2012:80).
Dari kutipan di atas dapat disimpulkan bahwa Mbah Carik adalah orang
yang dituakan di Gang Buntu. Mbah Carik sangat disegani dan dihormati oleh
masyarakat sekitar, hal itu dilakukan karena Mbag Carik dianggap orang pintar
yang dapat menyembuhkan beberapa penyakit, juga Mbah Carik sering
memberikan petuah-petuah bagi orang-orang disekitarnya. Ia baik pada semua
orang.
c. Alur
Alur yang digunakan dalam novel Ibuk, karya Iwan Setyawan adalah
alur campuran (maju-mundur). Kisah demi kisah tidak selalu diceritakan secara
kronologis namun terkadan ada flash-back kejadian masa lalu tokoh, karena pada
novel ini bercerita kehidupan sebuah keluarga yang bergerak maju. Cerita ini
berawal dari tahap pengenalan. Pada tahap pengenalan. Pengarang mengenalkan
karakter tokoh utama, yaitu seorang tokoh yang bernama Tinah.
Baru setelah itu dimunculkan tokoh-tokoh lain yang mendukung
jalannya cerita. Mulai dari Mbok Pah, nenek Tinah, yang mengasuh Tinah
semenjak ia putus sekolah, Sim Seorang kenek angkot yang berhasil
memenangkan hati Tinah dan akhirnya mereka menikah. Kemudian lahirlah
kelima anak mereka. Setelah itu masih banyak tokoh-tokoh yang dimunculkan
sebagai pendukung cerita. Pada awalnya penceritaan berjalan maju, namun saat-
saat di tengah penceritaan, ingatan Tinah yang belakangan disebut dengan
panggilan Ibuk, kembali menceritakan zaman dulu, dan akhirnya kembali ke
masa kini. Hal itu dapat dilihat kutipan berikut.
“Iya, nggak apa-apa. Padahal dulu bocornya nggak sebanyak ini, Nduk.
Entar ya, Ibuk cerita bagaimana kita membangun rumah ini,” jawab
Ibuk.
….
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
68
wejangan saat membangun rumah mereka. Beginilah wejangan Mbah Carik kala
itu.
“Nah, kamu ini hamil kok angkat-angkat air,” sapa Mbah Carik. Ibuk
yang sedang hamil Rini mengangkat air di dua ember plastik warna
merah dari rumah Lek Sanik ke rumah kecil yang sedang dibangun.
“Mboten nopo-nopo, Mbah. Sudah tiap hari seperti ini,”kata Ibuk
menarik napas panjang. Bayek di belakang Ibuk, menarik-narik daster
batiknya.
“Nah, Nah…Sing ati-ati yo,”Pesan Mabah Carik sambil menepuk
pundak Ibuk. “Yang sabar dulu ya. Hidupmu sekarang susah. Tapi
percaya aku, Nah. Anak lanang yang ada dibelakangmu itu kelak akan
membahagiakanmu,” pesan Mbah Carik. Raut wajahnya kalem. “Ke sini
Le, Mbah cium!” (Setyawan, 2012:81).
Mulai dari itu, alur cerita kembali bergerak maju sampai akhir cerita.
Pengarang mulai menceritakan kehidupan keluarga Ibuk. Kejadian demi kejadian
diceritakan runtut, mulai dari kelima anak-anaknya yang selesai sekolah, masuk
kuliah, dan Bayek, anak laki-laki Bapak dan Ibuk kerja di NYC, anak-anak
perempuan semua menikah, sampai Bayek kembali ke Indonesia, dan pada akhir
cerita, diceritakan Bapak berpulang. Sebuah ending cerita yang mengharukan,
namun juga sarat akan nilai-nilai yang dapat dipetik dan diaplikasikan dalam
kehidupan nyata. Sebuah cerita yang penuh inspirasi dan memotivasi.
Berikut adalah tahapan plot dalam novel Ibuk,:
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
70
Pagi yang biasa. Pagi yang ramai di pasar Batu. Di depan kios Mbok
Pah, jajaran angkot mulai menurunkan penumpang. Sebagian besar
adalah ibu-ibu yang akan berbelanja Hampir semua memakai sandal
jepit dan menenteng tas kresek kosong. Para sopir angkot dan kenek pun
banyak yang turun untuk sarapan. Salah satunya, anak muda berusia
sekitar 23 tahun. Seorang kenek yang telah lebih dari setahun datang
dan pergi bersama angkotnya di pasar Batu. Ia terlihat berbeda dari sopir
atau kenek lain. Pakaiannya selalu rapi. Tatapan matanya melankolis
tapi tajam. Badannya tidak tinggi tapi gagah, gayanya flamboyan.
Alisnya tebal dan bibirnya penuh. Ia dekat dengan semua orang, dari
ibu-ibu sampai preman. Ia dicap sebagai playboy pasar (Setyawan,
2012:4).
Kutipan di atas adalah pengenalan awal tokoh dan situasi dalam novel
Ibuk. Pengarang mengenalkan tokoh dengan ciri-ciri fisiknya dan situasi yang
melatarinya.
2. Tahap generating circimtantes (pemunculan konflik)
Pada tahap ini, pengarang mulai memunculkan peristiwa-peristiwa yang
mengakibatkan terjadinya konflik. Salah satunya adalah konflik batin yang
dialami oleh tinah tentang percintaannya dengan kenek angkot. Permasalahan
yang munncul adalah, Mbok Pah menginginkan Tinah memilih laki-laki yang
lebih mapan. Hal itu dapat dilihat dalam kutipan berikut.
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
71
“Nah…masa’ kamu gak mau orang yang sudah mateng dan sebaik dia?”
kata Mbok Pah meyakinkan. “Apa kamu masih pilih Sim itu? Ganteng
iya, tapi Mbok rasa dia belum mateng, Nah. Belum siap. Masa’ kamu
mau nunggu?
Tinah, terdiam. Mbok Pah merasa kasihan juga melihat cucunya
kebingungan. “Gini Nah, kamu pikirkan ya. Iki serius. Iki uripmu. Mbok
suka sama Sim, tapi Mbok juga belum yakin. Lek Hari entar malam mau
kerumah, mau nanya ke kamu langsung.”
Tinah masih terdiam. Ia tak berani menyangkal Mboknya. Ia teringat
permintaan Sim setelah pulang dari Pujon kemarin.
