Anda di halaman 1dari 7

‫يم‬

ِ ‫حمن ال َّر ِح‬


ِ ‫س ِم هللا ال َّر‬
ْ ِ‫ب‬

Soal:
Mengapa mata pelajaran seni budaya, tari, drama, dan musik tidak diajarkan pada siswa-siswa
sekolah dasar? Khususnya MI, padahal pendidikan seni termasuk dalam kurikulum pembelajaran
di MI. Silakan dikaji menggunakan teori pendidikan, teori pendidikan seni, dan teori psikologi
pendidikan.

Jawaban:
Sebelumnya mari kita tengok sejenak sejarah pembelajaran seni di sekolah tingkat dasar
terlebih dulu. Pada kurikulum 1974 istilah mata pelajaran kesenian sebelumnya bernama mata
pelajaran menggambar dan seni suara, diubah menjadi bidang studi pendidikan kesenian. Pada
kurikulum 1984 pendidikan kesenian diubah menjadi pendidikan seni. Kemudian pada
kurikulum 1994 istilah pendidikan seni diubah menjadi kerajinan tangan dan kesenian disingkat
KTK atau disebut juga Kertakes. Pada tahun 2004, kurikulum disempurnakan lagi dengan
berganti nama Kurikulum Berbasis Kompetensi atau Kurikulum 2004 dan lebih dikenal dengan
nama KBK. Belum cukup dua tahun uji coba KBK, pada tahun 2006 pemerintah mengeluarkan
kurikulum baru yang disebut Kurikulum Satuan Pendidikan (KTSP). Istilah Pendidikan Seni
berubah menjadi mata pelajaran Seni Budaya, lalu berubah lagi menjadi Seni Budaya dan
Keterampilan (SBK). Lalu hingga saat ini, yang berlaku adalah Kurikulum 2013, mata pelajaran
kesenian bernama SBdP singkatan dari Seni Budaya dan Prakarya, yang terintegrasi dalam mata
pelajaran tematik. Sedangkan lingkup materi pembelajarannya terdiri dari:
a. Seni rupa, meliputi pengetahuan, keterampilan, dan nilai dalam menghasilkan karya seni
berupa: lukisan, patung, ukiran, cetak-mencetak, dll.
b. Seni musik, meliputi kemampuan untuk menguasai olah vokal, memainkan alat musik,
apresiasi karya musik.
c. Seni tari, meliputi keterampilan gerak berdasarkan olah tubuh dengan dan tanpa rangsangan
bunyi, apresiasi terhadap gerak tari.
d. Seni teater, meliputi keterampilan olah tubuh, olah pikir, dan olah suara yang pementasannya
terdiri dari unsur seni musik, seni tari dan seni peran.
Mata pelajaran seni diberikan di sekolah tingkat dasar karena keunikan, kebermaknaan,
dan kebermanfaatan terhadap kebutuhan perkembangan peserta didik. Kebermaknaan ini terletak
pada pemberian pengalaman estetik dalam bentuk kegiatan berekspresi, berkreasi, dan
berapresiasi. Menurut Sukarya (2010) pembelajaran seni di SD antara lain adalah: metode
ceramah, demonstrasi, multimedia, slide, pameran, belajar partisipasi, diskusi, tugas, training,
kerja kelompok, kerja kreatif, global, meniru/mencontoh, karyawisata, diskoveri-inkuiri,
mendengarkan musik, bernyanyi, bermusik dengan alat sederhana, eksplorasi, improvisasi,
praktik, dan kritik seni. Sayangnya yang mayoritas terjadi di sekolah tingkat dasar, baik MI
maupun SD pembelajaran seni disampaikan berupa materinya saja yang bersifat informatif yang
hanya menuntut tercapainya tujuan kognitif dan menggunakan metode ceramah. Padahal metode
yang seharusnya digunakan dalam pembelajaran seni adalah metode yang dapat menggiring
peserta didik untuk mencapai tujuan pada ranah psikomotorik dan afektif, bukan hanya sebatas
kognitif.
Jika melihat pada kenyataan di lapangan, ada beberapa alasan guru tidak mengajarkan
mata pelajaran seni di sekolah, antara lain:
a. Guru merasa tidak bisa, karena saat dahulu menjadi peserta didik juga tidak belajar seni
dengan sungguh-sungguh, tidak pernah mendapat pelajaran seni di sekolah dahulu, tidak tertarik
dengan seni, dan tidak tahu mengapa tidak bisa. Padahal dalam kurikulum dasar seorang guru
kelas wajib mengajarkan semua mata pelajaran kecuali pendidikan agama dan PJOK, bahkan
jika kedua mata pelajaran tersebut tidak ada pengajarnya, maka guru kelas harus mampu
mengatasinya. Oleh karena itu, bagi yang bercita-cita menjadi guru MI/SD harus serba bisa dan
siap mengajarkan semua mata pelajaran, termasuk mata pelajaran seni.
b. Guru merasa dirinya tidak berbakat dalam hal seni. Memang sulit bagi orang yang merasa
tidak berbakat tapi dituntut untuk bisa mengajar, akan tetapi yang perlu diingat adalah Tidak
sedikit peserta didik yang mampu tampil dalam berkesenian hanya di tangan guru yang tidak
terlalu berbakat dalam bidang seni, tetapi guru tersebut mampu memotivasi potensi seni yang ada
pada diri peserta didiknya. Jadi guru dan murid belajar dan bertumbuh bersama.
c. Karena murid tidak tertarik dengan mata pelajaran seni. Pengamatan dan pengalaman
menunjukkan bahwa memang ada peserta didik yang tidak suka dengan kegiatan seni. Anak laki-
laki, misalnya, tidak suka dengan kegiatan seni tari.
d. Karena tidak ada pelatihan kesenian bagi guru. Pelatihan seni bagi guru MI/SD memang
diperlukan namun sayangnya hampir tidak pernah ada. Pada penerimaan guru MI/SD,
