Anda di halaman 1dari 17

Farabi

ISSN 1907- 0993 E ISSN 2442-8264


Volume 13 Nomor 1 Juni 2016
Halaman 170 - 186
http://journal.iaingorontalo.ac.id/index.php/fa

Konstruksi Ilmu Ma’a>ni> al-H{adi>s\ Kaum Kontekstualis

Oleh: Ahmad Muttaqin


PP. Al-Junaidiyah, Bone

Abstract

Understanding the hadith is the most important step after


examing its authenticity. The aim of this paper is to explain the
development history of ma’ani> al-h}adi>s\ and to analyze the
comtemporary methods from five thinkers namely: Fazlur
Rahman, Yusuf Qardhawi, Muhammad al-Ghazali, Syuhudi Ismail
and Khaled M. Abou El Fadl. This concludes that the prosess of
understanding hadis (ma’ani> al-h}adi>s)\ has been developed by
many Islamic scholars from classical era to contemporary era.
Analyzing the ways of ma’a>ni al-h}adi>so\ f five thinkers above, are
able to be classified into three steps; analyzing the text, historical
context (micro and macro-asba>b al-wuru>d), and applying in
reader’s context.

Memahami hadis menjadi tahapan yang sangat penting setelah


menguji otentisitasnya. Tujuan tulisan ini adalah menjelaskan
sejarah perkembangan ma’ani> al-h}adi>s\ dan untuk menganalisis
metode-metode kontemporer dari lima pemikir; yaitu Fazlur
Rahman, Yusuf Qardhawi, Muhammad al-Ghazali; Syuhudi
Ismail; dan Khaled M Abou El Fadl. Dapat disimpulkan bahwa
proses pemahaman hadis (ma’ani> al-h}adi>s)\ telah dikembangkan
oleh banyak pemikir muslim sejak era klasik hingga era
kontemporer. Analisis terhadap cara-cara pemahaman terhadap
hadis oleh kelima pemikir ternama di atas, dapat diklasifikasikan
ke dalam tiga tahap; analisis teks, konteks historis (asbab al-nuzul
mikro dan makro), dan aplikasinya dalam konteks sang pembaca.

Keywords:
Ma’a>ni> al-h}adi>s;\ contextualist; objectivist-subjectivist; Hadith Study

170
Ahmad Muttaqin

Pendahuluan
Ma’a>ni al-h}adi>s\ merupakan proses lanjutan setelah langkah penelitian
otentisitas hadis. Ke-s}ah}i>h}-an hadis baik dari segi sanad dan matan, belum
berarti hadis tersebut dapat langsung diaplikasikan sebagai “doktrin”
beramal. Perlu penelitian lebih lanjut tentang bagaimana mengungkap
maksud sebenarnya dari yang diinginkan oleh Nabi sebagai pemilik
kalam.
Tulisan ini akan berangkat dari beberapa permasalahan akademik.
Pertama, bagaimana ma’a>nial-h}adi>s\ dalam tinjauan ontologis. Kedua,
bagaimana tawaran metodologi terbaru hasil perasan dari beberapa teori
kontekstualis dalam memahami hadis.
Untuk mempermudah memahami keberagaman pemikiran para tokoh
kontemporer, kerangka teoritik yang digunakan adalah pembagian dalam
aliran subjektivis dan objektivis.1 Pembagian ini diambil dari aliran
pemikiran hermeneutik. Dengan begitu karakteristik dari setiap pemikir
dalam memahami teks hadis dapat dipetakan dengan tepat.

Tinjauan OntologisMa’a>n al-H}adi>s\


Mengkaji sebuah hadis selalu bersinggungan dengan istilah
naqd.2Istilahini digunakan tidak hanya mengkaji bagian sanad tetapi juga
matan. Kajian sanad disebut dengan naqd al-sanad (kritik eksternal) dan
kajian terhadap matan disebut naqd al-matan (kritik internal). Pada
awalnya istilah naqd lebih difungsikan untuk menverifikasi otentisitas
hadis pada rentetan perawinya kemudian pada teks (matan) hadisnya.

1
Sebenarnya ada banyak aliran dalam hermeneutika. Sahiron sendiri
membatasi dalam tiga aliran; subjektifis, objektifis dan objektivis-cum-sujektivis.
Namun, pada tulisan ini hanya memetakan pemikiran para tokoh kontekstualis dalam
dua aliran; subjektivis dan objektivis. Sebenarnya, pemikiran tokoh-tokoh ini tidak
dapat ditempat dalam salah satu aliran begitu saja, tetapi karena memiliki
kecenderungan yang lebih pada salah satu aliran maka setiap tokoh yang dikaji akan
ditempat dalam aliran objektivis atau subjektivis. Untuk pembagian aliran ini bisa di
lihat dalam Sahiron Syamsuddin, Hermeneutika dan Pengembangan Ulumul Qur’an
(Yogyakarta: Pesantren Nawesea Press, 2009), h. 26.
2
Istilah al-naqd atau al-tanqa>d pada awalnya digunakan dalam tradisi Arab
untuk kegiatan tamyi>z al-dara>him wa ikhra>j al-zaif (memilih-milih uang dirham dan
mengeluarkan yang palsu). Sehingga istilah ini kemudian digunakan dengan makna
“meneliti dengan seksama”. Lihat Ibn al-Manz}u>r, Lisa>n al-‘Arabi ( Kairo: Da>r al-
Ma’a>rif,t.t), h. 4517.

http://journal.iaingorontalo.ac.id/index.php/fa
171
Konstruksi Ilmu Ma’a>ni> al-H{adi>s\ Kaum Kontekstualis

Namun pada perkembangannya naqd al-matan tidak berhenti pada


permasalahan otentisitas isi matan, apakah benar orisinil dari Nabi atau
tidak, tetapi juga mengkaji pemaknaan terhadap isi matan.
Di dalam beberapa literatur istilah yang dipakai untuk merujuk kepada
ma’a>ni al-h}adi>s\ adalah fiqh al-h}adi>s.\ 3Kata fiqh berarti al-‘ilm bil-syai’i
wal-fahmu lahu>(mengetahui dan memahami sesuatu).4 Adapun kata al-
ma’a>ni>sebagai bentuk plural dari al-ma’na>, menurut Ibn Manz\u>r, sama
artinya dengan kata al-tafsi>r dan al-ta’wi>l.5Artinyafiqh dan
ma’a>ni>memiliki arti yang sama yaitu memahami, mengerti dan
mengetahui.Dominasi penggunaan frase fiqh al-h}adi>s\ dalam beberapa
literatur ketimbang frase ma’a>ni al-h}adi>s\ bisa jadi karena pengaruh dan
peran para ahli fiqih (al-fuqaha>’u). Sebab, sebagaimana ungkapan
Muh}ammad Khalfa Sala>mah, seorang fuqaha hanya akan menjadi ahli
fiqih jika dia jugaseorang ahli hadis (muh}addis\).6 Istilah fiqh al-h}adi>s\ ini
juga sesuai dengan istilah dalam fiqih fiqh al-ra’y, fiqh al-maz\hab ataupun
al-fiqh al-muqa>ran.7 Ulama fiqih yang juga mengetahui seluk beluk
keilmuan hadis tentu akan cenderung menggunakan istilah fiqh al-h}adi>s.\
Sebenarnya ada kecenderungan membedakan istilah yang digunakan
antara mengkaji orisinalitas-otentisitas hadis dan mengkaji pemahaman
terhadap hadis. Untuk pertama menggunakan istilah naqd, sedang yang
kedua menggunakan istilah fiqh. Terma naqd difungsikan hanya meneliti
kesahihan baik sanad maupun matan, bukan mengkaji pemahaman hadis.
Sebab pemahaman atas hadis menggunakan istilah fiqh al-h}adi>s\.
Pandangan seperti ini bisa dilihat dalam tulisan Said Agil H. Al
Munawwar yang menyatakan bahwa ulama membedakan antara naqd al-
h}adi>s\ dan fiqh al-h}adi>s.\ Naqd al-h}adi>s\ adalah kegiatan yang akan
menghasilkan kesimpulan pada otentik tidaknya hadis yang diteliti.