Nah…kamu mau gak hidup susah sama aku. Kita, hidup berdua.
“Mbok aku gak mau pilih-pilih,” Jawab Tinah akhirnya. “Sim itu
hidupnya gak seperti Lek Hari tapi orangnya apikan.”
Kini justru Mbok Pah yang diam. Ia sudah tahu apa yang menjadi
pilihan cucunya (Setyawan, 2012:21-22).
“Aduh Nah, capek sekali badan ini! Angkot rusak lagi. Uang habis buat
benerin angkot. Aduh Nah, yo opo iki?” keluh Bapak (Setyawan,
2012:68).
Dari sebuah keputusan menjual angkot untuk biaya kuliah Bayek itulah,
permasalahan demi permasalahan terselesaikan. Bayek dapat lulus kuliah
sebagai lulusan terbaik. Kemudian ia bekerja sampai ke NYC. Dari situlah
keadaan perekonomian keluarga Ibuk terangkat. Bayek dapat melunasi semua
hutang keluarga dan menyenangkan Ibuk serta Bapak, juga saudara-saudaranya.
d. Latar atau setting
Latar atau setting meliputi tempat, waktu dan suasana terjadinya suatu
peristiwa atau kejadian dalam sebuah cerita. Adapun latar dalam novel Ibuk
karya Iwan Setyawan adalah latar tempat, waktu. Selain itu, latar suasana juga
digambarkan pengarang dalam novel ini. Menurut Nurgiyantoro (2005:233-
234), latar sosial menyaran pada hal-hal yang berhubungan dengan perilaku
kehidupan sosial masyarakat di suatu tempat yang diceritakan dalam karya
fiksi. Tata cara kehidupan sosial masyarakat mencakup berbagai masalah dalam
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
75
lingkup yang cukup kompleks. Ia dapat berupa kebiasaan hidup, adat istiadat,
tradisi, keyakinan, pandangan hidup, cara berpikir dan bersikap, dan lain-lain
yang tergolong latar spiritual seperti dikemukakan sebelumnya. Di samping itu,
latar sosial juga berhubungan dengan status sosial tokoh yang bersangkutan,
misalnya rendah, menengah, atau atas.
1. Tempat
Latar tempat merupakan tempat dimana terjadinya peristiwa-peristiwa
yang dialami tokoh. Tempat terjadinya peristiwa dalam novel Ibuk yakni
berada di dua Negara, Indonesia tepatnya di Kota Batu, Jawa Timur, Bogor,
Jakarta, Jogja, dan Karawang, dan di New York City. Latar tempat di Kota
Batu, meliputi pasar batu, di rumah di Gang Buntu, di sekolah, di bandara, di
rumah sakit, di kelurahan dan di pemakaman. Latar tempat di NYC, saat Bayek
bekerja di sana meliputi apartement, kompleks perkantoran di Manhattan,
taman, restoran, dan groceries shopping. Hal ini terlihat dalam kutipan berikut.
Pagi yang biasa. Pagi yang ramai di Pasar Batu. Di depan kios Mbok
Pah, jajaran angkot mulai menurunkan penumpang (Setyawan, 2012:4).
Meskipun harus bolak-balik dari satu sekolah ke sekolah yang lain, Ibuk
tak pernah meminta bantuan orang lain untuk mengambilkan rapor
anak-anaknya. Dari SD Negeri Ngaglik 1, tempat Bayek dan Rini
sekolah, Ibuk jalan kaki ke sekolah Nani, SD Ngaglik 2. Tempat Isa
sekolah di SD Ngaglik 3, yang paling jauh (Setyawan, 2012:63).
Malam pertama mereka berada di rumah Mbak Gik. Tak ada selimut di
atas dipan kayu mereka (Setyawan, 2012:25).
“Ni, beli sepatu yang agak gedean ya, biar bisa dipakai sampai kamu
kelas 6 entar,” pesan Ibuk sembari memilihkan sepatu untuk Nani di
Toko bata yang terletak di alun-alun Batu (Setyawan, 2012:89).
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
76
Di Bogor Bayek berjuang melawan rasa takut, rasa kangen akan rumah
kecil di Gang Buntu (Setyawan, 2012:134).
Dua minggu penuh cinta dan kehangatan, Bayek pun harus kembali ke
New York. Bapak dan Ibuk mengantarkan ke Bandara Juanda Surabaya
(Setyawan, 2012:171).
Pagi yang cerah di kaki Gunung Panderman. Satu per satu, pelayat
meninggalkan pemakaman. Tinggal Ibuk dan keluarga dekatnya
(Setyawan, 2012:277).
2. Waktu
Latar waktu merupakan waktu kapan terjadinya peristiwa-peristiwa
yang dialami tokoh. Latar waktu dalam novel ini menggunakan hari, bulan,
tahun, pagi, siang, malam, selepas sholat, di waktu subuh, dan menunjukkan jam.
Hal ini dapat dilihat dalam kutipan berikut.
Pagi yang biasa. Pagi yang ramai di pasar Batu. Di depan kios Mbok
Pah, jajaran angkot mulai menurunkan penumpang (Setyawan, 2012:4).
Jam 11 malam. Gang Buntu senyap. Semua pintu tertutup rapat. Korden
menyelimuti jendela di setiap rumah. Hampir semua rumah gelap, hanya
lampu depan yang menyala. Redup. Bulan hanya separuh tapi terangnya
benderang. Cahaya putih terpantul dari awan di arah barat. Sunyi
(Setyawan, 2012:67).
Sore itu, seperti janjinya, sopir angkot baru itu menunggu Tinah di Gang
Buntu. Beberapa penumpang di angkotnya juga menunggu. Ada sekitar
tujuh orang langganan Sim di dalam mobil Mitsubishi Colt T tua itu
(Setyawan, 2012:18).
Namun Mbok Pah jatuh sakit dua minggu setelah acara lamaran
(Setyawan, 2012:24).
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
78
Bulan berikutnya, Sim bersama keluarga Mbak Gik berjalan dari Jalan
Darsono ke Gang Buntu. Mereka menanyakan Ngatinah kepada
keluarganya (Setyawan, 2012:23).
Setelah mengerjakan PR, baru mereka tidur siang. Jam 2 siang rumah
mereka sepi. Gang Buntu juga sepi. Ibuk masih sibuk di dapur
(Setyawan, 2012:51).
