Anda di halaman 1dari 16

CASE BASED DISCUSSION

TINEA KRURIS
Diajukan Untuk Memenuhi Tugas dan Melengkapi Salah Satu Syarat Dalam Menempuh
Program Pendidikan Profesi Dokter Bagian Ilmu Kesehatan Kulit dan Kelamin
di RS Islam Sultan Agung Semarang
Periode 13 Juli 2021 – 8 Agustus 2021

Disusun Oleh :
Ayu Sufiana Mardliyya
30101607622

Pembimbing :
dr. Hesti Wahyuningsih Karyadini, sp.KK, FINSDV

KEPANITERAAN KLINIK ILMU KESEHATAN KULIT DAN KELAMIN

FAKULTAS KEDOKTERAN

UNIVERSITAS ISLAM SULTAN AGUNG

SEMARANG

2021
BAB I

HALAMAN PENGESAHAN

Nama : Ayu Sufiana Mardliyya


NIM : 30101607622
Fakultas : Kedokteran Umum
Universitas : UNISSULA
Tingkat : Program Pendidikan Profesi Dokter
Periode Kepaniteraan : 13 Juli 2021 – 8 Agustus 2021
Bagian : Ilmu Kesehatan Kulit dan Kelamin
Judul Laporan : Tinea Kruris
Pembimbing : dr. Hesti Wahyuningsih Karyadini, sp.KK, FINSDV
Diajukan dan disahkan : Juli 2021

Semarang, Juli 2021


Pembimbing Kepaniteraan Klinik
Bagian Ilmu Kesehatan Kulit dan Kelamin
RSI Sultan Agung Semarang

(dr. Hesti Wahyuningsih Karyadini, sp.KK, FINSDV)


BAB I
PENDAHULUAN

Dermatofitosis adalah penyakit pada jaringan yang mengandung zat tanduk,


misalnya statum korneum pada epidermis, rambut, dan kuku yang disebabkan
golongan jamur dermatofita. Dermatofita merupakan golongan jamur yang mencerna
keratin. Dermatofita terbagi dalam 3 genus yaitu Microsporum, Trichophyton, dan
Epidermophyton. Hingga kini dikenal sekitar 41 spesies dermatofita yang terbagi dari
2 spesies Epidermophyton, 17 spesien Microsporum, dan 21 spesien Trichophyton.
Dermatofitosis dibagi berdasarkan lokasi sehingga dikenal bentuk tinea kapitis, tinea
barbe, tinea pedis et manum, tinea unguium, dan tinea korporis1

Tinea kruris sering disebut “jock itch” merupakan infeksi jamur superfisial
yang mengenai kulit pada daerah lipat paha, genital, sekitar anus dan daerah
perineum. Kebanyakan tinea kruris disebabkan oleh Species Trichophyton rubrum,
Trichophyton mentagrophytes dan Trichophyton tonsurans2

Manifestasi klinis tinea kruris adalah rasa gatal di lipat paha dan dapat meluas
ke daerah genital, sekitar anus, bokong dan perut bawah. Gambaran kelainan kulitnya
berupa suatu area yang menyerupai pulau atau kepulauan dimana bagian tengahnya
berupa daerah coklat kehitaman dan kering bersisik, pada bagian tepinya berbintik
bintik dan berwarna kemerahan. Rasa gatal akan semakin meningkat jika banyak
berkeringat dan sering tidak disadari pada waktu tidur digaruk dan menimbulkan
lecet, kulit terkelupas dan terkadang terinfeksi oleh bakteri sehingga menimbulkan
rasa nyeri

