Anda di halaman 1dari 19

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Bahan hasil pertanian pada proses pascapanen masih melakukan

aktivitas metabolisme sehingga dapat memungkinkan terkena mikroorganisme

dan dapat menyebabkan daya simpan bahan tersebut rendah. Pada pengolahan

industri pangan, sering dijumpai proses pemisahan bahan pangan, baik secara

fisika maupun kimiawi. Evaporasi merupakan salah satu contoh proses

pemisahan secara kimiawi. Hal tersebut dilakukan pada proses pengolahan

industri pangan agar bahan pangan yang dihasilkan dapat lebih awet

dikarenakan bahan pangan yang telah dikonsentrasikan melalui proses

evaporasi akan mengurangi bakteri penyebab membusuknya produk pangan.

Evaporasi merupakan proses perpindahan panas dari bentuk cairan

menjadi uap yang berfungsi untuk menurunkan aktivitas air, meningkatkan

konsentrasi larutan, dan memperkecil volume larutan sehingga akan

menghemat biaya pengepakan, penyimpanan, dan transportasi. Pada umumnya,

proses evaporasi dipengaruhi oleh beberapa faktor, antara lain kecepatan

penghantaran panas yang diuapkan ke bahan, ketersediaan jumlah panas,

solubility, suhu maksimum yang dapat dicapai, pembentukan busa, sensitivitas

bahan terhadap suhu, konsentrasi bahan, dan tekanan yang terdapat pada alat

evaporator (Praptiningsih, 2010). Oleh karena itu, praktikum ini dilakukan

untuk mendapatkan massa yang lebih pekat dengan jalan menguapkan sebagian

air yang ada pada massa cair,


1.2 Tujuan

Adapun tujuan dilakukannya praktikum ini adalah sebagai berikut:

1. Mempelajari kesetimbangan massa pada proses evaporasi

2. Mengetahui konstanta laju evaporasi


BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

Evaporasi merupakan suatu proses pengurangan kadar air yang terkandung

dalam sebuah larutan. Alat yang digunakan untuk proses evaporasi disebut dengan

evaporator (Fitri et al., 2016). Evaporasi bertujuan untuk memekatkan larutan yang

terdiri dari zat terlarut dimana memiliki sifat tidak mudah menguap dengan

pelarutnya yang bersifat mudah menguap. Pada proses evaporasi terjadi suatu

perubahan fase bahan yang akan diproses, yaitu fase cair (Waziiroh et al., 2017).

Evaporasi dipengaruhi oleh beberapa faktor, antara lain kecepatan penghantaran

panas yang diuapkan ke bahan, ketersediaan jumlah panas, solubility, suhu

maksimum yang dapat dicapai, pembentukan busa, sensitivitas bahan terhadap

suhu, konsentrasi bahan, dan tekanan yang terdapat pada alat evaporator

(Praptiningsih, 2010). Suhu pada proses evaporasi sangat berpengaruh dikarenakan

suhu yang terlalu tinggi dapat merusak bahan yang dievaporasi (Butchi, 2018).

Semakin tinggi suhu yang digunakan, maka penguapan yang terjadi semakin cepat.

Suhu evaporasi biasanya digunakan pada nilai serendah mungkin dan waktu yang

digunakan juga harus singkat. Semakin lama proses evaporasi yang terjadi, maka

semakin banyak zat gizi yang hilang dari suatu bahan pangan.

Rotary vacuum evaporator merupakan alat yang digunakan untuk

menguapkan suatu pelarut. Komponen utama pada alat ini adalah vacuum system

dimana terdiri dari vacuum pump dan controller, labu evaporasi yang diputar dan

dipanaskan dalam water bath chamber, serta kondensor dengan labu penampung

kondensat. Prinsip kerja dari alat ini didasari pada titik didih dari pelarut dan
tekanan yang menyebabkan uap pelarut dapat terkumpul di atas. Selain itu, adanya

kondensor juga menyebabkan uap pelarut dapat mengalami proses pengembunan

sehingga embun dapat jatuh pada receiving flask (Mushlihin et al., 2015). Pada

proses evaporasi, zat pelarut akan menguap pada titik didihnya dan keluar

meninggalkan larutan bahan pangan. Pada produk makanan yang sensitif terhadap

suhu tinggi, maka titik didih pelarut harus diturunkan lebih rendah dari titik didih

pada kondisi normal (tekanan atmosfer) atau disebut sebagai vakum (Jamaluddin,

2011).

