Anda di halaman 1dari 81

VERNAKULARITAS TEKSTUAL

DALAM PENSYARAHAN HADIS DI


NUSANTARA ABAD 20
Studi Atas Kitab Baḥr al-Mādhī karya Muhammad Idris
al-Marbawi

Tesis
Diajukan ke Sekolah Pascasarjana UIN Syarif Hidayatullah sebagai
salah satu persyaratan untuk memperoleh gelar Magister (MA) dalam
Bidang Pengkajian Islam

Oleh:
Hilmy Firdausy
NIM. 21181200000018

Di Bawah Bimbingan:
Dr. H. Fuad Tohari, M.Ag.

Konsentrasi Hadis dan Tradisi Kenabian


Magister Pengkajian Islam
Sekolah Pascasarjana UIN Syarif Hidayatullah
Jakarta 2020
KATA PENGANTAR

‫الحمد هلل رب العالمين وبه نستعين على أمور الدنيا والدين والصالة والسالم على‬
‫أشرف األنبياء والمرسلين سيدنا محمد صلى هللا عليه وسلم الذي تنحل به العقد‬
‫وتنفرج به القرب وتقضى به الجوائج وعلى آله وأصحابه أجمعين‬.

Alhamdulillah, tibalah saya di penghujung penelitian yang saya


dalami hampi dua tahun terakhir ini. Dalam proses pengerjaan tesis ini, tentu
banyak sekali pihak yang berkontribusi, mendukung, dan mempengaruhi jalan
pikiran saya. Kontribusi dalam berbagai macam bentuk, yang secara tidak
langsung juga menjadi faktor penting dalam proses pembentukan gagasan
yang saya tuangkan dalam tesis ini
Paling pertama saya haturkan terima kasih pada Ayahanda
Muhammad Kurdi Rawi dan Ayahanda Nur Iman Rakhmatillah. Kepada
Ibunda alm. Badriyyah dan Ibunda Suwaibah. Seluruh keluarga Bani Hafidz
di kampung halaman. Kepada Bapak Widodo dan Ibu Siti, orang tua mertua
saya. Semoga Allah menjaga mereka semua dan memberkahi petak-petak usia
mereka dengan amal salih yang bermanfaat.
Terima kasih kepada guru dan kiai-kiai saya. Kepada al-Sufi Kiai
Zuhri Zaini dan masyayikh Nurul Jadid, Mbah Kiai Noor Muttaqin al-Hafidz
dan al Mufassir Mbah Kiai Sya’roni Ahmadi al-Hafidz, almarhum al-
Muhaddith Kiai Ali Mustafa Yaqub. Karena mereka lah saya “ada” dan
“bernyawa”. Seluruh karakter dan jati diri saya ditempa melalui kebijaksanaan
dan kesabaran kiai kiai saya.
Terima kasih juga saya haturkan kepada seluruh jajaran pengurus
Sekolah Pascasarjana UIN Syarif Hidayatullah. kepada Prof. Dr. Asep
Saipudin Jahar, MA. selaku Direktur SPs UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
Kepada Bapak Arif Zamhari, Ph.D selaku Ketua Program Magister
Pengkajian Islam. Kepada Dr. Imam Sujoko, sekretaris Program Magister dan
seluruh jajaran TU yang telah membantu proses administrasi dan fase-fase
diujikannya tesis ini. Saya juga haturkan matur sembah nuwun kepada Kiai
Dr. H. Fuad Tohari yang telah membimbing selama pengerjaan tesis ini.
Kepada seluruh penguji dan reviewer yang tidak bisa saya sebutkan satu per
satu, saya haturkan juga terima kasih.
Terima kasih juga saya haturkan untuk Kiai Ahmad Baso pengasuh
Pondok Pesantren Islam Nusantara Belakang Pasar Ciputat; tempat saya
memperdalam al-Jabiri, Studi Postra dan Studi Poskol. Dari beliaulah saya
mendapati sebuah kitab luar biasa bernama Bahr al-Madhi ini.
Terima kasih juga untuk seluruh kawan, teman dan sahabat yang
sedikit banyak membantu proses penyelesaian tesis ini; kepada kawan-kawan

iv
SPs angkatan 2018; dewa asatidz, musyrif dan mahasantri Darus-Sunnah dan
seluruh pihak yang sudah membantu. Terima kasih kepada Kangmas
Abdurrouf dan seluruh kamerad di Harakah ID yang telah memberi dukungan,
baik langsung maupun tak langsung.
Terakhir, terima kasih juga untuk istri saya, Lili Siwidyaningsih.
Tanpanya, mungkin tesis ini tidak akan pernah muncul ke permukaan. Terima
kasih untuk kesabaran dan perhatiannya. Saya percaya, kalimat “terima kasih”
yang meskipun diucap ribuan kali, tidak akan pernah sepadan dengan peran
istri saya. Bukan hanya dalam pengerjaan tesis ini, tapi dalam seluruh fase
kehidupan yang saya jalani kini dan ke depannya. Tesis ini adalah bentuk
komitmen dan ucap syukur untuk jabang bayi yang sebentar lagi lahir dari
rahimnya.
Bukan berarti mereka yang tidak saya sebut namanya, tidak memiliki
kontribusi dalam pengerjaan tesis ini. Banyak sekali bantuan dan
kedermawanan yang saya dapatkan. Tentunya masih banyak sekali kekurangan
dan kesalahan dalam tesis ini. Idha tamma al-amru, bada al-naqsu. Karena itu,
kritik dan saran selalu saya nanti-harapkan.
Akhirnya, seluruh usaha dan upaya yang telah saya tuangkan dalam
tesis ini saya kembalikan kepada muara tempat doa-doa saya berlabuh.
Semoga Allah mencatatnya sebagai amal salih. Dan semoga Kanjeng Nabi
Muhammad menerimanya sebagai bukti kecintaan saya kepadanya.

Ciputat, 13 November 2020

Al-faqir,
Hilmy Firdausy

v
ABSTRAK

Tesis ini ingin mempertegas kalau proses vernakularisasi Islam, begitu juga
vernakularisasi dalam syarah hadis ternyata memang melahirkan satu nuansa
baru dalam pemaknaan terhadap hadis-hadis Nabi. Kitab Baḥr al-Mādhī
Sharah Bagi Mukhtaṣar Ṣaḥīḥ al-Tirmidhī yang ditulis oleh Muhammad Idris
al-Marbawi memberikan data yang cukup kaya mengenai hal itu. Alih-alih
mengaburkan hadis Nabi, subyektifitas dan lokalitas al-Marbawi sebagai orang
Nusantara justru memperkaya kontekstualisasi makna hadis sehingga umat
non-Arab pun dapat menikmatinya.
Kekayaan data tekstual dalam Baḥr al-Mādhī juga mempertegas kalau
kajian hadis Nusantara sebenarnya sudah matang di abad 19 dan 20 M. Tesis
ini sepakat dan mentaukid Oman Fathurrahman yang sudah menunjukkan akar
tradisi penulisan hadis Nusantara pada abad 17. Sebaliknya, tesis ini
membedai pendapat dan kesimpulan akademisi yang mengatakan kalau studi
hadis mengalami stagnansi dan status quo.
Namun demikian, meskipun memiliki kekayaan data tekstual dan
merupakan satu kitab hadis yang paling kompeherensif, Baḥr al-Mādhī masih
belum banyak dibahas secara holistik. Di tengah tradisi pensyarahan kitab-
kitab hadis arba’īn dan targhīb wa al-tarhib yang cenderung tipis dan non
induk, al
Marbawi justru datang dengan proyek mensyarah satu kitab dari jajaran al
Kutub al-Sittah yaitu Sunan al-Tirmidhī. Meskipun belum selesai, 22 jilid
Baḥr al-Mādhī lebih dari cukup untuk menggambarkan bagaimana wacana
hadis Nusantara menampilkan diri, baik dalam konteks studi hadis an sich
maupun dialektika sosial-keagamaan di Nusantara.
Tesis ini hadir untuk menguak hal-hal yang domestik dan yang lokal
dalam Baḥr al-Mādhī. Sebuah situasi vernakular yang menarik, yang
menunjukkan tarik ulur paradigma antara subyektifitas al-Marbawi sebagai
pensyarah dan hadis-hadis Nabi sebagai teks yang disyarahi. Sejauh apa yang
telah diamati, tesis ini menemukan kalau proses vernakularisasi terjadi di
seluruh level semio-hermeneutis teks Baḥr al-Mādhī; level tanda, petanda,
penanda dan wacana.
Tidak hanya itu, tesis ini juga hendak menggambarkan bagaimana
Baḥr al-Mādhī dibentuk sekaligus membentuk wacana sosial-keagamaan di
Nusantara pada abad 20. Tesis ini yakin kalau teks tidak lahir dari tabula
konteks yang kosong. Teks, termasuk Baḥr al-Mādhī, akan selalu berdialog
dengan situasi dan kondisi yang ada di sekitarnya. Proses dialog inlah yang
sedikit banyak juga memicu terjadinya proses vernakularisasi.

v
ABSTRACT

This thesis wants to emphasize that the process of vernacular Islam, as well as
vernacular in sharah hadith’s case, actually gave the birth of the new nuance of
the meaning of the Prophet's hadith. Baḥr al-Mādhī Sharah Bagi Mukhtaṣar
Ṣaḥīḥ al-Tirmidhī that written by Muhammad Idris al-Marbawi provides quite
rich data on this matter. Instead of obscuring the Prophet's hadiths, the
subjectivity and locality of al-Marbawi as an nusantara people actually
enriched the contextualization of the meaning of hadith so that non-Arabs
could enjoy it.
The richness of textual data in Baḥr al-Mādhī also confirms that the
study of hadith in Nusantara actually matured in the 19th and 20th centuries.
This thesis agrees with Oman Fathurrahman who has shown the roots of the
tradition of writing hadith in Nusantara in the 17th century. On the contrary,
this thesis differs from the conclusion of academics who say that the study of
hadith in Nusantara has stagnated and on status quo.
However, despite having a wealth of textual data and one of the most
comprehensive hadith books, Baḥr al-Mādhī is still not widely discussed in a
holistic manner. In the midst of the tradition of sharah arba'īn and targhīb wa
al-tarhib books which tend to be thin and non-parent, al-Marbawi actually
came up with the project to explain (sharah) one book from al-Kutub al-
Sittah, Sunan al-Tirmidhī. Although not yet finished, the 22 volumes of Baḥr
al-Mādhī are more than sufficient to describe how the discourse of hadith in
Nusantara presents itself, both in the context of the study of hadith an sich and
the socio religious dialectic in the Nusantara context.
This thesis is attend to uncover “the domestic” and “the local” matters
in Baḥr al-Mādhī. An interesting vernacular situation, which shows the
paradigm tug of exposition between the subjectivity of al-Marbawi as a sharih
and the Prophet's traditions as a text. As far as has been observed, this thesis
finds that the vernacular process occurred at all semio-hermeneutical levels of
the Baḥr al-Mādhī text; sign, signifier, signified and discourse level.
Not only that, this thesis also intends to describe how Baḥr al-Mādhī
was formed and at the same time shaped the socio-religious discourse in the
Nusantara in the 20th century. This thesis believes that the text was not born
from an empty. Texts, including Baḥr al-Mādhī, will always have a dialogue
with the situation and conditions around them. This dialogue process, in a
sense, also triggers the vernacular process.

vi
‫ملخص البحث‬

‫ وكذلك العامية في شرح‬،‫يهدف هذا البحث إلى التأكيد على أن العامية في اإلسالم‬
ً
‫ ولدت في‬،‫ط الح ا جديًد ا في ما بسيديث‬
‫الواقع فارق فهوم األحاديث النبوية‪ .‬يقدم‬
‫ً كتاب‬
‫بحر الماذي شرح باڬي مختار صحيح الترمذي الذي ألفه محمد إدريس المربوي‬
‫تعطى بيانات ثرية عن هذا الموضوع‪ .‬إن ذاتية ومكانة المربوي بصفته نوسانتارا‬
‫قد أثرت في الواقع سياق معنى الحديث حتى يتمكن لغير العرب من االستمتاع‬
‫‪.‬بالحديث الشريف‬
‫البيانات الثرية النصية في بحر الماضي أيً ضا تؤكد أن دراسة الحديث في‬
‫نوسانتارا نضجت بالفعل في القرن التاسع عشر والعشرين‪ .‬يوافق هذا البحث‬
‫وتؤكدُ عمان فتح الرحمن الذي أظهر جذور تقليد كتابة األحاديث في انوسانتارا‬
‫في القرن السابع عشر‪ .‬على العكس من ذلك‪ ،‬تختلف هذا البحث عن استنتاج‬
‫األكاديميين الذين يقولون إن الدراسات الحديثية قد ركدت وال تتحرك‪ .‬وعلى‬
‫الرغم‪ ،‬وجود ثروة من البيانات النصية في البحر الماذي وكونه أحد كتب الحديث‬
‫شامال بحثه‪ ،‬ال يزال هذا الكتاب يناقش على نطاق واسع بطريقة شاملة‪ .‬في‬
‫خضم تقليد كتابة شروح لكتب األربعين والترغيب والترهيب‪ ،‬توصل ّت‬
‫المربوي في الواقع إلى مشروع شرح كتاب سنن الترمذي أحد من الكتب الس ة‪.‬‬
‫وعلى الرغم من أنها لم تنتهى بعد ‪ ،‬فإن ‪ 22‬المجلدات من بحر الماذي تكتفي‬
‫لوصف كيفية تقديم الخطاب الحديثىي النوسانتاروي نفسه‪ ،‬سواء في سياق دراسة‬
‫‪.‬الحديث فقط أو في الخطاب االجتماعي والديني في نوسانترا‬
‫هذا البحث حاضر لكشف أمور المحلية في البحر الماذي‪ ،‬العناصر العامية‬
‫المثيرة اللهتمام التي تظهر نموذج شد الحبل بين ذاتية المربوي كالشارح الذي‬
‫عاش في ومن الشعورية النفسية النوسانتاروية وبين كون االحاديث النبوية‬
‫كنصوص مشروحة‪ .‬وبقدرما لحظت‪ ،‬وجد هذا البحث أن العناصر العامية‬
‫موجودة في جميع المستويات النصية في بحر الماذي‪ :‬المستوى اللفظي‪ ،‬المستوى‬
‫‪.‬المعنوي‪ ،‬المستوى التصوري والمستوى الخطابي‬
‫ليس هذا فحسب‪ ،‬يهدف هذا البحث أيً ضا إلى وصف كون بحر الماذي يشكل‬
‫عن و يشكل وفي نفس الوقت شكل الخطاب االجتماعي الديني في نوسانتارا في‬
‫القرن العشرين‪ .‬تؤمن هذا البحث بأن النص لم يولد من سياق فارغ‪ .‬النصوص‪،‬‬
‫وكذلك بحر الماذي‪ ،‬ستجري دائً ما حواً را مع الوضع والظروف المحيطة بها‪.‬‬
‫‪.‬إن هذه الحوار تؤدي أيً ضا إلى إطالق العامية في بحر الماذي‬

‫‪vii‬‬
‫‪PEDOMAN TRANSLITERASI ARAB-LATIN‬‬
1. Konsonan
Huruf Arab Huruf Latin Nama

‫ا‬ Tidak dilambangkan Tidak dilambangkan

‫ب‬ B be

‫ت‬ T te

‫ث‬ Th Te dan ha

‫ج‬ J je

‫ح‬ H} Ha (dengan titik di bawah)

‫خ‬ Kh ka dan ha

‫د‬ D de

‫ذ‬ Dh De dan ha

‫ر‬ R er

‫ز‬ Z zet

‫س‬ S es

‫ش‬ Sh es dan ha

‫ص‬ S} Es (dengan titik di bawah)

‫ض‬ D} De (dengan titik di bawah)

‫ط‬ T} Te (dengan titik dibawah)

‫ظ‬ Z} zet (dengan titik di bawah)

‫ع‬ ’ koma terbalik (di atas)

‫غ‬ Gh Ge dan ha

‫ف‬ F ef

‫ق‬ Q qi

‫ك‬ K ka
‫ل‬ L el

‫م‬ M em

viii
‫ن‬ N en

‫و‬ W we

‫ه‬ H ha

‫ي‬ Y ya

2. Vokal
a. Vokal tunggal:
Tanda Nama Huruf Latin Nama
Vokal

َ Fathah A A

َ Kasrah I I

َُ Dammah U U

b. Vokal Panjang (maddah)


Tanda Nama Huruf Latin Nama

‫ا‬ Fathah dan alif a> A dengan garis


di atas

‫ي‬ Kasrah dan ya i> I dengan garis di


atas

‫و‬ Dammah dan u> U dengan garis


ُ
di atas
wau

ix
DAFTAR TABEL, DIAGRAM DAN GAMBAR

Daftar Tabel
Tabel 2.1 : Rangkuman tiga corak yang mengisi sejarah perkembangan
Syarah Hadis
Tabel 3.1 : Rincian isi naskah kitab Bahr al-Madhi, tahun penulisan serta
tahun cetak
Tabel 4.1 : Level-level vernakular dalam Syarah Bahr al-Madhi

Daftar Diagram
Diagram 2.1 : Perbedaan skema syarah istidlali dan istintaji Diagram 2.2 :
Fase-fase epistemologis dalam perkembangan Syarah Hadis
Diagram 3.1 : Jejaring keilmuan al-Marbawi

