Anda di halaman 1dari 36

REFERAT

” PIJAT JANTUNG LUAR ”

Diajukan untuk Memenuhi salah satu Tugas Akhir Kepaniteraan


Klinik Madya Di Rumah Sakit Umum Daerah Abepura

Oleh:
Kansiskoris Mahuse, S.Ked (2020086016001)

Pembimbing:
dr. Leddy N. Rumansara, Sp.JP, FIHA

KEPANITERAAN SMF CARDIOLOGY RUMAH SAKIT UMUM


DAERAH ABEPURA
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS CENDERAWASIH
JAYAPURA - PAPUA
2023
LEMBAR PENGESAHAN

Telah dipresentasikan, diterima dan disetujui oleh penguji REFERAT


dengan Judul ” PIJAT JANTUNG LUAR ” sebagai salah satu syarat
untuk mengikuti ujian akhir Kepaniteraan Klinik Madya Pada SMF Ilmu
Cardiology Rumah Sakit Umum Daerah Abepura.

Yang dilaksanakan pada:

Hari : Jumat

Tanggal : 24 November 2023

Tempat : Poli Jantung RSUD Abepura Jayapura

Penguji/Pembimbing Yang Diuji

dr.Leddy N Rumansara, Sp.JP, FIHA Kansiskoris Mahuse, S.Ked

i
LEMBAR PENILAIAN REFERAT

Hari/Tanggal : Jumat,24 November 2023


Pembimbing : dr. Leddy N. Rumansara, Sp.JP, FIHA
Judul : “ PIJAT JANTUNG LUAR ”

NO NAMA NILAI
1. Kansiskoris Mahuse, S.Ked

Pembimbing

dr. Leddy N. Rumansara, Sp.JP, FIHA

ii
DAFTAR ISI............................................Error! Bookmark not defined.

BAB 1........................................................................................................1

PENDAHULUAN.....................................................................................1

BAB 2........................................................................................................3

PEMBAHASAN........................................................................................3

2.1 Definisi Resusitasi Jantung Paru......................................................3

2.2 Indikasi Resusitasi Jantung Paru......................................................3

2.3 Resusitasi Jantung Paru....................................................................5

2.4. Basic Life Support.........................................................................11

2.5 Airway Management...................................................................17

2.6 Panduan Resusitasi Jantung Paru AHA 2010.............................19

2.7 Peningkatan Kualitas Resusitasi.....................................................27

2.8 Keputusan Untuk Mengakhiri Upaya Resusitasi............................28

2.9 Komplikasi.....................................................................................29

BAB 3......................................................................................................30

KESIMPULAN........................................................................................30

iii
BAB 1
PENDAHULUAN

Meskipun sudah banyak kemajuan penting dalam pencegahan


kematian, serangan jantung masih menjadi masalah kesehatan
masyarakat yang utama dan merupakan penyebab utama kematian di
banyak negara.Serangan jantung bisa terjadi baik di dalam maupun di
luar rumah sakit. Di AS dan Kanada, sekitar 350.000 orang per tahun
(sekitar 50% terjadi di rumah sakit) menderita serangan jantung dan
menerima pertolongan resusitasi. Perkiraan ini tidak termasuk jumlah
korban yang menderita serangan jantung tanpa mendapatkan pertolongan
resusitasi. Ditambah lagi, pertolongan resusitasi tidak selalu dilakukan
dengan cara yang tepat. Banyak pasien meninggal karena karena
tindakan resusitasi yang kurang tepat dan adekuat.
Dari semua kejadian serangan jantung, 80% serangan jantung
terjadi di rumah, sehingga setiap orang seharusnya dapat melakukan
resusitasi jantung paru otak (RJPO) atau cardiopulmonary cerebral
resuscitation (CPCR). Menurut American Heart Association tindakan
resusitasi jantung paru mempunyai hubungan erat dengan rantai
kehidupan (chain of survival), karena bagi penderita yang terkena
serangan jantung, dengan dilakukannya RJPO maka akan mempunyai
kesempatan yang amat besar untuk dapat hidup kembali.
Pada kondisi napas dan denyut jantung berhenti, sirkulasi darah
dan transportasi oksigen berhenti, sehingga dalam waktu singkat organ-
organ tubuh terutama organ vital akan mengalami kekurangan oksigen
yang berakibat fatal bagi korban dan mengalami kerusakan. Meskipun

1
pendekatan yang optimal untuk CPR dapat bervariasi, tergantung pada
penyelamat, korban, dan sumber daya yang tersedia, tantangan mendasar
adalah bagaimana melakukan RJP secara dini dan efektif.Mengingat
tantangan ini, mengetahui adanya arrest dan tindakan cepat oleh
penyelamat terus menjadi prioritas dari 2015AHA Guidelines for CPR
and ECC.
Basic life support bukan merupakan suatu tindakan tunggal
melainkan terdiri dari evaluasi dan intervensi. Evaluasi cardiac arrest,
pernapasan, dan resusitasi jantung paru. Pada konsensus AHA 2005
membahas mengenai semua aspek deteksi dan penanganancardiac arrest.
Konsensus 2005 menetapkan bantuan hidup dasar dengan prinsip ABC
(airway, breathing, and circulation), namun kembali dilakukan
konsensus pada tahun 2010, dan terjadi perubahan prinsip menjadi CAB
(circulation, airway and breathing). Tahun 2015 pun dilakukan
konsensus yang merupakan consensus terbaru mengenai resusitasi
jantung paru.
Tujuan dari referat ini adalah untuk mengintegrasikan ilmu
resusitasi dengan praktek dunia nyata dalam rangka meningkatkan hasil
dari RJP.

