F Tesis Adinda Putri Suryani
F Tesis Adinda Putri Suryani
TESIS
oleh
Adinda Putri Suryani
16/407726/PTK/11357
Tesis
untuk memenuhi sebagian persyaratan
mencapai derajat Master
Program Studi Magister Teknik Geologi
diajukan oleh
Adinda Putri Suryani
16/407726/PTK/11357
kepada
PROGRAM STUDI MAGISTER TEKNIK GEOLOGI
DEPARTEMEN TEKNIK GEOLOGI
FAKULTAS TEKNIK
UNIVERSITAS GADJAH MADA
YOGYAKARTA
2019
&
TESIS
SusunanTim Penguji
KetuaPenguji,
awanBudi S.rT.,M.Sc
197701022002121001
Tesis ini telah diterima sebagaisalahsatu syarat
untuk mendapatkangelar Master Teknik
ProgramStudi Magister Teknik Geologi
FakultasTeknilq UniversitasGadjahMada
Yogyakarta Juli 2019
Ketua Program Teknik Geologi
198703
1003
&
Menyatakan bahwa dalam dokumen ilmiah Tesis ini tidak terdapat bagian dari
karya ilmiah lain yang telah diajukan untuk memperolehgelar akademik di suatu
lembaga Pendidikan Tinggr, dan juga tidak terdapat karya atau pendapatyang
pernahditulis atauditerbitkan oleh orang/lembagalain, kecuali yang secaratertulis
disitasi dalamdokumenini dan disebrtrkanzumbemyase,caralengkapdalam daftar
pustaka.
Dengan demikian sayamenyatakanbahwa dokumen ilmiah ini bebasdari unsur-
unsur plagrasi dan apabila dokumen ilmiah Tesis ini di kemudian hari terbukti
merupakan plagiasi dari hasil karya pemulis lain dan/atau dengan sengaja
mengajukankarya atau pendapatyang merupakanhasil karya penulis lain, maka
penulis bersediamenerimasanksiakademikdan/atausanksihukum yang berlaku.
Yogyakarta,Juli2019
Penvusun
AdindaPutriSuryani
NrM. l 6/407726.WKJr 1357
KATA PENGANTAR
Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah S.W.T, karena berkat rahmat
dan kuasa-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan penyusunan tesis ini dengan
judul ” Pemodelan Numerik 3D Deformasi Terowongan Cisumdawu Provinsi Jawa
Barat“.
Pada kesempatan ini, penulis menyampaikan rasa hormat dan menghaturkan
terima kasih yang sebesar-besarnya, kepada:
1. Bapak I Gde Budi Indrawan, S.T., M.Eng., Ph.D., selaku dosen
pembimbing utama dan dosen pembimbing akademik yang telah
memberikan bimbingan, arahan dan masukan serta motivasi baik selama
masa perkuliahan dan dalam penyelesaian penyusunan penelitian ini.
2. Bapak Dr. Wawan Budianta, S.T., M.Sc selaku ketua penguji yang telah
memberikan masukan, kritik dan saran dalam perbaikan penulisan tesis
ini.
3. Bapak Dr. Ir. I Wayan Warmada, selaku anggota penguji yang telah
memberikan masukan, kritik dan saran dalam perbaikan penulisan tesis
ini.
4. Ayahanda Suharyono Wiryoputro, Ibunda Sri Wahyuni yang senantiasa
memberikan do’a, semangat dan dukungannya sehingga penelitian ini
dapat terselesaikan dengan baik.
5. Andy Subiyantoro, Faris Iqbal Tawakal, Robin Pantas Halomoan, Hari
Rojin Sunoto selaku rekan dan sahabat pada Magister Teknik Geologi
minat studi terowongan dan ruang bawah tanah angkatan 2016 yang telah
banyak membantu dan memberikan motivasi dalam penyelesaian
penyusunan tesis ini.
6. Dani Mardiati, Winda Anggraini, Astri Indra Mustika, Andre Nauval,
Ghassan Jazmi atas persahabatan dan dukungan yang senantiasa
diberikan.
7. Rekan-rekan pascasarjana angkatan 2016 atas kerjasama dan
dukungannya.
iii
8. Serta semua pihak yang telah memberikan dukungan dalam penyelesaian
tesis ini yang tidak dapat disebutkan satu per satu.
Penulis menyadari masih banyak terdapat kekurangan dalam tulisan ini,
untuk itu penulis mengharapkan kritik dan saran yang bersifat membangun guna
menyempurnakan penelitian ini.
Penulis
iv
SARI
Nilai total displacement pada bagian atap hasil pemodelan numerik 2-dimensi
(2D) oleh peneliti terdahulu pada pelaksanaan konsruksi Terowongan Cisumdawu
memiliki perbedaan yang cukup signifikan dibandingkan dengan hasil pengukuran
di lapangan. Hal tersebut terjadi karena keterbatasan pemodelan numerik 2D dalam
penggambaran pemasangan sistem penyangga dan tahap penggalian terowongan
kearah longitudinal. Oleh karena itu Penelitian ini dilakukan menggunakan
pemodelan numerik 3-dimensi (3D) yang bertujuan mendapatkan gambaran
perilaku deformasi yang lebih baik dan mendapatkan nilai total displacement pada
bagian atap, dinding dan lantai terowongan mendekati kondisi sebenarnya di
lapangan dengan melakukan pemodelan tanpa dan dengan penyangga forepoling.
Terowongan dimodelkan sepanjang 12 m dimulai dari STA. 13+033 sampai dengan
STA. 13+021 bagian sisi kanan outlet. Litologi penelitian tersusun atas batuan
breksi tuf dengan tingkat pelapukan tinggi hingga sempurna. Metode konstruksi
terowongan menggunakan New Austrian Tunnelling Method (NATM) dengan
proses penggalian secara bertahap (3-bench 7-step). Pemodelan numerik 3D
dilakukan dengan metode elemen hingga menggunakan perangkat lunak RS³ v.2.0
(Rocscience, Inc.). Tahap penggalian dan pemasangan sistem penyangga
dimodelkan bertahap dengan laju penggalian 1.2 m sampai dengan 1.8 m. Nilai
maksimum total displacement pada bagian atap terowongan hasil pemodelan
numerik 3D di STA 13+031 diperoleh sebesar 0.028 m sedangkan nilai pengukuran
di STA 13+031 dilapangan sebesar 0,003 m. Terdapat selisih 0,025 m dibanding
hasil pengukuran lapangan. Hasil penelitian total displacement yang diperoleh pada
bagian atap, dinding dan lantai terowongan yang dimodelkan dengan penyangga
forepoling pada kondisi awal penggalian di STA 13+033 sampai dengan STA
13+021 relatif lebih kecil dibandingkan dengan pemodelan tanpa forepoling.
Penggunaan forepoling pada konstruksi Terowongan Cisumdawu sangat efektif
untuk menjaga stabilitas pada bagian atap terowongan. Dengan kelebihan
pemodelan numerik 3D dalam memodelkan forepoling dan tahapan penggalian ke
arah longitudinal menjadikan pemodelan ini sebagai metode yang efektif dalam
memprediksi perilaku deformasi yang terjadi akibat adanya aktivitas penggalian
pada pelaksanaan konstruksi terowongan. sehingga dapat dijadikan sebagai
referensi untuk melakukan analisis numerik lebih lanjut, khususnya dalam
membuat parameter desain dari sistem penyangga terowongan.
