Anda di halaman 1dari 5

Kucing di Sekolah

“Dia sepertinya lengket sekali padamu ya, Bianca!” Bianca tersenyum atas komentar yang sama untuk
kesekian kalinya. Tangannya kembali mengelus-elus lembut hewan berbulu dipangkuannya. Sudah tiga
hari ini Momon berada di sekolah. Kucing itu jarang sekali membuat masalah sehingga penghuni sekolah
jarang ada yang memperhatikannya. Ditambah, wajah sangar dengan bulu hitam pekatnya yang mampu
membuat orang-orang enggan untuk mendekatinya. Namun ketika jam istirahat, Bianca suka membawa
Momon menemaninya di kelas. Sehingga teman-teman di kelas Bianca sudah tidak asing dengan
kehadiran Momon dan bagaimana kedekatan diantara keduanya.

“Aku penasaran sejak lama, kenapa kamu membawa kucing itu kesini? Ah! Jangan salah paham, aku
bukannya tidak suka Momon. Hanya saja, bukankah dia kucing peliharaan milikmu?” Kata Raya. Gadis
berkacamata itu sesekali ikut mengelus-elus pelan Momon.

Bianca terdiam. Ia memandang Momon sedih. “Sebenarnya, Nenekku datang menginap. Nenek punya
alergi dengan bulu kucing, aku tidak bisa membiarkan Momon di dalam rumah. Tetanggaku juga tidak
suka kucing, dia bahkan tega memukul Momon saat aku tidak ada,” ujarnya. Bianca menggeleng pelan.
“Aku tidak bisa membiarkannya dilingkungan rumahku" lanjutnya lagi.

Raya mengangguk-anggukan kepalannya mengerti. Dia menghela nafasnya pelan. “Aku mengerti, aku
turut sedih mendengarnya. Kuharap Momon akan terus baik-baik saja disini.”

Ujaran positif dari gadis itu justru membuat pikiran-pikiran rumit Bianca muncul kembali. Bianca melirik
kearah pintu, melihat Jessi yang baru saja melangkahkan kakinya ke dalam kelas. Bianca punya
keyakinan tersendiri bahwa Jessi, perempuan paling galak di kelas, tidak suka dengan Momon. Jessi
adalah satu-satunya orang yang tidak pernah berkomentar apa-apa tentang kehadiran Momon di kelas,
namun dari cara dia melihat Momon jelas sekali menunjukkan ketidaksukaannya. Oleh karena
keyakinannya itu, Bianca menjadi was-was atas setiap tindakan Momon. Bianca takut kucingnya akan
bertindak seperti kucing lainnya yang sering kali menjengkelkan. Ia tidak mau membuat Jessi marah.

“Akh!” Jessi menjerit, menarik beberapa pasang mata di kelas. Membuyarkan lamunan Bianca.

“Kau baik-baik saja?” Bianca berjalan mendekati meja Jessi yang terpaut tiga meja darinya. Raut
khawatir terlukis di wajahnya. Bianca tidak terlalu dekat dengan Jessi, namun melihat teman sekelasnya
yang tiba-tiba menjerit membuatnya mau tidak mau berpikiran yang tidak tidak.
Jessi tidak menjawab. Gadis berkerudung hitam itu memandang kertas-kertas yang berserakan di atas
mejanya kesal. Jessi mendengus. “Dari awal kucing itu memang tidak seharusnya disini!!”

Kertas-kertas berisi catatan-catatan pelajaran yang semula rapih itu kini kotor, sudah tidak lagi
terbentuk. Sobekan-sobekan kertas berserakan dimana-mana. Goresan goresan berbentuk cakaran
menjadi bukti nyata perbuatan si Momon.

Bianca menelan ludah. Melirik kucing hitam yang bersandar manja di kakinya. Batinnya menggerutu
tentang betapa bodohnya ia meninggalkan Momon sendirian di kelas saat dzuhur. Bianca seharusnya
mengeluarkan kucing hitam itu terlebih dahulu dan menutup pintu kelas rapat seperti biasanya agar
Momon tidak masuk. Tapi sialnya, Bianca lupa hari ini.