Obat antifungi pada dasarnya ada yang bersifat fungisidal dan fungistatik.
Terapi dermatofitosis awal sering dengan griseofulvin yang bersifat fungistatik.
Terbinafin sebagai alternatif lain untuk terapi awal tinea kapitis dan merupakan
contoh antifungi yang bersifat fungisidal dan dapat diberikan sebagai pengganti
griseofulvin. Selain itu ada juga golongan azole seperti itrakonazole, flukonazole,
ketokonazole, vorikonazole yang bersifat fungistatik.
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Definisi
Tinea Kruris yang biasa disebut Jockey itch termasuk golongan dermatofitosis
pada lipat paha, daerah perineum, dan sekitar anus yang dapat meluas ke perut bagian
bawah dan daerah gluteus. Kelainan ini dapat bersifat akut atau menahun, bahkan
dapat merupakan penyakit yang berlangsung seumur hidup1
2.1. Epidemiolog
Di Indonesia, dermatofitosis merupakan 52% dari seluruh dermatomikosis dan
tinea kruris dan tinea korporis merupakan dermatofitosis terbanyak. Tinea cruris dapat
ditemui diseluruh dunia dan paling banyak di daerah tropis. Angka kejadian lebih
sering pada orang dewasa, terutama laki-laki dibandingkan perempuan. Tidak
ada kematian yang berhubungan dengan tinea cruris. Jamur ini sering terjadi
pada orang yang kurang memperhatikan kebersihan diri atau lingkungan
sekitar yang kotor dan lembab.

2.2. Etiologi
Penyebab tinea kruris yang paling banyak adalah Trichophyton rubrum (T.
Rubrum), diikuti oleh Trichophyton mentagrophytes dan Trichophyton tonsurans.
Trichophyton rubrum, Trichophyton mentagrophytes dan Trichophyton tonsurans
merupakan dermatofit yang menyukai daerah yang hangat dan lembab pada kulit yang
mengalami oklusi seperti disela paha2.

Ada tiga cara penularan dermatofita yaitu :


 Infeksi antropofilik yang menyebar dari satu anak ke anak yang lain dapat
hadir sebagai kasus sporadis. Terjadi penyebaran melalui kontak langsung atau
melalui penyebaran udara dari spora dan penyebaran tidak langsung yaitu
terkontaminasi dari benda-benda seperti sisir , sikat , topi dan lain sebagainya.
 Infeksi menyebar dari hewan ke anak ( infeksi zoofilik ) melalui kontak
langsung maupun dengan lingkungan disekitar hewan yang terinfeksi seperti
karpet, pakaian, furnitur dan lain sebagainya.
 Infeksi menyebar dari tanah ke manusia ( infeksi geofilik ) namun jarang
terjadi.
Tabel 1. Spesies dermatofita penyebab infeksi

2.3. Patogenesis
Faktor-faktor yang mempengaruhi terjadinya infeksi jamur ini adalah iklim
panas, lembab, higiene sanitasi, pakaian serba nilon, pengeluaran keringat yang
berlebihan, trauma kulit, dan lingkungan. Maserasi dan oklusif pada regio kruris
menyebabkan peningkatan suhu dan kelembaban sehingga menyebabkan
perkembangan infeksi jamur. Tinea kruris sangat menular dan epidemik minor pada
lingkungan sekolah dan komunitas semacam yang lain. Tinea kruris umumnya terjadi
akibat infeksi dermatofitosis yang lain pada individu yang sama melalui kontak
langsung dengan penderita misalnya berjabat tangan, tidur bersama, dan hubungan
seksual. Tetapi bisa juga melalui kontak tidak langsung melalui benda yang
terkontaminasi seperti pakaian, handuk, sprei, bantal dan lain-lain. Obesitas,
penggunaan antibiotika, kortikosteroid serta obat-obat imunosupresan lain juga
merupakan faktor predisposisi terjadinya penyakit jamur.
Dermatofita mempunyai masa inkubasi selama 4-10 hari. Infeksi dermatofita
melibatkan tiga langkah utama : perlekatan ke keratinosit, penetrasi melalui dan
diantara sel, dan perkembangan respon pejamu3.

A. Perlekatan pada keratinosit

Perlekatan artrokonidia pada jaringan keratin tercapai maksimal


setelah 6 jam, dimediasi oleh serabut dinding terluar dermatofit yang
memproduksi keratinase (keratolitik) yang dapat menghidrolisis keratin dan
memfasilitasi pertumbuhan jamur ini di stratum korneum. Dermatofit juga
melakukan aktivitas proteolitik dan lipolitik dengan mengeluarkan serine
proteinase (urokinase dan aktivator plasminogen jaringan) yang menyebabkan
katabolisme protein ekstrasel dalam menginvasi pejamu. Proses ini
dipengaruhi oleh kedekatan dinding dari kedua sel, dan pengaruh sebum
antara artrospor dan korneosit yang dipermudah oleh adanya proses trauma
atau adanya lesi pada kulit.

