Anda di halaman 1dari 19

AKUNTABILITAS DALAM PERSPEKTIF ISLAM:

SOLUSI MASALAH KORUPSI DI INDONESIA

Dwiyani Sudaryanti
STJEASIA, Jl. Soekamo Hatta Rembuksari 1A, Malang
e-mail: dwiyanisudaryanti@gmail.com

Abstrak: Akuntabilitas dalam Perspektif Islam: Solusi Masalah


Korupsi di Indonesia. Tulisan ini bertujuan untuk mengajukan
akuntabilitas dalam perspektif Islam sebagai solusi altematif untuk
mengatasi masalah korupsi. Akuntabilitas Islam memiliki landasan
ontologis yang sama sekali berbeda dari akuntabilitas yang sekarang
ada. Karakteristik akuntabilitas Islam diturunkan dari konsep
tauhid dan konsep kepemilikan dalam Islam. Berdasarkan dua
konsep tersebut, diturunkan cara pandang terhadap pelaksaanaan
tanggung jawab, yang dijabarkan dalam aspek niat, motivasi bekeija,
dan reorientasi hasil keija. Persepsi yang berbeda ini mengarahkan
seseorang untuk tidak melakukan korupsi.

Abstract: Accountability in Islamic PerspectiveiSohition to Cor¬


ruption Problem in Indonesia. This article aims to propose account¬
ability in Islamic perspective as an alternative solution to corruption.
Islamic accountability has ontological foundation that is very much dif¬
ferent to the present accountability. Islamic accountability characteris¬
tic is derived from tauhid and ownership concept. Based on these two
concepts, perspectives on responsibility, that is described in inten¬
tional, motivational and work reorientational concept are broken down.
This different perception would direct individuals not to commit cor
ruption.

Kata Kunci: akuntabilitas, Islam, tauhid, korupsi

Indonesia adalah negara yang kaya akan sumberdaya, baik sumber


daya alam maupun sumberdaya manusia. Namun sayangnya banyak
terjadi penyimpangan dalam pengelolaan sumberdaya tersebut.Salah
satu bentuk penyimpangan tersebut adalah korupsi. Bukti banyaknya
korupsi di Indonesia bisa dilihat dari Index Corruption Watch tahun
2010, yang menganugerahi Indonesia di peringkat 110 dari total 178
negara yang dinilai, dengan skor nilai 2,8 dari kisaran kekuatan
pengawasan 0 (sangat lemah) hingga 10 (sangat kuat). Kondisi ini
adalah jika Indonesia dilihat dari luar, dunia intemasional.Jika dilihat
dari dalam, Indonesia adalah supermarket berbagai jenis korupsi.Dari
yang paling ringan, pembuatan KTP, hingga yang paling akut,
penggelapan pajak (kasus Gayus).Penegak keadilan, yaitu jaksa,
hakim, pengacara, polisi, justru ikut beramai-ramai menikmati hasil
korupsi (kasus Cyrus Sinaga).

58
Sudaryanti, Akuntabilitas dalam Perspektif Islam: Solusi Masalah Korupsi....

Sebenamya, pemerintah Indonesia bukannya tanpa usaha untuk


memerangi korupsi.Dibentuknya KPKmerupakan bukti bahwa secara
organisasional, pemerintah sudah mengupayakan itu. Telah dibentuk
institusi yang diharapkan memadai untuk memerangi atau
setidaknya mengurangi korupsi. Namun rupanya hasilnya belum
maksimal. Masih diperlukan upaya lain dari yang sudah dilakukan,
untuk memerangi korupsi dari akarnya.
Salah satu mekanisme yang banyak digunakan untuk
memerangi korupsi adalah melalui mekanisme akuntabilitas.Sudah
menjadi pemahaman umum dalam konsep good governance bahwa
akuntabilitas merupakan aspek penting dalam upaya melawan
korupsi.Namun demikian, dalam praktiknya, akuntabilitas yang telah
diterapkan rupanya belum dapat menyelesaikan masalah korupsi
hingga ke akarnya. Perlu mekanisme akuntabilitas lain yang bisa
menuntaskan korupsi hingga ke akarnya.
Tulisan ini dimaksudkan untuk memberikan solusi
alternatiflain dalam menghadapi korupsi di Indonesia, yaitu
akuntabilitas Islam. Akuntabilitas Islam memiliki dasar ontologi yang
berbeda dari akuntabilias yang sekarang berlaku, sehingga
diharapkan akan mampu memberi jalan keluar yang lebih baik dalam
menuntaskan masalah korupsi. Dasar ontology yang berbeda ini
memungkinkan akuntabilitas Islam menuntaskan korupsi hingga ke
akaranya.
Tulisan ini dibagi dalam tiga bagian besar, yaitu pembahasan
mengenai akuntabilitas, mengenai korupsi dan terakhir korupsi dalam
akuntabilitas Islam. Tulisan bagian pertama diawali dengan penyajian
konsep akuntabilitas dalam perspektif barat (umum), yang dilanjutkan
dengan pendapat penulis terhadap perspektif tersebut. Berdasarkan
pendapat tersebut, penulis menyajikan perbedaan ontologis antara
perspektif barat dan perspektif Islam. Setelah itu, disajikan
akuntabilitas dalam perspektif Islam.
Bagian kedua dibahas tentang korupsi dan peran akuntabilitas
dalam mengatasi terjadinya korupsi. Bagian akhir ditutup dengan
penjelasan bagaimana akuntabilitas Islam mengatasi sumber
permasalahan yang memicu timbulnya korupsi. Penutup dari tulisan
adalah kesimpulan atas pembahasan yang telah dipaparkan.
Jika dilihat asal katanya, akuntabilitas merupakan serapan dari
kata dalam bahasa Inggris “accountability”. Sedangkan kata account¬
ability dalam kamus Webster’s Unabridged Dictionary adalah
“The state of being accountable; liability to be called on to render
an account; the obligation to bear the consequences for failure to perform
as expected”

