Anda di halaman 1dari 82

library.uns.ac.id digilib.uns.ac.

id
45

BAB IV
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

A. Deskripsi Data
Meski terkesan datar, novel Ibuk, merupakan novel sederhana yang
menginspirasi bagi pembacanya. Tidak hanya menitikberatkan perjuangan seorang
ibu, tetapi juga perjuangan sebuah keluarga untuk terus berjuang tanpa mengenal
putus asa. Adalah Tinah yang kelak menjadi ibu yang luar biasa bagi kelima anaknya,
Isa, Nani, Bayek, Rini dan Mira. Bayek, anak laki satu-satunya dalam keluarga itu
kelak akan mengubah nasib. Tidak hanya nasib dirinya sendiri. Tapi juga nasib Ibuk,
Bapak, dan semua saudara perempuannya.
Bayek anak ketiga dari lima bersaudara, hasil perkawinan antara gadis desa
yang lugu si Tinah dan Sim sang playboy pasar. Tinah dan Sim berasal dari keluarga
yang sederhana. Karena cinta mereka yang kuat, mereka berani melakukan pelayaran
hidup bersama Isa, Nani, Bayek, Rini dan Mira. Tinah yang berperan sebagai Ibuk
selalu merelakan apapun demi kebahagian keluarga sederhana mereka. Begitu pula
dengan Bapak yang selalu gigih membanting tulang untuk menghidupi anak-anak dan
istrinya. Keluarga sederhana itu tidak pernah mengeluh atas kekurangan mereka.
Walaupun hanya dengan nasi goreng terasi, tempe dan empal seadanya, anak-anak
Ibuk terus tumbuh menjadi anak yang mandiri, pintar dan begitu memaknai arti
kehidupan mereka yang seadanya.
Waktu kecil, Ibuk berhenti sekolah karena jatuh sakit. Ibuk pun tak tamat
SD. Begitu pula dengan Bapak, Bapak hanya mengenyam pendidikan sampai SMP.
Hal ini membuat Ibuk bertekad untuk mengubah takdir anak-anaknya kelak. Ibuk
ingin anak-anaknya sekolah sampai jenjang yang lebih tinggi, sampai sarjana. Tidak
seperti kedua orangtua mereka yang berpendidikan rendah. Ibuk berusaha menjadi
yang terbaik untuk kelima anaknya. Ibuk selalu memasak di dapur kecil mereka tiap
hari. Suatu ketika, Ibuk memandang dapur rumah. Dapur ini penuh jelaga. Begitu
juga kehidupan, namun anak-anak Ibuk telah menerangi hidup Ibuk. Mereka adalah

45
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
46

harta Ibuk. Kini saatnya, semua yang keluar dari rahim Ibuk hidup bahagia tanpa
jelaga. Hingga di suatu pagi yang cerah, ketika matahari dengan hangat menyinari
bumi dan awan-awan tampak cantik di tempatnya, Ibuk bertemu dengan Mbah Carik.
Nenek tua yang dipercaya sebagai orang pintar. Mbah Carik melihat Bayek, anak
laki-laki Ibuk satu-satunya berjalan di belakang Ibuk seraya berkata “Nah, sabar,
sekarang hidupmu susah. Kelak anak lanangmu itu yang membahagiakan keluarga
kalian”.
Pekerjaan Bapak adalah menarik angkot. Dengan ketekunan Ibuk
menyisihkan uang, akhirnya keluarga Bayek dapat membeli angkot tua sendiri.
Namun, angkot tua itu ternyata mendatangkan kesusahan. Uang yang harusnya dapat
disetor Bapak untuk belanja Ibuk, malah habis untuk membetulkan kerusakan-
kerusakan yang terus muncul di angkot tua itu. Keadaan itu membuat Ibuk sedih dan
menangis sesenggukan. Melihat Ibuk seperti itu, Bayek pun berjanji kalau sudah
besar akan membahagiakannya, janji Bayek dalam hati.
Berkat kegigihan dan keuletan, anak-anak Ibuk terus maju mengenyam
pendidikan yang lebih tinggi, dengan bantuan sana-sini, pinjaman dari Bang Udin dan
keseriusan janji Ibuk mengantarkan Bayek pada langkah kesuksesan. Empat tahun
Bayek mengenyam pendidikan di IPB Bogor jurusan Statistika dengan beasiswa.
Setelah lulus, berkat doa Ibuk, Bayek bekerja di Jakarta selama tiga tahun. Doa Ibuk
mampu menguatkan keteguhan hati Bayek untuk terus melangkah maju tanpa
mengenal lelah. Hingga pada suatu hari, Bayek mendapatkan apresiasi atas kerjanya
selama ini. Tawaran bekerja di New York. Dengan restu keluarga Bayek di kampung,
Bayek melangkah menuju pelayaran hidupnya. Dia ingin membangun kebahagian
untuk dirinya dan keluarga tercintanya. Dan itu dia mulai dari New York.
New York memberikan banyak pelajaran untuk hidup Bayek. Manis pahit
kehidupan dia rasakan disana. Hingga pada akhirnya setelah 9 musim panas dan 10
musim dingin yang Bayek lalui disana, Bayek memutuskan untuk pulang ke
Indonesia. Sudah cukup dia membahagiakan keempat saudara perempuannya, Bapak
dan tak luput pula Ibuk yang selalu memberi semangat dalam perjalan hidup Bayek.
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
47

Tuhan Maha Adil. Kebahagiaan tidak akan sepenuhnya ada. Kesedihan itu datang
ketika Sabtu 4 Februari 2012 Bapak dipanggil Tuhan. Sungguh terpukul hati Ibuk,
perempuan tangguh itu sangat kehilangan. Kehilangan belahan jiwanya yang selama
40 tahun belakangan selalu menemani Ibuk membangun keluarganya dengan segala
suka duka. Perjalanan cinta yang sederhana namun kokoh. Cinta mereka yang tak
pernah luntur. Cinta Ibuk yang menyelamatkan keluarga. Demikianlah kisah yang
diceritakan dalam novel Ibuk,. Novel ini merupakan novel yang sangat menginspirasi
dan memotivasi.

B. Hasil Penelitian
1. Struktur Novel Ibuk, Karya Iwan Setyawan
a. Tema
Tema adalah gagasan pokok dan utama yang mendasari sebuah cerita.
Tema berperan sangat penting dalam sebuah cerita, karena tema merupakan latar
belakang sebuah penceritaan. Dari seluruh cerita pada novel Ibuk, karya Iwan
Setyawan ini permasalahan yang menonjol adalah tentang keprihatinan, kerja
keras dan sebuah kesederhanaan. Dari ketiga permasalahan yang menonjol
tersebut, menjadikan novel ini sebagai novel yang dapat menginspirasi dan
memotivasi, karena banyak hal-hal yang dapat diteladani di dalam novel ini.
Novel Ibuk, karya Iwan Setyawan ini bercerita tentang kehidupan
sebuah keluarga pada zaman dulu hingga masa sekarang. Diceritakan, Tinah,
seorang gadis kecil yang hidup sederhana bersama orang tua dan saudara-
saudaranya di Gang Buntu kota Batu di Jawa Timur. Tinah tidak dapat
menamatkan SD nya kerena menjelang ujian ia sakit. Kegiatannya sehari-hari
ikut berdagang baju bekas Mbok Pah, neneknya, di pasar Batu. Tinah diasuh oleh
Mbok Pah, sampai pada suatu hari, ia berkenalan dengan seorang kenek angkot.
Abdul Hasyim namanya atau akrab dipanggil Sim. Dengan bermodalkan cinta
dan keberanian mereka memutuskan untuk hidup berumah tangga. Kehidupan
rumah tangga mereka pada awalnya dipenuhi dengan lika-liku. Permasalahan
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
48

yang sering muncul yakni perekonomian rumah tangga. Sim yang hanya seorang
kenek angkot dan Tinah seorang ibu rumah tangga sering dibuat kewalahan oleh
kebutuhan-kebutuhan rumah tangga. Pada awalnya masih belum terasa, namun
setelah mereka mempunyai lima orang anak, yakni Isa, Nani, Bayek, Rini, dan
Mira, beratnya biaya hidup semakin dirasakan oleh mereka.
Permasalahan ekonomi rumah tangga itu semakin terasa ketika anak-
anak mereka menginjak usia sekolah. Bukan saja mengurus kebutuhan untuk
makan sehari-hari, tetapi mereka juga harus mulai memikirkan biaya sekolah.
Tak jarang untuk menutupi semua kebutuhan itu, Tinah yang belakangan
dipanggil dengan sebutan Ibuk, harus menggadaikan barang-barang yang ia
miliki, mulai dari cangkir, kain jarik sampai perhiasan, bahkan sampai meminjam
uang kepada tukang kredit barang-barang peralatan rumah tangga. Kehidupan
rumah tangga mereka dipenuhhi dengan keprihatinan. Hal itu dapat dilihat dari
kutipan berikut
“Yang penting, pastiin ada uang buat makan besok ya, Pak!” Kata Ibuk
selalu memastikan. Dari uang belanja ini, Ibuk berusaha untuk
menyisakan sebagian untuk membayar SPP dan keperluan sekolah.
Bapak terkadang juga memakai uang tabungan Ibuk untuk memperbaiki
angkot yang rusak atau ketika kena tilang polisi (Setyawan, 2012:46)

Buku baru. “Ah, kamu coba peke buku bekas kakakmu, Yek! Yang
penting besok bawa buku dulu. Buku baru nanti saja kalau ada rezeki,
ya. Insya Allah, Ibuk belikan di toko buku pelajar. Sabaro sik, Le.”
Sepatu jebol. “Nan, coba minta lem ke Bapakmu! Jik iso digawe iku!”
kata Ibuk sembari memeriksa sepatu Bata yang belum setahun dipakai
Nani (Setyawan, 2012:59).

Dari kutipan di atas, dapat dilihat betapa keluarga Ibuk dalam keadaan
yang sangat prihatin, namun dengan usaha yang keras, akhirnya Sim yang
belakangan dipanggil Bapak, dapat membeli angkot sendiri dari uang tabungan
yang dikumpulkan selama ini. Ia dapat menarik angkotnya sendiri.
Namun, permasalahan tidak sampai di situ saja. Angkot tua yang
mereka beli sering rusak. Setoran uang belanja untuk kebutuhan sehari-hari
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
49

sering tidak ada. Uang sekolah sering menunggak. Tetapi Ibuk selalu berusaha
untuk membuat dapur mengepul. Entah bagaimana caranya. Ibuk selalu
mempunyai cara untuk mengaturnya. Mulai dari menghemat sabun, shampoo, air
dan listrik. Anak-anak ibuk selalu diajarkan untuk disiplin dan hemat. Makan
sehari-hari juga dengan lauk yang seadanya. Kadang kalau ada rezeki lebih, bisa
makan enak.
Hidup keluarga Ibuk dipenuhi dengan perjuangan dan kerja keras.
Untungnya semua anak Bapak dan Ibuk rajin dan pintar. Keprihatinan tidak
hanya sampai di situ saja, sampai pada saat Bayek diterima kuliah di IPB Bogor,
Ibuk memutuskan untuk menjual angkot mereka yang saat itu sebagai sumber
nafkah keluarga. Hingga saat itu Bapak harus menjadi sopir truk. Tetapi itu
semua tidak memutuskan harapan mereka. Mereka terus berjuang dan bekerja
keras. Usaha keras mereka tidak sia-sia, setelah lulus dari IPB dengan IP yang
membanggakan, akhirnya Bayek diterima kerja di NYC. Inilah yang menjadi
sebuah awal keadaan perekonomian yang baru di keluarga Ibuk.
Semenjak Bayek bekerja di NYC, perekonomian keluarganya
berangsur-angsur membaik. Hutang-hutang tetangga untuk biaya kuliah Bayek
dapat Bayek ganti dengan uang gajinya. Selain membahagiakan kedua orang
tuanya, Bayek juga menyenangkan keempat saudaranya. Ia membantu kuliah
kakak dan adiknya. Membantu biaya pernikahan dan membelikan rumah untuk
saudaranya. Bukan itu saja, ia yang tak tega melihat Bapak menjadi supir truk,
membuatkan usaha kos untuk Bapak. Kerja keras Bayeklah yang telah membawa
perubahan di keluarganya. Keprihatinan dan kesederhanaan hidup merekalah
yang membawa mereka pada keadaan yang lebih baik.
Berdasarkan pernyataan di atas, dapat disimpulkan bahwa tema utama
novel Ibuk, karya Iwan Setyawan adala perjuangan dalam mengarungi hidup
yang tidak mudah, demi untuk mencapai impian dan cita-cita hidup yang lebih
baik dengan segenap keprihatinan dan kesederhanaan serta dengan kerja keras.
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
50

Pengalaman tokoh dalam novel ini mengajarkan bahwa segala sesuatu dapat kita
raih dengan perjuangan, keprihatinan, kerja keras dan tentunya dengan doa.

b. Tokoh dan Penokohan


Penokohan pada novel Ibuk, karya Iwan Setyawan meliputi tokoh
sentral dan tokoh tambahan. Terdapat delapan belas tokoh yang muncul dalam
novel Ibuk, karya Iwan Setyawan. Satu tokoh utama, enam tokoh utama
tambahan dan yang lainnya tokoh sampingan sebagai pendukung cerita. Tokoh
sentral atau tokoh utama dari novel ini adalah Ibuk, karena tokoh tersebut
mempunyai peran yang penting dalam cerita dan menentukan gerak tokoh lain,
sedangkan tokoh utama tambahan dalam novel ini adalah Bapak, Isa, Nani,
Bayek, Rini, dan Mira. Tokoh sampingan yang mendukung cerita yakni Mbok
Pah, Mak Gini, Bapak Mun, Mbak Gik, Cak Ali, Mbak Ati, Bang Udin, Mbah
Carik, Pak Lurah, Rachel, dan Lek Giono.
Tokoh-tokoh yang dimunculkan oleh pengarang dalam novel ini
sebagian besar dilukiskan secara eksplisit baik dari kondisi fisik maupun
psikisnya. Tokoh yang diciptakan pengarang hampir semua bersifat mendukung
cerita atau protagonis.
1. Tinah (Ibuk)
Ibuk adalah tokoh utama yang paling penting dalam cerita ini. Sosok
Ibuk dikenal sebagai perempuan yang lugu dan lembut. Hidupnya dipenuhi
dengan kesederhanaan. Hal itu dapat dilihat dari kutipan berikut.
Tinah tumbuh menjadi gadis lugu. Ia tidak banyak bergaul di pasar.
Rambut panjangnya diikat karet gelang. Tanpa poni. Anting-anting
emas kecil menggantung di telinga, memberikan sedikit kemewahan di
wajahnya yang sederhana (Setyawan, 2012:2).

Selain itu, Ibuk adalah perempuan pekerja keras dan rajin. Sebagai ibu
rumah tangga, ia tak pernah lelah untuk selalu mengurus keluarganya. Semua
pekerjaan rumah mulai dari memasak, mencuci, dan mengasuh kelima anaknya,
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
51

ia lakukan sendiri. Ia adalah pribadi yang tabah dalam menghadapi keadaan


keluarganya dalam hal ini adalah perekonomian yang selalu menghimpit. Hal itu
dapat dilihat dari kutipan berikut.
Ibuk sudah bangun dari jam 4 tadi pagi. Ia langsung menuju dapur,
mencuci piring kotor semalam, membuatkan kopi untuk Bapak, dan
mencuci pakaian di belakang rumah (Setyawan, 2012:40).

Setelah mengerjakan PR, baru mereka tidur siang. Jam 2 siang rumah
mereka sepi. Gang Buntu juga sepi. Ibuk masih sibuk di dapur. Selalu
ada yang ia kerjakan. Entah itu mencuci piring, menata peralatan dapur,
mengepel lantai dapur, membersihkan lemari, menyiapkan bumbu buat
masak besok, atau menyetrika baju. Isa menemani Mira yang tertidur di
kamar Ibuk. Setelah melihat lima anaknya sudah kenyang, melihat
mereka tidur siang, Ibuk baru menikmati makan siangnya (Setyawan,
2012:51).

Tokoh Ibuk juga merupakan tokoh yang religius. Ia selalu beribadah


(Sholat) dengan rajin dan juga mengaji. Ia juga selalu mengingatkan anak-
anaknya untuk rajin sholat dan berdoa. Hal itu dapat dilihat dari kutipan berikut.
Tiga tahun bayek di Jakarta. Tiga tahun sudah ia berusaha membangun
hidup baru. Tiga tahun penuh tantangan. Ibuk menjaga Bayek lewat doa
(Setyawan, 2012:143).

“Alhamdulillah, Le. Kamu hati-hati ya. Jangan lupa salat,” pesan Ibuk
(Setyawan, 2012:161)

Dari kutipan-kutipan di atas, dapat disimpulkan tokoh Ibuk mempunyai


watak yang lembut, keibuan, rajin bekerja mengurus keluarga, dan pekerja keras.
2. Sim (Bapak)
Sim adalah adalah seorang pemuda berumur 23 tahun. Semenjak putus
SMP, Sim menjadi kenek angkot. Ia digambarkan sebagai tokoh yang playboy. Ia
dikenal punya banyak pacar. Saat berpacaran dengan anak juragan angkotnya, ia
dengan beraninya mendekati Tinah. Hal itu dapat dilihat dari kutipan berikut.
Namun malam harinya, ya, malam harinya, entah darimana Sim
mendapatkan alamat Tinah, playboy pasar bernama lengkap Abdul
Hasyim itu mengetuk rumah Mbok Pah. Padahal saat itu ia sudah punya
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
52

pacar di Malang! Namanya Suci, dan ia bukan pacar pertama. Betapa


beraninya! Betapa nekatnya! (Setyawan, 2012:7).
Sejak kecil. Sim diasuh oleh orang tua angkatnya di Malang. Ia belum
pernah melihat orang tua kandungnya di Jogja. Semenjak orang tua angkatnya
meninggal, Sim tinggal bersama kakak angkatnya ia tidak dapat menamatkan
SMP nya dan bekerja menjadi sopir angkot dengan kakak iparnya. Hal itu dapat
dilihat dalam kutipan berikut.
Sim belum pernah melihat wajah orang tua kandungnya yang tinggal di
Yogya. Ketika berumur 3 bulan Sim diasuh oleh saudara bapaknya di
Malang. Ketika kelas dua SMP, orang tua angkatnya meninggal dunia.
Sim tak bisa meneruskan sekolah lagi. Semenjak itu ia menjadi kenek
angkot untuk menghidupi dirinya. Di usia yang masih belia, Sim sudah
mencari makan sendiri, sudah mandiri (Setyawan, 2012:10).

Sifat playboy Sim ternyata juga diberengi dengan rasa tanggung jawab
yang tinggi. Semenjak memutuskan untuk menikahi Tinah, Sim menjadi suami
yang penuh tanggung jawab bagi keluarganya. Semenjak anak-anaknya lahir,
tanggung jawab Sim sebagai bapak semakin besar. Ia juga merupakan suami
yang penuh kerja keras. Pekerjaannya sebagai sopir angkot membuatnya harus
bekerja banting tulang mencari rupiah untuk keluarganya. Berangkat pagi-pagi
buta dan pulang larut malam telah menjadi kebiasaannya setiap hari. Hal itu
dapat dilihat dalam kutipan berikut.
Sebelum ayam berkokok, Bapak sudah terbangun. Ia masih mengenakan
baju yang dipakai tadi malam. Sandal jepit swallow warna biru tua
menanti di depan pintu rumahnya. Ia segera menghidupkan mesin
mobil.
Pukul 10 Bapak kembali kerumah. Tak seperti biasanya. “Nah, ini
segera ke sekolah Bayek. Bayar uang buku dan minta rapornya,” kata
Bapak. Ia menyerahkan beberapa lembar uang lima ratusan dan seribuan
yang ia kumpulkan sejak pagi (Setyawan, 2012:69).

Jam 11 malam Bapak masih di jalan. Bapak belum pulang


Jam 11.30 malam, Ibuk terbangun dan menyusui Mira. Bapak belum
pulang juga. Makan malam sudah disiapkan Ibuk di atas meja marmer
semenjak jam 8 tadi. Nasi di bakul warna putih sudah dingin. Ibuk
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
53

menengok jam dinding satu-satunya di ruang tamu dan kembali tidur


(Setyawan, 2012:109).

Di hari pertama kerja, Bayek mengingat Bapak yang tak pernah berhenti
berjuang dalam hidup. Berpuluh-puluh tahun Bapak menelusuri jalanan
untuk menghidupi keluarga. Ia tidak pernah berhenti. Ia tidak pernah
menyerah. Terus berjuang untuk anak-anak dan keluarga. Tidak lulus
SMP, beliau menjadi kenek angkot. Setelah menjadi kenek angkot,
Bapak ingin menjadi sopir angkot. Menjadi sopir angkot untuk orang
lain saja tidak cukup, Bapak mencoba menabung untuk membeli angkot
bekas. Ia tidak pernah berhenti berjuang menghidupi kelima anaknya.
Dengan apa pun yang ia miliki. Hidup Bapak penuh dengan gelombang
besar. Tidak mudah, tapi Bapak selalu memikul tanggung jawab dengan
berani (Setyawan, 2012:141).

Bapak adalah seorang ayah yang penuh tanggung jawab. Ia adalah


pejuang keluarga. Ia juga sangat mencintai semua anak-anaknya dan juga cucu-
cucunya. Hal itu dapat dilihat dalam kutipan berikut.
Bapak juga yang mengantar-jemput cucu-cucunya ke sekolah. Bapak
bisa bolak-balik sampai lima-enam kali dari Gang Buntu ke sekolah.
Ketika pembantu di salah satu rumah anaknya sedang libur, Bapaklah
yang membantu memandikan dan menyiapkan sarapan untuk cucu-
cucunya. Ibu mereka harus berangkat kerja di pagi hari. Bapak selalu
bangun sebelum azan subuh berkumandang dan membersihkan rumah.
Ia kemudian jalan pagi bersama Ibuk. Tiap bulan, Bapak mengurusi
tagihan listrik, air, internet di semua rumah anak-anaknya. Ia juga yang
selalu siap siaga ketika ada atap yang bocor, tabung LPG yang sudah
kosong, membeli susu buat cucu, membuang sampah, atau
menghijaukan taman di rumah anak-anaknya (Setyawan, 2012:242-
243).

Dari kutipan-kutipan di atas, dapat disimpulkan bahwa sifat tokoh


Bapak adalah seorang yang tangguh, bertanggung jawab, pekerja keras dan
penyayang.
3. Isa
Isa adalah anak perempuan pertama Bapak dan Ibuk. Ia adalah gadis
kecil yang baik. Perawakannya mirip dengan Ibuk. Isa adalah gadis yang pintar.
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
54

Ia sering menjadi guru les bagi adik-adiknya. Ia sangat rajin belajar. Hal itu dapat
dilihat dari kutipan berikut.
Setelah makan siang, Isa langsung mengerjakan PR dan mempersiapkan
buku-buku untuk pelajaran besok. Nani dan Bayek mengikuti kebiasaan
ini (Setyawan, 2012:51).

Tak banyak yang mereka lalukan di ruang tamu. Isa mengerjakan PR


dengan tekun. Adik-adiknya kadang mengerubutinya. Mereka ingin tahu
apa dan bagaimana Isa mengerjakan PR-nya (Setyawan, 2012:74).

Isa adalah gadis yang rajin. Setiap hari ia membantu Ibuk


menyelesaikan pekerjaan rumah tangga. Ia adalah gadis yang pekerja keras. Hal
itu dapat dilihat dari kutipan berikut.
Setengah jam setelah Bayek dan Rini menghabiskan makan siang, Nani
dan Isa pulang dari sekolah. Seperti biasa, Nani membersihkan rumah
dulu. Ia menyapu lantai dan mengepel. Isa membersihkan kaca jendela
dan meja kaca kecil di ruang tamu (Setyawan, 2012:50).

