Anda di halaman 1dari 5

Bagas Tri Arfiansyah

1119026

1. A. UUD pasal 75 ayat (2) berisi ketentuan aborsi yang boleh dilakukan, sebagai
berikut:
1. Adanya indikasi darurat medis yang dideteksi pada usia dini kehamilan.
2. Mengancam nyawa ibu dan janin.
3. Adanya penyakit genetik yang tidak bisa diperbaiki sehingga dapat menyulitkan
bayi ketika lahir.
4. Kehamilan akibat pemerkosaan sehingga trauma psikologis ibu

kehamilan yang tidak diinginkan dalam kasus hamil di luar nikah, ketidakmampuan
ekonomi, kurangnya dukungan keluarga, hingga masalah dengan pasangan

B. keterangan ahli bahwa hasil visum yang harus sesuai dengan isi Pasal 133 KUHAP
1. Dalam hal penyidik untuk kepentingan peradilan menangani seorang korban
baik luka, keracunan ataupun mati yang diduga karena peristiwa yang
merupakan tindak pidana, ia berwenang mengajukan permintaan keterangan
ahli kepada ahli kedokteran kehakiman atau dokter dan atau ahli lainnya.
2. Permintaan keterangan ahli sebagaimana dimaksud dalam ayat 1 dilakukan
secara tertulis yang dalam surat itu disebutkan dengan tegas untuk
pemeriksaan luka atau pemeriksaan mayat dan atau pemeriksaan bedah mayat.
3. Mayat yang dikirim kepada ahli kedokteran kehakiman atau dokter pada
rumah sakit harus diperlakukan baik dengan penuh penghormatan terhadap
mayat tersebut dan diberi label yg memuat identitas mayat diberi cap jabatan
yang dilekatkan pada ibu jari kaki atau bagian lain badan mayat.
Berdasarkan Pasal 184 ayat 1 KUHP menyatakan bahwa alat bukti yang sah ialah:
a. Keterangan saksi
b. Keterangan ahli
c. Surat
d. Petunjuk
e. Keterangan terdakwa
Pembuktian tersebut telah terpenuhi bukti yang berupa keterangan ahli, surat yang
berupa visum et repertum. Visum et repertum terdapat pada KUHAP Pasal 187 huruf
c yang berbunyi :
”Surat keterangan dari seorang ahli yang membuat pendapat berdasarkan keahliannya
mengenai sesuatu hal atau sesuatu keadaan yang diminta secara resmi daripadanya”.
Berdasar hasil visum yang dibuat oleh pakar kesehatan terhadap segala sesuatu yang
dilihat dan ditemukan pada pemeriksaan alat bukti, berdasarkan sumpah pada waktu
menerima jabatan,
serta berdasarkan pengetahuannya yang sebaik-baiknya, sehingga unsur dari Pasal
133 jo Pasal 187 (c) KUHAP telah terpenuhi, juga telah memenuhi syarat formal dan
syarat materiil sebagai alat bukti otentik yang sah secara normatif limitatif sehingga
terdakwa terbukti bersalah telah melakukan tindak pidana aborsi sesuai Pasal 194
Undang-undang No.36 tahun 2009 tentang Kesehatan yang didakwakan oleh Penuntut
Umum kepada Terdakwa.

2. A. Dalam kasus kecelakaan lalu lintas seperti itu, berikut adalah dasar hukum dan
tindakan yang mungkin dilakukan oleh polisi:
Dasar Hukum:
Undang-Undang Lalu Lintas: Polisi dapat mengacu pada undang-undang lalu lintas
yang berlaku di negara tersebut untuk menentukan pelanggaran apa yang terjadi dan
apakah pengemudi mobil telah melanggar peraturan.
KUHP (Kitab Undang-Undang Hukum Pidana): Jika ditemukan bukti bahwa
pengemudi mobil bersalah atau melakukan kelalaian dalam menyebabkan kecelakaan
dengan korban cedera, maka pasal-pasal dalam KUHP tentang kejahatan atau
kesalahan dapat digunakan sebagai dasar hukum.
Tindakan Polisi:
Membawa korban ke rumah sakit: Dalam situasi darurat seperti ini, polisi bertugas
membantu membawa korban segera mendapatkan pertolongan medis dengan
membawanya ke IGD RSCM.
Melakukan proses identifikasi: Polisi akan mengumpulkan informasi pribadi dari
korban dan membuat catatan tentang detail insiden termasuk waktu, tempat, serta
keterangan saksi mata jika ada.
Meminta visum oleh dokter forensik (dr. Raditya): Visum dilakukan untuk
mendokumentasikan luka-luka fisik pada tubuh korban sebagai bukti medis guna
penyelidikan lebih lanjut atas kasus tersebut.
Menyelidiki penyebab kecelakaan: Polisi akan memeriksa saksi mata, mengumpulkan
bukti seperti rekaman CCTV atau foto lokasi kejadian, dan melakukan penyelidikan
untuk menentukan apakah pengemudi mobil bertanggung jawab atas kecelakaan
tersebut.
Menetapkan tersangka: Jika polisi mendapatkan cukup bukti bahwa pengemudi mobil
melanggar peraturan lalu lintas atau bersalah dalam menyebabkan kecelakaan
tersebut, mereka dapat menetapkan pengemudi sebagai tersangka dan memulai proses
hukum lebih lanjut.
Perlu diingat bahwa tindakan yang dilakukan oleh polisi dapat bervariasi tergantung
pada yurisdiksi negara dan sistem hukum yang berlaku.