59
Tera Ilmu Akuntansi, Vol. 10 No. 1, Maret 2011

Jadi, pengertian akuntabilitas menurut kamus adalah dalam


keadaan mampu memberikan pertanggungjawaban, yaitu mampu
memenuhi kewajiban untuk menanggung konsekuensi dari
kegagalan karena tidak mampu bertindak sesuai yang diharapkan.
Pertanggungjawaban berarti proses pelaporan pelaksanaan
tanggungjawab, dari penerima tanggung jawab kepada pemberi
tanggungjawab. Proses pelaporan pelaksanaan ini, dinyatakan oleh
Giddens (1979, dalam Robert dan Scapens 1985) sebagai serangkaian
gambaran dari kehidupan sehari-hari (a chronic feature of daily con¬
duct).
Namun demikian proses pelaporan tidak sekedar menyajikan
informasi tentang apa yang telah dilakukan dalam rangka
pelaksanaan tanggungjawab.Termasuk didalamya adalah konsekuensi
dari hasil pelaporan tersebut, yang biasanya terkait dengan reward
dan punishment. Aspek konsekuensi ini mendasari dilakukannya
justifikasi-justifikasi oleh penerima tanggung jawab atas semua
keputusan yang telah diambil dalam rangka pelaksanaan tanggung
jawab, pada suatu proses pelaporan. Dengan demikian akuntabilitas
juga bisa dipandang sebagai suatu hubungan “the giving and demand¬
ing of reasons for conducf (Roberts dan Scapens, 1985, p. 447).
Hubungkan dua pihak dalam pengertian akuntabilitas, bisa
dijelaskan dalam dua teori dengan sudut pandang yang berbeda. Teori
yang pertama, adalah teori yang menganggap hubungan dua pihak
sebagai sesuatu yang bersifat mekanis dan terukur. Teori-teori
tersebut adalah teori keagenan, teori stakeholder dan teori legitimasi.
Sudut pandang yang berbeda, ditawarkan oleh teori strukturasi
Giddens, yang menganggap hubungan dua pihak sebagai suatu
interaksi, antara manusia dan lingkungannya. Bagian berikut dibahas
lebih lanjut dua sudut pandang yang berbeda tersebut dari masing-
masing teori.
Hubungan akuntabilitas melibatkan dua pihak, pemberi
wewenang (tanggungjawab) dan pihak penerimanya. Teori yang terkait
dengan konsep hubungan dua pihak yang dapat digunakan untuk
menjelaskan konsep akuntabilitas adalah agency theory, stakeholders
theory dan legitimacy theory.Dalam ketiga teori tersebut, hubungan
akuntabilitas dianggap sebagai sesuatu yang mekanis, perilaku
pelaku-pelakunya bisa diduga dan dikendalikan.
Berdasarkan agency theory, akuntabilitas muncul sebagai akibat
dari pelimpahan wewenang dari prinsipal kepada agen.Gray et al. (1987)
dalam Laughlin (1990), menyatakan, akuntabilitas hanya terjadi jika
terjadi kontrak antara prinsipal dan agen. Dengan kata lain,
akuntabilitas muncul jika hanya ada kontrak antara pemberi
wewenang yang memerlukan pertanggunjawaban atas pelimpahan
wewenangnya, dengan pihak yang diberi wewenang atas pelaksanaan

60
Sudaryanti, Akuntabilitas dalam Perspektif Islam: Solusi Masalah Korupsi.

wewenang tersebut. Singkatnya, tujuan dari akuntabilitas merupakan


penilaian kinerja pelaksanaan wewenang. Dengan dasar penilaian
tersebut, principal akan memberi tindak lanjut, yang bisa berupa re¬
ward atau punishment, sesuai kontrak yang sudah disepakati dalam
pelimpahan wewenang.
Ross (1979, dalam Rossieta 2002) menganggap hubungan agensi
sebagai model yang paling umum dalam interaksi sosial, seperti
hubungan pekerja dan atasannya, pemerintah dan warganegara,
pemegang saham dan manajer
Hubungan prinsipal dan agen yang didasarkan pada kontrak ini
didasarkan pada penelitian Jensen dan Meckling (1976) yang
menghubungkan teori agensi dengan kontrak. Jensen dan Meckling
menyatakan
“a contract under which one or more persons (the principals) engage
another person (the agent) to perform some sendee on their behalf which
involves delegating some decision making authority to the agent”
Jadi bisa disimpulkan teori agensi menggambarkan sifat relasi
dua pihak, antara yang diberi wewenang untuk melakukan sesuatu
(agen) dengan pihak yang memberi wewenang (prinsipal) untuk
melakukan sesuatu seperti yang dikehendaki pemberi wewenang,
sebagaimana diatur dalam kontrak.
Hampir serupa dengan penjelasan dalam teori keagenan,
akuntabilitas dalam stakeholders theory juga muncul sebagai
konsekuensi dari adanya hubungan antara perusahaan dan stake-
holders-nya. Stakeholders theory menurut Jensen (2000), menuntut
perusahaan untuk memperhatikan kepentingan semua stakeholders
perusahaan, tidak hanya kepentingan perusahaan. Stakeholders
adalah semua pihak yang memiliki kepentingan dengan perusahaan,
misalnya karyawan, pelanggan, masyarakat, aparat pemerintah, dan
lain-lain. Jadi, pihak yang dianggap memiliki kontrak dengan
manajemen (perusahaan) sebagai agen, yaitu prinsipal, tidak lagi
sebatas pemilik perusahaan tapi meluas ke banyak pihak.
Konsep akuntabilitas dengan demikian, adalah kemampuan
manajemen memberikan pertanggungjawaban kepada semua stake¬
holders, tidak hanya kepada investor.Akuntabilitas perusahaan juga
kepada masyarakat, pemerintah, bahkan dalam konsep sustainability
development, akuntabilitas hingga generasi mendatang.
Konsep akuntabilitas dalam teori legitimasi merupakan upaya
organisasi untuk mendapatkan legitimasi dari masyarakat atas
keberlangsungan organisasi. Organisasi dikatakan mendapat
legitimasi dari masyarakat jika ia dianggap beroperasi dan memiliki
tujuan yang sesuai dengan norma, nilai, dan harapan masyarakat
(Dowling dan Pfeffer, 1975 dalam Ashforth dan Gibbs 1995). Legitimasi

61
Tera Ilmu Akuntansi, Vol. 10 No. 1, Maret 2011

menjustifikasi peran organisasi dalam sistem sosial masyarakat dan


membantu dalam mendapatkan sumberdaya dan dukungan dari
konstituen, sehingga dalam hal ini legitimasi juga merupakan
sumberdaya itu sendiri (Parsons 1960 dalam Ashforth dan Gibbs, 1995).
Salah satu upaya untuk mendapatkan legitimasi adalah dengan
penggunaan kekuasaan dan sanksi, juga dengan penggunaan stan¬
dard tertentu (Rusch dan Wilbur, 2007). Dan salah satu bentuk
manifestasi penggunaan standard sebagai dasar penilaian adalah
lewat mekanisme akuntabilitas.Karena akuntabilitas juga merupakan
salah satu upaya untuk mendapatkan legitimasi, jadi bisa dikatakan,
akuntabilitas dalam teori legitimasi merupakan sumberdaya
perusahaan juga.
Seperti yang telah disebutkan, tiga teori yang melandasi
hubungan akuntabilitas, menganggap akuntabilitas sebagai sesuatu
yang bersifat mekanis.Sebagai sebuah konsekuensi dari teijadinya
kontrak, maka muncul akuntabilitas.Diasumsikan, perilaku manusia
bisa diprediksi dan dikendalikan dengan mekanisme kontrak.
Cara pandang yang berbeda pada akuntabilitas, ditawarkan oleh
Robert dan Scapens (1985). Cara pandang mereka terhadap
akuntabilitas didasarkan pada teori strukturasi Giddens.Giddens
menyatakan:
Human social acti vities,Uke some self-re producing items in nature, are
recursive. That isto say, they are not brought into being by social actors
butcontinually recreated by them via the very means where by
theyexpress themselves as actors. In and through their activities
agentsreproduce the conditions that make these activities
possifoZe(Giddens, 1984, hal 2).

