Tas Ilmu Filsafat - 832022024
Tas Ilmu Filsafat - 832022024
ETIKA PSIKOLOGI.
agathampombebu03@gmail.com
Abstrak:
Konselor seringkali menghadapi perdebatan terkait informed consent dan izin orang tua dalam melakukan konseling
pada anak di bawah umur. Menurut American Psychological Association (APA), jika seorang anak di bawah umur tidak
mendapatkan izin dari orang tua, konselor dapat memberikan penjelasan yang tepat kepada anak tersebut dan meminta
persetujuan individu. Jika izin orang tua tidak dapat diperoleh, konselor harus mengambil langkah-langkah untuk melindungi
hak dan kesejahteraan individu tersebut. Undang-undang No. 23 Tahun 2002 menyatakan bahwa anak di bawah umur yang
mengalami masalah pribadi wajib mendapatkan layanan konseling. Konseling bertujuan untuk membantu klien menemukan,
mempersiapkan, dan mengubah dirinya sendiri. Konselor harus dapat membahas batasan kerahasiaan dengan klien anak di
bawah umur, bahkan jika orang tua menyetujui layanan tersebut. Selain itu, konselor juga harus memahami undang-undang
terkait perawatan anak di bawah umur dan menyeimbangkan kebutuhan anak dengan permintaan orang tua terhadap
informasi hasil konseling. Kerahasiaan data klien anak di bawah umur juga menjadi isu, dimana konselor harus menjaga
kerahasiaan data dan hanya memberikannya kepada pihak yang berwenang.
Abstrack:
Counselors often provide informed consent and parental permission when conducting counseling for minors.
According to the American Psychological Association (APA), if a minor does not have parental permission, counselors can
provide appropriate explanations to the child and seek individual consent. If parental consent cannot be obtained,
counselors must take steps to protect the rights and well-being of the individual. Law no. 23 of 2002 states that minors who
are experiencing personal problems are required to receive counseling services. Counseling aims to help clients discover,
prepare and change themselves. Counselors should be able to discuss boundaries of confidentiality with minor clients, even
if parents consent to the services. In addition, counselors must also understand the laws regarding the care of minors and
balance the child's needs with the parents' requests for information resulting from counseling. Confidentiality of minor client
data is also an issue, where counselors must maintain data confidentiality and only provide it to authorized parties.
Artikel ini bertujuan untuk menggali sejauh mana batasan dalam melaksanakan
konseling pada anak di bawah umur tanpa memberikan informasi menyeluruh yang
signifikan terkait izin orang tua dan juga mempertimbangkan batasan etika terkait
pelaksanaan konseling pada anak di bawah umur. Manfaat dari artikel ini adalah
memberikan informasi tentang etika kepada para profesional konseling, khususnya
mereka yang sering melakukan bimbingan dan konseling.
B. Tinjauan Pustaka
1. Etika Psikologi dalam Konseling
Dalam dunia psikologi memiliki aturan dalam beretika yang ditulisa buku Kode Etik
Psikologi yang berisikan ketentuan tertulis terkait nilai-nilai sebagai pegangan teguh bagi
seluruh psikolog dan ilmuan psikologi didalam menjalankan peran profesinya. Etika
merupakan sebuah kewajiban moral setiap manusia untuk berperilaku dalam kehidupan
(Hamnali, 2021). Menurut Alawiyah, dkk. (2020) menjelaskan bahwa prinsip etika yang
yang benar menuju level professional yakni otonomi, tidak melanggar kode etik,
menggunakan prinsip keadilan, kesetian, dan penuh kasih saying. Kelima hal ini
merupakan prinsip sejati dari seorang konselor. Dalam kode etik psikologi pasal 74 ayat
(1) bagian a-b menjelaskan bahwa (a) memiliki kompetensi dan kualifikasi untuk
menjalankan konseling psikologi/terapi psikologi yang akan dilaksanakan secara mandiri
dan/atau masih dalam supervise untuk melaksanakannya sesuai dengan kaidah
pelaksanaan konseling psikologi/ psikoterapi tersebut, (b) mengutamakan dasar-dasar
professional, (c) memberikan layanan konseling atau terapi kepada semua pihak yang
membutuhkan, (d) mampu bertanggung jawab untuk menghindari dampak buruk akibat
proses konseling atau terapi yang dilaksanakannya terhadap klien. Berdasarkan hal diatas,
maka dapat diartikan bahwa seorang yang akan melakukan konseling harus memiliki
standarisasi sebagai seorang professional dan mampu untuk mengikuti etika yang sudah
berlaku.
