Anda di halaman 1dari 7

Aku adalah Gabriel Al Baraq. Seorang remaja laki-laki yang masih bersekolah.

Aku
tidak terlalu suka bertarung. Karena aku adalah seorang korban dari pembullyan.
Aku setinggi seperti wanita remaja di sekolahku. Sekitar 167 cm juga, berat badan ku
yang tergolong kecil, sekitar 55 kg dalam umur 15 tahun.
Kali ini aku sedang berada di kelas, seperti biasa. Mereka datang berkelompok,
sekitar ada empat orang. Yang paling depan, itu pemimpin mereka. Kurus berotot dan
berkepala botak.
"Gabriel si cupu." Ucap dia.
"..apa bang?!" Aku merespon dengan rasa gelisah di seluruh tubuhku.
Memang, orang itu adalah seorang petinju yang sudah profesional. Juara di kejuaraan
tingkat Jakarta Selatan. Provinsi sekolah ini berada.
"Lagi dan lagi. Kamu menampakkan diri di hadapan. Aku!" Ucapnya dengan raut
wajah marah.
Entah mengapa dia bisa seperti itu ke aku, salah yang telah aku lakukan seperti apa
emang?!
Aku tidak berbuat kasar kepadanya. Mengapa aku kena imbasnya?!
"Aku mau kamu ikut aku ke toilet nanti. Habis jam ke empat selesai. Tidak datang,
kamu pulang dengan keadaan yang buruk. Kamu paham?!"
"Iya paham!" Dia nyengir saat aku berbicara seperti itu.
Kemudian, setelah dia mengancam aku, langkahnya menjauh dariku. Tersisa aku
seorang diri, tidak ada teman di kehidupan ku. Aku seorang yang lemah, tidak ada
teman, dan juga penyendiri.
Setelah jam ke empat telah selesai. Ini waktunya aku ke toilet untuk bertemu dengan
Han Juya.
Orang yang telah berbuat seenaknya kepada aku. Orang yang menyiksa hidupku.
Tapi...
"Gabriel! Datang juga. Lama banget dah.. sini, nongkrong dulu." Dia bergaya sangat
keren. Aku lihat, kaki memanjang sambil tubuhnya menempel di dinding. Juga sambil
menghisap rokok.
Aku ke sana. Ke hadapan Han Juya, karena aku si penurut. Sangat cepat kalau
disuruh.
"Begini, aku dan pacarku habis bertengkar ya.. melihat muka kamu tuh, ngeselin
banget tahu!" Raut wajahnya seakan benar-benar tidak suka melihat aku.
Tangan Han Juya mulai bergerak, memegang kerah bajuku. Mulai membanting
tubuhku ke lantai.
"Ugh!" Aku kesakitan. Tidak lebih dan tak kurang, ini sudah biasa. Mengapa bisa
terjadi terus-menerus?!
Mengapa harus aku?! Han Juya!? Kenapa dia ada di dunia ini?! Menjadi bahan
kekesalannya yang membuat aku terkena imbasnya.
"Mengapa ... Kamu selalu berbuat seperti ini kepadaku..!" Wajahku berbalik untuk
memandang ke arah badan Han Juya.
Saat itu, aku menyadari. Kami berbeda. Berbeda jauh, bahkan. Tubuh atletisnya,
tinggi badannya. Dia model bagi remaja sekarang. Sangat tampan, dan keren.
Aku mana bisa menjadi lawan yang setara?
"Hah..?!" Awalnya tatapan Han Juya kaget saat aku bicara seperti itu. Seperti terkena
serangan tak sengaja dariku.
Namun, Han Juya langsung berbuat pukulan yang menyakitkan ke wajahku. Yang
akhirnya bonyok, bekas pukulannya.
"Ugh!"
"Berani mengucapkan hal yang lucu, akan aku bunuh kamu!" Lalu, Han Juya
meninggalkan aku sendiri.
Kondisi kalah. Aku tidak mau seperti ini jika memilih. Aku, ingin melawan dan
bertindak sebagai keadilan. Aku berpikir. Bahwa kelakuan Han Juya di dunia ini
sudah buruk sekali. Jika aku dan dia diadu soal sopan santun. Bisa jadi, aku yang
bakal menang. Bisa jadi sih.