The very identification of acts or of aspects of interaction - their accurate


description as grounded hermeneutica lly in the capability of an ob¬
server to ‘go on’ in a form of life - implies the interlacing of meaning,
normative dements and power. (Giddens 1984:29)

Berdasarkan pandangan Giddens tersebut, Robert dan Scapens


(1985:448) menyatakan, proses beroperasinya sistem akuntabilitas
bisa dianggap sebagai hasil dari interaksi individu dalam organisasi
secara berkesinambungan, sehingga menghasilkan struktur
pemaknaan (signification), struktur moral (legitimation) dan struktur
kekuasaan (domination) tertentu.
Akuntansi adalah bahasa bisnis (Daft and Wiginton(1979) dalam
Robert dan Scapens (1985)). Sebagai bahasa, akuntansi memberi
makna tertentu pada apa yang disampaikannya. Schutz (1967) dalam
Robert dan Scapens (1985) menyatakan sebagai “system of relevances”.
Robert dan Scapen (1985:448) mencontohkan, pengkategorian biaya,
laba, atau ROI, memberikan struktur pemaknaan pada anggota

62
Sudaryanti, Akuntabilitas dalam Perspektif Islam: Solusi Masalah Korupsi....

organisasi, baik sebagai sarana berbagi pengalaman satu sama lain,


ataupun sebagai dasar orientasi tindakan mereka. Makna biaya
produksi bagi seorang kaiyawan produksi mungkin dianggap sebagai
batasan, sedangkan bagi kaiyawan produksi lain, biaya produksi adalah
tantangan. Jadi, setiap orang akan memaknai dengan cara yang
berbeda, sehingga tidak akan diperoleh ketepatan makna untuk semua
orang. Data akuntansi, yang merupakan salah satu komponen dalam
mekanisme akuntabilitas, dengan demikian turut membentuk
akuntabilitas sebagai sebuah struktur pemaknaan.
Proses akuntabilitas sebagai struktur moral bermakna sistem
akuntabilitas mencakup juga suatu aturan moral, yaitu sistem
resiprokal yang kompleks antara hak dan kewajiban (Robert dan
Scapens 1985:448). Mekanisme akuntabilitas merupakan manifestasi
dari kompleksitas hubungan tersebut. Di dalamnya terdapat hak atas
seseorang untuk mendapatkan pertanggungjawaban dari pihak lain
(dari sisi pihak ini, ia adalah kewajiban). Robert dan Scapens
menjelaskan, bahwa mekanisme ini melibatkan komunikasi
serangkaian tata nilai, mengenai apa-apa yang diharapkan, yang
disetujui ataupun tidak disetujui.
Proses akuntabilitas sebagai sebuah struktur legitimasi
merupakan proses penetapan hak dan kewajiban ini membawa pada
aspek kekuasaan dalam praktik akuntansi (Robert dan Scapens
1985:449). Robert dan Scapens mencontohkan adanya sanksi,
penghargaan atau reward, jenjang karir dan manipulasi data
akuntansi, menunjukkan bahwa terdapat kekuasaan yang lebih besar
antara satu pihak dengan pihak yang lain dalam suatu
organisasi.Akuntabilitas sebagai struktur legitimasi, mencerminkan
dominasi atas satu pihak pada pihak lain, dengan menggunakan
mekanisme akuntabilitas.
Cara pandangyang berbeda pada akuntabilitas ini, didukung oleh
Sinclair (1985).Menurutnya bagaimana kita mendefinisikan
akuntabilitas tergantung pada ideologi, motivasi, dan bahasa yang kita
gunakan pada saat itu (Sinclair 1985:221). Hubungan akuntabilitas
mensyaratkan persetujuan awal antar pihak, mengenai apa yang
disebut dengan kinerja yang baik (dapat diterima), termasuk di
dalamnya bahasa justifikasi yang bisa diterima (Day dan Klein 1987:5;
Stewart(1984) dalam Sinclair (1995)). Sinclair menunjukkan
beragamnya bentuk akuntabilitas, yang diistilahkan seperti bunglon
[chameleon’s like).
Meskipun perspektif terhadap proses akuntabilitas berbeda-beda,
namun pada dasamya, ia memiliki poin penting yang sama. Poin-
poin tersebut adalah siapa (who) yang bertanggungjawab, kepada siapa
(to whom), dengan cara bagaimana (how) dan untuk tujuan apa (for
what)(Perks 1983). Poin-poin tersebut, jika disarikan dalam satu

63
Tera Ilmu Akuntansi, Vol. 10 No. 1, Maret 2011

kalimat, dalam istilah Roberts dan Scapens, adalahsuatu hubungan


“the giving and demanding of reasons for conduct” (Roberts dan Scapens
1985:447).
Proses akuntabilitas ibarat proses memotret. Memotret semua
aktivitas dan kejadian yang telah dilakukan. Akuntabilitas yang
transparan ibarat memotret dengan resolusi tinggi, sehingga akan
menghasilkan gambar dengan kualitas yang tinggi, sama dengan
gambar nyatanya.
Masalah yang muncul adalah apabila sang pemotret tidak ingin
gambar yang ia hasilkan sama dengan kenyataannya. Lalu muncullah
gambar hasil rekayasa dengan menggunakan teknologi
computer. Motivasi rekayasa bisa bermacam-macam, misalnya karena
pemotret menganggap obyek tidak cantik, sehingga merasa perlu
dipercantik.Bibir yang kurang merah direkayasa agar lebih merah.
Motivasi lain misalnya agar diperoleh kesan kuat tertentu, misalnya
rekayasa setting di daerah bersalju, agar diperoleh kesan, pemotretan
foto dilakukan di Eropa, padahal di studio Malang.
Kejadian rekayasa hasil foto merupakan analogi dari kasus
manipulasi informasi dalam proses akuntabilitas dari agen kepada
principal. Contoh nyata adalah pada hasil penelitian Healy (1985) yang
terkenal dengan hipotesa skema bonus. Hasil penelitian
menunjukkan bahwa manajer melakukan manipulasi metode
akuntansi agar didapat laporan rugi laba yang sesuai dengan
keinginan, dengan harapan akan mendapat bonus berdasarkan hasil
pencapaian laba.
Rekayasa ini dimungkinkan dilakukan karena, selain faktor
motivasi, adalah karena system yang mendukung.Dalam kasus Healy
(1985), manipulasi terjadi karena standard akuntansi memungkinkan
itu teijadi.
Sebenamya, mengapa prinsipal memerlukan akuntabilitas dari
agen? Padahal dengan proses itu, manipulasi bisa saja terjadi.
Kebutuhan akan akuntabilitas muncul karena konsekuensi dari
pendelegasian wewenang. Pendelegasian terjadi, karena prinsipal
sudah tidak mungkin untuk mengelola perusahaan secara
langsung.Hal ini bisa saja terjadi akibat dari membesarnya
perusahaan, karena kompleksitas operasi, atau faktor keterbatasan
kemampuan prinsipal.
Karena sudah tidak mengelola secara langsung, maka prinsipal
memerlukan mekanisme yang membuat ia seolah-olah bisa melihat
operasi perusahaan secara langsung. Mekanisme inilah yang disebut
akuntabilitas.Idealnya, proses akuntabilitas yang transparan oleh
agen, mampu memberikan gambaran yang sebenarnya kepada
prinsipal. Seperti dalam analogy memotret, proses pemotretan

