Anda di halaman 1dari 34

BAB I

PENDAHULUAN

1. Latar Belakang
Penyakit arteri koroner masih menjadi penyebab kematian utama di seluruh dunia.
Manifestasi klinis dari penyakit arteri koroner terdiri dari angina stabil, sindroma koroner
akut, gagal jantung dan kematian mendadak. Sindrom koroner akut (SKA) adalah suatu
kumpulan gejala klinis iskemia miokard yang terjadi akibat kurangnya aliran darah ke
miokardium berupa nyeri dada, perubahan segmen ST pada Electrocardiogram (EKG) dan
perubahan pada biomarker jantung.1
Menurut World Health Organization (WHO) tahun 2008, penyakit jantung iskemik
merupakan penyebab utama ematian di dunia (12,8%) sedangkan di Indonesia menempati
urutan ketigam prevalensi penyakit jantung coroner di Indonesia pada tahun 2013
diperkirakan sekitar 883.447 atau sebesar 0,5%, sementara berdasarkan diagnosis dokter
ditemukan gejala sebesar 1,5% atau sekitar 2.650.340 orang.2
Sindrom koroner akut adalah sebuah sindroma akut yang terjadi akibat adanya
blockade dari plak atheroma pada arteri koronaria, sehingga otot jantung menjadi iskemik
bahkan infark. Faktor risiko dari SKA dapat dibagi menjadi yang dapat dimodifikasi dan
yang tidak dapat dimodifikasi. Faktor risiko pada pasien dengan SKA harus dinilai dan
dikontrol dengan baik karena mortalitas dan komplikasi dari SKA akan meningkat pada
pasien dengan SKA rekuren.3
Terapi inisial dengan penggunaan terapi antitrombotik dilanjutkan dengan dilakukan
tindakan PCI dalam 24 jam pada kasus akut dan dalam 72 jam untuk kasus lainnya.
Tingginya sensitivitas dari biomarker jantung dan penggunaan dari alat untuk penilaian risiko
dapat digunakan untuk mendiagnosis secara cepat dalam waktu 1 jam dari onset gejala.1

1
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

1. Anatomi Jantung
Jantung merupakan organ vital tubuh yang berfungsi memompa darah keseluruh
tubuh untuk membawa oksigen dan bahan pokok yang dibutuhkan sel untuk keberlangsungan
hidupnya. Besar jantung diperkirakan sebesar genggaman tangan seseorang yang terletak di
sebelah kiri garis tengah tubuh, superior dari permukaan diafragma, anterior kolumna
vertebralis dan posterior dari sternum.4

Gambar 1. Lapisan Jantung4

Terdapat 3 lapisan dari jantung, dimulai dari yang terluar adalah pericardium, tengah
adalah miokardium dan dalam adalah endocardium. Pericardium merupakan selaput
pembungkus jantung yang terdiri dari bagian luar atau superfisial tersusun dari jaringan
fibrous. Bagian dalam terdiri dari dua lapis yaitu lapisan parietalis dan viseralis yang diisi
oleh cairan perkard. Fungsi dari pericardium adalah untuk mengurangi gesekan. Lapisan
miokardium yang tebal kebanyakan terbentuk oleh jaringan otot jantung yang disuplai oleh
kapiler darah, kapiler limfatik dan serabut saraf. Lapisan otot ini memompa darah keluar
ruang jantung. Lapisan endocardium terbentuk dari lapisan epitelium dan jaringan ikat yang
terdiri dari banyak serat elastis dan kolagen. Lapisan ini juga mengandung banyak pembuluh
darah dan serabut khusus dari otot jantung yaitu serat Purkinje.4

Gambar 2. Ruang dan Katup Jantung4

2
Jantung manusia adalah organ muscular yang berisi 4 ruang. Dua ruangan atas
dipisahkan oleh sebuah struktur seperti dinding yang dikenal dengan septum interartrial. Dua
ruangan dibawah dipisahkan oleh sebuah struktur yang dikenal sebagai septum
interventricular. Antara atrium dan ventrikel terdapat katup yang memungkinkan aliran darah
mengalir ke satu arah, dan mencegah terjadinya backflow.4
Atrium kanan menerima darah dari dua vena besar yaitu vena cava superior dan vena
cava inferior. Katup trikuspidalis terletak diantara atrium dan ventrikel kanan, katup ini
membuat aliran darah dapat mengalir satu arah yaitu dari atrium ke ventrikel kanan tanpa
mengalami backflow. Kuspid dari katup trikuspidalis melekap pada chordae tendineae yang
berasal dari otot papilari kecil yang terletak didalam dinding ventrikel. Otot ini akan
kontraksi ketika otot ventrikel berkontraksi. Ketika katup trikuspidalis tertutup, akan menarik
chorade tendineae untuk mencegah kuspid membuka kembali ke atrium.4 ketika ventrikel
kanan berkontraksi, akan terjadi penutupan secara pasif dari katup trikuspidalis. Kemudian,
darah akan masuk ke trunkus pulmoner yang dibagi menjadi arteri pulmonaris kiri dan
kanan yang menyuplai darah ke paru-paru. Pada basis trunkus pulmonaris, terdapat katup
pulmoner yang memungkinkan darah untuk meninggalkan ventrikel kanan dan mencegah
aliran balik darah ke ventrikel kanan. Otot ventrikel kanan lebih tipis dibandingkan dengan
otot ventrikel kiri, karena hanya memompa darah dari jantung ke paru-paru dengan resistensi
aliran darah yang rendah. Otot ventrikel kiri lebiih tebal karena harus memompa darah ke
seluruh tubuh dengan beban tahanan yang lebih tinggi.4
Empat vena pulmonary menyuplai atrium kiri dengan darah. Darah melewati atrium
kiri menuju ventrikel kiri melalui katup bikuspidalis atau mitral, mencegah darah untuk
mengalir kembali dari ventrikel ke atrium kiri. Katup mitral menutup secara pasif,
mengarahkan darah untuk mengalir ke pembuluh darah arteri yang besar yang dikenal
sebagai arteri. Pada basis dari aorta terdapat katup aorta yang terdiri dari 3 kuspid. Katup ini
membuka sehingga aliran darah meninggalkan ventrikel kiri ketika ventrikel kontraksi.
Ketika ventrikel relaksasi, katup ini akan menutup untuk mencegah terjadinya aliran balik
dari darah ke ventrikel. Katup mitral dan trikuspidalis dikenal sebagai katup
anterioventrikuler, sedangkan katup pulmoner dan aorta dikenal sebagai katup semilunaris
karena memiliki bentuk “half-moon”.4

