Anda di halaman 1dari 7

DARI CANTING HINGGA PRINTING: DARI SAKIT PINGGANG HINGGA

HILANG PEKERJAAN

Gustar Brata 1*, Author’s name 2


Faculty, University; email address

DOI: filled by the journal

f
ABSTRACT
Abstract is written in two languages: academic Indonesian and English, except the article in English only
applies the abstract in the same language. Structure: English abstract, then Indonesian abstract. Abstract length
is 100–150 words. Abstract is written in Arial Narrow, size 10 pt.
Abstract content: background; research purposes; research methodology; research results that show novelty,
remain relevant in the long term, or open up possibilities for new research. Quantitative research results must
provide a confidence index. The conclusion should follow the description in the "Conclusion" section.

KEYWORDS
—-------------------------------------------------------------

1. INTRODUCTION
` LATAR BELAKANG (SUB-JUDUL)
Pada suatu sore di sebuah angkringan, saya sedang mengerjakan jurnal yang sedang ditulis ini dan
seorang teman saya bertanya “kenapa ga pakai chatGPT aja?”. Sejak itu saya berhenti mengerjakan dan
bermain kartu bersama teman saya. Pertanyaan yang diberikan teman saya memang terdengar sangat umum,
namun ketika saya teringat jurnal yang perlu saya selesaikan ini saya teringat bagaimana perkembangan
teknologi banyak memudahkan pekerjaan manusia. Dengan kecanggihan teknologi yang ada saat ini tenaga dan
waktu yang dikeluarkan bisa sangat minim dalam mengerjakan sesuatu. Dengan begitu kita dapat memiliki
waktu luang yang lebih banyak.
Dalam perkembangan teknologi, baik itu teknologi mekanikal, digital ataupun kecerdasan buatan
banyak mengelilingi kita saat ini. Dari mulai yang sifatnya domestik seperti penyedot debu pintar hingga mesin
perakit tanpa awak dalam ranah industri. TIdak sulit untuk menemukan hal-hal tersebut dalam hidup sehari-hari
kita. Namun dengan segala perkembangan teknologi yang membantu kita, apakah ini semua mempermudah
kehidupan kita? atau membuat waktu luang kita semakin banyak? Pertanyaan tersebut lah yang menjadi refleksi
penulis saat mendengar pertanyaan dari seorang teman dikala sore itu.

INI BAGIAN BARU (SUB-JUDUL)


TINJAUAN LITERATUR
Mengingat begitu banyak kekhawatiran mengenai tergantikannya peran manusia oleh mesin saya
memutuskan untuk meneliti bagaimana perkembangan teknologi ini berdampak pada kebudayaan (atau proses
pelestarian budaya) khususnya batik tulis. Batik adalah kain bergambar yang pembuatannya secara khusus
dengan menuliskan atau menerakan malam pada kain itu, kemudian pengolahannya diproses dengan cara
tertentu (Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 2005: 112). Sejarah batik disinyalir berkaitan dengan
perkembangan Kerajaan Majapahit dan kerajaan sesudahnya. Terdapat tiga ragam batik yang berkembang di
Jawa: 1. Batik keraton, Batik ini adalah batik yang digunakan oleh orang-orang di lingkungan keraton 2. Batik
saudagar, diciptakan oleh para saudagar sebagai respon dari motif batik keraton yang dilarang digunakan oleh
masyarakat biasa pada saat itu 3. Batik petani, batik ini adalah jenis batik yang dibuat oleh para petani dikala
waktu luang atau jika sedang menunggu masa panen datang.