Air mata Bayek meleleh setelah salat Isya. terlintas bayangan orang-
orang yang terjebak dalam gedung saat pesawat menabrak (Setyawan,
2012:158).
Pagi itu gelap dan dingin. Hujan deras mengguyur Kota Batu. Jam
setengah tujuh pagi segelap jam lima pagi. Lampu ruang tamu sudah
dimatikan Ibuk setelah salat subuh tadi (Setyawan, 2012:258).
Sabtu, 4 Februari 2012, pukul 2 dini hari. Rini bangun dan memeriksa
kondisi Bapak. Tangan rini mengelus tangan Bapak. Juga dadanya.
Bapak masih tertidur pulas. Rini kebali tidur di kursi di samping ranjang
Bapak. Tangan kiri Rini masih memegang tangannya dan tangan kanan
memegang dada Bapak (Setyawan, 2012:271).
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
79
“Gini Nah, sudah lama Mbok Pah mau ngomong ini, tapi ora enak.
Sudah beberapa minggu ini ada yang nanyain kamu terus. Namanya Lek
Hari. Mungkin seumuran sama Sim. Dia sudah punya rumah sendiri di
Oro-Oro Ombo. Sudah punya usaha sendiri, mencetak batu bata,” jelas
Mbok Pah (Setyawan, 2012:21).
Sesekali peristiwa itu juga menyangkut tentang dirinya sebagai pencerita. Cara
penyampaian cerita itu juga menggunakan sapaan “aku” pada dirinya dalam
menceritakan tentang peristiwa yang menyangkut tentang dirinya sebagai tokoh
pendamping, namun sering pula ia bercerita sebagai orang ketiga yang
mengamati peristiwa dari jauh tentang tokoh utama cerita. Hal itu nampak dalam
bab 15 “Sedikit tentang Aku” bab 21 “Hidup Baruku”, dan bab 49 “Aku” dalam
bab tersebut pengerang menceritakan dirinya dengan menyebut dirinya “aku”.
Hal itu dapat dilihat dalam kutipan berikut.
“Le, ini Ibuk sudah terima rapormu!” tak hanya melegakan Bayek tapi
juga melegakanku! Aku tarik napas panjang setelah menuliskannya.
Ah, sampai di sini, mungkin kau akan bertanya siapa diriku. Tapi apa
perlunya kau tahu? Aku hanya bagian kecil dari cerita ini. Aku hanya
seseorang yang berusaha mencatat sedikit kenangan agar tak hilang
begitu saja ditelan zaman (Setyawan, 2012:72).
Dalam novel ini, Bayek sebagai anak laki-laki di keluarga Ibuk dan
Bapak sebenarnya merupakan pengarang yang menceritakan kehidupan nyatanya
dan diangkat menjadi sebuah novel. Hal itu dapat dilihat dalam kutipan berikut.
Sampai saat ini, aku masih terngiang-ngiang kata-kata Ibuk kepada
Mbak Isa. Cintanya melahirkan tekad untuk kehidupan yang lebih baik,
untuk anak-anaknya (Setyawan, 2012:73).
Dua belas tahun yang lalu, aku mengikuti perjalanan Bayek selama di
New York. Ketika ia jauh dari keluarga. Ketika ia melalui 9 musim
panas, 10 musim gugur. Ketika ia mengumpulkan kepingan-kepingan
masa lalu dan membangun hidupnya. Ketika ia berlayar untuk
keluarganya. Ketika ia menemukan dirinya. Ketika ia jauh dari surga
kecilnya di Batu. Ketika kesederhanaan dan cinta keluarga
menyelamatkannya (Setyawan, 2012:287).
dirinya sebagai orang ketiga, pengarang sebagai tokoh sampingan. Dalam novel
ini adalah kisah nyata yang dialami oleh pengarang. Sesekali ia juga
memunculkan dirinya sebagai tokoh aku dalam novel.
Dari kutipan di atas ditampilkan sebuah tanda baju putih yang tak
lagi berwarna putih dan sudah usang. Hal itu menunjukkan betapa baju
putih itu sudah tidak baru lagi dan warnanya sudah berubah. Tanda ini
identik dengan keprihatinan, dimana tokoh tersebut tidak dapat membeli
baju yang baru, yang berwarna lebih cerah. Warna putih biasanya
diidentikkan juga dengan kebaikan, kebersihan dan kesucian. Hal itu
nampak dalam kutipan berikut.
Dan Ngatinah, seorang gadis desa yang lugu dan berhati putih,
telah memberikan hatinya menjadi seorang istri (Setyawan,
2012:26).
Tanda dalam kutipan di atas dapat dilihat dalam langkah Sim yang
terburu-buru menuju warung langganannya. Tanda itu mempunyai makna
bahwa Sim ingin segera sampai di warung langganannya untuk sarapan
karena ia sudah lapar.
c. Legisigns, types, merupakan tanda atas dasar suatu peraturan yang
berlaku umum, sebuah konvensi, dan sebuah kode. Hal itu dapat dilihat
dalam kutipan berikut.
“Nah, kamu sudah pernah nonton film belum?” Tanya Sim
sebelum pulang.
Tinah menggelengkan kepala sambil menyenderkan badan di
sudut pintu ruang tamu (Setyawan, 2012:13).
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
85
Dari kutipan di atas, asap yang keluar dari mulut juga menandakan
suatu makna yakni bahwa daerah tempat tinggal para tokoh merupakan
daerah yang sangat dingin, hingga mengakibatkan uap yang menyerupai
asap keluar dari mulut.
c. Simbol, Simbol adalah tanda yang menunjukkan bahwa tidak ada
hubungan alamiah antara penanda dengan petandanya, hubungannya
bersifat arbitrer atau mana suka. Tanda-tanda yang merupakan simbol
seperti dalam kutipan berikut, seperti bendera.
“Ibuk hampir lupa! Ketika membangun rumah ini, Ibuk mendapat
wejangan dari wong pinter di Gang Buntu (Setyawan, 2012:79).
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
87
Dia sudah punya kios sendiri buat jualan tempe, loh. Wis mateng
wong-e (Setyawan, 2012:3).
Ada air mata di sudut mata Bayek. Ia diam. Hening di ruang tamu.
