2007 Ruhendidkk AnalisisPerekatanKayu
2007 Ruhendidkk AnalisisPerekatanKayu
net/publication/341323160
CITATIONS READS
0 22,136
7 authors, including:
All content following this page was uploaded by Tito Sucipto on 12 May 2020.
Surdiding Ruhendi
Desy Natalia Koroh
Firda Aulya Syamani
Hikma Yanti
Nurhaida
Sahriyanti Saad
Tito Sucipto
P FAKULTAS KEHUTANAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
2007
ISBN : 978-979-9337-48-1
Anggota:
Desy Natalia Koroh
Firda Aulya Syamani
Hikma Yanti
Nurhaida
Sahriyanti Saad
Tito Sucipto
FAKULTAS KEHUTANAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
2007
Analisis Perekatan Kayu
ISBN : 978-979-9337-48-1
Puji syukur kami panjatkan kepada Allah SWT, atas rahmat dan hidayah-Nya
sehingga kami dapat menyelesaikan pembuatan buku Analisis Perekatan Kayu.
Buku ini diyakini besar sekali manfaatnya bagi mahasiswa atau praktisi industri
komposit kayu dan industri perekat dalam meningkatkan wawasan dan
keseksamaan memahami pemilihan dan penggunaan perekat. Hal ini juga
didukung oleh kenyataan langkanya buku perekat dan perekatan, khususnya buku
yang berbahasa Indonesia.
Buku ini terdiri dari tiga bab, yaitu I. Perekat dan Komposisinya, II. Fenomena
Dasar Adhesi Kayu dan III. Sifat dan Teknik Perekatan Kayu. Pada Bab I dibahas
mengenai definisi perekat, klasifikasi, komposisi dan formulasi perekat serta
spesifikasi perekat nabati (lignin, tanin dan likuida kayu). Bab II membahas
mengenai teori adhesi mekanikal, teori adhesi spesifik dan analogi rantai perekat
kayu. Bab terakhir membahas mengenai sifat dasar (sifat anatomi, sifat fisika, sifat
kimia dan sifat mekanis kayu) dan sifat pengerjaan kayu (wettability dan gluability)
serta teknik perekatan kayu yang meliputi penyiapan kayu, aplikasi perekat, aplikasi
suhu dan waktu serta aplikasi tekanan.
Kami menyadari bahwa buku ini masih belum lengkap dan belum sempurna.
Penulis mengharapkan saran dan masukan konstruktif demi kesempurnaan buku ini
di kemudian hari. Semoga buku ini bermanfaat.
Tim Penulis
v
DAFTAR ISI
Hlm.
vii
B. Teknik Perekatan Kayu .................................................................................... 84
1. Penyiapan Kayu ........................................................................................... 84
2. Aplikasi Perekat ........................................................................................... 86
3. Aplikasi Suhu dan Waktu ........................................................................... 87
4. Aplikasi Tekanan ......................................................................................... 88
viii
DAFTAR TABEL
ix
DAFTAR GAMBAR
xi
26. Sistem ikatan perekat dengan sirekat (9 rantai) ................................................. 66
27. Daerah permukaan bidang rekat kayu yellow-poplar dan daerah garis
perekat dengan mikroskop elektron ................................................................... 71
28. Grafik tegangan dan regangan pada (a) kayu segar dan (b) kayu kering .... 76
29. Respon kayu terhadap permukaan bidang rekat yang tidak rata .... ............ 77
30. Visualisasi keterbasahan yang baik dan tidak baik .......................................... 80
31. Grafik hubungan antara sudut-kontak cairan dengan tegangan
permukaan dari cairan tersebut .......................................................................... 81
32. Grafik hubungan antara viskositas perekat dengan perubahan
kecepatan pergeseran ............................................................................................ 82
xii
I. PEREKAT DAN KOMPOSISINYA
A. Definisi
Perekat (adhesive) adalah suatu zat atau bahan yang memiliki kemampuan
untuk mengikat dua benda melalui ikatan permukaan (Blomquist et al., 1983; Forest
Product Society, 1999).
Beberapa istilah lain dari perekat yang memiliki kekhususan meliputi glue,
mucilage, paste dan cement (Blomquist, et al., 1983).
1. Glue merupakan perekat yang terbuat dari protein hewani, seperti kulit, kuku,
urat, otot dan tulang yang secara luas digunakan dalam industri pengerjaan kayu.
2. Mucilage adalah perekat yang dipersiapkan dari getah dan air dan diperuntukkan
terutama untuk merekat kertas.
3. Paste merupakan perekat pati (starch) yang dibuat melalui pemanasan campuran
pati dan air dan dipertahankan berbentuk pasta.
4. Cement adalah istilah yang digunakan untuk perekat yang bahan dasarnya karet
dan mengeras melalui pelepasan pelarut.
B. Klasifikasi Perekat
Menurut Blomquist, et al., (1983), berdasarkan unsur kimia utama (major
chemical component), perekat dibagi menjadi dua kategori yaitu :
1
Kualitas pati yang diperoleh dari kentang dipengaruhi oleh kualitas
air yang digunakan dalam pabrik pati, kesuburan tanah tempat tumbuh
kentang, pupuk yang digunakan, iklim dan faktor lainnya yang
berpengaruh terhadap pertumbuhan kentang tersebut. Air yang
digunakan untuk presipitasi harus benar-benar bersih, begitu pula pencuci
patinya.
Kentang diparut dengan mesin parut dan dicuci dengan air. Patinya
akan berupa suspensi dalam air sedangkan seratnya tidak larut dalam air.
Campuran air dan kentang parut ini disaring, sehingga suspensinya akan
lolos saringan sedangkan seratnya tertahan. Suspensi kemudian
diendapkan, lalu endapan dipisahkan dari airnya. Endapannya dicuci
kembali dengan cara penambahan air, selanjutnya disentrifusi untuk
pemisahan endapannya. Hal ini dilakukan beberapa kali agar semua
mineral yang terdapat dalam pati tersebut dapat tercuci.
Cara pembuatan pati dari tapioka sama saja, hanya yang perlu
diperhatikan adalah penggunaan air pada setiap tahap harus benar-benar
bersih, karena tapioka tersebut mengandung tannat. Apabila airnya
mengandung besi maka akan terbentuk besi-tannat yang tercampur dalam
pati, tidak bisa dicuci dan berwarna.
2
Kekurangan pati yaitu terlalu kental sehingga sukar dalam
pelaburannya, penggunaan caustic soda bermanfaat untuk memper-
panjang pot-life dan mengurangi kekentalan, tetapi menimbulkan
pewarnaan (staining), kadar air vinir dan kayu yang akan direkat dengan
kempa panas disyaratkan 3–6%, apabila lebih dari 8% maka pengempaan
tersebut menjadi tidak aman serta assembly period dari beberapa perekat
nabati sangat bervariasi, yaitu 0,5 sampai 20 menit.
2) Dextrins (turunan pati)
3) Vegetable gums (getah-getahan dan tumbuh-tumbuhan)
b. Blood (albumin dan darah utuh/keseluruhan), casein (susu) serta soybean meal
(termasuk kacang tanah dan protein nabati seperti biji-bijian pohon dan biji
durian).
c. Berasal dari material lain, seperti asphalt, shellac (lak), rubber, sodium silicate,
magnesium oxychloride dan bahan anorganik lainnya.
3
Sumber: Pizzi (1983)
4
Sumber: Pizzi (1983)
5
Pizzi (1983) menyatakan bahwa faktor-faktor yang harus diperhatikan
dalam penggunaan perekat polyvinyl asetat meliputi komponen-
komponen perekat (substrate), permukaan bahan yang direkat, viskositas,
masa tunggu, kondisi pemakaian, kondisi penyimpanan dan harga.
Menurut Pizzi (1983), perekat polyvinyl asetat tidak memerlukan
kempa panas. Dalam penggunaan secara luas dapat menghasilkan
keteguhan rekat yang baik, dengan biaya yang relatif rendah. Keuntungan
utama dari polyvinyl asetat melebihi perekat urea formaldehida, karena
kemampuannya menghasilkan ikatan rekat yang cepat pada suhu kamar.
Keuntungan lainnya yaitu dapat menghindari kempa panas yang
memerlukan biaya tinggi. Perekat polyvinyl asetat mempunyai sifat
termoplastik, yang penting untuk menjaga tekanan kempa selama
pembentukan ikatan sampai ikatan rekat mempunyai kekuatan yang
memadai.
Penggunaan khusus polyvinyl asetat dipakai pada pembuatan kayu
lapis dan papan blok, karena perekat ini mampu meningkatkan kekuatan
rekat secara ekstrim dan cepat (Pizzi, 1983).
2) Polystyrene
Polystirena ditemukan pada sekitar tahun 1930. Merupan polimer
tinggi yaitu molekul yang mempunyai massa molekul besar. Terdapat di
alam (benda hidup, hewan/tumbuhan) atau disintesis di laboratorium.
Polystirena merupakan makromolekul, yaitu molekul besar yang dibangun
oleh pengulangan kesatuan kimia yang kecil dan sederhana (monomer).
Polystirena rata-rata berat molekulnya mendekati 300.000. Stirena adalah
bahan kimia pembentuk polimer hidokarbon jenuh dengan rumus kimia
C6H5CH=CH. Dikenal dengan nama vinilbenzene, phenilethilene dan
cinnamene (Cowd, 1991).
Menurut Kirk dan Othmer (1992), stirena adalah cairan tak berwarna
dengan bau aromatik yang secara tak terbatas larut dalam aseton, karbon
tetraklorida, benzena, ether n-heptana dan etanol. Uap stirena mempunyai
bau dengan ambang batas 50-150 ppm. Anonimous (1961) menyatakan
bahwa senyawa stirena ini berupa cairan tak barwarna yang berupa
minyak dan berbau khas aromatik
Sementara itu menurut Small Business Publications (SBP), polystirena
bersifat resin termoplastis yang transparan, tidak berwarna dalam bentuk
larutan atau emulsi yang encer. Larutan polystirena akan mengeras pada
suhu ruangan dan contact pressure biasa cukup untuk perekatan.
Polystirena atau polyfeniletena dapat dipolimerkan dengan panas,
sinar matahari atau katalis. Derajat polimerisasi polimer tergantung pada
kondisi polimerisasi. Polimer yang sangat tinggi dapat dihasilkan dengan
menggunakan suhu di atas sedikit suhu ruang. Polystirena merupakan
thermoplastis yang bening (kecuali jika ditambahkan pewarna/pengisi)
dan dapat dilunakkan pada suhu ±100 0C. Tahan terhadap asam, basa dan
zat pengarat (korosif) lainnya. Tapi mudah larut dalam mempengaruhi
6
kekuatan dan ketahanan polimer terhadap panas. Banyak digunakan
untuk membuat lembaran, penutup dan barang pencetak (Cowd, 1991).
CH2–CH3 CH=CH2
C2H4 H2
AlCl2, 950C Uap air, 6300C
b. Thermosetting resin adalah resin yang mengalami atau telah mengalami reaksi
kimia dari pemanasan, katalis, sinar ultraviolet dan sebagainya serta tidak
kembali ke bentuk semula, seperi urea, melamine, phenol, resorcinol, furfuryl
alcohol, epoxy, polyurethane, unsaturated polyesters (poliester tidak jenuh).
Untuk perekat urea, melamine, phenol dan resorcinol menjadi perekat setelah
direaksikan dengan formaldehida (CH2O).
NH2 H N CH2O
C=O + HCHO C = O
NH2 H N CH2O
Urea formaldehida ini larut dalam air dan proses pengerasannya akan
terbentuk pola ikatan jaringan (cross-link). Urea formaldehida akan cepat
mengeras dengan naiknya temperatur dan/atau turunnya pH. Hubungan
antara gel-time dengan suhu terlihat pada grafik berikut.
7
Gambar 6. Grafik hubungan antara gel-time dengan suhu
Apabila pH turun secara drastis maka pot life-nya sangat pendek, dan
kekuatan rekat menurun dengan pengaruh waktu. Hal ini dapat diatasi
dengan penggunaan garam amonium dari asam kuat, dan yang sering
digunakan adalah amonium chlorida. Dengan adanya dua faktor yang
sangat berperan dalam proses pengerasan urea formaldehida ini, maka
perekat ini dapat dikempa panas maupun dikempa dingin, yaitu dengan
cara mengatur keasaman perekatnya.
Kelebihan urea formaldehida yaitu warnanya putih sehingga tidak
memberikan warna gelap pada waktu penggunaannya, dapat dicampur
perekat melamin formaldehida agar kualitas perekatnya lebih baik,
harganya relatif murah dibandingkan perekat sintetis lainnya serta tahan
terhadap biodeteriorasi dan air dingin. Kekurangan urea formaldehida
yaitu kurang tahan terhadap pengaruh asam dan basa serta penggunaanya
terbatas untuk interior saja.
8
1 (0,8–1) dengan asam kuat sebagai katalisnya, seperti para-toluena, asam
sulfonik, asam oksalat dan asam sulfat.
Resol ini merupakan tahap A (A stage) dalam proses kimianya,
dimana bila resol ini dipanaskan maka akan terbentuk resitol (tahap B).
Pada tahap ini perekat menjadi mengembang dan sifatnya seperti karet,
serta proses percabangan molekul dan ikatan jaringan jalannya terus
berkembang. Dengan panas yang sinambung maka sampailah pada tahap
C atau resite, dimana tahap ini perekat tidak larut dan tidak dapat
ditambahkan perekat tahap lainnya.
Kelebihan phenol formaldehida yaitu tahan terhadap perlakuan air,
tahan terhadap kelembaban dan temperatur tinggi, tahan terhadap bakteri,
jamur, rayap dan mikro-organisme serta tahan terhadap bahan kimia,
seperti minyak, basa dan bahan pengawet kayu. Kelemahan phenol
formaldehida yaitu memberikan warna gelap, kadar air kayu harus lebih
rendah daripada perekat urea-formaldehida atau perekat lainnya serta
garis perekatan yang relatif tebal dan mudah patah.
9
4) Perekat melamin formaldehida
Melamin adalah bahan kimia berupa kristal berwarna putih yang
kelarutannya sangat rendah dalam air, alkohol atau pelarut umum lainnya.
Tapi melamin ini dapat larut dalam formalin yang dihangatkan dan
membentuk polimer yang bersifat resin dengan cara dipanaskan dan
kondisinya agak basa.
Perbandingan antara melamin dan formaldehida adalah 1 : (1,5–3,5),
pH antara 8–9, dan temperaturnya mendekati titik didih larutan tersebut,
kondisi inilah yang digunakan dalam reaksinya. Bila pH dalam reaksinya
di bawah enam maka polimer yang tidak larut akan terbentuk dengan
cepat.
Melamin formaldehida dapat dicampur dengan urea formaldehida
untuk mengurangi biaya penggunaannya. Dengan perbandingan 1 : 1
antara urea formaldehida dan melamin formaldehida, maka dapat
dihasilkan garis rekat yang tahan air dengan kekuatan 90% dibanding
dengan melamin formaldehida murni.
Melamin formaldehida yang proses pengerasannya dengan kempa
panas dapat menghasilkan garis rekat yang relatif tahan terhadap
pengaruh air dingin maupun air panas.
Melamin formaldehida dapat mengeras pada suhu yang jauh lebih
rendah daripada urea formaldehida dengan cara menurunkan pH-nya,
tetapi hasil garis rekatnya kurang memuaskan, dimana kohesi dan
adhesinya rendah. Selain itu, melamin formaldehida ini dapat dikempa
panas dengan suhu 120–130 0C tanpa hardeners dengan waktu yang relatif
singkat dan hasilnya memuaskan. Namun demikian, pada umumnya
kempa panas yang diberikan adalah sekitar 100 0C dengan adanya
penambahan hardeners berupa asam atau garam amonium dari asam kuat.
10
Kelebihan melamin formaldehida adalah cukup tahan terhadapa air
panas, yakni dapat direbus dalam air selama tiga jam, stabilitas terhadap
panasnya tinggi, dapat mengeras pada suhu yang sangat rendah serta
dapat digunakan untuk impregnasi.
Kekurangan melamin formaldehida adalah harganya relatif mahal
dibanding urea formaldehida.
c. Synthetic elastomers adalah perekat yang pada suhu kamar bisa diregangkan
seperti neoprene, nitrile dan polysulfide.
Menurut Marra (1992), ada empat hal yang berkaitan dengan
karakteristik perekat, yaitu :
11
C. Komposisi Perekat
Berdasarkan komposisinya, perekat campuran terbentuk dari dua golongan
komponen, yaitu :
1. Komponen utama (base/binder) adalah bahan yang mempunyai kemampuan
merekat dan merupakan komponen utama dalam perekat dari alam atau dari
bahan resin phenol sintesis (tumbuhan, hewan dan mineral) seperti pati, kulit dan
kalsium silikat. Base memiliki proporsi yang lebih besar/banyak dan menjadi
tulang punggung (back bone) karena bertanggung jawab dalam kekuatan ikatan
antara perekat dengan sirekat. Oleh karena itu base menjadi karakter dari suatu
perekat.
2. Komponen tambahan
Satu atau lebih komponen tambahkan umumnya ditambahkan dalam komposisi
perekat, seperti :
a. Solvent (pelarut)
Adalah cairan yang dibutuhkan untuk melarutkan atau mendispersi base dan
bahan aditif lainnya sehingga diperoleh sistem cairan perekat (liquid system)
yang siap untuk diaplikasikan.
b. Thinner/ diluents (pengencer)
Merupakan cairan yang digunakan bersama-sama solvent untuk menurunkan
kekentalan perekat (low viscosity system) yang sesuai dengan aplikasi. Kadang-
kadang ada perekat yang tidak membutuhkan solvent atau thinner seperti
perekat epoksi.
c. Catalyst (katalisator)
Catalyst akan menciptakan tingkat keasaman dan kebasaan larutan. Bahan ini
ditambahkan dalam jumlah yang relatif kecil untuk meningkatkan laju reaksi
kimia dalam proses pematangan (curing) dan pengerasan (hardening).
1) Curing merupakan perubahan dari base ke molekul yang lebih jenuh atau
menuju kematangan.
2) Hardening process merupakan proses pengerasan dari pelarut yang cair
menjadi memadat/keras dan biasanya disebut dengan solidification.
Catalyst tidak ikut dalam proses reaksi dan bukan bagian dari hasil reaksi.
Catalyst hanya terjadi reaksi antar molekul saja dan menguap lebih awal.
Perekat yang matang sebelum dipakai akibat penambahan catalyst di awal
disebut pre-cured.
d. Hardeners/curing agents
Hardeners disebut juga pengeras yaitu mengubah sistem likuida menjadi solid.
Selain mempercepat reaksi, hardeners merupakan bagian dari hasil reaksi dan
terlibat dalam polimerisasi.
e. Fillers/bahan pengisi
Bahan ini tidak mempunyai sifat rekat, ditambahkan untuk meningkatkan
kekentalan (larutan perekat menjadi lebih pekat), untuk pelaburan yang lebih
memuaskan dan untuk mengurangi masuknya perekat ke dalam kayu
(mengurangi penetrasi).
12
f. Extenders
Bahan ini memiliki kemampuan untuk merekat tetapi bukan base.
Proporsinya lebih banyak dibanding fillers dan terutama berfungsi untuk
mengurangi biaya perekat, contohnya tepung terigu. Dengan lebih banyak
menambahkan extenders maka mutu secara keseluruhan akan mengalami
penurunan sehingga tidak boleh menambahkan extenders di bawah ambang
batas kualitas.
g. Preservatives/pengawet
Bahan kimia yang sengaja ditambahkan ke larutan perekat untuk melindungi
satu atau lebih komponen perekat dari deteriorasi biologis.
h. Fortifiers
Yaitu perekat non-base tetapi memiliki sifat lebih unggul dibandingkan dengan
base. Fungsi dari fortifiers adalah untuk meningkatkan keawetan dan mutu
dari sistem perekat. Penambahan fortifiers tidak terlalu banyak karena akan
meningkatkan biaya perekat.
j. Carriers
Bahan yang digunakan untuk menghasilkan perekat yang berbentuk film
(perekat yang lapisannya sangat tipis).
D. Formulasi Perekat
Perekat kayu merupakan campuran dari beberapa komponen yang secara
kimia aktif bersifat innert dan bervariasi dalam proporsi terhadap perekat dasar
(Forest Product Society, 1999).
Fungsi formulasi perekat adalah :
1. Untuk mengetahui mutu atau kualitas perekat campuran. Beberapa hal yang
bisa dilihat dari kualitas perekat campuran adalah :
a. Kemurnian dari base (main adhesive polimer)
b. Tingkat ekstensi (extension), yaitu kadar/jumlah ekstenders yang diberikan
terhadap resin. Karena makin tinggi tingkat ekstensi maka makin rendah
kualitasnya.
c. Resin solid perekat campuran/gluemix, yaitu perbandingan/rasio dari resin
polimer terhadap total formula. Karena semakin tinggi resin solid perekat
campuran maka makin baik kualitasnya.
