Anda di halaman 1dari 29

Review Materi Perencanaan dan Kebijakan Pembangunan

Disusun untuk memenuhi tugas UTS Perencanaan dan Kebijakan Pembangunan

Disusun oleh :
RIMA MELATI ANGGRAENI
NIM. 216020101111007

Kelas DA

MAGISTER ILMU EKONOMI


FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS
UNIVERSITAS BRAWIJAYA
MALANG
2022
MENGAPA PERENCANAAN ITU PENTING?

Perencanaan adalah suatu bentuk kegiatan yang menentukan apa yang harus dilakukan
dan bagaimana melakukannya. Perencanaan menjadi aspek paling penting karena segala ide
atau konsep untuk mencapai tujuan tertuang dalam perencanaan. Dengan melakukan
perencanaan, segala hal yang akan dilakukan bisa diukur dan diprediksi secara baik dan
akurat.
Perencanaan merupakan cara berpikir mengenai persoalan-persoalan sosial dan ekonomi,
terutama yang berorientasi pada masa mendatang, berkembang dengan hubungan antara
tujuan dan keputusan–keputusan kolektif dan mengusahakan kebijakan dan program.
Menurut George R. Terry, Perencanaan adalah tindakan memilih, menghubungkan
fakta-fakta, membuat asumsi-asumsi tentang masa depan disertai perumusan aktivitas yang
akan dilaksanakan untuk mencapai tujuan. Perencanaan pada dasarnya adalah proses yang
dimulai dengan tujuan dan rencana, dimana rencana itu seperti peta. Saat mengikuti sebuah
rencana, seseorang dapat melihat seberapa banyak kemajuan mereka menuju tujuan dan
seberapa jauh mereka dari tujuan yang ingin mereka capai.
Beberapa alasan pentingnya perencanaan adalah :
 Perencanaan memberikan arahan untuk suatu tindakan atau tujuan
 Perencanaan mengurangi risiko ketidakpastian
 Perencanaan mengurangi kegiatan yang tumpang tindih dan boros
 Perencanaan mendorong inovasi dan kreativitas
 Perencanaan menetapkan standar untuk pengendalian

Perencanaan yang baik harus memenuhi beberapa syarat, diantaranya :


1. Logis / masuk akal
2. Realistis
3. Sederhana
4. Sistematik dan ilmiah
5. Obyektif
6. Fleksibel
7. Manfaat
8. Optimasi dan efisiensi
Perencanaan yang baik harus dapat menjawab enam pertanyaan yang disebut sebagai unsur-
unsur perencanaan yaitu :
1. Tindakan apa yang harus dikerjakan
2. Apa sebabnya tindakan tersebut harus dilakukan
3. Dimana tindakan tersebut dilakukan
4. Kapan tindakan tersebut dilakukan
5. Siapa yang akan melakukan tindakan tersebut
6. Bagaimana cara melaksanakan tindakan tersebut.
Perencanaan umumnya mencakup beberapa unsur, diantaranya adalah :
program/kegiatan, aktivitas, lokasi, anggaran, waktu dan target yang ingin dicapai. Robbins
dan Coulter menjelaskan fungsi dari perencanaan sebagai berikut:

a) Perencanaan sebagai Pengarah


Perencanaan merupakan upaya untuk meraih atau mendapatkan sesuatu secara lebih
terkoordinasi. Dalam hal ini perencanaan adalah sebagai pengarah atau guide dalam
usaha untuk mencapai tujuan secara lebih terkoordinasi dan terarah.
b) Perencanaan sebagai Minimalisasi Ketidakpastian
Pada dasarnya di dunia ini tidak ada yang tidak mengalami perubahan. Perubahan-
perubahan yang terjadi membawa ketidakpastian bagi organisasi. Kadang perubahan
tersebut sesuai dengan apa yang kita inginkan akan tetapi tidak jarang perubahan
tersebut tidak sesuai dengan apa yang kita inginkan. Ketidak pastian inilah yang harus
diminimalisasikan, dengan adanya perencanaan, ketidak pastian yang akan terjadi di
kemudian hari dianti-sipasi sebelumnya dengan perencanaan.
c) Perencanaan sebagai Minimalisasi Pemborosan Sumber Daya
Setiap organisasi pasti membutuhkan sumber daya. Dengan adanya perencanaan,
sebuah organisasi pada awal-awal sudah melakukan perencanaan mengenai
penggunaan sumber daya sehingga diharapkan tidak ter-jadi pemborosan dalam hal
penggunaan sumber daya yang ada sehingga organisasi tersebut bisa meningkatkan
tingkat efisiensinya.
d) Perencanaan sebagai Penetapan Standar dalam Pengawasan Kualitas
Perencanaan berfungsi sebagai penetapan standar dalam pengawasan kualitas yang
harus dicapai oleh or-ganisasi dan diawasi pelaksanaannya dalam fungsi pengawasan
manajemen. Dalam perencanaan, perusahaan atau organisasi menentukan tujuan dan
rencana-rencana untuk mencapai tujuan tersebut. Dalam pengawasan, perusahaan atau
organisasi berusaha membandingkan antara tujuan yang telah ditetapkan dengan
realita di lapangan, dan mengevaluasi penyimpangan-penyimpangan yang mungkin
terjadi, sehingga bisa mengambil tindakan-tindakan yang diperlukan untuk
memperbaiki kinerja perusahaan.

Perbedaan Strategi dan Rencana


 Strategi
Strategi adalah rencana yang terfokus. Rencana terfokus ini dibuat khusus untuk mencapai
suatu tujuan khusus. Sebuah strategi berisi langkah-langkah kompetitif yang harus dilakukan
manajemen agar tujuan tersebut bisa tercapai. Strategi merupakan suatu hal yang dinamis dan
fleksibel. Dalam prosesnya, strategi bisa saja berubah. Pasalnya, kita tak selalu bisa
memprediksi hasil yang diperoleh dari suatu strategi. Akan tetapi, tujuannya tetap sama.

