Anda di halaman 1dari 17

UJIAN KASUS

TINEA CORPORIS ET CRURIS

DISUSUN OLEH:
Marizqa Assyifa
G992003097

PENGUJI:
dr. Ammarilis Murastami, Sp.KK

KEPANITERAAN KLINIK/ PROGRAM STUDI PROFESI


DOKTER BAGIAN ILMU KESEHATAN KULIT DAN
KELAMIN FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS
SEBELAS MARET RUMAH SAKIT UMUM DAERAH
DR. MOEWARDI

2020
LEMBAR PENGESAHAN UJIAN

Kasus ujian yang berjudul: Tinea Corporis et Cruris, Marizqa Assyifa,

NIM G992003097 Periode: 31 Agustus – 27 September 2020

Telah diperiksa dan disetujui oleh pembimbing dari Bagian Ilmu Kesehatan Kulit

Kelamin

RSUD Dr Moewardi – Fakultas Kedokteran Universitas Sebelas Maret

Yang bertanda tangan di bawah ini:

Surakarta, 21 September 2020

Residen Pemeriksa Chief Residen

dr. Zilpa dr. Zilpa

Staff Penguji

dr. Ammarilis Murastami, Sp.KK

2
STATUS UJIAN KASUS

ILMU KESEHATAN KULIT DAN KELAMIN

Penguji : dr. Ammarilis Murastami, Sp.KK


Nama Mahasiswa : Marizqa Assyifa
NIM : G992003097

DERMATOFITOSIS

(TINEA CORPORIS ET CRURIS)

1. DEFINISI
Dermatofitosis adalah penyakit pada jaringan yang mengandung
zat tanduk, misalnya stratum korneum pada epidermis, rambut, dan kuku,
yang disebabkan golongan jamur dermatofita.1

2. EPIDEMIOLOGI
Infeksi jamur superfisial adalah masalah di seluruh dunia yang
mempengaruhi lebih dari 25% populasi. Beberapa spesies menunjukkan
distribusi di mana-mana, sedangkan yang lain secara geografis terbatas.
Sejalan dengan itu, spesies yang dominan mencerminkan perbedaan
geografis yang cukup besar, seperti dalam kasus tinea capitis. Di Amerika
Serikat, Trichophyton tonsurans menggantikan Microsporum audouinii
sebagai penyebab paling umum tinea capitis pada paruh kedua abad ke-20,
dan M. canis kini menjadi penyebab paling umum kedua. Di Eropa, M.
canis tetap menjadi penyebab paling umum kedua.2
Presentasi klinis dari dermatofitosis tidak hanya bergantung pada
sumbernya, tetapi juga pada faktor pejamu. Individu dengan gangguan
kekebalan lebih rentan terhadap infeksi dermatofita refrakter atau mikosis
dalam.2

3
3. ETIOLOGI
Dermatofita adalah golongan jamur yang menyebabkan dermatofitosis.
Golongan jamur ini mempunyai sifat mencernakan keratin. Dermatofita
termasuk kelas Fungi imperfecti, yang terbagi dalam 3 genus, yaitu
Microsporum, Tricophyton, dan Epidermophyton.2
 Antrofilik
Spesies antrofilik biasanya terbatas pada inang manusia dan ditularkan
melalui kontak langsung. Kulit atau rambut yang terinfeksi yang tertinggal
di pakaian, sisir, topi, kaus kaki, dan handuk, misalnya, juga berfungsi
sebagai sumber reservoir. Berbeda dengan infeksi geofilik dan zoofilik
sporadis, infeksi antropofilik sering kali bersifat epidemi. 2
 Zoofilik

Spesies zoofilik ditularkan ke manusia dari hewan. Kucing, anjing,


kelinci, marmot, burung, kuda, sapi, dan hewan lain adalah sumber infeksi
yang umum. Penularan dapat terjadi melalui kontak langsung dengan
hewan itu sendiri, atau secara tidak langsung melalui bulu hewan yang
terinfeksi. Area yang terpapar, seperti kulit kepala, jenggot, wajah, dan
lengan, merupakan tempat infeksi yang disukai. Microsporum canis sering
ditularkan ke manusia dari kucing dan anjing, sedangkan marmut dan
kelinci sering menjadi sumber infeksi manusia dengan strain zoofilik dari
T. interdigitale. 2

 Geofilik

Jamur geofilik menyebabkan infeksi manusia secara sporadis setelah


kontak langsung dengan tanah. Microsporum gypseum adalah
dermatofita geofilik yang paling umum dibudidayakan dari manusia. 2