64
Sudaryanti, Akuntabilitas dalam Perspektif Islam: Solusi Masalah Korupsi.

dilakukan dengan kualitas pemotretan yang tinggi sehingga


dihasilkan gambar yang jelas,bagus, dan merepresentasikan kejadian
yang sebenamya.
Namun, sebagaimana telah disebutkan, proses pemotretan
tergantung dari sang pemberi foto(agen). Ia bisa memberikan hasil
foto yang menunujukkan kejadian yang sebenarnya, atau hasil
rekayasa. Foto sudah dihasilkan dari kualitas kamera yang bagus,
namun pilihan gambar yang ditampilkan, tergantung sang aktor (agen).
Mekanisme akuntabilitas sudah baik, namun agen masih berpeluang
untuk memanipulasi informasi dalam proses tersebut. Dalam
pandangan penulis, proses manipulasi dalam proses akuntabilitas
teijadi, antara lain karena:
1. Motivasi agen adalah untuk mendapatkan penilaian bagus
dari prinsipal. Karena parameter penilaian adalah pencapaian
laba, misalnya, maka agen memusatkan upayanya pada
pemenuhan pencapaian laba, meskipun dengan cara-cara
yang tidak seharusnya. Idealnya, target laba dilakukan dengan
usaha yang lebih baik dalam pengelolaan organisasi. Namun,
karena factor asimetri informasi, agen memanfaatkannya
untuk memanipulasi laporan keuangan.
2. Agen menganggap prinsipal lebih berkuasa dalam
menentukan kineijanya, sehingga segala hal dilakukan agar
bisa memenuhi tuntutan sang penguasa. Agen tanpa sadar
menganggap dirinya mesin dalam faktor produksi. Demikian
pula sebaliknya, prinsipal merasa lebih berkuasa dalam
menentukan arah kineija agen, sehingga merasa agen harus
dalam kendalinya, sebagai salah satu faktor produksi,
misalnya melalui mekanisme reward dan punishment.
3. Keterbatasan agen dan prinsipal sebagai manusia
memunculkan adanya asimetri informasi. Sifat informasi
yang seperti ini merupakan celah bagi munculnya perilaku
yang tidak diinginkan. Meskipun tidak ada niat untuk
melakukan perilaku tersebut, jika terdapat peluang untuk
memaksimalkan keuntungan pribadi, maka kemungkinan
teijadinya perilaku tersebut menjadi lebih besar.
4. Prinsipal mempercayakan pemotretan operasi perusahaannya
melalui mekanisme yang memiliki banyak kelemahan. Agen
sebagai pemotret, memiliki kepentingan sendiri, ya hg
mungkin berbeda dari kepentingan prinsipal. Sehingga hasil
pemotretan akan dipengaruhi oleh kepentingan pribadi agen,
dan memberikan gambaran yang keliru atau tidak sesuai
dengan kepentingan prinsipal. Kelemahan lain adalah pada
alat untuk memotret, yang biasanya berupa laporan keuangan.
Penekanan pada aspek keuangan membuat aspek kinerja
manajemen yang tidak terukur secara financial tidak bisa

65
Tera limit Akuntansi, Vol. 10 No. 1, Maret 2011

tercermin dalam laporan tersebut. Analoginya, kamera yang


digunakan sudah rusak atau kualitasnya rendah, sehingga
gambar yang dihasilkan buram atau wamanya tidak sesuai
gambar aslinya. Manajer yang selalu tepat waktu,
memperhatikan karyawan, tidak bisa dilaporkan dalam
laporan keuangan.
Kelemahan-kelemahan dalam sistem akuntabilitas umum (barat)
ini, menurut pendapat penulis, tidak bisa dilepaskan dari aspek
ontologi dan metodologi yang dipakai untuk menurunkan sistem
tersebut.Jika dilihat dari aspek ontologinya, ilmu pengetahuan (sains)
barat membatasi lingkup dirinya pada hal-hal yang bersifat indrawi
(sensible), yaitu dunia yang dapat diobservasi oleh panca indera
(Kartanegara 2002).Pandangan ini didasarkan pada aliran filsafat yang
hanya mengakui keberadaan hal-hal yang dapat diobservasi dan
dibuktikan secara positif-empiris.Dengan demikian, lingkup
pengetahuannya, secara garis besar meliputi mated, makhluk hidup,
pikiran, kebudayaan, alam, dan sejarah (Kartanegara 2002).
Akuntabilitas dalam perspektif barat hanya menyandarkan pada
kemampuan manusia untuk mengatasi permasalahan pelimpahan
wewenang. Proses pertanggungjawaban hanya melibatkan 2 pihak,
yaitu prinsipal dan agen. Pertanggungjawaban hanya antar
manusia. Padahal, manusia adalah mankhluk yang penuh
keterbatasan.Akan selalu ada permasalahan yang muncul karena
keterbatasan yang melekat pada manusia. Permasalahan yang
menonjol dalam akuntabilitas adalah misalnya informasi yang asimetri
dan self interest. Informasi asimetri muncul karena pengetahuan
manusia yang terbatas untuk bisa mengetahui semua hal .Self
interestakan selalu ada karena itu inherent dalam did manusia. Untuk
mengatasinya, dalam pendapat penulis, perlu sesuatu diluar manusia,
yang bisa mengatasi keterbatasan pengetahuan manusia dan yang
bisa menyatukan berbagai kepentingan yang berbeda dengan cara yang
mendasar. Yaitu akuntabilitas yang memiliki dasar ontologi yang
berbeda.
Dengan menyadari kelemahan-kelemahan yang melekat dalam
akuntabilitas barat, diperlukan konsep akuntabilitas lain yang
diturunkan dari filsafat ontologi yang berbeda. Dalam hal ini, penulis
mengajukan akuntabilitas dengan nilai-nilai Islam yang memilki
dasar ontologi yang berbeda dad akuntabilitas dalam pengertian barat.
Ilmu pengetahuan dalam Islam mengakui adanya benda-benda
indrawi (sensible) sebagaimana barat, namun juga mengakui adanya
substansi-substansi spiritual (intelligible), yaitu entitas-entitas yang
ada di luar indrawi.Bahkan entitas metafisik dianggap lebih hakiki
daripada benda-benda fisik (Kartanegara 2002). Dengan demikian,
Islam mengakui proses mendapatkan pengetahuan, baik melalui alam
fisik dan juga metafisik.

66
Sudaryanti, Akuntabilitas dalam Perspektif Islam: Solusi Masalah Korupsi....

Metodologi untuk menangkap realitas, menurut para ilmuwan


Muslim, adalah dengan tiga sumber yaitu, panca indra, akal, dan intuisi
(meliputi wahyu). Penilaian keabsahan dilakukan melalui metode
observasi, metode rasional (nalar akal), dan intutitif (persepsi hati)
(Kartanegara 2002).
Berdasarkan sifat-sifat pengetahuan dalam Islam inilah, penulis
memaparkan konsep akuntabilitas dalam Islam, sebagai solusi alter¬
native dari akuntabilitas barat. Dalam Islam, konsep ini muncul pada:
Padahal sesungguhnya bagi kamu ada (malaikat-malaikat) yang
mengawasi (pekerjaanmu), yang mulia (di sisi Allah) dan yang mencatat
(pekeijaan-pekerjaanmu itu), mereka mengetahui apa yang kamu kerjakan
(Q.S. A1 Infithaar 10-12)