2. Untuk membantu proses penyiapan perekat campuran.
13
Beberapa contoh formulasi perekat adalah :
1. Urea formaldehyde (UF)
a. Urea formaldehida untuk pengerjaan kayu
14
e. Urea formaldehida untuk fiber board
b. An acid-setting PF resin
15
Tabel 9. Formulasi perekat acid-setting PF
No. Bahan Bagian Berat
1. Phenol 34,25
2. 44 % formalin water solution 52,25
3. Methanol 4,15
4. 32 % NaOH water solution 2,45
5. 65 % p-TSA water solution 4,05
6. Industrial methylated spitrit 2,60
Sumber : Pizzi (1994) : 143
16
4. Perekat dari hewan dan ikan (animal and fish glues)
b. Perekat ikan
Tabel 15. Formulasi perekat blood albumin (U.S Patent 13, 29, 599)
No. Bahan Bagian Berat
1. Blood albumin, soluble 100
2. Water 180
3. Ammonium hydroxide 4
4. Calcium hydroxide 3
Sumber : Small Business Publication : 62
Tabel 16. Formulasi perekat blood albumin (U.S Patent 14, 59, 541)
No. Bahan Bagian Berat
1. Blood albumin, soluble 100
2. Water 140–200
3. Ammonium hydroxide 5,5
4. Paraformaldehyde 15
Sumber : Small Business Publication : 62
17
6. Perekat kasein (casein glues)
18
b. Formulasi dari protein kedelai (2)
19
Unit fenil propana lignin secara ringkas disajikan pada gambar berikut,
dimana elektron-elektron yang tidak berpasangan pada kedudukan R akan
bereaksi dengan tiga jenis radikal yang berbeda.
g Keterangan:
R, R2 = H,OCH3,R3 + H,CH3,CH2
a β
6 1 = memungkinkan terjadinya ikatan
6 2 dengan unit fenil propana lain
R 5 4
3
R
OR
Dalam komponen kayu, sifat lignin adalah hidrofobik dan tidak larut
dalam air. Pada saat pembuatan pulp, perlakuan kayu dengan ion HSO3- akan
menyebabkan degradasi parsial pada ikatan eternya, menghasilkan grup asam
sulfonik (sulfonic acid–SO3H/lignosulfonat). Dengan proses tersebut, lignin
yang semula bersifat hidrofobik dan tidak larut dalam air, menjadi larut dalam
air (Pizzi, 1994).
Dalam penggunaan SSL (spent sulfite liquor) sebagai perekat, selama
periode curing (pengerasan) terjadi perubahan keadaan dari komponen yang
larut menjadi komponen yang tidak larut.
Secara kimia, proses pengerasan (curing) lignin merupakan proses ikatan
silang (cross linking) antara atom-atom karbon, maupun antara atom karbon
dengan atom oksigen yang terjadi antar molekul lignin yang berbeda maupun
antara molekul lignin dengan suatu makromolekul lain.
Proses ikatan silang lignin dapat terjadi dengan dua cara, yaitu melalui
reaksi kondensasi dan melalui reaksi radikal coupling (Pizzi, 1994).
1) Reaksi kondensasi
Lignosulfunat yang diperlakukan dengan asam mineral kuat pada
temperatur tinggi atau memanaskan pada temperatur di atas 180 0C.
Reaksi kondensasi akan terjadi dengan bertukarnya gugus sulfonat dengan
gugus diphenyl methana. Reaksi kondensasi lignosulfonat disajian pada
gambar berikut.
20
Dalam reaksi ini, peran diphenyl methana sama dengan formasi
perekat phenol dari phenol dan formaldehida. Selanjutnya bila direaksikan
dengan formaldehida akan terbentuk ikatan silang seperti disajikan pada
gambar berikut.
Gambar 11. Reaksi ikatan silang antara lignin dengan oksidatif coupling
21
nyata berlaku bagi lignin alam dalam kayu, sementara lignin teknis
(lignosulfonat dan lindi hitam) harus diberi ikatan silang guna mengubahnya
ke dalam bentuk resin yang tidak larut. Namun reaksi kondensasi dalam
lignin dengan pemanasan atau asam mineral tidak seefektif dalam resin PF
disebabkan oleh tiga hal, yaitu :
a. Hanya terdapat 0,5 posisi orto bebas (orto pada gugus fenolik) per unit C9;
posisi 6 dan 2 kurang reaktif.
b. Kurangnya satu benzil alkohol atau gugus eter per unit C9 dalam lignin,
sementara dalam resin PF mencapai 3 gugus metilol yang dapat
dimasukkan ke dalam satu cincin fenolik.
c. Inti aromatik dalam lignin amat kurang reaktif daripada fenol terhadap
gugus hidroksibenzil alkohol, akibat adanya gugus metoksil atau yang
ekuivalen dengan metoksil daripada gugus hidroksil pada cincin-cincin
aromatik lignin.
Selain itu, menurut Hon (1996) energi aktivasi dari hidroksimetilasi
lignin (15 kkal) lebih rendah daripada reaksi fenolik sederhana (24 kkal).
Dengan alasan-alasan tersebut, maka lignin teknis tidak dapat berikatan silang
secara efektif seperti resin PF. Untuk aplikasinya diperlukan suhu kempa
yang tinggi dengan waktu pemanasan yang lebih lama atau dengan
menggunakan konsentrasi asam yang lebih pekat.
Sulitnya upaya pembuatan lignin sebagai bahan perekat termosetting
telah mendorong pemakaian lignin ini sebatas sebagai campuran bahan
perekat, dengan maksud untuk menghemat pemakaian perekat utama. Hal
ini tercermin dari beberapa hasil penelitian yang antara lain telah
diungkapkan oleh Pizzi (1983).
Meski demikian, tidak tertutup kemungkinan bahwa lignin dapat pula
dikopolimerisasi dengan fenol atau resorsinol dan formaldehida sehingga
membentuk resin lignin fenol formaldehida (lignin phenol formaldehyde, LPF)
atau lignin resorsinol formaldehida (LRF) (Pizzi, 1994).
Dalam penggunaannya, lignin sering ditambahkan ke dalam perekat PF
(LPF/lignin phenol formaldehida) maupun perekat UF (LUF/lignin urea
formaldehida) dalam pembuatan papan partikel, kayu lapis, maupun papan
serat. Beberapa contoh penggunaan lignin sebagai perekat antara lain :
1) Perekat berbahan dasar lignin untuk kayu lapis meranti (Rinawati, 2002)
Isolasi lignin diperoleh dari lindi hitam yang dilarutkan dengan
larutan H2SO4 2 N sampai pH=2, disaring dan dilarutkan lagi dengan
NaOH 0,1 N, kemudian disaring. Larutan tersebut diendapkan dengan
H2SO4 dan disaring lagi. Hasil endapan tersebut dikeringkan pada suhu
50–60 0C dalam oven selama kurang lebih 6 jam.
Cara pembuatan perekat lignin formaldehida mengacu pada Gillespie
(1987). Serbuk lignin ditimbang sesuai dengan yang diperlukan, kemudian
dibuat suspensi dengan air. Suspensi lignin tersebut direaksikan dengan
formaldehida pada nisbah mol L : F adalah 1 : 2. Reaksi dilakukan pada
suhu sekitar 70–80 0C selama 1 jam dengan katalis NaOH.
22
Cara pembuatan perekat lignin phenol formaldehida yaitu lignin,
fenol dan formaldehida 37% (formalin) dicampurkan sedemikian rupa
dengan katalis larutan NaOH 50% pada suhu kamar. Kemudian direfluks
pada suhu 70–800C selama lebih kurang 1 jam. Nisbah bobot lignin : fenol :
formalin yang optimal adalah 1 : 0,5 : 2.
Cara pembuatan perekat lignin resorsinol formaldehida lignin adalah
resorsinol dan formalin 37% dicampurkan sedemikian rupa dengan katalis
larutan NaOH 50% dan aquades secukupnya pada suhu kamar. Campuran
diaduk sampai homogen selama kurang lebih 1 jam, dengan pH akhir
reaksi sekitar 11 dan kekentalan sekitar 0,5 poise. Nisbah bobot lignin :
fenol : formalin yang optimal adalah 1 : 0,9 : 2.
Pada aplikasi perekat, vinir berukuran 35 cm x 35 cm, ketebalan 1,0
mm untuk face dan ketebalan 1,5 mm untuk core dikeringkan dalam oven
sehingga kadar airnya mencapai 10–12%. Pembuatan kayu lapis berupa
tripleks dengan menggunakan 3 jenis perekat yaitu lignin formaldehida,
lignin phenol formaldehida, dan lignin resorsinol formaldehida dari
macam lignin yang berbeda. Jenis perekat yang diuji adalah 4 macam
lignin x 3 macam perekat = 12 macam perekat berbahan dasar lignin.
Setiap kayu lapis menggunakan vinir dari jenis kayu dan susunan
vinir yang sama. Masing-masing kayu lapis dibuat 3 buah untuk
keperluan pengujian. Sehingga kayu lapis meranti yang dibuat adalah 36
lembar kayu lapis yang membutuhkan 45 lembar vinir dengan ketebalan
1,5 mm untuk bagian core dan 90 lembar vinir dengan ketebalan 1,0 mm
untuk bagian face.
Vinir yang sudah kering disiapkan kemudian dilabur perekat dengan
berat labur 170 g/m2 pada kedua permukaan vinir core. Kemudian
dibiarkan beberapa saat untuk open assembly time selama kurang lebih 10
menit. Vinir disusun bersilangan tegak lurus serat dengan urutan face
dengan ketebalan vinir 1 mm kemudian lapisan kedua atau inti/core yaitu
vinir dengan ketebalan 1,5 mm dan lapisan ketiga adalah vinir dengan
ketebalan 1 mm. Langkah berikutnya adalah proses kempa dingin pada
temperatur kamar selama kurang lebih 10 menit, lalu kempa panas pada
temperatur 110 0C selama kurang lebih 3 menit dengan tekanan 15 kg/cm2.
Kayu lapis yang sudah jadi dikondisikankan/conditioning terlebih dahulu
kurang lebih selama 1 minggu.
Berdasarkan hasil penelitian, keteguhan rekat kayu lapis meranti
dengan menggunakan perekat berbahan dasar lignin tidak memenuhi
persyaratan SNI 01-2704-1992 tentang Kayu Lapis Penggunaan Umum.
Emisi formaldehida kayu lapis meranti dengan menggunakan perekat
berbahan dasar lignin adalah :
a) Teknis : TF 1,7531 ppm; TFF 0,7202 ppm dan TRF 0,3240 ppm dengan
rata-rata 0,9324 ppm.
b) Lignosol : LF 1,2288 ppm; LFF 0,5905 ppm dan LRF 0,9758 ppm dengan
rata-rata 0,9317 ppm.
c) Dewatex : DF 1,9371 ppm; DFF 0,0697 ppm dan DRF 0,1518 ppm
dengan rata-rata 0,7195 ppm.
23
d) Vanisfer : VF 3,3183 ppm; VFF 1,0978 ppm dan VRF 0,0697 ppm dengan
rata-rata 1,4953 ppm.
Emisi formaldehida kayu lapis terendah dihasilkan oleh kayu lapis
dengan menggunakan perekat VRF dan DFF yaitu 0,0697 ppm sedangkan
emisi formaldehida tertinggi adalah kayu lapis dengan menggunakan
perekat VF yaitu 3,32 ppm. Kayu lapis dengan menggunakan perekat DFF,
TRF, DRF dan VRF termasuk dalam klasifikasi F-1, sedangkan kayu lapis
meranti dengan menggunakan perekat TF, DF, LF, VF, TFF, LFF, VFF dan
LRF termasuk dalam klasifikasi F-2 berdasarkan SNI 01-6050-1998 tentang
Emisi Formaldehida Pada Panel Kayu.
24
Limbah Kayu Industri
Pemilahan
Direndam
Pemberian Jamur
Diinkubasi
Ekstraksi
Pengeringan
Supernatan Lignin
Gambar 12. Diagram alir proses isolasi lignin hasil perombakan kayu
oleh jamur coklat (brown rot)
25
Larutan asam sulfat 3% dimasukkan ke dalam gelas piala tersebut
sebanyak 1500 ml, kemudian didihkan perlahan-lahan selama 1 jam.
Volume dalam gelas piala dipertahankan dengan cara menambahkan air
seperlunya sampai batas cairan mendidih pertama kali. Selanjutnya
didiamkan semalam agar lignin yang tak larut mengendap. Endapan
lignin disaring, dicuci dengan air panas dan terakhir dengan air dingin
sampai air pencuci tak asam lagi. Lignin ini kemudian dikeringkan dalam
oven pada suhu sekitar 50 0C, lalu dihaluskan dan diayak dengan saringan
100 mesh. Lignin yang diperoleh ini siap digunakan sebagai bahan perekat
kayu lapis.
Isolasi lignin dari sisa larutan pemasak pulp dilakukan dengan
memasukkan 200 ml larutan sisa pemasak ke dalam erlenmeyer dan
ditetesi dengan asam sulfat 2 N, dengan perlahan-lahan (1 ml per menit)
sampai larutan sisa menunjukkan pH 2. Penurunan pH dimaksudkan agar
lignin yang semula larut akan mengendap, karena terjadinya reaksi
kondensasi. Larutan pemasak ini kemudian disentrifus dengan kecepatan
2.500 rpm dengan waktu 25 menit. Endapan lignin yang terbentuk
dilarutkan dengan larutan NaOH 0,1 N dan disaring. Selanjutnya larutan
lignin diendapkan lagi dengan penambahan asam sulfat. Rendemen lignin
dihitung dari selisih bobot antara lignin yang diperoleh dengan jumlah
larutan sisa pemasak yang digunakan. Rendemen dinyatakan dalam
persen bobot (gram) per volume larutan sisa pemasak (ml).
Penetapan kadar lignin ini dilakukan dengan metode spektroskopi.
Sampel yang dianalisis ditimbang 20–25 mg dan dimasukkan ke dalam
tabung reaksi bertutup, kemudian dibubuhi dengan asetil bromida
sebanyak 10 ml sedikit demi sedikit sambil diaduk. Campuran dipanaskan
dalam penangas air pada suhu 70+1 0C selama 30 menit.
26
Larutan Sisa Pemasak
Filtrasi
Pengasaman
Dilarutkan
dengan NaOH
Pengasaman
Pencucian dengan
H2SO4 0,01 N
Endapan Lignin
Pengeringan
Supernatan Lignin
Gambar 13. Diagram alir proses isolasi lignin dari larutan sisa pemasak
pulp
27
Tabung beserta isinya kemudian didinginkan dalam penangas
bersuhu 15 0C, lalu campuran tersebut dipindahkan ke dalam labu ukur
200 ml yang telah dibilas dengan asam asetat. Selanjutnya larutan tersebut
dibubuhi 9 ml NaOH 2M dan 50 ml asam asetat serta 1 ml hidroksilamina
hidroklorida (7,5 M dalam asam asetat), diaduk dan didinginkan,
kemudian diencerkan dengan asam asetat sampai tanda tera. Absorbans
larutan sampel diukur dengan spektrofotometer ultraviolet pada panjang
gelombang 280 nm.
Berdasarkan hasil penelitian, lignin yang digunakan sebagai bahan
baku perekaat kayu lapis adalah lignin yang memiliki ciri seperti Indulin-
AT yakni memiliki kadar lignin murni tinggi dengan kadar metoksil dan
kadar abu rendah, namun memiliki kadar hidroksil fenolik yang cukup
besar. Lignin dengan ciri tersebut di atas dapat dibuat sebagai bahan
perekat dengan formaldehida melalui reaksi hidroksimetilasi pada nisbah
mol lignin : formaldehida = 1 : 1,50 atau 1 : 1,75.
Dari segi kandungan komponen kimianya, lignin isolat lindi hitam
ternyata memiliki ciri yang mirip dengan Indulin-AT, sehingga cukup
memiliki potensi untuk dapat dibuat bahan perekat kayu lapis. Kualitas
terbaik bahan perekat kayu lapis diperoleh dari resin dengan bahan baku
berupa Indulin-AT dan formaldehida dengan nisbah mol = 1 : 1,75.
28
Maing), perekat ini memerlukan masa kempa 15 jam dengan tekanan 1,0
Mpa pada suhu kamar.
Kayu lamina yang menggunakan perekat lignin resorsinol
formaldehida memiliki nilai keteguhan rekat 51,8 kg/cm2 (uji basah) dan
117,5 kg/cm2 (uji kering) serta emisi formaldehida 0,014 ppm. Keteguhan
rekat dan emisi formaldehida kayu lamina tersebut memenuhi persyaratan
mutu yang ditentukan dalam standar Jepang.
2. Perekat Tanin
Perekat tanin formaldehida sebagai perekat kayu telah digunakan sejak
tahun 1970-an sebagai perekat eksterior untuk kayu maupun produk-produk
kayu seperti papan partikel, kayu lapis dan glulam. Perekat tanin
formaldehida dibuat melalui polikondensasi tanin dengan formaldehida,
dimana reaksinya mirip seperti yang terjadi pada pembuatan perekat phenol
formaldehida. Tetapi reaktivitasnya dapat mencapai 10 sampai 50 kali lebih
cepat, karena adanya cincin A yang sangat reaktif bereaksi dengan
formaldehida (Pizzi, 1994).
29
Berdasarkan struktur kimianya, terutama sifat fenol yang dikandungnya,
tanin dapat digolongkan menjadi dua golongan, yaitu tanin yang terhidrolisis
(hydrolizable tannins) dan tanin terkondensasi (condensed tannins). Beberapa
pohon yang mengandung tanin tersebut antara lain chestnut, terminalia dan
jenis pohon phyllantus serta Caesalpina coraria (Pizzi, 1983).
Tanin terhidrolisis terdiri dari campuran fenol sederhana seperti
pyrogallol dan asam ellagat, ester gula yang sebagian besar termasuk glukosa,
asam galat dan digalat. Tanin terhidrolisis dapat digunakan sebagai substitusi
fenol dalam pembuatan resin fenol formaldehida. Tanin terhidrolisis jarang
terdapat pada kayu. Tanin terkondensasi mencakup 90% dari total produksi
dunia untuk tujuan komersil, terutama untuk pembuatan perekat. Terdapat
pada kayu maupun kulit pohon, seperti akasia dan pinus (Pizzi, 1983).
Ekstrak tanin murni dari tumbuhan jumlahnya bervariasi tergantung pada
jenis maupun tempat tumbuh. Dari segi ekonomi dan sifat kimianya, tanin
terkondensasi lebih disukai dalam pembuatan perekat.
OH OH
HO HO HO CO O OH HO
HO OH HO
HO OH
OH CO
HO O OC HO
COOH O
pyrogallol
asam ellagat
asam galat
COOH
m–asam digalat
Gambar 14. Struktur kimia pyrogallol, asam galat, asam ellagat dan m–
asam digalat
HO HO
HO O HO HO O HO
OH OH
HO HO
flavan 3,4-diols flavan 3-ols
30
Sebagai senyawa fenolik alami, tanin bereaksi sama dengan fenol ketika
direaksikan dengan formaldehida, baik dalam suasana asam maupun basa.
Dengan semakin meningkatnya suasana basa, aktivitas phenol sebagai
nukleophile semakin tinggi, khususnya pada pH=3, dimana fenation
terbentuk.
Formaldehida bereaksi dengan tanin untuk menghasilkan polimerisasi
melalui rantai ikatan metylene dengan posisi reaktif molekul-molekul
flavonoid, terutama pada cincin A. Karena itu pusat nukleofilik pada cincin A
pada flavonoid cenderung lebih reaktif dalam mengikat cincin B (Pizzi, 1983).
Dalam pembuatan perekat, reaksi kimia tanin yang terjadi dapat
digolongkan menjadi tiga, yaitu reaksi substitusi, hidrolisis, autokondensasi,
maupun sulfitasi. Sulfitasi merupakan reaksi yang paling lama digunakan.
Reaksi ini menghasilkan tanin dengan viskositas yang rendah. Dengan
penambahan sodium sulfonat grup viskositas dan kelarutan tanin dapat
ditingkatkan, sehingga lebih dapat direaksikan dengan formaldehida
membentuk sulfit tanin formaldehida.
Menurut Pizzi (1983), beberapa hal yang perlu mendapat pertimbangan
dalam pembuatan perekat tanin, antara lain :
a. Pembuatan perekat dari tanin murni memiliki beberapa kelemahan
disebabkan oleh ukuran dan bentuk tanin yang kompleks, karena itu
diperlukan agen tertentu untuk memudahkan terjadinya ikatan metylene
antara tanin dan formaldehida. Selain itu digunakan pula perekat sintetis
sebagai fortifiers :
1) PF atau UF (berfungsi baik sebagai hardeners, fortifiers, maupun
keduanya) dalam medium yang mengandung grup metilol
kopolimerisasi dan curing didasarkan pada kondensasi antara tanin
dengan grup metilol perekat sintesis.