“Maafkan aku, aku rasa aku lupa menutup pintu kelas tadi siang" Bianca berkata penuh penyesalan.

“Aku tidak peduli! Kau pikir selesai hanya dengan permintaan maafmu?! Kau pikir bagaimana
perasaanku setelah melihat catatan-catatan pelajaran yang sudah kubuat Seminggu penuh hancur
seperti ini?! Aku bahkan sering melewatkan jam istirahatku untuk ini!” Jessi menatap Bianca tajam.
Nafasnya memburu. Jessi begitu marah sekarang.

“Aku benar-benar minta maaf.. aku tidak sengaja, sungguh! Jessi aku-"

“Ah sudahlah! Kau dan kucing jelekmu sama saja merepotkannya!” Jessi menatap tajam Bianca untuk
terakhir kalinya sebelum ia melenggang pergi.

Bianca menatap kepergian Jessi, selanjutnya ditatapnya Momon yang ikut turut memandangnya.
Ekornya bergerak-gerak tegak sambil sesekali menggesek-gesekkan kepalanya di kaki gadis itu. Bianca
mengehela nafas. ‘Apa yang harus aku lakukan kepadamu?’ Batinnya sedih.

•••
Semenjak kejadian yang membuat emosinya lepas, Jessi dan Bianca tidak saling bertukar sapa. Jessi
menolak segala hal yang mengharuskannya bersama dengan Bianca. Jessi bahkan tidak mau menatap
gadis itu. Jessi dengan kepribadiannya keras, ini bukanlah yang pertama kalinya ia bertengkar dengan
teman sekelasnya. Dan itu juga yang menyebabkan Jessi kerap kali sendirian. Orang-orang enggan untuk
mendekatinya.

Langit sudah menunjukkan senjanya. Siswa dan siswi bersiap untuk pulang. “Jessi” Jessi menoleh,
mendapati Bianca dengan buku ditangannya. Jessi memutar bola matanya malas. Ia buru-buru kembali
merapihkan buku-bukunya.

Bianca menghela nafas. Ia sudah menduga Jessi akan mengabaikannya lagi. Ia menyodorkan buku tulis
itu kearah Jessi. “Aku tahu ini mungkin tidak akan selengkap milikmu atau serapih milikmu. Tapi
kuharap, ini tetap bisa membantu untuk belajarmu nanti."

Jessi mengangkat alisnya. Bianca memberinya buku berisi catatan-catatan seputar materi yang pernah
dibuatnya. Yang dibuatnya hingga berlembar-lembar namun hancur. Jessi meraih buku itu, ia
membolak-balikkannya. Memastikan bahwa di dalamnya benar-benar berisi catatan-catatan seputar
materi yang ia buat. “kau membuatnya sendiri? Hanya dalam sehari?” Jessi berkata takjub, tentu saja.
Jessi bahkan membutuhkan waktu sepekan untuk merangkum materi-materi itu, namun baru kemarin
catatan-catatan itu terkoyak dan Bianca sudah memberi gantinya hari ini.

“ya.. aku hanya sedikit bergadang”. Bianca mengalihkan pandangannya, namun ia tidak bisa
menyembunyikan kantong matanya yang semakin gelap.

“Aku benar-benar minta maaf Jessi. Salahku yang tidak mengawasi Monmon dengan benar.” Ucapnya
lagi menyesal.

Jessi diam untuk beberapa saat. Jessi sudah sering kali bertengkar dengan orang lain, Jessi juga paham
tentang bagaimana orang-orang memandangnya. Namun ini kali pertamanya mendapatkan permintaan
maaf tulus seperti yang Bianca berikan. Biasanya orang-orang akan menganggapnya sebagai satu-
satunya pihak yang bersalah karena kata-kata yang Jessi keluarkan. Kedua sudut bibirnya kemudian
tertarik keatas, menunjukkan lesung pipi yang sangat jarang terbentuk disana. “Tidak apa-apa.
Seharusnya aku yang minta maaf. Bianca, maaf atas kata-kata buruk yang aku katakan padamu kemarin.
Tolong jangan diambil hati ya, aku tidak pernah benar-benar serius mengucapkannya. Dan aku tidak
menyangka kau akan mengganti catatan-catatannya. Terimakasih!” ucapnya.