 Rencana
Rencana adalah proses berpikir yang sistematis. Tujuan dari proses pikir ini adalah aksi yang
harus dilakukan. Jadi, rencana adalah urutan langkah yang dibutuhkan untuk mencapai
sebuah objektif perusahaan.
Menurut Excitant, strategi adalah membuat pilihan atau keputusan tentang apa yang
akan dilakukan untuk mencapai sebuah tujuan. Sementara, rencana atau perencanaan adalah
membuat pilihan-pilihan tersebut.
SINKRONISASI PERENCANAAN & PENGANGGARAN SERTA
SIKLUS ANGGARAN DAERAH

A. Dasar Hukum Perencanaan & Penganggaran


Perencanaan :
1. UU 25/2004 tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional
2. UU 32/2004 tentang Pemerintahan Daerah
3. PP 08/2008 tentang Tahapan, Tata Cara Penyusunan, Pengendalian dan Evaluasi
Pelaksanaan Rencana Pembangunan Daerah
4. Permendagri 54/2010 tentang Pelaksanaan PP 08/2008
Penganggaran :
1. UU 17/2003 tentang Keuangan Negara
2. UU 1/2004 tentang Perbendaharaan Negara
3. UU 32/2004 tentang Pemerintahan Daerah
4. PP 58/2005 tentang Pengelolaan Keuangan Daerah
5. Permendagri 13/2006 tentang Pengelolaan Keuangan Daerah
6. Permendagri 59/2007 tentang Perubahan atas Permendagri 13/2006.

B. Fungsi Perencanaan
• Mengurangi ketidakpastian serta perubahan di masa datang;
• Mengarahkan semua aktivitas pada pencapaian visi dan misi organisasi;
• Meningkatkan efisiensi dan efektifitas penggunaan sumber daya yang tersedia;
• Memberikan arah bagi pemda dalam memberikan pelayanan yang lebih baik kepada
masyarakat;
• Sebagai wahana untuk mengukur tingkat keberhasilan atau kegagalan kinerja
organisasi.

C. Dokumen Perencanaan
Berdasarkan UU No 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah; UU No 17/2003 tentang
Keuangan Negara; dan UU No 25/2005 SPPN, dokumen rencana pembangunan di daerah
terdiri dari:
• Rencana Pembangunan Jangka Panjang Daerah (RPJPD)
• Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD)
• Rencana Strategis Satuan Kerja Perangkat Daerah (Renstra SKPD)
• Rencana Kerja Pemerintah Daerah (RKPD)
• Rencana Kerja SKPD (Renja SKPD)
Masing-masing dokumen tersebut merupakan suatu kesatuan atau saling terkait satu
dengan lainnya dan juga dengan dokumen Perencanaan Pembangunan Nasional.

RPJP Daerah berfungsi sebagai :


• Road map (peta arah) pembangunan daerah 20 tahun kedepan.
• pedoman bagi penyusunan RPJMD.
• acuan penyusunan visi dan misi calon kepala daerah.
• instrumen bagi mewujudkan pembangunan berkelanjutan dalam jangka 20 tahun.
• instrumen untuk meningkatkan keunggulan utama daerah (core competency).

RPJM Daerah berfungsi sebagai :


• pedoman pembangunan di daerah selama 5 (lima) tahun.
• Pedoman penyusunan rencana kerja tahunan (RKPD).
• alat atau instrumen pengendalian bagi satuan pengawas internal (SPI) dan Bappeda.
• instrumen mengukur tingkat pencapaian kinerja kepala SKPD
• pedoman evaluasi penyelenggaraan Pemda sebagaimana amanat PP 6/2008

RKP Daerah berfungsi sebagai :


• instrumen untuk mengoperasionalkan RPJMD.
• acuan penyusunan Rencana Kerja SKPD.
• pedoman dalam penyusunan KUA dan PPAS.
D. Sistem Perencanaan

E. Perencanaan dan Penganggaran


• Perencanaan sebagai acuan bagi penganggaran pada dasarnya adalah proses untuk
menyusun rencana pendapatan dan belanja untuk suatu jangka waktu tertentu.
• Dokumen Perencanaan Pembangunan Daerah dibuat secara berjenjang berdasarkan
ketentuan Peraturan Perundang-Undangan dan dalam rangka untuk menjamin
keterkaitan dan konsistensi antara perencanaan, penganggaran, pelaksanaan
dan pengawasan (Pasal 153 UU No.32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah).
F. Sinkronisasi Perencanaan dan Penganggaran Pusat dan Daerah dalam Sistem
Perencanaan Pembangunan Nasional

Secara konseptual, tujuan pembuatan anggaran (penyusunan APBD):


 formulasi kebijakan anggaran (budget policy formulation)  penyusunan KUA 
terkait analisa fiskal
 perencanan operasional anggaran (budget operational planning)  terkait pada
alokasi sumber daya keuangan
Fungsi anggaran  perancanaan, pengawasan, koordinasi, dan anggaran sebagai pedoman
kerja.

G. Fungsi Anggaran
• Anggaran sebagai alat perencanaan:
a. Merumuskan tujuan serta sasaran kebijakan sesuai dengan visi dan misi yang
ditetapkan.
b. Merencanakan berbagai program dan kegiatan untuk mencapai tujuan organisasi
serta merencanakan alternative sumber pembiayaannya.
c. Mengalokasikan sumber-sumber ekonomi pada berbagai program dan kegiatan
yang telah disusun.
d. Menentukan indikator kinerja dan tingkat pencapaian strategi.
• Anggaran sebagai alat pengendalian  mengendalikan efisiensi pengeluaran,
membatasi kekuasaan atau kewenangan Pemda, mencegah adanya overlapping dan
salah sasaran dalam alokasi anggaran, memonitor kondisi keuangan dan pelaksanaan
operasional program/kegiatan pemerintah.
• Anggaran sebagai alat kebijakan fiskal digunakan untuk menstabilkan ekonomi
dan mendorong pertumbuhan ekonomi melalui pemberian fasilitas, dorongan dan
koordinasi kegiatan ekonomi masyarakat sehingga mempercepat pertumbuhan
ekonomi.
• Anggaran sebagai alat politik digunakan untuk memutuskan prioritas-prioritas
kebutuhan keuangan terhadap prioritas tersebut.
• Anggaran sebagai alat koordinasi antar unit kerja dalam organisasi pemda yang
terlibat dalam proses penyusunan anggaran.
• Anggaran sebagai alat evaluasi kinerja. Kinerja Pemda akan dinilai berdasarkan
target anggaran yang dapat direalisasikan.
• Anggaran berfungsi sebagai alat untuk memotivasi manajemen Pemda agar
bekerja secara ekonomis, efektif, dan efisiensi dalam mencapai target kinerja.