B. Setelah melakukan visum terhadap korban kecelakaan tersebut, Dr. Raditya dapat
melanjutkan langkah-langkah medis berikut:
Menyediakan perawatan medis darurat: Jika kondisi korban stabil setelah visum, dr.
Raditya harus memastikan bahwa korban menerima perawatan medis yang tepat
sesuai dengan cedera yang diderita. Ini termasuk memberikan obat penghilang rasa
sakit dan menjaga agar luka tidak terinfeksi.
Konsultasi dengan tim bedah: Melihat adanya patah tulang paha kiri yang
membutuhkan operasi, dr. Raditya akan berkonsultasi dengan tim bedah untuk
mengevaluasi kondisi dan merencanakan tindakan operatif yang diperlukan.
Memantau perkembangan pascaoperasi: Setelah operasi dilakukan, dr. Raditya akan
secara rutin memantau perkembangan pasien selama masa pemulihan sekitar 4 bulan
tersebut. Ia akan melakukan penilaian ulang untuk memastikan penyembuhan tulang
berjalan baik serta memberikan perawatan tambahan jika diperlukan.
Memberi rekomendasi pemulihan: Selain perawatan langsung pada tulang paha yang
patah, dr.Raditya juga bisa memberi rekomendasi kepada pasien tentang rehabilitasi
fisik atau terapi fisik guna membantu pulihnya fungsi normal pada anggota geraknya
setelah pemulihan operasinya.
5.Menyimpan catatan medis lengkap: Dr.Raditia juga harus mencatat semua proses
diagnosis, hasil visum dan tindakan medis yang dilakukan dalam catatan medis
korban dengan lengkap dan akurat. Hal ini penting untuk keperluan dokumentasi serta
bahan rujukan di masa depan.
Dalam situasi seperti ini, peran dr.Raditya sebagai dokter adalah memberikan
perawatan terbaik kepada pasien sesuai standar medis yang berlaku serta menjaga
kerahasiaan informasi medis korban.

3. A. Pasal 44 Ayat (1) UU PKDRT:


Setiap orang yang melakukan perbuatan kekerasan fisik dalam lingkup rumah tangga
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 huruf a dipidana dengan pidana penjara paling
lama 5 (lima) tahun atau denda paling banyak Rp 15.000.000,00 (lima belas juta
rupiah).
Pasal 44 Ayat (2) UU PKDRT:
Dalam hal perbuatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mengakibatkan korban
mendapat jatuh sakit atau luka berat, dipidana dengan pidana penjara paling lama 10
(sepuluh) tahun atau denda paling banyak Rp 30.000.000,00 (tiga puluh juta rupiah).

B. Pasal 44 Ayat (3) UU PKDRT:


Dalam hal perbuatan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) mengakibatkan matinya
korban, dipidana dengan pidana penjara paling lama 15 (lima belas) tahun atau denda
paling banyak Rp 45.000.000,00 (empat puluh lima juta rupiah).
Di samping terjerat hukum, ibu ini akan menjalani tes kejiwaan untuk mengetahui
motif serangkaian penganiayaan tersebut.

4. A. Berikut adalah 2 jenis kekerasan spesifik terhadap perempuan baik dari jenis
kelamin maupun sebagai gender:
1. Kekerasan seksual: Kekerasan seksual adalah setiap perbuatan merendahkan,
menghina, melecehkan, dan/atau menyerang tubuh, dan/atau fungsi reproduksi
seseorang, karena ketimpangan kekuasaan, peran gender, atau diskriminasi jenis
kelamin. Jenis kekerasan seksual yang sering terjadi antara lain perkosaan, intimidasi
seksual, pelecehan seksual, dan eksploitasi seksual.
2. Kekerasan psikologis: Kekerasan psikologis adalah setiap perbuatan yang
menyebabkan ketakutan, trauma, dan/atau penderitaan psikologis pada korban. Jenis
kekerasan psikologis yang sering terjadi antara lain penghinaan, ancaman, isolasi, dan
kontrol.