Daftar Gambar
Gambar 4.1 : Tampilan naskah kitab Bahr al-Madhi Gambar 4.2 : Contoh
tampilan syarah visual dalam Bahr al-Madhi Gambar 4.3 : Contoh lain syarah
visual dalam Bahr al-Madhi Gambar 4.4 : Contoh lain syarah visual dalam
Bahr al-Madhi
x
DAFTAR ISI

PERNYATAAN BEBAS PLAGIASI ……………………… i


PERSETUJUAN PEMBIMBING …………………………. ii KATA
PENGANTAR ………………………….…………... iv ABSTRAK
………………………………….………..……… v
PEDOMAN TRANSLITERASI …………………………… viii
DAFTAR TABEL DAN GAMBAR ……………………….. x DAFTAR
ISI ………………………………………………… xi

BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah ……………………….…….. 1 B. Ruang
Lingkup Permasalahan ……………………….. 9 1. Identifikasi
Masalah ……………………………… 9
2. Rumusan Masalah ……………………………….. 11 3. Pembatasan
Masalah …………………………….. 12 C. Tujuan Penelitian
…………………………………….. 13 D. Signifikansi Penelitian
……………………………….. 13 E. Penelitian Terdahulu yang
Relevan ………………….. 13 F. Metode dan Pendekatan
……………………………… 19 1. Metode Pengumpulan Data
………………………. 19 2. Metode Olah Data
………………………………... 20 3. Pendekatan
……………………………………….. 21 G. Teknik Penulisan
……………………………………... 22 H. Sistematika Penulisan
…………………………….…... 22

BAB II HISTORISITAS MENSYARAH HADIS DAN FORMASI


DISKURSIF SOSIAL-KEAGAMAAN DI NUSANTARA ABAD 20 M A.
Dialektika Sejarah di Sekitar Perkembangan Syarah Hadis Arab Islam
…........................................................................... 24 B. Diskursus Syarah
Hadis di Nusantara ……..………….. 32 1. Vernakularisasi Islam dan Format
Epistemologi Syarah Hadis Nusantara ….……………...……………….. 32 2.
Ciri Khas dan Karakteristik Umum Syarah Hadis
Nusantara Hingga Abad 19 M ….………………… 36 C.
Relasi Islam dan Kolonial: Dua Wacana Besar Konfrontasi Agama Vis
A Vis Budaya ……………...…..………….. 48 1. Antara Wacana
Puritanisasi dan Ambivalensi: Kasus
Sayyid Usman dan Haji Hasan Mustapa …..……… 41 D.
Format Hermeneutis Bahasa Melayu dan Karakter Manhaji dalam
Nomenklatur Islam di Nusantara ………………... 47 E. Vernakularitas
Tekstual dan Relasi Subyek-Obyek: Tawaran al-Jabiri
………………………………………………… 49

xi
1. Mekanisme al-Faṣl dan Problem Jarak Subyek-Obyek 51 2.
Mekanisme al-Waṣl dan Problem Internalisasi Problematika
(Wiḥdah al-Ishkāliyyah) …………………………… 54

BAB III MENGAMATI AL-MARBAWI DAN BAḤR AL-MĀDHĪ A.


Mengamati al-Marbawi ……………………………..…. 57 1. Biografi
Muhammad bin Idris al-Marbawi …….... 57 2. Al-Marbawi dalam Peta
Jaringan Ulama Nusantara 58 3. Karya-Karya al-Marbawi
………………………… 61 B. Mengamati Kitab Baḥr al-Mādhī
……………..………... 62 1. Alasan, Kitab Rujukan dan Proses Pensyarahan
Baḥr
al-Mādhī …………………………………………. 63 2.
Karakteristik Bahasa; Antara Melayu-Jawi dan Aksara
Pegon al-Marbawi….…………………………….. 66 3.
Sistematika Penjilidan, Pembaban dan “Yang Belum
Selesai” Dalam Bahr al-Madhi..………………….. 68 C. Situasi Politik
dan Kondisi Wacana Keberagamaan di Mesir Abad 20; Kecamuk di
Sekitar Penulisan Baḥr al-Mādhī 71

BAB IV VERNAKULARITAS SYARAH HADIS BAḤR AL-MĀDHĪ


DAN AGREGASI WACANA SOSIAL-KEAGAMAAN
A. Metode Pensyarahan Umum dalam Baḥr al-Mādhī …… 77 1.
Syarah Hadis dengan al-Quran …………………….. 77 2. Syarah
Hadid dengan Hadis dan Jam’u al-Riwāyāt 78 3. Melakukan
Takhrīj al-Hadīth ……………………… 80 4. Menjelaskan Asbāb
al-Wurūd Hadis ………………. 82 5. Penyuguhan Perdebatan
Kaul Ulama Lintas Mazhab 82 6. Menakwil Makna Hadis yang
Mustashābih ……….. 84 7. Kompromisasi Hadi-Hadis yang
Dianggap Ikhtilaf 85
B. Vernakularisasi Metodis dan Variasi Metode Pensyarahan Khusus
dalam Baḥr al-Mādhī.………………………….. 86 1. Syarah
Visual-Ilustratif dan Metode Menjelaskan Makna
Hadis dengan Gambar ……………………………… 90 2.
Syarah Fabula dan Strategi Tamsil Maksud ……..… 93 3. Syarah
Interaktif dan Dialog Dua Arah Pengarang
Pembaca ………………………………………….... 95 4.
Pointer Petunjuk Pelaksanaan Syariat …………….. 97 5.
Klasterisasi Kutipan dan Otoritas Rujukan dalam
Baḥr al-Mādhī …………………………………..…. 98 C.
Vernakularisasi di Level Petanda Dalam Pensyarahan Hadis Baḥr al-
Mādhī; Problem Beban Makna Kata .…………. 100 D. Vernakularisasi
di Level Wacana Dalam Pensyarahan Hadis Baḥr al-Mādhī;
ProblematikaDiskursus Sosial-Keagamaan di Nusantara Abad 20
…………………………….…….. 105

xii
1. Tarik Ulur Otoritas Tradisi Taklid dan Bermazhab 106 2. Agama
Versus Budaya dan Silang Sengketa Perebutan Makna Bid’ah
……………………………………. 118 E. Vernakularitas Baḥr al-
Mādhī; Momentum Keterputusan Epistemologis dan Praktek Membaca
Hadis yang Sadar
Tradisi ………………………………………………… 126

BAB V PENUTUP
A. Kesimpulan …………………………………………… 128 B. Saran
dan Rekomendasi ……………………………… 129

DAFTAR PUSTAKA ………………………………………… 130


GLOSARIUM ………………………………………………… 142
INDEKS ………………………………………………………. 145
BIODATA PENULIS ………………………………………… 149

xiii
BAB I
Pendahuluan

A. Latar Belakang Permasalahan


Kalau merujuk ke beberapa penelitian yang mengangkat isu
perkembangan kajian hadis di Nusantara, maka akan banyak ditemukan kitab
kitab hadis yang secara tidak langsung membuktikan bahwa studi dan
penulisan hadis di Nusantara sebenarnya sudah kuat.1 Temuan-temuan
filologis semacam ini otomatis merevisi beberapa hasil penelitian yang
mengatakan bahwa perkembangan kajian hadis di Indonesia sepi, stagnan dan
tidak berkembang.2 Di tengah tumpukan karya-karya ulama Nusantara di
bidang hadis, kitab Baḥr al-Mādhī Sharah Bagi Mukhtaṣar Ṣaḥīḥ al-Tirmidhī
karya Muhammad Idrīs al-Marbawi al-Jāwi termasuk salah satu kitab yang
spesial, yang menunjukkan bagaimana kematangan struktur kajian ilmu hadis
di Nusantara benar-benar tampak kala itu.
Namun sayangnya, pengakuan akan keberadaan Baḥr al-Mādhī masih
samar dalam literatur dan penelitian-penelitian yang selama ini dilakukan, baik
yang mengangkat isu perkembangan kajian hadis di Nusantara, ataupun
1
Oman Fathurrahman, “The Roots of The Writing Tradition of Hadith Works
in Nusantara: Hidayat al-Habib by Nur al-Din al-Raniri” dalam Studia Islamika, vol.
19, no. 1, 2012, h. 47-48.
2
Perdebatan mengenai ini sudah banyak dikutip dan dibahas. Secara umum
asumsinya terbagi menjadi dua: kajian hadis sepi dan stagnan atau kajian hadis
bergerak dan berkembang. Asumsi stagnansi bisa kita lihat dalam temuan Daniel
Brown, Nasr Hāmid Abū Zayd, Fazlurrahman, Azyumardi Azra dan lainnya. Lihat:
Daniel W Brown, Rethinking Tradition in Modern Islamic Thought. Terj. Charles
Kurzman (New York: Cambridge University Press, 1966), h. 7; Nashr Ḥamīd Abū
Zayd, Tekstualitas al-Qur’an; Kritik terhadap Ulumul Qur’an. Penerjemah Khairon
Nahdliyyin (Yogyakarta: LKiS, 2000), h. 3-4; Fazlur Rahman, Wacana Studi Hadis
Kontemporer (Yogyakarta: Tiara Wacana, 2002), h. X; Azyumardi Azra,
“Kecenderungan Kajian Islam di Indonesia Studi Tentang Disertasi Doktor Program
Pascasarjana IAIN Jakarta,” Laporan Hasil Penelitian, Balai Penelitian dan
Pengabdian Pada Masyarakat IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 1997, h. 23 dan
beberapa penelitian lainnya.
Asumsi sebaliknya ditawarkan oleh Jonathan Brown, Muhammad Ali, Rifqi
Muhammad Fatkhi dan Zulkifli. Lihat: Jonathan Brown, Hadith: Muhammad’s
Legacy in the Medieval and Modern World (Oxford: One World, 2009); Muhammad
Ali, “Dari Kajian Naskah Kepada Living Qur’an dan Living Hadis: Pengantar
Metodologi Penelitian Kontemporer al-Qur’an dan Hadis,” makalah Seminar Tahunan
Qur’an and Hadith Academic Society (QUHAS) Peta Kajian al-Qur’an dan Hadits di
Indonesia tanggal 3 Desember 2015 (Ciputat: Sekolah Pasca Sarjana UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta, 2015), h. 9; Rifqi Muhammad Fatkhi, Popularitas Tafsir Hadis
Indonesia di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta (Ciputat: HIPIUS, 2012), h. 9; dan
Zulfikri, “Orientalisme Hadis Peta Kajian Hadis Orientalis,” TAJDID XVI, no. 2
(November 2013): h. 205 dan beberapa penelitian lainnya.

1
fenomena Islam di Nusantara secara umum. Keterasingan Baḥr al-Mādhī itu
bisa berbentuk ia memang tidak dikaji, atau hanya disebutkan saja tanpa ada
deskripsi dan analisa yang lebih spesifik.
Howard Federspiel misalnya, dalam artikel yang terbit tahun 2002
menyatakan bahwa abad 20 adalah satu momentum ketika lokalitas mengambil
peran sebagai media bahasa dan paradigma untuk memahami hadis secara
khusus, dan memahami Islam dalam konteks kenusantaraan secara umum.
Untuk menunjukkan fenomena ini, Federspiel hanya berangkat dari produk
terjemahan kitab-kitab hadis yang muncul di abad 20 M. Menurutnya, buku
buku terjemahan inilah yang merekam peralihan dimensi dalam pemaknaan
hadis. Tak ada nama Baḥr al-Mādhī disebutkan, atau kitab-kitab hadis
beraksara pegon lainnya. Federspiel mempersempit pemahaman lokalitas
hanya pada produk terjemahan saja.3 Penelitian sejenis dengan Federspiel juga
banyak dan bisa dipastikan tidak menyebut nama Baḥr al-Mādhī.
Kalau kita kerucutkan, ada beberapa penelitian yang menyebutkan
Baḥr al-Mādhī namun tanpa ulasan yang lengkap. Oman Fathurrahman
misalnya, dalam artikelnya berjudul “The Roots of The Writing Tradition of
Hadith Works in Nusantara: Hidāyat al-Ḥabīb by Nur al-Din al-Raniri”
menyebut nama Baḥr al-Mādhī meskipun secara bibliografis. Hal ini bisa
dimaklumi mengingat Oman hanya ingin menunjukkan “akar” keilmuan hadis
di Nusantara yang dianggapnya sudah mapan sejak abad 17 M.4
Selain Oman, Ahmad Sagir juga menyebutkan Baḥr al-Mādhī sebagai
salah satu kitab syarah hadis Nusantara. 5 Tapi lagi-lagi, Sagir hanya
mengulasnya secara singkat dan tanpa memberikan footnote.6 Ketiadaan
rujukan dan catatan kaki dalam penelitian Sagir adalah indikasi bahwa Baḥr al
Mādhī sebenarnya belum mendapatkan tempat sebagai obyek penelitian dan

3
Howard Federspiel, “Hadit Literature In Twentieth Centurty Indonesia”
dalam Oriente Moderno, Nouva Serie, Anno 21 (82), Nr. 1, Hadith in Modern Islam
(2002), h. 116-119.
4
Dalam artikelnya ini, Oman fokus untuk membahas kitab Hidāyat al-Ḥabīb
karya Nūr al-Dīn al-Ranirī yang dianggap sebagai pionir. Selain itu, Oman juga
menyebutkan beberapa kitab hadis Nusantara lainnya, seperti: Sharh Laṭīf ‘alā
Arba’īn Hadīthan li al-Imām al-Nawāwī karya Abd al-Ra’ūf ibn ‘Alī al-Jāwī al-
Fansurī, Tanbīh al-Ghāfilīn karya Abdullah bin Lebai Abd al-Mubīn Pauh Bok al-
Fatanī, Farā’id Fawā’id al-Fikr fi al-Imām al-Mahdī dan Kashf al-Ghummah karya
Dāwud bin Abdullah al-Fatanī, Tanqīh al-Qawl al-Hathīth karya Nawawī al-Bantanī
dan Manhaj Dhawi al-Naẓar Sharah Manẓūmah ‘Ilm al-Athar karya Mahfūẓ al-
Tarmasī. Oman Fathurrahman, “The Roots of The Writing Tradition of Hadith Works
in Nusantara”, h. 48.
5
Akhmad Sagir, “Perkembangan Syarah Hadis dalam Tradisi Keilmuan
Islam” dalam Ilmu Ushuluddin, Vol. 9, No. 2 (Juli 2010).
6
Akhmad Sagir, “Perkembangan Syarah Hadis dalam Tradisi Keilmuan
Islam”, h. 145.

2
belum diulas secara kompeherensif. Fakta ini semakin jelas seiring dengan
proses penelusuran yang telah lakukan terhadap penelitian-penelitian
terdahulu, yang menunjukkan bahwa Baḥr al-Mādhī adalah dokumen yang
masih belum banyak disentuh secara kompeherensif.
Keterasingan kitab Baḥr al-Mādhī dalam kancah penelitian dan kajian
naskah hadis Nusantara juga terlihat dari hampir tidak adanya satu penelitian
pun yang fokus mengkaji Baḥr al-Mādhī secara utuh. Tercatat hanya ada
beberapa artikel jurnal yang mayoritas ditulis oleh orang Malaysia, antara lain:
Latifah Abdul Majid dan Nurullah Kurt7, Faisal bin Ahmad Shah8 dan
beberapa peneliti lainnya.9 Dalam beberapa artikel yang dihasilkan, tak satu
pun yang mengkaji Baḥr al-Mādhī sebagai totalitas korpus yang memuat
informasi lengkap tentang wacana hadis Nusantara.
Lubang penelitian semacam ini menarik karena ia disertai beberapa
fakta: Pertama, sejauh penelusuran yang telah dilakukan, dari belasan korpus
hadis Nusantara yang disebut Oman, Baḥr al-Mādhī adalah korpus yang paling
tebal dan memuat data tekstual paling kaya dibanding kitab-kitab hadis
Nusantara lainnya. Kedua, meskipun sudah ada beberapa kitab syarah yang
muncul sebelum Baḥr al-Mādhī, namun kemungkinan semuanya hanya akan
mensyarah kitab-kitab hadis non induk atau kitab ilmu hadis. 10 Sedangkan
Baḥr al-Mādhī secara eksplisit dan kompeherensif mensyarahi salah satu
kitab induk hadis yang masuk dalam jajaran al-Kutub al-Sittah. Ketiga,
dengan data tekstual yang tertuang dalam 22 jilid, tentu saja Baḥr al-Mādhī
menjadi dokumen sejarah sekaligus titik picu paling maksimum kalau ingin
melihat parodi diskursus, baik kajian hadis secara khusus, maupun dialektika
keislaman di Nusantara secara umum.