H. Pendekatan New Public Management (NPM)


• Pendekatan NPM  merupakan pendekatan penyusunan anggaran yang fokus pada
manajemen sektor publik yang berorientasi pada kinerja, bukan pada kebijakan.
• Ciri NPM adalah komparatif, terintegrasi, dan lintas departemen, proses pengambilan
keputusan yang rasional, berjangka panjang, spesifikasi tujuan dan adanya skala
prioritas, analisis biaya manfaat, berorientasi pada input, output dan outcome, serta
adanya pengawasan kinerja.
• Penerapan NPM oleh Pemerintah:
• anggaran berbasis kinerja (performance based budgeting),
• kerangka pengeluaran jangka menengah (MTEF),
• anggaran terpadu (Unified Budget).
PERMASALAHAN & KELEMAHAN PROSES PERENCANAAN DAN
PENGANGGARAN MENURUT PERMENDAGRI NO.13 TH 2006

Pengelolaan keuangan daerah sering menghadapi masalah ketika perencanaan dan


penganggaran tidak dilakukan dan berjalan dengan baik. Gagal dalam merencanakan
sesungguhnya merencanakan sebuah kegagalan. Tulisan ini akan menguraikan kendala dan
permasalahan yang mungkin muncul dalam proses perencanaan dan penganggaran keuangan
daerah. Gambar di atas merupakan flowchart siklus perencanaan dan penganggaran
berdasarkan Permendagri No.13 Tahun 2006. Berdasarkan flowchart tersebut, terdapat
beberapa tahap yang dinilai paling menghambat proses perencanaan dan penganggaran
(berikan maksimal 3 tahap yang Anda anggap paling bermasalah, diantaranya :

1. Pembahasan dan Kesepakatan KUA antara KDH dengan DPRD (Juni)


2. Pembahasan dan Kesepakatan PPAS antara KDH dengan DPRD (Juli)
3. Pembahasan dan Persetujuan Rancangan APBD dengan DPRD (Oktober-November)

Kegiatan seperti Pembahasan & Kesepakatan ataupun Pembahasan & Persetujuan


Anggaran atau kegiatan lain yang sifatnya koordinasi cenderung mudah direncanakan
namun pelaksanaannya sering berjalan alot/sulit dilaksanakan, terlebih intervensi hak
budget DPRD terlalu kuat. Anggota DPRD sering mengusulkankegiatan-kegiatan yang
menyimpang jauh dari usulan masyarakat yang dihasilkan dalam Musrenbang. Jadwal reses
DPRD dengan proses Musrenbang yang tidak match misalnya Musrenbang sudah dilakukan,
baru DPRD reses mengakibatkan banyak usulan DPRD yang kemudian muncul dan merubah
hasil Musrenbang. Intervensi legislative ini kemungkinan didasari motif politis yakni
kepentingan untuk mencari dukungan konstituen sehingga anggota DPRD berperan seperti
sinterklas yang membagi-bagi proyek. Selain itu, terdapat kemungkinan juga didasari motif
ekonomis yakni membuat proyek untuk mendapatkan tambahan income bagi pribadi atau
kelompoknya dengan mengharap bisa intervensi dalam aspek pengadaan barang
(procurement) atau pelaksanaan kegiatan.Intervensi hak budget ini juga seringkali
mengakibatkan pembahasan RAPBD memakan waktu panjang untuk negosiasi antara
eksekutif dan legislative. Salah satu strategi dari pihak eksekutif untuk “menjinakkan” hak
budget DPRD ini misalnya dengan memberikan alokasi tertentu untuk DPRD missal dalam
penyaluran Bantuan Sosial (Bansos) ataupun pemberian “Dana Aspirasi” yang bisa
digunakan oleh anggota DPRD secara fleksibel untuk menjawab permintaan masyarakat.

Pada Tahapan Penganggaran - Penyampaian Raperda APBD kepada DPRD, konsensus


prioritas program dan kegiatan dalam KUA dan PPAS sering tidak dianggap dalam proses
penyusunan RAPBD. Kondisi ini menyebabkan berulangnya pembahasan. Hal ini tentunya
memunculkan: (1) Perhatian terhadap proses KUA dan PPAS menjadi tak serius. (2) Pisah
batas proses perencanaan dan penganggaran, menjadi tak jelas. (3) Kepentingan masyarakat
menjadi ‘bukan fokus utama’, namun menjadi ‘alasan perubahan’ atau ‘diturunkan dari
kepentingan kelompok atau pribadi’. Pada saat pengambilan Keputusan Bersama DPRD dan
Kepala Daerah terhadap RAPBD setelah pembahasan Komisi dan dilanjutkan Panja RAPBD
oleh DPRD, perubahan program dan kegiatan masih berjalan terus. Hal ini, mengakibatkan
ketiadaaan persepsi tentang pisah batas perencanaan dan penganggaran. Yang terjadi
sebetulnya adalah ‘ancaman chaos’, dimana proses penyusunan RAPBD selalu terancam
dibahas dari titik awal.