Pengaplikasian proses evaporasi dapat dilakukan pada beberapa bidang,

misalnya bidang teknik pertanian. Pada bidang teknik pertanian dapat diaplikasikan

pada pembuatan ekstrak buah-buahan menjadi pewarna, pembuatan sirup,

pengentalan jus, pembuatan gula, dan lain-lain (Aji et al., 2013). Evaporasi dapat

menghemat energi pada operasi selanjutnya dan mampu mengurangi biaya

pengepakan, penyimpanan, dan transportasi (Alva, 2015). Perubahan pada kualitas

bahan pangan yang dihasilkan dari perlakuan panas dapat diminimalkan oleh desain

dan operasi dari peralatan. Produk dari proses evaporasi memiliki manfaat, yaitu

menjadikan konsumen merasa nyaman karena produk yang dihasilkan dapat berupa

cairan atau konsentrasi yang lebih tinggi/murni.


BAB III

METODE PRAKTIKUM

3.1 Alat dan Bahan

3.1.1 Alat

Alat yang digunakan pada praktikum ini adalah sebagai berikut:

1. Rotary Vacuum Evaporator

2. Gelas ukur

3. Gelas beaker

4. Timbangan digital

5. Pipet

6. Refraktometer

7. Pengaduk

8. Stopwatch

3.1.2 Bahan

Bahan yang digunakan pada praktikum ini adalah sebagai berikut:

1. Air (pelarut)

2. Sirup

3.2 Cara Kerja

Cara kerja pada praktikum ini adalah langkah pertama alat dan bahan

disiapkan terlebih dahulu. Selanjutnya, sirup ditimbang sebanyak 50 gram dan

disiapkan pula air sebanyak 100 mL. Selanjutnya, sirup dan air tersebut

dilarutkan hingga rata di dalam gelas ukur. Setelah larutan jadi, dilakukan

pengukuran nilai Brix (B0)(%) awal dengan alat refraktometer. Sampel larutan
diambil dengan pipet lalu dimasukkan pada sensor alat. Tombol read ditekan

dan nilai Brix-nya akan muncul kemudian dicatat nilai Brix-nya.

Setelah itu, larutan dimasukkan ke dalam sample flask dan dilakukan

proses evaporasi dengan rotary vacuum evaporator. Tekanan pada evaporator

diatur pada 200 mmHg dan suhu 70˚C kemudian penguapan mulai dilakukan

serta waktunya dihitung dengan stopwatch. Setiap 5 menit suhu panas, suhu

dingin, dan tekanan yang ditunjukkan evaporator dicatat. Tabung sampel

(sample flask) dilepas kemudian ditimbang dan diambil sampel larutannya (1

mL) untuk diukur nilai brix tiap waktu (Bt)(%) dengan refraktometer.

Pengamatan ini dilakukan selama 60 menit. Setelah pengamatan selesai, air

yang ada di receiving flask ditimbang dan dicatat nilainya. Terakhir, dilakukan

pengamatan ulang dengan variabel tekanan yang berbeda, yaitu pada 250

mmHg.

3.3 Cara Analisis Data

Cara analisis data yang dilakukan pada praktikum ini dapat dibagi

menjadi beberapa bagian sebagai berikut:

3.3.1 Kebutuhan Jumlah Massa Pemanas yang Dibutuhkan (mh)

Kebutuhan jumlah massa pemanas yang dibutuhkan (mh) dapat

dihitung dengan persamaan sebagai berikut:

(𝑚𝑖 . 𝐶𝑝 . 𝑇𝑖) + (𝑚ℎ . 𝐻ℎ) = (𝑚𝑜 . 𝐶𝑝 . 𝑇𝑜) + (𝑚𝑢 . 𝐻𝑢)

(3.1)

Keterangan :

mi = massa bahan awal (kg)


Cp = spesific heat bahan (kJ/kg. ℃)

Ti = suhu bahan awal (℃)

mh = massa pemanas (kg)

Hh = entalpi pemanas (kJ/kg)

mo = massa bahan akhir (kg)

To = suhu bahan akhir = suhu pemanas (℃)

mu = massa air yang diuapkan (mi-mo)(kg)

Hu = entalpi air yang diuapkan (kJ/kg)

Dimana data yang digunakan adalah data awal dan akhir serta

nilai H (entalpi) dicari di tabel uap (A-9).