diasumsikan sudah memiliki kemampuan mengajarkan semua bidang studi di tingkat MI/SD
kecuali pendidikan agama dan PJOK. Oleh karena itu tidak perlu lagi dilatih untuk bidang seni.
Kenyataan di lapangan ternyata tidak demikian. Melalui pelatihan kesenian mereka berharap
mendapat bekal keterampilan seni agar mereka dapat mengajarkan seni kepada peserta didik.
e. Karena tidak ada dukungan dari sekolah. Beberapa guru memberikan alasan bahwa mereka
kurang mendapat dukungan ketika akan melaksanakan kegiatan kesenian. Kepala sekolah
menyarankan agar anak-anak melakukan kegiatan seni yang biasa-biasa saja.
Alhasil yang realita yang terjadi pada pembelajaran seni hingga saat ini adalah yang
penting kegiatan pembelajaran berjalan, meskipun tidak sesuai dengan yang diamanatkan oleh
kurikulum.
Jika ditinjau dari sisi teori pendidikan, mata pelajaran seni ini idealnya diberikan di
tingkat dasar untuk memenuhi tujuan pendidikan nasional tentang sistem pedidikan nasional,
yang berbunyi: Dalam Undang-Undang Nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan
Nasional, Pasal 3, tujuan pendidikan nasional adalah mengembangkan potensi peserta didik agar
menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia,
sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta
bertanggung jawab.
Untuk memenuhi amanat undang-undang sisdiknas tersebut, agar peserta didik menjadi
manusia yang cakap, kreatif, mandiri, demokratis, dan bertanggungjawab, maka melalui
pembelajaran seni potensi peserta didik dapat terasah.
Dari sisi teori pendidikan seni, menurut Elliot W. Eisner (1933 -2014), Profesor Pendidikan dan
Seni di Universitas Stanford. Secara luas dianggap sebagai teoritikus terkemuka pendidikan seni
dan estetika di Amerika Serikat dan semasa hidupnya adalah sebagai Presiden National Art
Education Association di Amerika, beliau berpendapat keunikan fungsi pendidikan seni dalam
pengajaran seni dapat dipetakan dalam hubungan triadik, yaitu: (1) pandangan pendidikan seni
berbasis anak, (2) pandangan pendidikan seni berbasis subjek (disiplin ilmu), dan (3) pandangan
pendidikan seni berbasis kebutuhan masyarakat. Dari sudut pandang kebutuhan anak, secara
psikologis keunikan mata pelajaran pendidikan seni utamanya berkaitan dengan kontribusi seni
terhadap kebermaknaan dan kebermanfaatan bagi kebutuhan perkembangan pebelajar, yakni
terletak pada pemberian pengalaman estetik secara alamiah dalam bentuk kegiatan berekspresi
diri secara kreatif dan berapresiasi (respon kreatif) sehingga dapat membantu mengembangkan
keseluruhan potensi kepribadian utuh (holistik) pebelajar baik aspek pribadi, sosial, intelek,
emosi, dan fisik.
Para ahli menyampaikan bahwa, pendidikan seni sebagai aesthetic needs memiliki fungsi
yang esensial dan unik, sehingga mata pelajaran ini tidak dapat digantikan dengan mata pelajaran
lain. Berdasarkan berbagai kajian dan penelitian, baik secara filosofis, psikologis maupun
sosiologis ditemukan bahwa pendidikan seni memiliki keunikan peran atau nilai strategis dalam
pendidikan sesuai perubahan dan dinamika masyarakat, diantaranya adalah sebagai berikut:
a. Dapat membantu mengembangkan perasaan anak (Ross: 1990), 
b. Dapat digunakan sebagai sarana terapi dan kesehatan mental (Margaret Numberg), 
c. Dapat mengembangkan imajinasi, kreativitas dan kemampuan artistik serta intelektual
(Kaufman), 
d. Dapat membantu perkembangan kepribadian dan pembinaan estetik anak (Wickiser: 1974), 
e. Dapat meningkatkan kemampuan apresiasi anak didik (Chapman)
Sedangkan menurut teori psikologi pendidikan, pembelajaran seni cenderung bisa
diterima oleh teori humanistik dan teori kognitivistik. Bila menurut teori kognitivistik, teori ini
lebih mementingkan proses belajar dari pada hasil belajarnya, demikian pula dengan
pembelajaran seni di sekolah. Pendidikan seni dipandang sebagai sarana atau alat untuk
mencapai tujuan pendidikan bukan untuk tujuan menjadi ahli seni. Tidak menyiapkan peserta
didik menjadi seniman. Pembelajaran seni lebih menekankan pada proses bukan hasil.
Pendidikan melalui seni menggunakan seni untuk mendorong perkembangan peserta didik secara
optimal menciptakan keseimbangan rasional dan emosional, keseimbangan kinerja otak kanan
dan otak kiri (Parmadhi, 2008). Sedangkan menurut teori humanistik menyatakan bahwa belajar
ialah memanusiakan manusia, maksudnya adalah menghargai segala yang ada pada manusia.
Teori ini juga lebih mementingkan isi yang dipelajari dari pada proses belajarnya. Pada teori ini,
kegiatan pembelajaran cenderung mendorong siswa untuk berpikir induktif. Teori ini juga amat
mementingkan faktor pengalaman dan ketelibatan siswa secara aktif dalam belajar. Demikian
pula dengan pembelajaran seni.
Dari pembahasan di atas, agar pembelajaran seni berjalan ideal atau mendekati ideal,
