Anda di halaman 1dari 263

PERENCANAAN

PENDIDIKAN
Konsep dan Praktik Terbaik

Fatimah Az Zahro▪Marzuki Ahmad▪Amjad Salong▪


Ifada Retno Ekaningrum▪Kartika Novitasari▪
Muhammad Ihsan Dacholfany▪Aris Dianto▪Nia Kania▪
Edi Supriyadi▪Ranti Nazmi▪Liza Husnita▪
Asep Muhammad Saepul Islam
UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 19 TAHUN 2002
TENTANG HAK CIPTA

PASAL 72
KETENTUAN PIDANA SANKSI PELANGGARAN

1. Barangsiapa dengan sengaja dan tanpa hak melakukan perbuatan


sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) atau Pasal 49 ayat (1) dan
ayat (2) dipidana dengan pidana penjara masing-masing paling singkat 1
(satu) bulan dan/atau denda paling sedikit Rp. 1.000.000,- (satu juta
rupiah), atau pidana penjara paling lama 7 (tujuh) tahun dan/atau denda
paling banyak Rp. 5.000.000.000,- (lima miliar rupiah).

2. Barangsiapa dengan sengaja menyiarkan, memamerkan, mengedarkan,


atau menjual kepada umum suatu ciptaan atau barang hasil pelanggaran
hak cipta atau hak terkait sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dipidana
dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan/atau denda paling
banyak Rp. 500.000.000,- (lima ratus juta rupiah).

PERENCANAAN PENDIDIKAN: Konsep dan Praktik Terbaik


Hak Cipta © 2023 pada penulis.
Penulis . Fatimah Az Zahro▪Marzuki Ahmad▪Amjad
Salong▪ Ifada Retno Ekaningrum▪Kartika
Novitasari▪Muhammad Ihsan
Dacholfany▪Aris Dianto▪Nia Kania▪Edi
Supriyadi▪Ranti Nazmi▪Liza
Husnita▪Asep Muhammad Saepul Islam
Editor . Anggun Aprillia
Setting dan Layout . Tim Penerbit
Desainer Sampul . Zaenal Arifin
Cetakan 1 . September 2023
Diterbitkan oleh . CV. Edupedia Publisher
Alamat. Jl. Trajaya, Palasah, Kab. Majalengka, Jawa Barat
Telp/WA. 0822-1856-0919
edupedia.publisher@gmail.com
ISBN . ɿɽɾʣɼɸɹʣɾɺɺɸʣɷɹʣɹ

Anggota IKAPI No. 465/JBA/2023


Dilarang keras mengutip, menjiplak, memfotokopi sebagian atau seluruh isi
buku ini serta memperjualbelikannya tanpa mendapat izin tertulis dari
Penerbit Edupedia Publisher.

© HAK CIPTA DILINDUNGI OLEH UNDANG-UNDANG


PRAKATA

Puji dan syukur kami panjatkan atas


kehadirat Allah SWT atas terselesaikannya Buku ini
dengan judul Perencanaan Pendidikan: Konsep dan
Praktik Terbaik. Tujuan dibuat buku ini adalah
sebagai panduan agar mendapatkan pemahaman
yang komprehensif tentang perencanaan pendidikan
yang efektif bagi dosen, pendidik, paraktisi,
akademisi, guru, dan mahasiswa.
Buku ini memuat dua belas bab. Bab 1:
Pengantar Perencanaan Pendidikan. Buku ini
dimulai dengan bab pertama yang memberikan
pengantar tentang perencanaan pendidikan. Bab ini
menjelaskan definisi dan pentingnya perencanaan
pendidikan, serta menguraikan konsep dasar
perencanaan pendidikan. Selain itu, bab ini juga
memberikan wawasan singkat tentang sejarah
perkembangan perencanaan pendidikan,
memberikan landasan bagi pembahasan
selanjutnya dalam buku ini.
Bab 2: Landasan Hukum Perencanaan
Pendidikan. Bab kedua fokus pada landasan hukum
perencanaan pendidikan di Indonesia. Pembaca
akan mempelajari undang-undang dan peraturan
terkait perencanaan pendidikan serta peran hukum
dalam membentuk perencanaan pendidikan. Bab ini
memberikan pemahaman yang mendalam tentang
kerangka hukum yang mengatur sistem pendidikan
di Indonesia.
Bab 3: Analisis Kebutuhan Pendidikan. Bab
ketiga membahas analisis kebutuhan pendidikan.
Pembaca akan belajar tentang metode dan alat
analisis kebutuhan pendidikan, mengidentifikasi
i
tantangan dan peluang dalam pendidikan, serta
menentukan prioritas kebutuhan pendidikan.
Analisis ini merupakan langkah kunci dalam
perencanaan pendidikan yang efektif.
Bab 4: Perencanaan Kurikulum. Bab keempat
fokus pada perencanaan kurikulum. Pembaca akan
memahami bagaimana mengembangkan kurikulum
yang relevan, menerapkan pendekatan
pembelajaran yang sesuai, dan mengintegrasikan
teknologi dalam kurikulum. Bab ini membantu
pembaca merancang program pendidikan yang
sesuai dengan kebutuhan dan perkembangan
peserta didik.
Bab 5: Penyusunan Strategi dan Rencana
Pembelajaran. Bab kelima membahas cara
menentukan strategi pembelajaran, menyusun
rencana pembelajaran yang efektif, dan
melaksanakan evaluasi pembelajaran. Pembaca
akan memahami cara merancang pengalaman
belajar yang memadai dan memastikan bahwa
tujuan pendidikan tercapai.
Bab 6: Manajemen Sumber Daya Manusia
Pendidikan. Bab keenam mengupas manajemen
sumber daya manusia pendidikan, termasuk
pemilihan dan pengembangan staf pendidikan,
manajemen kinerja pendidik dan tenaga
kependidikan, serta pengembangan
profesionalisme pendidik. Pembaca akan
memahami pentingnya sumber daya manusia dalam
pendidikan yang berkualitas.
Bab 7: Pembiayaan Pendidikan. Bab ketujuh
membahas sumber pembiayaan pendidikan,
perencanaan anggaran pendidikan, dan pengelolaan
dana pendidikan. Pembaca akan memahami aspek-

ii
aspek penting terkait pendanaan pendidikan dan
bagaimana mengelolanya secara efisien.
Bab 8: Evaluasi Program Pendidikan. Bab
kedelapan membahas pengukuran dan evaluasi
efektivitas program pendidikan, jenis kriteria dalam
proses evaluasi, penggunaan data untuk perbaikan
program, dan evaluasi berkelanjutan. Pembaca
akan memahami bagaimana mengukur hasil
pendidikan dan memastikan program pendidikan
terus berkembang.
Bab 9: Perencanaan Pendidikan Inklusif. Bab
kesembilan mengangkat topik perencanaan
pendidikan inklusif, termasuk prinsip-prinsipnya
dan bagaimana merencanakan pendidikan yang
memenuhi kebutuhan semua siswa. Bab ini
memberikan wawasan tentang pendidikan yang
inklusif dan mendukung keragaman.
Bab 10: Perencanaan Pendidikan Karir. Bab
kesepuluh membahas pengembangan program
bimbingan karir dan bagaimana mendukung siswa
dalam pengambilan keputusan karir. Pembaca akan
memahami peran penting pendidikan karir dalam
membantu siswa merencanakan masa depan
mereka.
Bab 11: Pendidikan Karakter dan Nilai-
Nilai.Bab kesebelas membahas pendidikan karakter
dan nilai-nilai. Pembaca akan memahami
bagaimana memasukkan pendidikan karakter dalam
perencanaan pendidikan dan cara memupuk nilai-
nilai positif dalam lingkungan pendidikan.
Bab 12: Perencanaan Pendidikan
Berkelanjutan. Bab terakhir membahas penyusunan
rencana jangka panjang untuk pendidikan
berkelanjutan dan bagaimana mengatasi perubahan

iii
dan tantangan masa depan pendidikan. Pembaca
akan memahami pentingnya merencanakan
pendidikan yang dapat beradaptasi dengan
perubahan zaman.
Buku ini memberikan panduan komprehensif
tentang perencanaan pendidikan, mulai dari aspek
hukum hingga strategi pembelajaran, manajemen
sumber daya manusia, dan pendanaan. Ini
merupakan sumber berharga bagi mereka yang
terlibat dalam perencanaan pendidikan di Indonesia.
Ucapan terimakasih penulis haturkan kepada
semua pihak yang telah membantu dan
berkontribusi dalam penyusunan buku ini.

Majalengka, Nopember 2023

Tim Penulis

iv
DAFTAR ISI

PRAKATA ....................................................................... i
DAFTAR ISI ..................................................................v
Bab 1: Pengantar Perencanaan Pendidikan ........ 1
A. Definisi dan Pentingnya Perencanaan
Pendidikan ...................................................... 1
B. Konsep Dasar Perencanaan Pendidikan 3
C. Sejarah Perkembangan Perencanaan
Pendidikan ..................................................... 13
Bab 2: Landasan Hukum Perencanaan
Pendidikan .......................................................... 20
A. Undang-undang dan Peraturan terkait
Perencanaan Pendidikan di Indonesia . 22
B. Peran hukum dalam Membentuk
Perencanaan Pendidikan .......................... 31
Bab 3: Analisis Kebutuhan Pendidikan ............. 36
A. Metode dan Alat Analisis Kebutuhan
Pendidikan.................................................... 36
B. Mengidentifikasi Tantangan dan Peluang
dalam Pendidikan ....................................... 45
C. Menentukan Prioritas Kebutuhan
Pendidikan.................................................... 48
Bab 4: Perencanaan Kurikulum .......................... 55
A. Pengembangan Kurikulum yang
Relevan ......................................................... 58
B. Menerapkan Pendekatan Pembelajaran
yang Sesuai.................................................. 60
C. Integrasi Teknologi dalam Kurikulum .. 63
Bab 5: Penyusunan Strategi dan Rencana
Pembelajaran .................................................... 67
A. Menentukan Strategi Pembelajaran ..... 67
B. Menyusun Rencana Pembelajaran yang
Efektif ............................................................ 74
v
C. Evaluasi Pembelajaran............................. 77
Bab 6: Manajemen Sumber Daya Manusia
Pendidikan .......................................................... 80
A. Pemilihan dan Pengembangan Staf
Pendidikan..................................................... 81
B. Manajemen Kinerja Pendidik dan Tenaga
Kependidikan ............................................... 83
C. Pengembangan Profesionalisme
Pendidik ........................................................ 85
Bab 7: Pembiayaan Pendidikan ........................... 90
A. Sumber Pembiayaan Pendidikan ........... 90
B. Perencanaan Anggaran Pendidikan .... 102
C. Pengelolaan Dana Pendidikan ............... 107
Bab 8: Evaluasi Program Pendidikan ................ 116
A. Pengukuran dan Evaluasi Efektivitas
Program Pendidikan ................................. 116
B. Jenis Kriteria dalam Proses Evaluasi ... 18
C. Penggunaan Data untuk Perbaikan
Program ........................................................ 119
D. Evaluasi Berkelanjutan ........................... 122
Bab 9: Perencaan Pendidikan Inklusif.............. 127
A. Prinsip-Prinsip Pendidikan Inklusif ..... 127
B. Perencanaan untuk Memenuhi Kebutuhan
Semua Siswa ...............................................151
Bab 10: Perencanaan Pendidikan Karir............ 175
A. Mengembangkan Program Bimbingan
Karir .............................................................. 175
B. Mendukung Siswa dalam Pengambilan
Keputusan Karir ........................................ 179
Bab 11: Pendidikan Karakter dan Nilai-Nilai .. 184
A. Memasukkan Pendidikan Karakter dalam
Perencanaan Pendidikan ....................... 184
B. Memupuk Nilai-Nilai Positif dalam
Lingkungan Pendidikan ........................... 189

vi
Bab 12: Perencanaan Pendidikan
Berkelanjutan .................................................. 296
A. Penyusunan Rencana Jangka Panjang
untuk Pendidikan Berkelanjutan .......... 197
B. Mengatasi Perubahan dan Tantangan
Masa Depan Pendidikan ......................... 203
DAFTAR PUSTAKA ................................................. 214
BIOGRAFI PENULIS .............................................. 245

vii
viii
Pengantar
BAB I Perencanaan
Pendidikan

A. Definisi dan Pentingnya Perencanaan


Pendidikan
Perkembangan global sudah menjadi hal
yang tak dapat dihindari, didalamnya tak lagi hanya
manusia sebagai pekerja utama namun sudah
banyak yang tergantikan oleh teknologi maupun
Artificial Intellegence. Perkembangan yang dinamis
tersebut tentunya akan sangat membutuhkan
sumber daya manusia yang mampu menanganinya.
Tergantikan oleh teknologi atau memegang kendali
teknologi tersebut merupakan pilihan yang dimiliki
oleh sumber daya manusia tersebut.
Kemampuan sumber daya manusia dalam
menanganinya tentu tak lepas dari peran pendidikan
yang menunjangnya. Pendidikan menjadi modal
manusia atau human capital yang
mempersiapkannya memiliki kemampuan yang
mumpuni dalam kebutuhan global. Pendidikan yang
disiapkan untuk kebutuhan sumber daya manusia
tersebut tentunya membutuhkan perencanaan yang
matang. Perencanaan sebagai tahap terpenting
dalam sebuah kegiatan untuk mencapai tujuan yang
telah ditetapkan.
Perencanaan pendidikan harus mampu
membaca perkembangan teknologi saat ini dan
memperkirakan perkembangan teknologi masa
depan sehingga ketika peserta didik itu lulus dari

1
proses pendidikan yang ia tempuh maka mereka
mampu menghadapi perkembangan tersebut.
Selain harus diarahkan pada perkembangan
teknologi dimasa mendatang, perencanaan
pendidikan sudah sepatutnya mengarah pada tujuan
pendidikan nasional. Tujuan pendidikan nasional
sudah ditetapkan dalam Undang-Undang Nomor 20
Tahun 2003 Pasal 3 pendidikan nasional berfungsi
mengembangkan kemampuan dan membentuk
watak serta peradaban bangsa yang bermartabat
dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa,
bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta
didik agar menjadi manusia yang beriman dan
bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak
mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan
menjadi warga negara yang demokratis serta
bertanggung jawab.
Sebelum melangkah pada hal yang harus
diperhatikan dalam perencanaan pendidikan,
terlebih dahulu kita harus memahami makna dari
perencanaan pendidikan itu sendiri. Matin (2017)
menyatakan bahwa perencanaan pendidikan adalah
proses merencanakan kegiatan yang akan
dilakukan di masa depan untuk meningkatkan
kualitas sistem pendidikan.
Prof. Dr. Yusuf Enoch dalam Kementerian
Pendidikan dan Kebudayaan (2017) menyatakan
bahwa perencanaan pendidikan adalah proses
membuat pilihan alternatif untuk tindakan di masa
depan untuk mencapai tujuan tertentu dengan upaya
terbaik, sambil mempertimbangkan kondisi
ekonomi, sosial, dan global suatu negara. Kemudian
Ramadhani, dkk (2021) menjelaskan bahwa
perencanaan pendidikan adalah proses penyusunan

2
serangkaian kebijakan pendidikan untuk mengatur
masa depan pendidikan.
Berdasarkan beberapa pengertian di atas,
perencanaan pendidikan merupakan sebuah proses
merencanakan masa depan yang didalamnya
terdapat kebijakan-kebijakan dan pilihan-pilihan
dengan mempertimbangkan berbagai aspek yang
mampu meningkatkan mutu pendidikan.
Perencanaan pendidikan menjadi tahap
awal dalam menentukan kualitas sumber daya
manusia yang akan dihasilkan. Permasalahan yang
ada seperti perkembangan teknologi, daya saing
sumber daya manusia antar negara yang semakin
kompetitif, literasi teknologi, dan lain-lain menjadi
masalah yang harus diatasi.
Hal tersebut selaras dengan Rahmadani,
dkk (2019) yang menyatakan bahwa perencanaan
pendidikan di Indonesia merupakan proses
membuat kebijakan alternatif untuk menangani
masalah yang akan dihadapi untuk mencapai tujuan
pembangunan pendidikan nasional. Proses ini
mempertimbangkan keadaan sosial ekonomi, sosial
budaya, dan kebutuhan pembangunan pendidikan
nasional secara keseluruhan. Perencanaan
pendidikan memberikan arah yang jelas dalam
proses penyelenggaraan pendidikan. Dengan
kejelasan arah ini, pengelolaan usaha pendidikan
dapat menjadi lebih efisien dan produktif.

B. Konsep Dasar Perencanaan Pendidikan


Perencanaan pendidikan menjadi hal yang
harus diketahui secara spesifik oleh para perencana
pendidikan. Hal ini dikarenakan agar para
perencana pendidikan tidak membuat kebijakan

3
yang tidak sesuai dengan esensi dari perencanaan
pendidikan itu sendiri.
1. Tujuan Perencanaan Pendidikan
Herwina (2023) menjelaskan bahwa tujuan
perencanaan pendidikan yakni menentukan arah
kebijakan pendidikan yang akan dilaksanakan,
mengembangkan program dan kegiatan pendidikan
sesuai dengan visi dan misi pendidikan, serta
menentukan tujuan dan sasaran pendidikan yang
ingin dicapai. Tujuan perencanaan pendidikan juga
terkait dengan upaya meningkatkan mutu dan
relevansi pendidikan, serta memperluas akses
terhadap pendidikan secara lebih adil.
Kemudian Wahyudin memaparkan (2020)
Tujuan perencanaan pendidikan adalah:
a. Menyampaikan rancangan keputusan atasan
kepada pejabat yang berwenang untuk
mendapat persetujuan
b. Menyediakan pola kegiatan yang lengkap
untuk berbagai bidang tanggung jawab
c. Mengupayakan keaslian fakta yang diperoleh
agar dapat diterima oleh pemangku
kepentingan pendidikan
d. Menentukan tindakan apa yang perlu diambil
dan menatap masa depan
e. Meyakinkan pemangku kepentingan
pendidikan secara wajar dan rasional tentang
pendidikan
Matin (2017) dalam bukunya menjelaskan
tujuan perencanaan pendidikan yakni sebagai
berikut.
a. Mencapai tujuan pendidikan secara efektif
dan efisien dengan menggunakan sumber-

4
sumber yang ada seefektif dan seefisien
mungkin;
b. Membangun sistem pendidikan yang lebih
baik dengan banyak strategi yang tepat dan
penggunaan sumber daya yang efektif.
Kemendikbud (2017) dalam Modul Pelatihan
Perencanaan Pendidikan Tingkat Dasar
menjelaskan bahwa tujuan dari perencanaan
pendidikan yakni sebagai berikut.
a. Pemetaan sumber daya atau upaya
optimalisasi setelah analisis internal dan
eksternal.
b. Petunjuk pelaksanaan dan pengecekan
indikator yang disertakan.
c. Uraian secara lengkap kegiatan dan
keterkaitannya
d. Standar atau arahan untuk mencapai tujuan
e. Alat untuk meminimalkan atau
mengantisipasi berbagai kesulitan dengan
tingkat kemungkinan tertentu.
f. Menentukan kebutuhan modal, waktu dan
tenaga kerja
g. Standar pemantauan
Berdasarkan berbagai referensi di atas
dapat disimpulkan bahwa tujuan dari perencanaan
pendidikan terkait akan beberapa hal diantaranya
yaitu sebagai berikut.
a. Perencanaan pendidikan menjadi acuan
kegiatan dan sebagai penentu kebijakan yang
akan diambil;
b. Perencanaan pendidikan berupaya dalam
meningkatkan kualitas pendidikan dengan
analisis sumber daya yang maksimal;
c. Menjadi tolok ukur dalam pencapaian tujuan;

5
d. Menjadi pedoman dalam mencapai tujuan
pendidikan nasional.
2. Fungsi Perencanaan Pendidikan
Wahyudin (2020) menyebutkan bahwa
fungsi dalam perencanaan pendidikan sama seperti
fungsi perencanaan pada umumnya yakni sebagai
berikut.
a. memberikan dasar dan pedoman untuk
pengambilan keputusan tentang tujuan dan
cara mencapainya;
b. mengatur dan mengawasi pelaksanaan
pendidikan;
c. mencegah pemborosan sumber daya, baik
sumber daya manusia maupun alam;
d. membantu mengembangkan penjaminan
kualitas.
e. merupakan upaya melaksanakan dan
mewujudkan tanggung jawab lembaga
pendidikan
f. menyiapkan keputusan kebijakan atau pilihan
kegiatan pengembangan pendidikan di masa
depan
Qurtubi (2019) menjelaskan fungsi
perencanaan pendidikan adalah memberikan
pedoman pelaksanaan pendidikan, bahan rujukan
untuk memantau kemajuan dan pelaksanaan
program pendidikan, kriteria evaluasi untuk
mengetahui adakah hambatan atau bahkan ada
kesenjangan, dan dapat menjadi wahana inovasi
atau tidak.
Somantri dalam Ramadhani, dkk (2021)
memberikan penjelasan bahwa perencanaan
pendidikan diarahkan memenuhi fungsi untuk
memenuhi kebutuhan akan tenaga kerja,

6
memperluas kesempatan pendidikan, meningkatkan
kualitas pendidikan, dan meningkatkan efisiensi dan
efektivitas penyelenggaraan pendidikan.
Berdasarkan fungsi-fungsi yang telah
disebutkan di atas, dapat disimpulkan bahwa fungsi
dari perencanaan pendidikan yaitu sebagai berikut.
a. Memberikan dasar dan pedoman untuk
pengambilan keputusan tentang tujuan dan
cara mencapainya.
b. Mengatur dan mengawasi pelaksanaan
pendidikan.
c. Mencegah pemborosan sumber daya, baik
sumber daya manusia maupun alam.
d. Membantu mengembangkan penjaminan
kualitas.
e. Menyiapkan keputusan kebijakan atau
pilihan kegiatan pengembangan pendidikan
di masa depan.
f. Memenuhi kebutuhan akan tenaga kerja.
g. Memperluas kesempatan pendidikan.
h. Meningkatkan kualitas pendidikan.
i. Meningkatkan efisiensi dan efektivitas
penyelenggaraan pendidikan.
j. Dapat menjadi wahana inovasi dalam
penyelenggaraan pendidikan.
3. Prinsip-prinsip Perencanaan Pendidikan
Suatu kegiatan atau aktivitas yang memiliki
tujuan yang besar tentunya harus memiliki prinsip
yang mampu mengatur atau mengendalikan
kegiatan tersebut ada di track yang sesuai dalam
pencapaian tujuan. Djumberansyah dalam
Shomedran (2021) menjelaskan perencanaan
pendidikan memiliki prinsip sebagai berikut.

7
a. Perencanaan pendidikan harus
komprehensif, yaitu mempertimbangkan
persoalan pendidikan secara menyeluruh,
perlu mendapat perhatian yang tepat pada
seluruh aspek pendidikan, baik formal
maupun informal, mulai dari pendidikan
dasar hingga pendidikan tinggi dalam arti
seluas-luasnya.
b. Perencanaan pendidikan harus integral, yaitu
harus diintegrasikan ke dalam perencanaan
secara keseluruhan. Sifat yang sangat
diperlukan ini harus terlihat jelas dalam
sistem dan proses manajemen pendidikan.
c. Perencanaan pendidikan harus
mempertimbangkan hal-hal kualitatif dan
kuantitatif. Kemajuan pendidikan tidak hanya
tergantung pada berapa banyak siswa yang
dapat diterima, tetapi juga apakah hasilnya
dapat memenuhi kebutuhan pasar kerja atau
meningkatkan kesejahteraan individu.
d. Perencanaan harus bersifat jangka panjang
dan berkelanjutan, artinya siklus pendidikan
bersifat panjang dan memerlukan waktu
untuk mencapai hasil. Oleh karena itu,
perencanaan pendidikan harus berkelanjutan
dan dirancang untuk jangka panjang.
e. Perencanaan pendidikan harus didasarkan
pada efisiensi, artinya biaya yang terbatas
harus digunakan seefektif mungkin dan tepat
sasaran dalam pengelolaannya.
f. Perencanaan pendidikan harus didukung oleh
organisasi administratif yang efektif dan data
yang dapat diandalkan

8
g. Perencanaan pendidikan harus
memperhatikan seluruh sumber yang
tersedia atau terpercaya, artinya
penyelenggaraan pendidikan bukan hanya
menjadi tanggung jawab pemerintah saja,
melainkan menjadi tanggung jawab bersama
ketiga pusat pendidikan, yaitu keluarga,
masyarakat, dan pemerintah.
Banghart dan Trull dalam Qurtubi (2019)
menyebutkan prinsip dari perencanaan pendidikan
yaitu interdisipliner yang berkaitan dengan berbagai
bidang keilmuan, fleksibel terhadap perkembangan
kehidupan, efektivitas-efisiensi akan sumber daya
yang dimiliki, progress of change yang mendorong
warga sekolah untuk berkembang maju
menyesuaikan dengan beragam pembaharuan,
objektif, rasional, dan sistematis, kooperatif-
komprehensif dimana perencanaan yang disusun
mampu memotivasi dan membangun mentalitas
warga sekolah sebagai satu tim, serta perencanaan
yang disusun harus menjadi pedoman dalam
pengembangan sumber daya manusia.
Berdasarkan kedua referensi di atas,
sebuah perencanaan pendidikan tidak dapat disusun
oleh orang yang tidak mengerti pendidikan secara
komprehensif. Hal ini dikarenakan apa yang terjadi
di lapangan dengan yang diketahui melalui data
tidak selalu sama. Perencana pendidikan yang
menyusun hanya melalui data dapat tertipu dengan
informasi yang diterima karena di lapangan
seringkali terdapat tuntutan untuk mempunyai hasil
yang baik. Hal tersebut menyebabkan adanya
kesenjangan atau gap yang mengakibatkan
kebijakan yang disusun oleh perencana tidak sesuai

9
bahkan terkesan memberi tuntutan yang tinggi pada
sekolah dan guru.
Ketika perencana pendidikan mengetahui
keadaan sistem pendidikan secara komprehensif
maka kebijakan yang disusunnya dapat
menyesuaikan dengan prinsip-prinsip yang
disebutkan di atas untuk pencapaian tujuan
pendidikan yang optimal.
4. Ruang Lingkup Perencanaan Pendidikan
Perencanaan pendidikan memiliki cakupan
atau ruang lingkup yang beragam bergantung pada
sudut pandang mana dalam memperhatikannya.
Afifuddin dalam Suryana, dkk (2022) menjelaskan
ruang lingkup yang dapat ditinjau dari beberapa
aspek sebagai berikut.
a. Aspek spesialnya yakni terkait dengan ruang,
tempat, atau batasan wilayah dapat dibagi
menjadi: 1) Perencanaan pendidikan nasional
yang dilakukan oleh pemerintah pusat untuk
mencapai tujuan pendidikan nasional,
meliputi seluruh jenjang pendidikan, dan
diatur dalam sistem pendidikan nasional; 2)
Perencanaan pendidikan regional yang dibuat
dan diberlakukan pada tingkat provinsi dan
kabupaten/ kota; dan 3) Perencanaan
pendidikan kelembagaan yang mencakup
satu lembaga pendidikan.
b. Aspek sifat dan karakteristik model dapat
dibagi menjadi: 1) Proses pembangunan
pendidikan yang esensial dalam koridor
perencanaan pembangunan nasional dimana
perencanaan pendidikan memiliki keterkaitan
secara sistemik dengan perencanaan
pembangunan bidang ekonomi, politik,

10
hukum, dll; 2) Perencanaan pendidikan
komprehensif yang berkaitan dengan
keseluruhan konsep penting dalam layanan
pendidikan yang mampu memberikan
pemahaman lengkap tentang bagaimana
memberikan layanan pendidikan yang
bermutu; dan 3) Perencanaan pendidikan
strategik dimana perencanaan mampu
menjawab persoalan atau isu mutakhir yang
dihadapu pendidikan.
Paul dalam Qurtubi (2019) melanjutkan
aspek selanjutnya yaitu sebagai berikut.
a. Aspek waktu dapat dibagi menjadi: 1) Jangka
panjang, perencanaan pendidikan disusun
dalam jangka waktu 10 tahun ke atas yang
menggambarkan perspektif atas keadaan
ideal yang diinginkan dalam pembangunan
pendidikan; 2) Jangka menengah, dalam
kurun waktu tiga sampai delapan tahun yang
berisi penjabaran kongkrit seperti sasaran
yang akan dicapai; dan 3) Jangka pendek,
kurun waktunya yakni maksimal satu tahun
yang memuat langkah-langkah strategis dan
operasional sehari-hari.
b. Aspek tingkatan teknis perencanaan
dibedakan menjadi: 1) Makro, bersifat
nasional dan berlaku di seluruh Negara
Kesatuan Republik Indonesia dari jenjang
dasar hingga perguruan tinggi; 2) Mikro,
perencanaan pendidikan yang ada
disesuaikan dengan otonomi daerah masing-
masing; 3) Sektoral, kumpulan kebijakan atau
program dalam perencanaan pendidikan
yang menekankan sektor tertentu meski

11
masih berkaitan; 4) Kawasan, dimana
perencanana pendidikan yang disusun sangat
memperhatikan kawasan atau daerahnya
sebagai pusat pendidikan; dan 5) Proyek,
yakni perencanaan operasional terkait
implementasi kebijakan dalam pencapaian
tujuan.
c. Aspek jenis perencanaan dibedakan menjadi:
1) Top down educational planning yang
seringkali disebut dengan perencanaan
pendidikan makro atau perencanaan
pendidikan nasional; 2) Bottom up
educational planning seperti perencanaan
yang dibuat oleh guru, kepala sekolah,
ataupun Dinas Pendidikan kemudian
disampaikan ke Kementerian; 3) Diagonal
educational planning atau perencanaan
pendidikan menyerong dan menyamping yang
seringkali disebut dengan perencanaan
sektoral yang melibatkan kerja sama antar
departemen atau lembaga; 4) Horizontal
educational planning yang menjalin kerja
sama antar lembaga atau departemen yang
sederajat; 5) Rolling educational planning
yakni perencanaan jangka pendek,
menengah, dan panjang; dan 6) Top down and
bottom up educational planning yakni
perencanaan yang mengintegrasikan
kepentingan pusat dan daerah.
Berdasarkan referensi di atas, dapat
disimpulkan bahwa perencanaan pendidikan
memiliki ruang lingkup berdasarkan lima aspek
yakni aspek tempat, ruang, dan wilayah, aspek sifat
dan karakteristik model, aspek waktu, aspek

12
tingkatan teknis, dan aspek jenis perencanaan.
Setiap aspek tersebut memiliki jenis-jenis yang
berbeda dan dilakukan dalam kegiatan perencanaan
pendidikan.

C. Sejarah Perkembangan Perencanaan


Pendidikan
Perencanaan pendidikan yang kita pelajari
di zaman modern ini tentunya diawali oleh
perencanaan pendidikan yang sederhana di masa
lampau. Hal ini selaras dengan pernyataan
Suryaman dan Kurniasari (2017) yang menyatakan
bahwa dalam hal perencanaan pendidikan, jelas
bahwa paradigmanya selalu berfokus pada masa
depan, melihat apa yang terjadi saat ini, dan
mencatat apa yang terjadi pada masa lalu sebagai
referensi. Bagaimana pendidikan berubah dari
zaman ke zaman senantiasa menunjukkan
pergeseran perspektif masyarakat tentang
pendidikan.
Perkembangan perencanaan pendidikan
menurut Usman (2013) dapat dijabarkan sebagai
berikut.
a. 25 Abad yang lalu oleh Bangsa Sparta yang
telah merencanakan pendidikan dengan
tujuan untuk militer, sosial, dan ekonomi
bangsanya. Hal tersebut diketahui melalui
catatan sejarawan Yunani Kuno Xenophon
yang berjudul Konstitusi Lacedaemonian.
b. Sekitar tahun 360 SM, Plato dalam
bukunya yang berjudul Republic membuat
rencana pendidikan untuk Bangsa Athena
dimana menurutnya tihas pendidikan
adalah untuk mencapai kebahagiaan

13
individu, melayani masyarakat, dan
kesejahteraan negara.
c. Pertengahan Abad ke-16, John Knot
seorang berkebangsaan Skotlandia
mengusulkan rencana untuk sistem
persekolahan dan kursus-kursus nasional
sehingga pada saat itu Bangsa Skotlandia
memiliki bentuk perpaduan kepuasan
spiritual dan kesejahteraan sosial.
d. Abad ke-18 mulai ditemukan tulisan
berkaitan dengan perencanaan pendidikan
yang berjudul Perencanaan Universitas
karya Diderot di Rusia. Selain itu, di Eropa
tersebar banyak slogan yang berjudul An
Education Plan dan The Reform Teaching.
Kemudian di Polandia, Rousseau
menyusun rencana pendidikan agar semua
warga Polandia dapat menerima
pendidikan.
e. Abad ke-19 sudah terdapat beberapa
perencanaan pembangunan sekolah dan
perencanaan pendidikan guru.
f. Setelah Perang Dunia I, tahun 1923 Uni
Soviet atau Rusia menjadi negara pertama
yang menyusun Rencana Pengembangan
Lima Tahun I sebagai konsep perencanaan
pendidikan. Di dalamnya menetapkan
tujuan, memilih alternatif dengan maksud
mengkoordinasikan pembangunan
pendidikan dengan pembangunan sosial
dan ekonomi. Kemudian diikuti oleh
beberapa negara lainnya seperti pada
tahun 1929 di Prancis, 1933 di Amerika

14
Serikat, 1941 di Swiss, dan 1942 di Puerto
Rico.
g. Seusai Perang Dunia II terjadi pergolakan
sosial dan ledakan penduduk sedangkan
sumber daya semakin mahal dan langka.
Hal ini menyebabkan beberapa negara di
Eropa memandang bahwa perencanaan
pendidikan itu sangat penting. Oleh karena
itu pada tahun 1944 Inggris mulai
menerapkan wajib belajar di 146 daerah
dan setiap pejabat daerahnya diminta
untuk menyusun perencanaan pendidikan.
h. Tahun 1950 beberapa negara yang baru
mendapat kemerdekaannya mulai
menerapkan perencanaan pendidikan
sebagai instrumen peningkatan
pembangunan pendidikannya.
i. Tahun 1951. Pada tahun ini Prancis mulai
membentuk komisi Perencanaan
Pembangunan Sekolah, Universitas Ilmu
Pengetahuan dan Seni. Kemudian
dilanjutkan pada tahun 1953, pendidikan
menjadi bagian integral dari rencana
pembangunan nasional. Selain Prancis,
pada tahun 1951 India memulai Rencana
Pembangunan I yang menempatkan
pendidikan dalam kerangka pembangunan
sosial dan ekonominya. Rencana
Pembangunan I ini berlangsung hingga
tahun 1955.
j. Tahun 1956-1965 menjadi tahun-tahun
bertumbuh dan berkembangnya
perencanaan pendidikan di berbagai
negara karena dilaksanakan berbagai

15
seminar, lokakarya, dan konferensi
pendidikan pada tingkat lokal, regional,
nasiona, bahkan internasional yang dapat
dikelompokkan sebagai berikut.
1) Tahun 1960-1965. Pada tahun 1960
dilaksanakan Konferensi Karachi yang
menghasilkan rencana kerja
pembangunan pendidikan di wilayah
Asia yang disebut dengan Karachi
Plan. Karachi Plan berisi dua
rekomendasi yaitu perluasan
kesempatan untuk memperoleh
pendidikan bagi usia sekolah dasar
secara bebas melalui program wajib
belajar dan pembentukan unit
pelayanan perencanaan di tingkat
nasional. Tindak lanjut dari Karachi
Plan berlangsung pada tahun 1962
yakni dilaksanakannya Konferensi
Tokyo yang berkegiatan me-review
kemajuan dan kesulitan pelaksanaan
Karachi Plan dan pelaporan studi
pembangunan pendidikan dasar dalam
perencanaan pendidikan yang lebih
luas dalam hal perencanaan sosial dan
ekonomi. Konferensi Tokyo ini
menghasilkan resolusi Tokyo yang
merekomendasikan bahwa negara-
negara Asia hendaknya dapat
mengalokasikan 5% dari GNP-nya
untuk investasi pembangunan
pendidikan. Tahun 1965 dilaksanakan
kembali Konferensi Bangkok yang
menjadi tindak lanjut dari Konferensi

16
Karachi dan Tokyo. Dalam Konferensi
Bangkok merekomendasikan draf
pembangunan pendidikan di negara-
negara Asia sejak tahun 1965 sampai
1980 yang mana draf tersebut
Bernama Model for Asian Educational
Development atau Asian Model.
2) Tahun 1960 Unesco dalam sidang
umumnya memutuskan untuk
mendirikan empat pusat pendidikan
dan pelatihan regional perencana
pendidikan seperti untuk negara-
negara Arab yang dilaksanakan di
Beirut pada tahun 1961 dan negara-
negara Asia di New Delhi pada 1962.
Tahun 1961, Konferensi Addis Ababa
dilaksanakan dan menghasilkan
Garis-Garus Besar Rencana
Pembangunan Pendidikan di Afrika.
Tahun berikutnya, 1962 diadakan
Konferensi Paris yang
merekomendasikan agar tiap negara
di Afrika dibentuk badan-badan atau
unit-unit kerja perencanaan
pendidikan.
3) Tahun 1962 ini dilaksanakan Sidang
Umum Unesco kembali dan
memutuskan untuk mendirikan
International Institute of Educational
planning (IIEP) di Paris pada tahun
1963. Tugas utama institusi tersebut
adalah melakukan pendidikan dan
pelatihan terkait spesialisasi
perencanaan pendidikan tingkat tinggi,

17
menstimulasi, dan mengoordinasikan
penelitian-penelitian perencanaan
pendidikan tingkat internasional.
4) Pada tahun 1962 dilaksanakan
Konferensi Santiago di Chili yang
menghasilkan Deklarasi Santiago.
Hasil dari Deklarasi Santiago yaitu
anggaran untuk biaya pendidikan
sebesar minimal 4% dari pendapatan
nasional. Kemudian pada tahun 1965
Konferensi Buenos Aires
menghasilkan isi, metode, dan evaluasi
pendidikan.
k. Tahun 1968 isu perencanaan pendidikan
mulai masuk ke Indonesia dengan
dilaksanakannya Proyek Penilaian
Nasional pendidikan (PPNP). Hasil PPNP
ini menarik perhatian Unesco dan UNDP
dan bersedia untuk membantu Indonesia
mengembangkan perencanaan pendidikan.
l. Tahun 1969 didirikan Badan Penelitian
Pendidikan (BPP) yang berubah Namanya
pada tahun 1975 menjadi Badan Penelitian
dan Pengembangan Pendidikan dan
Kebudayaan (Balitbang Dikbud). Badan ini
berkegiatan dalam pengembangan
perencanaan pendidikan. Bantuan Unesco
memberikan kesempatan beberapa staf
Balitbang Dikbud secara bertahap untuk
mengikuti pendidikan dan pelatihan
perencanaan pendidikan yang
diselenggarakan oleh Asian Institute of
Educational planning and Administration di
New Delhi, INNOTECH di Manila, dan IIEP di

18
Paris. Staf yang mengikuti secara bertahap
hingga tahun 1989 terdapat 39 orang yang
kemudian menjadi tenaga perencanaan
pendidikan di Depdiknas Pusat dan
Kanwil-Kanwil Diknas Provinsi. Selain
mengikuti pendidikan dan pelatihan di atas,
mereka juga mengikuti pelatihan jangka
pendek, seminar, dan lokakarya dari
Unesco yakni Regional Office for Asia and
Pacific di Bangkok.
m. Tahun 1975 didirikan Biro Perencanaan di
Sekretariat Jenderal Depdiknas yang
bertujuan untuk meningkatkan
kemampuan akademik dan keterampilan
teknis di bidang perencanaan pendidikan
melalui jalur pendidikan dan pelatihan
tatap muka
Kajian perencanaan pendidikan ini
berkembang secara pesat hingga saat ini. hal ini
dapat terlihat dari beberapa organisasi
internasional seperti OECD dan IIEP sedikit banyak
telah merumuskan konsep, metode, dan proses
perencanaan pendidikan.

19
Landasan Hukum
BAB II Perencanaan
Pendidikan

Perencanaan pendidikan merupakan


sebuah konsep yang jelas dan sistematis untuk
menentukan kegiatan yang akan dilakukan di masa
depan dalam hal yang berkaitan dengan penentuan
kebijakan, prioritas dan biaya-biaya selama proses
pendidikan yang disesuaikan dengan keadaan pada
bidang ekonomi, sosial, dan politik yang
kesemuanya dipergunakan untuk menunjang
pengembangan seluruh potensi dari semua unsur
yang terlibat dalam proses pendidikan.
Perencanaan pendidikan merupakan hal yang
amat penting karena perencanaan pendidikan akan
berkaitan dengan fasilitas, sarana dan prasarana,
yang telah dimiliki atau yang belum dimiliki
sehingga perencanaan pendidikan yang tidak
proporsional akan mempersulit terlaksananya
kegiatan pendidikan dengan cara yang efektif dan
efisien (Ridwan, 2020). Kegiatan perencanaan
pendidikan bertujuan untuk mengatur berbagai
sumber daya agar hasil yang dicapai dalam proses
pendidikan sesuai dengan yang diharapkan. Dengan
demikian, dalam perencanaan pendidikan sangat
dibutuhkan landasan yang benar agar tercapai hasil
yang diharapkan.
Landasan dasar perencanaan merupakan
kemampuan manusia untuk secara sadar memilih
alternatif masa depan yang dikehendakinya dan
kemudian mengarahkan daya upayanya untuk
mewujudkan masa depan yang dipilihnya, dalam
hal ini manajemen yang diterapkan seperti apa,
20
sehingga dengan dasar itulah maka suatu rencana
akan terealisasikan dengan baik (Luneto, 2023).
Dalam proses merencanakan perencanaan
pendidikan, prinsip dan karakteristik perencanaan
yang digunakan harus mencerminkan nilai-nilai
kebaikan dan rasa tanggung jawab. Rencana yang
telah disusun harus dilaksanakan secara efektif dan
efisien sehingga dapat menghasilkan peserta didik
dan lulusan yang beriman dan bertakwa kepada
Allah SWT serta berakhlak mulia. Sebuah
perencanaan pendidikan tidak akan dapat berjalan
dengan baik jika tidak memiliki landasan yang kuat
(Nuraeni & Mujahidin, 2021).
Landasan Hukum Perencanaan Pendidikan
merupakan titik tumpu dalam proses
mempersiapkan seperangkat keputusan untuk
kegiatan-kegiatan pada bidang pendidikan di masa
depan yang diarahkan untuk mencapai tujuan-
tujuan dengan cara-cara optimal untuk
pembangunan ekonomi dan sosial secara
menyeluruh dari suatu Negara. Landasan hukum
bukan semata-mata landasan bagi
penyelenggaraan pendidikan namun sekaligus
dijadikan alat untuk mengatur sehingga
penyelenggaraan pendidikan yang menyimpang
dapat dikenakan sanksi (Junaid, 2012). Dalam
praktik penyelenggaraan pendidikan tidak sedikit
ditemukan penyimpangan. Memang penyimpangan
tersebut tidak begitu langsung tetapi dalam jangka
panjang bahkan dalam skala nasional dapat
menimbulkan kerugian bukan hanya secara
material tapi juga spiritual. Penyelenggaraan
pendidikan yang sangat komersial dan instan dapat
merusak pendidikan sebagai proses pembentukan

21
watak dan kepribadian bangsa sehingga dalam
jangka panjang menjadikan pendidikan bukan
sebagai sarana rekonstruksi sosial tetapi
dekonstruksi sosial. Hal ini menjadikan dasar
regulasi sangat penting dalam perencanaan
pendidikan, juga harus dilandasi dengan dasar
yuridis untuk proses pemberian sanksi.
Pendidikan diberbagai negara memiliki
lansaan berupa hukum dan perundang-undangang
yang terdapat dinegaranya. Dalam Peraturan
Pemerintah Republik Indonesia No. 4 tahun 2022
pasal I(A) dinyatakan bahwa Standar Nasional
Pendidikan berdasarkan Pancasila, Undang-
Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun
1945, Negara Kesatuan Republik Indonesia, dan
Bhinneka Tunggal Ika. Berdasarkan dasar dari
standar nasional pendidikan tersebut maka
landasan hukum pendidikan di indonesia
disesuaikan dengan landasan hukum yang terdapat
di Indonesia yaitu Undang Undang Dasar 1945 (UUD
1945), yang diturunkan pada Undang Undang (UU)
dan Peraturan Pemerintah (PP) dalam sistem
pendidikan.

A. Undang-undang dan Peraturan terkait


Perencanaan Pendidikan di Indonesia (atau
sesuai dengan wilayah tertentu)
Berbagai undang undang dan peraturan
yang dijadikan landasan hukum untuk mengatur
pendidikan sesuai dengan wilayah atau kawasan
tertentu. Pemerintah dan Pemerintah Daerah
berhak mengarahkan, membimbing, membantu, dan
mengawasi penyelenggaraan pendidikan sesuai
dengan peraturan perundang-undangan yang

22
berlaku. Begitu juga dengan perencanaan
pendidikan, terdapat undang-undang dan peraturan
yang dijadikan sebagai landasan hukum diantaranya
yaitu UUD 1945, UU No. 20 tahun 2013, UU No. 14
tahun 2005, PP RI No. 19 tahun 2005. Berikut ini akan
diuraikan lebih rinci.
1. UUD 1945
Undang Undang Dasar 1945 (UUD 1945)
dasar dari segala perundang undangan yang
ditetapkan di wilayah negara Indonesia. UUD 1945
merupakan hukum tertinggi di Indonesia yang
memuat peraturan peraturan yang bersifat umum.
Semua peraturan atau undang undang yang dibuat
dalam berbagai bidang harus berlandaskan UUD
1945 dan dan tidak boleh bertentangang dengan UUD
1945. UUD 1945 menjadi landasan dari berbagai
perundangan yang tidak terkecuali pendidikan yang
didalamnya terdapat perencanaan pendidikan.
Ditinjau dari UUD 1945 dan Amandemen UUD 1945
satu naskah maka yang menjadi landasan
pendidikan mengacu pada pasal 28 ayat 1 dan pasal
31 yang terdiri dari 5 ayat.
Adapun yang tertuang pada pasal 31 UUD
1945 adalah sebagai berikut:
1) Setiap warga negara berhak mendapatkan
pendidikan.
2) Setiap warga negara wajib mengikuti pendidikan
dasar pemerintah wajib membiayainya.
3) Pemerintah mengusahakan dan
menyelenggarakan satu sistem pendidikan
nasional, yang meningkatkan keimanan dan
ketakwaan serta akhlak yang mulia dalam
rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, yang
diatur dengan undang-undang.