2) RF atau UF (sebagai fortifiers saja) dalam medium yang tidak
mengandung metilol grup, kopolimerisasi terjadi secara simultan antara
formaldehida tersedia pada cincin A flavonoids dengan grup resorsinol
perekat.
b. Tanin umumnya memilki molekul yang besar, maka kecepatannya dalam
membentuk rantai juga tinggi sehingga perekatnya cenderung memiliki
waktu pot life yang singkat. Hal ini dapat diatasi dengan cara penambahan
alkohol dalam campuran perekat, pengaturan pH, menggunakan hexamin
sebagai hardeners serta penambahan bahan tambahan/aditif seperti sodium
sulfat yang dapat bereaksi dengan formaldehida.
c. Di atas konsentrasi 50%, viskositas perekat tanin meningkat dengan cepat.
Hal ini disebabkan karena adanya hidrokoloid gum dengan berat molekul
tinggi, adanya ikatan hidrogen dan elektrostatik antara tanin dengan tanin,
tanin dengan gum, maupun antara gum dengan gum, serta karena adanya
tanin dengan berat molekul tinggi. Viskositas yang terlalu tinggi
mengakibatkan perekat sulit menyebar dan berpenetrasi ke dalam subtrat.
Karena itu perlu dilakukan usaha untuk mengurangi viskositas yang
terlalu tinggi tersebut, antara lain dengan cara menghidrolis hidrokoloid
gum, penambahan agen pemutus ikatan hidrogen, serta melalui sulfitasi
31
dan bisulfitasi untuk mengurangi viskositas dengan membuka rantai
eterosiklik tanin dan meningkatkan mobilitasnya.
d. Kelemahan lainnya adalah perekat tanin cenderung untuk mengental
dengan cepat setelah diaplikasikan ke permukaan kayu. Hal ini
disebabkan oleh lebih tingginya afinitas air ke kayu dibandingkan
afinitasnya ke perekat. Hal tersebut berhubungan dengan :
1) Jumlah fillers di dalam perekat, dimana kekentalan perekat tanin terjadi
sebagai hasil rendahnya kemampuan perekat untuk membasahi kayu,
sehingga timbullah kekurangan garis rekat dan terbatasnya pengaliran.
2) Kehidrofobikan cincin eterosiklik flavonoids.
3) Penggunaan pelarut organik yang bersifat volatil seperti metanol.
Hal ini dapat diatasi dengan penambahan karboksi metil selulosa
(CMC) di dalam campuran perekat yang akan mengikat air sehingga
afinitasnya ke kayu menjadi berkurang, sehingga memungkinkan perekat
mengalir dan tersebar ke permukaan kayu.
e. Selain itu perlu dilakukan penghilangan fraksi non-tanin yang sebagian
besar terdiri dari gula dan hidrokoloid gum dengan berat molekul tinggi,
karena berpengaruh buruk terhadap perekatan sehingga dapat
mengurangi kekuatan dan ketahanan terhadap air.
Beberapa contoh penggunaan tanin sebagai perekat antara lain :
32
Kualitas perekat campuran urea tanin formaldehida adalah :
a. Derajat keasaman (pH)
Keasaman perekat campuran akan cenderung menaikkan nilai
pH perekat menjadi 11-12, sehingga dalam aplikasinya pH
diturunkan dengan penambahan NH4Cl untuk menurunkan pH
perekat, karena pada kondisi asam, kayu akan lebih cepat menjadi
rusak (Ruhendi et al., 2000). Menurut SNI 06-4567-1998, pH perekat
berkisar antara 10,0–13,0.
b. Kekentalan (viskositas)
Penambahan bahan tanin ke dalam perekat urea formaldehida
cenderung menurunkan viskositas perekat campuran. Nilai
viskositasnya pada perekat campuran yang terbesar adalah 12,74
dan nilai terkecil adalah 10,37.
c. Kadar padat
Kadar padat perekat campuran tanin rata-rat 40% lebih rendah
dari kadar padat pereket urea formaldehida sendiri yaitu sebesar
54,84%.
Perakitan kayu lapis atau venir lamina dengan berat labur 150
g/m2, suhu kempa 130 0C serta dengan variasi waktu kempa 4 menit,
8 menit dan 12 menit, kemudian diklimatisasi atau conditioning
selama satu minggu.
Berdasarkan hasil penelitian, emisi formaldehida yang
dilepaskan oleh produk kayu olahan dapat diturunkan dengan cara
memodifikasi perekat yang digunakan. Perekat urea formaldehida
yang diekstensifikasi dengan polifenol nabati yaitu tannin, selain
dapat menurunkan emisi formaldehida yang dilepaskan panel juga
dapat memperbaiki sifat fisis dan mekanis dari panel tersebut.
Dengan penambahan tanin yang semakin meningkat dari 0–15%
dan waktu kempa yang semakin meningkat dari 4–12 menit
menghasilkan produk kayu olahan yang sifat fisis dan mekanisnya
semakin baik serta emisi formaldehidanya semakin rendah.
Keteguhan rekatnya meningkat dari 10,3 kg/cm2 hingga mencapai
35,16 kg/cm2 dan pengembangan tebalnya menurun dari 7,6%
menjadi 4,6% serta emisi formaldehidanya menurun dari 9,5 mg/100
g menjadi 1,9 mg/100 g atau dari 0,18 ppm menjadi <0,001 ppm,
sehingga memenuhi standar JIS A5908-1983 yang mesyaratkan 5
ppm dan IHPA 0,1 ppm.
Tanin kulit kayu akasia mempunyai reaktivitas yang lebih
tinggi dari tanin kulit kayu jeunjing, sehingga emisi formaldehida
yang dilepaskan oleh venir lamina yang direkat dengan perekat
UTF akasia sebesar 1,91 mg/100 g lebih rendah dari venir lamina
yang direkat dengan perekat campuran UTF jeunjing sebesar 35,16
kg/cm2 yang disebabkan tanin akasia mempunyai kadar gula yang
lebih tinggi sebesar 23,754% dari tanin jeunjing sebesar 23,030%.
33
Semakin tinggi ekstensi tanin ke dalam perekat UF, viskositasnya
turun dari 12,74 menjadi 10,37 dan kadar padatannya juga turun dari
54,85% menjadi 42%, sedangkan berat jenis perekat campuran tidak
berpengaruh oleh ekstensi tanin.
Emisi formaldehida vinir lamina semakin menurun dengan
semakin lamanya waktu simpan. Akan tetapi emisinya akan
meningkat dengan semakin meningkatnya temperatur emisi dan
waktu emisi. Vinir lamina yang direkat dengan UTF jeunjing pada
ekstensi 5% dengan waktu kempa 4 menit dilakukan penyimpanan
minimal selama 14 hari sebelum dipergunakan dan dapat dipakai
dalam ruangan yang suhunya maksimal 40 0C.
2) Ekstraksi dan identifikasi tanin kulit kayu beberapa jenis pohon serta
penggunaannya sebagai perekat kayu lapis eksterior (Tan, 1992)
Kulit Acasia decurrens, Rhizophora mucronata dan Pinus merkusii
dipotong kecil-kecil dan dikeringkan hingga kering udara kemudian
digiling dan disaring (60-100 mesh). Serbuk kemudian dicampur
dengan tiga bagian pelarut etanol : air (volume 1 : 1). Ekstraksi
dilakukan pada suhu 28 0C, 38 0C dan 48 0C dengan waktu ekstraksi 2
jam, 3 jam dan 4 jam. Larutan ekstrak disaring dengan menggunakan
kain penyaring, kemudian filtarnya diuapkan dalam oven pada suhu
60–70 0C hingga terbentuk kristal tanin. Dari proses ekstraksi untuk
memperoleh ekstraksi yang optimum adalah untuk Acasia decurens pada
suhu 48 0C selama 2 jam ekstraksi, Rhizophora mucronata dengan suhu 28
0C selama 4 jam ekstraksi dan Pinus merkusii dengan suhu 48 0C selama
2 jam ekstraksi.
Formulasi perekat kayu lapis yang digunakan adalah ekstrak tanin
sebanyak 60 bagian berat, air sebanyak 120 bagian, fillers sebanyak 5
bagian, phenol formaldehida sebanyak 40 bagian dan para-
formaldehida sebanyak 5 bagian.
Kualitas perekat campuran yang diukur adalah :
a. Berat jenis
Berat jenis Acasia decurens minimum 1,41 (suhu 28 0C, 3 jam),
maksimum 1,71 (suhu 48 0C, 2 jam) dan rata-rata adalah 1,46. Berat
jenis Rhizophora mucronata minimum 1,38 (suhu 48 0C, 2–3 jam),
maksimum 1,43 (suhu 28 0C, 4 jam) dan rata-rata 1,40. Berat jenis
Pinus merkusii minimum 1,37 (suhu 48 0C, 3 jam), maksimum 1,41
(suhu 38–48 0C, 2 jam) dan rata-rata 1,39.
34
pH Pinus merkusii minimum 6,82 (suhu 28 0C, 3 jam), maksimum 7,38
(suhu 38 0C, 2 jam) dan rata-rata 7,02.
d. Viskositas
Viskositas Acasia decurens minimum 5,93 poise (suhu 48 0C, 3
jam), maksimum 6,43 poise (suhu 28 0C, 4 jam), dan rata-rata adalah
6,16 poise. Viskositas Rhizophora mucronata minimum 6,00 poise
(suhu 48 0C, 3 jam), maksimum 6,43 poise (suhu 38 0C, 2 jam) dan
rata-rata 6,25 poise. Viskositas Pinus merkusii minimum 5,90 poise
(suhu 48 0C, 3 jam), maksimum 6,13 poise (suhu 38–48 0C, 2–4 jam)
dan rata-rata 6,03 poise.
Perakitan kayu lapis dengan berat labur 200 g/m2 dikempa
dingin dengan tekanan 10 kg/cm2 selama 15 menit, dikempa panas
dengan suhu 140 0C dan tekanan 15 kg/cm2 selama 6 menit serta
dikondisikan selama satu minggu.
Berdasarkan hasil penelitian didapatkan bahwa kadar ekstrak
maksimum untuk Acasia decurens sebesar 52,11%, Rhizophora
mucronata sebesar 43,55% dan Pinus merkusii 5,69%. Kadar tanin
maksimum Acasia decurens sebesar 34,63%, Rhizophora mucronata
sebesar 14,78% dan Pinus merkusii 4,78%. Kadar terkondensasi
maksimum Acasia decurens sebesar 73,60%, Rhizophora mucronata
sebesar 72,77% dan Pinus merkusii 49,80%. Kelarutan tanin dalam air
maksimum Acasia decurens sebesar 0,9497 g/g, Rhizophora mucronata
sebesar 0,9174 g/g dan Pinus merkusii sebesar 0,7762 g/g.
Acasia decurens dan Rhizophora mucronata diduga mengandung
katekin dengan waktu retensi 3,992 menit dan 4,007 menit,
sedangkan Pinus merkusii dengan waktu retensi 3,888 menit tidak
mengandung katekin (4,025 menit). Kayu lapis yang dihasilkan
dengan menggunakan perekat tanin ini memiliki kadar air sebesar
9,25–13,51%, kerapatan sebesar 0,61–0,72 g/cm3, keteguhan rekat
tipe I sebesar 7,07–13,73 kg/cm2, keteguhan rekat rekat tipe khusus
sebesar 4,70–10,77 kg/cm2 dan delaminasi sebesar 4,38–17,93 mm.
Kayu lapis yang memenuhi standar dihasilkan dengan
menggunakan perekat tanin dengan berat jenis sebesar 1,37-1,71, pH
6–7, kadar non volatil sebesar 34,92–45,99% dan viskositas sebesar
5,90–6,43 poise.
35
3. Perekat Likuida Kayu
Maksud dari istilah liquefaction of lignocellulosic adalah suatu prosedur
untuk memproduksi minyak dari biomass dalam kondisi konversi tertentu
(Appel et.al., 1975; Vanasse et al., 1988 dalam Yoshioka et al., 1992). Yoshioka et
al. (1992), menyatakan bahwa likuifikasi lignoselulosa juga dapat dilakukan
pada suhu 240-270 0C tanpa katalis, 80-150 0C dengan katalis asam, bahkan
pada suhu ruang (untuk kayu termodifikasi kimia).
Likuifikasi, kayu termodifikasi kimia, dapat dilakukan dengan tiga
metode, yaitu :
36
b. Perlakuan pada suhu 150 0C, tekanan atmosfir, dengan katalis
phenolsulfonic acid dan sulfuric acid (Pu et al., 1991 dalam Yoshioka et
al., 1992).
Likuifikasi kayu termodifikasi kimia menggunakan pelarut phenols,
bisphenols dan polihydric alcohols, serta dikombinasikan dengan
penggunaan cross-linking agent atau hardeners, menghasilkan resin (phenol-
formaldehyde resin, polyurethane resin, epoxy resin, dan lain-lain) dengan
daya rekat yang baik (Shiraishi, 1986; Shiraishi et al., 1986; 1987b dan 1988;
Kishi et al., 1986 dalam Yoshioka et al., 1992).
Likuifikasi kayu tanpa perlakuan akan menghasilkan resol-type
phenol resin. Penelitian yang telah dilakukan adalah :
a. Kayu dilarutkan dalam phenol pada suhu 150 0C dengan katalis
phenolsulfonic acid (Pu et al., 1991 dalam Yoshioka et al., 1992).
b. Lima bagian chips kayu dilarutkan dalam dua bagian phenol pada suhu
250 0C tanpa katalis (Pu et.al., 1992 dalam Yoshioka et al., 1992).
Resol-type phenol resin yang dihasilkan dapat memberikan hasil
perekatan tahan air yang memuaskan bila dilakukan pengempaan panas
pada suhu 120 0C dan kecepatan 0,5 menit per 1 mm kayu lapis (Yoshioka
et al., 1992).
Metode pembuatan perekat dari biomassa mengandung lignin (Russel
and Riemath, 1985 US Patent).
a. Mempersiapkan liquefaction oil dari material tanaman yang
mengandung lignin, dengan memanaskannya pada suhu 290–350 0C,
selama 0,25–1 jam pada tekanan antara 1500–3000 psi, dengan
keberadaan air sebanyak 60–80 persen berat dan katalis alkali.
b. Mereaksikan liquefaction oil dengan dietil eter, sehingga diperoleh fraksi
terlarut dan tidak terlarut pertama.
c. Fraksi terlarut pertama kemudian direaksikan dengan basa lemah
(aqueous NaHCO3) sehingga diperoleh fraksi terlarut dan tidak terlarut
kedua.
d. Fraksi tidak terlarut kedua direaksikan dengan basa kuat (aqueous
NaOH) sehingga menghasilkan fraksi terlarut dan tidak terlarut ketiga.
e. Fraksi terlarut ketiga direaksikan dengan asam (HCl) sehingga
menghasilkan fraksi terlarut dan tidak terlarut keempat.
f. Fraksi tidak terlarut keempat direaksikan dengan dietil eter sehingga
menghasilkan fraksi terlarut dan tidak terlarut kelima.
g. Fraksi terlarut kelima ditambahkan air sehingga menghasilkan fraksi
terlarut yang disebut dengan fraksi fenolik dari liquefaction oil.
h. Campurkan (dengan perbandingan berat), 100 bagian fraksi fenolik,
1.330 bagian formaldehida 37%, 660 bagian air dan 460 bagian NaOH.
i. Panaskan campuran tersebut pada suhu 70–80 0C selama 6 jam sehingga
diperoleh resin fenol formaldehida.
j. Campurkan (dengan perbandingan berat), 100 bagian resin fenol
formaldehida, 3 bagian tepung kulit kayu, 6 bagian NaOH 50% dan 3
bagian aqueous Na2CO3. Panaskan campuran tersebut pada suhu 60 0C
selama 0,5 jam sehingga diperoleh perekat.
37
Beberapa penerapan likuida untuk perekat, antara lain:
38
2) Perekat likuida core kenaf dengan fortifikasi poliuretan (Wulansari,
2006)
Karakteristik perekat likuida core kenaf :
a. Kenampakan
Warna perekat likuida kenaf adalah merah kehitaman yang
disebabkan oleh faktor suhu dan waktu proses pembuatannya.
Menurut Pu et al. (1991) dalam Wulansari (2006), perlakuan panas dan
kimia pada lignin kayu dan bahan kimia lain yang merupakan hasil
konversi komponen selulosa pada kayu dapat menyebabkan perekat
likuida berwarna hitam. Likuida kenaf terkesan kasar dengan adanya
butiran atau serat kecil. Adanya butiran tersebut disebabkan proses
penggilingan dan penyaringan serbuk kenaf berlangsung tidak
sempurna.
b. Derajat keasaman (pH)
Keasaman likuida kenaf adalah sebesar 8,40 yang berarti likuida
kenaf bersifat basa. Sifat ini disebabkan adanya penambahan NaOH
40% ke dalam perekat setelah pemasakan dan pendinginan sesaat.
Sifat yang demikian diperlukan untuk memperpanjang waktu simpan
perekat likuida kenaf, karena pH tinggi akan memperlambat proses
curing. Menurut Haygreen dan Bowyer (1989), kayu dengan pH tinggi
memerlukan katalisator untuk membantu proses pengerasan perekat
(curing) yang diaplikasikan. Selain itu, kesesuaian antara perekat
likuida kenaf dengan kayu akan lebih baik. Karena pada kondisi asam,
kayu akan lebih cepat menjadi rusak. Menurut SNI 06-4567-1998, pH
perekat berkisar antara 10,0–13,0.
c. Kekentalan (viskositas)
Kekentalan perekat likuida kenaf adalah sebesar 250 cps. Sifat
kekentalan perekat merupakan sifat yang penting dalam perekatan.
Kekentalan menunjukkan kemampuan perekat untuk mengalir pada
permukaan yang direkat. Semakin tinggi kekentalan, maka
kemampuan untuk membasahi dan berpenetrasi ke dalam void
permukaan direkat akan semakin sulit. Namun jika kekentalan perekat
terlalu rendah, maka akan terjadi penetrasi perekat ke dalam
permukaan void sirekat yang berlebihan dan menyebabkan miskinnya
garis rekat yang terbentuk. Menurut SNI 06-4567–1998, pH perekat
berkisar antara 130–300 cps.
d. Berat jenis
Berat jenis perekat berkaitan dengan komponen yang terkandung
di dalam perekat. Nilai berat jenis perekat likuida kenaf adalah sebesar
1,088. Nilai ini lebih rendah dari berat jenis perekat fenol formaldehid
menurut SNI 06-4567-1998 yaitu sebesar 1,165–1,200. Berat jenis likuida
kenaf akan bertambah dengan peningkatan rasio penggunaan formalin
dan perekat.
39
e. Kadar padatan
Kadar padatan menunjukkan jumlah molekul perekat yang akan
berikatan dengan molekul sirekat. Semakin tinggi kadar padatan pada
batas tertentu, maka keteguhan rekat papan yang dihasilkan semakin
meningkat karena semakin banyak molekul penyusun perekat yang
bereaksi dengan kayu pada saat perekatan (Vick, 1999). Bahan baku
perekat likuida mempengaruhi kadar padatan likuida yang dihasilkan.
Kenaf merupakan kayu berkerapatan rendah yang akan menghasilkan
likuida dengan kadar padatan yang rendah.
Kadar padatan perekat likuida kenaf adalah sebesar 31,21%. Nilai
ini lebih rendah dari kadar padatan fenol formaldehid menurut SNI 06-
4567-1998 yaitu sebesar 40–45%.
f. Waktu gelatinasi
Waktu gelatinasi menunjukkan waktu yang dibutuhkan perekat
untuk mengental atau mejadi gel, sehingga tidak dapat ditambahkan
lagi dengan bahan lain dan siap untuk direkatkan. Waktu gelatinasi
perekat likuida kenaf adalah lebih dari 60 menit. Menurut SNI 06-4567-
1998, waktu gelatinasi perekat adalah sama atau lebih dari 30 menit.
Dengan semakin lamanya waktu gelatinasi, maka umur simpan perekat
likuida kenaf akan semakin lama.
Diagram alir proses pembuatan dan formulasi perekat likuida core
kenaf secara lengkap dapat dilihat pada gambar berikut.
40
Partikel Kenaf
Perendaman 8 jam
Pengeringan
(kering udara)
Penggilingan
(20-60 mesh)
Pemanasan
suhu 102±3°C, 24 jam
Pendinginan
dalam desikator
Pemasakan
suhu 100°C, 30 menit
Gambar 16. Diagram alir pembuatan dan formulasi perekat likuida core kenaf
41
Perekat likuida kenaf yang difortifikasi dengan poliuretan, digunakan
dalam pembuatan papan partikel kenaf dengan kadar perekat 10%, 15%
dan 20%. Sebelum digunakan dalam pembuatan papan partikel, perekat
likuida kenaf yang mempunyai pH 8 diencerkan dengan air yang
mempunyai pH netral dengan perbandingan perekat dan air 1 : 1. Sesaat
sebelum digunakan, fortifiers poliuretan yang telah diencerkan dengan
aseton (perbandingan poliuretan dengan aseton 1 : 0,5) dicampurkan ke
dalam perekat likuida kenaf sebesar 15%, 30% dan 45% terhadap resin solid
content perekat, kemudian diaduk sampai homogen.
Pengempaan papan partikel core kenaf diawali dengan pengempaan
panas pada suhu 160 0C selama 5 menit tanpa tekanan. Kemudian dilanjut-
kan dengan tekanan 20 kg/cm2 selama 15 menit dengan suhu 160 0C.