Isa juga merupakan anak yang sangat berbakti pada orang tuanya. Ia
sangat mencintai kedua orang tuanya. Seiring bertambahnya umur, sifat
kedewasaannya semakin terlihat. Tamat SMA, Isa tidak langsung kuliah, Ia
bekerja sebagai guru les untuk membantu biaya hidup keluarga dan sekolah adik-
adiknya.
Dari berbagai kutipan di atas, dapat disimpulkan Isa adalah anak yang
rajin dan pekerja keras. Ia juga gadis yang pandai. Ia sangat berbakti dan
menyayangi orang tuanya. Ia juga peduli terhadap adik-adiknya.
4. Nani
Nani adalah anak perempuan kedua Bapak dan Ibuk. Sama halnya
dengan Isa, Nani juga merupakan gadis yang rajin dan pekerja keras. Ia juga anak
yang sangat pintar. Hal itu dapat dilihat dalam kutipan berikut.
Cahaya mulai menerangi rumah Ibuk. Isa masih memberikan les privat.
Rini bekerja membantu adik Ibuk yang menjadi bidan desa. Nani
bahkan bisa melanjutkan S2 (Setyawan 2012:140)
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
55

Nani mulai belajar berdagang. Ia menjual pisang goreng, keripik atau


Citos di sekolah…(Setyawan, 2012:118)

Dari kutipan di atas, Nani adalah seorang gadis yang pandai dan juga
pekerja keras. Nani adalah gadis yang berbakti pada orang tuanya. Ia sangat rajin
membantu Ibuk menyelesaikan pekerjaan rumah tangga. Ia adalah anak yang
tangguh. Hal itu dapat dilihat dalam kutipan berikut.
Bayek dan Rini bermain dengan Mira. Nani, anak Ibuk yang paling
gagah, membersihkan got di depan rumah di tengah hujan deras. Nani
mengepel lantai rumah, bocoran air hujan membuat rumah becek
(Setyawan, 2012:74-75).

Nani adalah anak yang rajin membatu Ibuk. Dari kutipan-kutipan di atas
dapat disimpulkan, Nani adalah anak yang rajin juga pintar. Ia juga anak yang
berbakti pada orang tuanya.
5. Bayek
Bayek adalah anak laki-laki satu-satunya dalam keluarga Bapak dan
Ibuk. Sebagai anak laki-laki, semasa kecilnya Bayek dapat dibilang cukup manja.
Ia juga anak yang penyendiri di sekolahnya. Ia tidak bisa jauh dari keluarganya.
Hal itu dapat dilihat dalam kutipan berikut.
Bayek anak penyendiri. Ia selalu merasa takut akan dunia di luar sana.
Rumahnya begitu nyaman. Ia merasa terlindung oleh kehangatan
saudara dan orangtuanya. Rini malah sudah bisa ditinggal Ibuk di kelas
(Setyawan, 2012:43).

Bayek masih belum bisa bermain dengan teman-teman barunya. Ia


masih ingin menempel dengan Ibuk. Jam 9 pagi, Ibuk meninggalkan
Bayek sejenak dan menjemput Rini. Jarak sekolah Bayek dan TK Rini
hanya lima menit jalan kaki. Kadang Bayek merengek keluar kelas dan
ikut Ibuk menjemput Rini. Baru sekitar jam 10, mereka meninggalkan
areal sekolah (Setyawan, 2012:44).

Begitulah Bayek. Tak hanya malam itu saja ia merengek minta


dibelikan sepatu baru. Siang pulang sekolah, bangun tidur di sore hari,
malam hari sebelim tidur, dan begitu lagi besoknya. Tiga minggu sudah
Bayek meminta sepatu baru. Tiga minggu pula Ibuk harus bersabar
menghadapi permintaan Bayek (Setyawan, 2012:92).
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
56

Di Bogor Bayek berjuang melawan rasa takut, rasa kangen akan rumah
kecil di gang Buntu. Hampir setiap hari Bayek menelepon Ibuk. Ibuk
selalu meguatkannya. Seminggu di Bogor, Bayek bahkan sudah sangat
ingin pulang (Setyawan, 2012:134).

Dari kutipan di atas, kita tahu bahwa Bayek adalah anak yang sedikit
manja dan tidak bisa berpisah lama dari orang tuanya, terutama Ibuk. Bayek
adalah anak yang rajin. Ia sering membantu mengerjakan pekerjaan rumah. Ia
juga anak yang pandai. Ia selalu mendapat rangking yang baik. Bahkan saat
kuliah di IPB Bogor, ia lulus dengan IPK yang bagus dan merupakan lulusan
terbaik. Dalam dunia kerja, Bayek juga sering mendapat penghargaan di
kantornya. Hal itu dapat dilihat dalam kutipan berikut.
Bayek melewati tahun pertama di SMP Negeri 1 Batu dengan lancar. Ia
bahkan meraih ranking 1 di semester 2. Tubuh Bayek masih sekecil
waktu kelas 6 SD. Seragamnya terlihat kebesaran. Ia masih penyendiri,
masih penakut. Masih selalu merengek kalau minta apa-apa, apalagi
buku (Setyawan, 2012:125).

Ini sudah menjadi kebiasaan Bayek setiap pulang sekolah. Ia langsung


menyapu ruang tamu, mengepel lantai, dan mengelap kaca jendela.
Bayek tidak akan menyentuh makan siang sebelum semua terlihat
bersih. Berkilau. Bayek meniru kebiasaan Isa dan Nani (Setyawan,
2012:87).

Sewaktu wisuda, Bayek memberi kejutan kepada Ibuk dan Isa yang
datang ke Bogor untuk menghadiri upacara wisudanya. Upacara
kemenangan atas perjuangan empat tahun keluarganya. Ibuk terlihat
bangga sekali melihat Bayek memakai baju toga. Tak disangka, anak
lelaki satu-satunya yang di tahun pertama dulu sudah ingin kembali ke
Batu sekarang menjadi sarjana.
“Dan, lulusan terbaik dari jurusan MIPA, Bayek Setyawan dari jurusan
Statistika dengan IPK 3.52”! seru pembawa acara memanggil Bayek
(Setyawan, 2012:136).

Di bulan keempat Bayek mendapat kejutan. Ia menerima penghargaan


“Employee of the Month” di rapat mingguan bersama semua rekan
sekantornya. Di Indonesia dulu ia pernah mendapat penghargaan yang
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
57

sama, setelah dua tahun bekerja. Malam itu juga Bayek menelepon Ibuk
dan membagikan kabar gembiranya (Setyawan, 2012:152).

Kutipan di atas menujukkan Bayek adalah anak yang pandai dan


berprestai di sekolah maupun dalam pekerjaan, ia juga anak yang rajin. Bayek
juga sangat berbakti pada orang tuanya dan sangat menyayangi semua
keluarganya. Semenjak lulus kuliah, ia diterima bekerja di Jakarta. Setelah itu
perjalanan karirnya dilanjutkan ke NYC. Ini adalah awal kesuksesannya. Ia
adalah anak yang pekerja keras. Ia melalukan itu semua untuk membahagiakan
keluarga-keluarganya. Dengan gajinya ia berusaha untuk membahagiakan kedua
orang tuanya dan saudara-saudaranya. Dengan kerja kerasnya, Bayek
mendapatkan jabatan yang bagus di kantornya. Hal itu dapat dilihat dalam
kutipan berikut.
Malu kalau aku tak bisa bekerja keras seperti Bapak. Malu kalau aku
tidak bisa membahagiakan beliau kelak, janji Bayek untuk Bapaknya.
Bayek bertekad untuk maju. Ia tak keberatan bekerja lebih lama dari
rekan kerja lain. Kadang Bayek lembur sampai jam 10 bahkan jam 2
pagi. Bayek juga sering bekerja di akhir pekan dan membaca buku
Statistika lagi (Setyawan, 2012:142).

“Buk, aku sudah nabung banyak. Kebetulan, bonus juga lumayan tahun
ini. Bosku apik, Buk. Aku barusan transfer buat bangun rumah kita,
Buk.” (Setyawan, 2012:175).

Setelah satu setengah tahun di SoHo, Bayek berpikir untuk kembali ke


Indonesia dan bekerja di Jakarta atau Singapura. Tapi ia juga berpikir,
misinya belum selesai. Tiba-tiba sebuah kejutan datang dari atasannya.
Sesuatu yang besar dalam perjalanan karirnya. Bayek dipromosikan
menjadi Director Internal Client Management (Setyawan, 2012:218).

Dari kutipandi atas, dijelaskan Bayek adalah pekerja keras, ia tidak


mudah menyerah, ia juga selalu berusaha untuk membahagiakan Ibuknya. Beyek
juga sangat religius. Sebagai orang Islam, ia termasuk muslim yang taat. Ia selalu
menjalankan perintah agama dan taat beribadah. hal itu dapat dilihat dalam
kutipan berikut.
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
58

Air mata Bayek meleleh setelah salat Isya. Terlintas bayangan orang-
orang yang terjebak dalam gedung saat pesawat menabrak (Setyawan,
2012:158).

Dari kutipan-kutipan di atas, dapat disimpulkan bahwa Bayek semasa


kecilnya mempunyai sifat yang manja, namun ia juga anak yang rajin dan pandai.
Ia adalah pekerja keras dan seorang yang religius.
6. Rini
Rini adalah anak perempuan keempat Bapak dan Ibuk. Sama halnya
dengan kakak-kakaknya, ia juga anak yang rajin dan pintar. Ia juga anak yang
sangat berbakti pada orang tuanya. Rini adalah anak yang sangat mencintai
kedua orang tuanya. Hal itu dapat dilihat dalam kutipan berikut.
Air mata Ibuk tumpah ketika mencium pipi suaminya. Air matanya
menetes di pipi Bapak. Isa mencium Bapak dan memeluknya. Demikian
juga Nani, Rini, dan semua cucunya. Mereka semua terisak-isak. Rini
memeluk kaki Bapak erat.
“Rin, kamu jangan nangis, Kamu pulang dulu Rin,” ucap pelan Bapak
sambil melempar tisu ke Rini. Rini sesenggukan, pergi ke luar kamar
(Setyawan, 2012:268).

“Kamu coba cari tiket yang paling pagi, Yek. Bapak sudah kritis ini,”
kata Nani mencoba menenangkan Bayek. Jerit tangis Rini terdengar
memanggil-manggil Bapak. Bayek kini tahu, Bapaknya telah berpulang.
Ia segera berangkat ke bandara, jam 4 pagi (Setyawan, 2012:273).

Dari kutipan di atas terlihat Rini adalah anak yang sangat mencintai
Bapaknya. Ia tidak tega melihat Bapaknya dalam keadaan sakit sehingga ia selalu
meneteskan air mata jika melihat Bapak. Apalagi saat Bapak berpulang, Rini
adalah anak yang sulit untuk tabah. Ia bahkan menangis menjerit-jerit karena
merasa sangat kehilangan Bapaknya.
7. Mira
Mira adalah anak perempuan kelima Bapak dan Ibuk. Sebagai anak
terakhir, Mira bukanlah gadis yang manja. Sama halnya dngan kakak-kakaknya,
Mira juga merupakan gadis yang rajin dan pekerja keras. Hal itu dapat dilihat
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
59

dalam kutipan berikut. Mira adalah gadis yang pintar. Ia juga gadis yang sangat
berbakti dan menyayangi orang tuanya. Saat Mira menikah, ia tinggal jauh dari
orang tua yakni di Karawang mengikuti suaminya. Walaupun jauh dari orang tua,
Mira selelu menyempatkan telepon ke rumah. Hal itu dapat dilihat dalam kutipan
berikut.
Sudah menjadi kebiasaan anak-anak Ibuk selalu meminta doa. Isa dan
adik-adiknya baru berangkat ke sekolah setelah Ibuk menjawab, iya,
Ibuk doakan, semoga semua bisa mengerjakan ujian dengan lancar.
Semua dapat nilai bagus (Setyawan, 2012:131).

Dua cucu Ibuk, anak Mira, tinggal di karawang. Hampir setiap hari
mereka menelepon Ibuk dan Bapak. Kadang, Arti, cucu yang paling
kecil, masih belum setahun, hanya bisa merengek di telepon. Ibuk dan
Bapak kadang mengunjungi mereka meskipun tak sering (Setyawan,
2012:245).

Kutipan di atas menunjukkan Mira adalah anak yang berbakti pada


orang tuanya. Dari kutipan-kutipan di atas, dapat diambil kesimpulan Mira
adalah gadis yang rajin, pekerja keras, dan juga pandai. Ia juga gadis yang sangat
berbakti pada orang tuanya.
8. Mbok Pah
Mbok Pah adalah nenek Ibuk. Ia yang mengasuh Ibuk semenjak putus
sekolah. Sehari-hari pekerjaan Mbok Pah adalah sebagai pedagang baju bekas di
pasar Batu. Mbok Pah sangat peduli dan sayang terhadap Tinah. Hal itu dapat
dilihat dari kutipan berikut.
“Nah, entar kalau kamu sudah gede, kamu yang ngurus kios kecil ini
ya,” kata Mbok Pah.
Tinah hanya diam. Ia tak tahu harus menjawab apa. Mbok Pah
mengajarinya mulai dari cara membuka kios, melipat baju, sampai tawar
menawar (Setyawan, 2012:2).

“Nah, ini ada sedikit rezeki buat membantu pernikahanmu nanti,” kata
Mbok Pah yang tergeletak lemas di dipan kayu. “sebentar lagi kamu
akan menikah, Nah. Doakan Mbok bisa menemanimu,” mata Mbok Pah
menatap Tinah dalam-dalam.
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
60

Itulah pesan terakhir Mbok Pah. Ia tak lagi bisa mengucapkan sepatah
kata pun. Kondisinya semakin lemah. Mbok Pah meninggal seminggu
kemudian (Setyawan, 2012:24).

Mbok Pah adalah nenek yang perhatian terhadap cucunya. Sakit pun ia
masih memikirkan masa depan cucunya. Dari kutipan di atas, terlihat Mbok Pah
adalah nenek yang sangat peduli dengan cucunya. Bahkan di sakit kerasnya ia
masih sangat peduli dengan Tinah dan memikirkan masa depan Tinah.
9. Mak Gini
Mak Gini adalah ibu dari Tinah (Ibuk). Sehari-hari Mak Gini bekerja di
pegadaian. Ia adalah ibu yang baik. Ia peduli dengan anak-anaknya dan selalu
giat bekerja untuk menghidupi keluarga dan anak-anaknya. Hal itu dapat dilihat
dari kutipan berikut.
Ketika itu Ibuk hanya melihat bagaimana Mak Gini membesarkannya
dan saudara-saudaranya. Mak Gini menyusui semua anaknya dengan air
susunya sendiri, memasak tiap pagi, dan memastikan anaknya tidak
kelaparan. Mak Gini pun bekerja untuk menambah nafkah keluarga.
Hidup begitu sederhana. Mereka makan bersama di dapur berlantai
tanah, di depan tungku perapian yang menjadi tempat memasak, juga
untuk menghangatkan diri dari udara dingin Kota Batu. Di dapur inilah
kebersamaan itu tumbuh. Rezeki yang didapat hari ini untuk makan
besok. Kalau kurang, Mak Gini menjual atau menggadaikan barangnya.
Mak Gini menjauhi hutang (Setyawan, 2012:29-30).

Dari kutipan di atas, dapat disimpulkan Mak Gini adalah Ibu yang
bertanggung jawab pada anak dan keluarganya. Sebagai ibu, ia juga masih
bekerja membantu suaminya untuk mencari nafkah bagi keluarga. Mak Gini
adalah perempuan tangguh dan ulet.
10. Bapak Mun
Bapak Mun, adalah suami Mak Gini. Ia adalah ayah Ibuk. Sehari-hari
pekerjaannya sebagai tukang reparasi jam di pasar Batu. Ia adalah kakek yang
sangat menyayangi cucu-cucunya. Hal itu dapat dilihat dari kutipan berikut.
Nani dan Isa berdiri di depan pintu dapur. Kedua cucunya ini lebih
mengerti dari pada Bayek dan Rini. Bapak Mun yang rambutnya telah
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
61

dipenuhi uban baru bisa menikmati makan siangnya setelah


membagikan uang jajan kepada cucu-cucunya. Setelah makan siang, ia
menghabiskan sore hari di ruang tamu. Di malam hari Bapak Mun
menikmati kesendirian di kursi rotan, tenggelam dalam keheningan
malam (Setyawan, 2012:114).

Bapak Mun selalu memberi jatah jajan pada cucu-cucunya. Meskipun


tak banyak, namun itu membuat cucu-cucunya merasa senang. Dari kutipan di
atas dapat disimpulkan bahwa Bapak Mun adalah kakek yang menyayangi cucu-
cucunya. Ia selalu memberikan jatah uang jajan untuk semua cucu-cucunya.
11. Cak Ali
Cak Ali adalah penjual tempe di pasar batu. Kios tempenya di pasar batu
berdekatan dengan kios baju bekas Mbok Pah. Dari sinilah tumbuh kesukaan Cak
Ali pada Tinah (Ibuk). Cak Ali adalah orang yank baik, hal itu dapat dilihat dari
kutipan berikut.
Di sebelah kios Mbok Pah ada penjual tempe, Cak Ali namanya.
Matanya tak pernah terlepas dari Tinah. Ia sering memberi tempe untuk
Tinah sebelum menutup kiosnya. Tinah kadang membawakan sarapan
untuk Cak Ali. Tempe goreng atau sambal goreng tempe masakannya.
Tapi Tinah pemalu, ia jarang sekali berbincang dengan pemuda itu. Ia
selalu tenggelam di balik tumpukan baju dagangan Mbok Pah hingga
sore hari. Makan siang pun di balik tumpukan baju itu. Cak Ali pernah
menawarkan untuk mengantar Tinah pulang dengan sepeda pancalnya,
tapi Tinah memilih pulang berjalan kaki dengan Mbok Pah (Setyawan,
2012:3).

Sim tak lagi menemui Suci, anak juragannya di Malang. Kini ada gadis
desa lugu yang selalu menghangatkan dan menyegarkan hidup Sim yang
sendiri. Cak Ali masih sering memberi tempe kepada Tinah maskipun ia
tahu, sang playboy pasar telah memenangkan hati Tinah (Setyawan,
2012:15).

Dari kutipan-kutipan di atas dapat disimpulkan Cak Ali adalah orang


yang baik. ia selalu memberi Tinah tempe, kerena ia menyukai Tinah. Ia tidak
merasa sakit hati walaupun pada akhirnya Tinah lebih memilih Sim, sang
playboy pasar. Cak Ali tetap bersikap baik padanya.
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
62

12. Mbak Gik


Mbak Gik adalah kakak angkat Sim (Bapak). Semenjak orang tua
angkat Bapak meninggal, Bapak tinggal dengan Mbak Gik. Mbak Gik adalah
orang yang baik. Seusai Bapak menikah dengan Ibuk, Mbak Gik mengizinkan
mereka untuk sementara menumpang di rumahnya, Mbak Gik juga sering
memberikan nasihat pada Sim, hal itu dapat dilihat dalam kutipan berikut.
“Aku tinggal di jalan Darsono, Desa Ngaglik. Sama kakak angkatku,
Mbak Gik. Baru empat tahun ini. Sebelumnya aku di Malang, ikut orang
tua angkat. Setelah mereka meninggal, baru ikut kakak angkat di Batu,”
jelas Sim (Setyawan, 2012:9).

Hari demi hari, Sim berusaha membulatkan tekadnya. Ia ingin segera


menanyakan Ngatinah kepada keluarganya. Ia ingin meminang Tinah.
Orangtua kandung Sim jauh di Yogya dan ia sendiri belum pernah
bertemu mereka. Sementara, orang tua angkatnya yang tinggal di
Malang telah tiada. Sim hanya bisa meminta tolong kepada kakak
angkatnya, Mbak Gik.
“Sim, orang berumah tangga itu nggak gampang. Kamu sudah siap tah
punya istri dan anak kelak? Kamu kan baru saja bisa narik angkot
sendiri?” Tanya Mbak Gik.
“Si Ngatinah iki wonge apikan. Gak macem-macem. Bisa hidup susah
seperti aku,” jawab Sim.
“Lah! Ya jangan sampai diajak hidup susah Sim…,” timpal Mbak Gik
(Setyawan, 2012:23).

Dari kutipan-kutipan di atas dapat disimpulkan bahwa Mbak Gik adalah


orang yang baik. ia suka menolong terhadap sesama. Ia juga sering menasihati
hal-hal yang baik pada Sim. Walaupun sebagai kakak tiri, tapi Mbak Gik juga
menganggap Sim sebagai adik kandungnya sendiri.
13. Mbak Ati
Mbak Ati adalah rekan Bayek yang tinggal di NYC. Ia jugalah yang
membantu Bayek saat awal-awal kedatangannya di NYC. Mbak Ati memberikan
tumpangan di apartemennya. Ia membantu Bayek dalam segala hal, mulai dari
berbelanja dan mengantarkannya jalan-jalan di kota yang asing bagi Bayek. hal
itu dapat dilihat dalam kutipan berikut.
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
63

Dari ruang tamu apartemen yang dia tumpangi inilah Bayek memulai
hidup baru. Mbak Ati, yang membuka jalan Bayek di Amerika,
memperkenalkan kehidupan di New York mulai dari grocery shopping
sampai jadi tourist guide selama beberapa bulan pertama. Mbak Ati juga
yang membimbing Bayek memulai karirnya di sana (Setyawan,
2012:148).

Dari kutipan di atas dapat disimpulkan bahwa Mbak Ati adalah orang
yang baik, ia suka menolong. Ia membimbing Bayek, rekannya untuk
menemukan karir di negeri yang asing bagi Bayek. ia juga memberikan
apartemennya untuk Bayek dapat menginap.
14. Pak Lurah
Dalam novel ini, pak lurah diceritakan sebagai orang yang tegas. ia
bahkan tidak segan-segan menegur warganya yang tidak menjalankan tugas
dengan baik. hal itu dapat dilihat dalam kutipan berikut.
“Wah, saya tidak bisa tanda tangani ini, Bu,” kata Pak Lurah singkat
setelah melihat semua surat pengantar.
“Loh, bukanya semua sudah lengkap, Pak,” jawab Ibuk. Ketiga anaknya
diam menunggu di depan kantor.
“Begini. Saya dengar ketua RT di sana, Pak Hasyim, suami Ibu, tidak
melaksanakan tugas sebagai ketua RT sebagaimana mestinya,” kata Pak
Lurah Berkopiah hitam.
“Pak, suami saya mesti kerja narik angkot siang malam. Ia hanya bisa
mengurusi kampung setelah bekerja. Gotong royong masih rutin.
Pengajian juga masih jalan,” balas Ibuk dengan tegas.
“Harusnya, Pak Hasyim lebih bisa mengurusi kampungnya,” kilah Pak
Lurah.
…..
“Lain kali, Pak Hasyim mesti melaksanakan tugasnya dengan benar ya
Bu,” kata Pak Lurah sambil membubuhkan tanda tangan dan kemudian
stempel kelurahan.

Dari kutipan di atas dapat disimpulkan bawa Pak Lurah adalah orang
yang sangat tegas. Semua warganya harus menjalankan tugas dengan baik, tidak
peduli latar belakangnya apa. Namun, dibalik ketegasannya, beliau juga orang
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
64

yang baik karena tetap mau memberikan tanda tangannya untuk surat keterangan
yang akan digunakan untuk keringanan biaya SPP.
15. Rachel
Rachel adalah rekan kerja Bayek di NYC. Ia berasal dari Thailand.
Rachel sangat dekat dengan Bayek. Mereka sering menghabiskan waktu istirahat
dengan makan siang bersama. Rachel adalah orang yang baik. Ia sering memberi
nasihat pada Bayek. Hal itu dalap dilihat dalam kutipan berikut.
Siang hari, Bayek dan Rachel makan siang di restoran Korea di Mercer
Street yang terletak satu blok di sebelah gedung kantor mereka. Mereka
sering makan siang di tempat kecil ini sambil membicarakan keluarga
masing-masing, kehidupan di Manhattan, atau pernak-pernik pekerjaan
(Setyawan, 2012:181-182).

Semenjak hari itu Bayek mencoba untuk lebih mengerti rekan-rekan


kerjanya, terutama anak buahnya. Ia bukan lagi Bayek yang pertama
kali datang ke New York beberapa tahun yang lalu. Ia sekarang
mempunyai anak buah yang tersebar di berbagai wilayah. Bayek
mendengarkan Rachel. Bayek mendengarkan lagi hatinya. New York
dipenuhi orang-orang dari berbagai belahan dunia dan mereka
membawa budaya yang berbeda dalam keseharian dan dalam kerja
(Setyawan, 2012:190-191).