v
ABSTRACT
vi
DAFTAR ISI
PERNYATAAN BEBAS PLAGIASI .............................................................. ii
KATA PENGANTAR ..................................................................................... iii
SARI…….. .........................................................................................................v
ABSTRACT ..................................................................................................... vi
DAFTAR ISI ................................................................................................... vii
DAFTAR GAMBAR ....................................................................................... ix
DAFTAR TABEL ..............................................................................................x
PENDAHULUAN ..............................................................................1
I.1 Latar Belakang ..........................................................................1
I.2 Rumusan Masalah .....................................................................3
I.3 Tujuan Penelitian .......................................................................4
I.4 Manfaat penelitian .....................................................................5
I.5 Lingkup Penelitian ....................................................................5
I.5.1 Lingkup lokasi penelitian ..............................................5
I.5.2 Lingkup pekerjaan .........................................................6
I.6 Batasan Penelitian .....................................................................7
I.7 Peneliti Terdahulu .....................................................................7
I.8 Keaslian Penelitian ....................................................................9
GEOLOGI DAN GEOLOGI TEKNIK DAERAH PENELITIAN .10
II.1 Fisiografi dan Geomorfologi ...................................................10
II.2 Stratigrafi .................................................................................11
II.3 Struktur Geologi ......................................................................16
II.4 Geologi Teknik ........................................................................16
DASAR TEORI DAN HIPOTESIS .................................................20
III.1 Terowongan .............................................................................20
III.1.1. Definisi ........................................................................20
III.1.2. Terowongan jalan ........................................................20
III.1.3. New Austrian Tunneling Method (NATM) .................22
III.1.4. Metode penggalian terowongan...................................23
III.1.5. Sistem penyangga terowongan ....................................31
III.2 Sifat Keteknikan Tanah ...........................................................44
III.3 Tegangan In-Situ (Insitu Stress) ..............................................49
III.4 Pemodelan Numerik ................................................................51
vii
1. Pemodelan numerik 3-dimensi (3D)............................51
2. Perangkat lunak RS³ (Rocscience, Inc) .......................56
III.5 Hipotesis ..................................................................................57
METODOLOGI PENELITIAN .......................................................59
IV.1 Alat dan Bahan Penelitian .......................................................59
IV.2 Tahapan Penelitian ..................................................................59
1. Tahap pendahuluan ..............................................................59
2. Tahap pengumpulan data .....................................................60
3. Tahap analisis data...............................................................62
4. Tahap evaluasi hasil.............................................................72
5. Tahap pelaporan ..................................................................72
PENYAJIAN DATA ........................................................................74
V.1 Material Properties .................................................................74
V.2 Support System Properties ......................................................76
V.3 Field Stress Properties ............................................................78
V.4 Geometri dan Tahapan Penggalian..........................................79
V.5 Data Pemodelan Numerik 2D Deformasi Terowongan ..........81
V.6 Data Monitoring Deformasi Lapangan ....................................82
HASIL DAN PEMBAHASAN ........................................................84
VI.1 Nilai Total Displacement pada Atap, Dinding Kiri dan Kanan,
dan Lantai Terowongan ...................................................................84
VI.2 Akurasi Pemodelan Numerik 3D Penggalian Terowongan
dengan Sistem Penyangga Forepoling ............................................89
VI.3 Perbandingan Akurasi Pemodelan Numerik 3D Penggalian
Terowongan dengan Pemodelan Numerik 2D.................................91
VI.4 Evaluasi Pemasangan Sistem Penyangga Forepoling sebelum
Penggalian Terowongan ..................................................................92
KESIMPULAN DAN SARAN ........................................................94
VII.1 Kesimpulan ............................................................................94
VII.2 Saran……… ..........................................................................96
DAFTAR PUSTAKA ......................................................................................97
viii
DAFTAR GAMBAR
ix
DAFTAR TABEL
x
PENDAHULUAN
merupakan terowongan kembar (twin-tube tunnel) yang dibangun sejak tahun 2016
dan direncanakan akan selesai pada akhir tahun 2019. Inlet dan outlet terowongan
oleh PT. Hi Way Indotek, JO. PT. Wahana Mitra Amerta (2014), terowongan
memiliki panjang total 472 m dengan bentuk penampang berupa tapal kuda (horse
shoe) dan memiliki dimensi lebar 14,413 m dan tinggi 11,083 m. Jalur terowongan
digunakan adalah metode New Austrian Tunnelling Method (NATM) dengan tahap
1
yang penting untuk diperhatikan. Pada pelaksanaan konstruksi Terowongan
dilakukan adalah untuk mencegah terjadinya keruntuhan pada bagian atap dan
bagian atap dengan hasil berupa nilai perpindahan total (total displacement). Hasil
dari penelitian oleh Halomoan (2018) diperoleh total displacement pada bagian atap
jelas merupakan suatu permasalahan tiga dimensi, yaitu tinjauan dilakukan dari sisi
lateral dan longitudinal sehingga secara intuitif menghasilkan prediksi yang lebih
2
akurat dalam mendapatkan nilai total displacement yang terjadi pada kondisi di
penentuan rumusan masalah yang menjadi bahan penelitian lebih lanjut. Adapun
1. Berapakah nilai total displacement pada atap, dinding kiri dan kanan, dan lantai
terowongan dilakukan?
3
I.3 Tujuan Penelitian
1. Mengetahui nilai total displacement pada atap, dinding kiri dan kanan, dan
pengukuran lapangan.
peneliti terdahulu dengan nilai total displacement pada atap terowongan hasil
pengukuran lapangan.
4
I.4 Manfaat penelitian
pada STA. 13+033 – STA. 13+021 yang merupakan bagian outlet sisi kanan dari
Lokasi penelitian dapat dicapai dari Bandung dengan jarak ± 55 Km dengan waktu
5
Outlet
Inlet
5
I.5.2 Lingkup pekerjaan
b. Menunjukkan nilai total displacement pada atap, dinding kiri dan kanan, dan
lapangan.
peneliti terdahulu (Halomoan, 2018) dengan nilai total displacement pada atap
displacement pada atap terowongan akibat penggalian dengan dan tanpa sistem
penyangga forepoling.
6
I.6 Batasan Penelitian
Batasan pada penelitian ini bertujuan agar penelitian lebih terarah dan sesuai
dengan topik yang akan dibahas. Batasan masalah dalam penelitian ini adalah
sebagai berikut:
Mohr-Coulomb.
c. Kondisi batas (boundary condition) pada sisi kanan dan kiri pemodelan
sepanjang 12 m, dimulai dari STA 13+033 sampai dengan STA 13+021 pada
f. Parameter batuan didapatkan dari data sekunder hasil uji laboratorium peneliti
terdahulu.
7
geologi regional lembar Bandung Djawa skala 1:100.000. Peta geologi
regional ini digunakan sebagai acuan dalam menentukan kondisi geologi lokasi
b. Djaja dan Hermawan (1996) menyusun peta geologi teknik lembar Bandung
Jawa Barat. Peta geologi teknik tersebut digunakan sebagai acuan dalam
dihasilkan nilai total displacement maksimum pada bagian atap sebesar 0,06
telah dilakukan oleh beberapa peneliti seperti Yahya dkk (2016) dan Zhu dkk
transfer tunnel sedangkan Zhu dkk (2016) melakukan penelitian terhadap dua
8
metode penggalian terowongan yang berbeda di terowongan kereta api di China.
9
GEOLOGI DAN GEOLOGI TEKNIK
DAERAH PENELITIAN
Jawa Barat. Berdasarkan pembagian zona fisiografi Jawa Barat menurut Van
Bemmelen (1949), lokasi terowongan ini terletak pada Zona Bogor yang memiliki
sekitarnya dapat dilihat pada Peta Digital Elevation Model (DEM) yang
Pada gambar tersebut dapat dilihat bahwa daerah penelitian berada di daerah
perbukitan rendah dengan ketinggian berkisar 500 m sampai dengan 1000 m. Hal
10
tersebut menjadikan salah satu pertimbangan dibangunnya konstruksi terowongan
pada pelaksanaan proyek pembangunan Ruas Jalan Tol Cisumdawu yang melintasi
II.2 Stratigrafi
Lembar Bandung Djawa oleh Silitonga (1973) yang ditampilkan pada Gambar 2.2.
diuraikan dari satuan batuan tertua ke satuan batuan termuda adalah sebagai berikut:
Satuan batuan ini terdiri dari breksi, lahar, dan pasir tufa yang berlapis-lapis
Satuan batuan ini terdiri dari breksi gunungapi, lahar dan lava yang berseling-
seling.
Lava pada satuan batuan ini menunjukkan kekar lempeng dan kekar tiang.
Satuan batuan ini terdiri dari breksi gunungapi dan aliran lahar. Susunan
11
Satuan batuan ini terdiri dari pasir tufaan, lapili, breksi, lava, dan aglomerat
Berdasarkan urutan dari tua ke muda yang ditunjukkan pada Gambar 2.2,
lokasi Terowongan Cisumdawu terletak pada urutan yang paling muda, yaitu
Formasi Hasil Gunungapi Muda Tak Teruraikan (Qyu). Pada peta dijelaskan bahwa
antara Sumedang dan Bandung, batuan ini membentuk dataran kecil atau bagian-
bagian rata dan bukit yang tertutup oleh tanah yang berwarna abu-abu kuning dan
kemerah–merahan.
dilakukan oleh beberapa peneliti terdahulu, antara lain oleh Putra (2019) yang
menghasilkan peta geologi yang ditunjukkan pada Gambar 2.3 dan profil sayatan
Cisumdawu tersusun atas satuan breksi tuf. Breksi tuf tersebut dicirikan dengan
pada tingkat IV dimana lebih dari setengah dari batuan hancur berubah menjadi
tanah.