**Awal Aku Menang VS Han Juya**

Hari ini. Rabu Tanggal Dua Belas Tahun 2023. Hari di mana aku pergi ke sekolah
untuk ketiga kalinya di Bulan Agustus di Minggu yang ke dua.
"Gabriel..!" Nenek jalanan yang sering aku bantu, menyapa aku.
"...! Apa kabar. Nenek? Anda sehat??"
"Saya sehat.. kok-" Nenek itu sambil berjalan maju dengan benda bantuannya.
Tongkat untuk berjalan.
"Ups. Nenek jangan bertindak gegabah seperti itu. Nanti akan bahaya untuk anda
sendiri. Biar saya bantu." Aku langsung membantu beliau dengan gerakan lebih cepat
dari sebelumnya.
Jadi, kami berjalan dengan setara. Yang sebelumnya beliau lebih duluan daripada
aku, tetapi karena beliau kesulitan. Makanya aku bantu. Namun, aku masih sadar,
bahwa beliau lebih senior dibanding aku jadi, aku membantunya berjalan. Sambil aku
berjalan sedikit lambat dari langkahnya.
"Sudah, sudah. Kamu selalu membantu saya. Sekarang sudah sampai ditujuan saya
berjalan keluar. Ini, adalah toko sup kuah milikku. Kalau ada waktu, bisa mampir
makan ke toko milikku. Pasti aku akan melayani kamu dengan senang hati." Nenek
itu berucap dengan sangat baik hati. Beliau melambaikan tangannya ke aku.
Hari ini, di pagi ini. Indah sekali. Aku ingin seperti ini. Melihat langit yang biru
sambil menghirup udara yang segar. Aku suka pemandangan seperti ini.
Tidak di sekolah. Aku tau apa yang akan terjadi. Tapi tidak untuk sekarang!
"Han Juya! Kali ini aku menantang kamu!"
"Hah?!"
"Heh..?!" Aku terkejut saat wajah Han Juya tidak suka kepada aku. Sebenarnya,
seberapa dalam dia menyimpan rasa kesalnya untukku?!
Han Juya yang tadi mendengar ucapan aku. Sekarang dia tertarik dan
memperbolehkan aku melanjutkan bicara.
"Aku ingin menantang kamu soal sopan santun. Jika aku kalah kamu bebas mau
apakan aku ini. Namun, jika kamu yang kalah. Lepaskan aku dari geraman yang tidak
jelas kamu itu ke aku!"
Ucapan aku yang tegas. Walaupun sedikit merinding. Karena lawan pembicara aku
ini adalah pelaku yang berani memukul, menganiaya aku bahkan memalak uang
jajanku.
"Menarik sekali, Gabriel. Aku suka! Mari kita lakukan."
Tentu Han Juya akan tertarik. Bahkan itu jebakan sedikitpun. Karena Han Juya tidak
mau melepaskan diriku ini.
"Tapi, bagaimana dengan wasit yang menentukan pemenangnya?" Orang lain buka
suara. Bukan sekedar orang biasa, dia adalah jagoan dari kelas sebelah. Yaitu Rivaldo.
Rivaldo melirik matanya ke aku. Aku sedikit yakin bahwa dia orang yang adil.
"Bagaimana kamu saja yang mengadili kami berdua... Rivaldo?!" Raut wajah
terpaksa dengan nada suara yang geram.
Memang kelas kami tidak suka dengan kelas sebelah. Bahkan jagoannya saling tidak
