Anda di halaman 1dari 16

KRITIK SANAD; METODOLOGI DAN PENERAPANNYA

1
Muhammad Irfan, 2Abdul Rahman Sakka, 3Darsul S. Puyu
1
Mahasiswa UIN Alauddin/dosen Hadis IAIN Pontianak
23
Dosen UIN Alauddin Makassar
e-mail korespondensi: muhammadirfan@iainptk.ac.id
Abstrak

Hadis adalah salah satu sumber ajaran Islam. Namun, tidak semua hadis dapat diterima sebagai
landasan agama. Diperlukan metode untuk mengetahui hadis yang dapat dijadikan sebagai dasar
dalam ajaran agama Islam. Dalam struktur hadis, adaa yang disebut sanad. Sanad adalah mata
rantai periwayatan hadis. Sanad memiliki peran penting dalam status kehujahan atau legalitas
hadis. Hadis bisa diterima isinya (matan) hanya jika sanadnya memenuhi syarat kesahihan.
Dalam artikel ini peneliti ingin memaparkan kaidah kesahihan atau tolok ukur sanad hadis yang
dapat diterima. Peneliti juga akan menampilkan bagaimana aplikasi dari kaidah-kaidah tersebut.
Penelitian ini adalah penelitian kepustakaan. Dari berbagai literatur ditemukan bahwa untuk
mencapai pada kesimpulan status sebuah hadis harus melewati tahap krititik jalur periwayatan
atau penelitian ketersambungan sanad (ittisal sanad), keadilan dan kedabitan periwayat.
Kata Kunci: Kritik Sanad, ittisal sanad, adil dan dabit.

Pendahuluan

Hadis memiliki dua materi pokok yang dijadikan bahasan yaitu sanad dan matan. Dari
segi sejarah perkembangan pembukuan hadis, kajian atau studi terhadap sanad mendapat
perhatian yang lebih besar daripada matan. Tetapi bukan berarti ulama-ulama terdahulu tidak
memperhatikan masalah matan. Ini bisa dilihat dengan munculnya istilah tidak mengandung
syaz\z\ dan ‘illah pada matan. Kajian pada matan hadis atau yang disebut kritik matan (lebih
kepada Ilmu ma‘anil hadis) berkembang pada abad modern-kontemporer dengan munculnya
tokoh-tokoh yang bergelut dan menulis dalam bidang ini. Sebut saja misalnya Muhammad al-
Gazali, Yusuf al-Qarad}awi, al-Ad}labi, dan lain-lain.

Ulama-ulama terdahulu lebih banyak “mengotak-atik” kajian sanad yang tentu membahas
periwayat hadis itu sendiri. Ini bisa dilihat dari berbagai macam kitab yang membahas tentang
periwayat hadis atau yang sering disebut dengan rijāl al-ḥadīṡ. Ilmu ini membahas tentang
biografi periwayat hadis mulai dari masa sahabat sampai masa para mukharrij hadis sendiri.
Sebut saja misalnya Imam al-Bukha>ri (w. 256 H) dengan al-Ta>rikh al-Kabi>r, Ibn Sa’ad (w.
230 H) dengan al-T{abaqa>t al-Kubra>, Ibn Abdil Barr al-Qurt}ubi> (363-463 H) dengan al-
Is}ti‘a>b fi Ma‘rifa alAs}h}a>b, al-Z|ahabi> (673-748 H) dengan Siyar A‘la>m al-Nubala’, Taz\
kirah al-H{uffa>z\, dan lain-lain.1

Kritik terhadap sanad hadis memang sangat penting dalam kajian hadis untuk
membuktikan orisinalitas hadis yang dikaji. Sebab kualitas sebuah hadis sangat dipengaruhi oleh
kualitas sanadnya. Sebuah hadis baru dapat diterima sebagai hujah jika sanadnya memenuhi
standar kesahihan sanad hadis. Olehnya itu para ulama telah menetapkan kriteria dalam menilai
kualitas sanad sebuah hadis. Para ulama telah menetapkan bahwa indikator sanad yang sahih
adalah sanad yang bersambung (ittis}a>l), para perawinya ‘adil, dan para perawinya d}a>bit}.
Pada tulisan ini akan difokuskan pada metode atau cara dalam melakukan kritik terhadap jalur
periwayatan untuk mengetahui status hadis apakah memenuhi ketiga kriteria tersebut, sekaligus
mengaplikasikannya pada hadis Nabi saw.

Pembahasan

A. Konsep Ittis}al Sanad


1. Pengertian ittisal sanad

Ittis}al al-Sanad terdiri dari dua kata yaitu ittiṣāl dan al-sanad, yang dalam bahasa Arab
jika digabung disebut dengan tarkīb iḍāfīy (muḍāf dan muḍāf ilaih). Kata ittiṣāl berasal dari akar
kata waṣala, yang berarti mengumpulkan/menghimpun sesuatu dengan lainnya supaya bisa
bergantung, melekat (ḍammu syai’in ila> syai’in h}atta> ya’laqahu).2 Dalam ilmu s}araf, kata
ittis}a>l merupakan timbangan dari fi‘il s\ula>s\i mazi>d dua huruf, ifta’ala, yafta’ilu, iftiāl
(ittas}ala-yattas}lu-ittis}a>l). Dalam bahasa Indonesia kata ini biasa diartikan dengan
menyambung, menghubungkan, menggabungkan, dan makna lainnya sesuai dengan konteks
susunan kalimat.