12
Gambar 2. 2 Kondisi geologi lokasi penelitian dan sekitarnya berdasarkan Peta Geologi Regional Lembar Bandung Djawa (Silitonga, 1973)
13
Gambar 2. 3 Peta Geologi daerah Pamulihan dan sekitarnya (Putra, 2019)
14
Gambar 2. 4 Profil Geologi daerah Pamulihan dan sekitarnya (Putra, 2019)
15
II.3 Struktur Geologi
suatu konstruksi terowongan. Pada daerah penelitian, berdasar pada Peta Geologi
Regional Lembar Bandung Djawa oleh Silitonga (1973) dengan skala 1:100.000
Sumedang). Sesar diperkirakan terdapat pada arah baratlaut dari lokasi penelitian
yang dilakukan oleh Putra (2019) bahwa tidak ditemukan adanya kenampakan
Geofisika ITB pada tahun 2007 juga menunjukkan bahwa tidak ditemukan adanya
Berdasarkan Peta Geologi Teknik Lembar Bandung, Jawa Barat oleh Djaja
dan Hermawan (1996), daerah penelitian tertutup oleh lempung lanauan dan lanau
pasiran (R (mc) (cm)) (Gambar 2.5). Satuan batuan ini merupakan tanah residu hasil
pelapukan batupasir tufaan, tufa, konglomerat, aglomerat, lapili dan breksi yang
16
Gambar 2. 5 Kondisi Geologi Teknik daerah Penelitian berdasarkan Peta Geologi Teknik lembar Bandung, Jawa Barat (Djaja dan Hermawan ,1996)
17
Kondisi geologi teknik daerah penelitian ini dicirikan oleh litologi dengan
plastisitas sedang sampai tinggi dan permeabilitas rendah, teguh hingga kaku. Daya
dukung tanah yang diijinkan rendah sampai sedang. Adapun tingkat kemudahan
penggalian, mudah sampai agak sulit jika menggunakan peralatan non mekanik.
Kondisi kedalaman muka air tanah yaitu sedang sampai dalam (Djaja dan
Hermawan, 1996).
lebih spesifik mengacu pada peta geologi teknik permukaan hasil penelitian oleh
Putra (2019) yang ditunjukkan pada Gambar 2.6. Berdasarkan peta tersebut
termasuk ke dalam tanah Sandy elastic silt (MH). Putra (2019) memberikan
penamaam jenis batuan berdasarkan ASTM 2487 (2000) karena kondisi lebih dari
sebagian besar dari batuan telah berubah menjadi tanah. Berdasarkan hasil uji
laboratorium sifat indeks diperoleh nilai densitas bulk: 0,94-1,66 gr/cm3; densitas
kering: 0,65-1,39 gr/cm3; kadar air: 14,33-63,72; rasio pori: 0,94-10,24; porositas:
atterberg limit diperoleh nilai LL: 51,39-74,76%; PL: 33,33-53,91%; PI: 8,92-
38,39%.
18
Gambar 2. 6 Kondisi Geologi Teknik Daerah Pamulihan dan sekitarnya (Putra, 2019)
19
DASAR TEORI DAN HIPOTESIS
III.1 Terowongan
III.1.1. Definisi
permukaan tanah atau gunung, tertutup di seluruh sisi kecuali di kedua ujungnya
yang terbuka pada lingkungan luar. Beberapa ahli teknik sipil mendefinisikan
minimal 0.1 mil (0,1609 km), dan yang lebih pendek dari itu lebih pantas disebut
sebagai underpass.
jalan raya. Berdasarkan AASHTO T-20 dalam FHWA (2009), terowongan jalan
adalah jalan yang tertutup dengan akses kendaraan yang terbatas pada portal
terlepas dari tipe dari struktur dan metode konstruksinya. Namun definisi ini tidak
berlaku bagi jalan tertutup yang terbentuk akibat pembangunan jembatan jalan raya,
jembatan kereta api atau jembatan lain. Terowongan jalan merupakan suatu
alternatif layak uji untuk menyebrangi suatu perairan atau melintasi suatu hambatan
20
seperti kemacetan lalu lintas, ruang gerak pejalan kaki, kualitas udara, polusi suara,
atau gangguan visual yaitu melindungi daerah-daerah dengan nilai budaya atau
sejarah khusus seperti konservasi distrik, bangunan atau properti pribadi atau untuk
kebiasaan alami atau mengurangi gangguan yang dapat terjadi pada permukaan
tanah.
AASHTO T-20 dalam FHWA (2009), yaitu bentuk bulat, persegi, tapal kuda atau
terowongan. Bentuk persegi dipengaruhi oleh metode konstruksi cut and cover,
immersed atau metode jacked box tunneling. Untuk bentuk lingkaran dipengaruhi
oleh metode konstruksi menggunakan Tunnel Boring Machine (TBM) atau metode
drill and blast pada media batuan. Sedangkan bentuk tapal kuda biasanya dibangun
dianggap dalam jika kedalaman terowongan lebih besar dari 20 kali jari-jari
terowongan. Pada terowongan dalam, kondisi tegangan dianggap sama dari segala
arah. Hal ini disebabkan karena kedalaman terowongan sehingga perbedaan antara
bagian atas, tengah dan bawah terowongan. Pengaruh dari beban permukaan juga
Method (NATM) merupakan suatu pendekatan yang berupa idea yang didasari oleh
sifat – sifat massa batuan dari kelakuan galian bawah tanah selama masa
pelaksanaan. Metode ini dipekenalkan oleh Ladislaus van Rabcewics pada tahun
22
1962 dengan nama aslinya “Ostereicische Tunnelbauweise”. NATM bukanlah cara
khusus untuk menggali ataupun suatu teknik penyanggaan tertentu melainkan suatu
konsep dasar pendekatan empiris dengan dasar teori hubungan antara tegangan
Pada tahun 1978, Leopold Mueller memberikan 22 prinsip dasar dari NATM
yang didasari oleh ilmu mekanika batuan (rock mechanics), dimana terdapat 7
pokok yang penting yang harus diperhatikan yaitu: mobilisasi kekuatan massa
yang diterapkan di lapangan. Metode yang dipilih disesuaikan dengan kondisi alam
sekitar dan dengan pertimbangan serta analisis yang matang. Berdasarkan JSCE
23
Tabel 3. 1 Klasifikasi dan Karakteristik Metode Penggalian Terowongan (JSCE, 2007)
Pembagian Muka Bidang
Metode Ekskavasi Kondisi Mediayang Sesuai Keuntungan Kerugian
Galian
- Menghemat tenaga kerja
- Hampir semua media batuan - Sepanjang terowongan
karena penggalian secara
untuk terowongan dengan secara utuh belum bisa
mekanis
penampang yang kecil digali dengan metode
- Manajemen konstruksi
- Media sangat stabil untuk ini, diperlukan
termasuk pengendalian
terowongan dengan penampang pengadopsian metode
keamanan sangat mudah
yang besar (A>60m2) bench cut sesuai
Full Face karena penggalian pada satu
- Media cukup stabil untuk kebutuhan
bidang muka terowongan
terowongan dengan penampang - Batuan yang tidak stabil
yang sedang (A>30m2) dapat jatuh dengan
- Tidak cocok untuk media batuan energi yang besar,
yang baik diselingi dengan media sehingga dibutuhkan
yang buruk yang memungkinkan pengamanan tambahan
perubahan metode ekskavasi
- Media batuan yang cukup stabil, - Menghemat tenaga kerja - Sangat sulit untuk
tetapi metode seluruh muka karena penggalian secara mengganti dengan
bidang galian sulit dilakukan mekanis dan paralel pada metode ekskavasi
- Media yang baik diselingi bagian top heading dan lainnya jika bidang
Full Face dengan dengan media yang buruk bench muka galian menjadi
tambahan Bench - Manajemen konstruksi tidak stabil
Cut termasuk pengendalian
keamanan sangat mudah
karena penggalian pada satu
bidang muka terowongan
24
Tabel 3. 1 (Lanjutan) Klasifikasi dan Karakteristik Metode Penggalian Terowongan (JSCE, 2007)
Pembagian Muka Bidang
Metode Ekskavasi Kondisi Media yang Sesuai Keuntungan Kerugian
Galian
- Media batuan yang cukup stabil, Penggalian bagian top heading Penggalian yang
tetapi metode seluruh muka dan bench akan mengurangi bergantian akan
Long bidang galian sulit dilakukan penggunaan peralatan dan memperpanjang masa
Bench - Metode penggalian cincin/ring tenaga kerja konstruksi
Cut cut diterapkan jika muka bidang
galian tidak stabil
25
Tabel 3. 1 (Lanjutan) Klasifikasi dan Karakteristik Metode Penggalian Terowongan (JSCE, 2007)