Bayek dan kakak adiknya tahu bagaimana Bapak dulu bekerja
keras dari hari ke hari untuk membeli angkot itu (Setyawan,
2012:134).
Ibuk menyelamatkan kami. Aku ingin ibuk bahagia, ikrar Bayek.
matanya berkaca-kaca di depan layar komputer tempatnya bekerja
(Setyawan, 2012:143).
“Aku barusan transfer buat bangun rumah kita Buk”. Air mata
Ibuk mengalir di tengah kebahagiaan, “Le, jangan banyak-
banyak.” (Setyawan, 2012:175-176).
“Wah, gak percaya Isa bisa masuk SMA!” ucap ibuk dengan
Bangga. Wajah Ibuk merekah. Satu jalan terjal telah ia lalui
bersama Bapak (Setyawan, 2012:121).
Lima orang anak pada suatu pagi. Kicau burung pun tak terdengar.
Sebuah pesta kehidupan yang dipimpin seorang perempuan
sederhana tapi perkasa (Setyawan, 2012:42).
merasa bahwa hidupnya tidak akan lama lagi. Kutipan kedua juga
menandakan bahwa Bapak merasa umurnya tidak akan lama lagi, yakni
dari permintaannya pada anaknya untuk memasang fotonya pada buku
Yasin. Kutipan di atas juga mengandung makna perpisahan yang
menandakan sebuah kesedihan, yakni saat Bapak sudah tidak bernapas
yang berarti menandakan bahwa Bapak sudah meninggal, dan air mata di
sudut kiri matanya menandakan perpisahan dengan keluarganya dalam
kesedihan. Sebuah simbol berupa tanda-tanda juga dimunculkan
pengarang dalam kutipan-kutipan berikut ini.
Kusaksikan tangan-tangan politik mulai kotor, meraih
kemenangan demi kepentingan sendiri. Pemimpin saling berebut
nasi (Setyawan, 2012:106).
“Yek, how can I say this,” kata Rachel sambil menarik napas
panjang. Mata Bayek terperangah. Jarang-jarang Rachel bicara
seserius ini (Setyawan, 2012:212).
Malam-malam berguguran…
Kenangan berguguran…
Hanya sajak ini yang tumbuh
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
94
“Ni, Ni…itu foto siapa di sampul buku Yasin?” Tanya Bapak setelah
mereka membaca Yasin. (Setyawan, 2012:268).
yang diperingati setiap tahunnya. Cerita tersebut dapat dilihat dalam kutipan
berikut.
Seminggu setelah mendengar cerita kematian dari Enzu, Bayek
merayakan lebaran sendiri di NYC. Di belahan dunia yang lain, semua
saudara Bayek salat Ied bersama, makan ketupat dan tape ketan hitam.
Sehabis salat mereka berkumpul di ruang tamu dan saling bermaaf-
maafan.
“aduh, Sa…Kasihan Bayek. Sendirian anak lanangku,” kata Ibuk
terisak-isak. Isa memeluk Ibuk yang memakai kerudung putih. Ia
kemudian menelepon Bayek.
“Buk, aku njaluk sepuro yo, gak bisa pulang. Sepurane yo Buk, lahir
batin,” kata Bayek, air matanya meleleh.
“sama-sama, Le. Ibuk juga. Kamu yang tabah ya. Semoga tahun depan
kita bisa lebaran bersama,” kata Ibuk.
“Bapak, Isa, Nani, Rini, Mira, Daanii, dan menantu-menantu Ibuk
kemudian bergiliran bermaaf-maafan dengan Bayek Setelah salat Ied
di Mesjid Indonesia di Queens, Bayek kembali ke kantor dan bekerja
seperti biasa (Setyawan, 2012:202).
anugerah yang telah diberikan Tuhan. Hal itu juga nampak dalam kutipan
novel ibuk, seperti berikut.
“Alhamdulillah, Buk. Kantorku jauh dari kompleks WTC itu. Tadi
mau telepon juga gak bisa,”kata Bayek.
“Alhamdulillah, Le. Kamu hati-hati ya. Jangan lupa salat,”pesan Ibuk.
(Setyawan, 2012:161).
Buk, doakan ujianku lancar ya. Doakan aku bisa, begitulah pinta
Bayek kepada Ibuk, semenjak SD sampai kuliah. Bayek tidak hanya
meminta doa ketika musim ujian tiba. Bayek juga meminta doa ketika
naik Gunung Panderman, ketika pergi belajar renang, ketika mengikuti
lomba paduan suara, lomba baca puisi, ketika menaiki panggung untuk
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
102
“ Buk, doakan ya, Buk,” kata Bayek lirih menahan tangis. Ia tidak bisa
berkata banyak. (Setyawan, 2012:144).
“Buk, aku juga barusan transfer. Buat bayar hutang ke Tante Bewah,
uang yang aku pakai untuk berangkat ke sini. Sisanya buat Ibuk dan
Bapak ya, “kata Bayek (Setyawan, 2012:152-153).
Bayek juga sering pulang ke Batu. Nani selalu siap siaga mengurus
Bapak ke dokter, menebus resep, dan membantu Bapak meminum
obat. Demikian juga Isa dan Rini, bergantian menjaga Bapak. Cucu-
cucu pun selalu setia menemani Bapak sepulang mereka dari sekolah
(Setyawan, 2012:275).
Dari kutipan di atas, jelas bahwa sebua anak-anak Ibuk dan Bapak
yakni, Isa, Nani, Bayek, Rini, dan Mira, semua sangat menyayangi orang
tuanya. Mereka semua ingin membahagiakan orang tua yang selama ini telah
berjuang untuk menghidupi mereka.
Hal itu mungkin tidak mudah bagi anak-anak seusia mereka. Tapi pengalaman
hiduplah yang mendorong mereka untuk berbuat demikian. Dengan usia mereka
yang dapat dibilang masih kecil, mereka dapat melihat betapa perjuangan orang
tua untuk kehidupan mereka sangat keras. Inilah ajaran moral yang dapat dipetik,
yakni harus slalu sadar akan kehidupan sekitar kita dan harus dapat memaknai
setiap kejadian yang terjadi agar tidak salah dalam bertindak.