Jika dilihat pada metode produksinya, batik memiliki berbagai macam peralatan seperti canting, cap,
alat cetak manual atau mesin cetak otomatis (printer). Masing-masing peralatan mencirikan jenis batik yang
berbeda-beda. Untuk batik yang dibuat menggunakan canting disebut batik tulis, batik yang dibuat menggunakan
alat cap disebut batik cap dan batik yang dibuat menggunakan alat cetak biasanya disebut batik print. Namun
untuk batik print terdapat dua jenis yaitu batik print yang menggunakan alat sablon dan printer digital. Pada
tahun 1970 fenomena batik print muncul karena pemerintahan orde baru menjalankan industrialisasi di segala
bidang. Dampak yang ditimbulkan pada saat itu adalah tergesernya batik tulis dan cap dipasaran karena
persaingan harga yang cukup tinggi. Batik print lebih menguasai pasar karena lebih murah secara harga,
sehingga peminat dan pembeli kain batik print ini lebih banyak. Ini dikarenakan perbandingan waktu produksi
batik print dan batik print sangatlah jauh. Untuk batik print dalam satu hari dapat menghasilkan … ( cek lagi di
jurnal) sedangkan untuk batik tulis untuk satu kain perlu proses pengerjaan selama … hari ( cek di jurnal juga).
Perbedaan ini lah yang membuat harga batik print jauh lebih murah dan dapat lebih mudah menguasai pasar.
Selain itu juga terdapat persaingan dagang dengan negara produsen batik lain seperti Cina, Malaysia dan
Thailand.

Terdapat juga persoalan regenerasi pembatik tulis yang terjadi saat ini karena imbas dari persaingan di
pasar. Di Kampung Laweyan kebanyakan pembatik adalah wanita yang usianya sudah tua sekitar 40-60 tahun.
Sangat sedikit pembatik yang berusia muda. Ini disebabkan oleh faktor penghasilan yang rendah bekerja
sebagai pembatik. Dalam satu hari pekerja batik diupah Rp.17.000 rupiah. Pemberian upah dalam jumlah
tersebut tidak ditentukan secara seenaknya, namun terdapat perhitungan dari selisih harga jual dengan ongkos
produksi. Untuk dapat mencapai harga jual yang dapat bersaing dengan produsen lain, seorang produsen perlu
memangkas ongkos produksinya. Ongkos produksi ini dapat dilihat dari tiga hal yaitu bahan, alat dan pekerja.
Dalam beberapa kasus jika pengurangan ongkos produksi dengan memangkas kualitas “bahan” maka secara
langsung akan menurunkan kualitas barang jadi nantinya. Maka dari itu solusi mengurangi kualitas “bahan”
menjadi tidak dimungkinkan. Pengurangan ongkos produksi dengan menambahkan peralatan produksi untuk
meningkatkan produksi barang jadi dalam konteks batik tulis harus dibarengi dengan penambahan pekerja.
Karena canting sebagai alat produksi batik tulis tidak berjalan secara otomatis seperti mesin print digital. Maka
dari itu solusi ini memerlukan penambahan jumlah pekerja juga. Namun jika solusi penambahan alat produksi
dan pekerja masih belum bisa memberikan selisih harga yang sesuai maka solusi akhirnya adalah pengurangan
ongkos produksi dengan memangkas upah pekerja seperti yang dialami oleh pekerja batik. Ini lah yang
membuat banyak anak muda lebih memilih bekerja menjadi buruh pabrik atau melanjutkan pendidikan lebih
tinggi dan bekerja sebagai pekerja kantoran dengan penghasilan yang lebih tinggi. Selain itu juga dalam
beberapa kasus seorang pembatik tidak ingin anaknya menjadi seorang pembatik juga. Banyak pembatik yang
menginginkan anaknya menjadi pegawai negeri sipil, kerja kantoran atau pun pengusaha. Namun juga beberapa
pembatik lainnya ingin anaknya menjadi pengusaha batik agar secara penghasilan dapat lebih tinggi dari orang
tuanya dan tetap mempertahankan kebudayaan yang mereka miliki.

Selain persoalan persaingan dagang, krisis penerus pekerja batik dan upah pekerja yang rendah,
terdapat juga persoalan kesehatan yang dihadapi oleh para pekerja batik tulis. Penyakit seperti nyeri pada
punggung bagian bawah banyak dirasakan oleh pekerja yang berusia lebih dari 30 tahun dengan masa kerja
lebih dari 10 tahun. Ini disebabkan oleh posisi bekerja yang tidak ergonomis seperti menunduk, duduk tanpa
sandaran, tidak banyak bergerak dan waktu bekerja yang lama. Posisi bekerja memang berpengaruh besar pada
proses produksi dan kesehatan pekerja. Menunduk dan duduk tegang tanpa sandaran memang diperlukan untuk
menjaga kestabilan pada saat menorehkan malam menggunakan canting. Posisi yang statis juga mempengaruhi
proses penorehan malam. Jika pekerja banyak bergerak pada saat menorehkan malam diatas kain maka yang
terjadi adalah torehan garis akan tidak rata.