3
Istilah ini dipakai dalam kitab qawa>’id al-tah}di>s\ min funu>n mus}tah}i al-h}adi>s\
dalam bab ke sepuluh fi> fiqh al-h}adi>s\. Lihat Jama>luddi>n al-Qa>sim al-Damasyqi>, Qawa>’id
al-Tah}di>s\ min Funu>n Mus}talah}i al-H{adi>s\. DVD ROM al-Maktabah al-Sya>milah, atau
dalam bab ma’rifatu fiqh al-h}adi>s\ lihat Abu> ‘Abdilla>h Muh}ammad bin ‘Abdillah al-
H{a>kim al-Naisabu>ri>, Ma’rifatuh ‘Ulu>m al-H{adi>s\. DVD Rom al-Maktabah al-Sya>milah.
4
Ibn al-Manz}u>r, Lisa>n al-‘Arabi, h. 3450.
5
Ibid., h. 3147.
6
Muh}ammad Khalfa Sala>m, Lisa>n al-Muh}addis\i>n dalam DVD ROM al-
Maktabah al-Syamilah, juz 4, h. 125.
7
Ibid.

Jurnal Farabi Volume 13 Nomor 1 Juni 2016 ISSN 1907-0993 E ISSN 2442-8264
172
Ahmad Muttaqin

Adapun fiqh al-h}adi>s\ merupakan upaya mengungkapkan makna matan


hadis, tanpa mengubah kualitas hadis yang diteliti.8
Agaknya pemisahan secara paralel antara naqd dan fiqh akan
menimbulkan kerancuan selanjutnya. Jika fiqh al-h}adi>s\ dikeluarkan dari
cakupan naqd (kritik matan) maka akan muncul sub ordinat baru dari
kajian hadis menjadi tiga bagian, yaitu kritik sanad (naqd al-sanad), kritik
matan (naqd al-matan) dan pemahaman (fiqh). Padahal untuk kajian hadis
cukup representatif jika hanya dibagi dalam kritik sanad dan matan. Nah,
kritik matan inilah yang bisa dipecah menjadi dua; otentisitas dan
pemaknaan/ pemahaman. Di samping itu, menggabungkan tahapan
pemahaman hadis ke dalam naqd al-matan akan menjauhkan dari
anggapan jika hadis cukup otentisitas sanad dan matan, tetapi perlu juga
tahap pemahaman matan. Maka jika demikian, fiqh al-h}adi>s\ atau ma’a>n
al-h}adi>s\ harus terintegrasi dalam kajian kritik matan.
Selain istilah fiqh, ada juga istilah “syarh}”. Secara etimologi ”syarh}”
berarti al-h}ifz} (menjaga), al-fath} (membuka), al-baya>n (menjelaskan), al-
fahm (memahami).9 Istilah ini juga populer digunakan dalam dunia
hadisuntuk kegiatan memberikan komentar terhadap hadis-hadis.
Sehingga dalam perjalanan sejarahnya muncul banyak kitab syuru>h} al-
hadi>s\ yaitu kitab-kitab yang menguraikan dan menjelaskan hadis-hadis
yang terhimpun dalam kitab-kitab hadis sebelumnya. Istilah syarah
kemudian menjadi ilmu tersendiri yang disebut ‘ilm syarh} al-h{adi>s\ yaitu
pengetahuan tentang persoalan-persoalan yang berkaitan dengan
penjelasan makna-makna dan pemahaman atas segala yang disandarkan
kepada Nabi Muhammad Saw. Jadi maksud ilmu ini jelas untuk
menjelaskan hadis-hadis yang datang dari Nabi. Muhammad bin Umar
menambahkan bahwa ilmu ini memiliki beberapa sinonimitas yang
disebut juga ‘ilm fiqh al-h}adi>s\, ‘ilm syarh} al-h}adi>s\, ‘ilm ma’a>ni> al-h}adi>s,\
dan ‘ilm us}u>l tafsi>r al-h}adi>s.\ 10
Walaupun istilah syarh} dan fiqh memiliki persamaan, bukan berarti sama
secara mutlak. Argumen ini bisa diperkuat dengan ungkapan Muhammad

8
Said Agil Husin Al Munawwar, Studi Hadis dengan Berbagai Perspektif.
Paper di presentasikan dalam Konfrensi Internasional di UIN Sunan Kalijaga, tanggal 6
April 2015, h. 4.
9
Ibn al-Manz}u>r, Lisa>n al-‘Arabi, h. 2228.
10
Muh}ammad ibn ‘Umar ibn Sa>lim Bazmu>l, ‘Ilm Syarh al-H{adi>s\ wa Rawa>fid
al-Bah}su\ fi>h (t.k: t.p, t.t), h.7.

http://journal.iaingorontalo.ac.id/index.php/fa
173
Konstruksi Ilmu Ma’a>ni> al-H{adi>s\ Kaum Kontekstualis

bin ‘Umar bahwa syarh} al-h}adi>s\ memiliki tiga lahan kajian. Pertama,
terkait dengansanad meliputi penjelasan kualitas hadis, takhri>j, rawi dan
sebagainya. Kedua, berkaitan dengan penjelasan makna kata-kata matan
(kebahasaan dan ghari>b). Ketiga, menjelaskan maksud hadis yaitu fiqh al-
h}adi>s\ dan disinilah para ulama memiliki kriteria dan pemahaman yang
berbeda.11 Jika demikian maka, syarh} al-h}adi>s\ cakupannya lebih luas
yaitu meliputi komentar terhadap sanad dan matan, sedang fiqh al-h}adi>s\
hanya pada pemahaman matan.