Sanad terdiri dari huruf sin, nun dan dal, maknanya adalah mengumpulkan/menghimpun
sesuatu dengan yang lainnya (ind}ima>m al-syai ila> al-syai’).3 Secara etimologi sanad berarti
sesuatu yang dijadikan sandaran atau pijakan (al-mu’tamad). Sedangkan menurut istilah ulama
hadis sanad berarti mata rantai atau rentetan periwayat hadis yang bisa menghubungkan kepada

1
Muhammad Anshori, Kajian Ketersambungan Sanad (Ittis}al al-Sanad), Jurnal Living Hadis Vol. 1 Nomor 2,
Oktober 2016, h. 296.
2
Aḥmad bin Fa>ris, Maqa>yis al-Lugah (Kairo: Da>r al-H{adi>s\, 2008 M), h. 957.
3
Ibnu Fa>ris, Maq>yis al-Lugah, h. 418.
teks hadis atau matan (silsilah al-rija>l al-mūṣilah ilā al-matni).4 Dari pengertian di atas
dipahami bahwa ittis}a>l-sanad merupakan istilah yang menghubungkan antara satu periwayat
dengan periwayat lainnya, atau hubungan guru dengan murid.

Ulama-ulama hadis menjadikan ittis}al al-sanad ini sebagai salah satu tolok ukur
kesahihan suatu hadis. Seluruh literatur Ulumul Hadis yang mendefinisian hadis sahih
menjadikan ketersambungan sanad sebagai salah satu syarat yang harus ada dalam hadis itu.
Menurut Ibn al-S{alah} hadis sahih adalah al-musnad al-laz\i yattas}ilu isna>duhu binaql
al-’adl al-d}a>bit} ‘an ‘adl al-d}a>bit ila muntaha>hu wala> yaku>nu sya>z\z\a> wala>
mu’allala.5 Al-Nawawi lebih ringkas lagi dengan ma> ittas}ala sanaduhu bi al-‘udu>l al-
d}a>bit}i>n min gairi syuz\u>z\ wala> ‘illah. 6 Pakar Ulumul Hadis, M. Ajjāj alKhaṭīb juga
mendefinisikan demikian.7 Dari definisi tersebut bisa disimpulkan bahwa syarat hadis sahih
terdiri dari lima unsur, tiga pada sanad (sanad bersambung, perawi adil, dan perawi d}a>bit})
dan dua pada matan (tidak terdapat syuz\u>z\ dan ‘illah).

Ini menunjukkan bahwa ulama hadis lebih banyak membahas atau meneliti masalah
sanad dari pada matan. Kelima syarat atau unsur hadis sahih di atas merupakan kaidah mayor
yang masih umum. Sedangkan kaidah minor secara khusus bisa masuk ke dalamnya beberapa
persyaratan lagi.8

Dalam kaitannya dengan kajian kualitas sanad, meskipun sanad hadis itu bersambung
belum tentu suatu hadis bisa berkualitas sahih. Banyak hadis yang sanadnya bersambung tetapi
ada periwayat yang dinilai negatif oleh kritikus hadis maka hadisnya dipermasalahkan. Penilaian
terhadap kualitas sebuah hadis membutuhkan penelitian yang mendalam dari segi sanad atau
periwayat hadis.

2. Mengukur Ittis}al Sanad


4
Mah}mu>d al-T{ah}h}a>n, Taisi>r Mus}t}alah} Al-H}adi>s\ (Beirut: Da>r Al-Fikr, t. th), h. 15
5
Muhammad ‘Ajja>j al-Khat}i>b, Usu>l al-H{adi>s\ Ulu>muhu wa Mus}t}alah}uhu (Beirut: Da>r al-Fikr,
1971), h. 429.
6
Jalāluddīn Abdurraḥmān bin Abū Bakr al-Sayūṭī, Tadrīb al-Rāwī fī Syarḥ Taqrīb al-Nawāwī, (Riyāḍ: Dār
Ṭībah, cet-VII, 1425 H), hlm.61-62
7
‘Ajja>j al-Khat}i>b, Usu>l al-H{adi>s\, h. 305.
8
Lihat M. Syuhudi Ismail, Kaedah Kesahihan Sanad Hadis (Jakarta: Bulang Bintang), h. 132-133 dan M.
Syuhudi Ismail, Hadits Nabi Menurut Pembela, Pengingkar dan Pemalsunya (Jakarta: Gema Insani, 1995), h. 77-
78.
Istilah ittis}a>l atau muttas}il memiliki kaitan sangat erat dengan kajian sanad untuk bisa
melihat ketersambungan dan keterputusan sanad. Dengan istilah ini pula bisa diketahui hubungan
antara seorang guru dan murid dalam periwayatan sebuah hadis. Hubungan antara guru dan
murid dalam lingkup periwayatan hadis, tidak harus dari orang yang lebih tua kepada orang yang
lebih kecil.

Dalam kajian Ulumul Hadis, ittiṣālal-sanad tidak harus dilihat dari besar atau kecilnya
seorang periwayat. Bisa saja seseorang yang lebih tua usianya meriwayatkan hadis dari orang
yang lebih kecil, bapak bisa saja meriwayatkan dari anaknya. Itulah sebabnya dalam Ilmu
Muṣṭalaḥ al-Ḥadīṡ dikenal istilah riwāyah al-akābir an al-aṣāgir, riwāyah al-ābā’ an alabnā’.
Hubungan antara guru dan guru dalam ittiṣālal-sanad secara umum memang kaidah yang berlaku
adalah riwāyah al-aṣāgir an al-akābir dan riwāyah al-abnā’ an al-ābā’. Tetapi karena ilmu tidak
mengenal batas usia, bisa saja orang yang lebih kecil lebih luas pengetahuannya dari orang yang
lebih besar.

