Membuka Mata Sebelum Fajar
Membuka Mata Sebelum Fajar
Fajar belum menyingsing, pagi pun masih jauh dikata. Kapas-kapas di langit itu, juga
belum tampak jelas untuk dipandang. Sekarang diatasnya, disamping kanan dan kiri, depan
dan belakang, warna hitam masih setia menyelimuti. Menjadikan awal, membawakan tekad,
untuk meraih sang mentari yang terlelap di ufuk timur. Embun-embun masih turun, bagai
gerimis, rintiknya kecil menyebarkan hawa dingin yang menusuk kulit. Seperti biasa, Ruslan
keluar dari pondok kecilnya. Tempat berlindung sejak dirinya dilahirkan sang mamak lima
belas tahun lalu. Rumah dengan dinding bambu dan atap rumbai daun kelapa itu, nampak
kokoh dengan dua kayu bulian sebagai pondasi.
Ruslan mulai berjalan, menapaki, memilah dan memilih tanah yang becek karena
hujan deras semalam. Sepatu karet yang ia pakai sesekali berdecit saat kakinya terpeleset
masuk ke kubangan. Dipakainya juga sebuah senter baterai di kepala dan tak lupa,
dibopongnya sebuah ransel lusuh dipunggung. Manik coklat nan kelam Ruslan bergulir cepat
membiasakan pupilnya dari cahaya senter yang memendar disekitar. Tak cukup terang
sebenarnya, tapi apa mau dikata, begitulah keadaan. Baju penuh getah, celana bahan dipotong
asal, dan botol plastik penyot yang dijadikan nya tempat air minum pelepas dahaga jadi
perlengkapan wajib yang mesti dipakai. Sepasang tungkai itu, berjalan lurus membelah kebun
karet disisi kanan dan juga kiri. Pemandangan yang terlukis di dusun Sebapo Kecamatan
Mestong tanah kelahiran seorang Ruslan. Sepanjang mata memandang hanya hamparan
pohon-pohon penghasil karet yang tersusun rapi, sebagiannya juga dirambati semak belukar
yang menutup seperempat batang. Pasokan oksigen dari hijaunya daun karet, begitu
menyegarkan diparu Ruslan, membuat otaknya bekerja dua kali lebih baik.
“Huuuuuuhhhhh,”
Pada akhirnya, helaan nafas itu terdengar, menandakan betapa lelah seorang Ruslan
menghadapi peliknya jalan hidup yang mesti ditelan mentah-mentah oleh remaja sepertinya.
Sudah lima belas menit ia berjalan, dan sekiranya masih ada lima belas menit lagi sisa
waktu hingga tiba di kebun karet pak lurah yang akan ia sadap. Dari kejauhan, Ruslan
melihat sebuah sepeda ontel yang teronggok tanpa pemilik didekat gubuk kecil milik pak
Yusuf sang camat. Hatinya memutuskan untuk mendekat, memastikan siapa pemilik sepeda
tersebut.
“Lah, Ruslan nak kemano pagi buto kek ni?” ujar pak Yusuf sembari mencuci tangannya
dengan air dari botol plastik yang ia bawa
“Di kebun lurah Basrul pak, alhamdulillah saya dipercaya menyadap disana” tutur Ruslan
dengan penuh sopan santun. Sikapnya bagai seorang berpendidikan tapi sayang beribu
sayang, itu hanyalah sisa-sisa puing dirinya mencicipi bangku sekolah dasar. Masih terngiang
dengan jelas sang guru yang mengatakan bahwa “ seelok-eloknyo orang, ialah orang yang
menghargoi orang lain” prinsip itu selalu ditanamkan dalam keseharian sang Ruslan.
Menghargai siapapun, apalagi yang lebih tua darinya.
“Kebetulan sekali Lan, nasibmu sedang baik sekarang, niat bapak ingin segera menyadap
karet disebelah lurah Basrul. Mari bapak antar sekalian”
“Wah, terima kasih pak, sepertinya saya mendapat tumpangan ini,” Ruslan sedikit tergelak,
membantu membawakan tas jinjing sang camat agar berpindah ketangannya. Diikutilah pak
Yusuf yang sudah bertengger rapi di sepeda, sedangkan Ruslan duduk dibagian belakang
sebagai yang dibonceng.
Sepeda itu terus dikayuh, perlahan-lahan penuh kehatian. Menghindari satu per satu
lubang berisi air hujan di tanah. Manik pualam sang Ruslan memandang langit keatas,
memastikan apakah mentari masih terlelap atau mulai menampakkan sinarnya. Tapi nihil,
langit masih senantiasa gelap, bahkan kelihatannya lebih mendung dibanding tadi.
“Sepertinya kita terlalu pagi, saat-saat seperti ini, biasanya anak rimba keluar berburu” ucap
Ruslan masih memandang pak Yusuf yang fokus mengayuh didepan
“Baguslah kalau begitu. Ramai lebih baik bukan, apalagi nanti jaga-jaga jika kucing besar
muncul”
“Tidak Lan, sedia payung sebelum hujan. Apa salahnya mengharapkan bantuan anak rimba
jika sesuatu terjadi”
Ruslan mengangguk, memilih untuk tidak menjawab perkataan sang camat. Semilir
angin kembali mengalir, menyuarakan hawa nan dingin yang menusuk kulit. Suara burung
hantu dibiarkannya mengisi pendengaran, tiba-tiba rasa kantuk datang menghampiri.