2
BAB 2
PEMBAHASAN

2.1 Definisi Resusitasi Jantung Paru


Resusitasi atau reanimasi mengandung arti harafiah menghidupkan
kembali, dimaksudkan usaha – usaha yang dapat dilakukan untuk
mencegah suatu episode henti jantung yang dapat berlanjut menjadi
kematian biologis. Resusitasi Jantung Paru (RJP) atau Cardio Pulmonary
Resucitation (CPR) adalah rangkaian tindakan penyelamatan nyawa yang
meningkatkan probabilitas untuk hidup setelah henti jantung.

2.2 Indikasi Resusitasi Jantung Paru


RJP diindikasikan untuk setiap orang yang tidak sadar, yang tidak
bernapas atau bernapas tidak normal (gasping), sebagaimana yang sering
terjadi pada henti jantung.Penilaian aktivitas listrik jantung dengan rapid
"rhythm strip" dapat memberikan analisis yang lebih rinci dari jenis
serangan jantung, serta menunjukkan pilihan tambahan pengobatan.
Hilangnya aktivitas jantung yang efektif umumnya karena inisiasi
spontan dari aritmia nonperfusi, kadang-kadang disebut sebagai aritmia
ganas.Contoh aritmia nonperfusi paling umum adalah ventricle
fibrillation (VF), pulseless ventricle tachycardia (VT), pulseless
electrical activity, asystole, pulseless bradycardia.
Meskipun defibrilasi cepat telah terbukti meningkatkan
kelangsungan hidup untuk VF dan iramapulseless VT, RJP harus dimulai
sebelum irama diidentifikasi dan harus dilanjutkan sementara
defibrillator sedang dipersiapkan.Selain itu, RJP harus segera kembali

3
dilakukan setelah defibrillatory shocksampai nadi berdenyut kembali.Hal
ini didukung oleh penelitian yang menunjukkan bahwa "jeda preshock"
pada RJPmemberikan hasil yang lebih rendah dalam keberhasilan
defibrilasi dan pemulihan pasien.
Henti napas primer (respiratory arrest) dapat disebabkan oleh
banyak hal, misalnya serangan stroke, keracunan obat, tenggelam,
inhalasi asap/ uap/ gas, obstruksi jalan napas oleh benda asing, tersengat
listrik, tersambar petir, serangan infark jantung, radang epiglottis,
tercekik (suffocation), trauma dan lain-lainnya.
Pada awal henti napas, jantung masih berdenyut, masih teraba
nadi, pemberian O2 ke otak dan organ vital lainnya masih cukup sampai
beberapa menit. Kalau henti napas mendapat pertolongan segera maka
pasien akan terselamatkan hidupnya dan sebaliknya kalau terlambat akan
berakibat henti jantung. Untuk orang awam, jika tidak ada gerakan dada
dan napas tidak normal (gasping), segera lakukan Resusitasi Jantung
Paru.
Henti jantung primer ialah ketidaksanggupan curah jantung untuk
memberi kebutuhan oksigen ke otak dan organ vital lainnya secara
mendadak dan dapat kembali normal jika dilakukan tindakan yang tepat.
Sebaliknya akan menyebabkan kematian atau kerusakan otak jika
tindakan yang dilakukan tidak tepat. Henti jantung terminal akibat usia
lanjut atau penyakit kronis tentu tidak termasuk dalam henti jantung.
Henti jantung terjadi bisa karena penyebab kardial (dari jantung)
atau penyebab ekstrakardial (dari luar jantung). Yang termasuk penyebab
kardial yaitu gangguan saraf dan konduksi impuls (aritmia), penurunan
kontraktilitas otot jantung (decompensatio cordis, syok kardiogenik),

4
aliran darah koroner terhenti, aliran darah koroner yang kurang oksigen,
trauma pada jantung atau pada sternum, dan sumbatan koroner. Yang
termasuk penyebab ekstrakardial yaitu hipoksia berat, hipovolemia berat,
hiperkalemia, aliran listrik.
Bila seseorang mengalami henti jantung, maka aliran koroner
terhenti, miokard akan menjadi hipoksia, dan ATP habis. Awalnya akan
terjadi irama ventrikel takikardi atau ventrikel fibrilasi, namun setelah
ATP habis akan menjadi asistol. Setelah henti jantung, kontraktilitas otot
jantung menurun. Selama periode hipoperfusi, miokard mungkin rusak.

2.3 Resusitasi Jantung Paru


Resusitasi jantung paru (RJP) selalu mengintegrasikan kompresi
dada dan penyelamatan napas dengan tujuan untuk mengoptimalkan
sirkulasi dan oksigenasi.Karakteristik penyelamat dan korban bisa
mempengaruhi keoptimalan dari komponen RJP.

Penyelamat
Semua orang bisa menjadi penyelamat untuk menyelamatkan nyawa
korban serangan jantung.Keterampilan dan aplikasi RJP bergantung pada
pelatihan, pengalaman, dan konfidensi penyelamat.
Kompresi dada merupakan dasar dari RJP.Semua penyelamat,
terlepas dari tingkat pelatihan yang pernah dijalani, harus memberikan
kompresi dada pada semua korban serangan jantung. Karena pentingnya
tindakan tersebut, kompresi dada harus menjadi tindakan RJP paling
awal untuk semua korban tanpa memandang usia.Jika mampu

5
melakukan, penyelamat juga sebaiknya menambahkan ventilasi setelah
kompresi dada. Penyelamat terlatih yang bekerja sama harus
berkoordinasi dalam melakukan kompresi dada dan ventilasi secara
kompak dalam tim.