7
Latifah Abdul Majid and Nurullah Kurt, “Bahr al-Madhi: Significant Hadith
Text Sciences for Malay Muslims as a Tool for Political Teaching during Twentith
Century” dalam Mediterranean Journal of Social Sciences, vol. 05, no. 20 (Rome:
MCSER Publishing, September 2014).
8
Faisal bin Ahmad Shah, “Syaikh Mohamed Idris al-Marbawi: Kontribusinya
dalam Fiqh al-Hadis”, dalam MIQOT vol. XXXIV, no. 1, Januari-Juni 2010 dan Faisal
bin Ahmad Shah, “Sumbangan Syeikh Mohamed Idris al-Marbawi dalam Penentuan
Identiti Perawi: Tumpuan Kepada Kitab Bahr al-Madhi” dalam HADIS, vol. 1, no. 1
(Malaysia, Juli 2010).
9
Salah satunya adalah: Mesbahul Hoque dkk. “Mahattat fi Hayat al-
Muhaddis al-Malizi al-Syaikh Muhammad Idris al-Marbawi wa Atharuhu
al-‘Ilmiyyah” dalam Journal of Hadith Studies, vol. 3, no. 1 (Juni 2018).
10
Seperti misalnya Sharh Laṭīf ‘alā Arba’īna Hadithan li Imām al-Nawawī
karya ‘Abd al-Ra’ūf ibn ‘Alī al-Jāwī al-Fansurī, Tanqīh al-Qawl al-Hathīth Sharah
Lubāb al-Hadīth karya Nawawī al-Bantanī, al-Jawhar al-Mauhūb karya Wan ‘Alī Ibn
‘Abd al-Rahman Kutan al-Kelantanī yang juga mengomentari Lubāb al-Hadīth-nya al
Suyūṭī dan Manhaj Dhawi al-Naẓar Sharah Manẓūmah ‘Ilm al-Athar karya Mahfūẓ
al Tarmasī.

3
Artinya, kalaupun yang hendak diukur adalah sejauh mana
perkembangan kajian hadis di Indonesia terekam dalam satu dokumen ilmiah,
maka Baḥr al-Mādhī harusnya menjadi pilihan utama karena kekayaan
tekstualnya akan memberikan banyak informasi seputar itu. Belum lagi dengan
sajian menggunakan Bahasa Melayu dan Aksara Pegon, jejak-jejak lokalitas
dan tubrukan kosmologi dalam pensyarahan hadis akan benar-benar
terparodikan dengan sempurna. Baḥr al-Mādhī juga mampu memperlihatkan
bagaimana subyektifitas kenusantaraan menjadi satu media untuk
merekontekstualisasi sabda-sabda Nabi Muhammad SAW.
Posisi kitab syarah dan kerja pensyarahan sendiri cukup menarik
dalam peta perkembangan kajian hadis Arab-Islam. Secara umum, bisa
disimpulkan bahwa kerja pensyarahan hadis, secara diskursif dan sistematis,
baru dimulai di abad 4 H/10 M. Sebelumnya, mensyarah hadis dilakukan
secara terpencar dan sesuai kebutuhan diskursus yang terpotong-potong.
Dalam al-Kutub al-Sittah misalnya, mensyarah hadis lahir hanya sebagai
konsekuensi logis dari kajian sanad yang dikembangkan di abad itu. 11
Diskursus semacam Ikhtilāf al-Hadīth

11
Di abad 4 H, ketika para muhaddis mulai membukukan hadis-hadis dalam
kitab tersendiri dan memulai melakukan pengkajian mendalam sehingga ditemukan
metode untuk menyaring mana hadis yang sahih dan tidak, syarah hadis sebenarnya
sudah lahir sebagai konsekuensi logisnya. Para Muhaddis, yang mayoritas memiliki
pemahaman dan kepakaran, bukan hanya soal problematika seputar sanad hadis, juga
memiliki kedalaman dalam mengetahui kandungan dan substansi hadis yang
dihafalnya. Meskipun tidak menjelaskan hadis sebagaimana laiknya kitab syarah yang
ditemui hari ini, al-Bukhārī misalnya, menunjukkan proses mensyarah hadis tersebut
melalui strategi pembaban dan peletakan sebuah hadis dalam tema tertentu. Seringkali
al-Bukhārī juga secara tidak langsung sedang menjelaskan hadis melalui judul bab
yang ditulisnya. Selain menyuguhkan hadis dengan tingkat otentisitas di bawah al-
Qur’an, al-Bukhārī juga merupakan seorang mustanbiṭ bahkan mujtahid yang mampu
mengeluarkan hukum dari hadis-hadis yang dicantumkannya. Hal ini, meskipun tidak
kentara dalam al-Ṣaḥīḥ, merupakan totalitas beliau sebagai muḥaddith. Setidaknya
baca kebiasaan al-Bukhārī, termasuk kaitannya dengan istinbaṭ hukum. ‘Abd al-Hāq
bin ‘Abd al-Wāhid al-Hāshimī, ‘Ādāt al-Imām al-Bukhārī fī Ṣaḥīḥihi (Kuwayt:
Maktāb al Shu’ūn al-Fanniyyah, 1428 H./ 2007 M.), h. 71-110.
Hal yang sama juga kita temukan dalam Ṣaḥīḥ Muslim. Bahkan dalam Ṣaḥīḥ
Ibn Khuzaymah, hal tersebut terlihat lebih jelas, lihat: Hilmy Firdausy, “Mengenal
Sahih Ibn Khuzaymah: Sistematika, Metodologi dan [O]Posisinya di Antara Kitab
Sahih” dalam Jurnal Ushuluddin, vol. 25, no. 2, Juli-Desember 2017, h. 198-205.
Dalam kitab-kitab sunan seperti Sunan al-Tirmidhī, proses pensyarahan juga mulai
melebar tidak terbatas pada metode peletakan hadis dalam tema tertentu atau
menentukan judul sebuah sub bab pembahasan. Lihat: Abū ‘Īsā Muhammad bin ‘Īsā al
Tirmidhī, Sunan al-Tirmidhī (Bayrūt: Dār al-Gharb al-Islāmī, 1988 M.), h. 272.
Artinya, pemahaman hadis dan kehendak untuk menjelaskannya adalah konsekuensi
logis dan satu bilah mata uang yang tidak akan pernah bisa dilepaskan dari kajian
sanad hadis itu sendiri.

4
dan Gharīb al-Hadīth12, hanyalah dua potongan cara mensyarah hadis yang
berdiri secara parsial.
Di abad 4 H, muncullah satu acuan yang lebih kompeherensif terkait
praktik mensyarah hadis. Tradisi pensyarahan di abad 4 H ini kemudian
melebur seluruh bentuk dan pola kerja menjelaskan hadis yang sudah
dilakukan di abad-abad sebelumnya, baik pola yang terlihat dalam kitab hadis
induk maupun pola yang sudah terbakukan sebagai diskursus tersendiri. Di
abad 4 H, mensyarah hadis mulai mengental dalam satu kerja yang lebih
sistematis dan metodis.13
Di abad 5 H/11 M penulisan syarah hadis sudah mulai marak. Muncul
secara serempak beberapa kitab syarah hadis yang ditulis oleh para ulama
hadis. Ada banyak faktor yang mendukung kerja pensyarahan hadis di abad
ini; ketersediaan literatur yang sudah dicetak dan diperbanyak serta
disebarkan kepada masyarakat luas, munculnya pengajian-pengajian kitab
hadis dan kelas
kelas yang mengkaji hadis sebagai sebuah ilmu independen, adalah beberapa
di antara banyak faktor pendukungnya. Namun di abad ini, kitab yang
menjadi primadona bagi para pensyarah adalah al-Muwaṭṭa’ karya Mālik bin
Anas.
Meskipun ada juga satu dua kitab syarah yang mulai melirik al-Kutub al-
Sittah.14 Di abad 6 H/12 M hingga abad-abad setelahnya, muncul kitab syarah
yang lebih beragam. Tidak hanya terbatas pada syarah atas kitab al Muwaṭṭa’,
di periode ini muncul juga kitab-kitab syarah atas enam kitab hadis

12
Ilmu Gharīb al-Hadīth yang pertama kali diperkenalkan sebagai sebuah
konsep oleh Abū al-Ḥasan al-Naḍir Ibn Shāmil al-Muzannī (W. 203 H.). Muhammad
‘Ajjāj al-Khaṭīb, Uṣūl al-Hadīth ‘Ulūmuhu wa Musṭalaḥuhu. (Bayrūt: Dār al-Fikr,
2009/1430), h. 33.
13
Di abad IV hijriyah misalnya ada kitab bernama A’lām al-Sunan dan
Ma’ālim al-Sunan yang ditulis oleh al-Khaṭṭābī (w. 388 H.). A’lām al-Sunan ditulis
sebagai syarah atas Ṣaḥīḥ al-Bukhārī, sedangkan Ma’ālim al-Sunan ditulis sebagai
syarah atas Sunan Abū Dāwūd. Menurut al-Qusṭanṭīnī, kitab A’lām al-Sunan yang
merupakan syarah Sahih al-Bukhari tidak berhasil diselesaikan. al-Khaṭṭābī hanya
menyelesaikan kitab Ma’ālim al-Sunan yang sempat juga dicetak oleh Dār al-Fikr
Bayrūt. Lihat: Musṭafā ibn ‘Abdillah al-Qusṭanṭīnī al-Rūmī al-Ḥanafī, Kashf al-Ẓunūn
‘an Asmā’ al-Kutub wa al-Funūn (Bayrūt: Dār al-Fikr, 1994), Juz 1, 430-431.
14
Sebut saja misalnya: al-Namā’ fi Sharh al-Muwaṭṭa’ karya Ahmad ibn Naṣr
al-Sādi (w.402 H.); Sharh Ṣaḥīḥ al-Bukhārī li Ibn al-Baṭṭāl karya Abū al-Ḥasan ‘Alī
ibn Khalaf ibn ‘Abd al-Mālik (w. 449 H.); Al-Tamhīd Limā fī al-Muwaṭṭa’ min al
Ma’ānī wa al-Asānīd dan al-Taqṣīd fi Ikhtiṣār al-Muwaṭṭa’ Bayān Musnad al
Muwaṭṭa’ wa Mursalihi karya Abū ‘Amr Yūsuf ibn ‘Abdullah ibn Muḥammad ibn
‘Abd al-Bārr al-Andalūsi al-Qurṭūbī (w. 463 H.); Al-Muntaqā Sharh al-Muwaṭṭa’
Imām Mālik dan Al-Istifā’ fī Sharh al-Muwaṭṭa’ karya Abū al-Wālid Sulaymān ibn
Khalaf ibn Sa’ad ibn Ayyūb al-Bājī (w. 474 H.). Cek sejarah pensyarahan terhadap
al-Muwaṭṭa’ dalam: Muhammad Zakariyā al-Kāndahlawī, Awjaz Al-Masālik Ilā
Muwaṭṭa’ Mālik (Bayrūt: Dār al-Fikr, 1980).

5
lainnya dalam jajaran al-Kutub al-Sittah.15 Semarak penulisan kitab-kitab
syarah hadis semakin ramai di abad-abad setelahnya, bahkan hingga abad 14
H/20 M.
Salah satu faktor yang mendorong dimulainya kerja-kerja pensyarahan
hadis adalah karena kematangan struktur pengetahuan ilmu hadis yang
mencapai taraf kesempurnaan di abad 4 dan 5 H. Hal ini ditandai misalnya
oleh terbukukannya hadis-hadis sahih dalam satu kitab khusus. Perjalanan
panjang para muhaddis mencari hadis, kerja keras yang mereka tagah untuk
memilah hadis dan diskusi-diskusi kolektif yang dilakukan di dalam internal
komunitas perawi secara tidak langsung melahirkan satu metode ilmiah yang
obyektif dan teruji. Artinya, ketika seorang muhaddis dengan obyektif dan
terukur dapat menjelaskan dan berargumentasi tentang status sebuah hadis,
maka sebenarnya sudah ada kerangka metodologis yang diacu dan dijadikan
pondasi. Di sinilah muncul istilah “sharṭ al-imām al-Bukhārī”, “sharṭ al-
imām Muslim” dan lainnya.
Selanjutnya, kajian yang mendalam terhadap sanad hadis, juga
memaksa lahirnya diskursus al-Jarḥ wa al-Ta’dīl dan dibukukannya kitab
16
mengenai Rijāl al-Hadīth. Tak sampai di sana, pembukukan diktat-
diktat
ilmiah terkait “’Ulūm al-Hadīth” juga mulai muncul sebagai penanda
selanjutnya bahwa kajian hadis sudah matang secara epistemologis. Di abad 4
H sudah muncul kitab yang ditengarai sebagai pionir kitab-kitab ’Ulūm al
Hadīth yaitu Al-Muhaddith al-Fāṣil Bayna al-Rāwī wa al-Wā’ī karya al
Ramahurmuzī (360 H.) yang kemudian disusul oleh rentetan kemunculan kitab
kitab lain di abad 5, 6 hingga 10 H.17

15
Beberapa di antaranya adalah: Al-Ikmāl bī Fawā’id Sharh Muslim karya al
Qāḍī ‘Iyāḍ ibn Mūsā al-Mālikī (w. 544 H.);‘Āriḍatu al-Aḥwadhī fī Sharh Sunan al
Tirmidhī karya Abū Bakar Muhammad ibn ‘Abdillah al-Isbilī Ibn al-‘Arabī al-Mālikī
(w.546 H.); Majālatu al-‘Ālim min Kitāb al-Mu’allim karya Abū al-Ṭayyīb
Muhammad Shams al-Haq al-‘Aẓīm al-Ābādī (w.765 H.) yang merupakan ringkasan
dari Ma’ālim al-Sunan karya al-Khaṭṭābī; Mā Tamassa Ilayhi al-Hājah ‘alā Sunan
Ibn Mājah karya Siraj al-Dīn ‘Umar ibn al-Mulqīn al-Shāfi’ī (w. 804 H.) dan kitab-
kitab syarah hadis lainnya.
16
Seperti kitab al-Ṭabaqāt al-Kubrā karya Abū ‘Abdillah Muhammad bin
Sa’ad Khāṭīb al-Wāḥidī (w. 230 H.), al-Tārīkh al-Kabīr karya al-Bukhārī (w. 256 H.),
al-Thiqāt karya Ibn Hibbān (w. 342 H.), al-Jarḥ wa al-Ta’dīl karya Ibn Abī Hātim al
Rāzī (w. 327 H.) dan kitab-kitab lainnya.
17
Ma’rifat ‘Ulūm al-Hadīth, karya al-Hākim al-Naysābūrī (405 H.), al Mustakhraj
‘alā Ma’rifati ‘Ulum al-Hadis, karya Abū Nu’aym al-Aṣbihānī (430 H.) dan al-
Kifāyah fī ‘Ilm al-Riwāyah, karya al-Khatīb al-Baghdādī (463 H.). Di abad VI hingga
abad-abad setelahnya, muncul lagi beberapa kitab ilmu hadis seperti ‘Ulūm al Hadīth
atau Muqaddimah Ibn Ṣalāḥ, karya Ibn Ṣalāḥ (643 H.), Al-Taqrīb wa al-Taysīr li
Ma’rifati Sunan al-Bashīr al-Nadhīr, karya al-Nawāwī (676 H.), Alfiyah al-‘Irāqī,
karya al-‘Irāqī (806 H.), Fatḥ al-Mughīth fī Sharh Alfiyah al-Hadīth, karya al-Sakhāwī

6
Kematangan struktur epistemologis dalam bagan kajian sanad inilah
yang kemungkinan besar mengalihkan perhatian para muhaddis kepada satu
unsur penting lainnya yakni matan hadis. Upaya-upaya pensyarahan dan
pembentukan metode pemahaman yang sudah digagas di abad-abad
sebelumnya, kemudian dilanjutkan dan dipermatang di abad 4 H hingga 7 H.
Para muhaddis memiliki kesadaran yang sangat kuat bahwa soal pemaknaan
dan pemahaman teks adalah ruang dikursus yang tidak akan pernah selesai
dibahas dan diperdebatkan.
Dalam konteks semacam inilah para ulama hadis kemudian
mengalihkan perhatiannya kepada persoalan substansi dan pemahaman hadis.
Makna dan teks adalah sumber mata air yang tak akan pernah kering, yang
secara tidak langsung juga menjadi sumber permasalahan yang tak akan
pernah selesai. Hadis selalu akan dibaca dari paradigma dan subyektifitas
pembacanya. Faktor-faktor yang lahir dari situasi sosiologis dan kondisi etno-
antropologis memiliki peranan yang sangat besar dalam membentuk
paradigma seseorang ketika membaca hadis. Di titik inilah kemudian para
pensyarah hadis menemukan momentum diskursifnya.
Tradisi dan kerja-kerja pensyarahan hadis semacam itu ternyata
menyumbang fungsi dan memegang peranan yang cukup krusial dalam proses
pembelajaran hadis, berikut juga perkembangan Islam di belahan dunia
lainnya, termasuk di Nusantara. Hasil-hasil syarah hadis membantu para
pendakwah untuk memperkenalkan Islam melalui substansi ajaran dan pesan-
pesan keagamaan tanpa harus terlalu ketat menampilkan nuansa yang
ritualistik dan teoritik. Strategi ini dibutuhkan mengingat agama, keyakinan
dan kultur masyarakat Nusantara sebelum datangnya Islam sangat beragam.
Ketika Islam ingin diterima, ia harus ditampakkan sebagai substansi dan
universalitas ajaran, bukan parsialitas, eksklusifitas dan hal-hal yang terlalu
teoritis.
Maka tidak mengherankan jika mulai abad 17, hadis dan ilmu hadis
diperkenalkan dan mulai ditradisikan oleh para ulama dalam bentuk kerja-
kerja mensyarah hadis. Al-Ranirī dan Hidāyah al-Ḥabīb adalah satu dokumen
yang menunjukkan itu.18 Selain Hidāyah al-Ḥabīb, kitab-kitab hadis
Nusantara yang pertama muncul hampir seluruh mengambil format syarah
hadis. Pun misalnya di abad-abad setelahnya sampai Baḥr al-Mādhī muncul,
format syarah adalah format favorit yang menusuk langsung ke jantung
problematika kenusantaraan.
Kitab-kitab hadis yang muncul di abad 17 sampai abad 18 sedikit
banyak mewakili sebuah gambaran karakter wacana keberagamaan yang
dibangun oleh para ulama Nusantara. Satu model keberagamaan yang moderat,

(902 H.), Tadrīb al-Rāwī fī Sharh Taqrīb al-Nawāwī, karya Jalaluddīn al-Suyūṭī (911
H.) dan lainnya.
18
Oman Fathurrahman, “The Roots of The Writing Tradition of Hadith
Works in Nusantara: Hidayat al-Habib by Nur al-Din al-Raniri”, h. 47.