RUMUSAN MASALAH
Ketiga persoalan tersebut lah yang membuat batik tulis saat ini terancam hilang. Yang menariknya
adalah ketiga persoalan tersebut dilandasi dari sistem kapitalis yang mewajibkan segala hasil produksi harus
diperuntukan untuk pasar. Persaingan harga sebenarnya lumrah terjadi di pasar. Dalam memenuhi kebutuhan
konsumen seorang pedagang sudah pasti akan memberikan harga dan kualitas yang sesuai dengan
konsumennya. Demi memenuhi kriteria harga yang mudah dijangkau dan kualitas yang baik seorang pedagang
pasti akan mencari produsen atau penyedia barang yang bisa memenuhi kebutuhannya. Untuk memenuhi
kebutuhan pedagang seorang produsen perlu mengefisienkan produksinya melalui penekanan terhadap ongkos
produksi demi tercapainya kriteria yang dibutuhkan oleh pedagang. Menurut (nama penulis) di sinilah pasar
menjadi kekuatan yang memaksa, bukan sebuah pilihan sebagaimana sistem sebelumnya yang di dalamnya
para penghasil atau produsen bebas menjual atau tidak menjual hasil produksinya karena mereka tetap punya
akses non-pasar terhadap sarana reproduksi sosial untuk bertahan hidup. Inilah yang disebut dengan
kapitalisme: pasar bukanlah menjadi mekanisme perdagangan biasa, melainkan penentu utama dan pengatur
seluruh aspek kehidupan lainnya, bahkan keberlangsungan hidup itu sendiri. Pada pokok terakhir pekerja lah
yang menjadi sasaran dari proses pengefisiensian produksi ini. Terancamnya kebudayaan jika dilihat dari
temuan ini sejalan dengan terancamnya juga kehidupan seorang pekerja yang notabene adalah salah satu aktor
pelestari kebudayaan.

INI BAGIAN BARU (SUB-JUDUL)


LANDASAN TEORI
Persoalan terancamnya budaya karena rendahnya upah pekerja batik tidak bisa dilihat sebagai
persoalan moral bahwa pengusaha batik adalah seseorang yang jahat karena memberi upah yang rendah. Jika
ini hanya dilihat berdasarkan persoalan moral saja maka kita akan menyalahkan segala hal seperti pedagang,
mesin print, ilmuwan penemu mesin print ataupun pabrik mesin print itu sendiri sebagai sesuatu yang jahat
karena membuat batik tulis terancam hilang. Persoalan ini mesti dilihat sebagai persoalan penerapan sistem
kapitalis dalam kebudayaan (kapitalisasi kebudayaan). Apa yang dimaksud dari kapitalisme disini adalah
sebagai modus produksi yang bertumpu pada produksi komoditas melalui komoditas. Modus produksi komoditas
melalui komoditas terjadi karena adanya proses akumulasi primitif. Akumulasi primitif adalah serangkaian proses
pemisahan manusia dari kondisi kerjanya. Kondisi kerja yang dimaksud dapat berupa lahan dan peralatan.
Melalui proses ini seseorang dibuat tidak memiliki lagi sarana produksi, satu-satunya hal yang dimilikinya
hanyalah tenaga kerjanya sendiri. Melalui akumulasi primitif inilah kerja manusia menjadi sebuah komoditas
tenaga kerja dan memunculkan kelas pekerja melalui relasi kerja upahan yang terjadi. Terdapat empat tahap
dalam proses akumulasi primitif: 1. Separasi pekerja dari kondisi kerjanya 2. Kapitalisasi, yaitu transformasi
kondisi kerja menjadi modal atau kapital 3. Proletarianisasi, yaitu transformasi dari manusia menjadi kelas
pekerja (buruh) melalui relasi kerja upahan 4. Komodifikasi, yaitu transformasi hasil kerja buruh menjadi
komoditas yang tidak dikonsumsi langsung melainkan untuk diperjual belikan dipasar untuk mendapatkan
keuntungan bagi pemilik sarana produksi (kapitalis). Maka dari itu kapitalisme menandai hubungan sosial yang
memaksa semua pelaku mengalami ketergantungan pada pasar. Ketergantungan pada pasar ini juga yang
membuat persaingan, maksimalisasi profit, keharusan untuk menginvestasikan kembali laba, dan tak henti-henti
memaksimalkan produktivitas tenaga kerja serta pengembangan produksi.