Korban
Seringkali serangan jantung pada orang dewasa terjadi tiba-tiba,
yang penyebabnya adalah jantung; oleh karena itu, sirkulasi yang
dihasilkan oleh kompresi dada merupakan hal yang mutlak untuk
dilakukan.Sebaliknya, serangan jantung pada anak-anak yang paling
sering terjadi karena asfiksia, yang membutuhkan ventilasi dan
penekanan dada untuk mendapatkan hasil optimal.Oleh karena itu,
bantuan pernapasan mungkin lebih penting untuk anak-anak
dibandingkan orang dewasa pada serangan jantung.

Resusitasi yang berhasil setelah terjadinya henti jantung


membutuhkan gabungan dari tindakan yang terkoordinasi yang
ditunjukkan dalam chain of survival, yang meliputi :

6
a. Pengenalan segera terhadap henti jantung dan aktivasi dari
emergency response system
Aktivasi kegawatdaruratan yang cepat dan inisiasi RJP
membutuhkan pengenalan cepat akan terjadinya serangan jantung.
Serangan jantung membuat seseorang tidak responsif. Pernapasan
tidak ada atau tidak normal. Agonal gasps (napas terengah yang
mengancam nyawa) biasa terjadi pada tahap permulaan dari
serangan jantung mendadak dan dapat terjadi salah penafsiran
dengan pernapasan normal.
Deteksi denyut nadi sendiri sering tidak dapat diandalkan
bahkan ketika dilakukan oleh penolong terlatih, dan mungkin
memerlukan waktu yang lebih lama. Akibatnya, tim penyelamat
harus mulai RJP segera jika korban dewasa tidak responsif dan
tidak bernapas atau tidak bernapas secara normal (yaitu, hanya
terengah-engah). Panduan tentang "look, listen and feel for
breathing" untuk membantu pengenalan akan obstruksi jalan napas
tidak lagi dianjurkan.
Petugas kegawatdaruratan harus danbisa membantu
memberikan penilaian dan arah untuk memulai RJP. Seorang
profesional kesehatan dapat menggabungkan informasi tambahan
untuk membantu pengenalan akan terjadinya suatu henti jantung.

7
b. RJP yang awal dengan menekankan pada kompresi dada
Inisiasi cepat dari kompresi dada yang efektif adalah aspek
fundamental dari resusitasi henti jantung. RJP meningkatkan
probabilitaspasien untuk hidup dengan memberikan sirkulasi
jantung dan otak. Tim penyelamat harus melakukan kompresi dada
untuk semua pasien serangan jantung, tanpa melihat tingkat
keterampilan penyelamat, karakteristik korban, atau sumber daya
yang tersedia.
Penyelamat harus fokus pada pemberian RJP berkualitas tinggi:
 Memberikan penekanan dada dari tingkat yang memadai
(setidaknya
100-120x / menit)
 Memberikan kompresi dada dengan kedalaman yang
memadai
o Dewasa: kedalaman kompresi minimal 2 inci (5 cm)
dan tidak lebih dari 2,4 inci (6 cm)
o Bayi dan anak: kedalaman setidaknya
sepertigaanterior-posterior (AP) diameter dada atau
sekitar 1,5 inci (4 cm) pada bayi dan sekitar 2 inci (5
cm)pada anak-anak.
 Memungkinkan dada untuk mengembang secara penuh
setelah setiap kompresi
 Meminimalkan interupsisaat kompresi
 Menghindari ventilasi berlebihan

8
Jika ada beberapa penyelamat, sebaiknya kompresi
dilakukan setiap 2 menit per orang.
Pembukaan jalan napas (dengan head tilt – chin liftataujaw
thrust) diikuti dengan bantuan napas buatan dapat meningkatkan
oksigenasi dan ventilasi. Namun, manuver ini bisa sulit dilakukan
dan ada interupsi karena kompresi dada, terutama untuk
penyelamat tunggal yang belum terlatih. Dengan demikian,
penyelamat yang tidak terlatih boleh memberikan Hands-OnlyCPR
(kompresi tanpa ventilasi), dan penyelamat yang mampu boleh
membuka jalan napas dan memberikan napas buatan dengan
kompresi dada. Ventilasi harus diberikan jika korban memiliki
risiko tinggi terjadinya asfiksia (misalnya pada bayi, anak, atau
korban tenggelam).
Setelah advanced airway terpasang, petugas
kegawatdaruratan dapat memberikan ventilasi dengan rate normal,
yaitu 1 napas setiap 6 detik (10 napas per menit) dan kompresi
dada dapat dilakukan tanpa interupsi.

c. Defibrilasi yang cepat


Probabilitas korban selamat dapat menurun dengan
meningkatnya interval antara henti jantung dan defibrilasi.
Defibrilasi dini tetap merupakan terapi utama untuk ventrikel
fibrilasi (VF) dan ventrikel takikardia tanpa nadi (pulseless VT).
Salah satu faktor penentu keberhasilan defibrilasi adalah
efektivitas kompresi dada. Defibrilasi dapat memberikan outcome
yang baik jika interupsi (untuk penilaian irama, defibrilasi, atau

9
perawatan lanjutan) pada kompresi dada dikurangi seminimal
mungkin.

