Anda di halaman 1dari 11

KONSELING TERHADAP ANAK DIBAWAH UMUR DIKAJI DARI

ETIKA PSIKOLOGI.

Agatha T. Veronica Tampombebu

agathampombebu03@gmail.com

Abstrak:

Konselor seringkali menghadapi perdebatan terkait informed consent dan izin orang tua dalam melakukan konseling
pada anak di bawah umur. Menurut American Psychological Association (APA), jika seorang anak di bawah umur tidak
mendapatkan izin dari orang tua, konselor dapat memberikan penjelasan yang tepat kepada anak tersebut dan meminta
persetujuan individu. Jika izin orang tua tidak dapat diperoleh, konselor harus mengambil langkah-langkah untuk melindungi
hak dan kesejahteraan individu tersebut. Undang-undang No. 23 Tahun 2002 menyatakan bahwa anak di bawah umur yang
mengalami masalah pribadi wajib mendapatkan layanan konseling. Konseling bertujuan untuk membantu klien menemukan,
mempersiapkan, dan mengubah dirinya sendiri. Konselor harus dapat membahas batasan kerahasiaan dengan klien anak di
bawah umur, bahkan jika orang tua menyetujui layanan tersebut. Selain itu, konselor juga harus memahami undang-undang
terkait perawatan anak di bawah umur dan menyeimbangkan kebutuhan anak dengan permintaan orang tua terhadap
informasi hasil konseling. Kerahasiaan data klien anak di bawah umur juga menjadi isu, dimana konselor harus menjaga
kerahasiaan data dan hanya memberikannya kepada pihak yang berwenang.

Kata kunci: Etika konseling, anak dibawah umur

Abstrack:

Counselors often provide informed consent and parental permission when conducting counseling for minors.
According to the American Psychological Association (APA), if a minor does not have parental permission, counselors can
provide appropriate explanations to the child and seek individual consent. If parental consent cannot be obtained,
counselors must take steps to protect the rights and well-being of the individual. Law no. 23 of 2002 states that minors who
are experiencing personal problems are required to receive counseling services. Counseling aims to help clients discover,
prepare and change themselves. Counselors should be able to discuss boundaries of confidentiality with minor clients, even
if parents consent to the services. In addition, counselors must also understand the laws regarding the care of minors and
balance the child's needs with the parents' requests for information resulting from counseling. Confidentiality of minor client
data is also an issue, where counselors must maintain data confidentiality and only provide it to authorized parties.

Keywords: Counseling ethics, minors


A. Pendahuluan

Dalam Undang-undang No. 23 Tahun 2002 Bagian 1 Pasal 1 ditegaskan bahwa


anak merujuk pada individu yang mencapai usia 18 (delapan belas) tahun, termasuk
mereka yang masih berada dalam kandungan. Anak yang berusia di bawah 18 tahun dan
mengalami masalah dalam kehidupan pribadinya diwajibkan mendapatkan layanan
konseling sebagai panduan untuk mencapai perubahan positif. Konseling, dalam konteks
ilmu psikologi, merupakan bagian dari filsafat ilmu manusia yang membahas kondisi
jiwa, pikiran, dan perilaku manusia. Faiz, A., Dharmayanti, A., & Nofrita, N. (2018)
menjelaskan bahwa tujuan konseling adalah membantu konseli atau klien mencapai
potensi yang seharusnya dimilikinya melalui proses membimbing dirinya untuk
menemukan, mempersiapkan, dan mengubah dirinya. Barnett & Johnson, 2008
menjelaskan bahwa konselor harus mampu secara jelas untuk membahas batasan
kerahasiaan dengan klien anak dibawah umur sebagai bagian untuk mencapai
persetujuan, bahkan dalam kasus ketika orang tua wali menyetujui layanan yang
diberikan. Konseling dapat dikatakan sebagai keilmuan yang memiliki nilai dan tujuan
untuk memajukan manusia dalam proses belajar, memiliki nilai etika dan estetika, dalam
prinsip dan proses keilmuan sebagai makhluk yang holistik. Proses dalam konseling yang
dilakukan pada anak dibawah umur pastinya memerlukan surat izin yang didapatkan dari
orang tua wali karena memiliki hak penting bagi perkembangan anak saat melakukan
konseling.