Ma’a>n al-H\|adi>s\ dalam Lintasan Sejarah


Secara teoritis, ma’a>ni al-h}adi>s belum muncul pada masa Nabi. Namun
embrio proses pemaknaan telah ada pada masa tersebut sebab Nabi
merupakan sandaran para sahabat dalam persoalan Islam dan dimensi
sosial kemasyarakatan.12 Pada masa Nabi para Sahabat melakukan naqd
(penelitian) pada aspek otentisitas. Mereka tidak mengalami kesulitan
pemahaman ketika menerima hadis sebab ungkapan Nabi sangat tepat,
kontekstual dan sahabat mengetahui persis maksud yang diutarakan Nabi.
Pada masa ini yang menjadi permasalahan adalah bagaimana para sahabat
mengonfirmasi (baca: meneliti) sebuah hadis yang diterima dari sahabat
lain apakah benar-benar dari Nabi, bukan pada kandungan makna teks.
Proses ini masih berlanjut sampai pada masa tabi’in.
Pada perkembangannya muncul dua aliran dalam memahami hadis, yaitu
ahl al-h}adi>s\ (tekstualis) dan ahl al-ra’y (kontekstualis). Kelompok ahl al-
h}adi>s memahami hadis Nabi secara makna literal. Sedangkan ahl al-ra’y
menggunakan penalaran untuk melihat faktor-faktor di balik teks.
Golongan ahl al-h}adi>s\ disebut juga dengan ahl al-hasyw karena keenganan
mereka menggunakan akal. Kelompok ini telah ada pada masa Sahabat.
Perseteruan kedua kelompok ini menjadi sebuah fenomena pertentangan
antara naql dan ‘aql. Bahkan tak jarang keduanya saling menjatuhkan.13
Agaknya ulama hadis pada masa awal telah menyadari bahwa tidak cukup
mengetahui otentik tidaknya sebuah hadis, tetapi juga perlu langkah-

11
Ibid h. 8.
12
M. Alfatih Suryadilaga, Metodologi Syarah Hadis (Yogyakarta: Suka-
Press, 2012), h. 5.
13
Suryadi, Metode Kontemporer Memahami Hadis Nabi: Perspektif
Muhammad al-Ghazali dan Yusuf al-Qaradhawi (Yogyakarta: Teras, 2008), h. 73-74.

Jurnal Farabi Volume 13 Nomor 1 Juni 2016 ISSN 1907-0993 E ISSN 2442-8264
174
Ahmad Muttaqin

langkah metodologis memahami kandungan matan. Terbukti munculnya


disiplin keilmuan ‘ilm asba>b al-wuru>d (sebab mikro munculnya hadis)
adalah bagian dari perjalanan sejarah pemahaman hadis. Ulama yang
mula-mula menyusun kitab tentang ‘ilm asba>b al-wuru>d adalah Abu>
Hafs}ah Umar bin Muhammad bin Raja’ al-Ukbary dan Ibra>hi>m bin
Muh}ammad (Ibn Hamzah al-H{usaini>) 1120 H, yang menyusun al-Baya>n
wa al-Ta’ri>f yang telah dicetak pada tahun 1329 H.14
Selain asba>b al-wuru>d ada juga disiplin ilmu gari>b al-h}adi>s\ yang
menerangkan makna kata-kata yang sukar dipahami.Sehingga para ahli
mengumpulkan kata-kata dalam matan hadis yang sulit dipahami dan
kurang dipakai dalam sehari-hari. Secara historis, yang mula-mula
melakukan usaha ini adalah Abu> ‘Ubaidah Ma’mar ibn al-Mus\anna> (210
H.) kemudian dikembangkan oleh Abu> al-H{asan al-Mazini> (204 H.)
sekitar penghujung abad ke-2 hijriah. Di awal abad ke-3 hijriah, Abu>
‘Ubaidah al-Qa>sim ibn Salla>m (224 H.) menyusun kitab terkenal dalam
‘ilm gari>b al-h}adi>s\ dalam waktu 40 tahun.15
Selanjutnya ada juga ‘ilm talfi>q al-h}adi>s\ tentang cara-cara
mengumpulkan hadis yang berlawanan z\ahirnya. Ilmu ini disebut juga
‘ilm mukhtalif al-h}adi>s.\ Di antara ulama yang telah menyusun kitab ini
adalah Imam Syafi’i (204 H.), Ibn Qutaibah (276 H.), al-Thahawy (321
H.) dan Ibnu al-Jauzy (597 H.).16 Secara metodologis para ulama
menggunakan beberapa metode dalam menghadapi hadis-hadis yang
mukhtalif. Namun mereka memiliki perbedaan mana metode yang harus
didahulukan. Beberapa metode tersebut di antaranya; al-jam’u
(mengkompromikan) dengan mencari interpretasi sehingga kedua hadis
tidak bertentangan, metode tarji>h} (pengunggulan) yakni memilih hadis
yang berkualitas lebih tinggi, metode naskh-mansu>kh (pembatalan) yaitu
memilih hadis yang datang belakangan sebab membatalkan hadis
sebelumnya, metode tawaqquf (mendiamkan) yaitu menangguhkan
sampai ditemukan keterangan terkait hadis yang lebih patut diamalkan.17

14
Muhammad Hasbi al-Shiddieqy, Sejarah dan Pengantar Ilmu Hadis (
Semarang: Pustaka Rizki Putra, 2009), h. 121.
15
Ibid., h. 120.
16
Ibid., h. 122.
17
Abdul Mustaqim, Paradigma Integrasi-Interkoneksi dalam Memahami
Hadis Nabi ( Yogyakarta: Bidang Akademik UIN Sunan Kalijaga, 2008), h. 4.

http://journal.iaingorontalo.ac.id/index.php/fa
175
Konstruksi Ilmu Ma’a>ni> al-H{adi>s\ Kaum Kontekstualis

Selain disiplin ilmu di atas, munculnya beberapa kitab syarah hadis juga
bagian dari proses memahami hadis. Ini merupakan perkembangan dari
ulama-ulama sebelumnya untuk menjaga kelestarian dari segi
pemahaman hadis. Usaha ini tidak terlepas dari usaha ulama sebelumnya
yang telah mengkondifikasi hadis dalam beberapa kitab. Beberapa kitab
yang mensyarah kitab hadis sebelumnya seperti kita>b Fath} al-Ba>ri karya
Ibn Hajar al-Asqala>ni>, al-Minhaj fi Syarh} S{ah}i>h} Musli>m bin al-Hajjaj
karya al-H{a>fiz} Abu> Zakariya> Muh}yiddi>n bin Syara>f al-Nawa>wi> al-Sya>fi’i>
atau yang dikenal dengan nama al-Nawa>wi> (w. 676 H/ 1244 M), Ma’a>lim
al-Suna>n karya al-Khattabi> (w. 388 H) syarah terhadap Suna>n Abi> Da>ud,
al-Mu’allim karya al-Munz}iri> (w. 536 H) syarah terhadap kita>b S{ah}i>h}
Musli>m, kita>bTanwi>r al-Hawa>lik karya al-Suyu>t}i> (w. 911 H) syarah dari
al-Muwat}t}a’ dan beberapa kitab lainnya.18