B. Penetrasi.

Setelah terjadi perlekatan, spora harus berkembang dan menembus


stratum korneum dengan kecepatan yang lebih cepat daripada proses
desquamasi. Proses penetrasi menghasilkan sekresi proteinase, lipase, dan
enzim musinolitik, yang menjadi nutrisi bagi jamur. Diperlukan waktu 4–6
jam untuk germinasi dan penetrasi ke stratum korneum setelah spora melekat
pada keratin. Dalam upaya bertahan dalam menghadapi pertahanan imun yang
terbentuk tersebut, jamur patogen menggunakan beberapa cara:

1) Penyamaran, antara lain dengan membentuk kapsul polisakarida


yang tebal, memicu pertumbuhan filamen hifa, sehinggga beta glucan yang
terdapat pada dinding sel jamur tidak terpapar oleh dectin-1, dan dengan
membentuk biofilamen, suatu polimer ekstra sel, sehingga jamur dapat
bertahan terhadap fagositosis.

2) Pengendalian, dengan sengaja mengaktifkan mekanisme


penghambatan imun pejamu atau secara aktif mengendalikan respons imun
mengarah kepada tipe pertahanan yang tidak efektif, contohnya Adhesin pada
dinding sel jamur berikatan dengan CD14 dan komplemen C3 (CR3, MAC1)
pada dinding makrofag yang berakibat aktivasi makrofag akan terhambat.

3) Penyerangan, dengan memproduksi molekul yang secara langsung


merusak atau memasuki pertahanan imun spesifik dengan mensekresi toksin
atau protease. Jamur mensintesa katalase dan superoksid dismutase,
mensekresi protease yang dapat menurunkan barrier jaringan sehingga
memudahkan proses invasi oleh jamur, dan memproduksi siderospore (suatu
molekul penangkap zat besi yang dapat larut) yang digunakan untuk
menangkap zat besi untuk kehidupan aerobik. Kemampuan spesies dermatofit
menginvasi stratum korneum bervariasi dan dipengaruhi oleh daya tahan
pejamu yang dapat membatasi kemampuan dermatofit dalam melakukan
penetrasi pada stratum korneum.

C. Perkembangan respon pejamu.

Derajat inflamasi di pengaruhi oleh status imun penderita dan


organisme yang terlibat. Reaksi hipersensitivitas tipe IV, atau Delayed Type
Hipersensitivity (DHT) memainkan peran yang sangat penting dalam melawan
dermatofita. Pasien yang belum pernah terinfeksi dermatofita sebelumnya,
Infeksi primer menyebabkan inflamasi dan tes trichopitin hasilnya negatif.
Infeksi menghasilkan sedikit eritema dan skuama yang dihasilkan oleh
peningkatan pergantian keratinosit. Terdapat hipotesis menyatakan bahwa
antigen dermatofita diproses oleh sel langerhans epidermis dan di
presentasikan dalam limfosit T di nodus limfe. Limfosit T melakukan
proliferasi dan bermigrasi ke tempat yang terinfeksi untuk menyerang jamur.
Saat ini, lesi tiba-tiba menjadi inflamasi, dan barier epidermal menjadi
permeable terhadap transferin dan sel-sel yang bermigrasi. Segera jamur
hilang dan lesi secara spontan menyembuh.

2.4. Gejala Klinis


Penderita merasa gatal dan kelainan lesi berupa plakat berbatas tegas terdiri
atas bermacam-macam efloresensi kulit (polimorfik). Ujud Kelainan yaitu lesi bulat
atau lonjong, berbatas tegas, terdiri atas eritema, skuama, kadang-kadang dengan
vesikel dan papul di tepi lesi. Daerah di tengahnya biasanya lebih tenang, sementara
yang di tepi lebih aktif yang sering disebut dengan central healing. Kadang-kadang
terlihat erosi dan krusta akibat garukan. Kelainan kulit juga dapat dilihat secara
polisiklik, karena beberapa lesi kulit yang menjadi satu. Lesi dapat meluas dan
memberikan gambaran yang tidak khas terutama pada pasien imunodefisiensi.
Gambar 1. Tinea Kruris dan Gambaran Central Healing

2.5. Pemerikaan Penunjang


1. Pemeriksaan laboratorium

Diagnosis dermatofitosis yang dilakukan secara rutin adalah


pemeriksaan mikroskopik langsung dengan KOH 10-20%. Pada sediaan KOH
tampak hifa bersepta dan bercabang tanpa penyempitan. Pemeriksaan
mikroskopik langsung untuk mengidentifikasi struktur jamur merupakan
teknik yang cepat, sederhana, terjangkau, dan telah digunakan secara luas
sebagai teknik skrining awal. Teknik ini hanya memiliki sensitivitas hingga
40% dan spesifisitas hingga 70%. Hasil negatif palsu dapat terjadi hingga pada
l5% kasus, bahkan bila secara klinis sangat khas untuk dermatofitosis.