4. PATOGENESIS
Dermatofita mempunyai enzim-enzim (misalnya, protease
keratinolitik, lipase) dan faktor virulensi lainnya untuk menggunakan
keratin sebagai sumber nutrisi, invasi, dan pertumbuhan elemen miselium

4
untuk bertahan hidup dalam jaringan keratin. Sebagai konsekuensi dari
degradasi keratin adalah dengan pelepasan mediator proinflamasi, host
mengembangkan respon inflamasi dalam berbagai tingkatan. Derajat
peradangan tergantung pada patogen dan faktor host. Morfologi tinea
corporis klasik "ringworm", atau annular, dihasilkan dari respons inang
inflamasi terhadap dermatofita yang menyebar, diikuti dengan
pengurangan atau pembersihan elemen jamur dari dalam plak, dan (dalam
banyak kasus) resolusi spontan dari infeksi.3,4
Dermatofita mengatasi beberapa garis pertahanan host sebelum
hifa mulai berkembang di jaringan keratin. Langkah pertama adalah
keberhasilan dari arthroconidia, spora aseksual yang dibentuk oleh
fragmentasi hifa, hingga keratin melalui adhesin untuk menghasilkan
perubahan ekspresi gen. Dermatofita memanfaatkan secara selektif enzim
proteolitik mereka selama adherence dan invasi. Spora mulai
berkecambah dalam persiapan untuk langkah berikutnya dalam rantai
peristiwa infektif, invasi.3,4
Trauma dan maserasi memfasilitasi penetrasi dermatofit melalui
kulit. Invasi elemen jamur yang berkecambah selanjutnya dilakukan
melalui sekresi protease, lipase, dan ceramidases, produk pencernaan yang
juga berfungsi sebagai nutrisi jamur. Menariknya, komponen dinding sel
jamur, termasuk β-glukan, galaktomanan , dan kitin, menunjukkan efek
penghambatan pada proliferasi keratinosit (untuk memungkinkan invasi
sebelum deskuamasi). Setelah dermatofita menembus epidermis ke
dermis, mengikat adhesin menjadi elastin dan mengubah ekspresi gen.3,4

5. GAMBARAN KLINIS
Gambaran klinis dari dermatofitosis bervariasi tergantung pada
dermatofit penyebab (seperti yang dibahas sebelumnya) dan tempat infeksi
(yaitu, kulit, rambut, atau kuku). Dermatofitosis kulit umumnya dinamai
menurut paradigma berikut: kata tinea (Latin untuk "cacing") diikuti
dengan istilah Latin yang menunjukkan lokasi atau faktor deskriptif

5
lainnya. Diagnosis dalam kategori ini termasuk tinea barbae, tinea capitis,
tinea corpis, tinea cruris, tinea favosa (turunan dari bahasa Latin favus,
yang berarti "sarang lebah"), tinea manuum, tinea nigra, dan tinea pedis.
Dermatofitosis pada rambut dikenal sebagai piedra, dan pada kuku disebut
onikomikosis. Reaksi dermatofit atau id (autoeczematization) adalah
dermatitis inflamasi akut di tempat yang jauh dari infeksi jamur inflamasi
primer. Penderita akan merasa gatal dan kelainan berbatas tegas, terdiri
atas macam-macam efloresensi kulit (polimorfi). Bagian tepi lesi lebih
aktif daripada bagian tengah.2

A. Tinea Corporis

Tinea corporis merupakan dermatofitosis pada kulit tubuh tidak berambut


(glabrous skin).1

Etiologi

Tinea corporis dapat ditularkan langsung dari manusia atau hewan


yang terinfeksi, melalui fomites, atau dapat terjadi melalui autoinokulasi
dari reservoir kolonisasi dermatofita di kaki. Pakaian oklusif dan iklim
lembab berhubungan dengan erupsi yang lebih sering dan parah.
Meskipun setiap dermatofita dapat menyebabkan tinea corpis, hal itu
paling sering disebabkan oleh T. rubrum, yang juga merupakan kandidat
paling mungkin dalam kasus dengan keterlibatan folikel bersamaan. E.
floccosum, T. interdigitale (strain antropofilik dan zoofilik), M. canis, dan
T. tonsurans juga merupakan patogen yang umum. Tinea imbricata, yang
disebabkan oleh T. konsentrikum, secara geografis terbatas di wilayah
Timur Jauh, Pasifik Selatan, dan Amerika Selatan dan Tengah.1

Gejala Klinis

Kelainan yang dilihat dalam klinik merupakan lesi bulat atau


lonjong, plak berbatas tegas terdiri atas eritema, skuama, kadang-kadang
dengan vesikel dan papul di tepi. Daerah tengahnya biasanya lebih tenang.