Berdasarkan hasil analisis sidik ragam dalam selang kepercayaan
95%, kadar perekat dan kadar penambahan fortifiers tidak berpengaruh
nyata terhadap nilai kerapatan papan partikel. Nilai rata-rata kerapatan
terendah terdapat pada papan partikel dengan kadar perekat 20% dan
kadar penambahan fortifiers 15% yaitu sebesar 0,642 g/cm3. Sedangkan
nilai rata-rata kerapatan tertinggi terdapat pada papan partikel dengan
kadar perekat 15% dan kadar penambahan fortifiers 15%, yaitu sebesar
0,686 g/cm3. Nilai kerapatan papan partikel tersebut telah memenuhi
standar JIS A5908-2003, yang menyebutkan bahwa kerapatan papan
partikel berkisar antara 0,4–0,9 g/cm3.
Kerapatan papan partikel bervariasi yang disebabkan penyebaran
partikel pada saat pengempaan. Menurut Setiawan (2004) dalam Wulansari
(2006), tidak meratanya penyebaran partikel pada tahap pembuatan
lembaran, dapat menyebabkan nilai kerapatan papan yang bervariasi.
Berdasarkan analisis sidik ragam dalam selang kepercayaan 95%,
kadar perekat dan kadar penambahan fortifiers tidak berpengaruh nyata
terhadap nilai kadar air papan partikel. Nilai rata-rata kadar air terendah
terdapat pada papan partikel dengan kadar perekat 20% dan kadar
penambahan fortifiers 45% yaitu sebesar 6,594%. Sedangkan nilai rata-rata
kadar air tertinggi terdapat pada papan partikel dengan kadar perekat 10%
dan kadar penambahan fortifiers 45%, yaitu sebesar 7,396 %. Nilai kadar air
papan partikel tersebut telah memenuhi standar JIS A5908-2003, yang
menyebutkan bahwa kadar air papan partikel berkisar antara 5–13%.
Kadar air papan partikel dipengaruhi oleh kerapatannya. Papan
dengan kerapatan tinggi memiliki ikatan antara molekul partikel dengan
molekul perekat yang terbentuk dengan kuat, sehingga molekul air sulit
mengisi rongga yang terdapat dalam papan partikel, karena telah terisi
dengan molekul perekat. Selain itu pemanasan selama 5 menit yang
dilakukan sebelum pengempaan menyebabkan penguapan air.
Berdasarkan analisis sidik ragam dalam selang kepercayaan 99%,
kadar perekat berpengaruh nyata terhadap nilai daya serap air papan
partikel. Nilai rata-rata daya serap air tertinggi terdapat pada papan
partikel dengan kadar perekat 10% dan kadar penambahan fortifiers 15%
yaitu sebesar 124,058%. Semakin banyak kadar perekat yang digunakan,
maka semakin rendah daya serap air papan, karena kontak antar partikel
42
semakin rapat sehingga kemampuan papan untuk menyerap air semakin
berkurang.
Kadar penambahan fortifikasi tidak mempengaruhi daya serap air
papan. Daya serap air papan partikel lebih dipengaruhi oleh jenis partikel
yang digunakan. Kenaf mempunyai kadar lignoselulosa yang tinggi, yaitu
hemiselulosa sebesar 74,45% dan lignin sebesar 15,37%. Daerah
hemiselulosa dan daerah lignin merupakan daerah yang tidak teratur
(amorf) sehingga lebih mudah menyerap air.
Nilai rata-rata pengembangan tebal terendah terdapat pada papan
partikel dengan kadar perekat 20% dan kadar penambahan fortifiers 45%,
yaitu sebesar 24,531%. Sedangkan nilai rata-rata pengembangan tebal
tertinggi terdapat pada papan partikel dengan kadar perekat 10% dan
kadar penambahan fortifiers 15%, yaitu sebesar 56,056%. Nilai
pengembangan tebal papan partikel tersebut belum memenuhi standar JIS
A5908-2003, yang mensyaratkan nilai pengembangan tebal papan partikel
maksimum sebesar 12%.
Semakin banyak kadar perekat yang digunakan, maka semakin
rendah pengembangan tebal papan. Semakin banyak perekat yang
digunakan, kontak antar partikel semakin rapat dan kemampuan papan
untuk menyerap air semakin berkurang, sehingga pengembangan tebal
semakin kecil.
Pengaruh kadar penambahan fortifikasi poliuretan pada likuida kenaf
terhadap pengembangan tebal papan partikel tidak berbeda nyata.
Pengembangan tebal papan partikel lebih dipengaruhi oleh kerapatan
partikel. Kenaf mempunyai kerapatan rendah, yang akan mengalami
pengempaan yang lebih besar pada saat pemberian beban. Ketika papan
partikel kenaf direndam dalam air, terjadi pembebasan tekanan yang besar
sehingga menyebabkan nilai pengembangan tebal papan menjadi besar.
43
3) Perekat likuida bambu untuk papan partikel bambu (Prasetyo, 2006)
Karakteristik perekat likuida bambu :
a. Kenampakan
Warna perekat likuida bambu adalah coklat kehitaman yang
disebabkan oleh suhu dan waktu proses pembuatannya. Selain itu
penggunaan bahan kimia dalam proses pembuatan likuida, seperti fenol
teknis, H2SO4 98%, formalin, NaOH 40% dan melamin formaldehida
juga mempengaruhi warna likuida bambu yang dihasilkan.
Likuida bambu terkesan kasar dengan adanya butiran atau serat
kecil. Adanya butiran tersebut disebabkan oleh proses konversi serat
bambu yang banyak mengandung silika berlangsung tidak sempurna.
c. Kekentalan (viskositas)
Kekentalan perekat likuida bambu adalah sebesar 150 cps. Sifat
kekentalan perekat merupakan sifat yang penting dalam perekatan.
Kekentalan menunjukkan kemampuan perekat untuk mengalir pada
permukaan yang direkat. Semakin tinggi kekentalan, maka
kemampuan untuk membasahi dan berpenetrasi ke dalam void
permukaan yang direkat akan semakin sulit. Namun jika kekentalan
perekat terlalu rendah, maka akan terjadi penetrasi perekat ke dalam
permukaan void sirekat yang berlebihan dan menyebabkan miskinnya
garis rekat. Menurut SNI 06-4567-1998, pH perekat berkisar antara 130–
300 cps.
d. Berat jenis
Berat jenis perekat berkaitan dengan komponen yang terkandung
di dalam perekat. Nilai berat jenis perekat likuida bambu adalah
sebesar 1,109. Nilai ini lebih rendah dari berat jenis perekat phenol
formaldehida yang menurut SNI 06-4567-1998 sebesar 1,165–1,200.
e. Kadar padatan
Kadar padatan menunjukkan jumlah molekul perekat yang akan
berikatan dengan molekul sirekat. Kadar padatan perekat likuida
bambu adalah sebesar 34,41%. Nilai ini lebih rendah dari kadar padatan
phenol formaldehida yang menurut SNI 06-4567-1998 sebesar 40–45%.
44
f. Waktu gelatinasi
Waktu gelatinasi menunjukkan waktu yang dibutuhkan perekat
untuk mengental atau mejadi gel sehingga tidak dapat ditambahkan
lagi dengan bahan lain dan siap untuk direkatkan. Waktu gelatinasi
perekat likuida bambu adalah lebih dari 60 menit. Menurut SNI 06-
4567-1998, waktu gelatinasi perekat adalah sama atau lebih dari 30
menit. Dengan semakin lamanya waktu gelatinasi, maka umur
simpan perekat likuida bambu akan semakin lama.
Diagram alir proses pembuatan dan formulasi perekat likuida
bambu secara lengkap dapat dilihat pada gambar berikut.
Bamb
u
Pencacahan bambu
Pengeringan
(KA 5%)
Penggilingan
(20-60 mesh)
Formulasi
Serbuk : Fenol = 1 : 5 b/b
H2SO4 98% (5% berat fenol)
Pemanasan
suhu 100°C, 30 menit
Penambahan Penambahan
Pendinginan
NaOH 40%, hingga pH 8 Formalin
(F/P = 0,5)
Perekat Likuida
Bambu
Gambar 17. Diagram alir pembuatan dan formulasi perekat likuida bambu
45
Perekat likuida bambu yang diperkaya (fortifikasi) dengan melamin
formaldehida sebesar 15%, 30% dan 45%, digunakan dalam pembuatan
papan partikel bambu tali dengan kadar perekat 10%, 15% dan 20%.
Papan partikel dibuat dengan target kerapatan 0,7 g/cm3. Pengempaan
dilakukan pada suhu 160 0C selama 15 menit dengan tekanan 26 kg/cm2.
Berdasarkan hasil penelitian, nilai kerapatan cenderung naik seiring
dengan meningkatnya kadar perekat. Kerapatan rata-rata papan dengan
kadar perekat 10% sebesar 0,67 g/cm3; pada kadar perekat 15% sebesar 70
g/cm3 dan pada kadar perekat 20% sebesar 0,72 g/cm3. Nilai tersebut telah
memenuhi standar JIS A5908-2003, yang menyebutkan bahwa kerapatan
papan partikel berkisar antara 0,4–0,9 g/cm3.
Kadar air rata-rata papan partikel pada kadar perekat 10% sebesar
7,66%, pada kadar perekat 15% sebesar 7,40% dan pada kadar perekat 20%
sebesar 6,97%. Nilai tersebut telah memenuhi standar JIS A5908-2003, yang
menyebutkan kadar air papan partikel berkisar antara 5–13 %.
Daya serap air rata-rata papan pada kadar perekat 10% sebesar
53,82%, pada kadar perekat 15% sebesar 50,48% dan pada kadar perekat
20% sebesar 52,30%. Daya serap air papan dengan fortifikasi 15%
cenderung naik, sedangkan daya serap air dengan fortifikasi 30% dan 45%
cenderung menurun. Hal ini disebabkan oleh distribusi perekat likuida
bambu yang menutupi pori-pori papan tidak merata. Selain itu, kerapatan
papan yang tidak merata menyebabkan adanya rongga sehingga air dapat
masuk ke dalam papan partikel. Daya serap air papan partikel juga
dipengaruhi oleh jenis partikel yang digunakan. Partikel yang
mengandung unsur dengan gugus OH yang banyak, akan lebih mudah
menyerap air (berikatan dengan molekul air).
Pengembangan tebal rata-rata pada kadar perekat 10% sebesar
31,27%, pada kadar perekat 15% sebesar 40,46% dan pada kadar perekat
20% sebesar 42,45%. Nilai tersebut tidak memenuhi standar JIS A5908-
2003, yang mensyaratkan pengembangan tebal papan partikel maksimum
sebesar 12%. Pengembangan tebal papan dengan fortifikasi 15% dan 30%
cenderung naik, sedangkan dengan fortifikasi 45% cenderung turun.
Pengembangan tebal sangat berhubungan dengan daya serap air. Semakin
kecil nilai pengembangan tebal maka kualitas papan akan semakin baik,
karena mempunyai hubungan linier dengan daya serap air.
Nilai MOE (modulus of elasticity) cenderung meningkat seiring dengan
meningkatnya kadar perekat. MOE rata-rata pada kadar perekat 10%
sebesar 1411 N/mm2, pada kadar perekat 15% sebesar 1495,67 N/mm2 dan
pada kadar perekat 20% sebesar 1593,25 N/mm2. Nilai tersebut belum
memenuhi standar JIS A5908-2003, yang menyebutkan bahwa nilai MOE
papan partikel minimal sebesar 2000 N/mm2. Nilai MOE papan partikel
dengan fortifikasi 15% cenderung menurun, sedangkan pada fortifikasi
30% dan 45% cenderung naik. Hal ini diduga disebabkan oleh kurang
sempurnanya pencampuran perekat dengan partikel dalam pembuatan
papan partikel. Dengan demikian sifat keteguhan lentur hanya terdapat
pada beberapa bagian papan partikel.
46
Nilai MOR (modulus of rupture) rata-rata papan pada kadar perekat
10% sebesar 10,43 N/mm2, pada kadar perekat 15% sebesar 10,23 N/mm2
dan pada kadar perekat 20% sebesar 9,47 N/mm2. Nilai tersebut telah
memenuhi standar JIS A5908-2003, yaitu nilai MOR papan partikel minimal
sebesar 8 N/mm2. Nilai MOR papan partikel dengan fortifikasi 15% dan
45% cenderung menurun, sedangkan pada fortifikasi 30% cenderung naik.
Hal ini diduga disebabkan oleh kurang meratanya partikel dalam
pembuatan papan yang mengakibatkan papan masih terdapat rongga
sehingga keteguhan patahnya relatif menurun.
Kuat pegang sekrup rata-rata papan pada kadar perekat 10% sebesar
484,61 N, pada kadar perekat 15% sebesar 523,36 N dan pada kadar perekat
20% sebesar 320,6 N. Nilai tersebut telah memenuhi standar JIS A5908-
2003, yaitu nilai kuat pegang sekrup papan partikel minimal sebesar 300 N.
Nilai kuat pegang sekrup papan partikel dengan fortifikasi 15%, 30% dan
45% sangat bervariatif. Hal ini disebabkan oleh kurang meratanya partikel
dalam pembuatan papan.
Keteguhan rekat internal rata-rata papan pada kadar perekat 10%
sebesar 0,40 N/mm2, pada kadar perekat 15% sebesar 0,38 N/mm2 dan
pada kadar perekat 20% sebesar 0,27 N/mm2. Nilai tersebut tidak
memenuhi standar JIS A5908-2003, yang mensyaratkan keteguhan rekat
internal papan partikel minimal sebesar 1,5 N/mm2. Nilai keteguhan rekat
internal papan partikel dengan fortifikasi 15%, 30% dan 45% sangat
bervariatif. Hal ini disebabkan oleh bervariasinya kerapatan papan
partikel yang dihasilkan. Kerapatan yang tinggi maka daya rekat antar
molekul akan semakin kuat, sehingga nilai keteguhan rekat internal papan
yang dihasilkan juga tinggi.
Emisi formaldehid papan partikel bambu dengan perekat likuida
bambu rata-rata adalah sebesar 0,3 mg/L. Menurut JIS A5908-2003, emisi
formaldehida yang diperkenankan untuk papan partikel maksimum
sebesar 0,4 mg/L.
47
Sabut Kelapa
Perendaman dlm
air dingin (24 jam)
Kering anginkan
(24 jam)
Sabut Kelapa
(1 cm, KA 5-10%)
Pemasakan
suhu 100°C, 30 menit
Perekat
Likuida
Sabut Kelapa
Gambar 18. Diagram alir pembuatan dan formulasi perekat likuida sabut kelapa
48
Karakteristik perekat likuida sabut kelapa :
a. Kenampakan
Warna perekat likuida sabut kelapa adalah coklat kehitaman yang
disebabkan oleh suhu dan waktu proses pembuatannya. Menurut Pu et
al. (1991) dalam Meda (2006), perlakuan panas dan kimia pada lignin
kayu dan bahan kimia lain yang merupakan hasil konversi komponen
selulosa pada kayu dapat menyebabkan perekat likuida berwarna
hitam.
Likuida sabut kelapa terkesan kasar dengan adanya butiran atau
serat kecil. Adanya butiran tersebut, merupakan komponen sabut
kelapa yang tidak terurai secara sempurna selama proses pembuatan
likuida.
c. Kekentalan (viskositas)
Perekat likuida yang didapatkan berbentuk pasta. Bentuk pasta
dari perekat likuida ini akan menyulitkan aplikasi perekat
menggunakan spray gun pada saat pencampuran perekat dengan sabut
kelapa. Menurut Pu et al. (1991) dalam Meda (2006), tingginya
kekentalan perekat dapat disebabkan oleh residu serat kayu setelah
likuifikasi dan tingginya berat molekul komponen perekat. Kekentalan
perekat yang terlalu tinggi dapat dikurangi dengan penambahan nisbah
formalin dan fenol yang digunakan.
Menurut SNI 06-4567-1998, pH perekat berkisar antara 130–300
cps. Untuk penggunaan dalam perekatan papan partikel, perekat
likuida sabut kelapa diencerkan terlebih dulu sampai nilai
kekentalannya 250 cps. Kekentalan perekat berkaitan dengan kinerja
sifat papan lainnya. Untuk mampu diaplikasikan menggunakan spray
gun, kisaran kekentalan perekat adalah sebesar 100–500 cps pada suhu
21 ºC (Maloney, 1991 dalam Meda, 2006).
d. Berat jenis
Berat jenis perekat berkaitan dengan komponen yang terkandung
di dalam perekat. Nilai berat jenis perekat likuida sabut kelapa adalah
sebesar 1,085. Nilai ini lebih rendah dari berat jenis perekat fenol
formaldehida yang menurut SNI 06-4567-1998 sebesar 1,165–1,200.
Berat jenis perekat likuida sabut kelapa mengalami penurunan setelah
diencerkan dengan air destilata.
49
e. Kadar padatan
Kadar padatan menunjukkan jumlah molekul perekat yang akan
berikatan dengan molekul sirekat. Semakin tinggi kadar padatan pada
batas tertentu, maka keteguhan rekat papan yang dihasilkan semakin
meningkat karena semakin banyak molekul penyusun perekat yang
bereaksi dengan kayu saat perekatan (Vick, 1999 dalam Meda 2006).
Kadar padatan perekat likuida sabut kelapa berkisar antara 25,63–
28,54%. Nilai ini lebih rendah dari kadar padatan fenol formaldehida
yang menurut SNI 06-4567-1998 sebesar 40–45%. Bahan baku perekat
likuida mempengaruhi kadar padatan perekat likuida yang dihasilkan.
Sabut kelapa mempunyai kerapatan rendah sehingga akan
menghasilkan likuida dengan kadar padatan yang rendah. Selain itu
pengenceran perekat likuida sabut kelapa menyebabkan sebagian
komponen padatan perekat terlarut.
f. Waktu gelatinasi
Waktu gelatinasi menunjukkan waktu yang dibutuhkan perekat
untuk mengental atau mejadi gel sehingga tidak dapat ditambahkan
lagi dengan bahan lain dan siap untuk direkatkan (Solomon, 1967 dalam
Meda, 2006). Waktu gelatinasi perekat likuida sabut kelapa adalah lebih
dari 30 menit. Menurut SNI 06-4567-1998, waktu gelatinasi perekat
adalah sama atau lebih dari 30 menit. Dengan semakin lamanya waktu
gelatinasi, perekat tidak mudah untuk menggumpal sehingga umur
simpan perekat akan semakin lama.
50
Nilai kerapatan yang bervariasi disebabkan oleh kurang meratanya
distribusi perekat dan sabut kelapa pada saat pencampuran perekat
dengan partikel dan pembentukan lembaran. Selain itu bahan baku yang
digunakan merupakan sabut kelapa yang mempunyai komponen gabus
dengan kerapatan rendah daripada komponen sabut kelapa.
Nilai kadar air terendah dihasilkan oleh papan dengan kadar perekat
15% yang difortifikasi 30%, yaitu sebesar 7,75%. Sedangkan nilai kadar air
tertinggi dihasilkan oleh papan dengan kadar perekat 10% yang
difortifikasi 15%, yaitu sebesar 10,16%. Berdasarkan standar JIS A5908-
2003, kadar air papan partikel berkisar antara 5–13%.
Kadar air papan partikel dipengaruhi oleh kadar air bahan bakunya.
Suhu, lama pengempaan dan tekanan pengempaan yang sama
menyebabkan tingkat pelepasan air dari lembaran relatif sama. Namun
pada bahan baku dengan kadar air tinggi, jumlah air yang tersisa setelah
proses pengempaan lebih banyak dibandingkan jumlah air yang tersisa
setelah pengempaan papan yang menggunakan bahan baku dengan kadar
air yang lebih sedikit. Dengan demikian, pada akhirnya kadar air papan
dari bahan baku berkadar air tinggi akan lebih tinggi dibandingkan dengan
kadar air papan dari bahan baku yang kadar airnya lebih rendah.
Nilai daya serap air terendah dihasilkan oleh papan dengan kadar
perekat 20% yang difortifikasi 15%, yaitu sebesar 40,56%. Sedangkan nilai
daya serap air tertinggi dihasilkan oleh papan dengan kadar perekat 10%
yang difortifikasi 30%, yaitu sebesar 100,69%. Tingginya daya serap air
papan disebabkan oleh tidak meratanya perekat sehingga bagian sabut
kelapa yang tidak tertutupi perekat akan lebih mudah menyerap air.
Nilai pengembangan tebal terendah dihasilkan oleh papan dengan
kadar perekat 20% yang difortifikasi 15%, yaitu sebesar 9,28%. Sedangkan
nilai pengembangan tertinggi dihasilkan oleh papan dengan kadar perekat
10% yang difortifikasi 15%, yaitu sebesar 38,40%. Secara keseluruhan sifat
pengembangan tebal papan tidak memenuhi standar JIS A5908-2003, yang
mensyaratkan nilai pengembangan tebal papan partikel maksimum sebesar
12%. Berdasarkan analisa sidik ragam pada taraf nyata 5%, kadar perekat
memberikan pengaruh terhadap pengembangan tebal papan. Maloney
(1991) dalam Meda (2006) menyatakan bahwa semakin tinggi kadar perekat
maka akan menurunkan pengembangan tebal. Nilai pengembangan tebal
papan lebih disebabkan komponen gabus sabut kelapa yang mudah
menyerap air. Semakin banyak air yang terkandung dalam dinding sel
maka dinding sel tersebut akan semakin mengembang.