3. Kerja keras
Untuk menuju kesuksesan diperlukan kerja keras. Kerja keras
merupakan usaha seseorang untuk mencapai tujuan yang diinginkan. Tujuan yang
didapat dengan kerja keras tersebut biasanya berhubungan dengan kesuksesan atau
hal-hal baik dan memang diharapkan dapat tercapai. Seperti dalam kutipan berikut.
Seperti kedua kakaknya, Ibuk memberikan ASI semenjak Bayek lahir.
Ibuk memasak bubur beras merah ketika Bayek sudah menginjak umur
6 bulan. Ia semakin sibuk mengurus tiga anaknya dari pagi sampai
larut malam. Sering kali ibu muda ini harus menyusui Bayek sekaligus
menyuapi Nani. Untungnya, Isa mulai mandiri. Ia bahkan sudah bisa
menjaga Bayek ketika Ibuk harus mencuci baju atau memasak
(Setyawan, 2012:36).
lupa untuk selalu meminta restu pada orang tuanya. Hal itu dapat dilihat dalam
kutipan berikut.
Sebelum memutuskan untuk pulang ke Indonesia, Bayek meminta
restu berkali-kali kepada Ibuk. Ibuk selalu bilang, ini hidupmu, Le.
Kamu tahu apa yang terbaik untuk mu.
Kembali ke New York tak pernah mudah.
“Doakan Bayek cepat pulang ya Buk,”kata Bayek sambil mencium
tangan Ibuk (Setyawan, 2012:210).
Dari kutipan di atas, diceritakan saat Bayek meminta restu pada orang
tuanya. Apapun yang akan dilakukan Bayek ia selelu meminta restu pada Ibuk.
Seperti saat akan kembali ke New York, ia meminta restu pada Ibuk sambil
mencium tangannya. Hal yang dapat dijadikan sebagai teladan yakni, dalam
kegiatan apapun atau pekerjaan yang akan kita lakukan, hendaknya kita selalu
memohon restu pada orang tua.
5. Keteguhan hati dan komitmen
Keteguhan hati dan komitmen adalah pendidikan moral yang baik
untuk membentuk mental yang positif. Komitmen membuat seseorang bertahan
dalam mencapai cita-cita, pekerjaan seseorang dan orang lain. Komitmen
merupakan janji yang dipegang teguh terhadap keyakinan dan memberi
dukungan serta setia kepada keluarga dan teman. Keteguhan hati dapat membuat
seseorang mencapai cita-citanya. Seperti terlihat dalam kutipan berikut.
Ah, demikian. Sebuah tatapan mata di pagi yang biasa di pasar sayur
Batu telah mengubah hidup dua anak manusia. Abdul Hasyim, sang
playboy pasar, menjadi seorang suami, menjadi seorang nahkoda untuk
sebuah pelayaran. Dan ngatinah, seorang gadis desa yang lugu dan
berhati putih, telah memberikan hatinya menjadi seorang istri. Tak ada
janji yang terungkap dari mulut mereka. Tapi hati mereka telah
berikrar untuk mencintai satu sama lain, dengan sederhana. Mereka
tidak saling memberikan harapan tapi mereka akan memperkuat satu
sama lain (Setyawan, 2012:26).
“Buk, aduh, bahasa inggrisku masih kacau. Banyak yang gak ngerti
kalau aku ngomong. Masih blon lancar,”keluh Bayek di telepon.
“Wis belajar terus ae. Jangan takut ngomong,”jawab Ibuk.
“Iya Buk, tapi masih nggak lancar-lancar iki,”lanjut Bayek.
“Bisa, Le. Percaya sama Ibuk. Kamu udah dipercaya ke sana, pasti
kamu bisa,”kata Ibuk meyakinkan Bayek.
“Aku gak pingin mereka kecewa, Buk. Sudah datang jauh-jauh tapi
gak bisa ngomong lancar. Gini ae wis Buk, aku akan buktikan kalau
aku bisa kerja dulu,”tekad Bayek (Setyawan, 2012:151-152).
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
110
Dari ketiga kutipan di atas, dapat dilihat betapa besar komitmen Bayek
serta keteguhan hatinya untuk mencapai cita-citanya membahagiakan Bapak.
Ibuk, dan semua keluarganya. Ia berjuang sendiri jauh dari keluarga demi
mewujudkan janjinya untuk kebahagiaan orang-orang di sekitarnya. Ia tidak
pernah putus asa, ia selalu mencoba dan mencoba. Sesulit apapun hidup di negeri
orang dengan bahasa dan budaya berbeda ia tetap berpegang teguh pada
komitmennya untuk mewujudkan cita-citanya.
6. Tanggung jawab
Tanggung jawab adalah perilaku yang menentukan seseorang untuk
berbuat dan bereaksi terhadap situasi setiap hari yang memerlukan beberapa
keputusan. Dengan mengambil keputusan dan bersikap disiplin, seseorang
terlatih untuk bertanggung jawab dalam setiap tindakan yang dilakukan dan
keputusan yang diambil. Seperti terlihat dalam kutipan berikut.
Lulus SD, Isa dengan mudah masuk ke Sekolah Menengah Pertama
paling bagus di Batu. Ibuk menjual cincin emas satu-satunya untuk
membayar uang pangkal. Untuk membeli seragam dan membayar SPP
di bulan pertama. Cincin emas yang dulu ia beli di Toko Emas Agung
dari hasil tabungan bertahun-tahun. Meskipun uang belanjanya tak
seberapa, Ibuk selalu berusaha menyisakan sedikit uang. Ia
menyisihkan nafkah dari Bapak yang disimpannya di bawah lipatan
baju-baju di lemari pakaian satu-satunya. Ibuk hanya memakai cincin
kalau ada hajatan saudara atau tetangga. Dari uang tabungan ini Ibuk
membeli anting-anting emas untuk setiap anak perempuannya
(Setyawan, 2012:65).
Dari kutipan di atas diceritakan tanggung jawab Ibuk sebagai orang tua
yang harus memberikan pendidikan layak bagi anak-anaknya. Ibuk rela menjual
cincin emas satu-satunya, semua itu demi anaknya agar mereka dapat
mengenyam pendidikan yang layak seperti anak-anak yang lain. Demi tanggung
jawabnya pada hidup anak-anaknya, Ibuk selalu menabung dari sedikit uang
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
111
yang diberikan Bapak. Begitu juga Bapak, tanggung jawabnya pada anak-anak
dan keluarganya sangat besar, terlihat dalam kutipan berikut.
