PENDAHULUAN
dan dapat menyebabkan daya simpan bahan tersebut rendah. Pada pengolahan
industri pangan, sering dijumpai proses pemisahan bahan pangan, baik secara
industri pangan agar bahan pangan yang dihasilkan dapat lebih awet
bahan terhadap suhu, konsentrasi bahan, dan tekanan yang terdapat pada alat
untuk mendapatkan massa yang lebih pekat dengan jalan menguapkan sebagian
TINJAUAN PUSTAKA
dalam sebuah larutan. Alat yang digunakan untuk proses evaporasi disebut dengan
evaporator (Fitri et al., 2016). Evaporasi bertujuan untuk memekatkan larutan yang
terdiri dari zat terlarut dimana memiliki sifat tidak mudah menguap dengan
pelarutnya yang bersifat mudah menguap. Pada proses evaporasi terjadi suatu
perubahan fase bahan yang akan diproses, yaitu fase cair (Waziiroh et al., 2017).
suhu, konsentrasi bahan, dan tekanan yang terdapat pada alat evaporator
suhu yang terlalu tinggi dapat merusak bahan yang dievaporasi (Butchi, 2018).
Semakin tinggi suhu yang digunakan, maka penguapan yang terjadi semakin cepat.
Suhu evaporasi biasanya digunakan pada nilai serendah mungkin dan waktu yang
digunakan juga harus singkat. Semakin lama proses evaporasi yang terjadi, maka
semakin banyak zat gizi yang hilang dari suatu bahan pangan.
menguapkan suatu pelarut. Komponen utama pada alat ini adalah vacuum system
dimana terdiri dari vacuum pump dan controller, labu evaporasi yang diputar dan
dipanaskan dalam water bath chamber, serta kondensor dengan labu penampung
kondensat. Prinsip kerja dari alat ini didasari pada titik didih dari pelarut dan
tekanan yang menyebabkan uap pelarut dapat terkumpul di atas. Selain itu, adanya
sehingga embun dapat jatuh pada receiving flask (Mushlihin et al., 2015). Pada
proses evaporasi, zat pelarut akan menguap pada titik didihnya dan keluar
meninggalkan larutan bahan pangan. Pada produk makanan yang sensitif terhadap
suhu tinggi, maka titik didih pelarut harus diturunkan lebih rendah dari titik didih
pada kondisi normal (tekanan atmosfer) atau disebut sebagai vakum (Jamaluddin,
2011).
misalnya bidang teknik pertanian. Pada bidang teknik pertanian dapat diaplikasikan
pengentalan jus, pembuatan gula, dan lain-lain (Aji et al., 2013). Evaporasi dapat
bahan pangan yang dihasilkan dari perlakuan panas dapat diminimalkan oleh desain
dan operasi dari peralatan. Produk dari proses evaporasi memiliki manfaat, yaitu
menjadikan konsumen merasa nyaman karena produk yang dihasilkan dapat berupa
METODE PRAKTIKUM
3.1.1 Alat
2. Gelas ukur
3. Gelas beaker
4. Timbangan digital
5. Pipet
6. Refraktometer
7. Pengaduk
8. Stopwatch
3.1.2 Bahan
1. Air (pelarut)
2. Sirup
Cara kerja pada praktikum ini adalah langkah pertama alat dan bahan
disiapkan pula air sebanyak 100 mL. Selanjutnya, sirup dan air tersebut
dilarutkan hingga rata di dalam gelas ukur. Setelah larutan jadi, dilakukan
pengukuran nilai Brix (B0)(%) awal dengan alat refraktometer. Sampel larutan
diambil dengan pipet lalu dimasukkan pada sensor alat. Tombol read ditekan
diatur pada 200 mmHg dan suhu 70˚C kemudian penguapan mulai dilakukan
serta waktunya dihitung dengan stopwatch. Setiap 5 menit suhu panas, suhu
mL) untuk diukur nilai brix tiap waktu (Bt)(%) dengan refraktometer.
yang ada di receiving flask ditimbang dan dicatat nilainya. Terakhir, dilakukan
pengamatan ulang dengan variabel tekanan yang berbeda, yaitu pada 250
mmHg.