Ada empat indikator pokok yang bisa dijadikan sebagai pijakan untuk melihat
ketersambungan sanad (ittiṣālal-sanad), yaitu sebagai berikut.

a. S{igat Tah}ammul wa ada>’ al-H{adi>s

Ketersambungan sanad hadis dapat diketahui dengan melihat hubungan antara guru dan
murid. Seseorang tidak akan mengetahui ketersambungan sanad apabila tidak mengkaji masalah
altaḥammul wa al-adā’ (proses transmisi hadis). Ada delapan cara proses periwayatan hadis
dalam Ulumul Hadis yaitu, 1) Al-sama‘ min lafz}i al-syaikh/mendengar dari seorang guru, 2) Al-
Qira>ah ala> alsyaikh/membaca di hadapan guru, 3) Al-Ija>zah, 4) Al-Muna>walah 5) Al-
Kita>bah/penulisan, 6) Al-I’la>m/pemberitahuan, 7) Al-was}iyah, dan 8). Al-
Wija>dah/penemuan.9

Pembahasan tentang ketersambungan sanad sangat terkait dengan bentuk atau lafaz yang
digunakan dalam transmisi suatu hadis. Sebenarnya jika diperhatikan dengan seksama tentang
kajian sanad, ada dua bentuk redaksi, lafal atau sigat dalam penyampaian hadis oleh seorang
periwayat.

9
Abu> al’Abba>s Taqiyuddi>n Ah}mad bin ‘abd al-H{ali>m bin Taimiyah, ‘Im al-H{adi<s\ (Beirut: Da>r
al-Kutub al-Ilmiyah, 1989), h. 24-30 dan Ajja>j al-Khat}i>b, Us}u<l al-H{adi>s\, h. 233-248.
Pertama, lafal yang sudah pasti sanadnya bersambung, seperti ungkapan seorang
periwayat; sami’tu fula>n yaqu>lu, h}addas\ana> fula>n, akhbarana> fula>n, h}addas\ani>
fula>n, raitu fula>n, dan lain-lain. Jika ditemukan lafal-lafal tersebut dalam riwayat hadis maka
hadisnya dihukumi muttaṣil,10 atau dalam konteks tulisan ini disebut ittis}a>l al-sanad. Tetapi
sebagaimana disebut di atas bahwa meskipun suatu hadis bersambung sanadnya, belum tentu
sahih. Kalaupun ada yang sahih, belum tentu juga sampai kepada Nabi saw. Kedua, lafal atau
redaksi yang kemungkinan mengandung ittis}a>l dan inqit}a>’, bentuk kedua ini jumlahnya
cukup banyak. Salah satu contohnya adalah dengan redaksi an fula>n.11 Pada dasarnya lafaz ‘an
fula>n bukan lafal yang digunakan untuk meyampaikan hadis, tetapi tidak lebih dari pengganti
dari lafal atau redaksi penyampaian suatu hadis.

Perlu dicatat bahwa hadis yang diriwayatkan secara ‘an (hadis mu’an’an) masih
diperdebatkan ketersambungan sanadnya oleh sebagian ulama. Sesuai dengan sigat al-taḥammul
wa al-adā’ kedua di atas bahwa hadis yang diriwayatkan dengan huruf an mengandung dua
kemungkinan yaitu sanadnya bersambung dan terputus. Hadis yang menggunakan redaksi an
memang banyak karena itu ada sebagian ulama yang meragukan kualitasnya kecuali setelah
melakukan penelitian. Meskipun demikian ini tidak bisa digeneralisasikan karena banyak hadis
yang menggunakan redaksi an sanadnya bersambung dan kualitasnya sahih.

b. Mu‘as}arah atau Semasa

Dari delapan metode transmisi hadis (al-taḥammul wa al-adā’) di atas, bisa dikatakan
bahwa yang memiliki keakuratan data ketersambungan sanad adalah al-samā’ min lafẓi al-syaikh
dan al-qirā’ah alā al-syaikh. Seseorang yang membaca hadis yang disimak langsung oleh
gurunya tentu sudah saling bertemu (liqā’) dan semasa (mu’āṣarah). Sama juga dengan metode
qirā’ah alā al-syaikh, seorang murid membaca kitab hadis dan gurunya mendengarkan apa yang
ia baca. Tentu ini juga terjadi karena sudah saling bertemu (liqā’) dan semasa (mu’āṣarah).
Apabila suatu hadis memiliki sanad yang bersambung maka hadis yang sanadnya terputus bisa
dikategorikan sebagai hadis daif. Daif di sini dilihat dari segi tidak adanya persambungan sanad

10
Ibrahi>m bin ‘Abdullah, al-Ittis}a>l wa al-Inqit}a>‘ (Riyad}: Maktabah al-Rusyd, 2005), h. 15. Lihat
juga Ajja>j al-Khat}i>b, Us}u<l al-H{adi>s\, h. 248-250
11
Ibrahi>m bin ‘Abdullah, al-Ittis}a>l wa al-Inqit}a>‘, h. 16.
sampai Nabi saw., misalnya hadis mursal, munqaṭi’, mu’ḍal, dan mudallas (tadlīs al-isnād dan
tadlīs syuyūkh).

Imam al-Bukhārī dan Muslim berbeda pendapat tentang hubungan guru dan murid dalam
periwayatan hadis. Secara eksplisit kedua Imam hadis tersebut tidak menyebutkan kriteria
hubungan seorang periwayat. Menurut penelitian ulama, al-Bukhārī mensyaratkan supaya
seorang periwayat harus semasa dan bertemu (mu’āṣarah dan liqā’), sedangkan Imam Muslim
hanya mensyaratkan pertemuan saja (liqā’).12

c. Setempat

Ketersambungan sanad hadis juga bisa dilihat dari lokasi transmisi antara seorang guru
dan murid. Hubungan antara guru dan murid harus dalam satu tempat, karena kalau tidak
setempat maka sulit sekali diketahui ketersambungan sanadnya. Dengan adanya tempat yang
sama maka proses transmisi hadis bisa terjadi dalam satu majelis atau dalam bentuk pertemuan
yang lain.

d. Hubungan guru dan murid

Hubungan antara guru dan murid merupakan salah satu indikator yang esensial dalam
kajian sanad. Dengan adanya hubungan tersebut maka bisa dipastikan bahwa sanad hadis itu
bersambung, atau dalam kaitannya dengan tulisan ini disebut dengan ittis}al al-sanad.