Pukul 10 pagi Bapak kembali ke rumah. Tak seperti biasanya.”Nah,
ini segera ke sekolah Bayek. Bayar uang buku dan minta rapornya,”
kata Bapak. Ia menyerahkan beberapa lembar uang lima ratusan dan
seribuan yang ia kumpulkan sejak pagi (Setyawan, 2012:69).
Aku capek, Nah. Iki godaan datang terus. Aku berangkat lagi, ya! Gak
bisa lihat anak-anak seperti ini, saaken!” (Setyawan, 2012:116).
7. Keprihatinan
Keprihatinan merupakan keadaan hidup dimana hidup dipenuhi
dengan hal-hal yang menyedihkan dan mengibakan. Hal itu nampak dalam
kutipan berikut.
Ketika Bayek terkena pilek atau batuk, kakak dan adiknya sering
tertular sakit. Ibuk yang kadang ikut sakit juga membelikan Bodrexin
untuk semua anaknya. Satu tablet buat berdua. Ia sendiri selalu
membiarkan sakitnya. Alam akan menyembuhkan, kata ibuk. Anak-
anaknya jarang dibawa ke dokter karena biaya yang tidah murah.
Ketika Bayek sakit amandel atau Isa sesak napas, Ibuk baru membawa
mereka ke dokter. Ketika Bapak sakit dan tak ada uang setoran uang
belanja, Ibuk biasanya menggadaikan barang-barang di rumah, seperti
piring, cangkir, atau jariknya. Dapur harus terus mengepul. Anak-anak
harus makan (Setyawan, 2012:37).
Mun. Hari demi hari, Ibuk manabung untuk biaya sekolah kedua
anaknya, Isa dan Bayek. bapak semakin sering pulang larut malam.
Bapak jarang membawa nasi goreng merah (Setyawan, 2012:120-121).
kepedulian terhadap sesama. Saat Bapak sakit di rumah sakit, banyak juga
tetangga-tetangga yang datang menjenguk untuk mengetahui keadaan Bapak.
Seperti dalam kutipan berikut.
Tetangga dan teman-teman Bapak datang silih berganti menjenguknya di
jam-jam besuk. Buah dan kue-kue menumpuk di kamar. Ibuk akhirnya
membagi-bagikannya kepada perawat-perawat disana (Setyawan,
2012:260).
Dari kutipan di atas diceritakan keadaan keluarga Ibuk dimana saat itu
Ibuk sedang sakit. Karean Ibuk sakit, maka banyak sekali pekerjaan rumah yang
terbengkelai. Tetapi semua anggota keluarga Ibuk saling membantu untuk
menyelesaikan semua pekerjaan yang biasa Ibuk lakukan sendiri. Mereka semua
saling membagi tugas agar semua pekerjaan dapat terselesaikan, mulai dari Bapak,
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
115
anak-anaknya, sampai Mak Gini, Ibu Ibuk mendapatkan tugas untuk membantu
pekerjaan Ibuk. Sikap saling membantu selalu tertanam dalam keluarga Ibuk.
Seperti dalam kutipan berikut ini.
…Setelah beberapa kali menghidupkan mesin, ternyata tak menyala juga.
Ia memanggil Nani dan Ibuk untuk mendorong Colt T itu. Bayek dan Rini
ikut-ikutan mendorong mobil. Kira-kira enam sampai tujuh meter
mendorong, mesin mobil belum menyala juga. Akhirnya, Cak Gi, adik
Ibuk datang membantu. Mesin mobil akhirnya menyala setelah keluar
dari Gang Buntu. Mereka semua tertawa! Bapak terlihat menyala juga
(Setyawan, 2012:56).
Empat adik laki-laki Ibuk, Cak Gi, Cak Lus, Cak Yit, dan Cak Cocok
membantu banyak dalam pembangunan rumah ini. Bersama tiga tukang
bangunan, fondasi dikerjakan dalam waktu empat hari saja….tetangga-
tetangga ikut membantu ketika kita mulai memasang
genting…(Setyawan, 2012:78).
“Yek, Bapak kamu itu amalnya banyak. Satu hal yang nggak akan pernah
lupa. Bapakmu dulu pernah mengajari saya menyetir,”kata Lek Giono
sambil menarik napas panjang.
“Dia mengajari saya nyetir, sampai saya bisa narik angkot sendiri. Saat
itu, setelah berminggu-minggu narik angkot, saya nabrak mobil dan
hampir dipecat sama juragan. Bapakmu bilang, kalau Giono dipecat, saya
juga kaluar,”kata Lek Giono (Setyawan, 2012:274).
Dari kutipan di atas, diceritakan, Mbak Ati rekan Bayek dari Indonesia
yang juga bekerja di NYC, telah membantu Bayek yang saat itu diterima kerja di
NYC. Mbak Ati lah yang memperkenalkan Bayek pada kota New York. Dari
Bayek yang belum mengetahui apa-apa tentang NYC, Mbak Ati dengan senang
hati membimbinggnya disana.
3. Saling menghargai sesama manusia
Sikap saling menghargai sangat diperlukan dalam menjalani hidup di
dunia ini. Mengingat betapa majemuk masyarakat di seluruh dunia, mulai dari
agama, suku, ras, dan golongan, sikap saling toleransi sesama manusia sangat
menunjang dalam kehidupan sosial manusia. Dengan sikap saling menghargai dan
toleransi terhadap sesama, diharapkan akan tercipta kehidupan yang rukun dan
harmonis. Seperti pada kutipan berikut.
Bayek kembali ke ruang tamu sambil memegang sarung hijaunya. Bapak
melayani tamu-tamu. Berjabat tangan dan mengajak ngobrol setiap orang
yang datang. Tamu semakin banyak. Tidak disangka sama sekali akan
datang tamu sebanyak ini. Mereka datang karena Bapak dan Ibuk selalu
berusaha hadir ke setiap pesta nikahan atau khitanan
tetangga….(Setyawan, 2012:128).