23
4) Negara memprioritaskan anggaran pendidikan
sekurang-kurangnya dua puluh persen dari
anggaran pendapatan dan belanja negara serta
dari anggaran pendapatan dan belanja daerah
untuk memenuhi kebutuhan penyelenggaraan
pendidikan nasional.
5) Pemerintah memajukan ilmu pengetahuan dan
teknologi dengan menjunjung tinggi nilai-nilai
agama dan persatuan bangsa untuk kemajuan
peradaban serta kesejahteraan umat manusia.
Pasal 31 yang disampaikan diatas
mengungkapkan secara umum tentang landasan
pendidikan Nasional. Selanjutnya terdapat juga
pasal yang berkaitan dengan pendidikan yakni
kebudayaan yang terdapat pada pasal 32.
Kebudayaan berkaitan erat dengan pendidikan yang
mana dengan adanya perkembangan kebudayaan
maka pendidikan akan semakin berkembang.
Kebudayaan merupakan bagian dari pendidikan.
Kebudayaan yang Dalam pasal 32 diungkapkan
memajukan kebudayaan nasional dengan
memelihara dan mengembangkan budaya yang
terdapat dalam masyarakat. Adapun pasal 32 yaitu:
1) Negara memajukan kebudayaan nasional
Indonesia di tengah peradaban dunia dengan
menjamin kebebasan masyarakat dalam
memelihara dan mengembangkan nilai nilai
budayanya.
2) Negara menghormati dan memelihara bahasa
daerah sebagai kekayaan budaya nasional.
2. UU No. 20, tahun 2003
Undang-Undang Republik Indonesia
Nomor 20 Tahun 2003 merupakan undang undang
yang memberi aturan tentang sistem pendidikan

24
secara nasional. Ditinjau dari perencanaan
pendidikan maka dalam UU No. 20, tahun 2003
terdapat pasal pasal yang memiliki ayat yang
berkaitan dengan rencana dalam sistem pendidikan
atau perencanaan pendidikan. Beberapa
diantaranya yaitu pada Pasal 1. Ayat (1), yaitu
“Pendidikan adalah usaha sadar dan terencana
untuk mewujudkan suasana belajar dan proses
pembelajaran agar peserta didik secara aktif
mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki
kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri,
kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta
keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat,
bangsa dan negara”. Dalam hal ini dapat dipahami
bahwa dalam pendidikan perencanaan dibutuhkan
dalam mewujudkan suasana dan proses belajar
yang melibatkan siswa untuk aktif dalam
mengembangkan potensi yang dimilikinya yaitu
kecakapan dalam keagamaan, pengaturan diri,
kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta
keterampilan yang dibutuhkan untuk dirinya,
keluarga, masyarakat, bangsa, dan negara.
Selanjutnya Pasal 1 ayat 19 yaitu: “Kurikulum adalah
seperangkat rencana dan pengaturan mengenai
tujuan, isi, dan bahan pelajaran serta cara yang
digunakan sebagai pedoman penyelenggaraan
kegiatan pembelajaran untuk mencapai tujuan
pendidikan tertentu”. Hal ini mengungkapkan bahwa
perencanaan pendidikan juga dapat ditinjau dari
tujuan pelajaran, isi, dan bahan pelajaran serta cara
yang digunakan dalam pembelajaran.
Dalam kegiatan pendidikan masyarakat juga
memiliki hak dan kewajiban dalam perencanaan
pendidikan. Dimana dalam perencanaan pendidikan

25
masyarakat dilibatkan dalam pembuatan rancangan
kurikulum pembelajaran. Sebagaimana tertuang
dalam pasal Pasal 8 yaitu: "Masyarakat berhak
berperan serta dalam perencanaan, pelaksanaan,
pengawasan, dan evaluasi program pendidikan ".
Tujuan kegiatan yang dilakukan masyarakat dalam
perencanaan program pendidikan ini agar diperoleh
peningkatan pelayanan dalam pelaksanaan
pendidikan. Lembaga kemasyarakatan yang
berperan dalam hal ini disebut komite sekolah atau
madrasah. Hal ini juga diungkapkan dalam pasal 56
Ayat 1 yaitu: “Masyarakat berperan dalam
peningkatan mutu pelayanan pendidikan yang
meliputi perencanaan, pengawasan, dan evaluasi
program pendidikan melalui dewan pendidikan dan
komite sekolah/madrasah”.
Perencanaan pendidikan juga ditujukan
pada peningkatan standar nasional dalam
pendidikan secara berkala. Dalam hal ini standar
nasional yang ditingkatkan meliputi standar isi,
proses, kompetensi lulusan, tenaga kependidikan,
sarana dan prasarana, pengelolaan, pembiayaan,
dan penilaian pendidikan. hal ini terdapat dalam
Pasal 35 ayat 1 yaitu: “Standar nasional pendidikan
terdiri atas standar isi, proses, kompetensi lulusan,
tenaga kependidikan, sarana dan prasarana,
pengelolaan, pembiayaan, dan penilaian pendidikan
yang harus ditingkatkan secara berencana dan
berkala”.
Dalam kegiatan pembelajaran, pendidik
dipandang sebagai tenaga profesional yang salah
satu tugasnya adalah membuat perencanaan
pembelajaran, membuat rencana penilaian hasil
belajar, membuat proposal penelitian dan membuat

26
proposal pengabdian kepada masyarakat khusus
pada pendidik di tingkat perguruan tinggi. Hal ini
sesuai dengan pasal 39 ayat 2 yaitu: “Pendidik
merupakan tenaga profesional yang bertugas
merencanakan dan melaksanakan proses
pembelajaran, menilai hasil pembelajaran,
melakukan pembimbingan dan pelatihan, serta
melakukan penelitian dan pengabdian kepada
masyarakat, terutama bagi pendidik pada perguruan
tinggi”.
Berdasarkan UU No. 20, tahun 2013 tentang
sistem pendidikan nasional diatas maka dapat
dipahami bahwa perencanaan pendidikan sangat
dibutuhkan dalam sistem pendidikan nasional
sehingga dapat membentuk manusia Indonesia
yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang
Maha Esa, dan berakhlak mulia, serta terampil
dalam bekerja di tengah masyarakat.
3. UU No. 14, tahun 2005
Undang-Undang No. 14 tahun 2005
merupakan peraturan yang berkaitan tentang guru
dan dosen. Dalam undang undang ini terdapat pasal
yang berkaitan tentang perencanaan pendidikan
yakni perencanaan dalam pembelajaran yang
diterapkan guru dan perencanaan dalam
perkuliahan yang diterapkan oleh dosen.
Pembelajaran tidak bisa dipisahkan dari pendidikan.
Dalam hal ini pembelajaran adalah bagian dari
pendidikan atau dengan kata lain pembelajaran
adalah inti dari pendidikan. Guru sebagai pelaksana
pembelajaran dalam pelaksana tugas
keprofesionalan berkewajiban dalam menyusun
rencana pembelajaran dengan skenario
pembelajaran yang bermutu serta membuat

27
rencana penilaian dan evaluasi hasil pembelajaran.
hal ini merupakan perencanaan dalam pendidikan
dengan landasan hukum yang terdapat pada pasal
20(a) yaitu: “Dalam melaksanakan tugas
keprofesionalan, guru berkewajiban merencanakan
pembelajaran, melaksanakan proses pembelajaran
yang bermutu, serta menilai dan mengevaluasi hasil
pembelajaran”. Selanjutnya merencanakan kegiatan
pembelajaran yang terdiri dari pembuatan program
tahunan (prota), Program Semester (Prosem),
Rencana Pembelajaran, Lembar Kerja Siswa dan
lainnya berupa instrumen atau perangkat yang
mendukung suasana pembelajaran merupakan
beban kerja guru. Hal ini merupakan perencanaan
pendidikan yang berlandaskan pada Pasal 35 (1)
yaitu: “Beban kerja guru mencakup kegiatan pokok
yaitu merencanakan pembelajaran, melaksanakan
pembelajaran, menilai hasil pembelajaran,
membimbing dan melatih peserta didik, serta
melaksanakan tugas tambahan”.
Begitu juga halnya dengan dosen harus
menyusun Rencana Program semester (RPS),
Kontrak kuliah, Satuan Acara Perkuliahan (SAP) dan
lainnya yang mendukung pelaksanaan
pembelajaran yang praktis dan efektif. hal ini
merupakan perencanaan pendidikan yang
landasannya terdapat pada pasal 60(b) yaitu: “Dalam
melaksanakan tugas keprofesionalan, dosen
berkewajiban:merencanakan, melaksanakan
proses pembelajaran, serta menilai dan
mengevaluasi hasil pembelajaran". Selanjutnya
ditegaskan juga bahwa pembuatan rencana
perkuliahan merupakan bagian dari beban kinerja
dosen sehingga perkuliahan dapat berjalan dengan

28
baik. sebagaimana terdapat pada pasal 72(1) yaitu:
"Beban kerja dosen mencakup kegiatan pokok yaitu
merencanakan pembelajaran, melaksanakan
proses pembelajaran, melakukan evaluasi
pembelajaran, membimbing dan melatih, melakukan
penelitian, melakukan tugas tambahan, serta
melakukan pengabdian kepada masyarakat".
4. PP RI No. 19 tahun 2005
Peraturan Pemerintah Republik Indonesia
Nomor 19 (PP RI No. 19) Tahun 2005 Tentang
Standar Nasional Pendidikan mengungkapkan
peraturan terkait dengan perencanaan dalam
bentuk standar nasional sebagaimana terdapat
dalam pasal 1(9) yaitu perencanaan kegiatan
pendidikan merupakan standar nasional pada
standar pengelolaan pendidikan pada tingkat
satuan pendidikan, kabupaten/kota, provinsi, atau
nasional agar tercapai efisiensi dan efektivitas
penyelenggaraan pendidikan. Pasal Pasal 1(13)
mengungkapkan bahwa seperangkat rencana dan
pengaturan mengenai tujuan, materi pelajaran dan
teknik atau metode yang digunakan dalam kegiatan
belajar mengajar untuk mencapai tujuan pendidikan
merupakan maksud dari Kurikulum. Selanjutnya
Pasal 2(3) mengungkapkan bahwa perencanaan
dalam penyempurnaan standar nasional pendidikan
agar sesuai dengan tuntutan perubahan kehidupan
lokal, nasional, dan global merupakan aspek yang
dilibatkan.
Pasal 3 Selanjutnya perencanaan yang
disertai dengan pelaksanaan dan pengawasan
pendidikan merupakan tahapan standar pendidikan
nasional dalam rangka mewujudkan pendidikan
nasional yang bermutu. Pasal 19(2) perencanaan

29
dalam proses pendidikan merupakan salah satu
proses yang mesti dilakukan dalam setiap satuan
pendidikan agar proses pembelajaran yang efektif
dan efisien dapat terlaksana. Pasal 20
mengungkapkan bahwa perencanaan proses
pembelajaran meliputi silabus dan rencana
pelaksanaan pembelajaran yang memuat
sekurang-kurangnya tujuan pembelajaran, materi
ajar, metode pengajaran, sumber belajar, dan
penilaian hasil belajar. Pasal 24 Standar
perencanaan proses pembelajaran bersama
dengan pelaksanaan proses pembelajaran,
penilaian hasil pembelajaran dan pengawasan
proses pembelajaran dikembangkan oleh BSNP
dan ditetapkan dengan Peraturan Menteri.
Selanjutnya terdapat pasal lain yang terkait dengan
rencana pendidikan dalam PP RI No. 19 tahun 2005
yaitu: Pasal 53 tentang rencana kerja tahunan; pasal
59 tentang penyusunan rencana kerja tahunan oleh
pemerintah daerah.
Berdasarkan landasan hukum yang diuraikan
sebelumnya pemerintah pusat dan pemerintah
daerah memiliki hak dalam mengatur,
mengarahkan, membantu dan mengawasi proses
pelaksanaan pendidikan sesuai dengan undang
undang yang telah ditetapkan. Perencanaan
pendidikan di daerah dilakukan pada level
kabupaten/kota dan perencanaan pendidikan pada
tingkat provinsi merupakan memiliki peranan
sebagai fungsi koordinasi dan distribusi. Dalam
fungsi koordinasi perencanaan pendidikan memiliki
pengaturan yang tertib terhadap upaya individu dan
kelompok untuk memberikan kesatuan tindakan
dalam mengejar tujuan bersama. Selanjutnya

30
melalui fungsi distribusi terjadi pemerataan
perencanaan pendidikan pada berbagai
kabupaten/kota serta pendidikan dapat diterapkan
secara merata sesuai dengan situasi daerah
tertentu.
Pemberlakuan otonomi daerah yang
terlaksana dalam bidang pendidikan membawa
implikasi terhadap perubahan dalam
penyelenggaraan pendidikan, yang dalam hal ini
pengaturan dan pengelolaan yang biasanya
dilaksanakan pemerintah pusat akan menjadi
berkurang. Selanjutnya masing masing daerah baik
kabupaten/kota melakukan pengaturan yang
meliputi perencanaan serta penerapan dari rencana
yang ada dalam bidang pendidikan.
Penyelenggaraan perencanaan pendidikan di
daerah didasarkan pada asas desentralisasi.
Sistem pendidikan yang desentralisasi
sebagaimana tercantum dalam Undang-undang
Nomor 32 Tahun 2004 yang merupakan revisi
Undang-undang Nomor 29 Tahun 1999 tentang
pemerintah daerah, di mana sejumlah kewenangan
telah diserahkan oleh pemerintah pusat kepada
pemerintah daerah, memungkinkan daerah untuk
melakukan kreasi, inovasi, dan improvisasi dalam
upaya pembangunan daerahnya termasuk dalam
bidang pendidikan (Idris, 2020).

B. Peran Hukum dalam Membentuk Perencanaan


Pendidikan
Perencanaan pendidikan merupakan bagian
penting dalam manajemen pendidikan mempunyai
peran penting dan dijadikan sebagai panduan bagi
pelaksanaan, pengendalian, dan pengawasan

31
penyelenggaraan pendidikan. Perencanaan sebagai
salah satu fungsi organik dalam manajemen,
merupakan bagian integral dari fungsi-fungsi
organik lainnya di dalam manajemen. Dalam
melakukan perencanaan pendidikan, hendaknya
dijalankan dengan kesungguhan dan menjunjung
tinggi nilai-nilai kemaslahatan. Dalam konteks
hukum negara landasan pendidikan didasarkan
pada landasan idiil yang sudah sangat kokoh
sebagaimana terangkum sila-sila di dalam
pancasila dan undang-undang yang terkait dengan
pendidikan (Ridwan, 2020). Adanya landasan hukum
menunjukkan bahwa prinsip-prinsip perencanaan
dalam manajemen dilandasi oleh idealis normatif
yang berlaku dalam tataran hukum agama
maupun hukum negara. Dalam proses kerjanya
perencanaan menerima masukan dari fungsi-
fungsi organik manajemen lainnya, misalnya dari
fungsi organik pengorganisasian menerima
masukan yang berupa tujuan organisasi, dari fungsi
organik pengawasan menerima masukan umpan
balik berupa laporan hasil pelaksanaan suatu
rencana (Kasmawati, 2019).
Perencanaan pendidikan pada hakikatnya
merupakan proses mempersiapkan kegiatan-
kegiatan secara sistematis yang akan dilakukan
untuk mencapai keberhasilan dalam pelaksanaan
kegiatan berbagai aspek kehidupan suatu bangsa
dalam bidang agama, ideologi, politik, ekonomi,
sosial budaya, hukum, ilmu pengetahuan dan
teknologi, serta keamanan dan pertahanan. Bentuk
dan isi rumusan atau informasi tujuan pendidikan
bagi setiap bangsa berbeda. Perbedaan itu
disesuaikan dengan sistem nilai yang terkandung

32
dalam aspek-aspek kehidupan suatu bangsa
dalam kurun waktu tertentu.
Perencanaan pendidikan yang terintegrasi
secara nasional dapat terealisasi apabila tenaga-
tenaga perencana pendidikan di kabupaten/ kota/
propinsi memiliki wawasan, pemahaman dan
kemampuan yang memenuhi dan baik dalam
merencanakan program pembangunan pendidikan
yang menjadi kewenangannya (Suhardi, 2018).
Perencanaan pendidikan dilakukan secara
terintegrasi yang bermakna bahwa pembangunan
pendidikan bukanlah penerapan konsep
pembangunan yang terpisah pisah, namun
terlaksana secara keseluruhan atau bersamaan
dalam berbagai bidang yang mendukung untuk
pembangunan nasional. Pembangunan pendidikan
tidak dapat lepas dari program pembangunan,
ketenagakerjaan, teknologi, industry, transportasi,
lingkungan sosial-budaya, lingkungan geografis,
ekonomi dan keuangan (Somantri, 2014).
Berdasarkan hukum yang ditetapkan
pemerintah indonesia maka standar pencapaian
perkembangan anak dalam berbagai jenjang
pendidikan dapat cermati dari berbagai tingkat yang
meliputi tingkat pendidikan anak usia dini, tingkat
pendidikan dasar, tingkat pendidikan menengah dan
tingkat pendidikan tinggi. Dalam peraturan
pemerintah No. 4 tahun 2022 ditetapkan bahwa
berbagai standar pencapaian perkembangan anak
mulai dari anak usia dini sampai perguruan tinggi.
Pada anak usia dini standar tingkat pencapaian
perkembangan anak difokuskan pada nilai agama
dan moral, nilai Pancasila, fisik motorik, kognitif,
bahasa, dan sosial emosional. Selanjutnya pada

33
jenjang pendidikan dasar, pendidikan menengah dan
pendidikan tinggi standar pencapaian
perkembangan anak mengacu pada persiapan
peserta didik menjadi anggota masyarakat yang
beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha
Esa serta berakhlak mulia; penanaman karakter
yang sesuai dengan nilai-nilai Pancasila;
penumbuhan kompetensi literasi dan numerasi
Peserta Didik untuk mengikuti Pendidikan lebih
lanjut (untuk siswa sekolah dasar), pengetahuan
untuk meningkatkan kompetensi Peserta Didik
agar dapat hidup mandiri dan mengikuti Pendidikan
lebih lanjut (Untuk sekolah menengah umum),
keterampilan untuk meningkatkan kompetensi
Peserta Didik agar dapat hidup mandiri dan
mengikuti Pendidikan lebih lanjut sesuai dengan
kejuruannya (Untuk sekolah menengah kejuruan),
pengetahuan, keterampilan, kemandirian, dan
sikap untuk menemukan, mengembangkan, serta
menerapkan ilmu pengetahuan, teknologi, dan seni,
yang bermanfaat bagi kemanusiaan (Untuk
pendidikan tinggi).
Berdasarkan Undang-Undang Nomor 20
Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional
dalam Bab III (4) terdapat prinsip penyelenggaraan
pendidikan yang melibatkan proses perencanaan
yang mengacu pada:
• Pendidikan terlaksana secara demokratis dan
berkeadilan dengan menjunjung tinggi hak asasi
manusia, nilai keagamaan, nilai kultural, dan
kemajemukan bangsa.
• Pendidikan terlaksana dalam satu kesatuan
yang sistemik dengan sistem terbuka dan
multimakna.

34
• Pendidikan terlaksana dalam suatu proses
pembudayaan dan pemberdayaan peserta didik
yang berlangsung sepanjang hayat.
• Pendidikan yang terlaksana dapat memberi
keteladanan, membangun kemauan,
danmengembangkan kreativitas dan sikap
peserta peserta didik dalam proses
pembelajaran.
• Pendidikan dilaksanakan dengan
memperhatikan pengembangan budaya
membaca, menulis, dan berhitung bagi setiap
peserta didik.
• Pendidikan dilaksanakan dengan
memberdayakan semua komponen masyarakat
melalui peran serta dalam penyelenggaraan dan
pengendalian mutu layanan pendidikan.

35
Analisis Kebutuhan
BAB III Pendidikan

A. Metode dan Alat Analisis Kebutuhan Pendidikan


Analisis kebutuhan dijelaskan sebagai
proses yang dilakukan oleh seseorang untuk
mengenali kebutuhan dan menetapkan prioritas
terkait dengannya (Suharsimi, 2008). Dalam konteks
pendidikan dan program pendidikan, kebutuhan
didefinisikan sebagai kondisi yang menyoroti
ketidaksesuaian antara situasi aktual (yang ada) dan
kondisi yang diinginkan. Kebutuhan yang disebutkan
di atas dapat muncul dari individu, kelompok, atau
organisasi.
Kaufman menyatakan dalam kutipan ini
bahwa proses yang disebut analisis kebutuhan
digunakan untuk mengidentifikasi ketidaksesuaian
antara hasil aktual dan hasil yang diharapkan.
Ketidaksesuaian yang dianggap paling penting
menjadi prioritas untuk segera ditinjau ulang guna
menemukan kondisi sebenarnya dan kebutuhan
yang muncul, sehingga metode atau solusi yang
paling sesuai untuk mengatasi masalah dan
memenuhi kebutuhan yang belum terpenuhi dapat
ditemukan.
Analisis kebutuhan yang dilakukan untuk
menganalisa kesenjangan, mengidentifikasi
kebutuhan dan menentukan solusi yang tepat
merupakan sebuah proses yang kompleks. Hal
tersebut diperkuat oleh Allison Rossett yang
menyatakan bahwa di dalam analisis, seseorang
mengidentifikasi peluang, menemukan dan
mendeskripsikan masalah, menyatakan pertanyaan,
36
membangun hipotesa, mengurangi kemungkinan,
menggambarkan hubungan antar bagian dan
elemen yang ada, memisahkan fakta dan fiksi serta
memberikan penilaian dan rekomendasi. Tujuan
yang hendak dicapai melalui analisis kebutuhan
tidak hanya sampai pada penemuan atas
kesenjangan yang terjadi, tetapi lebih dari itu,
pengidentifikasian atas penyebab kesenjangan juga
dilakukan untuk mengetahui akar masalahnya,
sehingga kebutuhan yang sebenarnya dapat
teridentifikasi.
1. Metode Analisis Kebutuhan Pendidikan
Metode Analisis Kebutuhan Pendidikan
adalah suatu proses yang bertujuan untuk
mengidentifikasi kesenjangan kompetensi dalam
pengetahuan, sikap, dan keterampilan untuk
mengembangkan program pendidikan dan pelatihan
yang sesuai. Analisis ini sangat penting dalam
memahami beragam kebutuhan belajar siswa dan
merancang strategi pengajaran yang efektif. Ada
beberapa metode dalam melakukan Analisis
Kebutuhan Pendidikan, antara lain:
a. Wawancara
Melakukan wawancara dengan siswa,
guru, dan pemangku kepentingan lainnya dapat
memberikan wawasan berharga mengenai
kebutuhan dan tantangan spesifik mereka.
Metode ini memungkinkan terjadinya diskusi
mendalam dan kesempatan mengajukan
pertanyaan lanjutan untuk mengumpulkan
informasi lebih detail.
b. Kuesioner dan Survei:
Mendistribusikan kuesioner atau survei
kepada siswa, guru, dan orang tua dapat

37
membantu mengumpulkan data kuantitatif
mengenai kebutuhan dan preferensi mereka.
Metode ini efisien untuk mengumpulkan data
dari partisipan dalam jumlah besar dan dapat
dianalisis dengan mudah.
c. Analisis Pekerjaan
Menganalisis tugas dan tanggung jawab
pekerjaan atau peran tertentu dapat membantu
mengidentifikasi pengetahuan dan keterampilan
yang diperlukan untuk kinerja yang efektif1 .
Metode ini sering digunakan dalam pendidikan
kejuruan dan profesi untuk memastikan
kurikulum dan program pelatihan selaras
dengan kebutuhan industri.
d. Observasi
Mengamati siswa di lingkungan belajar
dapat memberikan wawasan tentang perilaku,
keterlibatan, dan gaya belajar mereka1 . Metode
ini dapat membantu mengidentifikasi area di
mana sumber daya tambahan atau strategi
pengajaran mungkin diperlukan untuk
mendukung pembelajaran siswa.
e. Kelompok Fokus
Melakukan diskusi kelompok terfokus
dengan siswa, guru, dan pemangku kepentingan
lainnya dapat memfasilitasi percakapan
mendalam dan menghasilkan ide dan perspektif
baru1 . Metode ini memungkinkan pendekatan
analisis kebutuhan yang lebih interaktif dan
kolaboratif.
f. Analisis Data
Menganalisis data yang ada, seperti
catatan kinerja siswa, tingkat kehadiran, dan
informasi demografis, dapat membantu

38
mengidentifikasi tren dan pola yang
menunjukkan kebutuhan spesifik . Metode ini
sering digunakan bersamaan dengan metode
lain untuk memberikan pemahaman
komprehensif tentang kebutuhan pendidikan
siswa dan masyarakat.
2. Alat Analisis Kebutuhan Pendidikan
Analisis Kebutuhan (need
assesment) merupakan langkah awal yang harus
dilakukan dalam kegiatan penelitian di bidang
pengembangan "Dwiyogo 2011 mengemukakan tiga
hal penting yang harus dilakuanakan dalam kegiatan
penelitian pengembangan yaitu menganalisis
kebutuhan mengembangkan produk dan menguji
coba produk. Analisis tersebut dimaksudkan untuk
mengetahui kebutuhan apa pada yang diperlukan
guna mengatasi masalah yang ditemui dalam
kegiatan Pendidikan pembelajaran. Dengan
demikian diharapkan produk yang dihasilkan benar-
benar produk yang sesuai dengan kebutuhan (based
on need).
Berikut terdapat beberapa alat analisis
kebutuhan pendidikan yang dapat digunakan untuk
membantu memahami dan merencanakan
kebutuhan pendidikan, antaranya:
a. Survei Kepuasan Pelajar atau Orang Tua
Survei ini dapat digunakan untuk
mendapatkan umpan balik tentang pengalaman
pendidikan dari perspektif pelajar atau orang
tua. Pertanyaan dapat mencakup aspek seperti
kualitas pengajaran, fasilitas, atau kebutuhan
tambahan.

39
b. Analisis Kurikulum
Ini mencakup peninjauan kurikulum
saat ini dan evaluasi apakah ada kebutuhan
untuk menyesuaikannya dengan perubahan
dalam kebutuhan pendidikan atau teknologi.
c. Analisis Kebutuhan Sumber Daya:
Ini mencakup evaluasi apakah ada
cukup sumber daya seperti buku teks,
peralatan, atau teknologi untuk mendukung
kebutuhan pendidikan.
d. Studi Kelayakan Teknologi
Untuk pendidikan berbasis teknologi,
analisis ini memeriksa apakah infrastruktur
teknologi ada dan cukup untuk mendukung
pendidikan online atau penggunaan teknologi di
kelas.
e. Analisis Statistik dan Data Sekola
Menggunakan data tentang kinerja
siswa, tingkat kelulusan, dan faktor-faktor
terkait, analisis ini membantu mengidentifikasi
area di mana perbaikan diperlukan.
f. Wawancara dengan Stakeholder
Wawancara dengan siswa, guru, orang
tua, atau administrator sekolah dapat
memberikan wawasan penting tentang
kebutuhan yang mungkin tidak terlihat dari data
atau survei saja.
g. Pemantauan dan Evaluasi Berkelanjutan
Menerapkan sistem pemantauan dan
evaluasi berkelanjutan untuk mengukur
keberhasilan program atau inisiatif pendidikan,
serta untuk menentukan jika ada kebutuhan
perubahan atau peningkatan.
h. Analisis Kebutuhan Khusus:

40
Jika ada populasi siswa dengan
kebutuhan khusus, seperti siswa dengan
disabilitas atau siswa berbakat, maka analisis
khusus mungkin diperlukan untuk memastikan
bahwa kebutuhan mereka terpenuhi.
i. Evaluasi Kompetensi Guru dan Staf
Memastikan bahwa guru dan staf
memiliki keterampilan dan pengetahuan yang
tepat untuk memenuhi kebutuhan siswa.
j. Analisis Lingkungan Sekitar
Mempertimbangkan faktor-faktor luar
seperti kondisi ekonomi dan sosial dari wilayah
sekitar sekolah, yang dapat mempengaruhi
kebutuhan pendidikan.
3. Tujuan analisis kebutuhan
Setiap kegiatan pasti memiliki tujuan, baik
itu tujuan untuk jangka pendek ataupun jangka
panjang. Tujuan ditetapkan agar proses yang
dijalankan dapat tercapai dan tidak terjadi
kekeliruan. Menganalisis kebutuhan yang tepat
sesuai dengan prosedur dan tidak salah sasaran
akan mempermudah mencapai tujuan. Baik dalam
tujuan khusus ataupun tujuan umum bagi organisasi
yang menyelenggarakan kegiatan.
Analisis kebutuhan dilakukan dengan tujuan
menemukan kesenjangan kinerja yang terjadi,
sehingga dapat dijelaskan dengan nyata apa saja
yang dibutuhkan dalam mewujudkan terjadinya
peningkatan kinerja guna mencapai keadaan kinerja
ideal. Menurut T.M. Suarez, 1986. Ada beberapa
tujuan di dalam analisis kebutuhan.
a. Menyediakan informasi untuk perencanaan.
Hasil analisis kebutuhan dapat berupa
identifikasi tujuan, penentuan jangka waktu

41
yang dibutuhkan untuk mencapai tujuan, atau
spesifikasi area penempatan sumber dan usaha.
b. Diagnosis atau identifikasi masalah
Analisis kebutuhan digunakan untuk
memecahkan masalah. Terfokus untuk mencari
proses atau sistem yang tidak efektif sehingga
dapat dilakukan perbaikan.
c. Menentukan kriteria penilaian.
Analisis kebutuhan sebagai komponen
dari beberapa model evaluasi. Hasilnya menjadi
bagian dari hasil evaluasi atau sebagai dasar
penentu kriteria evaluasi.
d. Memuji atau mengkritik institusi
Hasil analisis kebutuhan dapat
digunakan untuk menentukan apakah usaha
pendidikan atau pelatihan di perusahaan
berjalan efektif dan efisien atau tidak.
4. Manfaat analisis kebutuhan pendidikan
Analisis kebutuhan dalam pendidikan
memiliki manfaat yang signifikan, baik bagi individu,
lembaga pendidikan, maupun masyarakat secara
keseluruhan. Berikut adalah beberapa manfaat
melakukan analisis kebutuhan dalam pendidikan:
a. Menghasilkan program pendidikan yang
sesuai
Analisis kebutuhan membantu dalam
menyusun program pendidikan dan pelatihan
yang disesuaikan dengan kebutuhan organisasi,
jabatan, dan individu. Hal ini akan meningkatkan
efektivitas dan relevansi program pendidikan,
sehingga peserta didik dapat memperoleh
pengetahuan dan keterampilan yang dibutuhkan
dalam dunia kerja.

42
b. Peningkatan produktivitas lembaga
pendidikan
Melalui analisis kebutuhan, lembaga
pendidikan dapat mengidentifikasi kekurangan
dalam sistem pembelajaran dan
mengembangkan strategi untuk meningkatkan
produktivitasnya. Hal ini akan berdampak positif
pada kualitas pendidikan yang diberikan dan
mempersiapkan xpeserta didik untuk
menghadapi tantangan di masa depan.
c. Peningkatan kemampuan guru
Analisis kebutuhan membantu dalam
mengidentifikasi kebutuhan pelatihan dan
pengembangan profesional bagi guru. Dengan
memenuhi kebutuhan ini, guru akan memiliki
kemampuan yang lebih baik dalam mengajar,
mengatasi stres, frustasi, dan konflik, serta
merasa lebih puas dengan pekerjaannya.
d. Meningkatkan kepuasan belajar
Dengan memahami kebutuhan peserta
didik, lembaga pendidikan dapat
mengembangkan metode pembelajaran yang
lebih efektif dan menarik bagi mereka. Hal ini
akan meningkatkan kepuasan belajar peserta
didik dan motivasi mereka untuk terus belajar.
e. Mengurangi kesenjangan sosial
Analisis kebutuhan pendidikan
masyarakat membantu dalam perencanaan dan
pengembangan program pendidikan yang
bertujuan untuk mengurangi kesenjangan
sosial. Dengan memenuhi kebutuhan pendidikan
masyarakat secara merata, diharapkan akan
tercipta kesempatan yang lebih adil bagi semua

43
individu dalam memperoleh pendidikan yang
berkualitas.
Analisis kebutuhan dapat membantu
mengidentifikasi bidang-bidang yang memerlukan
sumber daya tambahan di sekolah dengan:
• Mengumpulkan dan menganalisis data:
Melakukan analisis kebutuhan yang
komprehensif melibatkan pengumpulan dan
analisis berbagai jenis data, seperti hasil
penilaian, demografi masyarakat, kehadiran
siswa dan guru, serta kinerja akademik. Data ini
dapat membantu mengidentifikasi bidang-
bidang tertentu yang mungkin memerlukan
sumber daya tambahan, seperti mata pelajaran
yang kinerjanya rendah atau tingkat
ketidakhadiran yang tinggi.
• Mengidentifikasi kesenjangan dan tantangan:
Analisis kebutuhan dapat mengungkap
kesenjangan dan tantangan dalam sistem
pendidikan saat ini, seperti kurangnya sumber
daya, kurikulum yang ketinggalan jaman, atau
pelatihan guru yang tidak memadai. Dengan
mengidentifikasi kesenjangan dan tantangan ini,
sekolah dapat menentukan bidang spesifik yang
memerlukan sumber daya tambahan untuk
mengatasi permasalahan mendasar.
• Melibatkan pemangku kepentingan: Dalam
proses melakukan analisis kebutuhan, penting
untuk melibatkan berbagai pemangku
kepentingan, termasuk guru, siswa, orang tua,
dan anggota masyarakat. Para pemangku
kepentingan ini dapat memberikan wawasan
dan perspektif berharga mengenai bidang-
bidang yang membutuhkan sumber daya

44
tambahan, sehingga membantu memastikan
bahwa analisis tersebut komprehensif dan
akurat.
• Memprioritaskan kebutuhan: Setelah analisis
kebutuhan selesai, sekolah dapat
memprioritaskan kebutuhan yang teridentifikasi
berdasarkan urgensinya dan dampaknya
terhadap pembelajaran siswa. Proses
penetapan prioritas ini dapat membantu
menentukan bidang mana yang memerlukan
perhatian segera dan sumber daya tambahan,
sehingga memastikan bahwa kebutuhan yang
paling penting telah dipenuhi terlebih dahulu.
• Mengembangkan rencana aksi: Analisis
kebutuhan harus diikuti dengan pengembangan
rencana aksi yang menguraikan langkah-
langkah spesifik dan sumber daya yang
diperlukan untuk mengatasi kebutuhan yang
teridentifikasi1 . Rencana aksi ini dapat
berfungsi sebagai peta jalan bagi sekolah untuk
mengalokasikan dan memanfaatkan sumber
daya tambahan secara efektif, memastikan
bahwa sumber daya tersebut ditargetkan pada
bidang-bidang yang paling membutuhkannya.

B. Mengidentifikasi Tantangan dan Peluang dalam


Pendidikan.
Dalam memahami analisis kebutuhan, yaitu:
Pertama, analisis kebutuhan merupakan suatu
rangkaian proses berpikir mendalam dan sistematis
untuk mengambil keputusan. Kedua, kebutuhan
merupakan kesenjangan antara tujuan ideal yang
diingikan dengan kenyataan yang dihasilkan. Jadi
analisis kebutuhan merupakan kegiatan berpikir

45
yang mendalam untuk mengumpulkan informasi
tentang kesenjangan antara kenyataan dengan
harapan. Selain itu analisis kebutuhan ini
merupakan "proses yang berkelanjutan
pengumpulan data, untuk menentukan apa
kebutuhan pelatihan ada, sehingga pelatihan apa
yang dapat dikembangkan untuk membantu
organisasi mencapai tujuannya" ( Brown, 2002).
Menurut (Sri Rahayu K. Sabunge) Langkah-
langkah penting dalam kegiatan analisis kebutuhan
meliputi:
1. Pengumpulan Infomasi
Pada saat merancang pembelajaran
pertama kali seorang guru perlu memahami terlebih
dahulu informasi tentang peserta didik dapat
mengerjakan apa, siapa memahami apa, siapa yang
akan belajar, kendala-kendala apa yang akan
dihadapi, dan bagaimana pengaruh keadaan tertentu
terhadap karakteristik peserta didik. Berbagai
informasi yang dikumpulkan akan bermanfaat
dalam menentukan tujuan yang ingin dicapai
beserta skala prioritas dalam pemecahan suatu
masalah.
2. Identifikasi Kesenjangan
Metode mengidentifikasi kesenjangan
berpegang pada lima komponen yang saling
berkaitan. Dua komponen pertama, yaitu input dan
proses adalah bagaimana menggunakan setiap
potensi dan sumber yang ada, sedangkan komponen
terakhir meliputi produk, output dan outcome
merupakan hasil akhir dari suatu proses. Komponen
input, meliputi kondisi yang tersedia pada saat ini
misalnya tentang keuangan, waktu, bangunan, guru,

46
pelajar, kebutuhan, problem, tujuan, materi
kurikulum yang ada.
3. Analisis Performance
Tahap ketiga dalam proses analisis
kebutuhan, adalah tahap menganalisis
performance. Menganalisis performance dilakukan
setelah guru memahami berbagai informasi dan
mengidentifikasi kesenjangan yang ada. Ketika
menemukan adanya kesenjangan, selanjutnya
identifikasi kesenjangan mana yang dapat
dipecahkan melalui perencanaan
4. Identifikasi Hambatan
Tahap keempat dalam analisis kebutuhan
adalah mengidentifikasi berbagai kendala yang
muncul beserta sumber sumbernya. Dalam
pelaksanaan suatu program berbagai kendala bisa
muncul sehingga dapat berpengaruh terhadap
kelancaran suatu program. Berbagai kendala dapat
meliputi, waktu fasilitas, bahan, pengelompokan dan
komposisinya, pilosofi, personal, dan organisasi
Selain itu Menurut Yusuf (2014)
Menganalisis kebutuhan pendidikan tentu tidak
luput dari komponen-komponen pendidikan, yang
antara lain mencakup tentang:
• biaya pendidikan,
• mutu pendidikan,
• kurikulum pendidikan, dan
• sarana dan prasarana pembelajaran.
Untuk mengukur dampak biaya terhadap
mutu proses pendidikan maka dipandang perlu
melihat asumsi berikut:
a. pendidikan diperhitungkan sebagai faktor
keberhasilan seseorang, baik secara sosial
maupun ekonomi. Nilai pendidikan yang

47
berupa kemampuan, kecakapan, dan
keterampilan yang diperoleh melalui proses
pendidikan, dipandang sebagai suatu
investasi. Pandangan ini diarahkan atas
premis human kapital (sumberdaya manusia
sebagai unsur modal) berdasarkan premis
tersebut besarnya nilai biaya yang
dipergunakan untuk pendidikan dipandang
sebagai investasi yang ditanam dalam
pendidikan perlu memperhitungkan nilai
benefit (manfaat) atau keuntungan di masa
akan datang.
b. pendidikan memiliki nilai konsumtif. Nilai
konsumtif pendidikan adalah dalam bentuk
jasa yang dapat memberikan kegunaan
terhadap pemakai jasa pendidikan. Menurut
premis ini, nilai konsumsi biasanya lebih
mudah didapat dan dirasakan daropada nilai
investasi pendidikan, dan
c. biaya dan mutu pendidikan mempunyai
keterkaitan secara langsung serta
memberikan pengaruh posositif melalui
faktor kepemimpinan dan manajemen
pendidikan, serta tenaga pendidikan yang
kompeten dalam meningkatkan pelayanan
pendidikan melalui mutu faktorfaktor yang
berpengaruh terhadap proses pembelajaran.

C. Menentukan Prioritas Kebutuhan Pendidikan


1. Apa itu skala prioritas
Skala prioritas adalah suatu kondisi dimana
seseorang menentukan urgensi dari kebutuhan atau
pekerjaannya yang harus didahulukan. Biasanya

48
skala prioritas ini akan diperlukan ketika pekerjaan
sedang menumpuk atau deadline berbarengan.
Tujuan dari skala prioritas ini adalah untuk
membantu seseorang mengetahui tugas mana yang
harus didahulukan, sehingga mereka dapat
menghemat lebih banyak waktu. Sebaliknya, jika
seseorang tidak mempunyai skala prioritas maka
segala pekerjaannya akan terganggu dan tidak bisa
terselesaikan dengan baik serta tepat waktu.
Menurut J. I. Michell Suharli dijelaskan
bahwa pengertian prioritas adalah sebuah proses
penentuan tingkat kepentingan suatu tugas atau
peristiwa. Penentuan prioritas menjadi salah satu
cara untuk memanfaatkan waktu secara maksimal
dengan perencanaan yang terstruktur, disiplin, dan
fokus. Kebiasaan hidup dengan berlandaskan
prioritas menjadi kunci kesuksesan seseorang.
Waktu adalah investasi, sehingga prioritas berguna
sebagai alat untuk meningkatkan efektivitas dan
efisiensi pelaksanaan tugas seseorang. Prioritas
biasanya dibuat dengan memperhatikan
perancangan agenda, evaluasi tugas, alokasi waktu,
dan juga tingkat kepentingan masing-masing
pekerjaan. Selain itu, prioritas juga harus bersifat
fleksibel untuk mengantisipasi apabila terdapat
tugas yang tidak begitu penting namun mendesak.
2. Cara Menentukan Prioritas
Penentuan prioritas kerja yang tepat dapat
membuat seseorang lebih produktif. Berikut cara
menentukan prioritas meneurut Freddy Liong dan
laman We Work sebagai berikut:

49
a. Membuat daftar seluruh kegiatan dan tugas
selama satu hari
Penentuan prioritas yang efektif dapat
dilakukan dengan memahami seluruh kegiatan
dan tugas yang dilakukan dalam satu hari, baik
tugas yang penting maupun tugas yang sangat
sederhana. Agenda ini harus dilengkapi dengan
tenggat waktu dari setiap tugas untuk
menghindari keterlambatan pengerjaan.
b. Mengelompokkan tugas berdasarkan tingkat
kepentingannya
Penting untuk memahami tingkat
urgensi setiap tugas agar tidak ada hal penting
yang terlupakan. Tujuannya untuk menentukan
agenda dalam satu hari berdasarkan tingkat
kepentingan setiap tugas.
c. Berikan tanda pada tugas yang mendesak
Berikan tanda yang mencolok pada
tugas yang mendesak untuk diselesaikan. Tanda
dapat diberikan menggunakan alat tulis dengan
warna berbeda. Hal ini akan membantu untuk
selalu mengingat tenggat waktu tugas tersebut.
d. Memprioritaskan tugas berdasarkan tingkat
kepentingan dan urgensinya
Tentukan prioritas dengan skala 1-10.
Beri skala satu untuk tugas yang kurang
penting, hingga skala 10 untuk tugas terpenting.
e. Hindari membuat prioritas yang sama pada
setiap tugas
Berikan skala prioritas yang berbeda
untuk setiap tugas, meski urgensinya hampir
sama. Hal ini perlu dilakukan untuk menghindari
kebingungan ketika akan mengerjakannya.

50
f. Buat pertimbangan akan usaha yang
dikeluarkan
Prioritaskan tugas dengan usaha
minimal dan dapat diselesaikan dengan cepat di
awal hari serta yang membutuhkan usaha besar
di posisi akhir. Fungsinya untuk menghindari
rasa lelah yang muncul di awal hari yang
merusak mood.
g. Beri tanda pada tugas yang telah selesai
Tinjau daftar tugas secara berkala dan
beri tanda jika tugas telah diselesaikan.
3. Penentuan Prioritas Kebutuhan Pendidikan
Penentuan prioritas kebutuhan pendidikan
adalah proses penting dalam merencanakan dan
mengalokasikan sumber daya pendidikan dengan
efisien. Langkah pertama dalam proses ini adalah
mengidentifikasi kebutuhan pendidikan yang ada di
suatu wilayah atau lembaga pendidikan. Ini dapat
mencakup evaluasi tingkat kualitas pendidikan,
aksesibilitas, dan tantangan yang dihadapi oleh
siswa dan komunitas pendidikan. Setelah
identifikasi dilakukan, prioritas ditentukan
berdasarkan beberapa faktor. Pertimbangan utama
termasuk dampak potensial dari pemenuhan
kebutuhan tersebut terhadap perkembangan siswa
dan masyarakat, tingkat urgensi kebutuhan
tersebut, serta ketersediaan sumber daya yang
dapat dialokasikan.
Berbagai pemangku kepentingan seperti
guru, orang tua, dan komunitas lokal harus terlibat
dalam proses pengambilan keputusan untuk
memastikan prioritas yang ditetapkan
mencerminkan kebutuhan yang sesungguhnya.
Perencanaan jangka panjang juga harus

51
mempertimbangkan perkembangan pendidikan di
masa depan dan tren global untuk memastikan
keberlanjutan dan relevansi sistem pendidikan.
Dengan mengikuti proses ini, lembaga pendidikan
dan pemerintah dapat mengarahkan sumber daya
mereka dengan efektif untuk memenuhi kebutuhan
pendidikan yang paling mendesak dan memberikan
dampak positif terbesar pada perkembangan
masyarakat dan bangsa secara keseluruhan.
Penentuan prioritas kebutuhan pendidikan
juga memerlukan perhatian khusus terhadap
perbedaan individu dan kelompok dalam sistem
pendidikan. Ini mencakup pendekatan inklusif yang
memastikan bahwa setiap siswa, termasuk mereka
yang memiliki kebutuhan khusus atau berasal dari
latar belakang yang beragam, mendapatkan
perhatian yang pantas. Prioritas harus diberikan
pada upaya untuk mengatasi kesenjangan
pendidikan dan sosial, sehingga pendidikan menjadi
alat untuk mengurangi ketidaksetaraan. Di samping
itu, teknologi dan inovasi dalam pendidikan juga
menjadi faktor yang perlu diperhitungkan.
Penentuan prioritas harus mencakup pemanfaatan
teknologi sebagai sarana untuk meningkatkan
akses pendidikan, pembelajaran jarak jauh, dan
pengembangan kurikulum yang relevan dengan
perkembangan zaman.
Transparansi, akuntabilitas, dan partisipasi
masyarakat dalam proses penentuan prioritas
sangat penting. Masyarakat, termasuk orang tua,
komunitas lokal, dan pemangku kepentingan
lainnya, harus diberikan peluang untuk
berpartisipasi dalam pengambilan keputusan
pendidikan. Dengan melibatkan mereka dalam

52
diskusi dan evaluasi mengenai prioritas pendidikan,
akan lebih mungkin tercipta konsensus yang kuat
dalam mengalokasikan sumber daya. Dengan cara
ini, keputusan yang diambil akan mencerminkan
kebutuhan sebenarnya dan mendapatkan dukungan
yang luas dari masyarakat, yang pada akhirnya akan
berkontribusi pada perbaikan sistem pendidikan
secara keseluruhan.
Penentuan prioritas merupakan proses
mengidentifikasi aktivitas yang paling penting dalam
sebuah organisasi. Penentuan prioritas (priority
setting) dikembangkan sebagai dasar pembuatan
keputusan. Penentuan prioritas perlu
dikembangkan dengan memahami sumber-sumber
daya yang bermanfaat untuk mencapai hasil
(outcomes) dan pengaruh (impact) yang diharapkan.
Ketersediaan sumber daya dapat menjadi faktor
utama dalam penentuan prioritas.
Prioritas disusun berdasarkan tingkat
kebutuhan dan disesuaikan dengan visi, misi, dan
tujuan yang ingin dicapai. Pada umumnya,
penyusunan prioritas akan memperhatikan
masalah-masalah dasar yang dihadapi maupun
faktor-faktor yang menghambat tercapainya suatu
tujuan. Oleh karena itu, pemahaman terhadap akar
permasalahan yang dihadapi menjadi modal utama
bagi pengambil keputusan, khususnya yang terkait
dengan masalah fundamental.
Selain itu, penyusunan prioritas suatu
program perlu dibuat dengan bekal pemahaman
mengenai sumber daya yang dapat digunakan untuk
mencapai hasil dan dampak yang diinginkan.
Sumber daya dapat diperoleh dari daerah, pelosok
negara, nasional, atau bahkan internasional.

53
Ketersediaan atau keterbatasan sumber daya dapat
menjadi faktor utama dalam memilih prioritas
program yang akan dikembangkan. Tanpa
pemahaman mengenai potensi dan kondisi sumber
daya yang dimiliki, prioritas tidak akan dilakukan
dengan tepat.
Efektifitas penentuan prioritas terkait erat
dengan proses pengambilan keputusan. Dalam hal
ini, pengambilan keputusan harus mempertimbang-
kan tujuan organisasi, baik jangka pendek maupun
jangka panjang.
Penentuan prioritas dipandang penting
karena beberapa alasan sebagai berikut.
• Agar tetap fokus pada hal-hal yang berada pada
prioritas utama atau menuntun perencanaan dan
proses update program.
• Untuk mengawasi agar penggunaan sumber
daya langka dapat lebih efektif.
• Untuk membangun komunikasi mengenai
aktivitas antar stakeholder.
• Untuk menghubungkan antara kebijakan dan
tujuan ekonomi sosial pemerintah.

54
Perencanaan
BAB IV Kurikulum

Di tengah perubahan dan kemajuan,


pendidikan menjadi jantung yang menggerakkan
masyarakat ke arah kemajuan. Namun, untuk
mencapai standar keunggulan pendidikan,
diperlukan suatu pedoman yang kuat dan terarah.
Inilah tempat perencanaan kurikulum memasuki
panggung, sebagai peta jalan yang mengarahkan
pendidikan menuju masa depan yang cerah.
Perencanaan kurikulum adalah seni dan
ilmu merancang pengalaman belajar yang
bermakna bagi setiap siswa (Kadarwati, A., &
Malawi, I., 2017; Sukmawati, H., 2021). Ini bukan
sekadar daftar mata pelajaran atau jadwal kelas, ini
adalah proses mendalam yang melibatkan
pemahaman mendalam tentang kebutuhan individu
dan masyarakat secara keseluruhan. Ini adalah
tentang menyusun visi bersama tentang masa
depan pendidikan yang inklusif, interaktif, dan
relevan.
Saat memasuki era digital dan global,
perencanaan kurikulum menjadi semakin kompleks.
Dalam dunia yang terus berubah dengan cepat,
kurikulum harus mampu mengakomodasi
perkembangan teknologi dan pengetahuan. Ini
bukan hanya tentang mengajar siswa bagaimana
menggunakan alat, tetapi juga bagaimana
membekali mereka dengan keterampilan kritis,
kreatif, dan pemecahan masalah yang diperlukan
untuk sukses di abad ke-21.
55
Dalam proses perencanaan kurikulum,
suara semua pemangku kepentingan, mulai dari
guru hingga orang tua, memiliki peran penting
(Widyastuti, A., 2021). Kolaborasi antara pendidik,
pakar bidang, dan masyarakat adalah inti dari
perencanaan yang berhasil. Ini memastikan bahwa
setiap sudut pandang dipertimbangkan, dan setiap
harapan diperhitungkan, menciptakan lingkungan
belajar yang membangun dan mendukung.
Perencanaan kurikulum juga menggali ke
dalam nilai-nilai dan identitas lokal (Nurasiah, I.,
et.al. 2022). Ini mengakui keunikan setiap komunitas
dan memastikan bahwa pendidikan yang
disampaikan mencerminkan warisan budaya,
sejarah, dan tradisi. Ini bukan hanya tentang
memahami materi pelajaran, tetapi juga tentang
memahami konteks sosial dan ekonomi yang
melingkupi pendidikan.
Sebuah kurikulum yang dirancang dengan
baik menciptakan ruang bagi kreativitas dan inovasi.
Ini adalah panggung di mana ide-ide brilian
bermekaran, dan bakat-bakat terpendam
ditemukan. Kurikulum yang memperkuat kreativitas
bukan hanya membangun siswa yang cerdas secara
akademik, tetapi juga manusia yang berimajinasi,
yang mampu melihat dunia dari sudut pandang yang
baru (Zubaidah, S., 2016).
Namun, perencanaan kurikulum tidak hanya
tentang menghadirkan pemahaman yang mendalam
atau membangun keterampilan teknis. Ini juga
tentang membentuk karakter. Pendidikan
seharusnya tidak hanya menghasilkan individu yang
cerdas secara intelektual, tetapi juga manusia yang
berempati, etis, dan bertanggung jawab. Inilah

56
mengapa aspek moral dan nilai etika juga menjadi
bagian integral dari setiap kurikulum yang
dirancang.
Dalam dunia yang penuh dengan
kompleksitas dan tantangan, perencanaan
kurikulum adalah pilar yang kokoh. Ini memberikan
harapan bahwa melalui pendidikan yang dipandu
dengan baik, kita dapat menciptakan generasi yang
mampu mengatasi tantangan global, membangun
masyarakat yang berkeadilan, dan membawa
perubahan positif bagi dunia di sekitar mereka.
Pentingnya perencanaan kurikulum tidak
dapat dilebih-lebihkan. Ini adalah fondasi dari setiap
sistem pendidikan yang sukses, menuntun anak-
anak menuju pemahaman yang mendalam,
membuka pintu peluang, dan memberdayakan
mereka untuk mencapai potensi tertinggi mereka.
Dengan merangkul perencanaan kurikulum yang
holistik dan berorientasi masa depan, kita
membangun jalan menuju pendidikan yang
bermakna dan memuaskan bagi semua.
Oleh karena itu, dalam perjalanan kita
menuju masa depan yang penuh harapan, mari kita
memberikan perhatian khusus pada perencanaan
kurikulum. Dengan berpegang teguh pada prinsip-
prinsip inklusi, kreativitas, nilai-nilai, dan relevansi,
kita dapat membentuk pendidikan yang tidak hanya
menghasilkan sarjana pintar, tetapi juga manusia
yang bijaksana, berempati, dan siap menghadapi
dunia yang menantang. Dengan demikian, mari kita
bersama-sama membangun kurikulum yang
mengilhami, menggerakkan, dan membawa
perubahan positif bagi masa depan pendidikan dan,
akhirnya, masa depan umat manusia.

57
A. Pengembangan Kurikulum yang Relevan
Pengembangan kurikulum yang relevan
adalah suatu pendekatan yang ditujukan untuk
menciptakan rencana pembelajaran yang memadai
dan selaras dengan kebutuhan, perkembangan, dan
tuntutan zaman (Sumantri, B. A., 2019; Shofiyah, S.,
2018; Prasetyo, A. R., & Hamami, T., 2020). Kurikulum
yang relevan harus mampu mempersiapkan siswa
dengan pengetahuan, keterampilan, dan
pemahaman yang sesuai dengan realitas dunia saat
ini dan masa depan. Berikut adalah deskripsi lebih
rinci tentang pengembangan kurikulum yang
relevan.
1. Berfokus pada Kebutuhan Siswa
Kurikulum yang relevan harus
mencerminkan kebutuhan dan minat siswa. Ini
melibatkan penilaian mendalam tentang bakat, gaya
belajar, dan latar belakang siswa. Dengan
memahami siswa secara individu, kurikulum dapat
disesuaikan untuk memberikan pengalaman belajar
yang lebih bermakna dan berarti.
2. Mengakomodasi Perubahan Lingkungan
Dunia terus berubah dengan cepat,
terutama dalam konteks teknologi, ekonomi, dan
sosial. Kurikulum yang relevan harus mampu
mengakomodasi perkembangan ini. Ini dapat
mencakup integrasi teknologi dalam proses
pembelajaran, pembelajaran berbasis proyek yang
mempromosikan pemecahan masalah, dan
pemahaman tentang isu-isu global yang sedang
berkembang.
3. Fleksibilitas
Kurikulum yang relevan harus bersifat
fleksibel, memungkinkan perubahan dan

58
penyesuaian saat diperlukan. Ini memungkinkan
pendidik untuk merespons dengan cepat terhadap
perkembangan baru dalam pendidikan dan untuk
memenuhi kebutuhan siswa yang beragam.
4. Interdisipliner
Kurikulum yang relevan seringkali
menggabungkan berbagai disiplin ilmu. Ini
membantu siswa untuk melihat hubungan antar
topik dan mengembangkan pemahaman yang lebih
dalam tentang dunia nyata yang seringkali kompleks
dan saling terkait.
5. Pembelajaran Aktif
Kurikulum yang relevan mendorong
pembelajaran yang aktif, di mana siswa terlibat
secara langsung dalam eksplorasi, eksperimen,
diskusi, dan kolaborasi. Ini memungkinkan siswa
untuk mengembangkan keterampilan kritis, berpikir
kreatif, dan berkomunikasi dengan efektif.
6. Pemahaman Isu-isu Global
Kurikulum yang relevan harus mencakup
pemahaman isu-isu global, seperti perubahan iklim,
perdagangan internasional, keberlanjutan, dan
perkembangan teknologi. Ini membantu siswa untuk
menjadi warga global yang lebih sadar dan
berkontribusi pada perubahan positif di dunia.
7. Evaluasi Berkelanjutan
Kurikulum yang relevan mengharuskan
pendidik untuk melakukan evaluasi terus-menerus
terhadap hasil pembelajaran siswa. Ini memastikan
bahwa kurikulum terus disesuaikan dengan
kebutuhan siswa dan bahwa perbaikan dapat
dilakukan secara sistematis.