51
Berdasarkan analisis sidik ragam pada taraf nyata 5%, kadar perekat,
kadar fortifikasi dan interaksi keduanya tidak memberikan pengaruh nyata
terhadap nilai MOE papan partikel. Nilai MOE yang dimiliki papan sabut
kelapa berkisar antara 351,28–1120,16 N/mm2. Nilai MOE ini lebih kecil
dari persyaratan mutu MOE papan partikel menurut JIS A5908–2003 yaitu
minimal sebesar 2.000 N/mm2. Nilai MOE yang rendah diduga
disebabkan oleh distribusi partikel yang tidak merata pada saat
pembentukan lembaran sehingga ikatan antara sabut kelapa dengan
perekat menjadi kurang kuat.
Berdasarkan analisis sidik ragam pada taraf nyata 5%, kadar perekat,
kadar fortifikasi dan interaksi keduanya tidak memberikan pengaruh nyata
terhadap nilai MOR papan partikel. Nilai MOR terendah terdapat pada
papan dengan kadar perekat 10% yang difortifikasi 30%, yaitu sebesar 5,81
N/mm2. Sedangkan nilai MOR tertinggi terdapat pada papan dengan
kadar perekat 20% yang difortifikasi 15%, yaitu sebesar 18,82 N/mm2.
Menurut JIS A5908-2003, persyaratan nilai MOR papan partikel minimal
sebesar 8 N/mm2.
Berdasarkan analisis sidik ragam pada taraf nyata 5%, kadar perekat,
kadar fortifikasi dan interaksi keduanya tidak memberikan pengaruh nyata
terhadap nilai keteguhan rekat internal papan partikel. Nilai keteguhan
rekat internal terendah terdapat pada papan dengan kadar perekat 15%
yang difortifikasi 15%, yaitu sebesar 0,09 N/mm2. Sedangkan nilai
keteguhan rekat internal tertinggi terdapat pada papan dengan kadar
perekat 20% yang difortifikasi 15%, yaitu sebesar 0,52 N/mm2. Nilai
keteguhan rekat internal papan sabut kelapa hasil penelitian ini tidak
memenuhi standar JIS A5908-2003, yang mensyaratkan nilai keteguhan
rekat internal papan partikel minimal sebesar 1,5 N/mm2.
Berdasarkan analisis sidik ragam pada taraf nyata 5%, kadar perekat,
kadar fortifikasi dan interaksi keduanya tidak memberikan pengaruh nyata
terhadap nilai kuat pegang sekrup papan partikel. Nilai kuat pegang
sekrup terendah terdapat pada papan dengan kadar perekat 10% yang
difortifikasi 15%, yaitu sebesar 194,07 N. Sedangkan nilai kuat pegang
sekrup tertinggi terdapat pada papan dengan kadar perekat 15% yang
difortifikasi 30%, yaitu sebesar 668,32 N. Standar JIS A5908-2003, men-
syaratkan nilai kuat pegang sekrup papan partikel minimal sebesar 300 N.
Berdasarkan hasil penelitian Pamungkas (2006), pengempaan papan
partikel sabut kelapa dengan penambahan melamin formaldehida diawali
dengan pengempaan pada suhu 160 0C, tanpa tekanan selama 5 menit.
Kemudian dilanjutkan dengan pengempaan pada tekanan 26 kg/cm2
selama 10 menit.
52
Nilai kerapatan terendah dihasilkan oleh papan partikel dengan
kadar perekat 10% dengan tingkat fortifikasi 30%, yaitu sebesar 0,65 g/cm3.
Sedangkan nilai kerapatan tertinggi dihasilkan oleh papan partikel dengan
kadar perekat 15% dengan tingkat fortifikasi 15%, yaitu sebesar 0,92 g/cm3.
Berdasarkan standar JIS A5908-2003, kerapatan papan partikel berkisar
antara 0,4–0,9 g/cm3. Hasil analisis sidik ragam pada selang kepercayaan
95% menunjukkan bahwa kadar perekat, tingkat fortifikasi dan interaksi
keduanya tidak memberikan pengaruh nyata terhadap kerapatan papan
partikel.
Nilai kadar air terendah dihasilkan oleh papan dengan kadar perekat
20% dengan tingkat fortifikasi 30%, yaitu sebesar 7,05%. Sedangkan nilai
kadar air tertinggi dihasilkan oleh papan dengan kadar perekat 20%
dengan tingkat fortifikasi 15%, yaitu sebesar 10,10%. Berdasarkan standar
JIS A5908-2003, kadar air papan partikel berkisar antara 5–13%. Hasil
analisis sidik ragam pada selang kepercayaan 95% menunjukkan bahwa
kadar perekat, tingkat fortifikasi dan interaksi keduanya, tidak
memberikan pengaruh nyata terhadap kadar air papan partikel.
Nilai daya serap air terendah dihasilkan oleh papan dengan kadar
perekat 15% dengan tingkat fortifikasi 15%, yaitu sebesar 38,52%.
Sedangkan nilai daya serap air tertinggi dihasilkan oleh papan dengan
kadar perekat 10% dengan tingkat fortifikasi 30%, yaitu sebesar 79,53%.
Hasil analisis sidik ragam pada selang kepercayaan 95%, menunjukkan
bahwa kadar perekat berpengaruh nyata terhadap daya serap air papan
partikel, akan tetapi tingkat fortifikasi dan interaksi antara kadar perekat
dengan tingkat fortifikasi tidak memberikan pengaruh nyata terhadap
daya serap air papan partikel.
Nilai pengembangan tebal terendah dihasilkan oleh papan dengan
kadar perekat 15% dengan tingkat 30%, yaitu sebesar 13,06%. Sedangkan
nilai pengembangan tertinggi dihasilkan oleh papan dengan kadar perekat
10% dengan tingkat fortifikasi 30%, yaitu sebesar 52,86%. Nilai
pengembangan tebal papan tidak memenuhi standar JIS A5908-2003, yang
mensyaratkan nilai pengembangan tebal papan partikel maksimum sebesar
12 %. Berdasarkan hasil analisa sidik ragam pada selang kepercayaan 95%,
kadar perekat berpengaruh nyata terhadap pengembangan tebal papan
partikel, akan tetapi tingkat fortifikasi dan interaksi antara kadar perekat
dengan tingkat fortifikasi tidak berpengaruh nyata terhadap
pengembangan tebal papan partikel.
Nilai MOE terendah terdapat pada papan dengan kadar perekat 20%
dan tingkat fortifikasi 15%, yaitu sebesar 315,60 N/mm2. Nilai MOE
tertinggi terdapat pada papan dengan kadar perekat 15% dengan tingkat
fortifikasi 30%, yaitu sebesar 1802,81 N/mm2. Nilai MOE ini lebih kecil
dari persyaratan mutu MOE papan partikel menurut JIS A5908-2003 yaitu
minimal sebesar 2000 N/mm2. Nilai MOE yang rendah diduga disebabkan
oleh distribusi partikel yang tidak merata pada saat pembentukan
lembaran sehingga ikatan antara sabut kelapa dengan perekat menjadi
kurang kuat. Berdasarkan hasil analisis sidik ragam pada selang
53
kepercayaan 95%, kadar perekat, tingkat fortifikasi dan interaksi keduanya
tidak memberikan pengaruh nyata terhadap MOE papan partikel sabut
kelapa.
Nilai MOR terendah terdapat pada papan dengan kadar perekat 20%
dengan tingkat fortifikasi 15%, yaitu sebesar 7,99 N/mm2. Sedangkan nilai
MOR tertinggi terdapat pada papan dengan kadar perekat 20% dengan
tingkat fortifikasi 45%, yaitu sebesar 18,40 N/mm2. Menurut JIS A5908-
2003, persyaratan nilai MOR papan partikel minimal sebesar 8 N/mm2.
Hasil analisis sidik ragam pada selang kepercayaan 95%, menunjukkan
bahwa kadar perekat, tingkat fortifikasi dan interaksi keduanya tidak
memberikan pengaruh nyata terhadap nilai MOR papan partikel sabut
kelapa.
Nilai keteguhan rekat internal terendah terdapat pada papan dengan
kadar perekat 10% dengan tingkat fortifikasi 45%, yaitu sebesar 0,15
N/mm2. Sedangkan nilai keteguhan rekat internal tertinggi terdapat pada
papan dengan kadar perekat 20% dengan tingkat fortifikasi 45%, yaitu
sebesar 0,47 N/mm2. Nilai keteguhan rekat internal papan sabut kelapa
tidak memenuhi standar JIS A5908-2003, yang mensyaratkan nilai
keteguhan rekat internal papan partikel minimal sebesar 1,5 N/mm2. Hasil
analisis sidik ragam pada selang kepercayaan 95%, menunjukkan bahwa
interaksi kadar perekat dengan tingkat fortifikasi memberikan pengaruh
nyata terhadap nilai keteguhan rekat internal papan partikel.
Nilai kuat pegang sekrup terendah terdapat pada papan dengan
kadar perekat 20% dengan tingkat fortifikasi 30%, yaitu sebesar 257,52 N.
Sedangkan nilai kuat pegang sekrup tertinggi terdapat pada papan dengan
kadar perekat 15% dengan tingkat fortifikasi 15%, yaitu sebesar 524,65 N.
Standar JIS A5908-2003, mensyaratkan nilai kuat pegang sekrup papan
partikel minimal sebesar 300 N. Berdasarkan hasil analisis sidik ragam
pada selang kepercayaan 95%, tingkat fortifikasi berpengaruh nyata
terhadap kuat pegang sekrup papan partikel. Akan tetapi kadar perekat
dan interaksi antara kadar perekat dengan tingkat fortifikasi tidak
memberikan pengaruh nyata terhadap nilai kuat pegang sekrup papan
partikel.
54
Partikel Partikel
Kayu Bambu
Karet Tali
Pengeringan Pengeringan
(KA 2-5%) (KA 2-5%)
Penggilingan Penggilingan
(40 mesh) (40 mesh)
Penambahan H2SO4
Penambahan Fenol Kayu : Bambu 98% (5% dari
(5x berat serbuk) (100:6 b/b) jumlah fenol)
Pemasakan
suhu 100°C, 30 menit
Perekat Likuida
Kayu
Gambar 19. Diagram alir pembuatan dan formulasi perekat likuida kayu karet
dan bambu tali
55
Karakteristik perekat likuida kayu adalah :
a. Kenampakan
Warna likuida kayu adalah hitam yang disebabkan oleh adanya
lignin dan bahan kimia lain yang merupakan hasil konversi komponen
holoselulosa pada kayu, akibat kombinasi perlakuan panas dan dingin.
Warna perekat likuida kayu ini berubah menjadi kecoklatan setelah
penambahan NaOH 40% dan penambahan formalin sebelum perekat
diaplikasikan. Meskipun demikian, warna coklat pada perekat likuida
kayu tidak sedominan perekat PF. Untuk papan partikel, warna hitam
perekat likuida kayu ini tidak terlalu berpengaruh terhadap penampilan
papan partikel.
b. Derajat keasaman (pH)
Derajat keasaman likuida kayu yang dihasilkan rata-rata kurang
dari satu. Hal ini menunjukkan bahwa likuida kayu bambu bersifat
asam. Sebelum diaplikasikan sebagai perekat, likuida kayu dicampur
dengan NaOH 40% sampai pH-nya menjadi 11. Fungsi penambahan
NaOH adalah untuk percepatan pembentukan metilol, selain juga
untuk percepatan pengerasan resin. Peningkatan pH ini diperlukan
karena pH yang sangat rendah dapat merusak kayu (Ruhendi et al., 2000
dalam Widiyanto, 2002).
c. Kekentalan (viskositas)
Nilai viskositas perekat likuida kayu rata-rata adalah 2,03 poise.
Nilai ini masih termasuk dalam kisaran viskositas perekat PF menurut
SNI 06-4567-1998, yaitu berkisar antara 130–300 cps. Viskositas perekat
dapat diturunkan dengan meningkatkan nisbah formalin dan phenol.
d. Berat jenis
Berat jenis perekat berkaitan dengan komponen yang terkandung
di dalam perekat. Semakin banyak komponen perekat yang berat
jenisnya tinggi, maka berat jenis perekat akan semakin tinggi juga. Nilai
berat jenis rata-rata perekat likuida kayu adalah sebesar 1,153. Nilai ini
lebih rendah dari berat jenis perekat phenol formaldehida yang
menurut SNI 06-4567-1998 sebesar 1,165–1,200.
e. Kadar padatan
Kadar padatan perekat likuida kayu adalah sebesar 91,232%. Nilai
ini lebih tinggi dari kadar padatan phenol formaldehida yang menurut
SNI 06-4567-1998 sebesar 40–45%.
56
f. Waktu gelatinasi
Waktu gelatinasi perekat likuida kayu rata-rata adalah 9 menit 48
detik. Menurut SNI 06-4567-1998, waktu gelatinasi perekat adalah sama
atau lebih dari 30 menit.
Perekat likuida kayu dengan kadar perekat 10%, 15% dan 20%
digunakan dalam pembuatan papan partikel kayu, papan partikel bambu
dan papan partikel campuran dengan target kerapatan 0,7 g/cm3.
Pengempaan dilakukan pada suhu 160 0C selama 10 menit dengan tekanan
23 kg/cm2.
Berdasarkan hasil penelitian, nilai kerapatan yang diperoleh
menunjukkan nilai yang bervariasi. Nilai kerapatan terendah terdapat
pada papan partikel kayu karet dengan kadar perekat 10% dan papan
partikel campuran dengan kadar perekat 10% yaitu sebesar 0,80 g/cm3.
Sedangkan nilai kerapatan tertinggi terdapat pada papan partikel kayu
karet dengan kadar perekat 20%, yaitu sebesar 0,93 g/cm3. Nilai kerapatan
papan partikel menurut standar JIS A5908-2003, berkisar antara 0,4–0,9
g/cm3.
Kadar air papan terendah terdapat pada papan partikel kayu karet
dengan kadar perekat 20%, yaitu sebesar 5,23%. Sedangkan kadar air
tertinggi terdapat pada papan partikel bambu tali dengan kadar perekat
10%, yaitu sebesar 7,52%. Nilai tersebut telah memenuhi standar JIS
A5908-2003, yang menyebutkan kadar air papan partikel berkisar antara 5–
13 %.
Daya serap air papan terendah terdapat pada papan partikel
campuran dengan kadar perekat 15%, yaitu sebesar 26,19%. Sedangkan
kadar air tertinggi terdapat pada papan partikel bambu tali dengan kadar
perekat 10%, yaitu sebesar 45,55%.
Nilai pengembangan tebal papan terendah terdapat pada papan
partikel kayu karet dengan kadar perekat 20%, yaitu sebesar 16,63%.
Sedangkan kadar air tertinggi terdapat pada papan partikel bambu tali
dengan kadar perekat 10%, yaitu sebesar 27,71%. Nilai tersebut tidak
memenuhi standar JIS A5908-2003, yang menyebutkan nilai pengembangan
tebal papan partikel maksimum 12%.
Nilai MOE terendah terdapat pada papan partikel campuran dengan
kadar perekat 10%, yaitu sebesar 6466,25 Kgf/cm2. Sedangkan nilai MOE
tertinggi terdapat pada papan partikel bambu tali dengan kadar perekat
20%, yaitu sebesar 20413,49 Kgf/cm2. Nilai MOE menurut standar SNI 03-
2105-1996, minimal sebesar 15.000 Kgf/cm2.
57
Nilai MOR terendah terdapat pada papan partikel campuran dengan
kadar perekat 10%, yaitu sebesar 185,78 Kgf/cm2. Sedangkan nilai MOR
tertinggi terdapat pada papan partikel kayu karet dengan kadar perekat
20%, yaitu sebesar 325,13 Kgf/cm2. Nilai tersebut sudah memenuhi
standar SNI 03-2105-1996, yang menyebutkan bahwa MOR papan partikel
minimal sebesar 80,00 Kgf/cm2.
Nilai keteguhan rekat internal terendah terdapat pada papan partikel
campuran dengan kadar perekat 10%, yaitu sebesar 1,77 Kgf/cm2.
Sedangkan nilai keteguhan internal tertinggi terdapat pada papan partikel
kayu karet dengan kadar perekat 20%, yaitu sebesar 3,21 Kgf/cm2. Nilai
tersebut sudah memenuhi standar SNI 03-2105-1996, yang menyebutkan
bahwa keteguhan rekat internal papan partikel minimal sebesar 1,50
Kgf/cm2.
58
II. FENOMENA DASAR ADHESI KAYU
Sumber: www.specialchem4adhesives.com/resources/adhesionguide/
Gambar 20. Visualisasi teori adhesi mekanikal antara perekat dengan sirekat
Polimer perekat dan serat kayu yang porus, bersikunci baik secara mikroskopis
maupun molekular, membentuk mechanical interlock, ketika perekat dilaburkan,
masuk ke dalam kayu (penetrates) dan membasahi permukaan kayu (Gollob dan
Wellons, 1990). Namun kontribusi aksi bersikunci perekat pada kekuatan perekatan,
tidak mudah dideteksi dan diukur. Perekat harus dapat masuk ke dalam kayu,
tanpa merusak serat kayu. Agar terjadi ikatan perekatan yang kuat untuk keperluan
struktural, penetrasi perekat harus mampu masuk ke lapis kedua sampai lapis
keenam serat kayu dan menembus dinding selnya.
Teori adhesi mekanikal menyatakan bahwa perekatan yang baik, hanya terjadi
ketika perekat masuk ke dalam lumen, lubang atau celah dan ketidakteraturan
lainnya dari permukaan substrat sirekat, dan terkunci secara mekanik pada substrat.
Perekat tidak hanya harus membasahi substrat, tapi juga mempunyai rheologi yang
59
tepat agar dapat masuk ke dalam rongga pada waktu yang cukup singkat (www.
specialchem4adhesives.com).
Permukaan adherend perlu memiliki kekasaran tertentu untuk meningkatkan
kekuatan dan ketahanan perekatan melalui mechanical interlock. Selain pre-treatment
pada permukaan, hal lain yang dapat dilakukan untuk meningkatkan perekatan
melalui mechanical interlock, adalah memperluas bidang rekat, meningkatkan wetting
kinetics, dan meningkatkan plastisitas perekat (kesesuaian rheologi perekat) (www.
specialchem4adhesives.com).
Menurut Packham (http://people.bath.ac.uk/mssdep/dep70yrs.htm), pada
saat perekat tidak dapat membasahi permukaan sirekat secara sempurna (terjadi
karena termodinamika energi permukaan yang tidak serasi antara perekat dan
substrat atau terjadi karena tidak cukup waktu bagi perekat untuk memadat), maka
akan terjadi perekatan yang lemah, karena berkurangnya daerah kontak atau karena
tekanan (stress) terkonsentrasi dengan adanya rongga. Pada saat perekat dapat
membasahi permukaan sirekat dengan sempurna, adsorption perekat akan terjadi
baik pada permukaan kasar maupun permukaan halus. Namun dapat terjadi
perekatan yang lemah karena rendahnya energi permukaan. Hal tersebut dapat
diatasi dengan perlakuan pada permukaan.
Menurut Packham (http://people.bath.ac.uk/mssdep/dep70yrs.htm), kekasar-
an permukaan dapat meningkatkan perekatan karena bidang kontak dengan perekat
semakin luas. Perubahan keadaan permukaan akan mendistribusikan tekanan
(stress) ketika ikatan permukaan terbentuk, sehingga energi yang menyebabkan
terjadinya fracture pada permukaan adherend dapat dihilangkan, yang akhirnya akan
meningkatkan perekatan. Cara lain untuk meningkatkan perekatan pada
permukaan mikroporous adalah dengan menciptakan stress discontinuities pada
interface.
Teori adhesi mekanikal (mechanical theory of adhesion) berhubungan dengan
perekatan pada permukaan yang kasar dan berrongga. Perekatan tersebut efektif
karena energi permukaan yang dimiliki akan meningkatkan ikatan perekatan. Pada
saat ditekan, permukaan yang kasar akan mendistribusikan kembali stress, seiring
dengan hilangnya energi permukaan, maka akan terjadi kegagalan perekatan.
Konsep ”tentakel” perekat masuk ke dalam rongga sirekat terjadi pada tingkat
molekul, diadaptasi dari konsep teori difusi pada tingkat yang lebih tinggi (Wool,
2002). Jika tentakel sirekat juga memasuki perekat, maka disebut dengan interdifusi,
yang melibatkan terjadinya pertautan antara rantai perekat dengan rantai sirekat.
Hal ini dimungkinkan jika sirekat membentuk tentakel dan terdapat kesesuaian yang
erat antara perekat dengan sirekat, sehingga terjadi jaringan perekatan yang kuat,
yang terbentuk dari kombinasi antara ikatan kimia dan ikatan mekanik.