2. Kultur jamur

Kultur jamur merupakan metode diagnostik biasanya digunakan hanya


pada kasus yang berat dan tidak berespon pada pengobatan sistemik. Kultur
perlu dilakukan untuk menentukan spesiesnya karena semua spesies
dermatofita tampak identik pada sediaan langsung. Sangat penting bagi
masing-masing laboratorium untuk menggunakan media standar yakni tersedia
beberapa varian untuk kultur. Seperti Sabouraud Dextrose Agar (SDA) yang
ditambahkan dengan antibiotik chloramphenicol dan cycloheximide. Media
kultur diinkubasi pada suhu kamar 26°C maksimal selama 4 minggu dan
dibuang bila tidak ada pertumbuhan.
3. Lampu wood

Penggunaan lampu wood menghasilkan sinar ultraviolet 360 nm (sinar


hitam) yang dapat digunakan untuk membantu evaluasi penyakit kulit dan
rambut. Dengan lampu wood, pigmen fluoresen dan perbedaan warna
pigmentasi melanin yang halus bisa divisualisasi. Lampu wood bisa digunakan
untuk menyingkirkan adanya eritrasma dimana akan tampak floresensi merah
bata (Yossela T., 2015).

2.6. Diagnosis Banding

2.6.1. Dermatitis seboroik

Dermatitis kronik yang terjadi pada daerah yang mempunyai banyak kelenajar
sebasea. Seperti pada muka, kepala, dada. Efloresensi : Plakat eritematosa dengan
skuama berwarna kekuningan berminyak dengan batas tegas.

2.6.2. Psoriasis

Merupakan penyakit kulit yang bersidat kronik,residif, dan tidak infeksius.


Efloresensi : plakat eritematosa berbatas tegas ditutupi skuama tebal, berlapislapis dan
berwarna putih mengkilat. Terdapat tiga fenomena, yaitu bila digores dengan benda
tumpul menunjukan tanda tetesan lilin. Kemudian bila skuama dikelupas satu demi
satu sampai dasarnya akan tampak bintik-bintik perdarahan, dikenal dengan nama
Auspits sign. Adanya fenomena koebner / atau reaksi isomorfik yaitu timbul lesi-lesi
yang sama dengan kelainan psoriasis akibat bekas trauma / garukan

2.6.3. Ptiriasis rosea

Merupakan peradangan kulit akut berupa lesi papuloskuamosa pada badan,


lengan atas bagian proksimal dan paha atas. Efloresensi : papul / plak eritematosa
berbentuk oval dengan skuama collarette (skuama halus di pinggir). Lesi pertama
( Mother patch/Herald patch) berupa bercak yang besar, soliter, ovale dan anular
berdiameter dua sampai enam cm. Lesi tersusun sesuai lipatan kulit sehingga
memberikan gambaran menyerupai pohon cemara (Christmas tree)
2.7. Tatalaksana
Penatalaksanaan tinea kruris dapat dibedakan menjadi dua yaitu higienis
sanitasi dan terapi farmakologi. Melalui higienis sanitasi, tinea kruris dapat dihindari
dengan mencegah faktor risiko seperti menggunakan celana dalam yang menyerap
keringat dan diganti setiap hari. Selangkangan atau daerah lipat paha harus selalu
bersih dan kering. Hindari memakai celana sempit dan ketat, terutama yang
digunakan dalam waktu yang lama.