Seorang konselor diharuskan memiliki pemahaman terhadap setiap undang-


undang atau peraturan yang berlaku di negaranya terkait prosedur perawatan terhadap
anak di bawah umur (Corey, dkk.,2011). Salah satu tantangan yang dihadapi oleh
konselor anak di bawah umur adalah menyeimbangkan kebutuhan anak terhadap
kerahasiaan dengan permintaan orang tua untuk mendapatkan informasi hasil konseling
anak (Benitez, 2004). Dalam konteks kode etik psikologi Indonesia, Pasal 24 membahas
mengenai kerahasiaan data klien, sehingga penting bagi konselor, psikolog, atau terapis
untuk menjaga kerahasiaan data dan hanya memberikannya kepada pihak yang
berwenang, dengan persetujuan dari klien (yang bersangkutan). Namun, fenomena yang
sering terjadi adalah kurangnya pemeliharaan kerahasiaan data anak di bawah umur
karena pertimbangan konselor untuk melanggar kerahasiaan berdasarkan tingkat
keparahan masalah perilaku yang dihadapi oleh anak (Issacs & Stone, 2001). Menurut
Benitez (2004), konseli yang berusia 12 tahun ke atas memiliki hak yang sama terhadap
kerahasiaan data mereka seperti halnya orang dewasa. Isu yang sering menjadi pusat
perdebatan di antara terapis atau konselor adalah perbedaan pendapat mengenai informed
consent dan kegiatan konseling yang melibatkan anak di bawah umur, terutama terkait
dengan persetujuan orang tua (Glosoff & Pate, 2002). Menurut American Psychological
Association (APA), dalam perspektif etika psikologi, jika seorang anak di bawah umur
tidak mendapatkan izin atau persetujuan konseling dari orang tua, konselor dapat
memberikan penjelasan yang tepat kepada individu tersebut. Konselor kemudian dapat
meminta persetujuan individu dengan mempertimbangkan kebaikan pribadi, dan setelah
itu, berusaha mendapatkan izin dari orang tua atau wali yang memiliki kewenangan
hukum (Corey, dkk., 2011). Jika izin tersebut tidak dapat diperoleh, konselor diizinkan
untuk mengambil langkah-langkah yang diperlukan guna melindungi hak dan
kesejahteraan individu tersebut.

Artikel ini bertujuan untuk menggali sejauh mana batasan dalam melaksanakan
konseling pada anak di bawah umur tanpa memberikan informasi menyeluruh yang
signifikan terkait izin orang tua dan juga mempertimbangkan batasan etika terkait
pelaksanaan konseling pada anak di bawah umur. Manfaat dari artikel ini adalah
memberikan informasi tentang etika kepada para profesional konseling, khususnya
mereka yang sering melakukan bimbingan dan konseling.