Bianca tersenyum lebar. Ia menghela nafas lega. “Sama-sama!”.


Momon mengeong, lagi-lagi bersandar manja di kaki Bianca. Mau tak mau menarik perhatian Jessi. “Lalu
bagaimana dengannya? Kau akan tetap membiarkannya disini?”

“ah.. itu.. Jessi, hanya untuk besok saja, bolehkan ia tetap disini? Aku baru bisa membawanya pulang
kalau Nenek sudah tidak ada di rumah. Kau tahu.. Nenekku memiliki alergi terhadap bulu kucing.” Bianca
bertanya ragu.

Jessi terdiam untuk beberapa saat. Keheningan yang terjadi selama beberapa detik itu nyatanya
sungguh menyiksa bagi Bianca. Ia tidak tahu harus berbuat apa jika pada akhirnya Jessi akan
memaksanya untuk membawa Momon pergi.

“Walaupun begitu, kucing itu memang tidak seharusnya disini Bianca.” Ujar Jessi, membangkitkan
kembali perasaan was-was Bianca. Bianca menghela nafasnya berat.

“Aku mengerti, tapi-"

“Bagaimana jika titipkan padaku dulu?” Potong Jessi. Bianca membulatkan matanya. Ia tidak pernah
berpikir Jessi akan menawarkan diri seperti ini. Bukankah Momon sudah lebih dari cukup membuatnya
kesal? Tunggu, bukankah Jessi membenci kucing? Bianca jadi meragukan pendengarannya.

Melihat raut wajah bingung Bianca membuat Jessi terkekeh pelan. “Ada apa dengan raut wajahmu itu?
Tenang saja, aku sudah tidak kesal lagi dengannya.”

“Benarkah? Tapi kupikir kau membenci kucing? Kau tahu.. kau terlihat tidak suka saat melihat Momon.
Atau aku salah?” Kata Bianca ragu.

“Aku benar-benar tidak pandai menyembunyikan ekspresiku rupanya" Jessi terkekeh pelan. “Yah.. kau
benar. Aku memang pernah sedikit memiliki dendam padanya, dia pernah mengotori sepatu putihku
yang masih baru, dan nodanya tidak bisa hilang. Itu cukup membuatku sangat marah saat itu. Tapi
bukan berarti aku tidak suka kucing.”

Bianca membulatkan matanya sekali lagi. Ia menunduk dan menatap tajam Momon. Selanjutnya,
kembali ditatapnya Jessi dengan tatapan penuh rasa bersalah untuk yang kedua kalinya. “Aku tidak
tahu! Astaga.. aku tidak tahu aku merawat kucing berjiwa penjahat. Kukira rupanya saja yang seperti
itu. Sungguh.. Jessi, aku benar-benar minta maaf.”

“Tidak apa-apa. Tidak usah dipikirkan. Toh kejadiannya sudah cukup lama. Omong-omong, aku tidak
bercanda saat kubilang kau bisa menitipkan Momon dirumahku.”

“Kau yakin? Aku merasa tidak enak.. bagaimana pun Momon sudah banyak sekali merepotkanmu.”
Bianca menghela nafasnya pelan.

“Sudah kubilang tidak usah dipikirkan. Atau.. sebenarnya kau masih berpikir aku masih memendam kesal
padanya? Tenang saja, bahkan jika pun benar begitu, aku tidak akan menggoreng Momon hanya karena
itu.” Jessi tertawa kecil. Mengundang tawa renyah Bianca.

“Terimakasih Jessi!” Bianca tersenyum lega.

“Sama-sama!”

Anda mungkin juga menyukai