Selain pada tiga tahap tersebut, tahap yang dinilai menjadi titik kritis perencanaan adalah
pada saat kegiatan Musrenbang. Salah satu kendala yang sering terjadi adalah pendekatan
partisipatif dalam perencanaan melalui mekanisme musrenbang masih menjadi
retorika. Perencanaan pembangunan masih didominasi oleh: Kebijakan kepala daerah, hasil
reses DPRD dan Program dari SKPD. Kondisi ini berakibat timbulnya akumulasi
kekecewaan di tingkat desa dan kecamatan yang sudah memenuhi kewajibanmembuat
rencana tapi realisasinya sangat minim. Selain itu, kualitas hasil Musrenbang
Desa/Kecamatan seringkali rendah karena kurangnya Fasilitator Musrenbang yang
berkualitas. Fasilitasi proses perencanaan tingkat desa yang menurut PP 72 tahun 2005
diamanahkan untuk dilaksanakan oleh Pemerintah Kabupaten (bisa dilakukan melalui
Kecamatan) seringkali tidak berjalan. Proses fasilitasi seringkali hanya diberikan dalam
bentuk surat edaran agar desa melakukan Musrenbang, dan jarang dalam bentuk bimbingan
fasilitasi di lapangan

Dalam pantauan pelaksanaan Musrenbang Desa/Kelurahan, masalah yang mungkin


muncul adalah tidak terpenuhinya keterwakilan peserta musrenbang. Hasilnya, terjadi
dominasi elit desa/kelurahan dan sosialisasi hasil pasca-musrenbang yang tidak seimbang
dengan sosialisasi akan diadakannya musrenbang. Kapasitas Sumberdaya Manusia (SDM)
merupakan salah satu penyebab utama permasalahan ini. Keterwakilan berbagai
elemenmasyarakat (dengan kapasitas bagaimanapun) adalah sumber aspirasi program
pembangunan.

Dalam pantauan Musrenbang Kecamatan, kelemahan yang terjadi hamper sama dengan
musrenbang desa/kelurahan, yakni keterwakilan dan konsistensi aspirasi. Selain kapasitas
SDM, permasalahan meluas dengan ditambah faktor geografis, dan, akses masyarakat. Dalam
skop dan wilayah yang lebih luas, sebuah wilayah terpencil akan lebih sulit untuk memenuhi
keterwakilan masyarakat yang seharusnya hadir. Di sisi lain, akses masyarakat terhadap
perjalanan aspirasinya semakin jauh.

Dalam Musrenbang Kabupaten/Kota, masukan masyarakat seringkali tidak sesuai


dengan prioritas masing-masing SKPD. Kondisi ini dapat diakibatkan oleh: (1) SKPD
berjalan sesuai dengan pemikirannya, tanpa mempertimbangkan usulan masyarakat. (2)
Masukan masyarakat memang tak sesuai dengan skala prioritas dan urutan program
pembangunan menurut SKPD. Dalam hal pertama dan kedua, SKPD sebaiknya menjelaskan
alasannya dengan jelas ke masyarakat, saat mereviu perkembangan daerah, dan, usulan
masyarakat tahun lalu. Dari hasil pantauan lapangan, penjelasan ini tak pernah dipersiapkan.
Sehingga, kondisi ‘tidak termotivasi’ menjiwai kondisi musrenbangdes. Dengan kata lain,
masyarakat sering merasa ditinggal.

Dalam tahap pengesahan RKPD, biasanya terdapat penundaan dengan alasan: (1)
RAPBD belum disahkan. (2) Besar kemungkinan perubahan program, akibat perubahan RAK
ataupun RAPBD itu sendiri, sebelum disahkan DPRD. (3) Perubahan juga amat mungkin
terjadi pada persetujuan/konsensus KUA dan PPAS. Alasan-alasan di atas, sebenarnya tak
pernah diungkap dalam regulasi maupun penjelasannya. Namun, hal ini telah menjadi praktik
yang lazim.

Pada tahap penyusunan RKA-SKPD, pengisian RKA SKPD selama ini dilakukan secara
terpusat. Dengan kata lain, hanya satu atau dua orang menjadi pengisi RKA – SKPD.
Sehingga, banyak aparat SKPD, belum memahami. Saat ini, tuntutan pengisian berasal dari
aparat yang akan menjadi pelaksana. Kondisi ini menyebabkan secara psikologis
’keterlibatan sejak awal’. Namun, di sisi lain, banyak aparat SKPD tak siap. Dampaknya
adalah keterlambatan pengisian RKA SKPD.

Masalah lainnya adalah Proses Perencanaan kegiatan yang terpisah dari


penganggaran. Akibat adanya ketidakjelasan informasi besaran anggaran, proses
Musrenbang kebanyakan masih bersifat menyusun daftar belanja (shopping list) kegiatan.
Banyak pihak seringkali membuat usulan sebanyak-banyaknya agar probabilitas usulan yang
disetujui jugasemakin banyak. Ibarat memasang banyak perangkap, agar banyak sasaran yang
terjerat.

Terpisahnya proses perencanaan dan anggaran ini juga berlanjut pada saat penyediaan
anggaran sehingga ketersediaan dana menjadi tidak tepat waktu. APBD disahkan pada
bulan Desember tahun sebelumnya, tetapi dana seringkali lambat tersedia. Bukan hal yang
aneh,walau tahun anggaran mulai per 1 Januari tapi sampai bulan Juli-pun anggaran program
di tingkat SKPD masih sulit didapatkan

Dalam tahap penyusunan rencana kerja, SKPD yang mempunyai alokasi anggaran besar
misal Dinas Pendidikan dan DinasPU seringkali tidak mempunyai tenaga perencana yang
memadai akibatnya proses perencanaan seringkali molor. Hal ini sering diperparah oleh
minimnya tenaga Bappeda yang mampu memberikan asistensi kepada SKPD dalam
penyusunan rencana.

Tahapan lain yang juga menjadi titik kritis perencanaan adalah pada tahap forum antar
SKPD. Koordinasi antar SKPD untuk proses perencanaan cenderung masih lemah sehingga
kegiatan yang dibangun jarang yang sinergis bahkan tidak jarang muncul ego sektoral.
Terdapat suatu kasus dimana di suatu kawasan Dinas Kehutanan mendorong program
reboisasi tapidisisi lain Dinas Pertambangan memprogramkan ekploitasi batubara di lokasi
tersebut
Pada bulan Desember, terdapat tahap evaluasi APBD kabupaten/Kota oleh Pemerintah
Provinsi. Disisi lain, Pemprov terkadang mempunyai keterbatasan tenaga untuk melakukan
evaluasi tersebut. Selain itu, belum ada instrument yang praktis yang bisa digunakan untuk
evaluasi anggaran. Hal ini berakibat proses evaluasi memakan waktu agak lama dan berimbas
pada semakin panjangnya proses revisi di daerah (kabupaten/kota).

