Anda di halaman 1dari 19

MAKALAH

PENGANTAR ILMU HUKUM

DAMPAK PEMBERIAN REINTEGRASI DAN ASIMILASI


BAGI NARAPIDANA AKIBAT PANDEMI
COVID-19/CORONA VIRUSES

NAMA : Zalfa Febriana


STB. : 4258

PROGRAM STUDI BIMBINGAN


KEMASYARAKATAN B
POLITEKNIK ILMU PEMASYARAKATAN
KEMENTERIAN HUKUM DAN HAM REPUBLIK INDONESIA
DEPOK
APRIL 2021
KATA PENGANTAR

Puji syukur saya panjatkan kehadirat Allah Swt atas berkat rahmat dan hidayah-Nya saya dapat
menyelesaikan makalah pengantar ilmu hukum dengan tepat waktu.Shalawat serta salam semog
a tercurahkan kepada Nabi kita Rasulullah SAW.Pembuatan makalah yang berjudul Dampak
Pemberian Reintegrasi dan Asimilasi Bagi Narapidana Akibat Pandemi COVID-19/Corona
Viruses.

Selanjutnya saya ingin menyampaikan ucapan rasa terimakasih yang tak terhingga kepada Ibu
Dr. Rachmayanthy, Bc.IP.,SH.,M.Si selaku Direktur Politeknik Ilmu Pemasyarakatan, Bapak U
mar Anwar,S.H.,M.Si.,M.H selaku dosen pada mata kuliah pengantar ilmu hukum ini yang telah
memberikan tugas membuat makalah ini,sehingga saya dapat melatih keterampilan menulis agar
kedepannya dapat membuat karya tulisan yang benar .Tak lupa saya ucapakan terimakasih
kepada kedua orangtua saya yang telah mendukung selama saya mengerjakan makalah ini, juga
kepada senior-senior saya serta rekan-rekan dan semua pihak yang tidak bisa disebutkan satu per
satu yang telah membantu kelancaran dalam proses pembuatan makalah ini, saya yakin tanpa ad
anya bantuan dan dukungan rasanya sulit untuk menyelesaikan makalah ini.

Melalui kata pengantar ini saya terlebih dahulu mengucapkan permohonan maaf bila mana isi m
akalah ini banyak terdapat kekurangan dan tulisan yang kurang tepat.Akhir kata, semoga makala
h ini dapat bermanfaat bagi pembaca ataupun saya sendiri dan semoga Allaw Swt senantiasa mer
idhai segala usaha kita.Amin.

Temanggung, 20 April 2021

Zalfa Febriana

STB 4258
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR....................................................................................................................2
DAFTAR ISI...................................................................................................................................3
I. PENDAHULUAN.......................................................................................................................4
A. Latar Belakang.......................................................................................................................4
B. Rumusan Masalah..................................................................................................................6
II. TINJAUAN PUSTAKA.............................................................................................................7
A. Tinjauan Teori........................................................................................................................7
B. Definisi Operasional.............................................................................................................10
III. PEMBAHASAN DAN ANALISIS........................................................................................13
A. Apakah Kebijakah Kebijakan Pemberian Program Asimilasi dan Reintegrasi Efektif Dikala
Masih Berlangsungnya Pandemi Covid-19?........................................................................13
B. Bagaimana Kebijakan Ini Apabila Dilihat dari Perspektif Hukum Indonesia?....................16
IV. PENUTUP..............................................................................................................................17
DAFTAR PUSTAKA...................................................................................................................18
1. Buku..........................................................................................................................................18
2. Jurnal.........................................................................................................................................19
3. Website......................................................................................................................................19
I. PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Jumlah penduduk di Indonesia saat ini mencapai 271.349.889 jiwa.Dengan