59
8. Keterlibatan Stakeholder
Pengembangan kurikulum yang relevan
harus melibatkan berbagai pihak, termasuk guru,
siswa, orang tua, pemangku kepentingan industri,
dan komunitas lokal. Dengan berkolaborasi,
kurikulum dapat mencerminkan harapan dan
kebutuhan semua pemangku kepentingan.
9. Pentingnya Nilai dan Etika
Kurikulum yang relevan juga mencakup
pembelajaran tentang nilai, etika, dan moralitas. Ini
membantu siswa untuk mengembangkan
pemahaman tentang tanggung jawab sosial dan
etika yang diperlukan dalam masyarakat yang
kompleks.
Pengembangan kurikulum yang relevan
adalah suatu proses yang dinamis, yang
membutuhkan komitmen terhadap pembaruan dan
peningkatan yang berkelanjutan. Dengan fokus pada
siswa, perubahan lingkungan, dan kolaborasi lintas
disiplin, kurikulum yang relevan membantu
mempersiapkan siswa untuk menghadapi tantangan
masa depan dengan percaya diri dan sukses.

B. Menerapkan Pendekatan Pembelajaran yang


Sesuai
Menerapkan pendekatan pembelajaran
yang sesuai adalah sebuah tantangan penting dalam
dunia pendidikan. Dalam konteks ini, ada beberapa
faktor yang perlu dipertimbangkan agar pendekatan
pembelajaran tersebut berhasil dan berdampak
positif pada proses pendidikan (Gemnafle, M., &
Batlolona, J. R., 2021; Wibowo, H., 2020). Salah satu
hal yang krusial adalah pemahaman mendalam
terhadap karakteristik siswa. Setiap siswa memiliki

60
gaya belajar yang berbeda, tingkat kemampuan yang
beragam, minat yang berbeda pula, dan latar
belakang budaya yang beragam. Oleh karena itu,
pendekatan pembelajaran yang sesuai harus
mampu mengakomodasi kebutuhan individu siswa
sehingga mereka dapat belajar dengan efektif.
Selain memahami karakteristik siswa, guru
juga harus mempertimbangkan materi pelajaran
yang diajarkan. Apakah itu ilmu pengetahuan, seni,
atau mata pelajaran lainnya, pengajaran harus
relevan dengan konteks kehidupan nyata. Misalnya,
mengaitkan pelajaran matematika dengan situasi
dunia nyata akan membantu siswa melihat relevansi
dan manfaat materi tersebut dalam kehidupan
sehari-hari mereka.
Penting juga untuk mengintegrasikan
teknologi dalam pendekatan pembelajaran (Rahayu,
S., 2017). Di era digital, teknologi menjadi alat yang
kuat untuk memfasilitasi pembelajaran.
Penggunaan komputer, internet, perangkat mobile,
dan perangkat lunak pendidikan dapat membantu
siswa memahami konsep dengan lebih baik,
menyediakan akses ke sumber daya yang lebih luas,
dan meningkatkan keterampilan digital mereka.
Namun, dalam menerapkan teknologi,
penting untuk tetap berhati-hati dan menjaga
keseimbangan. Penggunaan teknologi yang
berlebihan atau tanpa pengawasan dapat
mengganggu konsentrasi siswa. Oleh karena itu,
guru harus memiliki rencana yang matang dalam
mengintegrasikan teknologi dalam pembelajaran.
Selanjutnya, kolaborasi antara guru dan
siswa adalah kunci sukses dalam pendekatan
pembelajaran yang sesuai. Guru harus menjadi

61
fasilitator pembelajaran, mendorong siswa untuk
aktif berpartisipasi, bertanya, dan berdiskusi. Ini
menciptakan suasana di mana siswa merasa
terlibat dan memiliki peran aktif dalam proses
pembelajaran mereka.
Selain kolaborasi, evaluasi juga penting.
Guru harus secara teratur mengevaluasi kemajuan
siswa dan mengidentifikasi area di mana siswa
mungkin mengalami kesulitan. Dengan pemahaman
ini, guru dapat menyesuaikan metode pengajaran
dan memberikan dukungan tambahan sesuai
dengan kebutuhan individu siswa.
Pendekatan pembelajaran yang sesuai juga
melibatkan penggunaan berbagai sumber daya.
Buku teks, materi online, materi audiovisual, dan
sumber daya lainnya dapat digunakan untuk
memperkaya pengalaman belajar siswa. Ini
membantu siswa memahami materi dari berbagai
sudut pandang dan memungkinkan mereka untuk
memilih sumber daya yang paling cocok dengan
gaya belajar mereka.
Fleksibilitas adalah kunci dalam
menerapkan pendekatan pembelajaran yang sesuai
(Rifa'ie, M., 2020). Dunia pendidikan terus berubah,
dan guru harus siap untuk mengadaptasi metode
pengajaran mereka sesuai dengan perkembangan
teknologi dan kebutuhan siswa.
Selain itu, penting untuk melibatkan orang
tua dalam pendekatan pembelajaran. Komunikasi
antara guru, siswa, dan orang tua adalah elemen
penting dalam keberhasilan pendidikan. Dengan
melibatkan orang tua, kita dapat menciptakan
dukungan yang konsisten dalam pembelajaran
siswa.

62
Terakhir, pembelajaran sepanjang hayat
harus ditekankan. Pendidikan tidak berhenti di
sekolah atau perguruan tinggi; ini adalah perjalanan
sepanjang hidup. Guru harus mendorong siswa
untuk terus belajar, menjadikan pembelajaran
sebagai kebiasaan sepanjang hayat, dan memahami
pentingnya peningkatan terus-menerus dalam
pengetahuan dan keterampilan.
Dengan memperhatikan semua faktor ini,
kita dapat menciptakan pendekatan pembelajaran
yang sesuai yang akan memungkinkan siswa untuk
tumbuh dan berkembang dengan baik, serta
mempersiapkan mereka untuk menghadapi
tantangan dunia yang selalu berubah.

C. Integrasi Teknologi dalam Kurikulum


Integrasi teknologi dalam kurikulum
merupakan pendekatan yang memasukkan
perangkat teknologi informasi dan komunikasi (TIK)
ke dalam proses pembelajaran, tujuannya adalah
untuk meningkatkan efektivitas, efisiensi, dan
relevansi pendidikan. Integrasi teknologi dalam
kurikulum adalah refleksi dari perubahan
paradigma pendidikan modern yang lebih berfokus
pada pembelajaran berbasis teknologi (Sholeh, M. I.,
& Efendi, N., 2023). Berikut beberapa aspek yang
perlu diperhatikan dalam integrasi teknologi dalam
kurikulum:
1. Tujuan Pembelajaran yang Jelas
Integrasi teknologi harus dimaksudkan
untuk mencapai tujuan pembelajaran yang lebih
baik. Guru dan pengelola pendidikan harus memiliki
pemahaman yang jelas tentang bagaimana

63
teknologi dapat mendukung pencapaian tujuan
pembelajaran yang ada dalam kurikulum.
2. Kurikulum yang Terintegrasi dengan Teknologi
Teknologi harus diintegrasikan dalam
kurikulum secara organik. Ini berarti materi dan
aktivitas pembelajaran harus dirancang dengan
mempertimbangkan penggunaan teknologi
sehingga menjadi bagian alamiah dari proses
pembelajaran.
3. Sumber Daya dan Infrastruktur
Penting untuk memastikan bahwa sekolah
atau institusi pendidikan memiliki sumber daya dan
infrastruktur yang memadai, seperti akses internet,
perangkat keras (komputer, tablet, dll.), dan
perangkat lunak pendidikan yang diperlukan.
4. Pelatihan Guru
Guru perlu mendapatkan pelatihan yang
cukup tentang cara mengintegrasikan teknologi ke
dalam pembelajaran. Mereka harus memahami
bagaimana menggunakannya dengan benar dan
bagaimana memfasilitasi pengalaman belajar yang
bermakna dengan teknologi.
5. Kemudahan Akses
Pastikan bahwa semua siswa memiliki
akses yang sama ke teknologi. Ini termasuk
memastikan bahwa tidak ada kesenjangan akses
berdasarkan faktor-faktor seperti status sosial
ekonomi atau geografis.
6. Konten yang Relevan
Kurikulum yang terintegrasi dengan
teknologi harus menawarkan konten yang relevan
dan up-to-date. Hal ini memungkinkan siswa untuk
terlibat dalam pembelajaran yang berkaitan dengan

64
dunia nyata dan perkembangan terkini dalam
berbagai disiplin ilmu.
7. Evaluasi yang Berbasis Teknologi
Integrasi teknologi juga mencakup cara kita
mengevaluasi kemajuan siswa. Ujian berbasis
komputer, portofolio elektronik, dan perangkat
evaluasi teknologi lainnya dapat memberikan
wawasan lebih mendalam tentang kemajuan siswa.
8. Kemungkinan Kolaborasi dan Komunikasi
Teknologi memungkinkan siswa untuk
berkolaborasi secara online, berbagi ide, dan
berkomunikasi dengan sesama siswa atau bahkan
dengan ahli di luar kelas. Ini memperluas wawasan
mereka dan membantu mereka membangun
keterampilan sosial dan kolaboratif.
9. Keamanan dan Etika Digital
Penting untuk mendidik siswa tentang
keamanan online dan etika digital. Mereka harus
memahami bagaimana menggunakan teknologi
dengan aman dan bertanggung jawab, serta
menyadari potensi risiko yang terkait dengan
internet.
10. Evaluasi dan Penyesuaian Berkelanjutan
Kurikulum yang terintegrasi dengan
teknologi perlu dievaluasi secara berkala dan
disesuaikan sesuai kebutuhan. Teknologi terus
berkembang, dan kurikulum harus tetap relevan
dalam menghadapi perubahan tersebut.
Integrasi teknologi dalam kurikulum adalah
upaya untuk menghadirkan pendidikan yang lebih
menarik, berorientasi pada siswa, dan relevan
dengan kebutuhan abad ke-21. Saat teknologi terus
berkembang, integrasi ini akan menjadi kunci dalam

65
membantu siswa mempersiapkan diri untuk
tantangan masa depan.

66
Penyusunan
Strategi dan
BAB V Rencana
Pembelajaran

A. Menentukan Strategi Pembelajaran


Dalam konteks pembelajaran, strategi
berkaitan dengan pendekatan dalam penyampaian
materi pada lingkungan pembelajaran. Bagi
O’Malley serta Chamot (1990) dalam Fatimah (2018),
strategi merupakan seperangkat perlengkapan
yang melibatkan orang secara langsung untuk
mengembangkan Bahasa kedua ataupun Bahasa
asing. Strategi juga sangatlah dibutuhkan dalam
melakukan sesuatu perencamaam sehingga
terlaksana dengan efisien serta berjalan dengan
mudah.
Belajar adalah sesuatu proses mencari ilmu
yang dapat dilakukan dimana saja dengan
menggunakan media dan dapat diperoleh dengan
melakukan dialog, membaca buku, melakukan
penelitian dan lain sebagainya. Pembelajaran ialah
proses mengingat, menimbah ilmu, serta proses
yang dapat dilakukan dimanapun serta kapanpun
dalam memperoleh suatu kebenaran ataupun suatu
keahlian yang bisa dikuasai dan bisa digunakan
selaras dengan kebutuhan (Fatimah,2018).
Dalam pembelajaran diperlukannya sesuatu
perencanaan yang strategis dalam melaksanakan
sesuatu interaksi antara peserta didik dengan
pendidik dalam proses belajar mengajar sehingga
pendidik sanggup menghasilkan atmosfer belajar
yang baik serta aman. Atmosfer belajar yang baik
67
serta aman hendak membuat peserta didik lebih
semangat dalam menuntut ilmu, serta tidak sulit
dalam memahami suatu materi yang telah
dijelaskan pendidik, agar tercapainya tujuan
pembelajaran yang diinginkan.
Strategi terencana memegang suatu
peranan yang sangatlah berarti dalam proses
aktivitas pembelajaran. Supaya sesuatu strategi
tidak jauh dari target yang hendak dicapai, hingga
perlulah suatu keterangan (uraian) yang lebih.
Keterangan yang dimulai dengan stimulus tiap
orang dalam memotovasi ataupun mendesak
sehingga sanggup membagikan reaksi dalam
melaksanakan sesuatu aktivitas pemberlajaran
(Fatimah, 2018)
Keberhasilan peserta didik bisa dilihat dari
hasil belajar mereka dan juga menggambarkan
keberhasilkan pendidik dalam mendidik peserta
didiknya (Hasriadi, 2022). Semakin tinggu tuntutan
peserta didik dalam belajar, maka seorang pendidik
juga mendapatkan tantangan dalam memastikan
strategi pembelajaran yang hendak digunakan
dalam proses belajar-mengajar. Memanfaatkan
strategi pembelajaran pula bisa membagikan
pengaruh yang baik untuk peserta didik sebab bisa
menanamkan pengetahuan serta meningkatkan
sesuatu keterampilan sebagaimana mestinya untuk
melakukan proses belajar yang lebih efisien,
sehingga mereka bisa mengaplikasinnya disekilah
ataupun dirumah (Wibowo et al,2023).
Keterampilan yang dimiliki setiap orang
atau setiap individu tidaklah sama, Adapun
keterampilan yang dapat dilakukan oleh peserta
didik sebaiknya diwujudkan dan dikembangkan

68
sehingga menghasilkan suatu prestasi (Uno, 2023).
Keterampilan biasanya terlahir dari kebiasaan yang
sering dilakukan secara berulang-ulang dan
sesuatu yang disukai atau hobby (Fatimah, 2018).
Dimana peningkatan hasil belajar peserta
didik umumnya dipengaruhi oleh Sebagian aspek,
yaitu; aspek yang terdapat pada diri peserta didik itu
sendiri, serta aspek lingkungan sekitar mereka,
apakah baik atau buruk. Ada pula aspek yang
dipresiksi turut ikut mempengaruhi hasil belajar
peserta didik antara lain (Aini,2019):
a) Tingkat belajar peserta didik,
b) Perlengkapan aplikasi, dan
c) Media pembelajaran dalam membantu
pencapaian belajar yang lebih baik.
Ada pula strategi pembelajaran yang juga
salah satu aspek utama dalam meningkatkan serta
mengembangkan keahlian individu, antara lain:
a) Pendekatan
b) Model
c) Metode
Ketiga hal tersebut yang sudah disebutkan
diatas merupakan salah satu aspek komponen yang
perlu dalam sistem pembelajaran. Sebaik apapun
modul yang di sampaikan seorang pendidik haruslah
siap menanggung kegagalan dalam mendidik
(Juditya, 2023). Dengan adanya pendekatan
seseorang pendidik bisa memahami lebih baik
peserta didik sehingga bisa memastikan model
pembelajaran apa yang sesuai serta baik digunakan
dalam proses pembelajaran.
1. Pendekatan Pembelajaran
Pendekatan adalah proses atau cara
seseorang menyikapi suatu hal yang sifatnya belum

69
pasti. Pendekatan sebagai tujuan dasar yang
digunakan dalam menentukan rencana, cara, dan
langkah untuk mencapai tujuan tertentu (Hasriadi,
2022). Suprayekti (2004:18) menyatakan bahwa
pendekatan pembelajaran menggambarkan suatu
model yang digunakan untuk mengatur pencapaian
tujuan kurikulum dan memberi petunjuk kepada
guru mengenai langkah-langkah pencapaian tujuan
itu. Sedangkan Ahmad Sudrajat (2008)
mengemukakan bahwa pendekatan pembelajaran
adalah pandangan kita terhadap proses
pembelajaran yang bersifat umum dimana
pendekatan ini mempengaruhi cara pembelajaran
dengan teori tertentu.
Banyak pendekatan pembelajaran yang
digunakan dalam dunia pendidikan, yang dimuali
dari masa prasekolah hingga masa sekolah
lanjutan. Secara umum pendekatan ini ada dua yaitu:
a. Pendekatan yang berpusat pada peserta
didik, yaitu pendekatan pembelajaran yang
berorientasi pada peserta didik.
b. Pendekatan yang berpusat pada pendidik,
yaitu pendekatan pembelajaran yang
berorientasi pada pendidik. Pendidik sebagai
seorang pangajar mengangkat tiga
pendekatan dalam pengelolaan kelas yaitu
pendekataan kekuasaan, pendekatan
pembelajaraan, pendekatan dan kerja
kelompok.
c. Pendekatan Kekuasaan
Pendekataan kekuasaan ini bertujuan
untuk memberikan disiplin dalam kelas
sehingga menciptakan dan memelihara suasana
dalam kelas dengan baik.

70
d. Pendekatan Pembelajaraan
Pendekataan ini berdasarkan asumsi
dalam proses perencanaan dan pelaksanaan
yang mencegah munculnya masalah perilaku
siswa dan memecahkan masalah tersebut jika
tidak dapat dihindari.
e. Pendekatan Kerja Kelompok
Dalam pendekatan ini pendidik harus
menciptakan suasana bagi kelompok untuk
meningkatkan efisiensi kerja dengan baik.
2. Model Pembelajaran
Model pembelajaran merupakan sebuah
rancangan yang memberikan gambaran prosess
dan terciptanya suatu kondisi lingkungan sehingga
peserta didik dapat berinteraksi, berubah dan
berkembang. Oleh karena itu, model pembelajaran
ini pada dasarnya merupakan bentuk pembelajaran
yang disajikan secara khusus oleh pendidik.
Pembelajaran merupakan sebuah proses peserta
didik megembangkan potensinya secara luas
berdasarkan pemahaman diawal.
Joyce Weil (1980) mengelompokkan model
pembelajaran yang sesuai dengan cara belajar
menjadi empat model pembelajaran, yaitu:
a. Model interaksi social maksudnya peserta
didik diharapkan bisa berinterkasi aktif
dengan lingkungan belajarnya.
b. Model pemrosesan informasi, dalam artian
mendorong peserta didik bisa aktif dalam
memilah serta mengembangkan materi yang
hendak dipelajarinya.
c. Model personal, ialah menuntut peserta didik
untuk bisa mejelajahi ataupun menentukan

71
kemampuannya dalam proses aktivitas
pembelajaran.
d. Model modifikasi karakter, ialah peserta didik
harus sanggup meningkatkan
kemampuannya lewat tugas belajar,
membentuk perilaku aktif serta memodifikasi
lingkungan belajar sesuai kebutuhan
belajarnya.
Model pembelajaran memiliki ciri sebagai,
Rusman (2016:136):
a. Berdasarkan teori pendidikan dan teori
pembelajaran para ahli. Sebagai mana
contoh, model penelitian kelompok yang
disusun oleh Herbert Thelen dan berdasarkan
teori John Dewey. Model ini dirancang untuk
melatih partisipasi dalam kelompok secara
demokratis.
b. Memiliki misi dan tujuan pada pembelajaran
tertentu. Misalnya model berfikir induktif
dirancang untuk mengembangkan proses
berfikir induktif.
c. Bisa dijadikan pedoman untuk memperbaiki
proses pembelajaran dikelas. Misalnya,
model Synectic dirancang untuk memperbaiki
kreativitas dalam pelajaran mengarang.
d. Memiliki bagian-bagian model yang
dinamakan: (1) Urutan langkah-langkah
pembelajaran (syntax); (2) Adanya prinsip-
prinsip reaksi; (3) Sistem social; (4) Sistem
pendukung. Keempatan bagian yang sudah
disebutkan tersebut merupakan pedoman
praktis bila pendidik akan melaksanakan
suatu model pembelajaran.

72
e. Memiliki dampak sebagai akibat terapan
model pembelajaran. Dampak tersebut
meliputi: (1) dampak pembelajaran, yaitu hasil
belajar yang dapat diukur; (2) dampak
pengiring, yaitu hasil belajar jangka panjang.
Membuat persiapan mengajar (desain
instruksional) dengan pedoman model
pembelajaran yang dipilihnya.
3. Metode Pembelajaran
Metode dapat dinyatakan sebagai suatu
tahapan yang digunakan untuk memberikan suatu
pemikiran ataupun ilmu yang telah disusun atau
ditetapkan sedemikian rupa yang berdasarkan atas
beberapa teori ataupun prinsip tertentu (Qolbi &
Hamami,2021). Didalam penggunaanya metode
secara umum dapat dikatakan sebagai suatu
tahapan untuk pelaksanaan kegiatan ataupun
pelaksanaan pekerjaan dengan tetap memakai fakta
ataupun kenyataan yang telah tersusun secara
sistematis (Priadana & Sunarsi, 2021). Jadi, dapat
disimpulkan bahwa metode dikatakan sebagai suatu
cara yang dipergunakan untuk lebih mempermudah
seseorang untuk mencapai suatu tujuan yang
diinginkan.
Menurut Pupuh Fathurrohman (2014)
menyatakan bahwa terdapat cara yang digunakan
untuk mencapai suatu tujuan yang ditetapkan
dimana secara implisit yang tidak bisa dipisahkan
dari kegiatan belajar mengajar dengan metode
supaya dapat mencapai tujuan pembelajaran
tersebut. Jika seorang pendidik dapat menguasai
metode makan itu merupakan keniscayaan, sebab
dengan menguasai metode yang tepat maka guru
akan mengajar dengan baik pula.

73
Seorang guru terlebih dahulu harus
mengetahui dan memahami lebih jauh terkait
metode agar tercapainya tujuan dan bisa
melaksanakan beberapa faktor yang berpengaruh
dalam pelaksanaan metode pembelajaran
(Sutikno,2021). Abdul Majid (2016) mengatakan ada
beberapa jenis-jenis metode yang bisa digunakan
guru dan sudah sangat popular.
Adapun jenis-jenisnya metode yang
digunakan antara lain;
a. Metode ceramah,
b. Metode tanya jawab,
c. Metode resitasi,
d. Metode drill (latihan)
e. Metode diskusi,
f. Metode role playing dan lain-lain.
Metode pembelajaran mempunyai kedudukan
yang sangat penting karena mendukung
keberhasilan pembelajaran itu disebabkan karena
para ahli sepakat bawah seorang guru yang telah
diberikan tugas untuk mengajar haruslah seorang
professional yang dapat dilihat atas
pemahamannya terhadap suatu pembelajaran,
dengan metode pembelajaran materi hal ini akan
berjalan secara efektif dan optimal serta
terencana dengan perkiraan yang telah ditentukan.

B. Menyusun Rencana Pembelajaran Yang Efektif


Masalah yang dihadapi dunia pendidikan kita
saat ini adalah masalah lemahnya proses
pembelajaran. Dalam proses pembelajaran, anak
kurang didorong untuk mengembangkan
kemampuan berfikir. Proses pembelajaraan di
dalam kelas diarahkan kepada kemampuan anak

74
untuk menghafal informasi, otak anak dipaksa untuk
mengingat dan menimbun berbagai informasi tanpa
dituntut untuk memahami informasi yang diingatnya
itu untuk menghubungkannya dengan kehidupan
sehari-hari. Dimana konsekwensinya, Ketika anak
didik lulus dari sekolah, mereka pintar secara
teoritis, tanpa miskin aplikasi.
Proses pembelajaran merupakan kegiatan
utama sekolah. Menurut Arief S Sadiman dalam
Junaedi (2019) pembelajaran adalah usaha-usaha
yang terencana dalam memanipulasi sumber-
sumber belajar agar terjadi proses belajar dalam
diri siswa. Menurut Iskandaar dalam M.Sobry
Sutikno (2007:50) pembelajaran adalah upaya untuk
membelajarkan siswa. Pembelajaran adalah suatu
proses yang mengandung serangkaian perbuatan
guru dan siswa atas dasar hubungan timbal balik
yang berlangsung dalam situasi edukatif untuk
mencapai tujuan tertentu (Usman, 2006:4). Dari
beberapa pengertian pembalajaran tersebut, dapat
disimpulkan bahwa inti dari pembelajaran adalah
segala upaya yang dilakukan oleh pendidik agar
terjadi proses belajar pada diri siswa.
Pembelajaran yang efektif adalah suatu
pembelajaran yang memungkinkan siswa untuk
dapat belajar dengan mudah, menyenangkan dan
dapat tercapai tujuan pembelajaran sesua dengan
harapan (Sutikno,2007:57). Proses pembelajaran
yang efektif adalah pengajaran yang mampu
menglahirkan proses belajar yang berkualitas, yaitu
proses belajar yang melibatkan partisipasi dan
penghayatan peserta didik secara intensif
(Suwarno, 2006:161)

75
Prinsip-prinsip perencanaan pembelajaraan
yaitu :
• Harus berdasarkan kondisi siswa
• Harus berdasarkan kurikulum yang berlaku
• Harus memperhitungkan waktu yang tersedia
• Merupakan urutan kegiatan belajar mengajar
yang sistematis.
• Dilengkapi dengan lembaran kerja/tugas atau
lembaran observasi
• Bersifat fleksibel
• Berdasarkan pada pendekatan sistem yang
mengutamakan keterpaduan antara
tujuan/kompetensi, materi, kegiatan belajar,
dan evaluasi.
1. Prosedur perencanaan pembelajaran dalam
penyusunan silabus.
Silabus merupakan pokok utama dari
pengembangan kurikulum sebagai suatu renvana
tertulis yang memiliki keterkaitan dengan produk
pengembangan kurikulum lainnya yaitu proses
pembelajaran. Pengembangan silabus tersebut
diharapkan dapat memenuhi prinsip-prinsip sebagai
berikut:
a. Ilmiah dalam arti bahwa penetapan isi silabus
harus memenuhi kebenaran ilmiah dan teruji
kesahihannya jika memungkinkan perlu
melibatkan ahli mata pelajaran.
b. Memperhatikan perkembangan dan
kebutuhan siswa dalam penetapan cakupan,
kedalaman, tingkat kesukaran, dan urutan
penyajian isi/materi dalam silabus.
c. Sistematis dalam arti bahwa komponen-
komponen yang terdapat dalam silabus
merupakan satu kesatuan yang paling

76
berhubungan satu sama lain untuk mencapai
kompetensi dasar yang ditetapkan.
d. Konsisten misalnya antara kompetensi yang
diharapkan dicapau dengan penetapan
pengalaman belajara yang harus dilakukan
siswa.
e. Adekuat dalam arti bahwa cakupan/ruang
lingkup materi yang dipelajari siswa cukup
memadai untuk menunjang tercapainya
penguasaan suatu kompetensi.
2. Penyusunan rencana/satuan pembelajaran
Rencana pembelajaran adalah suatu unit
program pembelajaran terkecil untuk jangka waktu
minggu atau harian yang berisi rencana
penyampaian suatu pokok atau satuan Bahasa
tertentu dalam satu mata pelajaran.
Unsur-unsur pokok terkandung dalam
rencana/satuan pembelajaran meliputi sebagai
berikut;
a. Identitas mata pelajaran.
b. Kompetensi dasar dan indikator yang hendak
dicapai.
c. Materi pokok beserta uraiannya yang perlu
dipelajari siswa dalam rangka mencapai
kompetensi dasar dan indikator.
d. Strategi pembelajaran.
e. Alat dan media yang digunakan untuk
memperlancar percapaian KD.
f. Penilaian dan tindak lanjut.

C. Evaluasi Pembelajaran
Dalam setiap aktivitas pendidikan, terutama
dalam proses pembelajaran, evaluasi menjadi hal
yang tidak bisa dipungkiri keberadaannya. Apalagi

77
hal ini sangat terkait dengan bagaimana
meningkatkan kuliatas dari pembelajaran itu sendiri
yang kemudian akan bisa menjadi barometer bagi
kemajuan pendidikan. Tanpa adanya evaluasi,
bagaimana mungkin sebuh proses akan bisa dinilai
keberhasilannya?
Begitu juga dengan proses pembelajaran,
tentu saja harus ada evaluasi terhadap jalannya
proses pembelajaran tersebut. Dengan adanya
evaluasi, kita akan tahu apakah pembelajaran yang
dilaksanakan itu berhasil dilakukan atau tidak,
sesuai dengan tujuan pembelajaran atau tidak,
sudah sesuai dengan tujuan instruksionalnya atau
tidak. Dengan evaluasi, hal-hal yang sudah baik
akan dilanjutkan dan ditingkatkan, sedangkan hal
yang menjadi kendala dan hambatan, akan dicari
apa penyebabnya, bagaimana mengatasinya, dan
apa yang harus dilakukan dalam proses
pembelajaran selanjutnya.
Evaluasi sendiri memiliki makna yang lebih
luas, ia lebih dari sekadar pengukuran
(Haryanto,2020:16). Ketika mendapatkan informasi
yang berguna termasuk pengukuran, kita membuat
sebuah penilaian, dan itulah evaluasi. Misalnya guru
menilai Budi yang mampu mengerjakan dengan baik
soal matematika, karena kebanyakan kelas memiliki
skor 50 hingga 100, ini adalah sebuah contoh
evaluasi dengan menggunakan daya kualitatif
(informasi yang bisa diukur). Guru bisa juga
melakukan evaluasi berdasarkan data kualitatif,
seperti pengamatannya bahwa Budi bekerja keras,
memiliki sifat antuasia terhadap matematika dan
menyelesaikan tugasnya dengan sangat cepat.

78
Dengan demikian, evaluasi adalah sebuah
ilmu untuk memberikan informasi agar bisa
digunakan untuk membuat keputusan. Dengan
demikian, evaluasi itu mencakup pengukuran
(measurement), penilaian (assessment), dan tes
(testing). Evaluasi juga merupakan sebuah proses
yang melibatkan empat hal berikut: pertama,
mengumpulkan informasi; kedua, memproses
informasi; ketiga, membentuk pertimbangan, dan
keempat, membuat keputusan.

79
Manajemen Sumber
BAB VI Daya Manusia
Pendidikan

Manajemen Sumber Daya Manusia (MSDM)


memiliki peran yang sangat penting dalam sektor
Pendidikan (Widiansyah, A., 2018; Husaini, R. N., &
Sutama, S., 2021; Samsuni, S., 2017). Di dalam dunia
pendidikan, SDM bukan hanya sekadar aset,
melainkan juga merupakan elemen kunci yang
menentukan kualitas dan keberhasilan suatu
institusi pendidikan. Pendidikan adalah fondasi dari
perkembangan masyarakat dan negara, dan untuk
mencapai tujuan tersebut, manajemen sumber daya
manusia menjadi faktor kunci dalam menjalankan
operasional lembaga pendidikan dengan efisien dan
efektif.
Manajemen SDM pendidikan melibatkan
berbagai aspek, termasuk perekrutan,
pengembangan, pengelolaan, dan pengawasan
tenaga pendidik serta staf administrasi (Winarti, E.,
2018). Hal ini juga mencakup perencanaan
kurikulum, pembinaan guru, evaluasi kinerja, serta
berbagai kebijakan yang mendukung proses
pembelajaran. Dalam era perubahan cepat dan
kompleksitas global, pendidikan harus terus
beradaptasi dan meningkatkan kualitasnya, dan
manajemen SDM yang efektif adalah kunci utama
untuk mencapai tujuan ini.
Pentingnya manajemen SDM dalam konteks
pendidikan juga terkait erat dengan peran guru
sebagai agen perubahan di dalam kelas. Guru
80
adalah tulang punggung pendidikan, dan
kemampuan mereka untuk memberikan
pembelajaran yang efektif sangat bergantung pada
dukungan dan pengelolaan yang baik dari lembaga
pendidikan tempat mereka bekerja.
Dalam BAB ini, akan akan dieksplorasi
mengenai pemilihan dan pengembangan staf
Pendidikan, manajemen kinerja pendidik dan tenaga
kependidikan, dan pengembangan profesionalisme
pendidik.

A. Pemilihan dan Pengembangan Staf Pendidikan


Pemilihan dan pengembangan staf
pendidikan adalah dua komponen kunci dalam
MSDM pendidikan yang sangat penting dalam
memastikan keberhasilan dan kualitas pendidikan
(Riyadi, S., et.al., 2023). Proses ini melibatkan
identifikasi, perekrutan, serta peningkatan
kompetensi dan kinerja staf pendidikan yang
meliputi guru, staf administrasi, dan pengelola
sekolah. Bagaimana kita memilih dan
mengembangkan staf pendidikan memiliki dampak
yang signifikan pada kemampuan institusi
pendidikan untuk mencapai tujuan pendidikan yang
diinginkan.
Pertama-tama, proses pemilihan staf
pendidikan harus dilakukan dengan hati-hati
(Nurstalis, N., Ibrahim, T., & Abdurrohim, N., 2021). Ini
dimulai dengan memahami kebutuhan dan tujuan
pendidikan institusi. Apa visi dan misi lembaga
tersebut? Apa kompetensi dan keterampilan yang
dibutuhkan untuk mencapai tujuan tersebut?
Setelah ini dipahami, proses rekrutmen dapat
dilakukan dengan merinci kualifikasi yang

81
diinginkan, baik dalam hal pendidikan formal,
pengalaman, maupun karakteristik pribadi yang
diharapkan.
Proses pemilihan staf pendidikan juga harus
transparan, adil, dan berdasarkan prinsip-prinsip
meritokrasi. Ini berarti bahwa setiap calon harus
memiliki kesempatan yang sama untuk bersaing,
dan pemilihan tidak boleh didasarkan pada
preferensi pribadi atau pertimbangan yang tidak
relevan. Selain itu, proses wawancara dan penilaian
harus dirancang dengan baik untuk mengidentifikasi
kualitas dan potensi calon dengan akurat.
Setelah staf pendidikan terpilih, langkah
berikutnya adalah pengembangan mereka. Ini
mencakup pelatihan, pembinaan, dan program
pengembangan profesional yang dirancang untuk
meningkatkan keterampilan, pengetahuan, dan
kemampuan mereka. Guru, misalnya, perlu terus-
menerus diberikan pelatihan terkini dalam metode
pengajaran terbaru, teknologi pendidikan, dan
strategi manajemen kelas. Selain itu, mereka juga
perlu diberikan dukungan dalam pengembangan
karir mereka, sehingga mereka merasa termotivasi
untuk terus meningkatkan diri.
Pengembangan staf pendidikan juga harus
berkelanjutan (Kastawi, N. S., & Yuliejantiningsih, Y.,
2019). Perubahan dalam pendidikan dan masyarakat
terjadi terus-menerus, dan staf pendidikan harus
siap untuk menghadapinya. Oleh karena itu,
lembaga pendidikan harus mengidentifikasi tren dan
perubahan yang relevan dan menyelaraskan
program pengembangan staf mereka dengan
perubahan tersebut.

82
Penting untuk diingat bahwa staf pendidikan
yang terlibat dan berkembang dengan baik adalah
aset berharga dalam mencapai misi pendidikan.
Dengan memilih dengan cermat dan
mengembangkan mereka secara efektif, lembaga
pendidikan dapat memastikan bahwa mereka
memiliki tim yang kompeten dan termotivasi untuk
mencapai tujuan pendidikan mereka. Ini tidak hanya
berdampak positif pada kualitas pendidikan, tetapi
juga membantu menciptakan lingkungan pendidikan
yang dinamis dan inovatif.

B. Manajemen Kinerja Pendidik dan Tenaga


Kependidikan
Manajemen kinerja pendidik dan tenaga
kependidikan (TKP) adalah komponen kunci dalam
Manajemen Sumber Daya Manusia (MSDM)
pendidikan. Ini adalah proses yang dirancang untuk
mengukur, mengelola, dan meningkatkan kinerja
guru, dosen, staf administrasi, dan semua personel
pendidikan di sebuah institusi. Tujuan manajemen
kinerja pendidik dan TKP adalah untuk memastikan
bahwa mereka mencapai hasil terbaik dalam
mendukung proses pendidikan dan mencapai tujuan
pendidikan yang diinginkan. Berikut adalah
beberapa langkah penting dalam manajemen
kinerja pendidik dan TKP dalam MSDM pendidikan
(Zulkarnainsyah, Z., 2020).
1. Penetapan Tujuan dan Harapan
Langkah pertama dalam manajemen kinerja
adalah mendefinisikan tujuan dan harapan yang
jelas untuk setiap pendidik dan TKP. Ini harus
mencakup tugas-tugas, tanggung jawab, target
kinerja, dan indikator keberhasilan yang spesifik.

83
2. Pengukuran Kinerja
Kinerja pendidik dan TKP harus diukur
secara objektif dan berdasarkan indikator yang
telah ditetapkan. Ini dapat mencakup evaluasi hasil
belajar siswa, peningkatan dalam metode
pengajaran, partisipasi dalam pengembangan
kurikulum, serta berbagai parameter lain yang
relevan.
3. Umpan Balik dan Evaluasi
Penting untuk memberikan umpan balik
secara berkala kepada pendidik dan TKP tentang
kinerja mereka. Evaluasi kinerja harus dilakukan
dengan jujur dan konstruktif, dan harus mencakup
rekomendasi untuk perbaikan.
4. Pengembangan Keterampilan dan Pelatihan
Manajemen kinerja juga melibatkan
pengembangan keterampilan dan pelatihan
berkelanjutan untuk pendidik dan TKP. Mereka
harus diberikan kesempatan untuk meningkatkan
keterampilan mereka dan tetap berada di garis
depan dalam perkembangan pendidikan.
5. Pengakuan dan Penghargaan
Pengakuan dan penghargaan atas kinerja
yang baik dapat menjadi insentif yang kuat untuk
motivasi pendidik dan TKP. Ini dapat berupa
penghargaan, promosi, atau insentif lain yang
sesuai.
6. Perbaikan Kinerja
Jika ada masalah dalam kinerja pendidik
atau TKP, manajemen kinerja harus
mengidentifikasi masalah tersebut dan merancang
rencana perbaikan yang sesuai. Ini bisa melibatkan
pelatihan tambahan, pembinaan, atau pengawasan
yang lebih intensif.

84
7. Sistem Pengelolaan Kinerja
Lembaga pendidikan harus memiliki sistem
pengelolaan kinerja yang efektif, termasuk prosedur
evaluasi yang jelas dan mekanisme untuk
mengatasi ketidaksesuaian atau masalah kinerja.
8. Komunikasi Terbuka
Komunikasi terbuka antara manajemen,
pendidik, dan TKP sangat penting. Hal ini
memungkinkan diskusi tentang tujuan, harapan,
umpan balik, dan perencanaan pengembangan.
9. Monitoring dan Evaluasi Berkelanjutan
Manajemen kinerja pendidik dan TKP
bukanlah proses satu kali, melainkan harus
berlangsung secara berkelanjutan. Evaluasi dan
pemantauan kinerja harus dilakukan secara teratur
untuk memastikan bahwa perbaikan terus
berlangsung.
Manajemen kinerja pendidik dan TKP yang
efektif membantu meningkatkan kualitas pendidikan
secara keseluruhan dan meningkatkan motivasi dan
kinerja para pendidik dan TKP (Zulkarnainsyah, Z.,
2020). Ini juga menciptakan lingkungan pendidikan
yang mendukung perkembangan siswa dan
pencapaian tujuan pendidikan.

C. Pengembangan Profesionalisme Pendidik


Pengembangan profesionalisme pendidik
adalah salah satu aspek yang kritis dalam
Manajemen Sumber Daya Manusia (MSDM)
pendidikan (Muryani, E., et.al., 2022). Ini melibatkan
upaya untuk memastikan bahwa para pendidik,
seperti guru dan dosen, memiliki keterampilan,
pengetahuan, dan sikap yang diperlukan untuk
menjadi profesional pendidikan yang berkualitas.

85
Pengembangan profesionalisme pendidik tidak
hanya bermanfaat bagi para pendidik itu sendiri,
tetapi juga bagi siswa dan seluruh lembaga
pendidikan.
Pentingnya pengembangan profesionalisme
pendidik tidak dapat diabaikan. Guru adalah faktor
kunci dalam pengalaman belajar siswa (Nabillah, T.,
& Abadi, A. P., 2020). Ketika guru memiliki
keterampilan pengajaran yang kuat, pengetahuan
yang mendalam tentang mata pelajaran, serta sikap
yang mendukung pembelajaran, maka siswa
memiliki peluang yang lebih baik untuk mencapai
potensi mereka. Oleh karena itu, pengembangan
profesionalisme pendidik adalah investasi dalam
masa depan pendidikan. Pengembangan
profesionalisme pendidik melibatkan beberapa
elemen kunci. Pertama-tama, itu melibatkan
pengembangan keterampilan pengajaran. Guru
harus selalu up-to-date dengan metode pengajaran
terbaru, teknologi pendidikan, dan strategi efektif
dalam mengelola kelas. Mereka harus mampu
membuat pembelajaran menarik dan relevan bagi
siswa mereka.
Selain itu, pengembangan profesionalisme
pendidik mencakup peningkatan pengetahuan
tentang mata pelajaran yang mereka ajarkan. Guru
harus memiliki pemahaman yang mendalam tentang
materi pelajaran agar dapat mengajar dengan
efektif. Mereka juga harus selalu memperbarui
pengetahuan mereka sesuai dengan perkembangan
penelitian dan perkembangan dalam bidangnya.
Pengembangan profesionalisme pendidik
juga berfokus pada aspek kepribadian dan sikap.
Guru harus menjadi panutan bagi siswa mereka.

86
Sikap positif, etika, empati, dan komunikasi yang
baik adalah kualitas yang sangat penting dalam
interaksi dengan siswa dan rekan kerja.
Program pengembangan profesionalisme
pendidik bisa berupa pelatihan, seminar, workshop,
atau pengalaman belajar lainnya (Pangestika, R. R.,
& Alfarisa, F., 2015). Penting untuk menciptakan
kesempatan bagi guru untuk terus meningkatkan
diri mereka, baik secara mandiri maupun melalui
dukungan lembaga pendidikan mereka. Ini juga
dapat mencakup mentoring, di mana guru yang
berpengalaman membimbing guru yang lebih junior.
Pengembangan profesionalisme pendidik juga
berhubungan dengan pengembangan karir. Guru
harus memiliki peluang untuk memajukan karir
mereka, baik melalui kenaikan pangkat atau
tanggung jawab tambahan. Ini memberikan insentif
bagi mereka untuk terus meningkatkan kinerja
mereka dan berkontribusi lebih besar pada lembaga
pendidikan mereka.
Sistem pengembangan profesionalisme
pendidik harus didukung oleh manajemen
pendidikan yang efektif. Lembaga pendidikan harus
mengidentifikasi kebutuhan pengembangan dan
menyediakan sumber daya yang diperlukan. Mereka
juga harus memantau perkembangan guru dan
memberikan umpan balik yang konstruktif. Selain
itu, penting untuk mengintegrasikan pengembangan
profesionalisme pendidik ke dalam budaya
organisasi. Ini berarti menciptakan lingkungan di
mana pengembangan diri adalah norma. Kolaborasi
dan berbagi pengetahuan antara guru juga dapat
menjadi bagian dari budaya ini.

87
Dalam era digital, teknologi dapat menjadi
alat yang sangat berguna dalam pengembangan
profesionalisme pendidik. Guru dapat mengakses
sumber daya pembelajaran online, mengikuti
kursus daring, atau berpartisipasi dalam komunitas
daring yang fokus pada pendidikan. Ini
memungkinkan akses ke pengetahuan dan praktik
terbaik dari seluruh dunia. Pengembangan
profesionalisme pendidik juga harus bersifat
reflektif. Guru harus memiliki kesempatan untuk
merefleksikan praktik pengajaran mereka,
mengidentifikasi area perbaikan, dan
merencanakan tindakan perbaikan. Ini adalah
bagian penting dari pengembangan berkelanjutan.
Selain itu, pengembangan profesionalisme
pendidik juga harus mencakup pemahaman tentang
perubahan dalam pendidikan dan tuntutan yang
mungkin timbul di masa depan. Guru harus siap
untuk menghadapi tantangan baru dan beradaptasi
dengan lingkungan pendidikan yang terus berubah.
Pentingnya pengembangan profesionalisme
pendidik juga terkait erat dengan peningkatan hasil
pendidikan. Guru yang terus menerus
mengembangkan diri mereka cenderung memiliki
dampak yang lebih besar pada kemajuan siswa
mereka. Ini berarti lebih banyak siswa yang
mencapai tingkat prestasi yang lebih tinggi. Selain
itu, pengembangan profesionalisme pendidik juga
dapat meningkatkan kepuasan dan motivasi para
pendidik. Ketika mereka melihat bahwa upaya
mereka dihargai dan ada kesempatan untuk
berkembang, mereka cenderung lebih termotivasi
untuk bekerja dengan baik.

88
Pengembangan profesionalisme pendidik
juga dapat berkontribusi pada perbaikan sistem
pendidikan secara keseluruhan. Guru yang
berkualitas tinggi memiliki dampak positif pada citra
dan reputasi lembaga pendidikan. Hal ini dapat
menarik lebih banyak siswa dan dukungan dari
masyarakat.
Namun, penting untuk diingat bahwa
pengembangan profesionalisme pendidik bukanlah
proses instan. Ini memerlukan komitmen jangka
panjang dari semua pihak terkait, termasuk guru,
lembaga pendidikan, dan pemerintah. Ini juga harus
menjadi bagian integral dari budaya pendidikan yang
berkelanjutan.
Dalam kesimpulannya, pengembangan
profesionalisme pendidik adalah elemen yang
sangat penting dalam MSDM pendidikan. Ini
melibatkan pengembangan keterampilan,
pengetahuan, dan sikap guru yang mendukung
pembelajaran yang efektif. Hal ini dapat
menciptakan lingkungan pendidikan yang lebih
berkualitas, meningkatkan hasil pendidikan, dan
mendukung pertumbuhan dan perkembangan karir
para pendidik. Oleh karena itu, pengembangan
profesionalisme pendidik harus menjadi prioritas
dalam setiap sistem pendidikan yang berorientasi
pada masa depan.

89
Pembiayaan
BAB VII Pendidikan

A. Sumber Pembiayaan Pendidikan


Pendidikan adalah investasi sumber daya
manusia yang membutuhkan biaya. Menurut
Peraturan Pemerintah Nomor 48, Tahun 2008
tentang Pendanaan Pendidikan (PP 48/2008), biaya
pendidikan ditanggung bersama-sama oleh
Pemerintah, pemerintah daerah, dan masyarakat
atau orang tua siswa (Pemerintah Republik
Indonesia, 2008).
Secara umum terdapat tiga jenis biaya
pendidikan yang ditanggung oleh ketiga unsur
tersebut, yaitu biaya investasi, biaya operasional,
dan biaya pribadi. Pemerintah Pusat secara
konsisten dan berkelanjutan telah mendanai
penyelenggaraan pendidikan dasar dan menengah
melalui berbagai skema, di antaranya adalah Dana
Alokasi Khusus (DAK) Pendidikan untuk biaya
investasi, Bantuan Operasional Sekolah (BOS) untuk
biaya operasional nonpersonalia, dan Program
Indonesia Pintar (PIP) untuk biaya pribadi siswa
kurang mampu. Menurut kajian Pusat Penelitian
Kebijakan dan Inovasi Pendidikan (2008), adanya
berbagai skema pendanaan Pemerintah Pusat,
terutama BOS, membuat beban orang tua semakin
ringan.
PP 48/2008 juga mengamanatkan bahwa
pendanaan pendidikan harus mengandung tiga
prinsip utama, yaitu keadilan, kecukupan, dan
keberlanjutan (Pemerintah Republik Indonesia,
2008). Untuk menjamin penerapan ketiga prinsip
90
tersebut standar biaya pendidikan perlu diperbarui
secara berkala sesuai dengan perubahan indikator
ekonomi, dinamika kebutuhan, dan target capaian
pendidikan itu sendiri. Hal ini terutama berlaku
untuk biaya yang rutin dikeluarkan dalam
penyelenggaraan pendidikan, yaitu biaya
operasional dan personal.
1. Pengertian Pembiayaan Pendidikan
Biaya pendidikan merupakan komponen
yang masukan instrumental (instrumental input)
yang sangat penting dalam suatu penyeleggaran
pendidikan disekolah. Dalam setiap upaya
pencapaian tujuan pendidikan baik tujuan-tujuan
yang bersifat kuantitatif atau kualitatif biaya
pendidikan memiliki perenan yang sangat
menentukan. Hampir tidak adanya upaya pendidikan
yang dapat mengabaikan peranan biaya.
Dalam penyelenggaraan pendidikan,
pembiayaan pendidikan suatu hal yang berperan
dalam menentukan agar pendidikan berjalan lancar
sesuai tujuan. Maka dari itu, pembiayaan pendidikan
adalah pengorbanan ekonomis yang dikeluarkan
oleh sebuah lembaga pendidikan, baik itu pendidikan
formal, informal, maupun nonformal untuk
mencapai tujuan pendidikan, guna memberikan
manfaat dimasa yang akan datang bagi peserta
didik.
Pembiayaan pendidikan menyangkut
sumber-sumber biaya baik dari pemerintah maupun
dari masyarakat, dan alokasi belanja untuk gaji dan
berbagai pelayanan disetiap jenis sekolah. Dengan
kata lain, pembiayaan pendidikan menyangkut
sumber-sumber dan alokasi dana untuk
penyelenggaran pendidikan.

91
Sekolah memberikan pelayanan secara
maksimal dengan cara memanfaatkan segala
sumber bantuan yang ada, baik berupa uang
ataupun barang yang telah diterima dipergunakan
sesuai dengan kebutuhan di sekolah, dalam
pelaksanaan program untuk meningkatkan sumber
daya manusia yang lebih berkualitas.
Dalam hal ini konsep pembiayaan
pendidikan tidak hanya sebatas seberapa besar
pengeluaran yang akan dikeluarkan, akan tetapi
segala hal yang dikeluarkan harus sesuai dengan
kebutuhan. Jangan sampai terjadi pemborosan
dalam hal pengeluaran biaya yang
dikeluarkan/belanjakan karena pada dasarnya
konsep pembiayaan yang baik ialah penggunaan
biaya secara minim, akan tetapi mencapai hasil yang
maksimal.
2. Prinsip-prinsip pembiayaan Pendidikan
Undang- undang No.20 tahun 2003 pasal 48
menyatakan bahwa pengelolaan dana pendidikan
berdasarkan pada prinsip keadilan, efisiensi,
transparansi dan akuntabilitas publik. Di samping itu
prinsip efektivitas juga perlu mendapat penekanan.
Berikut ini dibahas masing- masing prinsip tersebut,
yaitu transparansi, akuntabilitas, efektivitas, dan
efisiensi.
a. Transparansi
Transparansi berarti keterbukaan.
Transparansi di bidang manajemen berarti
adanya keterbukaan dalam mengelola suatu
kegiatan. Di lembaga pendidikan, bidang
manajemen keuangan yang transparan berarti
adanya keterbukaan dalam manajemen
keuangan lembaga pendidikan, yang

92
keterbukaan sumber keuangan dan jumlahnya,
rincian penggunaan dan pertanggungjawaban
harus jelas sehingga bias memudahkan pihak-
pihak yang berkepentingan untuk
mengetahuinya. Transparansi keuangan sangat
diperlukan dalam rangka meningkatkan
dukungan orang tua.
b. Akuntabilitas
Akuntabilitas adalah kondisi seseorang
yang dinilai oleh orang lain karena kualitas
performasinya dalam menyelesaikan tugas
untuk mencapai tujuan yang menjadi tanggung
jawabnya. Akuntabilitas di dalam manajemen
keuangan berarti penggunaan uang sekolah
dapat dipertanggungjawabkan sesuai dengan
perencanaan yang telah ditetapkan.
c. Efektivitas
Efektif sering kali diartikan sebagai
pencapaian tujuan yang telah ditetapkan.
(Garnear: 2004) mendefinisikan efektivitas lebih
dalam lagi, karena sebenarnya efektivitas tidak
berhenti sampai tujuan tercapai tetapi sampai
pada kualitas hasil yang dikaitkan dengan
pencapaian visi lembaga yang dicirikan oleh
outcome kualitatif.
d. Efisiensi
Efisiensi berkaitan dengan kuantitas
hasil suatu kegiatan. Menurut Garner (2004),
efisiensi dicirikan oleh outcome kuantitatif.
Efisiensi adalah perbandingan yang terbaik
antara masukan (input) dan keluaran (output)
atau antara daya dan hasil.