6
Kadang-kadang terlihat erosi dan krusta akibat garukan. Lesi-lesi pada
umumnya merupakan bercak-bercak terpisah satu dengan yang lain.
Kelainan kulit dapat pula terlihat sebagai lesi-lesi dengan pinggir yang poli
siklik, karena beberapa lesi kulit yang menjadi satu. Pada tinea corporis
menahun, tanda radang mendadak biasanya tidak terlihat lagi.1

Diagnosis Banding

Kandidosis kutis, psoriasis, dermatitis numulatis, dermatitis


seboroik, pityriasis rosea, dermatitis kontak, eritema anulare
centrifugum.1,2

B. Tinea Cruris

Tinea cruris adalah dermatofitosis pada lipat paha, daerah perineum, dan
sekitar anus. Kelainan ini dapat bersifat akut atau menahun.1

Etiologi

Sama seperti tinea corporis, tinea kruris menyebar melalui kontak


langsung atau fomites, dan diperburuk oleh oklusi dan kelembapan.
Autoinfeksi dari reservoir jauh T. rubrum atau T. interdigitale di kaki,
misalnya, sering terjadi. Tinea cruris 3 kali lebih sering terjadi pada pria,
dan orang dewasa lebih sering terkena daripada anak-anak. Kebanyakan
tinea kruris disebabkan oleh T. rubrum dan E. floccosum, yang terakhir
paling sering menyebabkan epidemi. T. interdigitale dan T. verrucosum
lebih jarang terlibat.1,2

Gejala Klinis

Lesi kulit dapat terbatas pada daerah genito-krural saja, atau


meluas ke daerah sekitar anus, daerah gluteus dan perut bagian bawah.
Kelainan kulit yang tampak sebagai plak anular yang berbatas tegas
dengan skuama di tepi yang memanjang dari lipatan inguinal ke paha
bagian dalam seringkali secara bilateral. Peradangan pada daerah tepi lebih

7
nyata daripada daerah tengahnya dapat pula disertai papul dan vesikel.
Bila penyakit ini menjadi menahun, dapat berupa bercak hitam disertai
sedikit sisik. Erosi dan keluarnya cairan biasanya akibat garukan.1,2

Diagnosis Banding

Eritrasma, Kandidosis kutis, Intertrigo, dermatitis seboroik,


dermatitis kontak, psoriasis inversa.1,2

6. DIAGNOSIS
Diagnosis didapatkan dari anamnesis, pemeriksaan fisik, serta
pemeriksaan penunjang. Dari anamnesis biasanya akan mendapatkan
keluhan ruam gatal pada area predileksi. Kemudian untuk pemeriksaan
fisik tergantung pada daerah yang terkena.
Diagnosis klinis dari infeksi dermatofita dapat dikonfirmasi dengan
deteksi mikroskopis unsur-unsur jamur, dengan identifikasi spesies melalui
kultur, atau dengan bukti histologis adanya hifa di stratum korneum. Selain
itu, pola fluoresensi di bawah pemeriksaan lampu wood dapat mendukung
kecurigaan klinis.1,2
Pada pemeriksaan untuk mendapatkan jamur diperlukan bahan
klinis yang dapat berupa kerokan kulit, rambut, dan kuku. Sediaan dibuat
dengan meletakkan bahan diatas gelas alas, kemudian ditambah 1-2 tetes
lerutan KOH. Setelah sediaan dicampur, ditunggu 15-20 menit hal ini
diperlukan untuk melarutkan jaringan. Setelah itu diperiksa dengan
mikroskop. Pada sediaan kulit dan kuku yang terlihat adalah hifa sebagai 2
garis sejajar terbagi oleh sekat dan bercabang, serta terdapat spora.1,2
Pemeriksaan dengan pembiakan atau kultur diperlukan untuk
menyokong pemeriksaan langsung sediaan basah dan untuk menetukan
spesies jamur. Pemeriksaan ini dilakukan dengan menambahkan bahan
klinis pada media buatan. Yang dianggap paling baik pada waktu ini
adalah medium agar dekstrosa Sabouroaud. Pada agar Sabouraud dapat