banyaknya jumlah penduduk tersebut Indonesia kerap kali menghadapi permasalahan sosial
seperti kemiskinan, kesehatan, pendidikan, dan lain-lain.Hal yang menjadi masalah paling
berat bagi negara Indonesia yang memiliki luas 1.904.569 km 2 adalah kemiskinan.Dilansir
dalam Badan Pusat Statistik (BPS) jumlah penduduk miskin saat ini mencapai 27,55 juta
orang.Tingkat kemiskinan melonjak disebabkan oleh pandemi covid-19 ini, bukan hanya
Indonesia saja yang mengalami sejumlah kerugian tetapi juga negara-negara lain juga ikut
terdampak oleh adanya virus ini.Tingginya angka kemiskinan ini menjadi faktor utama
penyebab maraknya kriminalistas di Indonesia.Dengan adanya segala tuntutan untuk
memenuhi kebutuhan hidup, maka seseorang dengan segala keterbatasannya mencoba
menghalalkan segala cara untuk memenuhi berbagai kebutuhan hidup dengan tindakan
kriminalitas.
Tindak kriminalitas di Indonesia sampai saat ini masih menjadi hal yang
mengerikan.Pada setiap harinya ratusan orang diadili untuk mempertanggungjawabkan
segala perbuatan yang telah mereka perbuat.Tindak kriminalitas bukan satu-satunya yang
menjadi penyebab penuhnya penjara atau lembaga pemasyarakatan yang selanjutnya
disingkat menjadi Lapas di Indonesia, tetapi juga kasus narkoba yang penghuninya hampir
setengah dari kapasitas lapas.
Setidaknya tercatat pertumbuhan penghuni lapas per tahun sekitar 27.000.Diantaranya
yang paling dominan dan paling banyak merupakan narapidana kasus narkotika,mencapai
119.341, kasus tindak pidana umum sejumlah 103.513, kasus korupsi sejumlah 4.317, dan
tindak pidana terorisme sebanyak 527 kasus.Tercatat sudah terjadi peningkatan isi
lapas/rutan dalam kurun waktu tiap tahunnya, isi Lapas atau Rutan se-Indonesia setiap
tahunnya bertmabah sejumlah 6.165 jiwa.Sementara kapasitas yang tersedia di sejumlah
lapas dan rutan di seluruh Indonesia hanya mencapai 528 dengan kapasitas 130.512
orang.Sedangkan jumlah penghuni lapas dan rutan sebanyak 269.846 orang sehingga trdapat
atau terjadi overcrowded.
Saat ini kapasitas lapas sebanyak 132.107, sedangkan penghuninya mencapai 229.431
jiwa.Sebanyak 40.026 narapidana telah dilakukan program asimilasi, akan tetapi lapas tetap
masih mengalami over kapasitas sebesar 74 persen.Penyumbang terbesar dari overcrowded
ini adalah narapidana narkotika, tentu bukan menjadi rahasia umum bahwa jumlah pengedar
jauh lebih banyak dari pada pengguna yang ikut serta dipenjara juga bukan malah dilakukan
rehabilitasi.
Ditengah penyebaran wabah COVID-19 yang menjadi masalah baru dalam skala
nasional bahkan global, menimbulkan banyak kerugian dan kehilangan atas kehidupan sehar
i-hari, tidak hanya datang dari kelompok masyarakat miskin, namun juga penghuni atau
pengguna dalam tempat-tempat penahanan atau tahanan seperti Lembaga Pemasyarakatan,
Rumah Tahanan, dan tahanan Kepolisian yang sering kali dipandang sebelah mata bahkan di
lupakan oleh pemerintah maupun masyarakat. Padahal sebenarnya warga binaan maupun tah
anan pun juga menjadi korban dari dampak penyebaran virus covid-19 ini, ditambah lagi den
gan situasi umum yang mereka hadapi bahwa mereka memiliki ruang gerak dan akses infor
masi yang sangat terbatas tidak seperti masyarakat umum biasanya.
Maka, untuk menekan laju overcrowded yang terjadi di lapas, maka Kemenkumham
mengeluarkan beberapa alternatif kebijakan diantaranya penambahan kapasitas
hunian.Langkah ini hanya dilakukan ketika hanya untuk meratakan kapasitas dari wilayah
yang memeiliki masalah overcrowded ke wilayah yang memungkinkan memiliki daya
tampungnya.Namun, kenyataanya alternatif kebijakan tersebut tidak menekan jumlah laju
tingkat hunian lapas atau rutan, bahkan tetap saja terjadi peningkatan hunian dari tahun ke
tahun.
Langkah lain yang dilakukan oleh Kemenkumham yaitu melakukan optimalisasi
pemberian hak warga binaan yaitu pemberian asimilasi dan reintegrasi sosial, seperti
pembebasan bersyarat (PB), Cuti Bersyarat (CB), dan Cuti Menjelang Bebas (CMB).
Langkah ini diyakini Kemenkumham dapat mengatasi overcrowded dikala situasi
pandemi covid-19 ini serta salah satu faktor yang mampu mengendalikan perilaku warga
binaan selama hidup di dalam rutan atau lapas.Karena salah satu syarat untuk mendapatkan
program ini setiap individu harus mengikuti program pembinaan di dalam lapas atau rutan
serta tidak melanggar aturan yang sudah ditetapkan di rutan atau lapas.
Bahwa dengan dikeluarkanna kebijakan asimilasi dan reintegrasi narapidana di tengah
wabah covid-19 ini dinilai sebagai langkah preventif untuk mencegah penularan Covid-19 di
dalam Lapas.Karena penularan pada virus Covid-19 ini terjadi antara manusia ke
manusia,maka dengan melihat fakta yang ada di lembaga pemasyarakatan di Indonesia yang
rata-rata telah melebihi kapasitas (Overcapacity) dikhawatirkan akan menjadi tempat bagi
penularan virus ini (Covid-19).Seiring dengan kebijakan tersebut, tentu saja muncul
beberapa problematika salah satunya hal yang paling krusial seperti narapidana yang telah
dibebaskan kembali melakukan tindak kejahatan dan harus masuk penjara kembali.Hal ini
tentu saja menggambarkan bagaimana pentingnya untuk memilah dan benar-benar menilai
narapidana mana yang pantas untuk dibebaskan dan kembali berbaur dengan masyarakat
umumnya.