Dari kutipan di atas diceritakan Mbok Pah memberi isyarat Tinah (Ibuk)
untuk menjabat tangan Sim (Bapak). Hal itu merupakan budaya orang Indonesia,
yakni setiap bertemu dengan rekan atau orang yang dikenal, sebisa mungkin harus
mengulurkan tangan untuk berjabat tangan. Hal itu merupakan budaya untuk
menghormati satu sama lain. Budaya ini masih berlaku dan dijunjung tinggi sampai
sekarang. selain itu, budaya masyarakat jawa yang ditampilkan dalam novel Ibuk,
antara lain menganggap perempuan yang sudah berusia 17 tahun agar segera menikah
supaya tidak menjadi perawan tua dan membuat selamatan untuk ucapan syukur atas
anugerah yang telah diterima. Seperti pada kutipan berikut.
“Nah, kamu sudah 17 tahun sekarang. Wis Perawan,” kata Mbok Pah
sembari memberikan teh hangat yang ia pesan dari warung sebelah. Uap
putih mengepul dari mulut gelas. “Perawan seusiamu sudah mulai berumah
tangga,” lanjutnya. “ kamu mau tah aku jodohin dengan Cak Ali. Dia sudah
punya kios sendiri buat jualan tempe, loh. Wis mateng wong-e.” (Setyawan,
2012:3)
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
118
Kutipan di atas menceritakan budaya orang jawa zaman dulu yang sampai
sekarang masih ada sebagian orang yang menganutnya. Tinah yang telah berusia 17
tahun diminta untuk segera menikah, karena zaman dulu, perempuan 17 tahun sudah
lumrah untuk menikah. Begitu juga dengan membuat selamatan unuk ucapan syukur
atas sesuatu yang telah diterima. Ibuk membuat selamatan karena ucapan syukurnya
Bapak dapat melewati masa-masa kritis sakitnya.
C. Pembahasan
1. Struktur Novel Ibuk Karya Iwan Setyawan
Unsur intrinsik yang terdapat dalam novel Ibuk karya Iwan Setyawan
antara lain: (1) tema, (2) penokohan, (3) alur, (4) latar, (5) sudut pandang. Unsur
intrinsik tersebut merupakan hal utama yang membangun cerita dalam novel.
a. Tema
Melalui cerita pengarang dan dialog-dialog yang dilontarkan oleh para
tokoh pada novel Ibuk, yang diangkat dengan tokoh Ibuk sebagai tokoh utama
dalam novel ini bertemakan kesederhanaan dalam keprihatinan dan kerja keras.
Keprihatinan dan kesederhanaan Ibuk dalam menjalani hidup sudah ia alami
semasa kecil. Saat itu ia tidak dapat menamatkan SD dan ikut neneknya berjualan
pakaian bekas di pasar. Saat beranjak dewasa dan memutuskan untuk menikah,
keluarga Ibuk masih sangat dipenuhi dengan keprihatinan dan kesederhanaan.
Kelima anak Ibuk mau tidak mau juga harus mengenyam keprihatinan dan
kesederhanaan yang sama. Mereka diajarkan hidup mandiri, disiplin, dan penuh
kerja keras. Usaha keras dan perjuangan keluarga mereka menuai sukses. Semua
anak Ibuk dapat lulus SMA bahkan melanjutkan di bangku kuliah dan ada yang
sampai S2. Tentu itu dengan perjuangan yang tidak mudah. Namun dengan kerja
keras yang dilakukan para tokoh, akhirnya semua tujuan dapat tercapai dan
sukses dapat diraih. Jadi, tema utama dalam novel Ibuk adalah sebuah
kesederhanaan, keprihatinan, dan kerja keras demi menatap masa depan yang
lebih baik. kesesuaian pendapat antara pengarang dengan penulis tentang tema
novel Ibuk sejalan dengan pendapat Waluyo (2002:24-25) yang mengemukakan
bahwa tema cerita bersifat objektif, lugas, dan khusus.
b. Penokohan
Terdapat delapan belas tokoh yang terlibat dalam penceritaan di novel
Ibuk, karya Iwan Setyawan. Namun dari sekian tokoh yang ada, tokoh sentral
atau tokoh utama hanya ada satu orang, yakni Tinah atau Ibuk. Tokoh ini sangat
mempengaruhi jalannya cerita. Ibuk adalah tokoh yang selalu ditampilkan di
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
122
setiap bagian cerita. Selain itu ada enam tokoh yang berperan sebagai tokoh
utama tambahan. Tokoh-tokoh tersebut yakni, Sim atau Bapak dan kelima
anaknya, Isa, Nani, Bayek, Rini dan Mira. Mereka juga sebagai tokoh penentu
jalannya cerita, namun keberadaannya tidak lebih penting dari tokoh Ibuk. Selain
itu ada sebelas tokoh tambahan yang mendukung jalannya cerita. Hampir semua
tokoh dalam novel Ibuk, berwatak protagonis. Hal tersebut sejalan dengan
pendapat Waluyo (2002:14) yang menyatakan bahwa tokoh sentral merupakan
tokoh yang paling menentukan jalannya cerita.
c. Alur
Alur merupakan rangkaian jalannya cerita. Dalam novel Ibuk alur
cerita disusun secara tidak teratur. Alur yang terjadi adalah alur campuran yakni
maju dan mundur. Pada awal penceritaan, alur berjalan teratur dan maju, namun
di tengah-tengah penceritaan, tokoh Ibuk kembali menceritakan kejadian yang
sudah lampau yaitu saat ia menceritakan bagaimana proses pembangunan
rumahnya dahulu kepada lima anaknya. Setelah cerita selesai, alur kembali
menuju alur maju sampai akhir cerita.