3.3.2 Menentukan Konstanta Laju Perubahan Brix (k) dengan Metode

Avrami

Untuk mencari nilai k dan nA, maka


𝐵𝑡−𝐵𝑒
• Dibuat data ln t dan ln (−𝑙𝑛 𝐵𝑜−𝐵𝑒)

• Data tersebut diplot ke dalam grafik, dimana ln t di sumbu x dan ln


𝐵𝑡−𝐵𝑒
(−𝑙𝑛 𝐵𝑜−𝐵𝑒) di sumbu y, kemudian, di add trendline, equation.

• Dari grafik diperoleh persamaan y = ax-b, lalu dapat dicari nilai

k = exp(b) dan nA = a
3.3.3 Menentukan Brix Prediksi dengan Metode Avrami

Brix prediksi dengan metode avrami dapat dihitung dengan

persamaan sebagai berikut:

Bt = 1 – 𝑒𝑥𝑝 (-k . tnA) (Be – B0) + B0 (3.2)

Keterangan :

Bt = brix prediksi (%)

t = waktu

k = konstanta

Be = brix akhir (menit ke-60)(%)

B0 = brix awal (%)

3.3.4 Grafik Perbandingan Antara Brix Observasi dengan Prediksi

terhadap Waktu

• Setelah didapat Bt prediksi tiap waktu

• Dibuat grafik perbandingan antara brix observasi dengan prediksi

terhadap waktu, seperti dibawah ini:


3.3.5 Uji Validasi Data Observasi

• Dibuat grafik hubungan antara brox observasi dengan brix prediksi

• Kemudian di add trendline, R square

• Jika R2 mendekati 2, maka data observasinya valid

3.3.6 Perhitungan Nilai SSE (Sum of Squared Error)

Nilai SSE untuk data observasi dapat dihitung dengan persamaan

sebagai berikut:

SSE = (Bobs – Bprediksi)² (3.3)

• Nilai SSE per waktu dijumlahkan sehingga menjadi nilai SSE

observasi

• SSE mendekati 0 maka nilai errornya kecil


BAB IV

HASIL DAN PEMBAHASAN

Praktikum tentang “Proses Evaporasi” ini menggunakan suatu alat yang

disebut dengan rotary vacuum evaporator. Pada praktikum ini, dilakukan

perhitungan analisis jumlah massa pemanas yang dibutuhkan. Dari hasil analisis

data, diperoleh jumlah massa pemanas yang dibutuhkan pada variasi tekanan 200

mmHg adalah sebesar 0,012547 kg sedangkan pada tekanan 250 mmHg adalah

sebesar 0,011867 kg. Dari hasil perhitungan tersebut, dapat diketahui bahwa

jumlah massa pemanas yang dibutuhkan pada tekanan 200 mmHg lebih banyak

daripada tekanan 250 mmHg. Hal ini dapat menunjukkan bahwa semakin rendah

suatu tekanan yang digunakan, maka jumlah massa pemanas yang dibutuhkan akan

semakin banyak. Tekanan yang semakin tinggi akan membuat proses pemanasan

menjadi lebih cepat, efektif, dan efisien sehingga jumlah massa pemanas yang

diperlukan hanya sedikit. Dengan jumlah massa sampel awal yang dibutuhkan

tersebut, maka massa air yang dapat diuapkan pada tekanan 200 mmHg dan 250

mmHg masing-masing adalah sebesar 0,00183 kg dan 0,00097 kg. Hal ini

menunjukkan bahwa hubungan antara jumlah massa pemanas dengan massa air

yang diuapkan adalah berbanding lurus. Efisiensi energi panas dipengaruhi oleh

suhu pemanas dan tekanan yang digunakan serta kandungan air dari suatu bahan

yang digunakan (Muhlisin et al., 2015). Semakin tinggi kadar air dalam suatu bahan

pangan, maka jumlah energi yang digunakan untuk proses evaporasi akan semakin

besar sehingga dapat menyebabkan efisiensinya menjadi turun.