7
akomodatif, sufistik dan ramah budaya. Tidak ada misalnya, upaya untuk
membenturkan agama dan budaya di masa-masa awal kedatangan Islam.
Namun di abad 19 semuanya mulai bergeser. Beberapa faktor turut
menyumbang peran dalam munculnya satu wacana keberagamaan baru yang
dominan; kolonialisme, orientalisme pengetahuan dan ideologi puritanisme,
adalah tiga hal yang saling berkait dan bertali. Ketika wacana keagamaan
berubah, maka studi dan arah kajian hadis pun berubah. Di tangan Sayyid
Usman, hadis-hadis bidah mulai diperkenalkan.19 Dan melalui hadis, agama
menemukan titik kontradiksinya dengan tradisi dan kebudayaan masyarakat.
Dalam situasi semacam ini, hadis menemukan fungsi kedua yang bertolak
belakang dari fungsi pertamanya.
Di abad selanjutnya, Baḥr al-Mādhī muncul dan lahir dalam
keterbelahan problem wacana keagamaan meskipun sudah dianggap matang. 20
Di satu sisi wacana keagamaan diambil alih oleh kelompok puritan, di sisi
yang lain ada kelompok yang masih bertahan dengan karakter sufistik dan
mendaku Islam sebagai agama rakyat serta kebudayaan. Lalu pertanyaannya,
di mana posisi Baḥr al-Mādhī? Ini pertanyaan kesekian yang membuat Baḥr
al-Mādhī penting dikaji.
Jawaban dari pertanyaan tersebut, dengan kata lain, akan ditemukan
dalam bilah-bilah huruf dan kalimat kitab Baḥr al-Mādhī. Sebagai sebuah
dokumen sejarah dan teks, Baḥr al-Mādhī membekap nuansa wacana dan
menyimpan banyak cerita. Penelitian ini pun diangkat bukan hanya untuk
melakukan telaah terhadap Baḥr al-Mādhī an sich, tapi juga menjadikannya
jendela untuk melihat satu formasi diskursif yang lebih luas.
Selain itu, sebagai sebuah kitab syarah, Baḥr al-Mādhī punya cara
yang unik dalam menjelaskan hadis dan memperlihatkan proses
vernakularisasi. Dalam setiap kesempatan dan permulaan pembahasan, al-
Marbawi selalu mengatakan “ketauhilah kiranya wahai saudaraku”, “ya
saudaraku” dan bahasa ajakan lainnya.21 Syarah interaktif yang melibatkan
pembaca bukan sebagai obyek pasif akan sulit ditemukan dalam kitab-kitab
syarah hadis klasik yang lahir dari konteks Arab-Islam. Al-Marbawi dan Baḥr
al-Mādhī

19
Azyumardi Azra, “Hadhrami Scholars in the Malay-Indonesian Diaspora:
A Preliminary Study of Sayyid Uthman” dalam Indonesian Journal for Islamic
Studies STUDI ISLAMIKA, vol. 2 no. 2 (1995), h. 22.
20
Nico J.G. Kaptein, Islam, Kolonialisme dan Zaman Modern di Hindia
Belanda: Biografi Sayid Usman (1822-1914) (Yogyakarta: Suara Muhammadiyah,
2017), kata pengantar.
21
Muhammad Idrīs al-Marbawī, Baḥr al-Mādhī Sharah Bagi Mukhtaṣar
Ṣaḥīḥ al-Tirmidhī (Mesir: Shirkah Maktabah wa Maṭba’ah Musṭafā al-Bāb al-Ḥalabī,
1353 H/1933 M), j. 1, h. 3. Model syarah interaktif seperti ini terulang setiap kali al
Marbawi memulai satu bahasan.

8
menjadikan pembaca sebagai subyek aktif yang terlibat dalam perbincangan
dan perdebatan panjang mengenai maksud sebuah hadis.
Ajakan tersebut juga membuktikan satu resapan lokalitas
kenusantaraan yang terangkum dalam nilai-nilai komunalitas yang sosialis.
Menganggap pembaca sebagai saudara, meskipun ia tak kenal siapa
pembacanya, adalah gambaran abstrak bagaimana karakter kenusantaraan yang
guyub, rukun dan bhineka itu benar-benar tampak. Al-Marbawī dan Baḥr al
Mādhī, melalui model syarah interaktif dan pilihan simbol personifikasi
“saudara”-nya untuk disematkan kepada para pembacanya adalah strategi
kultural yang sangat kental dengan aroma lokalitas pensyarahan.
Melalui kenyataan-kenyataan semacam ini, samar-samar muncul
sebuah gambaran bahwa fenomena pensyarahan hadis di Nusantara
sebenarnya mengalami “keterputusan epistemologis” 22 dengan tradisi
pensyarahan hadis di Timur-Tengah. Ada upaya vernakularisasi, lokalisasi
dan subyektifikasi dalam proses pensyarahan hadis di Nusantara. Seorang
shārih tidak hanya masuk dan berupaya untuk menjelaskan kandungan makna
atau substansi redaksi hadis yang ada. Sang shārih juga menyusupkan
subyektifitas dan kesadarannya sebagai orang Nusantara dalam upaya
menjelaskan hadis tersebut. Di sinilah Baḥr al-Mādhī, untuk kesekian kalinya
menemukan momentum diskursifnya.
Berdasarkan beberapa asumsi, telaah dan temuan-temuan itulah,
penelitian berjudul “Vernakularitas Tekstual dalam Pensyarahan Hadis di
Nusantara Abad 20: Studi Atas Kitab Baḥr al-Mādhī ini penting dilakukan.

B. Ruang Lingkup Permasalahan


1. Identifikasi Masalah
Dari judul yang diangkat dalam tesis ini, akan muncul beberapa
ruang permasalahan yang seluruhnya saling berkaitan dan
melengkapi serta sangat layak untuk diteruskan menjadi satu kerja
penelitian tersendiri.
Kajian tentang peta perkembangan kajian hadis di Nusantara
merupakan sumber permasalahan pertama yang belum tuntas
hingga hari ini. Naskah-naskah kitab hadis Nusantara yang
berhasil dicatat hanyalah sebagian kecil dari kemungkinan adanya
jejaring literasi hadis yang lebih besar yang berkembang sejak
abad 17 M. Menurut Oman Fathurrahman, Nusantara adalah
peradaban yang memiliki kekuatan literasi sejak lama. Maka tidak
mengherankan jika kemudian muncul banyak sekali skriptorium
yang tersebar di

22
Istilah ini (al-qaṭī’ah al-ibistimūlūjiyah) adopsi dari Muhammad ‘Ābid al
Jābirī ketika menjelaskan pola relasional antara subyek-obyek yang teralihkan atau
terputus karena adanya skema problematika yang berbeda di antara keduanya. Baca:
Muhammad ‘Ābid al-Jābirī, Naḥnu wa al-Turāth; Qira’āt Mu’āṣirah fī Turāthina al
Falsafī. (Bayrūt: Markaz al-Thaqāfī al-‘Arabī, 1993), h. 20.

9
berbagai wilayah di Indonesia.23 Mencari, mengumpulkan dan
mendata jejaring naskah-naskah hadis ini merupakan persoalan
utama mengapa sampai hari ini perkembangan kajian hadis di
Nusantara belum terpetakan secara rinci dan akurat.
Penelitian parsial terhadap naskah-naskah itu pun juga
memiliki nilai urgensitas yang sama berharganya sebagaimana
layaknya penelitian secara bibliografis. Bukan hanya materil teks
tentunya yang hendak ditangkap dari naskah-naskah tersebut. Tapi
lebih jauh, kondisi dan situasi apa yang terwakili dan terekam
dalam naskah tersebut yang menceritakan banyak hal tentang
perkembangan kajian keislaman, kebudayaan dan geliat peradaban
di Nusantara.
Teks, sebagaimana kata Ricoueur, adalah bentuk final dari
sebuah diskursus.24 Artinya, teks dan naskah adalah perwajahan
paling total kalau ingin melihat diskursus yang tengah
berkembang di masa itu. Proses islamisasi di Nusantara tidak
mengambil satu bentuk tunggal. Ada pertalian faktor dan
problematika yang berjalin-kelindan. Budaya, tradisi, adat,
kolonialisme, sentuhan
sentuhan trans-rasial dan faktor lainnya turut membentuk pola
keberagamaan dan keberislaman di Nusantara.
Menarik naskah ke dalam jejaring problematika semacam ini
juga tak kalah penting. Kita ambil misalnya kasus Islam dan
Kolonialisme. Ada kebijakan besar yang diambil oleh pemerintah
kolonial di abad 19 M untuk merubah kesan dan perwajahan
kompeni yang selama ini selalu negatif. Pemberontakan yang
diinisiasi oleh kelompok tarekat di abad-abad sebelumnya
membuktikan bahwa nilai-nilai keislaman adalah sumber dari
gerakan antikolonialisme. Perubahan kebijakan inipun juga
berdampak dalam pola interaksi dan penyikapan Islam terhadap

23
Ceramah Prof. Dr. Oman Fathurrahman dalam Kelas “Indonesia Philology
and Islamic Studies” di Sekolah Pascasarjana UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Rabu
13 Maret 2019, 08.00 – 10.00 WIB.
24
Kata Paul Ricoeur, “A text is any discourse fixed by writing… With written
discourse, the author’s intention and the meaning of the text cease to coincide. This
dissocation of ther verbal meaning of the text and the mental intention is what is really
at stake in the inscription of discource. Not that we can conceive of a text without an
author; the tie between the speaker and the discourse is not abolished, but distended
and complicated. The dissocation of the meaning and the intention is still an adventure
of the reference of discourse to the speaking subject. But the text’s career escapes the
finite horizon lived by the author. What the text says now matters more than what the
author meant to say.” Paul Ricoeur, Hermeneutics and the Human Sciences: Essays
on Language, Action and Interpretation, John B. Thompson (terj.) (Cambridge:
Cambridge University Press, 1984), h. 145; 200-201.

10
kolonial.25 Keterkaitan Islam dengan kolonialisme dan politik
pergerakan pada akhirnya juga akan berdampak pada penggunaan
al-Quran dan hadis sebagai basis legitimasinya. Jika dibandingkan
antara naskah hadis di Nusantara sebelum dan sesudah abad 19 M,
kemungkinan besar ia akan memperlihatkan perbedaan motif dan
formasi sesuai dengan tekanan diskursus yang sedang bergejolak.
Fenomena pensyarahan hadis di Nusantara juga masih
menyimpan banyak permasalahan. Meskipun sudah ada beberapa
penelitian yang bergerak untuk mengkaji hal tersebut, tapi ruang
ini masih menyisakan banyak naskah yang belum disentuh dan
dikaji secara analitik. Seperti misalnya kenyataan masih sepinya
penelitian terhadap kitab Baḥr al-Mādhī padahal ia adalah 22 jilid
kitab syarah hadis Nusantara ditulis di puncak kematangan
diskursus hadis di Nusantara.
Dengan sumber data tekstual sebanyak 22 jilid, tentu akan
sulit jika ia harus diselesaikan oleh satu kerja penelitian. Ada
banyak hal yang sebenarnya bisa disaring dari kekayaan data
tekstual Baḥr al-Mādhī; metode pensyarahan, format penyajian,
lokalitas dan paradigma kenusantaraan dalam menjelaskan hadis.
Belum lagi jika yang mengalihkan tilikannya pada kajian sanad;
bagaimana cara Baḥr al-Mādhī mengidentifikasi perawi,
menjelaskan statusnya dan seterusnya.

2. Rumusan Masalah
Dari identifikasi tersebut, pertanyaan utama yang akan diangkat
oleh tesis ini adalah “Bagaimana momentum vernakularitas dalam
pensyarahan hadis Baḥr al-Mādhī menggambarkan peta wacana
sosial-keagamaan di Nusantara abad 20?” Pertanyaaan ini akan
melahirkan pertanyaan susulan, yaitu:

25
Kasus Sayyid Usman adalah contoh terbaik untuk melihat ambiguitas ini.
Ada peneliti yang mengatakan Sayyid Usman pro kolonial, ada juga yang mengatakan
sebenarnya Sayyid Usman kotra kolonial. Perdebatan tersebut terlihat dalam beberapa
hasil penelitian berikut: Aqib Suminto, Politik Islam Hindia Belanda (Jakarta: LP3ES,
1985); Azyumardi Azra, “Hadhrami Scholars in the Malay-Indonesian Diaspora: A
Preliminary Study of Sayyid Uthman” dalam Indonesian Journal for Islamic Studies
STUDI ISLAMIKA, vol. 2 no. 2 (1995); Ahmad Athoillah, Pandangan Sayyid Usman
bin Yahya al-Alawi Penasihat Kehormatan Bangsa Arab Terhadap Kehidupan
Masyarakat Arab di Jakarta 1870-1914-an (Tesis: Universitas Gajah Mada, 2015);
Nico J.G. Kaptein, Islam, Kolonialisme dan Zaman Modern di Hindia-Belanda:
Biografi Sayid Usman (1822-1914) (Yogyakarta: Suara Muhammadiyah, 2017) dan
Ahmad Baso, Islam Pasca-Kolonial: Perselingkuhan Reformisme Agama,
Kolonialisme dan Liberalisme (Tangerang Selatan: Pustaka Afid, 2016), khususnya di
halaman 267-283 dan 341-372.

11
a. Bagaimana aspek lokalitas dan subyektifitas kenusantaraan
berdampak dalam kerja vernakularisasi pensyarahan
hadis di dalam kitab Baḥr al-Mādhī?
b. Formasi diskursus semacam apa membentuk sekaligus
direspons oleh teks Baḥr al-Mādhī?
c. Lalu di mana dan bagaimana posisi al-Marbawi dan Baḥr
al-Mādhī dalam konstelasi wacana tersebut?
Seluruh pertanyaan tersebut akan saling melengkapi dan
menjawab satu dengan lainnya.

3. Pembatasan Masalah
Dari beberapa masalah yang telah teridentifikasi di atas, maka
diperlukan satu batasan masalah guna menjaga fokus penelitian ini
pada satu pembahasan tertentu. Penelitian ini fokus pada isi dan
seluk beluk dalam kitab Baḥr al-Mādhī karya al-Marbawi. Yang
ingin ditangkap adalah sisi lokalitas dan gaya kitab ini
mentransformasi teks-teks hadis Nabi agar sesuai dengan kontur
problematika di Nusantara.
Dengan menggunakan Melayu-Pegon sebagai media bahasa,
kitab ini sangat kental dengan aroma keindonesiaan dan
kenusantaraannya. Lalu, apakah dampak krusial dari lokalitas
kenusantaraan yang ditampilkan al-Marbawi tersebut dalam
kerjanya memahami hadis? Pertanyaan ini juga akan coba dijawab
dalam penelitian kali ini.
Selain itu, untuk memperjelas fokus penelitian, tema seputar
perdebatan agama via a vis tradisi akan diangkat sebagai kerangka
permasalahan untuk melihat bagaimana Baḥr al-Mādhī merespons
melalui aspek lokalitasnya. Permasalahan agama via a vis tradisi,
di abad XX menjadi tema sentra setelah Sayyid Usman mulai
memperkenalkan hadis-hadis bidah di Indonesia. Cara pandang
keagamaan, dengan mengusung hadis-hadis tersebut, secara tidak
langsung membentuk satu konstelasi baru tempat agama dan
tradisi diperhadapkan. Dengan kata lain, kenyataan bahwa Baḥr
al-Mādhī ditulis pada abad XX melahirkan semacam asumsi
bahwa ia juga akan menyinggung persoalan tersebut.
Lebih spesifik, pertarungan dua dimensi tersebut akan dilihat
dalam bentuk akumulasi simboliknya, yaitu perebutan makna
sunnah dan bidah. Selain itu, hadis-hadis yang dianggap mewakili
satu pandangan mengenai agama, tradisi, kebudayaan dan lain
sebagainya akan turut dijadikan bahan untuk mempertegas
formasi diskursif yang terbentuk dalam Baḥr al-Mādhī.
Seluruh kajian dalam penelitian ini, dengan demikian,
disandarkan sebagian besarnya pada 22 jilid kitab Baḥr al-Mādhī

12
Sharah Bagi Mukhtaṣar Ṣaḥīḥ al-Tirmidhī karya Muhammad Idrīs
al-Marbawī yang tercetak dalam 11 bendel jilid terbitan Musṭafā
al-Bāb al-Ḥalabī Mesir.
C. Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan bukan hanya untuk mengapresiasi sebuah
karya agung dalam studi hadis, namun juga bermaksud untuk mengetahui dan
menggambarkan formasi diskursif, utamanya hadis, di Nusantara abad 20
melalui data tekstual yang disajikan oleh Baḥr al-Mādhī. Penelitian ini juga
hendak memperjelas kekhasan, karakteristik dan proses vernakularisasi yang
terjadi secara tekstual dalam kitab syarah hadis beraksara pegon dan berbahasa
Melayu yang ditulis oleh ulama Nusantara, yang lantas menjadikannya
berbeda dengan kitab-kitab syarah hadis yang ditulis dalam konteks Timur-
Tengah.