Kepergian Rachel mengguncang Bayek. Semenjak di Pleasantville dulu


Rachel adalah salah satu orang paling dekat dengan hidupnya. Mereka
tahu hidup satu sama lain. Selain sebagai partner in crime di tempat
kerja, Rachel dan Bayek juga sering bertemu di luar urusan kantor.
Bayek memperkenalkan Rachel ke teman-teman Indonesianya.
Demikian juga Rachel. Ia sering mengajak Bayek berkumpul dengan
teman-teman Thailandnya. Mungkin dalam beberapa tahun belakangan
ini, Bayek juga mempunyai hati untuk Rachel tapi ia tak berani
mengungkapkan. Mungkin Bayek tak ingin merusak persahabatan
mereka (Setyawan, 2012:213:214).

Kutipan di atas menjelaskan betapa Bayek begitu dekat dengan Rachel.


Dari kutipan-kutipan di atas, dapat disimpulkan bahwa Rachel adalah orang yang
sangat peduli dengan Bayek. Ia baik pada Bayek. Sering memberikan nasihat-
nasihat tentang hidup juga untuk pekerjaannya. Bayek pun selalu mendengarkan
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
65

nasihat Rachel, dan benar, nasihat-nasihat Rachel membuat hidupnya lebih baik.
Karena kedekatan mereka berdua, kepergian Rachel untuk kembali ke negara
asalnya sangat mengguncang Bayek. Tidak akan ada lagi teman sedekat Rachel.
Bahkan karena kepedulian Rachel pada Bayek, sempat membuat Bayek
menyukainya. Namun Bayek enggan mengungkapkan, karena takut akan
merusak persahabatan mereka.
16. Lek Giyono
Lek Giyono adalah tetangga Bapak dan Ibuk di Gang Buntu. Dalam
hidupnya, Lek Giyono pernah dibantu oleh Bapak. Ia merasa berhutang budi
pada Bapak. Saat Bapak meninggal, Lek giyono juga yang menjemput Bayek ke
bandara. Hal itu dapat dilihat dalam kutipan berikut.
“Yek, Bapak kamu itu amalnya banyak. Satu hal yang saya nggak akan
pernah lupa. Bapakmu dulu pernah mengajari saya menyetir,” kata Lek
Giyono sambil menarik napas panjang.
“Dia mengajari saya nyetir, sampai saya bisa narik angkot sendiri. Saat
itu, setelah berminggu-minggu narik angkot, saya nabrak mobil dan
hampir dipecat sama juragan. Bapakmu bilang, kalau Giono dipecat,
saya juga keluar,” kata lek Giono (Setyawan, 2012:274).

Dari kutipan di atas, kita tahu bahwa watak Lek Giyono adalah orang
yang baik. ia tak pernah melupakan jasa orang yang pernah menolongnya
menyelamatkan pekerjaannya.
17. Bang Udin
Bang Udin adalah tukang kredit langganan di kampung Ibuk. Ia biasa
menjajakan dagangannya yang berupa peralatan dapur dan pelanggannya
biasanya membayar dengan cara mencicil. Ibuk sering meminjam uang pada
Bang Udin. Hal itu dapat dilihat dalam kutipan berikut.
“Mbak Nah lagi setrika ya?” sapa Bang Udin yang tiba-tiba muncul di
depan pintu ruang tamu.
“Ah, silakan masuk Bang. Langsung ke dapur saja!” jawab Ibuk.
Bayek dan Nani sibuk mengerjakan PR, tidak menghiraukan kedatangan
Bang Udin, tukang kredit asli Bandung. Dari Bang Udin, Ibuk selalu
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
66

berbelanja peralatan dapur. Ibuk membayar dengan cicilan setiap hari.


Mulai dari dandang, bak kecil untuk mandi, sampai penggorengan.
“Ini pembayaran untuk hari ini Bang,” kata Ibuk memberikan uang
seribu lima ratus rupiah. Bang Udin mencatat pembayaran itu dan pamit
lewat pintu belakang. Ibuk kembali menyetrika baju.
“Ah…Ada yang lupa,” desah Ibuk beberapa menit setelah Bang Udin
meninggalkan rumah,”Nan, tolong panggilkan Bang Udin lagi!”
….
“Bang Udin, saya tadi kelupaan. Sebelumnya minta maaf ya. Cicilan
kemarin belum lunas semua, tapi…” Ibuk menghela napas sejenak.
“Sepatu Nani jebol. Dan saya mau pinjam lagi sama Bang Udin. Bisa
kan?” Pinta Ibuk dengan sungkan.
“Insya Allah ada, Mbak Nah. Butuh berapa?” Tanya Bang Udin.
Ada sedikit kelegaan di wajah Ibuk. “Lima belas ribu ya, Bang.”
(Setyawan, 2012:87-88).

“Nah ini buat bayar SPP Bayek dan Rini besok. Untuk belanja, kamu
hutang dulu ke Bang Udin,” kata Bapak (Setyawan, 2012:117).

Dari kutipan-kutipan di atas dapat disimpulkan Bang Udin adalah orang


yang baik. Ia banyak membantu Ibuk. Bang Udin selalu memberikan pinjaman
jika Ibuk memerlukannya, dan ia juga tidak mengharuskan untuk segera
membayarkan. Ibuk melunasi hutangnya dengan cicilan setiap hari.
18. Mbah Carik
Mbah Carik adalah nenek tua yang yang tinggal di Gang Buntu.
Rumahnya dekan dengan rumah Ibuk. Ia baik pada Ibuk juga pada semua orang.
Mbah Carik adalah orang yang disegani di Gang Buntu. Ia suka memberi petuah-
petuah dan nasihat-nasihat. Hal itu dapat dilihat dalam kutipan berikut.
Mbah Carik dikenal sebagai orang pintar di Gang Buntu. Dia konon bisa
menyembuhkan beberapa penyakit dan juga bisa membaca orang.
Meskipun sudah berumur dan rambutnya putih beruban, Mbah Carik
terlihat cantik dan segar. Ia selalu mengunyah sirih. Di usia senjanya
Mbah carik sangat disegani. Seseorang yang selalu didengar oleh semua
orang. Rumahnya selalu dikunjungi oleh tamu-tamu yang datang untuk
memohon doa restu, mencari obat untuk penyakit, atau hanya ingin
berbincang tentang hidup. Mbah Carik jarang keluar rumah. Hanya
sekali atau dua kali dalam seminggu. Ia berjalan-jalan di sekitar Gang
Buntu. “Nah, gimana kabarmu? Yo opo anak-anakmu?” sapa Mbah
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
67

Carik setiap kali melewati rumah Ibuk. Mbah Carik sering ke dapur. Ia
mengamati Ibuk memasak sambil memberikan petuah-petuah yang
bijak. Selain Ibuk, Mbah Carik selalu menyentuh hati orang-orang yang
ia jumpai di sepanjang perjalanan (Setyawan, 2012:80).

Dari kutipan di atas dapat disimpulkan bahwa Mbah Carik adalah orang
yang dituakan di Gang Buntu. Mbah Carik sangat disegani dan dihormati oleh
masyarakat sekitar, hal itu dilakukan karena Mbag Carik dianggap orang pintar
yang dapat menyembuhkan beberapa penyakit, juga Mbah Carik sering
memberikan petuah-petuah bagi orang-orang disekitarnya. Ia baik pada semua
orang.
c. Alur
Alur yang digunakan dalam novel Ibuk, karya Iwan Setyawan adalah
alur campuran (maju-mundur). Kisah demi kisah tidak selalu diceritakan secara
kronologis namun terkadan ada flash-back kejadian masa lalu tokoh, karena pada
novel ini bercerita kehidupan sebuah keluarga yang bergerak maju. Cerita ini
berawal dari tahap pengenalan. Pada tahap pengenalan. Pengarang mengenalkan
karakter tokoh utama, yaitu seorang tokoh yang bernama Tinah.
Baru setelah itu dimunculkan tokoh-tokoh lain yang mendukung
jalannya cerita. Mulai dari Mbok Pah, nenek Tinah, yang mengasuh Tinah
semenjak ia putus sekolah, Sim Seorang kenek angkot yang berhasil
memenangkan hati Tinah dan akhirnya mereka menikah. Kemudian lahirlah
kelima anak mereka. Setelah itu masih banyak tokoh-tokoh yang dimunculkan
sebagai pendukung cerita. Pada awalnya penceritaan berjalan maju, namun saat-
saat di tengah penceritaan, ingatan Tinah yang belakangan disebut dengan
panggilan Ibuk, kembali menceritakan zaman dulu, dan akhirnya kembali ke
masa kini. Hal itu dapat dilihat kutipan berikut.
“Iya, nggak apa-apa. Padahal dulu bocornya nggak sebanyak ini, Nduk.
Entar ya, Ibuk cerita bagaimana kita membangun rumah ini,” jawab
Ibuk.
….
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
68

Hujan belum reda. Matahari mulai merangkak ke ufuk barat hendak


tenggelam tapi sinarnya masih kelihatan di balik awan yang mulai gelap.
Ibuk menyalakan lampu di ruang tamu. Semua anaknya telah berkumpul
di sana. Mira di gendongannya. “Begini ceritanya…” (Setyawan,
2012:76).

Mulai dari kutipan itu, Ibuk mulai menceritakan zaman-zaman


membangun rumahnya dulu. Zaman yang begitu membutuhkan perjuangan. Saat
anak ibuk nomer satu sampai tiga masih kecil-kecil dan juga saat itu Ibuk hamil
anak keempat. Perjuangan Ibuk begitu keras, dalam keadaan hamil, Ibuk bolak-
balik menggotong air dari sumur tetangga dan menyiapkan makanan untuk
semua tukang. Proses pembangunan rumah berjalan selama tiga bulan. Akhirnya
Ibuk mengakhiri ceritanya, dan alur cerita kembali ke masa kini. Hal itu dapat
dilihat dalam kutipan berikut.
Ah, begitulah rumah ini dibangun. Ibuk mengakhiri ceritanya. Hujan
mulai reda. Mata Ibuk menerawang ke langit-langit (Setyawan,
2012:79).

Selesai bercerita tentang masa lalunya saat membangun rumah kecil


mereka, Ibuk mengingat seseorang yang memberinya wejangan saat proses
pembangunan rumah berlangsung. Orang itu adalah Mbah carik. Disini Ibuk
kembali akan menceritakan sosok Mbah Carik pada anak-anaknya. Hal itu dapat
dilihat dalam kutipan berikut.
“Ibuk hampir lupa! Ketika membangun rumah ini, Ibuk mendapat
wejangan dari wong pinter di Gang Buntu. Tentang si Bayek,” kata Ibuk
setelah mematikan lampu di dapur.
Anak-anak bengong. Mereka tidak mengerti apa yang baru saja Ibuk
katakan.
“Besok malam ya, Ibuk cerita tentang Mbah Carik,”janji Ibuk.

Besok malanmya ingatan Ibuk mulai menerawang lagi ke kejadian yang


sudah lampau. Hal inilah yang membuat alur kembali mundur. Malam itu sesuai
janjinya pada anak-anak, Ibuk menceritakan Mbah Carik yang memberikan
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
69

wejangan saat membangun rumah mereka. Beginilah wejangan Mbah Carik kala
itu.
“Nah, kamu ini hamil kok angkat-angkat air,” sapa Mbah Carik. Ibuk
yang sedang hamil Rini mengangkat air di dua ember plastik warna
merah dari rumah Lek Sanik ke rumah kecil yang sedang dibangun.
“Mboten nopo-nopo, Mbah. Sudah tiap hari seperti ini,”kata Ibuk
menarik napas panjang. Bayek di belakang Ibuk, menarik-narik daster
batiknya.
“Nah, Nah…Sing ati-ati yo,”Pesan Mabah Carik sambil menepuk
pundak Ibuk. “Yang sabar dulu ya. Hidupmu sekarang susah. Tapi
percaya aku, Nah. Anak lanang yang ada dibelakangmu itu kelak akan
membahagiakanmu,” pesan Mbah Carik. Raut wajahnya kalem. “Ke sini
Le, Mbah cium!” (Setyawan, 2012:81).

Begitulah seterusnya Ibuk mulai menceritakan Mbah Carik. Mbah Carik


adalah orang yang sangat disegani di gang Buntu. Setelah menceritakan semua
tentang Mbah Carik, Ibuk mengakhiri ceritanya. Alur cerita kemudian berjalan
maju. Hal itu dapat dilihat dalam kutipan berikut.
Begitulah Mbah Carik. Ibuk menceritakan pada anak-anaknya.
….
Ibuk kemudian pergi ke dapur. Di pintu menuju dapur, ia melihat
deretan sepatu anaknya. Sepatu Nani sudah mau jebol.

Mulai dari itu, alur cerita kembali bergerak maju sampai akhir cerita.
Pengarang mulai menceritakan kehidupan keluarga Ibuk. Kejadian demi kejadian
diceritakan runtut, mulai dari kelima anak-anaknya yang selesai sekolah, masuk
kuliah, dan Bayek, anak laki-laki Bapak dan Ibuk kerja di NYC, anak-anak
perempuan semua menikah, sampai Bayek kembali ke Indonesia, dan pada akhir
cerita, diceritakan Bapak berpulang. Sebuah ending cerita yang mengharukan,
namun juga sarat akan nilai-nilai yang dapat dipetik dan diaplikasikan dalam
kehidupan nyata. Sebuah cerita yang penuh inspirasi dan memotivasi.
Berikut adalah tahapan plot dalam novel Ibuk,:
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
70

1. Tahap situation (penyituasian)


Pada tahap ini, pengarang melukiskan tokoh dan situasi cerita. Pada
awalnya tokoh utama dimunculkan dengan ciri-cri fisiknya, begitu juga situasi
yang melatarinya. Hal itu napak dalam kutipan berikut.
Anak kecil itu duduk sendiri di sudut ranjang sambil melipat seragam
warna kuning dan hijau pelan-pelan. Ia kemudian menyimpan ke dalam
lemari. Ada kekecewaan di matanya yang bening. Besok ia tidak akan
kembali ke sekolahnya di Taman Siswa Batu. Matanya menerawang ke
sandal jepit yang biasa ia pekai ke sekolah. Air matanya menetes. Anak
itu, Tinah, harus mengubur harapan untuk menyelesaikan sekolah. Ia tak
pernah kembali ke sekolah. Buat anak perempuan, tidak apa-apa tidak
sekolah, kata Mak Gini, ibunya. Tinah kehilangan harapan (Setyawan,
2012:1).

Pagi yang biasa. Pagi yang ramai di pasar Batu. Di depan kios Mbok
Pah, jajaran angkot mulai menurunkan penumpang. Sebagian besar
adalah ibu-ibu yang akan berbelanja Hampir semua memakai sandal
jepit dan menenteng tas kresek kosong. Para sopir angkot dan kenek pun
banyak yang turun untuk sarapan. Salah satunya, anak muda berusia
sekitar 23 tahun. Seorang kenek yang telah lebih dari setahun datang
dan pergi bersama angkotnya di pasar Batu. Ia terlihat berbeda dari sopir
atau kenek lain. Pakaiannya selalu rapi. Tatapan matanya melankolis
tapi tajam. Badannya tidak tinggi tapi gagah, gayanya flamboyan.
Alisnya tebal dan bibirnya penuh. Ia dekat dengan semua orang, dari
ibu-ibu sampai preman. Ia dicap sebagai playboy pasar (Setyawan,
2012:4).

Kutipan di atas adalah pengenalan awal tokoh dan situasi dalam novel
Ibuk. Pengarang mengenalkan tokoh dengan ciri-ciri fisiknya dan situasi yang
melatarinya.
2. Tahap generating circimtantes (pemunculan konflik)
Pada tahap ini, pengarang mulai memunculkan peristiwa-peristiwa yang
mengakibatkan terjadinya konflik. Salah satunya adalah konflik batin yang
dialami oleh tinah tentang percintaannya dengan kenek angkot. Permasalahan
yang munncul adalah, Mbok Pah menginginkan Tinah memilih laki-laki yang
lebih mapan. Hal itu dapat dilihat dalam kutipan berikut.
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
71

“Nah…masa’ kamu gak mau orang yang sudah mateng dan sebaik dia?”
kata Mbok Pah meyakinkan. “Apa kamu masih pilih Sim itu? Ganteng
iya, tapi Mbok rasa dia belum mateng, Nah. Belum siap. Masa’ kamu
mau nunggu?
Tinah, terdiam. Mbok Pah merasa kasihan juga melihat cucunya
kebingungan. “Gini Nah, kamu pikirkan ya. Iki serius. Iki uripmu. Mbok
suka sama Sim, tapi Mbok juga belum yakin. Lek Hari entar malam mau
kerumah, mau nanya ke kamu langsung.”
Tinah masih terdiam. Ia tak berani menyangkal Mboknya. Ia teringat
permintaan Sim setelah pulang dari Pujon kemarin.
Nah…kamu mau gak hidup susah sama aku. Kita, hidup berdua.
“Mbok aku gak mau pilih-pilih,” Jawab Tinah akhirnya. “Sim itu
hidupnya gak seperti Lek Hari tapi orangnya apikan.”
Kini justru Mbok Pah yang diam. Ia sudah tahu apa yang menjadi
pilihan cucunya (Setyawan, 2012:21-22).

Kutipan di atas merupakan konflik awal yang muncul, yakni


pertentangan jodoh antara Tinah dengan Mbok Pah. Namun pada akhirnya hati
Tinah lebih memilih Sim seorang kenek angkot. Mbok Pah pun sepakat dengan
pilihan Tinah.
3. Tahap rising action (peningkatan konflik)
Pada tahap ini, pengarang mulai memunculkan konflik yang lebih
kompleks dan pengembangan dari konflik sebelumnya, yakni setelah
memutuskan hidup berumah tangga dengan Sim, rumah tangga Tinah selalu
dipenuhi dengan permasalahan-permasalahan ekonomi yang terus menghimpit.
Apalagi setelah kelima anaknya terlahir. Hal itu dapat terlihat dalam kutipan
berikut.
Tahun berlalu. Anak-anak Ibuk dan Bapak tumbuh semakin besar.
Beban hidup semakin berat. Kebutuhan semakin banyak. Setahun
setelah Mira lahir, Ibuk jatuh sakit karena kecapekan dan sering telat
makan. Setiap kali buang air selalu ada darah. Ibuk terkena sakit maag
akut dan tak bisa beranjak dari ranjang selama berminggu-minggu. Mira
dijaga oleh Isa. Nani menjaga Bayek dan Rini. Bapak membantu
mempersiapkan sekolah Isa dan Nani sebelum menarik angkot. Bayek
dan Rini sendiri untuk sementara meliburkan diri dari sekolah. Mak Gini
membantu memasak. Rumah begitu sedih tanpa senyum Ibuk
(Setyawan, 2012:37).
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
72

Semenjak saat itu, permasalahan yang lebih kompleks selalu saja


muncul, mulai dari anaknya yang meminta buku baru, sepatu jebol, bayaran
untuk SPP yang sering menunggak, dan lagi angkot bekas yang dibeli Bapak
sering rusak. Uang untuk makan sehari-hari harus terganggu untuk
membetulkan angkot. Permasalahan-permasalahan itu nampak pada kutipan
berikut.
Buku baru. “Ah, kamu coba pake buku kakakmu, Yek! Yang penting
besok bawa buku dulu.
Sepatu jebol.”Nan, coba minta lem ke Bapakmu!
Uang SPP.” Oh, besok tanggal 10? Besok ya, Yek. Besok. Pasti ono
kok!”
“Buk, tahun depan aku ke SMP!”. Kali ini pertanyaan Isa. Ibuk tak
langsung menjawab.
Malam mulai larut. Obrolan ruang tamu telah usai. Ibu tak menangis,
hanya nelangsa. Ia menidurkan Mira. Bapak masih belum pulang. Masih
banyak pertanyaan lain yang belum terjawab. Tapi ada satu hal yang
tiba-tiba Ibuk ingat. Tiga hari lagi, ia harus mengambil rapor Bayek
(Setyawan, 2012:59-61).

“Aduh Nah, capek sekali badan ini! Angkot rusak lagi. Uang habis buat
benerin angkot. Aduh Nah, yo opo iki?” keluh Bapak (Setyawan,
2012:68).

“Anak-anak tambah gedhe. Kebutuhan kita tambah banyak. Angkot


rusak nggak ada hentinya sudah tiga hari berturut-turut, Nah. Ada saja
yang rusak. Sudah tiga hari ini narik angkot hanya untuk beli onderdil.
Belanja buat besok masih ada tah?” Tanya Bapak (Setyawan, 2012:111).

Dari kutipan-kutipan di atas menunjukkan konflik yang selalu muncul


dalam keluarga Ibuk dan Bapak. Permasalahan ekonomi selalu membelit
mereka.
4. Tahap climax (klimaks)
Pada tahap ini, pengarang semakin mengerucutkan permasalahan.
Permasalahan yang muncul sudah pada puncaknya. Hal itu dapat dilihat dalam
kutipan berikut.
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
73

“Wah, kok sudah pulang , Pak!” sapa Nani menyambut Bapak.


Tidak seperti biasa, bapak pulang lebih awal. Wajah Bapak ltih. Lengan
tangannya belepotan oli. Bajunya lusuh sekali. Rambut Bapak tidak
serapi di pagi hari. Ia selalu memakai minyak rambut Brisk sebelum
berangkat kerja. Mata Bapak sedikit merah. Bajunya basah berkeringan.
Ah, Bapak begitu lemas.
“Pak, besok loh bayar SPP paling telat,” Bayek mengingatkan. Bapak
hanya diam menuju Dapur.
“Wah kok sudah pulang, Pak?” sambut Ibuk.
Bapak tak menghiraukan Ibuk dan membersihkan tangannya di dapur.
“mau teh panas tah? Atau kopi?” Tanya Ibuk.
Tak ada balasan dari Bapak. Keduanya diam. Bapak mengganti baju
dengan kaos yang masih bersih. Mira tidur pulas di kamar.
“Kenapa lagi mobilnya?” Tanya Ibuk.
“Sudah empat hari ini Nah, angkot mogok lagi! Kesel aku, Nah. Mbuh
ini!” kata Bapak gusar.
Bayek dan Rini bergabung dengan Isa di kamar depan. Nani juga. Tidak
biasanya Bapak terdengar secapek ini. Ia terdengar hampir putus asa.
“Sudah empat hari ini, Nah. Mangan opo arek-arek mene? SPP juga
mesti dibayar besok. Kalau begini terus, pingin segera jual angkot saja.
Gak ngerti maneh aku!” ujar Bapak di sudut dapur sambil membanting
sandal jepit biru tipisnya dengan keras.
Ibuk terkejut. Anak-anak yang ada di kamar depan terdiam.
“Wis, Mbuh Nah!” lanjut bapak singkat. Suaranya pelan. Matanya
berkaca-kaca.
“Sing sabar sik. Sing sabar, kata Ibuk menghibur Bapak. “itu tehnya
diminum dulu.”
Bapak masih diam. Ia tidak menyentuh teh yang ada di atas meja
marmer.
“Aku capek, Nah. Iki godaan datang terus. Aku berangkat lagi ya! Gak
bisa lihat anak-anak seperti ini. Saaken!” (Setyawan, 2012:114-116).

Kutipan di atas menunjukkan klimaks dari konflik yang sering muncul.


Permasalahan ekonomi yang selalu menghimpit membuat Bapak sang kepala
keluarga hampir putus asa menghadapinya. Uang hasil narik angkot yang selalu
habis hanya untuk membetulkan angkot yang rusak, padahal masih banyak
sekali kebutuhan-kebutuhan yang harus dipenuhi, sampai-sampai Bapak tidak
dapat menahan emosinya, dan melampiaskannya dengan membanting sandal.
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
74

5. Tahap denouement (penyelesaian)


Pada tahap ini, pengarang mulai memunculkan solusi-solusi dari konflik
yang muncul. Mulai ada penyelesaian dari setiap konflik. Kerena kebutuhan
yang terus menghimpit, dan Bayek diterima kuliah di IPB Bogor, maka Ibuk
dan Bapak memutuskan untuk menjual angkot karena biaya kuliah yang tidak
murah. Hal itu dapat dilihat dalam kutipan berikut.
Di hari ketiga sebelum tenggat pembayaran uang masuk, Ibuk
mengejutkan anak-anaknya. Saat itu Bayek sedang menonton TV di
ruang tamu bersama empat saudaranya.
“Yek, kita jual angkot kita…,” kata Ibuk.
Anak-anak terdiam. Bapak yang juga ada di sana tak bisa berkata-kata.
“Iya, kita jual angkot untuk kuliah ke Bogor,” tegas Ibuk lagi
meyakinkan Bayek. semuanya masih diam, terkejut dengan kenekatan
Ibuk.
“Entar kita mau makan apa kalau angkot dijual?” Tanya Bayek.
Ibuk menarik napas panjang.
Beberapa saat kemudian Bapak menimpali, ”Bapak akan kerja di
tetangga sebelah menjadi sopir truk.
Akhirnya Bayek pergi ke Bogor. Kuliah. Tidak menjadi sopir angkot
seperti Bapak tetapi menjadi mahasiswa.