d. Advanced life support yang efektif


e. Perawatan post-cardiac arrest yang terintegrasi
Sistem kegawatdaruratan yang secara efektif menerapkan
rangkaian tersebut diatas dapat meningkatkan rata-rata kelangsungan
hidup pada penderita henti jantung sebesar 50%.Akan tetapi, pada
sebagian besar sistem kegawatdaruratan, rata-rata kelangsungan
hidupnya rendah, yang mengindikasikan bahwa terdapat kesempatan
untuk meningkatkan rata-rata kelangsungan hidup dengan mengecek
kembali semua komponen dari chain of survivaldan memperkuat
komponen yang lemah.Komponen chain of survival yang satu
bergantung dengan komponen yang lainnya, dan kesuksesan dari setiap
komponenbergantung dari keefektifan komponen sebelumnya.
Penolong dapat mempunyai berbagai macam pelatihan,
pengalaman, dan kemampuan. Status penderita henti jantung dan
responnya terhadap RJP juga bervariasi. Tantangannya adalah bagaimana
untuk mencapai RJP yang sedini seefektif dan mungkin untuk penderita
henti jantung.
RJP secara tradisional telah menggabungkan kompresi dan napas
buatan dengan tujuan untuk mengoptimalkan sirkulasi dan oksigenasi.
Karakteristik penolong dan penderita dapat mempengaruhi aplikasi yang
optimal dari komponen RJP.
Semua orang dapat menjadi penolong untuk penderita henti
jantung. Kompresi dada merupakan dasar dari RJP. Semua penolong,

10
tanpa melihat telah mendapat pelatihan atau tidak, harus memberikan
kompresi dada pada setiap penderita henti jantung. Karena sangat
penting, kompresi dada harus menjadi tindakan awal pada RJP untuk
setiap penderita pada semua usia. Penolong yang telah terlatih harus
berkoordinasi dalam melakukan kompresi dada bersamaan dengan
ventilasi, sebagai suatu tim.
Sebagian besar henti jantung pada dewasa terjadi secara tiba-tiba,
sebagai akibat dari kelainan jantung, sehingga sirkulasi yang dihasilkan
dari kompresi dada menjadi sangat penting. Berlawanan dengan hal itu,
henti jantung pada anak-anak seringkali karena asfiksia, dimana
membutuhkan baik ventilasi maupun kompresi dada untuk hasil yang
optimal. Dengan demikian napas buatan pada henti jantung menjadi lebih
penting untuk anak-anak daripada untuk dewasa.

2.4. Basic Life Support


Algoritma Adult Basic Life Support yang secara luas dikenal
adalah suatu konsep kerangka untuk semua tingkatan penolong pada
setiap kondisi. Aspek dasar dalam BLS meliputi pengenalan
(recognition) secara cepat henti jantung yang tiba-tiba dan aktivasi
emergency response system(activation), resusitasi jantung paru yang dini
(resuscitation), dan defibrilasi yang cepat (defibrillation) dengan
Automated External Defibrillator (AED). Pengenalan dan respon yang
dini terhadap serangan jantung dan stroke juga termasuk bagian dari
BLS.

11
a. Pengenalan henti jantung secara cepat dan aktivasi emergency
response system
Ketika menjumpai seorang penderita yang mengalami henti
jantung secara tiba-tiba, penolong yang seorang diri harus pertama
kali mengenali bahwa penderita telah mengalami henti jantung,
berdasarkan pada tidak adanya atau berkurangnya respon napas.
Setelah memastikan bahwa lokasi sekitar aman, penolong harus
memeriksa respon penderita dengan cara menepuk pundak penderita
dan memanggil penderita. Setelah itu baik penolong yang terlatih
maupun yang tidak terlatih harus segera mengaktifkan emergency
response system (dengan menghubungi nomor darurat yang tersedia).
Setelah mengaktifkan emergency response system semua penolong
harus segera memulai RJP.

b. Pengecekan nadi
Beberapa studi telah menunjukkan bahwa baik penolong yang
tidak terlatih maupun penolong yang terlatih mengalami kesulitan
dalam mengecek nadi. Penolong yang terlatih dapat juga
membutuhkan waktu yang lama untuk mengecek nadi.
Penolong harus memeriksa nadi dalam waktu kurang dari 10
detik. Dilakukan dengan menilai denyut arteri besar (arteri karotis,
arteri femoralis) dan harus segera melakukan kompresi dada jika tidak
menemukannya. Bagi penolong yang tidak terlatih, pijat jantung
dimulai jika pasien tidak responsif dan napas tidak normal, tanpa
meraba adanya denyut karotis atau tidak.

12
c. Resusitasi Jantung Paru yang dini
1) Kompresi Dada
Kompresi dada terdiri dari pemberian tekanan yang ritmis dan
bertenaga pada setengah bawah sternum. Kompresi ini akan
menciptakan aliran darah dengan cara meningkatkan tekanan
intrathorakal dan secara langsung menekan jantung. Hal ini
menimbulkan aliran darah dan oksigen menuju miokardium dan otak.
Kompresi dada yang efektif penting untuk menyediakan aliran darah
selama RJP. Karena alasan ini semua penderita henti jantung harus
mendapatkan kompresi dada.
Untuk memperoleh kompresi dada yang efektif, tekan secara
kuat dan cepat (push hard and push fast). Kecepatan kompresi harus
mencapai paling sedikit 100-120 x/menit dengan kedalaman kompresi
paling sedikit 2 inchi (5 cm) dan tidak lenih dari 2.4 inchi (6 cm).
Penolong harus memberi kesempatan agar daya rekoil paru dapat
terjadi sempurna setiap kali sehabis kompresi, untuk memberi
kesempatan jantung mengisi kembali secara penuh sebelum kompresi
berikutnya. Penolong seharusnya mencoba untuk mengurangi
frekuensi dan durasi gangguan yang terjadi selama kompresi untuk
memaksimalkan jumlah kompresi yang diberikan tiap menit.
Kompresi dada pada anak dipakai satu tangan, sedangkan untuk
bayi hanya dipakai ujung jari telunjuk dan tengah. Ventrikel bayi dan
anak kecil terletak lebih tinggi dalam rongga dada, jadi tekanan harus
dilakukan di bagian tengah tulang dada. Pada bayi kedalaman
kompresi adalah 1,5 inci.
2) Penyelamatan pernapasan