B. Rumusan Masalah

1. Apakah kebijakan memberikan program asimilasi dan reintegrasi ini efektif di lakukan di
Indonesia dikala masih berlangsungnya atau meluasnya penyebaran pandemi Covid-19?
2. Bagaimana kebijakan ini apabila ditinjau dari perspektif hukum di Indonesia?
II. TINJAUAN PUSTAKA

A. Tinjauan Teori

Kebijakan pelepasan warga binaan dengan didasari dengan adanya pandemi Covid-19
serta bertujuan untuk mencegah meluasnya virus corona di dalam lembaga pemasyarakatan
(Lapas). Fenomena wabah Covid-19 atau Corona sebagai bencana yang mendunia menimbulkan
dampak yang meluas hingga merambah ke aspek kehidupan manusia.Sebagaimana kita ketahui,
Covid-19 sendiri adalah virus jenis baru yang belum pernah ditemukan sebelumnya pada
manusia.Virus ini pertama kali ditemukan di Kota Wuhan, Tiongkok pada bulan Desember 2019
yang menyebabkan pandemi secara global.
Keadaan ekonomi yang sangat kacau, serta sektor publik lain yang tidak karuan
merupakan efek domino dari penyebaran virus corona ini.Berbagai langkah yang dilakukan oleh
pemerintah menyatakan bahwa sebagai salah satu pilihan untuk menanggulangi dan mengurangi
dampak penyebaran virus corona.Sampai saat ini penyebaran virus Corona ini belum juga
menemui titik terang dengan melihat penggambaran situasi pada infografis berikut ini :