8
ditambahkan antibiotic saja (kloramfenikol) untuk menghindarkan
kontaminasi bakteri atau jamur komtaminan. 1,2
Pemeriksaan area bantalan rambut yang terlibat, seperti kulit
kepala atau jenggot, dengan lampu wood (365 nm) dapat mengungkapkan
fluoresensi pteridine pada rambut yang terinfeksi patogen jamur tertentu.
Rambut yang berpendar harus dipilih untuk pemeriksaan lebih lanjut,
termasuk kultur. Meskipun organisme ektotriks M. canis dan M. audouinii
akan berfluoresensi pada pemeriksaan lampu wood, organisme endotriks
T. tonsurans tidak akan berfluoresensi. Fluoresensi yang akan terlihat
berwarna kuning kehijauan.1,2

7. TATALAKSANA
Non Medikamentosa
 Menghindari dan mengeliminasi agen penyebab
 Mencegah penularan

Medikamentosa

Tinea corporis dan cruris

1. Topikal :2, 5,6,7


 Golongan Alilamin (krim terbinafine 1%, butenafine) 1-2 kali
sehari selama 1-2 minggu
 Golongan Imidazol : Clotrimazole krim 1%, Ketokonazole
krim 2%, Mikonazole krim 2% 2 kali sehari selama 1-4
minggu
 Ciclopirox krim 0,77% 2 kali sehari
 Gentian Violet solution 1% 2 kali sehari
 Tolnaftate krim 1% 2 kali sehari selama 2-4 minggu

2. Sistemik :2,5,6,7

 Terbinafine 250 mg/hari selama 2-4 minggu

9
 Itraconazole 100 mg/hari selama 1-2 minggu
 Ketokonazole 200 mg/hari selama 1-2 minggu
 Fluconazole 150-300 mg/hari selama 4-6 minggu
 Griseofulvin 500 mg/hari selama 2-4 minggu

8. EDUKASI DAN PENCEGAHAN


 Menjaga kebersihan diri.
 Mematuhi penobatan yang diberikan untuk mencegah resistensi
obat.
 Menggunakan pakaian yang tidak ketat dan menyerap keringat.
 Memastikan kulit dalam keadaan kering sebelum menutup area
yang rentan terinfeksi jamur.
 Hindari menggunakan handuk atau pakaian bergantian dengan
orang lain.7

10
DAFTAR PUSTAKA

Djuanda A, Hamzah M, Aisah S. 2011. Ilmu penyakit kulit dan kelamin. Edisi
keenam. Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.

Craddock LN, Schieke SM. 2019. Superficial Fungal Infection. Fitzpatrick's


Dermatology in general medicine 9th ed. New York: McGraw Hill; p.
2925-2949.

Havlickova B, Czaika VA, Friedrich M. 2008. Epidemiological trends in skin


mycoses worldwide. Mycoses. 51(suppl 4):2.

Bitencourt TA, Macedo C, Franco ME, et al. 2016. Transcrip- tion profile of
Trichophyton rubrum conidia grown on keratin reveals the induction of an
adhesin-like protein gene with a tandem repeat pattern. BMC Genomics.
17:249.

Rotta I, Sanchez A, Goncalves PR, Otuki MF, Correr CJ. 2012. Efficacy and
safety of topical antifungals in the treatment of dermatomycosis: A
systematic review. BJD. 166:927-33.

Sahoo AK, Mahajan R. 2016. Management of tinea corporis, tinea cruris, and
tinea pedis: A comprehensive review. Indian dermatology online
journal.7(2):77.

PERDOSKI. Panduan Praktik Klinis Bagi Dokter Spesialis Kulit dan Kelamin di
Indonesia. 2017.

11
STATUS PENDERITA

I. IDENTITAS PENDERITA
Nama : Ny. N
Umur : 72 tahun
Jenis Kelamin : Perempuan
Agama : Islam
Alamat : Sukoharjo
Pekerjaan : Pensiunan
Status : Menikah
Tanggal Periksa : 15 September 2020
No. RM : 014XXX

II. ANAMNESIS
A. Keluhan Utama
Gatal pada daerah ketiak kanan dan kiri, punggung, selangkangan
dan lipat bokong.

B. Riwayat Penyakit Sekarang


Kurang lebih 3 minggu SMRS pasien mengeluh gatal pada daerah
kedua ketiak, punggung, selangkangan dan lipatan bokong. Awalnya
pasien mengeluh muncul kemerahan di sekitar ketiak dan menjalar ke
daerah punggung, selangkangan, dan lipatan bokong yang terasa sangat
gatal disertai dengan muncul plenting di pinggir daerah yang kemerahan.
Karena keluhan tidak berkurang, oleh keluarga pasien diberikan obat
penghilang rasa gatal tetapi keluhan tidak berkurang. Kurang lebih 1 hari
SMRS karena keluhan semakin memberat, pasien berobat ke poli kulit
RSDM.