Meskipun kitab-kitab syarah telah banyak yang disusun oleh para ulama
terdahulu, tetapi mereka tidak menyebutkan langkah-langkah dengan
jelas.19 Untuk itu perlu kajian yang lebih serius dalam merumuskan
metodologi pemahaman hadis yang telah diterapkan dalam menyusun
karya kitab syarah. Sebagai contoh metode pemahaman hadis dari salah
satu tokoh syarah di atas adalah al-Suyu>t}i> dengan kitab syarahnya
“Tanwi>r al-Hawa>lik”. Walaupun tidak dijelaskan secara sistematis dan
eksplisit, Al-Suyu>t}i> telah menggunakan beberapa langkah dalam memberi
syarah (memahami) matan hadis yaitu; (1) merujuk pada ayat-ayat al-
Qur'an sebab hadis secara fungsional adalah penjelas al-Qur'an, (2)
menjelaskan dengan hadis-hadis yang setema, (3) menggunakan
pendekatan bahasa seperti menjelaskan kata yang sulit dipahami dan
penjelasan gramatika bahasa (nah}w), (4) menempuh jalan takwil, (5)
melakukan kontekstualisasi sosio-kultural pada saat hadis disabdakan, (6)
mempertimbangkan pandangan beberapa ulama dalam kasus hukum, (7)
mengungkapkan fungsi hadis yang dikaji.20
Selain disiplin ilmu-ilmu dan kitab syarah, jika ditelisik lebih dalam
proses periwayatan bil-ma’na> bisa jadi bagian dari upaya ma’a>ni> al-h}adi>s.\

18
Muh}ammad Yu>suf, “Kitab Syarah Hadis Tanwir Al-Hawa>lik Karya Jalal al-
Di>n al-Suyu>t}i>: Kajian terhadap Metode dan Karakteristik” dalam Jurnal Studi Ilmu-Ilmu
Al-Quran dan Hadis, Vol. 5, No. 2, Juni, 2004, h. 86.
19
Nizar Ali, Memahami Hadis Nabi: Metode dan Pendekatan (Yogyakarta:
CESad YPI Al-Rahmah, 2001), h. 27.
20
Yu>suf, “Kitab Syarah Hadis...”, h. 95-96.

Jurnal Farabi Volume 13 Nomor 1 Juni 2016 ISSN 1907-0993 E ISSN 2442-8264
176
Ahmad Muttaqin

Para sahabat atau perawi selanjutnya bukan tidak mungkin ada yang
meriwayatkan matan hadis secara maknawi agar maksud sebenarnya dari
matan tersebut bisa dipahami oleh murid-muridnya.
Pada era kontemporer perangkat pemahaman hadis mengalami
pergeseran. Jika semula hanya menggunakan disiplin ilmu-ilmu hadis,
maka dengan perkembangan pengetahuan, ilmu-ilmu sosial-humaniora
juga digunakan dalam membantu menjelaskan maksud kandungan matan
hadis. Seperti pendekatan historis,21 sosiologis,22 sosio-historis,23
antropologis24 dan psikologis.25
Penjelasan di atas menunjukkan bahwa usaha para ulama untuk
memahami hadis berkembang dari masa ke masa. Dampaknya, disiplin
ilmu-ilmu dalam rangka memahami hadis juga berkembang secara
dinamis ke arah yang lebih komplit. Semakin kompleksnya permasalahan

21
Pendekatan historis yaitu memahami hadis dengan mengkaji situasi dan
peristiwa yang terkait dengan kemunculan hadis. Contoh hadis tentang pezina muhzan
yang dirajam walaupun hukuman ini pernah diberlakukan oleh Nabi tetapi tidak berlaku
lagi setelah turunnya Q.S. al-Nu>r (24): 2” al-Za>niyatu wal-za<ni> fajlidu> kulla wa>h}idun
munhuma> mi’ata jaldah”. Lihat Nizar Ali, Memahami Hadis Nabi…, h. 70-85.
22
Pendekatan sosiologi yaitu memahami hadis dengan memperhatikan
kondisi sosial dan masyarakat pada waktu munculnya hadis. Contoh hadis tentang
persyaratan orang Quraish yang menjadi pemimpin. Hadis ini bukan perintah sebagai
ajaran agama tetapi posisi Nabi sebagai kepala Negara dengan tujuan untuk
menghilangkan perpecahan dengan bantuan solidaritas dan superioritas. Lihat Ibid.,h.
85-92.
23
Pendekatan sosio-historis yaitu pemahaman hadis dengan
mempertimbangkan sejarah sosial dan setting sosial pada saat dan menjelang hadis
disabdakan. Contoh hadis tentang kepemimpinan perempuan. Hadis ini diucapkan Nabi
karena putri Kisra pada waktu itu tidak memiliki kepercayaan masyarakat dan wibawa
untuk dijadikan pemimpin. Sehingga tidak mungkin menjalankan roda pemerintahan
dengan baik tanpa dukungan masyarakat. Lihat Ibid.,h. 92-103.
24
Pendekatan antropologis yaitu memahami hadis dengan melihat praktik
keagamaan, tradisi dan budaya yang berkembang pada saat munculnya hadis. Contoh
hadis tentang para pelukis yang disiksa. Hadis ini dikeluarkan terkait dengan paham dan
praktik musyrik yang masih melekat pada waktu itu. Maka untuk membersihkan
penyakit masyarakat, Nabi melarang untuk memajang dan memproduksi lukisan. Lihat
Ibid., h. 103-107.
25
Pendekatan psikologis yaitu memehami hadis dengan mempertimbangkan
kondisi psikis Nabi dan masyarakat yang dihadapi pada waktu itu. Contoh hadis ketika
Nabi ditanya tentang manakah Islam yang baik, kemudian Nabi menjawab dengan
jawaban yang berbeda-beda sesuai kondisi kejiwaan sahabat yang bertanya. Lihat Ibid.,
h. 108-112.

http://journal.iaingorontalo.ac.id/index.php/fa
177
Konstruksi Ilmu Ma’a>ni> al-H{adi>s\ Kaum Kontekstualis

yang dihadapi dalam pemaknaan hadis -contoh karena faktor hadis


semakin menjauh dari konteks yang melahirkannya, bertambah
kompleksnya problem keagamaan dan sosial yang dihadapi-menuntut
adanya usaha metodologis yang lebih aktual untuk memahami hadis pada
masa faktual sekarang. Untuk itu bermunculanlah beberapa pemikir
kontemporer yang merumuskan langkah-langkah dalam memahami hadis
Nabi sebagaimana yang akan dijelaskan pada bagian berikutnya.