Jika seorang periwayat hadis menyampaikan sebuah riwayat yang ia terima dari seorang
guru, tetapi setelah diteliti ternyata tidak memiliki hubungan apa-apa, dalam Ulumul Hadis kasus
seperti ini disebut dengan hadis munqaṭi’, yakni hadis yang sanadnya terputus dari berbagai segi,
baik di awal sanad, tengah dan akhir sanad. Oleh sebab itu, hubungan antara guru dan murid
sangat menentukan dalam kaitannya dengan ketersambungan sanad.13

B. Keadilan Periwayat
1. Terminologi ‘adil
12
Ajja>j al-Khat}i>b, Us}u<l al-H{adi>s\, h. 313.
13
Muhammad Anshori, Kajian Ketersambungan Sanad (Ittis}al al-Sanad), h. 299.
Salah satu syarat diterimanya hadis adalah adanya keadilan dari rawi tersebut. Menurut
sebagian ulama ‘adl merupakan jiwa malakah dalam diri seseorang disertai dengan sikap takwa
serta menjaga muru’ah. Kata Adil berasal dari Bahasa Arab, yaitu akar kata dari ‘adala, ya‘dilu,
‘adlan, ‘udulan, ‘adalatan yang berarti meluruskan, menyamakan, berbuat adil, menyekutukan,
menyimpang, berpaling kepada, berubah pendapatnya, meluruskan, mengimbangi.14

Secara Lughah, ialah maqbul al-Syahadah yaitu orang yang diterima kesaksiannya.15 Adil
dalam Alquran sangat berkaitan dengan sikap yang seimbang dan menengahi. Kesaksian bisa
diberikan secara adil karena sikap tersebut, hal tersebut dikarenakan dilakukan dengan sikap
yang tenang dan bebas dari sikap yang berlebihan. Sikap adil ini berkaitan dengan sikap amanah
dan jujur.16

Kata Adil memiliki beberapa arti, antara lain: menghadapi ketidakadilan, menghadapi
kemaksiatan dan kefasikan serta kemaksiatan, dan tercegah artinya tabiat untuk menjauhi hal-hal
yang telah dilarang, terjaga dari dosa dan kesalahan dengan pertolongan Allah.17

Secara terminolog, kata Adil memiliki banyak definisi. Namun menurut ulama
Muhaddisin ‘adil adalah tidak melakukan dosa besar serta menjauhi dosa-dosa kecil dinamakan
Adil.18 Seseorang yang meriwayatkan hadis harus memiliki sifat Adil, karena sifat ini yang akan
menentukan diterima atau tidaknya riwayat tersebut. Bahkan menurut Musthofa Azami jika
berhubungan dengan keadilan maka tidak ada toleransi, berbeda jika berhubungan dengan
kedhabitan meskipun pada level yang paling bawah tetap saja mendapat toleransi.

Jumhur ulama memberikan kriteria terhadap ‘adil sebagai faktor penentu, yaitu19

a. Islam

Keislaman menjadi syarat utama dalam penyampaian hadis, meskipun saat menerima
hadis Islam tidak menjadi faktor utama. Namun, jika seorang perawi ingin menyampaikan atau
14
Ahmad Warson Munawir, Al-Munawir: Kamus Arab-Indonesia (Jakarta: Pustaka Progresif, 1984), 905.
15
ash Shiddiqy, Pokok- Pokok Ilmu Dirayah Hadits, h. 32
16
Tangngareng, Telaah Historis Terhadap Keadilan Sahabat, h. 448.
17
Asror and Musbikin, Membedah Hadits Nabi SAW, 182–87.
18
Imran, Sahabat Nabi saw Dalam Perspektif Sunni dan Syi‘ah, 102–3.
19
Lihat M. Syuhudi Ismail, Kaedah Kesahihan Sanad Hadis (Jakarta: Bulang Bintang), h. 132-133 dan M.
Syuhudi Ismail, Hadits Nabi Menurut Pembela, Pengingkar dan Pemalsunya (Jakarta: Gema Insani, 1995), h. 77-
78, dan ash Shiddiqy, Pokok- Pokok Ilmu Dirayah Hadits, h. 32.
meriwayatkan hadis maka harus dalam kondisi Islam. Hal tersebut dikarenakan hadis merupakan
sumber ajaran islam yang kedua setelah al-Qur’an, sehingga orang yang tidak beragama Islam
tidak bisa diterima periwayatannya sebagai ajaran Islam.

b. Mukallaf

Mukalaf disini ialah orang yang sudah memiliki tanggung jawab. Hal ini tidak memungkinkan
bagi orang yang gila, lupa dan anak-anak untuk meriwayatkan hadis. Karena, mereka lepas dari
tanggung jawab. Dikarenakan seseorang tidak bisa dituntut terhadap yang diperbuat maupun
yang dikatakan apabila ia belum atau tidak memiliki tanggung jawab.

c. Takwa

Takwa adalah melakukan perintah agama Allah dan menjauhi larangan. Orang yang
melaksanakan ketentuan agama Allah akan merasa selalu diawasi oleh Allah, sehingga ia tidak
akan berani melakukan hal yang melanggar ketentuan agama Allah, misalnya melakukan
kebohongan saat meriwayatkan hadis. Sekiranya terdapat kekeliruan dalam menyampaikan berita
maka hal tersebut bukanlah disengaja akan tetapi diluar kemampuannya.