12
C. Riwayat Penyakit Dahulu
Riwayat sakit serupa sebelumnya : (-)
Riwayat alergi obat/makanan : (-)
Riwayat DM : (+), 2 tahun terkontrol dengan
novomix
Riwayat HT : (+), 5 tahun terkontrol dengan
amlodipine 1 x 10 mg dan
Candesartan 1 x 8 mg
Riwayat stroke : (+), 5 tahun yang lalu (tidak bisa
berjalan)

D. Riwayat Penyakit Keluarga dan lingkungan


Riwayat sakit serupa pada anggota keluarga : (-)
Riwayat alergi obat / makanan : (-)
Riwayat DM : (-)
Riwayat HT : (-)

E. Riwayat Sosial Ekonomi


Pasien saat ini tinggal bersama suaminya di dalam satu rumah.
Pasien berobat dengan menggunakan BPJS kesehatan.

F. Riwayat Gizi dan Kebiasaan


Pasien makan 2 kali sehari, dengan nasi, lauk-pauk, serta sayur.
Nafsu makan pasien baik. Pasien memiliki kebiasaan mandi 2 kali
sehari. Pasien memiliki kebiasaan mengganti handuk 1 bulan sekali dan
mengganti baju setiap kali mandi. Pasien juga menggunakan pampers
dan kursi roda untuk mobilisasi sehari-hari.

III. PEMERIKSAAN FISIK


A. Status Generalis

13
Keadaan umum : Tampak sehat, compos mentis GCS E4V5M6, gizi
kesan kurang.

Vital Sign : TD : 103/57 mmhg


Frekuensi nadi : 77x/menit
Frekuensi napas : 18x / menit
Suhu : 36 oC
Kepala : normocephal
Wajah : dalam batas normal
Leher : dalam batas normal
Mata : dalam batas normal
Telinga : dalam batas normal
Thorax : dalam batas normal
Abdomen : dalam batas normal
Ekstremitas Atas : keterbatasan gerak
Ekstremitas Bawah : keterbatasan gerak

B. Status Dermatologis
Regio truncus posterior, axilla dextra et sinistra, inguinal dextra et
sinistra, gluteus dextra et sinistra
Tampak patch eritem dengan skuama dan vesikel di pinggir, central
healing, batas tegas, multiple diskrit dengan bentuk dan ukurang yang
bervariasi ( bulat, konfluen).

14
Gambar 1. Status dermatologis Regio truncus posterior, axilla dextra et
sinistra, inguinal dextra et sinistra, gluteus dextra et sinistra

15
IV. DIAGNOSIS BANDING
1. Tinea corporis
2. Tinea cruris
3. Kandidosis kutis
4. Psoriasis
5. Eritasma

V. PEMERIKSAAN PENUNJANG
1. Pemeriksaan KOH : (+) hifa
2. Lampu wood : warna kuning kehijauan
3. Auspitz sign (-), Fenomena tetesan lilin (-), Fenomena koebner (-)

VI. DIAGNOSIS
Tinea corporis et cruris

VII. TERAPI
1. Non Medikamentosa
Edukasi
- Menjelaskan mengenai penyakit dan penyebabnya
- Menjelaskan cara pencegahan
- Menjelaskan mengenai pilihan terapi dan kemungkinan efek
samping serta hasilnya
- Menjelaskan mengenai prognosis
Pencegahan:
- Menjaga kebersihan diri
- Kontrol dan patuh pada pengobatan
- Menggunakan pakaian yang tidak ketat dan menyerap keringat
- Memastikan kulit dalam keadaan kering/tidak lembab pada
daerah predileksi
- Mengganti popok bila basah atau kotor

16
- Alih baring tiap 2 jam

2. Medikamentosa
- Ketokonazole cream 2% 2dd ue
- Ketokonazole 200 mg/hari (14 hari)

VIII. PROGNOSIS
Ad vitam : dubia ad bonam
Ad functionam : dubia ad bonam
Ad sanactionam : dubia ad bonam

17

Anda mungkin juga menyukai