Pengertian kapitalisme dan proses akumulatif primitif ini diperlukan untuk membedakan corak produksi yang
berjalan saat ini (kapitalisme) dengan feodalisme. Menurut (Suryajaya 2011) Dalam modus produksi feodal, unit
produksi yang terdasar adalah pekerja-pemilik, yakni para petani dan pengrajin (artisan) yang memiliki sarana
produksi mereka sendiri. Kontribusi pekerja-pemilik ini terhadap totalitas ekonomi nasional terwujud melalui
obligatory labour atau porsi kerja tertentu yang dialokasikan untuk menggarap lahan milik bangsawan feodal
atau tuan tanah lokal tempatnya hidup. Porsi kerja ini merupakan kewajiban seorang ‘hamba’ (serf) pada
tuannya yang memberikannya perlindungan keamanan. Itulah sebabnya modus produksi feodal dikatakan
berbasis pada ‘perhambaan’ (serfdom). Pengambilan keuntungan besar, keberadaan pasar, jual-beli dan
komoditas juga sudah ada pada masa sebelum kapitalisme ini berjalan. Untuk itu pengertian kapitalisme dan
mekanismenya (akumulasi primitif) diperlukan untuk memperjelas konteks permasalahan budaya yang terjadi
saat ini. Karena di kawasan Laweyan pada masa kerajaan, meskipun batik sudah diperjual belikan ini tidak
membuat batik terancam hilang. Ini disebabkan karena produksi batik pada saat itu memang diperuntukan untuk
pakaian ritual raja dan pengikutnya. Pekerjaan ini dilakukan oleh para abdi dalem keraton. Kaum petani pun
memproduksi batik sebagai pekerjaan sampingan. Mereka dapat menjual hasil produksi batiknya atau pun hanya
digunakan untuk pribadi karena mata pencaharian utamanya adalah sebagai petani. Maka dari itu produksi batik
pada masa kerajaan tidak selalu diarahkan untuk kebutuhan pasar. Ini lah yang membedakan antara corak
produksi kapitalisme dan feodalisme Untuk itu teori akumulasi primitif digunakan untuk penelitian ini karena teori
tersebut mampu menjelaskan kespesifikan dari corak produksi kapitalisme dan membedakannya dari
feodalisme. Kendati keberadaan perdagangan kain batik sudah ada dari masa feodalisme namun dengan
adanya teori akumulasi primitif dan keempat tahapannya ini konteks hilangnya kebudayaan batik tulis karena
adanya kapitalisme menjadi lebih jelas.

Selain itu teori akumulasi primitif juga mampu membantu penulis untuk menganalisis bagaimana proses
transformasi manusia menjadi mesin. Transformasi menjadi mesin yang dimaksud disini tidak secara harfiah
merubah manusia menjadi robot seperti di film-film. Transformasi yang dimaksud disini adalah aktualisasi dari
hasil proses pemisahan antara pekerja dengan kondisi kerjanya. Namun kondisi kerja disini tidak hanya
mencangkup tanah dan alat produksi ia mencangkup segala aspek dari tubuh manusia itu sendiri.1 Lalu kondisi
kerja apa yang dipisahkan dari manusia saat ini? Tidak lain adalah morfologi tubuh sang pekerja seperti gerak
tubuh, bentuk tubuh, kreatifitas, cara kerja, keterampilan bahkan hingga citranya. Maka dari itu proses
perancangan mesin sejatinya berasal dari tubuh manusia itu sendiri demi mempercepat produksi dan mengatasi
kelemahan yang dimiliki oleh manusia mulai dari daya tahan kerja, kepresisian dalam bekerja, kecepatan
kerjanya dan mood pekerja yang tidak menentu.