Gambar 1. Infografis COVID-19 Indonesia, April 2021

(Sumber:covid19.go.id,2021)
Dari informasi yang dapat kita lihat dalam infografis, terlihat jelas kasus penularan virus
corona di Indonesia kian hari kian meningkat, pada kenyataanya tentu pemerintah masih fokus
untuk melakuka berbagai langkah pencegahan dalam menanggulangi penyebaran virus Covid-
19.Dalam berbagai kementerian sama-sama bersinergi untuk membasmi bencana nasional
bahkan global ini, tak terkecuali pada kementerian Hukum dan Ham Republik Indonesia.
Merespon terjadinya wabah Covid-19 yang turut merambah wilayah Indonesia.Menteri
Hukum dan HAM Bapak Yasonna Hamonangan Laoly membuat keputusan untuk kebijakan
pembebasan narapidana secara bersyarat, mengikuti jejak dari berbagai negara laian dalam
menangani keadaan di tengah pandemi Covid-19 ini dengan alasan kemanusiaan serta beliau
mengatakan bahwa hal ini terkait saran dari Perserikatan Bangsa-Bangsa.
Untuk membebaskan narapidananya demi mencegah mereka dari wabah yang sedang
terjadi.Hal ini karena warga binaan bisa menjadi korban dari penyebaran virus ini.Sehubungan
dengan hal tersebut apabila dikaitkan dengan kondisi lembaga pemasyarakatan saat ini yang
tidak mampu lagi menampung selruh penghuni yang bisa dikatakan tidak dapat memberikan rasa
kenyamanan maka dikhawatirkan dapat menambah resiko penyebaran Covid-19 secara massal.
Beberapa waktu yang lalu Yasona Laoly selaku Menkumham mengeluarkan Peraturan
Menteri Hukum dan HAM (Permenkumham) Nomor 10 Tahun 2020 tentang syarat pemberian
asimiliasi dan hak integrasi bagi narapidana dan anak dalam rangka meminimalisir penyebaran
Covid-19, yang telah diundangkan pada bulan Maret 2020.
Terdapat 4 poin yang menyatakan bahwa:
1. Lembaga Pemasyarakatan, Lembaga Pembinaan Khusus Anak , dan Rumah Tahanan Negara
merupakan sebuah institusi tertutup yang memiliki tingkat hunian tinggi sehingga sangat rentan
terhadap penyebaran dan penularan Covid-19
2. Diperlukannya langkah cepat sebagai bentuk usaha terjaminnya tahanan dan warga binaan
pemasyarakatan yang berada di dalam Lapas, Lembaga Pembinaan Khusus Anak, dan Rumah
Tahanan Negara, mengingat Covid-19 telah ditetapkan sebagai bencana global.
3. Untuk melakukan penyelamatan terhadap narapidana dan anak di dalam Lapas, Lembaga
Pembinaan Khusus Anak, dan Rumah Tahanan Negara, maka perlu dilakukan pengeluaran dan
pembebasan melalui asimilasi dan integrasi sebagai langkah pencegahan penyebaran virus
Covid-19.
Ditahun 2020 terjadi pembaharuan tentang Peraturan Menteri Hukum dan Ham
(Permenkumham) Nomor 32 Tahun 2020 tentang Syarat dan Tata Cara Pemberian Asimilasi,
Pembebasan Bersyarat, Cuti Menjelang Bebas, dan Cuti Bersyarat
Selain itu, Kementrian Hukum dan HAM selaku pemangku kepentingan juga
mengeluarkan dasar hukum reintegrasi penghuni Lapas dalam rangka meminimalisir penyebaran
Covid-19 berupa Keputusan Menteri Hukum dan HAM No.19 PK.01.04 Tahun 2020 tentang
pengeluaran dan Pembebasan Narapidana Anak melalui Asimilasi dan Integrasi.
B. Definisi Operasional

Metode penelitian yang digunakan dalam penyusunan makalah ini menggunakan studi
literatur sehubungan dengan situasi pandei Covid-19 pada saat ini.Menurut hasil literatur yang
digunakan, program Reintegrasi Sosial bermanfaat untuk Lembaga Pemasyarakatan terlepas dari
kondisi pandemi Covid-19 juga sebenrnya terdapat banyak kekurangan yang terjadi dalam
pelaksanaan program ini.Hasil studi literatur pertama tentang program reintegrasi sosial bagi
narapidana di lapas kelas II A Bogor dalam konteks persepsi narapidana dan residivisme oleh
Yudi Suseno.

Mengatakan bahwa fakta saat ini lembaga pemasyarakatan kelas II A Bogor mengalami
overcrowded dikarenakan jumlah hunian yang sudah melebihi kapasitas yang sebenarnya dan
program reintegrasi sosial dinilai dapat mengurangi over kapasitas yang terjadi di lembaga
pemasyarakatan.Saat ini masih banyak perbaikan dan peningkatan sarana yang diperlukan dalam
menjalani program reintegrasi.

Dapat disimpulkan dari literatur bahwa program reintegrasi sosial satt ini sangat
bermanfaat dalam peranannya menghentikan kluster baru Covid-19 di lingkungan Lembaga
Pemasyarakatan atau Rumah Tahanan juga over kapasitas.Namun banyak perbaikan yang harus
dilakukan salah satunya yaitu masyarakat yang masih menyandang mantan warga binaan
kemasyarakatan masih dipandang sebagai penjahat dengan reaksi sosial yang ditunjukkan
dengan penggerebekan, menangkap, menggiring sampai dengan menjauhi dengan publikasi.

Dengan metode yang digunakan saat ini, tentu terdapat kekurangan sehubungan dengan
sumber informasi.Tentu sangat bergatung sumber informasi yang penulis masukkan ke dalam
data atau website tersebut akan ada resiko kesalahan pada proses penginputan data
informasi.Disamping itu juga adanya ketidak pastian pemberitaan terhadap kebijakan tersebut
yang berpengaruh pada akurasi data yang menjadi berkurang jika dibandingkan dengan keadaan
sebenarnya dilapangan.Saya menyadari atas keterbatasan tersebut , namun saya merasa tetap
penting untuk terus memantau kinerja pemerintah dalam pencegahan penyebaran Covid-19 di
lapas atau rutan.
III. PEMBAHASAN DAN ANALISIS

A. Apakah Kebijakan Pemberian Program Asimilasi dan Reintegrasi Efektif


Dikala Masih Berlangsungnya Pandemi Covi-19?