Menurut Packham (2003), saat aksi bersikunci bekerja, tentakel atau bagian dari
perekat, harus cukup kuat untuk menahan beban. Sebenarnya aksi bersikunci
perekat tidak melibatkan interaksi kimia antara perekat dengan substrat. Namun
pada kenyataannya, terdapat gaya gesek (friction forces) yang mencegah pemisahan
antara perekat dan substrat, menunjukkan adanya interaksi antar permukaan. Aksi
bersikunci lebih berpengaruh terhadap shear forces dibandingkan normal forces dan
tergantung pada kekasaran permukaan (roughness).
60
Walaupun aksi bersikunci, mungkin tidak dapat menjelaskan mekanisme
terjadinya perekatan pada kebanyakan peristiwa perekatan, kekasaran dan
kemampuan penyerapan oleh substrat, serta pengaruh aksi bersikunci terhadap
distribusi tekanan pada daerah batas antara perekat dan sirekat, merupakan faktor
yang penting (Zalucha and Wax, 1990).
Perekatan berkenaan dengan interaksi antara permukaan adhesive dengan
permukaan substrate. Beberapa teori perekatan menekankan pada aspek mekanik,
sedangkan yang lainnya menekankan pada aspek kimia. Namun pada
kenyataannya, struktur kimia dan interaksinya mempengaruhi sifat mekanik, dan
sifat mekanik mempengaruhi kekuatan ikatan kimia. Dengan demikian aspek
mekanik dan aspek kimia tidak bisa dipisahkan, dalam menjelaskan mengenai teori
perekatan (Frihart, 2005).
61
Tabel 22. Jenis ikatan dan energi ikatan
Energi ikatan
Jenis ikatan
(kJ/mol)
A. Primary bonds
Ionic 600 – 1100
Covalent 60 – 700
Metallic, coordination 110 – 350
B. Donor-acceptor bonds
Bronsted acid-base interaction Up to 1000
(i.e. up to a primary ionic bond)
Lewis acid-base interaction Up to 80
C. Secondary bonds
Hydrogen bonds (excluding flourine) 1 – 25
Van der Waals bonds
Permanent dipole-dipole interaction 4 – 20
Dipole-induced dipole interaction Less than 2
Dispersion (London) forces 0.08 – 40
Sumber : Refs. I and 33 to 35 in Pizzi, 1994
Menurut teori adhesi spesifik, faktor utama adhesi adalah gaya tarik molekul
(ikatan van der Waals, ikatan hidrogen) antara kayu dan perekat. Pendapat ini
didukung oleh pengamatan/observasi, dan juga didasarkan pada kemungkinan
menggabungkan material tertentu tanpa menggunakan perekat (seperti lembaran
kwarsa). Hal ini bisa lakukan pada material, jika permukaannya benar-benar bersih
sampai tingkatan atom. Karena permukaan yang bersih seperti itu pada
kenyataannya tidak bisa diproduksi, kekuatan molekular tidak bisa diaktifkan tanpa
intervensi dari suatu perekat. Jika suatu lapisan minyak atau air yang tipis
diaplikasikan pada bidang datar material untuk direkatkan, cairan ini bertindak
sebagai perekat dan akan menghasilkan ikatan yang kuat sampai mereka diuapkan
(evaporasi) atau diserap (absorpsi) (Tsoumis, 1991).
Gaya tarik-menarik fisik terdiri atas tiga gaya intermolekul yang memegang
peranan penting dalam formasi ikatan antara perekat polimer dengan struktur
molekul kayu, yaitu ikatan van der Waals, gaya London dan ikatan hidrogen. Ikatan
van der Waals terdiri dari gaya dwikutub (polar), yaitu molekul kutub positif yang
mempunyai gaya tarik yang kuat dengan molekul kutub negatif lain. Gaya London
merupakan gaya tarik yang lebih lemah dari molekul nonpolar. Ikatan hidrogen
adalah suatu gaya dwikutub khusus yang meliputi gaya tarik yang kuat antara atom
hidrogen bermuatan positif dengan atom elektronegatif dari molekul lain. Ikatan
hidrogen cukup penting dalam ikatan permukaan (interfacial) dari kutub perekat
polimer untuk hemiselulosa dan selulosa yang memiliki banyak gugus hidroksil
(Vick, 1999).
62
Sumber: www.specialchem4adhesives.com/resources/adhesionguide/
Gambar 21. Ikatan Van der Waals antara perekat dengan sirekat
Sumber: www.specialchem4adhesives.com/resources/adhesionguide/
63
Bagaimanapun, substansi yang berperan sebagai perekat harus menghasilkan
ikatan yang tahan lama, serta tahan terhadap kondisi lingkungan yang digunakan.
Ciri substansi seperti itu adalah harus memiliki nilai kohesi tinggi, mengingat gaya
tarik molekul disebabkan oleh polaritas (gaya elektris) antara perekat dengan
material yang direkatkan. Kayu bersifat polar (hidroksil bebas dari molekul
selulosa), oleh karena itu substansi yang sesuai sebagai perekat harus bersifat polar.
Pembentukan ikatan kimia primer antara kayu dengan perekat dapat terjadi,
terutama dengan menggunakan perekat formaldehida (Tsoumis, 1991).
Selama dua kayu sirekat digabungkan secara bersama, cairan perekat harus
membasahi (wetting) dan tersebar secara merata yang berhubungan dengan kedua
permukaan. Molekul perekat harus merata di atas permukaan dan ke dalam
permukaan masing-masing yang berhubungan dengan struktur molekul kayu,
sehingga gaya tarik intermolekul antara perekat dan kayu menjadi efektif.
Permukaan kayu kelihatan seperti halus dan rata/datar, tetapi secara mikroskopik,
terdiri atas puncak, lembah dan celah, dilengkapi serabut terlepas dan serat lainnya
yang tersebar (Vick, 1999).
Marra (1992) menyatakan bahwa perekat akan mengalami lima tahapan dalam
membentuk suatu ikatan, yaitu perekat mengalir lateral membentuk lapisan film
(flowing), sebagian perekat beralih dari permukaan terlabur ke permukaan
pasangannya (transferring), perekat merembes ke dalam sirekat (penetrating), perekat
membasahi kedua permukaan sirekat (wetting) dan perekat mengalami pematangan
dan menjadi substansi yang keras (solidifying).
Perekat harus memiliki sifat keterbasahan (wettability) yang tinggi dan
viskositas yang akan menghasilkan aliran kapiler yang baik untuk menembus
struktur kayu, saat pemindahan dan absorpsi udara, air dan zat di permukaan
sirekat (Vick, 1999).
64
Sistem ikatan perekat dengan sirekat (3 rantai) merupakan konsep dasar sistem
ikatan yang terjadi antara perekat dengan sirekat. Sistem ini terdiri dari tiga rantai
yaitu rantai 1 (lapisan perekat), rantai 2 (sirekat) dan rantai 3 (sirekat). Lebih jelas
mengenai sistem ikatan perekat dengan sirekat (3 rantai) disajikan pada berikut.
65
Pada Gambar 25, dapat dilihat pengembangan sistem ikatan perekat dengan
sirekat menjadi 7 rantai. Dua rantai tambahan (rantai 2 dan 3) menggambarkan
daerah sekitar permukaan sirekat. Sistem ikatan perekat dengan sirekat (7 rantai)
terdiri dari tujuh rantai yaitu rantai 1 (lapisan perekat), rantai 2 dan 3 (lapisan batas
antar-perekat), rantai 4 dan 5 (daerah interaksi antara perekat dan sirekat) serta
rantai 6 dan 7 (sirekat).
66
Keterangan :
Rantai 1 : lapisan perekat
Rantai 2 dan 3 : lapisan batas antar-perekat
Rantai 4 dan 5 : daerah interaksi antara perekat dan sirekat
Rantai 6 dan 7 : daerah permukaan sirekat
Rantai 8 dan 9 : sirekat.
Sistem ikatan perekat dengan sirekat (9 rantai) terdiri dari sembilan rantai yaitu
rantai 1 (lapisan perekat), rantai 2 dan 3 (lapisan batas antar-perekat), rantai 4 dan 5
(daerah interaksi antara perekat dan sirekat), rantai 6 dan 7 (daerah permukaan
sirekat) serta rantai 8 dan 9 (sirekat), seperti disajikan pada Gambar 26.
Perbedaan antara sistem ikatan perekat dengan sirekat (5 rantai) dengan sistem
ikatan perekat dengan sirekat (9 rantai) adalah adanya penambahan empat rantai
baru. Dua rantai yang ditambahkan adalah rantai yang menggambarkan daerah
sekitar permukaan kayu sirekat (rantai 6 dan 7) (lingkaran rantai dengan garis
terputus untuk menandai rantai yang tidak jelas dan rentan). Dan dua rantai
terakhir telah ditambahkan untuk menegaskan kemungkinan garis rekat yang tidak
homogen, rantai 2 dan 3 (juga lingkaran rantai dengan garis terputus untuk
menandai rantai yang tidak jelas dan rentan). Lebih jelas mengenai sistem ikatan
perekat dengan sirekat (9 rantai) disajikan pada Gambar 26.
Rantai 1 adalah garis rekat, yang berfungsi untuk mengikat dua sirekat secara
bersama dan menahan beban yang akan timbul. Rantai 2 dan 3 menggambarkan
ikatan adhesi yang terjadi antara perekat dengan sirekat. Rantai 6 dan 7
menggambarkan daerah sekitar permukaan sirekat. Rantai 8 dan 9 menggambarkan
ikatan kohesi antara molekul sirekat. Rantai 8 dan 9 ini juga menggambarkan
banyak faktor yang mempengaruhi formasi ikatan (porositas, kadar air dan
ketebalan sirekat) dan performa ikatan (ukuran dan sifat sirekat).
67
Rantai 4 dan 5 menggambarkan terjadinya ikatan adhesi antara molekul
perekat dan molekul sirekat. Ikatan adhesi antara perekat dan sirekat terjadi pada
daerah rantai ini. Ada tiga mekanisme yang terjadi pada proses perekatan, yaitu :
1. Ikatan mekanikal, dimana perekat memasuki pori dan void struktur kayu dan
terjadi aksi bersikunci (interlock).
2. Reaksi kimia antara molekul perekat dan molekul kayu sehingga membentuk
suatu senyawa baru.
3. Ikatan fisik, yang merupakan gaya tarik menarik antara molekul perekat dan
molekul kayu karena adanya distribusi elektron secara elektrostatis.
Kondisi permukaan sirekat sangat mempengaruhi kekuatan ikatan perekatan,
karena enam dari sembilan rantai dalam system of a links (rantai 2, 3, 4, 5, 6 dan 7)
bergantung kepada daerah permukaan sirekat.
68
III. SIFAT DAN TEKNIK PEREKATAN KAYU
A. Sifat-sifat Kayu
1. Sifat Dasar
Sifat-sifat kayu sangat berpengaruh terhadap pembentukan dan kekuatan
ikatan. Empat kategori utama dari sifat-sifat kayu tersebut yaitu sifat anatomi,
sifat fisik, sifat kimia dan sifat mekanik.
69
pembuluh (pori) merupakan jalan utama bagi bahan perekat, sedangkan
keberadaan tilosis yang menutup lubang akan mengurangi permeabilitas kayu
terhadap penyaluran cairan perekat.
Volume void kayu berkisar 46–80% dari volume total kayu, sangat
mempengaruhi kedalaman dan arah aliran perekat. Variasi porositas pada
kayu didasarkan pada arah serat. Bagian yang paling porus terdapat pada
permukaan ujung serat (bidang aksial), yang beberapa kali lebih besar
dibandingkan pada permukaan radial atau tangensial. Penetrasi perekat ke
dalam serat dan pembuluh yang terbuka sepanjang serat, mudah terjadi,
bahkan jika diberikan tekanan pada permukaan ujung serat, akan terjadi
penetrasi berlebihan. Hal tersebut adalah salah satu alasan utama sulitnya
membentuk garis rekat yang kuat dan mampu menahan beban pada bidang
aksial.
Tingginya porositas pada kayu daun jarum karena adanya rongga
(lumen) serat yang dihubungkan dengan lubang noktah. Noktah membentuk
suatu sistem kapiler kompleks, sehingga perekat dapat berpenetrasi lebih
dalam, baik pada arah tangensial maupun arah radial. Diduga serat-serat
pada kayu daun lebar, noktahnya relatif lebih sedikit sebagai media
perpindahan perekat secara lateral. Sel jari-jari yang orientasinya radial dapat
memberikan aliran dan penetrasi berlebihan. Meskipun produk perekat di
pasaran sudah dibedakan untuk kayu daun lebar dan kayu daun jarum,
biasanya perekat masih harus diformulasi secara spesifik, disesuaikan dengan
jenis kayu atau sifat-sifat pengerjaan dalam industri (Vick, 1999).
Pengaruh serat dalam pembentukan ikatan terutama melibatkan
porositas yang terdapat pada berbagai bidang potongan yang berbeda.
Permukaan aksial kayu tidak pernah direkat secara langsung karena dua
alasan. Pertama, karena permukaan yang terlalu porus. Ini menjadikan
penetrasi berlebihan, terjadi starving the joint (rekatan miskin perekat). Kondisi
ini menyebabkan perekat sulit membangun rantai 1. Alasan kedua, rantai 8
dan 9 lebih kuat dibandingkan ikatan rekat pada bidang aksial. Kedua rantai
ini menerima beban yang lebih besar daripada beban yang mampu disangga
oleh ikatan perekat (Marra, 1992).
Ketika kayu harus direkat, konfigurasi sambungan diusahakan dapat
mengurangi pengaruh porositas, meningkatkan luas ikatan sisi serat dan
merubah muatan tegangan menjadi lebih tahan beban geser. Perekatan pada
bagian sisi serat, lebih diinginkan serat lurus yang menghasilkan bentuk yang
halus dari serat yang pendek. Berlawanan dari harapan ini, lebih sulit untuk
memperoleh ikatan yang kuat jika serat benar-benar lurus, bila dibandingkan
dengan serat yang sedikit tidak lurus. Salah satu alasannya adalah perekat
kayu diformulasi untuk menghadapi porositas, perekat tidak mempunyai
kemampuan untuk berpenetrasi melewati dinding sel (Marra, 1992).
Sel-sel kayu adalah bagian yang terintegrasi pada daerah perbatasan
kayu dengan perekat, karena itu ikatan perekat harus sama kuat dengan
kekuatan kayu jika kekuatan kayu sebagai adherend dimanfaatkan sepenuhnya
(Vick, 1999).
70
Sumber : Frihat, 2005
1) Kerapatan
Kerapatan kayu bervariasi pada setiap jenis kayu bahkan dalam
satu jenis kayu. Tetapi telah disepakati bahwa kerapatan dinding serat
sama untuk setiap jenis kayu yaitu 1,5 g/cm3. Variasi kerapatan terjadi
sebagai akibat dari adanya perbedaan ketebalan dinding serat.
Kecenderungan serat yang memiliki dinding yang tebal dan lumen
yang kecil memiliki kerapatan yang tinggi, sebaliknya jika serat
memiliki dinding yang tipis dan lumen yang besar akan memiliki
kerapatan yang rendah.
Kerapatan kayu berhubungan langsung dengan kekuatannya.
Dinding serat yang tebal dapat menghasilkan tegangan yang lebih besar
sehingga kayu yang berkerapatan tinggi akan lebih kuat, lebih keras
dan lebih kaku dibandingkan kayu yang berkerapatan lebih rendah.
Karena kayu sebagai adherend adalah komponen utama dalam suatu
rekatan, perekat diharapkan tidak sama kekuatannya dengan kayu
sehingga kekuatan maksimum kayu dapat dimanfaatkan. Semakin kuat
kayu maka semakin kuat juga ikatan rekatannya. Menurut Vick (1999),
kekuatan ikatan perekat pada kayu akan mengalami peningkatan
seiring dengan peningkatan kerapatan kayu pada kisaran 0,7–0,8 g/cm3
(kadar air 12%). Di atas kisaran ini, kekuatan ikatan rekat akan
mengalami penurunan. Meskipun kekuatan meningkat dengan
meningkatnya kerapatan kayu, pada kerapatan 0,7–0,8 g/cm3, kayu
akan melemah secara perlahan, lalu penurunan akan lebih cepat pada
kerapatan di atas 0,8 g/cm3. Dengan peningkatan kerapatan kayu,
kekuatan ikatan sulit untuk mencapai keadaan yang tetap (sumber
71
kelemahan kayu adalah retaknya serat-serat kayu ketika pengujian
kekuatan ikatan perekat kayu).
Walaupun kekuatan dan kerapatan berhubungan secara langsung,
tetapi masing-masing mempunyai pengaruh yang berbeda terhadap
perekatan. Kekuatan berhubungan dengan rantai 8 dan 9 sebagai faktor
kinerja ikatan dalam menentukan beban maksimum yang diterima
ikatan perekat. Sedangkan kerapatan memiliki pengaruh dalam
pembentukan ikatan, meliputi rantai 6 dan 7, dan juga aksi penetrasi
perekat.
Kayu berkerapatan tinggi sulit untuk merekat karena dinding sel
yang lebih tebal dan lumen yang lebih kecil, menyebabkan perekat tidak
dapat berpenetrasi dengan mudah, sehingga aksi bersikunci terbatas
hanya sampai lapisan sel pertama atau kedua. Tekanan yang lebih kuat
dibutuhkan untuk kayu berkerapatan lebih tinggi agar dapat terjadi
kontak antara permukaan kayu dengan perekat.
Dalam sepotong kayu terdapat daerah konsentrasi kerapatan
tinggi dan kerapatan rendah secara bergantian dalam setiap lingkaran
tumbuh. Daerah kayu awal (kerapatan rendah) dan kayu akhir
(kerapatan tinggi) secara bergantian akan menyulitkan perekatan. Hal
ini dikarenakan perekat harus sekuat daerah kayu berkerapatan tinggi
dan meresap ke dalam kayu itu dengan baik tanpa terjadi penetrasi
berlebihan pada daerah kayu berkerapatan rendah.
Kayu berkerapatan tinggi umumnya memiliki konsentrasi
ekstraktif yang lebih tinggi yang akan menghalangi pematangan
perekat. Pada kayu berkerapatan tinggi yang mengalami perubahan
dimensi karena perubahan kadar air, sulit terjadi ikatan karena
dibutuhkan tekanan yang lebih besar.
72
menentukan kesiapan perekat untuk menerima tekanan atau panas.
Assembly time maksimum akan lebih singkat untuk kayu kering,
dibandingkan untuk kayu dengan kadar air tinggi, karena perekat
mengering dan mengeras lebih awal. Assembly time minimum
umumnya lebih penting pada kayu dengan kadar air tinggi, dan
diperlukan untuk diperpanjang supaya pergerakan optimum terhindar
dari penetrasi yang berlebihan dan ikatan yang miskin perekat.
Pengaruh air terhadap pergerakan perekat terus berlanjut bahkan
setelah pengempaan, dan mengatur laju solidifikasi dari perekat yang
kehilangan airnya. Laju solidifikasi akan menjadi lebih cepat pada kayu
kering, sedangkan pada pada kayu basah menjadi lebih lambat.
Kadar air kayu yang ideal untuk ikatan perekatan bervariasi sesuai
dengan jenis perekat dan proses perekatan. Proses yang menyertakan
temperatur tinggi secara umum memerlukan kadar air kayu yang
kurang dari 8%, sebab air akan memperlambat pemanasan dari garis
rekat dan menyebabkan penetrasi perekat yang berlebihan. Perekatan
kayu pada suhu lingkungan, menggunakan kadar air 15%. Pada situasi
tertentu kayu yang tidak pernah dikeringkan, dengan kadar air 50%
sampai 200% dapat direkatkan (Wellons, 1983).
Pada umumnya, ikatan perekat yang baik terjadi pada tingkat
kadar air 6–14% dan bisa juga terjadi di bawah atau di atas batas ini,
apabila perekat diformulasi untuk proses khusus. Kisaran kadar air
optimum untuk perekatan suatu produk dengan perekat tertentu
ditetapkan secara empiris dan keadaan lingkungan produk akhir
digunakan. Perekat cair cenderung dikeringkan ketika diaplikasikan ke
kayu dengan kadar air di bawah 6%. Kayu menyerap air dari perekat
dengan cepat sehingga aliran dan penetrasi dalam kayu terhenti dengan
drastis, walaupun di bawah tekanan tinggi. Kayu menjadi sangat
kering dengan kadar air di bawah 3%, tahan terhadap pembasahan oleh
perekat untuk sementara waktu, karena air yang tersisa dalam kayu
tidak cukup kuat untuk membentuk gaya intermolekuler dengan air
dalam perekat.