Penjabaran alur dalam novel Ibuk, meliputi lima tahap plot yang
menjalin sebuah cerita. Hal itu sependapat dengan Nurgiyantoro (2005:149-150)
yang membagi alur menjadi lima bagian yaitu: (1) tahap situation; (2) tahap
generating circimtances; (3) tahap rising action; (4) tahap climax; (5) tahap
denouement.
d. Latar/Setting
Latar yang dilukiskan dalam novel Ibuk, meliputi tiga latar yaitu latar
waktu, latar tempat dan latar sosial. Hal tersebut sesuai dengan pendapat
Nurgiyantoro (2005:227) yang membedakan latar ke dalam tiga unsur pokok
yaitu latar waktu, latar tempat, dan latar sosial. Latar tempat pada mulanya terjadi
di Kota Batu di jawa Timur dengan spesifikasi di pasar Batu, rumah Mbak Gik,
pasar malam, SD Ngaglik, pegadaian, kelurahan, rumah sakit, toko sepatu, hutan
bambu, pemakaman, Jakarta, Bogor di IPB, karawang, dan di NYC di kantor
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
123
Bayek, di apartemen, di jalanan kota. Latar waktu yang muncul antara lain pagi,
siang, sore, malam, tanggal, hari, minggu, bulan, tahun, musim, sebelum ayam
berkokok dan sehabis salat. Latar suasana yang ditampilkan yakni suasana khas
pedesaan zaman dulu yang penuh dengan kesederhanaan dan juga suasana
pedesaan di zaman masa kini.
e. Sudut Pandang
Sudut pandang dalam novel Ibuk menggunakan sudut pandang orang
ketiga diaan, pengarang sebagai tokoh sampingan, yakni orang yeng bercerita
dalam hal ini adalah tokoh sampingan yang menceritakan peristiwa yang
bertalian terutaman dengan tokoh utama cerita. Sesekali peristiwa dalam
penceritaan menyangkut dirinya sebagai pencerita. Cara penyampaiannya dengan
sapaan “Aku” dalam menceritakan bagian yang menyangkut tentang dirinya,
namun dalam novel ini tokoh aku tidak berinteraksi dengan tokoh lain, ia hanya
menunjukkan dirinya sebagai bagian dari salah satu tokoh yakni Bayek. pada
dasarnya tokoh aku sebagai orang ketiga yang mengamati peristiwa dari jauh
tentang tokoh utama cerita.
isyarat. Dalam novel Ibuk, ini ditemukan beberapa tanda itu seperti gelengan
kepala yang bermakna “tidak” atau “belum”, muka yang muram dan cemberut
yang bermakna kesal, juga sbuah jabatan tangan yang berarti penerimaan
seseorang terhadap orang lain.
Ikon dalan novel Ibuk, ini ditemukan dalam bentuk foto, yakni foto
Bayek. Foto merupakan ikon karena foto merupakan penanda yang serupa
dengan bentuk objeknya. Indeks merupakan sebuah tanda yang merupakan
sebab-akibat. Dalam novel Ibuk, ini ditemukan tanda indeks berupa asap yang
menandakan adanya api, dan sebuah uap yang menyerupai asap yang keluar dari
mulut yang menandai bahwa ada suhu udara yang begitu dingin. Simbol
ditemukan paling banyak, simbol kesedihan dan rasa haru ditandai dengan air
mata, simbol kebahagiaan ditandai dengan bunga dan cahaya, simbol yang
menunjukkan waktu ditandai dengan kokok ayam dan matahari, simbol
kegugupan ditandai dengan keringat dingin dan tarikan napas panjang, simbol
perpisahan ditandai dengan sebuah ciuman dan air mata, simbol usia yang sudah
tua ditandai dengan rambut yang penuh uban dan simbol kekecewaan yang
ditandai dengan tundukan kepala.
3. Nilai-Nilai Pendidikan dalam Novel Ibuk Karya Iwan Setyawan
a. Nilai Pendidikan Agama/Religius
Dalam novel Ibuk, nilai pendidikan yang dapat diambil yaitu
diajarkan untuk selalu berdoa, apapun keadaannya baik itu sedih gembira,
senang ataupun susah, selalu taat menjalankan perintah agama di manapun
kita berada, senantiasa bersyukur atas anugerah Tuhan, karena hanya dengan
pertolongan Tuhan, keselamatan hidup kita terjamin, dan juga berbakti pada
orang tua, karena bakti pada orang tua adalah salah satu cara menghormati
Tuhan.
b. Nilai Pendidikan Moral
Dalam novel Ibuk, nilai moral yang dapat dipetik yakni tentang
kesederhanaan, kesadaran diri, kerja keras, meminta restu pada orang tua,
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
125
keteguhan hati dan komitmen, tanggung jawab dan keprihatinan. Itu semua
merupakan perbuatan moral yang patut untuk dicontoh. Kesederhanaan sangat
penting diterapkan dalam masyarakat, dengan bersikap sederhana dan tidak
berlebihan, hidup akan menjadi lebih bersahaja. Kesadaran diri, kerja keras ,
keteguhan hati dan komitmen membuat kita belajar akan perjuangan untuk
menggapai tujuan dan sukses yang diinginkan dan membuat kita lebih
menjadi pribadi yang bertanggung jawab, dan yang paling utama adalah
meminta restu pada orang tua, karena orang tua adalah tumpuan bagi anak-
anaknya.
c. Nilai Pendidikan Sosial
Nilai pendidikan sosial yang dapat dipetik dalam novel Ibuk antara
lain adalah kepedulian terhadap sesama, saling membantu sesama manusia,
saling menghargai sesama manusia. Manusia adalah makluk sosial, sehingga
dalam menjalani hidupnya tidak dapat sendiri. Manusia selalu membutuhkan
bantuan orang lain. Saling membantu sesama manusia adalah salah satu
perbuatan yang mencerminkan sifat sosial sebagai manusia, dimana siapapun
saja dianjurkan untuk saling membantu, juga kepeduliah terhadap sesama.
Manusia harus mempunyai rasa kepedulian terhadap sesama, karena kita
hidup di dunia memang terdiri dari beragam suku, ras, agama, dan budaya,
dengan saling memahami, maka akan terhindar dari segala perselisihan dan
akan tercermin sikap saling menghargai sesama manusia.
d. Nilai Pendidikan Budaya
Nilai-nilai budaya daerah memang perlu untuk dilestarikan selagi
budaya itu baik dan tidak menyalahi aturan-aturan keagamaan. Nilai budaya
yang diangkat dalam novel ini yaitu budaya masyarakat jawa zaman dahulu
yaitu gadis yang berumur tujuh belas tahun harus segera menikan, namun saat
ini, agaknya budaya itu sudah tidak banyak yang menerapkan, dan hanya di
bagian-bagian daerah yang masih sangat primitif dan pandangan orang-orang
tertrntu. Selain itu adalah budaya selamatan yang dilakukan untuk mengucap
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
126
syukur karena telah mendapatkan anugerah dari Tuhan. Hal yang patut untuk
diteladani yakni kita harus selalu mengucap syukur atas segala anugerah yang
diberikan Tuhan.