Dalam Undang-undang No.23 Tahun 2002 Bab I Pasal 1 disebutkan bahwa “anak
merupakan seseorang yang belum berusia 18 (delapan belas) tahun, termasuk anak yang
masih dalam kandung. Berdasarkan definisi ini dapat disimpulkan bahwa anak dibawah
umur adalah anak yang usianya dibawah dari 18 tahun menurut peraturan perundang-
undangan di Indonesia. Sedangkan dalam Hukum Perdata dalam pasal 330 KUHPerdata
menyatakan bahwa seseorang dikatakan belum diwasa jika belum mencapai usia dua
puluh satu tahun, belum kawin, dan apabila sudah kawin berarti sudah memasuki
dewasa. Pada intinya, seseorang dikatakan anak dibawah umur jika belum mencapai usia
kedewasaan, belum menikah, dan masih menjadi tanggungjawab orang tua.
Anak remaja yang berusia di bawah usia 14 tahun memiliki tingkat pemahaman
yang berbeda-beda tentang hak-hak mereka terkait konseling, namun umumnya dianggap
belum cukup mampu untuk memberikan persetujuan secara mandiri. Sebaliknya, anak-
anak yang berusia 14 tahun ke atas dianggap dapat memberikan persetujuan efektif untuk
layanan kesehatan mental tanpa memerlukan persetujuan dari orang tua mereka.
Meskipun demikian, penting untuk melibatkan orang tua dalam pengobatan anak di
bawah umur. Secara umum, semakin tua seorang anak, semakin besar kemampuannya
untuk terlibat dalam proses persetujuan yang terinformasi terkait konseling (Weithorn
1982).
C. Pembahasan
1. Usia anak di bawah umur yang bisa mendapatkan konseling
Menurut Croxton, Churchill, dan Fellin (1988), remaja antara usia 11 dan 14
memiliki pemahaman yang bervariasi tentang hak dan masalah hubungan konseling,
sehingga perlu dinilai berdasarkan tingkat perkembangan individu mereka. Mereka
juga berpendapat bahwa usia 14 tahun dapat dijadikan standar persetujuan untuk
konseling. Weithorn (1982) menyatakan bahwa anak di bawah umur yang berusia 14
tahun atau lebih dapat memberikan persetujuan efektif untuk layanan medis atau
kesehatan mental yang sah secara hukum untuk dirinya sendiri tanpa persetujuan dari
orang lain. Namun, Parker, Rubin, Price, & DeRosier (2017) menekankan pentingnya
melakukan bimbingan dan konseling sedini mungkin untuk membantu dalam
pembentukan fondasi menuju tahap perkembangan selanjutnya. Grisso & Vierling
(1978) menemukan bahwa anak di bawah umur 15 tahun ke atas kurang kompeten
dalam memberikan persetujuan dibandingkan orang dewasa. Mitchell, dkk. (2002)
menyatakan bahwa tingkat pemikiran operasi formal konsisten dengan kemampuan
anak untuk memahami hak dan masalah yang diperlukan untuk membuat keputusan
konseling yang terinformasi. Benitez (2004) menekankan bahwa semakin tua seorang
anak, semakin dia dapat diikutsertakan dalam proses informed consent yang
berlangsung.
Menurut Thompson & Rudolf (1996, dalam Lawrence & Robinson Kurpius,
2000), konselor harus menghormati privasi konseli di bawah umur, yang mencakup
hak mereka untuk memilih siapa yang dapat mengakses informasi tentang mereka.
Secara legal, orang tua biasanya memiliki wewenang untuk membuat keputusan
terkait privasi, termasuk tanda tangan persetujuan, pelepasan informasi, dan akses ke
catatan medis dan psikoterapi. Namun, keputusan ini tidak bisa diambil begitu saja,
melainkan perlu dievaluasi dari segi hukum dan etika.
4. Tantangan etika dan hukum terkait kerahasiaan dengan anak di bawah umur
Jika orang tua atau wali dari anak di bawah umur meminta informasi
mengenai kemajuan konseling, seorang terapis diharapkan memberikan umpan balik
kepada mereka (Corey dkk., 2011). Menurut Remley dan Herlihy (dalam Corey dkk.,
2011), dalam beberapa situasi, konselor mungkin memutuskan bahwa informasi yang
diungkapkan oleh konseli di bawah umur dalam sesi konseling harus diberikan
kepada orang tua atau wali. Namun, ada informasi yang bersifat sensitif dan lebih
baik tidak diungkapkan kepada orang tua atau wali. Etika mengenai keterlibatan
orang tua atau wali dalam proses konseling memahami bahwa orang dewasa
memiliki wewenang atas anak di bawah umur (Remley, dalam Corey dkk., 2011).
Konselor sering kali harus melanggar kerahasiaan jika ada ancaman terhadap
diri sendiri, ancaman terhadap orang lain, atau jika ada indikasi pelecehan atau
penelantaran terhadap anak atau orang tua (Lawrence & Robinson Kurpius, 2000).
Wester (2009) menyoroti kurangnya panduan etika dari ACA atau APA dalam
memandu konselor kapan melanggar kerahasiaan untuk anak di bawah umur. Dalam
konteks ini, konselor perlu memiliki keterampilan untuk mengidentifikasi tanda-
tanda perilaku merugikan diri sendiri, dan jika diperlukan, mencari pengawasan dan
konsultasi agar tetap beroperasi dalam batas kompetensi mereka (Lawrence &
Robinson Kurpius, 2000).