Beberapa waktu yang lalu Bapak Yasonna Hamonangan Laoly sebagai Menteri Hukum
dan HAM membuat kebijakan baru pada bidang pemasyarakatan yaitu dengan mengeluarkan
kebijakan melalui Keputusan Menteri Hukum dan HAM No M.HH-19.PK.01.04.04 Tahun 2020,
berisi tentang pengeluaran dan pembebasan narapidana dan anak melalui asimilasi dalam rangka
penanggulangan penyebaran Covid-19.
Respon cepat Kemenkumham dalam mengeluarkan sebuah kebijakan pembebeasan
narapidana yang dinilai sangat mendesak dan penting terhadap kekhawatiran negara terhadap
penyebaran virus yang kini melanda Indonesia dan seluruh negara di dunia, tidak terkecuali di
dalam rumah tahanan ataupun lembaga pemasyarakatan yang ditakutkan akan menulari virus
Covid-19 kepada narapidana karena ini terkait juga dengan HAM, dimana narapidana atau
warga binaan pemasyarakatan juga memiliki hak terhadap keselamatan atas dirinya.Terlebih lagi
bagi narapidana yang sudah berusia lanjut yang termasuk ke dalam kategori rentan terhadap
Covid-19.Berdasarkan pertimbangan dari Menteri Hukum dan HAM Yasonna Hamonangan
Laoly terkait penerbitan peraturan baru ini dilakukan untuk mengurangi resiko penularan Covid-
19 di dalam lembaga pemasyarakatan.Disisi lain memang kondisi tahanan ang ada di Indonesia
yang sudah bukan menjadi rahasia umum lagi sudah mengalami over kapasitas, sehingga sangat
mungkin terjadi kontak fisik antar narapidana tersebut.
Masalah pelik lain yang penting untuk disorot oleh lembaga pemasyrakatan bukan
melulu soal over kapasitas saja, namun ada masalah lain yang lebih krusial.Ya, terkait dengan
kebersihan fasilitas lapas yang buruk dalam menangani wabah penyakit menular di tahanan.Hal
ini timbul juga disebabkan oleh satu faktor tadi yaitu overcrowded atau over kapasitas.
Pada kenyataanya dilapangan mengenai fasilitas kesehatan dan ahli medis di lembaga
pemasyarakatn tidak selalu tersedia.Atau bahkan mungkin beberapa penjara tidak memiiki klinik
dan akeses obat-obatan.Over kapasitas atau berlebihannya jumlah narapidana ini disebabkan
oleh berbagai hal terutama terkait dengan sistem pemasyarakatn itu sendiri.Kenaikan jumlah
narapidana yang menghuni lembaga pemasyarakatan terjadi hampir di seluruh kanwil secara
nasional.
Sebenarnya, tujuan dari pemidanaan ini agar narapidana dan anak didik pemasyarakatan
menyadari atas perbuatannya serta menjadikannya sebagai warga negara yang baik dan taat
hukum serta menjunjung nilai-nilai moral, sosial, dan religi sehingga terciptalah masyarakat
yang tertib.
Penerapan kebijakan pembebasan narapidana di tengah merebaknya pandemi Covid-19
di Indonesia ini bisa dikatakan belum sepenuhnya tepat, mungkin malah akan menimbulkan
permasalahan baru yang mana berkebalikan dari tujuan sebenarnya itu.Namun, Indonesia
sebagai negara hukum harus bisa menjamin hak asasi setiap warga negaranya termasuk dalam
hal narapidana yang berada dalam lembaga pemasyarakatan tanpa memandang ststus sosial dari
warga negara yang bersangkutan.Berdasarkan status dan pengakuan dalam perlindungan hak
asasi manusia tersebut kemudian menjadi bahan dasar bagi pemerintah ketika mengeluarkan
kebijakan-kebijakan yang menyangkut regulasi maupun implementasi regulasi yang
mengedepankan aspek hak asasi manusia.
Menanggapi terlaksananya kebijakan ini masyarakat diresahkan dengan adanya deretan
kasus tindak pidana yang dilakukan oleh narapidana yang baru saja dibebaskan melalui hak
asimilasi serta reintegrasi.Selama ini pengulangan tindak pidana atau residivis bukanlah menjadi
hal yang baru dalam dunia hukum.
Sebenarnya kebijakan ini merupakan suatu hal yang lazim, karena menurut Pasal 14
Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1995, pada dasarnya narapidana memiliki beberapa hak dan 2
(dua) diantarannya merupakan hak untuk memperoleh asimilasi dan integrasi yang diatur lebih