Gambar 3. Arteri Coronaria4

3
Jantung menerima darah dari arteri coronaria kiri (LCA) dan arteri coronaria kanan.
Arteri coronaria kiri berasal dari sinus aortic kiri. LCA akan terbagi menjadi arteri
descending anterior kiri (LAD) dan circumfleksa kiri (LCX). LAD akan beranastomosis
dengan arteri descending posterior (PDA) yang merupakan cabang dari arteri coronaria
kanan (RCA). LAD menyuplai darah untuk septum interventricular (dua pertiga anterior),
apeks dan aspek anterior dari ventrikel kiri dan kanan. LCX memiliki cabang utama, yaitu
arteri marginalis kiri, arteri ini menyuplai darah untuk aspek posterior dari atrium kiri dan
superior dari ventrikel kiri. RCA verasal dari sinus aortic kanan dan memiliki cabang uatam
seperti PDA (menyuplai darah untuk sepertiga posterior dari septum interventrikuler dan
nodus AV. Arteri nodal (suplai darah ke atrium kanan dan nodus SA), arteri marginalis kanan
(suplai darah ke ventrikel kanan, inferior dari ventrikel kiri dan PDA).4
Sirkulasi pembuluh vena jantung berasal dari sinus coronaria, vena-vena kardiak
anterior dan vena kardiak yang lebih kecil. Sinus coronaria menerima venous return paling
banyak dari epicardium dan miokardium dan membuka ke atrium kanan antara bukaan dari
vena cava inferior dan katup AV kanan. Vena kardiak medialis mengalirkan dari porsi
posterior dari septum interventricularis dan aspek posterior dari kedua ventrikel dan vena
kardiak yang lebih kecil mengalirkan dari aspek marginal dari ventrikel kanan. 4
Saraf otonom simpatik dan parasimpatik yang mensuplai jantung berasal dari pleksus
cardiac yang terletak dekat dengan arkus aorta. Serat saraf dari pleksus cardiac bersama
dengan arteri coronaria mensuplai jantung, dengan kebanyakan dari serat saraf tersebut
berhenti di nodus SA, nodus AV dan lebih sedikit yang mensuplai miokardium atrium dan
ventrikel. Secara umum, serat saraf parasimpatis akan menghambat dan mengurangi heart
rate dan stroke volume. Serat saraf simpatis akan meningkatkan heart rate dan stroke
volume.4
2. Fisiologi Jantung
Jantung menjalankan fungsinya sebagai pompa melibatkan banyak struktur yang
terkandung di dalamnya, meliputi sistem konduksi, potensial aksi dan katup. Ketiganya
bekerja secara sinergis dan terkoordinasi baik untuk menghasilkan suatu aktivitas mekanik
sebagai pompa.

4
Gambar 4. Sistem Konduksi Jantung4
Sistem konduksi meliputi nodus SA, nodus AV, berkas his, cabang berkas his kiri dan
kanan serta serabut Purkinje. Nodus SA sebagai generator tertinggi yang setiap saat
menghasilkan impuls, impuls dari nodus SA mengalami penyaringan di nodus AV sehingga
tidak semua impuls bisa masuk ke ventrikel. Impuls selanjutnya menyebar ke ventrikel kanan
melalui cabang berkas kanan dan ke ventrikel kiri melalui cabang berkas kiri dan berakhir di
serabut Purkinje.4
Sistem konduksi dihasilkan oleh suatu sel yang bersifat autoritmik. Sel-sel ini mampu
menginisasi potensial aksi dan sekaligus mampu berfungsi sebagai pacemaker. Dlaam
mencetuskan potensial aksi, sel ini melibatkan influx kalsium sehingga terjadi pergerakan ion
lain sehingga menimbulkan ketidakstabilan membrane sel yang pada akhirnya menyebabkan
terjadinya potensial aksi.4

Gambar 5. Fase dari Siklus Jantung4


Siklus jantung terdiri dari systole atrium dan ventrikel, diastole atrium dan ventrikel.
Diantara fase systole dan diastole terdapat fase kontraksi dan relaksasi tanpa ada perubahan
volume yang kita kenal sebagai fase isovolumic relaxation dan isovolumic contraction.
Aktifitas listrik jantung yang ditimbulkan oleh potensial aksi akan tercatat dalam
elektrokardiogram. Aktifitas listrik akan diikuti aktifitas mekanik sehingga dihasilkan stroke
volume maupun cardiac output. Stroke volume adalah volume darah yang dikeluarkan oleh
jantung sekali kontraksi sedangkan cardiac output adalah perkalian antara stroke volume
dengan heart rate.4
3. Definisi Sindroma Koroner Akut
Sindroma coroner akut adalah istilah yang merujuk pada sekumpulan gejala klinis
yang sesuai dengan kondisi iskemia miokardial akut dan termasuk angina tidak stabil, non-
ST segment Elevation Myocardial Infarction (NSTEMI) dan ST-segment elevation
myocardial infarction (STEMI).5 Manifestasi klinis dari penyakit arteri koroner terdiri dari
angina stabil, sindroma koroner akut, gagal jantung dan kematian mendadak. Sindrom

5
koroner akut (SKA) adalah suatu kumpulan gejala klinis iskemia miokard yang terjadi akibat
kurangnya aliran darah ke miokardium berupa nyeri dada, perubahan segmen ST pada
Electrocardiogram (EKG) dan perubahan pada biomarker jantung.1

4. Epidemiologi
Penyakit kardiovaskular merupakan penyebab tersering dari kematian di seluruh dunia
setiap tahunnya. Diperkirakan setidaknya ada 17,5 juta kematian yang disebabkan oleh
penyakit kardiovaskular di tahun 2012. Dari insiden ini, 80% disebabkan karena serangan
jantung dan stroke.3 Menurut World Health Organization (WHO) tahun 2008, penyakit
jantung iskemik merupakan penyebab utama ematian di dunia (12,8%) sedangkan di
Indonesia menempati urutan ketigam prevalensi penyakit jantung coroner di Indonesia pada
tahun 2013 diperkirakan sekitar 883.447 atau sebesar 0,5%, sementara berdasarkan diagnosis
dokter ditemukan gejala sebesar 1,5% atau sekitar 2.650.340 orang.2
Diantara pasien yang menderita infark miokard akut, 70% kejadian yang fatal
disebabkan oleh oklusi dari plak aterosklerotik. Karena aterosklerosis adalah penyebab utama
dari infark miokard akut, faktor risiko penyakit aterosklerosis harus dikurangi sebagai
pencegahan terhadap penyakit. Faktor risiko yang dapat dimodifikasi menyumbang 90%
(pada laki-laki) dan 94% (pada perempuan) dari infark miokard. 6 Usia rata-rata pasien pada
saat timbul keluhan SKA di Amerika Serikat adalah 68 tahun. Jumlah pasien laki-laki
melebihi jumlah perempuan dengan rasio 3:2. Insiden SKA di Amerika Serikat lebih dari
780.000 kasus dan dari jumlah tersebut, sekitar 70% kasus mengalami NSTEMI.12
5. Etiologi dan Faktor Risiko
Sindroma coroner akut merupakan manifestasi dari penyakit jantung coroner dan
biasanya disebabkan karena adanya disrupsi plak pada arteri coroner (aterosklerosis). 6
Penyebab terbentuknya plak aterosklerosis dapat terjadi karena beberapa faktor risiko. Faktor
risiko dari sindroma coroner akut terdiri dari faktor yang dapat dimodifikasi dan yang tidak
dapat dimodifikasi.
Faktor risiko yang tidak dapat dimodifikasi, terdiri dari:7
a. Jenis kelamin laki-laki
b. Usia lanjut
c. Riwayat keluarga dengan SKA

Faktor risiko yang dapat dimodifikasi, antara lain:7


a. Kebiasaan merokok, mengkonsumsi minuman beralkohol
b. Dyslipidemia
c. Diabetes mellitus
d. Hipertensi
e. Obesitas
f. Sedentary lifestyle

6. Patofisiologi

6
Secara umum, terjadinya SKA disebabkan oleh adanya thrombosis pada lesi plak
aterosklerosis culprit, penyebab lain yang termasuk sangat jarang terjadi diantranya adalah
deseksi arteri coroner spontan, arteritis coroner, emboli coroner, spasme coroner, dan
penekanan myocardial bridges. Plak aterosklerosis yang terganggu pada arteri coroner akan
menstimulasi agregasi trombosit dan formasi thrombus. Thrombus ini akan menyebabkan
terjadinya oklusi pada pembuluh darah sehingga mengurangi pefusi darah ke miokardium.
Para peneliti menemukan bahwa rupture dari plak yang tidak stabil dan rapuh
berkaitan dengan perubahan proses inflamasi merupakan penyebab dari kondisi SKA.