Perubahan dimensi menandai adanya perubahan kadar air yang
besar dan berakibat nyata pada kinerja ikatan perekat. Saat kayu
disatukan akan mengalami penyusutan dan pengembangan, yang
menimbulkan tegangan yang cukup kuat untuk mematahkan ikatan
perekat dengan kayu. Patahnya ikatan perekat mungkin terjadi ketika
kedua potongan kayu yang bersebelahan direkat dengan arah serat dan
koefisien penyusutan yang berbeda. Contohnya adalah arah radial
direkat dengan arah tangensial atau pada kasus paling buruk yaitu arah
longitudinal direkat dengan arah tangensial atau radial. Walaupun
tingkat kadar air pada kedua potongan kayu sama, tapi memungkinkan
mengalami perubahan dan terjadi tegangan yang kuat. Di samping itu,
jika kadar air pada satu potongan kayu setimbang dengan udara di
sekitarnya, tetapi potongan yang lain dengan arah serat yang berbeda,
akan menguat ketika mendekati kesetimbangan kadar air. Kemudian
73
jumlah tegangan akan bertambah dan hampir dipastikan akan
mematahkan ikatan perekat atau kayu, tergantung mana yang lemah.
Perubahan dimensi kayu berpengaruh terhadap perekatan.
Perluasan atau kontraksi selama pematangan dapat menekan perekat
sebelum menghasilkan kekuatan yang cukup kompak. Hal penting
yang lebih besar lagi adalah pengaruh penyusutan dan pengembangan
setelah perekat dimatangkan, karena kebanyakan penyatuan potongan
kayu yang mempunyai perbedaan dan bahkan orientasinya tegak lurus
terhadap arah serat. Ketika direkat bersama-sama, satu potongan kayu
cenderung untuk menyusut atau mengembang ke arah tebal serat,
berlawanan dengan kayu yang sebelahnya yang tidak menyusut atau
mengembang ke arah memanjang serat (Wellons, 1983).
74
terkonsentrasi dan tertinggal pada permukaan seperti air yang dievaporasi.
Ekstraktif non polar seperti terpene dan asam lemak adalah salah satu
faktor utama yang menghalangi ikatan perekat. Bahan-bahan tersebut
tidak larut dalam larutan perekat terutama perekat asam, dan dapat
menghalangi pembasahan atau bertindak sebagai penghalang terhadap
penetrasi perekat.
Selulosa, lignin dan ekstraktif terlibat dalam perekatan kayu,
terutama dalam pembentukan ikatan, juga di dalam kinerja ikatan tetapi
sampai taraf tertentu. Pengaruhnya sangat kritis pada rantai 4 dan 5,
sedangkan pada rantai 2 dan 3 kurang berpengaruh. Rantai 6 dan 7 juga
terlibat pada pembentukan ikatan karena adanya pengaruh ekstraktif pada
penetrasi perekat. Rantai 8 dan 9 terpengaruh oleh selulosa, lignin dan
ekstraktif terutama karena berhubungan dengan kekuatan dan stabilitas
dimensi.
Persoalan utama timbul ketika pengaliran ekstraktif bervariasi dari
satu bagian ke bagian lain, dari satu titik ke titik lain pada spesies yang
sama. Perbedaan kandungan ekstraktif antara kayu gubal dan kayu teras
adalah penyebab utama variasi distribusi ekstraktif. Di dalam lingkaran
tahun, ada kemungkinan perbedaan kandungan ekstraktif tergantung pada
lokasi jaringan tempat ekstraktif itu berada, seperti saluran resin dan sel-sel
penyimpan.
Kandungan abu secara umum kurang dari 0,5%, tidak memiliki
pengaruh secara langsung dalam kinerja perekat, kecuali kandungan abu
mungkin mempengaruhi pH atau karakteristik mesin. Kayu-kayu dengan
kandungan silika tinggi sangat mengganggu karena dapat menumpulkan
mata pisau/gergaji yang kemudian menghasilkan permukaan yang miskin
perekat. Hal ini secara umum dipandang sebagai cacat dan bukan
merupakan masalah dalam perekatan, meskipun kadang–kadang sebuah
ikatan yang lemah terjadi berkaitan dengan perbedaan higroskopisitas.
75
Sumber : Marra, 1992
Gambar 28. Grafik tegangan dan regangan pada (a) kayu segar dan (b)
kayu kering
76
Sumber: Marra, 1992
Gambar 29. Respon kayu terhadap permukaan bidang rekat yang tidak
rata
77
Batas elastis dan keteguhan tekan (ketahanan terhadap tekanan)
menjadi rendah karena air dan panas. Deformasi yang menyebabkan
plastisitas tidak dapat dipulihkan oleh waktu tetapi menjadi permanen dan
ini dinamakan regangan yang tidak dapat balik/irreversible strain.
Deformasi yang meliputi retak dinding sel juga dipertimbangkan
irrecoverable. Kayu yang telah mengalami suatu tahap pemulihan yang
disebabkan oleh pemasukan air merupakan suatu bentuk pemulihan yang
lambat.
Tekanan pada kayu selama pembentukan ikatan berakibat pada
kinerja ikatan, sebab pemulihan dari tekanan menghasilkan gaya tegak
lurus pada garis rekat, yang merupakan arah yang paling lemah. Pada
daerah (2) tidak hanya terjadi kekurangan perekat dan ikatan yang lemah,
juga menghasilkan gaya/kekuatan yang berbahaya pada garis rekat daerah
yang lain. Pada daerah (3) tidak ada ikatan karena rantai pada satu sisi
sama sekali hilang.
Perekat menyebar, mengering dan mengeras tetapi tidak terikat atau
hanya terikat dengan lemah di permukaan kayu. Tentu saja perekat akan
menyusut pada kondisi ini, jika perekat tidak mempunyai kemampuan
mengisi celah, atau menjadi berbusa jika perekat mengeras secara elektrik.
Pada daerah (1), papan mencoba untuk kembali pada posisi awalnya, dan
dalam pelaksanaannya menghasilkan tekanan tarik tegak lurus garis rekat,
seperti sebuah papan terjun (diving), naik turun saat kita melompat dari
papan tersebut.
Tekanan yang melibatkan ikatan yang menyeluruh muncul dari dua
sumber yang berbeda, yaitu internal dan eksternal. Keduanya bergantung
pada kekuatan kayu yang besarnya sebanding dengan tekanan yang
diberikan kepada garis rekat. Kekuatan kayu juga menentukan tempat
kerusakan (failure) ketika tekanan melebihi batas dari sistem. Pengamatan
perlu dilakukan terhadap seluruh kegagalan yang terjadi di dalam kayu
(rantai 8 dan 9), pada garis rekat (rantai 1) atau secara parsial pada daerah
di antara keduanya. Kegagalan pada rantai 4 dan 5 mengindikasikan
bahwa tidak semua daerah terlibat dalam perekatan karena adanya
perbedaan kekuatan (Marra, 1992).
Besarnya tekanan di garis rekat bergantung pada besarnya sifat
kekuatan pada kedua sisi garis rekat, dan pada kayu yang dilibatkan.
Tekanan internal minimum akan terjadi ketika kayu pada salah satu sisi
garis rekat adalah sama pada setiap keadaan.
Tekanan eksternal adalah tekanan yang diberikan kepada garis rekat
yang berasal dari luar struktur seperti beban dalam berbagai arah, yang
mengumpul atau menyebar bergantung pada sifat-sifat kayu dan lokasi
rekatan di dalam sistem perekatan. Dalam banyak kasus, tekanan
perekatan tidak lebih besar dari tekanan yang dapat ditahan kayu (rantai 8
dan 9).
78
2. Sifat Pengerjaan Kayu
Permukaan kayu dicirikan oleh tekstur dan komponen kimianya.
Kombinasi tekstur permukaan dan kandungan kimia menentukan pembasahan
permukaan kayu oleh perekat. Kekasaran permukaan kayu bervariasi, paling
tidak tingkat mikrokopis.
Proses pengerjaan mempengaruhi tekstur permukaan. Ketidakteraturan
permukaan dapat terjadi karena pengerjaan mesin seperti gigi gergaji, goresan,
lekukan-lekukan, retak kupas dan bentuk sobek yang lain serta retak dan serat
yang hancur. Semua hal yang tidak terduga tersebut mengakibatkan
bertambahnya jumlah perekat yang diperlukan dan mengganggu proses
perekatan. Jika ikatan perekat diinginkan sangat kuat maka kontak antara kayu
dengan kayu harus sedekat mungkin dan garis rekat harus setipis mungkin.
Kontak yang dimaksud dapat diperoleh dengan memberikan tekanan pada salah
satu permukaan terhadap permukaan yang berlawanan.
Permukaan kayu memiliki kandungan kimia dan tekstur beragam. Karena
rantai polisakarida ditutupi lignin, hampir semua dinding serat yang terpotong
menampakkan kedua komponen ini, tetapi jumlahnya bervariasi bergantung
tempat dimana dinding sel itu dipotong. Bila dinding sel dipotong sepanjang
lapisan dinding sekunder seperti yang sering terjadi saat pengerjaan dengan
pisau, komponen utama yang nampak adalah polisakarida. Tetapi potongan
pada lamela tengah, yaitu lapisan yang mengikat satu serat dengan serat yang
lain, yang lebih dominan tampak adalah lignin. Apabila lumen serat
ditampakkan seperti pada pengupasan venir maka akan lebih banyak senyawa
yang muncul di permukaan. Disamping itu, setelah sel-sel mati, ekstraktif
sebagai produk sampingan dari metabolit sekunder mengendap dalam lumen
serat yang akan membentuk lapisan tambahan pada permukaan lumen.
Ekstraktif akan menjadi masalah yang serius dalam perekatan apabila
terdapat dalam jumlah yang berlebihan. Pada beberapa jenis kayu, kandungan
ekstraktif antara 10-30% menyebabkan kayu tersebut menjadi lebih sulit untuk
direkat. Pengikatan akan menjadi lambat terjadi meskipun kandungan ekstraktif
lebih sedikit, apabila ekstraktif terkonsentrasi secara keseluruhan. Pada saat
pengeringan, ekstraktif akan menguap dan bergerak ke permukaan. Senyawa-
senyawa tersebut terkonsentrasi dan tertinggal pada permukaan seperti air yang
dievaporasi. Ekstraktif nonpolar seperti terpena dan asam lemak adalah salah
satu faktor utama yang menghalangi ikatan perekat. Bahan-bahan tersebut tidak
larut dalam larutan perekat, terutama perekat asam, dan dapat menghalangi
pembasahan atau bertindak sebagai penghalang terhadap penetrasi perekat
Keasaman permukaan kayu terutama tergantung pada ekstraktif.
Keasaman diukur dengan satuan pH. Nilai yang lebih dari 7 menggambarkan
keadaan basa, bila nilainya kurang dari 7 menggambarkan kondisi asam. Makin
kecil angka ini maka makin asam kayunya. Softwood mengandung sedikit
ekstraktif, pH-nya antara 5 sampai 6 dan hampir semua jenis seperti itu. Tetapi
beberapa ekstraktif pada hardwood akan membuat permukaan kayu sangat asam,
terutama tanin. Karena kecepatan arah bolak-balik pada hampir semua perekat
termosetting tergantung pada pH, maka perekat tersebut harus diformulasi
berdasar pH kayunya.
79
Pemanasan permukaan kayu pada temperatur lebih dari 3000F dalam
beberapa detik akan memodifikasi susunan kimia kayu tersebut dan akan
menjadi semakin sulit merekatkan kayunya. Pemanasan berlebihan seperti itu
terjadi antara waktu pengeringan dan pengerjaan terutama karena peralatan yang
tumpul.
a. Keterbasahan (Wettability)
Keterbasahan adalah kondisi suatu permukaan yang menentukan sejauh
mana cairan akan ditarik oleh permukaan, mempengaruhi absorpsi, adsorpsi,
penetrasi dan penyebaran perekat (Marra, 1992).
Untuk memungkinkan terjadinya ikatan antara perekat dan permukaan
sirekat, perekat harus lebih dulu membasahi permukaan, dengan kata lain
perekat harus diaplikasikan dalam bentuk cairan (sebagai larutan, dispersi
atau hot-melt). Ukuran keterbasahan suatu permukaan adalah sudut kontak
yang terbentuk antara cairan yang jatuh pada permukaan yang datar dan
halus (www.specialchemical4adhesive.com).
Pembasahan yang baik terjadi ketika sudut kontak (θ) antara perekat dan
substrat lebih kecil dari 900. Pembasahan sempurna terjadi ketika ikatan
molekular antara cairan dan padatan (adherend) lebih besar dibandingkan
ikatan molekular dalam cairan. Berhasil atau tidaknya cairan membasahi
suatu padatan tergantung pada tegangan permukaan kedua substan, misalnya
polimer dan substrat.
80
permukaan dari kayu kering berkisar 20–40 dynes/cm, menandakan keadaan
nonpolar atau hidrofobik alami dari kayu kering. Suhu pengeringan yang
berlebihan dan lamanya waktu pengeringan merupakan penyebab utama
menurunnya energi permukaan. Tegangan kritis permukaan kayu meningkat
sampai dengan 70 dynes/cm ketika kadar air meningkat sampai 30%.
Peningkatan energi permukaan yang dipengaruhi kadar air, terjadi
karena pengembangan struktur kayu yang melepaskan gugus hidroksi polar
akan mengembangkan cairan dan polimer perekat. Perekat cair dapat
menyebabkan pengembangan kayu secara substansial. Dengan demikian,
beberapa perekat kayu mempunyai kapasitas untuk mengkonversi
permukaan kayu yang energinya rendah menjadi energi permukaan yang jauh
lebih tinggi. Proses peralihan kayu gubal menjadi kayu teras akan
mengurangi energi permukaan, karena adanya ekstraktif nonpolar. Perekat
cair dengan pH rendah seperti urea formaldehida mempunyai kesulitan
dalam pembasahan dan menempel pada permukaan. Sedangkan perekat cair
yang bersifat alkali (pH>8) seperti phenol formaldehida untuk perekat kayu
lapis dapat memecahkan ekstraktif nonpolar dan meningkatkan energi per-
mukaan sehingga cukup untuk membentuk ikatan yang baik (Wellons, 1983).
Perekat yang tidak mengandung air seperti hot melt, yang dipersiapkan
untuk kayu kering merupakan perekat yang rendah energi. Perekat rendah
energi ini tidak mampu memindahkan airnya dari permukaan kayu dalam
rangka membentuk kontak molekuler dengan polimer-polimer penyusun
kayu. Oleh karena itu, ketika kadar air kayu meningkat, kualitas ikatan akan
menurun dengan semakin sedikitnya sistem perekat polar (Wellons, 1983).
1.0
0.9
Cosine of angle
0.8
0.7
0.6
0.5
0.4
0.3
15.0 17.0 20.0 22.5 25.0 27.5 30.0 32.5 35.0 dynes/cm
81
Keterbasahan dipengaruhi oleh berbagai faktor yang berhubungan
dengan perekat (tegangan permukaan, suhu, kekentalan) dan kayu (kerapatan,
porositas, ekstraktif). Kayu-kayu yang berkerapatan rendah (porositasnya
tinggi) menjadi lebih baik untuk dibasahi, sedangkan ekstraktif dalam jumlah
berlebihan atau ekstraktif nonpolar seperti terpena dan asam lemak
mempunyai pengaruh yang kurang baik. Keterbasahan juga dipengaruhi oleh
kebersihan permukaan kayu dan kondisi-kondisi pengerjaan dengan mesin.
Sebagai contoh, pisau yang tidak tajam menyebabkan permukaan kayu
menjadi terlalu panas atau terjadi compaction (permukaannya mengeras).
Pengeringan vinir pada suhu tinggi di atas 160 0C (320 0F) mengakibatkan
menurunnya keterbasahan.
Viskositas perekat sangat berpengaruh terhadap pembasahan, misalnya
viskositas yang rendah, akan semakin mudah untuk membasahi substrat. Hal
ini menjelaskan bahwa sifat-sifat rheologi perekat harus disesuaikan dengan
kondisi penerapannya (permukaan substrat, waktu pematangan, tekanan,
suhu).
Karakteristik fluiditas biasanya dijelaskan dalam viskositas. Satuan
pengukuran viskositas adalah poise (P) atau centi poise (CP). Perilaku
viskositas cairan terhadap perubahan kecepatan pergeseran adalah sebagai
berikut.
82
1) Viskositas meningkat bila kecepatan pergeseran meningkat, dinamakan
dilatancy.
2) Viskositas menurun bila kecepatan pergeseran meningkat, dinamakan
thixotrophy.
3) Tidak ada perubahan viskositas dengan perubahan kecepatan pergeseran
dinamakan newtonian liquid.
Sebagian besar perekat kayu bersifat thixotropic.
83
keterbasahan dengan metode TAAT, bila dibandingkan dengan metode sudut
kontak. Hasil pengukuran keterbasahan dengan cara sudut kontak
merupakan nilai keterbasahan dari permukaan kayu yang akan direkat
sehingga relatif lebih akurat jika digunakan untuk menduga keteguhan rekat.
b. Keterekatan (Gluability)
Keterekatan adalah suatu istilah yang digunakan untuk menggambarkan
kemampuan kayu untuk melekat dengan menggunakan perekat. Tipe
ekstraktif tertentu yang terkandung dalam kayu dari beberapa jenis mungkin
melemahkan kekuatan ikatan dari perekat. Kekuatan perekat dari kayu yang
direkat telah diuji secara tradisional dengan pengujian destruktif. Kadar air,
distribusi cairan di seluruh potongan kayu, kestabilan bentuk dan ukuran,
perlakuan pengawetan, ketahanan terhadap api serta kestabilan dimensi
mempengaruhi keterekatan dan biasanya pengaruh yang ditimbulkan adalah
negatif.
Keterekatan merupakan karakteristik yang penting ketika
mengaplikasikan perekat pada suatu jenis kayu. Banyak kayu mempunyai
kandungan lilin alami atau minyak yang cenderung untuk menolak jenis
perekat tertentu, terutama perekat berpelarut air. Salah satu cara untuk
meminimalkan pengaruh ini adalah dengan membersihkan permukaan yang
akan direkat dengan thiner sebelum direkat. Juga menggunakan perekat yang
tidak berpelarut air seperti epoksi yang akan membantu proses perekatan.
84
akan seragam dan dapat melaburkan keseluruhan perekat di atas permukaan
bidang rekat.
Proses yang paling sulit sebelum kayu direkat adalah pembuatan
sambungan, penyerutan dan pengamplasan dengan mesin. Bagian kayu yang
telah diratakan akan menghasilkan intimate contact dan garis rekat yang tipis.
Akibat penyerutan dan pengamplasan, irregularities akan berkurang, serat-serat di
permukaan akan menjadi tidak rusak dan penyerutan dapat menghilangkan
ekstraktif yang ada di permukaan akibat pengeringan. Tetapi hal ini tidak
berlaku untuk papan serat, kayu lapis dan papan partikel.
Menurut Marra (1992), dalam mempersiapkan kayu agar dapat melekat, ada
dua sasaran yang perlu perhatian, yaitu menciptakan elemen kayu agar bisa
direkat, baik ukuran maupun bentuknya dan menghasilkan permukaan yang
akan direkat satu dengan yang lainnya (sangat berdekatan) hanya dengan
tekanan yang kecil. Untuk mencapai sasaran tersebut, faktor-faktor yang harus
diperhatikan adalah kehalusan, ketepatan ukuran, kadar air dan distribusinya,
keseluruhan permukaan, permukaan inaktif, sudut serat dan bidang potong.
Kayu yang telah diberi perlakuan kimia seperti penambahan bahan
pengawet atau bahan tahan api akan mempengaruhi proses perekatan. Bahan
kimia akan masuk terutama ke dalam rongga sel, yang akan mengurangi
polaritas permukaan kayu dan menghambat penetrasi serta pembasahan. Perekat
harus dipilih dengan seksama ketika diaplikasikan ke substrat yang telah diberi
perlakuan kimia karena perekat akan matang sebelum waktunya. Pengenceran
perekat padat dengan pelarut anorganik akan melemahkan lapisan film perekat,
perekat akan matang sebelum waktunya dan juga mencegah pematangan
sempurna dari perekat. Jika memungkinkan, bahan kimia tersebut diimpregnasi
setelah proses perekatan.
Kayu yang permukaannya bersih, berkerapatan rendah sampai sedang dan
telah dikeringkan akan menghasilkan ikatan perekat yang baik, sebaliknya kayu
yang kerapatannya tinggi mengandung bahan kimia tambahan yang akan
menghasilkan kualitas ikatan perekat yang lemah, jika variabel-variabel lain tidak
dikontrol dengan hati-hati.
Berdasarkan teori adhesi spesifik, untuk menghasilkan gaya atraksi molekul
dibutuhkan kontak yang sempurna antar permukaan yang akan direkat. Ini
berarti permukaan harus bersih dan halus. Kehalusan permukaan kayu tidak
dapat diperoleh seperti pada bahan-bahan metal atau kaca. Debu, uap air dan
minyak secara teoritis juga berada dalam lapisan monomolekul dan akan tampak
kotor pada permukaan. Hal ini akan menghambat pembentukan ikatan yang
kuat karena permukaan yang akan direkat harus dipersiapkan dalam waktu
singkat sebelum perekatan.