Apabila mengkaji dokumen perencanaan yang ada di daerah pun, masih terdapat
beberapa kelemahan, diantaranya : Breakdown RPJPD ke RPJMD dan RPJMD ke RKPD
seringkali tidak sesuai (match). Terdapat kecenderungan dokumen RPJP ataupun
RPJM/Renstra SKPD seringkali tidak dijadikan acuan secara serius dalam menyusun
RKPD/Renja SKPD. Kondisi ini muncul salah satunya disebabkan oleh kualitas tenaga
perencana di SKPD yang terbatas dari segi kuantitas dan kualitasnya. Dalam beberapa kasus
ditemui perencanaan hanya dibuat olehPengguna Anggaran dan Bendahara, dan kurang
melibatkan staf program sehingga banyak usulan kegiatan yang sifatnya copy paste dari
kegiatan yang lalu dan cenderung kurang visioner. Selain itu, kualitas RPJPD, RPJM Daerah
dan Renstra SKPD seringkali belum optimal Beberapa kelemahan yang sering ditemui dalam
penyusunan rencana tersebut adalah;indicator capaian yang seringkali tidak jelas dan tidak
terukur, data dan asumsi yang seringkali kurang valid, serta analisis yang kurang mendalam
dimana jarang terdapat analisis mendalam yang mengarah pada “how to achieve” suatu
target.
INDIKATOR KINERJA UTAMA

A. Pengertian Indikator Kinerja Utama (IKU)


Indikator kinerja utama atau IKU adalah ukuran atau indikator kinerja suatu instansi,
utamanya dalam mencapai tujuan dan sasaran tertentu. Setiap lembaga atau instansi
pemerintah wajib merumuskan indikator kinerja utama, dan menjadikan hal itu sebagai
prioritas utama. Dengan merumuskan indikator kinerja utama, instansi pemerintah bisa
mengetahui kinerja mereka selama ini. Selain itu, indikator kinerja utama juga dapat
meningkatkan kinerja mereka untuk ke depannya. Sehingga mereka pun bisa meraih tujuan,
sasaran, dan rencana yang telah ditentukan sebelumnya.

B. Tujuan Indikator Kinerja Utama (IKU)


Setiap instansi pemerintah pasti membuat indikator kinerja utama karena ada tujuannya.
Adapun beberapa tujuan dibalik pembuatan indikator tersebut adalah:
 Untuk mendapatkan ukuran sejauh mana keberhasilan dan pencapaian yang telah diraih
organisasi tersebut selama beberapa waktu terakhir. Ukuran tersebut nantinya akan
dijadikan patokan untuk meningkatkan kualitas kinerja instansi tersebut, utamanya kinerja
para karyawan.
 Untuk mendapatkan informasi penting soal kinerja karyawan selama ini. Nantinya,
informasi tersebut akan dijadikan salah satu pedoman dalam menyusun manajemen kerja
yang baik.

C. Kriteria Penyusunan Indikator Kinerja Utama (IKU)


Dalam penyusunannya, IKU harus memenuhi sejumlah kriteria, utamanya kriteria dari Satuan
Kerja Perangkat Daerah (SKPD). Kriteria-kriteria tersebut adalah:
1. Spesifik: indikator kinerja utama harus dibuat sespesifik mungkin dan juga harus
mengacu pada hal yang akan diukur oleh indikator tersebut (dalam hal ini kinerja
karyawan dan instansi terkait). Hal tersebut dilakukan agar orang-orang yang hendak
menyusun IKU mempunyai persepsi yang sama terkait IKU yang mereka buat.
2. Measurable: IKU harus dapat diukur secara objektif, entah itu dengan pendekatan
kuantitatif maupun kualitatif.
3. Achievable: data yang dipakai dalam IKU haruslah dapat dikumpulkan oleh pihak
instansi terkait.
4. Relevant: IKU yang dibuat harus bisa menggambarkan kinerja sebuah instansi secara
akurat dan relevan dengan kondisi riil instansi tersebut.
5. Timelines: IKU yang telah disusun harus bisa menggambarkan data berupa
perkembangan kinerja suatu instansii dalam kurun waktu tertentu. Selain itu, sedapat
mungkin IKU bisa lebih fleksibel kalau nanti ada sejumlah perubahan di dalamnya.

D. Jenis Indikator Kinerja Utama di Indonesia


Di Indonesia, ada beberapa jenis IKU yang lazim di pakai di beberapa instansi negara kita.
Jenis-jenis IKU tersebut adalah:
1. Input Indicator: merupakan indikator yang menggambarkan secara ringkas seperti
apa para karyawan baru di instansi tersebut, mulai dari kualitas hingga kuantitasnya.
2. Process Indicator: merupakan jenis IKU yang lazimnya dipakai sebagai acuan
langkah untuk membuat sebuah jasa atau barang.
3. Output Indicator: merupakan jenis IKU yang mengukur output yang dihasilkan dari
aktivitas yang dilakukan suatu instansi.
4. Outcome Indicator: adalah jenis IKU yang mengukur sejauh mana perkembangan
kinerja suatu instansi. Misalnya: kuantitas dan kualitas kerja, efisiensi kerja, serta
perilaku SDM atau karyawan.
5. Effect Indicator: merupakan jenis indikator kinerja utama yang mengukur seperti apa
dampak positif atau negatif dari kinerja suatu instansi terhadap instansi itu sendiri,
atau pihak lain yang berkaitan dengan instansi tersebut.