93
Penggunaan keuangan didasarkan pada
prinsip-prinsip sebagai berikut:
• Hemat tidak mewah, efisien dan sesuai
dengan kebutuhan teknis yang telah
disyaratkan.
• Terarah dan terkendali sesuai dengan
rencana, program atau kegiatan.
• Keharusan penggunaan kemampuan

Dalam mengelola keuangan ini, kepala


sekolah berfungsi sebagai “otorisator” dan
“ordonateur”. Sebagai otorisator, kepala sekolah
diberi wewenang untuk mengambil tindakan yang
berkaitan dengan penerimaan atau pengeluaran
anggaran. Sedangkan fungsi sebagai ordonateur,
kepala sekolah sebagai pejabat yang berwenang
melakukan pengujian dan memerintahkan
pembayaran atas segala tindakan berdasarkan
otorisasi yang telah ditetapkan.
3. Jenis-Jenis Pembiayaan Pendidikan
Konsep penting dalam pembiayaan
pendidikan adalah masalah biaya (cost) pendidikan
yang sangat diperlukan dalam penyelenggaraan
pendidikan. Biaya pada lembaga pendidikan
meliputi:
a. Direct cost dan indirect cost.
Direct cost (biaya langsung) yaitu biaya
yang langsung berproses dalam produksi
pendidikan dimana biaya pendidikan ini secara
langsung dapat meningkatkan mutu pendidikan.
Biaya langsung akan berpengaruh terhadap
output pendidikan. Biaya langsung ini meliputi
gaji guru dan personil lainnya, fasilitas kegiatan
belajar mengajar, alat laboratorium, buku

94
pelajaran, buku perpustakaan, juga untuk
pengajaran, biaya langsung harus memenuhi
unsur sebagai berikut: interen pada hasil,
kuantitatif dapat dihitung, tidak dapat
dihindarkan, indirect dapat melaksanakan
pendidikan. Indirect cost (biaya tidak langsung)
meliputi biaya hidup, transportasi, dan biaya-
biaya lainnya.
b. Social cost dan private cost.
Social cost dapat dikatakan sebagai
biaya publik, yaitu sejumlah biaya sekolah yang
harus dibayar oleh masyarakat. Dana
masyarakat adalah dana yang dikeluarkan oleh
masyarakat untuk pendidikan baik melalui
sekolah maupun melalui pajak yang dihimpun
oleh pemerintah Sedangkan private cost adalah
biaya yang dikeluarkan oleh keluarga untuk
membiayai sekolah anaknya, dan termasuk di
dalamnya forgone opportunities (biaya
kesempatan yang hilang).
Dari berapa pengertian di atas
bahwasanya biaya Langsung (direct cost) ialah
segala pengeluaran yang secara langsung
menunjang penyelenggaraan pendidikan. Terdiri
dari biaya -biaya yang dikeluarkan untuk
keperluan pelaksanaan pengajaran dan
kegiatan belajar siswa berupa pembelian alat-
alat pelajaran, sarana belajar, biaya
transfortasi, gaji guru, baik yang dikeluarkan
oleh pemerintah, orang tua, maupun siswa
sendiri.
Biaya Tidak Langsung (indirect cost)
ialah pengeluaran yang tidak secara langsung
menunjang proses pendidikan tetapi

95
memungkinkan proses pendidikan tersebut
terjadi di sekolah. Berupa keuntungan yang
hilang dalam bentuk biaya kesempatan yang
hilang yang dikorbankan oleh siswa selama
belajar. Misalnya, biaya hidup siswa, biaya
transportasi ke sekolah, biaya jajan, biaya
kesehatan dan harga kesempatan. Social cost
dapat dikatakan biaya dari masyarakat yang
membantu dalam keuangan sekolah dan private
cost ialah seperti wali siswa membayar uang
administrasi awal ketika mendaftarkan anaknya
di sekolah dan membayar SPP.
Sementara itu, Peraturan Pemerintah
Nomor 48 Tahun 2008 Pasal 3 Ayat 1,
menjelaskan jenis-jenis biaya pendidikan
meliputi:
1) Biaya satuan pendidikan,diantaranya:
a) Biaya investasi, yang terdiri atas biaya
investasi lahan pendidikan dan biaya
investasi selain lahan pendidikan;
b) Biaya operasi, yang terdiri atas biaya
personalia dan biaya non personalia;
c) Bantuan biaya pendidikan; dan
d) Beasiswa (PP No.40 Tahun 2008 Pasal 3
Ayat 2).
2) Biaya penyelenggaraan dana atau
pengelolaan pendidikan, meliputi:
a) Biaya investasi, yang terdiri atas biaya
investasi lahan pendidikan dan biaya
investasi selain lahan pendidikan;
b) Biaya operasi, yang terdiri atas biaya
personalia dan nonpersonalia (PP No.
40 Tahun 2008 Pasal 3 Ayat 3).

96
3) Biaya pribadi peserta didik, meliputi:
a) Biaya personalia satuan pendidikan,
yang terdiri atas gaji pokok bagi
pegawai pada satuan pendidikan,
tunjangan yang melekat pada gaji bagi
pegawai pada satuan pendidikan,
tunjangan struktural bagi pejabat
struktural pada satuan pendidikan,
tunjangan fungsional bagi pejabat
fungsional di luar guru dan dosen,
tunjangan fungsional atau subsidi
tunjangan fungsional bagi guru dan
dosen, tunjangan profesi bagi guru dan
dosen, tunjangan khusus bagi guru dan
dosen, maslahat tambahan bagi guru
dan dosen, dan tunjangan kehormatan
bagi dosen yang memiliki jabatan
profesor atau guru besar;
b) Biaya personalia penyelenggaraan dan
atau pengelolaan pendidikan, yang
terdiri atas gaji pokok, tunjangan yang
melekat pada gaji, tunjangan struktural
bagi pejabat struktural, dan tunjangan
fungsional bagi pejabat fungsional (PP
No. 40 Tahun 2008 Pasal 3 Ayat 4).
Berdasarkan uraian jenis-jenis biaya
pendidikan dijelaskan bahwa biaya pendidikan
memiliki pengertian luas. Hampir segala
pengeluaran yang bersangkutan dengan
penyelenggaraan pendidikan dianggap sebagai
biaya. Oleh karena itu, pembiayaan menjadi masalah
sentral dalam pengelolaan penyelenggaraan
pendidikan yang harus disikapi dan dicarikan
berbagai alternatif solusinya. Ketidakmampuan

97
lembaga penyelenggara pendidikan untuk
menyediakan pendanaan pendidikan akan
menghambat proses operasionalisasi
penyelenggaraan pendidikan itu sendiri sehingga
diperlukan kebijaksanaan dalam melakukan
klasifikasi biaya pendidikan untuk mencapai tujuan
yang dituju semua pihak yaitu kesuksesan
pelaksanaan pendidikan.
4. Sumber-Sumber Biaya Pendidikan
Operasi program pendidikan suatu sekolah
memerlukan dana untuk berbagai macam
keperluan, pembiayaan gaji, pengadaan sumber
daya material yang diperlukan dalam rangka
pelaksanaan program pengajaran sekolah.
Disamping untuk keperluan gaji dan pengadaan
material, masih banyak lagi dana yang harus
dikeluarkan untuk jenjang karier para guru,
melaksanakan program pengajaran individual yang
didasarkan pada kebutuhan para siswa.
Sumber pembiayaan pendidikan berasal
dari pemerintah, orang tua dan masyarakat
(Undang-undang Sistem Pendidikan Nasional,
2003). Hakikat sumber pembiayaan mencerminkan
bahwa pembiayaan pendidikan merupakan
tanggung jawab bersama. Oleh karena itu, peran
serta orang tua, masyarakat dan pemerintah sangat
diperlukan dalam menunjang proses pendidikan.
Sumber pembiayaan pendidikan itu tidak
bisa dipisahkan dari tiga faktor yang saling
berkaitan yaitu peran orang tua, masyarakat dan
pemerintah. sebagaimana dijelaskan di bawah ini:
a. Peran orang tua
Peran orang tua siswa sebagai sumber
pembiayaan pendidikan cukup potensial di luar

98
pemerintah. orang tua siswa pada umumnya
tidak keberatan menyediakan sebagian biaya
penyelenggaraan pendidikan dengan harapan
bahwa anaknya akan memperoleh pelayanan
pendidikan yang layak dengan kualitas baik.
Sikap orang tua siswa yang demikian dapat
membantu pemerintah dalam pembiayaan
pendidikan, mengingat pemerintah memiliki
banyak keterbatasan dalam hal pembiayaan
pendidikan.
b. Peran masyarakat
Peran serta masyarakat yaitu ikut
memelihara, menumbuhkan, meningkatkan dan
mengembangkan pendidikan nasional. Bentuk
peran serta masyarakat dalam
penyelenggaraan pendidikan dapat
dikategorikan antara lain: (a) penyelenggaraan:
pendirian dan pengelolaan satuan pendidikan
pada jalur sekolah (pendidikan formal), jalur
pendidikan luar sekolah (pendidikan non-
formal) dan jalur keluarga (informal), pada
semua jenis sekolah kecuali sekolah kedinasan;
(b) ketenagaan bantuan tenaga kependidikan
dan tenaga pendidik dan bimbingan, bantuan
tenaga ahli dalam pengelolaan; (c) pengadaan:
pembangunan gedung, ruang kelas, bahan-
bahan bacaan dan bahan praktik; (d) pengadaan
bantuan dana dalam bentuk sumbangan,
pinjaman, beasiswa; (e) praktik: pemberian
kesempatan kepada para peserta didik untuk
praktik kerja, magang, dana tau latihan kerja; (f)
bantuan teknis: pemberian pemikiran dan
pertimbangan berkenaan dengan penentuan
kebijaksanaan dana tau penyelenggaraan

99
pendidikan, pemberian bantuan dan kerja sama
dalam kegiatan penelitian dan pengembangan.
c. Peran pemerintah
Amanat rakyat yang dituangkan dalam
Undang-Undang Dasar 1945 menekankan bahwa
pemerintah bertanggung jawab atas pendidikan
bangsa, dalam hal ini Departemen Pendidikan
Nasional. Dalam mengembang tugas ini,
pemerintah menyusun satu sistem pendidikan,
yang menjadi acuan bagi setiap pengembang
dan pelaksana pendidikan. Dalam amandemen
UUD 1945, kemudian didukung dengan UUSPN
No. 20 Tahun 2003 pasal 49 ayat 1 dengan tegas
dikatakan bahwa dana pendidikan selain gaji
pendidik dan biaya pendidikan kedinasan
dialokasikan minimal 20% dari Anggaran
Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) pada
sektor pendidikan dan minimal 20% dari
Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah
(APBD).
Pada tingkat sekolah, biaya pendidikan
diperoleh dari subsidi pemerintah pusat,
pemerintah daerah, iuran siswa, dan
sumbangan masyarakat. Dalam hal ini yang
tercatat dalam Rencana Kegiatan dan Anggaran
Sekolah (RKAS), sebagian besar biaya
pendidikan ditingkat sekolah negeri berasal dari
pemerintahan pusat, sedangkan bagi sekolah
swasta berasal dari para siswa atau yayasan.
Dilihat dari tingkat makro (nasional),
sumber-sumber biaya pendidikan berasal dari:
• Pendapatan negara dari sector pajak (yang
beragam jenisnya).

100
• Pendapatan dari sektor non-pajak, misalnya
dari pemanfaatan sumber daya alam dan
produksi nasional lainnya yang lazim
dikategorikan ke dalam “gas” dan “non-
migas”.
• Keuntungan dari ekspor barang dan jasa.
• Usaha-usaha negara lainnya, termasuk dari
investasi saham pada perusahaan negara
(BUMN).
• Bantuan dalam bentuk hibah (grant) dan
pinjaman luar negeri (loan) baik dari
lembaga-lembaga keuangan internasional
(seperti Bank Dunia, ADB, IMF, IDB, JICA)
maupun pemerintah, baik melalui kerjasama
multilateral maupun bilateral.
Sumber-sumber keuangan sekolah juga
dapat bersumber dari orang tua, pemerintah
pusat, pemerintah daerah, swasta, dunia usaha,
dan alumni.
Dengan demikian, sumber pembiayaan
pendidikan pada suatu sekolah secara garis
besar dapat dikelompokkan atas tiga sumber,
yaitu:
a) Pemerintah, baik pemerintah pusat, daerah
maupun kedua- duanya yang bersifat umum
atau khusus dan diperuntukkan bagi
kepentingan pendidikan;
b) Orangtua atau peserta didik;
c) Masyarakat, baik mengikat maupun tidak
mengikat.
Keterbatasan kemampuan pemerintah
dalam pemenuhan kebutuhan dana pendidikan
dan tanggung jawab atas pemenuhan kebutuhan
dana pendidikan merupakan tanggung jawab

101
bersama antara pemerintah, orang tua, dan
masyarakat.

B. Perencanaan Anggaran Pendidikan


Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia,
rencana ialah rangka sesuatu yang akan dikerjakan.
Perencanaan ialah proses, cara, atau perbuatan
merencanakan. Perencanaan sebagai proses
manajemen yang pertama hendaknya benar-benar
mapan. Perencanaan merupakan masalah memilih,
yaitu memilih tujuan dan cara terbaik untuk
mencapai tujuan tersebut dari beberapa alternatif
yang ada, tanpa alternatif, perencanaan pun tak ada.
Perencanaan adalah sebagai pengambilan
keputusan untuk masa depan dalam mencapai
tujuan dalam jangka waktu tertentu melalui
penggunaan sumber daya yang terbatas secara
optimum.
Planning adalah langkah persiapan yang
diarahkan kepada tujuan dan bertitik kulminasi pada
suatu keputusan yang berfungsi sebagai landasan
bagi langkah tindakan selanjutnya.
Pada sebuah organisasi atau lembaga
apapun bentuk dan namanya, sebelum melangkah
untuk mencapai tujuan, maka terlebih dahulu
adanya perencanaan. Perencanaan pada sebuah
lembaga sangat esensial, karena pada
kenyataannya, perencanaan memang peranan yang
lebih penting dibandingkan dengan fungsi-fungsi
lainnya. Tanpa ada perencanaan maka hasil akan
sulit untuk dicapai atau mencapai tujuan.
Seorang perencana pendidikan dituntut
untuk memiliki kemampuan dan wawasan yang luas
agar dapat menyusun sebuah rancangan yang dapat

102
dijadikan pegangan pada pelaksanaan proses
pendidikan selanjutnya.
Prinsip dalam perencanaan anggaran
adalah sebagai berikut: Pertama, adanya pembagian
wewenang dan tanggung jawab yang jelas dalam
sistem manajemen dan organisasi. kedua, adanya
sistem akuntasi yang memadai dalam
melaksanakan anggaran atau pembiayaan.ketiga,
adanya penelitian dan analisis untuk menilai kinerja
organisasi. Keempat, adanya dukungan dari
pelaksanaan mulai dari tingkat atas sampai yang
paling bawah.
Dari prinsip di atas dapat dikatakan bahwa
penyusunan anggaran melibatkan beberapa sumber
daya manusia dalam perencanaannya. Dilain hal,
dukungan akuntasi/pembukuan sangat diperlukan
sekali dalam penyusunan anggaran. Hal ini
bertujuan untuk mengidentifikasi segala
pengeluaran ataupun pemasukan biaya yang
disajikan dalam bentuk laporan tertulis.
Dalam sebuah perencanaan pembiayaan
pendidikan, perlu adanya penyusunan anggaran
yang merupakan langkah-langkah positif untuk
merealisasikan rencana yang telah disusun. Pada
dasarnya, penyusunan anggaran merupakan
negosiasi atau kesepakatan antara puncak pimpinan
yang dalam hal ini adalah kepala sekolah dengan
bawahan dalam menentukan besarnya alokasi biaya
suatu penganggaran pada sekolah, perencanaan
anggaran itu tertuang pada Rencana Kegiatan dan
Anggaran Sekolah (RKAS).
Pada suatu lembaga pendidikan hal yang
harus dilakukan dalam mengelola pembiayaan di
sekolah adalah dengan membuat perencanaan

103
anggaran atau biasa disebut sebagai Rencana
Kegiatan dan Anggaran Sekolah(RKAS). Kepala
sekolah dan seluruh bawahan bersama- sama
menyusun RKAS. Hal ini dilakukan untuk
memastikan pendapatan dan pengeluaran yang
akan dijalankan selama satu tahun, sehingga suatu
kegiatan yang direncanakan dapat disesuaikan
dengan kondisi keuangan yang ada.
Beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam
perencanaan keuangan sekolah atau anggaran
belanja sekolah sebagai berikut :
1. Mengganti beberapa peraturan dan prosedur
yang tidak efektif sesuai dengan perkembangan
kebutuhan masyarakat akan pendidikan.
2. Melakukan perbaikan terhadap peraturan dan
input lain yang relevan dengan merancang
pengembangan sistem secara efektif.
3. Melakukan pengawaasan dan penilaian
terhadap proses dan hasil secara terus-
menerus dan berkesinambungan sebagai bahan
perencanaan tahap berikutnya.
Berdasarkan Permendiknas No. 19 Tahun
2007 tentang Standar Pengelolaan, setiap sekolah
pada semua jenjang pendidikan, termasuk SMP,
harus menyusun Rencana Kerja Sekolah (RKS) dan
Rencana Kegiatan dan Anggaran Sekolah (RKAS).
Aplikasi Rencana Kegiatan dan Anggaran
Sekolah, selanjutnya disingkat Aplikasi RKAS
merupakan sistem informasi yang memanfaatkan
teknologi informasi dan komunikasi untuk
mengfasilitasi penganggaran, pelaksanaan dan
penatausahaan serta pertanggungjawaban dana
bantuan operasional sekolah di satuan pendidikan
dasar dan menengah secara nasional.

104
Manajemen keuangan merupakan salah
satu substansi manajamen sekolah yang akan turut
menentukan berjalannya kegiatan pendidikan di
sekolah. Sebagaimana yang terjadi di substansi
manajemen pendidikan pada umumnya, kegiatan
manajemen keuangan dilakukan melalui proses
perencanaan, pengorganisasian, pengarahan,
pengkoordinasian, pengawasan atau pengendalian.
Manajemen keuangan dapat pula diartikan
sebagai tindakan pengurusan/ketatausahaan
keuangan yang meliputi pencatatan, perencanaan,
pelaksanaan, pertanggungjawaban dan pelaporan.
Sebagai suatu lembaga pendidikan perlu
ditingkatkan dan disesuaikan dengan kebutuhan dan
perkembangan pembangunan disegala bidang baik
segi sarana dan prasarana Pendidikan, fasilitas
kerja maupun kesejahteraan yang layak bagi
seluruh tenaga Pendidik. Untuk memenuhi sasaran
tersebut sangat diperlukan biaya yang cukup dan
administrasi yang tertib. Salah satu pendanaan yang
diberikan pihak pemerintah kepada sekolah yaitu
dengan adanya dana Bantuan Operasioanl Sekolah
atau lebih kita kenal dengan dana BOS.
Perencanaan program BOS meliputi dua
kegiatan utama yang dilakukan oleh kepala sekolah
bersama Tim Manajemen BOS sekolah yaitu
mengidentifikasi kebutuhan sekolah dan menyusun
Rencana Anggaran Kegiatan dan Anggaran Sekolah
(RKAS). Dalam mengidentifikasi kebutuhan sekolah,
kepala sekolah dan Tim Manajemen BOS sekolah
perlu menentukan kondisi sekolah saat ini. Salah
satunya dengan melakukan evaluasi diri. Dengan
melakukan evaluasi diri akan menunjukkan kinerja
sekolah misalnya, bagian yang mengalami

105
perbaikan atau peningkatan, bagian yang tetap, dan
bagian yang mengalami penurunan. Hal ini penting
dilakukan karena dana BOS merupakan sumber
utama bagi sekolah untuk memenuhi biaya
penyelenggaraan sekolah, dan kebijakan
pemerintah mengharuskan BOS menjadi sarana
penting untuk meningkatkan akses dan mutu
pendidikan dasar yang bermutu. Setelah
mengidentifikasi kebutuhan sekolah sesuai hasil
evaluasi diri yang dilakukan oleh sekolah, maka
kepala sekolah bersama Tim Manajemen BOS
sekolah dapat menyusun Rencana Kegiatan dan
Anggaran Sekolah (RKAS) berdasarkan hasil
evaluasi diri sekolah.
Dalam penyusunan RKAS, kepala sekolah
dan Tim Manajemen BOS sekolah harus
memperhatikan ketentuan-ketentuan dari masing-
masing sumber dana. Sangat dimungkinkan suatu
program dibiayai dengan subsidi silang dari
berbagai pos atau sumber dana. Program-program
yang memerlukan bantuan dari pusat harus
dialokasikan sumber dana dari pusat dengan
sharing dari sekolah dan komite sekolah atau
bahkan daerah. Misalnya untuk pembangunan ruang
komputer, laboratorium baru, gedung perpustakaan,
dan sebagainya. Sedangkan yang berupa program
rehab besar dana lebih diprioritaskan dari provinsi.
Untuk program yang lebih operasional bisa dari
dana blockgrant atau lainnya yang bersifat lebih
luwes. Mengingat begitu pentingnya dalam
melakukan manajemen keuangan sekolah terutama
dana BOS dari pemerintah, maka diperlukan suatu
sistem yang mampu melakukan pencatatan,

106
perencanaan, pelaksanaan, pertanggungjawaban
dan pelaporan, Sistem tersebut adalah RKAS.
Aplikasi RKAS (Rencana Kegiatan dan
Anggaran Sekolah) merupakan sebuah sistem
informasi yang dibuat untuk menangani masalah
manajemen keuangan sekolah mulai dari proses
perencanaan, pengorganisasian, pengarahan,
pengkoordinasian, pengawasan atau pengendalian.
Dengan sistem yang terdistribusi diharapkan
berbagai pihak yang terlibat mampu berkoordinasi
dengan baik. Capaian output terakhir yang diberikan
sistem informasi ini adalah pelaporan, dimana
setiap report yang dihasilkan sudah disesuaikan
dengan format yang dikeluarkan pemerintah.

C. Pengelolaan Dana Pendidikan


1. Perencanaan Pembiayaan
Pengelolaan pembiayaan pendidikan sama
dengan manajemen pembiayaan, dan pengelolaan
mempunyai tiga fungsi yaitu perencanaan,
pelaksanaan, dan evaluasi. Dalam penelitian ini yang
akan dibahas yaitu perencanaan pembiayaan
pendidikan, pelaksanaan pembiayaan pendidikan
dan evaluasi pembiayaan pendidikan.
Perencanaan adalah suatu proses
mempersiapkan serangkaian keputusan untuk
mengambil tindakan di masa yang akan datang
diarahkan untuk tercapainya tujuan- tujuan dengan
sarana yang optimal.
Pada sebuah organisasi atau lembaga
apapun bentuk dan namanya, sebelum melangkah
untuk mencapai tujuan, maka terlebih dahulu ada
perencanaan. Perencanaan pada sebuah lembaga
sangat esensial, karena pada kenyataannya,

107
perencanaan memegang pevranan yang lebih
penting dibandingkan dengan fungsi- fungsi lain.
Tanpa ada perencanaan, maka akan sulit
mencapai tujuan. Lankah-langkah dalam
perencanaan yaitu Pertama, tahapan menetapkan
tujuan atau serangkaian tujuan. Perencanaan
dimulai dengan keputusan-keputusan. Tanpa
rumusan tujuan yang jelas, sebuah lembaga akan
menggunakan sumber daya yang secara tidak
efektif.
Kedua, merumuskan keadaan saat ini,
pemahaman akan kondisi sekarang dari tujuan yang
hendak dicapai sangat penting, karena tujuan dan
rencana menyangkut waktu yang akan datang.
Ketiga, mengidentifikasikan kemudahan,
kekuatan, kelemahanhambatan perlu
diidentifikasikan mengukur kemampuan dalam
mencapai tujuan, oleh karena itu perlu dipahami
faktor-faktor lingkungan internal dan eksternal
yang dapat membantu mencapai tujuan, atau
mungkin menimbulkan masalah.
Keempat, mengembangkan rencana atau
serangkaian kegiatan untuk mencapai tujuan tahap
akhir dalam proses perencanaan meliputi
pengembangan berbagai alternatif kegiatan untuk
mencapai tujuan.
Perencanaan diartikan sebagai suatu
proses penentuan tujuan atau sasaran yang hendak
dicapai dan menetapkan jalan dan sumber-sumber
yang diperlukan untuk mencapai tujuan itu seefisien
dan seefektif mungkin. Perencanaan Pembiayaan
Pendidikan ini mencakup kegiatan penting yaitu
penyusunan Rencana Anggaran Pendapatan dan
Belanja Sekolah (RAPBS) dan pengembangan

108
Rencana Anggaran Pendapatan dan Belanja Sekolah
(RAPBS). Perencanaan keuangan sekolah
sedikitnya mencakup dua kegiatan yakni
penyusunan anggaran dan pengembangan rencana
anggaran belanja sekolah. Penganggaran
merupakan proses kegiatan atau proses
penyusunan anggaran (budget).
2. Pelaksanaan Pembiayaan
Pelaksanaan adalah suatu tindakan atau
pelaksanaan dari sebuah rencana yang sudah
disusun secara matang dan terperinci,
implementasi biasanya dilakukan setelah
perencanaan sudah dianggap siap. Secara
sederhana pelaksanaan bisa diartikan penerapan.
Pelaksanaan kegiatan pembelanjaan keuangan
mengacu kepada perencanaan yang telah
ditetapkan. Mekanisme yang ditempuh didalam
pelaksanaan kegiatan harus benar, efektif, dan
efisien.
Setelah perencanaan pembiayaan
pendidikan selesai dan disetujui oleh semua
komponen yang terlibat, dan menghasilkan sebuah
Rencana Kegiatan dan Anggaran Sekolah (RKAS),
tahapan pengelolaan selanjutnya yaitu pelaksanaan
pembiayaan pendidikan. Kegiatan pelaksanaan
pembiayaan madrasah meliputi dua kegiatan yakni
penerimaan dan pengeluaran. Penerimaan dan
pengeluaran dari sumber- sumber dana perlu
dibukukan berdasarkan prosedur pengelolaan yang
selaras dengan kesepakatan yang telah disepakati,
baik berupa konsep teoritis maupun peraturan
pemerintah.
Kegiatan dari pengelolaan yang kedua
adalah pelaksanaan atau kegiatan pengurusan

109
keuangan atau pembiayaan. Pengurusan ini meliputi
dua hal yaitu pertama pengurusan yang menyangkut
kewenangan menentukan kebijakan menerima atau
megeluarkan uang. Pengurusan ini dikenaldengan
istilah ketatausahaan. Pengurusan kedua
menyangkut urusan tindak lanjut dari urusan
pertama yaitu penerimaan, menyimpan dan
mengeluarkan uang.
Pelaksanaan pengelolaan pembiayaan
pendidikan dalam garis besarnya dikelompokan dua
kegiatan yaitu penerimaan dan pengeluaran.
Sebelum biaya didistribusikan, sekolah
membuat Prosedur pembukuan penerimaan dan
pengeluaran keuangan sekolah memadukan antara
aturan pemerintah pusat dan sekolah. Artinya ada
beberapa kebijakan pemerintah yang tidak bisa
dirubah oleh pihak sekolah dalam hal pengalokasian
anggaran. Dalam hal ini pihak sekolah hanya
beritindak sebagai pelaksana pengguna.
Pembukuan mencakup dua hal, yaitu :
pengurus yang menyangkut kewenangan
menentukan kebijakan menerima atau
mengeluarkan uang, serta tindak lanjutnya, yakni
menerima, menyimpan dan mengeluarkan uang.
Jenis pengurus kedua disebut juga dengan
pengurus bendaharawan.
Lain hal, fungsi kepala sekolah dapat
dikatakan sebagai manajerial yang berwenang
dalam segi hal penggunaan dana yang telah
diperoleh, yang kemudian menunjuk satu
bendaharawan untuk mebuat laporan anggaran
untuk nantinya dipertanggungjawabkan.
Dapat dikatakan, pengelolaan pembiayaan di
sekolah dibebankan kepada kepala sekolah. Karena

110
memang kepala sekolah berperan sebagai pemberi
wewenang sekaligus penanggungjawab penuh
terhadap anggaran yang telah diterima ataupun
yang telah dikeluarkan. Untuk operasional,
manajemen pembiayaan di sekolah biasa dikelola
oleh bendaharawan yang melakukan pembukuan
sesuai dengan aturan yang berlaku.
3. Evaluasi Pembiayaan
Evaluasi adalah kegiatan untuk
mengumpulkan informasi tentang bekerjanya
sesuatu, yang selanjutnya informasi tersebut
digunakan untuk menentukan alternatif yang tepat
dalam mengambil keputusan.
Evaluasi dapat diartikan sebagai proses
pembuatan pertimbangan menurut suatu perangkat
kriteria yang disepakati dan dapat
dipertanggungjawabkan.
Tujuan evaluasi adalah untuk :
a. Memperolah dasar bagi pertimbangan akhir
suatu periode kerja, apa yang telah dicapai,
dan apa yang perlu mendapat perhatian
khusus.
b. Menjamin cara kerja yang efektif dan efisien
yang membawa organisasi kepada
penggunaan sumber daya pendidikan
(manusia atau tenaga, sarana atau prasana,
biaya) secara efisien dan ekonomis.
c. Memperoleh fakta tentang kesulitan,
hambatan, penyimpangan dilihat dari aspek
tertentu seperti program tahunan, kemajuan
belajar
Tahap evaluasi anggaran dimaksudkan
untuk melihat efektivitas anggaran dalam
membiayai berbagai kegiatan dan aktiva yang ada.

111
Evaluasi bukan dimaksudkan untuk menemukan
gagasan baru atau mekanisme keuangan, akan
tetapi untuk menganalisis hasil dan melakukan
perbaikan gagasan pada periode berikutnya,
terutama yang berkenaan dengan peserta didik,
program pengajaran, dan personalia.
Evaluasi dapat disebut pula merupakan
elemen kunci dalam perencanaan. Jika sebuah
sekolah mau belajar dari pengalaman dan tidak
statis, maka proses evaluasi dan umpan balik harus
menjadi elemen yang esensial dalam kulturnya.
Proses evaluasi harus focus pada pelanggan, dan
mengeksplorasi dua isu; pertama, tingkatan dimana
sekolah mampu memenuhi kebutuhan individual
para pelanggannya, baik internal maupun eksternal,
dan kedua, sejauh mana sekolah mampu mencapai
misi dan tujuan strategisnya.
Evaluasi sering dilihat sebagai sebuah
upaya pencegahan. Ia bertujuan untuk menemukan
apa yang benar dan apa yang salah, serta
meggunakan hasil evaluasi untuk meningkatkan
kinerja di masa yang akan datang. Pencegahan dari
kesalahan agar tidak terulang kembali merupakan
fungsi evaluasi yang valid, namun ia memiliki
kekurangan yang mendasar.
Dalam hal ini setiap pelaksanaan evaluasi
pembiayaan faktor- faktor yang harus dimasukan
dalam sertiap kegiatan ebaluasi dengan struktor
yang terorganisasi agar menghilangkan salah
faham mengenai keuangan sekolah, adanya
supervisi untuk mengecek agar tidak adanya
kesalahan yang terjadi dalam kegiatan sekolah
mengenai anggaran, dan harus selalu memberika

112
informasi mengenai pelaksanaan pembiayaan
pendidikan di sekolah.
Tujuan evaluasi pembiayaan pendidikan
ialah untuk mengetahui berapa besar dana yang
telah dihabiskan dalam anggaran tersebut serta
untuk mengetahui apakah program pendidikan yang
telah direncanakan dan yang telah diselenggarakan
telah sesuai dengan harapan, dan dengan evaluasi
tersebut semua pembiayaan yang disalurkan di
dunia pendidikan akan berjalan dengan semestinya.
Pertanggungjawaban pembiayaan proses
pembuktian dan penentuan bahwa apa yang
dilaksanakan sesuai dengan apa yang direncanakan,
hal ini meliputi pertanggung jawaban penerimaan
dana, penyimpanan dan pengeluaran sesuai dengan
perencanaan. Atau dapat secara lebih rinci bisa
ditegaskan bahwa pertanggung jawaban keuangan
lembaga pendidikan yaitu yang berkaitan dengan
pelaksanaan pembiayaan proses pendidikan apakah
sesuai dengan perencanaan yang telah dibuat dan
sejauh mana tingkat pencapaian tujuan yang telah
ditetapkan sebelumnya.
Evaluasi dan pertanggungjawaban
pembiayaan pendidikan berbasis sekolah dapat
diitentifikasi kedalam tiga hal yaitu: pengendalian
penggunaan alokasi dana, bentuk pertanggung
jawaban dana pendidikan, dan keterlibatan
pengawas eksternal.
4. Pengawasan Pembiayaan
Pengawasan adalah aktivitas menilai, baik
catatan (record) dan menentukan prosedur-
prosedur dalam mengimplementasikan anggaran,
apakah sesuai dengan peraturan, kebijakan, dan
standar-standar yang berlaku. Tujuan dari

113
pengawasan adalah mengukur, membandingkan,
menilai alokasi biaya dan tingkat penggunaannya,
artinya pengawasan pembiayaan pendidikan
diharapkan dapat mengetahui tingkat efektifitas dan
efisiensi dari penggunaan sumber-sumber dana
yang tersedia dan membantu mempertahankan
hasil atau output yang sesuai syarat-syarat sistem.
Proses pengawasan terdiri dari tiga kegiatan pokok,
yaitu: memantau (monitoring), menilai, dan
melaporkan hasil-hasil temuan kegiatan atau
monitoring dilakukan terhadap kinerja aktual baik
dalam proses maupun hasilnya.
Dalam proses pengawasan terdapat
beberapa unsur yang perlu mendapat perhatian,
yaitu :
a. Unsur proses, yaitu usaha yang bersifat
kontinu terhadap suatu tindakan yang dimiliki
dari pelaksanaan suatu rencana sampai
dengan hasil akhir yang diharapkan.
b. Unsur adanya objek pengawasan, yaitu
sesuatu yang menjadi sasaran pengawasan ,
baik penerimaan atau pengeluaran.
c. Ukuran dan standarisasi dari pengawasan
d. Teknik-teknik pengawasan.
Langkah-langkah yang harus dilakukan
dalam proses pengawasan pembiayaan pendidikan
adalah :
a. Penetapan standar yang dipergunakan
berupa kuantitas, kualitas, biaya dan waktu.
b. Mengukur dan membandingkan antara
kenyataan dan sebenarnya dengan standar
yang telah ditetapkan.
c. Mengidentifikasikan penyimpangan (deviasi).

114
d. Menentukan tindakan perbaikan atau koreksi
yang kemudian menjadi materi rekomendasi.

115
Evaluasi Program
BAB VIII Pendidikan

A. Pengukuran dan Evaluasi Efektivitas Program


Pendidikan
Evaluasi program pendidikan merupakan
suatu upaya yang bertujuan untuk menentukan
keberhasilan program pendidikan yang
dilaksanakan (Mahmudi, I., 2011). Evaluasi terhadap
program pendidikan dapat dilakukan dari berbagai
sudut pandang, misalnya dari pihak pemerintah
sebagai pengambil kebijakan, dari pihak masyarakat
sebagai pengguna, dari pihak pendidik, dan dari
sudut pandang efektivitas program. Evaluasi
terhadap program pendidikan dapat dilakukan oleh
pihak yang terlibat dalam kegiatan (stakeholder
internal) maupun pihak yang tidak terlibat
(stakeholder eksternal) (Binangkit, I. D., & Siregar,
D. I., 2020). Evaluasi program pendidikan dapat
dilakukan dengan memanfaatkan model evaluasi
yang dikembangkan oleh para ahli, seperti Model
Evaluasi CIPP (Context, Input, Process, and
Product), Model Evaluasi Stake (Model
Couintenance), dan Model Evaluasi Kirkpatrick.
(Model Evaluasi Empat Tingkat Kirkpatrick)
(Mahmudi, I., 2011).
Tujuan evaluasi program pendidikan adalah
untuk memperoleh informasi yang akurat dan
obyektif tentang suatu program, seperti proses
pelaksanaan program, dampak/hasil yang dicapai,
efisiensi, dan pemanfaatan hasil evaluasi yang
terfokus pada program itu sendiri, guna mengambil
116
keputusan. apakah akan melanjutkan,
meningkatkan, atau menghentikan program
(Ananda, R., Rafida, T., & Wijaya, C., 2017; Kurniawati,
E. W., 2021).
Berikut ini disajikan serangkaian langkah-
langkah yang dapat dilakukan dalam proses
evaluasi program pendidikan:
1. Merumuskan tujuan evaluasi program
pendidikan yang akan dilaksanakan.
2. Menetapkan aspek-aspek yang akan dievaluasi,
seperti proses pelaksanaan program,
dampak/hasil yang dicapai, efisiensi, dan
pemanfaatan hasil evaluasi.
3. Pemilihan dan penentuan teknik yang akan
digunakan dalam pengumpulan data, seperti tes,
observasi, angket, dan wawancara.
4. Proses perancangan evaluasi meliputi
penentuan metode, teknik, instrumen, sampel,
sumber data, dan analisis data yang akan
digunakan dalam proses pengumpulan dan
pengolahan data.
5. Pelaksanaan evaluasi program pendidikan
melibatkan pengumpulan data dengan
menggunakan teknik yang telah ditentukan.
6. Data yang dikumpulkan akan dianalisis dan
program pendidikan akan dievaluasi
berdasarkan tujuan evaluasi yang telah
ditentukan.
7. Memberikan masukan kepada pelaksana
program dan pemangku kepentingan mengenai
sejauh mana program telah mencapai tujuan
dan sasaran yang telah ditetapkan.

117
8. Mengambil keputusan mengenai program,
seperti melanjutkan program, merevisi
program, atau menghentikan program.
9. Memberikan laporan evaluasi program
pendidikan kepada pimpinan dan staf program
untuk pertanggungjawaban dan pelaksanaan
tindakan program selanjutnya.

B. Jenis Kriteria dalam Proses Evaluasi


Berikut ini terdapat berbagai jenis kriteria
yang dapat digunakan dalam proses evaluasi
program pendidikan. Pertama, kriteria kuantitatif
yang mengacu pada kriteria terukur yang dapat
dinyatakan dalam nilai numerik atau statistik,
seperti jumlah siswa yang lulus, rata-rata nilai
siswa, dan tingkat kehadiran siswa. Kedua, kriteria
kualitatif dengan mengacu pada kriteria yang sulit
diukur dengan menggunakan angka atau statistik,
seperti kualitas pengajaran, kepuasan siswa, dan
kepuasan orang tua. Ketiga, kriteria masukan
mengacu pada kriteria yang menilai sumber daya
yang dimanfaatkan dalam program pendidikan,
seperti tenaga pengajar, fasilitas, dan anggaran.
Keempat, kriteria proses mengacu pada evaluasi
pelaksanaan program pendidikan, seperti metode
pengajaran, kurikulum, dan kegiatan
ekstrakurikuler. Kelima, kriteria keluaran mengacu
pada kriteria yang digunakan untuk mengevaluasi
hasil yang dicapai suatu program pendidikan,
seperti tingkat kelulusan siswa, kualitas lulusan,
dan kemahiran siswa dalam bidang tertentu.
Keenam, kriteria dampak mengacu pada kriteria
yang digunakan untuk mengevaluasi dampak
program pendidikan terhadap masyarakat, seperti

118
peningkatan kualitas hidup masyarakat,
peningkatan kualitas sumber daya manusia, dan
peningkatan daya saing nasional. Ketujuh, kriteria
evaluasi konteks mencakup penilaian konteks
program pendidikan, seperti alasan tujuan, latar
belakang program, dan kebutuhan perencanaan
yang muncul. Kedelapan, kriteria penempatan
mengacu pada kriteria yang digunakan untuk
mengalokasikan siswa ke dalam program
pendidikan tertentu yang selaras dengan
karakteristik individu. Kesepuluh, kriteria diagnostik
mengacu pada kriteria yang digunakan untuk
memeriksa kelemahan siswa beserta faktor yang
mendasarinya.

C. Penggunaan Data untuk Perbaikan Program


Evaluasi program pendidikan adalah suatu
proses penting dalam mengukur efektivitas dan
kualitas program-program pendidikan yang
diterapkan di berbagai tingkat pendidikan, mulai dari
tingkat sekolah dasar hingga perguruan tinggi.
Salah satu aspek yang sangat krusial dalam
evaluasi program pendidikan adalah penggunaan
data untuk perbaikan program. Data merupakan
komponen esensial yang digunakan untuk
mengidentifikasi masalah, menganalisis
perkembangan, dan merumuskan solusi untuk
meningkatkan program pendidikan. Dalam narasi
ini, kita akan membahas secara mendalam
mengenai bagaimana penggunaan data dapat
memberikan kontribusi besar dalam perbaikan
program pendidikan.
Penggunaan data dalam evaluasi program
pendidikan dimulai dari pengumpulan data yang

119
sistematis dan lengkap. Data ini dapat berupa data
akademik, data pengukuran kinerja siswa, data hasil
ujian, data kehadiran, dan data lainnya yang relevan.
Proses pengumpulan data harus dilakukan secara
berkala dan teratur agar menghasilkan informasi
yang akurat dan dapat diandalkan. Data yang
terkumpul kemudian dapat dianalisis secara
mendalam untuk mengidentifikasi tren dan pola
yang mungkin muncul dalam perkembangan
pendidikan.
Setelah data terkumpul, langkah
selanjutnya adalah menganalisis data tersebut.
Analisis data mencakup penggunaan berbagai
metode statistik dan alat analisis lainnya untuk
mengidentifikasi masalah atau potensi perbaikan
dalam program pendidikan. Misalnya, data ujian
dapat digunakan untuk melihat tingkat pemahaman
siswa terhadap materi pelajaran. Jika data ini
menunjukkan bahwa sebagian besar siswa
mendapatkan nilai rendah, maka ini bisa menjadi
indikasi bahwa metode pengajaran perlu diperbaiki.
Selain itu, data dapat digunakan untuk
membandingkan perkembangan siswa dari tahun ke
tahun atau dari satu kelas ke kelas lainnya. Ini
membantu dalam mengidentifikasi apakah program
pendidikan sedang mengalami peningkatan atau
kemunduran. Data juga bisa digunakan untuk
melihat perbandingan antara hasil siswa dari
sekolah satu dengan yang lainnya, sehingga
memungkinkan pengambilan keputusan yang lebih
baik dalam pengalokasian sumber daya pendidikan.
Setelah masalah atau area perbaikan
teridentifikasi, langkah berikutnya adalah
merumuskan rencana perbaikan berdasarkan data

120
yang telah dianalisis. Rencana ini harus bersifat
konkret dan dapat diimplementasikan dengan
langkah-langkah yang jelas. Contoh dari rencana
perbaikan dapat meliputi peningkatan metode
pengajaran, pelatihan guru, pengadaan sumber
belajar yang lebih baik, atau penyediaan bantuan
tambahan bagi siswa yang membutuhkan.
Selain itu, data juga dapat digunakan untuk
mengukur efektivitas dari rencana perbaikan yang
telah diimplementasikan. Dengan memantau
perkembangan siswa secara terus-menerus, kita
dapat mengevaluasi apakah rencana perbaikan
telah memberikan dampak positif dalam
peningkatan hasil pendidikan. Jika tidak, kita dapat
melakukan penyesuaian atau perubahan pada
rencana perbaikan tersebut.
Penggunaan data dalam evaluasi program
pendidikan juga dapat membantu dalam mengukur
tingkat kepuasan orang tua, siswa, dan staf sekolah
terhadap program pendidikan. Survei kepuasan
dapat digunakan untuk mengumpulkan data tentang
persepsi mereka terhadap kualitas pendidikan yang
diberikan. Hasil survei ini dapat menjadi dasar untuk
mengidentifikasi area perbaikan dalam aspek non-
akademik, seperti manajemen sekolah dan kualitas
pelayanan.
Selain untuk meningkatkan kualitas
program pendidikan, penggunaan data juga dapat
digunakan untuk mendukung pengambilan
keputusan strategis di tingkat kebijakan pendidikan.
Data tentang hasil evaluasi program pendidikan dari
berbagai sekolah atau wilayah dapat digunakan oleh
otoritas pendidikan untuk mengidentifikasi tren

121
nasional dan menentukan arah kebijakan
pendidikan yang lebih baik.
Pentingnya penggunaan data dalam
evaluasi program pendidikan juga tercermin dalam
upaya untuk meningkatkan akuntabilitas dan
transparansi dalam sistem pendidikan. Dengan
memiliki data yang akurat dan terbuka, masyarakat
dapat mengawasi kinerja sistem pendidikan dan
memastikan bahwa sumber daya pendidikan
digunakan secara efektif.
Namun, dalam menggunakan data untuk
perbaikan program pendidikan, penting juga untuk
memperhatikan aspek privasi dan keamanan data
siswa. Data harus disimpan dengan aman dan hanya
digunakan untuk tujuan evaluasi pendidikan.
Dalam kesimpulan, penggunaan data adalah
komponen integral dalam evaluasi program
pendidikan. Data membantu mengidentifikasi
masalah, merumuskan rencana perbaikan, dan
mengukur efektivitas dari tindakan yang diambil.
Dengan memanfaatkan data secara efektif, program
pendidikan dapat terus berkembang dan
memberikan manfaat yang lebih baik bagi siswa,
guru, dan masyarakat secara keseluruhan. Oleh
karena itu, pengumpulan, analisis, dan penggunaan
data harus menjadi bagian yang tak terpisahkan
dalam proses evaluasi program pendidikan yang
berhasil.

D. Evaluasi Berkelanjutan
Evaluasi berkelanjutan adalah suatu proses
penting dalam dunia manajemen dan
pengembangan program, yang bertujuan untuk
memastikan bahwa suatu program, proyek, atau

122
organisasi terus berkembang, beradaptasi, dan
mencapai tujuannya seiring berjalannya waktu.
Pendekatan ini mengakui bahwa perubahan adalah
hal yang alami dalam kehidupan organisasi, dan
oleh karena itu, evaluasi berkelanjutan menjadi
kunci untuk memahami dan mengelola perubahan
tersebut.
Evaluasi berkelanjutan bukanlah sekadar
penilaian akhir yang dilakukan setelah suatu
program selesai, melainkan sebuah proses terus-
menerus yang berlangsung selama siklus program.
Ini memungkinkan organisasi untuk secara aktif
memantau kinerjanya, mengidentifikasi masalah,
memahami tren, dan merumuskan tindakan
perbaikan yang sesuai. Pendekatan ini juga
memungkinkan organisasi untuk mengukur dampak
jangka panjang dan merencanakan masa depan
yang lebih baik.
Proses evaluasi berkelanjutan melibatkan
pengumpulan data secara berkala dan analisis data
tersebut. Data yang dikumpulkan dapat mencakup
berbagai aspek, termasuk indikator kinerja, hasil
survei, wawancara, dan pemantauan lapangan. Tim
evaluasi bertanggung jawab untuk mengumpulkan
dan menganalisis data ini dengan cermat, dan
hasilnya digunakan untuk memahami sejauh mana
program mencapai tujuannya.
Selain mengukur hasil akhir, evaluasi
berkelanjutan juga mengevaluasi proses yang
digunakan untuk mencapai tujuan. Ini penting
karena seringkali proses yang efisien dan efektif
dapat menghasilkan hasil yang lebih baik. Dengan
memahami prosesnya, organisasi dapat

123
mengidentifikasi area yang perlu ditingkatkan dan
menerapkan perubahan yang diperlukan.
Evaluasi berkelanjutan membantu
organisasi untuk mengidentifikasi keberhasilan dan
kegagalan dalam mencapai tujuan. Jika hasil
evaluasi menunjukkan bahwa program tidak
mencapai target yang diharapkan, organisasi dapat
segera mengambil tindakan perbaikan. Ini dapat
mencakup perubahan strategi, peningkatan
pelatihan staf, atau penyesuaian anggaran.
Selain itu, evaluasi berkelanjutan juga
membantu dalam mengukur dampak jangka panjang
dari suatu program atau proyek. Ini penting untuk
memahami apakah program tersebut masih relevan
dalam mencapai tujuan jangka panjang. Jika tidak,
organisasi dapat merencanakan perubahan atau
menghentikan program tersebut jika tidak
memberikan dampak yang diharapkan.
Evaluasi berkelanjutan juga melibatkan
komunikasi hasil kepada berbagai pemangku
kepentingan, seperti dewan pengarah, donor, dan
masyarakat. Hasil evaluasi ini dapat digunakan
untuk memaparkan pencapaian organisasi dan
menjelaskan tantangan yang dihadapi. Ini juga dapat
membantu dalam memperoleh dukungan dan
sumber daya tambahan.
Dalam beberapa kasus, hasil evaluasi
berkelanjutan dapat digunakan untuk
mempengaruhi pengambilan keputusan dan
perencanaan kebijakan. Data yang terkumpul dapat
membantu dalam merumuskan kebijakan yang lebih
baik dan mendukung keputusan yang berdasarkan
bukti.

124
Evaluasi berkelanjutan juga membantu
dalam mengukur efisiensi penggunaan sumber
daya. Ini melibatkan evaluasi terhadap pengeluaran
dan alokasi sumber daya untuk memastikan bahwa
mereka digunakan secara efisien. Dengan
pemantauan yang cermat, organisasi dapat
mengidentifikasi potensi pemborosan dan
mengambil langkah-langkah untuk menguranginya.
Penting untuk mencatat bahwa evaluasi
berkelanjutan dapat berlangsung dalam jangka
waktu yang panjang, tergantung pada kompleksitas
program atau organisasi yang dievaluasi. Ini
bukanlah tugas yang selesai dalam satu kali
pemantauan, tetapi merupakan komitmen jangka
panjang untuk peningkatan berkelanjutan.
Tim evaluasi perlu memiliki keterampilan
yang kuat dalam analisis data, pemodelan, dan
komunikasi. Mereka juga harus memiliki
pemahaman yang mendalam tentang tujuan dan
konteks program atau organisasi yang dievaluasi.
Evaluasi berkelanjutan juga dapat
melibatkan partisipasi aktif dari pihak-pihak terkait,
seperti staf, pemangku kepentingan, dan
masyarakat. Ini membantu dalam mendapatkan
pemahaman yang lebih komprehensif tentang
kinerja program atau organisasi.
Kesimpulannya, evaluasi berkelanjutan
adalah alat yang kuat untuk memastikan bahwa
suatu entitas atau program terus berkembang dan
mencapai tujuannya. Ini adalah pendekatan yang
penting dalam manajemen kinerja dan pengambilan
keputusan yang efektif, dan mendorong organisasi
untuk beradaptasi dan meningkatkan diri seiring
berjalannya waktu. Evaluasi berkelanjutan adalah

125
komitmen untuk perbaikan berkelanjutan dan
pencapaian yang lebih baik dalam mencapai tujuan.