yang harus disadari oleh semua pihak adalah rehabilitasi atau menata kembali kesesuaian antara
latar belakang pendidikan guru dengan mata pelajaran yang diampu, hal ini dimaksudkan untuk
membangun kesepakatan, bahwa pendidikan seni hanya boleh diajarkan oleh guru yang memiliki
latar belakang pendidikan seni. memperbolehkan guru yang bukan berlatar belakang seni untuk
mengajar mata pelajaran seni, pemahaman konsep yang kurang baik berimplikasi pula pada
perumusan beberapa kebijakan yang kurang adil terhadap pendidikan, seperti memberikan
alokasi waktu yang sangat sedikit untuk kegiatan pembelajaran seni. Seni yang memiliki isi
(content) pembelajaran yang luas (mencakup musik, rupa, tari, drama, dll) hanya diberi alokasi
waktu yang sangat kurang. Kebijakan-kebijakan yang kurang positif seperti ini mengakibatkan
pendidikan seni belum sanggup memberikan sumbangannya yang besar untuk pendidikan
Yang sangat penting juga dilakukan adalah perumusan kembali cakupan isi (content)
mata pelajaran seni itu sendiri. Menggabungkan berbagai cabang seni (musik, rupa, tari, teater,
dll) dalam satu mata pelajaran seni budaya adalah sebuah kekeliruan. Hampir semua perguruan
tinggi yang menyelenggarakan pendidikan seni sudah memisahkan cabang-cabang seni pada
jurusan-jurusan yang terpisah. Artinya, sekolah tidak akan dapat menemukan guru yang
memiliki latar belakang pendidikan seni lebih dari satu cabang seni. Jika sekolah mempekerjakan
seorang guru seni yang berasal dari latar belakang pendidikan seni tertentu, maka
konsekuensinya cabang seni lain yang menjadi isi dari mata pelajaran seni budaya akan diajarkan
tidak maksimal atau bahkan tidak diajarkan.
Agar kompetensi guru seni benar-benar berguna dengan maksimal maka perlu
dirumuskan kebijakan yang lebih tepat berkaitan dengan isi mata pelajaran seni ini. Perumusan
isi materi harus berkoordinasi dengan perguruan tinggi sebagai penyedia calon tenaga pendidik
sehingga calon guru yang akan dihasilkan benar-benar menjawab kebutuhan di sekolah.
Yang harus dilakukan berikutnya adalah revitalisasi, atau menambah dan memperkuat
kompetensi keilmuan seni bagi guru seni. Guru seni pada umumnya harus menyadari dengan
sesadar-sadarnya bahwa tujuan penyelenggaraan seni di sekolah umum tidak secara mutlak
dimaksudkan agar siswa menjadi seorang yang terampil dalam bidang seni atau ahli seni, dan
juga bukan pada aspek teori yang hanya bersifat hafalan (Soeteja, 2011). Penegasan ini
menyiratkan bahwa tujuan utama pendidikan seni pada sekolah umum adalah menjadikan seni
sebagai media pendidikan.Artinya, konsep-konsep seni yang diajarkan dan ditanamkan selama
kegiatan pembelajaran seni budaya harus memiliki implikasi pada perkembangan potensi peserta
didik secara keseluruhan. Seorang guru seni budaya harus memiliki kreativitas yang tinggi dalam
mengorelasikan antara konsep-konsep seni dengan tujuan lain yang hendak dicapai dalam sebuah
proses pendidikan secara umum. Misalnya, konsep pembelajaran musik tentang harmonitidak
hanya berhenti pada penguasaan siswa terhadap kemampuan menyanyi secara harmonis, tetapi
harusmenjadi bagian pembelajaran kepada para siswa tentang pentingnya membangun kehidupan
harmonis di masyarakat. Kehidupan yang harmonis dengan orang lain akan menciptakan
kehidupan yang indah, sebagaimana indahnya suara yang didengar ketika menyanyi dengan
harmonis. Dengan kontekstualisasi seperti ini, dalam diri siswa akan tertanam sikap inisiatif
untuk ikut berperan dalam menciptakan kehidupan yang harmonis dalam masyarakat.
Jadi dapat ditarik kesimpulan, untuk dapat mewujudkan pembelajaran seni yang ideal di
tangka dasar, setidaknya ada 3 hal yang butuh perhatian serius, yaitu:
Pertama, menyamakan pemahaman antara pengambil kebijakan dengan para pendidik, bahwa
pendidikan seni adalah salah satu mata pelajaran yang sama kedudukannya dengan mata
pelajaran lain sehingga harus diperlakukan sama.
Kedua, perlu dirumuskan sebuah kebijakan yang tegas bahwa seorang pendidikseni budaya harus
berlatarbelakang pendidikan seni karena dianggap berkompeten dalam bidangnya agar
pembelajaran di lapangan dapat berhasil.
Ketiga, seorang pendidik seni budaya perlu untuk selalu menambah dan memperbarui
pengetahuan dan keterampilannya dalam membelajarkan seni kepada peserta didik. Menjadi
guru tidak berarti berhenti belajar. Seorang guru yang tekun belajar di sela-sela kegiatan
mengajar akan menjadi pendidik yang profesional karena jeli menangkap setiap perubahan. Guru
yang professional akan tekun melakukan berbagai penelitian untuk menambah pengetahuan dan
keterampilannya dalam mengelola kegiatan pembelajaran di kelas.
Demikian yang dapat kami sampaikan, mohon maaf atas kata-kata yang kurang tepat.
Semoga ada manfaat yang bisa dipetik dari penjelasan di atas. Terima kasih.