Dari sebuah keputusan menjual angkot untuk biaya kuliah Bayek itulah,
permasalahan demi permasalahan terselesaikan. Bayek dapat lulus kuliah
sebagai lulusan terbaik. Kemudian ia bekerja sampai ke NYC. Dari situlah
keadaan perekonomian keluarga Ibuk terangkat. Bayek dapat melunasi semua
hutang keluarga dan menyenangkan Ibuk serta Bapak, juga saudara-saudaranya.
d. Latar atau setting
Latar atau setting meliputi tempat, waktu dan suasana terjadinya suatu
peristiwa atau kejadian dalam sebuah cerita. Adapun latar dalam novel Ibuk
karya Iwan Setyawan adalah latar tempat, waktu. Selain itu, latar suasana juga
digambarkan pengarang dalam novel ini. Menurut Nurgiyantoro (2005:233-
234), latar sosial menyaran pada hal-hal yang berhubungan dengan perilaku
kehidupan sosial masyarakat di suatu tempat yang diceritakan dalam karya
fiksi. Tata cara kehidupan sosial masyarakat mencakup berbagai masalah dalam
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
75

lingkup yang cukup kompleks. Ia dapat berupa kebiasaan hidup, adat istiadat,
tradisi, keyakinan, pandangan hidup, cara berpikir dan bersikap, dan lain-lain
yang tergolong latar spiritual seperti dikemukakan sebelumnya. Di samping itu,
latar sosial juga berhubungan dengan status sosial tokoh yang bersangkutan,
misalnya rendah, menengah, atau atas.
1. Tempat
Latar tempat merupakan tempat dimana terjadinya peristiwa-peristiwa
yang dialami tokoh. Tempat terjadinya peristiwa dalam novel Ibuk yakni
berada di dua Negara, Indonesia tepatnya di Kota Batu, Jawa Timur, Bogor,
Jakarta, Jogja, dan Karawang, dan di New York City. Latar tempat di Kota
Batu, meliputi pasar batu, di rumah di Gang Buntu, di sekolah, di bandara, di
rumah sakit, di kelurahan dan di pemakaman. Latar tempat di NYC, saat Bayek
bekerja di sana meliputi apartement, kompleks perkantoran di Manhattan,
taman, restoran, dan groceries shopping. Hal ini terlihat dalam kutipan berikut.
Pagi yang biasa. Pagi yang ramai di Pasar Batu. Di depan kios Mbok
Pah, jajaran angkot mulai menurunkan penumpang (Setyawan, 2012:4).

Meskipun harus bolak-balik dari satu sekolah ke sekolah yang lain, Ibuk
tak pernah meminta bantuan orang lain untuk mengambilkan rapor
anak-anaknya. Dari SD Negeri Ngaglik 1, tempat Bayek dan Rini
sekolah, Ibuk jalan kaki ke sekolah Nani, SD Ngaglik 2. Tempat Isa
sekolah di SD Ngaglik 3, yang paling jauh (Setyawan, 2012:63).

Di pegadaian, Ibuk segera mencari Mak Gini yang bekerja di sana


sebagai perantara antara petugas pegadaian dan orang-orang yang ingin
menggadaikan barang (Setyawan, 2012:119).

Malam pertama mereka berada di rumah Mbak Gik. Tak ada selimut di
atas dipan kayu mereka (Setyawan, 2012:25).

“Ni, beli sepatu yang agak gedean ya, biar bisa dipakai sampai kamu
kelas 6 entar,” pesan Ibuk sembari memilihkan sepatu untuk Nani di
Toko bata yang terletak di alun-alun Batu (Setyawan, 2012:89).
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
76

Ibuk dan Bayek menyusuri gang-gang kecil di sebelah rumah, tangan


Ibuk menggenggam tangan Bayek. Matanya sembab. Tak ada
percakapan.
Sesampainya di hutan bambu, Ibuk diam sebentar. Air matanya
mengalir kembali. Bayek menatap mata Ibuk. Matanya pun mulai basah
(Setyawan, 2012:117).

Siang harinya Ibuk mengurus surat-surat untuk keringanan uang


bangunan sekolah. Dengan sandal jepit dan daster batik, Ibuk mengajak
Bayek, Mira dan Rini ke kantor kelurahan di dekat SD Ngaglik 1 Batu
(Setyawan, 2012:122).

Di Bogor Bayek berjuang melawan rasa takut, rasa kangen akan rumah
kecil di Gang Buntu (Setyawan, 2012:134).

Tiga tahun sudah Bayek di Jakarta. Tiga tahun sudah ia berusaha


membangun hidup baru (Setyawan, 2012:143).

Ia sesekali mengunjungi keluarga adiknya, Mira, yang tinggal di


Karawang. Bulan September 2011, Bayek dan Ibuk mengunjungi Mira
yang telah melahirkan anak kedua, Arti (Setyawan, 2012:247).

Dua minggu penuh cinta dan kehangatan, Bayek pun harus kembali ke
New York. Bapak dan Ibuk mengantarkan ke Bandara Juanda Surabaya
(Setyawan, 2012:171).

Keesokan paginya Bayek langsung ke Manhattan. Sendirian ia


menelusuri jalanan di daerah itu dan merasakan hawa kota yang
sebelumnya sangat hidup berganti menjadi melankolis. Grand Central
yang biasanya hiruk-pikuk di pagi hari tenggelam dalam kebisuan dan
dipenuhi wajah-wajah yang berkabung. Tak ada kebisingan sepanjang
42nd Street. Bayek kemudian menyusuri Madison Ave. kantor-kantor
sepi. Took-toko sepi. Sesampainya di Madion Square Park, Bayek tak
lagi melihat pemusik jalanan yang biasanya menggelar konser musik di
udara musim gugur yang cerah. East Village tak terlihat hidup seperti
biasanya. SoHo hampa dari turis-turis berbelanja. Pintu depan restoran
dan butik-butik tertutup. Hanya terlihat beberapa orang yang lalu lalang
di China Town yang biasanya berdesakan. Orang-orang menaruh bunga
di depan kantor pemadam kebakaran di daerah TriBeCa. Daerah sekitar
WTC ditutup (Setyawan, 2012:161).

Akhirnya atas rekomendasi dokter saraf, Bapak dibawa ke rumah sakit


di Malang dan menginap beberapa hari di sana (Setyawan, 2012:260).
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
77

Pagi yang cerah di kaki Gunung Panderman. Satu per satu, pelayat
meninggalkan pemakaman. Tinggal Ibuk dan keluarga dekatnya
(Setyawan, 2012:277).

Dari beberapa kutipan di atas, dapat disimpulkan bahwa latar tempat


yang digunakan dalam novel Ibuk antara lain adalah di pasar batu, di SD
Ngaglik, di pegadaian, di kelurahan, di Bogor, di Jakarta, di Karawang, di rumah
Mbak Gik, di toko sepatu, di hutan bambu dan di pemakaman, dan beberapa
lokasi di NYC.

2. Waktu
Latar waktu merupakan waktu kapan terjadinya peristiwa-peristiwa
yang dialami tokoh. Latar waktu dalam novel ini menggunakan hari, bulan,
tahun, pagi, siang, malam, selepas sholat, di waktu subuh, dan menunjukkan jam.
Hal ini dapat dilihat dalam kutipan berikut.
Pagi yang biasa. Pagi yang ramai di pasar Batu. Di depan kios Mbok
Pah, jajaran angkot mulai menurunkan penumpang (Setyawan, 2012:4).

Jam 11 malam. Gang Buntu senyap. Semua pintu tertutup rapat. Korden
menyelimuti jendela di setiap rumah. Hampir semua rumah gelap, hanya
lampu depan yang menyala. Redup. Bulan hanya separuh tapi terangnya
benderang. Cahaya putih terpantul dari awan di arah barat. Sunyi
(Setyawan, 2012:67).

Sore itu, seperti janjinya, sopir angkot baru itu menunggu Tinah di Gang
Buntu. Beberapa penumpang di angkotnya juga menunggu. Ada sekitar
tujuh orang langganan Sim di dalam mobil Mitsubishi Colt T tua itu
(Setyawan, 2012:18).

Minggu depannya, Sim menjemput Tinah selepas azan magrib. Untuk


pertama kalinya Tinah memberanikan diri keluar dengan lelaki yang
baru saja ia kenal (Setyawan, 2012:13).

Namun Mbok Pah jatuh sakit dua minggu setelah acara lamaran
(Setyawan, 2012:24).
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
78

Bulan berikutnya, Sim bersama keluarga Mbak Gik berjalan dari Jalan
Darsono ke Gang Buntu. Mereka menanyakan Ngatinah kepada
keluarganya (Setyawan, 2012:23).

Setelah mengerjakan PR, baru mereka tidur siang. Jam 2 siang rumah
mereka sepi. Gang Buntu juga sepi. Ibuk masih sibuk di dapur
(Setyawan, 2012:51).

Sebelum ayam berkokok, Bapak sudah terbangun. Ia masih mengenakan


baju yang dipakai tadi malam. Sandal jepit swallow warna biru tua
menanti di depan pintu rumahnya. Ia segera menghidupkan mesin mobil
(Setyawan,2012:69).

Di akhir pekan Bapak sering mengajak Bayek untuk narik angkot


(Setyawan, 2012:103).

Air mata Bayek meleleh setelah salat Isya. terlintas bayangan orang-
orang yang terjebak dalam gedung saat pesawat menabrak (Setyawan,
2012:158).

Pagi itu gelap dan dingin. Hujan deras mengguyur Kota Batu. Jam
setengah tujuh pagi segelap jam lima pagi. Lampu ruang tamu sudah
dimatikan Ibuk setelah salat subuh tadi (Setyawan, 2012:258).

Di Bulan Januari Bayek dipromosikan menjadi senior data processing


executive. Gajinya bertambah. Bonusnya bertambah. Usaha kerasnya
selama setahun ini mendapat penghargaan (Setyawan, 2012:167).

Di musim semi ketujuh, Bayek pulang ke Indonesia. Kali ini untuk


menghadiri pernikahan Mira. Pernikahan kedua yang Bayek hadiri
dalam keluarganya (Setyawan, 2012:217).

Di musim gugur kesepuluh Bayek kembali mengirimkan surat


pengunduran diri. Hatinya kini telah bulat. Meskipun atasannya
menawarkan jabatan yang lebih tinggi, manjadi salah satu direktur di
North America, Bayek akhirnya mengepak barang-barangnya dan
pulang ke Indonesia (Setyawan, 2012:222).

Sabtu, 4 Februari 2012, pukul 2 dini hari. Rini bangun dan memeriksa
kondisi Bapak. Tangan rini mengelus tangan Bapak. Juga dadanya.
Bapak masih tertidur pulas. Rini kebali tidur di kursi di samping ranjang
Bapak. Tangan kiri Rini masih memegang tangannya dan tangan kanan
memegang dada Bapak (Setyawan, 2012:271).
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
79

Dari beberapa kutipan di atas, dapat disimpulkan bahwa latar waktu


yang digunakan dalam novel Ibuk antara lain adalah pagi hari, siang hari, sore
hari, malam hari, menunjukkan jam, menunjukkan hari, menunjukkan minggu,
menunjukkan bulan, menunjukkan tahun, menunjukkan musim, sehabis salat,
waktu subuh, dan sebelum ayam berkokok.
3. Suasana
Suasana yang diangkat oleh Iwan Setyawan dalam novelnya Ibuk yakni
mengangkat kehidupan masyarakat menengah kebawah yang menampilkan
keprihatinan dan kesederhanaan. Suasana yang khas pada waktu dahulu yang
diselimuti dengan kisah-kisah sederhana khas kehidupan pedesaan, sampai
kehidupan pada masa kini yang serba modern. Hal ini nampak dalam kutipan
berikut.
Minggu berikutnya, mereka kembali nonton layar tancep. Mereka
berjalan kaki menuju lapangan bola di samping kantor koramil Batu.
Kali ini Tinah membawa makanan di dalam tas kresek warna hitam.
Isinya kacang rebus, pisang goreng, juga teh hangat yang dibungkus
kantong plastik kecil (Setyawan, 2012:14).

Tinah berpikir sejenak. Selama hidupnya, ia belum pernah naik mobil.


Ia belum pernah keluar dari kota Batu. Hidupnya dihabiskan di antara
Gang Buntu dan pasar sayur Batu (Setyawan, 2012:15).

“Gini Nah, sudah lama Mbok Pah mau ngomong ini, tapi ora enak.
Sudah beberapa minggu ini ada yang nanyain kamu terus. Namanya Lek
Hari. Mungkin seumuran sama Sim. Dia sudah punya rumah sendiri di
Oro-Oro Ombo. Sudah punya usaha sendiri, mencetak batu bata,” jelas
Mbok Pah (Setyawan, 2012:21).

Dari beberapa kutipan di atas mencerminkan suasana pada zaman


dahulu sebelum keadaan seperti sekarang. Suasana kehidupan desa yang begitu
khas dengan kesederhanaan. Namun pada bagian akhir novel, suasananya sudah
berubah, dari desa yang masih belum modern, berubah menjadi zaman yang lebih
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
80

modern, namun tetap memperlihatkan suasana desa yang penuh dengan


kesederhanaan. Hal itu dapat dilihat dalam kutipan beriku.
Kegiatan Ibuk di luar rumah hanya pengajian atau kalau ada hajatan.
Ibuk tidak lagi harus pergi berhutang ke Bang Udin atau ke pegadaian.
Anak-anaknya tak lagi meminta sepatu baru, baju sekolah, uang kuliah,
atau baju lebarang. Kini, anak-anak Ibuk yang selalu berusaha untuk
menyenangkan kedua orang tua mereka. Ibuk dan Bapak, setelah 40
tahun berjuang, akhirnya melihat cahaya di atap rumahnya (Setyawan,
2012:244).

Semenjak itu Bayek meluangkan waktu di Batu, di rumah kecilnya di


Gang Buntu. Ia rutin melakukan yoga di pagi hari dan jalan kaki
bersama Bapak dan Ibuk ke kaki Gunung Panderman. Siangnya Bayek
bermain bersama keponakan. Kadang mengajar saudara-saudaranya
yoga. Menikmati masakan Ibuk dan membaca buku-buku Fyodor
Dostoevsky yang ia bawa dari New York. Ah, Bayek kadang tidur siang
juga (Setyawan, 2012:226).

Dari kutipan-kutipan di atas, dapat disimpulkan bahwa latar suasana


yang diangkat dalam novel Ibuk adalah suasana khas pedesaan yang penuh
dengan kesederhanaan dan keprihatinan sampai pada masa sekarang, yakni hidup
yang penuh dengan kemodernan namun pengarang tetap menampilkan suasana
pedesaan yang khas.
e. Sudut pandang
Ada tiga jenis sudut pandang (point of fiew), yakni: (1) pengarang
sebagai orang pertama dan menyatakan pelakunya dengan sebutan “aku”, teknik
ini disebut teknik akuan, (2) pengarang sebagai orang ketiga dan menyebut
pelaku utama dengan sebutan “dia”, teknik ini disebut teknik diaan, (3)
pengarang serba tahu (omniscient narratif) yakni pengarang yang menceritakan
segalanya atau memasukka peran.
Dalam novel ini menggunakan sudut pandang orang ketiga, pengarang
sebagai tokoh sampingan. Gaya penceritaannya menggunakan teknik diaan.
Orang yang bercerita dalam hai ini adalah seorang tokoh sampingan yang
menceritakan peristiwa yang bertalian terutama dengan tokoh utama cerita.
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
81

Sesekali peristiwa itu juga menyangkut tentang dirinya sebagai pencerita. Cara
penyampaian cerita itu juga menggunakan sapaan “aku” pada dirinya dalam
menceritakan tentang peristiwa yang menyangkut tentang dirinya sebagai tokoh
pendamping, namun sering pula ia bercerita sebagai orang ketiga yang
mengamati peristiwa dari jauh tentang tokoh utama cerita. Hal itu nampak dalam
bab 15 “Sedikit tentang Aku” bab 21 “Hidup Baruku”, dan bab 49 “Aku” dalam
bab tersebut pengerang menceritakan dirinya dengan menyebut dirinya “aku”.
Hal itu dapat dilihat dalam kutipan berikut.
“Le, ini Ibuk sudah terima rapormu!” tak hanya melegakan Bayek tapi
juga melegakanku! Aku tarik napas panjang setelah menuliskannya.
Ah, sampai di sini, mungkin kau akan bertanya siapa diriku. Tapi apa
perlunya kau tahu? Aku hanya bagian kecil dari cerita ini. Aku hanya
seseorang yang berusaha mencatat sedikit kenangan agar tak hilang
begitu saja ditelan zaman (Setyawan, 2012:72).

Dalam novel ini, Bayek sebagai anak laki-laki di keluarga Ibuk dan
Bapak sebenarnya merupakan pengarang yang menceritakan kehidupan nyatanya
dan diangkat menjadi sebuah novel. Hal itu dapat dilihat dalam kutipan berikut.
Sampai saat ini, aku masih terngiang-ngiang kata-kata Ibuk kepada
Mbak Isa. Cintanya melahirkan tekad untuk kehidupan yang lebih baik,
untuk anak-anaknya (Setyawan, 2012:73).

Dua belas tahun yang lalu, aku mengikuti perjalanan Bayek selama di
New York. Ketika ia jauh dari keluarga. Ketika ia melalui 9 musim
panas, 10 musim gugur. Ketika ia mengumpulkan kepingan-kepingan
masa lalu dan membangun hidupnya. Ketika ia berlayar untuk
keluarganya. Ketika ia menemukan dirinya. Ketika ia jauh dari surga
kecilnya di Batu. Ketika kesederhanaan dan cinta keluarga
menyelamatkannya (Setyawan, 2012:287).

Malam telah larut. Aku ingin segera pulang. Mengunjungi makam


Bapak. Memeluk Ibuk. Menatap matanya. Aku ingin membelikan daster
batik. Aku ingin memberikan hatiku (Setyawan, 2012:289).

Dari kutipan-kutipan di atas, jelaslah bahwa pengarang sebetulnya


adalah salah satu tokoh di dalam novel, yakni Bayek, namun ia memosisikan
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
82

dirinya sebagai orang ketiga, pengarang sebagai tokoh sampingan. Dalam novel
ini adalah kisah nyata yang dialami oleh pengarang. Sesekali ia juga
memunculkan dirinya sebagai tokoh aku dalam novel.

2. Tanda-tanda Semiotik dalam Novel Ibuk, Karya Iwan Setyawan


Sesuatu dapat disebut sebagai tanda jika ia mewakili sesuatu yang lain.
Hal itu sejalan dengan pendapat Mukarovsky yang menyebutkan karya sastra
khususnya dan karya seni umumnya sebagai fakta semiotik. Dalam novel Ibuk,
karya Iwan Setyawan ini banyak ditemukan tanda-tanda yang mewakili makna
yang akan disampaikan oleh pengarang. teknik analisis tanda menggunakan teknik
heuristik dan hermeneutik. Tanda-tanda tersebut terlihat dalam kutipan berikut.
a. Kajian Secara Fisik
1. Sampul
Sampul novel Ibuk, berwarna cokelat dengan motif batik yang
sedikit samar-samar, dan bergambarkan seorang perempuan dengan pakaian
batik, juga dipenuhi tulisan-tulisan tegak bersambung yang tidak beraturan.
Perempuan itu digambarkan sederhana dengan rambut digelung di belakang.
Terlihat perempuan itu sedang meracik sesuatu, seperti sedang memasak.
Perempuan itu mengilustrasikan seorang Ibu.
Judul novel itu tertulis “ibuk,”. Di sini ibu adalah seseorang yang
telah melahirkan seorang anak. Dalam novel ini, seorang ibu tersebut
dipanggil dengan “Ibuk” karena pada umumnya orang jawa yang bahasa
kesehariannya menggunakan bahasa jawa glotalnya sangat terlihat, sehingga
sebutan ibu menjadi Ibuk. Sampul Novel Ibuk, sederhana tapi memikat,
representasi dari isi novelnya. Jenis font dan jarak antar paragraf yang pas
membuat nyaman untuk membacanya.
b. Analisis Unsur Representamen, Object, dan Interpretant
1. Representamen, ground, tanda itu sendiri, sebagai perwujudan gejala
umum:
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
83

a. Qualisigns, terbentuk oleh kualitas, tanda ini berdasarkan suatu sifat,


sebagai contoh adalah sifat dari warna. Hal itu nampak dalam kutipan
berikut.
Baju putihnya yang usang tak mengurangi ketampanannya
(Setyawan, 2012:4)

Seragam putih Isa tak terlihat putih lagi (Setyawan, 2012:55)

Dari kutipan di atas ditampilkan sebuah tanda baju putih yang tak
lagi berwarna putih dan sudah usang. Hal itu menunjukkan betapa baju
putih itu sudah tidak baru lagi dan warnanya sudah berubah. Tanda ini
identik dengan keprihatinan, dimana tokoh tersebut tidak dapat membeli
baju yang baru, yang berwarna lebih cerah. Warna putih biasanya
diidentikkan juga dengan kebaikan, kebersihan dan kesucian. Hal itu
nampak dalam kutipan berikut.
Dan Ngatinah, seorang gadis desa yang lugu dan berhati putih,
telah memberikan hatinya menjadi seorang istri (Setyawan,
2012:26).

Dalam kutipan di atas disebutkan Ngatinah adalah seorang yang


berhati putih, yang dimaksudkan putih di sini adalah sebuah tanda bahwa
Ngatinah mempunya hati yang bersih, baik dan suci, hal itu dapat
menjelaskan bahwa Ngatinag adalah orang yang tidak neko-neko. Warna
merah juga mempunya tanda tertentu. Warna merah biasanya diidentikkan
dengan beberapa hal, seperti keberanian, kemarahan, ketegasan, dan
perasaan cinta. Hal itu dapat dilihat dalam kutipan berikut.
Ah, matanya memerah. Uangnya belum cukup untuk membayar
buku dan kalender Bayek (Setyawan, 2012:62).

Warna merah pada mata berarti menandakan ada sesuatu yang


sedang dirasakan, dalam kutipan di atas, Ibuk tidak dapat mengambil rapor
Bayek karena uangnya belum cukup, hal itu membuat matanya memerah
yang menandakan ada kesedihan yang mendalam dan menahan untuk
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
84

menangis. Warna merah pada wajah sering diidentikkan dengan perasaan


marah dan malu. Hal itu dapat dilihat dalam kutipan berikut
Tinah duduk di kursi rotan dekat Mbok Pah yang segera memberi
isyarat agar ia menjabat tangan Sim. Keringat dingin Sim
menempel di tangan Tinah. Wajah Tinah sedikit memerah.
Mulutnya terkunci (Setyawan, 2012:8)

Dari kutipan di atas, dapat dijelaskan bahwa tanda yang dapat di


ambil dari muka Tinah yang merah adalah Tinah sedang merasakan
perasaan malu dan tersipu. Perasaan malu Tinah dari kutipan di atas
dikarenakan gejolak perasaannya yang saat itu dia masih remaja dan ada
seorang lelaki yang sedang mengunjunginya. Hal itu membuat perasaan
Tinah menjadi gugup sehingga mukanya memerah.

b. Sinsigns, tokens, terbentuk melalui realitas fisik. Sebuah tanda yang


merupakan tanda atas dasar tampilnya dalam kenyataan. Hal itu dapat
dilihat dalam kutipan berikut.
Jalannya sedikit terburu-buru menuju warung langganan yang
terletak sekitar lima kios dari kios kecil Mbok Pah (Setyawan,
2012:4-5)

Tanda dalam kutipan di atas dapat dilihat dalam langkah Sim yang
terburu-buru menuju warung langganannya. Tanda itu mempunyai makna
bahwa Sim ingin segera sampai di warung langganannya untuk sarapan
karena ia sudah lapar.
c. Legisigns, types, merupakan tanda atas dasar suatu peraturan yang
berlaku umum, sebuah konvensi, dan sebuah kode. Hal itu dapat dilihat
dalam kutipan berikut.
“Nah, kamu sudah pernah nonton film belum?” Tanya Sim
sebelum pulang.
Tinah menggelengkan kepala sambil menyenderkan badan di
sudut pintu ruang tamu (Setyawan, 2012:13).
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
85

Tanda yang diperoleh dari kutipan di atas yakni saat Tinah


menggelengkan kepala. Menggelengkan kepala sering dilakukan untuk
mengungkapkan pernyataan “tidak” atau “belum”. Hal itulah yang ingin
diungkapkan oleh Tinah kepada Sim, bahwa ia belum pernah menonton
film. Tanda fisik yang lain dapat dijumpai dalam kutipan berikut.
Muka Bayek semakin muram (Setyawan, 2012:90).
Muka bayek cemberut, matanya memandang jauh ke malam yang
makin larut. (Setyawan, 2012:91).