Gambar 6. Empat Mekanisme Penyebab Sindroma Koroner Akut8

Rupturnya plak, disebut juga fisura, secara tradisional dianggap sebagai substrat
dominan untuk terjadinya SKA, biasanya berhubungan dengan terjadinya peradangan local,
seperti yang digambarkan dengan adanya monosit dan inflamasi sistemik, dan diagmbarkan
dengan meningkatnya kadar C-reactive protein (CRP) dalam darah (CRP diukut dengan uji
sensitivitas tinggi (hsCRP). Dalam beberapa kasus, rupture plak mempersulit ateromata yang
tidak menyimpan banyak makrofag intimal, dan tidak berhubungan dengan peningkatan
kadar CRP. Rupture plak biasanya diprovokasi dengan formasi red thrombi yang kaya akan
fibrin. Erosi pada plak tampaknya berperan dalam sebagian kasus SKA, sering memicu
terjadinya NSTEMI. Lapisan trombi diatas dari erosi intimal biasanya menunjukkan
karakteristik struktur kaya trombosit putih. Vasospasme juga dapat menyebabkan terjadinya
SKA, yang telah lama dikenal sebagai fenomena di arteri epikardial tetapi juga
mempengaruhi mikrosirkulasi coroner.8
Plak atheroma terdiri dari beberapa morfologi dan dapat diemukan diberbagai lokasi
berbeda pada arteri coroner pasien. Lesi awal ditandai dengan infiltrasi sel foam (lesi tipe I),

7
kemudian berkembang dan menjadi matang dengan infiltrasi tot polos dan lipid (lesi tipe II
“Fatty streak”) serta deposisi jaringan ikat (Lesi tipe III). Lesi awal berkembang dalam kurun
waktu tiga decade awal kehidupan pada daerah dengan aliran turbulen yang terlokalisir pada
arteri coroner. Perkembangan lesi ini dipercepat dengan beberapa keadaan, seperti hipertensi,
dm, hiperkolesterolemia dan merokok. Seiring dengan pertumbuhan plak yang menjadi lebih
lunak dengan kandungan lipid ekstraselelar yang tinggi dan cholesteryl ester serta cap fibrosa
yang lebih tipis secara progresif (Lesi tipe IV-Va “atheroma”) maka plak akan menjadi
semakin rentan mengalami gangguan. Plak yang rupture dilapisi oleh thrombus (lesi tipe VI)
dikenal sebagai lesi kompleks. Ketika lesi ini menyebabkan derajat stenosis coroner yang
signifikan tanpa asupan kolateral yang adekuat maka akan terjadi SKA. Setelah terjadinya
serangan, thrombus pada lesi yang kompleks ini akan terorganisasi dan mengalami kalsifikasi
(lesi tipe Vb) atau fibrosis (lesi tipe Vc) dan pada akhirnya akan menjadi lesi stenosis kronik.
Lesi kompleks dapat mengandung kumpulan thrombus dari episode plak rupture sebelumnya,
diikuti dengan lisis klot spontan, sel inflamasi, dan sel otot polos. Kebanyakan lesi culprit
pada SKA cenderung memiliki lebih sedikit kalsifikasi.8
Perkembangan dan pertumbuhan plak aterosklerosis dapat dibagi menjadi 5 tahap
berdasarkan morfologi lesinya. Fase 1, merupakan perkembangan tanpa gejala dari lesi tipe I-
III yang terjadi pada beberapa decade awal kehidupan. Fase 2, adalah perkembangan
atheroma (lesi tipe IV dan Va), dimana biasanya tanpa gejala namun dapat pula disertai suatu
angina pectoris stabil. Disrupsi plak terjadi pada fase 3 sehingga terjadi thrombus mural yang
tidak menyebabkan oklusi dan pertumbuhan tiba-tiba dari lesi kompleks. Fase 3 ini dapat
memberikan gejala angina namun dapat juga tidak bergejala. Fase 4 berkaitan dengan
terjadinya SKA dimana terjadi disrupsi lesi plak (Tipe VI) yang disertai thrombus besar yang
oklusif. Fase 5 merupakan fase kronis dimana terjadi kalsifikasi atau fibrosis plak (lesi tipe
vb dan Vc).8
Terdapat beberapa faktor yang menyebabkan terjadinya plak rupture, yaitu faktor dari
luar dan dari dalam. Faktor dari luar adalah adanya aliran darah yang bertabrakan dengan
plak, tekanan terhadap dinding pembuluh darah merupakan kunci dari faktor luar yang
mempengaruhi stabilisasi plak. Tekanan dari luar ini dapat dipengaruhi oleh faktor sistemik
seperti pengaruh lingkungan atau farmakologi. Faktor dari dalam yaitu ukuran plak, lokasi,
dan kandungan dari inti lemak serta integritas dari cap fibrosa mempengaruhi kesensitifan
dari plak terhadap tekanan dari luar. Tekanan dari dalam yang mempengaruhi stabilitas plak
berasal dari aktivitas sel inflamasi di dalam plak sklerotik.8

8
Gambar 7. Peranan Makrofag dalam Rupturnya Thrombus8

Makrofag akan melepaskan metalloprotein yang memiliki aktivitas melawan


komponen kolagen plak sehingga merapuhkan cap fibrosa. Makrofag pada plak sklerotik
berasal dari monosit di sirkulasi, yang terikat pada dinding pembuluh darah di area aliran
yang turbulen. Monosit tertarik ke dinding pembuluh darah melalui faktor kemotaktik yang
juga berperan dalam merangsang paparan faktor jaringan di monosit dan sel otot polos.
Selain makrofag, limfosit T juga ditemukan dalam jumlah banyak pada plak atheroma.
Infeksi sistemik dikatakan berkaitan dengan kelainan aterosklerotik. Agen infeksi dapat
mempengaruhi fungsi endotel dan mengaktifkan monosit serta makrofag untuk
mengeluarkan sitokin inflamasi. Sitokin ini akan merangsang produksi spesies reaktif
oksigen dan enzim proteolitik yang akan mempengaruhi stabilitas plas. Stress oksidatif dan
kapasitas antioksidan dinding pembuluh darah memiliki peranan yang penting terhadap
pertumbuhan plak hingga rupturnya plak. Makrofag dan limfosit T akan mengalami
apoptosis pada plak aterosklerosis tingkat lanjut, kematian sel apoptosis akan mempengaruhi
stabilitas plak. Plak yang rapuh dikatakan terdiri dari lipid core dengan luas setidaknya 50%
dari keseluruhan volume plak, makrofag dengan densitas tinggi, sel otot polos densitas
rendah di cap, faktor jaringan dalam jumlah tinggi, dan cap plak yang tipis dimana struktur
kolagennya tidak teratur.8
Thrombosis plak terjadi akibat adanya 2 proses yang berbeda. Pertama disebabkan
oleh adanya perluasaan proses denudasi endotel sehingga permukaan jaringan ikat subendotel
mengalami paparan dalam area yang besar. Pembentukan thrombus kemudian terjadi di
permukaan plak. Proses ini dikenal dengan istilah erosi endotel. Hilangnya sel endotel yang
berkaitan dengan aktivasi makrofag mengakibatkan kematian sel endotel melalui apoptosis
dan produksi protease yang memangkas sel endotel dari perlekatannya dengan dinding

9
pembuluh darah. Mekanisme kedua adalah pembentukan thrombus akibat rupturnya plak.
Pada keadaan ini, cap plak rupture dan terjadi paparan lipid core dengan darah pada lumen
arteri. Area lipid core bersifat sangat trombogenik, mengandung faktor jaringan, fragmen
kolagen, dan permukaan crystalline yang mempercepat proses koagulasi. Pembentukan
thrombus pada awalnya terjadi di plak itu sendiri kemudia meluas dan distorsi dari dalam,
thrombus dapat meluas hingga ke lumen arteri.8

Gambar 8. Mekanisme Trombosis Arteri akibat Erosi Superfisial8

7. Manifestasi Klinis
Manifestasi klinis penyakit jantung iskemik termasuk angina stabil kronis dan sindrom
coroner akut (SKA), yang terdiri dari 3 kondisi yaitu ST segmen elevation myocardial
infarction (STEMI), non-ST-segmen elevation myocardial infarction (NSTEMI), dan angina
tidak stabil. Dua manifestasi terakhir, disebut sindrom coroner akut non-ST elevasi (NSTE-
ACS).9