Berdasarkan praktikum yang telah dilakukan, diperoleh hasil analisis data

brix (Bt) observasi dan prediksi yang disajikan dalam tabel dan grafik sebagai

berikut:

Tabel 4.1 Hasil analisis laju perubahan brix dengan Metode Avrami pada

tekanan 200 mmHg

Brix ln(-ln((Bt- Bt
t
Observasi ln t Be)/(B0- prediksi SSE
(menit)
(%) Be))) (%)
0 24,4 #NUM! #NUM! 24,100 0,090000
5 24,5 1,609438 -2,525195 24,130 0,137119
10 24,3 2,302585 #NUM! 24,220 0,006476
15 24,5 2,708050 -2,525195 24,359 0,019803
20 24,6 2,995732 -1,789438 24,531 0,004799
25 24,6 3,218876 -1,789438 24,713 0,012720
30 25 3,401197 -0,479587 24,886 0,012958
35 25,1 3,555348 -0,257231 25,037 0,003986
40 25,3 3,688879 0,164374 25,158 0,020288
45 25,4 3,806662 0,382768 25,247 0,023357
50 25,5 3,912023 0,626902 25,309 0,036456
55 25,6 4,007333 0,941939 25,349 0,063025
60 25,7 4,094345 #NUM! 25,373 0,106948
Jumlah 0,53793445

Tabel 4.2 Hasil analisis laju perubahan brix dengan Metode Avrami pada tekanan

250 mmHg

Brix
t ln(-ln((Bt- Bt prediksi
Observasi ln t SSE
(menit) Be)/(B0-Be))) (%)
(%)
0 24,2 #NUM! #NUM! 24,200 0,000000
5 24,3 1,609438 -2,250367 24,223 0,005952
10 24,4 2,302585 -1,499940 24,292 0,011676
15 24,5 2,708050 -1,030930 24,399 0,010112
20 24,6 2,995732 -0,671727 24,531 0,004716
25 24,7 3,218876 -0,366513 24,671 0,000820
30 24,8 3,401197 -0,087422 24,805 0,000022
35 24,9 3,555348 0,185627 24,921 0,000427
40 24,9 3,688879 0,185627 25,014 0,012885
45 25 3,806662 0,475885 25,082 0,006796
50 25,1 3,912023 0,834032 25,130 0,000903
55 25,2 4,007333 #NUM! 25,161 0,001542
60 25,2 4,094345 #NUM! 25,179 0,000432
Jumlah 0,05628274

Berdasarkan data tersebut, dapat dibuat suatu grafik yang berisi hubungan

laju brix dengan waktu pada variasi tekanan 200 mmHg dan 250 mmHg yang dapat

dilihat pada gambar 4.1 dan 4.2 sebagai berikut:

1,5

1
y = 0.3484x - 1.6111
0,5
ln(-ln((Bt-Be)/(B0-Be)))

0
0 0,5 1 1,5 2 2,5 3 3,5 4 4,5
-0,5

-1

-1,5

-2

-2,5

-3
ln t

Gambar 4.1 Grafik hubungan laju brix dengan waktu pada tekanan 200 mmHg
1

ln(-ln((Bt-Be)/(B0-Be))) 0,5 y = 0.3606x - 1.4153

0
0 0,5 1 1,5 2 2,5 3 3,5 4 4,5
-0,5

-1

-1,5

-2

-2,5
ln t

Gambar 4.2 Grafik hubungan laju brix dengan waktu pada tekanan 250 mmHg

Dari gambar 4.1 dan 4.2 tersebut, dapat dilihat laju perubahan brix dengan

Metode Avrami. Laju perubahan brix diperoleh dari hubungan ln(-ln((Bt-Be)/(Bo-

Be))) terhadap ln t menghasilkan persamaan y = ax-b. Dari persamaan tersebut,

diperoleh nilai konstanta laju perubahan brix yang dinyatakan dalam variabel a dan

b dimana a menunjukkan nilai nA dan exponensial alami dari b menunjukkan nilai

k. Pada tekanan 200 mmHg, dihasilkan persamaan y = 0,3484x – 1,6111 sehingga

diperoleh nilai k sebesar 5,008 dan nA sebesar 0,3484. Adapun, pada tekanan 250

mmHg, dihasilkan persamaan y = 0,3606x – 1,4153 sehingga diperoleh nilai k

sebesar 4,117 dan nA sebesar 0,3606. Selanjutnya, nilai k dan nA digunakan untuk

menghitung brix (Bt) prediksi. Selanjutnya, diperoleh hasil perbandingan brix

observasi dengan brix prediksi terhadap waktu yang disajikan dalam bentuk grafik

sebagai berikut:
31,2

31

30,8
Brix (%)

