Anda di halaman 1dari 3

PANITIA BAHTSU MASAIL

PONDOK PESANTREN DAN NU


SE-MALANG RAYA
Jl. Raya Bululawang No. 99 65171 Malang Jawa Timur Telp. 0341-833235 https : /annur2.net e-mail :
pesantrenwisata.id@gmail.com NSPP : 510035070448

1. Polemik Nasab (Sail: PP. An-Nur II Al-Murtadlo)

Deskripsi masalah:

Baru-baru ini ramai diperbincangkan ditengah masyarakat terkait nasab habaib


di Indonesia, hal ini bisa kita temukan diberbagai media sosial (medsos) baik yang
berupa tulisan, video ataupun yang lain.

Bermula dari penelitian ilmiah yang dilakukan oleh salah satu kiai yang
menyebut bahwa nasab para habib di tanah air yang memiliki garis keturunan tidak
terbukti secara ilmiah tersambung hingga ke Rasulullah SAW. Dengan dalih bahwa di
satu masa, ada mata rantai nasab mereka yang tidak ditemukan catatannya dan
kemudian dianggap terputus.

Dari hasil penelitian kiai tersebut menimbulkan pro-kontra di kalangan


masyarakat. Banyak masyarakat yang asalnya secara turun-temurun meyakini bahwa
habib di Indonesia adalah keturunan Nabi, kini berbalik tidak mempercainya. Justru
mereka mendukung kiai atau ulama tersebut. Meski di sisi lain, banyak pula yang
menentang dengan berbagai macam argumen. Salah satunya, nasab mereka telah
masyhur di masyarakat sejak dahulu dan tak ada yang mempermasalahkan. Dari situ,
muncul lah berbagai perdebatan sengit di antara kedua belah pihak yang
berkelanjutan.

Pertanyaan:

1. Metode apa saja yang bisa digunakan sebagai dasar penentuan nasab dan apa saja
syarat yang harus terpenuhi?
2. Apakah tidak ditemukannya catatan dalam masa tertentu sebagaimana deskripsi
bisa dijadikan landasan untuk menggugurkan atau meng-ibthal-kan nasab yang
telah masyhur?
3. Bolehkah menyatakan pada publik terkait putusnya nasab seseorang padahal
sudah masyhur bahwa orang tersebut tersambung nasabnya?
4. Apakah tes DNA (Deoxyribo Nucleic Acid) bisa dijadikan landasan penetapan
nasab?
2. Dilema Pendapat Khilafiyah (Sail: LBM PCNU)

Deskripsi masalah:

Fikih adalah masalah - masalah ijtihadiyyah, sehingga hal ini menjadi hal
yang lumrah bila dalam masalah fiqh terdapat khilafiyyah, baik lintas mazhab atau
dalam mazhab. Contohnya permasalahan diperbolehkannya bapak mengambil harta
anaknya, bolehnya istimta’ bainas surrah warrukbah, bolehnya salah satu dari alat
malahi (alat musik), nikah tanpa wali atau tanpa saksi dll. Sudah menjadi sah-sah saja
kita untuk mengamalkan salah satu dari pendapat beliau-beliau walaupun luar mazhab
sekalipun. Karena bermazhab adalah hak pribadi, tidak ada satupun orang (walau
hakim) yang memaksakan kita untuk mengikuti suatu madzhab. Dan karena
banyaknya masalah khilafiyyah tak jarang perbuatan orang awam sesuai dengan salah
satu qoulnya ulama walaupun dia sendiri tidak tahu.

Pertanyaan :

1. Bolehkah kita mengamalkan qoulnya ulama’ bila menyangkut hak orang lain
tanpa memperdulikan madzhabnya orang tersebut. Semacam bapak mengambil
harta anaknya, istimta’ baynas surroh warrukbah, nikah tanpa wali atau tanpa
saksi dll?

2. Bila terlanjur dilakukan dan terjadi perselisihan, siapakah yang dimenangkan


diantara dua orang tersebut?

3. Bagaimana sikap kita menyikapi hal diatas dalam konteks amar ma’ruf nahi
munkar?

4. Bolehkah kita melakukan sesuatu, dengan hanya berkeyakinan bahwa ada salah
satu ulama’ yang memperbolehkan?
3. Polemik Baju Berserakan (PPS. Shirotul Fuqaha’)

Deskripsi Masalah:

Suatu hari, pengurus kebersihan pesantren melakukan bersih-bersih di


jemuran, mereka mengumpulkan baju yamg jatuh dan tidak segera diambil. Atau baju
yang ditelantarkan begitu saja. Kemudian baju tersebut dicuci dan ditawarkan melalui
pelelangan. Dari peraturan dan tindakan pengurus kebersihan tersebut timbul sedikit
keributan pasalnya ada sebagian santri membeli baju tersebut setelah dipakai ternyata
ada santri lain yang mengaku sebagai pemilik baju itu. Terjadilah perseteruan antara
keduanya yang hampir berujung perkelahian hingga akhirnya santri A mau
menyerahkan bajunya itu bila santri B bersedia mengganti uang Rp. 50.000. Namun
dalam hatinya ia sangat keberatan karena ia sudah terlanjur menyukai baju tersebut.

Pertanyaan:

1. Praktik apa yang sebenarnya dilakukan oleh pengurus kebersihan?, Bolehkah


melakukan praktik demikian?

2. Bagaimana hukum pihak santri A meminta ganti rugi pada pihak santri B
padahal ia jelas-jelas pemilik asli baju tersebut?

Anda mungkin juga menyukai