B. Tinjauan Pustaka
1. Etika Psikologi dalam Konseling
Dalam dunia psikologi memiliki aturan dalam beretika yang ditulisa buku Kode Etik
Psikologi yang berisikan ketentuan tertulis terkait nilai-nilai sebagai pegangan teguh bagi
seluruh psikolog dan ilmuan psikologi didalam menjalankan peran profesinya. Etika
merupakan sebuah kewajiban moral setiap manusia untuk berperilaku dalam kehidupan
(Hamnali, 2021). Menurut Alawiyah, dkk. (2020) menjelaskan bahwa prinsip etika yang
yang benar menuju level professional yakni otonomi, tidak melanggar kode etik,
menggunakan prinsip keadilan, kesetian, dan penuh kasih saying. Kelima hal ini
merupakan prinsip sejati dari seorang konselor. Dalam kode etik psikologi pasal 74 ayat
(1) bagian a-b menjelaskan bahwa (a) memiliki kompetensi dan kualifikasi untuk
menjalankan konseling psikologi/terapi psikologi yang akan dilaksanakan secara mandiri
dan/atau masih dalam supervise untuk melaksanakannya sesuai dengan kaidah
pelaksanaan konseling psikologi/ psikoterapi tersebut, (b) mengutamakan dasar-dasar
professional, (c) memberikan layanan konseling atau terapi kepada semua pihak yang
membutuhkan, (d) mampu bertanggung jawab untuk menghindari dampak buruk akibat
proses konseling atau terapi yang dilaksanakannya terhadap klien. Berdasarkan hal diatas,
maka dapat diartikan bahwa seorang yang akan melakukan konseling harus memiliki
standarisasi sebagai seorang professional dan mampu untuk mengikuti etika yang sudah
berlaku.

2. Anak di bawah umur

Dalam Undang-undang No.23 Tahun 2002 Bab I Pasal 1 disebutkan bahwa “anak
merupakan seseorang yang belum berusia 18 (delapan belas) tahun, termasuk anak yang
masih dalam kandung. Berdasarkan definisi ini dapat disimpulkan bahwa anak dibawah
umur adalah anak yang usianya dibawah dari 18 tahun menurut peraturan perundang-
undangan di Indonesia. Sedangkan dalam Hukum Perdata dalam pasal 330 KUHPerdata
menyatakan bahwa seseorang dikatakan belum diwasa jika belum mencapai usia dua
puluh satu tahun, belum kawin, dan apabila sudah kawin berarti sudah memasuki
dewasa. Pada intinya, seseorang dikatakan anak dibawah umur jika belum mencapai usia
kedewasaan, belum menikah, dan masih menjadi tanggungjawab orang tua.

Anak remaja yang berusia di bawah usia 14 tahun memiliki tingkat pemahaman
yang berbeda-beda tentang hak-hak mereka terkait konseling, namun umumnya dianggap
belum cukup mampu untuk memberikan persetujuan secara mandiri. Sebaliknya, anak-
anak yang berusia 14 tahun ke atas dianggap dapat memberikan persetujuan efektif untuk
layanan kesehatan mental tanpa memerlukan persetujuan dari orang tua mereka.
Meskipun demikian, penting untuk melibatkan orang tua dalam pengobatan anak di
bawah umur. Secara umum, semakin tua seorang anak, semakin besar kemampuannya
untuk terlibat dalam proses persetujuan yang terinformasi terkait konseling (Weithorn
1982).

C. Pembahasan
1. Usia anak di bawah umur yang bisa mendapatkan konseling

Menurut Croxton, Churchill, dan Fellin (1988), remaja antara usia 11 dan 14
memiliki pemahaman yang bervariasi tentang hak dan masalah hubungan konseling,
sehingga perlu dinilai berdasarkan tingkat perkembangan individu mereka. Mereka
juga berpendapat bahwa usia 14 tahun dapat dijadikan standar persetujuan untuk
konseling. Weithorn (1982) menyatakan bahwa anak di bawah umur yang berusia 14
tahun atau lebih dapat memberikan persetujuan efektif untuk layanan medis atau
kesehatan mental yang sah secara hukum untuk dirinya sendiri tanpa persetujuan dari
orang lain. Namun, Parker, Rubin, Price, & DeRosier (2017) menekankan pentingnya
melakukan bimbingan dan konseling sedini mungkin untuk membantu dalam
pembentukan fondasi menuju tahap perkembangan selanjutnya. Grisso & Vierling
(1978) menemukan bahwa anak di bawah umur 15 tahun ke atas kurang kompeten
dalam memberikan persetujuan dibandingkan orang dewasa. Mitchell, dkk. (2002)
menyatakan bahwa tingkat pemikiran operasi formal konsisten dengan kemampuan
anak untuk memahami hak dan masalah yang diperlukan untuk membuat keputusan
konseling yang terinformasi. Benitez (2004) menekankan bahwa semakin tua seorang
anak, semakin dia dapat diikutsertakan dalam proses informed consent yang
berlangsung.