Pembagian Muka Bidang Kondisi Media yang
Metode Ekskavasi Keuntungan Kerugian
Galian Sesuai
- Media yang cukup baik untuk Muka bidang galian mudah - Deformasi yang besar
terowongan dengan penampang untuk distabilisasi terjadi jika pengakhiran
yang besar dan tinggi penggalian ditunda
- Media yang buruk memerlukan pada media yang buruk
Multiple bagian kecil dari heading untuk - Panjang setiap bench
Bench
Bench menstabilkan muka bidang galian dan ruang untuk kerja
Cut
Cut terbatas
- Diperlukan kehati-
hatian dalam
pembuangan material
pada setiap bench
- Pergerakan atau
- Media tanah dengan lapisan - Muka bidang galian
penurunan akibat
penutup yang tipis/shallow distabilisasi dengan
pencabutan diafragma
overburden sehingga penurunan membagi menjadi beberapa
harus diperiksa
permukaan tanah di atasnya harus penampang kecil
- Pencabutan diafragma
dijaga seminimum mungkin - Penurunan permukaan
ditambahkan dalam
- Media yang relatif buruk untuk tanah dapat dikurangi
Center proses konstruksi
Diaphragm terowongan dengan penampang - Penampang muka bidang
yang besar - Pengadopsian metode
galian yang terbagi lebih
dengan tambahan
besar daripada yang khusus dalam
menggunakan metode terowongan sangat sulit
penggalian samping, dan untuk dilakukan
peralatan yang lebih besar
dapat digunakan
26
Tabel 3. 1 (Lanjutan) Klasifikasi dan Karakteristik Metode Penggalian Terowongan (JSCE, 2007)
Pembagian Muka Bidang
Metode Ekskavasi Kondisi Mediayang Sesuai Keuntungan Kerugian
Galian
- Media dengan kapasitas daya Secara keseluruhan dinding - Peralatan kecil digunakan
dukung yang tidak mencukupi beton masif untuk penggalian untuk penggalian samping
dan kapasitas daya dukung harus samping meningkatkan
kapasitas daya dukung dan Batuan di bagian atas akan
ditingkatkan sebelum penggalian
memperkuat ketahanan runtuh akibat adanya
top heading terhadap tekanan tanah tidak penggalian samping
dengan - Media batuan lunak atau media simetris
Side Wall tanah dengan lapisan penutup
Concrete
yang tipis (shallow overburden)
dimana tekanan tanah tidak
simetris dan longsoran harus
Side
Drift diantisipasi
Advan
cing - Penurunan permukaan
- Media dengan kapasitas daya - Peralatan kecil digunakan
tanah dapat dikurangi untuk penggalian
dukung yang tidak mencukupi
- Diaftagma sementara dapat samping
untuk menggunakan metode
lebih mudah dilepas
bench cut
tanpa dibandingkan dengan
Side Wall - Media tanah dengan lapisan metode center diaphragm
Concrete penutup yang tipis (shallow
overburden) dimana penurunan
permukaan tanah harus dijaga
seminimum mungkin
27
Tabel 3. 1 (Lanjutan) Klasifikasi dan Karakteristik Metode Penggalian Terowongan (JSCE, 2007)
28
Tabel 3. 1 (Lanjutan) Klasifikasi dan Karakteristik Metode Penggalian Terowongan (JSCE, 2007)
Pembagian Muka Bidang
Metode Ekskavasi Kondisi Media yang Sesuai Keuntungan Kerugian
Galian
- Kondisi geologi dapat - Sangat sulit untuk
dikonfirmasi dengan menyeimbangkan siklus
penggalian samping konstruksi dari setiap
- Penambahan muka bidang muka bidang galian
Bottom galian dihasilkan dan - Diperlukan berbagai
Side Drift Media batuan memerlukan metode periode konstruksi dapat macam tipe peralatan
Drift
Advancing dewatering
Advancing dipersingkat
29
Metode penggalian yang sering digunakan adalah metode full face,
metode bench cut dan metode drift advancing. Metode centre diaphragm
daerah perkotaan. Metode full face umumnya digunakan pada terowongan dengan
bench cut umumnya digunakan pada terowongan dengan penampang yang besar
konstruksi terowongan dengan media batuan lemah /tanah dengan overburden yang
kecil, metode penggalian yang cocok diguanakan adalah metode side drift
advancing, metode bench cut, dan metode full face dengan tambahan bench cut.
sebagai berikut:
kemudahan pelaksanaan.
sekali batuan mengalami loosening maka keruntuhan akan sangat sulit untuk
dicegah lagi.
terowongan tetap stabil dan semua aktivitas pada saat pembangunan konstruksi
penyangga untuk mendapatkan sistem penyangga yang efisien, efektif, aman, dan
stabil. Menurut JSCE (2007) terdapat tiga jenis penyangga terowongan yang umum
digunakan yaitu beton semprot (shotcrete), baut batuan (rock bolt) dan penyangga
karakteristik yang hampir sama dengan beton biasa, namun modulus elastisitas
beton yang digunakan lebih rendah dari beton biasa. Untuk kondisi batuan
penampang bulat terbuat dari baja yang diletakkan di tengah lubang pemboran
geologi yang tersusun oleh batuan relatif keras dan berfungsi untuk mencegah
berdasarkan kondisi batuan dan luas area daerah yang akan dilakukan
32
Gambar 3. 3 Pemasangan Baut Batuan pada Arah Memanjang (JSCE, 2007)
bolt yang memiliki fungsi untuk memperkuat massa batuan pada bagian muka
terowongan selanjutnya.
yang terbuat dari baja yang berfungsi untuk menahan tekanan aksial (axial
bahan steel rib ini penting untuk dipertimbangkan guna mencegah terjadinya
pada Tabel 3.2 danTabel 3.3. Selain tipe sistem penyangga tersebut, terdapat
keamanan terowongan serta menjaga suatu area pada kondisi dimana perkuatan
secara umum tidak dapat memberikan solusi yang efektif atau tidak bermanfaat.
34
Tabel 3. 2 Kriteria Pemilihan Sistem Penyangga (JSCE, 2007)
Penyangg
Semprot
Batuan
Lantai
a Baja
Kerja
Beton
Baut
Lapisan
Media penutup yang Dinding (lining) dapat dianggap
Tanah kecil (Small ○ ∆ ○ ○ sebagai bagian dari penyangga
Overburden)
Dipertimbangkan segera
Lapisan melakukan penutupan
Zona penutup yang penampang melintang
Patahan besar (Large ○ ○ ○ ○ penggalian dan pembatasan
Overburden) besarnya deformasi berdasarkan
kriteria deformasi izin
Dipertimbangkan segera
melakukan penutupan
penampang melintang
Squeezing Ground ○ ○ ○ ○ penggalian dan pembatasan
besarnya deformasi berdasarkan
kriteria deformasi izin
Sedikit
Batuan rekahan ∆ ∆ X X -
Keras Banyak
rekahan ○ ○ ∆ X -
Lantai kerja beton diperlukan
untuk memastikan kondisi
Faktor lapisan pondasi (base course)
Kompetensi yang baik pada masa
Besar (2-4)
○ ○ X ∆ pelaksanaan/pelayanan, terutama
Batuan pada media batulempung
Lunak (mudstone).
Dipertimbangkan segera
Faktor melakukan penempatan lantai
Kompetensi kerja beton atau penutupan
Kecil (1-2) ○ ○ ○ ○ penampang melintang
penggalian
Keterangan:
○ : Sangat efektif
∆ : Efektif
X : Pada prinsipnya tidak perlu
35
Tabel 3. 3 Tipikal Standar Penyangga Terowongan untuk Terowongan Jalan Raya dengan Penampang Besar, lebar Inner 12,5 m sampai 14 m (JSCE, 2007)
Metode Penggalian
Baut Batuan (Rock Bolt) Penyangga Baja (Steel Rib) Ketebalan dinding (lining)
Deformasi yang
Penggalian (m)
Diijinkan (cm)
Panjang Laju
Area Pemasangan
dinding samping
Jarak (Spacing)
Jarak (Spacing)
Kelengkungan
Lantai Kerja
(Invert) (cm)
Panjang (m)
Kategori
(arch) pada
Bench (m)
(side wall)
Melengkung
Memanjang
Batuan /
(cm)
(m)
Tanah
Arah
Arah
(m)
(m)
Top
B 2,0 4,0 1,5 2,0 - - - 10 40 - 0
Heading
Top
CI 1,5 4,0 1,2 1,5 Heading, - - - 15 40 (45) 0
Full Face
Bench
dengan
Top tambahan
C II 1,2 4,0 1,2 1,2 Heading, H-150 - 1,2 15 40 (45) 0 Bench Cut,
Bench Bench Cut.