13
Perubahan yang terjadi pada AHA Guidelines for CPR and ECC
2015 adalah pada rekomendasi untuk memulai kompresi sebelum
ventilasi. Meskipun tidak ada pembuktian pada manusia maupun
hewan bahwa memulai RJP dengan 30 kompresi daripada memulai
dengan dua ventilasi yang menunjukkan hasil yang lebih baik, namun
jelas bahwa aliran darah tergantung dari kompresi dada. Oleh sebab
itu, penundaan dan interupsi dari kompresi dada harus diminimalkan
selama seluruh proses resusitasi.
Selain itu, kompresi dada dapat dimulai sesegera mungkin,
sedangkan memposisikan kepala, mengambil penutup untuk
pertolongan napas dari mulut-ke mulut, dan mengambil alat bag-mask
memakan banyak waktu. Memulai RJP dengan 30 kompresi daripada
dua ventilasi menghasilkan penundaan yang lebih singkat.
Begitu kompresi dada telah dimulai, seorang penolong yang
terlatih harus memberikan napas buatan dengan cara dari mulut ke
mulut atau melalui bag-mask untuk memberikan oksigenasi dan
ventilasi, sebagai berikut:
 Memberikan setiap napas buatan selama satu detik
 Berikan volume tidal yang cukup untuk menghasilkan
pengembangan dada yang terlihat (visible chest rise)
 Melakukan rasio kompresi dan ventilasi sebanyak 30:2
 Ketika jalan napas buatan (misalnya endotracheal tube,
combitu, atau laryngeal mask airway (LMA)) telah dipasang
selama RJP dengan dua orang penyelamat, berikan napas
setiap 6 detik tanpa menyesuaikan napas dengan kompresi.

14
Kompresi dada tidak boleh berhenti untuk memberikan
ventilasi.

d. Defibrilasi dini dengan AED


Setelah mengaktifkan emergency response system, penolong
yang seorang diri harus mencari AED (Automated External
Defibrillator) (bila AED dekat dan mudah didapatkan) dan kemudian
kembali ke penderita untuk memasang dan menggunakan
AED.Penolong lalu memberikan RJP berkualitas tinggi.
Bila terdapat dua atau lebih penolong, seorang penolong harus
segera memberikan kompresi dada sedangkan penolong kedua
mengaktifkan emergency response system dan mengambil AED (atau
defibrillator manual pada kebanyakan rumah sakit).AED harus
digunakan secepat mungkin dan kedua penyelamat harus memberikan
RJP dengan kompresi dada dan ventilasi.
Tahapan defibrilasi:
 Nyalakan AED
 Ikuti petunjuk
 Lanjutkan kompresi dada segera setelah syok (meminimalkan
gangguan)

15
16
2.5 Airway Management
2015AHA Guidelines adalah untuk merekomendasikan inisiasi
kompresi dada sebelum ventilasi (CAB bukan ABC).Perubahan ini
mencerminkan bukti yang berkembang tentang pentingnya penekanan
dada dan fakta bahwa persiapan untuk memberikan jalan napas
membutuhkan waktu lebih.
Pola pikir ABC memperkuat gagasan bahwa kompresi harus
menunggu sampai ventilasi telah dimulai.Pola pikir ini dapat terjadi
bahkan ketika lebih dari 1 penyelamat hadir karena "jalan napas dan
pernapasan sebelum ventilasi" begitu mendarah daging dalam banyak
penyelamat.Penekanan baru pada CAB membantu memperjelas bahwa
manuver jalan napas harus dilakukan dengan cepat dan efisien sehingga
gangguan dalam kompresi dada diminimalkan dan kompresi dada harus
mengambil prioritas dalam resusitasi orang dewasa.

Penyelamat awam
Penyelamat awam terlatih yang merasa yakin bahwa ia dapat
melakukan kedua kompresi dan ventilasi harus membuka jalan napas
menggunakan head tilt – chin lift maneuver. Untuk penyelamat
menyediakan Hands-Only CPR, tidak ada bukti yang cukup untuk
merekomendasikan penggunaan nafas pasif tertentu (seperti hiperekstensi
leher untuk memungkinkan ventilasi pasif).

Petugas kesehatan

17
Sebuah penyedia layanan kesehatan harus menggunakan head tilt –
chin lift maneuver untuk membuka jalan napas dari korban dengan tidak
ada bukti trauma kepala atau leher. Meskipun head tilt – chin lift
maneuverdikembangkan pada relawan dewasa yang tidak sadar dan
lumpuh dan belum diteliti pada korban dengan serangan jantung, bukti
klinis, radiografi, dan serangkaian kasus telah menunjukkan keefektifan.
Antara 0,12 dan 3,7% dari korban dengan trauma tumpul memiliki
cedera tulang belakang, dan risiko cedera tulang belakang meningkat jika
korban mengalami cedera kraniofasial, skor Glasgow Coma Scale<8.
Untuk korban yang diduga mengalami cedera tulang belakang, tim
penyelamat harus memberikan pembatasan gerak pada tulang belakang
secara manualterlebih dahulu (misalnya, menempatkan 1 tangan di kedua
sisi kepala pasien untuk menahan kepala dan tulang belakang pada
tempatnya). Perangkat imobilisasi tulang belakang dapat mengganggu
dalam mempertahankan jalan napas, tapi penggunaan alat tersebut tetap
diperlukan untuk menjaga imobilisasitulang belakang selama
transportasi.
Jika penyedia layanan kesehatan menduga cedera tulang belakang
servikal, jalan napas harus dibuka dengan menggunakan jaw thrust tanpa
ekstensi kepala. Karena mempertahankan jalan napas yang paten dan
menyediakan ventilasi yang memadai adalah prioritas dalam RJP, tetap
lakukan head tilt – chin lift maneuverjika jaw thrust tidak cukup untuk
membuka jalan napas.

