LP Hipertensi Emergency
LP Hipertensi Emergency
Disusun Oleh :
Dessy Natalya Pamaratana
1501070389
Mengetahui,
Kepala Ruangan
LAPORAN PENDAHULUAN HIPERTENSI EMERGENCI
1.1 Definisi
Hipertensi (Tekanan Darah Tinggi) adalah tekanan yang diakibatkan dari aliran
darah yang dipompa oleh jantung, mengalir cepat sehingga menekan dan merusak
dinding arteri pada pembuluh darah. Seseorang dikatakan memiliki hipertensi jika pada
pemeriksaan tekanan darah diatas 140 mmHg sistolik atau 90 mmHg diastolik yang biasa
ditulis 140/90 mmHg. Kelebihan berat badan, sensitifitas garam, konsumsi alkohol,
kebiasaan hidup tidak sehat dan faktor keturunan adalah beberapa faktor penyebab
munculnya masalah hipertensi. Hipertensi didefinisikan dengan meningkatnya tekanan
darah arteri yang persisten. Di mana tekanan darah sistolik seseorang melebihi 140
mmHg dan diastolik lebih dari 90 mmHg (WHO, 2013).
Hipertensi emergensi adalah keadaan gawat medis ditandai dengan tekanan darah
sistolik > 180 mmHg dan atau diastolik > 120 mmHg, disertai kerusakan organ target
akut (Aronow, 2017). Hipertensi emergensi juga didefinisikan sebagai peningkatan berat
pada tekanan darah (> 180/120 mmHg) yang terkait dengan bukti kerusakan organ target
yang baru atau memburuk (Whelton et al., 2017).
Hipertensi emergensi merupakan peningkatan tekanan darah utama dan sering
mendadak, terkait dengan disfungsi organ target progresif dan akut. Hal ini dapat terjadi
sebagai kejadian serebrovaskular akut atau fungsi serebral yang tidak teratur, sindrom
koroner akut dengan iskemia atau infark, edema paru akut, atau disfungsi ginjal akut.
Tekanan darah sangat tinggi pada pasien dengan kerusakan organ target akut yang sedang
berlangsung, dan merupakan keadaan gawat medis yang sebenarnya, yang memerlukan
penurunan tekanan darah segera (walaupun jarang ke kisaran normal) (Elliott et al.,
2013).
Peningkatan tekanan darah sistolik >180 mmHg atau diastoik > 120 mmHg secara
mendadak disertai kerusakan organ target. Hipertensi emergensi harus ditanggulangi
sesegera mungkin dalam satu jam dengan memberikan obat-obatan anti hipertensi
intravena (Devicaesaria, 2014).
1.2 Etiologi
Menurut Devicaesaria (2014), penyebab dari hipertensi emergensi adalah:
1. Hipertensi esensial adalah penyakit hipertensi yang mungkin disebabkan oleh factor
herediter serta dipengaruhi oleh factor emosi dan lingungan (Yulaikhah, 2008).
2. Penyakit ginjal
a. Penyakit parenkim ginjal (pielonefritis, glomerolonefritis)
b. Penyakit vaskuler ginjal (stenosis arteri ginjal, ,makroskopik poliarteritis nodusa)
3. Obat-obatan
a. Penarikan tibab-tiba dari obat antagonis a2-adrenergik (clonidine dan
methyldopa)
b. Obat symtomimetik yang intoksikasi jika di interaksi dengan monoamine oxidase
(tranylcypromine, phenelzine, dan selegiline).
4. Kehamilan: eklamsi atau pre eklamsi berat
5. Endokrin
1) Pheochomocytoma
2) Primary aldosteronisme
3) Ghicocorticoid axcess
4) Rennin-secreting tumors
f. Kelainan sistem saraf pusat
1) CVA infraction/hemorrhage
2) Cedera kepala
1.3 Patofisiologi
Patofisiologi yang tepat dari krisis hipertensi masih belum jelas (Singh, 2011;
Varounis et al., 2017). Kecepatan onset menunjukkan faktor pemicunya adalah hipertensi
yang sudah ada sebelumnya (Singh, 2011). Dua mekanisme yang berbeda namun saling
terkait mungkin memainkan peran sentral dalam patofisiologi krisis hipertensi.
Mekanisme pertama adalah gangguan mekanisme autoregulasi di vascular bed
(Varounis et al., 2017). Sistem autoregulasi merupakan faktor kunci dalam patofisiologi
hipertensi dan krisis hipertensi. Autoregulasi didefinisikan sebagai kemampuan organ
(otak, jantung, dan ginjal) untuk menjaga aliran darah yang stabil terlepas dari perubahan
tekanan perfusi (Taylor, 2015). Jika tekanan perfusi turun, aliran darah yang sesuai akan
menurun sementara, namun kembali ke nilai normal setelah beberapa menit berikutnya.
menggambarkan bahwa jika terjadi kerusakan fungsi autoregulasi, jika tekanan perfusi
turun, hal ini menyebabkan penurunan aliran darah dan peningkatan resistensi vaskular.
Dalam krisis hipertensi, ada kekurangan autoregulasi di vascular bed dan aliran darah
sehingga tekanan darah meningkat secara mendadak dan resistensi vaskular sistemik
dapat terjadi, yang sering menyebabkan stres mekanis dan cedera endotelial (Taylor,
2015; Varounis et al., 2017).