Orang yang tidak takwa atau melaksanakan ketentuan agama Allah tidak bisa dipercaya
perihal beritanya termasuk dalam hal ini adalah hadis Nabi. Karena orang tersebut dengan mudah
membuat berita yang palsu, terlebih berita yang menyangkut mengenai Hadis Nabi harus lebih
hati-hati dalam melihat siapa yang menyampaikannya.

d. Memelihara muru’ah

Memelihara muru‟ah maksudanya ialah, menjaga harga diri serta meninggalkan segala
hal yang mengakibatkan rusaknya harga diri dan menuruti aturan yang benar. Seperti: kencing di
jalan, mencaci maki atau menghina orang lain. Sifat-sifat inilah yang merusak moral sehingga
riwayatannya sukar untuk diterima.

Muru’ah termasuk wujud nilai yang berkembang dalam masyarakat. Jika seseorang tidak
bisa memelihara muru’ahnya mengakibatkan tidak akan dihargai oleh masyarakat. Orang yang
tidak dihargai oleh masyarakat kecenderunagnnya melakukan berbagai tindakan kompensasi
yang menjadikan ia memperoleh perhatian masyarakat. Bisa jadi, salah satu bentuknya dengan
melakukan penyampaian berita kebohongan.

Apabila faktor-faktor diatas sudah terpenuhi, maka pada diri seseorang sudah dianggap
adil dan jujur. Karena ia akan senantiasa terpanggil untuk melakukan kejujuran dan menghindari
dusta. Sebaliknya, jika seorang periwayat tidak memenuhi kriteria di atas maka tidak dapat
dikategorikan sebagai orang yang adil. Atau dengan kata lain ia memiliki sifat perusak keadilan.
Beberapa faktor yang dapat merusak keadilan adalah sebagai berikut.20

a. Dusta

Dusta disini berarti orang yang telah meriwayatkan hadis pernah meriwaytkan hadis
dengan dusta atau membuat hadis maudhu‟/palsu. Meskipun hal tersebut dilakukan hanya sekali
saja, maka tidak akan diterima hadisnya, meskipun ia bertaubat. Akan tetapi jika orang tersebut
berdusta dalam menjadi saksi palsu, lalu ia bertaubat maka diterima riwayatannya

b. Tertuduh Dusta

Yang dimaksud tertuduh berdusta ialah, bahwasannya perawi tersebut telah terkenal
berdusta dalam pembicaraan, namun yang berhubungan dengan periwayatan hadis belum
terbukti berdusta. Biasanya hadis yang diriwayatkan oleh orang ini disebut sebagai hadis Matruk.
Apabila bertaubat maka hadisnya diterima. Namun juga terdapat perbedaan pendapat dikalangan
jumhur ulama, bahwasannya orang yang telah diketahui tertuduh berdusta walaupun sekali saja
ditolak hadisnya. Namun, ada sebagian ulama yang membolehkan menerima hadis dari orang
yang hanya satu kali berdusta kemudian bertaubat.

c. Fasik

Fasik disini adalah dalam hal amal, bukan dalam hal I’tiqad. Jika fasik dalam hal I’tiqad
maka termasuk bid’ah.

d. Jahalah atau tidak terkenal

20
Mahmu>d al-T{ah}h}a>n, Taisi>r Mus}t}alah} al-H{adi>s\ (Iskandariyah: Markaz al-Huda li al-
Dira>sa>t, 1415 H.), h. 69.
Alasan orang jahalah atau tidak dikenal namanya dijadikan sebagai argumen gugurnya
keadilan karena orang jahalah nama dan pribadinya tidak diketahui, sehingga keadannya pun
tidak diketahui, jika keadannya tidak diketahui maka dipercaya atau tidaknya akan sulit untuk
diketahui.

e. Bid’ah

Yang dimaksud di sini ialah memiliki akidah yang menyalahi agama (al-Qur’an dan
Sunnah) dengan tidak disengaja, lantaran salah pengertian. Jika bid’ah ini disengaja maka
dinamakan kufur.

C. Ked}abit}an Periwayat

Adapun yang dimaksud dengan d}abit adalah kekuatan daya hafal yang dimiliki oleh
periwayat untuk memahami dan memelihara hadis-hadis yang diterimanya dengan baik serta
menyampaikan kepada orang lain sama persis dengan apa yang dihafalnya. Pengertian ini
yang disebut dengan d}abit} al-s}adar. Di samping itu ada d}abit} al-kitab yaitu kemampuan
periwayat untuk memahami catatan hadis yang ada padanya serta memelihara dengan baik
dari kemungkinan terjadinya kesalahan atau kekeliruan.
Sedangkan cara ini dapat ditempuh untuk menetapkan kedabitan seorang perawi yaitu:
1. Berdasarkan kesaksian atau pengakuan ulama sezaman dengan periwayat. Dalam hal ini,
periwayat yang kedhabitannyasudah dapat pengakuan tidak perlu untuk dikaji labih
lanjut.
2. Berdasarkan kesesuaian riwayat-riwayat yang disampaikannya dengan periwayat lain
yang telah dikenal kedabitannya dengan jalan membandingkannya. Tingkat
kesesuaian ini mungkin hanya sampai ke tingkat makna atau mungkin tingkat harfiah.
3. Apabila seorang periwayat sekali-kali mengalami kekeliruan, maka dia masih
dinyatakan sebagai periwayat yang dabit. Namun jika kesalahan sering terjadi, maka
periwayatan yang bersangkutan tidak lagi disebut periwayat yang dabit.21

Dalam hal ini, yang menjadi penetapan kedabitan periwayat secara implisit ialah
daya hapal bukan tingkat kepahaman terhadap periwayatan hadis tersebut. Namun