Metode Para Kontekstualis dalam Memahami Hadis Nabi


Beberapa tokoh kontemporer telah menawarkan metode memahami
hadis. Mereka tidak lagi berbicara pada tataran konsep atau tolak ukur
memahami hadis tetapi telah merumuskan langkah-langkah praktis dalam
memahami hadis. Beberapa tokoh kontekstualis yang ikut memberikan
kontribusi menteorisasikan langkah-langkah pemaknaan hadis yaitu
Yu>suf al-Qarad}a>wi> (lahir 1926 M.),26 FazlurRahman (1919-1988 M.),27
26 Yu>suf al-Qarad}a>wi lahir pada tanggal 6 September 1926 di desa Safat Tura>b bagian
barat MEsir. Yu>suf yatim pada umur dua tahun dan diasuh oleh pamannya sebagai keluarga yang
taat menjalankan ajaran Islam. Hafal al-Qur'an pada umur 10 tahun. Pendidikan Ibtidaiyah (4
tahun) dan Tsanawiyah (5 tahun) ditempuh Yu>suf di Ma’had T}ant}a Mesir. Pada usia lima belas
tahun, ia melahap buku-buku bacaan para mahasiswa. Yu>suf melanjutkan studinya di Perguruan
Tinggi Universitas al-Azhar, Kairo dengan mengambil bidang studi agama pada Fakultas
Ushuluddin dan mendapat syaha>dah ‘a>liyah (1952-1953). Kemudian dia melanjutkan pendidikan
ke jurusan Bahasa Arab selama dua tahun. Di jurusan ini pun dia lulus dengan mendapat prestasi
terbaik dari 500 mahasiswa serta memperoleh ijazah internasional dan sertifikat pengajar. Pada
tahun 1957 masuk Ma’had al-Buh}u>s\ wa al-Dira>sa>t al-‘Arabiyah al-‘A>liyah dan berhasil meraih
diploma bidang bahasa dan sastra Arab. Tahun 1960 melanjutkan studi di Pascasarjana Universitas
al-Azhar Kairo dengan mengambil jurusan Tafsir Hadis. Akhirnya pada tahun 1960, berhasil
menyelesaikan program Magisternya dengan predikat amat baik. Melanjutkan pada program
Doktoral dengan menulis disertasi berjudul al-Zaka>h wa As\aruha> fi H{alli al-Masya>kil al-
Ijtima>’iyyah. Disertasi yang semula diperkirakan selesai dua tahun menjadi tertunda, karena
antara tahun 1968 sampai tahun 1970 ditahan oleh penguasa militer Mesir atas tuduhan pro dengan
gerakan al-Ikhwa>n al-Muslimu>n. Setelah krisis mereda, karena pada saat itu Mesir ditimpa krisis
politik, Yu>suf mengajukan disertasinya untuk diuji dan dipertahankan di depan guru besar
Universitas al-Azhar dan berhasil lulus meraih gelar doktor dengan predikat cumlaude. Lihat
Suryadi, Metode Kontemporer..., h. 40-44.
27
Fazlur Rahman lahir pada tanggal 21 September 1919 di Hazara, Pakistan.
Situasi sosial masyarakat ketika Rahman dilahirkan diwarnai dengan terjadinya
perdebatan publik di antara tiga kelompok yang bersiteru; modernis, tradisionalis, dan
fundamentalis yang mengklaim kebenaran terhadap pendapat masing-masing. Ayahnya,
Maulana Syihab al-Di>n adalah seorang ulama tradisional yang bermazhab H{ana>fi>, sebuah
mazhab sunni yang lebih tradisionalis dibanding dengan mazhab lain. Meskipun Syahab
seorang tradisionalis, namun ia tidak seperti kebanyakan ulama di zamannya yang
menentang dan menganggap pendidikan modern dapat meracuni keimanan dan moral.

Jurnal Farabi Volume 13 Nomor 1 Juni 2016 ISSN 1907-0993 E ISSN 2442-8264
178
Ahmad Muttaqin

Syuhudi Ismail (1943-1995 M.),28 Muhammad al-Ghazali (1917-1996),29


Khalid M. Abou El Fadl (lahir 1963 M.).30

Karir pendidikan Rahman berawal dari keluarganya, yaitu bidang wacana pendidikan
tradisional yang dibimbing langsung oleh Ayahnya. Wacana pendidikan berawal dari
menghafal al-Qur'an, di samping mempelajari bahasa Arab, bahasa Persia, ilmu retorika,
sastra, logika, filsafat, kalam, fikih, hadis dan tafsir. Pendidikan tinggi ditempuh di
Punjab University jurusan sastra Arab dan selesai dengan gelar BA pada tahun 1940.
Gelar master untuk jurusan ketimuran juga diperoleh di Universitas yang sama. Untuk
doktornya diperoleh di Oxford University. Mengajar di Eropa dan menjadi dosen bahasa
Persia dan Filsafat Islam di Durham University Inggris pada tahun 1950-1958. Beralih
ke McGill University Kanada untuk menjadi associate professor pada bidang islamic
studies. Pada tahun 1970 Rahman berangkat ke Chicago dan langsung dinobatkan
menjadi guru besar untuk pemikiran Islam di Universitas Chicago. Menjadi muslim
pertama yang menerima Giorgio Levi della Vida, yang melambangkan puncak prestasi
dalam bidang studi peradaban Islam dari Gustave E. Von Grunebaum Center for Near
Eastern Studies UCLA. Lihat Mawardi, “Hermeneutika al-Qur’an Fazlur Rahman”,
dalam Sahiron Syamsuddin (ed), Hermeneutika Al-Qur’an dan Hadis (Yogyakarta: Elsaq
Press, 2010), h. 59-64.
28 Muhammad Syuhudi Ismail merupakan salah seorang intelektual Indonesia yang

menekuni bidang ilmu hadis. Lahir di Lumajang Jawa Timur 23 April 1943. Syuhudi meneruskan
pendidikannya di PGAN 4 tahun di Malang dan pada Pendidikan Hakim Islam Negeri di
Yogyakarta pada tahun 1961, kemudian hijrah ke Makassar. Menyelesaikan studinya pada
Fakultas Syari’ah UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta cabang Makassar dengan ijazah Sarjana Muda
pada tahun 1965. Kemudian lanjut sebagai sarjana pada Fakultas Sya’riah IAIN Alauddin
Makassar pada tahun 1973. Kemudian kembali ke Yogyakarta dan belajar pada Studi Purna
Sarjana dan kemudian melanjutkan master di UIN Syarif Hidayatullah hingga tamat tahun 1985.
Syuhudi memperoleh gelar Doktor dalam bidang Ilmu Hadis di UIN Syarif tahun 1987 dan
memperoleh gelar Professor dalam bidang Hadis di IAIN Alauddin Makassar pada thaun 1993.
Syahudi wafat dua tahun setelah mendapat gelar akademik paling tinggi di dunia perguruan tinggi.
Ia juga pernah menjadi pegawai Pengadilan Agama Tinggi (Mahkamah Syar’iyyah Propinsi) di
Makassar pada tahun 1962 sampai dengan tahun 1970. Mengajar di beberapa perguruan tinggi
seperti Fakultas Syari’ah IAIN Alauddin Makassar, Universitas Muhammadiyah Makassar dan
Enrekang, Universitas Muslim Indonesia Makassar. Lihat Zulfahmi Alwi, “Pemikiran Hadis
Muhammad Syuhudi Ismail (1943-1995)” dalam al-Fikr, Vol. 16, No. 2, 2012, hlm. 2-5.
29 Muh}ammad al-Ghaza>li> lahir pada tanggal 22 September 1917 M. di Nakla> al-‘Inab,