Center
Top
Diaphragm,
DI 1,0 6,0 1,0 1,0 Heading, H-150 H-150 1,0 20 40 50 0
Center Drift
Bench
Advancing
D II
Top
aaa≤
6,0 2,0 ≤ 1,0 Heading, H-200 H-200 ≤ 1,0 25 40 50
1,0
Bench
36
Tabel 3. 4 Klasifikasi Perkuatan Tambahan (JSCE, 2007)
Perlindungan
Pengendalian
Terowongan
Permukaan
Struktur di
Pengen
Penurunan
Batuan
Batuan
sekitar
Terowong
Terowong
Lunak
Tanah
Tanah
Stabilitas
Stabilitas
Stabilitas
Metode
Keras
dalian
Muka
Atap
Kaki
an
an
Aliran
Air
Reinforce
XX X XX XX
Bidang
Galian
Muka
(Face
ment)
cement)
Terowo
Reinfor
Perkua
ngan
Temporary invert X X X X
X X XX XX XX XX
boring)
Aliran Air
Control)
37
Tabel 3. 5 Ilustrasi dan Penjelasan Metode Tambahan (JSCE, 2007)
Metode Ilustrasi Penjelasan
- Metode ini adalah suatu metode tambahan dimana baut, batang
baja, atau pipa dengan panjang kurang dari 5 meter yang
dipasang masuk ke dalam batauan/tanah di bagian atas
kelengkungan (arch),
- Tujuan metode ini adalah untuk meningkatkan kuat geser
Forepoling
batuan/tanah pada bagian mahkota (crown) dan untuk
dengan pengisi
mencegah rontoknya batuan di bagian belakang muka bidang
Perkuatan Awal
(Presupport)
galian.
- Metode ini secara umum digunakan untuk mencegah
keruntuhan mahkota (crown) dan sering digunakan pada tahap
awal stabilisasi.
- Metode ini adalah suatu metode tambahan dimana baut atau
pipa dengan panjang kurang dari 5 meter dimasukkan secara
diagonal ke dalam batuan di bagian belakang muka bidang
Forepoling
galian, dengan injeksi pasta semen cepat kering secara
dengan injeksi
bersamaan.
- Metode ini berfungsi untuk meningkatkan stabilitas mahkota
(crown) di belakang muka bidang galian.
38
Tabel 3.5 (Lanjutan) Ilustrasi dan Penjelasan Metode Tambahan (JSCE, 2007)
Metode Ilustrasi Penjelasan
- Metode ini adalah metode tambahan untuk memperkuat tanah
Perkuatan Awal
Reinforcement)
Beton semprot
pada muka - Metode ini dilakukan dengan menyemprotkan beton pada muka
bidang galian bidang galian dengan ketebalan antara 3 – 10 cm segera setelah
(face shotcrete) penggalian dilakukan, untuk meningkatkan waktu perkuatan
(stand-up time) pada muka bidang galian.
39
Tabel 3.5 (Lanjutan) Ilustrasi dan Penjelasan Metode Tambahan (JSCE, 2007)
Metode Ilustrasi Penjelasan
- Metode ini terdapat dua jenis yaitu face bolt dengan panjang
baut kurang dari 5 meter dan long face bolt dengan panjang baut
lebih dari 5 meter.
Perkuatan Muka Bidang Galian
40
Tabel 3.5 (Lanjutan) Ilustrasi dan Penjelasan Metode Tambahan (JSCE, 2007)
Metode Ilustrasi Penjelasan
- Metode ini digunakan pada kaki terowongan untuk melindungi
kerusakan yang disebabkan oleh penurunan pada kaki
Perkuatan Kaki Terowongan
41
Tabel 3.5 (Lanjutan)Ilustrasi dan Penjelasan Metode Tambahan (JSCE, 2007)
Metode Ilustrasi Penjelasan
Pengendalian Aliran Air
Sumur terpusat
(well point)
42
Tabel 3.5 (Lanjutan) Ilustrasi dan Penjelasan Metode Tambahan (JSCE, 2007)
Metode Ilustrasi Penjelasan
43
III.2 Sifat Keteknikan Tanah
properties pada pemodelan numerik ini didapat dari pengujian laboratorium berupa
uji triaksial (triaxial test). Uji triaksial merupakan metode pengujian kuat geser
yang paling cocok dan sering digunakan untuk semua jenis tanah (Craig, 2004).
menyiapkan benda uji berdiameter 38,1 mm dan tinggi 76,2 mm. Benda uji
dimasukkan ke dalam selubung karet tipis dan diletakkan ke dalam tabung kaca
yang berisi air. Kemudian benda uji tersebut ditekan dengan tegangan minor (σ3)
yang berasal dari cairan di dalam tabung. Alat uji dihubungkan dengan pengatur
Tegangan-tegangan yang bekerja pada benda uji adalah tegangan mayor (σ1),
tegangan minor (σ3), dan tegangan tengah (σ2). Tegangan tengah merupakan
tegangan kekang atau tegangan minor (σ2= σ3). Nilai tegangan tengah sering tidak
merupakan selisih antara tegangan mayor dan tegangan minor (σ1-σ3). Ketika
menggunakan tegangan deviator, terdapat regangan aksial yang harus diukur serta
terdapat perubahan penampang benda uji yang harus dikoreksi. Menurut Wesley
(2017), perubahan bentuk benda uji digambarkan pada Gambar 3.4. dengan
𝛥𝑉 (3 – 1)
1− 𝑉
0
𝐴 = 𝐴0
𝛥𝐿
1− 𝐿
0
Gambar 3. 4 Perubahan Bentuk Benda Uji pada Pengujian Triaksial (Wesley, 2017)
berupa drainase dapat dikendalikan, tekanan air pori dapat diukur, dan tanah jenuh
Peralatan yang digunakan untuk pengujian triaksial seperti pada Gambar 3.5.
terdrainasi.
45
Gambar 3. 5 Peralatan untuk Pengujian Triaksial (Craig, 2004)
dikonsolidasikan terlebih dahulu dengan tegangan minor (σ3) yang sama dari segala
arah. Adanya tegangan minor (σ3) menyebabkan air dalam sampel tanah mengalir
keluar. Setelah tekanan air pori tersebut seluruhnya terdisipasi (σ3=0), tegangan
deviator (Δσd) diberikan sampai sampel tanah mengalami keruntuhan. Pada fase ini,
pengaliran air dari dan ke dalam benda uji dibuat tertutup dan terbuka hanya pada
fase konsolidasi (Nugroho dkk, 2012). Menurut Das (2010), dikarenakan tidak
terjadi pengaliran air, maka pada saat pembebanan tegangan deviator (Δσd) akan
terjadi kenaikan tekanan air pori (Δud). Tekanan air pori (Δud) tersebut harus diukur
Hal-hal yang perlu diperhatikan mengenai tekanan air pori adalah sebagai
a. Tekanan air pori muncul dalam tanah karena ada pemberian tegangan minor
mengakibatkan tekanan air pori negatif. Kedua hal tersebut tergantung dari
kepadatan butiran. Menurut Das (2010), pada tanah pasir lepas (loose sand)
tanah pasir padat (dense sand) dan tanah lempung terkonsolidasi lebih
b. Pengukuran tekanan air pori dilakukan sedemikan rupa supaya air tidak dapat
mengalir keluar masuk contoh uji. Peralatan yang umum digunakan untuk
Keadaan lingkaran Mohr untuk tegangan total dan tegangan efektif pada saat
merupakan lingkaran Mohr untuk tegangan efektif, dengan diameter A dan C serta
B dan D adalah sama. Garis keruntuhan tegangan total didapatkan dengan menarik
garis yang menyinggung lingkaran untuk tegangan total dan dapat dinyatakan pada
menarik garis yang menyinggung lingkaran untuk tegangan efektif dan dapat
𝜏𝑓 = 𝜎 𝑡𝑎𝑛𝜙 (3 – 2)
𝜏𝑓 = 𝜎′ 𝑡𝑎𝑛𝜙′ (3 – 3)
membutuhkan waktu yang sangat lama. Oleh karena itu, untuk mendapatkan
konsolidasi berarti bahwa sebelum benda uji dilakukan shearing, benda uji
48
dibandingkan dengan pengaliran air yang keluar atau masuk ke dalam tanah. Oleh
permasalahan di lapangan.
Tegangan In situ Suatu batuan yang terletak pada kedalaman akan dikenakan
tegangan yang dihasilkan dari berat lapisan batuan yang berada diatasnya dan
titik bor di lapangan, titik terdalam terowongan berada pada kedalaman 70 meter
horisontal sangat berpengaruh pada perilaku batuan. Hal ini menyebabkan adanya
perbedaan tegangan yang terjadi pada bagian atas, tengah dan bawah terowongan.
Pengaruh dari beban permukaan dan tegangan yang terjadi akibat kondisi tektonik
pertimbangan tersendiri.
Pada saat dilakukan penggalian, tegangan yang terjadi (insitu stress) dilokasi
Besaran dan arah dari tegangan – tegangan ini merupakan komponen yang penting
49
banyak kasus, terlampauinya kekuatan suatu batuan dan akibat ketidakstabilan
suatu konstruksi menjadi masalah yang besar pada saat dilakukannya penggalian.