126
Perencanaan
BAB IX Pendidikan Inklusif

A. Prinsip-prinsip Pendidikan Inklusif


Pendidikan Inklusif didasarkan pada
prinsip-prinsip inti keberagaman dan penerimaan,
memperjuangkan pentingnya mengakui perbedaan
individu dan menjunjung tinggi hak setiap siswa
untuk berpartisipasi sepenuhnya dalam proses
pendidikan (Iryna dkk., 2020). Prinsip ini sejalan
dengan komitmen internasional terhadap
pendidikan inklusif dan visi sekolah reguler inklusif
bagi semua siswa (Glazzard, 2011). Namun, jalan
menuju mewujudkan pendidikan inklusif dapat
terhalang oleh sejumlah tantangan, termasuk sikap
negatif terhadap siswa dengan kebutuhan
pendidikan khusus, pendanaan yang tidak
mencukupi, sumber daya terbatas, dan peluang
pelatihan yang tidak memadai (Glazzard, 2011).
Sebaliknya, penelitian dari Soubelet (2011)
telah mengungkapkan bahwa keterlibatan dalam
kegiatan intelektual dan budaya dapat secara efektif
mengurangi dampak disparitas pendidikan terhadap
kemampuan kognitif. Selain itu, penting untuk
dicatat adanya resistensi orang tua terhadap inklusi
dan kompleksitas yang terlibat dalam menyatukan
agenda inklusi dengan agenda standar (Glazzard,
2011). Pandangan yang kontras ini dan tantangan
yang kompleks menggarisbawahi sifat rumit dari
implementasi pendidikan inklusif, menekankan
kebutuhan yang terus menerus untuk dukungan dan
sumber daya dalam usaha ini.

127
Dalam ranah pendidikan inklusif, prinsip
keberagaman menekankan pentingnya mengakui
keragaman individu dan menciptakan lingkungan
yang mengembangkan potensi setiap siswa tanpa
memberlakukan pembatasan yang tidak adil (Dyson,
2004). Kerangka kerja UNESCO tentang pendidikan
inklusif berfungsi sebagai dasar bersama untuk
memahami inklusi, memungkinkan negara-negara
untuk menilai tingkat inklusivitas mereka (Dyson,
2004). Namun, penting untuk diakui bahwa tidak ada
model satu ukuran cocok untuk pendidikan inklusif,
dan interpretasinya dapat berbeda secara signifikan
di berbagai konteks nasional (Dyson, 2004). Sikap
kepala sekolah dan guru terhadap pendidikan
inklusif sangat penting dalam menentukan
keberhasilan reformasi inklusif dan peluang
pendidikan yang diberikan kepada siswa dengan
disabilitas ringan (Cook dkk., 1999). Kolaborasi,
sering dianggap sebagai inti dari pendidikan inklusif,
sangat penting untuk mengatasi kompleksitas
inheren dari praktik inklusif (Florian, 2017).
Penerimaan adalah salah satu sudut
pandang prinsip pendidikan inklusif, menekankan
gagasan mendasar tentang merangkul setiap siswa
apa adanya, tanpa mencoba membentuk mereka
untuk sesuai dengan norma-norma yang telah
ditentukan (Callaghan, 2003). Pendekatan ini
mengakui setiap siswa sebagai individu khusus dan
berharga, meningkatkan rasa percaya diri dan harga
diri (Callaghan, 2003). Pendidikan inklusif berusaha
menciptakan lingkungan yang mendorong
pertumbuhan, pembelajaran, dan perkembangan
pribadi secara holistik bagi semua siswa dengan

128
mengakui dan menerima perbedaan sebagai bagian
inheren dari lanskap pendidikan (Callaghan, 2003).
Penelitian Callaghan (2003) telah
mengungkapkan dampak positif dari perilaku
perawatan diri yang mempromosikan kesehatan
dan efikasi perawatan diri terhadap aspek-aspek
seperti pertumbuhan spiritual, konsep diri, inisiatif,
dan tanggung jawab yang secara kolektif
membentuk agensi perawatan diri. Dengan
mengintegrasikan teori perawatan diri, model
promosi kesehatan, dan teori efikasi diri dapat
meningkatkan perawatan diri dan promosi
kesehatan dalam konteks pendidikan, menekankan
peran kunci penerimaan dan rasa percaya diri
dalam memfasilitasi perkembangan positif.
Pendidikan Inklusif memeluk prinsip penting
lainnya, yaitu kesetaraan dan keadilan, yang
menekankan penyediaan peluang yang sama untuk
setiap siswa, tanpa memandang latar belakang,
kemampuan intelektual, atau kondisi fisik/mental
mereka (Sánchez & Rodríguez, 2019). Prinsip ini
selaras dengan tujuan utama untuk membentuk
lingkungan belajar yang adil dan inklusif yang
memenuhi kebutuhan semua individu (Sánchez &
Rodríguez, 2019). Namun, calon pendidik mungkin
melihat hambatan terhadap pembelajaran dan
partisipasi siswa dalam sekolah inklusif (Sánchez &
Rodríguez, 2019). Hambatan-hambatan ini
mencakup faktor-faktor seperti keterbatasan
kurikulum dan kebutuhan akan dukungan dan
sumber daya khusus (Sánchez & Rodríguez, 2019).
Penting untuk mengatasi hambatan ini dan
memastikan bahwa pendidikan inklusif

129
dilaksanakan secara efektif untuk mempromosikan
kesetaraan dan keadilan dalam sistem pendidikan.
Dalam kerangka pendidikan inklusif,
kesetaraan menjadi pusat perhatian, memastikan
bahwa setiap siswa memiliki hak yang sama untuk
mengakses pendidikan berkualitas dan
berpartisipasi dalam kegiatan sosial, budaya, dan
ekstrakurikuler di sekolah (Greef dkk., 2014). Prinsip
ini memajukan keyakinan bahwa setiap individu
memiliki potensi berharga dan oleh karena itu harus
diberikan peluang yang sama untuk
mengungkapkan dan mengembangkan potensi
tersebut (Greef dkk., 2014). Program pendidikan
dewasa menjadi alat yang kuat dalam mendukung
orang dewasa yang rentan dalam perjalanan
mereka menuju inklusi sosial yang lebih besar
(Greef dkk., 2014). Namun, penting untuk diakui
bahwa mencapai kesetaraan dalam pendidikan
merupakan tantangan yang kompleks karena
faktor-faktor seperti disparitas sosioekonomi, bias
budaya, dan hambatan sistemik (Greef dkk., 2014).
Upaya keras harus diarahkan untuk menghilangkan
hambatan-hambatan ini dan menciptakan
lingkungan pendidikan inklusif yang mendukung
kesetaraan dan memberikan peluang yang adil bagi
semua siswa.
Prinsip keadilan dalam pendidikan inklusif
menekankan pentingnya mengatasi ketidaksetaraan
sosial yang mungkin ada dalam sistem pendidikan.
Hal ini bisa melibatkan penyediaan sumber daya
tambahan bagi siswa yang membutuhkan,
penghapusan hambatan akses fisik, atau
penyediaan dukungan khusus untuk siswa dengan
kebutuhan khusus. Prinsip ini mendorong sistem

130
pendidikan untuk secara proaktif menghadapi
ketidaksetaraan yang dapat menghambat kemajuan
akademis dan perkembangan pribadi. Dengan
mematuhi prinsip kesetaraan dan keadilan dalam
pendidikan inklusif, kita meletakkan dasar yang kuat
untuk membangun masyarakat yang lebih adil,
penuh kasih, dan berdaya (Lee & Desjardins, 2019).
Pendekatan ini menjamin bahwa semua siswa diberi
kesempatan yang sama untuk meraih kesuksesan
dalam perjalanan pendidikan mereka dan dalam
kehidupan secara umum (Lee & Desjardins, 2019).
Namun, sangat penting untuk diakui bahwa
ketidaksetaraan sosial dapat mempengaruhi
partisipasi dalam pendidikan dan pembelajaran
orang dewasa, menekankan urgensi untuk
mengatasi disparitas dalam akses dan sumber daya
(Lee & Desjardins, 2019). Dalam ranah pendidikan
tinggi, motif kelas dan penilaian subjektif terhadap
biaya pendidikan dapat berkontribusi pada
ketidaksetaraan peluang pendidikan (Becker &
Hecken, 2009). Pengakuan pentingnya inklusi
keuangan, terutama dalam memberdayakan
perempuan dan mengatasi hambatan yang mereka
hadapi, menjadi aspek kritis dari masalah yang
kompleks ini (Arshad, 2023). Program pendidikan
konselor sekolah memainkan peran penting dalam
mempersiapkan konselor untuk mendukung
inklusivitas, kesetaraan, dan akses bagi siswa
berkulit hitam dengan disabilitas (Reese, 2021).
Selain itu, upaya untuk mencegah komplikasi dalam
pengelolaan diabetes dapat secara signifikan
ditingkatkan melalui intervensi pendidikan berbasis
pemberdayaan (Rondhianto dkk., 2022). Terakhir,
sangat penting untuk mengintegrasikan pemikiran

131
komputasi dalam pendidikan sambil menekankan
inklusivitas untuk mempromosikan keadilan dan
mengatasi ketidaksetaraan dalam akses teknologi
dan peluang belajar (Mills dkk., 2021).
Bahkan di China, di mana perluasan
pendidikan telah meningkatkan akses ke pendidikan
tinggi, biaya yang tinggi masih menjadi penyebab
ketidaksetaraan dan membatasi peluang bagi
kelompok demografis tertentu (Guo, 2022).
Perspektif dan sumber daya yang beragam ini
secara kolektif menunjukkan pentingnya
mendukung kesetaraan, keadilan, dan mengatasi
ketidaksetaraan sosial dalam berbagai konteks
pendidikan.
Salah satu prinsip dasar Pendidikan Inklusif
adalah promosi partisipasi aktif (Walton, 2014).
Partisipasi aktif menciptakan lingkungan pendidikan
di mana siswa tidak hanya sebagai penerima pasif
pengetahuan tetapi juga sebagai kontributor aktif
dalam pembangunan pengetahuan itu sendiri
(Walton, 2014). Pendekatan dinamis ini
menghasilkan siswa yang tidak hanya mengikuti
petunjuk tetapi juga terlibat dalam berpikir kritis,
mengajukan pertanyaan, dan berkontribusi aktif
dalam diskusi kelas (Walton, 2014). Di luar kelas, ini
merupakan sarana untuk mempersiapkan siswa
menjadi warga aktif yang berpartisipasi dalam
masyarakat (Walton, 2014).
Pendidikan inklusif adalah fenomena global
dengan ekspresi yang beragam di berbagai negara,
dipengaruhi oleh realitas kontekstual yang berbeda
yang entah mendukung atau menghambat
perjalanan menuju sistem pendidikan yang lebih
inklusif. Untuk memberikan gambaran, sebuah

132
laporan menyoroti konferensi internasional tentang
pendidikan inklusif yang diselenggarakan di
Johannesburg, Afrika Selatan. Konferensi ini
memberikan platform bagi peserta untuk berbagi
temuan penelitian terkait pembongkaran eksklusi
pendidikan dan pembangunan inklusi. Analisis
abstrak konferensi mengungkapkan lima perhatian
umum dalam upaya membuat pendidikan lebih
inklusif, melampaui perbedaan antara negara
berkembang dan negara maju.
Konsep partisipasi aktif dalam pendidikan
telah mendapatkan perhatian yang signifikan karena
dampak positifnya pada perilaku dan keterlibatan
siswa. Sebagai contoh, sebuah studi yang dilakukan
oleh Strain dkk. (2011) menguji efek partisipasi aktif
dalam mengatasi perilaku masalah pada siswa
dengan autisme di kelas pendidikan umum. Temuan
studi tersebut menunjukkan bahwa partisipasi aktif
tidak hanya mengurangi perilaku masalah tetapi
juga meningkatkan keterlibatan siswa, menggaris
bawahi gagasan bahwa partisipasi aktif mengubah
siswa dari penerima pasif pengetahuan menjadi
kontributor aktif dalam pembangunan pengetahuan
itu sendiri (Strain dkk., 2011).
Selain itu, partisipasi aktif dalam pendidikan
erat kaitannya dengan pengembangan
kewarganegaraan aktif. Nicoll dkk. (2013)
menekankan pentingnya pendidikan
kewarganegaraan dan partisipasi aktif dalam
mempromosikan kohesi sosial dan inklusi. Mereka
berargumen bahwa diskursus kontemporer tentang
pendidikan kewarganegaraan sering mengabaikan
dukungan diskursif dan materi yang penting untuk
mendorong aktivitas kewarganegaraan (Nicoll dkk.,

133
2013). Dengan berpartisipasi aktif dalam proses
pembelajaran, siswa lebih siap untuk menjadi warga
aktif yang memberikan kontribusi berarti bagi
masyarakat (Nicoll dkk., 2013).
Dalam konteks pendidikan inklusif,
partisipasi aktif juga mencakup melibatkan siswa
dengan kebutuhan khusus atau persyaratan khusus
(Morningstar dkk., 2015). Mendorong partisipasi
mereka dalam pembelajaran akademis dan kegiatan
sosial bersama rekan-rekan mereka adalah aspek
penting dari pendekatan inklusif (Morningstar dkk.,
2015). Lingkungan inklusif ini mengembangkan rasa
nilai dan penerimaan bagi semua siswa
(Morningstar dkk., 2015).
Morningstar dkk. (2015) melakukan studi
komprehensif tentang mendukung partisipasi dan
pembelajaran dalam kelas inklusif. Studi tersebut
mengungkapkan adanya berbagai dukungan
pembelajaran, seperti desain universal untuk
pembelajaran, intervensi perilaku, dan akomodasi
dan modifikasi, di kelas inklusif (Morningstar dkk.,
2015). Dukungan ini berkontribusi secara signifikan
pada praktik yang efektif dalam mempromosikan
pembelajaran siswa dan inklusi dalam kelas dan
sekolah secara keseluruhan (Morningstar dkk.,
2015).
Selain itu, studi tersebut menekankan
pentingnya strategi dan pendekatan instruksional
untuk mendukung praktik inklusif (Morningstar dkk.,
2015). Studi tersebut menggarisbawahi contoh-
contoh praktik kelas yang memfasilitasi
pembelajaran dan partisipasi untuk semua siswa,
termasuk mereka yang memiliki disabilitas
signifikan, mengungkapkan metode struktural yang

134
mendasari inklusi (Morningstar dkk., 2015). Hal ini
menyoroti perlunya pertimbangan yang bijak
mengenai pengaturan staf instruksional, metode
pengelompokan instruksional, pembelajaran yang
didukung rekan sebaya, dan akses ke kurikulum
akademik inti (Morningstar dkk., 2015).
Studi tersebut juga menekankan pentingnya
memberikan dukungan perilaku dan kurikuler kelas
yang konsisten dan positif (Morningstar dkk., 2015).
Para pendidik dihimbau untuk mengkhususkan
instruksi dengan hati-hati dan berkolaborasi secara
luas untuk menetapkan pendekatan pembelajaran
universal yang melibatkan siswa dengan beragam
kebutuhan belajar (Morningstar dkk., 2015). Praktik
inklusif yang efektif menjadi kenyataan ketika
pendidik umum dan anggota tim pendidikan lainnya
secara kolaboratif merancang, melaksanakan, dan
menilai hasil instruksional (Morningstar dkk., 2015).
Dalam rangkaian, prinsip partisipasi aktif
dalam Pendidikan Inklusif adalah dasar yang tidak
hanya mengubah pengalaman pendidikan tetapi juga
membekali siswa dengan keterampilan dan pola
pikir untuk menjadi partisipan aktif dalam
masyarakat. Pendekatan dinamis ini melampaui
batasan dan berkontribusi pada dialog global
tentang menciptakan sistem pendidikan inklusif
yang mendukung beragam kebutuhan semua
pembelajar.
Partisipasi aktif dalam ranah pendidikan
inklusif berfungsi sebagai katalisator untuk
pengembangan keterampilan kritis, kemampuan
komunikasi yang efektif, dan rasa tanggung jawab
diri yang lebih tinggi di antara siswa (McInerney,
2008). Elemen-elemen ini sangat penting dalam

135
membimbing siswa menjadi individu mandiri yang
memiliki pemahaman yang lebih dalam tentang
dunia di sekitar mereka (McInerney, 2008).
Penelitian McInerney tentang teori investasi pribadi
memberikan dukungan terhadap gagasan bahwa
konsep diri individu secara intrinsik terhubung
dengan penyesuaian sekolah, kepuasan, prestasi,
dan aspirasi (McInerney, 2008). Studi ini
mengungkapkan bahwa rasa tujuan dan tujuan
pencapaian siswa secara signifikan memprediksi
niat mereka untuk pendidikan lebih lanjut, afek
positif terhadap sekolah, dan nilai sekolah
(McInerney, 2008).
Sebaliknya, penelitian lain menekankan
pengaruh faktor budaya pada prestasi sekolah,
mengungkapkan bagaimana faktor-faktor ini
berinteraksi dengan tujuan pencapaian siswa dan
konsep diri mereka (McInerney, 2008). Studi ini
meneliti siswa Anglo, Aborigin, Asia, dan Lebanon di
Australia, mengungkapkan bahwa latar belakang
budaya dapat secara signifikan membentuk tujuan
pencapaian siswa dan konsep diri mereka, yang
pada gilirannya mempengaruhi hasil pendidikan
mereka (McInerney, 2008). Dengan mempromosikan
partisipasi aktif, pendidikan inklusif memiliki peran
kunci dalam menciptakan lingkungan belajar yang
memberdayakan semua siswa (McInerney, 2008).
Kesesuaian dengan teori investasi pribadi ini
menggarisbawahi peran penting konsep diri siswa
dan investasi mereka dalam pendidikan dalam
meningkatkan kesuksesan akademik dan
pertumbuhan pribadi (McInerney, 2008). Pendidikan
inklusif menjadi platform bagi siswa untuk aktif
terlibat dalam pembelajaran mereka, memfasilitasi

136
perkembangan holistik mereka dan mempersiapkan
mereka untuk sukses dalam perjalanan pendidikan
mereka dan kehidupan di luar itu (McInerney, 2008).
Prinsip dasar Pendidikan Inklusif adalah
kolaborasi, yang menekankan pentingnya upaya
bersama di antara semua pemangku kepentingan
pendidikan, termasuk guru, orang tua, siswa, dan
pihak terkait lainnya, untuk menciptakan lingkungan
yang mendukung dan inklusif (Austin, 2001). Dalam
konteks ini, penelitian telah meneliti keyakinan guru
tentang co-teaching, bentuk kolaborasi yang sentral
dalam pendidikan inklusif (Austin, 2001). Penelitian
ini menjelajahi faktor-faktor penting yang
mempengaruhi pengajaran kolaboratif, seperti
strategi efektif, persiapan guru, dan dukungan
berbasis sekolah (Austin, 2001). Temuan yang
diperoleh dari penelitian ini memberikan wawasan
berharga tentang keadaan praktik kolaboratif saat
ini yang dipandang oleh guru yang berpartisipasi
(Austin, 2001). Selain itu, penelitian ini menekankan
peran kritis strategi efektif dan pentingnya
dukungan berbasis sekolah dalam ranah
pengajaran kolaboratif (Austin, 2001). Faktor-faktor
ini merupakan komponen integral yang
berkontribusi pada implementasi praktik pendidikan
inklusif yang berhasil (Austin, 2001). Selanjutnya,
penelitian ini menekankan peran penting persiapan
guru dalam memfasilitasi kolaborasi dan
menciptakan lingkungan inklusif yang mendukung
(Austin, 2001).
Kolaborasi, sebagai prinsip dasar dalam
pendekatan inklusif, mengakui bahwa pendidikan
adalah upaya kolektif (Berry dkk., 2011). Guru, yang
berperan sebagai pemimpin dalam proses

137
pendidikan, dihimbau untuk berkolaborasi dengan
orang tua untuk memahami dengan mendalam
kebutuhan khusus setiap siswa (Berry dkk., 2011).
Upaya kolaboratif ini memerlukan komunikasi
terbuka dan berkelanjutan untuk memastikan orang
tua berperan aktif dalam mendukung
perkembangan pendidikan anak mereka (Berry dkk.,
2011). Penelitian tentang isu-isu rekrutmen guru
pendidikan khusus, retensi, dan pengembangan
profesional, dengan fokus pada mendukung guru di
daerah pedesaan, memperkuat pentingnya
kolaborasi antara guru dan orang tua dalam
mengatasi tantangan khusus yang dihadapi siswa di
daerah pedesaan (Berry dkk., 2011). Ini
menggarisbawahi pentingnya komunikasi dan
kolaborasi yang berkelanjutan untuk memastikan
siswa menerima dukungan yang diperlukan untuk
kesuksesan pendidikan mereka (Berry dkk., 2011).
Selain itu, kolaborasi antara guru dan siswa muncul
sebagai elemen penting dalam pendekatan inklusif
(Berry dkk., 2011). Dengan mendengarkan dengan
cermat pandangan siswa dan melibatkan mereka
dalam proses perencanaan pelajaran, pendidik
dapat meningkatkan keterlibatan mereka dan
membentuk rasa kepemilikan atas perjalanan
pembelajaran mereka (Berry dkk., 2011). Pendekatan
kolaboratif ini memberdayakan siswa,
meningkatkan partisipasi mereka dalam proses
pendidikan (Berry dkk., 2011).
Melanjutkan konsep kolaborasi dalam
pendidikan inklusif, ini mencakup bekerja sama
dengan spesialis dan staf pendukung untuk
memberikan dukungan tambahan kepada siswa
dengan kebutuhan khusus (Khairuddin dkk., 2016).

138
Pendekatan ini melibatkan pembentukan tim
multidisiplin yang bertujuan untuk merancang dan
melaksanakan Rencana Pendidikan Individual atau
Individualized Education Plans (IEPs) yang
disesuaikan dengan kebutuhan khusus siswa ini
(Khairuddin dkk., 2016). Konsep tim multidisiplin dan
kolaborasi ini meluas di luar ranah pendidikan.
Sebagai contoh, dalam konteks rehabilitasi, tim
multidisiplin terpadu yang terdiri dari berbagai
profesional kesehatan bekerja sama untuk
memberikan bantuan berorientasi pada tujuan
kepada individu yang mengalami penurunan
fungsional (Hjelle dkk., 2016). Pendekatan
kolaboratif ini memastikan bahwa anggota tim
secara kolektif bekerja menuju tujuan individu
(Hjelle dkk., 2016). Dalam bidang kesehatan, tim
multidisiplin juga telah diteliti dalam pengelolaan
saluran napas sulit (Pandian dkk., 2022). Terdiri dari
berbagai profesional kesehatan, tim ini
berkolaborasi untuk menjaga saluran napas sulit,
yang pada akhirnya meningkatkan hasil klinis
(Pandian dkk., 2022). Keberhasilan tim-tim ini
dikaitkan dengan komposisinya, kepatuhan pada
algoritma yang telah ditetapkan untuk menjaga
saluran napas, dan hasil yang dilaporkan (Pandian
dkk., 2022).
Kolaborasi antara guru pendidikan umum
dan guru pendidikan khusus merupakan aspek
penting lain dari pendidikan inklusif (Song, 2016).
Namun, penelitian telah menggarisbawahi
tantangan dan disparitas potensial dalam kolaborasi
di antara guru-guru dari sistem pendidikan yang
berbeda dan latar belakang yang beragam (Song,
2016). Mengatasi tantangan ini dan memberikan

139
pelatihan dan dukungan bagi guru adalah langkah-
langkah penting untuk meningkatkan kolaborasi
(Harvey dkk., 2008).Secara ringkas, partisipasi aktif
dan kolaborasi adalah prinsip dasar dalam
Pendidikan Inklusif yang mendorong perkembangan
holistik, memberdayakan siswa, dan menciptakan
lingkungan belajar yang mendukung. Prinsip-
prinsip ini didukung oleh temuan penelitian, yang
menekankan peran penting mereka dalam
memastikan bahwa pendidikan bersifat inklusif,
responsif terhadap beragam kebutuhan, dan upaya
kolektif yang melibatkan semua pemangku
kepentingan.
Kolaborasi memainkan peran kunci dalam
memupuk kerjasama di antara siswa dalam
pendidikan inklusif, menciptakan lingkungan sosial
yang tidak hanya merangkul keragaman tetapi juga
mendorong pembelajaran bersama (Florian, 2017).
Pendekatan kolaboratif ini secara efektif
menghancurkan stigma atau bias terhadap
perbedaan, membentuk ikatan yang lebih kuat
dalam komunitas siswa (Florian, 2017). Selain itu,
hal ini memperkaya pengalaman belajar siswa,
membekali mereka untuk menghadapi dunia yang
beragam dengan lebih efektif (Florian, 2017). Selain
itu, dalam konteks pendidikan inklusif, kolaborasi
antara universitas dan sekolah dasar inklusif
memiliki pentingnya yang sangat besar dalam
pengembangan praktik inklusif yang holistik
(Rasmitadila dkk., 2021). Hubungan simbiosis ini
memberikan manfaat signifikan bagi kedua belah
pihak: universitas memperoleh wawasan berharga
dari sekolah dasar inklusif untuk pengembangan
kurikulum dan persiapan mahasiswa calon guru,

140
sementara sekolah dasar inklusif menerima
keuntungan dari program-program yang
disesuaikan dan keahlian mahasiswa universitas
(Rasmitadila dkk., 2021). Selain itu, perlu dicatat
bahwa kolaborasi antara guru pendidikan umum
dan guru pendidikan khusus merupakan pilar
penting dari pendidikan inklusif yang berhasil (Song,
2016). Namun, tantangan dapat muncul dalam
kolaborasi di antara guru-guru dari sistem
pendidikan yang berbeda dan latar belakang yang
beragam (Song, 2016). Mengatasi tantangan ini
memerlukan memberikan pelatihan dan dukungan
kepada guru untuk meningkatkan kemampuan
kolaboratif mereka (Song, 2016).
Salah satu prinsip dasar dalam Pendidikan
Inklusif berkaitan dengan pengembangan kurikulum
yang fleksibel yang mampu menampung gaya
belajar, kemampuan, dan kebutuhan khusus setiap
siswa (Gunn & Delafield-Butt, 2016). Prinsip ini
menekankan pentingnya penyesuaian pendekatan
pengajaran untuk memenuhi perbedaan individu
siswa, sehingga menciptakan lingkungan pendidikan
yang inklusif (Gunn & Delafield-Butt, 2016). Dalam
konteks pengajaran anak-anak dengan gangguan
spektrum autisme atau Autism Spectrum Disorder
(ASD), menjadi jelas bahwa minat yang terbatas dan
berulang-ulang mereka dapat menimbulkan
tantangan bagi guru di pengaturan sekolah biasa
(Gunn & Delafield-Butt, 2016). Minat-minat ini
mungkin mengganggu praktik kelas biasa dan
menghambat penyampaian kurikulum (Gunn &
Delafield-Butt, 2016). Oleh karena itu, guru
ditugaskan untuk menemukan cara untuk
menggabungkan minat-minat terbatas ini ke dalam

141
metode pengajaran mereka atau mencari
keseimbangan yang memenuhi kebutuhan belajar
semua siswa (Gunn & Delafield-Butt, 2016).
Kolaborasi dan kerjasama di antara
berbagai pemangku kepentingan muncul sebagai
prasyarat penting untuk mengimplementasikan
pendidikan inklusif dan mengembangkan kurikulum
yang fleksibel (Gonçalves, 2022). Pendidikan inklusif
bergantung pada upaya bersama dari berbagai
pihak untuk menampung berbagai kebutuhan siswa
dengan kebutuhan khusus (Prajalani dkk., 2021). Ini
melibatkan upaya kolaboratif antara guru inti dan
guru pendamping di dalam kelas inklusif, yang
bertujuan untuk menciptakan lingkungan belajar
yang nyaman dan percaya diri bagi semua siswa
(Prajalani dkk., 2021). Selain itu, implementasi
kurikulum inklusif menuntut agar guru
menyesuaikan gaya belajar siswa yang beragam,
membuat modifikasi dan penyesuaian yang
diperlukan di berbagai aspek pendidikan, termasuk
konten kurikulum, infrastruktur, sistem
pembelajaran, protokol penilaian, dan peran
pendidik (Prajalani dkk., 2021). Ini melampaui
sekadar penyesuaian materi dan strategi
pengajaran; guru perlu menyesuaikan kurikulum
untuk memenuhi kebutuhan khusus setiap siswa
(Prajalani dkk., 2021).
Kurikulum yang fleksibel dalam pendidikan
inklusif memberikan dasar untuk rencana
pembelajaran individual yang disesuaikan dengan
kemampuan dan minat siswa (Iliyasu dkk., 2022).
Pendekatan ini menekankan pentingnya metode
pengajaran yang beragam, bahan-bahan inklusif,
dan penilaian yang adil yang memenuhi berbagai

142
kebutuhan belajar semua siswa (Iliyasu dkk., 2022).
Dalam domain pendidikan kedokteran, pemanfaatan
rencana pembelajaran individual dan serah terima
pendidikan memfasilitasi transisi dari sekolah
kedokteran ke kedokteran residensi (Heidemann
dkk., 2021). Praktik-praktik ini tidak hanya
menyediakan data tentang kinerja siswa, tetapi juga
memungkinkan penyesuaian pengalaman pelatihan
untuk sesuai dengan kebutuhan khusus mereka
(Heidemann dkk., 2021). Selain itu, konsep otonomi
dalam pembelajaran memainkan peran penting
dalam membentuk kurikulum yang fleksibel
(Чижикова, 2022). Siswa yang dilengkapi dengan
kemampuan belajar otonom memiliki kemampuan
untuk menetapkan tujuan pembelajaran mereka
sendiri, mengevaluasi kemajuan mereka, dan
beradaptasi dengan kondisi profesional yang
berkembang (Чижикова, 2022). Dalam ranah
pendidikan orang dewasa, gagasan tentang keadilan
dan inklusi menjadi dimensi fundamental dari
kesetaraan (Boyadjieva & Ilieva-Trichkova, 2017).
Meskipun telah dilakukan kemajuan dalam
memajukan keadilan dan inklusi dalam pendidikan
orang dewasa, masih ada keharusan untuk
mengatasi kurangnya representasi individu dengan
tingkat pendidikan yang lebih rendah (Boyadjieva &
Ilieva-Trichkova, 2017).
Secara keseluruhan, kolaborasi,
fleksibilitas dalam pengembangan kurikulum, dan
promosi otonomi dalam pembelajaran adalah
komponen penting dari Pendidikan Inklusif yang
berfungsi menciptakan lingkungan pendidikan yang
mendukung, beragam, dan adil yang menampung
kebutuhan dan potensi khusus semua peserta didik.

143
Prinsip-prinsip ini didasarkan pada temuan
penelitian dan relevan dalam berbagai konteks
pendidikan. Prinsip kurikulum yang fleksibel dalam
pendidikan inklusif menekankan integrasi teknologi
dan sumber daya pendidikan yang dapat disesuaikan
untuk memenuhi berbagai kebutuhan siswa (Schutz
dkk., 2008). Penggabungan teknologi ini sangat
bermanfaat bagi siswa dengan kebutuhan khusus,
karena menyediakan alat seperti aplikasi teks-ke-
suara atau pembaca layar, mengatasi kesenjangan
aksesibilitas dan memastikan peluang yang adil bagi
semua peserta didik (Schutz dkk., 2008). Dalam
pencapaian ini, kolaborasi dan kerjasama antara
guru, siswa, dan para profesional memainkan peran
penting dalam implementasi yang berhasil dari
kurikulum yang fleksibel seperti itu (Colvin dkk.,
1997). Upaya kolaboratif ini memastikan bahwa
kurikulum disesuaikan untuk memenuhi
persyaratan khusus dari setiap siswa, mendorong
penggunaan strategi pengajaran yang berbeda dan
teknologi bantu untuk mendukung beragam
pembelajar (Lourenço dkk., 2015). Selain itu,
mengadopsi kurikulum yang fleksibel memerlukan
perubahan dalam praktik pedagogis, menempatkan
penekanan yang kuat pada desain inklusif (Luke,
2021). Kurikulum inklusif tidak hanya seharusnya
mengantisipasi dan meminimalkan kebutuhan
penyesuaian individu tetapi juga seharusnya secara
proaktif mengatasi kebutuhan khusus dari
pembelajar yang beragam, menawarkan strategi
dan sumber daya untuk mendukung gaya belajar
mereka yang berbeda (Luke, 2021).
Pengembangan kurikulum yang fleksibel
dalam pendidikan inklusif menciptakan lingkungan

144
pendidikan di mana setiap siswa merasa dihargai,
diterima, dan mendapatkan dukungan yang
memadai dalam perjalanan belajarnya (Dayagbil
dkk., 2021). Pendekatan ini sangat penting mengingat
tantangan yang ditimbulkan oleh pandemi COVID-19,
karena itu menegaskan pentingnya penyesuaian
metodologi pengajaran dan pembelajaran untuk
mengatasi perkembangan lanskap pendidikan yang
berubah (Dayagbil dkk., 2021). Pendekatan
pengajaran dan pembelajaran yang fleksibel,
termasuk integrasi teknologi dan teknologi
informasi dan komunikasi kontemporer, memiliki
potensi untuk memenuhi berbagai kebutuhan
pembelajar (Dayagbil dkk., 2021). Namun, tantangan
muncul dalam implementasi pembelajaran yang
fleksibel, terutama terkait dengan keterbatasan
atau ketiadaan koneksi internet bagi sebagian siswa
(Dayagbil dkk., 2021). Meskipun ada hambatan ini,
guru telah menunjukkan ketahanan dan
kemampuan adaptasi yang luar biasa,
menyesuaikan metode pengajaran mereka dan
menggunakan platform online untuk berbagi konten
dan komunikasi (Biasutti dkk., 2021). Upaya mereka
mencakup fleksibilitas, pemecahan masalah kreatif,
dan adaptabilitas dalam perencanaan kurikulum dan
penggunaan alat-alat virtual yang efektif (Biasutti
dkk., 2021). Pengalaman guru musik selama
pandemi merupakan contoh yang mencolok,
menyoroti upaya besar yang dibutuhkan dalam
beralih ke pengajaran online, termasuk merevisi
kegiatan kurikuler dan mengelola pelajaran
instrumen (Biasutti dkk., 2021). Meskipun
pengajaran online bisa menuntut dan berpotensi
mengganggu keseimbangan antara pekerjaan dan

145
kehidupan, hal ini telah membekali guru dengan
keterampilan dan sumber daya berharga yang dapat
bermanfaat dalam skenario pengajaran tatap muka
di masa depan (Biasutti dkk., 2021). Peserta dalam
pengalaman ini telah mengakui kelangsungan dan
hasil positif yang diberikan oleh pengajaran online
selama periode potensi gangguan pendidikan
(Biasutti dkk., 2021). Pada intinya, pengembangan
kurikulum yang fleksibel dalam pendidikan inklusif
mengakui pentingnya adaptasi dan penggunaan
teknologi yang strategis untuk memastikan peluang
pendidikan yang adil bagi semua siswa. Guru telah
menunjukkan ketahanan dan kreativitas yang luar
biasa dalam menyesuaikan metode pengajaran
mereka, bahkan saat dihadapkan dengan tantangan
seperti akses internet yang terbatas.
Prinsip utama dalam Pendidikan Inklusif
adalah dukungan individu, yang mengakui dan
menghargai kebutuhan khusus dan beragam dari
setiap siswa (Buysse, 1993). Tujuan dari dukungan
individu adalah untuk menjamin bahwa setiap siswa
memiliki akses yang sama ke pendidikan
berkualitas dan peluang untuk mencapai potensi
sepenuhnya (Buysse, 1993). Dalam konteks
pendidikan inklusif, konsep ini meluas hingga untuk
memupuk persahabatan yang bermakna di antara
siswa dengan disabilitas dalam pengaturan
perawatan anak berbasis masyarakat (Buysse,
1993). Berbagai faktor, termasuk diagnosis, tingkat
perkembangan, dan karakteristik perilaku khusus,
telah ditemukan mempengaruhi status
persahabatan di antara anak-anak ini (Buysse,
1993). Selain itu, kemampuan untuk membentuk
hubungan yang bermakna dipengaruhi oleh

146
kesempatan bagi siswa ini untuk menghabiskan
waktu bersama dan lingkungan inklusif itu sendiri
(Buysse, 1993). Selain itu, implementasi pendidikan
inklusif telah menjadi norma di banyak negara,
termasuk Kanada, Eropa, dan Amerika Serikat
(Shaw, 2008). Namun, meskipun adopsi praktik
pendidikan inklusif yang luas, siswa dengan fungsi
intelektual borderline seringkali menerima layanan
pendidikan yang mendukung terbatas,
meninggalkan mereka berisiko mengalami prestasi
akademik yang rendah (Shaw, 2008). Sebagai
tanggapan, kerangka pemrograman pendidikan
telah dikembangkan untuk meningkatkan
pendidikan siswa ini, membekali mereka dengan
keterampilan ketahanan akademik (Shaw, 2008).
Dukungan individu dalam pendidikan
inklusif mencakup bantuan sosial dan emosional,
memupuk perkembangan holistik siswa (Wiener &
Tardif, 2004). Penelitian yang luas telah
menunjukkan bahwa anak-anak yang ditempatkan
dalam lingkungan yang lebih inklusif menunjukkan
peningkatan fungsi sosial dan emosional, persepsi
diri yang lebih tinggi, dan hubungan sebaya yang
lebih positif (Wiener & Tardif, 2004). Namun, perlu
dicatat bahwa tingkat dukungan pendidikan khusus
yang diberikan kepada siswa dalam penempatan
inklusif sebanding dengan yang ada di lingkungan
non-inklusif (Wiener & Tardif, 2004). Oleh karena itu,
hasil sosial dan emosional siswa dengan disabilitas
belajar tidak dapat hanya diatribusikan kepada
penempatan pendidikan khusus mereka (Wiener &
Tardif, 2004). Oleh karena itu, sangat penting bagi
distrik sekolah untuk menawarkan berbagai

147
penempatan pendidikan khusus untuk memenuhi
kebutuhan beragam siswa (Wiener & Tardif, 2004).
Pendidikan inklusif memainkan peran
penting dalam memberikan dukungan kepada siswa
yang menghadapi masalah disregulasi, seperti
Attention Deficit Hyperactivity Disorder (ADHD) dan
masalah kesehatan mental (Goodall dkk., 2022).
Pengembangan keterampilan regulasi diri menjadi
fokus utama bagi pendidik, mengingat bahwa
disregulasi dapat menyebabkan perilaku negatif dan
praktik-praktik yang berpotensi eksklusif (Goodall
dkk., 2022). Menawarkan dukungan individual dan
menciptakan lingkungan yang mendukung dapat
membantu mengatasi tantangan-tantangan ini, yang
pada akhirnya mengarah pada hasil yang positif bagi
siswa dan keluarga mereka (Goodall dkk., 2022).
Selain itu, dukungan sosial telah diidentifikasi
sebagai pengaruh signifikan terhadap sikap guru
terhadap pendidikan inklusif (Desombre dkk., 2021).
Pendidik yang merasakan tingkat dukungan sosial
yang lebih tinggi cenderung memiliki sikap dan
keyakinan positif terhadap pendidikan inklusif
(Desombre dkk., 2021). Hal ini menekankan peran
penting dalam membangun jaringan pendukung bagi
para guru untuk meningkatkan pemahaman dan
implementasi praktik inklusif mereka (Desombre
dkk., 2021).
Secara praktis, menyediakan dukungan
individu memerlukan kolaborasi yang erat antara
guru, spesialis pendidikan khusus, dan staf sekolah
lainnya (Fennick & Liddy, 2001). Upaya kolaboratif ini
penting untuk mengidentifikasi kebutuhan individu
siswa dan merancang rencana dukungan yang
sesuai (Fennick & Liddy, 2001). Rencana dukungan

148
dapat mencakup perubahan dalam metode
pengajaran, penggunaan perangkat bantu, waktu
tambahan, atau mentoring pribadi (Fennick & Liddy,
2001). Meskipun penggunaan bantuan teknologi atau
Assistive Technology (AT) telah menunjukkan
potensi besar dalam memberikan manfaat
pendidikan, psikologis, dan sosial bagi siswa dengan
disabilitas di pendidikan tinggi (McNicholl dkk., 2019),
berbagai tantangan seperti pelatihan AT yang
kurang memadai, keterbatasan perangkat, dan
kesulitan dalam mengakses dukungan eksternal
dapat menghambat penggunaannya yang efektif dan
membatasi keterlibatan dalam pendidikan tinggi
(McNicholl dkk., 2019). Praktik AT masa depan
sebaiknya menekankan pemanfaatan potensi
perangkat umum sebagai alat AT bagi semua siswa,
untuk mempromosikan inklusi dan mengurangi
stigmatisasi (McNicholl dkk., 2019).
Pengajaran kolaboratif antara guru
pendidikan umum dan guru pendidikan khusus
adalah kunci keberhasilan pendidikan inklusif
(Fennick & Liddy, 2001). Namun, guru kolaboratif
sering menghadapi kendala berupa waktu
perencanaan bersama yang terbatas, yang dianggap
penting untuk kolaborasi yang efektif (Fennick &
Liddy, 2001). Selain itu, guru pendidikan khusus dan
pendidikan umum mungkin memiliki pandangan
yang berbeda tentang tanggung jawab mereka
dalam kelas kolaboratif, dengan masing-masing
kelompok menganggap dirinya memiliki lebih
banyak tanggung jawab untuk instruksi dan
pengelolaan perilaku (Fennick & Liddy, 2001). Untuk
meningkatkan kemungkinan perencanaan dan
instruksi bersama, program pelatihan untuk

149
pengajaran kolaboratif sebaiknya mencakup
pemeriksaan menyeluruh tentang peran dan
tanggung jawab kolaboratif (Fennick & Liddy, 2001).
Mengintegrasikan perangkat mobile, seperti
iPod Touch, dalam pembelajaran bahasa telah
menunjukkan potensi dalam meningkatkan interaksi
dengan bahasa dan budaya yang dituju (Ducate &
Lomicka, 2013). Pembelajaran bahasa berbantuan
mobile atau Mobile-Assisted Language Learning
(MALL) menawarkan keuntungan pembelajaran
kapan saja, di mana saja dan memberikan
kemampuan yang mendorong keterlibatan bahasa
(Ducate & Lomicka, 2013). Aplikasi perangkat mobile
ini, yang dikenal sebagai m-learning, semakin
mendapat perhatian dan dapat memfasilitasi
pembelajaran dalam pengaturan pendidikan (Ducate
& Lomicka, 2013). Penyediaan teknologi bantu dan
perangkat bantu memainkan peran penting dalam
memungkinkan siswa dengan disabilitas
mengakses pendidikan (Ndlovu, 2021). Namun,
efektivitas penyediaan AT tergantung pada faktor
seperti pelatihan, kecukupan perangkat, dan akses
ke dukungan (Ndlovu, 2021). Teori Disabilitas Kritis
atau Critical Disability Theory (CDT) menawarkan
kerangka kerja yang berharga untuk menganalisis
penyediaan AT dan perangkat bantu,
mengeksplorasi dampaknya pada pengalaman
belajar siswa (Ndlovu, 2021).
Secara keseluruhan, dukungan individu
dalam pendidikan inklusif memerlukan kolaborasi
erat di antara pendidik dan spesialis untuk
merancang rencana dukungan yang disesuaikan.
Integrasi teknologi bantu dan perangkat dapat
signifikan meningkatkan hasil pendidikan bagi siswa

150
dengan disabilitas. Pengajaran kolaboratif dan
perencanaan bersama antara guru pendidikan
umum dan pendidikan khusus adalah integral untuk
keberhasilan pendidikan inklusif. Integrasi
perangkat mobile dalam pembelajaran bahasa
menawarkan peluang untuk keterlibatan dan
interaksi. Penyediaan teknologi bantu dan perangkat
harus dipandu oleh Teori Disabilitas Kritis untuk
memastikan dukungan yang efektif bagi siswa
dengan disabilitas.

B. Perencanaan untuk Memenuhi Kebutuhan


Semua Siswa
Penilaian terhadap kebutuhan khusus siswa
sangat penting dalam persiapan untuk pendidikan
inklusif. Untuk mencapai tujuan ini, pendidik dan tim
pendidik melakukan penilaian yang mendalam
dengan tujuan mengidentifikasi kebutuhan yang
berbeda dari setiap siswa, termasuk kebutuhan
khusus, modalitas pembelajaran yang disukai, dan
area kelemahan akademik (Shafira dkk., 2021).
Prosedur penilaian bertujuan untuk memahami
secara menyeluruh aspek akademik, sosial,
emosional, dan fisik dari setiap siswa (Shafira dkk.,
2021). Untuk menekankan pentingnya penilaian
kebutuhan ini, sebuah studi yang dilakukan oleh
Shafira dkk. (2021) menyoroti peran krusial dari
instruktur bayangan dalam memberikan dukungan
kepada anak-anak dengan kebutuhan khusus.
Selain itu, studi ini menekankan pentingnya
pengembangan program pembelajaran yang
disesuaikan dengan kebutuhan khusus siswa,
sebagaimana ditentukan selama proses penilaian.
Selain itu, Gresham (2014) memberikan wawasan

151
tentang hambatan signifikan yang dihadapi siswa
dengan kesulitan emosional dan perilaku saat
berusaha memenuhi harapan akademik yang tinggi.
Gresham (2014) menekankan pentingnya
kompetensi sosial-emosional dan menyoroti peran
penting penilaian dan penanganan keterampilan
sosial dalam mengembangkan kompetensi ini
(Gresham, 2014).
Pengakuan terhadap kebutuhan khusus,
termasuk disabilitas, merupakan elemen penting
dalam proses penilaian kebutuhan. Proses
mengidentifikasi bantuan yang diperlukan untuk
anak-anak dengan disabilitas dapat melibatkan
melakukan penilaian khusus untuk menentukan
jenis dukungan yang mereka butuhkan. Ini bisa
meliputi penyediaan perangkat bantu atau
penyesuaian pada kurikulum. Ryan dan Scior (2014)
melakukan tinjauan literatur yang mengkaji sikap
mahasiswa kedokteran terhadap individu dengan
disabilitas intelektual. Tinjauan ini menekankan
pentingnya memahami sikap-sikap ini, karena
mereka memiliki dampak pada aksesibilitas
pelayanan kesehatan dan ketidaksetaraan
kesehatan individu dengan disabilitas intelektual di
masa depan. Tinjauan ini juga membahas pengaruh
potensial dari intervensi pembelajaran terhadap
sikap mahasiswa kedokteran terhadap individu
dengan disabilitas intelektual. Sikap mahasiswa
kedokteran Australia tahun keempat terhadap
berinteraksi dengan individu dengan disabilitas
dievaluasi dalam studi yang dilakukan oleh Ryan dan
Scior (2014). Studi ini menguji sikap mahasiswa baik
sebelum maupun setelah pelatihan mereka tentang
disabilitas perkembangan dan keterampilan

152
komunikasi. Temuan dari studi tersebut
menunjukkan bahwa mahasiswa menunjukkan
tingkat kenyamanan yang lebih tinggi dalam
berinteraksi dengan individu dengan disabilitas
setelah intervensi.
Selain itu, konsep penilaian kebutuhan
melibatkan pemahaman komprehensif terhadap
gaya belajar yang berbeda yang ditunjukkan oleh
siswa. Setiap siswa memiliki pendekatan khusus
dalam memperoleh dan menyerap informasi.
Beberapa individu mungkin lebih baik ketika
disajikan dengan teknik pembelajaran visual,
sementara yang lain mungkin menunjukkan respons
yang lebih baik ketika terpapar dengan metode
instruksional auditori atau kinestetik. Dengan
memahami gaya belajar yang berbeda ini, instruktur
dapat mengembangkan pengalaman belajar yang
lebih cocok dan lebih efektif.
Selain ruang lingkup akademiknya,
penilaian kebutuhan juga harus melibatkan
identifikasi batasan atau hambatan yang mungkin
dihadapi oleh siswa. Masalah ini dapat mencakup
berbagai domain tertentu, seperti membaca,
menulis, berbicara di depan umum, atau manajemen
waktu. Dengan memahami batasan ini, instruktur
memiliki kemampuan untuk memberikan bantuan
tambahan yang diperlukan, membantu siswa
mengatasi tantangan ini, dan mencapai potensi
terbaik mereka. Untuk menunjukkan pentingnya
pengakuan atas kelemahan ini, Pineteh (2013)
melakukan studi yang mengkaji hambatan yang
dihadapi oleh mahasiswa sarjana di sebuah
universitas di Afrika Selatan saat melakukan
penulisan akademik. Studi ini menekankan

153
kebutuhan untuk mengimplementasikan inisiatif
pengembangan akademik yang bertujuan
meningkatkan kemampuan menulis siswa. Pineteh
(2013) berpendapat untuk mengadakan workshop
membaca dan menulis akademik yang ketat serta
peningkatan umpan balik formatif. Dalam sebuah
studi yang dilakukan oleh Anbarasi, dkk. (2015),
menguji efektivitas penggunaan instruksi
berdasarkan gaya belajar untuk meningkatkan
pemahaman siswa tentang fisiologi pernapasan.
Studi ini menekankan pentingnya mengenali gaya
belajar individu siswa dan mengadaptasi
pendekatan instruksional sesuai untuk
memaksimalkan pencapaian pembelajaran
(Anbarasi, dkk., 2015).
Pemenuhan sumber daya yang diperlukan
adalah komponen penting dalam merencanakan
pendidikan inklusif dengan efektif. Ini melibatkan
identifikasi dan pengadaan sumber daya yang
diperlukan untuk mendukung siswa dengan efektif.
Dengan menekankan pentingnya aspek ini, sebuah
investigasi ilmiah yang dilakukan oleh Zagona dkk.
(2017) menggali pandangan pendidik tentang
kesiapan mereka untuk pendidikan inklusif dan
praktik kolaboratif. Hasil penelitian menekankan
pentingnya kebutuhan sumber daya dan dukungan
yang cukup untuk melaksanakan praktik inklusif
secara efektif dalam pengaturan pendidikan
(Zagona dkk., 2017).
Penyediaan sumber daya yang penting bagi
siswa dengan gangguan adalah aspek fundamental
dari pendidikan inklusif. Penyediaan sumber daya,
seperti peralatan khusus dan teknologi bantu,
memainkan peran penting dalam meningkatkan

154
kemampuan siswa untuk terlibat dengan kurikulum
dan berpartisipasi aktif dalam kegiatan pendidikan.
Penelitian yang dilakukan oleh Soukup dkk. (2007)
menguji keterjangkauan kurikulum umum bagi
siswa dengan disabilitas, menyoroti kebutuhan
penting untuk penyesuaian kurikulum dan
akomodasi untuk memfasilitasi keterlibatan dan
kemajuan mereka (Soukup dkk., 2007). Studi ini
menekankan pentingnya menyesuaikan sumber
daya untuk mengatasi kebutuhan khusus siswa
dengan disabilitas.
Selain itu, Phukubje dan Ngoepe (2016)
memberikan wawasan tentang kenyamanan dan
aksesibilitas layanan perpustakaan bagi siswa yang
memiliki disabilitas. Penelitian yang dilakukan oleh
Phukubje dan Ngoepe (2016) menekankan perlunya
aksesibilitas fisik dan penawaran titik masuk
alternatif serta layanan yang dirancang khusus
untuk memenuhi kebutuhan khusus siswa dengan
disabilitas. Studi-studi tersebut di atas secara
kolektif menekankan pentingnya sumber daya
khusus, termasuk penyesuaian kurikulum, teknologi
bantu, dan layanan perpustakaan yang dapat
diakses, dalam memberikan dukungan kepada
siswa dengan disabilitas saat mereka berusaha
untuk mengakses dan berpartisipasi aktif dalam
kurikulum pendidikan umum.
Penerapan pendidikan inklusif bergantung
pada ketersediaan sumber daya yang diperlukan,
termasuk pekerja pendukung dan peralatan khusus.
Pekerja pendukung, seperti asisten pengajaran dan
instruktur pendidikan khusus, memiliki peran
penting dalam membantu anak-anak yang memiliki
disabilitas dan membutuhkan dukungan tambahan

155
dalam pembelajaran mereka. Hunt dkk. (2004)
menyatakan bahwa individu-individu tersebut telah
memberikan kontribusi signifikan dalam berbagai
bidang, termasuk memberikan bantuan yang
dipersonalisasi, membuat penyesuaian di ruang
kelas, dan membantu dalam pelaksanaan rencana
pendidikan individu (RPI). Selanjutnya, sebuah
investigasi ilmiah yang dilakukan oleh Martin dan
Alborz (2014) menguji pandangan asisten
pengajaran tentang kebutuhan pembelajaran dan
pengembangan pribadi mereka dalam membantu
siswa dengan kebutuhan pembelajaran yang rumit.
Hasilnya menekankan pentingnya pelatihan yang
memadai dan keahlian untuk memberikan bantuan
yang tepat kepada siswa dengan disabilitas (Martin
& Alborz, 2014). Selain itu, sebuah studi yang
dilakukan oleh Alnahdi dkk. (2021) menguji persepsi
guru tentang sumber daya yang tersedia untuk
mereka dan bagaimana persepsi ini mempengaruhi
pendidikan inklusif. Temuan dari penelitian ini
menunjukkan bahwa persepsi guru memainkan
peran kunci dalam membentuk sikap mereka
terhadap inklusi dan keyakinan mereka tentang
kemampuan mereka untuk menerapkan praktik
inklusif secara efektif (Alnahdi dkk., 2021). Dalam
ranah pendidikan inklusif, sumber daya-sumber
daya ini secara bersama-sama menekankan
kontribusi signifikan yang diberikan oleh personel
pendukung dan sumber daya. Mereka menekankan
sifat krusial dari dukungan yang disesuaikan,
pelatihan yang memadai, dan persepsi yang
menguntungkan tentang sumber daya yang tersedia
untuk memenuhi berbagai kebutuhan siswa dengan
disabilitas.