Terapi farmakologi tinea kruris dapat diberikan griseofulvin yang bersifat


fungistatik. Secara umum, dosis griseofulvin adalah 0,5-1 g untuk orang dewasa dan
0,25-0,5 g untuk anak –anak sehari atau 10-25 mg per kg berat badan. Lama
pengobatan tergantung dari lokasi penyakit dan keadaan imunitas penderita. Efek
samping griseofulvin jarang di jumpai, biasanya ialah sefalgia pada 15% penderita.
Efek samping yang lain dapat berupa gangguan traktus digestifus ialah nausea,
vomitus, dan diare. Obat tersebut juga bersifat fotosensitif dan dapat menggangu
fungsi hepar. Pemberian dapat berupa :

(a) Topikal : salep atau krim antimikotik. Konsentrasi obat harus lebih rendah
dibandingkan asam salisilat, asam benzoat, sulfur dan sebagainya.

(b) Sistemik : diberikan jika lesi meluas dan kronik yaitu dengan pemberian
griseofulvin 500-1.000 mg selama 2-3 minggu atau ketokonazole100 mg/hari selama
1 bulan
BAB III
STATUS PASIEN
A. IDENTITAS PASIEN
a. Nama : An. M
b. Umur : 7 tahun
c. Jenis kelamin : Laki-laki
d. Agama : Islam
e. Suku : Jawa
f. Alamat : Keperan, Semarang Utara
g. No. RM : 01-43-06-xx
h. Status Pasien : BPJS
B. ANAMNESIS
a. KELUHAN UTAMA
- Subjektif : Merasa gatal, mengganggu aktifitas
- Objektif : Kulit bersisik
b. RIWAYAT PENYAKIT SEKARANG
Pasien anak laki-laki usia 7 tahun datang diantar orang tuanya ke poli kulit dan
kelamin RS Islam Sultan Agung Semarang pada hari Senin, 12 Juli 2021
pukul 10.00 WIB dengan keluhan gatal-gatal pada perut bagian bawah sejak 1
minggu sebelum masuk rumah sakit. Keluhan muncul tiba-tiba timbul bercak
bersisik pada perut bagian bawah disertai rasa gatal. Gatal dirasakan terus
menerus dan bercak bersisik semakin meluas hingga area selangkangan.
Keluhan mengganggu aktifitas pasien. Keluhan dirasakan makin memberat
saat malam hari atau cuaca dingin. Pasien belum pernah diobati. Pasien tidak
mengeluhkan gejala lain.
c. RIWAYAT PENYAKIT DAHULU
- Tidak ada keluhan serupa
d. RIWAYAT PENYAKIT KELUARGA
- Tidak ada keluarga yang mengalami seperti pasien
e. RIWAYAT KEBIASAAN
- Pasien sering menggunakan celana ketat, celana double, dan jarang
mengganti celana setelah dia bermain.
- Pasien mandi 1-2 kali sehari dan keramas 2 kali dalam seminggu
f. RIWAYAT ALERGI
- Pasien tidak mempunyai alergi terhadap makanan /obat-obatan.
g. RIWAYAT SOSIAL EKONOMI
Kesan ekonomi : cukup