Mekanisme kedua adalah aktivasi sistem renin-angiotensin, yang menyebabkan
vasokonstriksi lebih lanjut dan dengan demikian menghasilkan lingkaran setan dari
cedera terus-menerus dan kemudian iskemia (Varounis et al., 2017). Gambar 3
menggambarkan bahwa dalam keadaan normal, sistem renin-angiotensin aldosteron
berperan sentral dalam regulasi homeostasis tekanan darah. Overproduksi renin oleh
ginjal merangsang pembentukan angiotensin II, vasokonstriktor yang kuat. Akibatnya,
terjadi peningkatan resistansi pembuluh darah perifer dan tekanan darah. Krisis hipertensi
diprakarsai oleh peningkatan resistensi vaskular sistemik yang tiba-tiba yang mungkin
terkait dengan vasokonstriktor humoral. Dalam keadaan krisis hipertensi, penguatan
aktivitas sistem renin terjadi, menyebabkan cedera vaskular, iskemia jaringan, dan
overproduksi reninangiotensin lebih lanjut. Siklus berulang ini berkontribusi pada
patogenesis krisis hipertensi (Singh, 2011).
1.4 Pathway
vasokostriktor (rennin
angiotensin, katekolamin)
kontraksi jantung
Gangguan sirkulasi
Retensi Na Intoleransi
aktivitas
Edema
1.7 Penatalaksanaan
1. Penatalaksanaan Umum
Terapi hipertensi emergensi harus disesuaikan setiap individu tergantung pada
kerusakan organ target. Manajemen tekanan darah dilakukan dengan obat-obatan
parenteral secara tepat dan cepat. Pasien harus berada di dalam ruangan ICU agar
monitoring tekanan darah bisa dikontrol dan dengan pemantauan yang tepat. Tingkat
ideal penurunan tekanan darah masih belum jelas, tetapi penurunan Mean Arterial
Pressure (MAP) 10% selama 1 jam awal dan 15% pada 2-3 jam berikutnya.
Penurunan tekanan darah secara cepat dan berlebihan akan mengakibatkan jantung
dan pembuluh darah orak mengalami hipoperfusi.
2. Penatalaksaan Khusus
a. Neurologic emergency.
Kegawatdaruratan neurologi sering terjadi pada hipertensi emergensi
seperti hypertensive encephalopathy, perdarahan intracranial dan stroke iskemik
akut. American Heart Association merekomendasikan penurunan tekanan darah
> 180/105 mmHg pada hipertensi dengan perdarahan intracranial dan MAP
harus dipertahankan di bawah 130 mmHg. Pada pasien dengan stroke iskemik
tekanan darah harus dipantau secara hati-hati 1-2 jam awal untuk menentukan
apakah tekanan darah akan menurun secara sepontan. Secara terus-menerus
MAP dipertahankan > 130 mmHg.
b. Cardiac emergency.
Kegawatdaruratan yang utama pada jantung seperti iskemik akut pada
otot jantung, edema paru dan diseksi aorta. Pasien dengan hipertensi emergensi
yang melibatkan iskemik pada otot jantung dapat diberikan terapi dengan
nitroglycerin. Pada studi yang telah dilakukan, bahwa nitroglycerin terbukti
dapat meningkatkan aliran darah pada arteri koroner. Pada keadaan diseksi aorta
akut pemberian obat-obatan β-blocker (labetalol dan esmolol) secara IV dapat
diberikan pada terapi awal, kemudian dapat dilanjutkan dengan obat-obatan
vasodilatasi seperti nitroprusside. Obat-obatan tersebut dapat menurunkan
tekanan darah sampai target tekanan darah yang diinginkan (TD sistolik >
120mmHg) dalam waktu 20 menit.
c. Kidney Failure.
Acute kidney injury bisa disebabkan oleh atau merupakan konsekuensi
dari hipertensi emergensi. Acute kidney injury ditandai dengan proteinuria,
hematuria, oligouria dan atau anuria. Terapi yang diberikan masih kontroversi,
namun nitroprusside IV telah digunakan secara luas namun nitroprusside sendiri
dapat menyebabkan keracunan sianida atau tiosianat. Pemberian fenoldopam
secara parenteral dapat menghindari potensi keracunan sianida akibat dari
pemberian nitroprussidedalam terapi gagal ginjal.
d. Hyperadrenergic states.
Hipertensi emergensi dapat disebabkan karena pengaruh obat-obatan
seperti katekolamin, klonidin dan penghambat monoamin oksidase. Pasien
dengan kelebihan zat-zat katekolamin seperti pheochromocytoma, kokain atau
amphetamine dapat menyebabkan over dosis. Penghambat monoamin oksidase
dapat mencetuskan timbulnya hipertensi atau klonidin yang dapat menimbukan
sindrom withdrawal. Pada orang-orang dengan kelebihan zat seperti
pheochromocytoma, tekanan darah dapat dikontrol dengan pemberian sodium
nitroprusside (vasodilator arteri) atau phentolamine IV (ganglion-blocking
agent). Golongan β-blockers dapat diberikan sebagai tambahan sampai tekanan
darah yang diinginkan tercapai. Hipertensi yang dicetuskan oleh klonidinterapi
yang terbaik adalah dengan memberikan kembali klonidin sebagaidosis inisial
dan dengan penambahan obat-obatan anti hipertensi yang telah dijelaskan di
atas.
Varounis, C., Katsi, V., Nihoyannopoulos, P., et al., 2017. Cardiovascular Hypertensive Crisis:
Recent Evidence and Review of the Literature. Frontiers in Cardiovascular Medicine