Tanda yang diperoleh dari kutipan di atas yakni muka yang


muram dan cemberut. Muka yang muram dan cemberut mempunya makna
sebuah masalah telah terjadi pada diri tokoh, dan itu membuatnya marah
atau kesal. Hal itu juga yang nampak pada tokoh Bayek yang keinginannya
tidak terpenuhi sehingga membuat ia merasa kesal, dan terlukiskan dengan
tanda pada wajahnya yang terlihat muram dan cemberut. Sebuah tanda juga
merupakan isyarat, seperti berjabat tangan, hal itu dapat dilihat dalam
kutipan berikut.
Tinah duduk di kursi rotan dekat Mbok Pah yang segera memberi
isyarat agar ia menjabat tangan Sim (Setyawan, 2012:8).

Tanda yang tergambar dalam kutipan di atas adalah berjabat


tangan. Berjabat tangan adalah sebuah tanda bahwa tokoh tersebut
menghormati seseorang. Berjabat tangan biasanya diartikan dengan makna
penerimaan, yakni bahwa seseorang diterima dengan baik oleh orang lain.

2. Object (designatum, denotatum, referent), yaitu apa yang diacu:


a. Ikon, Ikon adalah tanda yang menunjukkan adanya hubungan yang
bersifat alamiah antara penanda dengan petandanya.
Selepas menerima telepon dari Bayek, Ibuk masuk ke kamar. Ia
duduk sebentar di sudut ranjang kemudian mencari foto Bayek di
bawah tumpukan baju di lemari tua. Matanya masih basah.
Beberapa menit kemudian, Ibuk kembali ke ruang tamu,
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
86

membawa foto wisuda Bayek dan ditaruhnya di atas TV. Matanya


kini sembab (Setyawan, 2012:144).

Dari kutipan di atas, foto merupakan sebuah penanda yang serupa


dengan bentuk objeknya.
b. Indeks, Indeks adalah tanda yang menunjukkan hubungan kausal
(Sebab-akibat) antara penanda dan petandanya. Hal itu dapat dilihat
dalam kutipan berikut.
Asap mengepul di atas dapur rumah bambu Mak Gini dan Bapak
Mun (Setyawan, 2012:53).

Asap dari dapur masih mengepul di sela-sela genting dan dinding


rumah (Setyawan, 2012:55).

Dari kutipan di atas yang merupakan tanda adalah adanya asap.


Adanya asap berarti menandakan adanya api. Dari kutipan di atas
menandakan di rumah Mak Gini sedang ada aktivitas menggunakan api
yaitu memasak.
Mereka bermain-main dengan abab, uap udara yang diembuskan
dari mulut mereka, yang bergumpal keluar seperti kabut kecil.
Rini bahkan menirukan gaya Bapak yang sedang merokok.
“Tuh, asap keluar juga dari mulutku,” khayal Rini (Setyawan,
2012:55-56).

Dari kutipan di atas, asap yang keluar dari mulut juga menandakan
suatu makna yakni bahwa daerah tempat tinggal para tokoh merupakan
daerah yang sangat dingin, hingga mengakibatkan uap yang menyerupai
asap keluar dari mulut.
c. Simbol, Simbol adalah tanda yang menunjukkan bahwa tidak ada
hubungan alamiah antara penanda dengan petandanya, hubungannya
bersifat arbitrer atau mana suka. Tanda-tanda yang merupakan simbol
seperti dalam kutipan berikut, seperti bendera.
“Ibuk hampir lupa! Ketika membangun rumah ini, Ibuk mendapat
wejangan dari wong pinter di Gang Buntu (Setyawan, 2012:79).
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
87

Dia sudah punya kios sendiri buat jualan tempe, loh. Wis mateng
wong-e (Setyawan, 2012:3).

Dari kutipan di atas sebuah tanda dengan menggunakan kata


“mateng” yang berarti sudah masak dan “pinter” yang berarti pintar,
dalam hal ini seseorang yang dikatakan mateng berarti sudah mapan.
Sudah mempunyai pekerjaan dan penghasilah tetap. Kata “pinter” dalam
bahasa jawa yang berarti orang yang pintar. Makna yang ingin
disampaikan bukanlah orang yang mempunyai kemampuan akademik
yang baik, namun makna yang terkandung dalam ungkapan “wong
pinter” adalah seseorang yang dianggap mempunyai ilmu mistis dan
dapat menyembuhkan beberapa penyakit tanpa melalui langkah medis.
Sebuah air mata yang menetes dari mata juga merupakan sebuah simbol
yang mengisyaratkan sebuah tanda, hal itu dapat dilihat dalam kutipan
berikut.
“Mbah, bagaimana kalau Bayek tidak bangun sampai Zuhur?”
Tanya Ibuk. Air mata Ibuk menetes di pipi Bayek (Setyawan,
2012:84)

Ada air mata di sudut mata Bayek. Ia diam. Hening di ruang tamu.
Bayek dan kakak adiknya tahu bagaimana Bapak dulu bekerja
keras dari hari ke hari untuk membeli angkot itu (Setyawan,
2012:134).
Ibuk menyelamatkan kami. Aku ingin ibuk bahagia, ikrar Bayek.
matanya berkaca-kaca di depan layar komputer tempatnya bekerja
(Setyawan, 2012:143).

Beberapa keluarga korban terlihat diwawancarai di TV. Air mata


mulai menggenang di sudut mata Ibuk. Nani mengelus-elus
pundak Ibuk (Setyawan, 2012:160).

“Yek, gimana Bapakmu?” Tanya Ibuk kepada Bayek yang baru


nyekar ke makam Bapak.
“Bapak kangen Buk. Pingin ngurusi cucu lagi,” kata Bayek
bercanda. Ibuk dan Bayek tersenyum tapi mata mereka berkaca-
kaca (Setyawan, 2012:283).
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
88

Dari kutipan di atas, air mata merupakan sebuah tanda yang


mempunyai makna suatu kesedihan. Para tokoh mengekspresikan
kesedihan mereka dengan air mata. Sebuah elusan pada pundak juga
menandakan kepedulian seseorang terhadap seseorang yang tengah
mengalami kesedihan. Sebuah senyuman yang dibarengi dengan air mata
ternyata juga belum cukup untuk menutupi kesedihan itu. Walaupun Ibuk
dan Bayek tersenyum tetapi matanya berkaca-kaca karena air mata, itu
merupakan kesedihan yang berusaha mereka tutup-tutupi dengan sebuah
senyuman. Air mata ternyata tidak selalu bermakna kesedihan. Sebuah
perasaan haru juga sering diekspresikan dengan air mata. Hal itu dapat
dilihat dalam kutipan berikut
Air mata Ibuk menetes mendengar tangis bayi pecah (Setyawan,
2012:31).

“Aku barusan transfer buat bangun rumah kita Buk”. Air mata
Ibuk mengalir di tengah kebahagiaan, “Le, jangan banyak-
banyak.” (Setyawan, 2012:175-176).

Dari kutipan di atas menunjukkan air mata merupakan sebuah


tanda yang menunjukkan rasa keharuan. Rasa haru juga sering diluapkan
dengan air mata. Sebuah keadaan yang menunjukkan waktu juga sering
disimbolkan dengan berbagai tanda alam. Hal itu dapat dilihat dalam
kutipan berikut.
Matahari perlahan muncul dari balik Gunung Semeru dan
terangnya mulai mewarnai tubuh Gunung Arjuno yang gagah
(Setyawan, 2012:39).

Ayam mulai berkokok. Cahaya matahari menyelinap melalui


jendela di dapur yang telah Ibuk buka sebelum azan Subuh
berkumandang (Setyawan, 2012:40).

Sebelum ayam berkokok, Bapak sudah terbangun (Setyawan,


2012:69).
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
89

Warna pagi mulai merona di balik Gunung Semeru (Setyawan,


2012:69).

Hujan belum reda. Matahari mulai merangkak ke ufuk barat


hendak tenggelam tapi sinarnya masih kelihatan di balik awan
yang mulai gelap (Setyawan, 2012:76).

Bapak kemudian menghidupkan TV hitam putih di ruang tamu


tapi yang ada tinggal lagu “Indonesia Raya” (Setyawan, 2012:69).

Dari beberapa kutipan diatas mengandung tanda-tanda yang


bermaksud menunjukkan suatu makna berupa waktu, seperti matahari
mulai muncul merupakan tanda pagi hari telah datang, ayam mulai
berkokok merupakan sebuah tanda yang bermakna hari hampir pagi,
warna pagi mulai merona bermakna bahwa matahari mulai terbit dan
menandakan pagi telah datang, juga matahari mulai merangkak ke ufuk
barat berati menandakan bahwa matahari mulai tenggelam dan hari mulai
malam, sedangkan tanda yang terakhir yakni sebuah TV tinggal memutar
lagu Indonesia Raya menyampaikan makna bahwa malam telah larut.
Sebuah simbol kebahagiaan juga diungkapkan melalui tanda-tanda
sebagai ekspresi kebahagiaan. Tanda-tanda tersebut dapat dilihat dalam
kutipan berikut.
“Bapak Mun, jatah yang kemarin belum dikasih ya? Jadi jatah hari
ini dobel!” seru Bayek dengan wajah berbunga-bunga (Setyawan,
2012:113).

Matanya bersinar-sinar melihat kedua anaknya makan dengan


lahap (Setyawan, 2012:47).

“Wah, gak percaya Isa bisa masuk SMA!” ucap ibuk dengan
Bangga. Wajah Ibuk merekah. Satu jalan terjal telah ia lalui
bersama Bapak (Setyawan, 2012:121).

Dari beberapa kutipan di atas terdapat tanda-tanda sebagai


ekspresi ungkapan kebahagiaan, seperti wajah yang berbunga-bunga,
wajah yang merekah dan mata yang bersinar. Kebahagiaan sering
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
90

disimbolkan dengan hal-hal yang indah, seperti bunga yang sedang


merekah, dan sebuah sinar. Sebuah tanda yang menunjukkan perjuangan
juga dijumpai dalam novel Ibuk. Seperti terlihat dalam kutipan beikut.
Membesarkan lima orang anak membutuhkan napas yang panjang
(Setyawan, 2012:37-38).

Selama menjadi sopir pribadi, Bapak lebih bisa bernapas


(Setyawan, 2012:95).

Hidup adalah perjalanan untuk membangun rumah untuk hati.


Mencari penutup lubang-lubang kekecewaan, penderitaan,
ketidakpastian, dan keraguan. Akan penuh dengan perjuangan.
Dan itu yang akan membuat rumah indah (Setyawan, 2012:79).

Dari kutipan di atas tanda-tanda yang dimunculkan yaitu napas.


Napas yang panjang disini mempunyai makna perjuangan yang tidak
mudah, jadi dalam membesarkan lima orang anak dengan keadaan
ekonomi yang tidak menentu, membuat Ibuk dan Bapak melalui
perjuangan yang tidak mudah. Begitu juga dalam kutipan kedua, bernapas
dalam kutipan itu bermakna bahwa Bapak bisa sedikit longgar.
Tenaganya tidak terkuras di jalanan seperti saat menjadi sopir angkot.
Bapak bisa sedikit bersantai. Pada kutipan yang terakhir, makna yang
ingin disampaikan melalui tanda hidup adalah membangun rumah untuk
hati yakni, sebuah kehidupan adalah perjalanan untuk mengarungi hidup.
Selalu ada senang, sedih, duka, bahagia, dan kekecewaan. Namun itu
semua adalah sebuah cambukan yang akan membuat hati lebih tabah
menerima segala keadaan dan membuat hati kita semakin kokoh bagaikan
membangun sebuah rumah. Tanda-tanda yang dimunculkan sebagai
sebuah ungkapan dalam mengarungi kehidupan juga terlihat dalam
kutipan berikut.
Bukan hanya nasi goreng, mereka juga berbagi hati (Setyawan,
2012:96).
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
91

Lima orang anak pada suatu pagi. Kicau burung pun tak terdengar.
Sebuah pesta kehidupan yang dipimpin seorang perempuan
sederhana tapi perkasa (Setyawan, 2012:42).

Dari kutipan di atas makna dari ungkapan berbagi hati adalah


berbagi kasih sayang. Kata hati sering diidentikkan dengan sebuah kasih
sayang dan perasaan. Pada kutipan kedua makna yang ingin disampaikan
dari ungkapan “sebuah pesta kehidupan yang dipimpin oleh perempuan
sederhana tapi perkasa” yakni, sebuah perjalanan kehidupan sebuah
rumah tangga yang beranggotakan tujuh orang dengan tokoh Ibuk sebagai
ibu rumah tangga yang bertanggung jawab terhadap kelima anak-
anaknya, walaupun ia adalah seorang ibu yang sederhana, namun juga
merupakan perempuan yang perkasa karena mampu bertahan di tengah
gejolak perekonomian keluarga yang terus menghimpit. Sebuah tanda
juga digunakan untuk mengungkapkan perpisahan. Hal itu dapat dilihat
dalam kutipan berikut.
“Nah, Nah, ke sini Nah. Ambungen aku, Nah…,” kata Bapak
terbata-bata setelah melihat foto-foto itu (Setyawan, 2012:268).

“Ni, Ni…itu foto siapa di sampul buku Yasin?” Tanya Bapak


setelah mereka membaca Yasin.

“Ni, pasang foto bapak ya nanti…,”kata Bapak dengan lirih
(Setyawan, 2012:268).

Rini bangun kembali untuk memeriksa Bapak. Tangannya masih


memegang tangan Bapak. Ia melihat wajah Bapak. Ada air mata
yang meleleh di mata kiri Bapak. Rini kemudian memerikasa
napasnya. Bapak yang tidur di sampingnya sudah tidak bernapas
lagi…(Setyawan, 2012:271).

Kutipan-kutipan di atas mengandung tanda-tanda yang


diungkapkan sebagai makna perpisahan. Pada kutipan pertama, Bapak
yang meminta Ibuk untuk menciumnya, itu merupakan ungkapan
perpisahan dari Bapak, kerena saat itu Bapak sedang sakit keras, dan ia
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
92

merasa bahwa hidupnya tidak akan lama lagi. Kutipan kedua juga
menandakan bahwa Bapak merasa umurnya tidak akan lama lagi, yakni
dari permintaannya pada anaknya untuk memasang fotonya pada buku
Yasin. Kutipan di atas juga mengandung makna perpisahan yang
menandakan sebuah kesedihan, yakni saat Bapak sudah tidak bernapas
yang berarti menandakan bahwa Bapak sudah meninggal, dan air mata di
sudut kiri matanya menandakan perpisahan dengan keluarganya dalam
kesedihan. Sebuah simbol berupa tanda-tanda juga dimunculkan
pengarang dalam kutipan-kutipan berikut ini.
Kusaksikan tangan-tangan politik mulai kotor, meraih
kemenangan demi kepentingan sendiri. Pemimpin saling berebut
nasi (Setyawan, 2012:106).

Makna yang terkandung dalam kutipan di atas yakni tangan-


tangan politik yang kini sudah dipenuhi dengan kejahatan yang
dilambangkan dengan kata “kotor”, kejahatan berupa korupsi, dan
kejahatan lainnya, juga para pemimpin bangsa yang saling berebut
kekuasaan yang dilambangkan dengan berebut nasi, yakni nasi
diibaratkan sebagai sumber penghidupan. Simbol yang menunjukkan usia
juga nampak dalam kutipan berikut.
Bapak Mun yang rambutnya telah dipenuhi uban baru bisa
menikmati makan siang setelah membagikan uang jajan kepada
cucu-cucunya (Setyawan, 2012:114).

Dari kutipan di atas, Bapak Mun digambarkan sebagai seseorang


yang rambutnya sudah dipenuhi uban. Rambut yang penuh uban berarti
menyimbolkan seseorang yang sudah tua. Data itu diperkuat dengan
pernyataan pengarang yang menyebutkan cucu Bapak Mun. Novel Ibuk,
juga menampilkan sebuah tanda yang mewakili perasaan gugup. Hal itu
nampak dalam kutipan berikut.
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
93

Bayek mulai bertanya, bagaimana kalau aku adalah mereka?


Keringat dingin pun menetes. Di Batu orang tak pernah mati
sendiri! pikir Bayek (Setyawan, 2012:200).

“Yek, how can I say this,” kata Rachel sambil menarik napas
panjang. Mata Bayek terperangah. Jarang-jarang Rachel bicara
seserius ini (Setyawan, 2012:212).

Dari kutipan di atas, sebuah tanda yang dialami tokoh berupa


keringat dingin yang muncul merupakan keadaan di mana seseorang
sedang gugup dan dalam ketakutan. Hal itulah yang dialami tokoh Bayek
bahwa ia sedang dalam keadaan gugup dan ketakutan karena cerita dari
rekan-rekan kerjanya tentang kematian karena bunuh diri. Kegugupan
juga dialami tokoh Rachel, kali ini ia menandakan kegugupannya dengan
sebuah tarikan napas panjang. Hal itu ia lakukan karena ada sebuah
pembicaraan yang membuatnya tidak tahu harus dengan cara apa untuk
mengungkapkannya. Hal itulah yang membuat Rachel menjadi gugup.
Sebuah tanda berupa kekecewaan juga nampak dalam kutipan berikut.
Di sesi terapi pertama, Bapak diantar ke dokter dengan kursi roda.
Wajahnya selalu menunduk selama perjalanan menuju mobil, dari
rumah ke Gang Buntu (Setyawan, 2012:265).

Dari kutipan di atas sebuah tanda yang dimunculkan yaitu berupa


tundukan kepada Bapak. Bapak menundukkan kepala karena ia merasa
kecewa. Ia yang dulu gagah dan sebagai pejuang dalam keluarga, kini
harus menyerah duduk di kursi roda. Pengarang dalam novel ini juga
menyuguhkan sebuah puisi yang sarat makna. Berikut adalah kutipan
puisinya.
Sajak Musim Gugur

Malam-malam berguguran…
Kenangan berguguran…
Hanya sajak ini yang tumbuh
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
94

Kau selalu berdiri, ketika matahari mengoyak langit


Ketika panas, mengoyak-ngoyak hidup!

Kau pernah ajak aku berjalan


Melalui pagi dan senja, berbasah hujan
Melalui kali. Luka dan suka mengalir di sana
Tanpa jeda

Bertahan! Kau harus bertahan…


Jangan gugur sebelum musim dingin tiba
Ini kuberikan napasku!
(Setyawan, 2012:264).

Makna keseluruhan yang ingin disampaikan pengarang dalam


puisinya adalah sebuah puisi yeng bertemakan kesedihan. Judul “Sajak
Musim Gugur” dipilih karena musim gugur sering diidentikkan dengan
sebuah kesedihan dan kepiluan. Diceritakan, puisi itu dibuat oleh tokoh
Bayek saat Bapak tengah sakit keras, dan saat itu ia harus meninggalkan
rumah untuk suatu pekerjaan. Bait pertama bermakna hari-hari yang
dilewati penuh dengan kesedihan, kenangan-kenangan menyisakan
kesedihan, hanya puisi ini yang membuatnya indah. Bait kedua ingin
mengungkapkan bahwa Bapak adalak laki-laki yang kuat, yang selalu
berdiri melawan rintangan dan kesulitan yang diibaratkan dengan
ungkapan “matahari mengoyak langit, katika panas mengoyak hidup”.
Bait ketiga juga menceritakan bagaimana perjuangan Bapak sebagai
kepala rumah tangga yang mengajarkan anak-anaknya untuk hidup dalam
perjuangan untuk menghadapi permsalahan-permasalahan hidup yang
semakin kompleks, yang dalam puisi dilukisakan dengan berbasah hujan
dan luka. Pada bait terakhir, berisi harapan Bayek agar Bapak dapat
bertahan dalam sakitnya, jangan sampai meninggal sebelum Bapak
merasakan kebahagiaan, dan ia akan selalu memberikan kasih sayang dan
cintanya pada Bapak yang diungkapkan dengan kata-kata “ini kuberikan
napasku”.
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
95

3. Nilai-Nilai Pendidikan dalam Novel Ibuk, Karya Iwan Setyawan


a. Nilai Pendidikan Religius
Nilai religius merupakan nilai yang mengarah pada Ketuhanan. Nilai
religius ini sangat berhubungan dengan agama dan kepercayaan. Karena
agama merupakan suatu keyakinan atau kepercayaan yang dianut oleh
seseorang dan seseorang tersebut menjadikannya sebagai pegangan dalam
hidup. Nilai keagamaan ini akan menuntun manusia ke arah kehidupan yang
lebih baik dan menyelaraskan kehidupan manusia. Nilai-nilai religius
merupakan tuntunan dalam mengarungi hidup. Karya sastra merupakan hasil
ciptaan manusia yang dapat dimanfaatkan sebagai sarana penyampaian nilai-
nilai religius tersebut. Nilai pendidikan religius juga termasuk dalam nilai
karakter. Berikut ini nilai-nilai religius yang ditemukan peneliti dalam novel
Ibuk,.
1. Berdoa kepada Tuhan
Manuasia adalah cipta Tuhan yang paling sempurna. Manusia
diberikan akal budi yang lebih dari makhluk hidup yang lain. Dengan akal
budi yang lebih manusia akan lebih menghargai dan mempercayai adanya
Tuhan. Sebagai bentuk kepercayaan pada Tuhan manusia akan lebih dapat
menjalankan perintah dan menjauhi larangan-Nya. Manusia berdoa pada
Tuhan untuk meminta pertolongan dalam mengarungi kehidupan. Manusia
juga memohonkan segala permohonannya kepada Tuhan dan mempercayai
bahwa selalu ada pertolongan di dalam Tuhan. Hal tersebut juga terdapat
dalam novel Ibuk, dimana tokoh-tokohnya selalu menyertakan Tuhan di
dalam kehidupannya. Mereka selalu berdoa sebagai bentuk permohonan
terhadap Tuhannya. Berikut kutipan cerita yang menggambarkan hal tersebut.
“ kamu jangan lupa sholat, jangan lupa bersyukur. Banyak anak-anak
sopir, teman-teman SMA kamu hanya bisa membantu bapaknya
menyopir. Kamu jangan lupa sholat ya, Le. Bersyukur,” Ibuk selalu
mengingatkan Bayek. (Setyawan, 2012:141).
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
96

Kutipan di atas menyatakan kecintaan tokoh Ibuk terhadap


Tuhannya, dan ia mengajarkan hal tersebut juga pada anaknya, bahwa anaknya
juga harus selalu ingat akan keberadaan Tuhan yang selalu memberikan jalan
bagi umatnya yang mau berusaha dan senantiasa bersyukur. Kutipan tersebut
mengandung nilai religius yaitu bahwa manusia harus selalu beribadah pada
Tuhan dan harus selalu bersyukur pada Tuhan. Dalam novel ini tokoh Ibuk
sangat berjiwa religius. Ia sangat rajin berdoa pada Tuhan. Tidak untuk berdoa
untuk dirinya sendiri tetapi juga memohonkan bagi orang lain dalam hal ini
anak-anaknya dan keluarganya. Hal itu nampak dalam kutipan berikut.
“iyo, Le. Ibuk doakan. Ibuk terus doakan. Sering-sering telepon nang
omah, yo, Le.” (Setyawan, 2012: 148).

Dalam kutipan di atas nampak bahwa tokoh Ibuk selalu mendoakan


anak-anaknya. Itulah ekspresi cinta seorang ibu yang selalu menyebut anaknya
dalam komunikasinya dengan Tuhan. Ibuk juga selalu menyuruh anak-anaknya
untuk selalu berdoa dan juga mendoakan orang lain. Hal itu nampak dalam
kutipan berikut yang menggambarkan hal tersebut.
Isa tidak muda lagi, doakan segera dapat jodoh ya Le, pesan Ibuk.
(Setyawan, 2012:148).