10
Gambar 9. Spektrum SKA9

Gejala klasik dari SKA adalah nyeri dada substernal, sering digambarkan sebagai
perasaan seperti tertekan atau tertimpa benda berat, menjalar ke rahang dan/atau lengan kiri.
Gejala klasik ini tidak selalu terlihat, dan keluhan yang muncul biasa sangat kabur dan sulit
dinilai dengan keluhan utama yang sering dikeluhkan pasien berupa kesulitan bernapas,
pusing, nyeri pada rahang maupun lengan kiri, mual, nyeri epigastrium, diaphoresis dan
lemas. Jenis kelamin perempuan, pasien dengan komorbiditas seperti diabetes, dan usia yang
lebih tua semuanya berkaitan dengan munculnya gejala SKA yang kurang jelas.10

Tabel 1. Kemungkinan Tanda dan Gejala Menunjukkan SKA Sekunder akibat


Penyakit Arteri Koroner5

11
Pada angina tidak stabil, nyeri dada muncul saat istirahat atau aktivitas berat sehingga
menghambat aktivitas. Nyeri dada yang berkaitan dengan kondisi NSTEMI biasanya lebih
lama dalam hal durasi dan nyerinya lebih berat. Pada kedua keadaan ini, frekuensi dan
intensitas dapat meningkat bila tidak hilang dengan istirahat, nitrogliserin, atau keduanya dan
dapat bertahan selama lebih dari 15 menit. Nyeri dapat muncul dan menjalar ke lengan, leher,
dan punggung atau area epigastrium. Selain nyeri dada, bisa disertai dengan adanya
perubahan pada tanda-tanda vital, seperti takikardia, takipneu, hipertensi maupun hipotensi,
penurunan saturasi oksigen dan abnormalitas irama jantung.9

a) Angina tidak stabil


Penderita akan datang dengan keluhan nyeri dada. Nyeri dada mungkin dapat bertambah
dengan aktivitas dan istirahat akan meringankan rasa nyeri. Nitrogliserin dan aspirin juga
dapat mengurangi rasa nyeri. Salah satu faktor pembeda dari angina tidak stabil adalah
bahwa nyeri mungkin tidak sepenuhnya hilang dengan faktor-faktor penghilang yang
dilaporkan.
b) NSTEMI
Penderita NSTEMI biasanya meimiliki riwayat mengalami angina stabil kronik, infark
miokard, dan/atau revaskularisasi miokardium. Meskipun begitu, NSTEMI juga dapat
menjadi manifestasi klinis pertama dari penyakit jantung iskemik. NSTEMI dapat
muncul sebagai angina berat yang new onset, percepatan dan intensifikasi dari angina
yang sudah ada (crescendo angina), atau perkembangan nyeri saat istirahat yang
berkepanjangan (20 menit) pada pasien dengan atau tanpa infark miokard yang baru
terjadi baru-baru ini. Seperti pada angina tidak stabil, gejala klinis utama dari NSTEMI
adalah nyeri dada atau rasa tidak nyaman pada dada yang dideskripsikan sebagai nyeri
seperti ditekan, atau terasa berat, biasanya dirasakan pada area retrosternal dengan
penjalaran ke leher, lengan kiri, rahang bawah atau sampai ke area epigastrium.9
Nyeri dada biasanya timbul saat istirahat atau ketika di presipitasi dengan aktovitas, dan
biasanya nyeri tidak berkurang dengan cepat dengan istirahat dan/atau pemberian
nitrogliserin, seperti pada kondisi angina stabil kronis. Nyeri dada juga dapat terjadi pada
malam hari sehingga membangunkan pasien dari tidurnya (nocturnal angina). NSTEMI
juga dapat timbul tanpa rasa nyeri atau nyeri dada yang atipikal, yang sering juga disebut
sebagai “angina equivalents”, namun muncul dengan gejala seperti dyspnea, nausea,
diaphoresis, nyeri abdomen, lemas atau syncope.9
c) STEMI
Sama halnya dengan penderita NSTEMI dan angina tidak stabil, gejala yang kerap kali
dialami oleh pasien dengan STEMI adalah nyeri dada atau rasa tidak nyaman pada dada
kiri, atau biasa juga dikeluhkan pada area retrosternal yang dirasakan seperti tertimpa
benda berat atau tertekan. Nyeri sering kali menjalar ke lengan kiri, rahang, leher,
epigastrium maupun tengkuk. Selain nyeri dada, pasien sering mengalami keluhan lain
seperti kesulitan bernapas, pusing, mual, nyeri epigastrium, diaphoresis dan lemas. Nyeri

12
dapat muncul pada saat pasien sedang beristirahat atau memberat dengan aktivitas,
namun nyeri tidak berkurang dengan istirahat maupun pemberian nitrogliserin.9

8. Penegakan Diagnosis
Diagnosis SKA ditegakkan berdasarkan anamnesis nyeri dada yang khas dan
dilakukannya pemeriksaan elektrokardiografi (EKG), selain itu, pemeriksaan penunjang
seperti pemeriksaan enzim jantung terutama troponin T dapat memperkuat diagnosis SKA. 13

Gambar 10. Alogaritma Diagnosis dan Triase pada SKA16

Anamnesis pasien yang datang dengan keluhan nyeri dada perlu dilakukan secara
cermat apakah nyeri dada berasal dari jantung atau luar jantung. Jika dicurigai nyeri dada
yang berasal dari jantung perlu dibedakan apakah nyerinya berasal dari coroner atau bukan.
Tanyakan pula adakah riwayat infark miokard sebelumnya serta faktor risikonya antara lain
hipertensi, diabetes mellitus, dyslipidemia, merokok, stress serta riwayat sakit jantung
coroner pada keluarga.13
Hampir setengah kasus, terdapat faktor pencetus sebelum terjadi SKA, seperti
aktivitas fisik yang berat, stress, emosi atau penyakit medis atau bedah. Walaupun SKA

13
dengan STEMI bisa terjadi sepanjang hari atau malam, variasi sirkadian dilaporkan pada pagi
hari dalam beberapa jam setelah tidur adalah waktu tersering pasien mengalami SKA. Nyeri
dada tipikal (angina) merupakan gejala cardinal pasien dengan infark miokard akut. 13
Sifat nyeri angina adalah sebagai berikut:
a. Lokasi: substernal, retrosternal, dan precordial
b. Sifat nyeri: rasa sakit, seperti ditekan, rasa terbakar, ditindih benda berat, rasa diperas
dan dipelintir
c. Penjalaran: biasanya ke lengan kiri, dapat juga ke leher, rahang bawah, gigi,
punggung/interskapula, perut dan dapat pula ke lengan kanan
d. Nyeri membaik atau hilang dengan istirahat atau obat nitrat
e. Faktor pencetus: latihan fisik, stress emosi, udara dingin dan sesudah makan
f. Gejala penyerta: mual, muntah, sulit bernafas, keringat dingin, lemas dan cemas

A. Non ST-segmen Elevation Acute Coronary Syndrome (NSTE-ACS)


Pemeriksaan fisik pada pasien dengan NSTE-ACS seringkali normal, namun pada pasien
dengan area iskemik miokard yang luas, suara S3 dan/atau S4 gallop serta ronki paru
dapat terdengar; selain itu dapat pula dijumpai hipotensi atau syok kardiogenik, meskipun
temuan tersebut lebih sering ditemukan pada pasien dengan STEMI.