(Allah berfirman) “Inilah ftitab (Catalan) Kami yang menuturkan terhadapmu


dengan benar.Sesungguhnya Kami telah menyuruh mencatat apa yang
teluhkamu kerjakan’’. (Q.S. A1 Jaatsiyah 29)
Dua surat dalam A1 Quran di atas adalah sebagian dari banyak
perintah Allah dalam agama Islam kepada manusia untuk
memperhatikan aspek akuntabilitas dalam setiap tindakannya. Is¬
lam adalah agama yang sangat mengutamakan akuntabilitas atau
pertanggungjawaban.
Konsep akuntabilitas dalam Islam diturunkan dari dua pijakan
utama, konsep tauhid dan konsep kepemilikan (Maali dan Napier (2007)
dalam Basri(2008)).Berikut ini adalah penjelasan terinci tentang dua
konsep tersebut dalam kaitannya dengan akuntabilitas dalam
perspektif Islam.
Konsep tauhid bermakna keyakinan pada Allah semata sebagai
Tuhan yang berhak disembah, dan tidak ada Tuhan selainNya.Dalam
Q.S. A1 Baqarah 21-22 disebutkan seruan untuk menyembah Rabb
(Tuhan) yang telah menciptakan manusia dan larangan untuk
mengadakan sekutu-sekutu Allah. Dalam hal konsep Tauhid, Islam
memberi tekanan yang sangat kuat.Tauhid adalah pembeda antara
Islam dan non Islam. Bisa dikatakan Tauhid adalah identitas diri
seorang muslim. Rukun Islam yang pertama, yaitu syahadat adalah
kesaksian Allah sebagai Tuhan, selain kesaksian nabi Muhammad
sebagai nabi dan rasul terakhir.
Implikasi dari konsep Tauhid adalah penyerahan diri sepenuhnya
hanya kepada Allah (Yasin 1992).Penyerahan diri sepenuhnya
bermakna segala aktivitas hidup manusia hanya ditujukan untuk
Allah (Q.S. A1 An’aam 162). Dengan kata lain, segala aspek kehidupan
manusia harus sejalan dengan ketentuan Allah SWT, sebagaimana
diatur dalam A1 Quran dan Hadits. Dengan perspektif ini, ketentuan
dalam Alquran dan hadits adalah cara hidup seorang muslim.

67
Tera Ilmu Akuntansi, Vol. 10 No. 1, Maret 2011

Termasuk diantaranya adalah konsep pertanggungjawaban


(akuntabilitas).
Terkait dengan konsep pertanggungjawaban manusia, terdapat
beberapa surat dalam A1 Quran yang mengatumya. Dua diantaranya
telah disajikan dalam awal sub bab ini yaitu Q.S. A1 Infithaar 10-12
dan Q.S. A1 Jaatsiyah 29. Dua surat ini menekankan pada aspek
pencatatan. Bahwa Allah selalu mencatat setiap tindakan manusia
dengan teliti, tidak ada yang terlewat. Catatan-catatan ini tidak hanya
terhenti pada sekedar catatan, tapi berimplikasi pada kehidupan
manusia setelah mati, yaitu di hari kiamat (Q.S. A1 Zalzalah 6-8) dan
di alam akherat (Q.S.Ar Rahman 46 dan Q.S A1 Israa 72 ). Setiap catatan
kebaikan akan mendapat ganjaran pahala berlipat dan catatan
keburukan akan mendapat balasanyang setimpal (Q.S. A1 An’aam 160).
Setiap ganjaran dan balasan telah ditetapkan dengan teliti dan adil
(Q.S. A1 Anbiyaa’ 47).
Jadi bisa disimpulkan bahwa, dalam Islam, setiap muslim dituntut
bertanggungjawab atas segala tindakannya pada Allah, pencipatanya,
pada hari kebangkitan nanti. Hal ini berbeda dari konsep akuntabilitas
barat yang hanya mencakup akuntabilitas antar manusia. Dalam Is¬
lam, pertanggungjawaban manusia tidak hanya antar manusia tapi
juga pada Allah. Setiap muslim yang taat akan
mempertanggungjawabkan setiap perbuatannya baik dengan
sepengetahuan orang lain atau tidak, karena ia tahu Allah Maha
Mengetahui apapun yang ia lakukan.
Karena pertanggungjawaban muslim kepada Allah, maka ia
dituntut untuk melaksanakan semua aktivitasnya sesuai dengan
aturan yang telah Allah tetapkan. Cara hidup seorang muslim sudah
diatur oleh Allah lewat Shariah Islam yang tertuang dalam Quran dan
Hadist.
Semua aspek kehidupan manusia harus sesuai dengan aturan
Islam. Politik, ekonomi, sosial, budaya, misalnya, dikembangkan
manusia dalam bingkai aturan shariah Islam. Dengan demikian Is¬
lam tidak mengenal adanya pemisahan dimensi religius dan dimensi
sekuler.Semua adalah dalam kerangka dimensi religious.
Konsep kepemilikan dalam Islam menyatakan bahwa pemilik
segala isi langit dan bumi adalah Allah, sebagai pencipata alam
semesta. Didalam Q.S. A1 Baqarah 284 disebutkan “Kepunyaan Allahlah
segala apa yang ada di langit dan apa yang ada di bumi” .Manusia hanya
sebagai pengelola ciptaanNya.Kepemilikan pribadi dalam Islam
dikerangkakan sebagai titipan dari Allah, termasuk anak yang kita
lahirkan.Jadi Islam masih mengakui hak kepemilikan pribadi, namun
tidak bersifat absolute (Basri, 2008). Hak tersebut diberikan Allah
sepanjang masih dalam koridor syariah (aturan) Islam.

68
Sudaryanti, Akuntabilitas dalam Perspektif Islam: Solusi Masalah Korupsi....

Kepemilikan pribadi manusia adalah titipan Allah, sebagai bentuk


kepercayaan (amanah) dari Allah. Karena kepemilikan adalah
kepercayaan atau amanah dari Allah, maka pengelolaan titipan harus
dalam kerangkan peraturan yang memberikan amanah, yaitu
Allah.Jadi, manusia mengelola amanah Allah sesuai dengan garis
peraturan Allah yaitu shariah Islam.Dalam hal ini manusia adalah
pemimpin di bumi (Q.S. A1 Baqarah 30) dan berkewajiban menyebarkan
rahmat ke seluruh alam (Q.S. A1 Anbiyaa’ 107) dengan jalan menyeru
pada kebaikan (ma’ruf) dan menjauhi tindakan yang mengarah pada
ketidakbaikan (munkar) (Q.S. Ali Imran 110) (dalam Triyuwono, 2000).

SIMPULAN
Akuntabilitas, dengan menggunakan pengertian barat,
menekankan pada hasil akhir dari suatu kegiatan.Apakah
mekanisme akuntabilitas mampu menggambarkan dan menjustifkasi
aktifitas-aktifitas yang telah dilakukan? Jadi penekanannya pada
kemampuan mekanisme tersebutadalah dalam “memotret” suatu
proses.
Berdasarkan pemahaman dalam konsep tauhid dan konsep
kepemilikan, penulis berpendapat, konsep akuntabilitas dalam Islam
tidak hanya menekankan pelaporan hasil dari suatu proses, namun
juga pada proses itu sendiri. Bisa dikatakan, penekanannya bahkan
pada proses pelaksanaan tanggungjawab, apakah sudah didasarkan
pada konsep tauhid dan konsep kepemilikan dalam Islam. Mekanisme
akuntabilitas hanya merangkumnya.
Dalam konsep tauhid, semua aktifitas adalah ditujukan untuk
Allah, maka demikian pula niat awal ketika seseorang beraktifitas
atau bekeija untuk melaksanakan tanggung jawab. Niat ini akan
mewarnai corak kerja yang dilakukan. Bekerja tidak untuk
menyenangkan atasan, tidak untuk memaksimalkan kepentingan
pribadi dan merugikan orang lain, dan niat-niat yang lain selain ridha
Allah.
Konsep kepemilikan berimplikasi pada cara pandang seseorang
pada pekerjaan yang menjadi tanggung jawabnya. Karena pekeijaan
dianggap sebagai amanah, maka konsekuensinya adalah pelaksanaan
pekerjaan sesuai dengan harapan pemberi amanah. Dari sisi
hubungan antar manusia, pelaksanaan pekerjaan harus sesuai
dengan ketentuan pemberi amanah, yang biasanya tertuang dalam
peraturan dan kebijakan tertentu.Namun, karena pada hakekatnya
semua yang ada di langit dan bumi milik Allah, maka pemberi amanah
yang sesungguhnya adalah Allah. Dengan demikian, pelaksanaan
ketentuan dan kebijakan haruslah dilandasi ketaatan pada
Allah.Sekali lagi, tuntutan atas dilakukannya suatu tanggung jawab
harus disesuaikan dengan Allah.Sama dengan implikasi dalam konsep
tauhid.