Ibuk meminta Bayek anak lelakinya untuk mendoakan kakak


perempuan pertamanya agar segera mendapat jodoh karena usianya tidak muda
lagi. Ibuk selalu berusaha membiasakan anak-anaknya agar selalu berdoa untuk
memohonkan keinginan sendiri maupun mendoakan orang lain. Nampaknya
sikap Bayek anak lelaki Ibuk juga mewarisi sikap yang sama yakni sikap Ibuk
yang selalu berdoa pada Tuhan dalam keadaan apapun. Kutipan berikut ini
menunjukkan hal tersebut.
Air mata Bayek meleleh setelah salat Isya. Terlintas bayangan orang-
orang yang terjebak dalam gedung saat pesawat menabrak. (Setyawan,
2012:158).
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
97

Dalam kutipan tersebut diceritakan bahwa Bayek yang tengah berada di


NYC baru saja selesai salat Isya, sebelumnya juga diceritakan bahwa pada
siang hari telah terjadi kejadian yang sangat memilukan yaitu adanya pesawat
yang menabrak Twins Tower di kompleks perkantoran tempat kerja Bayek.
dalam bayangan Bayek terlintas orang-orang yang sedang terjebak di dalamnya
dan itu yang membuatnya haru. dalam keadaan seperti itu Bayek selalu ingat
untuk berdoa pada Tuhannya agar selalu diberikan keselamatan di mana pun.
Hal itu juga dilakukan Ibuk. Ia selalu mendoakan anaknya yang sedang berada
di belahan bumi yang ia sendiri tidak tahu dimana itu. Tapi ia selalu menyapa
anaknya dalam doa seusai salat. Hal itu nampak dalam kutipan berikut.
Ibuk tak bisa membayangkan, bagaimana kehidupan Bayek di New
York City. Ia hanya bisa mengirimkan doa kepada anaknya seusai salat.
(Setyawan, 2012:163).

Kutipan di atas menyatakan bahwa Ibuk selalu rajin berdoa dan


beribadah (salat) serta selalu mendoakan anak-anaknya seusai salat. Keluarga
Ibuk memang keluarga yang sangat religius. Tiada hari yang dilalui tanpa
beribadah. sholat lima waktu selalu dijalankan. Dari mulai subuh sampai isya,
seperti terlihat dalam kutipan berikut.
Pagi itu gelap dan dingin. Hujan deras mengguyur Kota Batu. Jam
setengah tujuh pagi segelap jam lima pagi. Lampu ruang tamu sudah
dimatikan Ibuk setelah salat subuh tadi. (setyawan, 2013:285).

Dalam kutipan tersebut diceritakan bahwa Ibuk selalu bangun saat


waktunya salat subuh. Begitu taatnya ia pada agamanya. Begitu juga sifatnya
itu menurun pada anak-anaknya. Apalagi semenjak Bapak sakit, Ibuk dan anak-
anaknya selalu berdoa untuk kesembuhan Bapak. Bahkan semenjak Bapak
meninggal, kedekatan keluarga Ibuk dengan Tuhan semakin terasa. Setiap hari
selalu dipenuhi dengan doa-doa, terutama mengirim doa untuk arwah Bapak
yang telah tiada. Hal itu nampak dalam kutipan berikut.
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
98

“Ni, Ni…itu foto siapa di sampul buku Yasin?” Tanya Bapak setelah
mereka membaca Yasin. (Setyawan, 2012:268).

Nani selalu mengaji di kamar Bapak. Ibuk setiap malam selalu


memimpin pengajian kecil bersama anak cucunya dan mengirim doa
kepada Bapak. Ibuk selalu mengingatkan anak-anaknya untuk tabah.
Ibuk selalu bilang bapak tidak butuh apa-apa sekarang. hanya doa.
Hanya doa. (Setyawan, 2012:285).

Dari kutipan di atas cukup menjelaskan bahwa keluarga Ibuk sangat


dekat dengan Tuhan. Mereka selalu mengutamakan beribadah dan mencari
pertolongan dalam Tuhan. Nilai religius yang dapat dipetik dari kutipan-kutipan
di atas adalah, kita sebagai manusia yang beriman sudah selayaknya kita harus
selalu mendekatkan diri pada Tuhan. Kita harus selalu berusaha untuk
menjalankan segala perintah dan menjauhi larangan-Nya, karena pada akhirnya,
manusia juga akan kembali kepada Sang Pencipta.
2. Menjalankan perintah agama
Sebagai manusia yang taat pada agama, selalu dalam hidupnya pasti
ingin menjalankan perintah agama dengan sebaik-baiknya. Setiap orang
beriman pasti selalu berlomba-lomba untuk selalu berusaha menjalankan setiap
perintah dalam agamanya. Tak terkecuali yang diceritakan dalam novel Ibuk
ini. Setting agama dalam novel ini adalah Muslim. Dan sebagai muslim yang
baik Ibuk ingin selalu menjalankan syariat islam yang mengharuskan laki-laki
yang sudah akil balik harus di sunat. Itu menjadi hukum yang wajib di dalam
Agama Islam. Hal itu dapat dilihat dalam kutipan berikut.
“Le, kamu sudah besar. Ingat, tahun ini kamu mesti disunat juga. Ibuk
mesti mengumpulkan duit buat itu. Udah besar, Le. Masa’ mau nunggu
kelas 3? Sudah susah dipotong loh,” canda Ibuk (Setyawan, 2012:126).

Dalam kutipan di atas walaupun nampak kata-kata yang diucapkan


ibuk diselingi dengan candaan, namun makna yang ingin diungkapkan adalah
bahwa dalam ajaran Agama Islam, seorang laki-laki yang sudah akil balik wajib
melakukan sunat. Hal itu sebagai bentuk kepercayaan manusia terhadap Tuhan
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
99

untuk selalu menjalankan perintah agamanya. Setiap manusia yang beriman


pasti ingin melakukan hal terbaik dalam menganut suatu agama. Setiap ajaran
agama selalu mengharapkan umatnya untuk hidup prihatin dan sederhana.
Keprihatinan dalam hidup beragama misalnya tertuang lewat ajaran berpuasa.
Dalam menjalankan puasa, seseorang tidak hanya diwajibkan menahan lapar
dan harus, tetapi juga harus dapat menahan amarah dan hawa nafsu. Selain itu
dalam bertindak dan bertutur hendaknya juga dilakukan dengan lebih bijaksana.
Dalam novel Ibuk, ini, juga diceritakan tentang hal berpuasa sebagai ketaatan
manusia terhadap Tuhannya. Hal itu dapat kita lihat dalam kutipan berikut.
Sudah beberapa kali lebaran Bayek tidak bisa pulang kampung. Puasa
di New York City. Setiap kali sahur, Bayek selalu menelepon Ibuk. Ia
ingin ditemani meskipun hanya lewat telepon. Puasa tahun ini di NYC
terasa lebih berat buat Bayek. Matahari tenggelam sekitar jam 6.30
sore di musim panas. Bayek harus bekerja seperti biasa.
“hey, are you still fasting?”Tanya Rachel yang baru datang di kantor.
“Of course! I am a good moslem,” jawab Bayek dengan bangga.
(Setyawan, 2012:197).

Dalam kutipan di atas diceritakan betapa Bayek sangat taat terhadap


ajaran agamanya. Ia tetap menjalankan ibadah puasa walaupun sedang berada
di dunia barat yang notabene wilayah itu banyak dihuni oleh orang-orang
nonmuslim. Bayek tetap menjalankan ibadah puasa dengan taat walaupun saat
itu sedang musim panas, dan puasa menjadi lebih berat dari biasanya. Ia tetap
menjalankannya walaupun mungkin hanya ia sendiri diantara teman-temannya
yang lain tidak menjalankannya. Nilai religius yang dapat dipetik dalam
kutipan di atas adalah, dimanapun kita berada, sebagai umat yang beriman
kita tetap harus teguh menjunjung tinggi ajaran agama yang kita anut. Setiap
manusia selalu berusaha agar setiap ajaran agama dapat teramalkan dengan
baik. Manusia juga akan menghormati hari besar agama yang telah ditetapkan
oleh suatu agama. Karena mereka percaya hari besar agama merupakan hari
dimana peristiwa sejarah agama lahir. Dalam novel Ibuk, ini juga diceritakan
bahwa para tokoh sedang merayakan hari besar Agama Islam yaitu Lebaran
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
100

yang diperingati setiap tahunnya. Cerita tersebut dapat dilihat dalam kutipan
berikut.
Seminggu setelah mendengar cerita kematian dari Enzu, Bayek
merayakan lebaran sendiri di NYC. Di belahan dunia yang lain, semua
saudara Bayek salat Ied bersama, makan ketupat dan tape ketan hitam.
Sehabis salat mereka berkumpul di ruang tamu dan saling bermaaf-
maafan.
“aduh, Sa…Kasihan Bayek. Sendirian anak lanangku,” kata Ibuk
terisak-isak. Isa memeluk Ibuk yang memakai kerudung putih. Ia
kemudian menelepon Bayek.
“Buk, aku njaluk sepuro yo, gak bisa pulang. Sepurane yo Buk, lahir
batin,” kata Bayek, air matanya meleleh.
“sama-sama, Le. Ibuk juga. Kamu yang tabah ya. Semoga tahun depan
kita bisa lebaran bersama,” kata Ibuk.
“Bapak, Isa, Nani, Rini, Mira, Daanii, dan menantu-menantu Ibuk
kemudian bergiliran bermaaf-maafan dengan Bayek Setelah salat Ied
di Mesjid Indonesia di Queens, Bayek kembali ke kantor dan bekerja
seperti biasa (Setyawan, 2012:202).

Dalam kutipan di atas diceritakan bahwa bahwa Bayek tengah


manjalankan hari raya Lebaran seorang diri. Sedangkan di rumahnya di
kampung keluarganya sedang merayakan lebaran bersama-sama. Tetapi hal
itu tidak mengecilkan hati Bayek. Saat lebaran adalah moment untuk saling
memaafkan, dan itu tetap dapat mereka lakukan melalui telepon. Bayek
menelepon rumah untuk meminta maaf pada Ibuk, Bapak dan saudara-
saudaranya yang lain. Memang berat saat menjalankan hari raya seorang diri.
Tetapi Bayek tetap tabah dan selalu taat pada agamanya. Ia tetap melakukan
salad Ied di belahan dunia yang minoritas kaum muslim, dan selanjutnya
bekerja seperti biasa di kantor.
3. Bersyukur atas anugerah Tuhan
Bersyukur merupakan ungkapan atas rasa gembira atau bahagia yang
dialami oleh seseorang. Ungkapan syukur biasanya dilakukan jika
mendapatkan rezeki atau nikmat yang telah diberikan oleh Tuhan. Sebagai
makhluk ciptaan Tuhan, manusia harus senantiasa bersyukur atas segala
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
101

anugerah yang telah diberikan Tuhan. Hal itu juga nampak dalam kutipan
novel ibuk, seperti berikut.
“Alhamdulillah, Buk. Kantorku jauh dari kompleks WTC itu. Tadi
mau telepon juga gak bisa,”kata Bayek.
“Alhamdulillah, Le. Kamu hati-hati ya. Jangan lupa salat,”pesan Ibuk.
(Setyawan, 2012:161).

Kutipan di atas menceritakan bahwa Bayek sangat bersyukur atas


keadaannya yang terhindar dari tragedi yang sedng terjadi di NYC yaitu
sebuah pesawat yang menabrak gedung pencakar langit yang merupakan
kompleks perkantoran. Bayek mengucapkan “Alhamdulillah” sebagai
ungkapan syukur atas berkat yang masih dilimpahkan padanya berupa
keselamatan. Begitu juga dengan Ibuk. Ibuk juga mengucap syukur pada
Tuhan atas berkat keselamatan yang telah diberikan Tuhan pada anaknya.
4. Berbakti kepada orang tua
Salah satu bentuk ketakwaan manusia pada Tuhan yaitu dengan cara
berbakti dan menghormati orang tua. Semua agama pasti mengajarkan dan
memerintahkan hal yang sama yaitu harus berbakti pada orang tua. Sudah
selayaknya seorang anak harus berbakti pada orang tuanya, dan itu merupakan
suatu kewajiban. Berbakti kepada orang tua merupakan bentuk terima kasih
dan penghormatan kepada orang tua yang telah melahirkan, merawat dari
kecil, sampai membimbing seseorang dalam mengarungi kehidupan. Seperti
tergambar dalam kutipan berikut.
“Buk doakan aku. Besok ujian!” teriak Nani.
“aku juga ya Buk, doakan dapat 10!” teriak Bayek juga.
Sudah menjadi kebiasaan anak-anak Ibuk selalu meminta doa. Isa dan
adik-adiknya baru berangkat ke sekolah setelah Ibuk menjawab, iya,
Ibuk doakan. (Setyawan, 2012:131 ).

Buk, doakan ujianku lancar ya. Doakan aku bisa, begitulah pinta
Bayek kepada Ibuk, semenjak SD sampai kuliah. Bayek tidak hanya
meminta doa ketika musim ujian tiba. Bayek juga meminta doa ketika
naik Gunung Panderman, ketika pergi belajar renang, ketika mengikuti
lomba paduan suara, lomba baca puisi, ketika menaiki panggung untuk
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
102

pementasan teater pertama kali, ketika mengikuti lomba menyanyi


keroncong se-Jawa Timur atau ketika akan berpuasa. (Setyawan,
2012:138).

“ Buk, doakan ya, Buk,” kata Bayek lirih menahan tangis. Ia tidak bisa
berkata banyak. (Setyawan, 2012:144).

Dari tiga kutipan diatas menceritakan bahwa semua anak-anak Ibuk


selalu meminta restu pada orang tuanya dalam segala hal. Meminta restu
adalah salah satu bentuk sikap berbakti pada orang tua. Restu orang tua
merupakan doa bagi anak-anaknya, maka dari itu sudah selayaknya setiap
orang berbakti pada orang tuanya. Dalam novel ini diceritakan Bayek adalah
orang yang sangat mencintai orang tuanya. Setiap rezeki yang ia dapat pasti
selalu diberikan pada orang tuanya. Bahkan dari kecil sikap ini sudah tertanam
dalam diri Bayek. seperti terlihat dalam kutipan berikut.
“Udah Yek, uangnya kamu bawa saja. Ibuk masak dulu ya!” jawab
Ibuk singkat. Sudah menjadi kebiasaan Bayek ketika memegang uang
banyak, ia selalu memberikan pada Ibuk. Ketika kecil, Bayek sering
ikut menarik angkot dan banyak pelanggan Bapak yang memberikan
uang jajan. Bayek selalu menyetorkan kepada Ibuk (Setyawan,
2012:127).

Semenjak menerima gaji pertama, Bayek rajin mengirim sedikit dari


penghasilannya untuk membantu keluarga di Batu. Tidak banyak tapi
cukup meringankan beban orang-orang yang ia cintai di kaki Gunung
Panderman (Setyawan, 2012:139).

Dalam kutipan di atas, diceritakan bahwa sejak kecil Bayek sudah


memupuk sikap berbaktinya pada orang tua. Rezeki sedikit yang ia dapat dari
ikut menarik angkot Bapak selalu diserahkan pada Ibuk. Hal itu juga berjalan
sampai ia tumbuh dewasa dan telah bekerja. Sebagian dari gaji pertamanya ia
kirimkan pada Ibuk. Tidak untuk Ibuk saja, tetapi ia juga berusaha untuk
membantu keluarga-keluarganya yang lain. Seperti terlihat dalam kutipan
berikut.
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
103

“Buk, aku juga barusan transfer. Buat bayar hutang ke Tante Bewah,
uang yang aku pakai untuk berangkat ke sini. Sisanya buat Ibuk dan
Bapak ya, “kata Bayek (Setyawan, 2012:152-153).

“Buk, wis taktransfer lagi ya!” tukas Bayek.


Hutang pada Lek Tukeri untuk biaya kuliah telah ia kembalikan.
“Buk, sisa uangnya untuk Mira kuliah dan nabung buat bangun rumah
kita nanti,” kata Bayek (Setyawan, 2012:165).

“Buk, aku transfer maneh. Jangan kaget…,” kata Bayek di telepon.


“Wah, kaget gimana Yek? Jangan ngaget-ngagetin! Kamu jauh dari
orangtua ya,” balas Ibuk.
“Buk, aku sudah nabung banyak. Kebetulan, bonus juga lumayan
tahun ini. Bosku apik, Buk. Aku barusan transfer buat bangun rumah
kita, Buk.” (Setyawan, 2012:175).

“Buk… aku wis transfer lagi!” kata Bayek dengan semangat.


“Lah, kemarin kan baru transfer. Kamu juga harus nabung buat
hidupmu Le. Buat siap-siap kalau punya keluarga entar. Sudah punya
pacar tah?” Tanya Ibuk.
“Ah, kalau itu gampang. Entar saja Buk…Buk, Bapak kan ada sedikit
tanah warisan di Yogya. Daripada dianggurin, Mbak Nani
menyarankan untuk dibuat kos-kosan. Uang yang aku transfer buat itu
ya, Buk!” kata Bayek (Setyawan, 2012:186-187).

Dari semua kutipan di atas menunjukkan bahwa Bayek adalah anak


yang sangat berbakti pada orang tua. Ia selalu berusaha untuk membahagiakan
dan meringankan beban orang tuanya. Mengirim uang untuk membantu
ekonomi keluarga. Membayarkan hutang-hutang keluarga. Membuatkan kos-
kosan Bapak agar bapaknya tidak bekerja menjadi sopir lagi. Itu semua ia
lakukan karena kecintaannya pada keluarga dan rasa hormatnya pada
orangtua. Bukan saja ingin membahagiakan orang tuanya, Bayek juga
membantu semua saudara-saudara perempuannya. Dari mulai biaya kuliah
sampai biaya untuk membangun rumah saudara-saudaranya. Bukan hanya
Bayek yang berbakti pada orang tua, tetapi semua anak-anak Ibuk berbakti
pada orang tua. Seperti terlihat dalam kutipan berikut.
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
104

Bayek juga sering pulang ke Batu. Nani selalu siap siaga mengurus
Bapak ke dokter, menebus resep, dan membantu Bapak meminum
obat. Demikian juga Isa dan Rini, bergantian menjaga Bapak. Cucu-
cucu pun selalu setia menemani Bapak sepulang mereka dari sekolah
(Setyawan, 2012:275).

Dari kutipan di atas, jelas bahwa sebua anak-anak Ibuk dan Bapak
yakni, Isa, Nani, Bayek, Rini, dan Mira, semua sangat menyayangi orang
tuanya. Mereka semua ingin membahagiakan orang tua yang selama ini telah
berjuang untuk menghidupi mereka.

b. Nilai pendidikan Moral


Nilai moral adalah nilai-nilai yang berkaitan erat dengan nilai-nilai
etika dalam berperilaku, bertindak dan berpikir. Nilai moral dapat membedakan
mana yang baik dan mana yang buruk yang harus dilakukan dan dihindari oleh
seseorang agar tercipta suatu lingkungan yang serasi, selaras dan harmonis. Nilai
moral yag terkandung dalam karya sastra sangat bermanfaat untuk mendidik
seseorang agar berperilaku lebih baik dan mengenal nilai-nilai etika. Nilai
pendidikan moral termasuk ke dalam nilai karakter yakni seperti disiplin, kerja
keras, mandiri dan lain-lain. Berikut nilai-nilai moral yang terkandung dalam
novel Ibuk,.
1. Kesederhanaan
Kesederhanaan merupakan gaya hidup dan itu merupakan pilihan.
Seseorang dapat menentukan gaya hidupnya ingin sederhana ataupun berlebihan.
Bukan hanya orang yang berkekurangan saja yang harus hidup sederhana. Tetapi
dalam keadaan apapun kita, baik miskin ataupun kaya hendaknya hidup
sederhana. Kesederhanaan merupakan keadaan dimana seseorang menjalani
hidupnya dengan tidak berlebihan. Memanfaatkan segala sesuatu dengan sebaik
mungkin, dan sebisa mungkin prihatin. Seperti terlihat dalam kutipan cerita
berikut.
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
105

Hidup begitu sederhana. Mereka makan bersama di dapur berlantai


tanah, di depan tungku perapian yang menjadi tempat memasak, juga
untuk menghangatkan diri dari udara dingin Kota Batu. Di dapur inilah
kebersamaan tumbuh. Rezeki yang didapat hari ini untuk makan
besok. Kalau kurang Mak Gini menjual atau menggadaikan barangnya.
Mak Gini menjauhi hutang (Setyawan, 2012:30).

“Buk… udah masak tah!” teriak Rini dari belakang rumah.


“Sebentar… lima menit lagi. Udah mau mateng iki. Sebentar lagi ya,
“jawab Ibuk sambil menggoreng Empal. Empal daging itu kesukaan
Bapak. Lauk yang sangat Mewah dan hanya Ibuk Hidangkan kalau ada
bonus dari Bapak (Setyawan, 2012:47).

Dari kutipan di atas dpat dilihat betapa sederhananya kehidupan Ibuk.


Dari kecil pun Ibuk sudah hidup penuh dengan kesederhanaan. Keadaan yang
membuat mereka hidup sederhana. Namun kesederhanaan itu tidak mengurangi
rasa kebersamaan, justru memperkuat tali kekeluargaan di antara mereka.
2. Kesadaran diri
Sebagai manusia ciptaan Tuhan yang diberikan akal budi sudah
selayaknya harus selalu sadar diri dengan keadaan yang kita alami. Kita harus
selalu sadar akan kemampuan yang kita miliki.
Ibuk dan Bapak tidak pernah menentuka aturan kapan dan berapa lama
anak-anak harus belajar. Isa dan adik-adiknya telah membuka hati
mereka sendiri. Membuka buku mereka sendiri. Ibuk dan Bapak telah
bekerja sepenuh hati untuk memenuhi kebutuhan sekolah mereka.
Mungkin, anak-anak ini melihat kesungguhan hati orang tua mereka
yang telah berjuang tak kenal lelah untuk lima anaknya. Mungkin
anak-anak ini telah merasakan keringat bapaknya menetes di kulit
mereka. Mungkin cinta Ibuk telah memasuki darah mereka, lewat
bubur beras merah dan sinar matahari yang syahdu. Mungkin, anak-
anak ini tersentuh oleh hidup Bapak dan Ibuk yang sederhana dan
penuh keprihatinan. Isa dan adik-adiknya ingin berjuang seperti
mereka. Ingin memberikan cinta yang penuh pada orang
tuanya.(Setyawan, 2012:64-65).

Dari kutipan di atas diceritakan bahwa anak-anak Ibuk sangat sadar


akan kondisi sulit yang tengah mereka alami. Mereka masih hidup dalam
kekurangan, oleh sebab itu, mereka sadar betul apa yang harus mereka lakukan.
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
106

Hal itu mungkin tidak mudah bagi anak-anak seusia mereka. Tapi pengalaman
hiduplah yang mendorong mereka untuk berbuat demikian. Dengan usia mereka
yang dapat dibilang masih kecil, mereka dapat melihat betapa perjuangan orang
tua untuk kehidupan mereka sangat keras. Inilah ajaran moral yang dapat dipetik,
yakni harus slalu sadar akan kehidupan sekitar kita dan harus dapat memaknai
setiap kejadian yang terjadi agar tidak salah dalam bertindak.
3. Kerja keras
Untuk menuju kesuksesan diperlukan kerja keras. Kerja keras
merupakan usaha seseorang untuk mencapai tujuan yang diinginkan. Tujuan yang
didapat dengan kerja keras tersebut biasanya berhubungan dengan kesuksesan atau
hal-hal baik dan memang diharapkan dapat tercapai. Seperti dalam kutipan berikut.
Seperti kedua kakaknya, Ibuk memberikan ASI semenjak Bayek lahir.
Ibuk memasak bubur beras merah ketika Bayek sudah menginjak umur
6 bulan. Ia semakin sibuk mengurus tiga anaknya dari pagi sampai
larut malam. Sering kali ibu muda ini harus menyusui Bayek sekaligus
menyuapi Nani. Untungnya, Isa mulai mandiri. Ia bahkan sudah bisa
menjaga Bayek ketika Ibuk harus mencuci baju atau memasak
(Setyawan, 2012:36).