2. Proses Informed consent dengan anak di bawah umur


Konsep lembar persetujuan merujuk pada prinsip hukum dan etika yang
mengharuskan konselor untuk menginformasikan kepada konseli mengenai potensi
risiko, manfaat, dan opsi terkait konseling yang diusulkan (Glosoff & Pate, 2002).
Informed consent merupakan persetujuan resmi dari konseli yang menandai
permulaan perjanjian yang sah, memungkinkan dimulainya proses treatment (Sori &
Hecker, 2015). Dalam kasus konseli di bawah umur atau yang tidak memiliki
kapasitas untuk memberikan informed consent sendiri, tanggung jawab biasanya
ditransfer kepada orang tua atau walinya. Meskipun tidak ada peraturan yang
mengharuskan konselor untuk mendapatkan izin tertulis dari orang tua sebelum
memberikan konseling kepada anak-anak, mendapatkan persetujuan tersebut
dianggap sebagai praktik terbaik, kecuali jika ada potensi risiko bagi anak di bawah
umur (Sori & Hecker, 2015). Konselor diharapkan untuk meminta orang tua
menandatangani formulir persetujuan pada sesi pertama sebagai tanda persetujuan
mereka terhadap perawatan anak di bawah umur.

Selain itu, konselor diwajibkan untuk menjelaskan prinsip kerahasiaan kepada


orang tua atau wali pada tahap awal konseling atau ketika proses informed consent
sedang berlangsung (Corey, dkk., 2011). Menurut APA (2002), jika seorang anak di
bawah umur tidak dapat memberikan persetujuan, konselor dapat memberikan
penjelasan yang tepat, meminta persetujuan dari individu tersebut,
mempertimbangkan preferensi dan kepentingan terbaik individu, dan mendapatkan
izin hukum dari pihak berwenang. Namun, jika persetujuan dari pihak berwenang
juga tidak dapat diperoleh, konselor diharapkan untuk mengambil tindakan yang
sesuai untuk melindungi hak dan kesejahteraan individu (Corey, dkk., 2011).

ACA (American Counseling Association, 1995) juga menyatakan bahwa


konselor dapat meminta partisipasi konseli dalam pengambilan keputusan yang
relevan dengan mempertimbangkan haknya dalam membuat keputusan (Corey, dkk.,
2011). Seorang anak di bawah umur dapat menetapkan perjanjian perawatan melalui
persetujuan orang tua, atas dorongan orang tua, atau melalui perintah pengadilan atau
hukum anak (Lawrence & Robinson Kurpius, 2000). Proses pengambilan keputusan
dapat melibatkan anak-anak dengan melibatkan orang tua dan anak sebagai tim
dalam membuat keputusan bersama (Weithorn, 1982)."

3. Konseling anak di bawah umur dan izin orang tua

Ketika konselor berurusan dengan konseli di bawah umur, pertanyaan seputar


sejauh mana informasi yang harus dibagikan kepada orang tua dapat menjadi suatu
dilema. Kode etik ACA (dalam Ledyard, 1998) menyarankan bahwa orang tua atau
wali memiliki potensi untuk menjadi kontributor berharga dalam proses konseling. Di
sebagian besar negara, izin dari orang tua atau wali diperlukan untuk memberikan
layanan konseling kepada anak di bawah umur (Lawrence & Robinson Kurpius,
2000). ASCA (2004) menegaskan pentingnya konselor untuk menghormati hak dan
tanggung jawab orang tua/wali terhadap anak mereka, serta berupaya membangun
kerjasama dengan mereka guna mendukung perkembangan konseli sebaik mungkin.