E. Tahap Penyusunan Indikator Kinerja Utama


Indikator kinerja utama tidak bisa disusun begitu saja. Perlu sejumlah tahap atau proses agar
sebuah indikator kinerja utama dapat tercipta. Adapun sejumlah tahap tersebut adalah:
 I: klarifikasi mengenai tujuan penyusunan IKU yang hendak dikejar.
 II: proses penyusunan dan perencanaan indikator kinerja utama, mulai dari tahap yang
paling awal (pembuatan draft) hingga selesai.
 III: Melakukan evaluasi evaluasi terhadap IKU yang sudah disusun.
 IV: memilih atau memutuskan IKU yang hendak digunakan.
F. Kegunaan Indikator Kinerja Utama
Ada sejumlah manfaat atau kegunaan dibalik indikator kinerja utama. Adapun manfaat atau
kegunaan tersebut adalah:
 Sebagai Bagian dari Perencanaan Menengah
Setiap instansi pemerintah pasti akan menyusun rencana, termasuk rencana menengah.
Renanca menengah sendiri merupakan rencana yang akan dieksekusi dalam jangka waktu
menengah (1-3 tahun). Untuk menyusun rencana tersebut, instansi pemerintah harus
mengetahui terlebih dahulu seperti apa kinerja karyawan dan instansinya selama ini.
Mengetahui kinerja sangat penting agar instansi pemerintah dapat memberlakukan
perencanaan dan kebijakan sesuai dengan kinerja mereka selama ini.
Disinilah indikator kinerja utama berperan penting. Dengan adanya IKU, intansi pemerintah
bisa mendapatkan gambaran bagaimana kinerja mereka selama ini. Dan dari situ, akhirnya
pihak instansi dapat melakukan perencanaan jangka menengah yang tepat.
 Sebagai Alat untuk Memantau dan Mengendalikan Kinerja (Utamanya Kinerja
Karyawan)
Instansi pemerintah tak bisa selalu memantau dan mengendalikan kinerja karyawannya setiap
hari. Sebagai gantinya, instansi pemerintah pun menggunakan indikator kinerja utama
sebagai alat untuk melakukan hal tersebut. IKU dapat memberi informasi kinerja karyawan
mereka dalam kurun waktu tertentu. Dari situ, pihak instansi akan memikirkan sejumlah cara
agar kinerja karyawannya tetap terkendali. Artinya, kinerja karyawan mereka harus tetap
positif dan konsisten setiap waktunya.
Membantu Instansi Pemerintah dalam Melakukan Evaluasi Kinerja
Indikator kinerja karyawan dapat memberi gambaran kinerja karyawan instansi tersebut
dalam kurun waktu tertentu. Apakah kinerjanya positif atau negatif. Dari situ, pihak instansi
bisa melakukan evaluasi kinerja agar kedepannya para karyawan bisa tetap konsisten
mempertahankan kinerjanya, atau memperbaiki kinerja mereka selama ini.
Membantu dalam Mengukur Akuntabilitas Karyawan
Akuntabilitas kinerja karyawan adalah hal yang penting di instansi pemerintah.
Semakin accountable seorang karyawan, maka semakin maju dan bersih pula instansi
pemerintah tersebut. Untuk mengetahui tingkat akuntabilitas karyawannya, instansi
pemerintah biasanya memakai indikator kinerja utama sebagai alat ukurnya.
IKU dapat memberikan data sejauh mana akuntabilitas para karyawan tersebut, mulai dari
kinerjanya, hingga attitude mereka selama ini.

PERENCANAAN & KEBIJAKAN PEMBANGUNAN

Dalam sebuah negara tentunya tidak ada negara yang tidak melakukan pembangunan
didalam negaranya. Pada dasarnya, pembangunan merupakan proses perubahan menuju
sesuatu yang lebih baik. Artinya dalam sebuah negara adanya suatu pembangunan
menjadi sebuah kemajuan untuk negara tersebut. Kondisi yang lebih baik dari keadaan
sebelumnya menjadi tujuan tersendiri dari dilaksanakannya sebuah pembangunan. Dalam
sebuah perencanaan pembangunan yang dilakukan tentu harus memperhatikan hal-hal
penting yang mendukung terhadap setiap prosesnya. Sebuah perencanaan dilakukan
untuk meminimalisir aspek-aspek yang dapat merugikan serta tidak berjalannya
pembangunan sesuai tujuan. Dalam sebuah perencanaan tentu dibutuhkannya sebuah
kebijakan yang dapat dikatakan sebagai akar daritercapainya tujuan dari pembangunan
tersebut.

Pengertian Kebijakan dan Perencanaan

Kebijakan menurut kamus bahasa Indonesia adalah rangkaian konsep dan asas yang
menjadi pedoman dan dasar rencana dalam pelaksanaan suatu pekerjaan, kepemimpinan, dan
cara bertindak. Istilah ini dapat diterapkan pada pemerintahan, organisasi dan kelompok
sektor swasta, serta individu. Pendapat lain oleh Richard Rose sebagaimana dikutip
Budi Winarno (2007: 17) juga menyarankan bahwa kebijakan hendaknya dipahami sebagai
serangkaian kegiatan yang sedikit banyak berhubungan beserta konsekuensi-konsekuensi
bagi mereka yang bersangkutan daripada sebagai keputusan yang berdiri sendiri.
Pendapat kedua ahli tersebut setidaknya dapat menjelaskan bahwa mempertukarkan
istilah kebijakan dengan keputusan adalah keliru, karenapada dasarnya kebijakan dipahami
sebagai arah atau pola kegiatan dan bukan sekedar suatu keputusan untuk melakukan sesuatu.
Dengan begitu berdasarkan pendapat dari berbagai pengertian di atas maka dapat
disimpulkan bahwa kebijakan merupakan sebuah tindakan-tindakan atau kegiatan yang
sengaja dilakukan atau tidak dilakukan oleh seseorang, suatu kelompok atau juga
pemerintah yang di dalamnya terdapat sebuah unsur dan keputusan berupa upaya dari
pemilihan di antara berbagai alternatif yang ada, untuk mencapai dari sebuah maksud dan
tujuan-tujuan tertentu.Menurut Suharno (2010: 52-53) proses pembuatan kebijakan
merupakan pekerjaan yang rumit dan kompleks dan tidak semudah yang dibayangkan.
Walaupun demikian, para administrator sebuah organisasi institusi atau lembaga
dituntut memiliki tanggung jawab dan kemauan, serta kemampuan atau keahlian, sehingga
dapat membuat kebijakan dengan resiko yang diharapkan (intended risks) maupun yang tidak
diharapkan (unintended risks). Dengan begitu, diperlukan sebuah evaluasi kebijakan yang
dapat dikatakan sebagai kegiatan yang mencakup estimasi atau sebuah penilaian dari
kebijakan yang mencakup substansi, implementasi dan dampak yang akan terjadi. Evaluasi
di pandang sebagai sebuah kegiatan yang fungsional. Sehingga dapat dikatakan, evaluasi
kebijakan perencanaan pembangunan tidak hanya dilakukan pada tahap akhir saja,
melainkan perlu dilakukan dalam seluruh proses kebijakan perencanaan pembangunan.
Dengan begitu, evaluasi kebijakan pembangunan dapat meliputi tahap perumusan
masalah-masalah dari suatu kebijakan, program-program yang diusulkan untuk
menyelesaikan masalah kebijakan, maupun tahap dampak kebijakan dan implementasi
kebijakan tersebut.