Dari kutipan di atas diceritakan perjuangan Ibuk dalam menjalankan


perannya sebagai ibu rumah tangga. Menjadi ibu rumah tangga memang tidak
mudah seperti kelihatannya, justru peran inilah yang membutuhkan kerja keras dan
ketulusan dari hati. Kerja keras seorang Ibuk untuk anak-anaknya tak lekang oleh
waktu, bahkan dari pagi sampai larut malam pun ia lakukan semuanya dengan
tulus. Kerja keras Ibuk dan Bapak ternyata menurun pada semua anak-anaknya,
seperti terlihat dalam kutipan berikut.
Inilah saatnya menanam benih untuk masa depanku. Buahnya mungkin
tidak akan aku petik dalam dua tiga bulan lagi. Mungkin lima atau
sepuluh tahun lagi. Aku malu kalau tidak bisa bekerja seperti Bapak,
pikir Bayek selanjutnya. (Setyawan, 2012:143).

Nani mulai belajar berdagang. Ia menjual pisang goreng, keripik, atau


Citos di sekolah. Isa semakin Rajin mengajari adik-adiknya
mengerjakan PR sepulang sekolah. Rini mulai bisa membantu mencuci
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
107

piring. Mira kecil sudah bisa berjalan. Tahun depan, ia masuk TK


(Setyawan, 2012:118).

Dari kutipan di atas, diceritakan Bayek adalah seorang yang pekerja


keras. Ia mempunyai pendirian yang kuat bahwa ia harus menjadi seperti
Bapaknya yang selalu bekerja banting tulang untuk keluarganya. Begitu juga
dengan Nani, Isa dan Rini. Semenjak kecil mereka sudah akrab dengan kerja
keras. Dari kecil sudah belajar mencari uang, sudah dibiasakan dengan pekerjaan
rumah tangga. Dalam hal pekerjaan pun Bayek selalu bekerja keras untuk hasil
yang maksimal, seperti terlihat dalam kutipan berikut.
Sebagai pegawai yang baru masuk, Bayek sedikit frustasi. Tapi ia tak
ingin mengecewakan rekan kerjanya. Ia terus berusaha. Ia sering
menonton TV. Belajar mendengarkan percakapan dan berita bahasa
inggris. Ia mulai membaca buku pelajaran bahasa inggris. Tapi tiga
bulan berjalan bahasa inggrisnya masih belum lancar. Ia sedikit
kecewa. Bayek kemudian melihat tabungannya. Ah, cukup untuk
membangun kamar kecil di rumah kecilku dan pulang. Pulang ke
Indonesia, pikirnya. Tapi, aku tak ingin pulang hanya membawa kamar
saja. Aku harus bertahan di sini dan membawa sesuatu yang lebih
besar, pikirnya lagi (Setyawan, 2012:151).

Dari kutipan di atas, diceritakan kerja keras bayek dalam dunia


kerjanya. Bayek yang belum terlalu belajar bahasa inggris selalu berusaha keras
untuk dapat berkomunikasi dalam bahasa inggris degan lebih baik lagi, karena ia
tidak ingin mengecewakan rekan kerjanya, terutama keluarganya di kampung
yang selalu memberi dukungan. Bayek ingin membahagiakan orang-orang
tercinta melalui kerja kerasnya.
4. Meminta restu
Meminta restu pada orang tua juga merupakan perbuatan moral yang
baik. kita sebagai anak harus selalu menghormati orang tua, salah satunya yakni
dengan selalu meminta restu dan doa dari orang tua, karena restu orang tua
merupakan doa bagi anak-anaknya. Seperti pada novel ini, anak-anak Ibuk tidak
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
108

lupa untuk selalu meminta restu pada orang tuanya. Hal itu dapat dilihat dalam
kutipan berikut.
Sebelum memutuskan untuk pulang ke Indonesia, Bayek meminta
restu berkali-kali kepada Ibuk. Ibuk selalu bilang, ini hidupmu, Le.
Kamu tahu apa yang terbaik untuk mu.
Kembali ke New York tak pernah mudah.
“Doakan Bayek cepat pulang ya Buk,”kata Bayek sambil mencium
tangan Ibuk (Setyawan, 2012:210).

Dari kutipan di atas, diceritakan saat Bayek meminta restu pada orang
tuanya. Apapun yang akan dilakukan Bayek ia selelu meminta restu pada Ibuk.
Seperti saat akan kembali ke New York, ia meminta restu pada Ibuk sambil
mencium tangannya. Hal yang dapat dijadikan sebagai teladan yakni, dalam
kegiatan apapun atau pekerjaan yang akan kita lakukan, hendaknya kita selalu
memohon restu pada orang tua.
5. Keteguhan hati dan komitmen
Keteguhan hati dan komitmen adalah pendidikan moral yang baik
untuk membentuk mental yang positif. Komitmen membuat seseorang bertahan
dalam mencapai cita-cita, pekerjaan seseorang dan orang lain. Komitmen
merupakan janji yang dipegang teguh terhadap keyakinan dan memberi
dukungan serta setia kepada keluarga dan teman. Keteguhan hati dapat membuat
seseorang mencapai cita-citanya. Seperti terlihat dalam kutipan berikut.
Ah, demikian. Sebuah tatapan mata di pagi yang biasa di pasar sayur
Batu telah mengubah hidup dua anak manusia. Abdul Hasyim, sang
playboy pasar, menjadi seorang suami, menjadi seorang nahkoda untuk
sebuah pelayaran. Dan ngatinah, seorang gadis desa yang lugu dan
berhati putih, telah memberikan hatinya menjadi seorang istri. Tak ada
janji yang terungkap dari mulut mereka. Tapi hati mereka telah
berikrar untuk mencintai satu sama lain, dengan sederhana. Mereka
tidak saling memberikan harapan tapi mereka akan memperkuat satu
sama lain (Setyawan, 2012:26).

Dalam kutipan di atas, diceritakan bagaimana Ibuk dan Bapak saat


memulai rumah tangganya. Dengan berbekal keteguhan hati untuk memulai
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
109

hidup bersama, mereka ingin mewujudkan cita-cita mereka sebagai pasangan


suami istri yang mampu melalui suka duka hidup dalam kedaan apapun.
Keteguhan hati dan komitmen dalam mencapai cita-cita juga dirasakan oleh
Bayek, dalam menempuh studinya, dimana ia jauh dari keluarga, Bayek tetap
berusaha untuk mewujudkan cita-citanya menyelesaikan kuliah dengan baik.
Empat tahun di Bogor. Empat tahun penuh dengan kerinduan. Empat
tahun dengan keprihatinan. Empat tahun penuh dengan perjuangan.
Bayek akhirnya lulus (Setyawan, 2012:135).

Dari kutipan di atas diceritakan bagaimana keteguhan hati Bayek


dalam menempuh studinya yang tidak mudah. Tahun-tahun pertama ia lalui
dengan penuh kerinduan pada keluarganya di Batu. Bahkan ia sempat
memutuskan untuk pulang. Tetapi dengan komitmen dan keteguhan hati yang
kuat untuk menyelesaikan studinya, Bayek pun berhasil menyelesaikan
semuanya. Ia menjadi lulusan terbaik dan kebanggaan keluarga. Dalam pekerjaan
pun Bayek selalu berteguh hati dan memegang erat komitmennya untuk terus
berjuang agar dapat membahagiakan keluarganya. Seperti terlihat dalam kutipan
berikut.
Malu kalau aku tak bisa bekerja keras seperti Bapak. Malu kalau aku
tidak bisa membahagiakan beliau kelak, janji Bayek untuk Bapaknya.
Bayek bertekad untuk maju. Ia tak keberatan bekerja lebih lama dari
rekan kerja yang lain. Kadang Bayek lembur sampai jam 10 bahkan
jam 2 pagi. Bayek juga sering bekerja di akhir pekan dan membaca
buku Statistika lagi (Setyawan, 2012:142).

“Buk, aduh, bahasa inggrisku masih kacau. Banyak yang gak ngerti
kalau aku ngomong. Masih blon lancar,”keluh Bayek di telepon.
“Wis belajar terus ae. Jangan takut ngomong,”jawab Ibuk.
“Iya Buk, tapi masih nggak lancar-lancar iki,”lanjut Bayek.
“Bisa, Le. Percaya sama Ibuk. Kamu udah dipercaya ke sana, pasti
kamu bisa,”kata Ibuk meyakinkan Bayek.
“Aku gak pingin mereka kecewa, Buk. Sudah datang jauh-jauh tapi
gak bisa ngomong lancar. Gini ae wis Buk, aku akan buktikan kalau
aku bisa kerja dulu,”tekad Bayek (Setyawan, 2012:151-152).
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
110

Aku ingin mewujudkan misiku segera. Menabung untuk membantu


kakak adikku,”kata Bayek (Setyawan, 2012:205).

Dari ketiga kutipan di atas, dapat dilihat betapa besar komitmen Bayek
serta keteguhan hatinya untuk mencapai cita-citanya membahagiakan Bapak.
Ibuk, dan semua keluarganya. Ia berjuang sendiri jauh dari keluarga demi
mewujudkan janjinya untuk kebahagiaan orang-orang di sekitarnya. Ia tidak
pernah putus asa, ia selalu mencoba dan mencoba. Sesulit apapun hidup di negeri
orang dengan bahasa dan budaya berbeda ia tetap berpegang teguh pada
komitmennya untuk mewujudkan cita-citanya.
6. Tanggung jawab
Tanggung jawab adalah perilaku yang menentukan seseorang untuk
berbuat dan bereaksi terhadap situasi setiap hari yang memerlukan beberapa
keputusan. Dengan mengambil keputusan dan bersikap disiplin, seseorang
terlatih untuk bertanggung jawab dalam setiap tindakan yang dilakukan dan
keputusan yang diambil. Seperti terlihat dalam kutipan berikut.
Lulus SD, Isa dengan mudah masuk ke Sekolah Menengah Pertama
paling bagus di Batu. Ibuk menjual cincin emas satu-satunya untuk
membayar uang pangkal. Untuk membeli seragam dan membayar SPP
di bulan pertama. Cincin emas yang dulu ia beli di Toko Emas Agung
dari hasil tabungan bertahun-tahun. Meskipun uang belanjanya tak
seberapa, Ibuk selalu berusaha menyisakan sedikit uang. Ia
menyisihkan nafkah dari Bapak yang disimpannya di bawah lipatan
baju-baju di lemari pakaian satu-satunya. Ibuk hanya memakai cincin
kalau ada hajatan saudara atau tetangga. Dari uang tabungan ini Ibuk
membeli anting-anting emas untuk setiap anak perempuannya
(Setyawan, 2012:65).

Dari kutipan di atas diceritakan tanggung jawab Ibuk sebagai orang tua
yang harus memberikan pendidikan layak bagi anak-anaknya. Ibuk rela menjual
cincin emas satu-satunya, semua itu demi anaknya agar mereka dapat
mengenyam pendidikan yang layak seperti anak-anak yang lain. Demi tanggung
jawabnya pada hidup anak-anaknya, Ibuk selalu menabung dari sedikit uang
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
111

yang diberikan Bapak. Begitu juga Bapak, tanggung jawabnya pada anak-anak
dan keluarganya sangat besar, terlihat dalam kutipan berikut.
Pukul 10 pagi Bapak kembali ke rumah. Tak seperti biasanya.”Nah,
ini segera ke sekolah Bayek. Bayar uang buku dan minta rapornya,”
kata Bapak. Ia menyerahkan beberapa lembar uang lima ratusan dan
seribuan yang ia kumpulkan sejak pagi (Setyawan, 2012:69).

Aku capek, Nah. Iki godaan datang terus. Aku berangkat lagi, ya! Gak
bisa lihat anak-anak seperti ini, saaken!” (Setyawan, 2012:116).

Malam harinya Bapak pulang larut lagi, sekitar jam 11.


“Nah, ini buat bayar SPP Bayek dan Rini Besok. Uang belanja, kamu
hutang dulu ke Bang Udin,”kata Bapak (Setyawan, 2013:117).

Demi tanggung jawabnya dalam menghidupi anak-anak dan istrnya,


Bapak selalu bangun pagi untuk menarik angkot dan selalu pulang larut malam.
Ia bekerja banting tulang karena sebagai kepala keluarga harus menghidupi
semua anggota keluarganya. Mencari uang untuk makan sehari-hari, dan untuk
membayar uang sekolah anak-anaknya. Itu semua Bapak lakukan demi rasa
tanggung jawabnya terhadap keluarga. Hai itu nampak dalam kutipan berikut.
Di hari pertama kerja, Bayek mengingat Bapak yang tak pernah
berhenti berjuang dalam hidup. Berpuluh-puluh tahun Bapak
menelusuri jalanan untuk menghidupi keluarga. Ia tidak pernah
berhenti. Ia tidak pernah menyerah. Terus berjuang untuk anak-anak
dan keluarga. Tidah lulus SMP, beliau menjadi kenek angkot. Setelah
menjadi kenek angkot, Bapak ingin menjadi sopir angkot. Menjadi
sopir angkot untuk orang lain saja tidak cukup, Bapak mencoba
menabung untuk membeli angkot bekas. Ia tak pernah berhenti
berjuang menghidupi kelima anaknya. Dengan apa pun yang ia miliki.
Hidup Bapak penuh dengan gelombang besar. Tidak mudah, tapi
Bapak selalu memikul tanggung jawab dengan berani (Setyawan,
2012:141).

Betapa besar tanggung jawab yang Bapak pikul dalam keluarganya


yiatu untuk menghidupi istri dan kelima anaknya. Tapi Bapak tidak pernah
menyerah, semua ia lakukan dengan penuh perjuangan, nilai moral yang dapat
dipetik yakni, memikul sebuah tanggung jawab memang tidak mudah, namun
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
112

jika semua itu diperjuangkan dengan sungguh-sungguh maka semuanya akan


berjalan dengan baik sesuai yang diharapkan.

7. Keprihatinan
Keprihatinan merupakan keadaan hidup dimana hidup dipenuhi
dengan hal-hal yang menyedihkan dan mengibakan. Hal itu nampak dalam
kutipan berikut.
Ketika Bayek terkena pilek atau batuk, kakak dan adiknya sering
tertular sakit. Ibuk yang kadang ikut sakit juga membelikan Bodrexin
untuk semua anaknya. Satu tablet buat berdua. Ia sendiri selalu
membiarkan sakitnya. Alam akan menyembuhkan, kata ibuk. Anak-
anaknya jarang dibawa ke dokter karena biaya yang tidah murah.
Ketika Bayek sakit amandel atau Isa sesak napas, Ibuk baru membawa
mereka ke dokter. Ketika Bapak sakit dan tak ada uang setoran uang
belanja, Ibuk biasanya menggadaikan barang-barang di rumah, seperti
piring, cangkir, atau jariknya. Dapur harus terus mengepul. Anak-anak
harus makan (Setyawan, 2012:37).

Dari kutipan di atas terlihat keprihatinan dalam keluarga Ibuk. Anak-


anak yang sakit tidak pernah di bawa ke dokter kalau sakitnya tidak serius.
Ibuk sendiri tidak pernah memperhatikan sakitnya. Semua itu dilakukan
karena memang tidak ada biaya untuk berobat. Sakit yang tidak terlalu
membahayakan hanya dibelikan obat di warung. Hal itu untuk menghemat
biaya pengobatan. Jika tidak ada uang belanja dari Bapak, Ibuk harus
menggadaikan barang-barang yang ia punya, hal itu semata-mata untuk dapat
memenuhi kebutuhan makan sehari-hari. Semua serba dihemat, seperti terlihat
dalam kutipan berikut.
Sudah hampir dua bulan semenjak Ibuk dari pegadaian. Ibuk semakin
irit berbelanja. Makan empal, daging, atau ayam goreng mulai jarang.
Tempe hampir menjadi menu setiap hari. Pagi, siang dan malam. Tapi,
Ibuk selalu berusaha agar anak-anaknya tidak sampai bosan makan
tempe. Ia mencoba semua variasi, dari tempe goreng, pecel tempe,
tumis tempe, sambal goreng tempe, tempe penyet, sampai keripik
tempe. Ibuk semakin cerewet kalau ada yang lupa mematikan lampu di
malam hari. Bayek dan Rini semakin sering rajin menodong Bapak
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
113

Mun. Hari demi hari, Ibuk manabung untuk biaya sekolah kedua
anaknya, Isa dan Bayek. bapak semakin sering pulang larut malam.
Bapak jarang membawa nasi goreng merah (Setyawan, 2012:120-121).

Dari kutipan di atas dapat dilihat keprihatinan yang dijalani oleh


keluarga Ibuk. Setiap hari makan hanya dengan lauk tempe. Tetapi semua itu
mereka jalani dengan lapang dada. Makan dengan tempe pun sudah lebih dari
cukup, yang terpenting ada makanan yang dapat di makan dan pendidikan
untuk anak-anaknya tidak terganggu.
c. Nilai pendidikan Sosial
Nilai sosial merupakan nilai yang berkaitan erat dengan perilaku manusia
dalam lingkungan. Nilai sosial menyangkut perilaku seseorang dalam bertindak,
menyikapi peristiwa yang muncul, dan hubungan sosial bermasyarakat antar
individu. Nilai pendidikan sosial menumbuhkan kesadaran manusia, bahwa
manusia hidup selalu berdampingan dengan orang lain dan saling membutuhkan
satu sama lain. Nilai karakter yang termasuk ke dalam nilai pendidikan sosial
antara lain toleransi, demokratis, cinta damai, peduli lingkungan, dan peduli sosial.
Berikut nilai-nilai sosial yang terkandung dalan novel Ibuk,.
1. Kepedulian terhadap sesama
Sebagai makhluk sosial, manusia tidak dapat hidup tanpa orang lain.
Manusia cenderung hidup berkelompok untuk memenuhi kebutuhan hidup. Dalam
hidup berkelompok, diperlukan rasa sosial yang tinggi. Manusia yang hidup di
lingkungan masyarakat harus memupuk rasa kepedulian terhadap sesama,
mengingat manusia tidak dapat hidup sendiri dan selalu membutuhkan bantuan
orang lain. Seperti terlihat dalam kutipan berikut.
“Buk, ini uang dari tamu-tamu tadi,” kata Bayek yang mendatangi Ibuk di
dapur. Bapak masih sibuk menjamu tamu yang berdatangan. Isa, Nani,
dan Rini sibuk mondar-mandir menyajikan nasi rawon dan teh manis
kepada tamu-tamu. Mira juga ikutan sibuk (Setyawan, 2012:127).

Dari kutipan di atas diceritakan tetangga-tetangga serta teman-teman Ibuk


dan Bapak yang datang di acara khitanan Bayek. mereka datang sebagai bentuk
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
114

kepedulian terhadap sesama. Saat Bapak sakit di rumah sakit, banyak juga
tetangga-tetangga yang datang menjenguk untuk mengetahui keadaan Bapak.
Seperti dalam kutipan berikut.
Tetangga dan teman-teman Bapak datang silih berganti menjenguknya di
jam-jam besuk. Buah dan kue-kue menumpuk di kamar. Ibuk akhirnya
membagi-bagikannya kepada perawat-perawat disana (Setyawan,
2012:260).

Kutipan di atas menceritakan kepedulian tetangga-tetangga Bapak yang


datang untuk mengunjunginya di rumah sakit. Nilai sosial mengenai kepedulian
terhadap sesama yang dapat dipetik dari kutipan-kutipan di atas yakni kepedulian
terhadap sesama dilakukan bukan hanya saat dalam kondisi senang saja, namun
dalam kondisi yang sedang susah kepedulian dari sesama sangat membantu dalam
meringankan beban.
2. Saling membantu sesama manusia
Suka menolong adalah kebiasaan menolong dan membantu orang lain.
Kebiasaan menolong ini juga merupakan suatu perilaku yang dapat ditanamkan
dengan selalu siap mengulurkan tangan dan dengan cara aktif mencari kesempatan
untuk menyumbangkan sesuatu.
Tahun berlalu. Anak-anak Ibuk dan Bapak tumbuh semakin besar. Beban
hidup semakin berat. Kebutuhan semakin banyak. Setahun setelah Mira
lahir, Ibuk jatuh sakit karena kecapekan dan sering telat makan. Setiap
kali buang air selalu ada darah. Ibuk terkena sakit maag akut dan tak bisa
beranjak dari ranjang selama berminggu-minggu. Mira dijaga oleh Isa.
Nani menjaga Bayek dan Rini. Bapak membantu mempersiapkan sekolah
Isa dan Nani sebelum menarik angkot. Bayek dan Rini sendiri untuk
sementara meliburkan diri dari sekolah. Mak Gini membantu memasak.
Rumah begitu sedih tanpa senyum Ibuk (Setyawan, 2012:37).

Dari kutipan di atas diceritakan keadaan keluarga Ibuk dimana saat itu
Ibuk sedang sakit. Karean Ibuk sakit, maka banyak sekali pekerjaan rumah yang
terbengkelai. Tetapi semua anggota keluarga Ibuk saling membantu untuk
menyelesaikan semua pekerjaan yang biasa Ibuk lakukan sendiri. Mereka semua
saling membagi tugas agar semua pekerjaan dapat terselesaikan, mulai dari Bapak,
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
115

anak-anaknya, sampai Mak Gini, Ibu Ibuk mendapatkan tugas untuk membantu
pekerjaan Ibuk. Sikap saling membantu selalu tertanam dalam keluarga Ibuk.
Seperti dalam kutipan berikut ini.
…Setelah beberapa kali menghidupkan mesin, ternyata tak menyala juga.
Ia memanggil Nani dan Ibuk untuk mendorong Colt T itu. Bayek dan Rini
ikut-ikutan mendorong mobil. Kira-kira enam sampai tujuh meter
mendorong, mesin mobil belum menyala juga. Akhirnya, Cak Gi, adik
Ibuk datang membantu. Mesin mobil akhirnya menyala setelah keluar
dari Gang Buntu. Mereka semua tertawa! Bapak terlihat menyala juga
(Setyawan, 2012:56).

Empat adik laki-laki Ibuk, Cak Gi, Cak Lus, Cak Yit, dan Cak Cocok
membantu banyak dalam pembangunan rumah ini. Bersama tiga tukang
bangunan, fondasi dikerjakan dalam waktu empat hari saja….tetangga-
tetangga ikut membantu ketika kita mulai memasang
genting…(Setyawan, 2012:78).

“Yek, Bapak kamu itu amalnya banyak. Satu hal yang nggak akan pernah
lupa. Bapakmu dulu pernah mengajari saya menyetir,”kata Lek Giono
sambil menarik napas panjang.
“Dia mengajari saya nyetir, sampai saya bisa narik angkot sendiri. Saat
itu, setelah berminggu-minggu narik angkot, saya nabrak mobil dan
hampir dipecat sama juragan. Bapakmu bilang, kalau Giono dipecat, saya
juga kaluar,”kata Lek Giono (Setyawan, 2012:274).

Dari ktipan di atas diceritakan bagaimana perilaku saling membantu


dalam kehidupan keluarga Ibuk. Dari hal sekecil apapun sikap saling membantu
sesama sangat diutamakan. Mulai dari mendorong angkot yang mogok, Bapak
membantu saudara Ibuk supaya mempunyai keahlian dalam menyetir, sampai
proses pembangunan rumah Ibuk, semua dilakukan dengan bantuan dari orang
lain, karena memang manusia tidak dapat hidup sendiri dan selalu membutuhkan
pertolongan orang lain. Seperti terlihat dalam kutipan berikut.
Dari ruang tamu apartemen yang dia tumpangi inilah Bayek memulai
hidup baru. Mbak Ati, yang membuka jalan Bayek di Amerika,
memperkenalkan kehidupan di New York mulai dari grocery shopping
sampai jadi tourist guide selama beberapa bulan pertama. Mbak Ati juga
yang membimbing Bayek memulai kariernya di sana (Setyawan,
2012:148).
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
116

Dari kutipan di atas, diceritakan, Mbak Ati rekan Bayek dari Indonesia
yang juga bekerja di NYC, telah membantu Bayek yang saat itu diterima kerja di
NYC. Mbak Ati lah yang memperkenalkan Bayek pada kota New York. Dari
Bayek yang belum mengetahui apa-apa tentang NYC, Mbak Ati dengan senang
hati membimbinggnya disana.
3. Saling menghargai sesama manusia
Sikap saling menghargai sangat diperlukan dalam menjalani hidup di
dunia ini. Mengingat betapa majemuk masyarakat di seluruh dunia, mulai dari
agama, suku, ras, dan golongan, sikap saling toleransi sesama manusia sangat
menunjang dalam kehidupan sosial manusia. Dengan sikap saling menghargai dan
toleransi terhadap sesama, diharapkan akan tercipta kehidupan yang rukun dan
harmonis. Seperti pada kutipan berikut.
Bayek kembali ke ruang tamu sambil memegang sarung hijaunya. Bapak
melayani tamu-tamu. Berjabat tangan dan mengajak ngobrol setiap orang
yang datang. Tamu semakin banyak. Tidak disangka sama sekali akan
datang tamu sebanyak ini. Mereka datang karena Bapak dan Ibuk selalu
berusaha hadir ke setiap pesta nikahan atau khitanan
tetangga….(Setyawan, 2012:128).

