Hajatan seleksi Guru Kesenian dan Siswa Berprestasi Kesenian Jawa Timur ini memang baru
kali pertama diselenggarakan. Sebagai sebuah upaya, kompetisi ini setidaknya sudah menjadi hal
yang bagus. Sebab baru provinsi Jawa Timurlah yang memiliki hajatan seperti ini. Bisa jadi, ini
akan menjadi percontohan di tingkat nasional. Bukankah selama ini provinsi Jawa Timur
beberapa kali sering menjadi percontohan nasional dalam dunia pendidikan? Karena itu, seleksi
siswa dan guru kesenian berprestasi ini adalah sebuah terobosan kreatif yang patut mendapat
apresiasi sebagaimana mestinya.
Meskipun penyiapan waktu yang terbatas, menjadikan hasil seleksi ini belum maksimal.
Tentu masih banyak guru kesenian dan siswa yang memiliki prestasi namun justru tidak masuk
dalam penjaringan. Fakta di lapangan, banyak seniman potensial di daerah yang berprofesi
menjadi guru. Dengan segala kekurangannya, hajatan ini perlu dilakukan lagi tahun-tahun
berikutnya dengan sejumlah penyempurnaan.
Mengapa pemilihan ini perlu diadakan? Bahwasanya semangat cinta kesenian perlu
ditumbuhkembangkan di kalangan siswa guru sebagai sebuah sarana untuk pendidikan karakter.
Bukankah selama ini apa yang disebut “pendidikan karakter” telah lama dilupakan dalam
pendidikan formal? Dulu pernah ada yang disebut “Pendidikan Budi Pekerti” namun sekarang
menjadi sesuatu yang usang dan tidak merasa penting untuk diajarkan. Kesenian, sesungguhnya
memiliki potensi untuk diberdayakan sebagai sarana pendidikan karakter.
Kompetisi ini juga dimaksudkan untuk memberikan motivasi kepada siswa dan guru
kesenian untuk mengembangkan potensinya masing-masing dalam bidang kesenian. Meskipun,
memang tidak wajib bahwa seorang guru kesenian adalah sekaligus menjadi seniman. Guru
kesenian bisa saja seorang pengamat kesenian, atau pelaku aktif dalam berbagai kegiatan dan
organisasi kesenian. Tetapi manakala seorang guru kesenian adalah juga seorang seniman,
setidaknya memiliki pengalaman empiris bagaimana menjalani proses berkesenian.
Guru kesenian yang juga seniman, setidaknya merupakan kesempatan bagi guru yang
bersangkutan untuk mengembangkan potensinya sebagai seniman. Dan manakala kemudian
siswa atau guru tersebut mencetak prestasi, maka nama sekolahnya akan diuntungkan. Ada
prestise tersendiri manakala guru kesenian tersebut ternyata juga seorang seniman berprestasi.
Karena itu, kompetisi ini juga bisa diharapkan menemukan talenta dan potensi lokal di kalangan
siswa dan guru kesenian.
Selama ini, kesenian sebagai aktivitas kegiatan oleh rasa masih belum terlalu
dipentingkan, dibanding aktivitas olah raga dan olah pikir sebagai aktivitas intelektual. Dan
kalau mau dilebarkan capaiannya, maka kompetisi ini dapat mendorong terciptanya ketahanan
budaya bangsa dalam menghadapi tantangan di era globalisasi.
Sementara siswa berprestasi kesenian, bukanlah hanya dimaknai sebagai siswa yang
sering menjadi juara, melainkan ada sejumlah parameter lainnya. Misalnya saja, sejauhmana
pemahaman siswa mengenai hakekat kesenian, apakah hanya sebatas pengetahuan teoritis,
sebagai ketrampilan teknis, ataukah lebih luas dari itu. Khusus untuk tingkat SMA atau yang
sederajat, hal ini dinilai melalui pembuatan karya tulis. Sedangkan tingkatan SMP dan SD tidak
diwajibkan.
Apakah siswa sering berinteraksi dengan guru keseniannya dalam mengembangkan
pengetahuannya tentang kesenian? Ini juga jadi parameter untuk mengetahui, apakah siswa
tersebut hanya menjalani pelajaran kesenian sebagai kewajiban belaka, ataukah memang ada
minat dan keinginan yang kuat untuk tahu lebih banyak mengenai kesenian.
Minat dan kemauan yang kuat ini juga dapat diketahui apakah siswa menjadi anggota
(lebih-lebih sebagai pendiri atau aktivis) kegiatan kesenian di sekolahnya. Nah, baru bicara soal
prestasi yang dihasilkan siswa tersebut. Apakah siswa mampu menghasilkan karya seni tertentu?
Apakah pernah mendapatkan penghargaan atau kejuaraan? Jadi, soal prestasi kejuaraan ini
hanyalah salah satu parameter belaka. Artinya, meski seorang siswa menjadi juara berkali-kali
sampai tingkat internasional sekalipun, akan mendapat nilai rendah manakala kepinterannya
hanya dimilikinya sendiri. Siswa sang juara tersebut lantas menjadi egois dan arogan misalnya.
Karena itu, parameter yang lain adalah, apakah siswa pernah/sering terlibat dalam acara-
acara kesenian di sekolah? Sebagai apa? Aktivitas seperti ini untuk mengetahui semangat untuk
membangun kelompok, rasa empati pada sesama, dan menunjukkan jiwa kepemimpinannya dan
kemampuan organisasinya.
Ada lagi parameter, apakah siswa pernah/sering menghadiri acara-acara kesenian diluar
sekolah? Pertanyaan ini untuk mengetahui seberapa besar siswa tersebut memiliki minat
terhadap kesenian. Mungkin dia tidak merasa cukup puas dengan pelajaran kesenian di
sekolahnya, kemudian sering nonton pertunjukan kesenian di luar sekolah misalnya.
Lebih-lebih, bukan hanya sekadar nonton atau menjadi pelaku pasif, melainkan apakah
siswa terlibat dalam kegiatan kesenian diluar sekolah. Misalnya saja, membentuk grup band atau
kelompok tari dan teater. Atau juga, menjadi penggerak atau panitia aktivitas kesenian di tempat
tinggalnya.