156
Aspek kunci dalam perencanaan pendidikan
inklusif adalah proses penting dalam memperoleh
sumber daya yang diperlukan untuk memadai
memenuhi kebutuhan setiap siswa. Hal ini
melibatkan proses mengidentifikasi dan
memperoleh sumber daya yang diperlukan untuk
mendukung siswa dengan efektif. Kontribusi yang
diberikan oleh Colvin dkk. (1997) berkaitan dengan
peningkatan perilaku transisi di sekolah dasar
melalui implementasi pengawasan aktif dan teknik
koreksi sebelumnya. Penelitian yang dilakukan oleh
Colvin dkk. (1997) menyoroti efektivitas langkah-
langkah tersebut dalam mengatasi perilaku
bermasalah dan meningkatkan prestasi siswa.
Selanjutnya, sebuah studi yang dilakukan oleh
Leifler (2020) menguji kemampuan instruktur untuk
menciptakan lingkungan pembelajaran inklusif.
Penelitian ini menekankan bahwa kesempatan
pengembangan profesional yang berkaitan dengan
pendidikan inklusif seringkali tidak memadai, yang
mengakibatkan kesulitan saat mencoba mengadopsi
strategi inklusif (Leifler, 2020). Sumber daya-
sumber daya yang disebutkan di atas secara
bersama-sama menekankan pentingnya
memastikan sumber daya yang cukup untuk
pendidikan inklusif sambil juga mencatat kesulitan
dan batasan yang mungkin dihadapi oleh instruktur
dalam upaya mereka untuk menciptakan lingkungan
pembelajaran inklusif.
Dalam konteks pendidikan inklusif,
penyediaan sumber daya yang diperlukan memiliki
kepentingan utama. Sumber daya ini mencakup
berbagai alat, individu, dan lingkungan fisik yang
penting untuk memastikan keterlibatan

157
komprehensif siswa yang beragam dalam proses
pendidikan. Penerapan praktik pembelajaran
kooperatif sangat penting dalam memberikan
dukungan bagi siswa pendidikan khusus dan
remedial (Jenkins dkk., 2003). Penting untuk
mempertimbangkan secara matang alokasi tenaga
pendukung, seperti para profesional, untuk
mencegah berlanjutnya paradigma pendidikan
khusus dan sebaliknya mendorong inklusi yang
komprehensif (Whitburn, 2013). Selain itu,
pentingnya menyediakan layanan dan saran
dukungan siswa tidak dapat diabaikan baik dalam
pencapaian akademik maupun kesejahteraan siswa
(Maimane, 2016). Pentingnya pengetahuan, sikap,
dan pelatihan guru sangat krusial dalam promosi
gaya hidup sehat dan penanganan kebutuhan
beragam siswa (Cheng & Wong, 2015). Pertimbangan
bantuan siswa dan berbagai kebutuhan siswa harus
dimasukkan ke dalam proses jaminan kualitas
dalam pendidikan tinggi (Villa dkk., 2014).
Kesimpulannya, mengatasi kebutuhan khusus siswa
dengan kebutuhan pendidikan khusus (Suter dkk.,
2019; Sokolová dkk., 2022) memerlukan perubahan
pada kurikulum, penyediaan akomodasi yang
diperlukan, dan penggunaan model pengiriman
layanan yang efisien (Suter dkk., 2019; Sokolová dkk.,
2022).
Pengembangan Rencana Pembelajaran
Individual (RPI) adalah komponen penting dalam
perencanaan pendidikan inklusif. Rencana
Pembelajaran Individual (RPI) berfungsi sebagai
panduan yang disesuaikan, dengan cermat
menguraikan tujuan pendidikan yang berbeda,
pendekatan pengajaran, dan penyesuaian khusus

158
untuk mengatasi kebutuhan individu siswa. Studi
yang dilakukan oleh Pulford dan Sohal (2006)
menguji dampak kualitas kepribadian pada rasa
percaya diri siswa terhadap kemampuan akademik
mereka, khususnya dalam hubungannya dengan
penilaian faktor-faktor yang terkait dengan Rencana
Pembelajaran Individual (RPI). Menurut Pulford dan
Sohal (2006), temuan penelitian mereka
menunjukkan korelasi positif antara kualitas
kepribadian, khususnya kesungguhan dan
keterbukaan, dengan peningkatan tingkat percaya
diri dalam kemampuan membaca dan menulis.
Guardiola dkk. (2016) melakukan studi yang
berbeda untuk menguji efek Rencana Pembelajaran
Individual (RPI) pada rotasi klinis tingkat lanjut
mahasiswa kedokteran senior. Hasilnya menyoroti
efektivitas RPI sebagai struktur yang bermanfaat
untuk tujuan pendidikan dengan mendorong
partisipasi aktif dan interaksi berarti antara siswa
dan anggota fakultas (Guardiola dkk., 2016).
Selanjutnya, Solberg dkk. (2011) menguraikan
karakteristik dan pentingnya Rencana
Pembelajaran Individual (RPI) sebagai pendekatan
yang potensial efektif untuk intervensi karir. Solberg
dkk. (2011) menyatakan bahwa RPI memainkan
peran penting dalam membantu siswa mengenali
pentingnya usaha akademik mereka dalam
mencapai tujuan profesional dan pribadi mereka,
yang menghasilkan keterlibatan yang lebih tinggi
dalam pengalaman pendidikan.
Untuk memulai proses perumusan Rencana
Pembelajaran Individual (RPI), penting untuk
melakukan evaluasi menyeluruh terhadap
kapasitas, bakat, kekurangan, dan modalitas

159
pembelajaran yang disukai siswa (Gilakjani, 2012).
Evaluasi tersebut memberikan pemahaman yang
komprehensif kepada pendidik tentang tuntutan
khusus dan area-area di mana siswa memerlukan
bantuan yang fokus (Gilakjani, 2012). Proses
penilaian tersebut dapat melibatkan partisipasi
guru, profesional, dan orang tua atau wali siswa
secara kolaboratif (Gilakjani, 2012).
Studi oleh Gilakjani (2012) menekankan
pentingnya mencocokkan gaya pengajaran dengan
gaya belajar siswa dan menyoroti potensi
peningkatan hasil belajar melalui keselarasan ini.
Pendidik dapat meningkatkan taktik pengajaran
mereka dan menyesuaikan dengan kebutuhan
individu dengan memahami pola belajar siswa
(Gilakjani, 2012). Selain itu, Pulford dan Sohal (2006)
menekankan dampak sifat kepribadian pada rasa
percaya diri siswa terhadap kemampuan akademik
mereka. Mereka menemukan bahwa atribut tertentu
terkait dengan peningkatan percaya diri dalam bakat
akademik tertentu, sehingga berfungsi sebagai
prediktor positif (Pulford & Sohal, 2006).
Selain itu, penelitian sebelumnya telah
menunjukkan bahwa Rencana Pembelajaran
Individual (RPI) dapat menjadi instrumen berharga
dalam memfasilitasi pembelajaran mandiri dan
memfasilitasi penetapan tujuan oleh siswa (Shepard
dkk., 2012). Menurut Shepard dkk. (2012), RPI
memfasilitasi siswa dalam mengenali bidang
keahlian mereka dan area yang perlu diperbaiki,
serta dalam menetapkan tujuan pendidikan yang
dapat dicapai. Metode RPI ditandai oleh pertemuan
dan dialog yang sering antara siswa dan
pembimbing, yang berfungsi untuk memfasilitasi

160
evaluasi kemajuan dan perubahan dalam tujuan
(Shepard dkk., 2012). Selain itu, Bardick dkk. (2006)
menekankan perlunya program perencanaan karir
yang khusus disesuaikan untuk anak-anak di
sekolah menengah pertama. Menurut Bardick dkk.
(2006), program-program ini melibatkan evaluasi
menyeluruh terhadap tujuan dan rencana karir
siswa.
Pengembangan Rencana Pembelajaran
Individual (RPI) terjadi setelah proses penilaian, di
mana rencana ini dengan hati-hati disesuaikan
untuk menargetkan kebutuhan khusus yang telah
ditemukan. Rencana ini mencakup tujuan
pembelajaran yang khusus sesuai dengan tingkat
sekolah dan aspirasi pendidikan siswa. Selain itu,
melibatkan serangkaian taktik dan penyesuaian
yang personal yang bertujuan untuk memfasilitasi
siswa dalam memperoleh pengetahuan dan
berpartisipasi aktif dalam program pendidikan
standar. Phelps dkk. (2011) menyarankan bahwa
strategi-strategi ini bisa mencakup penyesuaian
pada tugas-tugas, perpanjangan waktu penilaian,
penggunaan teknologi bantu, atau penggunaan
metodologi pengajaran yang khusus.
Evaluasi dan revisi berkala terhadap
Rencana Pembelajaran Individual (RPI) sangat
penting untuk menjaga efikasitas berkelanjutan,
karena memungkinkan penyesuaian yang
diperlukan sebagai respons terhadap
perkembangan kebutuhan dan perkembangan
siswa. Kolaborasi yang berkelanjutan antara
pendidik, spesialis, dan keluarga memiliki peran
penting dalam pemantauan efektivitas rencana dan
fasilitasi modifikasi yang diperlukan. Penelitian Nolfi

161
dkk. (1994) tentang hubungan rumit antara
pembelajaran dan evolusi dalam jaringan saraf
mengungkapkan hubungan dinamis antara
kebugaran dan permukaan pembelajaran.
Pernyataan tersebut menekankan gagasan bahwa
orang yang aktif dalam pembelajaran berkelanjutan
sepanjang hidup mereka memiliki potensi untuk
meningkatkan kemampuan prediktif dan
kesejahteraan umum (Nolfi dkk., 1994). Namun,
proses pembelajaran tidak tanpa kekurangannya,
karena dapat berpotensi meningkatkan
ketidakandalan di antara individu yang berevolusi
(Nolfi dkk., 1994).
Kieft dkk. (2006) menguji dampak metode
menulis siswa terhadap pengembangan
keterampilan interpretasi sastra dalam kerangka
kerja alternatif. Penelitian oleh Kieft dkk. (2006)
menekankan efektivitas kurikulum yang
dimodifikasi yang mencakup perencanaan strategi
menulis, yang menghasilkan peningkatan
kemampuan dalam interpretasi sastra. Bahan-
bahan yang disebutkan di atas secara kolektif
menekankan pentingnya yang paling tinggi dari
secara konsisten menilai dan memodifikasi
Rencana Pembelajaran Individual (RPI),
menggambarkan interaksi rumit antara
pembelajaran, evolusi, dan karakteristik adaptif.
Selain itu, mereka menekankan perlunya
mempertimbangkan strategi menulis siswa ketika
merumuskan intervensi pendidikan.
Pembentukan rencana pembelajaran
individual (RPI) merupakan elemen fundamental
dalam struktur perencanaan pendidikan inklusif.
Rencana-rencana yang disesuaikan ini

162
memungkinkan pendidik untuk merancang pelatihan
yang memperhatikan berbagai kebutuhan siswa,
termasuk mereka yang memiliki disabilitas atau
tantangan belajar tambahan, sehingga
mempromosikan akses pendidikan yang adil dan
inklusif yang bermakna bagi mereka. Meskhi dkk.
(2019) melakukan studi yang mendalami
penggunaan e-learning dalam konteks pendidikan
tinggi inklusif, memberikan wawasan berharga.
Studi ini menekankan pentingnya mengevaluasi
kelayakan dan batasan penggunaan e-learning
dalam konteks pendidikan inklusif sambil
mempertimbangkan keadaan institusi yang berbeda
di tingkat nasional. Selain itu, penelitian ini
menyoroti pentingnya keterkaitan sosial dan
informasional yang sangat penting dalam
masyarakat, dengan menekankan dampak aspek-
aspek tersebut pada kemajuan dan interpretasi e-
learning dalam pendidikan tinggi dengan fokus pada
inklusivitas.
Selain itu, Meskhi dkk. (2019) secara
ekstensif menguji berbagai aspek, manfaat
potensial, dan kendala terkait implementasi e-
learning dalam konteks pendidikan tinggi, dengan
fokus pada inklusivitas. Hasilnya memberikan
pengetahuan yang signifikan dan berguna yang
dapat diterapkan baik pada universitas-universitas
tertentu maupun dalam pengembangan inisiatif
nasional untuk kemajuan pendidikan tinggi. Selain
itu, penelitian ini menekankan kapasitas
transformatif dari pembelajaran elektronik (e-
learning) dalam mengatasi hambatan sosial dan
budaya, sehingga memfasilitasi inklusi individu
dengan disabilitas dalam jaringan masyarakat.

163
Penggunaan e-learning telah muncul sebagai
instrumen yang kuat untuk memfasilitasi kemajuan
inklusi dan mempromosikan keterlibatan aktif
dalam aktivitas sosial. Sebagai kesimpulan,
sumber-sumber ini secara kolektif menekankan
perlunya mengakui e-learning sebagai pendorong
perbaikan pendidikan inklusif. Pentingnya
mengevaluasi potensi, batasan, dan keterkaitan
berbagai faktor ditekankan untuk berhasil
menerapkan e-learning dalam konteks pendidikan
tinggi inklusif. Pendidikan inklusif, yang dikenal
dengan fitur-fiturnya yang khusus, menempatkan
tuntutan khusus pada metode dan prinsip-prinsip
pembelajaran, termasuk e-learning. Kemajuan e-
learning dalam pendidikan inklusif secara besar-
besaran dipengaruhi oleh efek kebijakan
pengembangan pendidikan nasional (Gaebel dkk.,
2014) dan perubahan dalam lanskap digital global.
Oleh karena itu, perlu untuk menilai potensi
dan batasan e-learning dalam konteks pendidikan
inklusif, dengan mempertimbangkan kerangka
institusi nasional yang khusus. Dengan mengacu
pada konsep-konsep yang berasal dari ekonomi
evolusioner dan teori institusi, studi ini
mengeksplorasi potensi pengintegrasian e-learning
ke dalam pendidikan tinggi inklusif. Penelitian
empiris yang dilakukan di dalam sistem pendidikan
tinggi inklusif Rusia memberikan bukti lebih lanjut
bahwa adopsi dan kemajuan praktik e-learning
sangat terkait dengan tingkat keterkaitan sosial dan
informasional dalam masyarakat yang lebih luas.
Selain itu, hasil penelitian yang menggambarkan
berbagai aspek, peluang, dan kendala e-learning
dalam konteks pendidikan tinggi inklusif memiliki

164
implikasi praktis. Mereka menunjukkan cara untuk
meningkatkan efektivitas pada tingkat institusi dan
membantu membentuk kebijakan nasional untuk
meningkatkan pendidikan tinggi. Mengingat bahwa
pendidikan inklusif semakin penting secara global
dan bahwa belum banyak penelitian tentang cara
mengintegrasikan dan menggunakan e-learning
dalam pengaturan ini, hasil penelitian ini dapat
membantu dalam perencanaan strategis baik pada
tingkat nasional maupun lokal.
Pada saat yang sama, konsep dasar
pendidikan inklusif melampaui fokus semata pada
menciptakan strategi pembelajaran yang
disesuaikan dan mencakup aspek penting persiapan
guru. Pendirian lingkungan pendidikan inklusif, di
mana semua siswa dapat berkembang, bergantung
pada sikap pendidik dan keyakinan mereka tentang
kecukupan struktur dukungan (Ewing & Kwoka,
2013). Menurut Ewing dan Kwoka (2013), ada korelasi
positif antara sikap yang mendukung terhadap
inklusi dan peningkatan tingkat kepuasan dan
kohesi, serta penurunan konflik, kompetitivitas, dan
masalah kelas. Selain itu, telah diamati bahwa
pendidik yang merasa mendapatkan tingkat
dukungan yang lebih besar, baik dari dalam institusi
pendidikan mereka maupun dari sumber eksternal,
lebih mungkin memiliki sikap positif terhadap
konsep inklusi (Ewing & Kwoka, 2013). Secara
signifikan, lingkungan pembelajaran di dalam kelas
berpengaruh besar pada kecenderungan guru untuk
mengakomodasi anak-anak dengan kebutuhan
pendidikan khusus atau Special Educational Needs
(SEN) (Ewing & Kwoka, 2013). Menurut Ewing dan
Kwoka (2013), keberadaan suasana kelas yang baik

165
berkontribusi pada kemauan yang lebih tinggi di
antara guru untuk memasukkan siswa dengan
kebutuhan pendidikan khusus.
Temuan-temuan di atas menunjukkan
peluang potensial untuk mempromosikan
pendidikan inklusif. Namun, disarankan agar
penelitian eksperimental di masa depan dilakukan
untuk lebih mengeksplorasi dampak khusus dari
efek ini dan mempertimbangkan faktor-faktor
signifikan lainnya (Ewing & Kwoka, 2013).
Pentingnya pelatihan guru dalam mempromosikan
sikap yang baik terhadap inklusi dan menciptakan
lingkungan sekolah inklusif menjadi jelas. Sikap
guru secara inheren terkait dengan lingkungan
pembelajaran di dalam kelas, sehingga berpengaruh
pada metodologi pengajaran dan membentuk
atmosfer pendidikan yang tercipta.
Penyediaan pelatihan bagi para guru
memainkan peran penting dalam membentuk
lingkungan kelas inklusif yang mendorong
keberhasilan akademik dan kesejahteraan semua
anak. Program pelatihan seharusnya memberikan
pengetahuan dan keterampilan yang diperlukan
kepada pendidik untuk mengenali anak-anak yang
mungkin memerlukan bantuan tambahan,
mengubah pendekatan pendidikan, dan
melaksanakan modifikasi yang sesuai. Penelitian
O'Reilly dan Milner (2015) berfokus pada
pemeriksaan dukungan yang diperlukan bagi siswa
dari latar belakang budaya dan linguistik yang
beragam atau Culturally and Linguistically Diverse
(CALD) selama penempatan klinis mereka.
Penelitian ini bertujuan untuk memberikan
wawasan tentang tantangan dan faktor-faktor yang

166
entah menghambat atau membantu siswa CALD
dalam pengalaman klinis mereka. Pernyataan ini
menekankan pentingnya yang sangat penting dari
mengimplementasikan solusi yang secara khusus
menargetkan penyelesaian hambatan budaya dan
linguistik dalam pengaturan pendidikan (O'Reilly &
Milner, 2015).
Carrington dkk. (2014) juga menguji potensi
program layanan pembelajaran kritis untuk
membawa perubahan dalam pengembangan guru.
Mereka menekankan pentingnya refleksi kritis dan
integrasi nilai-nilai inklusi dalam proyek pelatihan
guru. Menurut Carrington dkk. (2014), elemen-
elemen ini memiliki peran penting dalam
memfasilitasi implementasi pendekatan pengajaran
inklusif. Yakovleva dkk. juga meneliti pelatihan guru
dalam konteks pendidikan inklusif. Mereka
menunjukkan betapa pentingnya bagi calon guru
memiliki keterampilan terkait inklusi dan
pemahaman yang halus tentang keberagaman
(Yakovleva dkk., 2021).
Efektivitas pelatihan guru mencakup
pembentukan lingkungan kelas yang inklusif dan
mendukung yang mempromosikan empati,
penghargaan, dan penerimaan di antara siswa
sambil juga aktif mengatasi insiden diskriminasi
atau pengecualian. Dewsbury dan Brame (2019)
menyajikan panduan pedagogis yang didasarkan
pada data empiris, yang dirancang khusus untuk
pendidik sains. Panduan ini menekankan
pengembangan inklusivitas, dengan penekanan
khusus pada mengatasi kesenjangan terkait ras,
etnis, dan gender. Panduan ini memberikan prioritas
pada pengembangan kesadaran diri dan empati

167
pada pendidik sebagai komponen fundamental yang
harus diatasi sebelum membahas strategi kelas.
Selain itu, penelitian ini menguji signifikansi yang
sangat penting dari atmosfer kelas dalam
memfasilitasi perasaan keberadaan, kompetensi,
dan keterlibatan siswa dalam pengaturan
pendidikan (Dewsbury & Brame, 2019).
Selanjutnya, penelitian yang dilakukan oleh
Hellmich dkk. (2019) menguji dampak sikap guru
sekolah dasar dan keyakinan akan efikasi diri
terhadap implementasi praktik inklusif dalam
pengaturan kelas sehari-hari. Penelitian yang
dilakukan oleh Hellmich dkk. (2019) menekankan
pengaruh signifikan bahwa sikap guru terhadap
inklusi dan tujuan mereka tentang pendidikan
inklusif memiliki pada praktik pendidikan sehari-
hari. Selain itu, penelitian yang dilakukan oleh Fallon
dkk. (2021) mengkaji hubungan antara pandangan
pendidik tentang responsivitas budaya, faktor risiko
siswa, dan perilaku kelas. Penelitian yang dilakukan
oleh Fallon dkk. (2021) menekankan signifikansi
program pengembangan profesional yang efektif
dalam meningkatkan responsivitas budaya guru. Ini,
pada gilirannya, memfasilitasi akses yang sama ke
dukungan perilaku dalam pengaturan pendidikan,
yang mengakibatkan penurunan rujukan disiplin.
Persiapan yang komprehensif bagi para
pendidik harus mencakup integrasi yang mahir dari
teknologi bantu dan sumber daya khusus untuk
meningkatkan peluang pendidikan bagi anak-anak
dengan disabilitas. Penguasaan keterampilan ini
penting untuk menciptakan lingkungan pendidikan
inklusif yang memungkinkan semua siswa terlibat
dengan kurikulum dan berpartisipasi secara efektif.

168
Menurut Hocutt (1996), penting untuk memberikan
pelatihan komprehensif dan disesuaikan, bersama
dengan pemantauan perkembangan siswa dengan
cermat, untuk mendukung anak-anak dengan
keterbatasan. Penelitian ini menekankan pentingnya
yang sangat besar dalam memberikan dukungan
menyeluruh kepada pendidik dan kebutuhan yang
sangat penting dari layanan pendidikan khusus
(Hocutt, 1996). Selanjutnya, Lersilp (2016) mengkaji
penggunaan teknologi bantu di kalangan mahasiswa
dengan disabilitas di wilayah Thailand Utara.
Penelitian ini menekankan perlunya mengatasi
masalah mahasiswa terkait akuisisi pengetahuan
dan penggunaan teknologi bantu. Selain itu,
penelitian ini menekankan signifikansi komputer
desktop dan notebook pribadi sebagai alat teknologi
bantu yang sangat diinginkan (Lersilp, 2016).
Selain itu, penting bagi pendidik untuk
terlibat dalam pengembangan profesional
berkelanjutan untuk tetap terkini mengenai strategi
pendidikan inklusif yang paling berhasil dan untuk
memberikan dukungan yang efektif bagi anak-anak
dengan berbagai kebutuhan. Langkah tersebut
menjamin bahwa pendidik memiliki pengetahuan,
keterampilan, dan sumber daya yang diperlukan
untuk merespons dengan efektif terhadap
perkembangan situasi dan membentuk lingkungan
inklusif dalam komunitas sekolah. You dkk. (2019)
menekankan dampak signifikan pelatihan guru dan
lokakarya dalam meningkatkan sikap positif guru
terhadap inklusi dan pandangan mereka tentang
pendidikan inklusif. Penelitian yang dilakukan
menekankan perlunya pelatihan praktis dan
dukungan menyeluruh bagi pendidik yang bekerja di

169
bidang pendidikan inklusif. Selanjutnya, Pirchio dkk.
(2022) menekankan perlunya menerapkan
reformasi pendidikan yang komprehensif yang fokus
pada peningkatan kemampuan sekolah untuk
mendorong praktik inklusi. Penelitian ini
memberikan wawasan tentang pentingnya
memupuk pemahaman kolektif tentang pendidikan
inklusif di kalangan administrator, pendidik,
personel, keluarga, dan anggota masyarakat. Selain
itu, Istiarsyah dkk. (2019) menekankan pentingnya
program pelatihan guru dalam meningkatkan sikap
guru terhadap pendidikan inklusif, dengan
menekankan perlunya pelatihan dan pengembangan
profesional dalam pendekatan pedagogis inklusif
yang efektif untuk membentuk lingkungan belajar
inklusif yang efektif. Secara ringkas, penyediaan
pelatihan guru adalah elemen penting dalam
pengembangan dan implementasi strategi
pendidikan inklusif. Program ini mempersiapkan
pendidik dengan pengetahuan, keterampilan, dan
sikap yang diperlukan untuk memberikan
lingkungan belajar inklusif, yang memungkinkan
semua siswa mencapai potensi maksimum mereka
dan memupuk perasaan kepemilikan.
Pemantauan dan evaluasi yang
berkelanjutan adalah komponen penting dalam
perencanaan dan pelaksanaan pendidikan inklusif
yang efektif. Evaluasi berkala terhadap efektivitas
pendekatan inklusif, bersamaan dengan modifikasi
yang tepat, menjamin bahwa setiap siswa menerima
bantuan yang penting bagi perkembangan
intelektual dan interpersonal mereka. Penelitian
Bunbury tahun 2018 mendalam tentang pentingnya
desain kurikulum inklusif dalam pendidikan tinggi

170
(PT) dan dampak dari melakukan perubahan yang
tepat terhadap promosi praktek inklusif. Penelitian
ini menyoroti kebutuhan penting bagi anggota staf
untuk memperoleh pengetahuan, pelatihan, dan
kesadaran yang diperlukan tentang disabilitas agar
dapat memenuhi kebutuhan siswa dengan
disabilitas secara memadai (Bunbury, 2018). Selain
itu, dilakukan studi kualitatif oleh Bunbury (2018),
dimana wawancara dilakukan dengan anggota staf
dari sekolah hukum. Tujuan dari studi ini adalah
untuk mendapatkan wawasan tentang sikap mereka
dan memberikan rekomendasi praktis untuk
implementasi praktik inklusif dalam desain
kurikulum. Menurut Bunbury (2018), hasil penelitian
menunjukkan bahwa implementasi kurikulum
inklusif dapat menyebabkan penurunan yang
signifikan dalam kebutuhan untuk akomodasi yang
wajar.
Praktik pemantauan dan evaluasi dalam
konteks pendidikan inklusif melibatkan pengamatan
sistematis dan penilaian kemajuan akademis dan
pertumbuhan sosial di antara siswa dengan
berbagai kebutuhan. Penelitian yang dilakukan oleh
Lee dkk. (2008) bertujuan untuk menyelidiki efek
penggunaan penentuan sendiri sebagai pendekatan
pendidikan terhadap kemampuan siswa SMA
dengan disabilitas untuk terlibat dalam kurikulum
pendidikan umum. Menurut Lee dkk. (2008), hasil
penelitian mengindikasikan efek yang berpotensi
menguntungkan dari advokasi penentuan sendiri
terkait dengan aksesibilitas kurikulum pendidikan
umum. Menurut Lee dkk. (2008), implementasi
strategi-strategi ini untuk peningkatan kurikulum
menunjukkan potensi untuk meningkatkan

171
kemampuan siswa mengakses kurikulum
pendidikan umum melalui promosi pembelajaran
mandiri dan penentuan sendiri. Namun, penting
untuk mengakui keterbatasan inheren dalam
pemahaman yang komprehensif tentang sejauh
mana penentuan sendiri memfasilitasi atau
meningkatkan kemampuan terlibat dalam
kurikulum pendidikan umum (Lee dkk., 2008).
Penting untuk melakukan penelitian lebih lanjut
untuk menyelidiki organisasi fungsional dan banyak
manifestasi inferensi sosial yang diproses oleh
korteks prefrontal lateral. Daerah otak khusus ini
diketahui memiliki peran penting dalam
memfasilitasi kognisi sosial dan perilaku sosial
yang berorientasi pada tujuan, sebagaimana yang
disoroti oleh Barbey dkk. (2009).
Pemantauan dan penilaian dalam konteks
pendidikan inklusif melibatkan sejumlah elemen,
seperti pemantauan sistematis kemajuan akademis
dan perilaku siswa, pengamatan teliti interaksi di
dalam kelas, dan penciptaan lingkungan belajar
yang aman dan menyeluruh. Penelitian yang
dilakukan oleh Ewing dan Kwoka (2013) menyoroti
pengaruh signifikan sikap instruktur terhadap
inklusi pada dinamika keseluruhan lingkungan
kelas. Penelitian tersebut menekankan bahwa sikap
yang positif terhadap inklusi berhubungan dengan
peningkatan tingkat kepuasan dan kekompakan di
antara siswa, sambil juga mengurangi tingkat friksi
dan kompetitivitas. Penelitian tersebut juga
menekankan signifikansi pentingnya dukungan dan
tingkat stres dalam memupuk lingkungan belajar
inklusif (Ewing & Kwoka, 2013). Selain itu, penelitian
yang dilakukan oleh Bondy dkk. (2007) menguji

172
strategi yang digunakan oleh pendidik novice yang
mahir dalam membangun suasana hati yang
mendukung di kelas-kelas mereka selama awal
tahun akademik. Pentingnya konsistensi instruktur,
pengembangan ekspektasi eksplisit, dan
pembentukan komunitas yang penuh kasih,
berorientasi pada tugas ditekankan dalam penelitian
yang dilakukan oleh Bondy dkk. (2007).
Selanjutnya, Elliott (2009) menjelajahi
signifikansi besar otoritas guru dan pengalaman
dalam memupuk suasana belajar yang positif dan
memfasilitasi pengendalian perilaku yang efisien.
Makalah tersebut menekankan pentingnya
membangun hubungan, menyadari latar belakang
siswa, dan menunjukkan otoritas dalam memupuk
lingkungan belajar yang ramah (Elliott, 2009).
Indriani dan Satrianawati (2019) mengalihkan
perhatian mereka kepada penilaian inisiatif
pendidikan inklusif yang berlandaskan nilai-nilai
Pancasila di Sekolah Dasar Giwangan, Yogyakarta.
Tujuan utama penelitian dan pengembangan mereka
adalah membuat alat penilaian untuk pendidikan
inklusif dan mengevaluasi efektivitas program
tersebut. Studi Indriani dan Satrianawati (2019)
berfokus pada penjelasan langkah-langkah
berurutan yang terlibat dalam analisis kebutuhan,
perancangan strategi pengembangan, produksi alat
penilaian, dan evaluasi produk yang dihasilkan.
Semua ini menunjukkan betapa pentingnya bagi
guru untuk bertanggung jawab, bekerja sama dalam
merencanakan, dan memiliki alat penilaian yang
baik untuk memantau dan menilai kemajuan dan
keberhasilan upaya pendidikan inklusif.

173
Praktik pemantauan dan evaluasi yang
berkelanjutan dalam konteks perencanaan
pendidikan inklusif sangat penting. Kegiatan ini
berfungsi untuk menjaga keefektifan, keluwesan,
dan responsivitas pendekatan inklusif dalam
mengatasi berbagai kebutuhan semua siswa.
Sumber daya yang sedang dipertimbangkan
menyoroti pentingnya alat evaluasi, mengevaluasi
ulang program pendidikan guru, menggabungkan
strategi pembelajaran dan pengajaran inklusif, dan
mempertimbangkan pandangan siswa dan pihak
yang relevan lainnya. Namun, penting untuk
mengakui kesulitan dan kompleksitas yang melekat
dalam implementasi kebijakan inklusi dan untuk
menemukan keseimbangan harmonis antara
pengambilan keputusan berdasarkan bukti empiris
dan pertimbangan etis.

174
Perencanaan
BAB X Pendidikan Karir

A. Mengembangkan Program Bimbingan Karir


Setiap orang mengharapkan langkah yang
baik dalam jenjang karir dan kesuksesan.
Kesuksesan sesorang bisa diukur dengan melihat
kesuksesan jenjang karir yang dimilikinya. Suksek
dalam karir bisa dirasakan dengan perasaan bangga
mendapatkan pekerjaan yang diharapkan,
penghasilan yang lebih tinggi, status sosial yang
tinggi yang dihargai orang lain. Sebaliknya, jika
seseorang gagal dalam menempuh karir akan
merasa rendah diri, dengan status pengangguran,
tidak bisa mencukupi kebutuhan hidup, bahkan
merasa dikucilkan di tengah-tengah masyarakat.
Perencanaan karir yang matang saat sekolah bisa
membantu seseorang untuk lebih mengenal dan
memahami bakat dan minat yang dimiliki.
Kemampuan merencanakan karir perlu setiap
individu termasuk siswa di sekolah. Perencanaan
karir yang dimiliki siswa berguna untuk pemilihan
jenis studi lanjut, dan pemilihan rencana pekerjaan.
Upaya meningkatkan perencanaan karir siswa di
sekolah bisa ditempuh melalui layanan bimbingan
dan konseling (Atmaja, 2014).
Undang-Undang No. 20 Tahun 2003 pasal
3 tentang Sistem Pendidikan Nasional menentukan
bahwa bimbingan dan konseling sebagai bagian
integral dari sistem pendidikan. Layanan bimbingan
konseling di sekolah bertujuan untuk membantu
mengoptimalkan perkembangan siswa dan
175
membantu memecahkan permasalahan siswa
dalam berbagai bidang pelayanan. Bidang layanan
dalam bimbingan konseling terdiri dari bidang
pribadi, sosial, belajar dan karir. Layanan bimbingan
karir selain memberikan respon pada masalah-
masalah yang dialami siswa memperoleh
pengetahuan, sikap, dan keterampilan dalam
pekerjaan. Selain itu, bimbingan karir
menitikberatkan pada perencanaan kehidupan
seseorang dengan mempertimbangkan keadaan
individu dengan lingkungan agar dapat memperoleh
pandangan positif ke depan. Dengan demikian,
bimbingan karir berperan penting dalam
meningkatkan perencanaan karir siswa.
Menurut Purwanta (2012), kemampuan
siswa dalam merencanakan karir harus diawali
dengan kemampuan siswa dalam melakukan
eksplorasi karir dari dalam dirinya. Eksplorasi karir
merupakan upaya untuk memahami karakateristik
dirinya, yang pada gilirannya akan mencapai
kemandirian. Dengan demikian dalam membantu
meningkatkan perencanaan karir siswa dapat
diawali dengan memberikan berbagai informasi
karir agar siswa dapat memilah dan memilih
berbagai informasi tentang diri dan lingkungannya
sehingga siswa dapat merencanakan karir sesuai
denga karakteristik dirinya. Penyediaan berbagai
informasi karir bagi siswa dapat dilakukan oleh
guru melalui media bimbingan. Media merupakan
salah satu komponen yang penting dalam proses
pemberian bimbingan. Penggunaan media
bimbingan sangat diperlukan agar proses
bimbingan antara guru pembimbing dan siswa dapat

176
berjalan dengan baik, tidak membosankan, serta
dapat merangsang keaktifan dan kreatifitas siswa.
Menurut Yusuf (2009), menyatakan bahwa
program layanan bimbingan dan konseling tidak
dapat berjalan efektif dalam melayani siswa dengan
terprogram apabila kurang atau tidak didukung oleh
faktor lain, salah satu faktor pendukung
pelaksanaan program bimbingan konseling adalah
layanan informasi yang merupakan proses bantuan
yang diberikan para siswa. Berbagai aspek
kehidupan yang dipandang penting bagi mereka,
baik melalui informasi langsung maupun tidak
langsung.
Bidang pekerjaan sangat bermakna bagi
setiap individu, oleh karena itu bimbingan dan
konseling di sekolah memberikan pemahaman pada
siswa melalui bimbingan karir. Winkel dan Hastuti
(2006) menyatakan bahwa bimbingan karir atau
bimbingan jabatan merupakan salah satu
pendidikan jabatan, dan harus sama-sama
berorientasi pada perkembangan karir manusia
muda. Pendidikan jabatan itu sendiri mempunyai
makna sebagai usaha dalam lingkungan pendidikan
sekolah dan masyarakat luas untuk membantu
semua individu untuk mengenal bidang-bidang
jabatan yang terbuka dan memberikan makna positif
pada kehidupan. Peran bimbingan konseling di
sekolah sangat penting dalam memberikan layanan
bimbingan karir dengan menyediakan berbagai
program studi sebagai persiapan untuk memasuki
dunia pekerjaan. Selanjutnya Suherman (2011)
menyatakan bahwa bimbingan karir didefinisikan
sebagai aktifitas-aktifitas dan program yang
membantu individu untuk mengasimilasikan dan

177
mengintegrasikan pengetahuan, pengalaman, dan
aspirasi-aspirasi yang berkaitan dengan
pengenalan diri, pemahaman atau pengenalan
terhadap kerja masyarakat dan faktor-faktor yang
mempengaruhi perubahannya, kesadaraan akan
waktu luang, pemahaman akan perlunya dan
banyaknya faktor yang harus dipertimbangkan
dalam perencanaan karir, pemahaman terhadap
informasi dan keterampilan yang diperlukan untuk
mencapai pemenuhan diri dalam pekerjaan dan
waktu luang, mempelajari dan menerapkan proses
pengambilan keputusan karir.
Jordan dalam Yusuf (2009) mengemukakkan
aspek-aspek dalam perencanaan karir meliputi :
1. Pemahaman karir adalah membantu pribadi
untuk mengembangkan kesatuan dan gambaran
diri serta peranan dalam dunia kerja
2. Mencari informasi siswa yang memiliki
pemahaman tentang karir akan memanfaatkan
informasi yang telah didapati dari berbagai
sumber untuk dipelajari sehingga setiap siswa
memiliki pemahaman tentang karir
3. Perencanaan dan pengambilan keputusan,
merupakan suatu proses untuk menentukan
langkah-langkah yang akan dilakukan dalam
karir untuk mencapai tujuan yang telah
ditetapkan.
Berdasarkan ciri-ciri tersebut, siswa yang
tidak memiliki ciri-ciri seperti yang telah disebutkan
dapat dikatakan sebagai siswa yang tidak memiliki
perencanaan karir sehingga perlu diberikan
bantuan agar siswa tersebut bisa merencanakan
karir setelah lulus dari jenjang pendidikan
selanjutnya. Pernyataan diatas dapat disimpulkan

178
bahwa bimbingan karir merupakan program-
program pemberian bantuan yang dilakukan oleh
guru pembimbing terhadap siswa untuk
mengoptimalkan potensi dalam mempersiapkan diri
menghadapi dunia pekerjaan. Salah satu persiapan
itu yaitu menempuh jenjang pendidikan atau relevan
dalam persiapan memilih lapangan pekerjaan atau
jabatan profesi tertentu. Untuk dapat melakukan
persiapan tersebut diperlukan langkah awal,
diantaranya yaitu dengan melakukan perencanaan
karir yang menjadi salah satu tujuan dari bimbingan
karir.

B. Mendukung Siswa dalam Pengambilan


Keputusan Karir
Pengambilan keputusn pemilihan karir
merupakan langkah yang diambil setiap orang untuk
memilih dan menetapkan pekerjaan yang akan
diambilnya. Sebelum suatu keputusan pemilihan
karir yakin untuk diambil, seseorang harus
mengenal dirinya sendiri, memahami dirinya sendiri
dan mengenal dunia kerja. Setiap orang memiliki
cara tersendiri untuk dapat melakukan hal-hal
tersebut sebelum pengambilan keputusan karir
sesuai dengan kemampuan mereka masing-masing.
Menurut Darmasaputro dan Gunawan (2018),
pengambilan keputusan karir merupakan proses
yang dilakukan oleh individu dalam memilih
pendidikan dan pekerjaan yang diliputi oleh aspek
personal seperti minat, tipe kepribadian, identitas
vokasional, perasaan akan hambatan dan aspek
informasi terkait pilihan yang akan ia ambil.

179
Menurut Parson dalam Setyowati (2015)
dalam memutuskan karir dipengaruhi oleh tiga
aspek, yaitu :
1. Pengetahuan dan pemahaman diri, meliputi
pemahaman dan pengetahuan terhadap bakat,
minat, kepribadian, protesi, prestasi akademik,
ambisi, keterbatasan-keterbatasan dan
sumber-sumber yang dimilikinya
2. Pengetahuan dan pemahaman dunia kerja,
meliputi pengetahuan tentang syarat-syarat
serta kondisi yang diperlukan agar sukses
dalam suatu pekerjaan, kerugian dan
keuntungan, kompensasi, kesempatan dan
prospek dalam dunia kerja
3. Penalaran yang realitis antara pengetahuan dan
pemahaman diri sendiri dengan pengetahuan
dan pemahaman dunia kerja, yaitu kemampuan
seseorang untuk membuat suatu penalaran
yang realistis dalam merencanakan, memilih
bidang kerja dan pendidikan selanjutnya
Siswa dalam menentukan pilihan harusnya
masih belum sepenuhnya merupakan keputusan
sendiri. Keputusan yang diambil siswa tidak mutlak
dikarenakan pemikiran siswa itu sendiri, melainkan
mereka juga melalui proses yang dibantu oleh
orang-orang disekitarnya salah satunya adalah
peranan bimbingan karir yang diberikan sekolah.
Peranan ini dimaksudkan agar siswa dapat
memahami dan mengenai dirinya sendiri sebelum
siswa tersebut mengambil sebuah keputusan.
Bimbingan ini dilakukan untuk meminimalis
kesalahan siswa dalam mengambil keputusan
mengenai karir yang akan mereka ambil. Keputusan
yang siswa ambil karena bukan sepenuhnya atas

180
keputusan sendiri, memberikan dampak yang
kurang baik diantaranya adalah siswa belum begitu
yakin dengan keputusan yang diambil. Dalam
mengambilkan keputusan karir siswa sangat
membutuhkan bantuan dari guru di sekolah. Guru
memegang peranan penting dalam membantu siswa
memahami potensi-potensi yang ada dalam dirinya,
membantu mengembangkan dan
memaksimalkannya sehingga dapat menyesuaikan
dengan profesi atau penempatan yang sesuai
kedepannya. Selain itu guru memiliki peran
terhadap pemberian bantuan kepada individu yang
dilakukan secara berkesinambungan agar individu
dapat bertindak secara wajar, sesuai dengan
tuntutan dan keadaan lingkungan sekolah, keluarga
dan masyarakat serta kehidupannya.
Perencanaan karir sangat penting untuk
membantu siswa memilih keputusan untuk masa
depannya sehingga siswa tidak salah langkah dan
bisa memaksimalkan potensi dan kemampuan yang
ia miliki dengan sangat baik. Permendikbud No.111
tahun 2014 menyatakan bahwa tujuan dari
bimbingan karir yakni menfasilitasi perkembangan,
eksplorasi, aspirasi dan pengambilan keputusan
karir sepanjang rentang hidup siswa. Adapun tujuan
dari bimbingan karir bagi siswa adalah :
a. Memiliki pemahaman diri
b. Memiliki pemahaman kerja dan informasi
karir yang menunjang kompetensi karir
c. Memiliki sikap positif terhadap dunia kerja
d. Memahami relevansi kemampuan menguasai
pelajaran dengan persyaratan keahlian atau
keterampilan bidang pekerjaan yang menjadi
cita-cita karirnya di masa depan

181
e. Memiliki kemampuan untuk membentuk
identitas karir.
Menurut Nanang Fattah (2008) perencanaan
merupakan tindakan menetapkan terlebih dahulu
apa yang akan dikerjakan, bagaimana
mengerjakannya, apa yang harus dikerjakan dan
siapa yang mengerjakannya. Untuk itu, perencanaan
membutuhkan data dan informasi agar keputusan
yang diambil tidak lepas kaitannya dengan masalah
yang dihadapi pada masa yang akan datang. Dalam
merencanakan program satuan layanan
pendukung dalam menunjang pemahaman peserta
didik tentang pentingnya karir dimasa mendatang
maka, hal-hal yang perlu dilakukan adalah :
1. Menetapkan materi layanan pendukung yang
disesuaikan dengan kebutuhan dan atau
masalah siswa yang akan dikenai layanan
pendukung
2. Menetapkan tujuan atau hasil yang ingin dicapai
3. Menetapkan saran kegiatan
4. Menetapkan bahan, sumber bahan, dan atau
nara sumber, serta personil yang terkait dan
peranannya masing-masing
5. Menetapkan metode, teknik khusus, media dan
alat yang akan digunakan
6. Menetapkan rencana penilaian
7. Mempertimbangkan keterkaitan atau layanan
pendukung yang direncanakan itu dengan
kegiatan lainnya
8. Menetapkan waktu dan tempat
Pada prinsipnya setia siswa di sekolah
memiliki kesempatan untuk mendapatkan layanan
karir melalui program bimbingan karir, melalui
layanan informasi. Menurut Tarmizi (2018) ada

182
beberapa manfaat layanan informasi diantaranya
adalah :
a. Membekali individu dengan berbagai
pengetahuan tentang lingkungan yang
diberikan untuk menyelesaikan masalah
yang dihadapinya yang berkenan dengan
lingkungan sekitar
b. Memungkinkan individu untuk menentukan
arah hidupnya
c. Setiap individu adalah unik, keunikan
tersebutlah yang membuat individu memiliki
cara berpikir, kepribadian dan cara
penyelesaian berbeda
d. Beda terhadap permasalahan dan
pengambilan keputusan. Semuanya
tergantung sekaligus disesuaikan dengan
aspek kepribadian masing-masing individu
Berdasarkan uraian diatas, maka dapat kita
simpulkan bahwa peranan guru merupakan seorang
tenaga pendidik profesional yang memberikan
bantuan kepada siswa dengan tujuan memberikan
bimbingan dan dapat membantu siswa
mengembangkan kemampuan dalam bidang
pengembangan kehidupan pribadi sosial,
kemampuan belajar, dan perencanaan karir. Bagi
siswa yang mengalami suatu permasalahan dalam
menentukan karir akan dilakukan bimbingan
sehingga siswa mampu untuk mengambil suatu
keputusan yang dapat mengatasi masalah karirnya
tersebut.

183
Pendidikan Karakter
BAB XI dan Nilai-Nilai

A. Memasukkan Pendidikan Karakter dalam


Perencanaan Pendidikan
Indonesia menempatkan pendidikan
karakter sebagai landasan dalam mewujudkan visi
pembangunan nasional yaitu mewujudkan
masyarakat berakhlak mulia, bermoral, beretika,
berbudaya, dan beradab berdasarkan nilai-nilai
Pancasila, sebagaimana yang diamanatkan dalam
Pancasila dan Pembukaan UUD 1945. Undang-
undang No 20 tahun 2003 tentang sistem Pendidikan
Nasional pada pasal 3 menyatakan; Pendidikan
nasional berfungsi mengembangkan kemampuan
dan membentuk karakter serta peradaban bangsa
yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan
kehidupan bangsa (Depdiknas, 2003)
Istilah Karakter diambil dari bahasa Yunani
yang berarti "to mark" (menandai) dan
memfokuskan, bagaimana mengaplikasikan nilai
kebaikan dalam bentuk tindakan/tingkah laku.
Seseorang disebut berkarakter (a person of
character) apabila perilakunya sesuai dengan
kaidah moral (Raharjo, Jayadiputra, Husnita,
Rukmana, Wahyuni, Nurbayani, Salamah, et al.,
2023)
Menurut Lickona ada 3 komponen karakter
(component of good character) yaitu pengetahuan
tentang moral (moral knowing), perasaan tentang

184
moral (moral feeling) dan perbuatan tentang moral
(moral action) (Lickona, n.d.)