21
Muhammad ‘Ajjaj al-Khatib, Us}ul al-Hadi>s\ Ulu>muhu wa Mus}t}alahuhu (Bairut: Dar al-Fikr,
1976), h.
kepahaman tetaplah penting dalam periwayatan hadis, khususnya ketika ada perbedaan antara
perawi yang dabit. Dengan keadaan demikian, maka periwayat yang hapal dan paham dianggap
lebih kuat dari pada periwayat yang sekedar hafal saja dikarenakan tingkat pemahaman
periwayat yang tentu semua tidak mungkin sama. Dengan demikian, maka tingkat
kedabitannya pun dibedakan oleh ulama' dengan dua istilah; pertama, d}abit}. Istilah ini
diperuntukkan bagi periwayat yang menerima hadis dengan sempurna dan mampu
menyampaikan dengan baik hadis yang dihafalnya kepada orang lain. Kedua, tam al d}abit},
diperuntukkan bagi periwayat yang disamping memiliki kriteria pada poin satu dan dua, juga
memahami dengan baik hadis-hadis yang dihapalnya.22
M. Syuhudi Ismail menetapkan kaidah minor terkait dengan ked}abit}an periwayat,
yaitu; Hapal dengan baik hadis yang diriwayatkannya, Mampu menyampaikan dengan baik
riwayat hadis yang dihapalnya kepada orang lain, terhindar dari syuz\u>z\, dan terhindar dari
illat.23 Adapun hal-hal yang dapat menghapus ked}abit}an adalah sebagai berikut.

1. Fah}sy al-galat} atau banyaknya kekeliruan


2. Su>’ al-h}ifz} atau hapalan/ingatan yang buruk
3. Al-gaflah atau lalai
4. Kas\rah al-auha>m atau banyaknya keraguan
5. Mukha>lafah li al-s\iqa>t atau betentangan dengan perawi atau riwayat yang lebih kuat

Ke-‘adalah-an dan ke-dabit-an periwayat yang terlibat dalam periwayatanya maka


diharuskan meneliti periwayat hadis tersebut. Aspek ke-‘adalah-an dan ke-dhabit-an periwayat
dapat diketahui dengan menerapkan ilmu jarh dan ta‘dil. Ilmu jarh dan ta‘dil adalah ilmu yang
membahas tentang hal ihwal periwayat dari segi diterima atau ditolak riwayatnya.

Secara global, kriteria-kriteria yang telah ditetapkan oleh ulama hadis ada yang
berkenaan dengan kualitas pribadi periwayat dan ada pula yang berkenaan dengan kapasitas
intelektualnya.24Adanya perbedaan sikap ulama kritik dalam memberikan penilaian terhadap
periwayat menjadikan perhatian tidak hanya tertuju kepada periwayat hadis, tetapi juga
kritikusnya, Apalagi, jika terjadi perbedaan penilaian terhadap seorang periwayat hadis. Ini

22
Al-Naisaburi, Ma’rifah ‘Ulum al-Ḥadis (Kairo: Maktabah, 1426 H.) h.
23
M. Syuhudi Ismail, Kaedah Kesahihan Sanad Hadis (Jakarta: Bulang Bintang), h. 132-133
24
Nur al-Din ‘Itr, Manhaj Al-Naqd Fi ‘Ulum Al-Hadis (Suriah: Dar al-Fikr Dimsyaq, 1997), 93.
dimaksudkan agar penilaian terhadap periwayat hadis dapat lebih obyektif. Penilaian yang
dikemukakan oleh ulama kritik hadis terhadap periwayat diungkapkan dalam bentuk kata-kata
atau kalimat-kalimat tertentu. Kata-kata atau kalimat-kalimat itulah yang menjelaskan kualitas
yang dipakai untuk menyifati mereka, juga bermacam-macam dan bertingkat-tingkat.

D. Aplikasi kritik sanad hadis

Sanad hadis yang menjadi materi penerapan kaidah ketersambungan sanad, keadilan dan
kedabitan perawi adalah hadis tentang pahala puasa enam (6) hari di bulan syawal, berupa
diberikan ganjaran yaitu dibersihkan dari dosa seolah-olah ia baru dilahirkan oleh ibunya.

Satu-satunya jalur periwayatan yang ditemukan untuk hadis ini adalah riwayat yang
ditulis oleh al-T{abra>ni> dalam kitab al-Mu‘jam al-Ausat}. Adapun hadisnya adalah sebagai
berikut.

، ‫ َثَن ا َأُبو َعْب ِد الَّل ِه اِحْلْم ِص ُّي‬، ‫ نا َمْس َلَم ُة ْبُن ُعَلٍّي‬، ‫ َثَنا ِعْم َر اُن ْبُن َه اُر وَن‬، ‫َح َّد َثَنا َمْس ُعوُد ْبُن َحُمَّم ٍد الَّر ْم ِلُّي‬
‫ِس ِم‬ ‫ِه‬ ‫ِه‬ ‫ِف‬
‫ َمْن َص اَم َرَم َض اَن َو َأْتَبَعُه ًّتا ْن‬: ‫ َق اَل َرُس وُل الَّل َص َّلى اُهلل َعَلْي َو َس َّلَم‬: ‫ َعِن اْبِن ُعَم َر َق اَل‬، ‫َعْن َنا ٍع‬
25
.‫َش َّو اٍل َخ َر َج ِم ْن ُذُنوِبِه َك َيْو ِم َو َلَد ْتُه ُأُّم ُه‬

Maka, selanjutnya dilakukan penelitian terhadap jalur periwayatan terhadap hadis tersebut,
begitupula terhadap kualitas para periwayatnya untuk diketahui keadilan dan kedabitannya.