‫الحمد هلل رب العلمين‬


Referensi:

1. Dopo, Florentianus. Rehabilitasi dan Revitalisasi Kompetensi Pendidik Seni pada


Sekolah Umum di Indonesia. [Jurnal]. Ngada, NTT: Jurnal Ilmiah Pendidikan Citra Bakti
Volume 5 Nomor 1. 2015.

2. Hakim, Ramalis. Pembelajaran Seni Budaya di Era Global (Sebuah Tantangan Baru
yang Dihadapi oleh Pendidik Seni. [Jurnal]. Padang: Seni Rupa FBS Universitas Negeri
Padang. Proceeding of International Seminar on Languages and Arts (ISLA). [tt].

3. Komang, Juliawan. Seni Sebagai Media Pembelajaran. [Artikel].


https://www.salamyogyakarta.com/seni-sebagai-media-pembelajaran/

4. Prihadi, Bambang. Perbaikan Pendidikan Seni Rupa di Indonesia Prioritas Untuk


Sekolah Dasar. [Jurnal]. Yogyakarta: Universitas Negeri Yogyakarta. [tt].

5. Suharyanto, Arbi. Hubungan Psikologi dengan Seni. [Artikel].


https://dosenpsikologi.com/hubungan-psikologi-dengan-seni

6. Soetopo, Sungkowo. Pembelajaran Seni di Sekolah Dasar. [Jurnal]. Palembang: PGSD


FKIP Universitas Sriwijaya. Jurnal Inovasi Sekolah Dasar Volume 2 Nomor 1. 2015.

7. Suhartini, Neno. Membaca: Konsep Pendekatan Pendidikan Melalui Seni. [Artikel].


https://bdkjakarta.kemenag.go.id/berita/membaca-konsep-pendekatan-pendidikan-
melalui-seni

Anda mungkin juga menyukai