Pengkondisian utama dari kayu sebagai adherend adalah menyesuaikan
kadar air sebelum dilapisi perekat. Setelah kayu dikondisikan, permukaan dibuat
datar, halus dan bebas dari serat yang sobek, kemudian direkat dalam beberapa
jam setelah dilaburi perekat. Permukaan kayu yang dipersiapkan dengan pisau
pemotong seperti pada mesin penyerut (planer atau jointer) cenderung
menghasilkan lebih banyak serat-serat yang sobek pada permukaan, sehingga
85
berperan dalam melemahkan lapisan perekat. Walaupun beberapa industri
modern yang menggunakan gergaji bundar (circular saw) dapat menghasilkan
permukaan yang memuaskan jika menjaga ketajaman pisau dan jarak pisau yang
bagus. Biasanya kayu tersebut dapat direkat tanpa persiapan apapun pada
permukaannya setelah pengeringan. Permukaan vinir yang telah dikeringkan
pada suhu tinggi atau persediaan (stock) vinir untuk beberapa bulan atau tahun,
kadang-kadang memberikan kesulitan pada perekatan karena perubahan
permukaan yang tidak diketahui dengan baik.
2. Aplikasi Perekat
Tujuan pelaburan perekat adalah untuk mendistribusikan sejumlah perekat
dengan ketebalan yang seragam pada bidang rekat, sehingga dengan
penambahan tekanan, perekat akan mengalir membentuk lapisan tipis. Dengan
asumsi, pelabur dapat melaburkan perekat dengan seragam dan permukaan
labur halus, rata dan datar, maka perekat akan mengalir dengan ideal jika
tekanan yang diberikan seragam.
Tujuan dasar dari pelaburan perekat adalah untuk membentuk satu
keseragaman dan mengontrol jumlah perekat pada permukaan adherend (dalam
hal ini vinir). Alat-alat pelaburan perekat antara lain :
a. Roll coater
Bentuk roll coater bervariasi, tetapi yang terbaru menggunakan gulungan karet
untuk mentransfer perekat ke permukaan adherend dan memiliki gulungan
metal untuk mengukur perekat di atas gulungan karet. Pola gulungan karet
bervariasi, tergantung pada kekentalan perekat, laju penggunaan dan
kekerasan adherend. Biasanya roll coater digunakan untuk melabur dua bidang
adherend dalam satu kali aplikasi.
b. Curtain coater
Curtain coater tersebut berjalan dengan cara menyimpan perekat film basah
pada adherend melalui curtain yang turun, yang hanya bisa melaburi satu sisi
dalam satu waktu.
c. Spray coater
Alat ini bekerja dengan cara menyeprot perekat pada satu sisi adherend.
86
Pelaburan dapat menggunakan kuas secara manual. Namun dalam
industri, perekat dilaburkan dengan mesin seperti roll spreader, extruder, curtain
coater atau spray. Selain pelaburan membentuk lapisan yang seragam, ekstruder
melabur secara kontinu, dengan ukuran butiran perekat dan laju aliran yang
seragam. Ketika tekanan diberikan pada kedua permukaan, perekat tertekan
menjadi lapisan tipis. Ekstruder jenis ini digunakan untuk melaburkan perekat
pada vinir dalam pembuatan LVL (laminated veneer lumber).
Berat labur bervariasi bergantung tebal tipisnya vinir dan jenis perekat.
Untuk perekat urea formaldehid, melamin-urea formaldehid dan phenol
formaldehid, berat labur yang digunakan berdasarkan ketebalan vinir core adalah
sebagai berikut :
Tabel 23. Berat labur perekat UF, MUF dan PF pada vinir
Ketebalan core Berat labur (g/ft2)
(mm) UF MUF PF
1,3 – 1,8 28 – 32 29 – 31 30 – 32
1,8 – 2,6 32 – 36 31 – 36 32 – 34
2,6 – 3,6 36 – 38 36 – 38 34 – 36
3,6 – 4,0 38 – 40 38 – 42 36 – 38
> 4,0 ³ 40 42 40
Sumber : Marra (1992)
87
pengempaan yang terlalu singkat dapat mengakibatkan perekat belum matang
atau proses pemadatan perekat belum sempurna.
Syarat minimum waktu pengempaan dingin dengan menggunakan klem
berbeda-beda tergantung dari karakteristik perekat dan suhu saat berikatan,
tetapi untuk kayu normal selang waktunya antara 16–18 jam. Umumnya
pengempaan dingin dilakukan dalam waktu semalam.
Untuk kayu lapis menggunakan kempa panas, suhu plat antara 120 0C
sampai 150 0C, dan waktu kempa bervariasi antara 1–2 menit untuk ketebalan 6
mm (garis rekat paling dalam 2 mm), sampai 3–4 menit untuk 12 mm (garis rekat
paling dalam 4 mm) dan di atas 10 menit atau lebih untuk ketebalan 25 mm atau
lebih.
4. Aplikasi Tekanan
Pemberian tekanan dilakukan dengan pengepresan/pengempaan. Tujuan
dari pengempaan adalah untuk membawa sirekat bersentuhan lebih dekat, hanya
dipisahkan oleh lapisan perekat yang amat tipis dan untuk mendapatkan assembly
yang tidak terganggu, hingga perekat memiliki kekerasan yang cukup untuk
menahan tekanan pada perekat saat tekanan dilepas. Tingkat tekanan diperlukan
untuk membawa adherend hingga benar-benar dekat, bergantung pada :
a. Tingkat pre exiting flatness.
b. Kekuatan, modulus bahan adherend dan kemampuan untuk menahan
perubahan bentuk di bawah tekanan.
Permukaan yang sangat halus, rata dan adherend yang tidak kaku akan
merekat dengan tekanan relatif rendah. Dalam prakteknya tekanan perekatan
untuk panel kayu softwood rata-rata 1,2–1,4 Mpa.
Ada dua macam pres/tekanan yang dipakai dalam membuat panel vinir,
yaitu tekanan plat/plate panas dengan hydraulic cylinder, dan tekanan dingin yang
yang merupakan tekanan awal yang diberikan secara hidrolik dan kemudian
klem (clamp) sekrup dipasang beban untuk menahan tekanan selama periode
pengerasan (curing). Pada pres panas tunggal atau multi bukaan, panel
ditempatkan pada plat panas dan ditekan secepat mungkin. Kadang-kadang
pada panel yang sangat tipis atau sangat pendek digunakan sistem berlapis-lapis.
Pada kempa dingin, panel ditumpuk satu per satu sampai ketinggian yang
diinginkan. Tumpukan ditempatkan di tempat plat kempa kemudian dilakukan
penekanan dengan tekanan tertentu, klem dikencangkan, dan tumpukan yang
sudah diklem dipinggirkan untuk direkat sampai mengeras (cure) sementara
tumpukan lain disusun. Perbedaan utama kempa panas dan kempa dingin
adalah pada sejauh mana kekuatan perekat yang dilibatkan, yang disebabkan
faktor pemanasan dan tekanan.
Pada kedua proses ini, penyesuaian permukaan garis rekat diupayakan
melalui deformasi tekanan pada kempa panas dan deformasi bending pada kempa
dingin. Kempa panas akan menghasilkan panel dengan permukaan yang lebih
rata namun bernoda, sedangkan pada kempa dingin permukaan panel dapat
menjadi tidak rata tetapi pengikatan lebih seragam.
88
Kempa dingin bertujuan untuk memaksa perekat menjadi lapisan film yang
kompak dan mengeluarkan perekat yang berlebihan. Selain itu, memungkinkan
proses transfer perekat dari permukaan kayu yang dilaburi perekat ke
permukaan yang tidak dilaburi perekat, menjadikan permukaan yang direkat
dalam keadaan kontak tertutup serta menahannya sampai perekat mengeras dan
memaksa sebagian perekat masuk ke dalam rongga sel.
Besarnya tekanan yang diberikan disesuaikan dengan berat jenis atau
kerapatan kayu yang akan direkat. Akibat pengempaan akan terdapat sel kayu
yang pecah. Semakin tinggi berat jenis kayu, maka semakin tebal dinding selnya
sehingga diperlukan tekanan yang lebih tinggi untuk memecahkannya. Bila
tekanan terlalu tinggi maka kayu akan menjadi rusak sehingga keteguhan
rekatnya kurang baik. Di samping itu, tekanan yang terlalu tinggi akan
mengakibatkan banyak perekat yang keluar dari bidang perekatan, sehingga
jumlah perekat pada garis rekat terlalu sedikit. Pemberian tekanan yang terlalu
rendah juga berpengaruh kurang baik karena penembusan perekat kurang dalam,
kontak antara permukaan yang satu dengan permukaan yang berlawanan
menjadi kurang rapat. Disarankan menggunakan tekanan sebesar 100 psi untuk
jenis kayu berkerapatan rendah dan 200 psi untuk jenis kayu yang berkerapatan
tinggi.
Tekanan yang diberikan tergantung pada waktu pengempaan, suhu dan
jenis perekat yang digunakan. Untuk perekat urea formaldehid, kempa dingin
diperlukan tekanan 10–12 kg/cm2 selama 10–20 menit dengan kempa panas
diperlukan 10–12 kg/cm2 pada suhu 100 0C selama 1,3 menit/mm, suhu 110 0C
selama 1,0 menit/mm dan pada suhu 120 0C selama 0,8 menit/mm. Perekat
melamin-urea formaldehid memerlukan waktu 1,0 menit/mm pada suhu 115 –
120 0C sedangkan perekat phenol formaldehid pada suhu 120–145 0C selama 1
menit.
Pada multi bukaan, panel di bagian atas adalah yang pertama kali
mengalami curing sebelum pengempaan yang dapat membantu pergerakan
perekat. Pada umumnya pengempaan yang lebih cepat dan proses
pengaplikasiannya akan menghasilkan kualitas ikatan yang lebih seragam.
Perekat akan berbeda-beda toleransinya terhadap closing time; yang lebih reaktif
berarti kurang toleran.
Setelah papan dipersiapkan dan perekat dilabur, tekanan diberikan secara
merata dengan menggunakan klem sekrup pada papan yang direkat. Sistem
klem sangat efektif dan memungkinkan untuk digunakan pada pembuatan
komponen struktural yang besar dalam proses yang terkontrol. Hal penting
dalam sistem klem adalah terjadinya interaksi antara kayu dan perekat. Seluruh
tipe klem sekrup memiliki satu ciri umum yaitu sekali sekrup dikencangkan,
klem tetap mempertahankan posisinya terhadap beban, berbeda dengan sistem
hidrolik. Tekanan dipertahankan hanya untuk memadatkan dan menurunkan
sifat-sifat kayu sampai batas yang diijinkan. Ini berarti bahwa klem tidak
membantu pergerakan perekat atau perubahan bentuk kayu yang terjadi
berangsur-angsur selama siklus pengempaan, karena itu variasi tekanan
sebenarnya terjadi sepanjang waktu.
89
Mekanisme perekat selama proses pengempaan meliputi penetrasi dan
peluberan perekat, kemudian terjadi pengerasan (hardening) yang ditandai
dengan penyusutan. Kejadian ini mengurangi volume perekat pada garis rekat.
Perekat yang tersisa mungkin tidak cukup untuk mengikat secara sempurna antar
permukaan. Gaya tekan harus terus dipertahankan secara konsisten untuk
menjamin kedekatan permukaan saat volume perekat berkurang. Inflated hoses
kadang-kadang diletakkan di antara kepala klem dan kayu untuk meratakan
tekanan.
Perubahan bentuk kayu dapat menambah permasalahan. Kayu yang
diklem akan mengembang sebagai reaksi terhadap difusi perekat, sehingga akan
meningkatkan tekanan klem. Meskipun demikian tegangan balik klem
menyebabkan tekanan pada klem, sehingga terjadi penyusutan tebal laminasi
yang diinginkan. Seseorang dapat merasakan naik turunnya tekanan pada garis
rekat sebagai efek selama periode penekanan. Pada akhir siklus tekanan yang
lama (24 jam atau lebih), tidak jarang ditemukan klem yang longgar/mengendur,
karena tekanan turun ke nol sebagai hasil dari penyusutan. Kadang perlu
menempatkan pengukur tekanan pada klem untuk mengetahui besarnya tekanan
selama periode 24 jam.
Tekanan yang diberikan dipengaruhi oleh kerapatan atau jenis kayu
yang akan direkat. Jenis kayu berkerapatan tinggi memerlukan tekanan yang
lebih tinggi dibandingkan jenis kayu berkerapatan rendah. Selain itu juga
dipengaruhi oleh compresibilitas kayu dan mudah tidaknya kayu untuk
terdeformasi oleh tekanan. Tekanan sebesar 100–250 psi cukup baik untuk
sebagian besar aplikasi.
90
DAFTAR PUSTAKA
Freeman, H.A. 1959. Relation between Physical and Chemical Properties of Wood
and Adhesion. Forest Product Journal 9 (12) : 451 -458.
Frihart, C.R. 2005. Wood Adhesion and Adhesives. In : Rowell, R.M. (Ed.);
Handbook of Wood Chemistry and Wood Composites. CRC Press,
Washington, USA. Chap. 9.
Gent, A.N. and R.M. Hamed. 1983. Fundamentals of Adhesion. In : Blomquist, R.F.,
Christiansen, A.W., Gillespie, R.H. and Myers, G.E. (Eds.) ; Adhesive
Bonding of Wood and Other Structural Materials. Forest Product
Technology USDA Forest Service and The Univ. of Wisconsin. Chap. 2.
Gollob, L. and J.D. Wellons. 1990. Wood Adhesion. In : Skeist, I. (Ed.) ; Handbook
of Adhesives, 3rd edition. Van Nostrand Reinhold. New York.
Jordan, D.L. and J.D. Wellons. 1977. Wettability of Dipterocarps Veneers. Wood
Science 10 (1) : 22 – 27.
Kishi, H., A. Fujita;, H. Miyazaki, S. Matsuda and A. Murakami. 2005. Natural Fiber
Reinforced Wood-Based Epoxy Composites. Proceeding of The 8th Polymers
91
for Advanced Technologies International Symposium. Budapest, Hungary,
13-16 September 2005.
Lee, S.H. 2003. Phenolic Resol Resin from Phenolated Corn Bran and Its
Characteristics. J. Appl. Polym Sci 87 : 1365 - 1370, 2003.
Meda, A.A. 2006. Kualitas Komposit dan Likuida Limbah Sabut Kelapa dengan
Fortifikasi Poliuretan. Skripsi Fakultas Kehutanan. IPB. Bogor. Tidak
diterbitkan.
Packham, D.E. 2003. The Mechanical Theory of Adhesion. In : Pizzi, A. and Mittal,
K.L. (Eds.) ; Handbook of Adhesive Technology (2nd ed.). Marcel Dekker,
New York. Chap. 21.
Packham, D.E. 2003. A Seventy Year Perspective and Its Current Status. School of
Materials Science. University of Bath. United of Kingdom.
http://people.bath.ac.uk/mssdep/dep70yrs.htm.
Pamungkas, E.A. 2006. Kualitas Papan Partikel Limbah dan Likuida Sabut Kelapa
dengan Fortifikasi Melamin Formaldehid. Skripsi Fakultas Kehutanan. IPB.
Bogor. Tidak diterbitkan.
Pizzi, A. 1983. Wood Adhesives, Chemistry and Technology. Marcel Dekker, New
York.
Pizzi, A. 1994. Advanced Wood Adhesives Technology. Marcel Dekker, Inc. New
York.
Prasetyo, A. 2006. Perekat Likuida Bambu untuk Papan Partikel Bambu Skripsi
Fakultas Kehutanan. IPB. Bogor. Tidak diterbitkan.
Rinawati. 2002. Perekat Berbahan Dasar Lignin untuk Kayu Lapis Meranti. Skripsi
Fakultas Kehutanan. IPB. Bogor. Tidak diterbitkan.
Rowell, R.M. 2005. Handbook Of Wood Chemistry and Wood Composites, CRC
Press. New York.
Ruhendi, S. dan Y.S. Hadi. 1997. Perekat dan Perekatan. Jurusan Teknologi Hasil
Hutan. Fakultas Kehutanan. IPB. Bogor.
Russel, J.A. and W. F. Riemath. 1985. Method for Making Adhesive from Biomass
US Patent 4.508.886, 2 April 1985.
92
Santoso, A. 1995. Pencirian Isolat Lignin dan Upaya Menjadikannya Sebagai Bahan
Perekat Kayu Lapis. Tesis Pascasarjana Ilmu Pengetahuan Kehutanan. IPB.
Bogor. Tidak diterbitkan.
Satuhu, E. 1987. Keterbasahan dan Kekuatan Perekatan Lima Jenis Kayu Indonesia.
Skripsi Fakultas Kehutanan IPB. Bogor. Tidak diterbitkan.
Shiraishi, N. and C.Y. Hse. 2000. Liquefaction of The Used Creosate-Treated Wood
in The Presence of Phenol and Its Application to Phenolic Resin. Wood
Adhesives 2000, pages 259-266.
Sudradjat, R., G. Pari dan M.I. Iskandar. 2003. Pembuatan Perekat Fenolik dari Lindi
Hitam yang Dipekatkan dengan Tanin atau Fenol Kristal. Buletin Penelitian
Vol. 21 No. 2 Tahun 2003. P3THH. Bogor
Suhanda, A.B. 1968. Hubungan antara Derajat Pembasahan dan Kekuatan Perekat
pada beberapa Jenis Kayu Indonesia. Skripsi Fakultas Kehutanan, IPB.
Bogor. Tidak diterbitkan.
Tan, L. 1992. Ekstraksi dan Identifikasi Tanin Kulit Kayu Beberapa Jenis Pohon serta
Penggunaannya sebagai Perekat Kayu Lapis Eksterior. Tesis Pascasarjana
Ilmu Pengetahuan Kehutanan. IPB. Bogor. Tidak diterbitkan.
Vick, C.B. 1999. Adhesive Bonding of Wood Material. In : Wood Handbook: Wood
as an Engineering Material. Forest Product Technology. USDA Forest
Service. Wisconsin.
93
Warsa, S.R. 1983. Gluability of Rotary Cut Veneers of Some Indonesian Wood Using
Adhesives Extended with Nani and Cassava Flours. Ph.D. Thesis.
University of Philippines. Los Banos.
Wellons, J. D. 1983. The Adherens and Their Preparation for Bonding. In : Bloquist,
R.F., Christiansen, A.W., Gillespie, R.H. and Myers, G.E. (Eds.): Adhesive
Bonding of Wood and Other Structural Materials. Forest Product
Technology USDA Forest Service. The University of Wisconsin-Extension.
Wellons, J.D., R.L. Krahmer, R. Raymond and G. Sleet. 1977. Durability of Exterior
Siding Plywood with South East Asia Hardwood Veneer. Forest Product
Journal 27 (2) : 38 – 44.
Widiyanto, A. 2002. Kualitas Papan Partikel Kayu Karet (Hevea brasiliensis Muel.
Arg.) dan Bambu Tali (Gigantochloa apus Kurtz) Dengan Perekat Likuida
Kayu. Skripsi Fakultas Kehutanan. IPB. Bogor. Tidak diterbitkan.
Wool, R.P. 2002. Diffusion and Autoadhesion. In : Chaudury, M. and A.V. Pocius
(Eds.); Adhesive Science and Engineering—2: Surfaces, Chemistry and
Applications. Elsevier, Amsterdam. Chap 8. pp. 351-401.
Wulansari. 2006. Perekat Likuida Core Kenaf dengan Fortifikasi Poliuretan. Skripsi
Fakultas Kehutanan. IPB. Bogor. Tidak diterbitkan.
Yoshioka, M., Y. Aranishi and N. Shiraishi. 1992. Liquefaction of Wood and Its
Applications. Forest Research Institute Bulletin No. 176, 7-8 November 1992.
Rotorua, New Zealand.
Yu, F., R. Ruan, E. Hare, Y. Liu, P. Chen, X. Lin, S. Deng, V. Morey, T. Yang, C. Chen,
C. Liu and Y. Gao. 2004. Preparation of Biopolymer from Liquefied Corn
Stover. The American Society of Agricultural and Biological Engineers.
Zalucha, D.J. and S.C.J. Wax. 1990. Adhesive and Adhesion. In : Dostal, C.A. et al.
(Eds.); Adhesives and Sealants, Enginereed Materials Handbook Vol. 3. ASM
International, USA.
94
BIODATA TIM PENULIS
95
Nurhaida, S.Hut. Dilahirkan di Pontianak, 15 Januari 1976.
Saat ini bekerja sebagai Dosen (Asisten Ahli) di Fakultas
Kehutanan, Universitas Tanjungpura, Pontianak. Pendidikan
terakhir adalah Sarjana Kehutanan Jurusan Kehutanan,
Fakultas Pertanian Universitas Tanjungpura. Saat ini sedang
mengambil program Master di Program Studi Ilmu
Pengetahuan Kehutanan, Sekolah Pascasarjana IPB. E mail:
ida_thh@yahoo.com.
96
Buku ini diyakini besar sekali manfaatnya bagi
mahasiswa atau praktisi industri komposit kayu
dan industri perekat dalam meningkatkan
wawasan dan keseksamaan memahami pemilihan
dan penggunaan perekat. Hal ini juga didukung
oleh kenyataan langkanya buku perekat dan
perekatan, khususnya buku yang berbahasa
Indonesia.