Secara umum konsep dasar insitu stress kaitannya dengan berat jenis
suatu massa batuan, tegangan vertikal dan kedalaman di bawah permukaan tanah
𝜎𝑣 = 𝛾 . 𝑧
dimana: 𝜎𝑣 adalah tegangan vertikal (MPa), ɣ adalah berat jenis batuan (KN/m³),
tegangan vertikal. Secara normal, nilai rasio dari rata-rata tegangan horisontal
𝜎ℎ = 𝑘. 𝜎𝑣 = 𝑘. 𝛾 . 𝑧 (3 – 5)
𝑘 = 𝑣⁄1 − 𝑣 (3 – 6)
Besaran rasio dari perbandingan antara tegangan efektif vertical terhadap horisontal
pada kondisi tanah atau biasa dikenal sebagai coefficient earth pressure at rest
2 1−𝑠𝑖𝑛𝜙′
𝐾𝑜,𝑛𝑐 = (1 + 3 𝑠𝑖𝑛𝜙 ′ 𝑐𝑟𝑖𝑡 ) (1+𝑠𝑖𝑛𝜙′ 𝑐𝑟𝑖𝑡 ) (3 – 7)
𝑐𝑟𝑖𝑡
50
III.4 Pemodelan Numerik
Pemodelan numerik merupakan salah satu teknik yang digunakan secara luas
dalam penelitian ini adalah metode elemen hingga (finite element method). Metode
metode ini, suatu objek yang akan dianalisis dibagi menjadi beberapa bagian dalam
jumlah higga (finite). Bagian-bagian ini disebut elemen dimana elemen satu dengan
51
Gambar 3. 7 Kondisi Tegangan Pada Suatu Titik di Bawah Suatu Pembebanan
(Rocscience, Inc)
berikut:
(3-9)
terhadap dimensi awal dari badan material tempat gaya diterapkan. Komponen
tensor regangan sangat kecil, dapat dituliskan dalam persamaan sebagai berikut:
(3-10)
terowongan. Yahya dkk (2016), melakukan analisis metode elemen hingga terhadap
52
menggunakan perangkat lunak RS³ (Rocscience, Inc.). Terowongan ini merupakan
terowongan dangkal pada kondisi tanah lunak dan dibangun dengan metode
NATM.
Hasil penelitian Yahya dkk (2016) disimpulkan bahwa simulasi penggalian dan
53
Gambar 3. 9 Pemodelan numerik 3D terowongan dengan pre-support (Yahya dkk, 2016)
yang berbeda. Salah satu metode konstruksi yang digunakan adalah metode
penggalian 3-bench 7-step sesuai dengan metode penggalian yang dilakukan pada
penggalian 3-bench 7-step pada penelitian Zhu dkk (2016) dijelaskan dengan
Gambar 3.9.
54
Gambar 3. 10 Gambar konstruksi metode penggalian 3-bench 7-step (Zhu dkk, 2016)
penggalian.
bagian 2 (sisi kiri atas) yang merupakan bagian dari middle bench, kemudian
3 (sisi kanan atas) yang merupakan bagian dari middle bench, kemudian
55
4. Setelah bagian 3 dikonstruksi sejauh 1-3 m, dilakukan langkah yang sama
6. Penggalian batuan pada bagian 6, 7 dan 8 dilakukan dengan menjaga jarak 1-3
m di setiap tingkatannya.
invert).
dan desain struktur geoteknik yang ditinjau dalam tiga dimensi (3D).
Tipe penyangga yang dapat dimodelkan pada program ini berupa: bolts,
56
III.5 Hipotesis
sebagai berikut:
1. Nilai total displacement pada atap, dinding kiri dan kanan, dan lantai
displacement pada atap, dinding kiri dan kanan, dan lantai terowongan hasil
58
METODOLOGI PENELITIAN
Alat dan bahan yang dibutuhkan untuk analisis pemodelan numerik 3D dalam
2. Printer
3. Kertas HVS A4
pengumpulan data, analisis data dan evaluasi hasil serta pelaporan. Bagan alir
penelitian ditunjukkan pada Gambar 4.5 Adapun secara rinci dijelaskan sebagai
berikut:
1. Tahap pendahuluan
Pada tahap ini dilakukan kegiatan yang terkait dengan persiapan penelitian
terowongan.
59
b. Studi pustaka terhadap penelitian terdahulu yang berkaitan dengan lokasi dan
topik penelitian. Hal ini dilakukan untuk menentukan interpretasi awal kondisi
c. Penyusunan dasar teori dan metode yang akan digunakan dalam penelitian
Data yang digunakan berupa data sekunder yang terdiri dari jenis batuan
(litologi), sifat indeks, sifat mekanik batuan, data desain terowongan, data
terdahulu.
ratio, young’s modulus (E), friction angle (ɸ) dan cohesion (c). Data
d. Sifat Indeks
Data sifat indeks diperoleh dari hasil uji laboratorium yang dilakukan
oleh peneliti terdahulu. Uji sifat indeks yang dilakukan berupa uji
kandungan air (water content (w)), uji densitas (density (ρ)), specific
gravity (Gs), rasio pori, porositas (porosity (n)), saturasi dan uji
atterberg limit. Data tersebut berguna untuk menentukan berat jenis dari
station. Data yang diperoleh terdapat pada 5 titik STA di sekitar lokasi
penelitian, yaitu pada titik STA 13+062, STA 13+052, STA 13+042,
Inc.). Perangkat lunak ini merupakan program analisis metode elemen hingga yang
dilakukan.
yaitu pada STA 13+033 sampai dengan 13+021 yang merupakan bagian outlet sisi
numerik 2D dan data hasil pengukuran di lapangan. Besaran file dan waktu yang
62
Simulasi terhadap tahap penggalian 3-bench 7-step diperlukan langkah (stage)
dibutuhkan file yang cukup besar dan waktu yang cukup lama.
pada jalur terowongan yang dimodelkan. Nilai diperoleh dari data sekunder
hasil uji laboratorium peneliti terdahulu berupa uji sifat indeks dan sifat
mekanik batuan. Hasil uji laboratorium tersebut didapatkan nilai kohesi (c),
sudut gesek dalam (φ), unit weight (γ), modulus elastisitas (E), dan poisson’s
ratio (υ) pada masing-masing lapisan batuan yang berguna sebagai input
yang dimodelkan dalam pemodelan numerik 3D ini terdiri dari 4 (empat) jenis
digunakan yaitu berupa steel arch rib, shotcrete, steel pipe grouting dan
63
Gambar 4. 1. Ilustrasi istem penyangga Terowongan Cisumdawu
penggambaran tipe penyangga yang digunakan yaitu berupa tipe bolt, liner,
pile and forepole dan beam. Pada penelitian ini, tipe penyangga steel arch rib,
wire mesh dan shotcrete dimodelkan sebagai composite liner, steel pipe
grouting dimodelkan sebagai bolt dan forepoling dimodelkan sebagai pile and
peneliti terdahulu.
c. Penentuan geometri
64
dengan penyederhanaan penarikan garis lurus batas lapisan pada lubang bor
horseshoe yang terdapat pada perangkat lunak RS³ (Rocscience, Inc). Dimensi
komputasi.
Kondisi batas pada sisi-sisi pemodelan ditentukan sejauh tiga kali diameter
dihitung dari batas terluar kedua sisi bidang penggalian terowongan. Batas atas
lokasi penelitian.
bagian atas dari kondisi batas diterapkan free restraint yang berarti
65
diizinkannya terjadi displacement pada bagian permukaan. Pada kedua sisi
hanya searah sumbu z. Bagian dasar dari kondisi batas tidak diizinkan terjadi
gravitasi.
66
Gambar 4. 2 Sequence penggalian Terowongan Cisumdawu
67
Berdasarkan Gambar 4.2, secara garis besar ketujuh urutan penggalian
1. Pemasangan forepoling pada tingkat teratas (upper bench) yaitu pada bagian
utama yang terdiri dari steel arch rib, shotcrete dan wire mesh) sepanjang
1-3 m.
4. Pemasangan steel pipe grouting pada bagian 4 (kiri bawah), dan dilakukan
m.
m.