Dari kutipan di atas, diceritakan tamu-tamu yang datang saat acara


khitanan Bayek. tamu-tamu yang datang merupakan bentuk saling menghargai
terhadap sesama dan merupakan saling toleransi, karena jika ada acara hajatan atau
khitanan Bapak dan Ibuk juga berusaha untuk selalu hadir untuk menghargai
sesama. Sikap saling menghargai dan toleransi memang dibutuhkan di berbagai
belahan dunia manapun, mengingat semua manusia diciptakan tidak sama. Seperti
terlihat dalam kutipan berikut.
Semenjak hari itu Bayek mencoba untuk lebih mengerti rekan-rekan
kerjanya, terutama anak buahnya. Ia bukan lagi Bayek yang pertama kali
datang ke New York beberapa tahun lalu. Ia sekarang mempunyai anak
buah yang tersebar di berbagai wilayah. Bayek mendengarkan Rachel.
Bayek mendengarkan lagi hatinya. New York dipenuhi orang-orang dari
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
117

berbagai belahan dunia dan mereka membawa budaya yang berbeda


dalam keseharian dan dalam kerja (Setyawan, 2012:191).

Dari kutipan di atas, Bayek berusaha untuk memahami dan menghargai


rekan kerjanya. Memang sulit hidup dengan orang yang berbeda budaya, namun
dengan kesadaran diri untuk menumbuhkan rasa saling menghargai dan toleransi
dalam diri Bayek, akhirnya segala perselisihan pun dapat dicegah.
d. Nilai Pendidikan Budaya
Nilai budaya berkaitan erat dengan tradisi atau adat-istiadat yang berjalan di
masyarakat. Tradisi dan adat-istiadat tersebut biasanya dipandang baik dan berharga
oleh suatu masyarakat. Nilai-nilai budaya yang terkandung dalam suatu karya sastra
memberikan gambaran sekaligus informasi terhadap para pembaca mengenai budaya-
budaya yang masih berjalan di suatu masyarakat. Berikut nilai-nilai budaya yang
terkandung dalam novel Ibuk.
“Ayo, Nah..ke sini,”bujuk Mbok Pah.
Tinah duduk di kursi rotan dekat Mbok Pah yang segera memberi isyarat
agar ia menjabat tangan Sim. (Setyawan, 2012:8).

Dari kutipan di atas diceritakan Mbok Pah memberi isyarat Tinah (Ibuk)
untuk menjabat tangan Sim (Bapak). Hal itu merupakan budaya orang Indonesia,
yakni setiap bertemu dengan rekan atau orang yang dikenal, sebisa mungkin harus
mengulurkan tangan untuk berjabat tangan. Hal itu merupakan budaya untuk
menghormati satu sama lain. Budaya ini masih berlaku dan dijunjung tinggi sampai
sekarang. selain itu, budaya masyarakat jawa yang ditampilkan dalam novel Ibuk,
antara lain menganggap perempuan yang sudah berusia 17 tahun agar segera menikah
supaya tidak menjadi perawan tua dan membuat selamatan untuk ucapan syukur atas
anugerah yang telah diterima. Seperti pada kutipan berikut.
“Nah, kamu sudah 17 tahun sekarang. Wis Perawan,” kata Mbok Pah
sembari memberikan teh hangat yang ia pesan dari warung sebelah. Uap
putih mengepul dari mulut gelas. “Perawan seusiamu sudah mulai berumah
tangga,” lanjutnya. “ kamu mau tah aku jodohin dengan Cak Ali. Dia sudah
punya kios sendiri buat jualan tempe, loh. Wis mateng wong-e.” (Setyawan,
2012:3)
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
118

Ibuk membuat selamatan kecil-kecilan. Tanggal 1 Januari. Nasi kuning


dibagi-bagikan ke saudara dan tetangga. Bapak berhasil melewati masa-masa
kritis. Sakit kepala yang mencekam hidup Bapak selama beberapa hari,
akhirnya menghilang (Setyawan, 2012:261).

Kutipan di atas menceritakan budaya orang jawa zaman dulu yang sampai
sekarang masih ada sebagian orang yang menganutnya. Tinah yang telah berusia 17
tahun diminta untuk segera menikah, karena zaman dulu, perempuan 17 tahun sudah
lumrah untuk menikah. Begitu juga dengan membuat selamatan unuk ucapan syukur
atas sesuatu yang telah diterima. Ibuk membuat selamatan karena ucapan syukurnya
Bapak dapat melewati masa-masa kritis sakitnya.

4. Kesesuaian Novel Ibuk, Karya Iwan Setyawan sebagai Materi


Pembelajaran di SMA
Sampai saat ini, siswa belum mempunyai tingkat antusiasme yang tinggi
terhadap pembelajaran sastra, khususnya novel. Materi pembelajaran sastra
dianggap membosankan bagi sebagian besar siswa, sehingga dibutuhkan strategi
dan inovasi baru dalam menyampaikannya. Selain metode penyampaian yang
harus bervariasi, pemilihan bahan ajar untuk materi sastra khususnya novel juga
harus diperhatikan. Sebisa mungkin novel yang dipilih haruslah novel-novel yang
sarat nilai didik, sehingga dari situ, diharapkan siswa dapat memetik nilai didiknya
dan diaplikasikan dalam dunia nyata. Untuk siswa SMA sudah seharusnya
memakai novel yang berbobot. Sebuah karya yang berbobot berarti karya itu harus
mengedepankan nilai-nilai kehidupan yang bermakna, memotivasi, kreatif dan
imajinatif.
Sesuai dengan kompetensi dasar yang terdapat dalam silabus di SMA,
novel Ibuk, karya Iwan Setyawan dapat dijadikan sebagai materi ajar untuk
meningkatkan minat siswa. Novel Ibuk, karya Iwan Setyawan merupakan salah
satu novel yang mempunyai aspek-aspek yang telah disebutkan sebelumnya. Kisah
keluarga Ibuk yang merupakan kisah nyata memuat nilai-nilai pendidikan yang
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
119

dapat dipetik. Penyampaian kejadian demi kejadian yang menunjukkan


kesederhanaan dan keprihatinan mampu memotivasi siswa untuk berjuang lebih
giat, karena saat ini kehidupan sudah lain seperti zaman dahulu yang masih serba
kekurangan dan susah. Hal itu dapat membuat pembaca bukan hanya sekadar
membaca, namun juga mengembangkan imajinasinya. Jika dikaitkan dengan
materi pembelajaran apresiasi sastra di SMA, novel Ibuk sangat tepat untuk
digunakan, karena secara struktural, unsurnya lengkap. Selain itu tema kehidupan
yang diangkat menarik karena merupakan kisah nyata yang sangat menginspirasi
dari pengarang. Hal itu sejalan dengan pendapat Budiyono selaku guru di SMA
Negeri 1 Surakarta, menurutnya novel Ibuk, sangat dapat dijadikan sebagai materi
pembelajaran, berikut jawaban saat ditanya apakah novel tersebut dapat dijadikan
sebagai materi pembelajaran “Sangat dapat. Novel ini mengandung nilai-nilai
dalam masyarakat yang sangat pantas dijadikan cermin kehidupan keluarga yang
sesungguhnya. Siswa dapat belajar dari masing-masing tokoh untuk menghadapi
permasalahan yang mungkin timbul dalam kehidupan keluarga.
Saat membaca novel ini saya jadi teringat pada serial “Keluarga
Cemara” yang disiarkan di TVRI, saat saya masih kecil. Ceritanya mirip.
Permasalahan umum dalam rumah tangga disajikan apa adanya, tanpa dilebih-
lebihkan. Apalagi keluarga yang disajikan adalah keluarga sederhana. Sangat tepat
menjadi bahan pengajaran moral dan budi pekerti bagi siswa. Menurutnya novel
yang baik digunakan dalam pembelajaran di sekolah adalah novel-novel yang
mengandung nilai-nilai edukatif, religius, sosial, dan kekeluargaan, bukan novel-
novel bergaya pop yang sarat dengan nuansa percintaan di kalangan remaja.
Alasannya sederhana. Meskipun sudah menjadi rahasia umum dan bahkan
mungkin sangat banyak dari kita mengalami masalah ini, tetapi tidak ada satu
SMA pun yang memperbolehkan siswanya berpacaran. Dengan demikian sudah
sepatutnya novel yang berisi cinta muda-mudi tidak diajarkan di SMA, meskipun
kita semua tahu bahwa novel-novel tersebut sangat banyak di pasaran. Barangkali
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
120

kita tidak dapat melarang siswa mengonsumsi novel-novel tersebut, tetapi


alangkah arifnya jika tidak diajarkan di sekolah.
Pada kurikulum 2013 di SMA kelas XII, terdapat Kompetensi Inti
“Mensyukuri anugerah Tuhan akan keberadaan bahasa Indonesia dan
menggunakannya sebagai sarana komunikasi dalam memahami, menerapkan,
dan menganalisis informasi lisan dan tulisan melalui teks cerita sejarah, berita,
iklan, editorial/opini, dan novel, dengan Kompetensi dasar yang harus dipenuhi
diantaranya memahami struktur dan kaidah teks novel baik melalui lisan maupun
tulisan, menganalisis teks novel baik melalui lisan maupun tulisan, memproduksi
teks novel yang koheren sesuai dengan karakteristik teks baik secara lisan
maupun tulisan, menyunting teks novel sesuai dengan struktur dan kaidah teks
baik secara lisan maupun tulisan, dan menginterpretasi makna teks novel baik
secara lisan maupun tulisan. Novel Ibuk memiliki jalan cerita yang menarik dan
inspiratif, karakter tokoh yang pada umumnya protagonis, serta mempunyai
konflik yang cukup kompleks. Novel ini telah memenuhi syarat untuk digunakan
dalam KD tersebut.
Dalam buku pegangan siswa, biasanya cuplikan-cuplikan novel yang
diangkat merupakan novel yang tidak mutakhir atau sudah terlalu kuno. Padahal
saat ini, sudah banyak sekali novel-novel modern karya pengarang-pengarang
ternama yang menyajikan karya-karya yang berbobot serta sarat akan nilai-nilai
pendidikan. Konflik kehidupan yang cukup kompleks serta struktur yang lengkap
serta banyaknya pengalaman-pengalaman hidup yang dapat dijadikan sebagai
tuntunan dalam novel Ibuk, ini, menjadikannya novel yang baik digunakan
sebagai bahan ajar sastra di tingkat SMA dan siswa dapat dengan maksimal
mengembangkan daya imajinasi dan kreasinya dalam kegiatan apresiasi sastra
novel. Nilai-nilai pendidikan yang terdapat dalam novel Ibuk, ini dapat
diaplikasikan siswa dalam kehidupan sehari-hari, seperti ketakwaan terhadap
Tuhan, berbakti pada orang tua, kerja keras dan kesederhanaan, serta kepedulian
terhadap sesama.
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
121

C. Pembahasan
1. Struktur Novel Ibuk Karya Iwan Setyawan
Unsur intrinsik yang terdapat dalam novel Ibuk karya Iwan Setyawan
antara lain: (1) tema, (2) penokohan, (3) alur, (4) latar, (5) sudut pandang. Unsur
intrinsik tersebut merupakan hal utama yang membangun cerita dalam novel.
a. Tema
Melalui cerita pengarang dan dialog-dialog yang dilontarkan oleh para
tokoh pada novel Ibuk, yang diangkat dengan tokoh Ibuk sebagai tokoh utama
dalam novel ini bertemakan kesederhanaan dalam keprihatinan dan kerja keras.
Keprihatinan dan kesederhanaan Ibuk dalam menjalani hidup sudah ia alami
semasa kecil. Saat itu ia tidak dapat menamatkan SD dan ikut neneknya berjualan
pakaian bekas di pasar. Saat beranjak dewasa dan memutuskan untuk menikah,
keluarga Ibuk masih sangat dipenuhi dengan keprihatinan dan kesederhanaan.
Kelima anak Ibuk mau tidak mau juga harus mengenyam keprihatinan dan
kesederhanaan yang sama. Mereka diajarkan hidup mandiri, disiplin, dan penuh
kerja keras. Usaha keras dan perjuangan keluarga mereka menuai sukses. Semua
anak Ibuk dapat lulus SMA bahkan melanjutkan di bangku kuliah dan ada yang
sampai S2. Tentu itu dengan perjuangan yang tidak mudah. Namun dengan kerja
keras yang dilakukan para tokoh, akhirnya semua tujuan dapat tercapai dan
sukses dapat diraih. Jadi, tema utama dalam novel Ibuk adalah sebuah
kesederhanaan, keprihatinan, dan kerja keras demi menatap masa depan yang
lebih baik. kesesuaian pendapat antara pengarang dengan penulis tentang tema
novel Ibuk sejalan dengan pendapat Waluyo (2002:24-25) yang mengemukakan
bahwa tema cerita bersifat objektif, lugas, dan khusus.
b. Penokohan
Terdapat delapan belas tokoh yang terlibat dalam penceritaan di novel
Ibuk, karya Iwan Setyawan. Namun dari sekian tokoh yang ada, tokoh sentral
atau tokoh utama hanya ada satu orang, yakni Tinah atau Ibuk. Tokoh ini sangat
mempengaruhi jalannya cerita. Ibuk adalah tokoh yang selalu ditampilkan di
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
122

setiap bagian cerita. Selain itu ada enam tokoh yang berperan sebagai tokoh
utama tambahan. Tokoh-tokoh tersebut yakni, Sim atau Bapak dan kelima
anaknya, Isa, Nani, Bayek, Rini dan Mira. Mereka juga sebagai tokoh penentu
jalannya cerita, namun keberadaannya tidak lebih penting dari tokoh Ibuk. Selain
itu ada sebelas tokoh tambahan yang mendukung jalannya cerita. Hampir semua
tokoh dalam novel Ibuk, berwatak protagonis. Hal tersebut sejalan dengan
pendapat Waluyo (2002:14) yang menyatakan bahwa tokoh sentral merupakan
tokoh yang paling menentukan jalannya cerita.
c. Alur
Alur merupakan rangkaian jalannya cerita. Dalam novel Ibuk alur
cerita disusun secara tidak teratur. Alur yang terjadi adalah alur campuran yakni
maju dan mundur. Pada awal penceritaan, alur berjalan teratur dan maju, namun
di tengah-tengah penceritaan, tokoh Ibuk kembali menceritakan kejadian yang
sudah lampau yaitu saat ia menceritakan bagaimana proses pembangunan
rumahnya dahulu kepada lima anaknya. Setelah cerita selesai, alur kembali
menuju alur maju sampai akhir cerita.
Penjabaran alur dalam novel Ibuk, meliputi lima tahap plot yang
menjalin sebuah cerita. Hal itu sependapat dengan Nurgiyantoro (2005:149-150)
yang membagi alur menjadi lima bagian yaitu: (1) tahap situation; (2) tahap
generating circimtances; (3) tahap rising action; (4) tahap climax; (5) tahap
denouement.
d. Latar/Setting
Latar yang dilukiskan dalam novel Ibuk, meliputi tiga latar yaitu latar
waktu, latar tempat dan latar sosial. Hal tersebut sesuai dengan pendapat
Nurgiyantoro (2005:227) yang membedakan latar ke dalam tiga unsur pokok
yaitu latar waktu, latar tempat, dan latar sosial. Latar tempat pada mulanya terjadi
di Kota Batu di jawa Timur dengan spesifikasi di pasar Batu, rumah Mbak Gik,
pasar malam, SD Ngaglik, pegadaian, kelurahan, rumah sakit, toko sepatu, hutan
bambu, pemakaman, Jakarta, Bogor di IPB, karawang, dan di NYC di kantor
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
123

Bayek, di apartemen, di jalanan kota. Latar waktu yang muncul antara lain pagi,
siang, sore, malam, tanggal, hari, minggu, bulan, tahun, musim, sebelum ayam
berkokok dan sehabis salat. Latar suasana yang ditampilkan yakni suasana khas
pedesaan zaman dulu yang penuh dengan kesederhanaan dan juga suasana
pedesaan di zaman masa kini.
e. Sudut Pandang
Sudut pandang dalam novel Ibuk menggunakan sudut pandang orang
ketiga diaan, pengarang sebagai tokoh sampingan, yakni orang yeng bercerita
dalam hal ini adalah tokoh sampingan yang menceritakan peristiwa yang
bertalian terutaman dengan tokoh utama cerita. Sesekali peristiwa dalam
penceritaan menyangkut dirinya sebagai pencerita. Cara penyampaiannya dengan
sapaan “Aku” dalam menceritakan bagian yang menyangkut tentang dirinya,
namun dalam novel ini tokoh aku tidak berinteraksi dengan tokoh lain, ia hanya
menunjukkan dirinya sebagai bagian dari salah satu tokoh yakni Bayek. pada
dasarnya tokoh aku sebagai orang ketiga yang mengamati peristiwa dari jauh
tentang tokoh utama cerita.

2. Tanda-Tanda Semiotik Novel Ibuk Karya Iwan Setyawan


Dalam novel Ibuk, tanda-tanda yang ditemukan berupa representamen
dan object yang meliputi qualisigns, sinsigns, legisign, ikon, indeks dan simbol.
Qualisigns merupakan tanda yang berdasarkan suatu sifat. Dalam novel Ibuk
ditemukan tanda ini yang berupa sifat warna, yakni warna putih yang sudah
usang menunjukkan keprihatinan, warna putih yang berarti bersih dan berarti
kebaikan, warna merah pada mata yang menunjukkan adanya kesedihan, dan
warna merah pada wajah yang menunjukkan adanya perasaan malu.
Sinsigns merupakan penanda yang bertalian dengan kenyataannya. Sinsign
dalam novel Ibuk, ditemukan berupa langkah kaki yang terburu-buru merupakan
sebuah pernyataan individual yang tidak dilambangkan. Legisigns merupakan
penanda yang bertalian dengan kaidah yang biasanya berupa gerakan atau
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
124

isyarat. Dalam novel Ibuk, ini ditemukan beberapa tanda itu seperti gelengan
kepala yang bermakna “tidak” atau “belum”, muka yang muram dan cemberut
yang bermakna kesal, juga sbuah jabatan tangan yang berarti penerimaan
seseorang terhadap orang lain.
Ikon dalan novel Ibuk, ini ditemukan dalam bentuk foto, yakni foto
Bayek. Foto merupakan ikon karena foto merupakan penanda yang serupa
dengan bentuk objeknya. Indeks merupakan sebuah tanda yang merupakan
sebab-akibat. Dalam novel Ibuk, ini ditemukan tanda indeks berupa asap yang
menandakan adanya api, dan sebuah uap yang menyerupai asap yang keluar dari
mulut yang menandai bahwa ada suhu udara yang begitu dingin. Simbol
ditemukan paling banyak, simbol kesedihan dan rasa haru ditandai dengan air
mata, simbol kebahagiaan ditandai dengan bunga dan cahaya, simbol yang
menunjukkan waktu ditandai dengan kokok ayam dan matahari, simbol
kegugupan ditandai dengan keringat dingin dan tarikan napas panjang, simbol
perpisahan ditandai dengan sebuah ciuman dan air mata, simbol usia yang sudah
tua ditandai dengan rambut yang penuh uban dan simbol kekecewaan yang
ditandai dengan tundukan kepala.
3. Nilai-Nilai Pendidikan dalam Novel Ibuk Karya Iwan Setyawan
a. Nilai Pendidikan Agama/Religius
Dalam novel Ibuk, nilai pendidikan yang dapat diambil yaitu
diajarkan untuk selalu berdoa, apapun keadaannya baik itu sedih gembira,
senang ataupun susah, selalu taat menjalankan perintah agama di manapun
kita berada, senantiasa bersyukur atas anugerah Tuhan, karena hanya dengan
pertolongan Tuhan, keselamatan hidup kita terjamin, dan juga berbakti pada
orang tua, karena bakti pada orang tua adalah salah satu cara menghormati
Tuhan.
b. Nilai Pendidikan Moral
Dalam novel Ibuk, nilai moral yang dapat dipetik yakni tentang
kesederhanaan, kesadaran diri, kerja keras, meminta restu pada orang tua,
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
125

keteguhan hati dan komitmen, tanggung jawab dan keprihatinan. Itu semua
merupakan perbuatan moral yang patut untuk dicontoh. Kesederhanaan sangat
penting diterapkan dalam masyarakat, dengan bersikap sederhana dan tidak
berlebihan, hidup akan menjadi lebih bersahaja. Kesadaran diri, kerja keras ,
keteguhan hati dan komitmen membuat kita belajar akan perjuangan untuk
menggapai tujuan dan sukses yang diinginkan dan membuat kita lebih
menjadi pribadi yang bertanggung jawab, dan yang paling utama adalah
meminta restu pada orang tua, karena orang tua adalah tumpuan bagi anak-
anaknya.
c. Nilai Pendidikan Sosial
Nilai pendidikan sosial yang dapat dipetik dalam novel Ibuk antara
lain adalah kepedulian terhadap sesama, saling membantu sesama manusia,
saling menghargai sesama manusia. Manusia adalah makluk sosial, sehingga
dalam menjalani hidupnya tidak dapat sendiri. Manusia selalu membutuhkan
bantuan orang lain. Saling membantu sesama manusia adalah salah satu
perbuatan yang mencerminkan sifat sosial sebagai manusia, dimana siapapun
saja dianjurkan untuk saling membantu, juga kepeduliah terhadap sesama.
Manusia harus mempunyai rasa kepedulian terhadap sesama, karena kita
hidup di dunia memang terdiri dari beragam suku, ras, agama, dan budaya,
dengan saling memahami, maka akan terhindar dari segala perselisihan dan
akan tercermin sikap saling menghargai sesama manusia.
d. Nilai Pendidikan Budaya
Nilai-nilai budaya daerah memang perlu untuk dilestarikan selagi
budaya itu baik dan tidak menyalahi aturan-aturan keagamaan. Nilai budaya
yang diangkat dalam novel ini yaitu budaya masyarakat jawa zaman dahulu
yaitu gadis yang berumur tujuh belas tahun harus segera menikan, namun saat
ini, agaknya budaya itu sudah tidak banyak yang menerapkan, dan hanya di
bagian-bagian daerah yang masih sangat primitif dan pandangan orang-orang
tertrntu. Selain itu adalah budaya selamatan yang dilakukan untuk mengucap
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
126

syukur karena telah mendapatkan anugerah dari Tuhan. Hal yang patut untuk
diteladani yakni kita harus selalu mengucap syukur atas segala anugerah yang
diberikan Tuhan.

4. Kesesuaian Novel Ibuk, Karya Iwan Setyawan sebagai Materi


Pembelajaran Apresiasi Sastra di SMA
Penyusunan materi pelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia tidak
terlepas dari kurikulum, karena kurikulum adalah acuan yang menjadi pedoman
guru untuk menentukan pokok-pokok materi yang akan diberikan pada siswa.
Kurikulum yang berlaku saat ini adalah kurikulum 2013. Kurikulum ini masih
sangat baru. Dalam kurikulum ini, pembelajaran sastra mendapatkan porsi yang
lebih kecil dibandingkan pembelajaran bahasa. Sehingga guru harus pandai-
pandai untuk memberikan pembelajaran sastra semaksimal mungkin. Dalam
pembelajaran sastra di kelas XII kegiatan siswa meliputi memahami strukur dan
kaidah teks novel, membandingkan teks novel, menganalisis teks novel,
mengevaluasi teks novel berdasarkan kaidah-kaidah, menginterpretasi teks novel,
memproduksi teks novel, menyunting teks novel, dan mengonversi teks novel ke
dalam bentuk lain.

Anda mungkin juga menyukai