lanjut dalam Permenkumham No. M.HH-02.PK.05.06 Tahun 2010 tentang Syarat dan Tata Cara
Pelaksanaan Asimilasi, Pembebasan Bersyarat, Cuti Menjelang Bebas, dan Cuti Bersyarat.Dapat
disimpulkan, para narapidana tidak semata-mata dibebaskan, namun haus memenuhi beberapa
syarat (substantif dan administratif) serta ketentuan-ketentuan yang tidak boleh bertentangan
dengan kepentingan umum dan rasa keadilan dalam masyarakat.
Disisi lain juga kebijakan ini memang sudah menjadi program tahunan.Terlebih lagi,
apabila melihat skema tahun ini terdapat 55.000 narapidana yang memang berhak mendapatkan
pembebasan bersyarat.Namun, karena adanya pandemi Covid-19 ini, maka pembebasan tersebut
dilaksanakan dalam waktu bersamaan.Hal inilah yang kemudian menjadi sorotan publik karena
dinilai terlalu tergesa-gesa dalam mengambil sebuah keputusan dalam rangka membebaskan
narapidana, yang berakibat pada angka kriminalitas di situasi yang bisa dibilang sulit karena
dampak dari pandemi Covid-19.
Kebijakan ini juga didasari dengan adanya rekomendasi dari World Health Organization
(WHO), United Nation Office on Drugs and Crime (UNODC) dan beberapa lembaga lainnya,
tentu saja seperti yang kita ketahui organinsasi ini bersifat internasional maka rekomendasi ini
bukan ditujukan untuk Indonesia saja, melainkan negara di seluruh dunia.Sebelum WHO
merekomedasikan hal ini, mereka telah mengidentifikasi bahwa overcrowding yang terjadi di
dalam lembaga pemasyarakatan atau tempat-tempat penahanan lainnya, justru akan menjadi
salah satu klaster baru penyebaran Covid-19.Oleh karena itu, untuk mencegah pecahnya
penyebaran virus Covid-19.Maka, mau tidak mau pemerintah perlu adanya untuk
mempertimbangkan rekomendasi dan satu-satunya opsi yang dapat dipraktikkan pada saat ini
adalah memebebaskan narapidana.
Hal ini yang mengkhawatirkan ketika dalam keadaan sulit seperti saat ini, di mana
narapidana dibebaskan tidak bisa menjamin keadaan serta kebutuhan hidupnya, karena susahnya
mencari pekerjaan sehingga menimbulkan potensi beasar bagi mantan narapidana untuk
melakukan suatu kejahatan kembali baik berupa pencurian, kekerasan dan tindak pidana yang
lain.Walaupun dengan alasan untuk mencukupi kebutuhan, hal ini tidak dibenarkan bagi mantan
narapidana apalagi bila menimbulkan keresahan di masyarakat.
Faktor lain yang mendorong terjadinya residivis adalah tidak efektifnya fungsi
pengawasan oleh Balai Pemasyarakatan (Bapas), karena minimnya sumber daya manusia dalam
Bapas ini.Diketahui pula bahwa Bapas saat ini melakukan pembinaan hanya dengan
mengandalkan teknologi yang ada, sehingga dinilai tidak dapat memberikan pelayanan secara
optimal.
Maka dari itu, setiap narapidana yang telah bebas dari lembaga pemasyarakatan
diharapkan untuk mencerminkan dirinya dan berhenti untuk melakukan kembali tindak
pidana.Bentuk asimilasi, pembebasan bersyarat, cuti menjelang bebas, dan cuti bersyarat
merupakan bagian dari bentuk penghukuman yang berbasis masyarakat atau reintegrasi sosial
yaitu pengembalian narapidana kepada masyarakat.Tidak semua narapidana yang mendapatkan
pembebasan bersyarat itu berarti mendapatkan pengurangan hukuman, melainkan ia menjalani
sisa masa hukumannya di luar penjara.
Perlu diketahui juga bahwa dalam pelaksanaan kebijakan tersebut, tidak semua
narapidana dapat dibebaskan.Tetapi, terdapat kriteria tertentu yang telah diterbitkan dalam surat
edaran Direktur Jenderal Pemasyarakatan No. PAS-497.PK.01.04.04 Tahun 2020 yaitu tentang
Pengeluaran dan Pembebasan Narapidana dan Anak melalui Asimilasi dan Integrasi hal ini
dikaitkan dengan pencegahan dan penanggulangan pnyebaran Covid-19 yang sudah ditanda
tangani oleh Plt. Direktur Jenderal Pemasyarakatan.
B. Bagaimana Kebijakan Ini Apabila Dilihat dari Perspektif Hukum
Indonesia?