 Angina tidak stabil


Pemeriksaan EKG merupakan pemeriksaan diagnostic lini pertama yang harus
dilakukan pada pasien dengan kecurigaan SKA. Pemeriksaan ini direkomendasikan
untuk dilakukan setidaknya dalam 10 menit pasien tiba di rumah sakit. Gambaran
EKG pada pasien dengan NSTE-ACS (yaitu angina tidak stabil dan NSTEMI) dapat
dijumpai gambaran yang normal pada lebih dari 30% pasien, dapat pula dijumpai
adanya abnormalitas pada EKG, seperti depresi segmen ST, elevasi transien segmen
ST, dan perubahan pada gelombang T. Jika pemeriksaan dengan menggunakan
sadapan standar menunjukkan hasil yang inkonklusif, maka pemeriksaan dengan
sadapan tambahan perlu dilakukan untuk menilai adakah oklusi dari arteri
circumfleksa kiri yang hanya dapat dinilai dengan sadapan V7-V9 atau infark
miokard ventrikel kanan yang hanya dapat dinilai dengan sadapan V3R dan V4R.16
Selain pemeriksaan EKG, pemeriksaan biomarker enzim jantung juga perlu
dilakukan pada pasien SKA untuk menilai apakah sudah terjadi infark miokard atau
tidak. Pasien dengan adanya dugaan NSTE-ACS harus dilakukan pemeriksaan
troponin saat gejala dirasakan. Karena mungkin perlu waktu beberapa jam sejak
awitan nekrosis hingga peningkatan biomarker, jika dihasilkan hasil negatif,
pemeriksaan ini harus diulang 6-9 jam kemudia. Dua tes negatif dalam jarak waktu
6-9 jam biasanya dapat mengecualikan diagnosis NSTEMI, tetapi tidak dengan
angina tidak stabil, dimana menurut definisi bahwa angina tidak stabil tidak disertai
dengan nekrosis miokardium.17
 Non ST-segmen Elevation Miocardial Infarction / NSTEMI
Iskemia subendokardial akut akibat reduksi parsial dari aliran darah dan/atau
meningkatnya kebutuhan suplai darah mengakibatkan ST depresi pada lead EKG

14
yang menggambarkan daerah yang terlibat.15 Perubahan EKG, depresi segmen ST
yang persisten mungkin dapat ditemukan terutama jika perekaman dilakukan pada
saat pasien mengalami nyeri dada. Elevasi segmen ST transien juga dapat terjadi.
Gelombang T inversi yang dalam dan simetris (0,2 mm) mungkin dapat kompatibel
dengan kondisi ini, tetapi tidak menjadi dasar diagnosis dari NSTEMI; inversi
gelombang T yang lebih kecil tidak spesifik dan tidak membantu dalam penegakan
diagnosis.9
Pasien SKA dengan ST depresi pada enam atau lebih sadapan, maksimal pada
sadapan V4-V6, terutama jika dikaitkan dengan adanga gelombang T inversi, dan
elevasi ST pada lead aVR, harus memiliki prioritas yang tinggi untuk evaluasi
invasive yang mendesak karena tingginya kemungkinan mengalami penyakit arteri
coroner yang berat.15

Gambar 10. EKG pasien dengan SKA, pada EKG 12 sadapan ditemukan ST depresi
yang difus dengan gelombang T positif pada sadapan inferior yaitu sadapan II, III
dan aVF, dan pada sadapan V2-V6 disertai ST elevasi pada sadapan aVR15
Profil biomarker yang menjadi pilihan dalam mencerminkan mionekrosis khusus
jantung adalah Cardiac-spesific Troponin (cTn), I atau T. biomarker ini dianggat
meningkat secara tidak normal jika berada di atas persentil ke-99 dari kisaran normal
pengujian spesifik yang dilakukan. Sementara cTn yang meningkat secara abnormal
umumnya menandakan miokard nekrosis, hal ini dalap pula terjadi pada kondisi lain
yang menyebabkan terjadinya mionekrosis selain infark miokard, termasuk gagal
jantung, trauma dada, miokarditis, pericarditis, emboli paru, atau setelah kemoterapi
kanker; cTnI juga dapat meningkat pada kasus gagal ginjal. Pasien dengan adanya
dugaan NSTEMI harus dilakukan pemeriksaan troponin saat gejala dirasakan.
Karena mungkin perlu waktu beberapa jam sejak awitan nekrosis hingga
peningkatan biomarker, jika dihasilkan hasil negatif, pemeriksaan ini harus diulang
6-9 jam kemudia. Dua tes negatif dalam jarak waktu 6-9 jam biasanya dapat
mengecualikan diagnosis NSTEMI, tetapi tidak dengan angina tidak stabil, dimana

15
menurut definisi bahwa angina tidak stabil tidak disertai dengan nekrosis
miokardium. Troponin biasanya akan meningkat dalam 3 jam setelah onset nyeri
dada, dan jika tidak adanya konsentrasi yang sangat rendah yang terdeteksi dalam
pemeriksaan ini memungkinkan untuk menyingkirkan diagnosis NSTEMI dengan
cepat.9

Gambar 11. Biomarker pada SKA9

Selain biomarker Troponin, biomarker lain seperti creatine kinase-myocardial band


isoenzyme (CK-MB) dan myoglobin juga dapat digunakan sebagai biomarker untuk
nekrosis miokardium. CK-MB menunjukkan penurunan yang lebih cepat setelah
infark miokard dan dapat memberikan nilai tambahan untuk waktu terjadinya infark
miokard dan mendeteksi adanya reinfark. Namun, penting untuk mengetahui sedikit
untuk menilai terjadinya kasus reinfark adalah dengan melakukan penilaian klinis
termasuk karakteristik nyeri dada, EKG 12 sadapan untuk mendeteksi adanya ST
elevasi atau ST depresi baru atau inversi gelombang T, serta pengukuran troponin
jantung T/I dan CK/CK-MB secara serial direkomendasikan. Peningkatan CK-MB
biasanya lebih tinggi dibandingkan dengan troponin jantung dan oleh karena itu
mungkin memberikan nilai alternatef atau dalam kombinasi dengan troponin
jantung.16
Pedoman Inggris dan Eropa saat ini merekomendasikan pasien rawat inap dengan
NSTE-ACS untuk dilakukan angiografi coroner. Pengaturan waktu untuk
dilakukannya angiografi coroner akan dijelaskan pada Kotak 1. Panduan dari
National Institute for Health and Care Excellence (NICE) merekomendasikan
angiografi coroner mendesak dalam waktu 24 jam untuk pasien dengan klinis yang
tidak stabil, misalnya mereka yang mengidap nyeri dada yang sedang berlangsung,
dan dalam waktu 72 jam untuk semua pasien lainnya. Rekomendasi dari European
Society of Cardiology, angiografi coroner mendesak harus dilakukan dalam 2 jam
untuk pasien dengan angina refrakter, gagal jantung, artimia ventrikel atau

16
ketidakstabilan hemodinamik (dalam waktu 24 jam) bagi mereka dengan skor
GRACE lebih besar dari 140, dan angiografi coroner dalam 72 jam untuk mereka
dengan risiko rendah hingga menengah.1

Kotak 1. Rekomendasi untuk Waktu dilakukan Angiografi Koroner pada Kasus NSTE-
ACS menurut Risiko Klinis1

Kotak 2. The Thrombolysis


in Myocardial Infarction
(TIMI) Score18

B. ST-segmen Elevation
Miocardial Infarction
(STEMI)
Pemeriksaan EKG
memberikan peranan penting
dalam diagnosis STEMI, dan
harus dilakukan dalam 10 menit
setelah pasien tiba di rumah
sakit. Pada STEMI dapat
ditemukan adanya elevasi
dari segmen ST. Pada jam awal onset biasanya timbul sebagai gelombang hiperakut T
(gelombang T yang tinggi), kemudian berubah menjadi ST elevasi, terbentuknya T

17
inversi, segmen ST yang kembali ke garis isoelektris, dan terbentuknya gelombang Q
patologis. Adanya gambaran LBBB baru pada EKG juga merupakan tanda STEMI. Jika
EKG awal menunjukkan hasil yang normal atau inkonklusif, maka perlu dilakukan serial
EKG, dan dibandingkan hasilnya.