30,6

30,4 Observasi
prediksi
30,2

30

29,8
0 10 20 30 40 50 60 70
Waktu (menit)

Gambar 4.3 Grafik perbandingan antara brix observasi dengan brix prediksi

terhadap waktu pada tekanan 200 mmHg

31,2

31

30,8
Brix (%)

30,6

30,4 Observasi
prediksi
30,2

30

29,8
0 10 20 30 40 50 60 70
Waktu (menit)

Gambar 4.4 Grafik perbandingan antara brix observasi dengan brix prediksi

terhadap waktu pada tekanan 250 mmHg

Berdasarkan pada gambar 4.3, dapat dilihat bahwa nilai brix observasi dan

prediksi pada tekanan 200 mmHg tidak terlalu jauh berbeda seiring bertambahnya

waktu. Adapun, pada gambar 4.4, dapat dilihat bahwa nilai brix observasi dan

prediksi pada tekanan 250 mmHg juga tidak terlalu berbeda jauh seiring
bertambahnya waktu sehingga diperoleh garis grafik yang sedikit berjarak. Pada

data brix observasi, baik tekanan 200 mmHg maupun 250 mmHg terdapat fluktuasi

nilai yang tidak berurutan peningkatannya, sedangkan pada data brix prediksi

terdapat peningkatan nilai yang berurutan. Pada nilai brix observasi memiliki nilai

yang lebih tinggi dibandingkan dengan brix prediksi pada kedua tekanan.

Penggunaan Metode Avrami dalam menentukan laju perubahan brix juga dinilai

baik dan cukup akurat. Dalam menguji keakuratan hasil tersebut, dapat dibuat

grafik perbandingan seperti yang terlihat pada gambar 4.5 dan gambar 4.6. Hal ini

dilakukan untuk menguji validasi data observasi dimana validasinya ditunjukkan

pada nilai R2 yang dihasilkan dari trendline grafik sebagai berikut:

31,2

31 R² = 0,9734
Brix Observasi (%)

30,8
30,6

30,4

30,2
30

29,8
29,800 30,000 30,200 30,400 30,600 30,800 31,000 31,200
Brix Prediksi (%)

Gambar 4.5 Grafik hubungan brix prediksi dengan brix observasi pada tekanan
200 mmHg
30,8
30,7
Brix Observasi (%) 30,6 R² = 0,9717

30,5
30,4
30,3
30,2
30,1
30
29,9
30,200 30,300 30,400 30,500 30,600 30,700 30,800 30,900 31,000 31,100
Brix Prediksi (%)

Gambar 4.6 Grafik hubungan brix prediksi dengan brix observasi pada tekanan
250 mmHg

Berdasarkan gambar 4.5 dan 4.6, diperoleh nilai R2 pada tekanan 200

mmHg sebesar 0,9329, sedangkan nilai R2 pada tekanan 250 mmHg sebesar 0,9761.

Nilai R2 yang mendekati 1 menunjukkan bahwa data observasinya valid atau akurat.

Hal ini dapat disimpulkan bahwa data brix observasi, baik pada tekanan 200 mmHg

maupun 250 mmHg merupakan data yang cukup valid.

Setelah diperoleh hubungan antara nilai brix prediksi dengan brix observasi,

dilakukan pula perhitungan SSE (Sum of Squares Error). Nilai SSE menyatakan

perbedaan antara nilai observasi dengan nilai prediksi. Nilai SSE merupakan hasil

penjumlahan dari seluruh jarak masing-masing data dengan titik pusat kelompok

data. Menurut Pratama dan Harjoko (2015), semakin kecil nilai SSE yang

diperoleh, maka data yang dihasilkan akan semakin seragam dan semakin baik.

Apabila nilai SSE yang diperoleh mendekati 0, maka nilai error-nya kecil.