Cara analisis data yang dilakukan pada praktikum ini dapat dibagi
(3.1)
Keterangan :
Dimana data yang digunakan adalah data awal dan akhir serta
Avrami
k = exp(b) dan nA = a
3.3.3 Menentukan Brix Prediksi dengan Metode Avrami
Keterangan :
t = waktu
k = konstanta
terhadap Waktu
sebagai berikut:
observasi
perhitungan analisis jumlah massa pemanas yang dibutuhkan. Dari hasil analisis
data, diperoleh jumlah massa pemanas yang dibutuhkan pada variasi tekanan 200
mmHg adalah sebesar 0,012547 kg sedangkan pada tekanan 250 mmHg adalah
sebesar 0,011867 kg. Dari hasil perhitungan tersebut, dapat diketahui bahwa
jumlah massa pemanas yang dibutuhkan pada tekanan 200 mmHg lebih banyak
daripada tekanan 250 mmHg. Hal ini dapat menunjukkan bahwa semakin rendah
suatu tekanan yang digunakan, maka jumlah massa pemanas yang dibutuhkan akan
semakin banyak. Tekanan yang semakin tinggi akan membuat proses pemanasan
menjadi lebih cepat, efektif, dan efisien sehingga jumlah massa pemanas yang
diperlukan hanya sedikit. Dengan jumlah massa sampel awal yang dibutuhkan
tersebut, maka massa air yang dapat diuapkan pada tekanan 200 mmHg dan 250
mmHg masing-masing adalah sebesar 0,00183 kg dan 0,00097 kg. Hal ini
menunjukkan bahwa hubungan antara jumlah massa pemanas dengan massa air
yang diuapkan adalah berbanding lurus. Efisiensi energi panas dipengaruhi oleh
suhu pemanas dan tekanan yang digunakan serta kandungan air dari suatu bahan
yang digunakan (Muhlisin et al., 2015). Semakin tinggi kadar air dalam suatu bahan
pangan, maka jumlah energi yang digunakan untuk proses evaporasi akan semakin
brix (Bt) observasi dan prediksi yang disajikan dalam tabel dan grafik sebagai
berikut:
Tabel 4.1 Hasil analisis laju perubahan brix dengan Metode Avrami pada
Brix ln(-ln((Bt- Bt
t
Observasi ln t Be)/(B0- prediksi SSE
(menit)
(%) Be))) (%)
0 24,4 #NUM! #NUM! 24,100 0,090000
5 24,5 1,609438 -2,525195 24,130 0,137119
10 24,3 2,302585 #NUM! 24,220 0,006476
15 24,5 2,708050 -2,525195 24,359 0,019803
20 24,6 2,995732 -1,789438 24,531 0,004799
25 24,6 3,218876 -1,789438 24,713 0,012720
30 25 3,401197 -0,479587 24,886 0,012958
35 25,1 3,555348 -0,257231 25,037 0,003986
40 25,3 3,688879 0,164374 25,158 0,020288
45 25,4 3,806662 0,382768 25,247 0,023357
50 25,5 3,912023 0,626902 25,309 0,036456
55 25,6 4,007333 0,941939 25,349 0,063025
60 25,7 4,094345 #NUM! 25,373 0,106948
Jumlah 0,53793445
Tabel 4.2 Hasil analisis laju perubahan brix dengan Metode Avrami pada tekanan
250 mmHg
Brix
t ln(-ln((Bt- Bt prediksi
Observasi ln t SSE
(menit) Be)/(B0-Be))) (%)
(%)
0 24,2 #NUM! #NUM! 24,200 0,000000
5 24,3 1,609438 -2,250367 24,223 0,005952
10 24,4 2,302585 -1,499940 24,292 0,011676
15 24,5 2,708050 -1,030930 24,399 0,010112
20 24,6 2,995732 -0,671727 24,531 0,004716
25 24,7 3,218876 -0,366513 24,671 0,000820
30 24,8 3,401197 -0,087422 24,805 0,000022
35 24,9 3,555348 0,185627 24,921 0,000427
40 24,9 3,688879 0,185627 25,014 0,012885
45 25 3,806662 0,475885 25,082 0,006796
50 25,1 3,912023 0,834032 25,130 0,000903
55 25,2 4,007333 #NUM! 25,161 0,001542
60 25,2 4,094345 #NUM! 25,179 0,000432
Jumlah 0,05628274
Berdasarkan data tersebut, dapat dibuat suatu grafik yang berisi hubungan
laju brix dengan waktu pada variasi tekanan 200 mmHg dan 250 mmHg yang dapat
1,5
1
y = 0.3484x - 1.6111
0,5
ln(-ln((Bt-Be)/(B0-Be)))
0
0 0,5 1 1,5 2 2,5 3 3,5 4 4,5
-0,5
-1
-1,5
-2
-2,5
-3
ln t
Gambar 4.1 Grafik hubungan laju brix dengan waktu pada tekanan 200 mmHg
1
0
0 0,5 1 1,5 2 2,5 3 3,5 4 4,5
-0,5
-1
-1,5
-2
-2,5
ln t
Gambar 4.2 Grafik hubungan laju brix dengan waktu pada tekanan 250 mmHg
Dari gambar 4.1 dan 4.2 tersebut, dapat dilihat laju perubahan brix dengan
diperoleh nilai konstanta laju perubahan brix yang dinyatakan dalam variabel a dan
diperoleh nilai k sebesar 5,008 dan nA sebesar 0,3484. Adapun, pada tekanan 250
sebesar 4,117 dan nA sebesar 0,3606. Selanjutnya, nilai k dan nA digunakan untuk
observasi dengan brix prediksi terhadap waktu yang disajikan dalam bentuk grafik
sebagai berikut:
31,2
31
30,8
Brix (%)
30,6
30,4 Observasi
prediksi
30,2
30
29,8
0 10 20 30 40 50 60 70
Waktu (menit)
Gambar 4.3 Grafik perbandingan antara brix observasi dengan brix prediksi
31,2
31
30,8
Brix (%)
30,6
30,4 Observasi
prediksi
30,2
30
29,8
0 10 20 30 40 50 60 70
Waktu (menit)
Gambar 4.4 Grafik perbandingan antara brix observasi dengan brix prediksi
Berdasarkan pada gambar 4.3, dapat dilihat bahwa nilai brix observasi dan
prediksi pada tekanan 200 mmHg tidak terlalu jauh berbeda seiring bertambahnya
waktu. Adapun, pada gambar 4.4, dapat dilihat bahwa nilai brix observasi dan
prediksi pada tekanan 250 mmHg juga tidak terlalu berbeda jauh seiring
bertambahnya waktu sehingga diperoleh garis grafik yang sedikit berjarak. Pada
data brix observasi, baik tekanan 200 mmHg maupun 250 mmHg terdapat fluktuasi
nilai yang tidak berurutan peningkatannya, sedangkan pada data brix prediksi
terdapat peningkatan nilai yang berurutan. Pada nilai brix observasi memiliki nilai
yang lebih tinggi dibandingkan dengan brix prediksi pada kedua tekanan.