69
f. Penentuan field stress properties
adalah penentuan nilai field stress. Field stress properties diperlukan untuk
Pilihan tipe field stress pada program pemodelan numerik 3D ini terdiri
pada analisis ini. Nilai rasio antara tegangan horisontal terhadap tegangan
tetrahedral (4-sisi) dengan 2 tipe pilihan yaitu 4-noded tetrahedra dan 10-
noded tetrahedra. Tingkatan meshing berupa pilihan tipe graded dan uniform.
maka hasil yang diperoleh akan lebih akurat tetapi waktu perhitungan dan
meshing yang digunakan dalam penelitian ini ditunjukkan pada Gambar 4.3.
akan ditinjau nilai perubahan perpindahan yang terjadi pada bagian dinding,
71
atap dan lantai terowongan pada satu titik STA yang dijadikan acuan untuk
displacement yang terjadi pada atap, dinding kanan dan kiri, dan lantai terowongan.
dilakukan evaluasi terhadap nilai total displacement yang terjadi. Penentuan tingkat
akurasi nilai total displacement yang terjadi pada pemodelan numerik dan hasil
terjadi pada STA 13+031 sesuai data yang terdapat di lapangan. Hasil pemodelan
5. Tahap pelaporan
Tahapan pelaporan merupakan tahap akhir dari penelitian ini, dimana semua
tahapan ditulis secara sistematis, runtut dan jelas sehingga mulai pembahasan
terkait permasalahan, metode dan dasar penelitian, analisis data hingga solusi
terhadap pemasalahan tersaji secara lengkap dan tuntas. Sistematika pelaporan akan
73
PENYAJIAN DATA
Pada bab ini akan diuraikan data yang diperlukan dalam melakukan analisis
batuan, berat jenis batuan dan nilai-nilai keteknikan pada tiap lapisan batuan di
sepanjang lokasi terowongan yang dimodelkan. Data masukan diperoleh dari data
sekunder hasil penelitian Halomoan (2018) yang dirangkum dalam Tabel 5.1.
lapisan batuan bawah permukaan hasil penelitian Halomoan (2018) untuk dapat
dilakukan yaitu penggambaran yaitu pada lapisan batuan di atas muka air tanah
dibedakan menjadi lapisan unsaturated sedangkan lapisan dibawah muka air tanah
ketebalan hasil lubang bor (borehole) BH15 dengan nilai masing-masing lapisan
74
.
Gambar 5. 1 Lapisan batuan dibawah permukaan lokasi penelitian dimodifikasi dari Halomoan (2018)
75
Tabel 5. 1 Material Properties dalam pemodelan numerik 3D
Poisson Friction Young
Unit Weight Cohession
Lapisan ratio Angle Modulus
Batuan sat c ϕ E
(v)
(kN/m3) (kN/m3) (kPa) (°) (kPa)
Breksi tuf 1
17,4 - 32,6 0,3 11,9 40.721,3
Unsaturated
Breksi tuf 2
13,3 - 33,3 0,3 17,5 49.744,5
Unsaturated
Breksi tuf 2
- 16,2 39,0 0,3 17,6 47.610,9
Saturated
Breksi tuf 3
- 16,7 46,4 0,3 12,6 39.858,4
Saturated
pada observasi kondisi litologi yang ditemui dilapangan dan hasil data
Sesuai dengan yang telah dijelaskan pada Bab IV, terdapat 4 (empat) tipe
Terowongan Cisumdawu. Pemilihan tipe penyangga ini mengacu pada tabel tipikal
besar, lebar inner 12,5 m sampai 14 m (JSCE, 2007) berdasarkan kategori media
Cisumdawu yaitu berupa steel arch rib, shotcrete, wiremesh dan steel pipe
76
grouting. Penyangga tambahan diperlukan karena media yang dilewati Terowongan
Cisumdawu berupa batuan yang mengalami tingkat pelapukan tinggi dimana lebih
dari setengah dari batuan sudah hancur berubah menjadi tanah residu. Penyangga
mengikuti bentuk atap terowongan. Terdapat dua tipe forepoling yang digunakan
dengan sudut 4°, D=114,3 mm, L=5 m, 3 m (longitudinal) dan forepoling sudut 10°,
pemodelan dirangkum dalam Tabel 5.2. Data tersebut diperoleh dari data
77
Tabel 5. 3 (Lanjutan) data penyangga utama Terowongan Cisumdawu
Steel Pipe Grouting Shotcrete
menentukan besaran tegangan in-situ yang terjadi pada pada proses penggalian
bukaan terowongan. Tegangan ini ditentukan dalam dua arah tegangan yaitu arah
78
horisontal (σh) dan arah vertikal (σv). Pada arah vertikal, penentuan nilai σv
nilai σh menggunakan nilai stress ratio (k) yang merupakan perbandingan antara
tinggi dimana lebih dari setengah dari batuan berubah menjadi tanah residu,
dimana 𝑘0 merupakan tegangan lateral dalam kondisi tanah diam pada kedalaman
tertentu (Jaky, 1944). Mengacu pada data hasil perhitungan nilai k oleh Halomoan
(2018) dilokasi penelitian, maka nilai k ditentukan sebesar 0,5. Nilai k ini di adopsi
kedalam penelitian ini agar hasil pemodelan numerik 2D oleh Halomoan (2018)
FHWA (2009) bentuk penampang tapal kuda secara umum digunakan untuk
metode penggalian NATM. Hal tersebut sesuai dengan metode konstruksi yang
79
Pada penelitian ini dilakukan simulasi pelaksanaan penggalian terowongan
urutan (sequence) penggalian dan bagian inti dari terowongan digali secara
diterbitkan pada tahun 2007 oleh Japan Society of Civil Engineers (JSCE). Tahapan
Terowongan Cisumdawu.
Seperti yang dijelaskan pada Bab III bahwa prosedur pelaksanaan 3bench-
7step dijelaskan dalam penelitian Zhu dkk (2016). Tahapan pemodelan pada
oleh Halomoan (2018). Zhu dkk (2016) menjelaskan panjang laju penggalian untuk
Terowongan Cisumdawu No. 7 (2018) laju penggalian pada terowongan sisi kanan
80
yang disarankan adalah sekitar 1.2 m sampai dengan 1.8 m, namun pada
dilakukan simulasi dengan laju penggalian yaitu sepanjang 1.2 m-1.8 m. Adapun
penyangga secara berurutan dari konstruksi dari bagian crown (sequence 1) sampai
menggunakan pemodelan numerik metode elemen hingga yang ditinjau secara 2D.
Keluaran dari hasil pemodelan numerik tersebut berupa nilai total displacement
pada 6 titik STA di sisi kanan terowongan, yaitu STA 13+033, 13+027, 13+022,
13+017, 13+012 dan 13+006. Hasil interpretasi total displacement tersebut ditinjau
nilai displacement yang terjadi pada atap terowongan. Nilai maksimum diperoleh
pada saat seluruh bukaan pada penampang terowongan dilakukan penggalian yaitu
pada sequence 1 sampai dengan 7. Adapun nilai total displacement pada bagian
atap terowongan di titik STA yang ditinjau dalam pemodelan numerik 2D disajikan
Tabel 5. 4 Data maksimum total displacement pada atap terowongan hasil pemodelan numerik 2D
81
13+017 0.06
13+012 0.06
13+006 0.06
deformasi yang terjadi pada saat dilakukan penggalian. Oleh karena itu peralatan
instrumentasi monitoring merupakan hal pokok yang tidak dapat diabaikan. Selama
mengukur ground settlement dan slope stability. Pada penelitian ini data yang
diperoleh adalah nilai displacement yang terjadi pada bagian atap terowongan.