1. Al-T{abra>ni
Al-T{abra>ni> bernama lengkap Abu>> al-Qa>sim Sulaima>n bin Ah{mad bin Ayyu>b
al-T{abra>ni>. Dia lahir pada tahun 260 H di T{ibri>yah Syam. Dia termasuk penghafal hadis
pada masanya. Dia menuntut ilmu ke beberapa wilayah, seperti Sya>m, ‘Ira>q, Hijaz, Yaman,
Mesir dan Jazirah Fura>t selama 33 tahun. Dia banyak menyusun kitab, seperti tiga Mu‘jam
yaitu al-Kabi>r, al-Ausat} dan al-S}agi>r. Dia wafat pada hari Sabtu 2 ZulQa’iddah 360 H.
dalam usia sekitar 100 tahun.26
25
Sulaiman bin Ah}mad al-T{abra>ni>, al-Mu‘jam al-Ausat}, juz VIII (Kairo: Dar al-Haramain, t. th.), h. 275.
26
Abu>> al-‘Abba>s Syams al-Di>n Ah}mad ibn Muh{ammad ibn Abi> Bakar ibn Khalka>n, Wafaya>t
al-A‘ya>n wa Abna>’ Abna>’ al-Zama>n, Juz II (Beirut: Da>r S}a>dir, 1900 M.), h. 407. Selanjutnya disebut Ibn
2. Mas'u>d bin Muh}ammad al-Ramli>
Penulis tidak menemukan banyak data terkait Mas'u>d bin Muh}ammad al-Ramli>.
Hanya al-Z|ahabi> yang mengatakan bahwa al-T{abra>ni> meriwayatkan hadis dari Mas'u>d bin
Muh}ammad al-Ramli> yang diriwayatkan dari ‘Imra>n bin Ha>ru>n. Dengan demikian,
penulis tidak dapat memunculkan komentar ulama terhadap Mas'u>d bin Muh}ammad al-Ramli.
27

3. ‘Imra>n bin Ha>ru>n


‘Imra>n bin Ha>ru>n al-Ramli> memiliki kuniyah yaitu Abu> Mu>sa>. Abu> Mu>sa
dikenal sebagai sufi. Ia wafat tahun 221 H. Abu> Zar‘ah menilainya s}adu>q, sementara Ibnu
Yu>nus menilainya layyin al-h}adi>s\.28 Ia meriwayatkan hadis dari banyak orang seperti Ibnu
Lahi>‘ah, ‘At}t}a>f bin Kha>lid, Abu Kha>lid al-Ah}mar dan lain-lain. Hanya saja, penulis
tidak menemukan nama Maslamah dalam daftar tersebut.

4. Maslamah bin ‘Ali>


Maslamah bin ‘Ali> al-Khasyani> tinggal di salah satu desa di Damaskus. Ia wafat di
Mesir sekitar tahun 189 H. Ia banyak menerima dan menyampaikan hadis hanya saja penulis
tidak menemukan nama Abu> ‘Abdillah al-H{ams}i> dalam daftar gurunya dan nama ‘Imra>n
bin Ha>ru>n al-Ramli dalam daftar muridnya sehingga dapat dinilai bahwa terjadi inqita>‘ antar
periwayat. Ia dinilai munkar al-h}adi>s oleh al-Bukha>ri> dan Abu> Zar‘ah. Al-Nasa>i>
menilainya matru>k. Ibnu ‘adi> mengatakan bahwa kebanyakan hadisnya tidak terjaga. Ibnu
H{ibba>n mengatakan bahwa ia mengganti sanad dengan orang-orang yang s\iqah.29 Dengan
demikian kualitas Maslamah dinilai d}a‘i>f.

5. Abu> ‘Abdillah al-H{ams}i>


Abu> ‘Abdillah al-H{ams}i> bernama ‘Abdullah bin H{arb. Ia wafat pada tahun 192 H.
Ia meriwayatkan hadis dari Ma>lik bin Anas dan al-Zubaidi>. Penulis tidak menemukan data
terkait aktifitas periwayatan antara Na>fi‘ dan al-H{ams}i> begitupun dengan Maslamah. Justru

Khalka>n. Khair al-Di>n al-Zarkali>, al-A‘la>m Qa>mu>s Tara>jum li Asyhur al-Rija>l wa al-Nisa>’ wa al-
Musta‘rabi>n wa al-Mustasyriqi>n, Juz III (Beirut: Da>r al-‘Ilm, 1980), h. 121. Al-Z|ahabi>, Mi>za>n al-I‘tida>l,
Juz II, h. 195.
27
Al-Z|ahabi>, Ta>ri>kh al-Isla>m wa wafaya>t al-Masya>hi>r wa al-A‘la>m, juz V (tt. Da>r al-Garab
al-Isla>mi>, 2003), h. 649.
28
Al-Z|ahabi>, Ta>ri>kh al-Isla>m wa wafaya>t al-Masya>hi>r wa al-A‘la>m, juz V, h. 649.
29
Al-Z|ahabi>, Mi>za>n al-I‘tida>l, Juz IV, h. 109. Al-Asqala>ni>, Tahz\i>b, juz X, h. 132.
penulis menemukan periwayatan antara Maslamah dan al-Zubaidi>. Yah}ya> bin Ma‘i>n dan
Muhammad bin ‘Auf al-T{a>i> menilainya s\iqah. Abu> H{a>tim menilai s}a>lih} al-
h}adi>s\.30

6. Na>fi‘
Na>fi‘ adalah bekas budak ‘Ibnu ‘Umar. Nama lengkapnya adalah Na>fi‘ bin Harmaz. Ia
adalah seorang tabiin yang mulia. Na>fi‘ wafat di Madinah pada tahun 117 H. Ia mendengar
hadis dari beberapa sahabat semisal tuannya (Ibnu ‘Umar), Abu> Hurairah, Abu> Sa‘i>d al-
Khudri>, Abu> Luba>bah, Ra>fi‘ bin Khudaij, Rabi>‘ binti Mu‘awwaz\ dan ‘A<isyah. Para
ulama sepakat bahwa Na>fi‘ adalah orang yang s\iqah. 31