Beberapa faktor yang perlu dipertimbangkan oleh konselor sebelum
melanggar kerahasiaan adalah usia anak dan sejauh mana seriusnya perilaku tersebut
(Isaacs & Stone, 2001). Namun, semakin luas kebijakan pengungkapan informasi,
semakin sulit bagi anak di bawah umur untuk berbagi informasi penting dalam terapi
(Lawrence & Robinson Kurpius, 2000). Anak yang berusia 12 tahun atau lebih
memiliki hak privasi yang setara dengan orang dewasa (Benitez, 2004), dan konseli
di bawah umur memiliki hak untuk menentukan pilihan dalam mengikuti konseling
serta mempertahankan privasi dan kerahasiaan mereka (Glosoff & Pate, 2002).
Meskipun demikian, hak privasi anak di bawah umur tetap berada di bawah
kendali orang tua atau wali secara hukum (Glosoff & Pate, 2002). Jika orang tua
menginginkan informasi, konselor dapat menjadwalkan pertemuan dengan konseli
dan orang tua untuk memfasilitasi diskusi. Jika konseli menolak berbagi informasi
melalui proses ini dan orang tua tetap bersikeras, konselor mungkin harus
memberitahu konseli bahwa, meskipun bertentangan dengan keinginan mereka,
konselor perlu mengungkapkan informasi kepada orang tua. Agar hubungan
konseling tetap utuh, konselor dapat mengungkapkan informasi yang benar-benar
penting sesuai dengan standar pengungkapan.
Konselor perlu berhati-hati dalam memberikan layanan konseling kepada anak
di bawah umur, karena orang tua atau wali yang merasa tidak mendapat informasi
sesuai keinginan atau merasa konselor menyembunyikan informasi dapat melibatkan
tindakan hukum. Jika konselor memberikan treatment kepada anak di bawah umur
tanpa izin orang tua, minimal konselor harus meminta persetujuan tertulis dari anak
tersebut. Namun, risiko hukum tetap harus diperhatikan (Lawrence & Robinson
Kurpius, 2000). Jika orang tua yang sah menginginkan konselor untuk
mengungkapkan informasi mengenai proses konseling anak di bawah umur, konselor
dapat mengambil beberapa pendekatan untuk menangani situasi tersebut. Salah satu
pendekatan adalah menggunakan empati untuk memahami perasaan orang tua dan
memberikan pandangan alternatif tentang pertumbuhan anak mereka, meyakinkan
bahwa anak dapat mengatasi masalahnya dengan baik meskipun memerlukan waktu.
(Mitchell dkk., 2002).
Kesimpulan
Saran
Dari analisis penulis, diharapkan bahan bacaan ini dapat berperan sebagai panduan
etika bagi konselor, terutama bagi mereka yang akan berinteraksi dengan anak di bawah
umur. Tujuan penulis dalam artikel ini adalah memungkinkan pembaca memahami batasan
etika yang perlu diperhatikan oleh konselor saat memberikan layanan kepada konseli yang
masih di bawah umur. Semoga isu-isu yang telah dibahas dalam artikel ini dapat diterapkan
dengan lebih lanjut oleh konselor professional.
Daftar Pustaka
Alawiyah, D., Rahmat, H. K., & Pernanda, S. (2020). Menemukenali Konsep Etika
dan Sikap Konselor Profesional Dalam Bimbingan dan Konseling. Jurnal
Mimbar: Media Intelektual Muslim Dan Bimbingan Rohani, 6(2), 84–101.
Corey, Gerald., Corey, M. S., & Callanan, Patrick. (2011). Issues and ethics in the
helping professions. Brooks/Cole.
Faiz, A., Dharmayanti, A., & Nofrita, N. (2018). Etika bimbingan dan konseling
dalam pendekatan filsafat ilmu. Indonesian Journal of Educational
Counseling, 2(1), 1-12.
Herlihy, B., & Corey, G. (2014). ACA Ethical Standars Casebook. John Wiley &
Sons.
Isaacs, M. L., & Stone, C. (2001). Confidentiality with Minors: Mental Health
Counselors’ Attitude Toward Breaching or Preserving Confidentiality. Journal
of Mental Health Counseling, 23(4), 342
Lawrence, G., & Robinson Kurpius, S. E. (2000). Legal and ethical issues involved
when counseling minors in nonschool settings. Journal of Counseling and
Development, 78(2), 130–136. https://doi.org/10.1002/j.1556-
6676.2000.tb02570.x
Mitchell, C. W., Disque, J. G., & Robertson, P. (2002). When Parents Want to Know:
Responding to Parental Demands for Confidential Information. In Source:
Professional School Counseling (Vol. 6, Issue 2).
Remley, T. P., & Herlihy, B. (2010). Ethical, Legal, and Professional Issues in
COunseling (3rd ed.). Merril/ Prentice Hall.