C. PEMERIKSAAN FISIK

Status Generalis

a. KEADAAN UMUM : Baik


b. KESADARAN : Composmentis
c. TANDA VITAL
- Tek.Darah : 120/80 mmHg
- Nadi : 80 x/menit
- Suhu : 36,5 o C
- RR : 20 x/menit
d. STATUS GIZI
- BB : 30 Kilogram
- TB : Tidak dilakukan pemeriksaan
- IMT : Tidak dilakukan pemeriksaan
e. PEMERIKSAN FISIK
- KEPALA : Mesocephal
- MATA
a. Conjungtiva : Tidak dilakukan Pemeriksaan
b. Sklera : Tidak dilakukan Pemeriksaan
c. Lain-lain : Tidak dilakukan Pemeriksaan
- LEHER
a. KGB : Tidak ada pembesaran
b. Thyroid : Tidak dilakukan Pemeriksaan
c. Lain-lain : Tidak dilakukan Pemeriksaan
- THT
a. Telinga : Tidak dilakukan Pemeriksaan
b. Hidung : Tidak dilakukan Pemeriksaan
c. Tenggorokan : Tidak dilakukan Pemeriksaan
- MULUT : Tidak dilakukan Pemeriksaan
- JANTUNG
Inspeksi : Tidak dilakukan Pemeriksaan
Palpasi : Tidak dilakukan Pemeriksaan
Perkusi : Tidak dilakukan Pemeriksaan
Auskultasi : Tidak dilakukan Pemeriksaan
- PARU
Inspeksi : Tidak dilakukan Pemeriksaan
Palpasi : Tidak dilakukan Pemeriksaan
Perkusi : Tidak dilakukan Pemeriksaan
Auskultasi : Tidak dilakukan Pemeriksaan
- ABDOMEN
Inspeksi : Tampak plak eritem multiple berbatas
tegas, berbentuk geografik, dengan pinggir plak terdiri
dari papul, vesikel, krusta yang tersusun polisiklik, tepi
tampak aktif dan pada daerah tengah ditemukan central
healing yang ditutupi skuama halus pada bagian tengah
plak.
Palpasi : Perabaan kasar, tepi tidak rata, nyeri (-),
dan hangat (-)
Perkusi : Tidak dilakukan Pemeriksaan
Auskultasi : Tidak dilakukan Pemeriksaan
- GENITALIA : Tidak dilakukan Pemeriksaan
- EKSTREMITAS : Pada area lipatan paha tampak plak eritem
multiple berbatas tegas, berbentuk geografik, dengan pinggir plak
terdiri dari papul, vesikel, krusta yang tersusun polisiklik, tepi
tampak aktif dan pada daerah tengah ditemukan central healing yang
ditutupi skuama halus pada bagian tengah plak.

Status Dermatologik

A. Inspeksi :
- Lokasi :
- Perut bagian bawah
- Lipatan paha (selangkangan)
- UKK : Tampak plak eritem multiple berbatas tegas, berbentuk geografik,
dengan pinggir plak terdiri dari papul, vesikel, krusta yang tersusun polisiklik,
tepi tampak aktif dan pada daerah tengah ditemukan central healing yang ditutupi
skuama halus pada bagian tengah plak.
B. Palpasi :
Perabaan kasar, permukaan tidak rata, hangat (-), dan nyeri (-)

D. DIAGNOSIS BANDING
a. Tinea Kruris
b. Psoriasis
c. Dermatitis Kontak Iritan
E. USULAN PEMERIKSAAN PENUNJANG
- Lampu Wood
- Pemeriksaan KOH
Bahan pemeriksaan: kerokan kulit pada lesi aktif
Hasil ditemukan jamur, spora endotrik (+), Hifa (+)
- Kultur jamur
F. DIAGNOSIS KERJA
- Tinea Kruris
G. RENCANA TERAPI
R/ Ketoconazole tab 200 mg NO. VII
S 1 d d tab 1/2
R/ Loratadin syr. 5 mg/5 ml NO. I
S 1 d d cth I
H. PROGNOSIS
- Quo ad vitam : Ad Bonam
- Quo ad sanationam : Ad Bonam
- Quo ad kosmetikan : Ad Bonam
I. EDUKASI

- Hindari garukan di daerah luka


- Tidak menggunakan celana ketat/double
- Sering mengganti celana
- Tidak saling bertukar barang, pakaian dan handuk dengan orang lain
- Menjaga kebersihan diri dan lingkungan
- Cuci pakaian, seprei, handuk dengan air panas
- Hindari suasana lembab pada kulit dengan menjaga kondisi kulit dalam keadaan
kering
- Melakukan pengobatan secara rutin
Aspek Islami
- Selalu berdoa memohon kesembuhan kepada Allah.
- Mengambil sisi positive dari cobaan yang telah diberikan.
- Selalu berikhtiar untuk kesembuhan penyakit.
DAFTAR PUSTAKA
1. Adhi, Djuanda,2017. Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin, Edisi 7 Bagian Ilmu Penyakit
Kulit dan Kelamin. Fakultas kedokteran Universitas Indonesia. Jakarta.
2. Brendan P. Kelly. Superficial Fungal Infections : Pediatrics in Review. American
Academy of Pediatrics. 2012;33;e22
3. Freedberg IM, Eisen AZ, Wolff K, Austen KF, Goldsmith LA, Katz SI, et al. 2008.
Fitzpatrick’s Dermatology in General Medicine 7th ed. New York Mc Graw Hill.
4. L.C. Fuller et al. 2014. British Association of Dermatologists Guidelines for the
Management of Tinea Capitis. British Journal of Dermatology.

Anda mungkin juga menyukai