meter dan Total Station, dengan melakukan pemasangan prisma pada 5 titik serta
stress box di dalam terowongan (Ira dkk, 2017). Ilustrasi pemantauan deformasi ini
terdapat di 5 titik STA di sekitar lokasi penelitian (Tabel 5.4). Nilai maksimum
82
yang diperoleh mengacu pada data deformasi hasil pengukuran di lapangan yang
Tabel 5. 5 Data maksimum total displacement pada atap terowongan pengukuran lapangan
Nilai Maksimum displacement pada bagian atap
STA
(m)
13+062 0.002
13+052 0.006
13+042 0.003
13+031 0.003
13+019 0.002
83
HASIL DAN PEMBAHASAN
VI.1 Nilai Total Displacement pada Atap, Dinding Kiri dan Kanan, dan
Lantai Terowongan
yang diperoleh dari kedua model tersebut, maka pada sub bab ini akan ditunjukkan
hasil interpretasi model ditinjau dari STA 13+033. Hasil interpretasi yang
ditunjukkan merupakan hasil total displacement dari awal penggalian bagian crown
(sequence 1) sampai dengan penggalian bagian invert (sequence 7) untuk satu siklus
penggalian serta pada tahap penggalian batas akhir pemodelan sepanjang 12 m pada
bagian upper bench. Hasil yang ditampilkan dianggap dapat mewakili perubahan
nilai total displacement yang terjadi dari awal dilakukan penggalian sampai dengan
akhir batas pemodelan. Adapun hasil perbandingan pemodelan tanpa dan dengan
84
Tabel 6. 1 Perbandingan nilai total displacement pemodelan tanpa dan dengan penyangga forepoling
(STA 13+033)
Langkah Nilai
Hasil interpretasi nilai total displacement
Pemodelan (m)
Atap
0,0038
tanpa forepoling
Dinding
0,0015
Penggalian sisi crown (sequence 1)
Lantai
0,0023
Atap
-0,0009
dengan forepoling
Dinding
0,0014
Lantai
0,0021
85
Tabel 6. 2 (Lanjutan) perbandingan nilai total displacement pemodelan tanpa dan dengan penyangga forepoling
(STA 13+033)
Langkah Nilai
Hasil interpretasi nilai total displacement
Pemodelan (m)
Atap
0,02
tanpa forepoling
Dinding
Penggalian dinding kiri atas dan dinding kanan atas (sequence 2 dan 3)
0,004
Lantai
0,012
Atap
0,0064
dengan forepoling
Dinding
0,0024
Lantai
0,01
Tabel 6. 1 (Lanjutan) perbandingan nilai total displacement pemodelan tanpa dan dengan penyangga forepoling pada
STA 13+033
86
Tabel 6. 3 (Lanjutan) perbandingan nilai total displacement pemodelan tanpa dan dengan penyangga forepoling STA
(13+033)
Langkah
Nilai
Pemodela Hasil interpretasi nilai total displacement
n (m)
Atap
0,024
tanpa forepoling
Dinding
0,008
Penggalian sbagian invert (sequence 7)
Lantai
0,032
Atap
0,01
dengan forepoling
Dinding
0,0064
Lantai
0,03
87
Tabel 6. 4 (Lanjutan) perbandingan nilai total displacement pemodelan tanpa dan dengan penyangga forepoling STA
(13+033)
Langkah Nilai
Hasil interpretasi nilai total displacement
Pemodelan (m)
Atap
0,06
tanpa forepoling
Dinding
Penggalian sampai dengan batas akhir penggalian (12 m)
0,03
Lantai
0,08
Atap
0,038
dengan forepoling
Dinding
0,018
Lantai
0,078
88
VI.2 Akurasi Pemodelan Numerik 3D Penggalian Terowongan dengan
diperoleh nilai total displacement yang relatif lebih kecil jika pemodelan diterapkan
pada atap terowongan dengan pemodelan tanpa forepoling pada akhir batas
pemodelan yang dilakukan menunjukkan nilai hampir dua kali lebih besar
dibandingkan dengan STA yang terdapat di area penelitian yaitu pada STA 13+031,
displacement pada bagian atap terowongan hasil pemodelan numerik 3D pada STA
13+031 diperoleh nilai sebesar 0,028 m pada kondisi bagian invert (sequence 7)
89
Gambar 6. 1 Total displacement STA 13+031
dan masih dalam rentang deformasi yang diijinkan oleh JSCE (2007) yaitu sebesar
sepanjang 1,2 m-1,8 m di setiap sequence dan penggalian bertingkat pada bagian
inti terowongan serta pemasangan sistem penyangga secara bertahap diperoleh hasil
terjadinya pertambahan deformasi yang terjadi pada bagian atap terowongan dan
90
forepoling pada konstruksi Terowongan Cisumdawu berdasarkan JSCE (2007)
perangkat lunak RS² (Rocscience, Inc.). Pada penelitian tersebut diperoleh nilai
maksimum total displacement pada bagian atap terowongan sebesar 0,06 m (Tabel
5.3) di tiap STA yang dimodelkan. Nilai tersebut merupakan nilai maksimum pada
STA 13+033 (Tabel 4.1) dan 13+031 (Gambar 6.1) diperoleh nilai total
yang diperoleh lebih besar. Keterbatasan dari pemodelan numerik 2D antara lain
yang terdiri dari penjumlahan modulus elastisitas batuan, baja dan beton. Dalam
91
penyangga itu sendiri. Simulasi penggalian terowongan ke arah longitudinal dapat
Gambar 6.2.
Penggalian Terowongan
kelengkungan dari atap terowongan (Gambar 6.12). Thanh Le dan Taylor (2017)
Umbrella System (FUS) telah terbukti sebagai metode perkuatan yang efisien untuk
92
Berdasarkan hasil analisis yang ditampilkan pada Tabel 6.1 ditunjukkan
diperoleh nilai total displacement yang lebih besar. Untuk itu penggunaan
Salah satu hal manfaat dari penggunaan forepoling ini adalah diijinkannya
tidak memerlukan waktu tunggu yang lama untuk memulai pekerjaan penggalian.
Forepoling
93
KESIMPULAN DAN SARAN
VII.1 Kesimpulan
yang terjadi pada bagian atap dan dinding terowongan dengan pemodelan
tanpa forepoling pada batas akhir pemodelan hampir dua kali lebih besar
penggalian.
Nilai tersebut masih dalam rentang batas yang diijinkan berdasarkan JSCE
94
berbeda, nilai total displacement yg ditinjau pada STA13+031 diperoleh
Pada kondisi yang sama pada pemodelan numerik 3D dihasilkan nilai total
forepoling.
95
VII.2 Saran
beberapa koreksi agar penelitian selanjutnya lebih baik dan tepat hasil. Adapun
2. Untuk dapat diperoleh perubahan nilai total displacement yang terjadi dapat
96
DAFTAR PUSTAKA
97
Laboratorium Geofisika. 2017. Report of Seismic Refraction Survey at Cisumdawu
Toll Road West Java. ITB. Bandung.
Metallurgical Corporation of China, Ltd., Consortium with WIKA-Waskita-
Nindya, JO. 2018. Tunnel Monitoring and Measure Monthly Report
No.7. Sumedang.
PT. Hi Way Indotek, JO. PT. Wahana Mitra Amerta. 2014. Perencanaan Teknik
Terowongan Cisumdawu. Kementerian Pekerjaan Umum Direktorat
Jenderal Bina Marga Satuan Kerja Balai Besar Pelaksanaan Jalan
Nasional IV.
Putra, P.M.O.D.W. 2019. Karakteristik Geologi Teknik Lokasi Konstruksi
Terowongan Sisi Kiri Jalan Tol Cisumdawu Jawa Barat. Departemen
Teknik Geologi, Fakultas Teknik, UGM. Yogyakarta.
RS3 2.0. 2018. 3D Analysis & Design of Geotecnical Structures for Civil and
Mining Applications. Unpublished Notes. Retrieved from
https://www.rocscience.com/documents/pdfs/uploads/8894.pdf
RS3 2.0. 2018. Rocscience Inc. www.rocscience.com
Silitonga., P. H. 1973. Peta Geologi Lembar Bandung, Djawa skala 1:100.000.
Direktorat Geologi.
Sugianti, K., Mulyadi, D.,Sarah, D. 2014. Pengklasan Tingkat Kerentanan Gerakan
Tanah Daerah Sumedang Selatan Menggunakan Metode
Storie.Ris.Geo.Tam 24: 93. doi:10.14203/risetgeotam2014.v24.86.
Surat Edaran Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat, Nomor :
23/SE/M/2015 Tanggal 23 April 2015, Pedoman Metode Perencanaan
Penggalian dan Sistem Perkuatan Terowongan Jalan pada Media
Campuran Tanah – Batuan. Jakarta.
Sutrisno. 2016. Karakteristik Geologi Teknik Lokasi Konstruksi Terowongan
Saluran Pengelak Bendungan Kuningan Jawa Barat. Skripsi,
Departemen Teknik Geologi UGM, Yogyakarta.
Tampubolon, A. H. 2007. Studi Analisis Pengaruh Pembangunan Terowongan
MRT Terhadap Lingkungan Sekitar dengan Metode Elemen Hingga.
Tugas Akhir. Prodi Teknik Sipil Fakultas Teknik Sipil dan Lingkungan
ITB. Bandung.
Thanh Le, B. dan Taylor, R. N. 2017. The Reinforcing Effects of Forepoling
Umbrella System in Soft Soil Tunneling. Proceedings of 19th
International Conference of Soil Mechanics and Geotechnical
Engineering. Seoul.
Van Bemmelen., R. W. 1949. The Geology of Indonesia Vol. I A. In General
Geology of Indonesia and Adjacent Archipelagos, 732. , The Hague:
Government Printing Office.
Wesley., L. D., 2017, Mekanika Tanah Edisi Baru. Penerbit Andi, Yogyakarta.
Yahya, S., A. Abdullah, R., Mohamad Ismail, M.A., Mohamad, H., Hezmi, M.A.,
Jusoh, S.N. 2016. 3D Numerical Modelling Of Shallow Tunnel In
Weathered Granite Incorporating Multi-Stage Excavation And Pre-
Support. J. Teknol 78.
98
Zakaria, Z. 2014. Aspek Geoteknik di Kawasan Pendidikan - Jatinangor,
Sumedang, Jawa Barat. Seminar Nasional Fakultas Teknik Geologi
(Fakultas Teknik Geologi – Universitas Padjadjaran) 274.
Zhu, B., Kou, W., Xi, J., Shen, Y. 2016. Numerical Simulation Research Of
Construction Method For Shallow Buried Large Section Tunnel. The
Open Civil Engineering Journal. doi: 10.2174/1874149501610010578.
99