al-Buh}airah Mesir. Pendidikan dasarnya dimulai di Madrasah di desanya dimana dia menghafal al-
Qur'an 30 juz. Masuk sekolah Agama Ibtida>’iyyah di Iskandariyah selama tiga tahun. Kemudian
meneruskan di Tsanawiyah selama dua tahun dan lulus tahun 1937 M. Melanjutkan kuliah di al-
Azhar dan memperoleh gelar Magister dari Fakultas Bahasa Arab di Universitas yang sama.
Aktivitas selama di Mesir antara lain; tahun 1943 ia ditunjuk sebagai Imam dan Khatib pada pada
Masjid al-Utba’ al-Khadra di Kairo, menjabat sebagai wakil Kementrian Wakaf dan Urusan
Dakwah Mesir. Di Universitas al-Azhar mengajar di Fakultas Syari’ah, Ushuluddin, Dira>sah al-
‘Arabiyyah wa al-Isla>miyyah dan Fakultas Tarbiyah. Pernah ikut al-Ikhwa>n al-Muslimu>n dan
menjadi salah satu tokohnya. Lihat Suryadi, Metode Kontemporer..., h. 23-26.
30 Khaled M. Abou El Fadl lahir di Kuwait tahun 1963. Sejak kecil telah dididik dengan

ilmu keislaman. Umur enam tahun telah belajar di Madrasah al-Azhar Mesir. Pada masa remaja

http://journal.iaingorontalo.ac.id/index.php/fa
179
Konstruksi Ilmu Ma’a>ni> al-H{adi>s\ Kaum Kontekstualis

Menurut Yu>suf al-Qarad}a>wi>, beberapa pentunjuk dalam memahami hadis


sebagai berikut: (1) memahami sunnah sesuai petunjuk al-Qur’an, (2)
menggabungkan hadis-hadis yang terjalin dalam tema yang sama, (3)
penggabungan atau pentarjihan antara hadis-hadis yang bertentangan, (4)
memahami hadis-hadis sesuai dengan latar belakangnya, situasi dan
kondisinya, serta tujuannya, (5) membedakan antara sarana yang
berubah-ubah dan tujuan yang tetap dari setiap hadis, (6) membedakan
antara fakta dan metafora dalam memahami hadis, (7) membedakan
antara yang ghaib dan yang nyata, (8) memastikan makna kata-kata dalam
hadis.31
Fazlur Rahman menawarkan beberapa langkah seperti; (1) memahami
makna teks hadis, (2) memahami latar belakang situasionalnya, yakni
menyangkut situasi Nabi secara umum, termasuk dalam hal ini asba>b al-
wuru>d, di samping itu juga memahami petunjuk al-Qur'an. (3)
Merumuskan prinsip ideal moral dari hadis tersebut untuk diaplikasikan
pada masa sekarang.32
Adapun Syuhudi Ismail lebih mengarahkan pemahaman hadis Nabi
kepada perbedaan makna tekstual dan kontekstual. Perbedaan ini dapat
dilakukan dengan (1) memperhatikan sisi-sisi linguistik hadis seperti
jawa>mi’ al-kali>m, tams\i>l, ungkapan simbolik, bahasa percakapan dan
analogi. (2) Melibatkan studi historis menyangkut peran dan fungsi Nabi
serta latar situasional yang turut melahirkan hadis.33
Sedang menurut al-Ghaza>li>, sebagaimana hasil perumusan Suriadi,
metode dalam memahami matan hadis harus melalui empat langkah. (1)
Menguji matan hadis dengan kandungan al-Qur'an, (2) menguji matan
hadis dengan matan hadis yang lain agar tidak terjadi pertentangan.
Setiap hadis harus dikaitkan dengan hadis yang lain sehingga tidak

dia termasuk orang yang getol menyebarkan dan membela paham Wahabi. Kemudian berbalik
mengkritik paham Wahabi. Meraih gelar B.A. dari Universitas Yale tahun 1985. Meraih gelar J.D.
di Universitas Pensilvania dan Doktornya diraih di Universitas Princeton dalam bidang studi
Islam. Dia juga mengambil studi hukum di Universitas California Los Angeles (UCLA). Sekarang
ditunjuk sebagai guru besar hukum Islam di UCLA. Ia juga mengajar hukum Islam di Universitas
Texas dan Universitas Yale. Dalam waktu 2003-2005 diangkat oleh GW. Bush, presiden Amerika
pada saat itu, sebagai salah satu anggota Komisi Internasional Kebebasan Beragama (International
Religious Freedom). Lihat Yusriandi, “Hermeneutika Hadis Khaled M. Abou El Fadl”, dalam
Sahiron Syamsuddin (ed.), Hermeneutika Al-Qur’an...h. 413-415.
31
Yusuf Qardhawi, Bagaimana Memahami Hadis Nabi Saw terj. Muhammad
al-Baqir (Bandung: Karisma, 1997), h 92-197.
32
Suryadi, Metode Kontemporer..., h. 19.
33
Ibid.

Jurnal Farabi Volume 13 Nomor 1 Juni 2016 ISSN 1907-0993 E ISSN 2442-8264
180
Ahmad Muttaqin

memisahkan kandungan hadis dengan hadis yang lain. (3) Menguji dengan
fakta historis karena hadis dan sejarah yang melingkupi kelahiran hadis
sangat berkaitan erat dan tidak dapat dipisahkan dalam memahaminya.
(4) Pengujian dengan kebenaran ilmiah. Sebab tidak masuk akal hadis
bertentangan dengan kebenaran ilmiah.34
Khaled M. Abou El Fadl, sebagaimana yang diungkapkan Yusriandi,
melihat teks-termasuk hadis-adalah sebuah teks yang terdiri dari beberapa
simbol berupa huruf-huruf yang melahirkan makna ketika dibaca oleh
reader. Sehingga hermeneutika Khaled M. Abou El Fadl disebut
“hermeneutika negosiasi’, terjadi dialog antara teks, pembaca dan realitas
dalam menafsirkan sebuah teks. Titik tekan Khaled lebih kepada reader
karena pembaca yang mengalami dinamika dalam hidupnya dan yang
berkepentingan adalah pembaca. Sedang teks sejatinya hanya diam.35
Khaled menerapkan beberapa poin dalam meneliti hadis; (1) penyelidikan
terhadap matan, (2) penyelidikan terhadap rantai periwayatan, (3)
pertimbangan kondisi sosio-historis, (4) pertimbangan konsekuensi moral
dan sosialnya.36
Selanjutnya pemikiran hadis beberapa tokoh di atas akan dipetakan dalam
pembagian objektivis dan subjektivis. Aliran objektivis lebih menekankan
pada pencarian makna asal dari objek penafsiran.37 Pemahaman yang baik
adalah yang dapat memahami makna asli dari teks.38 Sedang aliran
subjektivis menekankan pada peran pembaca dalam pemaknaan teks.39
Aliran ini melihat inti pemahaman adalah kebergunaannya untuk masa
sekarang.40 Sebagaimana yang penulis ungkap di awal makalah bahwa
tidak ada satu tokoh yang hanya menggunakan satu pemetaan di atas,
apakah objektivis murni atau subjektivis murni. Hampir semua tidak bisa
lepas dari keduanya. Maka yang dimaksudkan disini adalah