Menurut George R. Terry, Perencanaan adalah tindakan memilih, menghubungkan


fakta-fakta, membuat asumsi-asumsi tentang masa depan disertai perumusan aktivitas yang
akan dilaksanakan untuk mencapai tujuan. Secara sederhana, pengertian perencanaan adalah
suatu proses dalam berpikir secara logis dan pengambilan keputusan yang rasional sebelum
melakukan berbagai tindakan yang hendak dilakukan. Hal ini akan membantu setiap pihak
dalam memproyeksikan masa depannya dan memutuskan cara terbaik dalam menghadapi
situasi yang akan terjadi di masa depan.

Keterkaitan Perencanaan Dengan Kebijakan

Manakah yang lebih dahulu? Perencanaan atau Kebijakan?


 Langkah sebelum perencanaan adalah pengambilan keputusan. Artinya pembuatan
kebijakan terlebih dahulu baru kemudian perencanaan strategis dapat dijalankan.
 Pembuatan kebijakan berkaitan dengan aspek pengambilan keputusan. Kebijakan
adalah jenis rencana yang memungkinkan pengambil keputusan beberapa diskresi
untuk melaksanakan rencana. Jika tidak, tidak akan ada perbedaan antara kebijakan
dan aturan.
 Kebijakan merupakan nyawa dari setiap perencanaan. Oleh karena itu, setiap
perencanaan yang dibuat harus berdasarkan dengan kebijakan yang telah diterapkan.

IMPLIKASI PERUBAHAN KETENTUAN KEUANGAN DAERAH ATAS


PEMBERLAKUAN UU NO.1 TH 2022

A. Latar Belakang Penyusunan UU No.1 Tahun 2022 tentang Hubungan Keuangan


Negara & Daerah
Terdapat beberapa permasalahan keuangan daerah yang menyebabkan rendahnya
kemandirian fiskal daerah, dan ketimpangan pembangunan regional. Oleh karena itu,
dibutuhkan reformasi desentralisasi fiscal seperti deregulasi dan penyederhanaan birokrasi
yang diharapkan mampu memperbaiki pengelolaan keuangan negara dan daerah di tengah
banyaknya tantangan desentralisasi yang dihadapi, seperti :
1. Pemanfaatan TKDD belum Optimal
• Sebagian besar DAU digunakan untuk belanja pegawai (64,8%)
• Ketergantungan daerah terhadap DAK sebagai salah satu sumber belanja modal
2. Local tax ratio masih cukup rendah
Meski penerimaan PDRD mengalami peningkatan namun local tax ratio tertekan di
angka 1,2% pada tahun 2020 akibat pandemi
3. Sinergi fiskal pusat - daerah yang belum optimal
Masih terjadi mismatch antara program pusat dan daerah, misal KPBU SPAM Umbulan
terkendala karena pemda belum membangun sambungan ke masyarakat.
4. Struktur belanja daerah yang belum memuaskan Pemanfaatan pembiayaan yang masih
terbatas
• Program & kegiatan belum fokus (29.623 program dan 263.135 kegiatan)
• Dominasi belanja pegawai (32,4%)
• Belanja infrastruktur sangat rendah (11,5% )
5. Pemanfaatan pembiayaan masih terbatas
• Pemanfaatan KPBU masih terbatas
• Total pinjaman daerah di Indonesia sangat rendah (0.049% PDB) dibandignkan rata-
rata pinjaman daerah di negara berkembang sebesar 5% PDB

B. Desain Pajak Daerah dan Retribusi Daerah


UU HKPD Meningkatkan Local Taxing Power Dengan Tetap Menjaga Kemudahan Berusaha
di Daerah. Beberapa upaya untuk melakukan local taxing power, antara lain :
1. Menurunkan Administration dan Compliance Cost
 Restrukturisasi Jenis Pajak Daerah, khususnya yang berbasis konsumsi (Hotel,
Restoran,
 Hiburan, Parkir, dan PPJ) menjadi Pajak Barang dan Jasa Tertentu (PBJT)
 Rasionalisasi retribusi dari 32 jenis layanan menjadi 18 jenis layanan
2. Memperluas Basis Pajak
 Opsen Pajak Provinsi dan Kab/Kota sebagai penggantian skema bagi hasil dan
penyesuaian kewenangan (Opsen PKB, BBNKB, MBLB) tanpa tambahan beban
WP
 Perluasan objek melalui sinergitas Pajak Pusat dan Daerah (valet parkir, objek
rekreasi, dsb.
3. Harmonisasi Dengan Peraturan Perundangan Lain
 Putusan MK Terkait Alat Berat/Alat Besar → Pajak Alat Berat
 Putusan MK Terkait PPJ → PBJT Tenaga Listrik
 UU 23/2014 dan UU 3/2020 terkait sinkronisasi kewenangan
 Selaras dengan upaya dukungan Kemudahan Berusaha

C. Klaster Pengaturan UU HKPD


Pengaturan UU HKPD terdiri dari 4 kluster, yaitu sebagai Berikut :
PAJAK DAERAH & RETRIBUSI DAERAH TRANSFER KE DAERAH
 BAB II  BAB III
 Pasal 4 s.d Pasal 105  Pasal 106 s.d Pasal 139
 Muatan Pengaturan: Jenis Pajak Daerah &  Muatan Pengaturan: Jenis Transfer ke Daerah,
 Retribusi Daerah, Subjek, Objek, Wajib, Tarif, Pengalokasian, dan Penggunaan
dukungan dunia usaha

PENGELOLAAN BELANJA DAERAH PEMBIAYAAN DAERAH & SINERGI FISKAL


 BAB IV  BAB V, VI, VII, VIII
 Pasal 140 s.d Pasal 153  Pasal 154 s.d Pasal 180
 Muatan Pengaturan: Penganggaran Belanja Daerah,  Muatan Pengaturan: Jenis pembiayaan, sumber,
Optimalisasi SiLPA, Pengembangan SDM, penggunaan, pengelolaan dana abadi, sinergi
Pengawasan APBD pendanaan, dan pelaksanaan sinergi kebijakan
fiskal nasional

D. Perbandingan Struktur Pajak Daerah dalam UU HKPD dan UU No. 28 Th 2009


Restrukturisasi & integrasi jenis pajak daerah ditujukan untuk mengurangi administrative &
compliance cost serta optimalisasi pemungutan, sedangkan skema opsen ditujukan untuk
penggantian skema bagi hasil dan penyesuaian kewenangan. Berikut adalah perbandingan
antara struktur Pajak Daerah pada UU N0.28 Tahun 2009 dengan UU HKPD.