Sebuah langkah krusial bagi konselor adalah mengadakan pertemuan awal


dengan orang tua konseli di bawah umur, dimana informasi mengenai batasan yang
jelas dan pembentukan kepercayaan dapat diberikan (Lawrence & Robinson Kurpius,
2000; Ledyard, 1998). Pada umumnya, di lingkungan sekolah, terdapat formulir izin
dari orang tua yang mencakup persetujuan untuk konseling (Corey, dkk., 2011).
Remley & Herlihy (2010), dalam (Corey, dkk., 2011), menyatakan bahwa orang tua
yang menolak keterlibatan anak mereka dalam konseling mungkin memiliki dasar
hukum untuk hal tersebut.

Menurut Thompson & Rudolf (1996, dalam Lawrence & Robinson Kurpius,
2000), konselor harus menghormati privasi konseli di bawah umur, yang mencakup
hak mereka untuk memilih siapa yang dapat mengakses informasi tentang mereka.
Secara legal, orang tua biasanya memiliki wewenang untuk membuat keputusan
terkait privasi, termasuk tanda tangan persetujuan, pelepasan informasi, dan akses ke
catatan medis dan psikoterapi. Namun, keputusan ini tidak bisa diambil begitu saja,
melainkan perlu dievaluasi dari segi hukum dan etika.

Banyak ahli etika merekomendasikan agar konselor memperoleh persetujuan


baik dari konseli di bawah umur maupun dari orang tua mereka, terutama jika
konseling diantisipasi akan melibatkan beberapa sesi (Welfel, 2002). Konselor harus
menjelaskan kepada orang tua bahwa terapi yang efektif memerlukan kepercayaan
dari konseli, dan informasi mungkin dibagikan kepada orang tua jika dianggap
diperlukan dan sesuai oleh konselor (Corey, dkk., 2011). Orang tua juga perlu
diinformasikan tentang keputusan anak di bawah umur untuk menjalani konseling,
dan dengan menyampaikan tujuan dan batasan kerahasiaan konseling, konselor dapat
menghindari potensi komplikasi antara konselor dan orang tua (Herlihy & Corey,
2014).