Pemasyarakatan yang terdapat dalam Pasal 1 ayat (1) Undang-Undang Republik


Indonesia Nomor 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan, yaitu kegiatan untuk melakukan
pembinaan Warga Binaan Pemasyarakatan berdasarkan sistem, kelembagaan, dan cara
pembinaan yang merupakan bagian akhir dari sistem pemidanaan dalam tata peradilan pidana.

Sedangkan fungsi Pemasyarakatan menurut Pasal 1 ayat (3) Undang-Undang Republik


Indonesia Nomor 12 Tahun 1995, yaitu sistem pemasyarakatan berfungsi menyiapkan Warga
Binaan Pemasyarakatan agar dapat berintegrasi secara sehat dengan masyarakat, sehingga dapat
berperan kembali sebagai anggota masyarakat yang bebas dan bertanggung jawab.

Terkait dengan kondisi pandemi Covid-19, pelaksanaan asimilasi dalam keadaan seperti
sekarang ini bukan kebijakan yang sepenuhnya tepat, hal ini karena didasari oleh kondisi sosial
serta perekonomian yang memang tidak stabil untuk mendukung pelaksanaan
tersebut.Keputusan ini juga bisa menjadi alibi pemerintah untuk menghemat sebuah
pengeluaran, karena selama narapidana masih menjadi warga binaan negara.Tentu sudah
semestinya menjadi kewajibannegara untuk memenuhi hak narapidana yang sudah diatur dalam
Pasal 14 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1995.Tentu hal-hal yang sudah tercantum dalam
Pasal tersebut tidak bisa dijamin pemenuhannya oleh negara jika warga binaan diberikan
asimilasi di tengah pandemi ini.

Selain terkait masalah kesehatan, narapidana yang diberikan asimilasi juga tidak
memiliki mekanisme selain pembinaan dari lembaga pemasyarakatan terkait dengan bagaimana
seorang mantan narapidana memulai sebuah usaha, karena ia dihadapkan dengan situasi sulit
dalam mencari pekerjaan di tengah menyebarnya pandemi Covid-19 ini.Terlebih lagi dari
instansi pemerintah sendiri tidak memberikan kebijakan bantuan pra kerja untuk mantan
narapidana yang telah dibebaskan.Hal inilah yang memicu kembali terjadinya residivis karena
tuntutan pemenuhan kebutuhan hidup sehari-hari.

Kemudian, pelaksanaan pembebasan ini juga dilatar belakangi karena kapasitas lembaga
pemasyarakatan sudah melebihi daya tampung.Kelebihan kapasitas ini didasari dari kebijakan
pemerintah sendiri yang masih saja mengutamakan penjara sebagai hulu pemberi efek
jera.Jumlah narapidana yang masuk tidak seimbang dengan jumlah narapidana yang keluar serta
sarana dan prasarana yang tidak seimbang.Akan selalu terjadi overcrowded selama tidak ada
perubahan kebijakan dalam penegakan hukum itu sendiri.Yang terjadi pasti pada akhirnya
bermuara pada kelebihan kapasitas.

Sudah semestinya, pemerintah melakukan evaluasi dalam penerapan penegakan hukum


di Indonesia untuk kasus-kasus ringan.Seharusnya kasus-kasus yang tergolong ringan diubah
menjadi proses dialog dan mediasi untuk menciptakan sebuah kesepakatan dari perkara tersebut
kepada korban dan pelaku.Bisa juga dilakukan dengan pengawasan dan pengabdian kepada
masyarakat agar lebih efisien waktu.
IV. PENUTUP

A. Kesimpulan

Setiap kebijakan dari pemerintah atau pejabat publik pasti tidak akan pernah terbebas
dari sorotan publik.Baik itu berupa kritikan ataupun dukungan.Atas dikeluarkannya Kebijakan
oleh Menteri Hukum dan HAM berupa Keputusan Menteri Hukum dan HAM No. M.HH-
19.PK.01.04.04 Tahun 2020, dan juga Permenkumham No 10 Tahun 2020 merupakan suatu hal
yang tepat apabila dilihat dari kondisi lapangan dalam hal ini lembaga pemasyarakatan yang
mengalami overcrowded untuk memperoleh dampak positif bagi keberlangsungan sistem
pemasyarakatan.Dari pelaksanaan program asimilasi dan integrasi terdapat pengurangan
narapidana di dalam Lapas guna mencegah penyebaran COVID-19 bagi narapidana,berhasil
menurunkan angka overcrowded Lapas, penghematan uang negara dalam jumlah yang cukup
besar, dan peningkatan produktifitas narapidana di Lembaga Pemasyarakatan.