69
Tera Ilmu Akuntansi, Vol. 10 No. 1, Maret 2011

Selain aspek niat dan kepemilikan pada pekeijaan,konsep tauhid


juga berimplikasi pada konsep rezeki.Allah sebagai penentu segalanya,
maka demikian pula penentu rezeki atau hasil akhir dari suatu
pekeijaan.Gaji atau bonus bukan menjadi tujuan utama dalam diri
seseorang yang menjadikan bekeija sebagai ibadah kepada Allah.Gaji
atau bonus hanya jalan Allah menurunkan rezekiNya. Rezeki, Allah
lah yang mengatur, tugas manusia adalah mengupayakannya dengan
cara yang baik dan halal.
Jika dalam proses evaluasi, dilakukan mekanisme akuntabilitas,
maka sebenamya proses tersebut hanya menggambarkan kembali
aktifitas yang telah dilakukan. Karena aktifitas sudah diwamai konsep
Islam, maka mekanisme akuntabilitas hanya merangkum aktifitas-
aktifitas tersebut. Kesimpulannya, akuntabilitas Islam adalah
mekanisme akuntabilitas kepada Allah, yang terjadi sejak awal
pelaksanaan suatu pelimpahan tanggung jawab, hingga saat evaluasi
pelaksanaan tanggungjawab tersebut. Akuntabilitas Islam, dengan
demikian, lebih luas daripada akuntabilitas barat, karena mencakup
seluruh proses pelaksanaan tanggungjawab (tidak hanya akhir
periode), dan karena tujuan pertanggungjawaban adalah kepada Al¬
lah (tidak semata kepada pemberi wewenang).
Pengertian korupsi menurut World Bank (dalam Tanzi, 1998)
adalah suatu bentuk penyimpangan kekuasaan publik untuk
kepentingan pribadi. Tanzi (1998) menginterpretasikan definisi World
Bank tersebut secara luas, bahwa korupsi tidak hanya terjadi di
wilayah publik saja namun bisa saja teijadi di aktivitas sector privat
(perusahaan). Contoh korupsi dalam sector privat misalnya korupsi
melalui kekuasaan pengadaan barang atau penyewaan jasa tertentu
dengan menunjuk rekanan yang sudah memberi imbalan
tertentu.Selain itu, menurut Tanzi, tujuan demi kepentingan pribadi
tidak selalu bermakna pribadi secara perorangan, bisa juga bermakna
kelompok pribadi tersebut, teman, keluarga, partai pilihannya dan
lain-lain.
Berdasarkan pengertian tersebut, Tanzi mengelompokkan faktor-
faktor penyebab tindakan korupsi, yaitu:
1. Regulasi dan Kekuasaan Otorisasi
Kekuasaan berbasis regulasi dan kewenangan otorisasi
membuka peluang sangat lebar pada korupsi.Banyak aktivitas
warga negara, misalnya mendirikan usaha, memiliki
kendaraan, rumah, dan sebagainya, memerlukan orotisasi
dan perijinan dari pemerintah. Kebutuhan warga akan
perijinan inilah yang dimanfaatkan untuk menarik “iuran”
tidak resmi dengan alasan kelancaran pengurusan perijian.
Dari sisi warga negera, yang tidak mau banyak repot dengan
banyak prosedur juga menawarkan hal yang sama, uang,
dengan alasan efisiensi waktu dan tenaga, karena

70
Sudaryanti, Akuntabilitas dalam Perspektif Islam: Sohisi Masalah Korupsi....

pengurutsan perijinan biassanya memakaan banyak waktu


dan tenaga..
2. Perpajakan
Sumber korupsi dalam aktivitas perpajakan adalah pada
pemahaman yang kurang pada pembayar pajak atas aturan
hukum pajak. Pemahaman yang kurang ini banyak
dimanfaatkan oleh pegawai pajak untuk meminta imbalan
atas jasa konsultasi mereka dalam membantu pembayar
bayak memenuhi prosedur pembayaran pajak. Dari sisi
pembayar pajak pun, karena alasan tidak mau banyak repot,
memenuhi permintaan tersebut.
3. Keputusan Pendanaan
Korupsi yang teijadi dalam bidang ini biasanya terkait dengan
adanya kegiatan proyek investasi, pengadaan barang kantor,
dan alokasi dana lain-lain. Korupsi teijadi antara bagian yang
berwengan memutuskan pihak mana yang akan dijadikan
rekanan. Disisi lain, pihak luar berlomba-lomba menjadi
rekanan dengan cara memberi suap atau harga khusus.
4. Penyediaan barang dan jasa dengan harga di bawah harga
pasar
Salah satu tugas pemerintah adalah menyediakan barang
public dengan harga dibawah harga pasar atau melalui
mekanisme subsidi pemerintah.Contohnya adalah pengadaan
beras untuk rakyat miskin, subsidi listrik untuk rumah
tangga, dan subsidi pengobatan untuk rakyat
miskin. Ketidakseimbangan antara penyediaan barang public
dengan permintaan yang banyak dari masyarakat menuntut
aparat pemerintah untuk melakukan keputusan penempatan
yang tepat. Proses keputusan inilah yang berpotensi
menimbulkan korupsi. Dengan harga yang relative murah
kadang mendorong warga masyarakat tertentu berupaya
mendapatkan barang atau akses yang lebih dengan cara
menggunakan suap. Suap ini diharapkan akan
mempengaruhi proses pengambilan keputusan aparat
pemerintah dalam hal alokasi barang public tersebut.
Jadi, korupsi, biasanya dihubungkan dengan aktiitas dalam
pemerintahan, terutama dalam kaitannya dengan adanya faktor
monopoli dan kekuatan kebijakan pemerintahan (Tanzi, 1998).Dalam
sektor lainpun, penyebab utama munculnya korupsi adalah karena
adanya monopoli dan kekuasaan.Misalnya dalam hal pengadaan
barang, pemilihan pemasok pada orang tertentu (yang memberi suap),
bisa terjadi karena ada kekuasaan untuk melakukan pengadaan
barang tersebut.
Berbagai jenis tindakan korupsi tersebut di atas, dalam pandangan
penulis, korupsi memiliki karakteristik umum sebagai berikut:

71
Tera Ilmu Akuntansi, Vol. 10 No. 1, Maret 2011

1. Salah satu pihak merasa memiliki keunggulan dibanding


pihak lain, misalnya dalam hal akses, kekuasaan legitimasi,
uang, dsb.
2. Dorongan efisensi waktu dan tenaga mendorong perilaku or-
ang untuk ‘memotong’ prosedur
3. Didorong oleh keinginan memperkaya atau menguntungkan
diri sendiri (kelompok sendiri)
4. Dilakukan dengan cara diluar peraturan yang berlaku
Korupsi semakin tumbuh subur karena kurangnya transparansi
dan factor pengendalian internal yang buruk.Padahal pengendalian
internal merupakan aspek penting dalam mekanisme
akuntabilitas.Pengembangan dan pemeliharaan pengendalian inter¬
nal yang baik akan mendorong terbentuknya akuntabilitas yang baik
pula (Cuomo 2005). Dengan kata lain, akuntabilitas yang baik akan
mencerminkan transparansi dan pengendailian internal yang baik
pula. Dengan adanya transparansi, masyarakat akan tahu bahwa dana
yang telah diambil dari mereka telah digunakan dengan semestinya
ataukah malah sebaliknya.
Akuntabilitas yang baik merupakan salah satu mekanisme untuk
mencegah terjadinya korupsi. Akuntabilitas, sebagaimana tersebut
sebelumnya, merupakan proses penggambaran kembali secara
transaparan, semua aktivitas sesuai tujuan pelimpahan wewenang.
Korupsi, sebaliknya, merupakan aktivitas yang “tersembunyi” atau
dalam ungkapan Tanzi (1998) adalah“do not typically take place in broad
daylight”. Jodi, dengan mekanisme akuntabilitas, diharapkan aktivitas
tersembunyi tersebut (korupsi) akan bisa terlihat dengan lebih jelas.
Jika ada akuntabilitas yang baik, penyalahgunaan kekuasaan ini
akan terprotet dengan baik pula. Jika seseorang tahu bahwa
perbuatannya akan diketahui (terprotet) secara logika sederhana, ia
akan berusaha untuk menjauhi perbutan tersebut. Dengan demikian,
akuntabilitas yang baik akan mencegah korupsi.
Masalahnya, manusia tidaklah sesederhana itu. Nafsu
memaksimalkan kesejahteraan akan selalu mencari jalan keluar.
Pilihan lain adalah, selain menjauhi perbuatannya, adalah dengan
menyembunyikannya. Berusaha agar mekanisme akuntabilitas tidak
bisa memotretnya, melalui cara-cara tertentu. Pelaku tetap
mempraktekkannya dengan melakukan kolusi (kerjasama) dengan
sang pemberi atau penerima suap. Korupsi melalui kolusi inilah yang
sulit dikendalikan oleh mekanisme akuntabilitas umum.Dikaitkan
dengan analogi memotret sebelumnya, gambar yang dihasilkan adalah
potret hasil rekayasa, yang meskipun memiliki kualitas (resolusi)
tinggi, namun tidak mencerminkan keadaan yang sebenarnya.
Asalkan pemberi dan penerima suap sama-sama tutup mulut, pandai
menyimpan rahasia, maka tindakan mereka tidak akan diketahui
melalui mekanisme akuntabilitas biasa.

72
Sudaryanti, Akuntabilitas dalam Perspektif Islam: Solusi Masalah Korupsi....

Jadi, apakah ada jalan keluar terhadap korupsi melalui kolusi


ini? Ada. Melalui akuntabilitas dengan perspektif Islam.Seperti telah
dijelaskan, korupsi dengan kolusi dilakukan dengan asumsi hanya
pihak-pihak dalam tindakan tersebut saja yang tahu, yaitu pemberi
dan penerima suap. Dengan mekanismen akuntabilitas Islam, pelaku
korupsi akan tetap merasa ada yang mengawasi, yaitu Allah, sang
Maha Mengetahui.
Telah dipaparkan bahwa korupsi, adalah tindakan yang
menyalahi tanggung jawab, yaitu dengan memanfaatkannya untuk
kepentingan pribadi dan dengan cara yang menyalahi standard yang
berlaku. Berdasarkan penjelasan di atas, ciri umum penyebab korupsi
menurut penulis adalah:
a. Asimetri sumber daya, misalnya dalam hal akses, kekuasaan
legitimasi, uang, dsb.
b. Pengutamaan pada efisiensi, baik waktu, tenaga, maupun
pada uang yang dikeluarkan (tidak sabar)
c. Sifat tamak pada kekayaan (self interest yang berlebihan)
d Perasaan tidak akan ada yang akan tahu perbuatannya, selain
para pelaku yang terlibat
Jika diringkas dalam satu kalimat, maka penyebab utama
terjadinya korupsi adalah cara pandang yang keliru pada suatu
pekerjaan atau pelaksanaan suatu tanggung jawab. Pekerjaan
diartikan sama dengan kesempatan memperkaya diri, dengan
menggunakan keunggulan sumber daya yang dimiliki. Dengan
demikian, cara yang tepat untuk mengatasi korupsi adalah
akuntabilitas yang sifatnya menyeluruh dan mendasar, sehingga
mampu mengubah cara pandang yang keliru tersebut.
Bersifat menyeluruh berarti, mekanisme akuntabilitas juga
mencakup pada proses pelaksanaan tanggung jawab, tidak terbatas
pada saat akhir pelaporan. Sedangkan mendasar, bermakna mengubah
cara pandang seseorang dengan dasar keyakinan yang kuat. Dan dua
hal inilah yang ditawarkan oleh akuntabilias dalam perspektif
Islam.Sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya, akuntabilitas Is¬
lam adalah akuntabilitas selama proses pelaksanaan tanggunjawab,
yang ditujukan kepada Allah.
Akuntabilitas Islam, sebagai turunan dari konsep tauhid dan
konsep kepemilikan dalam Islam, berimplikasi pada proses
pelaksanaan suatu tanggung jawab, yaitu pada:
a. Niat melaksanakan suatu tanggung jawab, yaitu niat
beribadah kepada Allah
b. Pelaksanaan tanggungjawab adalahperwujudan mengemban
amanah
c. Rejeki (reward atau punishment) atau hasil dari pelaksanaan
tanggung jawab, bukan menjadi orientasi utama

73
Tera Ilmu Akuntansi, Vol. 10 No. 1, Maret 2011

Bagaimana akuntabilitas Islam mengatasi


korupsi?Penyimpangan tindakan karena adanya asimetri sumber
daya, bisa diatasi dengan pemahaman baru tentang konsep tujuan
atau motivasi bekeija dan konsep kepemilikan rezeki. Keunggulan
informasi satu pihak atas pihak Iain misalnya, tidak akan
disalahgunakan untuk mencari keuntungan pribadi dengan
merugikan pihak lain, karena tujuan dan motivasi bekerja adalah
untuk ibadah. Ketika motivasi bekerja adalah untuk beribadah,
tentunya langkah-langkah yang dilakukan dalam bekeija diwarnai
oleh motivasi tersebut. Dengan kata lain, motivasi ibadah akan
menjaga pelaksanaan tanggungjawab sesuai dengan norma
agama.Dan agama tidak mengijinkan tindakan korupsi.
Tujuan dan motivasi bekeija adalah untuk ibadah juga membawa
pada pemahaman bahwa ada Sang Maha Melihat. Implikasinya, or-
ang akan terdorong selalu bertindak sesuai norma agama, baik ada
orang lain yang melihat ataupun tidak. Jadi pemahaman bahwa tidak
aka nada yang melihat tindakan korupsi kecuali pelaku, tidak akan
berlaku dalam konsep akuntabilitas Islam.
Konsep tauhid juga mengarahkan orientasi pekeijaan. Jika re¬
ward dan punishment menjadi tujuan utama, hal itu bisa membuat
seseorang melakukan segala hal yang dianggap perlu demi tercapainya
reward atau terhindar dari punishment, termasuk manipulasi
informasi. Orientasi mengejar target proyek agar mendapat bonus,
kadang membuat orang melakukan manipulasi informasi. Dengan
konsep tauhid, keunggulan sumberdaya tidak akan membuat
seseorang menggunakannya untuk kepentingan pribadinya,
mendapatkan reward tertentu. Dalam konsep ini, reward atau pun¬
ishment hanya efek samping dari hasil kerja keras.Tujuan utamanya
adalah ridha Illahi (beribadah). Sehingga tidak akan mendorongnya
melakukan tindakan manipulatif.
Dari sisi konsep rezeki, telah disebutkan bahwa rezeki telah
ditentukan Allah.Ditentukan Allah, bermakna, rezeki bukan fungsi
linear dengan upaya manusia. Fungsi tersebut bekeija atau tidak,
adalah semata-mata atas ijin Allah. Dengan demikian, tidakakan
diperlukan langkah-langkah yang tidak semestinya dilakukan,
misalnya dengan melanggar peraturan, supaya diperoleh rezeki
sebanyak mungkin. Sifat tamak dikendalikan dengan konsep rezeki.
Konsep kepemilikan, yang menganggap pekerjaan adalah
amanah, menuntut kesesuaian dengan keinginan pemberi amanah.
Pekerjaan bukanlah kesempatan untuk memperkaya diri dengan
merugikan orang lain. Dalam pandangan bahwa pekerjaan amanah,
akan mendorong dilakukannya pekeijaan sesuai dengan ketentuan
yang berlaku. Pekeijaan akan dilakukan sebaik-baiknya. Dikaitkan
dengan konsep tauhid, maka dilakukannya pekerjaan sesuai dengan