suka sama lain.
"Baiklah... Pendapatmu. Bocah kecil?"
"Hah?! Apa boleh buat.. aku setuju." Mulailah pertaruhan di mana aku kehilangan
rasa benci di dalam lubuk hatiku. Han Juya memberhentikan perlakuannya
terhadapku.
Pertandingan pertama dalam sopan santun adalah yang paling simpel. Menuruti
peraturan sekolah. Dilarang siswa tidak memakai atribut yang tidak lengkap. Han
Juya lupa sabuknya bukan milik sekolah. Poin terhadap aku.
Guru di jam ke tiga masuk, beliau menyuruh murid untuk mengumpulkan tugas yang
diberikan. Han Juya tidak mengerjakannya. Poin untukku.
Jam ke empat telah selesai, saatnya istirahat. Yang biasanya Han Juya merokok di
toilet kini, tampak tidak kuat menahannya. Sekarang aku lihat dia sedang putus asa.
Saat istirahat pertama berlangsung Han Juya keluar dan aku melihatnya melewati
Guru tanpa sopan santun dalam dirinya. Poin untukku.
Saat jam ke tujuh di mulai, Han Juya sudah mulai mengantuk. Kemudian tertidur
dalam pelajaran berlangsung. Poin untukku.
"Sialan..! Kenapa aku sangat bosan seperti ini. Gabriel itu, layaknya mempermainkan
aku!" Han Juya. Sedang merokok dalam toilet, aku di luar toilet menguping Han Juya
ngomong seperti sambil asap rokoknya keluar dari toilet. Yang berarti poin untukku
lagi. Hingga pulang sekolah.
Ditentukan siapa pemenang dalam permainan ini. Aku berbicara dengan jujur ke
Rivaldo. Sedangkan, Han Juya sedang berontak kalau apa yang diucapkan aku salah.
Menurutnya, dia menang dan melakukan hal yang benar.
"Sudah, cukup. Han Juya. Kali ini, aku bisa simpulkan kalau Gabriel menang!"
Aku menang..?! Aku bisa menang melawan orang gila itu!? Senangnya aku!
Terbebas dalam masalah ini.
Tanpa sadar Han Juya menatap aku sambil tidak suka akan hal ini.
"Jangan mengingkari sebuah perjanjian." Tatapan dingin Rivaldo. Menarik ke dua
kerah baju seragam Han Juya. Tatapan Rivaldo menyeramkan juga. Memang, jagoan
per kelas sangat ditakutkan murid biasa.
Hari Kamis. Saat setelah kemarin aku memenangkan permainan dengan Han Juya.
"Apakah Han Juya akan berbuat buruk kepadaku lagi atau omong kosong belaka!"
Aku dengan cepat ke sekolah. Ingin merasakan hal nyaman di sekolah.
Di awal aku membuka pintu kelas, rasanya sangat senang. Aku tidak melihat orang-
orang yang aku benci lagi. Semua hilang. Sekarang, saat ini aku perlu bersantai.
Awal pelajaran, aman sekali. Ini bahkan terlalu nyaman untuk dinikmati. Hingga
akhir jam sekolah berakhir.
"Fiuh... Inikah rasanya bebas! Seperti surga aku hidup." Aku merilekskan badanku.
Lalu, berjalan keluar dari gerbang sekolah. Sampai aku, tidak menyadari musibah
selanjutnya.