D. Signifikansi Penelitian
Penelitian ini memiliki signifikansi bukan hanya soal mengetahui
perkembangan kajian hadis di Indonesia, tapi juga menggambarkan formasi
diskursif yang melatarbelakanginya sekaligus bentuk dialog yang terjadi antara
hadis sebagai teks dan obyek dengan orang Nusantara sebagai pembaca,
pensyarah dan subyeknya. Dari situ, penelitian pun memiliki nilai manfaat dan
kontribusi dalam memperluas jangkauan penelitian seputar perkembangan
hadis di Nusantara, memperkaya sekaligus mengangkat kembali data-data
tekstual yang lahir dari rahim ke-Nusantaraan kita.
Maka kalau hari ini cendekiawan Nusantara hendak menunjukkan
ragam format artikulasi Islam di Nusantara sebagai poros utama penggerak
nilai-nilai Islam yang rahmatan lil-‘alamin, maka penelitian ini
melegitimasinya dengan satu dokumen bernama Baḥr al-Mādhī. Bagaimana
sebuah kitab hadis yang ditulis dalam Bahasa Melayu dan Aksara Pegon
dicetak, disebarkan, mengintervensi dan menjadi sumber inspirasi serta bahan
bacaan di pasar pembaca internasional.

E. Penelitian Terdahulu yang Relevan


Penelitian ini memiliki keterkaitan dengan beberapa penelitian
sebelumnya. Secara umum, persinggungan tersebut bisa dipetakan ke dalam
tiga titik; 1) persinggungan dengan penelitian-penelitian yang mengangkat
topik perkembangan kajian hadis di Nusantara, 2) persinggungan dengan
penelitian-penelitian yang mengangkat topik tentang syarah hadis, baik dalam
konteks Arab-Islam maupun konteks Nusantara dan 3) persinggungan dengan
penelitian yang fokus pada kajian atas kitab Baḥr al-Mādhī Sharah Bagi
Mukhtaṣar Ṣaḥīḥ al-Tirmidhī karya Muhammad Idrīs al-Marbawī.
Titik singgung pertama. Ada banyak sekali sebenarnya penelitian
yang sudah dilakukan terkait perkembangan kajian hadis di Indonesia.
Azyumardi

13
Azra dalam karya monumentalnya Jaringan Ulama Timur Tengah dan
Kepualuan Abad XVII dan XVIII26 menjadi rujukan induk penelitian-penelitian
terkait hal itu. Hanya saja, dalam buku ini, Azra hanya mengungkit soal
perkembangan kajian hadis sebagai data sekunder untuk menunjukkan
keterkaitan dan keterjalinan jaringan ulama Nusantara dengan para ulama di
Timur Tengah. Jadi secara spesifik, tidak ada kajian mendalam terkait topik
peta perkembangan kajian hadis maupun terkait satu naskah hadis tertentu.
Dalam penelitiannya, Azra tercatat hanya menyebut beberapa kitab hadis saja,
antara lain: Hidāyah al-Habīb fi al-Targhīb wa al-Tarhīb karya Nūr al-Dīn al-
Ranirī, Hadīth Arba’īn dan al-Mawā’iẓ al-Badī’ah karya ‘Abd al Ra’ūf al-
Sinkilī, dan Lubāb Ihyā’ ‘Ulūm al-Dīn karya ‘Abd al-Ṣamad al Palimbānī.
Penyebutan nama-nama kitab ini digunakan dalam konteks untuk
menunjukkan eksistensi jaringan keilmuan tersebut. Jadi memang tidak ada
ulasan spesifik mengenai kajian hadis di Nusantara, apalagi menyebut Baḥr al
Mādhī, karena memang lingkup penelitiannya tidak sampai abad 20 M.27
Oman Fathurrahman bisa dikatakan adalah salah satu pionir yang
mulai fokus pada topik perkembangan kajian hadis di Nusantara. Dalam
artikel yang ditulisnya untuk mengkaji kitab Hidāyat al-Ḥabīb karya Nūr al-
Dīn al-Ranirī itu, Oman juga memberikan sub-bab khusus yang
menyantumkan hampir 16 nama kitab hadis yang ditulis secara periodik sejak
abad 17 M.28 Menurutnya, berdasarkan data fisik berupa keberadaan naskah-
naskah hadis, akar kajian hadis di Nusantara sebenarnya sudah kuat dan
mapan. Menurut Oman, kitab dan ulama hadis pionir yang memulai itu adalah
Nūr al-Dīn al-Ranirī melalui kitabnya Hidāyah al-Ḥabīb.
Hidāyah al-Ḥabīb sendiri merupakan kitab al-Tarhīb wa al-Targhīb
yang memuat beragam hadis yang diambil dari kitab-kitab induk hadis. Ada
hampir 800 hadis yang dicantumkan oleh Nūr al-Dīn al-Ranirī untuk
membahas banyak tema. Kitab kompilasi hadis semacam ini mirip dengan
Riyāḍ al-Ṣālihīn
karya al-Nawāwī, Lubāb al-Hadīth karya al-Suyūṭī atau kitab-kitab Arba’īnāt.
Agak sulit menentukan kadar perkembangan keilmuan hadis di Nusantara
melalui kitab-kitab tersebut, karena: 1) yang ditekankan di dalamnya hanya
penyantuman redaksi hadis tanpa menyebutkan kelengkapan rantai
periwayatan dan 2) kurangnya data tekstual karena ia seringkali hanya
menyantumkan hadis tanpa menjelaskan subtansi kandungannya. Oleh karena
itu, untuk tujuan memastikan akar kajian dan tradisi penulisan, Hidāyat al-
Ḥabīb memang harus dijadikan obyek karena ia termasuk

26
Azyumardi Azra, Jaringan Ulama Timur Tengah dan Kepualuan Abad
XVII dan XVIII (Jakarta: Kencana Pustaka Prenada Media Group, 2013). 27
Azyumardi Azra, Jaringan Ulama…, h. 235, 260-261, 118.
28
Oman Fathurrahman, “The Roots of The Writing Tradition of Hadith
Works in Nusantara: Hidayat al-Habib by Nur al-Din al-Raniri” dalam Studia
Islamika, vol. 19, no. 1, 2012.

14
yang paling tua di antara naskah-naskah hadis yang ada. Namun untuk
menangkap volume keilmuan hadis, kitab-kitab syarah lebih bisa
dimanfaatkan. Pertama karena ia lahir dari kematangan diskursus kajian hadis,
kedua karena ia cenderung menyediakan ruang yang lebih untuk pensyarah
dalam mengeksplor pengetahuannya di bidang hadis. Di sinilah letak
kesenjangan antara kajian yang diangkat Oman dengan penelitian ini.
Howard Federspiel juga melakukan penelitian terkait literatur-literatur
hadis di Indonesia abad 20 M.29 Menurutnya, abad 20 adalah satu momentum
ketika lokalitas mengambil peran sebagai media bahasa dan paradigma untuk
memahami hadis secara khusus, dan memahami Islam dalam konteks
kenusantaraan secara umum. Vernakularitas semacam ini yang ditengarai
Federspiel menjadi pemicu bagi peralihan model penulisan literatur hadis di
Indonesia hingga abad 21 M.
Namun sayangnya, untuk menunjukkan fenomena vernakularitas
literatur tersebut, Federspiel hanya mengukurnya dari fenomena kemunculan
terjemahan kitab hadis yang mulai marak di abad 20. Menurutnya, buku-buku
terjemahan adalah dokumen yang secara implisit merekam peralihan dimensi
dalam pemaknaan hadis. Federspiel memahami tubrukan dimensional hanya
sebatas peralihan bahasa dari Arab ke Indonesia saja. Padahal kalau mau
diperluas, naskah-naskah hadis Nusantara, baik yang ditulis dengan bahasa
Arab ataupun Melayu, baik yang disajikan dengan aksara Arab, Pegon maupun
Jawi, sama-sama memiliki unsur lokalitas yang menjadi distingsi dari kitab
kitab serupa yang ditulis dalam konteks Arab maupun Timur-Tengah. Maka
bisa dimaklumi kemudian ketika tidak ditemukan Baḥr al-Mādhī dalam
penelitian Federspiel, atau kitab-kitab hadis beraksara pegon lainnya.
Penelitian ini memiliki jangkauan yang lebih luas dalam melihat
fenomena vernakularitas literatur tersebut dan menarik makna subyektifitas
maupun lokalitas ke dalam ruang diskursus yang lebih abstrak. Mungkin saja
sebuah kitab syarah hadis Nusantara ditulis dengan Bahasa Arab, tapi tak bisa
dipungkiri bahwasanya akan banyak ditemukan tanaman nilai-nilai lokalitas
dari penjelasannya terhadap sebuah hadis. Pekerjaan dalam tesis ini
dipermudah mengingat Baḥr al-Mādhī menggunakan Bahasa Melayu dan
Aksara Pegon sebagai medianya. Aroma lokalitas akan lebih terpampang dan
terlihat lebih konkret.
Selain itu ada juga Daud Rasyid Harun yang menulis disertasi tahun
1996 berjudul Juhūd ‘Ulamā Indūnīsiyya fī al-Sunnah”.30 Disertasi doktoral

29
Howard Federspiel, “Hadith Literature In Twentieth Centurty Indonesia”
dalam Oriente Moderno, Nouva Serie, Anno 21 (82), Nr. 1, Hadith in Modern Islam
(2002).
30
Dawūd Rāshid Hārūn, Juhūd ‘Ulamā Indūnīsiyya fī al-Sunnah, Risālah
Muqaddimah li-Nayli al-Darajah al-Duktūrah fī al-Sharī’ah al-Islāmiyyah (Jāmi’ah al
Qāhirah, 1996).

15
yang berhasil dipertahankan di Jami’ah al-Qahirah ini meyajikan banyak hal
terkait usaha dan upaya ulama Indonesia dalam perkembangan kajian hadis
secara khusus, dan menghidupkan sunnah secara umum. Keluasan tema dan
ruang lingkup pembahasan dalam disertasi ini justru menjadi kekurangan
karena ia tidak memberikan ruang yang lebih luas untuk melakukan eksplorasi
terkait perkembangan kajian hadis di Indonesia secara spesifik. Titik singgung
kedua. Sementara, buku yang secara kompeherensif membahas seluk beluk
mengenai syarah hadis mungkin adalah Metodologi Syarah Hadis Era Klasik
hingga Kontemporer yang ditulis oleh M. Alfatih Suryadilaga.31 Namun,
sebagaimana namanya, buku terseb membahas seluruh syarah-syarah hadis
dari periode klasik sampai kontemporer dan tidak terfokus pada kitab-kitab
syarah hadis Nusantara.
Selain buku tersebut, karya akademik yang termasuk paling awal
memulai babatan kajian syarah hadis dalam konteks keindonesiaan adalah tesis
yang ditulis oleh Muhammad Tasrif tahun 2002. Meskipun tak implisit
menyantumkan kalimat syarah hadis di judul tesisnya, penelitian berjudul
Pemikiran Hadis di Indonesia; Wacana Tentang Kedudukan Hadis dan
Pendekatan Pemahaman Terhadapnya32 ini sejatinya memiliki obyek
penelitian layaknya syarah hadis. Dalam Tesisnya, Tasrif fokus untuk
menentukan kedudukan hadis dan pembentukan hukum Islam di Indonesia.
Tasrif juga menjelaskan metode dan pendekatan pemahaman hadis yang
selama ini teraplikasi dalam beberapa karya. Sayangnya, tesis yang ditulisnya
di Yogyakarta ini hanya membatasi diri pada karya-karya yang terbit pasca
kemerdekaan.
Beberapa tahun kemudian, tepatnya di tahun 2007, Muhammad
Mustaqim M. Zarif menulis kajian yang lebih terfokus pada syarah hadis. 33
Disertasi yang ditulisnya itu mengangkat dua syarah hadis yang ditulis oleh
ulama Nusantara atas kitab Lubāb al-Hadīth karya al-Suyūṭī. Kedua naskah
tersebut adalah kitab Tanqīh al-Qawl al-Hathīth karya Nawāwī al-Bantānī dan
Kitab al-Jawhar al-Mawhūb karya Wan ‘Alī ibn ‘Abd al-Raḥman Kutan al
Kelantanī. Zarif melakukan perbadingan terhadap dua kitab syarah Lubāb al
Hadīth tersebut dan mencari distingsi di antara keduanya.

31
M. Alfatih Suryadilaga, Metodologi Syarah Hadis Era Klasik hingga
Kontemporer (Yogyakarta: Suka-Press UIN Sunan Kalijaga, 2012). 32 Muhammad
Tasrif, Pemikiran Hadis di Indonesia; Wacana Tentang Kedudukan Hadis dan
Pendekatan Pemahaman Terhadapnya (Tesis UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta,
2002).
33
Muhammad Mustaqim M. Zarif, Jawah Hadis Scholarship in The
Nineteenth Centur: A Comparative Study of The Adaptions of Lubab al-Hadis
Composed by Nawawi Banten (d. 1314/1897) and Wan ‘Ali of Kelantan (d.
1331/1913) (Edinburgh: University of Edinburgh, 2007).

16
Menapaki tahun 2010 ke belakang, kajian seputar kitab hadis
nusantara mulai marak. Semisal tesis yang ditulis oleh Munirah di tahun 2015,
yang berjudul Metodologi Syarah Hadis Indonesia Awal Abad ke-20. Dalam
tesisnya ini, Munirah melakukan studi terhadap dua kitab, yaitu: al-Khil’ah
al-Fikriyyah Sharh al-Minḥah al-Khayriyyah karya Muhammad Mahfūẓ al-
Tarmasī dan Tabyīn al-Rāwī Sharh Arba’īn Nawāwī karya Kashf al-Anwār al-
Banjarī.34 Yang hendak dilacak oleh Munirah dari kedua kitab tersebut adalah
metodologi syarah apa yang digunakan oleh para ulama hadis nusantara di
awal abad 20. Sedangkan di tahun 2017, Shofiatun Nikmah juga melakukan
penelitian serupa dengan mengangkat studi terhadap kitab Miṣbāh al-Ẓalām
Sharh Bulūgh al
Marām karya KH. Muhajirin Amsar al-Dary. Kitab yang ditulis pada akhir
abad 20 M ini digunakan sebagai obyek kajian untuk mengetahui peta
perkembangan syarah hadis di Indonesia pada akhir abad 20 M.35
Dari seluruh penelitian tersebut, distingsi yang paling jelas, yang
membedakannya dengan penelitian kali ini adalah soal obyek penelitian,
materil kitabnya dan format analisisnya. Kalau diperhatikan, hampir seluruh
kajian terdahulu hanya fokus pada usaha mengukur metodologi pensyarahan di
dalam kitab-kitab hadis Nusantara yang ditelitinya. Dan hampir seluruhnya
akan terjebak dalam kategorisasi terminologis antara taḥlīlī, ijmālī, mawḍū’ī
dan muqārin.
Cara menganalisa semacam ini sebenarnya sudah harus direvisi,
karena tidak bisa seluruh kitab digeneralisir ke dalam beberapa bentuk
metodologi yang sudah terkonsep sebelum obyeknya betul-betul diperas. Al-
Jabiri mengkritik keras praktek mendahulukan metode sebelum benar-benar
mengkaji obyeknya (naw’iyah al-manhaj tuhaddidu ṭabī’ah al-mawdū’).
Sebaliknya, yang harus dilakukan adalah “inna ṭabī’ah al-mawdū’ tuhaddidu
naw’iyah al-manhaj” (karakteristik obyek yang menentukan jenis metode dan
hipotesis).36 Ketika seluruh kitab syarah hadis digeneralisir ke dalam
kategorisasi tersebut, maka sejatinya seorang peneliti telah mengabaikan
karakteristik dan kekhasan lain dari kitab tersebut; remah-remah data yang

34
Munirah, Metodologi Syarah Hadis Indonesia Awal Abad ke-20: Studi
Kitab al-Khil’ah al-Fikriyyah Syarh al-Minhah al-Khairiyyah karya Muhammad
Mahfudz al-Tirmasi dan Kitab al-Tabyin al-Rawi Syarh Arba’in Nawawi karya Kasyf
al-Anwar al-Banjari (Tesis UIN Sunan Kalijaga Yogyakarya 2015).
35
Shofiatun Nikmah, Sejarah Perkembangan Syarah Hadis di Indonesia
Akhir Abad XX: Studi Kitab Misbah al-Zolam Sharh Bulugh al-Maram karya KH.
Muhajirin Amsar al-Dary (Tesis UIN Sunan Ampel Surabaya, 2017).
36
Model relasi subyek-obyek ini kemudian dirinci lagi oleh al-Jābirī.
Menurutnya, metodologi, apapun itu, memiliki tiga irisan; al-ṭarīqah, al-mabādi’ dan
al-mafāḥim. Bagi al-Jābirī, yang harus terus menerus disesuaikan dengan karakter
obyek adalah irisan al-mafāḥim. Baca: Muhammad ‘Ābid al-Jābirī, al-Aql al-Siyāsi al
Arabī: Muhaddidātuhu wa Tajliyātuhu, cet. III (Bayrūt: Markaz Dirāsāt al-Wiḥdah al-
‘Arabiyyah, 1995), h. 8.