B. Batasan tentang kekerasan seksual menurut Pasal 8 UU No. 23 Tahun 2003 tentang
Penghapusan KDRT adalah setiap perbuatan yang dilakukan dengan paksaan atau
ancaman kekerasan yang bersifat seksual terhadap seseorang, baik di dalam maupun
di luar perkawinan, yang merendahkan martabat manusia. Dalam pasal ini juga
dijelaskan bahwa kekerasan seksual dapat berupa pemaksaan untuk melakukan
hubungan seksual atau perbuatan seksual lainnya, seperti pemaksaan untuk
melakukan tindakan-tindakan yang merendahkan martabat manusia atau pemaksaan
untuk melakukan tindakan-tindakan yang bertentangan dengan norma-norma agama,
moral, dan kesusilaan.

5. A. Ancaman hukuman yang dapat dikenakan pada ayah tiri korban dalam kasus ini
adalah pidana penjara sesuai dengan Pasal 81 ayat (2) Undang-Undang Nomor 35
Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak. Pasal ini mengatur bahwa setiap orang yang
melakukan tindakan kekerasan seksual terhadap anak, baik dengan unsur pemaksaan
maupun tanpa unsur pemaksaan, dapat dikenai pidana penjara paling lama 15 tahun
dan denda paling banyak Rp 5 miliar.

B. Perbedaan antara kejahatan seksual tanpa unsur pemaksaan dan kejahatan seksual
dengan unsur pemaksaan adalah pada unsur pemaksaan yang dilakukan oleh pelaku.
Kekerasan seksual tanpa unsur pemaksaan adalah ketika pelaku melakukan tindakan
kekerasan seksual terhadap korban tanpa menggunakan paksaan atau ancaman
kekerasan. Sedangkan kekerasan seksual dengan unsur pemaksaan adalah ketika
pelaku melakukan tindakan kekerasan seksual terhadap korban dengan menggunakan
paksaan atau ancaman kekerasan. Dasar hukumnya adalah Pasal 8 Undang-Undang
Nomor 23 Tahun 2003 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga.

C. Hasil Visum et Repertum kesusilaan dapat memberikan informasi tentang adanya


tindakan kekerasan seksual terhadap korban. Visum et Repertum kesusilaan adalah
pemeriksaan medis yang dilakukan oleh dokter spesialis forensik untuk menentukan
apakah korban telah mengalami tindakan kekerasan seksual atau tidak. Hasil
pemeriksaan ini dapat digunakan sebagai bukti dalam proses hukum jika kasus ini
diproses secara hukum. Selain itu, hasil Visum et Repertum kesusilaan juga dapat
memberikan informasi tentang jenis dan tingkat keparahan cedera yang dialami oleh
korban.

6. A. Untuk memastikan bahwa tetangga Anda sudah meninggal, Anda dapat melakukan
beberapa tindakan berikut:
- Cek denyut nadi pada leher atau pergelangan tangan korban. Jika tidak ada denyut
nadi, kemungkinan besar korban sudah meninggal.
- Cek pernapasan korban dengan mendekatkan telinga ke hidung dan mulut korban.
Jika tidak terdengar suara napas, kemungkinan besar korban sudah meninggal.
- Cek pupil mata korban. Jika pupil mata tidak bereaksi terhadap cahaya,
kemungkinan besar korban sudah meninggal.

B. Tanda-tanda kematian yang dapat ditemukan antara lain:


- Tidak terasa denyut nadi
- Napas terhenti
- Tidak ada ketegangan otot
- Adanya pelepasan kotoran dari usus dan kandung kemih
- Kelopak mata tertutup
- Perubahan warna kulit menjadi kebiruan atau keabu-abuan
- Perubahan suhu tubuh menjadi dingin.

C. Ancaman pidana yang dapat dikenakan kepada keluarga yang menolak untuk
autopsi adalah pidana penjara paling lama 1 tahun dan/atau denda paling banyak Rp 5
juta berdasarkan Pasal 197 KUHP. Kerugiannya adalah tidak dapat diketahui secara
pasti penyebab kematian korban dan tidak dapat dilakukan tindakan hukum yang
sesuai terhadap pelaku jika kasus ini diproses secara hukum. Autopsi dapat
memberikan informasi yang sangat penting dalam menentukan penyebab kematian
korban dan dapat digunakan sebagai bukti dalam proses hukum.

7. Pasal 54 Undang-Undang Nomor 35 tahun 2009 menyebutkan pecandu narkotika dan


korban penyalahgunaan narkotika wajib menjalani rehabilitasi medis dan sosial.

8. Hukuman pidana bagi pengedar narkotika diatur dalam pasal 111, 112, 113, 132
Undang Undang Nomor 35 tahun 2009, tentang Narkotika, dengan hukuman
kurungan penjara minimal 4 tahun dan maksimal hukuman mati, serta hukuman
pidana berupa denda maksimal hingga 10.000.000.000,-

Sedangkan hukuman pidana bagi pengguna narkotika diatur dalam pasal 127 dengan
hukuman penjara maksimal 4 tahun, hukuman pidana denda maksimal
10.000.000.000. Pengguna narkotika juga berhak untuk melakukan rehabilitasi untuk
penyembuhan dari ketergantungan terhadap narkotika.

Anda mungkin juga menyukai