**Motivasi Untuk Upgrade**


Aku pulang tapi, sebelum itu mampir dahulu ke toko sup kuah milik Nenek. Karena
saat ini juga aku sedang lapar.
"Hehe. Nenek apa kabar?" Aku masuk ke dalam toko dan menyapa Beliau.
"Ho... Anak muda yang rajin bantu aku ke mari. Kamu akhirnya menunjukkan diri ke
sini!"
"Iya. Haha." Aku tersenyum. Nenek juga tersenyum.
"Anak muda. Mau makan apa?" Tanya Beliau.
"Cukup sup terbaik Nenek saja. Terus minuman lemon hangat enak, tuh."
"Baiklah... Saya bawakan ke meja kamu, setelah disediakan, okey?"
"Oke." Aku kasih jari jempol yang tandanya tidak ada masalah. Nenek sudah pergi ke
dapur. Dari jendela dapur. Aku melihat orang lain yang bekerja. Bukan Nenek.
Tampaknya Nenek tidak sendirian. Apakah itu adalah cucu Nenek?
Setelah menunggu cukup lama. Akhirnya sajian yang aku mau selesai juga dimasak.
Sehingga Nenek datang membawakan semua sajian ke meja makan aku tempati.
Tetapi, setelah itu. Nenek kemudian buru-buru kembali ke dapur. Membawa
makanan yang tidak aku pesan.
Yaitu sebuah sop buah yang nampak segar.
"Ini es sop buah. Nenek bikin, untuk kamu, Nak. Makanlah dengan tanpa rasa
khawatir." Nenek menghadiahkan es sop buah ini untukku. Selagi menunggu
pelanggan datang lagi. Nenek duduk di bangku yang sama denganku.
"Kamu sekolah di mana?" Nenek bertanya. Raut wajah penasaran Nenek tampak
jelas.
"Aku sekolah di Jakarta Selatan itu." Aku menjawab sambil tersenyum.
"Bagian Sekolah Jakarta Selatan, ya! Awalnya cucu saya juga mau masuk di sana.
Tapi, biaya masuknya yang sangat mahal. Jadi, saya tidak sanggup memasukkan cucu
saya ke sana." Ucap dia sedih. Aku juga ikutan sedih sekarang.
"Maaf kalau tersinggung Nenek."
"Apa?"
"Lewat jalur prestasi bisa, kok." Aku bicara seperti itu. Nenek tampak diam. Enggan
untuk menjawab.
"Hah... Sudah lama. Nenek melarang cucu saya untuk menggunakan bela diri ke
dalam kehidupannya sehari-hari. Nenek takut kenapa-napa." Maksudnya apa? Nenek
berbicara seperti itu. Bukankah bagus?
"Tapi, prestasi cucu Nenek bagus banget, ya? Bela diri sangat diterima di sekolah
Jakarta Selatan, Nek." Aku memasukkan saran terhadapnya.
"Begitu, yah? Nenek ragu, Nak. Dia tidak bisa bergaul dengan orang lain. Takutnya,
salah memilih teman. Orang tuanya meninggalkan dia jadi, Nenek takut kalau dia
berubah." Astaga. Aku salah berbicara dengannya. Akan aku ubah topik pembicaraan
ini--
"Nenek... Itu ada Paman datang ke sini." Ucap tiba-tiba dari cucu dari Nenek
tersebut. Melirik ke aku sebentar. Tatapannya tajam.
"Hoh... Julian, cucu saya. Kenapa? Paman datang terlalu cepat."
"Kalau itu ... Aku tidak tau." Ucap Julian. Tampak sedikit berubah dari raut
wajahnya.
"Baiklah... Nenek pergi ke sana dulu ya, Nak. Hati-hati pas pulang." Nenek itu pergi
meninggalkan aku sendiri di meja.
Kemudian aku tidak mengetahui apapun permasalahan mereka. Karena privasi. Aku
tidak boleh mengikut campur masalah keluarga.
Aku sedang makan yang dibuatkan oleh toko sup kuah milik Nenek yang kutemui.
Beliau orang yang sangat baik dan ramah. Aku selalu menolong yang pertama kali
sejak dia kesulitan berjalan saat ke toko untuk membuka toko di pagi hari. Entah
mengapa, cucu dia tidak menolongnya.
"Nenek... Saya rindu kamu!" Orang itu tampak bahagia saat bertatapan dengan
Nenek. Memeluknya.
"Ada apa Irwan. Mengapa datang?" Tanya Nenek dengan tegas. Seakan Irwan sudah
datang ke toko berkali-kali.
Wajah Irwan berubah ke intinya datang ke mari kali ini.
"Julian akan saya bawa. Nenek jangan bertindak terlalu banyak." Ucap Irwan.
"... Apa maksudmu? Pemain judi, suka di klub malam terus. Ingin merawat
keponakannya sendiri? Tidak akan aku restui!"
"...! Kamu sudah tua. Tidak bisa merawat Julian dengan benar! Saatnya giliran aku
untuk merawatnya! Tidak dengar, kah?!" Suara yang lebih keras dibanding
sebelumnya.
Tapi, kali ini. Nenek terus melawan.
"Apakah kamu tahu! Saya yang merawat Julian setelah ditinggalkan orang tuanya
sejak usia 4 tahun. Kamu bilang saya tidak bisa merawat Julian?! Teganya kamu
berucap kepada orang yang sudah tua daripada kamu!!" Nenek tampak sangat marah
kali ini ke Irwan. Namun, Julian yang berada di sana menemani Nenek kemudian
memberhentikan semua keributan yang terjadi.
"Sudahi perdebatan yang tidak jelas ini. Paman Irwan. Aku juga tidak mengenal
kamu sejak orang tuaku meninggal. Sekarang pergi dari sini! Kamu hanya
mengganggu kami!" Julian mengusir Pamannya. Yang tampak menaruh amarah kesal
dengan Julian.
"Baiklah, kalau begitu Julian. Sebaiknya kamu jaga diri sendiri dengan baik. Soalnya,
selagi kamu hidup. Aku akan menangkap kamu dan merawat kamu dikediaman aku."
Kemudian Irwan pergi dari mereka berdua.
Sejak saat itu. Irwan menghantui kedua pemilik Toko Sup Kuah. Aku, tanpa sengaja
mendengar suara percekcokan antara keluarga dari pemilik Toko.