17
sebenarnya dicari dan bisa menjadi data penting untuk menunjukkan distingsi
kajian. Karena itu, dalam penelitian ini, data-data yang tampak minor tetap
akan didaku sebagai indikator bagi kekhasan dan keunikan vernakular.
Titik singgung ketiga. Sebelumnya sudah diungkap, bahwa ada
beberapa artikel yang sudah terbit yang mengkaji Baḥr al-Mādhī. Mayoritas
peneliti Baḥr al-Mādhī sementara ini dilakukan oleh peneliti Malaysia. Hal ini
lumrah mengingat Muhammad Idris al-Marbawi adalah salah seorang ulama
besar Malaysia. Al-Marbawi lahir, menghabiskan masa remaja dan meninggal
di Lubuk Merbau, Kuala Langsar, Perak, Malaysia. 37 Beberapa penelitian
tentang Baḥr al-Mādhī yang sudah dilakukan antara lain:
Sebuah artikel berjudul Bahr al-Madhi: Significant Hadith Text
Sciences for Malay Muslims as a Tool for Political Teaching during Twentith
Century yang ditulis oleh Latifah Abdul Majid dan Nurullah Kurt terbit tahun
2014.38 Meskipun tidak mengakomodir seluruh kekhasan dalam Baḥr al
Mādhī, artikel ini minimal menambah khazanah penelitian yang mengkaji
Baḥr al-Mādhī. Di dalam artikel tersebut, Latifah dan Nurullah hanya
mengandaikan nilai fungsional dari Baḥr al-Mādhī yang bisa dimanfaatkan
untuk kepentingan yang lebih praksis. Amatan terhadap unsur aksiologi yang
dikandung Baḥr al
Mādhī sah-sah saja, namun ia akan menjadi lompatan reduktif besar jika tidak
didasarkan pada kajian mendalam terhadap isi dan seluk-beluk mengenai
segala hal yang ada di dalam Baḥr al-Mādhī.
Ada juga dua artikel yang ditulis oleh Faisal bin Ahmad Shah, yang berjudul
Syaikh Mohamed Idris al-Marbawi: Kontribusinya dalam Fiqh al Hadis dan
Sumbangan Syeikh Mohamed Idris al-Marbawi dalam Penentuan Identiti
Perawi: Tumpuan Kepada Kitab Bahr al-Madhi. Kedua artikel tersebut
masing-masing terbit tahun 2010. 39 Dua artikel yang ditulis Faisal secara
parsial tersebut, sedikit banyak telah membuka lahan penelitian yang fokus
pada isi dan data tekstual dalam Baḥr al-Mādhī. Dalam kedua artikel itu,
Faisal

37
Beberapa artikel yang menulis biografi al-Marbawi, semuanya hampir
menyatakan bahwa Lubuk Merbau adalah salah satu lokasi di Kuala Langsar, Perak.
Namun berdasarkan penelurusan, al-Marbawi yang dinisbatkan kepada kecamatan
Merbau ini juga berlokasi di Kepulauan Meranti, Riau. Namun ini tidak menjadi
masalah besar, karena kedua lokasi tersebut masuk dalam wilayah kepulauan
Nusantara.
38
Latifah Abdul Majid and Nurullah Kurt, “Bahr al-Madhi: Significant
Hadith Text Sciences for Malay Muslims as a Tool for Political Teaching during
Twentith Century” dalam Mediterranean Journal of Social Sciences, vol. 05, no. 20
(Rome: MCSER Publishing, September 2014).
39
Faisal bin Ahmad Shah, “Syaikh Mohamed Idris al-Marbawi: dalam Fiqh
al-Hadis”, dalam MIQOT vol. XXXIV, no. 1, Januari-Juni 2010 dan Faisal bin
Ahmad Shah, “Sumbangan Syeikh Mohamed Idris al-Marbawi dalam Penentuan
Identiti Perawi: Tumpuan Kepada Kitab Bahr al-Madhi” dalam HADIS, vol. 1, no. 1
(Malaysia, Juli 2010).

18
merujuk dan langsung menyajikan data teks dari Baḥr al-Mādhī untuk
membuktikan argumentasinya mengenai satu hal. Dia menunjukkan cara al
Marbawi melakukan identifikasi dan kajian atas perawi hadis dengan
menyertakan tulisan langsung al-Marbawi dalam Baḥr al-Mādhī, begitu juga
soal Fiqh al-Hadith. Namun sayangnya Faisal belum menyentuh problem yang
lebih epistemologis; ia belum mengungkit soal lokalitas, tindihan subyektifitas
yang membentuk konstruksi pensyarahan itu sendiri atau hal-hal lainnya yang
berada di luar teks, namun memiliki peranan besar dalam membentuk teks.
Selain itu ada juga artikel yang ditulis secara berkelompok, yang terbit tahun
2018 dengan judul Mahattat fi Hayat al-Muhaddis al-Malizi al-Syaikh
Muhammad Idris al-Marbawi wa Atharuhu al-‘Ilmiyyah.40 Dari judulnya, kita
sebenarnya sudah bisa menebak kalau artikel tersebut ditulis dengan
keumuman topik dan tema pembahasan. Artikel tersebut seakan-akan ditulis
hanya untuk mereka yang ingin tahu siapa al-Marbawi, apa itu Baḥr al-Mādhī
dan bagaimana al-Marbawi meninggalkan pengaruh ilmiah dalam iklim
pengetahuan di Malaysia. Sebatas itu. Alih-alih mengangkat kajian-kajian
yang hendak menangkap sesuatu yang lebih kognitif dan epistemologis, serta
ulasan analitik soal teks syarah Baḥr al-Mādhī, penelitian tersebut nampak
hanya sebagai pengantar dan ulasan yang hendak memperkenalkan al-
Marbawi.

F. Metode dan Pendekatan


1. Metode Pengumpulan Data
Sumber data utama bagi penelitian ini adalah 22 jilid kitab Baḥr
al-Mādhī Sharah Bagi Mukhtaṣar Ṣaḥīḥ al-Tirmidhī yang ditulis
oleh Muhammad Idrīs al-Marbawī. Selain itu, untuk memastikan
dan melakukan perbandingan, kitab Mukhtaṣar Ṣaḥīḥ al-Tirmidhī
yang menjadi rujukan al-Marbawi dalam menyusun kitabnya juga
akan dirujuk sebagai salah satu dokumen kunci. Penelitian ini juga
akan menggunakan kitab syarah Ṣaḥīḥ al-Tirmidhī lainnya untuk
membandingkan dan menemukan perbedaan muatan di dalamnya.
Oleh karena itu penelitian ini merupakan penelitian kualitatif 41
yang tergolong dalam metode penelitian kepustakaan (library
research). Metode ini juga memungkinkan peneliti untuk melacak

40
Mesbahul Hoque dkk. “Mahattat fi Hayat al-Muhaddis al-Malizi al-Syaikh
Muhammad Idris al-Marbawi wa Atharuhu al-‘Ilmiyyah” dalam Journal of Hadith
Studies, vol. 3, no. 1 (Juni 2018).
41
Secara ringkas penelitian ini bertujuan mengangkis secara substantif
muatan data-data yang ada berupa tulisan, ujaran dan pemikiran objek yang diteliti
secara deskriptif. Baca: Lexy J. Moleong, Metode Penelitian Kualitatif (Bandung:
Remaja Rosdakarya, 2006), h. 2-7.

19
berbagai dokumen berupa tulisan, ujaran, catatan, komentar dan
berbagai dokumen lainnya.42

2. Metode Olah Data


Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode
deskriptif-komparatif-analitis. Sebagai tool of analysis data,
penelitian ini menggunakan analisis wacana dan teori pembacaan
yang dikembangkan Muḥammad ‘Ābid al-Jābirī (w. 2010 M). Hal
ini dimaksudkan untuk menganalisa secara jernih strategi yang
dipakai guna memperjelas posisi Baḥr al-Mādhī Sharah Bagi
Mukhtaṣar Ṣaḥīḥ al-Tirmidhī sebagai satu percikan pemikiran
yang memendar lalu sampai pada kesimpulan nalar diskursus
kritik hadis. Dalam lokus analisa Jabirian, al-Marbawi dan
karyanya tidak diposisikan sebagai satu independensi pemikiran
seseorang, namun sebagai fenomena pemikiran (ẓāhirah
fikriyyah).43
Analisa wacana kritis yang dikembangkan oleh al-Jābirī
menyentuh tiga lapis analisa44: analisa struktural, analisa
kesejarahan dan kritik ideologi. Dalam lapis analisa pertama,
menurut al-Jābirī, hal yang mesti dilakukan adalah: 1) melakukan
pembacaan intertekstual, 2) melakukan kategorisasi cara
pengungkapan yang digunakan. Pada lapis pertama ini, Baḥr al
Mādhī akan dibaca secara kritis, dari hadis pertama hinga hadis
terakhir dengan tujuan mencari format kata, kalimat dan susunan
bahasa yang menjadi ciri berbahasa al-Marbawi.
Dengan apa yang telah dilakukan pada bab III penelitian ini
(tentang sejarah, biodata kedirian al-Marbawi), secara tidak
langsung penelitian telah menganalisa lapis kedua yaitu analisa
kesejarahan. Kemungkinan-kemungkinan sejarah yang muncul
dari pelacakan bio-georgafis diri al-Marbawi, menurut al-Jābirī,
akan memperlihatkan kandungan teks Baḥr al-Mādhī, baik yang
terkatakan maupun yang tak terkatakan.
Lapis terakhir adalah melakukan kritik ideologi: yaitu
menyingkap faktor ideologis yang didorong oleh konteks sosio
politik di masa al-Marbawi hidup. Analisa terhadap lapis ini
bertujuan untuk menangkap alasan dan misi untuk apa Baḥr al
Mādhī ditulis.

42
Tatang M. Amirin, Menyusun Rencana Penelitian (Jakarta: Rajawali Press,
1990), h. 135.
43
Muhammad ‘Ābīd al-Jābirī, al-Turāth wa-al-Hadāthah, Dirāsāt wa
Munāqashāt (Bayrut: Markaz Dirāsāt al-Wihdah al-‘Arabiyyah, 1999 M.), h.168-169.
44
Seluruh bahasan ini bisa dilihat dalam: Muhammad ‘Ābīd al-Jābirī, Nahnu wa al-
Turāth, h. 24.

20
3. Pendekatan
Untuk mematangkan kajian dalam tesis ini, pendekatan filologi
dan sejarah akan digunakan sebagai alat bantu analisa. Filologi
menyediakan alat untuk mengidentifikasi materil naskah yang
dijadikan sumber acuan. Kajian-kajian filologis yang sudah
dilakukan atas naskah-naskah hadis Nusantara juga menyediakan
data berbentuk peta dan genealogi yang terkait dengan tradisi
penulisan kitab hadis, ulama hadis maupun keilmuan hadis di
Nusantara.
Sedangkan pendekatan sejarah memungkinkan penelitian ini
untuk menempatkan Baḥr al-Mādhī Sharah Bagi Mukhtaṣar
Ṣaḥīḥ al-Tirmidhī dan al-Marbawi ke ruang historisitasnya, bukan
hanya sebagai bagian dari diskursus besar kajian hadis atau kajian
keislaman di Nusantara, namun juga meletakkannya dalam
historisitas kenusantaraannya yang dibentuk dari jejaring
problematika yang variatif dan berwarna. Pendekatan ini
diharapkan dapat membantu memperlihatkan pertalian Baḥr al
Mādhī dengan konteks sosio-antropologis kehidupan masyarakat
nusantara yang diwakilinya.
Pendekatan sejarah semacam ini lebih dikenal dengan
pendekatan “wacana sejarah”. Pendekatan wacana atau juga
dikenal dengan analisis wacana adalah model penelitian yang
menempatkan teks (dokumen) sebagai representasi dari sebuah
pemikiran yang mampu mempengaruhi khalayak, bukan dengan
kekerasan tetapi secara halus dan diterima sebagai kebenaran. 45
Dengan demikian, teks (dokumen) merupakan konstruk sebuah
pemikiran ideo-politis dan sekaligus menjadi sarana perjuangan
itu sendiri.
Pendekatan ini disebut wacana sejarah atau historis karena
menyertakan konteks sejarah suatu kelompok.46 Dalam konteks
perkembangan dan arah kajian hadis di Indonesia, kitab Baḥr al
Mādhī Sharah Bagi Mukhtaṣar Ṣaḥīḥ al-Tirmidhī dan seluruh
karya yang memuat lokalitas kenusantaraan mengukuhkan sebuah
bentuk epistem dari diskursus hadis Indonesia yang total dan
mobil.
Karena objek kajiannya adalah sebuah kitab yang dikarang
oleh seorang tokoh di masanya, pada dasarnya penelitian ini juga
beraroma biografis (sebagaimana yang nanti akan terlihat di bab
III penelitian ini). Akan tetapi, karena yang hendak disisir adalah

45
Eriyanto, Analisis Wacana: Pengantar Analisis Teks Media, cet. VIII
(Yogyakarta: LKiS, 2008), h. 14.
46
Eriyanto, Analisis Wacana, h. 17.

21
ḥaula al-naṣ, maka pendekatan yang dimaksudkan di sini adalah
sejarah pemikiran.47
Selain itu, penelitian ini juga akan menimba pendekatan
semiologi Barthesian. Pendekatan ini akan difungsikan sebagai
kerangka level semiotis dalam teks yang akan dipakai sebagai
acuan untuk menunjukkan level-level vernakularitas dalam Baḥr
al-Mādhī.

G. Teknik Penulisan
Sebagai pedoman penulisan tesis ini, buku pedoman penulisan tesis
dan disertasi yang diterbitkan oleh Sekolah Pascasarjana UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta48 akan digunakan sebagai acuan. Untuk pedoman
transliterasi, penelitian ini menggunakan model transliterasi “Romanisasi
Standar Bahasa Arab” yang pertama kali diterbitkan tahun 1991 oleh America
Library Association (ALA) dan Library Congress (LC).

H. Sistematika Penulisan
Penelitian ini akan dimulai dari bab pertama yang menjelaskan latar
belakang, permasalahan, perdebatan akademik yang meliputinya dan
signifikansi penelitian, baik dalam tataran akademis maupun praksis. Berikut
juga dipaparkan langkah-langkah penelitian yang dilakukan sekaligus teori
teori yang digunakan sebagai pisau analisa untuk mempermudah pembaca
memahami alur logika penelitian ini.
Bab kedua adalah perbincangan format pewacanaan yang menjadi tirai
tempat Baḥr al-Mādhī Sharah Bagi Mukhtaṣar Ṣaḥīḥ al-Tirmidhī dan kitab
hadis lainnya dibukukan. Dalam bab ini, pembahasan akan diarahkan untuk
menjawab pertanyaan, “mengapa Baḥr al-Mādhī?” Dengan meletakkannya
kembali ke dalam formasi diskursifnya, Baḥr al-Mādhī secara tidak langsung
akan menggambarkan satu konstelasi sejarah, khususnya dalam upaya
menentukan bentuk perkembangan kajian hadis di Indonesia di abad XX M.
Untuk memperjelas posisi historis dan diskursifnya, ada beberapa pembahasan
yang juga harus diangkat. Selain membahas sejarah tradisi pensyarahan hadis
dan konteks diskursus yang melahirkannya, dalam bab ini secara spesifik juga
47
Kuntowijoyo memberikan batasan tentang Sejarah Pemikiran dengan 3
tugas yang harus dilakukan oleh peneliti, yaitu: 1) membicarakan pemikiran-pemikiran
besar yang berpengaruh pada kejadian sejarah; 2) membicarakan konteks sejarahnya;
3) pengaruh pemikiran pada masyarakat bawah. Baca: Kuntowijoyo, Metodologi
Sejarah, Edisi II (Yogyakarta: Tiara Wacana, 2003), h. 191. Perlu dicatat di sini,
bahwa biografi pemikiran yang penulis maksudkan bukan yang bersifat individual,
melainkan dengan menempatkan tokoh sebagai lokus pemikiran komunitasnya.
48
Pedoman Penulisan Tesis dan Disertasi Program Magister dan Doktor
(Ciputat: Sekolah Pascasarjana UIN Syarif Hidayatullah, 2018).

22
akan dibahas bentuk interaksi orang Nusantara dengan segenap lokalitas dan
subyektifitasnya dengan Islam yang datang dari luar. Maka, lebih spesifik lagi,
bab ini juga akan menjabarkan peta diskursus keislaman secara umum, dan
wacana hadis secara khusus yang terpola di abas XX M.
Bab ketiga adalah pengenalan objek kajian. Dalam bab ini akan diulas
secara biografis sosok Muhammad Idris al-Marbawi; siapa, di mana beliau
lahir dan tumbuh, dan konteks sosiologis semacam apa yang membentuk
kediriannya. Selain itu, dalam bab ini juga akan dijelaskan posisi al-Marbawi
dalam jejaring keilmuan ulama Nusantara yang terikat langsung dengan
jaringan keilmuan ulama di Timur-Tengah. Selain itu, deskripsi mengenai
kitab Baḥr al-Mādhī juga akan diulas, baik terkait informasi seputar fisik
kitabnya, maupun hal-hal yang berada di sekitar kemunculan kitab tersebut.
Dengan dua bekal ini, penelitian yang sedang dilakukan setidaknya telah
memberikan ruang agar objek kajian berbicara mengenai dirinya sendiri;
dengan tidak direbahi asumsi-asumsi terlebih dahulu.
Bab keempat adalah ruang untuk menyaksikan parodi vernakurisasi
tekstual langsung dari teks yang ditulis al-Marbawi dalam kitab Baḥr al-
Mādhī. Sebagaimana yang telah dijelaskan di awal, penelitian ini semaksimal
mungkin akan menangkap proses dialogis dan peralihan paradigma yang
dihasilkan dari sentuhan-sentuhan subyektifitas al-Marbawi sebagai orang
Nusantara dengan segenap lokalitasnya, dengan teks hadis yang lahir dan
terbentuk dari iklim wacana yang berbeda. Metode pensyarahan, corak,
pendekatan, sistematika dan teknik penulisan adalah beberapa penampakan-
penampakan yang akan tertampil dari proses vernakuralisasi tersebut. Untuk
menangkap itu semua, maka model penulisan analisa wacana akan dominan
digunakan dalam bab ini; trik analisa yang seolah-olah memposisikan
penelitian sebagai penysrah dari kitab Baḥr al-Mādhī dan al-Marbawi.
Bab kelima adalah kesimpulan dan penutup. Sebagai karya yang lahir
dari upaya alamiah seorang manusia, penelitian ini tentu tidak akan segan
segan membuka ruang dialog berupa kritik dan saran. Bab ini juga akan berisi
uraian sederhana mengenai kemungkinan-kemungkinan dan beberapa ruang
probabilitas yang mungkin bisa dibabat demi kesempurnaan penelitian dalam
cakupan tema yang sama di kemudian hari.