Gambar 12. STEMI inferior dan lateral. Terdapat ST elevasi pada sadapan II, III,
aVF dan V4-V6. Lead I dana VL menunjukkan ST depresi yang resiprokal. ST
elevasi di lead V1-V2 menunjukkan “mirror image” dari ST deviasi lateral.14

Penanda kimiawi/biomarker yang dipakai untuk menunjukkan adanya kerusakan miokard


ialah Troponin I dan T. Troponin merupakan penanda biokimiawi yang sangat sensitive
dan spesifik untuk terjadinya nekrosis miokard. Troponin dapat meningkat dalam 3-6 jam
setelah onset keluhan, namun rata-rata meningkat dalam 6-12 jam. Waktu terjadinya
peningkatan CK-MB juga sama. Troponin tetap didapatkan dalam darah 5-14 hari.
Sedangkan CK-MB telah hilang dari peredaran darah dalam waktu 48 jam. Waktu
pelepasan biomarker enzim jantung setelah suatu kondisi infark miokard akut akan
digambarkan pada Gambar 11.

18
Gambar 13. Biomarker Jantung pada Infark Miokard Akut13

Tabel 2. Biomarker Molekuler pasien IMA dengan STEMI13

Pemeriksaan penunjang lain yang dapat dilakukan pada pasien seperti pemeriksaan
radiografi thoraks sewaktu pasien akan dirawat untuk mengevaluasi penyebab lain yang
dapat menimbulkan keluhan nyeri dada dan menilai adanya kongesti pulmoner yang juga
mempengaruhi prognosis pasien.5
Pemeriksaan profil lipid juga harus dilakukan dalam 24 jam pertama onset SKA
seperti yang direkomendasikan oleh the National Cholesterol Education Program Adult
Treatment Panel III dan pedoman AHA. Pada pasien-pasien dengan kondisi tertentu dengan
kecurigaan SKA sekunder perlu dilakukan pemeriksaan tambahan, seperti pemeriksaan
fungsi tiroid pada pasien dengan gejala SKA yang disertai dengan takikardia yang persisten.5
9. Diagnosis Banding
Penting untuk diingat bahwa infark miokard menimbulkan terjadinya nekrosis pada
miokard akibat adanya iskemia miokard. Kondisi-kondisi klinis lain, seperti pericarditis,
deseksi aorta abdominalis, dan prolapse katup mitral merupakan penyebab cedera miokard
noniskemik, dan dengan demikian tidak termasuk dalam definisi SKA. Selain itu, ada
beberapa kondisi nonkardiak yang dapat bermanifestasi dengan gejala yang mirip dengan
SKA, termasuk nyeri musculoskeletal, ketidaknyamanan esophagus, emboli paru, atau
kecemasan. Penting untuk menentukan etiologi dari tanda dan gejala yang ditemukan pada
pasien untuk menentukan rencana penanganan pasien yang tepat.11

19
Tabel 3. Diagnosis Banding pada Pasien dengan Nyeri Dada5

10. Tata Laksana


a. Terapi Inisial
Terapi awal untuk pasien dengan angina antara lain adalah aspirin, oksigen, nitrogliserin
dan morfin sulfat. Biasanya disingkat dengan MONA yaitu singkatan dari morfin,
oksigen, nitrogliserin, aspirin (meskipun tidak sesuai dengan urutan yang sebenarnya).2
 Antiplatelet
Pasien dapat diberikan aspirin dengan dosis 162-325 mg per oral (dapat digerus
atau dikunyah) secepat mungkin setelah serangan timbul, kecuali ada kontraindikasi.
Aspirin bekerja dengan menghambat agregasi trombosit dan vasokonstriksi dengan
menghambat produksi tromboksan A2. Aspirin dikontraindikasikan pada pasien dengan
ulkus peptikum, kelainan perdarahan, dan alergi terhadap penisilin. Selanjutnya aspirin
diberikan dengan dosis 75-162 mg sehari untuk pencegahan terjadinya SKA berulang.2,5
Selain aspirin, Clopidogrel juga dapat diberikan pada pasien. Clopidogrel adalah
turunan thienopyridine yang menghambat reseptor P2Y12 adenosine difosfat (ADP) pada
trombosit. Obat ini bekerja dengan menurunkan aktivasi trombosit dan agregasi,

20
meningkatkan waktu perdarahan, mengurangi viskositas darah. Terapi dengan
clopidogrel dan aspirin pada dasarnya dianjurkan untuk semua pasien dengan angina
tidak stabil dan NSTEMI. Dosis pemberian clopidogrel pada pasien yang diberikan
aspirin adalah 300 mg loading dose, kemudian dilanjutkan dengan 75 mg.hari.2,5
Pemberian clopidogrel perlu diberikan sesegera mungkin atau pada pasien yang
akan menjalani PCI dan dilanjutkan dengan dosis pemeliharaan 75 mg/hari selama 1
tahun pada pasien yang dipasang stent. Pasien dengan STEMI yang akan menjalani terapi
fibrinolitik juga harus diberikan loading dose clopidogrel (300 mg pada pasien yang
berusia <75 tahun, atau 75 mg pada pasien berusia ≥75 tahun) sebelum terapi fibrinolitik.
Clopidogrel 75 mg/hari dilanjutkan hingga setidaknya 14 hari dan bisa sampai 1 tahun.5
 Oksigen
Oksigen diberikan melalui kanul nasal dengan kecepatan 2-4 L/menit untuk
menjaga SaO2 lebih dari 90%. Perhatikan adanya tanda-tanda hipoksemia, seperti
konfusi, agitasi, restlessness, pucat dan perubahan pada suhu kulit. Dengan meningkatnya
jumlah oksigen yang dialirkan ke miokard dan penambahan oksigen akan mengurangi
nyeri yang berhubungan dengan iskemik miokard.2
 Nitrogliserin
Nitrogliserin tablet harus diberikan secara sublingual setiap lima menit, hingga
tiga kali pemberian. Nitrogliserin menyebabkan terjadinya dilatasi arteri dan vena, yang
akan menurunkan baik preload dan afterload dan menurunkan kebutuhan oksigen
jantung. Karena nitrogliserin dapat menyebabkan hipotensi, pasien sebaiknya berada di
tempat tidur atau diposisikan duduk sebelum pemberian obat. Jika setelah pemberian
nitrogliserin sebanyak 3 kali rasa nyeri tidak menghilang atau berkurang maka dapat
diberikan nitrogliserin intravena dimulai dengan dosis 10-20 mcg per menit dan perlahan-
lahan di titarsi 10 mcg setiap 3-5 menit hingga rasa nyerinya berkurang atau pasien
menjadi hipotensi. Dosis maksimum adalah 200 mcg per menit. Nitrogliserin
dikontraindikasikan pada pasien yang hipotensi dan mengkonsumsi sildenafil dalam 24
jam sebelumnya.2,5
 Morfin sulfat
Jika pasien tidak membaik setelah pemberian nitrogliserin, maka dapat diberikan
morfin sulfat dengan dosis inisial 2-4 mg intravena dapat diulang setiap 5 hingga 15
menit hingga rasa nyeri dapat terkontrol. Morfin akan menyebabkan vasodilatasi arteri
dan vena, menurunkan preload dan afterload, dan kemampuan analgesiknya dapat
mengurangi nyeri dan kecemasan yang disebabkan oleh SKA. Namun, morfin dapat
menyebabkan hipotensi dan depresi pernapasan, sehingga tekanan darah, frekuensi napas,
dan saturasi oksigen harus dimonitor sewaktu penggunaan morfin.2,5
 Inhibitor glikoprotein IIb/IIIa