74
Sudaryanti, Akuntabilitas dalara Pcrspektif Islam: Solusi Masalah Korupsi....

ketentuan yang berlaku, dilandasi juga oleh ibadah kepada Allah.Jadi,


ketaatan pada ketentuan yang berlaku bukan karena faktor dilihat
oleh orang lain, tapi karena dilandasi niat beribadah.
Akuntabilitas Islam langsung menyentuh aspek pribadi orang,
berupa aspek keyakinan. Berawal dari keyakinan yang kuat, maka
segala tindakan dan motivasi orang tersebut tidak lagi tergantung
pada orang lain. Tidak lagi tergantung lagi pada sesuatu yang memiliki
banyak keterbatasan.Ketergantungan kini beralih pada yang memiliki
Kesempumaan dalam segala hal, yaitu Allah. Dengan demikian, tidak
akan ada rekayasa lagi, karena rekayasa sudah tidak diperlukan.
Untuk apa rekayasa karena tujuan dan motivasi akuntabilitas tidak
lagi pada prinsipal. Termasuk tujuan dan motivasi merekayasa, yaitu
mendapatkan keuntungan pribadi sebesar-besamya, sudah tidak ada,
karena tujuan dan motivasi telah beralih ke konsep ibadah dalam
bekerja.Menurut pendapat penulis, konsep akuntabilitas yang berawal
dari keyakinan kuat merupakan akuntabilitas yang kuat. Dan inilah
yang ditawarkan oleh akuntabilias Islam
Korupsi adalah tindakan yang muncuk akibat dari pemahaman
yang keliru tentang hakekat pekerjaan itu sendiri. Pekerjaan
dianggap sebagai keunggulan atas manusia lain, kesempatan untuk
menumpuk kekayaan, dan kesempatan untuk menekan orang lain.
Kekeliruan ini mendorong timbulnya penyalahgunaan wewenang,
manipulasi informasi dan tindakan pengutamaan diri sendiri lainnya,
yang berdampak buruk pada orang lain.
Islam menawarkan cara pandang yang berbeda terhadap
pekerjaan (pelaksanaan tanggung jawab). Dengan konsep
akuntabilitas dengan perspektif Islam, pekerjaan adalah bagian dari
mekanisme akuntabilitas itu sendiri. Karena akuntabilitas dalam
pandangan Islam ditujukan kepada Allah, maka demikian pula dengan
pelaksanaan suatu pekerjaan.Seluruh pelaksanaan pekerjaan adalah
dalam rangka pertanggungjawaban kepada Allah.Tidak sekedar pada
manusia.
Pertanggung jawaban kepada Allah juga bersifat jangka
panjang.Tidak hanya didunia ini, tapi terbawa hingga akherat
nanti.Sehingga tidak ada pemisahan realitas menjadi realitas duniawi
atau akherat.Semua harus sesuai dengan ketentuan Allah karena
pada akhirnya akan dipertanggungjawabkan di depan Allah,
Islam memiliki dasar yang kuat untuk membuat struktur
bangunan akuntabilitas sendiri. Dengan mengutip pendapat
Triyuwono (2000), Islam dengan keyakinan mendasarnya, yaitu
Tauhid, datang untuk mengemansipasi individu dari relaitas “palsu”
menuju realitas dan kehidupan sejati. Bagian pertama frase dalam
kalimat sahadat, “tidak ada tuhan” adalah sebuah penolakan terhadap
relitas-realitas itu, realitas semu atau tuhan-tuhan semu, yang

75
Tera Ilmu Akuntansi, Vol. 10 No. 1, Maret 2011

seharusnya tidak memperbudak mereka.Mereka harus terbebas dari


itu semua, dan menuju tuhan yang sebenamya Tuhan, yang dalam
frase kedua sahadat dinyatakan “kecuali Allah” (Triyuwono 2000).
Dalam kaitannya dengan tujuan dilakukannya akuntabilitas,
Islam memiliki tujuan yang jelas dan kuat, yang penulis yakini,
dengan tujuan tersebut, akuntabilitas akan beijalan dengan baik,
penyakit korupsi dalam tubuh bangsa Indonesia akan sembuh. Tujuan
tersebut adalah Allah. Sebagaimana dinyatakan al Faruqi (1992 dalam
Triyuwono, 2000), sebagai berikut:
Tauhid, dari aspek aksiologis, menegaskan bahwa Allah adalah
satu-satunya nilai yang tertinggi, sedangkan yang lainnya hanyalah
instrument yang nilainya tergantung pada Tuhan, karena instru¬
ment-ins trumen itu pada asalnya tidak punya nilai sendiri, dan
yang kebaikannya diukur dengan aktualisasi kebaikan ketuhanan
yang tinggi. Ini berarti bahwa Tuhan adakah tujuan akhir seluruh
keinginan.

Sudah seharusnya seorang muslim menggunakannya, baik


dalam kehidupan pribadi maupun secara organisasional. Sehingga
tujuan manusia sebagai pemimpin di bumi dan pengemban misi untuk
kebaikan seluruh alam akan tercapai.

DAFTAR RUJUKAN
Al Quran dan Teijemahnya. Ayat Pojok Bergaris. Penerbit Asy-Syifa,
Semarang. Indonesia
Ashforth, B.E dan B. W. Gibbs. 1990.”The Double-Edge Of Organizational
Legitimation”. Organization Science, 1 (2)hal. 177-195
Basri, H. 2008. Accountability in Islamic Religious organizations: A
Case Study of Pesantren in the Province of Nanggroe Aceh
Darussalam-Indonesia. Proposal for PhD Thesis, University
Sains Malaysia
Giddens, A. 1984. The Constitution of Society, Outline of theTheory of
Structuration, Cambridge, UK: Polity Press.
Jensen, M., dan Meckling, W. 1976. “Theory of the Firm: Managerial
Behavior, Agency Costs, and Ownership Structure”. Journal of
Financial Economics, J,hal. 305-360.
Jensen, M.C (2000 ).Value Maximization and Stakeholder Theory (http: / /
hbswk.hbs.edu/item/ 1609.html
) diunduh :24 July

76

Anda mungkin juga menyukai