Gambar 1. Tiga Komponen Karakter menurut Lickona 1992

1. Arti Penting Pendidikan Karakter dalam


perencanaan pendidikan
Dunia pendidikan merupakan strategi dasar
dari pembangunan karakter bangsa sehingga
pelaksanaannya dilakukan secara koheren dengan
beberapa strategi lain. Strategi tersebut meliputi
sosialisasi atau penyadaran, pemberdayaan,
pembudayaan, dan kerjasama seluruh komponen
bangsa. Pembangunan karakter melalui pendekatan
sistematik dan integratif yaitu melibatkan keluarga,
satuan pendidikan, pemerintah, masyarakat, media
massa, dunia usaha dan industri dan lainnya
(Kementrian Pendidikan Nasional, 2011)
Pendidikan karakter penting ditanamkan
sejak usia dini, satuan pendiidkan telah berusaha
menanamkan pendidikan karakter seiring dengan
munculnya permasalahan yaitu kemerosotan moral
generasi muda. Berbagai masalah yang ditimbulkan
185
generasi muda antara lain adalah kasus tawuran,
bullying, perkelahian, pergaulan bebas, Narkoba,
pemerkosaan dan lain sebagainya (Fernando &
Husnita, 2019). Pendidikan karakter merupakan
upaya untuk mengoptimalkan perilaku etis siswa,
dan Waktu yang tepat untuk mengembangkan dan
pendidikan karakter yang baik sejak dini adalah
semenjak sekolah dasar (V Anggraini et al., 2019)
Pendidikan karakter dipandang sebagai
solusi terhadap upaya memperbaiki sikap dan
perilaku. Pendidikan mempunyai tugas membentuk
generasi yang cerdas, berkarakter, bermoral, dan
berkepribadian yang luhur (Saputra et al., 2023).
Pendidikan karakter memiliki makna lebih tinggi
dibandingkan dengan pendidikan moral, karena
pendidikan karakter tidak hanya berkaitan dengan
masalah benar atau salah, tetapi bagaimana
menanamkan kebiasaan (habit) tentang hal-hal
yang baik dalam kehidupan sehingga peserta didik
memiliki kesadaran dan pemahaman yang tinggi
serta kepedulian dan komitmen untuk menerapkan
nilai kebajikan dalam kehidupan sehari-hari
(Warmansyah Abbas, E. 2014)
Pada hakekatnya perilaku karakter
sesorang merupakan perwujudan fungsi totalitas
psikologis yang mencakup seluruh potensi individu
manusia (kognitif, afektif, dan psikomotorik) dan
fungsi sosial-kultural dalam konteks interaksi
keluarga, satuan pendidikan, dan masyarakat dan
proses ini berlangsung sepanjang hayat.
Konfigurasi karaktertersebut dapat dikelompokkan
dalam a) olah hati, b) olah pikir, c) olah
raga/kinestetik dan d) olah rasa dan karsa. Proses
ini memiliki saling keterkaitan dan saling

186
melengkapi. Olah hati (spiritual and emotional
development) meliputi religius, jujur,
tanggungjawab, peduli sosial, peduli lingkungan.
Olah Pikir (intellectual development) meliputi
kecerdasan, kreatif, gemar membaca, rasa ingin
tahu. Olah Raga/Kinestetik (physical and kinesthetic
development) meliputi kesehatan, kebersihan. Olah
Rasa dan Karsa (affective and creativity
development) meliputi peduli dan kerjasama/gotong
royong (Raharjo, Jayadiputra, Husnita, Rukmana,
Wahyuni, Nurbayani, Sarbaitinil, et al., 2023)

Gambar 2. Konfigurasi Pendidikan Karakter

2. Hakikat, sasaran, tujuan dan desain pendidikan


karakter
Pendidikan di Indonesia di dasarkan pada
nilai-nilai luhur pancasila, setidaknya ada lima ciri
yaitu pertama, pendidikan haruslah memperlakukan
manusia dengan hormat, karena menurut keyakinan
(religius) manusia adalah makhluk ciptaan Tuhan
yang tertinggi. Kedua, pendidikan harus bersifat
manusiawi artinya manusia harus dilihat sebagai
subjek didik. Ketiga, pendidikan harus berwawasan

187
kebangsaan. Keempat, pendidikan harus demokratis
dan kelima pendidikan harus harus menjadi
pendidikan yang berkeadilan (education for justice)
(Adisusilo, S.,2013)
Acuan dalam pengembangan proses
pembelajaran serta tujuannya akan selalu
berpedoman kepada UU Sisdiknas No. 20 Tahun
2003 Pasal 1 menyatakan bahwa: “Pendidikan adalah
usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan
suasana belajar dan proses pembelajaran agar
peserta didik secara aktif mengembangkan potensi
dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual
keagamaan, pengendalian diri, kepribadian,
kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang
diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa serta
negara" (Husnita & Junaidi, 2023)
Pendidikan karakter bertujuan untuk
mewujudkan karakter bangsa yaitu Pancasila, yang
menjadi sasaran diantaranya adalah 1)
mengembangkan potensi peserta didik menjadi
manusia berhati baik, berpikiran baik, dan
berprilaku baik, 2) membangun bangsa berkarakter
Pancasila, 3) mengembangkan potensi warga
negara supaya memiliki sikap percaya diri, bangga
pada bangsa dan negara.
Rushworth kidder (Latif, 2020) ada tujuh
kualitas yang diperlukan untuk suatu program
pendidikan karakter yang berhasil (seven E’s)
a. Empowered (pemberdayaan). Guru-guru
harus diberdayakan untuk mengajar
pendidikan karakter
b. Effective (efektif). Mengajarkan pendidikan
secara efektif

188
c. Extended into the community (diperluas ke
komunitas). Komunitas harus menolong
sekolah untuk memahami nilai-nilai
karakter
d. Embedded (melekat). Jangan memberikan
pendidikan karakter secara terpisah.
Integrasikan ke dalam seluruh rangkaian
kurikulum dan proses pembelajaran.
e. Engaged (terlibat). Buatlah komunitas
terlibat dengan menyodorkan topik-topik
yang sangat penting.
f. Epistemological (Epistimologi).
Kembangkan kerangka konseptual tentang
etika.
g. Evaluative (evaluatif). Buatlah semacam
pretest dan postest, yang memungkinkan
guru dapat memetakan kemajuan siswa.

B. Memupuk Nilai-nilai Positif dalam Lingkungan


Pendidikan
Perkembangan dewasa ini secara domestik
diantaranya tantangan perpecahan, kecendrungan
generasi muda lebih menyenangi budaya asing,
hilangnya kebanggan atas identitas sebagai bangsa
Indonesia, kemajuan teknologi tanpa adanya
kesadaran saling menghormati dan menghargai
seringkali menimbulkan konflik dengan penyebaran
berita hoax dan sebagainya. Sedangkan secara
internasional, adanya globalisasi masuknya
berbagai budaya asing ke Indonesia dapat
membahayakan identitas lokal dan nasional karena
masyarakat cenderung lebih senang menggunakan
produk luar negeri yang dapat menghilangkan
cirikhas dan jati diri budaya asli nusantara

189
(Mahmudah et al., 2023). Untuk mengatasi hal-hal
tersebut maka perlunya penguatan pendidikan
karakter. Pendidikan karakter diwujudkan melalui
berbagai media yaitu keluarga, satuan pendidikan,
masyarakat, pemerintah, dunia usaha, serta media
massa
Dalam rangka memperkuat pelaksanaan
pendidikan karakter pada satuan pendidikan telah
mengidentifikasi 18 nilai positif yang bersumber dari
agama, Pancasila, budaya, dan tujuan pendidikan
nasional, yaitu:
1. Religius. Religius merupakan sikap dan perilaku
yang patuh dalam melaksanakan ajaran agama
yang dianut, bersikap toleran terhadap
pelaksanaan beribadah dan hidup rukun antar
umat beragama.
2. Jujur. Jujur merupakan perilaku dapat
dipercaya perkataan, tindakan, dan perbuatan.
3. Toleransi. Toleransi yaitu sikap dan tindakan
menghargai perbedaan agama, suku, etnis,
pendapat, sikap, dan tindakan.
4. Disiplin. Disiplin adalah tindakan yang
menunjukkan perilaku tertib serta patuh dalam
berbagai ketentuan dan peraturan yang telah
ditetapkan.
5. Kerja keras. kerja keras merupakan perilaku
yang menunjukkan upaya sungguh-sungguh,
tekun dalam berbagai hambatan yang dihadapi,
serta menyelesaikan tugas dengan sebaik-
baiknya
6. Kreatif. Kreatif merupakan cara berpikir dan
melakukan sesuatu untuk menghasilkan atau
hasil-hasil yang baru dari sesuatu yang telah
ada, misalnya menciptakan sesuatu yang baru.

190
7. Mandiri. Mandiri merupakan sikap dan perilaku
yang mandiri atau tidak mudah bergantung pada
orang lain dalam menyelesaikan pekerjaan atau
tugas-tugas yang diberikan.
8. Demokratis yaitu cara berfikir, bersikap, dan
bertindak yang mempertimbangkan hak dan
kewajiban dirinya dan juga orang lain
9. Rasa ingin tahu. Rasa ingin tahu yaitu sikap dan
tindakan yang selalu berusaha untuk
mengetahui lebih mendalam dan meluas dari
sesuatu yang dipelajarinya, dilihatnya, dan
didengarnya.
10. Semangat kebangsaan. Semangat kebangsaan
adalah cara berpikir, bertindak, dan
berwawasan yang menempatkan kepentingan
bangsa atau negara di atas kepentingan individu
dan kelompok atau golongan.
11. Cinta tanah air. Cinta tanah air merupakan cara
berpikir, bersikap, dan berbuat yang
menunjukkan kesetiaan, kepedulian, dan
penghargaan yang tinggi misalnya dalam
bahasa, lingkungan fisik, sosial, budaya,
ekonomi, dan politik.
12. Menghargai prestasi. Menghargai prestasi yaitu
sikap dan tindakan yang mendorong seseorang
untuk menghasilkan sesuai yang berguna bagi
masyarakat, bangsa/negara dan mengakui serta
menghormati keberhasilan orang lain.
13. Bersahabat serta Komunikatif. Bersahabat
serta komunikatif merupakan tindakan yang
memperhatikan rasa senang berkomunikasi,
bergaul, bersahabat dan bekerja sama dengan
orang lain.

191
14. Cinta damai. cinta damai adalah suatu sikap,
perkataan, dan perbuatan yang menyebabkan
orang lain merasa senang, aman, nyaman atas
kehadirannya, dan cinta akan kedamaian.
15. Gemar membaca. Gemar membaca adalah
suatu kebiasaan menyediakan waktu luang
untuk membaca berbagai bacaan yang
memberikan kebaikan bagi dirinya
16. Peduli lingkungan. Peduli lingkungan adalah
sikap dan tindakan yang selalu berupaya
mencegah kerusakan pada lingkungan alam di
sekitarnya, dan mengembangkan upaya
bagaimana memperbaiki kerusakan alam yang
telah terjadi
17. Peduli sosial. Peduli sosial merupkan sikap dan
tindakan yang selalu ingin membantu orang lain
atau masyarakat yang membutuhkan
18. Tanggung jawab. Tanggung jawab adalah sikap
dan perilaku seseorang untuk melaksanakan
tugas dan kewajiban yang seharusnya dia
lakukan terhadap diri sendiri, masyarakat,
lingkungan alam, lingkungan sosial dan serta
budaya, terhadap bangsa dan negara negara
serta Tuhan Yang Maha Esa (Kementrian
Pendidikan Nasional, 2011), (Raharjo,
Jayadiputra, Husnita, Rukmana, Wahyuni,
Nurbayani, Sarbaitinil, et al., 2023)
Penguatan pembiasaan karakter perlu
dilakukan agar siswa benar-benar memahami apa
yang benar dan salah, sekolah juga harus memilih
model pendidikan karakter yang disesuaikan
dengan usia dan kondisi siswa (V Anggraini et al.,
2019). Salah satu upaya adalah kurikulum Indonesia
mencoba memformulasikan pendekatan tematik.

192
Untuk membangun nilai-nilai karakter siswa dapat
dilakukan untuk mengintegrasikan budaya lokal
atau budaya setempat ke dalam pembelajaran.
Wuryani, Roemintoyo, dan Yamtinah menyatakan
bahwa "Integrasi nilai-nilai pendidikan karakter
dalam buku teks juga meningkatkan dorongan siswa
untuk belajar kepada orang-orang yang berkarakter
baik” (Villia Anggraini et al., 2020)
Pendekatan yang digunakan Kementerian
Pendidikan Nasional dalam pengembangan
pendidikan karakter, yaitu: pertama melalui stream
top down yaitu intervensi melalui kebijakan, kedua
melalui stream bottom up, melalui pengalaman
praktisi bersifat penggalian bestpractice dan ketiga
melalui stream revitalisasi program yaitu
merevitalisasi kembali program-program kegiatan
pendidikan karakter yang terdapat pada kegiatan
ekstrakurikuler yang sudah ada dan sarat dengan
nilai-nilai karakter lebih lebih bersifat
pemberdayaan merupakan satu kesatuan yang
saling menguatkan.
Para pakar pendidikan telah
mengembangkan berbagai pendekatan dan metode
pembelajaran nilai. Superka (1976) ada lima
pendekatan dan metode dalam pendidikan nilai
yaitu;
a. Pendekatan dan metode penanaman nilai
(inculcation approach). Memberi penekanan
pada penanaman nilai-nilai dalam diri
peserta didik. Metode yang digunakan yaitu
keteladanan, simulasi, permainan peran dan
lain-lain.
b. Pendekatan dan metode perkembangan
moral kognitif (cognitive moral development

193
approach). Memberi penekanan pada aspek
kognitif. Metode yang digunakan metode
diskusi kelompok.
c. Pendekatan dan metode penalaran moral
(moral reasoning approach). Memberikan
penekanan pada perkembangan berpikir
logis, dengan metode analisis yaitu
menganalisis masalah yang berhubungan
dengan nilai.
d. Pendekatan dan metode pembelajaran
berbuat (action learning approach).
Memberikan penekanan dengan memberi
kesempatan melakukan perbuatan moral
baik secara perorangan maupun kelompok.
Metode yang dipakai adalah analisis.
e. Pendekatan dan metode klarifikasi nilai
(value clarification approach).
Simon dkk (1972) mengelompokkan
pendekatan pendidikan nilai sebagai berikut:
a. Memoralisasi (moralizing). Memoralisasi
adalah model pendidikan nilai-moral secara
langsung, yakni mengajarkan sejumlah nilai
yang harus menjadi pegangan hidup peserta
didik
b. Bersikap membiarkan (laissez-fair attitude),
dengan membiarkan peserta didik
menentukan sendiri apa yang mereka
inginkan, anak dibiarkan tumbuh berkembang
secara alamiah berdasarkan pengalamannya
sendiri
c. Menjadi model (modeling), menjadi model
adalah pendidik nilai-moral berusaha
menampilkan dirinya sebagai model atau
contoh nilai-nilai tertentu.

194
d. Teknik pendekatan klarifikasi nilai (value
clarification technique approach). Value
Clarification Technique approach (VCT)
adalah pendekatan nilai dimana peserta didik
dilatih untuk menemukan, memilih,
menganalisa, memutuskan, mengambil sikap
sendiri nilai-nilai yang ingin
diperjuangkannya. (Adisusilo, S,.2013)

195
Perencanaan
BAB XII Pendidikan
Berkelanjutan

Pendidikan adalah fondasi dari peradaban


manusia, dan sebagai peradaban terus berkembang,
begitu pula pendidikan (Hidayat & Wijaya, 2016).
Namun, dalam era yang penuh dengan perubahan
cepat dan tantangan yang beragam, perencanaan
pendidikan berkelanjutan menjadi suatu keharusan.
Bab ini akan membahas secara mendalam tentang
bagaimana perencanaan pendidikan berkelanjutan
menjadi kunci untuk memastikan bahwa sistem
pendidikan tetap relevan, efektif, dan responsif
terhadap kebutuhan masyarakat dan peserta didik.
Bagian pertama fokus pada pentingnya rencana
jangka panjang dalam pendidikan berkelanjutan,
dengan menyoroti pendidikan sepanjang hayat,
kesetaraan akses, dan relevansi pendidikan. Ini
melibatkan panduan konkret dalam mengidentifikasi
tujuan jangka panjang, strategi perencanaan, dan
implementasinya.
Selanjutnya, bagian kedua berbicara
tentang menghadapi perubahan dan tantangan
masa depan dalam pendidikan, terutama dalam
konteks perubahan teknologi, demografis, dan
sosial-ekonomi yang cepat. Ini menekankan konsep
fleksibilitas kurikulum, teknologi dalam pendidikan,
pembelajaran berbasis kompetensi, dan
pemberdayaan guru sebagai solusi. Melibatkan
komunitas, orangtua, dan pemangku kepentingan
lainnya juga dijelaskan sebagai kunci untuk

196
menciptakan sistem pendidikan yang tanggap dan
berkualitas. Tujuan akhirnya adalah memberikan
panduan komprehensif tentang pendidikan
berkelanjutan dan meningkatkan pemahaman
pembaca tentang pentingnya rencana jangka
panjang dalam menjawab perubahan pendidikan
modern. Semua ini bertujuan untuk menjaga peran
penting pendidikan dalam perkembangan peserta
didik dan masyarakat secara keseluruhan.

A. Penyusunan Rencana Jangka Panjang untuk


Pendidikan Berkelanjutan
Pendidikan berkelanjutan merupakan
konsep penting dalam memastikan bahwa sistem
pendidikan terus beradaptasi dan berkembang
sesuai dengan kebutuhan masyarakat dan peserta
didik. Untuk mencapai hal ini, perencanaan jangka
panjang menjadi kunci. Dalam bagian ini, kita akan
menjelaskan mengapa menyusun rencana jangka
panjang penting dan bagaimana hal ini dapat
dilakukan dengan baik.
1. Rasionalisasi Pendidikan Berkelanjutan
Pendidikan berkelanjutan adalah konsep
yang sangat penting dalam konteks perkembangan
masyarakat dan individu. Dalam penjelasan ini, kita
akan membahas mengapa pendidikan berkelanjutan
menjadi hal yang sangat krusial, dengan
mempertimbangkan tiga aspek utama:
pembelajaran sepanjang hayat, kesetaraan akses,
dan relevansi pendidikan dalam konteks global.
a. Pembelajaran Sepanjang Hayat (Lifelong
Learning)
Pendidikan berkelanjutan mengakui
perlunya pembelajaran seumur hidup (Hairani,

197
2018), terutama di tengah perubahan teknologi
dan tuntutan pekerjaan yang cepat. Ini
memungkinkan individu untuk terus
meningkatkan keterampilan dan pengetahuan
yang relevan, mempersiapkan mereka untuk
menghadapi perubahan dalam kehidupan
pribadi dan profesional. Lebih lanjut, pendidikan
sepanjang hayat mendukung inovasi dan
kemajuan di berbagai bidang, memungkinkan
individu berkontribusi lebih besar terhadap
perkembangan masyarakat dan ekonomi.
b. Kesetaraan Akses
Pendidikan berkelanjutan memastikan
kesempatan pendidikan yang setara bagi semua
individu (Safitri, dkk, 2022), tanpa memandang
latar belakang sosial, ekonomi, atau geografis
mereka, yang pada gilirannya mendukung
pencapaian kesetaraan dalam masyarakat.
Kesetaraan akses ini memiliki potensi untuk
mengurangi kesenjangan dalam peluang dan
hasil pendidikan, menciptakan masyarakat yang
lebih inklusif dan adil. Dengan demikian, setiap
individu dapat mencapai potensi penuhnya,
meningkatkan kualitas hidup mereka sendiri,
sambil berkontribusi pada kemajuan sosial dan
ekonomi secara keseluruhan.
c. Relevansi Pendidikan dalam Konteks Global
Pendidikan berkelanjutan memastikan
relevansi global dalam kurikulum dan
pembelajaran (Rambung dkk, 2023). Ini
membekali individu dengan pemahaman tentang
isu-isu global seperti perubahan iklim,
perdagangan internasional, dan isu sosial
lainnya, yang mempersiapkan mereka untuk

198
menjadi anggota masyarakat yang sadar global.
Selain itu, pendidikan berkelanjutan
memfasilitasi mobilitas internasional, baik
dalam konteks studi maupun karir. Dengan
demikian, pendidikan berkelanjutan bukan
hanya mengembangkan individu, tetapi juga
memainkan peran kunci dalam membentuk
masa depan masyarakat yang terdidik, inklusif,
dan siap menghadapi tantangan global yang
kompleks.
2. Proses Perencanaan Jangka Panjang
Mengembangkan rencana jangka panjang
yang efektif untuk pendidikan berkelanjutan
merupakan langkah kunci dalam memastikan
bahwa sistem pendidikan dapat tetap relevan dan
adaptif terhadap kebutuhan yang terus berubah
(Setiawan, 2016). Dalam penjelasan ini, kita akan
membahas langkah-langkah praktis dalam
menyusun rencana jangka panjang yang baik, yang
mencakup analisis kebutuhan, identifikasi tujuan
jangka panjang, serta pengembangan strategi dan
langkah-langkah konkret.
a. Analisis Kebutuhan (Needs Analysis)
Langkah pertama dalam perencanaan
jangka panjang adalah mengidentifikasi
tantangan dan peluang dalam sistem pendidikan
melalui analisis perubahan sosial, ekonomi,
teknologi, dan demografis yang mungkin
memengaruhi pendidikan di masa depan. Selain
itu, mendengarkan pandangan dan kebutuhan
stakeholder seperti guru, siswa, orangtua, dan
pemangku kepentingan lainnya membantu
memahami masalah dan kebutuhan yang
sebenarnya dari sudut pandang yang berbeda.

199
b. Identifikasi Tujuan Jangka Panjang
Pengembangan rencana jangka panjang
dimulai dengan mendefinisikan visi dan misi
pendidikan. Apa yang ingin dicapai dalam jangka
waktu yang panjang? Misalnya, menciptakan
sistem pendidikan yang inklusif, meningkatkan
kualitas pengajaran, atau mempersiapkan siswa
untuk pekerjaan di masa depan. Tujuan jangka
panjang harus spesifik, terukur, dan realistis.
Menerapkan kerangka SMART (Specific,
Measurable, Achievable, Relevant, Time-Based)
dapat membantu dalam menetapkan tujuan
yang jelas (Harianto, 2018).
c. Pengembangan Strategi dan Langkah-
langkah Konkret
Setelah menetapkan tujuan, langkah
selanjutnya adalah mengidentifikasi strategi
yang mencakup perubahan dalam kurikulum,
metode pengajaran, pelatihan guru, atau
teknologi pendidikan. Strategi ini harus
dijabarkan menjadi langkah-langkah konkret
dengan tahapan waktu, alokasi sumber daya,
dan peran yang ditetapkan untuk guru,
administrator, dan pemangku kepentingan
lainnya. Pemantauan dan evaluasi berkala juga
penting untuk mengukur progres terhadap
tujuan jangka panjang dan mengidentifikasi
keberhasilan atau perluasan strategi
(Prahendratno dkk, 2023). Meskipun kompleks,
rencana jangka panjang yang efektif dalam
pendidikan berkelanjutan dengan analisis yang
cermat, tujuan yang jelas, dan strategi yang baik
dapat menciptakan landasan kuat untuk

200
pendidikan yang berkualitas dan relevan di
masa depan. Ini membantu memahami
kebutuhan pendidikan saat ini sambil
mempersiapkan sistem pendidikan untuk
perubahan yang tak terduga di masa
mendatang.
3. Implementasi Rencana
Setelah menyusun rencana jangka panjang
yang matang untuk pendidikan berkelanjutan, tahap
berikutnya yang sama pentingnya adalah
mengimplementasikan rencana tersebut dengan
efektif. Proses implementasi memiliki peran yang
krusial dalam mewujudkan visi dan tujuan jangka
panjang pendidikan. Dalam penjelasan ini, kita akan
membahas tiga aspek utama dalam
mengimplementasikan rencana jangka panjang:
alokasi sumber daya, peran berbagai pihak, dan
pemantauan progres.
a. Alokasi Sumber Daya
Salah satu aspek terpenting dalam
implementasi rencana adalah memastikan ada
pendanaan yang cukup untuk mendukung
langkah-langkah yang telah direncanakan
(Apud, 2018). Ini mencakup alokasi anggaran
untuk pengembangan kurikulum, pelatihan
guru, pemeliharaan fasilitas, dan sumber daya
pendidikan lainnya.
Terkadang, sumber daya mungkin
terbatas, dan inilah mengapa penting untuk
memprioritaskan langkah-langkah yang paling
penting dan efektif dalam mencapai tujuan
jangka panjang. Prioritisasi ini harus didasarkan
pada analisis kebutuhan dan dampak yang
diharapkan.

201
b. Peran Berbagai Pihak
Guru adalah kunci utama dalam
menjalankan rencana pendidikan. Mereka harus
diberdayakan melalui pelatihan dan
pengembangan profesional untuk
mengimplementasikan perubahan yang
diperlukan. Administrator, seperti kepala
sekolah dan koordinator kurikulum, memiliki
tanggung jawab dalam mengawasi dan
mendukung implementasi rencana di tingkat
sekolah. Selain itu, melibatkan pemangku
kepentingan lain seperti orangtua, dewan
sekolah, dan masyarakat setempat juga penting
karena dukungan mereka dapat meningkatkan
efektivitas implementasi dan mendukung
perubahan yang diusulkan.
c. Pemantauan Progres
Penting untuk memiliki sistem
pemantauan yang kuat yang mencakup
pengumpulan data, indikator kinerja, dan
evaluasi reguler untuk melacak progres
implementasi terhadap tujuan jangka panjang.
Fleksibilitas juga diperlukan untuk
menyesuaikan rencana jika diperlukan,
memungkinkan respons yang cepat terhadap
kendala atau perubahan yang tak terduga.
Komunikasi terbuka dan transparan mengenai
progres implementasi kepada semua pemangku
kepentingan adalah kunci untuk menciptakan
akuntabilitas dan mendapatkan dukungan yang
lebih besar.
Dengan alokasi sumber daya yang
tepat, peran yang jelas dari berbagai pihak, dan

202
pemantauan progres yang teliti, implementasi
rencana jangka panjang dalam pendidikan
berkelanjutan dapat berjalan lebih mulus dan
efektif (Sewang, 2015). Proses ini
memungkinkan pendidikan untuk terus
beradaptasi dengan kebutuhan masyarakat dan
peserta didik, sehingga menciptakan landasan
yang kuat untuk perkembangan pendidikan yang
berkelanjutan.

B. Mengatasi Perubahan dan Tantangan Masa


Depan Pendidikan
Pendidikan modern menghadapi beragam
perubahan dan tantangan termasuk perubahan
demografis, teknologi, dan aspek sosial-ekonomi.
Strategi mengatasi tantangan ini mencakup
identifikasi perubahan masa depan, kurikulum yang
fleksibel, pemanfaatan teknologi, peran guru, serta
melibatkan komunitas dan pemangku kepentingan
dalam pengambilan keputusan pendidikan. Semua
usaha ini bertujuan menciptakan sistem pendidikan
yang lebih adaptif, responsif, dan relevan dalam
dunia yang terus berkembang dengan cepat.
1. Identifikasi Tantangan Masa Depan
Pendidikan merupakan fondasi
pembangunan sosial dan ekonomi suatu negara
(Mubarok dkk, 2021). Namun, berbagai tantangan
kompleks di masa depan akan mempengaruhi cara
pendidikan diselenggarakan dan dikelola. Berikut
penjelasan lebih detail mengenai beberapa
tantangan utama yang akan dihadapi dalam bidang
pendidikan:

203
a. Perubahan Demografis
Tantangan pertama adalah peningkatan
jumlah siswa dengan kebutuhan khusus,
memerlukan pendekatan inklusif untuk
memastikan akses yang sama ke pendidikan
berkualitas (Wahid, 2023). Kedua, keberagaman
budaya, bahasa, dan latar belakang masyarakat
menuntut sensitivitas terhadap keberagaman
sebagai aset dalam pendidikan (Munadlir, 2016).
Ketiga, perubahan dalam struktur keluarga
seperti keluarga tunggal atau keluarga dengan
dua orang tua yang bekerja memengaruhi
organisasi pendidikan, memerlukan fleksibilitas
sistem pendidikan (Paramansyah, 2020).
b. Teknologi
Tantangan utama dalam menghadapi
kemajuan teknologi adalah memastikan
penggunaan teknologi yang efektif dalam
pembelajaran, yang memerlukan pemahaman
mendalam dalam mengintegrasikan alat dan
platform teknologi ke dalam kurikulum
(Alimuddin, 2023). Siswa perlu dilengkapi
dengan keterampilan digital termasuk literasi
digital, pemahaman etika online, dan
kemampuan berpikir kritis terhadap informasi
online. Walaupun teknologi penting, pendidikan
harus tetap menjaga nilai-nilai tradisional
seperti keterampilan sosial, komunikasi, dan
pemecahan masalah.
c. Tantangan Sosial-Ekonomi
Tantangan ekonomi pendidikan
melibatkan kesenjangan pendapatan, akses
merata, perbedaan daerah, kemajuan teknologi,
dan keterampilan lulusan. Upaya perlu

204
dilakukan untuk menyediakan sumber daya
yang merata tanpa memandang latar belakang
ekonomi siswa, mengatasi perbedaan antara
daerah perkotaan dan pedesaan serta negara
maju dan berkembang dalam akses pendidikan
berkualitas. Selain itu, pendidikan perlu
mempersiapkan lulusan untuk menghadapi
perubahan pekerjaan yang disebabkan oleh
teknologi dan otomatisasi dengan memastikan
mereka memiliki keterampilan yang relevan dan
fleksibilitas untuk beradaptasi dengan
perubahan yang akan datang.
Dalam menghadapi tantangan-
tantangan ini, pendidikan harus menjadi lebih
fleksibel, inklusif, dan responsif terhadap
perubahan yang terus berlangsung dalam
masyarakat dan ekonomi (Rambung, 2023). Hal
ini memerlukan kolaborasi antara pemerintah,
institusi pendidikan, industri, dan komunitas
untuk memastikan bahwa pendidikan dapat
memenuhi kebutuhan individu dan masyarakat
di masa depan.
2. Fleksibilitas Kurikulum
Fleksibilitas kurikulum merupakan
pendekatan yang sangat relevan dalam mengatasi
tantangan masa depan dalam pendidikan (Fakhri,
2023). Ini mencakup dua konsep utama yang dapat
memberikan pendekatan yang lebih adaptif dan
sesuai dengan kebutuhan siswa dan dunia kerja
yang terus berubah:
a. Kurikulum Berbasis Kompetensi
Kurikulum berbasis kompetensi
menitikberatkan pada pengembangan
keterampilan praktis siswa, termasuk

205
pemecahan masalah, berpikir kreatif,
komunikasi, kolaborasi, dan literasi digital
(Cayeni, 2019). Ini menghubungkan
pembelajaran dengan situasi dunia nyata,
memungkinkan siswa melihat relevansi
keterampilan mereka. Penilaian berfokus pada
kinerja dalam konteks dunia nyata, termasuk
tugas praktis, proyek, dan ujian. Kurikulum ini
juga memungkinkan pengajaran yang
disesuaikan dengan kebutuhan individu,
membantu siswa yang memerlukan bantuan
tambahan dan memberikan tantangan kepada
siswa yang sudah mahir.
b. Pendekatan Berbasis Proyek
Pendekatan berbasis proyek
mengintegrasikan pembelajaran ke dalam
proyek nyata atau simulasi situasi dunia nyata
(Santoso, 2022). Siswa diberikan tugas untuk
memecahkan masalah atau mencapai tujuan
konkret, mengembangkan keterampilan
kolaborasi, komunikasi, dan kepemimpinan
dalam kerja kelompok. Pendekatan ini
mendorong berpikir kreatif dalam
menyelesaikan masalah yang kompleks dan
meningkatkan motivasi siswa melalui hasil
nyata dan investasi dalam pembelajaran.
Penilaian mencakup evaluasi produk akhir dan
proses pembelajaran siswa.
c. Fleksibilitas kurikulum, dengan
menggabungkan kurikulum berbasis
kompetensi dan pendekatan berbasis proyek,
menciptakan lingkungan pembelajaran yang
lebih dinamis, relevan, dan responsif
terhadap perubahan dalam dunia pendidikan

206
dan pekerjaan. Ini juga memungkinkan siswa
untuk mengembangkan keterampilan yang
diperlukan untuk sukses dalam era modern
yang terus berkembang.
3. Pembelajaran Berbasis Teknologi
Pembelajaran berbasis teknologi adalah
konsep yang telah mengubah lanskap pendidikan
modern (Nurdyansyah, 2017). Ini mencakup
pemanfaatan berbagai alat dan platform teknologi
untuk meningkatkan pengalaman pembelajaran
siswa. Berikut adalah penjelasan lebih rinci tentang
komponen-komponen utama pembelajaran
berbasis teknologi:
a. Integrasi Teknologi
Penggunaan platform pembelajaran
online seperti Learning Management Systems
(LMS) memungkinkan guru untuk mengatur dan
menyampaikan materi pembelajaran secara
efisien (Sediyono dkk., 2022). Siswa dapat
mengakses materi, tugas, dan sumber daya
secara digital.
Perangkat lunak berbasis kecerdasan
buatan digunakan untuk menyusun rencana
pembelajaran yang disesuaikan dengan
kemampuan siswa, mengatasi perbedaan
tingkat kemampuan. Sumber daya digital seperti
buku elektronik, video pembelajaran, simulasi
interaktif, dan aplikasi pendidikan membuat
materi lebih menarik dan mudah diakses.
Teknologi memungkinkan guru melacak
kemajuan siswa secara akurat, memungkinkan
identifikasi area yang memerlukan bantuan
tambahan dan penyesuaian pengajaran sesuai
kebutuhan. Ini membantu menciptakan

207
pengalaman pembelajaran yang lebih efektif
dan relevan bagi setiap siswa.
b. Pembelajaran Online
Pembelajaran online memberikan siswa
kemampuan untuk mengakses materi dan tugas
kapan saja dan di mana saja (Setiawardhani,
2013). Hal ini memberikan fleksibilitas kepada
siswa yang memiliki jadwal yang padat atau
yang berada jauh dari institusi pendidikan.
Pembelajaran online juga
memungkinkan siswa untuk belajar sambil
bekerja. Mereka dapat mengejar gelar atau
sertifikasi tanpa harus meninggalkan pekerjaan
mereka.
Selama situasi darurat seperti pandemi,
pembelajaran online menjadi kunci untuk
memastikan bahwa pendidikan dapat berlanjut
tanpa mengorbankan keselamatan siswa dan
guru.
Siswa dapat berkolaborasi dengan
rekan-rekan mereka bahkan jika mereka
berada di lokasi yang berbeda melalui alat
komunikasi dan kolaborasi online seperti
konferensi video dan platform diskusi.
c. Metode Pembelajaran Berbasis Digital
Pembelajaran berbasis digital
mencakup pengembangan literasi digital, yaitu
kemampuan untuk menggunakan teknologi
dengan bijak dan efektif (Farid, 2023). Ini
termasuk pemahaman tentang bagaimana
mencari informasi secara online, mengelola
data, dan menjaga keamanan online.
Siswa diajarkan etika online, termasuk
penghormatan terhadap privasi orang lain,

208
pencegahan cyberbullying, dan pemahaman hak
cipta di dunia digital. Mereka juga mempelajari
keterampilan untuk membedakan sumber daya
digital yang kredibel dan tidak kredibel serta
cara mengevaluasi dan menggunakan informasi
yang mereka temukan secara online.
Pembelajaran berbasis teknologi bukan
sekadar menggantikan metode tradisional,
melainkan lebih tentang memperkaya pengalaman
pembelajaran dan meningkatkan akses ke
pendidikan berkualitas. Hal ini juga menekankan
perlunya perencanaan yang matang dan
pengembangan keterampilan digital bagi guru dan
siswa agar teknologi dapat dimanfaatkan secara
optimal dalam proses pendidikan.
4. Pemberdayaan Guru
Pemberdayaan guru adalah elemen penting
dalam meningkatkan kualitas pendidikan dan
menghadapi berbagai tantangan yang ada (Yasin,
2021). Ini melibatkan berbagai aspek yang
mendukung guru dalam memainkan peran sentral
mereka dalam proses pendidikan. Berikut adalah
penjelasan lebih rinci tentang pemberdayaan guru:
a. Pendidikan Guru yang Berkelanjutan
Guru harus memiliki akses ke pelatihan
dan pengembangan berkelanjutan yang
memungkinkan mereka untuk selalu mengikuti
perkembangan terbaru dalam dunia pendidikan
dan teknologi (Rifa'i, 2018). Ini melibatkan
kursus, lokakarya, seminar, dan sumber daya
pelatihan lainnya.
Pendidikan berkembang terus, dan guru
harus siap untuk mengadaptasi pengajaran
mereka sesuai dengan perubahan kurikulum,

209
metode pengajaran, dan teknologi yang terus
berkembang.
Guru juga harus memiliki pelatihan yang
sesuai dengan subjek yang mereka ajarkan dan
kebutuhan khusus siswa mereka, seperti
pendidikan inklusif atau pendidikan khusus.
Pelatihan berkelanjutan juga mencakup
kemampuan guru untuk mempraktikkan metode
pengajaran terbaik berdasarkan penelitian dan
pengalaman.
b. Pengembangan Profesional
Guru perlu didorong untuk terus
meningkatkan keterampilan mereka dalam
mengajar. Ini termasuk kemampuan komunikasi
efektif, keterampilan manajemen kelas, dan
kemampuan untuk memotivasi siswa.
Pada era digital, guru juga harus
diberdayakan untuk menggunakan teknologi
dalam pembelajaran (Tarihoran, 2019). Mereka
perlu memahami cara mengintegrasikan alat-
alat digital dan sumber daya dalam pengajaran
mereka.
Guru yang mampu memimpin dalam hal
mengubah praktik pengajaran dan memimpin
inisiatif pendidikan di sekolah atau dalam
komunitas pendidikan adalah aset berharga.
Mendorong kolaborasi antar guru dan
tim kerja guru dapat meningkatkan
pengembangan profesional. Ini memungkinkan
pertukaran ide dan praktik terbaik.
c. Peran Guru dalam Menghadapi Perubahan
Guru harus siap untuk mengadaptasi
kurikulum mereka sesuai dengan kebutuhan
siswa dan perkembangan dalam bidang

210
pendidikan. Ini termasuk menyesuaikan metode
pengajaran dan sumber daya yang digunakan.
Guru harus memiliki kebebasan untuk
menggunakan kreativitas mereka dalam
pengajaran, mencari cara baru untuk membuat
pelajaran menarik dan relevan bagi siswa.
Guru berperan dalam memotivasi siswa
untuk belajar, mengembangkan minat mereka
dalam bidang studi, dan membantu mereka
mengatasi hambatan dalam pembelajaran
(Arianti, 2019).
Guru memiliki peran penting dalam
mengembangkan keterampilan sosial,
emosional, dan keterampilan kehidupan siswa
yang berlaku tidak hanya dalam konteks
akademis, tetapi juga dalam kehidupan sehari-
hari. Pemberdayaan guru melalui pelatihan dan
pengembangan yang berkelanjutan adalah
investasi kunci dalam meningkatkan kualitas
pendidikan. Dengan dukungan ini, guru dapat
memberikan pengalaman pendidikan yang lebih
baik bagi siswa dan bersiap menghadapi
tantangan masa depan, menjadikan mereka
agen perubahan dalam dunia pendidikan yang
dinamis.
5. Keterlibatan Komunitas dan Pihak Terkait
Melibatkan komunitas, orangtua, dan
pemangku kepentingan lainnya adalah aspek kritis
dalam merancang pendidikan yang efektif dan
relevan (Rambung, 2023). Berikut adalah penjelasan
lebih lanjut mengenai pentingnya keterlibatan
komunitas dan pemangku kepentingan dalam
pendidikan:

211
a. Partisipasi Orangtua
Melibatkan orangtua dalam pendidikan
anak-anak mereka adalah kunci untuk
kesuksesan siswa. Sekolah harus mendorong
orangtua untuk aktif terlibat dalam kehidupan
sekolah, baik dalam mengawasi tugas-tugas
siswa, menghadiri pertemuan guru, maupun
berpartisipasi dalam aktivitas sekolah (Rahman,
2014).
Orangtua perlu diberikan akses mudah
untuk mengawasi kemajuan akademis anak-
anak mereka, dengan informasi tentang nilai,
kehadiran, dan perkembangan siswa yang
tersedia secara transparan. Selain itu, mereka
juga sebaiknya diundang untuk berpartisipasi
aktif dalam pengambilan keputusan di sekolah,
termasuk pengembangan kebijakan sekolah,
penentuan kurikulum, dan alokasi anggaran. Ini
akan memastikan keterlibatan orangtua yang
lebih besar dalam pendidikan anak-anak
mereka.
b. Kemitraan dengan Komunitas
Sekolah dapat mengambil keuntungan
dari sumber daya lokal, seperti profesional atau
organisasi non-profit, untuk memberikan
pengalaman dunia nyata bagi siswa
(Isrososiawan, 2013). Misalnya, menghadirkan
pengusaha lokal sebagai pembicara tamu atau
mengorganisir kunjungan lapangan ke
perusahaan setempat.
Program mentorship yang melibatkan
komunitas dapat meningkatkan pemahaman
siswa tentang dunia kerja dan karir yang
diminati, sementara kolaborasi dengan

212
organisasi atau kelompok masyarakat yang
beragam akan mendukung pendidikan inklusif.
c. Keterlibatan Pemangku Kepentingan
Mendengarkan pemerintah, dunia
usaha, organisasi non-profit, dan pemangku
kepentingan lain dalam perencanaan pendidikan
sangat penting. Ini memastikan keputusan
pendidikan lebih berbasis data dan sesuai
dengan konteks lokal, yang juga membantu
menyesuaikan kurikulum dengan kebutuhan
ekonomi dan masyarakat. Selain itu,
berkolaborasi dengan pemangku kepentingan
juga dapat membuka akses ke sumber daya
tambahan seperti dana, teknologi, dan pelatihan
guru. (Mubaroq, 2018).
Dengan melibatkan komunitas, orangtua,
dan pemangku kepentingan lainnya dalam
pendidikan, sekolah dapat menciptakan lingkungan
pembelajaran yang lebih komprehensif dan relevan.
Hal ini tidak hanya mendukung kesuksesan siswa
tetapi juga menghubungkan pendidikan dengan
dunia luar, membantu siswa memahami bagaimana
pembelajaran mereka relevan dalam konteks
masyarakat yang lebih luas.

213
DAFTAR PUSTAKA

Abdul Majid. 2016. Strategi Pembelajaran, Bandung.


PT Remaja Rosda Karya.
Abidin, yusuf. (2009). Guru dan Pembelajran
Bermutu. Bandung: Rifky.
Adang, Suherman. (2011). Penelitian pendidikan.
Bandung: Universitas Pendidikan Indonesia.
Adhi, Darmasaputro dan Willian, Gunawan, 2018 .
Hubungan Efikasi Diri Pengamalan
Keputusan Karir dan Pengambilan Keputusan
Karir Bagi Siswa SMA, Rian: Universitas
Islam Negeri Sultan Syarif Kasim.
Adisusilo, S (2013). Pembelajaran Nilai-nilai
Karakter, Konstruktivisme dan VCT Sebagi
Inovasi Pendekatan Pembelajaran Afektif.
Rajawali Pers.
Aini, Y. I. (2019). Pemanfaatan Media Pembelajaran
quizizz untuk pembelajaran jenjang
pendidikan dasar dan menengah di Bengkulu.
Kependidikan, 2(25).
Alimuddin, A., Juntak, J. N. S., Jusnita, R. A. E.,
Murniawaty, I., & Wono, H. Y. (2023). Teknologi
Dalam Pendidikan: Membantu Siswa
Beradaptasi Dengan Revolusi Industri 4.0.
Journal on Education, 5(4), 11777-11790.
Alnahdi, G., Goldan, J., & Schwab, S. (2021).
Psychometric properties and rasch validation
of the teachers’ version of the perception of
resources questionnaire. Frontiers in
Psychology, 12.
https://doi.org/10.3389/fpsyg.2021.633801

214
Ananda, R., Rafida, T., & Wijaya, C. (2017). Pengantar
evaluasi program pendidikan.
Anbarasi, M., Rajkumar, G., Krishnakumar, S.,
Rajendran, P., Venkatesan, R., Dinesh, T., ... &
Venkidusamy, S. (2015). Learning style-based
teaching harvests a superior comprehension
of respiratory physiology. Adv Physiol Educ,
39(3), 214-217.
https://doi.org/10.1152/advan.00157.2014
Anggraini, V, Edriati, S., Maharani, A., & Husnita, L.
(2019). Teacher Perception toward Thematic
Learning of Indonesian Curricullum at First
Class of Elementary School.
https://doi.org/10.4108/eai.23-3-
2019.2284983
Anggraini, Villia, Edriati, S., Maharani, A. D., &
Husnita, L. (2020). Implementation of
Thematic Learning Model at Elementary
Schools of Lima Puluh Kota Regency.
409(SoRes 2019), 470–472.
https://doi.org/10.2991/assehr.k.200225.100
Apud, A. (2018). Manajemen Mutu Pendidikan MAN
Insan Cendekia: Analisis terhadap
Pengelolaan Mutu Program Akademik di MAN
Insan Cendekia Serpong-Tangerang Selatan.
Tarbawi: Jurnal Keilmuan Manajemen
Pendidikan, 4(02), 171-190.
Arshad, A. (2023). Nexus between financial inclusion
and women empowerment: evidence from
developing countries. Gender in Management
an International Journal, 38(4), 561-580.
https://doi.org/10.1108/gm-04-2022-0125
Atmaja, Tandar, Twi, 2014. Upaya Meningkatkan
Perencanaan Karir Siswa Melalui Bimbingan

215
Karir Dengan Penggunaan Media Modul,
Yogyakarta: Universitas Ahmad Dahlan.
Austin, V. (2001). Teachers' beliefs about co-
teaching. Remedial and Special Education,
22(4), 245-255.
https://doi.org/10.1177/074193250102200408
Barbey, A., Krueger, F., & Grafman, J. (2009). An
evolutionarily adaptive neural architecture
for social reasoning. Trends in
Neurosciences, 32(12), 603-610.
https://doi.org/10.1016/j.tins.2009.09.001
Bardick, A., Bernes, K., Magnusson, K., & Witko, K.
(2006). Junior high school students' career
plans for the future. Journal of Career
Development, 32(3), 250-271.
https://doi.org/10.1177/0894845305279168
Becker, R. and Hecken, A. (2009). Higher education
or vocational training?. Acta Sociologica,
52(1), 25-45.
https://doi.org/10.1177/0001699308100632
Berry, A., Petrin, R., Gravelle, M., & Farmer, T. (2011).
Issues in special education teacher
recruitment, retention, and professional
development: considerations in supporting
rural teachers. Rural Special Education
Quarterly, 30(4), 3-11.
https://doi.org/10.1177/875687051103000402
Biasutti, M., Philippe, R., & Schiavio, A. (2021).
Assessing teachers’ perspectives on giving
music lessons remotely during the covid-19
lockdown period. Musicae Scientiae, 26(3),
585-603.
https://doi.org/10.1177/1029864921996033

216
Binangkit, I. D., & Siregar, D. I. (2020).
Internasionalisasi dan reformasi perguruan
tinggi: Studi kasus pada lembaga pendidikan
tinggi Muhammadiyah. JDMP (Jurnal
Dinamika Manajemen Pendidikan), 4(2), 131-
138.
Bondy, E., Ross, D., Gallingane, C., & Hambacher, E.
(2007). Creating environments of success and
resilience. Urban Education, 42(4), 326-348.
https://doi.org/10.1177/0042085907303406
Boyadjieva, P. and Ilieva-Trichkova, P. (2017).
Between inclusion and fairness. Adult
Education Quarterly, 67(2), 97-117.
https://doi.org/10.1177/0741713616685398
Bunbury, S. (2018). Disability in higher education – do
reasonable adjustments contribute to an
inclusive curriculum?. International Journal
of Inclusive Education, 24(9), 964-979.
https://doi.org/10.1080/13603116.2018.1503347
Buysse, V. (1993). Friendships of preschoolers with
disabilities in community-based child care
settings. Journal of Early Intervention, 17(4),
380-395.
https://doi.org/10.1177/105381519301700404
Callaghan, D. (2003). Health-promoting self-care
behaviors, self-care self-efficacy, and self-
care agency. Nursing Science Quarterly,
16(3), 247-254.
https://doi.org/10.1177/0894318403016003016
Carrington, S., Mercer, K., Iyer, R., & Selva, G. (2014).
The impact of transformative learning in a
critical service-learning program on teacher
development: building a foundation for
inclusive teaching. Reflective Practice, 16(1),

217
61-72.
https://doi.org/10.1080/14623943.2014.969696
Cayeni, W., & Utari, A. S. (2019, July). Penggunaan
Teknologi Dalam Pendidikan: Tantangan Guru
Pada Era Revolusi Industri 4.0. In Prosiding
Seminar Nasional Program Pascasarjana
Universitas Pgri Palembang.
Cheng, N. and Wong, M. (2015). Knowledge and
attitude of school teachers towards
promoting healthy lifestyle to students.
Health, 07(01), 119-126.
https://doi.org/10.4236/health.2015.71014
Colvin, G., Sugai, G., Good, R., & Lee, Y. (1997). Using
active supervision and precorrection to
improve transition behaviors in an
elementary school.. School Psychology
Quarterly, 12(4), 344-363.
https://doi.org/10.1037/h0088967
Colvin, G., Sugai, G., Good, R., & Lee, Y. (1997). Using
active supervision and precorrection to
improve transition behaviors in an
elementary school.. School Psychology
Quarterly, 12(4), 344-363.
https://doi.org/10.1037/h0088967
Cook, B., Semmel, M., & Gerber, M. (1999). Attitudes
of principals and special education teachers
toward the inclusion of students with mild
disabilities. Remedial and Special Education,
20(4), 199-207.
https://doi.org/10.1177/074193259902000403
Dayagbil, F., Palompon, D., Garcia, L., & Olvido, M.
(2021). Teaching and learning continuity amid
and beyond the pandemic. Frontiers in

218
Education, 6.
https://doi.org/10.3389/feduc.2021.678692
Depdiknas,2003. Undang-Undang Ri N0. 20 tahun
2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional,
Jakarta: Depdiknas
Depdiknas. (2003). Undang-Undang No. 20 Tahun
2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional.
Jdih.Kemdikbud.Go.Id.
Desombre, C., Delaval, M., & Jury, M. (2021). Influence
of social support on teachers' attitudes
toward inclusive education. Frontiers in
Psychology, 12.
https://doi.org/10.3389/fpsyg.2021.736535
Dewsbury, B. and Brame, C. (2019). Inclusive
teaching. Cbe—life Sciences Education, 18(2),
fe2. https://doi.org/10.1187/cbe.19-01-0021
Ducate, L. and Lomicka, L. (2013). Going mobile:
language learning with an ipod touch in
intermediate french and german classes.
Foreign Language Annals, 46(3), 445-468.
https://doi.org/10.1111/flan.12043
Dyson, A. (2004). Inclusive education : a global
agenda?. The Japanese Journal of Special
Education, 41(6), 613-625.
https://doi.org/10.6033/tokkyou.41.613
Elliott, J. (2009). The nature of teacher authority and
teacher expertise. Support for Learning,
24(4), 197-203. https://doi.org/10.1111/j.1467-
9604.2009.01429.x
Ewing, D. and Kwoka, M. (2013). Teachers’ attitudes
towards inclusion, perceived adequacy of
support and classroom learning
environment. Learning Environments

219
Research, 17(1), 113-126.
https://doi.org/10.1007/s10984-013-9144-8
Fakhri, A. (2023). Kurikulum Merdeka dan
Pengembangan Perangkat Pembelajaran:
Menjawab Tantangan Sosial Dalam
Meningkatkan Keterampilan Abad 21.
Proceeding UM Surabaya, 1(1).
Fallon, L., Veiga, M., Susilo, A., Robinson-Link, P.,
Berkman, T., Minami, T., … & Kilgus, S. (2021).
Exploring the relationship between teachers'
perceptions of cultural responsiveness,
student risk, and classroom behavior.
Psychology in the Schools, 59(10), 1948-1964.
https://doi.org/10.1002/pits.22568
Farid, A. (2023). Literasi Digital Sebagai Jalan
Penguatan Pendidikan Karakter Di Era
Society 5.0. Cetta: Jurnal Ilmu Pendidikan,
6(3), 580-597.
Fatimah, F., & Kartikasari, R. D. (2018). Strategi
belajar dan pembelajaran dalam
meningkatkan keterampilan bahasa. Pena
Literasi, 1(2), 108-113
Fattah, Nanang, 2008, Landasan Manajemen
Pendidikan, Bandung: Remaja Rosdakarya,
Fennick, E. and Liddy, D. (2001). Responsibilities and
preparation for collaborative teaching: co-
teachers' perspectives. Teacher Education
and Special Education the Journal of the
Teacher Education Division of the Council for
Exceptional Children, 24(3), 229-240.
https://doi.org/10.1177/088840640102400307
Fernando, I., & Husnita, L. (2019). Nilai Karakter
Berbasis Budaya Minangkabau Pada
Masyarakat Kabupaten Agam. Seminar

220
Nasional Sejarah Ke 4 Jurusan Pendidikan
Sejarah Universitas Negeri Padang, 319–323.
Florian, L. (2017). The heart of inclusive education is
collaboration. Pedagogika, 126(2), 248-253.
https://doi.org/10.15823/p.2017.32
Gaebel, M., Kupriyanova, V., Morais, R., & Colucci, E.
(2014). E-Learning in European Higher
Education Institutions: Results of a Mapping
Survey Conducted in October-December
2013. European University Association.
Gemnafle, M., & Batlolona, J. R. (2021). Manajemen
pembelajaran. Jurnal Pendidikan Profesi
Guru Indonesia (JPPGI), 1(1), 28-42.
Gilakjani, A. (2012). A match or mismatch between
learning styles of the learners and teaching
styles of the teachers. International Journal
of Modern Education and Computer Science,
4(11), 51-60.
https://doi.org/10.5815/ijmecs.2012.11.05
Glazzard, J. (2011). Perceptions of the barriers to
effective inclusion in one primary school:
voices of teachers and teaching assistants.
Support for Learning, 26(2), 56-63.
https://doi.org/10.1111/j.1467-9604.2011.01478.x
Gonçalves, A. (2022). Practices for inclusive
education – learning communities and their
contribution to everyone's school success.
International Journal of Human Sciences
Research, 2(36), 2-11.
https://doi.org/10.22533/at.ed.5582362223111
Goodall, E., Brownlow, C., Fein, E., & Candeloro, S.
(2022). Creating inclusive classrooms for
highly dysregulated students: what can we
learn from existing literature?. Education

221
Sciences, 12(8), 504.
https://doi.org/10.3390/educsci12080504
Greef, M., Verte, D., & Segers, M. (2014). Differential
outcomes of adult education on adult
learners' increase in social inclusion. Studies
in Continuing Education, 37(1), 62-78.
https://doi.org/10.1080/0158037x.2014.967346
Gresham, F. (2014). Evidence-based social skills
interventions for students at risk for ebd.
Remedial and Special Education, 36(2), 100-
104. https://doi.org/10.1177/0741932514556183
Guardiola, A., Barratt, M., & Omoruyi, E. (2016).
Impact of individualized learning plans on
united states senior medical students
advanced clinical rotations. Journal of
Educational Evaluation for Health
Professions, 13, 39.
https://doi.org/10.3352/jeehp.2016.13.39
Gunn, K. and Delafield-Butt, J. (2016). Teaching
children with autism spectrum disorder with
restricted interests. Review of Educational
Research, 86(2), 408-430.
https://doi.org/10.3102/0034654315604027
Guo, W. (2022). An analysis of educational inequality
in china caused by social reproduction., 1436-
1444. https://doi.org/10.2991/978-2-494069-
31-2_170
Hairani, E. (2018). Pembelajaran sepanjang hayat
menuju masyarakat berpengetahuan. Tajdid:
Jurnal Pemikiran Keislaman dan
Kemanusiaan, 2(1), 355-377.
Harianto, E. (2018). Implementasi lean canvas Pada
project corporate entrepreneurship.