21
Inhibitor glikoprotein IIb/IIIa merupakan anti platelet yang digunakan untuk
angina tidak stabil dan NSTEMI yang dijadwalkan akan dilakukan tindakan diagnostic
invasive. Pilihan untuk terapi antikoagulan pada pasien dengan angina tidak stabil atau
NSTEMI antara lain adalan enoxaparin (Lovenox), unfractionated heparin, bivalirudin
(Angiomax) dan fondaparinux (Arixtra). Enoxaparin dan unfractionated heparin sangat
direkomendasikan pada pasien yang memilih pengobatan konservatif, namun
fondaparinux dipilih untuk mereka dengan risiko tinggi perdarahan.2
Tabel 4. Terapi SKA20

Terapi antikoagulan haruus diinisasikan baik pada pasien dengan PCI atau terapi
fibrinolitik untuk terapi STEMI. Untuk pasien yang akan menjalani PCI, unfractionated
heparin harus diberikan untuk mempertahankan therapeutic activated clotting time.
22
Fondaparinux (Arixtra) tidak boleh digunakan sebagai terapi antikoagulan tunggal pada
pasien yang akan menjalani PCI karena adanya risiko thrombosis kateter. Untuk pasien
STEMI yang akan mendapat terapi fibrinolitik, unfractionated heparin, enoxaparin
(Lovenox), atau fondaparinux dapat diberikan. Terapi harus diberikan dengan minimal 48
jam hingga 8 hari.20
b. Terapi Lanjutan
Terapi lanjutan dimaksudkan untuk memperbaiki outcome pasien SKA.
Penggunaan beta blocker secara dini selama atau setelah infark miokard masih
kontroversial. Menurut ACC dan AHA pada tahun 2008, beta blocker menurunkan angka
kejadian reinfark dan kematian akibat aritmia pada pasien STEMI dan NSTEMI namun
tidak secara langsung menurunkan angka kematian, terutama pada pasien dengan gagal
jantung atau kondisi hemodinamik yang tidak stabil. Jika tidak ada kontraindikasi, beta
bloker dapat diberikan dalam waktu 24 jam dan diteruskan setelah keadaan pasien
membaik. Pasien yang mendapat terapi beta bloker harus dimonitor untuk keadaan
hipotensi, bradikardia, gejala gagal jantung dan bronkospasme.2,19
Tabel 5. Terapi SKA20

Pemberian ACE inhibitor menurunkan risiko disfungsi ventrikel kanan dan


kematian pada pasien dengan SKA dan harus diberikan dalam waktu 24 jam dan

23
diteruskan kecuali terdapat kontraindikasi. Pada pasien dengan intoleransi dengan ACE
inhibitor, angiotensin reseptor bloker dapat digunakan sebagai terapi alternative.2,19
Statin harus diberikan pada pasien dengan SKA dengan kadar kolesterol lebih dari 100
mg/dL. Kadar lemak dan kolesterol harus selalu dikontrol pada pasien SKA.2

c. Terapi Reperfusi
Setelah STEMI diidentifikasi, strategi reperfusi yang paling sesuai harus
ditentukan secara cepat. Terapi reperfusi harus diberikan pada pasien STEMI yang
memenuhi syarat dan onset gejala dalam 12 jam. Gambar 14. Merangkum elemen yang
terlibat dalam mengembangkan strategi pengobatan untuk pasien dengan STEMI.
Pemulihan aliran pada sumbatan arteri secara cepat adalah faktor terpenting dalam
outcome yang diharapkan, apapun metode yang digunakan. Tindakan PCI mengarah pada
hasil yang lebih baik dibandingkan dengan fibrinolysis bila dilakukan di fasilitas
kesehatan dengan tingkat yang tinggi dan tanpa penundaan pengobatan. Namun, manfaat
akan hilang jika pengobatan ditunda, yang mungkin terjadi jika kontak medis pertama
pasien adalah di fasilitas kesehatan yang tidak dapat melakukan tindakan PCI. Jadi, yang
harus ditekankan adalah dilakukannya tindakan reperfusi secara cepat, apapun
strateginya. Pada pasien dengan STEMI yang menjalani PCI, target rekomendasi untuk
pasien yang pertama pergi ke fasilitas kesehatan yang mampu melakukan PCI adalah 90
menit, dan 120 menit untuk fasilitas kesehatan yang tidak mampu melakukan PCI.20
PCI dianggap sebagai metode reperfusi utama, kecuali pasien memiliki
kontraindikasi absolut. Jika kontak medis pertama dilakukan di rumah sakit yang tidak
mendukung PCI, memilih strategi reperfusi membutuhkan pertimbangan dari banyak
faktor, termasuk waktu yang dibutuhkan untuk merujuk, waktu sejak timbulnya gejala,
risiko komplikasi dari STEMI, risiko perdarahan dengan fibrinolysis, dan adanya syok
atau gagal jantung. Pertimbangan khusus harus diberikan pada perempuan dengan
STEMI, karena mereka telah menunjukkan respon yang lebih baik dengan PCI
dibandingkan dengan fibrinolysis.20
Terapi fibrinolitik adalah pilihan terbaik berikutnya. Jika tidak ada kontraindikasi,
terapi ini harus diberikan pada pasien dengan STEMI di rumah sakit yang tidak
mendukung PCI dan jika waktu yang diperkirakan untuk sampai di rumah sakit yang
mendukung PCI lebih dari 120 menit. Pedoman ACCF/AHA merekomendasikan
penggunaan agen fibrinolitik spesifik fibrin. Rujukan ke rumah sakit yang mampu
melakukan PCI untuk angiografi direkomendasikan untuk semua pasien dengan STEMI
setelah fibrinolysis, meskipun urgensi rujukan tergantung pada status klinis pasien.
Rujukan segera direkomendasikan untuk pasien yang mengalami syok kardiogenik atau
gagal jantung akut berat setelah fibrinolysis. Bahkan meskipun pada pasien yang tidak
mengalami syok atau gagal jantung yang gagal reperfusi atau reoklusi, rujukan mendesak
untuk angiografi sangat dianjurkan. Tanda dari gagal reperfusi adalah kurangnya resolusi
elevasi ST dan nyeri dada yang terus menerus atau berulang.20

24
Gambar 15. Terapi Reperfusi pada Pasien STEMI20

Tabel 6. Kontraindikasi Terapi Fibrinolisis20

25
Tabel 7. Agen Fibrinolitik20

d. Terapi untuk NSTE-ACS


Pengobatan NSTE-ACS mirip dengan STEMI. Pasien dapat dikategorikan
berdasarkan faktor risiko dan stabilitas klinis menjadi strategi invasive dini atau ischemia-
guided. Tindakan invasive, angiografi diagnostic diikuti dengan tindakan revaskularisasi
(dengan PCI), sebagaimana mestinya diindikasikan untuk pasien yang stabil berisiko tinggi
untuk mengalami gangguan coroner, sedangkan pendekatan ischemia-guided diindikasikan
untuk pasien yang sudah stabil dengan skor risiko yang lebih rendah dan berdasarkan dari
preferensi dokter maupun pasien. Pedoman terkini tidak merekomendasikan penggunaan
agen fibrinolitik pada pasien dengan NSTE-ACS karena peningkatan risiko infark ulang dan
komplikasi lainnya. Penderita NSTE-ACS cenderung berusia lebih tua dan memiliki banyak
penyakit penyerta jika dibandingkan dengan pasien STEMI, sehingga pendekatan
konservatif seringkali lebih tepat digunakan. Direkomendasikan pasien dengan NSTE-ACS
menerima terapi antiplatelet ganda dengan aspirin dan penghambat P2Y12, seperti
clopidogrel, terlepas dari apakah mereka sedang menjalani terapi invasive atau ischemia-
guided approach. Terapi antikoagulan parenteral juga dianjurkan terlepas dari strategi
pengobatan yang dilakukan. Agen dan dosis yang sama dijelaskan untuk pengobatan STEMI
berlaku untuk pengobatan NSTE-ACS, meskipun bivalirudin tidak direkomendasikan pada
pengobatan ischemia-guided approach. Pada pasien yang tidak memberikan respon, transisi
terapai ke manajemen invasive, yang meliputi angiografi dengan PCI atau coronary artery
bypass graft (CABG) perlu dipertimbangkan.20