18
2.6 Panduan Resusitasi Jantung Paru AHA 2010

a. Menekankan pada RJP yang berkualitas secara terus menerus


Kompresi dada efektif yang dilakukan secara dini merupakan
aspek yang penting dalam resusitasi henti jantung.RJP meningkatkan
kemungkinan kelangsungan hidup penderita dengan memberikan
sirkulasi pada jantung dan paru.Penolong harus melakukan kompresi
dada untuk semua penderita henti jantung, tanpa melihat tingkatan
ketrampilan, karaktrikstik penderita, atau sumber daya yang
tersedia.AHA Guidelines for CPR and ECC 2015 mengutamakan
kebutuhan RJP yang berkualitas tinggi, hal ini mencakup:
 Kecepatan kompresi paling sedikit 100-120 x/menit

19
 Kedalaman kompresi paling sedikit 2 inci (5 cm) dan tidak
lebih dari 2.4 inci (6 cm) pada dewasa dan paling sedikit
sepertiga dari diameter anteroposterior dada pada penderita anak-
anak dan bayi (sekitar 1,5 inci (4cm) pada bayi dan 2 inci (5cm)
pada anak-anak).Batas antara 1,5 hingga 2 inci tidak lagi
digunakan pada dewasa, dan kedalaman mutlak pada bayi dan
anak-anak lebih dalam daripada versi sebelumnya dari AHA
Guidelines for CPR and ECC.
 Memberi kesempatan daya rekoil dada (chest recoil) yang
lengkap setiap kali selesai kompresi.
 Meminimalisasi gangguan pada kompresi dada.
 Menghindari ventilasi yang berlebihan.
Tidak ada perubahan dalam rekomendasi untuk rasio kompresi-
ventilasi yaitu 30:2 untuk dewasa, anak-anak, dan bayi (tidak
termasuk bayi yang baru lahir). AHA Guidelines for CPR and ECC
2010 meneruskan rekomendasi untuk memberikan napas buatan
sekitar 1 detik. Begitu jalan napas telah dibebaskan, kompresi dada
dapat dilakukan secara terus menerus (dengan kecepatan paling
sedikit 100-120 x/menit) dan tidak lagi diselingi dengan ventilasi.
Napas buatan kemudian dapat diberikan sekitar 1 kali napas setiap 6
detik (sekitar 10 napas per detik). Ventilasi yang berlebihan harus
dihindari.

20
b. Perubahan dari A-B-C menjadi C-A-B
Perubahan yang utama pada BLS, urutan dari Airway-Breathing-
Circulation berubah menjadi Compression-Airway-Breathingpada
orang dewasa, anak – anak, dan bayi (tidak termasuk bayi yang baru
lahir). Hal ini untuk menghindari penghambatan pada pemberian
kompresi dada yang cepat dan efektif. Mengamankan jalan napas
sebagai prioritas utama merupakan sesuatu yang memakan waktu dan
mungkin tidak berhasil 100%, terutama oleh penolong yang seorang
diri.
Serangan jantung terjadi sebagian besar pada orang dewasa dan
penyebab paling umum adalah ventricular fibrillation atau pulseless
ventricular tachycardia. Pada penderita tersebut, elemen paling
penting dari Basic Life Support adalah kompresi dada dan defibrilasi
yang segera. Pada rangkaian A-B-C, kompresi dada seringkali
tertunda ketika penolong membuka jalan napas untuk memberikan
napas buatan, mencari alat pembatas (barrier devices), atau
mengumpulkan peralatan ventilasi. Setelah memulai emergency
response system hal berikutnya yang penting yaitu untuk segera
memulai kompresi dada. Hal ini berarti tidak ada lagi "look, listen,
feel", sehingga komponen ini dihilangkan dari panduan.
Dengan merubah urutan menjadi C-A-B kompresi dada akan
dimulai sesegera mungkin dan ventilasi hanya tertunda sebentar (yaitu
hingga siklus pertama dari 30 kompresi dada terpenuhi, atau sekitar
18 detik). Sebagian besar penderita yang mengalami henti jantung
diluar rumah sakit tidak mendapatkan pertolongan RJP oleh orang-
orang disekitarnya. Terdapat banyak alasan untuk hal tersebut, namun

21
salah satu hambatan yang dapat timbul yaitu urutan A-B-C, yang
dimulai dengan prosedur yang paling sulit, yaitu membuka jalan
napas dan memberikan napas buatan. Memulai pertolongan dengan
kompresi dada dapat mendorong lebih banyak penolong untuk
memulai RJP.

c. Penekanan pada kompresi dada


Secara teknis terdapat perubahan dari petunjuk RJP 2005, namun
AHA mengesahkan tehnik ini pada tahun 2008.Untuk penolong yang
belum terlatih diharapkan melakukan RJP pada korban dewasa yang
pingsan didepan mereka. Jika penyelamat tidak terlatih dalam
melakukan RJP, Hands Only CPR bisa dilakukan pada korban dewasa
yang mendadak kolaps dengan penekanan "push hard and fast".Hands
Only CPR (hanya dengan kompresi) lebih mudah untuk dilakukan
oleh penolong yang belum terlatih dan lebih mudah dituntun oleh
penolong yang ahli melalui telepon. Kompresi tanpa ventilasi (Hands
Only CPR) memberikan hasil yang sama jika dibandingkan kompresi
dengan menggunakan ventilasi.