34
Ibid.,h. 82-86.
35
Yusriandi, “Hermeneutika Hadis Khalid M. Abou El Fadl”dalam Sahiron
Syamsuddin ed., Hermeneutika Al-Qur’an...,h. 430.
36
Niila Khoiru Amaliya,“Kritik Hadis ‘Misoginis’ Perspektif Khaled M.
Abou El Fadl.” Skripsi. UIN Sunan Kalijaga, 2006, h. 101.
37
Syamsuddin, Hermeneutika dan..., h. 26.
38
Mu’ammar Zayn Qadafy, “Epistemologi Sabab al-Nuzu>l Makro: Studi atas
Metodologi Tafsir Kontekstualis Kontemporer.” Tesis. UIN Sunan Kalijaga
Yogyakarta, 2014, h. 74.
39
Syamsuddin, Hermeneutika dan..., h. 26.
40
Qadafy, “Epistemologi Sabab al-Nuzu>l...”h. 74

http://journal.iaingorontalo.ac.id/index.php/fa
181
Konstruksi Ilmu Ma’a>ni> al-H{adi>s\ Kaum Kontekstualis

kecenderungan dominan baik sebagai objektivis ataukah sebagai


subjektivis dari setiap pemikiran tokoh.
Untuk tokoh yang masuk kategori objektivis ialah Yu>suf al-Qarad}a>wi>,
Fazlur Rahman, dan Syuhudi Ismail. Adapun maz\hab subjektivis
diwakilkan oleh Muh. al-Ghaza>li> dan Khaled M. Abou El Fadl.
Al-Qarad}a>wi> dimasukkan dalam golongan objektivis karena masih
menganggap sangat penting mengetahui makna asli teks. Di antara
kriteria al-Qarad}a>wi> yaitu harus mengetahui ungkapan hakiki dan majazi
serta memastikan konotasi dengan tepat setiap kata. Menurut Mir’atun
Nisa’, jika diteropong dengan triadik hermeneutik, pemahaman al-
Qarad}a>wi> masih berada di antara “teks” dan “author” belum menyentuh
wilayah reader sehingga produk pemahamannya belum mendunia dan
masih ‘arabic centris’.41 Inilah alasan penulis memasukkan al-Qarad}a>wi>
sebagai golongan objektivis.
Fazlur Rahman dikategorikan objektivis meskipun sering disangka
sebagai pengikut subjektivitas Gadamer. Sangkaan ini cukup beralasan
karena adanya kemiripan double movement-nya Rahman dengan teori
fusion of horizon Gadamer. Namun Rahman sendiri menolak anggapan
yang mengatakan tidak akan pernah ada pemahaman objektif dengan
ungkapan-sebagaimana yang dikutip oleh Qadafy: “It is , of course, clear
that this doctrine (Gadamer) is radically opposed to what I have
contended above by way of hermeneutics of the Qur’an”.42 Langkah
pertama yang dilakukan Rahman, sebagaimana yang disebutkan
sebelumnya, adalah memahami makna teks matan. Artinya, Rahman
masih berpegang kepada makna asli teks sebagai pijakan
dikontekstualisasikan pada era kontemporer. Inilah mengapa Rahman
dimasukkan dalam golongan objektivis.
Syuhudi Ismail sangat menekankan kajian matan dengan melihat aspek
kebahasaan seperti bentuk jawa>mi’ al-kali>m, tams\il, simbolik, percakapan
dan analogi. Syuhudi juga mengakui suatu hadis tertentu lebih tepat
dipahami tekstual, sedang yang lain lebih tepat dipahami secara

41
Mir’atun Nisa, “Hermeneutika Hadis Yusuf al-Qara>d}a>wi”>dalam
Syamsuddin (ed), Hermeneutika Al-Qur’an..., h. 449
42
Qadafy, Epistemologi Sabab..., h. 77

Jurnal Farabi Volume 13 Nomor 1 Juni 2016 ISSN 1907-0993 E ISSN 2442-8264
182
Ahmad Muttaqin

kontekstual43 tergantung hadis tersebut. Ini berarti Syuhudi lebih


condong ke objektivis walaupun ada nuansa subjektivisnya.
Muh. al-Ghazali, penulis masukkan dalam maz\hab subjektivis karena
salah satu kriteria pengujian hadis olehnya tidak bertentangan dengan
kebenaran ilmiah dan rasa keadilan. Menurut al-Ghazali, sebagaimana
yang diungkapkan oleh Suryadi, bagaimanapun shahihnya sanad sebuah
hadis, jika muatan informasinya bertentangan dengan prinsip-prinsip
keadilan dan hak asasi manusia, maka hadis tersebut tidak layak
pakai.44Inilah alasan penulis menggolongkan al-Ghazali dalam kubu
subjektivis.
Khaled M. Abou El Fadl bisa dikategorikan dalam aliran subjektivis
karena kecenderungannya kepada konteks masa sekarang. Artinya, dia
lebih mementingkan pada aspek pembaca teks dengan konteks sekarang.
Dia menolak hadis tentang ketaataan istri dalam hubungan seks dan hadis
perintah sujud karena bertentang dengan moral dan kondisi sosial.45
Deskripsi dari masing-masing pemikiran tokoh di atas bisa digambarkan
dengan tabel berikut ini guna memberikan perbandingan antara satu
dengan yang lainnya.
Tokoh Tokoh Kontekstualis
Kriteria
Yusuf Fazlur Khaled M.
memahami Al-Ghazali Syuhudi Ismail
al-Qardhawi Rahman Abou
hadis Nabi
Kecenderun
-gan Objektivis Subjektivis Objektivis Objektivis Subjektivis

Kebahasaa Hakiki, - - Jawami’ kalam, -


n majazi, simbolik, analogi,
konotasi kata dialog, tamsil
Sabab Mikro dan Mikro dan Mikro tidak Mikro dan Makro Makro penting,
al-Wurud Makro Makro penting, mikro tidak
makro yang
penting
Kandungan Petunjuk al- Harus sesuai Memahami No comment Mempertimban
al-Qur'an Qur'an petunjuk al- gkan kandungan
Qur'an Ayat
Kandungan Hadis-hadis Menguji dengan Melihat hadis -
Hadis lain setema matan lain yang bertentangan
Pengetahua - Yang - - Hadis tidak
n/ Ilmiah bertentangan boleh

Syuhudi Ismail, Hadis Nabi yang Tekstual dan Kontekstual: Telaah Ma’ani
43

al-Hadis tentang Ajaran Islam yang Universal, Temporal dan Lokal (Jakarta: Bulan
Bintang, 1994), h. 6.
44
Suryadi, Metode Kontemporer..., h. 86.
45
Amaliya, Kritik Hadis...h. 88

http://journal.iaingorontalo.ac.id/index.php/fa
183
Konstruksi Ilmu Ma’a>ni> al-H{adi>s\ Kaum Kontekstualis

hadisnya bertentangan
ditolak dengan ilmiah
Posisi Nabi - Sarana dan - - Melihat Fungsi
tujuan Nabi sebagai
apa
Konteks Kurang Penting Penting Penting Sangat penting
kekinian memperhatik
an