222
Harvey, M., Yssel, N., Bauserman, A., & Merbler, J.
(2008). Preservice teacher preparation for
inclusion. Remedial and Special Education,
31(1), 24-33.
https://doi.org/10.1177/0741932508324397
Haryanto. 2020 . Evaluasi Pembelajaran (Konsep
dan Manajemen). Yogyakarta:UNY Press
Hasriadi, H. (2022). Strategi Pembelajaran. Husaini,
R. N., & Sutama, S. (2021). Manajemen Sumber
Daya Manusia Dalam Instansi Pendidikan.
Didaktis: Jurnal Pendidikan dan Ilmu
Pengetahuan, 21(1).
Heidemann, L., Schiller, J., Allen, B., Hughes, D.,
Fitzgerald, J., & Morgan, H. (2021). Student
perceptions of educational handovers. The
Clinical Teacher, 18(3), 280-284.
https://doi.org/10.1111/tct.13327
Hellmich, F., Loper, M., & Görel, G. (2019). The role of
primary school teachers’ attitudes and self‐
efficacy beliefs for everyday practices in
inclusive classrooms – a study on the
verification of the ‘theory of planned
behaviour’. Journal of Research in Special
Educational Needs, 19(S1), 36-48.
https://doi.org/10.1111/1471-3802.12476
Herwina, W. (2023). Perencanaan Program
Pendidikan Masyarakat. Madiun: CV. Bayfa
Cendekia Indonesia.
Hidayat, R., & Wijaya, C. (2016). Ilmu pendidikan
Islam: menuntun arah pendidikan Islam di
Indonesia. Lembaga Peduli Pengembangan
Pendidikan Indonesia.
Hjelle, K., Skutle, O., Førland, O., & Alvsvåg, H. (2016).
The reablement team’s voice: a

223
qualitative study of how an integrated
multidisciplinary team experiences
participation in reablement. Journal of
Multidisciplinary Healthcare, Volume 9, 575-
585. https://doi.org/10.2147/jmdh.s115588
Hocutt, A. (1996). Effectiveness of special education:
is placement the critical factor?. The Future of
Children, 6(1), 77.
https://doi.org/10.2307/1602495
Hunt, P., Soto, G., Maier, J., Liboiron, N., & Bae, S.
(2004). Collaborative teaming to support
preschoolers with severe disabilities who are
placed in general education early childhood
programs. Topics in Early Childhood Special
Education, 24(3), 123-142.
https://doi.org/10.1177/02711214040240030101
Husnita, L., & Junaidi, J. K. (2023). Pendekatan dan
Strategi Pembelajaran Berorientasi Model
Pembelajaran Kooperatif. Omera Pustaka.
Idris (2020). Perencanaan Pendidikan Dalam
Konteks Desentralisasi Pendidikan. Scolae:
Journal of Pedagogy, 3(2), 122-129.
Iliyasu, U., Muhammad, K., & Gambo, N. (2022).
Gradual release of responsibility as a tool for
effective curriculum delivery for better
education service in an inclusive setting in
secondary schools in bauchi state.
International Journal of Education and
Evaluation, 8(4), 31-39.
https://doi.org/10.56201/ijee.v8.no4.2022.pg31
.39
Indriani, F. and Satrianawati, S. (2019). The
evaluation inclusive education program
based pancasila values in giwangan

224
elementary school yogyakarta. Kne Social
Sciences.
https://doi.org/10.18502/kss.v3i17.4661
Iryna, S., Oleksandr, K., Tetiana, H., Olena, P., & Yuliia,
B. (2020). Сurrent trends in inclusive primary
school. Revista Tempos E Espaços Em
Educação, 13(32), 1-20.
https://doi.org/10.20952/revtee.v13i32.14961
Isrososiawan, S. (2013). Peran kewirausahaan
dalam pendidikan. Society, 4(1), 26-49.
Istiarsyah, A. H. D., & Ahmad, N. A. (2019). The
Influence of Special Education Training on
Teachers’ Attitudes towards Inclusive
Education: Case Study in Aceh Province,
Indonesia. Journal of Academic Research in
Progressive Education and Development,
8(4), 1016-1027.
http://doi.org/10.6007/IJARPED/v8-i4/6901
Jenkins, J., Antil, L., Wayne, S., & Vadasy, P. (2003).
How cooperative learning works for special
education and remedial students. Exceptional
Children, 69(3), 279-292.
https://doi.org/10.1177/001440290306900302
Joyce, Bruce and Weil, Marsha. (1980). Models of
Teaching (Second Edition). Englewood Cliffs,
New Jersey: Prentice-Hall, Inc
Juditya, S. (2023). Pendidikan Jasmani Di Era
Kurikulum Merdeka (Konsep dan
Implementasi dari Sisi Model Pembelajaran).
CV Pena Persada.
Junaedi, I. (2019). Proses pembelajaran yang efektif.
JISAMAR (Journal of Information System,
Applied, Management, Accounting and
Research), 3(2), 19-25.

225
Junaid, H. (2012). Sumber, Azas Dan Landasan
Pendidikan (Kajian Fungsionalisasi secara
makro dan mikro terhadap rumusan
kebijakan pendidikan nasional). Sulesana
7(2), 84-102.
Kadarwati, A., & Malawi, I. (2017). Pembelajaran
tematik:(Konsep dan aplikasi). Cv. Ae Media
Grafika.
Kasmawati (2019). Implementasi perencanaan
pendidikan dalam lembaga pendidikan islam.
Jurnal idaarah. III(1), 138-147.
Kastawi, N. S., & Yuliejantiningsih, Y. (2019).
Pengembangan keprofesian berkelanjutan
guru untuk meningkatkan mutu pendidikan.
Kelola: Jurnal Manajemen Pendidikan, 6(2),
157-168.
Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Pusat
Pendidikan dan Pelatihan Pegawai. (2017).
Modul Pelatihan Perencanaan Pendidikan.
Depok: Kementerian Pendidikan dan
Kebudayaan.
Kementrian Pendidikan Nasional. (2011). Panduan
Pelaksanaan Pendidikan Karakter.
Http://Repository.Unand.Ac.Id/.
http://repository.unand.ac.id/22742/1/4_PAN
DUAN_PELAKS_PENDIDIKAN_KARAKTER.pdf
Khairuddin, K., Dally, K., & Foggett, J. (2016).
Collaboration between general and special
education teachers in malaysia. Journal of
Research in Special Educational Needs, 16,
909-913. https://doi.org/10.1111/1471-
3802.12230
Kieft, M., Rijlaarsdam, G., & Bergh, H. (2006). Writing
as a learning tool: testing the role of students’

226
writing strategies. European Journal of
Psychology of Education, 21(1), 17-34.
https://doi.org/10.1007/bf03173567
Kurniawati, E. W. (2021). Evaluasi Program
pendidikan perspektif model cipp (context,
input, process, product). GHAITSA: Islamic
Education Journal, 2(1), 19-25.
Latif, Y. (2020). PENDIDIKAN YANG
BERKEBUDAYAAN. PT Gramedia Pustaka
Utama.
https://books.google.co.id/books?id=224LEA
AAQBAJ
Lee, J. and Desjardins, R. (2019). Inequality in adult
learning and education participation: the
effects of social origins and social inequality.
International Journal of Lifelong Education,
38(3), 339-359.
https://doi.org/10.1080/02601370.2019.1618402
Lee, S., Wehmeyer, M., Palmer, S., Soukup, J., &
Little, T. (2008). Self-determination and
access to the general education curriculum.
The Journal of Special Education, 42(2), 91-
107. https://doi.org/10.1177/0022466907312354
Leifler, E. (2020). Teachers' capacity to create
inclusive learning environments.
International Journal for Lesson and
Learning Studies, 9(3), 221-244.
https://doi.org/10.1108/ijlls-01-2020-0003
Lersilp, T. (2016). Access to information for learning
by using assistive technology for
undergraduate students with disabilities in
northern thailand. Information, 7(4), 54.
https://doi.org/10.3390/info7040054

227
Lickona, T. (n.d.). Character Development in Schools
and Beyond. Books.Google.Co.Id.
https://books.google.co.id/
Lourenço, G., Gonçalves, A., & Elias, N. (2015).
Differentiated instructional strategies and
assistive technology in brazil: are we talking
about the same subject?. Universal Journal of
Educational Research, 3(11), 891-896.
https://doi.org/10.13189/ujer.2015.031115
Luke, K. (2021). Twelve tips for designing an inclusive
curriculum in medical education using
universal design for learning (udl) principles.
Mededpublish, 10(1).
https://doi.org/10.15694/mep.2021.000118.1
Luneto, B. (2023). PERENCANAAN PENDIDIKAN.
Mataram: Sanabil.
Mahmudah, H., Suhariyanto, D., Fajrina, R. M.,
Marwenny, E., Husnita, L., Nazmi, R.,
Iswardhana, M. R., Wahyuni, S., Citra, H., &
Sa’dianoor, S. (2023). PENGANTAR
KEWARGANEGARAAN : Membentuk Warga
Negara Yang Berkualitas. PT. Sonpedia
Publishing Indonesia.
https://books.google.co.id/books?id=0hTTEA
AAQBAJ
Mahmudi, I. (2011). CIPP: Suatu model evaluasi
program pendidikan. At-Ta'dib, 6(1).
Maimane, J. (2016). The impact of student support
services on students enrolled for national
certificate vocational in motheo district, free
state, south africa. Universal Journal of
Educational Research, 4(7), 1680-1686.
https://doi.org/10.13189/ujer.2016.040721

228
Martin, T. and Alborz, A. (2014). Supporting the
education of pupils with profound intellectual
and multiple disabilities: the views of
teaching assistants regarding their own
learning and development needs. British
Journal of Special Education, 41(3), 309-327.
https://doi.org/10.1111/1467-8578.12070
Matin. (2017). Dasar-dasar Perencanaan Pendidikan.
Jakarta: PT RajaGrafindo Persada.
McInerney, D. (2008). Personal investment, culture
and learning: insights into school
achievement across anglo, aboriginal, asian
and lebanese students in australia.
International Journal of Psychology, 43(5),
870-879.
https://doi.org/10.1080/00207590701836364
McNicholl, A., Casey, H., Desmond, D., & Gallagher,
P. (2019). The impact of assistive technology
use for students with disabilities in higher
education: a systematic review. Disability and
Rehabilitation Assistive Technology, 16(2),
130-143.
https://doi.org/10.1080/17483107.2019.1642395
Meskhi, B., Ponomareva, S., & Ugnich, E. (2019). E-
learning in higher inclusive education: needs,
opportunities and limitations. International
Journal of Educational Management, 33(3),
424-437. https://doi.org/10.1108/ijem-09-
2018-0282
Mills, K., Coenraad, M., Ruiz, P., Burke, Q., &
Weisgrau, J. (2021). Computational thinking
for an inclusive world: a resource for
educators to learn and lead..
https://doi.org/10.51388/20.500.12265/138

229
Morningstar, M., Shogren, K., Lee, H., & Born, K.
(2015). Preliminary lessons about supporting
participation and learning in inclusive
classrooms. Research and Practice for
Persons With Severe Disabilities, 40(3), 192-
210. https://doi.org/10.1177/1540796915594158
Mubarok, I. R., & Tambunan, K. (2021). Pembangunan
Ekonomi Indonesia: Peran Pendidikan
Sebagai Fondasi Penting Pertumbuhan
Ekonomi Di Indonesia. Jurnal Ilmiah Ekonomi
dan Bisnis TRIANGLE, 2(4), 492-499.
Mubaroq, S. (2018). Konsep kurikulum rekonstruksi
sosial dalam menghadapi pembelajaran di
era modern. Belajar Bahasa: Jurnal Ilmiah
Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra
Indonesia, 3(1).
Munadlir, A. (2016). Strategi sekolah dalam
pendidikan multikultural. Jurnal Pendidikan
Sekolah Dasar Ahmad Dahlan, 2(2), 114-130.
Muryani, E., Sulistiarini, E. B., Prihatiningsih, T. S.,
Ramadhana, M. R., Heriteluna, M., Maghfur, I.,
... & Purnomo, A. (2022). Manajemen Sumber
Daya Manusia. UNISMA PRESS.
Nabillah, T., & Abadi, A. P. (2020). Faktor penyebab
rendahnya hasil belajar siswa. Prosiding
Sesiomadika, 2(1c).
Ndlovu, S. (2021). Provision of assistive technology
for students with disabilities in south african
higher education. International Journal of
Environmental Research and Public Health,
18(8), 3892.
https://doi.org/10.3390/ijerph18083892
Nicoll, K., Fejes, A., Olson, M., Dahlstedt, M., & Biesta,
G. (2013). Opening discourses of citizenship

230
education: a theorization with foucault.
Journal of Education Policy, 28(6), 828-846.
https://doi.org/10.1080/02680939.2013.823519
Nolfi, S., Parisi, D., & Elman, J. (1994). Learning and
evolution in neural networks. Adaptive
Behavior, 3(1), 5-28.
https://doi.org/10.1177/105971239400300102
Nuraeni, N., & Mujahidin, E. (2021). Landasan dan
Prinsip-prinsip Perencanaan Pendidikan
Islam. Idarah Tarbawiyah: Journal of
Management in Islamic Education, 2(2), 104-
121.
Nurasiah, I., Marini, A., Nafiah, M., & Rachmawati, N.
(2022). Nilai kearifan lokal: projek paradigma
baru program sekolah penggerak untuk
mewujudkan profil pelajar pancasila. Jurnal
Basicedu, 6(3), 3639-3648.
Nurdyansyah, N. (2017). Sumber daya dalam
teknologi pendidikan. Universitas
Muhammadiyah Sidoarjo.
Nurstalis, N., Ibrahim, T., & Abdurrohim, N. (2021).
Peran Manajemen Sarana Dan Prasarana
Dalam Meningkatkan Mutu Pembelajaran Di
SMP Islam Cendekia Cianjur. Jurnal Isema:
Islamic Educational Management, 6(1), 63-76.
O'Reilly, S. and Milner, J. (2015). Supporting
culturally and linguistically diverse students
during clinical placement: strategies from
both sides of the table. BMC Medical
Education, 15(1).
https://doi.org/10.1186/s12909-015-0458-3
Pandian, V., Ghazi, T., He, M., Isak, E., Saleem, A.,
Semler, L., … & Brenner, M. (2022).
Multidisciplinary difficult airway team

231
characteristics, airway securement success,
and clinical outcomes: a systematic review.
Annals of Otology Rhinology & Laryngology,
132(8), 938-954.
https://doi.org/10.1177/00034894221123124
Pangestika, R. R., & Alfarisa, F. (2015). Pendidikan
profesi guru (PPG): Strategi pengembangan
profesionalitas guru dan peningkatan mutu
pendidikan Indonesia. In Makalah Prosiding
Seminar Nasional (Vol. 9, No. 1, pp. 671-683).
Paramansyah, H. A., & SE, M. (2020). Manajemen
Pendidikan Dalam Menghadapi Era Digital.
Peraturan Pemerintah Republik Indonesia No.4
tahun 2022 Tentang Perubahan Atas
Peraturan Pemerintah Nomor 57 Tahun 2021
tentang standar nasional pendidikan.
Peraturan Pemerintah Republik Indonesia No. 19
Tahun 2005 Tentang Standar Nasional
Pendidikan.
Permendikbud, 2014. Bimbingan dan Konseling
Pendidikan Dasar dan Pendidikan Menengah,
Jakarta: Depdiknas
Phelps, L., Durham, J., & Wills, J. (2011). Education
alignment and accountability in an era of
convergence: policy insights from states
with individual learning plans and policies.
Education Policy Analysis Archives, 19, 31.
https://doi.org/10.14507/epaa.v19n31.2011
Phukubje, J. and Ngoepe, M. (2016). Convenience and
accessibility of library services to students
with disabilities at the university of limpopo in
south africa. Journal of Librarianship and
Information Science, 49(2), 180-190.
https://doi.org/10.1177/0961000616654959

232
Pineteh, E. (2013). The academic writing challenges
of undergraduate students: a south african
case study. International Journal of Higher
Education, 3(1).
https://doi.org/10.5430/ijhe.v3n1p12
Pirchio, S., Arcidiacono, F., & Passiatore, Y. (2022).
Editorial: inclusive schools for a diverse
world: psychological and educational factors
and practices harming or promoting inclusion
at school. Frontiers in Psychology, 13.
https://doi.org/10.3389/fpsyg.2022.1049129
Prahendratno, A., Sari, F. P., Juliandy, C., Lubis, V. H.,
Ridwan, A., Munizu, M., & Prasetyaningrum, N.
E. (2023). Technopreneurship: Ide dalam
menggapai kesuksesan di era Digital. PT.
Sonpedia Publishing Indonesia.
Prajalani, y., Sunardi, S., & Widyastono, H. (2021).
Implementation of adaptive curriculum for
children with special needs in inclusive
education provider schools in surakarta.
International Journal of Multicultural and
Multireligious Understanding, 8(10), 378.
https://doi.org/10.18415/ijmmu.v8i10.3090
Prasetyo, A. R., & Hamami, T. (2020). Prinsip-prinsip
dalam pengembangan kurikulum. Palapa,
8(1), 42-55.
Priadana, M. S., & Sunarsi, D. (2021). Metode
Penelitian Kuantitatif. Pascal Books.
Pulford, B. and Sohal, H. (2006). The influence of
personality on he students’ confidence in
their academic abilities. Personality and
Individual Differences, 41(8), 1409-1419.
https://doi.org/10.1016/j.paid.2006.05.010

233
Purwanta, Edi, 2014. Faktor Yang Mempengaruhi
Eksplorasi Karir Siswa SLTP, Yogyakarta:
Universitas Negeri Yogyakarta
Qolbi, S. K., & Hamami, T. (2021). Impelementasi
asas-asas pengembangan kurikulum
terhadap pengembangan kurikulum
pendidikan agama islam. Edukatif: Jurnal
Ilmu Pendidikan, 3(4), 1120-1132.
Qurtubi, A. (2019). Administrasi Pendidikan (Tinjauan
Teori & Implementasi). Surabaya: CV. Jakad
Media Publishing.
Raharjo, Jayadiputra, E., Husnita, L., Rukmana, K.,
Wahyuni, Y. S., Nurbayani, Sarbaitinil, Nazmi,
R., Djakariah, & Mahdi. (2023). Pendidikan
karakter Membangun Generasi Unggul
Berintegrasi. Sonpedia Publishing Indonesia.
Raharjo, R., Jayadiputra, E., Husnita, L., Rukmana, K.,
Wahyuni, Y. S., Nurbayani, N., Salamah, S.,
Sarbaitinil, S., Nazmi, R., & Djakariah, D.
(2023). PENDIDIKAN KARAKTER Membangun
Generasi Unggul Berintegritas. PT. Sonpedia
Publishing Indonesia.
https://books.google.co.id/books?id=tL7MEA
AAQBAJ
Rahayu, S. (2017). Technological Pedagogical
Content Knowledge (TPACK): Integrasi ICT
dalam Pembelajaran IPA Abad 21. In
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan IPA
IX (Vol. 9, pp. 1-14).
Rahmadani, N., Herwadi, Sari, N., & Wijaya, C. (2019).
Siklus Perencanaan Pendidikan.
Sabilarrsyad, IV (01), 13-23.
Rahman, B. (2014). Kemitraan orang tua dengan
sekolah dan pengaruhnya terhadap hasil

234
belajar siswa. Kemitraan Orang Tua dengan
Sekolah dan Pengaruhnya Terhadap Hasil
Belajar Siswa, 4(2), 119-221.
Ramadhani, Y. R., Tanjung, R., Saputro, A. N., Utami,
N. R., Purba, P. B., Purba, S., . . . Musyadad, V.
F. (2021). Dasar-dasar Perencanaan
Pendidikan. Medan: Yayasan Kita Menulis.
Rambung, O. S., Sion, S., Bungamawelona, B., Puang,
Y. B., & Salenda, S. (2023). Transformasi
Kebijakan Pendidikan Melalui Implementasi
Kurikulum Merdeka Belajar. JIP: Jurnal Ilmu
Pendidikan, 1(3), 598-612.
Rasmitadila, R., Humaira, M., & Rachmadtullah, R.
(2022). Student teachers' perceptions of the
collaborative relationships between
universities and inclusive elementary
schools in indonesia. F1000research, 10, 1289.
https://doi.org/10.12688/f1000research.74999.
3
Reese, D. (2021). School counselor preparation to
support inclusivity, equity and access for
students of color with disabilities. Frontiers
in Education, 6.
https://doi.org/10.3389/feduc.2021.588528
Ridwan, A. (2020). Implementasi Fungsi Planning di
Sekolah Dalam Kerangka Manajemen
Pendidikan Islam. Indonesian Journal of
Islamic Educational Management. 2(2), 71-83.
Rifa'i, A. A. (2018). On/Off-the Job Training Guru:
Sebuah Keniscayaan dalam Mendukung
Peningkatan Efektivitas Pembelajaran.
Tarbawy: Jurnal Pendidikan Islam, 5(1), 01-10.

235
Rifa'ie, M. (2020). Fleksibilitas pembelajaran daring
pada masa Pandemi Covid-19. Jurnal
Pendidikan Dan Kebudayaan, 5(2), 197-209.
Riyadi, S., Nuswantoro, P., Merakati, I., Sihombing, I.,
Isma, A., & Abidin, D. (2023). OPTIMALISASI
PENGELOLAAN SUMBER DAYA MANUSIA
DALAM KONTEKS PENDIDIKAN INKLUSIF DI
SEKOLAH. Jurnal Review Pendidikan dan
Pengajaran (JRPP), 6(3), 130-137.
Rondhianto, R., Siswoyo, S., & Fathoni, A. (2022).
Effectiveness of empowerment-based
diabetes education on diabetes complication
prevention: a systematic review. Jurnal
Aisyah Jurnal Ilmu Kesehatan, 7(4).
https://doi.org/10.30604/jika.v7i4.1308
Ryan, T. and Scior, K. (2014). Medical students’
attitudes towards people with intellectual
disabilities: a literature review. Research in
Developmental Disabilities, 35(10), 2316-2328.
https://doi.org/10.1016/j.ridd.2014.05.019
Safitri, A. O., Yunianti, V. D., & Rostika, D. (2022).
Upaya peningkatan pendidikan berkualitas di
Indonesia: Analisis pencapaian sustainable
development goals (SDGs). Jurnal Basicedu,
6(4), 7096-7106.
Samsuni, S. (2017). Manajemen sumber daya
manusia. Al-Falah: Jurnal Ilmiah Keislaman
dan Kemasyarakatan, 17(1), 113-124.
Sánchez, P. and Rodríguez, R. (2019). Barriers to
student learning and participation in an
inclusive school as perceived by future
education professionals. Journal of New
Approaches in Educational Research, 8(1), 18-
24. https://doi.org/10.7821/naer.2019.1.321

236
Santoso, T. D. P. (2022). Rancangan Pembelajaran
Berkarakteristik Inovatif Abad 21 Pada Materi
Penguat Audio Dengan Model Pembelajaran
Berbasis Proyek (Project Based Learning) di
SMKN 1 Adiwerna. Cakrawala: Jurnal
Pendidikan, 276-287.
Saputra, A. M. A., Tawil, M. R., Hartutik, H., Nazmi, R.,
Abute, E. L., Husnita, L., Nurbayani, N.,
Sarbaitinil, S., Haluti, F., & Sepriano, S. (2023).
PENDIDIKAN KARAKTER DI ERA MILENIAL :
Membangun Generasai Unggul Dengan Nilai-
Nilai Positif. PT. Sonpedia Publishing
Indonesia.
https://books.google.co.id/books?id=3nLSEA
AAQBAJ
Schutz, G., Ursprung, H., & Wößmann, L. (2008).
Education policy and equality of opportunity.
Kyklos, 61(2), 279-308.
https://doi.org/10.1111/j.1467-
6435.2008.00402.x
Sediyono, E., Hasibuan, Z. A., Setyawan, I., Harahap,
E. P., & Darmawan, A. (2022). Pelatihan
pemanfaatan website e-learning sebagai
media pembelajaran online dengan content
management system. ADI Pengabdian
Kepada Masyarakat, 3(1), 64-73.
Setiawan, I. (2016). Upaya Mewujudkan
Pembangunan Berkelanjutan Melalui
Pendidikan Lingkungan. Jurnal Geografi Gea,
7(1).
Setiawardhani, R. T. (2013). Pembelajaran elektronik
(e-learning) dan internet dalam rangka
mengoptimalkan kreativitas belajar siswa.
Edunomic Jurnal Pendidikan Ekonomi, 1(2).

237
Setyowati, D. L. 2015. The Realization of
Conservation in Semarang State University
Campus. Proceeding International iccbl.
Sewang, A. (2015). Manajemen Pendidikan.
Shafira, W., Juhanaini, J., & Shiddiq, Z. (2021). Internal
support system of inclusive education. Jassi
Anakku, 22(1), 29-40.
https://doi.org/10.17509/jassi.v22i1.39529
Shaw, S. (2008). An educational programming
framework for a subset of students with
diverse learning needs. Intervention in
School and Clinic, 43(5), 291-299.
https://doi.org/10.1177/1053451208314735
Shepard, M., Sastre, E., Davidson, M., & Fleming, A.
(2012). Use of individualized learning plans
among fourth-year sub-interns in pediatrics
and internal medicine. Medical Teacher, 34(1),
e46-e51.
https://doi.org/10.3109/0142159x.2012.638013
Shofiyah, S. (2018). Prinsip–prinsip pengembangan
kurikulum dalam upaya meningkatkan
kualitas pembelajaran. EDURELIGIA: Jurnal
Pendidikan Agama Islam, 2(2), 122-130.
Sholeh, M. I., & Efendi, N. (2023). INTEGRASI
TEKNOLOGI DALAM MANAJEMEN
PENDIDIKAN ISLAM: MENINGKATKAN
KINERJA GURU DI ERA DIGITAL. Jurnal Tinta:
Jurnal Ilmu Keguruan dan Pendidikan, 5(2),
104-126.
Shomedran. (2021). Desain Perencanaan Program
Pendidikan Luar Sekolah (Kompilasi Desain
Program Pelatihan, Penyuluhan, dan
Pemberdayaan). Palembang: Bening Media
Publishing.

238
Sokolová, L., Lemešová, M., & Groma, M. (2022).
Modifications and accommodations for higher
education students with special educational
needs..
https://doi.org/10.4995/head22.2022.14591
Solberg, V., Phelps, L., Haakenson, K., Durham, J., &
Timmons, J. (2011). The nature and use of
individualized learning plans as a promising
career intervention strategy. Journal of
Career Development, 39(6), 500-514.
https://doi.org/10.1177/0894845311414571
Somantri, M. (2014). Perencanaan Pendidikan.
Bogor: IPB Press.
Song, J. (2016). Inclusive education in japan and
korea - japanese and korean teachers’ self-
efficacy and attitudes towards inclusive
education. Journal of Research in Special
Educational Needs, 16, 643-648.
https://doi.org/10.1111/1471-3802.12324
Soubelet, A. (2011). Engaging in cultural activities
compensates for educational differences in
cognitive abilities. Aging Neuropsychology
and Cognition, 18(5), 516-526.
https://doi.org/10.1080/13825585.2011.598913
Soukup, J., Wehmeyer, M., Bashinski, S., & Bovaird,
J. (2007). Classroom variables and access to
the general curriculum for students with
disabilities. Exceptional Children, 74(1), 101-
120.
https://doi.org/10.1177/001440290707400106
Strain, P., Wilson, K., & Dunlap, G. (2011). Prevent-
teach-reinforce: addressing problem
behaviors of students with autism in general
education classrooms. Behavioral Disorders,

239
36(3), 160-171.
https://doi.org/10.1177/019874291003600302
Sudrajat, A. (2008). Pengembangan Perangkat
Penilaian Psikomotor.
Suhardi (2018). Modul Pelatihan Perencanaan
Pendidikan Tingkat Dasar. Pusdiklat Pegawai
Depok: Kemendikbud.
Sukmawati, H. (2021). Komponen-komponen
kurikulum dalam sistem pembelajaran. Ash-
Shahabah: Jurnal Pendidikan Dan Studi
Islam, 7(1), 62-70.
Sumantri, B. A. (2019). Pengembangan Kurikulum di
Indonesia Menghadapi Tuntutan Kompetensi
Abad 21. EL-HIKMAH: Jurnal Kajian Dan
Penelitian Pendidikan Islam, 13(2), 146-167.
Suprayekti.(2004). Interaksi Belajar Mengajar,
Jakarta: Depdiknas.
Suryaman, M., & Kurnia, A. F. (2017). PERENCANAAN
PENDIDIKAN DALAM LINTASAN SEJARAH
ZAMAN PRIMITIF HINGGA ERA BIZANTIUM.
JUDIKA (Jurnal Pendidikan Unsika), 5 (1), 33-
41.
Suryana, A., Subandi, A. F., Abdurrohman, A.,
Purwandani, D., Maliki, D. N., & Pane, F. A.
(2022). Pendidikan dan Pengajaran dalam Al-
Qur'an Perspektif Tafsir Manajemen
Pendidikan. Ponorogo: Uwais Inspirasi
Indonesia.
Suter, J., Giangreco, M., & Bruhl, S. (2019). Special
education personnel absences in inclusion-
oriented schools: implications for building
effective service delivery models. Remedial
and Special Education, 41(6), 341-351.
https://doi.org/10.1177/0741932519865617

240
Sutikno, M. S. (2021). Strategi Pembelajaran.
Penerbit Adab.
Sutikno, M. Sobry.(2007). Menggagas Pembelajaran
Efektif dan Bermakna. Mataram: NTP Press.
Tarihoran, E. (2019). Guru dalam pengajaran abad 21.
SAPA-Jurnal Kateketik dan Pastoral, 4(1), 46-
58.
Tarmizi, (2018), Bimbingan Konseling Islami, Medan:
Perdana Publishing.
Undang Undang Dasar Negara Republik Indonesia
Tahun 1945 Dalam Satu Naskah.
Undang-Undang Republik Indonesia No. 20 Tahun
2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional.
Undang-Undang Republik Indonesia No. 14 Tahun
2005 tentang Guru dan Dosen.
Undang-Undang Republik Indonesia No. 22 Tahun
1999 Tentang Pemerintahan Daerah.
Uno, H. B. (2023). Perencanaan pembelajaran. Bumi
Aksara.
Usman, H. (2013). Manajemen: Teori, Praktik, dan
Riset Pendidikan Edisi 4. Jakarta: Bumi
Aksara.
Usman,Moh. Uzer.(2000). Menjadi Guru Profesional.
Bandung : Rosda Karya
Villa, C., Vidal, J., & Aller, M. (2014). Student guidance
and attention to diversity in the processes of
quality assurance in higher education.
European Journal of Education, 49(4), 575-
589. https://doi.org/10.1111/ejed.12098
Wahid, A. (2023). Pendidikan Inklusif (Mewujudkan
Keadilan, Kesetaraan Dalam Lingkungan
Multikultural). ILJ: Islamic Learning Journal,
1(3), 696-711.

241
Wahyudin, U. R. (2020). Manajemen Pendidikan
(Teori dan Praktik dalam Penyelenggaraan
Sistem Pendidikan Nasional). Yogyakarta:
Deepublish.
Walton, E. (2014). Global concerns and local realities.
Intervention in School and Clinic, 50(3), 173-
177. https://doi.org/10.1177/1053451214542039
Warmansyah Abbas, E (2014). Pendidikan Karakter.
FKIP Unlam Press
Whitburn, B. (2013). The dissection of
paraprofessional support in inclusive
education: ‘you're in mainstream with a
chaperone’. Australasian Journal of Special
Education, 37(2), 147-161.
https://doi.org/10.1017/jse.2013.12
Wibowo, H. (2020). Pengantar Teori-teori belajar dan
Model-model pembelajaran. Puri cipta media.
Wibowo, P. A., Djuhartono, T., Widati, E., & Tjahjadi, M.
A. (2023). Pelatihan Kreativitas Penulisan
Proposal Penelitian Tindakan Kelas Bagi
Guru Sekolah Menengah Pertama. Surya
Abdimas, 7(2), 289-299.
Widiansyah, A. (2018). Peranan sumber daya
pendidikan sebagai faktor penentu dalam
manajemen sistem pendidikan. Cakrawala:
Jurnal Humaniora Bina Sarana Informatika,
18(2), 229-234.
Widyastuti, A. (2021). Optimalisasi Pembelajaran
Jarak Jauh (PJJ), Daring Luring, Bdr. Elex
Media Komputindo.
Wiener, J. and Tardif, C. (2004). Social and emotional
functioning of children with learning
disabilities: does special education
placement make a difference?. Learning

242
Disabilities Research and Practice, 19(1), 20-
32. https://doi.org/10.1111/j.1540-
5826.2004.00086.x
Winarti, E. (2018). Perencanaan manajemen sumber
daya manusia lembaga pendidikan.
Tarbiyatuna: Jurnal Pendidikan Ilmiah, 3(1), 1-
26.
Winkel W.S. dan MM.Sri Hastuti. (2006). Bimbingan
dan Konseling di Institusi Pendidikan.
Yogyakarta: Media Abadi.
Yakovleva, I., Yakovlev, S., & Khitryuk, V. (2021).
Training of pedagogical personnel for
inclusive education children with disabilities.
SHS Web of Conferences, 98, 04005.
https://doi.org/10.1051/shsconf/20219804005
Yasin, I. (2021). Problem Kultural Peningkatan Mutu
Pendidikan di Indonesia: Perspektif Total
Quality Management. Ainara Journal (Jurnal
Penelitian Dan PKM Bidang Ilmu Pendidikan),
2(3), 239-246.
You, S., Kim, E., & Shin, K. (2019). Teachers’ belief and
efficacy toward inclusive education in early
childhood settings in korea. Sustainability,
11(5), 1489. https://doi.org/10.3390/su11051489
Yusuf, Syamsu. 2006. Psikologi Perkembangan Anak
dan Remaja. Bandung: PT. Remaja
Rosdakarya
Zagona, A., Kurth, J., & MacFarland, S. (2017).
Teachers’ views of their preparation for
inclusive education and collaboration.
Teacher Education and Special Education the
Journal of the Teacher Education Division of
the Council for Exceptional Children, 40(3),

243
163-178.
https://doi.org/10.1177/0888406417692969
Zubaidah, S. (2016). Keterampilan abad ke-21:
Keterampilan yang diajarkan melalui
pembelajaran. In Seminar Nasional
Pendidikan (Vol. 2, No. 2, pp. 1-17).
Zulkarnainsyah, Z. (2020). Manajemen Tenaga
Pendidik dan Strategi Pembelajaran. Al-
Aulia: Jurnal Pendidikan dan Ilmu-Ilmu
Keislaman, 6(2), 82-92.
Чижикова, І. (2022). The research of autonomous
learning aptitude of students of economic
specialities. International Science Journal of
Education & Linguistics, 1(4), 32-37.
https://doi.org/10.46299/j.isjel.20220104.02

244
BIOGRAFI PENULIS

Fatimah Az Zahro, S.Pd.I., M.Pd.,


lahir dan menetap di Kota
Cirebon. Menyelesaikan
pendidikan dasar di MI dan MTs
Salafiyah Kota Cirebon pada
tahun 2005 dan 2008. Kemudian
melanjutkan pendidikan di SMA
A Wahid Hasyim Tebuireng
Jombang hingga tahun 2011.
Selanjutnya menempuh strata satu di Tadris IPA
Biologi IAIN Syekh Nurjati Cirebon dan meraih gelar
Sarjana Pendidikan Islam (S.Pd.I) pada tahun 2015.
Tak langsung melanjutkan pada jenjang magister,
selama setahun mengisi waktu dengan belajar
Bahasa Inggris dan mengajarkannya di Pare, Kediri.
Tahun 2017 melanjutkan S2 dengan mengambil
fokus pendidikan maka dipilihlah Program Studi
Manajemen Pendidikan Islam di Pascasarjana IAIN
Syekh Nurjati Cirebon dan lulus pada tahun 2019.
Pengalaman mengajar sudah dimulainya sejak
kuliah S1 sebagai guru IPA, setelah dari Pare
menjadi tutor Bahasa Inggris di beberapa sekolah
dan tutor di Pesantren Mahasiswa Universitas
Muhammadiyah Cirebon pada tahun 2017, dan mulai
menjadi dosen tetap di Sekolah Tinggi Agama Islam
Al-Bahjah Cirebon pada tahun 2022. Penulis dapat
dihubungi melalui surel:
fatimahazzahro.id@staialbahjah.ac.id.

245
Marzuki Ahmad, S.Pd., M.Pd.
lahir di Laru Lombang, 18
September 1988. Saat ini
penulis tinggal di Kota
Padangsidimpuan. Pendidikan
tinggi ditempuh mulai dari S-1
adalah Program Studi
Pendidikan Matematika
Fakultas Keguruan dan Ilmu
Pendidikan Universitas Islam Sumatera Utara
(UISU) Medan (lulus 2010), S-2 Prodi Pendidikan
Matematika di Program Pascasarjana Universitas
Negeri Medan (UNIMED) Medan (lulus 2014). Selain
pendidikan, penulis telah memiliki pengalaman
sebagai tugas Dosen pada perguruan tinggi Institut
Pendidikan Tapanuli Selatan dari tahun 2014 sampai
sekarang. Dalam tugas tersebut penulis senantiasa
melaksanakan tridarma perguruan tinggi yang
meliputi pengajaran, penelitian dan pengabdian
kepada masyarakat baik tingkat lokal maupun
nasional. Dalam pelaksanaan tugas tridarma
perguruan tinggi penulis telah memiliki publikasi
buku referensi, bookchapter, prosiding nasional dan
internasional, journal nasional dan internasional,
dan telah memiliki sertifikat HKI. Beberapa naskah
publikasi penulis dapat ditemukan pada laman:
https://scholar.google.co.id/citations?user=HNJZbA
kAAAAJ&hl=en

246
Amjad Salong. S.Pd. M.Pd. Dosen
tetap Prodi Pendidikan Ekonomi
Universitas Pattimura Ambon .
Lahir di Desa Negeri Lima
Kecamatan Leihitu Kabupatan
Maluku Tengah, Provinsi Maluku
pada tanggal, 04 Februari 1973.
Penulis merupakan anak ke-lima
dari sembilan bersaudara.
Pendidikan program Serjana (S1) Universitas
Negeri Makassar pada Program Studi Pendidikan
Ekonomi Koperasi jurusan Pendidikan Ilmu Sosial
dan menyelesaikan program Pasca Sarjana (S2) di
Universitas Pendidikan Indonesia Bandung Prodi
Pendidikan Ilmu Sosial konsentrasi di bidang
pendidikan EKonomi.

Dr. Ifada Retno Ekaningrum,


M.Ag., adalah dosen tetap pada
program pascasarjana
universitas Wahid Hasyim
Semarang, gelar sarjana Agama
diperoleh dari Institut Agama
islam Negeri walisongo
semarang, gelar magister agama
dalam bidang Ilmu Pendidikan
Islam diperoleh dari perguruan Tinggi yang sama
yaitu Institut agama Islam Negeri Walisongo,
sedangkan gelar doctor Manajenmen Pendidikan
diperoleh dari Universitas Negeri Semarang.
Kariernya sebagai Dosen dimulai sejak tahun 2002
sampai sekarang, buku lain yang sedang ditulisnya
adalah kurikulum sekolah berbasis Pesantren,
potret Pendidikan Karakter.

247
Kartika Novitasari, S.Pd., M.E.
Lahir di Kuningan, 04 Januari
1995. Anak pertama dari tiga
bersaudara. Pada tahun 2013
Melanjutkan S1 Pendidikan
Ekonomi di Universitas Negeri
Semarang lulus tahun 2017. Pada
tahun 2020 melanjutkan
Pendidikan ke jenjang S2 bidang
Ekonomi Syariah dan lulus tahun
2022. Bekerja sebagai Dosen Program Studi
Ekonomi Syariah di Sekolah Tinggi Al Bahjah Kota
Cirebon sampai saat ini,tidak hanya sebagai dosen
tetapi juga pengelola OJS ekonomi Syariah pada
Sekolah Tinggi Al Bahjah Kota Cirebon.

Muhammad Ihsan Dacholfany.


Penulis dilahirkan di Palembang
pada tanggal 29 Juli 1975
1971,mempunyai istri bernama Bd.
Evi Yuzana, SK dan memiliki tiga
orang anak yang bernama Nurul
Izzah Fizadinajah, Natsir Al-
Irsyad Fizadinajah dan Nafisah
Irtiyah Fizadinajah, Penulis
menempuh pendidikan dari SDN 108-186
melanjutkan ke SMP Bina Warga Palembang dan
Aliyah di Pondok Pesantren Darussalam Gontor
Ponorogo, kemudian kuliah di ISID – UNIDA,
UHAMKA, UI Depok dan IPRIJA, lalu Lanjut S2 Ke
Universitas Kebangsaan Malaysia (UKM), S3 di UKM
dilanjutkan ke UNINUS Selesai tahun 2011, sekarang
menjadi Wakil Rektor Universitas Muhammadiyah

248
Metro, Sekretaris Dewan Pendidikan Kota Metro dan
Ketua MPK SDI PWM Lampung.

Ir. Aris Dianto, S.Si., S.ST., S.Kom., M.Ak., Dipl. Strat.,


Gr. Penulis lahir di Bandung, Putra pertama dari
bapak Sunyoto dan ibu Isah, Lulus Pendidikan
Profesi Guru (PPG) pada
Universitas Negeri Medan tahun
2021, lulus pada Program Profesi
Insinyur (PPI) Universitas Muslim
Indonesia tahun 2020, lulus Studi
S2 Magister Akuntansi pada
Program Pascasarjana
Universitas Sangga Buana YPKP
Bandung tahun 2023. Saat ini
penulis Sedang Studi S2 Teknik Elekto Universitas
Mercubuana Jakarta Konsentrasi Keamanan
Jaringan ICT. Penulis Juga Bersertifikat Diploma in
Strategic Management dari International Business
Management Institue – Berlin, Germany tahun 2022.
Saat ini sebagai Kepala SMK Bina Sarana Cendekia
Kota Bandung, Pengajar di STMIK Mardira Indonesia,
Selain itu penulis juga menjadi Direktur Utama PT.
Kanzia Mitra Utama, Perusahaan Bidang IT
Konsultan yang bearada di Bandung.

Nia Kania, M.Pd. Penulis


merupakan salah satu dosen
pada Program Studi Pendidikan
Matematika Universitas
Majalengka dari tahun 2014-
sekarang. Pada tahun 2022
penulis menempuh Program
Doktor di Universitas Pendidikan

249
Indonesia pada program studi Pendidikan
Matematika dengan Beasiswa LPDP. Sejak tahun
2016, penulis mulai aktif menulis baik pada jurnal
ilmiah maupun buku referensi. Salah satu kajian
penulis adalah evalusi dalam pembelajaran
matematika. Saat ini, penulis merupakan Editor in
chief pada International Journal of Mathematics and
Mathematics Education.

Edi Supriyadi adalah seorang


penulis yang lahir di Malang,
Jawa Timur pada tahun 1986. Ia
menyelesaikan pendidikan
menengahnya di SLTP Negeri 1
Salawu dan MAN Cipasung.
Setelah itu melanjutkan kuliah
S-1 ke UIN Sunan Gunung Djati
Bandung, dan S-2 ke Universitas
Pasundan. Sejak kecil, Edi sudah menyukai dunia
tulis-menulis. Edi saat ini masih aktif menulis dan
berkarya. Ia berharap dapat terus berkarya dan
memberikan karya-karya terbaiknya kepada para
pembaca.

Ranti Nazmi, M.Pd. Dosen


Program Studi Pendidikan
Sejarah Fakultas Ilmu Sosial
dan Humaniora Universitas
PGRI Sumatera Barat. Lahir di
Padang, 29 Agustus 1977
Sumatera Barat. Penulis
merupakan anak pertama dari
tiga bersaudara dari pasangan
bapak Ermi Ramli (Alm) dan Ibu Nazimah Rajab

250
(Alm), Menamatkan Sekolah Dasar pada tahun 1990
di SD Inpres 75/76 Andalas Padang, Sekolah
Menengah Pertama tahun 1993 di SMP N 8 Padang,
menamatkan Sekolah Menengah Atas tahun 1996 di
SMEA 1 Padang Jurusan Akutansi, menamatkan
pendidikan program Sarjana (S1) di Universitas
Bung Hatta Padang prodi Pendidikan Pancasila dan
Kewarganegaraan (2000) dan Program Pasca
Sarjana (S2) di Universitas Negeri Padang prodi
Pendidikan IPS Konsentrasi Sosiologi –Antropologi
(2003). Menikah dengan Yunasrizal S.Tp pada tahun
2004 dan memiliki dua orang anak, Nadya Putri
Nasha (2005) dan Naira Putri Nasha (2010)

Liza Husnita dilahirkan di Muaro


Kalaban sebuah desa kecil di kota
arang, Sawahlunto pada tanggal 09
Oktober 1977. Liza merupakan
lulusan Pendidikan Sejarah UNP
pada tahun 2001. Setelah tamat
UNP, penulis mengabdikan diri
sebagai dosen di Program Studi
Pendidikan Sejarah Fakultas Ilmu Sosial dan Humaniora
Universitas PGRI Sumatera Barat semenjak tahun 2001.
Pendidikan S2 ditamatkan pada tahun 2011. dan sekarang
sedang studi lanjut S3 di University Malaysia Kelantan.
Selama menjadi dosen lebih kurang 20 tahun, beberapa
mata kuliah yang diampu Liza Husnita diantaranya
Kurikulum dan Buku Teks, Sejarah Pendidikan, Sejarah
Kebudayaan, Pengajaran Mikro, Pendekatan dan Strategi
Pembelajaran, Evaluasi Pembelajaran, Sejarah Sosial
Ekonomi, serta Budaya Minangkabau. Sebagai pengajar,
Liza Husnita telah melahirkan beberapa buku pegangan
untuk mahasiswa dalam perkuliahan seperti buku
Sejarah Pendidikan, buku Sejarah Kebudayaan, Buku
Ajar Budaya Minangkabau, Strategi Pembelajaran
251
Berorientasi Model pembelajaran Kooperatif, Pendidikan
Karakter; Membangun Generasi Unggul Berintegritas,
Buku Inovasi Pendidikan dan Pembelajaran, Buku
Pendidikan Karakter di Era Milenial, Buku Penerapan
Media Pembelajaran Era Digital dan Buku Pengantar
Kewarganegaraan.

Asep Muhammad Saepul Islam,


lebih dikenal dengan sebutan
MANG AMSI, lahir di Cianjur,
akhir Oktober 1982. Menempuh
pendidikan dasar sampai
menengah di Cianjur (SDN
Cibaregbeg II, MTs Al-Karomah
dan MAN 1 Cianjur). Setelah
menyelesaikan jenjang sarjana di
Universitas Pendidikan Indonesia pada tahun 2004,
ia menjadi Guru Bahasa Arab di MAN 3 Cianjur sejak
2005. Pada tahun 2007, ia mulai mempelajari
investasi di pasar modal. Pada tahun 2015, ia
mendirikan komunitas investor dan trader saham
syariah melalui SyariahSaham.com serta merilis
kursus online saham syariah pertama. Selain
mengisi kelas dan workshop online, ia juga sering
berbicara di berbagai seminar dan talkshow terkait
saham syariah di berbagai event lokal maupun
nasional. Penulis dapat dihubungi melalui kontak
berikut:
Email: mangamsi@gmail.com, WA:082214912005, IG:
@mang.amsi. Website: www.mangamsi.com

252

Anda mungkin juga menyukai