1
Kedua, kondisi kerja (conditions of labor), yaitu prasyarat yang dibutuhkan agar tubuh hidup manusia-pekerja
bisa melakukan proses kerja, tidaklah terbatas pada hal-hal tradisional yang kita rujuk saat berbicara akumulasi
primitif seperti tanah dan SDA. Dilihat per definisi, maka kondisi kerja dapat mengacu pada seluruh aspek
kehidupan manusia yang memungkinkannya untuk bekerja: ia bisa berupa sesuatu yang objektif dalam artian
geografis-spasial (tanah dan SDA), melainkan bisa juga dalam artian biologis (metabolisme tubuh dan morfologi
pantat untuk twerking), kimiawi (hormonal dan unsur-unsur kimia dasar yang mewarnai kulit pantat dan
membentuk kekenyalan pantat Twerk-Bot), bahkan juga temporal
METODE PENELITIAN

Untuk penelitian ini penulis menggunakan metode studi kasus yang berfokus pada fenomena
perkembangan teknologi pada bidang batik dan bagaimana terancamnya budaya batik karena persaingan pasar.
Untuk pengumpulan data penulis menggunakan pendekatan studi pustaka yang diambil dari beberapa jurnal.
Penulis mengambil beberapa data mengenai sejarah batik, kondisi pekerja batik, persaingan pasar dalam
penjualan batik dan perkembangan teknologi pada produksi batik. Data tersebut diambil karena memiliki
keterkaitan satu sama lain mulai dari persaingan dagang yang mempengaruhi upah para pekerja hingga
kebutuhan pengembangan teknologi untuk mempercepat produksi. Penelitian ini juga menggunakan teori
akumulasi primitif untuk mencari latar permasalahan yang terjadi pada kasus yang diambil. Teori ini dipilih karena
kecocokannya dengan data yang penulis dapat.

2. RESULT AND DISCUSSION

Sejarah akumulasi primitif pada masa batik tulis


Jika ditelusuri melalui sejarah batik tulis terdapat beberapa jenis batik khususnya di kawasan Laweyan yaitu
batik petani, batik keraton dan batik saudagar.

● Batik Kraton, Batik ini merupakan awal mula dari semua batik yang berkembang di Indonesia. Batik
jenis ini dibuat oleh para abdi dalam keraton dan hanya digunakan oleh orang di lingkungan kraton saja.

● Batik Sudagaran, diciptakan oleh para saudagar sebagai reaksi terhadap motif-motif keraton yang
dilarang digunakan oleh masyarakat biasa merangsang seniman dari masyarakat saudagar untuk
menciptakan motif baru yang sesuai dengan selera masyarakat saudagar. Batik sudagaran menyajikan
kualitas dalam pengerjaan motif yang rumit sehingga menciptakan motif yang baru.

● Batik Petani, Batik jenis ini dibuat sebagai selingan Ibu rumah tangga di rumah untuk mengisi waktu
luang atau disaat tidak pergi bertani. Biasanya batik jenis ini kasar dan motifnya tidak memiliki pakem
karena pengerjaannya dikerjakan tidak serius.

Namun kini praktik batik petani sudah jarang ditemukan karena hampir seluruh kegiatan membatik sudah
menjadi mata pencaharian utama bukan mata pencaharian sampingan lagi. Ini disebabkan oleh permintaan batik
yang cukup banyak. Permintaan yang banyak ini pada masa kerajaan di peruntukan untuk kebutuhan pakaian
para abdi dalam dan orang orang kerajaan. Seiring perkembangannya bisnis batik dikawasan laweyan
meningkat karena ada
Sejarah akumulasi primitif pada masa batik cap

Sejarah akumulasi primitif pada masa batik print manual

Sejarah akumulasi primitif pada masa batik print digital

akumulasi primitif dalam ekonomi platform

3. CONCLUSION

STATEMENT

REFERENCE

Anda mungkin juga menyukai