**Celaka Bisa Saja Keberuntungan**


Aku berlari. Alasanku lari seperti ini karena aku mengetahui rahasia sebuah keluarga
yang menjadi privasi mereka. Namun, aku diam-diam mendengarkan pembicaraan
mereka. Aku bersalah. Sungguh, bodoh.
"...tolong." Suara seseorang dari kejauhan. Aku bahkan beruntung bisa mendengar
suaranya. Tapi, sekitar jam segini ada saja yang butuh bantuan. Aku, baru pulang
sekolah dan makan di toko sup kuah. Lalu, sekitar jam tujuh malam ada suara orang
meminta tolong!?
Aku berhenti. Mencari sumber suara pertolongan. Tetapi ini cukup tak mudah.
Meskipun begitu sudah banyak berusaha, aku berhasil menemukannya.
Seorang remaja laki-laki yang tersender dengan dinding yang kondisinya sudah tidak
membaik. Aku menolongnya. Kemudian aku membantu sebisa mungkin.
"Perlu air?! Ini..."
"Makasih..." Aku memberi orang ini sebuah air. Dia meminum airnya. Namun, orang
ini muntah.
"Kau! Kenapa sebenarnya..?!"
"Aku... Cough..! Sapi..." Orang itu mulai kejang-kejang dari semua tubuhnya. Aku,
langsung menyadari. Orang ini keracunan. Lalu, aku bergegas menuju ke
supermarket. Membeli sebuah susu sapi satuan. Setelah membeli, aku buru-buru ke
tempat tadi. Namun, sehingga sampai orangnya sudah tidak bergerak. Aku panik.
Terdiam. Tapi.
"Masih terlalu cepat untuk menyerah! Kamu harus hidup!" Berlari menuju dia.
Sambil menenteng plastik berisi susu. Mengeluarkan susunya. Kemudian aku akan
menyuapinya. Tetapi dia tidak sadar. Karena tidak sadar, susu yang aku beli mana
bisa diminum. Tapi walaupun begitu, ini situasi mendesak. Aku tidak mau melihat
orang yang aku temui bisa meninggal begitu cepat.
"Hiduplah.. kamu!!" Aku berteriak. Berhasil dimasukkan ke mulut susunya.
"...hoh? Kau membantu aku."
"Kau!!? Syukurlah bisa berbicara. Kondisi bagaimana?!!"
"Haha, t..terimakasih sudah ..repot-repot mem..bantu ... Sebagai hadiah ... T-
terimalah dengan senang hati." Dia batuk. Sekuat tenaga supaya bisa berbicara. Aku
bisa tau itu. Tetapi, jika kamu ingin menghembuskan nafas terakhir, kumohon
hapuskan dosa diriku karena tidak bisa membantu melihat dunia yang gelap dan
suram ini. Juga, aku doakan kamu ke surga kelak.
Aamiin.
Aku yang berada didekatnya melihat akhir hidupnya. Segera membawa mayat
tubuhnya ke tempat kediamanku dan menguburkannya.
Setelah itu. Aku merasa mengurangkan rasa bersalah atas hidupnya. Karena aku
sedikit membantu, sekarang aku hanya ingin bersantai di kamar. Tadi, di sekolah aku
merasa lebih seru banget. Tidak seperti hari kemarin-kemarin. Suram, tidak membuat
aku betah belajar. Tapi, kalau begini terus aku bakal mencapai cita-cita yang
dipendam, nih. Han Juya, pasti nganggur dan mencari kesibukan lainnya. Aku, sudah
tidak perlu mikirin Han Juya, deh. Aduh... Kalau dipikir-pikir aku beruntung banget.
Rebahan dulu kali, yak. Aku rebahan di atas kasur ini. Kasur yang lembut, yang
dibelikan oleh Ortuku. Merilekskan tubuh di atas kasur. Juga, menstabilkan pikiranku.
Aku, menutup mata. Yang bisa dilihat hanya warna hitam saja. Rasa nyaman aku bisa
dapatkan juga. Namun, aku tersadar. Bagaimana nasib orang yang aku kubur itu?
Siapa dia? Apakah orang-orang yang mengenalnya mencari keberadaan dia?
Bagaimana besar rasa khawatirnya dari orang tua dia? Kini, aku mulai bersalah.
Memikirkan masalah yang begitu rumit. Entah kenapa aku bisa saja terus rebahan dan
justru semakin ngantuk. Rasa ngantuk berubah menjadi ketiduran.
_"Sistem Aktif"_. Entah, aku merasakannya ada suara di kedua telingaku. Apalah itu,
aku tidak peduli. _"Hello. Gabriel Al Baraq"_, ada yang memanggil nama aku? Aku
terbangun. Mencari sumber suara yang manggil diriku. Tidak ketemu, aku sedikit
kesal. _Sistem telah aktif. Pakailah sesuai Anda_. Begitu, muncul lagi suaranya. Jujur,
ditelinga yang aku dengar. Suaranya kencang banget. Rasanya mendengar speaker
yang menyala di dalam ruangan yang paling sempit.
"Sistem?! Kalau begitu hentikan! Jangan memakai suara bising itu lagi..!"
_"Baiklah, Tuan"_. Kalau sudah dimatikan, seharusnya aku lebih baik sekarang.
_Hai. Gabriel Al Baraq. Sistem akan memanggil dirinya sebagai aku dan Anda adalah
Tuan. Aku di sini sebagai sistem yang menulis karena Tuan tidak memperbolehkan
aku dengan suara. Sistem ini akan membawa Tuan sebagai orang yang terjamin masa
depannya. Sebagai permulaan, Tuan berlari hingga 100km dengan waktu 3 jam. Hasil
akan aku berikan setelahnya. Hadiah untuk Tuan adalah ditingkatkan kecepatan tubuh
karena telah mengikuti misi. Satu lagi, sistem adalah pemberi misi. Tuan tidak
menjalankannya akan ada konsekuensi dengan hukuman tertentu, sesuai misi. Apakah
diterima misi: Berlari 100km dalam kurung waktu 3 jam? Ya atau Tidak._