B. Saran

Kebijakan membebaskan narapidana di tengah Covid-19 adalah langkah yang sudah


tepat guna menghindari penyebar luasan pandemi virus Covid-19 di lingkungan lembaga
pemasyarakatan tetapi kebijakan ini juga bisa dinilai kurang tepat karena bisa saja solusi ini
hanya bersifat sementara.Bukan untuk menjadi sebuah jalan keluar dari sebuah
permasalahan malah ditakutkan menjadi bumerang yang nantinnya akan merugikan
masyarakat dan pemerintah itu sendiri.
Melihat dari tingkat kekhawatiran yang mungkin saja bisa terjadi akibat dari pembebasan
narapidana yang akan menimbulkan terjadinya fenomena residivis dan tidak memberikan
jaminan pada narapidana atau warga binaan pemasyarakatan untuk terbebas dari paparan
virus Covid-19.Seharusnya, dengan melihat banyaknya fenomena residivis yang ada
pemerintah khususnya Pemasyarakatan lebih meningkatkan kembali tujuan dan fungsi serta
peran serta Balai Pemasyarakatan dalam menangani klien pemasyarakatan.
Saya sebagai penulis menyadari betul dalam situasi seperti ini pasti sangat sulit bagi
pemerintah untuk mengambil keputusan yang cepat dan tepat, sebaiknya pemerintah dapat
melakukan pembebasan narapidana ini secara rasional dan berdasarkan dengan
pertimbangan yang matang.Juga sudah seharusnya pemerintah dapat membuat sistem
pengawasan yang lebih ketat guna menekan angka kriminalitas.
DAFTAR PUSTAKA

Keputusan Menteri Hukum dan Ham No M.HH-19.PK.01.04.04 Tahun 2020 Tentang


pengeluaran dan pembebasan narapidana dan anak melalui asimilasi dan penanggulangan
penyebaran COVID-19.

1. Buku

Arif, M. d., 1992. Teori dan Kebijakan Pidana. Bandung : Alumni.

Priyatno, D. 2006. Sistem Pelaksanaan Pidana Penjara di Indonesia. Bandung : Refika


Aditama.
Isbaniah. 2020. Pedoman Kesiapsiagaan Menghadapi Coronavirus Diseases (COVID-19).
Jakarta : Kementerian Kesehatan RI Direktorat Jenderal Pencegahan dan Pengendalian
Penyakit.

2. Jurnal

Agustiawi, Asri, Kajian Kritis Terhadap Pembebasan Narapidana Dimasa Pandemi


Covid-19, lihat di http://ejournal.unsa.ac.id/index.php/rechtstaat-niew/article/view/509, diunduh
pada tanggal 20 April 2021.
Gumelar, Rachmat, Kebijakan Asimilasi dan Hal Integrasi Narapidana di Tengah
Pandemi COVID-19 Perspektif Hukum Penitensier, lihat di http://digilib.uinsgd.ac.id/34429
/, diunduh pada tanggal 22 April 2021.
Jaya, Muhar, Kebijakan Terhadap Kedaruratan di Situasi Pandemi COVID-19 Sebagai
Alasan Pembebasan Bersyarat, lihat di http://ojs.uho.ac.id/index.php/holresch/article/view/15
482, diunduh pada tanggal 26 April 2021.
3. Website

Aris Kurniawan, 2021, Pengertian Asimilasi lihat di :


https://www.gurupendidikan.co.id/asimilasi-adalah/
Lembaran Negara Republik Indonesia, 1995, Pengertian Pemasyarakatan, fungsi
pemasyarakatan lihat di : https://ngada.org/uu12-1995bt.htm
Komite Penanganan Covid-19 dan Pemulihan Ekonomi Nasional, 2021, Angka kenaikan Covid-
19 lihat di https://covid19.go.id/
Sistem Database Pemasyarakatan, 2021, Total UPT, Jumlah Pertumbuhan Narapidana lihat di : h
ttp://smslap.ditjenpas.go.id/public/sdp/current
Nafilah Sri Sagita K, 2020, Awal Mula Wabah C0VID-19 lihat di : https://health.detik.com/berit
a-detikhealth/d-5286363/awal-mula-wabah-covid-19-di-wuhan-diklaim-berasal-dari-makanan-b
eku-impor

Anda mungkin juga menyukai