26
Gambar 16. Alogaritma Managemen NSTE-ACS20

27
28
Gambar 17. Alogaritma Tatalaksana STEMI menurut AHA21

29
Gambar 18. Alogaritma Tatalaksana NSTE-ACS menurut ESC22

30
Gambar 19. Alogaritma NSTEMI menurut ESC22

Gambar 20. Alogaritma Tatalaksana UAP menurut AHA23

31
11. Komplikasi
Beberapa komplikasi yang dapat terjadi pada pasien dengan sindroma coroner akut
6
adalah:
 Aritmia
 New onset mitral regurgitation
 Rupture septum ventrikuler
 Aneurisma ventrikel kiri
 Emboli.
12. Prognosis
Pasien yang selamat dari infark miokard pertama memiliki risiko kejadian
kardiovaskular yang meningkat di masa depan. Penelitian telah menunjukkan bahwa hingga
setengah dari pasien tidak menerima satu atau lebih terapi yang direkomendasikan selama
perawatan karena SKA. Secara umum, angka kematian jangka pendek pada 30 hari setelah
kejadian SKA adalah antara 2% dan 3%, angka kematian ini lebih rendah pada pasien setelah
mengalami NSTE-ACS dibandingkan setelah mengalami STEMI. Rawat inap kembali dalam
rentang 30 hari adalah antara 17% dan 25% untuk semua jenis SKA. Risiko henti jantung
mendadak juga meningkat setelah mengalami SKA, dan berhubungan dengan fraksi ejeksi
yang rendah (35% atau kurang). Tingkat kematian antara pasien dengan STEMI dan NSTE-
ACS sekitar 8% hingga 10%, dengan tingkat kematian jangka panjang yang lebih tinggi pada
pasien dengan NSTE-ACS. Hal ini diyakini dapat terjadi akibat pasien NSTE-ACS yang
biasanya berusia lebih tua dan memiliki lebih banyak komorbiditas.20

32
DAFTAR PUSTAKA

1. Kotecha T, Rakhit RD. Acute Coronary Syndromes. Clinical Medicine.2016.16(6):43-8.


2. Sanjani RD, Nurkusumasari N. Sindrom Koroner Akut. ISSN.2020:2721-2882.
3. Aditya M, Wahyuni SU, Isfandiari MA. Risk Factor Analysis of Recurrent Acute
Coronary Syndrome. Jurnal Berkala Epidemiologi.2018;6(3):192-9.
4. Shah S, Gnanasegatsn G, Cohon JS, Buscombe JR. The Heart: Anatomy, Physiology, and
Exercise Physiology. 2009. DOI: 10.1007/978-3-540-78674-0_1
5. Kumar A, Cannan CP. Acute Coronary Syndromes: Diagnosis and Management, Part 1.
Mayo Clin Proc.2009;84(10):917-38.
6. Mechanic OJ, Gavin M, Grossman SA. Acute Myocardial Infarction. Treasure Island
(FL): StatPearls Publishing.2021. Accessed on: 9th May 2021. Available at:
https://www.ncbi.nlm.nih.gov/books/NBK459269/
7. Ralapanawa U, Kumarasiri PVR, Jayawickreme KP, Kumarihamy P, Wijeratne Y,
Ekanayake M, et al. Epidemiology and Risk Factors of Patients with Types of Acute
Coronary Syndrome Presenting to a Tertiary Care Hospital in Sri Langka. BMC
Cardiovascular Disorder.2019;19:229-37.
8. Crea F, Libby P. Acute Coronary Syndrome. The Way Forward from Mechanisms to
Precision Treatment. Circulation.2017;136:1155-66.
9. Braunwald E. Unstable Angina and Non-ST Elevation Myocardial Infarction. American
Journal of Respiratory and Critical Care Medicine.2012;185:924-32.
10. Singh A, Museedi AS, Grossman SA. Acute Coronary Syndrome. Treasure Island (FL):
StatPearls Publishing. 2021. Accessed on: 9th May 2021. Available at:
https://www.ncbi.nlm.nih.gov/books/NBK459157/
11. Smith JN, Negrelli JM, Manek MB, Jawes EM, Viera AJ. Diagnosis and Management of
Acute Coronary Syndrome: An Evidence-Based Update. JABFM.2015;28(2):283-93.
12. Basit H, Malik A, Huecker MR. Non ST Segment Elevation Myocardial Infarction.
Treasure Island (FL): StatPearls Publishing; 2021. Accessed on: 9th May 2021. Available
at: https://www.ncbi.nlm.nih.gov/books/NBK513228/
13. Satoto HH. Patofisiologi Penyakit Jantung Koroner. Jurnal Anestesiologi
Indonesia.2014;6(3):209-24.
14. Birnbaum Y, Wilson JM, Fiol M, Luna AB, Eskola M, Nikus K. ECG Diagnosis and
Classification of Acute Coronary Syndromes. Ann Noninvasive
Electrocardiol.2014;19(1):4-14.
15. Nikus K, Birnbaum U, Eskola M, Samuel S, Qun ZZ, Pahlm O. Updated
Electrocardiographic Classification of Acute Coronary Syndromes. Current Cardiology
Reviews.2014;10:229-36.
16. Collet JP, Thiele H, Barbato E, Barthelemy O, Bauersachs J, Bhatt Dl, et al. 2020 ESC
Guidelines for the Management of Acute Coronary Syndromes in Patients Pretenting
without Persistent ST-segment Elevation. European Heart Journal.2020;00:1-79.
17. Makki N, Brennan TM, Girotra S. Acute Coronary Syndrome. Journal of Intensive Care
Medicine.2013;00(0):1-15.

33
18. Hess EP, Agarwal D, Chandra S, Murad MH, Erwin PJ, Hollander JE, et al. Diagnostic
Accuracy of the TIMI Risk Score in Patients with Chest Pain in the Emergency
Department: A Meta-Analysis.CMAJ.2010;182(10):1039-44.
19. Amsterdam EA, Brindis RG, Ganiats TG, Jneid H, Kontos MC, Liebson PR, et al. 2014
AHA/ACC Guideline for the Management of Patients with Non-ST-Elevation Acute
Coronary Syndromes. Circulation.2014;130:344-426.
20. Switaj TL, Christensen SR, Brewer DM. Acute Coronary Syndrome: Current Treatment.
American Family Physician.2017;95(4):232-40.
21. Amsterdam EA, Wenger NK, Chair V, Brindis RG, Casey DE, Ganiats TG, et al. 2014
AHA/ACC Guideline for the Management of Patients with non-ST-elevation Acute
Coronary Sydromes. A Report of the American College of Cardiology/American Heart
Association Task Force on Practice Guidelines. 2014. DOI:
10.1161/CIR.0000000000000134
22. Collet JP, Thiele H, Barbato E, Barthelemy O, Bauersachs J, Bhatt DL, et al. 2020 ESC
Guidelines for the Management of Acute Coronary Syndromes in Patients Presenting
without Persistent ST-Segment Elevation. European Heart Journal.2021;42:1289-1367.
23. Braunwald E, Antman EM, Beasley Jw, Califf RM, Cheitlin MD, Hochman JW, et al.
ACC/AHA Guidelines for the Management of Patients with Unstable Angina and Non-
ST-Segment Elevation Myocardial Infarction: Executive Summary and
Recommendations. Circulation.2000;102:1193-1209.

34

Anda mungkin juga menyukai