4. Tantangan etika dan hukum terkait kerahasiaan dengan anak di bawah umur
Jika orang tua atau wali dari anak di bawah umur meminta informasi
mengenai kemajuan konseling, seorang terapis diharapkan memberikan umpan balik
kepada mereka (Corey dkk., 2011). Menurut Remley dan Herlihy (dalam Corey dkk.,
2011), dalam beberapa situasi, konselor mungkin memutuskan bahwa informasi yang
diungkapkan oleh konseli di bawah umur dalam sesi konseling harus diberikan
kepada orang tua atau wali. Namun, ada informasi yang bersifat sensitif dan lebih
baik tidak diungkapkan kepada orang tua atau wali. Etika mengenai keterlibatan
orang tua atau wali dalam proses konseling memahami bahwa orang dewasa
memiliki wewenang atas anak di bawah umur (Remley, dalam Corey dkk., 2011).
Konselor sering kali harus melanggar kerahasiaan jika ada ancaman terhadap
diri sendiri, ancaman terhadap orang lain, atau jika ada indikasi pelecehan atau
penelantaran terhadap anak atau orang tua (Lawrence & Robinson Kurpius, 2000).
Wester (2009) menyoroti kurangnya panduan etika dari ACA atau APA dalam
memandu konselor kapan melanggar kerahasiaan untuk anak di bawah umur. Dalam
konteks ini, konselor perlu memiliki keterampilan untuk mengidentifikasi tanda-
tanda perilaku merugikan diri sendiri, dan jika diperlukan, mencari pengawasan dan
konsultasi agar tetap beroperasi dalam batas kompetensi mereka (Lawrence &
Robinson Kurpius, 2000).
Beberapa faktor yang perlu dipertimbangkan oleh konselor sebelum
melanggar kerahasiaan adalah usia anak dan sejauh mana seriusnya perilaku tersebut
(Isaacs & Stone, 2001). Namun, semakin luas kebijakan pengungkapan informasi,
semakin sulit bagi anak di bawah umur untuk berbagi informasi penting dalam terapi
(Lawrence & Robinson Kurpius, 2000). Anak yang berusia 12 tahun atau lebih
memiliki hak privasi yang setara dengan orang dewasa (Benitez, 2004), dan konseli
di bawah umur memiliki hak untuk menentukan pilihan dalam mengikuti konseling
serta mempertahankan privasi dan kerahasiaan mereka (Glosoff & Pate, 2002).
Meskipun demikian, hak privasi anak di bawah umur tetap berada di bawah
kendali orang tua atau wali secara hukum (Glosoff & Pate, 2002). Jika orang tua
menginginkan informasi, konselor dapat menjadwalkan pertemuan dengan konseli
dan orang tua untuk memfasilitasi diskusi. Jika konseli menolak berbagi informasi
melalui proses ini dan orang tua tetap bersikeras, konselor mungkin harus
memberitahu konseli bahwa, meskipun bertentangan dengan keinginan mereka,
konselor perlu mengungkapkan informasi kepada orang tua. Agar hubungan
konseling tetap utuh, konselor dapat mengungkapkan informasi yang benar-benar
penting sesuai dengan standar pengungkapan.
Konselor perlu berhati-hati dalam memberikan layanan konseling kepada anak
di bawah umur, karena orang tua atau wali yang merasa tidak mendapat informasi
sesuai keinginan atau merasa konselor menyembunyikan informasi dapat melibatkan
tindakan hukum. Jika konselor memberikan treatment kepada anak di bawah umur
tanpa izin orang tua, minimal konselor harus meminta persetujuan tertulis dari anak
tersebut. Namun, risiko hukum tetap harus diperhatikan (Lawrence & Robinson
Kurpius, 2000). Jika orang tua yang sah menginginkan konselor untuk
mengungkapkan informasi mengenai proses konseling anak di bawah umur, konselor
dapat mengambil beberapa pendekatan untuk menangani situasi tersebut. Salah satu
pendekatan adalah menggunakan empati untuk memahami perasaan orang tua dan
memberikan pandangan alternatif tentang pertumbuhan anak mereka, meyakinkan
bahwa anak dapat mengatasi masalahnya dengan baik meskipun memerlukan waktu.
(Mitchell dkk., 2002).

Kesimpulan

Berdasarkan penelitian penulis, dapat disimpulkan bahwa konseling merupakan


metode yang efektif untuk membantu individu yang memerlukan dukungan dari para
profesional seperti konselor. Konseling yang efektif harus mematuhi aturan dan prinsip-
prinsip yang berlaku serta sesuai dengan kode etik profesi. Penerapan informed consent
merupakan langkah yang penting dalam konseling anak di bawah umur, yang melibatkan
kesepakatan selama proses konseling. Anak di bawah umur dapat menjalani konseling apabila
mereka telah mencapai tingkat pemikiran operasional formal. Jika anak tersebut tidak mampu
memberikan informed consent, kewajiban tersebut dialihkan kepada orang tua atau wali
mereka. Jika orang tua atau wali enggan memberikan persetujuan untuk konseling anak di
bawah umur, konselor memiliki opsi untuk memberikan penjelasan kepada mereka mengenai
pendekatan terbaik untuk membantu anak tersebut. Konselor perlu memberikan informasi
kepada orang tua atau wali mengenai tujuan anak di bawah umur menjalani konseling dan
meminta persetujuan mereka untuk mencegah potensi masalah. Selain itu, konselor harus
memahami batasan kerahasiaan yang dapat dipertahankan selama sesi konseling dan
informasi yang dapat dibagikan kepada orang tua atau wali. Konselor juga harus berhati-hati
dalam tindakan mereka terhadap anak di bawah umur karena orang tua atau wali memiliki
hak untuk melaporkan tindakan konselor ke ranah hukum.