Penggunaan Metode Avrami dalam menentukan laju perubahan brix juga dinilai
baik dan cukup akurat. Dalam menguji keakuratan hasil tersebut, dapat dibuat
grafik perbandingan seperti yang terlihat pada gambar 4.5 dan gambar 4.6. Hal ini
31,2
31 R² = 0,9734
Brix Observasi (%)
30,8
30,6
30,4
30,2
30
29,8
29,800 30,000 30,200 30,400 30,600 30,800 31,000 31,200
Brix Prediksi (%)
Gambar 4.5 Grafik hubungan brix prediksi dengan brix observasi pada tekanan
200 mmHg
30,8
30,7
Brix Observasi (%) 30,6 R² = 0,9717
30,5
30,4
30,3
30,2
30,1
30
29,9
30,200 30,300 30,400 30,500 30,600 30,700 30,800 30,900 31,000 31,100
Brix Prediksi (%)
Gambar 4.6 Grafik hubungan brix prediksi dengan brix observasi pada tekanan
250 mmHg
Berdasarkan gambar 4.5 dan 4.6, diperoleh nilai R2 pada tekanan 200
mmHg sebesar 0,9329, sedangkan nilai R2 pada tekanan 250 mmHg sebesar 0,9761.
Nilai R2 yang mendekati 1 menunjukkan bahwa data observasinya valid atau akurat.
Hal ini dapat disimpulkan bahwa data brix observasi, baik pada tekanan 200 mmHg
Setelah diperoleh hubungan antara nilai brix prediksi dengan brix observasi,
dilakukan pula perhitungan SSE (Sum of Squares Error). Nilai SSE menyatakan
perbedaan antara nilai observasi dengan nilai prediksi. Nilai SSE merupakan hasil
penjumlahan dari seluruh jarak masing-masing data dengan titik pusat kelompok
data. Menurut Pratama dan Harjoko (2015), semakin kecil nilai SSE yang
diperoleh, maka data yang dihasilkan akan semakin seragam dan semakin baik.
Apabila nilai SSE yang diperoleh mendekati 0, maka nilai error-nya kecil.
Berdasarkan hasil analisis data, diperoleh hasil perhitungan SSE pada tekanan 200
mmHg dan 250 mmHg yang dapat dilihat pada tabel 4.1 dan 4.2. Pada tekanan 200
mmHg, diperoleh nilai SSE sebesar 0,538. Hal ini menunjukkan bahwa pada data
brix observasi dan prediksi terdapat nilai erorr yang kecil. Adapun, pada tekanan
250 mmHg, diperoleh nilai SSE sebesar 0,056. Hal ini menunjukkan bahwa pada
data brix observasi dan prediksi terdapat nilai error yang kecil.
kekurangan pada masing-masing nilai. Adapun, pada nilai SSE, tekanan 200 mmHg
memiliki tingkat error yang lebih kecil daripada tekanan 250 mmHg. Pada proses
evaporasi yang dilakukan diatur menggunakan vacuum. Prinsip kerja dari vacuum
adalah dengan cara menghisap udara agar tekanan udara dapat menurun sehingga
pada tekanan 200 mmHg, vacuum akan menghisap lebih banyak udara daripada
tekanan 250 mmHg. Semakin lama proses evaporasi, maka semakin tinggi nilai
brix-nya (Maharani et al., 2014). Selain itu, jumlah massa pemanas yang
dibutuhkan pada tekanan 200 mmHg lebih sedikit dibandingkan pada tekanan 250
mmHg. Hal ini dapat disimpulkan bahwa semakin rendah tekanan dan semakin
lama waktu proses evaporasi, maka nilai brix akan semakin meningkat.
BAB V
PENUTUP
5.1 Kesimpulan
sebagai berikut:
0,011867 kg.
2. Konstanta laju evaporasi yang dipakai pada 200 mmHg sebesar 5,0083
5.2 Saran