Berdasarkan hasil analisis data, diperoleh hasil perhitungan SSE pada tekanan 200

mmHg dan 250 mmHg yang dapat dilihat pada tabel 4.1 dan 4.2. Pada tekanan 200
mmHg, diperoleh nilai SSE sebesar 0,538. Hal ini menunjukkan bahwa pada data

brix observasi dan prediksi terdapat nilai erorr yang kecil. Adapun, pada tekanan

250 mmHg, diperoleh nilai SSE sebesar 0,056. Hal ini menunjukkan bahwa pada

data brix observasi dan prediksi terdapat nilai error yang kecil.

Pada kedua tekanan proses evaporasi ini, diperoleh kelebihan dan

kekurangan pada masing-masing nilai. Adapun, pada nilai SSE, tekanan 200 mmHg

memiliki tingkat error yang lebih kecil daripada tekanan 250 mmHg. Pada proses

evaporasi yang dilakukan diatur menggunakan vacuum. Prinsip kerja dari vacuum

adalah dengan cara menghisap udara agar tekanan udara dapat menurun sehingga

pada tekanan 200 mmHg, vacuum akan menghisap lebih banyak udara daripada

tekanan 250 mmHg. Semakin lama proses evaporasi, maka semakin tinggi nilai

brix-nya (Maharani et al., 2014). Selain itu, jumlah massa pemanas yang

dibutuhkan pada tekanan 200 mmHg lebih sedikit dibandingkan pada tekanan 250

mmHg. Hal ini dapat disimpulkan bahwa semakin rendah tekanan dan semakin

lama waktu proses evaporasi, maka nilai brix akan semakin meningkat.
BAB V

PENUTUP

5.1 Kesimpulan

Berdasarkan praktikum yang telah dilakukan, dapat ditarik kesimpulan

sebagai berikut:

1. Kesetimbangan massa pada proses evaporasi diperoleh dengan

dihasilkannya jumlah massa pemanas yang dibutuhkan pada variasi

tekanan 200 mmHg sebesar 0,012547 kg dan 250 mmHg sebesar

0,011867 kg.

2. Konstanta laju evaporasi yang dipakai pada 200 mmHg sebesar 5,0083

dan 250 mmHg sebesar 4,117.

5.2 Saran

Praktikum ini sudah berjalan dengan baik.


DAFTAR PUSTAKA

Alva. (2015). Evaporasi. Dalam https://www.alfalaval.id/products/process-


solutions/evaporation-systems/evaporator/. Diakses pada hari Selasa, 13
September 2022 pukul 14.47 WIB.
Aji, A., Meriatna, dan Ferani, A. S. (2013). Pembuatan pewarna makanan dari kulit
buah manggis dengan proses ekstraksi. Jurnal Teknologi Kimia Unimal.
2(2), 1-15.
Butchi. (2018). Teknik Evaporasi Berputar dan Proses Distilasi. Dalam. Diakses
pada hari Selasa, 13 September 2022 pukul 14.51 WIB.
Fitri, M. A., Suhadi, Altway, A., dan Susianto. (2016). Studi eksperimental falling
film evaporator pada evaporasi nira kental. Journal of research and
Technology. 2(1), 13-17.
Jamaluddin. (2011). Pengaruh Suhu dan Tekanan Vakum Terhadap Penguapan Air,
Perubahan Volume dan Rasio Densitas Keripik Buah Selama Dalam
Penggorengan Vakum. Jurnal Teknologi Pertanian 12(2).
Maharani, D. M., Yulianingsih, R., Dewi, S. R., Sugiarto, Y., dan Indriani, D. W.
(2014). Pengaruh penambahan natrium metabisulfit dan suhu pemasakan
dengan menggunakan teknologi vakum terhadap kualitas gula merah
tebu. Agritech. 34(4), 365-373.
Muhlisin, A., Hendrawan, Y., dan Yulianingsih, R. (2015). Uji performansi dan
keseimbangan massa evaporator vacuum double jacket tipe water jet
dalam pengolahan gula merah tebu (Saccharum officinarum L.). Jurnal
Keteknikan Pertanian Tropis dan Biosistem. 3(1), 24-36.
Praptiningsih, Y. (2010). Evaporasi dan Pengeringan. Jember: FTP UNEJ.
Waziiroh, E., Ali, D. Y., dan Istianah, N. (2017). Proses Termal pada Pengolahan
Pangan. Malang: UB Press.

Anda mungkin juga menyukai