Saran

Dari analisis penulis, diharapkan bahan bacaan ini dapat berperan sebagai panduan
etika bagi konselor, terutama bagi mereka yang akan berinteraksi dengan anak di bawah
umur. Tujuan penulis dalam artikel ini adalah memungkinkan pembaca memahami batasan
etika yang perlu diperhatikan oleh konselor saat memberikan layanan kepada konseli yang
masih di bawah umur. Semoga isu-isu yang telah dibahas dalam artikel ini dapat diterapkan
dengan lebih lanjut oleh konselor professional.
Daftar Pustaka

American Counseling Association. (1995). ACA Code of Ethics and Standard of


Practice. VA: Author.

Alawiyah, D., Rahmat, H. K., & Pernanda, S. (2020). Menemukenali Konsep Etika
dan Sikap Konselor Profesional Dalam Bimbingan dan Konseling. Jurnal
Mimbar: Media Intelektual Muslim Dan Bimbingan Rohani, 6(2), 84–101.

Benitez, B. R. (2004). Confidentiality and its Exceptions (Including the US Patriot


Act). The Therapist, 16(4), 32–36

Corey, Gerald., Corey, M. S., & Callanan, Patrick. (2011). Issues and ethics in the
helping professions. Brooks/Cole.

Faiz, A., Dharmayanti, A., & Nofrita, N. (2018). Etika bimbingan dan konseling
dalam pendekatan filsafat ilmu. Indonesian Journal of Educational
Counseling, 2(1), 1-12.

Glosoff, H. L., & Pate, R. H. (2002). Privacy and Confidentiality in School


Counseling. Proffesional School Counseling, 6, 20–27.
https://www.researchgate.net/publication/234700799.

Hambali, M. R. dkk. (2021). Etika Profesi. Agrapana Media.

Herlihy, B., & Corey, G. (2014). ACA Ethical Standars Casebook. John Wiley &
Sons.

Isaacs, M. L., & Stone, C. (2001). Confidentiality with Minors: Mental Health
Counselors’ Attitude Toward Breaching or Preserving Confidentiality. Journal
of Mental Health Counseling, 23(4), 342

Lawrence, G., & Robinson Kurpius, S. E. (2000). Legal and ethical issues involved
when counseling minors in nonschool settings. Journal of Counseling and
Development, 78(2), 130–136. https://doi.org/10.1002/j.1556-
6676.2000.tb02570.x

Mitchell, C. W., Disque, J. G., & Robertson, P. (2002). When Parents Want to Know:
Responding to Parental Demands for Confidential Information. In Source:
Professional School Counseling (Vol. 6, Issue 2).

Remley, T. P., & Herlihy, B. (2010). Ethical, Legal, and Professional Issues in
COunseling (3rd ed.). Merril/ Prentice Hall.

Thompson, C. L., & Rudolf, L. B. (1996). Counseling Children (4th edn).


WadsworthBrooks/Cole.

Weithorn, L. A., & Campbell, S. B. (1982). The competency of children and


adolescents to make informed treatment decisions. Child development, 1589-
1598.

Welfel, E. R. (2002). Instructor’s Guide for Ethics in Counseling and Psychotherapy:


Standars, Research, and Emergenxing Issues. Brooks/Cole-Thomson Learning.

Wester, K. L. (2009). Ethical Issues in Counseling Clients Who Self-Injure. Ethical


Issues in Professional Counseling [PUblished by The Harterleigh Company,
Hobart, New York], 12(3), 25–37.

Anda mungkin juga menyukai