d. Kecepatan kompresi
Sebaiknya dilakukan kira – kira minimal 100-120 kali/ menit.
Jumlah kompresi dada yang dilakukan per menit selama RJP sangat
penting untuk menentukan kembalinya sirkulasi spontan Return of
Spontaneous Circulation(ROSC) dan fungsi neurologis yang baik.
Jumlah yang tepat untuk memberikan kompresi dada per menit
ditetapkan oleh kecepatan kompresi dada dan jumlah serta lamanya

22
gangguan dalam melakukan kompresi (misalnya, untuk membuka
jalan napas, memberikan napas buatan, dan melakukan analisis AED
(Automated External Defibrillator).
Pada sebagian besar penelitian, kompresi yang lebih banyak
dihubungkan dengan tingginya rata-rata kelangsungan hidup, dan
kompresi yang lebih sedikit dihubungkan dengan rata-rata
kelangsungan hidup yang lebih rendah. Kesepakatan mengenai
kompresi dada yang adekuat membutuhkan penekanan tidak hanya
pada kecepatan kompresi yang adekuat, tapi juga pada meminimalkan
gangguan pada komponen penting dari RJP tersebut. Kompresi yang
inadekuat atau gangguan yang sering (atau keduanya) akan
mengurangi jumlah total kompresi yang diberikan per menit.

e. Kedalaman kompresi
Untuk dewasa kedalaman kompresi minimal 2 inci (5 cm) dan
tidak lebih dari 2.4 inci (6 cm) Kompresi yang efektif (menekan
dengan kuat dan cepat) menghasilkan aliran darah dan oksigen dan
memberikan energi pada jantung dan otak. Kompresi menghasilkan
aliran darah terutama dengan meningkatkan tekanan intrathorakal dan
secara langsung menekan jantung.Kompresi menghasilkan aliran
darah, oksigen dan energi yang penting untuk dialirkan ke jantung dan
otak.

f. Identifikasi pernapasan agonal oleh petugas medis


kegawatdaruratan(Dispatcher Identification of Agonal Gasps)

23
Hal ini sangat penting bahwa penolong seharusnya dilatih dengan
baik untuk mengidentifikasi antara pernapasan normal dengan
pernapasan agonal, selama proses RJP. Penolong diajarkan untuk
memulai RJP jika korban tidak bernapas atau sulit bernapas.Penyedia
layanan kesehatan seharusnya diajarkan untuk memulai RJP jika
korban tidak bernapas atau pernapasan yang tidak normal.Pengecekan
pernapasan dilakukan secara cepat sebelum aktivasi emergency
response system.

g. Penekanan krikoid
Penekanan krikoid adalah suatu teknik dimana dilakukan
pemberian tekanan pada kartilago krikoid penderita untuk menekan
trakea kearah posterior dan menekan esophagus ke vertebra
servikal.Penekanan krikoid dapat menghambat inflasi lambung dan
mengurangi resiko regurgitasi dan aspirasi selama ventilasi dengan
bag-mask namun hal ini juga dapat menghambat ventilasi.
Saat ini penggunaan rutin penekanan krikoid tidak lagi
direkomendasikan. Penelitian menunjukkan bahwa penekanan krikoid
dapat menghambat kemajuan airway dan aspirasi dapat terjadi
meskipun dengan aplikasi yang tepat. Ditambah lagi, tindakan ini sulit
dilakukan dengan tepat bahkan oleh penolong yang terlatih.
Penekanan krikoid masih dapat digunakan dalam beberapa keadaan
tertentu (misalnya dalam usaha melihat pita suara selama intubasi
trakea).

h. Aktivasi Emergency Response System

24
Aktivasi Emergency Response System seharusnya dilakukan
setelah penilaian respon penderita dan pernapasan, namun seharusnya
tidak ditunda.Menurut panduan tahun 2005, aktivasi segera dari
sistem kegawatdaruratan dilakukan setelah korban yang tidak
merespon.Jika penyedia pelayanan kesehatan tidak merasakan nadi
dalam 10 detik, RJP harus segera dimulai dan menggunakan
defibrilator elektrik jika tersedia.
i. Tim resusitasi
Langkah – langkah algoritma BLS sejak dahulu dipresentasikan
dalam keadaan di mana hanya ada satu penyelamat. Pada AHA 2015
lebih difokuskan untuk memberikan RJP dalam suatu timagar
resusitasi berjalan dengan baik dan efektif. Misalnya, satu penolong
mengaktifkan respon sistem kegawatdaruratan sedangkan penolong
kedua melakukan kompresi dada, penolong ketiga membantu ventilasi
atau memakaikan bag mask untuk membantu pernapasan dan
penolong keempat mempersiapkan defibrilator

25
Tabel ringkasan komponen BLS pada dewasa, anak-anak dan bayi
(termasuk RJP pada neonatus).

26
2.7 Peningkatan Kualitas Resusitasi
Resusitasi melibatkan spektrum yang luas dari pihak individu dan
kelompok.Pihak individu adalah korban, anggota keluarga, penyelamat,
dan penyedia layanan kesehatan.Pihak kelompok adalah masyarakat,
petugas medis kegawatdaruratan, organisasi keselamatan publik, sistem
EMS, rumah sakit, kelompok sipil, dan pembuat kebijakan di tingkat
lokal, dan negara.
Karena hubungan dari chain of survival saling bergantung satu
sama lain,strategi resusitasi yang efektif membutuhkan pihak individu
dan kelompok untuk bekerja secara terpadu danfungsi sebagai system of
care.Fondasi untuk RJP yang suksesadalah penilaian kembali tantangan
yang ada dari masing – masing komponen chain of survival.Dengan
demikian individu dan kelompok harus bekerjabersama-sama, berbagi
ide dan informasi, untuk mengevaluasi danmeningkatkan sistem
resusitasi. Kepemimpinan dan tanggung jawab adalah komponen penting
di dalam suatu tim.
Peningkatkan perawatanmembutuhkan penilaian kinerja. Hanya
melalui proses pengevaluasian ini kualitas RJP bisa
ditingkatkan.Prosesnya meliputi evaluasi secara keseluruhan dari
tindakan resusitasi dan outcome yang didapatkan, patokan dengan
feedback dari seluruh pihak yang terkait, dan usaha strategis untuk
mengetetahui kekurangan yang ada.