7. Ibnu ‘Umar
‘Abdullah bin ‘Umar bin al-Khat}t}a>b adalah seorang sahabat. Ia memeluk agama Islam
sebelum balig, bersama ayahnya. Ia menghadiri banyak peperangan besar. Ia pertama kali ikut
perang yaitu pada perang Khandaq. Ia selalu bersama-sama dengan Nabi. Ibnu ‘umar pun
meriwayatkan hadis sekitar 1630 hadis. Al-Zuhri> mengatakan bahwa Ibnu ‘Umar adalah
sahabat yang sulit ditandingi kecerdasannya. Ia wafat 60 tahun setelah wafatnya Nabi atau
sekitar tahun 70 H.32

Setelah melihat keterangan di atas, maka penulis berkesimpulan bahwa sanad dari hadis tersebut
dinilai lemah (d}a‘i>f) disebabkan keberadaan Maslamah bin ‘Ali> yang dinilai matru>k bahkan
munkar al-h}adi>s.

Kesimpulan

Hadis adalah sumber ajaran Islam yang kedua setelah al-Qur’an, namun dari segi kualitas
tidak semua hadis itu autentik. Kaidah kesahihan hadis menjadi tolok ukur untuk
mengetahui kualitas hadis-hadis yang belum pasti (zanni al-wurud) tersebut. Langkah-
langkah yang dilakukan dalam mengukur kualitasnya ialah dengan melakukan kritik
terhadap sanadnya untuk memastikan ketersambungan sanadnya, keadilan para periwayat dan

30
Al-Z|ahabi>, Siyar, juz IX, h. 57.
31
Muh}y al-Di>n bin Syarf al-Nawawi>, Tahz\i>b al-Asma>’, juz II h. 158.
32
al-Nawawi>, Tahz\i>b al-Asma>’, juz IV, h. 384.
kedabitannya. Kesahihan sanad adalah syarat utama karena sanad adalah sumber informasi dari
periwayatan sebuah hadis. Ketiga syarat tersebut harus terpenuhi sebagai syarat hadis dapat
diterima untuk dijadikan hujah.s

Daftar Pustaka

Ahmad, Arifuddin Paradigma Baru Memahami Hadis Nabi. Jakarta: Tenaisan, 2005.

al-Khat}i>b, Muhammad ‘Ajja>j. Usu>l al-H{adi>s\ Ulu>muhu wa Mus}t}alah}uhu. Beirut:


Da>r al-Fikr, 1971.

al-Sayu>t}i>, Jala>luddi>n Abdurrah}ma>n bin Abu> Bakr. Tadri>b al-Ra>wi> fī Syarh}


Taqri>b al-Nawa>wi, (Riyad}: Da>r al-T{ibah, 1425.

al-T{ah}h}a>n, Mah}mu>d. Taisii>r Mus}t}alah} Al-H}adi>s\. Beirut: Da>r Al-Fikr, t. th.

Andi Rahman, Pengenalan atas Takhrij al-Hadis, Riwayah: Jurnal Studi Hadis, 2016.

Anshori, Muhammad. Kajian Ketersambungan Sanad (Ittis}al al-Sanad), Jurnal Living Hadis,
Oktober 2016.

Ibnu ‘Abdullah, Ibrahi>m. al-Ittis}a>l wa al-Inqit}a>‘. Riyad}: Maktabah al-Rusyd, 2005.

Ibnu Fa>ris, Aḥmad. Maqa>yis al-Lugah (Kairo: Da>r al-H{adi>s\, 2008.

Ibnu S{alah}, ‘Ulum al-H{adi>s\. Madinah: Maktabah al-‘Ilmiyah, 1972.

Ibnu Taimiyah, Abu> al’Abba>s Taqiyuddi>n Ah}mad bin ‘abd al-H{ali>m ‘Im al-H{adi<s\.
Beirut: Da>r al-Kutub al-Ilmiyah, 1989.

Ismail, M. Syuhudi Metodologi Penelitian Hadis Nabi. Jakarta: Bulan Bintang, 1992.

______. Hadits Nabi Menurut Pembela, Pengingkar dan Pemalsunya. Jakarta: Gema Insani,
1995.

______. Kaedah Kesahihan Sanad Hadis. Jakarta: Bulang Bintang.


Munawir, Ahmad Warson. Al-Munawir: Kamus Arab-Indonesia (Jakarta: Pustaka Progresif,
1984), 905.

al-T{ah}h}a>n, Mahmu>d. Taisi>r Mus}t}alah} al-H{adi>s\. Iskandariyah: Markaz al-Huda li


al-Dira>sa>t, 1415 H.

Zuhri, Ahmad. “Kedudukan Dan Keadilan Sahabat”, Wahana Inovasi, Volume 11 No.1 Jan-Juni
2022.

al-Khatib, Muhammad ‘Ajjaj. Us}ul al-Hadi>s\ Ulu>muhu wa Mus}t}alahuhu. Bairut: Dar al-
Fikr, 1976.

Al-Naisaburi, Ma’rifah ‘Ulum al-Ḥadis. Kairo: Maktabah, 1426

Ibnu Shalah,Taqi al-Din. Muqaddimah Ibnu Shalah. Beirut: Dar al-Fikr, 1986.

Muhammad ’Ajjaj Al-Khathib, Ushul Al-Hadis: Ulumuh Wa Mushthaluh. Beirut: Dar al-Fikr,
1989.

Al-Qasimi, Qawa‘id Al-Tahdis. Beirut: Dar al-Kutub al-‘ilmiyah, n.d.

Al-Khathib, Ushul Al-Hadis: Ulumuh Wa Mushthaluh,

Anda mungkin juga menyukai