Menjadikannya waspada agar tak terjatuh dari sepeda.
“Pak, ada anak rimba” Ucap Ruslan menunjuk ke sisi kirinya. Suaranya dipelankan takut-
takut si anak rimba mendengar.
“Tenang saja Lan, mereka baik asal kita tak mengganggu. Anak rimba itu, sama seperti kita,
bangun sebelum fajar untuk mencari makan”
Ditengah jalan yang gelap itu, Ruslan dan pak Yusuf melewati dua anak rimba yang
membawa kayu runcing dan sebuah obor ditangannya. Tak berbaju, tak memakai sepatu,
bawahannya saja, hanya selembar kain yang diberi lurah Basrul saat kunjungan dua tahun
lalu kepedalaman. Ruslan berdecak kagum, mengingat kembali tentang anak rimba yang ia
tahu. Mereka hidup sederhana, makan hasil buruan, saling tolong menolong antar sesama,
dan masih mempertahankan kepercayaan turun menurun dari nenek moyang. Bangga rasanya
Ruslan hidup bertetangga dengan anak rimba yang hebat melebihi dirinya.
Hanya beberapa kayuhan lagi, hingga sampailah mereka dikebun lurah Basrul tempat
Ruslan menyadap karet. Masing-masing turun menyusuri lebatnya batang parah yang
rindang, mulai mempersiapkan pisau potong yang akan dipakai, dan membersihkan tadahan
getah yang penuh terisi daun.
Ruslan memperhatikan dengan cermat satu per satu tetesan getah yang mengalir
semakin deras. Tak ada niat untuk melanjutkan aktivitas, dirinya mulai dirundung kantuk
sekarang, ditutupnya mulut sembari menguap lebar, dan diusap kasar sepasang matanya
bergantian. Tak juga hilang, akhirnya Ruslan memutuskan untuk bersandar dibalik batang
parah yang ia sadap. Tubuhnya meluruh, menyamakan posisi duduk dengan tanah, lampu
senter dikepala dilepas, dan ditaruh disamping tanpa dimatikan. Pikirnya, biarlah cahaya
temaram senter menemani.
Lama kelamaan, maniknya terasa berat, menaruh segala beban diujung kelopak mata,
dan tertutup secara perlahan. Suasana yang sepi dan semilir angin menambah kantuknya yang
seperti parasit
Srekkk
Srekkk
“Tolonggggggg!”
Tubuh Ruslan terlonjak, kaget dirasa, seakan jantungnya juga ikut lompat keluar. Ia
segera berdiri, mengarahkan lampu senter ke segala penjuru sembari mencari tahu sumber
suara yang membuat rasa kantuknya hilang.
“Tolonggg!!!!!! Ada kucing besar” terdengar suara berat laki-laki yang sarat akan ketakutan
“Loh, itu suara pak Yusuf, jangan-jangan memang benar ada harimau nyasar”
Tanpa pikir panjang, Ruslan segera berlari menuju asal suara. Membawa tungkainya
semakin cepat menerobos semak belukar batas antara kebun lurah Basrul dan pak Yusuf yang
tumbuh berdampingan disatu tanah.
“Tolong! Tolong! Tolong! ” suara teriakan itu makin jelas, terdengar lantang memekakkan
telinga. Membuat jantung Ruslan menari-nari didalamnya, Antara takut dan ingin tahu.
Glek,
“Bagaimana ini Lan, aku tidak ingin diterkam harimau.” Ucap pak Yusuf dengan cemas.
Wajahnya pucat pasih, dan keringat sebesar biji jagung menempel didahi. Sebenarnya Ruslan
ingin tertawa, tetapi situasi diujung tanduk antara hidup dan mati membuatnya
mengurungkan niat.
Betapa leganya pak Yusuf, karena tuhan tak jadi mengambil nyawanya. Bersyukur
sebanyak-bayaknya karena masih diberi kesempatan hidup. Ia menghampiri kedua anak
rimba itu, dan mengucapkan terima kasih dengan bahasa pedalaman. Sedangkan Ruslan, ia
menggaruk-garuk tengkuknya yang tak gatal, sebab tak mengerti apa yag dibicarakan pak
Yusuf dan kedua anak rimba didepannya
“Ruslan, bapak juga sangat berterima kasih padamu, kau juga ikut membantu menyalamatkan
nyawa bapak tadi, lah pening palak aku kalo kau tak ado Lan” Ucap pak Yusuf
“Bagaimana kalau imbalannya kau kembali bersekolah lagi, nanti bapak yang akan
membicarakannya pada lurah Basrul”
Ruslan terbelalak, matanya seakan ingin copot keluar jatuh ketanah, kaget juga
senang berpadu jadi satu, senyumnya merekah, Impian sejak lima tahun terakhir ini akhirnya
segera terwujud. Ia tak henti-henti mengucapkan terima kasih pada pak Yusuf yang telah
berjanji akan menyekolahkannya dengan gratis. Sujud syukur ia panjatkan, memang benar
tuhan tak pernah tidur, disaat waktunya tiba, kenikmatan akan datang jika seseorang bisa
menunggu dengan sabar.