23
BAB II
Historisitas Mensyarah Hadis Dan Formasi Diskursif Sosial
Keagamaan di Nusantara Abad 20 M

A. Dialektika Sejarah di Sekitar Perkembangan Syarah Hadis Arab


Islam
Teori mengenai sejarah perkembangan syarah hadis dalam Islam
selama ini terbatas pada sejarah kronologis dan periodik. Hampir semua
sepakat bahwa syarah hadis telah dimulai di masa Nabi dan mengalami masa
puncak di abad 6 Hijriyah.49 Namun yang belum dijelaskan, bagaimana
sebenarnya sejarah “epistemologi” syarah hadis itu sendiri? Dengan kata lain,
pertanyaan-pertanyaan di sekitar proses terbentuknya sedimentasi ontologis,
epistemologis dan aksiologis di balik kerja mensyarah hadis sebenarnya belum
terajukan dan terjawab. Bab ini akan berusaha menjelaskan aspek tersebut
guna memperjelas posisi dan diferensiasi yang muncul antara kerja mensyarah
hadis dalam konteks Islam-Arab dan konteks Nusantara.
Mensyarah hadis sebagai sebuah kerja menjelaskan maksud hadis
memang sudah muncul sejak kemunculan hadis itu sendiri. 50 Dalam literatur
hadis, banyak ditemukan riwayat yang menggambarkan bahwa kegiatan
menjelaskan hadis sudah dilakukan oleh Nabi sendiri dan para sahabat. Di
masa-masa awal, kerja mensyarah hadis memang murni untuk menjelaskan
maksud hadis. tidak ada pretensi maupun tendensi di luar keinginan untuk
menangkap maksud dan substansi pesan yang disampaikan Rasulullah SAW.
Di fase selanjutnya, karena situasi sosial dan politik yang berubah,
mensyarah hadis mendapatkan beban kepentingan tambahan. Pecahnya
kelompok Alī dan ‘Aishah menjelang peristiwa tahkim mungkin adalah satu
fase yang sangat krusial dalam periode sejarah kegiatan mensyarah hadis.
Hadis-hadis yang tersimpan dan terdiamkan di fase sebelumnya seketika
muncul ke permukaan untuk melegitimasi satu kondisi politik tertentu.
Kepentingan mensyarah hadis-hadis pun pada akhirnya juga bergerak di ruang
perebutan klaim doktrinal atas sikap politik yang dipilih.51

49
Muhammad Mustafa Azami, Studies in Hadith Methodology and Literature
(Indianapolis: American Trust Publication, 1977), h. 76; Muhammad ‘Ajjāj al-Khātib,
Al-Sunnah Qablā al-Tadwīn (Bayrūt: Dār al-Fikr, 1981), h. 34; Hasbi Al-Shiddiqie,
Sejarah Perkembangan Hadis (Jakarta: Bulan Bintang, 1988), h. 133.
50
‘Abd al-Naṣr Tawfīq al-Athār, Dustūr al-Lammah wa ‘Ulūm al-Sunnah
(Kairo: Maktabah Wahhāb, t.t.), h. 71.
51
Ini misalnya yang terjadi kala ‘Aishah dengan rajin mengoreksi hadis-hadis yang
berbicara soal kedudukan perempuan. ‘Aishah mungkin sadar, kemunculan hadis
hadis yang mayoritas diriwayatkan oleh Abū Bakrah dan Abū Hurayrah tersebut
ditujukan untuk mengikis kedudukan politiknya kala bersitegang dengan Alī dan para

24
Namun yang patut dicatat, dinamika politik yang terjadi di masa
Sahabat, meskipun tampak ketat, tidak pernah melibatkan hadis-hadis palsu.
Secara tekstual, hadis-hadis yang beredar, utamanya yang dilibatkan sebagai
legitimator sikap politik, memang asli datang dari Rasulullah. Namun yang
problematis adalah waktu dan momentum hadis-hadis tersebut dimunculkan ke
permukaan. Dengan kata lain, hadis-hadis yang beredar asli secara teks, namun
palsu secara konteks.
Di fase selanjutnya, peristiwa tahkim memegang peranan dalam
mengubah format epistemologis di balik kegiatan mensyarah hadis-hadis Nabi.
Kegiatan memalsukan hadis marak terjadi di masa Umawiyah. Kebijakan dan
strategi politik yang dipilih menjadi faktor utama mengapa kekhalifahan harus
didukung penuh secara teologis melalui hadis-hadis Nabi. Kekhalifahan
memanfaatkan fanatisme akidah untuk menciptakan status quo kekuasaan,
termasuk ketika produk pemahaman teologi Jabariyah muncul sebagai
pedoman.
Di fase dalam rentang abad pertama hijriyah ini, hadis direproduksi
menjadi bulir-bulir konsep teologis sekaligus direformulasi agar sesuai dengan
kepentingan teo-politik yang dicanangkan. Ketika hadis-hadis sahih tidak
menyediakan bahan untuk itu, maka pilihannya adalah membuat hadis-hadis
palsu. Fakta sejarah bahwa produksi hadis-hadis palsu dimulai sejak rezim
Umawiyah adalah sesuatu yang tak perlu diulang lagi di sini.
Salah satu dampak yang kelak memiliki efek bagi cara pandang
terhadap teks adalah munculnya garis diferensiasi epistemik berdasarkan
faktor geografi dan demografi. Irak sebagai kota politik dan metropolitan,
yang mengedepankan karakteristik rasional dan kontekstual, dinilai sebagai
basis pemalsuan hadis dan beredarnya hadis-hadis daif. Sampai-sampai al-
Zuhrī berkata, “semua yang kalian dengar dari Aḥl al-Irak, tinggalkan!”
Sedangkan Jazirah justru menciptakan satu iklim kebudayaan yang berupaya
merawat model berpikir tekstual dan tradisionis. Dari sini terbentuklah
Madrasah Aḥl al-Ra’y yang berbasis di Irak dan Madrasah Aḥl al-Hadīth
yang memiliki basis di Jazirah. Mālik bin Anas dan Abū Ḥanīfah mungkin
adalah dua tokoh yang representatif untuk melihat bagaimana kontrasnya gaya
berpikir Aḥl al-Ra’y dan Aḥl al-Hadīth, utamanya dalam memahami hadis-
hadis hukum.52

pengikutnya. Seperti misalnya riwayat Abū Hurayrah mengenai persamaan


perempuan, keledai dan anjing hitam.
52
Konfrontasi epistemologis yang terjadi antara kedua kubu ini masyhur dan hampir
diinformasikan oleh seluruh kitab sejarah. Ini sebagaimana yang dinyatakan oleh
Ahmad bin Hanbal misalnya, “bahwa ulama-ulama mutaqaddimin dari Ahl al Hijaz
sama sekali tidak memperdulikan riwayat Ahl al-Irak dan tidak mengambil hal hal
yang diriwayatkan oleh kalangan mereka [Ahl al-Irak]” Abū al-Qāsim Ibn ‘Asākir al-
Shafi’ī, Tārīkh Madīnah Dimashq (Bayrūt: Dār al-Fikr, 1997), jil. 57, h. 386.
Sebaliknya, Aḥl al-‘Irāq juga tidak memperdulikan keilmuan ulama-ulama Aḥl al-

25
Di akhir abad 2 H, muncul al-Shafi’ī sebagai penengahnya. 53 Selain
menghatamkan al-Muwaṭṭā’ dan epistemologi Malikian langsung kepada
Mālik bin Anas, al-Shafi’ī juga mendalami epistemologi Hanafian meskipun
tak langsung kepada Abū Ḥanīfah. Di sini, al-Shafi’ī mungkin sadar bahwa
ada dua persoalan yang diwariskan oleh situasi wacana di abad sebelumnya
dan harus dia selesaikan; pertama soal otentifikasi periwayatan dan yang
kedua soal otoritas teks dalam menjawab persoalan zaman, utamanya soal
hukum.54
Selain mengumpulkan berbagai riwayat dalam Musnad-nya, al-
Shafi’ī juga menggagas Ilmu Mukhtalif al-Hadīth. Di fase inilah, yang kurang
lebih terjadi di abad-abad menjelang abad kodifikasi dan al-Shafi’ī sebagai
pionirnya, prosesi pensyarahan hadis bergerak di ruang-ruang fikhi. Proses
kelahiran ilmu hadis sebagai satu taksonomi keislaman yang independen pun
dibidani oleh para fuqahā’. Di ruang-ruang fikhi inilah beberapa cabang ilmu
hadis lahir sebagai sebuah keniscayaan proses ijtihad hukum yang diupayakan
oleh para fuqahā’. Selain Ilmu Mukhtalif al-Hadīth, Ilmu Asbāb Wurūd al
Hadīth, Gharīb al-Hadīth dan lain sebagainya lahir sebagai alat pendukung
bagi ulama fikih untuk memahami proses terbentuknya situasi hukum dalam
teks hadis, yang pada tahap selanjutnya berguna untuk menyimpulkan satu
hukum baru berdasarkan problematika yang ada.
Di abad kodifikasi, proses sistematisasi ilmu hadis semakin matang.
Lahirnya tipologi baru “muhaddith”, lahirnya kitab-kitab matan hadis dan
kodifikasi metode otentifikasi riwayat adalah beberapa indikator yang
menunjukkan hal itu. Fokus yang dominan muncul di fase ini adalah upaya
untuk memilah hadis-hadis sesuai dengan tingkat keabsahannya. Standart yang
digunakan pun juga berbeda-beda. Setidaknya, ada lima hal yang secara ijmak
diacu oleh para ulama dalam menyitir hadis-hadis yang beredar untuk
didokumentasi ke dalam sebuah kitab; soal ketersambungan transmisi
periwayatan, soal keadilan dan keḍābitan perawi, soal ‘illah beserta shadz.

Hijāz. Ibn Farhūn al-Mālikī, Al-Dībāj al-Madhhab fī Ma’rifah ‘Ulamā’ A’yān al


Madhhab (Dār al-Turāth li al-Tab’i wa al-Nashr, 2011), jil. 1, h. 72. 53 Al-Shafi’ī
memulai satu era yang sedikit demi sedikit meringkus di antara dua geo-epistemologis
tersebut. Ketersalingan ini terjadi kala al-Shafi’ī mengambil riwayat sahih dari Aḥl
al-‘Irāq sebagaimana ia juga mengambil riwayat sahih dari Aḥl al-Hijāz. Masyhur
perkataan al-Shafi’ī, “idhā ṣaḥḥa ‘indakum al-hadīth faqūlū lanā ḥattā nadhhaba
ilayhi”. Ibn ‘Asākir al-Shafi’ī, Tārīkh Madīnah Dimashq, jil. 57, h. 385.
54
Kedua persoalan tersebut sebenarnya sudah diamati oleh ulama generasi
pra al-Shafi’ī. Mālik bin Anas, dengan al-Muwaṭṭā’ nya menjadi dokumentasi riwayat
riwayat sahih yang beredar di kalangan Aḥl al-Madīnah. Abū Ḥanīfah juga
mendokumentasikan hal serupa dalam Musnad. Dua-duanya masih diformat
sebagaimana layaknya pembahasan fikih. Namun yang penting dicatat, keduanya
masih terpola dalam diferensiasi yang muncul.

26
Kelahiran ilmu hadis tidak serta merta menghilangkan warna-warna
fikih sebagai taksonomi induknya. Diferensiasi Aḥl al-‘Irāq atau Aḥl al-Ra’y
dan Aḥl al-Hijāz mungkin saja sudah terlebur, namun lahir diferensiasi baru
yang menggambarkan corak dan karakteristik ilmu hadis yang dikembangkan,
yaitu antara Aḥl al-Hadīth dan Aḥl al-Fiqh. Keduanya sama-sama bergerak
dan menyumbang peran dalam terbentuknya ilmu hadis.
Lalu di mana posisi kerja pensyarahan hadis? Di abad kodifikasi, kerja
mensyarah hadis setidaknya terejawantah dalam dua wujud; pertama dalam
produk-produk fiqh al-hadīth yang dihasilkan oleh para muhaddith, yang
secara eksplisit tertampil dalam kitab-kitab hadis yang mereka tulis. 55 Kedua
dalam produk pensyarahan konvensional ketika seorang ulama mensyarah
sebuah kitab hadis atau berupa kitab-kitab fikih.
Mereka yang berada dalam kategori Aḥl al-Hadīth, mayoritas tidak
terlalu memfokuskan diri pada unsur-unsur fikih dari hadis-hadis yang
dikompilasi. Apa yang mereka pentingkan adalah standar keabsahan sebuah
riwayat, meskipun pada kenyataannya sebuah hadis tidak masyhur sebagai
sebuah praktek fikhi.56 Tapi pada kenyataannya, konsekuensi fikhi yang
terkandung dalam hadis yang terkompilasi secara tidak sadar ikut tampil dalam
sistematika penyusunan kitab atau pembaban tema-temanya. Ini menunjukkan
bahwa kombinasi sanad-matan selalu bergerak beriringan dalam sejarah
perkembangan hadis, termasuk di abad kodifikasi.57 Begitu juga, bisa

55
Selain menyuguhkan hadis dengan tingkat otentisitas di bawah al-Quran, al
Bukhārī juga merupakan seorang mustanbiṭ bahkan mujtahid yang mampu
mengeluarkan hukum dari hadis-hadis yang dicantumkannya. Hal ini, meskipun tidak
kentara dalam al-Ṣaḥīḥ, merupakan totalitas beliau sebagai muḥaddith. Baca kebiasaan
al-Bukhārī, termasuk kaitannya dengan istinbaṭ hukum dalam: ‘Abd al-Hāq bin ‘Abd
al-Wāhid al-Hāshimī, ‘Ādāt al-Imām al-Bukhārī fī Ṣaḥīḥihi (Kuwayt: Maktāb al
Shu’ūn al-Fanniyyah, 1428/ 2007), h. 71-110.
56
Meskipun asumsi ini nampaknya masih melahirkan cabang pendapat.
Misal, oleh Rifqi Muhammad Fatkhi yang mengandaikan orientasi fikhi tetap tagah
dalam tradisi ulama hadis meski hadis sudah independen. Lihat: Rifqi Muhammad
Fatkhi, Sahih Ibn Hibban dalam al-Kutub al-Sittah: Sebuah Tawaran Alternatif
(Tesis, SPs UIn Syarif Hidayatullah Jakarta, 2008). Perdebatan soal dominasi fikih
dalam tradisi muhaddis secara spesifik tertuang dalam: Rifqi Muhammad Fatkhi,
“Dominasi Paradigma Fikih dalam Periwayatan dan Kodifikasi Hadis”, dalam Jurnal
Ahkam, Vol. XII, No. 2, 2012 dan “Hadith dalam Hegemoni Fiqh: Membandingkan
Sahih Ibn Hibban dan Sunan Ibn Majah” dalam Journal of Qur’an and Hadith
Studies, Vol, 1, No. 1, 2012.
57
Kenyataan ini berbeda dengan sebagian asumsi yang dipegang oleh para sarjana
Barat, yang menyatakan bahwa pada mulanya ulama hadis hanya fokus pada sanad
dan tidak membahas matan. Ibrāhīm Amīn al-Jāf al-Shahrāwarzī, Manāhīj al
Muḥaddithīn; fī Naqd al-Riwāyah al-Tārikhiyyah li al-Qurūn al-Hijriyah al-Thalāthah
al-Ūlā (Dubay: Dār al-Qalam, 2014), jil. 1, h. 111. Selain itu, beberapa sarjana Muslim
juga memandang sejarah perkembangan hadis secara parsial seperti itu. Baca: Aḥmad

27
dipastikan bahwa para muhaddith sejatinya juga memiliki kompetensi di
bidang fikih, begitu juga sebaliknya.58
Sebaliknya, mereka yang berada dalam golongan Aḥl al-Fiqh,
mayoritas menyantumkan hadis untuk tujuan istinbat hukum. Kalaupun ada
kepentingan untuk menjelaskan asal-muasal dan kualitas hadisnya, Aḥl al-Fiqh
tidak terlalu fokus sebagaimana Aḥl al-Hadīth. maka produk karya yang
biasanya lahir adalah kitab-kitab kompilasi hadis hukum, kitab syarah atau
justru kitab fikih yang hanya meletakkan hadis sebagai sumber pendasaran
kesimpulan hukum.
Ketika ilmu hadis semakin matang, kitab-kitab rijāl al-hadīth mulai
dibukukan dan mayoritas riwayat sudah terkompilasi, orientasi ulama hadis
juga bergeser kepada kerja-kerja peninjauan hadis (takhrīj hadīth) dan
mensyarah hadis.59 Di fase inilah syarah hadis sampai pada momentum
puncaknya sebagai sebuah bidang keilmuan dan cabang tersendiri dalam kerja
kerja keilmuan hadis. Dengan kata lain, mensyarah hadis adalah puncak
perkembangan keilmuan hadis dalam konteks Arab-Islam. Selain karena
pekerjaan mengurai sanad telah rampung, para ulama hadis dihadapkan pada
persoalan baru yakni bagaimana cara menjelaskan kandungan hadis demi
kepentingan kontekstualisasi dan reaktualisasi hadis-hadis Nabi dalam
menyelesaikan problem-problem baru.