Tawaran Metodologi Memahami Hadis Nabi


Pada pemaparan di atas telah dideskripsikan corak dan karakter dari
masing-masing pemikir. Selanjutnya pada di bagian ini disaring beberapa
model di atas dengan memilih langkah-langkah baik dari kubu objektivis
dan juga subjektivis. Sehingga nantinya akan menawarkan model
metodologi yang “bukan baru” tetapi hanya sekedar menyaring dan
menyimpulkan dari beragam tawaran di atas.
Penelitian memahami hadis secara garis besar dapat dilalui dengan tiga
tahap;
1. Aspek kebahasaan sebagai kecenderungan dari kubu objektivis.
Meliputi kajian kata jawa>mi’ al-kalam, simbol, analogi, hakiki,
konotasi kata, perkembangan kata, petunjuk al-Qur'an dan tematik
hadis lain. Untuk memahami bisa menggunakan ‘ilmu garib,
mukhtalif al-h}adi>s,\ semantik dan ilmu lain yang terkait.
2. Aspek asba>b al-wuru>d mikro dan makro. Kondisi Nabi, peran dan
fungsi Nabi, kondisi masyarakat Arab, sosio-kultural, antropologi,
psikologi, kultul pra-Islam.
3. Aspek konteks kekinian sebagai kecenderungan dari subjektivis.
Yaitu dengan menerapkan ideal moral dalam format konteks
kekinian.
Tawaran di atas bukan berarti hal baru sebab Fazlur Rahman telah
memperkenalkan double movement-nya. Hanya saja, langkah-langkah
praktis dari setiap gerakan menjadi lebih jelas dan komplit setelah
digabungkan dengan tawaran tokoh-tokoh yang lain. Sehingga masing-
masing tawaran metodologi bisa saling menyapa dan melengkapi. Tentu,
tidak mungkin harus menggunakan semua ilmu dan pendekatan di setiap
ketiga aspek di atas. Pendekatan, teori, dan sebagainya sangat tergantung
kepada hadis yang sedang diteliti.

Jurnal Farabi Volume 13 Nomor 1 Juni 2016 ISSN 1907-0993 E ISSN 2442-8264
184
Ahmad Muttaqin

Penutup

Dari pemaparan di atas, ada beberapa poin yang dapat digarisbawahi.


Pertama, istilah fiqh al-h}adi>s\ dalam literatur lebih banyak digunakan
dalam proses memahami kandungan hadis. Kedua, munculnya kitab-kitab
syarah, beberapa disiplin keilmuan hadis dan pendekatan ilmu-ilmu
sosial-humaniora menunjukkan ilmu untuk memahami hadis berkembang
secara dinamis. Ketiga, para tokoh kontekstualis telah menawarkan
beberapa metode pemahaman hadis, namun dapat di simpulkan ada tiga
langkah dalam memahami makna hadis; (1) analisis teks, (2) historisitas
dan konteks teks dan (3) penerapan pada konteks kekinian.

DAFTAR PUSTAKA

Al-Damasyqi>, Jama>luddi>n al-Qa>sim. Qawa>’id al-Tah}di>s\ min Funu>n


Mus}talah}i al-H{adi>s.\ DVD ROM al-Maktabah al-Sya>milah.
Ali, Nizar. Memahami Hadis Nabi: Metode dan Pendekatan. Yogyakarta:
CESad YPI Al-Rahmah. 2001.
Al-Manz}u>r, Ibn. Lisa>n al-‘Arabi. Kairo: Da>r al-Ma’a>rif. t.t.
Al-Munawwar, Said Agil Husin. Studi Hadis dengan Berbagai Perspektif.
Paper di presentasikan dalam Konfrensi Internasional di UIN
Sunan Kalijaga, tanggal 6 April 2015.
Al-Naisabu>ri>, Abu> ‘Abdilla>h Muh}ammad bin ‘Abdillah al-H{a>kim.
Ma’rifatuh ‘Ulu>m al-H{adi>s.\ DVD Rom al-Maktabah al-
Sya>milah.
Al-Shiddieqy, Muhammad Hasbi. Sejarah dan Pengantar Ilmu Hadis.
Semarang: Pustaka Rizki Putra. 2009.
Alwi, Zulfahmi. “Pemikiran Hadis Muhammad Syuhudi Ismail (1943-
1995)” dalam al-Fikr, Vol. 16. No. 2. 2012.
Amaliya, Niila Khoiru. “Kritik Hadis “ Misoginis” Perspektif Khaled M.
Abou El Fadl.” Skripsi. UIN Sunan Kalijaga. 2006.
Bazmu>l, Muh}ammad ibn ‘Umar ibn Sa>lim. ‘Ilm Syarh al-H{adi>s\ wa
Rawa>fid al-Bah}su\ fi>h. t.k: t.p. t.t.

http://journal.iaingorontalo.ac.id/index.php/fa
185
Konstruksi Ilmu Ma’a>ni> al-H{adi>s\ Kaum Kontekstualis

Ismail, Syuhudi. Hadis Nabi yang Tekstual dan Kontekstual: Telaah


Ma’ani al-Hadis tentang Ajaran Islam yang Universal, Temporal
dan Lokal. Jakarta: Bulan Bintang. 1994.
Mawardi. “Hermeneutika al-Qur’an Fazlur Rahman”, dalam Syamsuddin,
Sahiron (ed).Hermeneutika Al-Qur’an dan Hadis. Yogyakarta:
Elsaq Press. 2010.
Mustaqim, Abdul. Paradigma Integrasi-Interkoneksi dalam Memahami
Hadis Nabi. Yogyakarta: Bidang Akademik UIN Sunan Kalijaga.
2008.
Qadafy, Mu’ammar Zayn. “Epistemologi Sabab al-Nuzu>l Makro: Studi
atas Metodologi Tafsir Kontekstualis Kontemporer.” Tesis. UIN
Sunan Kalijaga Yogyakarta. 2014.
Qardhawi, Yusuf. Bagaimana Memahami Hadis Nabi Saw terj.
Muhammad al-Baqir. Bandung: Karisma. 1997.
Sala>m, Muh}ammad Khalfa. Lisa>n al-Muh}addis\i>n dalam DVD ROM al-
Maktabah al-Syamilah, juz 4.
Suryadi. Metode Kontemporer Memahami Hadis Nabi: Perspektif
Muhammad al-Ghazali dan Yusuf al-Qaradhawi. Yogyakarta:
Teras. 2008.
Suryadilaga, M. Alfatih. Metodologi Syarah Hadis. Yogyakarta: Suka-
Press. 2012.
Syamsuddin, Sahiron. Hermeneutika dan Pengembangan Ulumul Qur’an.
Yogyakarta: Pesantren Nawesea Press. 2009.
Yusriandi. “Hermeneutika Hadis Khaled M. Abou El Fadl”, dalam
Syamsuddin, Sahiron (ed).Hermeneutika Al-Qur’an dan Hadis.
Yogyakarta: Elsaq Press. 2010.
Yusuf, Muh}ammad. “Kitab Syarah Hadis Tanwir Al-Hawa>lik Karya Jalal
al-Di>n al-Suyu>t}i>: Kajian terhadap Metode dan Karakteristik”
dalam Jurnal Studi Ilmu-Ilmu Al-Quran dan Hadis, Vol. 5, No. 2.
Juni. 2004.

Jurnal Farabi Volume 13 Nomor 1 Juni 2016 ISSN 1907-0993 E ISSN 2442-8264
186

Anda mungkin juga menyukai