Pajak Penerangan Jalan, Pajak Parkir, Pajak Hotel, Pajak Restoran dan Pajak Hiburan
yang sebelumnya diatur dalam UU No.28 Tahun 2009 diintegrasikan menjadi Pajak Barang
dan Jasa Tertentu (PBJT) pada UU HKPD, yang bertujuan untuk:
 mempermudah administrasi pembayaran dan pelaporan dari sisi WP,
 meningkatkan efisiensi layanan perpajakan dan pengawasan dari sisi Pemda
Selain itu, perbedaan lainnya adalah pada UU HKPD terdapat Opsen Pajak MBLB
untuk tingkat Pemerintah Provinsi dan Opsen PKB &Opsen BBNKB pada Pemerintah
Kab/Kota. Opsen PKB dan BBNKB menggantikan bagi hasil PKB dan BBNKB, sekaligus
mempercepat penerimaan kab/kota. Opsen MBLB untuk mendanai kewenangan provinsi
dalam penerbitan dan pengawasan izin MBLB.

Analisis Perbandingan UU No. 28 Th 2009 & UU HKPD


Perubahan kebijakan Pajak Daerah dan Retribusi Daerah (PDRD) diarahkan untuk
menambah sumber PAD, namun tetap menyederhanakan jenis dan lapisan tarif pungutan
pajak dan retribusi, serta tetap mendukung kemudahan investasi di daerah.

Tabel Perbandingan Pokok Pengaturan dalam UU No. 28 Th 2009 dan UU HKPD

Tabel Perbandingan Jenis PDRD dalam UU No. 28 Th 2009 dan UU HKPD


Tabel Perbandingan Jenis Pajak Daerah dalam UU No. 28 Th 2009 dan UU HKPD
Tabel Perbandingan Objek Pajak Daerah dalam UU HKPD
Tabel Perbandingan Tarif Pajak Daerah antara UU No.28 th 2009 dengan UU HKPD
Implikasi Pengaturan PDRD dalam UU HKPD
 Berdasarkan data APBD 2020, pengaturan PDRD dalam UU HKPD memberikan
peningkatan penerimaan PDRD kabupaten/kota sampai dengan 48,98%.
 Adapun penurunan untuk Provinsi dikarenakan adanya skema opsen, namun demikian
melalui penerapan opsen diharapkan pemungutan PKB dan BBNKB menjadi lebih
optimal melalui sinergi Pemda Provinsi-Kab/kota dalam melakukan pengawasan dan
law enforcement terhadap pengguna kendaraan bermotor.
 Pemda provinsi menerima tambahan opsen Pajak MBLB untuk mendanai
kewenangan penerbitan dan pengawasan izin MBLB
Keterangan :
 Data bersumber dari SIKD per September 2021 yang diolah sesuai kebijakan PDRD dalam UU HKPD
 Perubahan penerimaan PDRD belum mempertimbangkan perluasan objek PBJT dari pergeseran objek
PPN existing yaitu valet parking, jasa rekreasi, dan sarpras olahraga.

Potensi Dampak Negatif Pemberlakuan UU HKPD


 Penurunan tarif pajak kendaraan bermotor diperkirakan bisa meningkatkan
pendapatan di kabupaten/kota. Namun, kebijakan ini dikhawatirkan berdampak
negatif pada lingkungan dan bertambahnya kemacetan akibat peningkatan pembelian
kendaraan bermotor
 Kenaikan persentase Pajak Bumi dan Bangunan untuk Pedesaan dan Perkotaan atau
PBB-P2 beresiko memberatkan dunia usaha dan masyarakat dalam membeli properti
 Hal lain yang menjadi sorotan adalah Pajak Barang dan Jasa Tertentu (PBJT) untuk
Tenaga Listrik. Pengaturan PBJT ini telah sesuai dengan beberapa poin putusan
Mahkamah Konstitusi namun masih memiliki catatan. Ini lantaran penarikan pajak
atas penggunaan tenaga listrik yang dihasilkan sendiri mengindikasikan adanya
keterbatasan pemerintah dalam menyediakan infrastruktur dan penyediaan tenaga
listrik mandiri.
 Pajak Air Permukaan (PAP) khusus usaha di sektor kehutanan atau kegiatan bukan
ambil air. Pungutan pajak itu dinilai bisa berdampak ekonomi negatif lantaran
dihitung sebagai biaya produksi oleh pengusaha. Selain itu pungutan pajak tersebut
bisa berdampak pada harga barang yang diproduksi industri pada sektor kehutanan
atau kegiatan bukan ambil air.
 Penurunan tarif Pajak Mineral Bukan Logam dan Batuan (MBLB) dikhawatirkan bisa
meningkatkan eksplorasi mineral bukan logam dan batuan. Kebijakan tersebut akan
memberikan konsekuensi negatif pada lingkungan dan sosial di daerah.
 Kebijakan Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan (BPHTB) dengan tarif
maksimal 5% diperkirakan dapat memberatkan dunia usaha, terutama dalam jual beli
properti.
 Dengan pemberlakuan UU HKPD, daerah diharapkan lebih mandiri dalam mengelola
keuangannya sendiri, dan berlomba-lomba untuk meningkatkan PAD daerah masing-
masing namun hal ini beresiko meningkatkan kesenjangan antar daerah.

Anda mungkin juga menyukai