27
2.8 Keputusan Untuk Mengakhiri Upaya Resusitasi
Dalam keadaan darurat, resusitasi dapat diakhiri bila terdapat salah
satu dari berikut ini : telah timbul kembali sirkulasi dan ventilasi spontan
yang efektif; ada orang lain yang mengambil alih tanggung jawab;
penolong terlalu capek sehingga tidak sanggup meneruskan resusitasi;
pasien dinyatakan mati; setelah dimulai resusitasi, ternyata kemudian
diketahui bahwa pasien berada dalam stadium terminal suatu penyakit
yang tidak dapat disembuhkan atau hampir dipastikan bahwa fungsi
serebral tidak akan pulih, yaitu sesudah 30 menit – 1 jam terbukti tidak
ada nadi pada normotermia tanpa RJPO.
Pasien dinyatakan mati bila telah terbukti terjadi kematian batang
otak, fungsi spontan pernapasan dan jantung telah berhenti secara
pasti/irreversible. Petunjuk terjadinya kematian otak adalah pasien tidak
sadar, tidak ada pernapasan spontan dan reflek muntah, serta terdapat
dilatasi pupil yang menetap selama 15-30 menit atau lebih, kecuali pada
pasien hipotermik, dibawah efek barbiturat, atau dalam anestesi umum.

28
Sedangkan mati jantung ditandai oleh tidak adanya aktivitas listrik
jantung (asistol) selama paling sedikit 30 menit walaupun dilakukan
upaya RJPO dan terapi obat yang optimal. Tanda kematian jantung
adalah titik akhir yang lebih baik untuk membuat keputusan mengakhiri
upaya resusitasi.

2.9 Komplikasi
Penyulit yang dapat terjadi akibat RJP adalah fraktur iga atau
sternum karena kompresi dada (jarang) dan gastric insufflation karena
bantuan respirasi buatan menggunakan ventilasi non-invasif (mulut ke
mulut, bag valve mask) yang bisa menyebabkan muntah, dengan
kemungkinan aspirasi atau gangguan jalan napas; insersi ventilasi invasif
bisa mencegah hal ini.

29
BAB 3
KESIMPULAN

Dalam perkembangannya, American Heart Association telah


membuat beberapa perubahan dalam panduan RJP, yang terdapat dalam
American Heart Association (AHA) Guidelines for CPR and ECC 2015.
Panduan RJP yang terbaru ini juga menekankan pada pemberian RJP
yang berkualitas tinggi, dengan kecepatan kompresi paling sedikit 100-
120 kali/menit dan kedalamannya paling sedikit 5cm dan tidak lebih dari
6 cm pada dewasa dan anak-anak, serta 4cm pada bayi. AHA juga
menyarankan pemberian RJP hanya dengan tangan (hands only CPR)
atau RJP tanpa ventilasi dengan maksud untuk memudahkan penolong
yang tidak terlatih dalam menyelamatkan penderita henti jantung.
Dengan adanya panduan RJP tahun 2015 yang lebih ringkas ini
diharapkan dapat memacu penolong awam yang tidak terlatih untuk
menyelamatkan penderita yang mengalami henti jantung, sehingga rata-
rata kelangsungan hidup penderita yang mengalami henti jantung dapat
meningkat.
Setiap sistem, baik di rumah sakit atau di luar rumah sakit, harus
menilai kinerja dan menerapkan strategi untuk meningkatkan perawatan
dalam kasus-kasus serangan jantung.Resusitasi yang berhasil setelah
terjadinya henti jantung membutuhkan gabungan dari tindakan yang
terkoordinasi yang meliputi pengenalan segera henti jantung dan
aktivasiemergency response system, RJP awal dengan menekankan pada
kompresi dada, defibrilasi yang cepat, advanced life support yang efektif,

30
perawatan post-cardiac arrest yang terintegrasi. Dengan melakukan
rangkaian tindakan tersebut secara benar, potensi dariChain of Survival
dapat dicapai secara penuh sehingga dapat meningkatkan kesehatan
masyarakat.

31
DAFTAR PUSTAKA

1. American Heart Association, 2015. Highlights of the 2015

American Heart Association Guidelines for CPR and ECC.


Guidelines CPR and ECC 2015, p. 28.
2. Latief SA, Suryadi KA, Dachlan MR. Ilmu dasar Anestesi in

Petunjuk Praktis Anestesiologi 2nd ed. Jakarta: FKUI; 2009, 3-8.


3. Roberts F, Kestin I. Respiratory Physiology in Update in

Anesthesia 12th ed. 2000.


4. Stock MC. Respiratory Function in Anesthesia in Barash PG,

Cullen BF, Stelting RK, editors. Clinical Anesthesia 5th ed.


Philadelphia: Lippincott William & Wilkins; 2006, p. 791-811.
5. Galvin I, Drummond GB, Nirmalan M. Distribution of blood flow

and ventilation in the lung: gravity is not the only factor. British
Journal of Anaesthesia; 2007, 98: 420-8.
6. Morgan GE, Mikhail MS, Murray MJ. Breathing System in

Clinical Anesthesilogy 4th ed. McGraw-Hill; 2007.

32

Anda mungkin juga menyukai