"..." Aku terkejut. Sistem!? Apaan, dah. Nggak tau apa-apa, toh. Malah dapet misi
dari sebuah hal yang tidak bisa aku jelaskan kepada orang lain?! Ini gila... Aku harus
mengikuti misi yang telah diberi?! Harus banget!? Ini sudah malam, lho.

_Sistem menyadari waktu Tuan berada sekarang. Oleh karena itu, akan diaktifkan
batasan waktu. Batasan Waktu diaktifkan. Misi: Berlari 100km dalam kurung waktu 3
jam. Batasan waktu besok malam. Hadiah kecepatan tubuh meningkat. Konsekuensi
tidak melakukannya adalah Han Juya akan melanggar janji terhadap Tuan. Sistem
juga akan dinonaktifkan._
"Gak beres!! Han Juya..! Sesuatu yang disebut 'Sistem' ini berani menyuruh aku dan
bisa sekali sampai diancam?!! Kamu... Tau Han Juya siapa?!"

_Han Juya. Mencari informasi... Ditemukan. Nama keluarga: Han


Keuangan keluarga Han dibilang banyak. Tapi, untuk Tuan. Apakah mau lebih rinci
informasi yang diberikan oleh sistem? Ya atau Tidak_.

Sialan ... Aku tertarik dengan informasinya. Soalnya sejak dulu aku ingin membalas
perbuatannya tapi tidak kesampaian. Jika lewat informasi keburukan keluarga Han.
Aku bakal diakui Han Juya bahwa jangan mempermainkan diriku lagi! Aku bahkan
bisa dapat kepercayaan orang lain di kelas. Anak keluarga Han seperti ini. Ya.

_Baik. Dari misi hingga informasi Han Juya. Diterima ... Informasi Han Juya. Yang
pasti tidak lajang, wanita bekas Han Juya satu sekolah di kelas yang berbeda. Cantik,
bohay dan perhatian. Ada orang lain yang mengintip Han Juya merokok di dalam
kelas saat jam pelajaran olahraga. Orang tersebut adalah berada di kelas lain. Air
Conditioner kelas pernah dirusaki oleh Han Juya karena sedang beraksi pemalakan.
Selain informasi yang umum. Aku bisa menjelaskan Han Juya.

Han Juya. Anak laki-laki nakal, yang terbukti di masa depan. Dia adalah pemilik
perusahaan gelap. Seperti, bar, toko senjata api ilegal, klub malam, hotel, dan rumah
sakit plastik. Karena dia pemimpin banyak perusahaan yang dikelola, Han Juya
menguasai ilmu bela diri seperti, taekwondo, silat, dan karate. Han Juya manusia
ditakuti di masa mendatang tapi, ada satu kelemahan di dalam dirinya. Tetapi
pertama, aku ingin menjelaskan kelebihannya dahulu. Apakah Tuan setuju? Ya atau
Tidak_

Ribet banget. Tapi dengan ini, aku bisa mengalahkan Han Juya. "Ya."

_Han Juya pemberani dan pantang menyerah. Motivasional dan kuat. Namun, untuk
sistem. Orang ini bukan masalah untuk Tuan hadapi, cukup mengikuti misi. Tuan
akan mengubah takdir orang ini. Jadi, kelemahan Han Juya adalah dengan cara
melawannya dengan fisik. Sudah melawannya dan dia mengaku kalah, bisa jadi dia
hilang dalam keberadaan Anda, Tuanku._

Anda mungkin juga menyukai