Āmīn, Ḍuhā al-Islām (Lajnah al-Talīf, 1933), h. 130-132 dan Mahmūd Abū Rayyah,
Aḍwā’ ‘alā al-Sunnah al-Nabawiyyah, cet. I (Dār al-Ta’līf, 1377/1958), h. 300.
Ahmad Amin juga berkata, “kita lihat sendiri, bahkan Imam al-Bukhārī dengan
reputasi ilmiahnya yang begitu tinggi dan kecermatan penelitiannya, beliau masih
menyantumkan hadis-hadis yang tidak sahih ditinjau dari segi perkembangan zaman
dan penemuan ilmiah. Hal ini disebabkan karena penelitian beliau hanya terbatas pada
kritik sanad saja.” Lihat: Aḥmad Āmīn, Fajr al-Islām (Singapore: Sulaymān Mar’i,
1965), h. 217-218.
58
Sufyān al-Thawrī berkata, “law kāna ahadunā qāḍiyan laḍarabnā bi al jarīd faqīhan
la yata’allam al-hadīth wa muhaddithan lā yata’allam al-fiqh”. Perkataan ini masyhur
dan bukan hanya berasal dari Sufyān al-Thawrī, tapi juga Sufyān Ibn
‘Uyaynah dan ‘Abdullah bin Sinān. Lihat: Abū ‘Abdillah Muḥammad bin Ja’far al
Kattānī, Naẓm al-Mutanāthir min al-Hadīth al-Mutawātir (Mesir: Dār al-Kutub al
Salafiyyah, t.t.), h. 6.
59
Ini sebagaimana yang diakui oleh ‘Alī al-Qārī terkait tugas para ulama
mutaakhirīn yang memang punya tanggung jawab melanjutkan estafet keilmuan
dengan cara mengkaji kembali, menguatkan dan menjelaskan. Alī bin Sulṭān
Muhammad al-Qārī, Mirqāt al-Mafātīh Sharh Mishkāt al-Maṣābīh (Bayrūt: Dār al
Kutub al-‘Ilmiyyah, 1422 H./ 2001 M.), juz 5, h. 647.

28
Ske
ma Sharah Istidlali
Problem
Hukum

Hadis

Skema Sharah Istintaji

Diagram 2.1: Perbedaan skema syarah istidlali dan istintaji

Perkembangan sharah istintājī kemudian dilanjutkan oleh al-Nawawī


(w. 676 H) ketika menulis al-Minhāj Sharh Saḥīḥ Muslim bin al-Hajjāj.
Menurut Qāsim al-Ḥaddād, salah satu pembaharuan yang dibawa oleh al
Nawawī adalah, selain ia menyajikan kaul-kaul ulama terkait hal-hal yang
berkaitan dengan sebuah hadis sebagaimana format yang muncul dalam syarah
syarah hadis sejak al-Khaṭṭābī, al-Nawawī juga menunjukkan sikap di hadapan
berbagai macam pendapat dan pandangan tersebut. Al-Nawawī melakukan
penyaringan, menelaah argumentasi pendapat yang ada dan melakukan tarjih
pendapat.60 Dengan kata lain, al-Nawawī mulai memperkenalkan cara
pensyarahan yang melibatkan subyektifitas si pensyarah hadis dalam upayanya
menjelaskan kandungan hadis.
Keterlibatan si pensyarah ini tampak misal dalam cara al-Nawawī
menjelaskan hadis;

‫عن سالم مولى شداد قال دخلت على عائشة زوج النبي صلى هللا عليه و سلم يوم‬
‫توفي سعد بن أبي وقاص فدخل عبدالرحمن بن أبي بكر فتوضأ عندها فقالت يا‬

60
‘Abd al-'Azīz Qāsim al-Ḥaddād, al-Imām al-Nawawī wa Athāruhu fī al
Hadīth wa 'Ulūmuh (Bayrūt: Dār al-Bashā'ir al-Islāmiyyah, 1992), h. 569.

29
‫عبدالرحمن أسبغ الوضوء فإني سمعت رسول هللا صلى هللا عليه و سلم يقول ويل‬
61
‫أللعقاب من النار‬.
Dalam syarahnya, al-Nawawī menjelaskan banyak hal. Dari aspek
sanad, al-Nawawī menjelaskan Sālim bin Shidād. Menurutnya, yang benar
adalah tanpa “bin”, dan hanya menggunakan “mawlā”. Menurut al-Nawawī,
tidak pernah ditemukan anak Shidād bernama Sālim, justru yang ada adalah
nama budaknya.62
Dari aspek matan, al-Nawawī menjelaskan kandungan kalimat hadis
tersebut. apa yang dimaksud “waylun li al-a’qābi min al-nār”. Al-Nawawī
juga menjelaskan konsekuensi hukum perihal kewajiban membasuh kaki
sampai tumit. Ia juga menyitir kesepakata para ulama mengenai ha itu. 63
Jauh setelah al-Nawawī menulis al-Minhāj, Ibn Ḥajar al-Athqalānī (w.
852 H) kemudian muncul dan mensyarah Saḥīḥ al-Bukhārī. Kemunculan al
Athqalānī dan karyanya Fatḥ al-Bārī dianggap sebagai puncak perkembangan
sharah istintājī berikut ilmu syarah hadis itu sendiri. Bahkan al-Shawkānī
mengatakan, “la hijrata ba’da al-Fatḥ…(Fatḥ al-Bārī)”64 untuk
menggambarkan kompeherensitas standar pensyarahan hadis yang telah
diletakkan oleh al-Athqalānī.
Dalam menjelaskan sebuah hadis, al-Athqalānī hampir menggunakan
seluruh model pendekatan secara analitik-komparatif (tahlīlī-muqāran). Tak
hanya dari aspek matan, al-Athqalānī juga menjelaskan seluk beluk persoalan
di aspek sanad. Tak hanya itu, al-Athqalānī juga menjelaskan persoalan gharīb
al-hadīth, asbāb al-wurūd, ikhtilāf al-hadīth dan hampir seluruh cabang
keilmuan hadis dalam setiap hadis yang disyarahkannya. Al-Athqalānī juga
dengan jeli mengurutkan secara intertekstual pemaknaan hadis dengan hadis
yang lain.

61
Muslim bin al-Hajjāj, Saḥīḥ Muslim (Bayrūt: Dār Ihyā’ al-Turāth, tt.), jil. 1,
h. 213. No hadis 240.
62
Abū Zakariyā Yaḥyā bin Sharaf al-Nawawī, al-Minhāj Sharh Saḥīḥ Muslim
bin al-Hajjāj (Bayrūt: Dār Ihyā’ al-Turāth, 1392 H.), jil. 3, h. 129. 63 al-Nawawī, al-
Minhāj Sharh Saḥīḥ Muslim bin al-Hajjāj, jil. 3, h. 129. 64 Muḥammad bin Maṭhar al-
Zahrānī, Tadwīn al-Sunnah al-Nabawiyyah: Nash'atuhu wa Taṭawwuru min al-Qarn
al-Awwal ilā Nihāyah al-Qarn al-Tāsi' al-Hijrī (Riyāḍ: Dār al-Hijrah li al-Nashr wa
al-Tawzī', 1996), h. 122.

30
Diagram 2.2: Fase-fase epistemologis dalam perkembangan Syarah Hadis

Kesimpulannya, ketiga fase transformasi epistemologis dalam syarah


hadis ditentukan oleh setidaknya enam momentum. Dimulai oleh Nabi dan
para sahabat di abad 1 hingga 2 H, dilanjutkan oleh al-Shāfi’ī di abad 3 H,
dikembangkan oleh al-Ṭabarī dan al-Ṭaḥāwī di abad 4 H, kemudian
dilanjutkan lagi oleh al-Khaṭṭābī di akhir abad 4 H, dilengkapi oleh al-
Nawawī di abad 7 H dan disempurnakan oleh Ibn Ḥajar al-Athqalānī di abad
9 H. Di abad-abad setelahnya, kerja pensyarahan hadis selalu mengacu kepada
kitab-kitab berikut format pensyarahan sebagaimana yang telah diperlihatkan
dalam fase-fase perkembangan sebelumnya.
Format Periode Karakteristik Fokus Metode Contoh
Sharah Masa Hanya Makna Ijmālī -
Ishkālī Nabi menjelaskan Hadis
dan satu hadis
Sahabat yang
problematik.
Bersifat
individual.
Syarah sangat
simple dan
sederhana

31
Sharah Masa Hadis tidak Kandung Ijmālī Ikhtilāf al
Istidlālī Tabi’in menjadi an hadis muqāra Hadīth
sampai obyek dan n-tahlīl karya al-
Abad utama. konsekuen al-matn Shāfi’ī.
Kodifik Hadis hanya si hukum Ta’wīl
asi dijadikan yang Mukhtalaf
terkandun al-Hadīth
argumentasi
g karya Ibn
penguat
sebuah di
Qutaybah.
gagasan. dalamnya. Tahdhīb al
Fokus Athār
Proses syarah
disertai pada karya al-
dengan Ikhtilāf al Ṭabarī.
penyimpulan Hadīth, Bayān
hukum yang Gharīb al Mushkil al
terkandung Hadīth dan Athār
karya al-
Mushkil al
Ṭaḥāwī,
Hadīth.
dll.

Sharah Pasca Para Seluruh Tahlīlī al-Minhāj


Istintājī Kodifik pensyarih Aspek muqāra Sharh
asi mulai fokus dalam n fī al Saḥīḥ
sampai membahas Hadis, baik sanad Muslim
Periode hadis-hadis dalam wa al bin
Puncak dalam satu sanad matn. al-Hajjāj
Syarah kitab matan maupun karya al
Hadis hadis matan. Nawawī.
tertentu. Fatḥ al-
Syarah sangat Bārī
panjang dan Sharah
Saḥīḥ al-
kitab berjilid Bukhārī
jilid karya Ibn
Ḥajar al
Athqalānī,
dll.

Tabel 2.1: Rangkuman tiga corak yang mengisi sejarah perkembangan Syarah
Hadis

B. Diskursus Syarah Hadis di Nusantara


Selanjutnya, ada dua hal yang perlu diurai secara singkat terlebih
dahulu. Dua hal yang berkaitan dengan persoalan diskursus syarah hadis
Nusantara itu sendiri. Keduanya diperlukan untuk memetakan gelombang dan
retakan-retakan epistemologis yang secara tidak langsung turut membentuk
situasi wacana hadis yang dihadapai Baḥr al-Mādhī maupun subyektifitas al
Marbawi sebagai orang Nusantara.

32
1. Vernakularisasi Islam dan Format Epistemologi Syarah Hadis
Nusantara
Para sejarawan sepakat bahwa tradisi penulisan hadis di Nusantara
telah dimulai di abad 17 M.65 al-Raniri dan al-Sinkili adalah dua
tokoh yang dianggap pionir dalam kerja penulisan hadis,
utamanya dalam kerja mensyarah hadis di Nusantara. 66
Keberadaan naskah kitab hadis yang muncul dari abad 17 ini
sedikit banyak memberikan informasi bahwa jauh sebelum itu,
para ulama Nusantara sebenarnya sudah memberikan perhatian
besar kepada studi hadis meskipun memang belum berwujud
karya.
Ada beberapa catatan yang harus diberikan mengenai
mengapa kitab-kitab hadis baru muncul di Nusantara abad 17 M.
Pertama, karateristik kedatangan Islam di Nusantara yang
sufistik67 dan praksis, menjadikan kegiatan menulis hadis-hadis
secara parsial tidak terlalu krusial dan dibutuhkan. Dalam situasi
keberagamaan yang membutuhkan contoh langsung dan produk
produk reaktual kaitannya dengan realitas budaya masyarakat
setempat, Islam secara tidak langsung mewujudkan diri secara
kultural. Kalaupun studi hadis memiliki tempat, begitu juga studi
keislaman lainnya, ia hanya bergerak dalam ruang-ruang kognitif
dan menjadi basis metodologis yang diacu para ulama pembawa
Islam ketika hendak mengejawantahkannya di tengah-tengah
masyarakat.
Oleh karena itu, secara spesifik saya, menggunakan istilah
“tradisi penulisan”, bukan “perkembangan” sebagaimana juga
yang digunakan oleh Oman. Ini dikarenakan, istilah

65
Azyumardi Azra, Jaringan Ulama Timur Tengah dan Kepulauan
Nusantara Abad XVII & XVIII; Akar Pembaruan Islam di Indonesia (Jakarta:
Kencana, 2013), h. 210. Oman Fathurrahman, “The Roots of The Writing Tradition of
Hadith Works in Nusantara: Hidayat al-Habib by Nur al-Din al-Raniri” dalam Studia
Islamika, vol. 19, no. 1, 2012.
66
Oman Fathurrahman, “The Roots of The Writing Tradition of Hadith
Works in Nusantara, h.
67
Mengenai temuan bahwa yang membawa Islam ke Nusantara adalah para
sufi didasarkan pada data berupa surat permintaan Raja Nusantara kepada Khalifah
untuk mendatangkan pengajar profesional untuk mengenalkan Islam. S.Q. Fatimi,
“Two Letters From The Mahajara to The Khalifah: A Study In The Early History of
Islam In The East” dalam Islamic Studies Islamabad 2:1 (1963), h. 121-140. Selain
itu, Ahmad Baso juga melakukan pelacakan dan menemukan bahwa aktor penyebar
Islam di Nusantara adalah keturunan Rasulullah dari jalur Sayyidina Ali. Ahmad
Baso, Islamisasi Nusantara: Dari Era Khalifah Usman bin Affan hingga Wali Songo
[Studi tentang Asal-Usul Intelektual Islam Nusantara] (Tangerang Selatan: Pustaka
Afid, 2018). Asumsi mengenai sufi-sufi pendakwah ini juga dipertegas oleh
Azyumardi Azra dalam kelas sejarah dan peradaban yang beliau ampu.

33
“perkembangan” memiliki karakteristik yang lebih beragam dan
kompleks, tidak hanya merujuk kepada muncul dan lahirnya
karya. Perkembangan kajian hadis di Nusantara, sebagai sebuah
bagian dari Islam itu sendiri, tentu saja lahir bersamaan dengan
datangnya
Islam di Nusantara. Namun dalam konteks “penulisan [studi]
hadis”, abad 17 M adalah awalnya.
Kedua, munculnya kitab syarah hadis yang ditulis oleh al
Raniri beriringan dengan mulai munculnya satu komunitas yang
mengabdikan dirinya untuk belajar ilmu keislaman. Muncullah
lembaga bernama pesantren dan kaum santri yang mengaji kepada
seorang kiai.68 Secara tidak langsung, bidang-bidang keilmuan
Islam yang awalnya terlebur sebagai pola pikir dan agenda-agenda
kultural, menetas sebagai sebuah disiplin keilmuan independen
dan teoritis yang dipelajari satu per satu. Kemunculan komunitas
santri juga meniscayakan ruang-ruang pengajian yang secara
spesifik mengkaji sebuah karya, entah itu fikih, tasawwuf, tafsir,
termasuk hadis.69 Komunitas-komunitas pengajian sebagai
lembaga pendidikan, dengan demikian menjadi wadah penting
dalam agenda keilmuan dalam konteks Islam di Nusantara.70
Melalui dua faktor tersebut, tradisi penulisan hadis, berikut
tradisi penulisan syarah hadis muncul dari situasi diskursif yang
sangat spesifik dan berbeda dengan kelahirannya dalam konteks
Arab-Islam. Format perkembangan syarah hadis di Nusantara pun
cukup diakronik kalau dibandingkan dengan fase-fase
perkembangan syarah hadis dalam Islam. Karena itu, prosesi

68
Menurut Karel A. Steenberink, ada dua arus utama soal pendapat mengenai
asal-usul pesantren. Ada kelompok yang mengatakan ia berasal dari tradisi Hindu,
sebagian lagi mengatakan kalau ia asli lahir dari tradisi dunia Islam atau Arab. Karel
A. Steenberink, Pesantren, Madrasah, Sekolah: Pendidikan Islam dalam Kurun
Moderen (Jakarta: Lembaga Penelitian, Pendidikan dan Penerangan Ekonomi dan
Sosial, 1986), h. 26. Pendapat pertama misalnya muncul dari I. J. Brugman dan K.
Meys yang berargumen kalau tata nilai sebagaimana yang ditunjukkan dalam
pesantren tidak nampak dalam kasus negara-negara Islam. Baca: Rohadi Abdul Fattah
dkk., Rekonstruksi Pesantren Masa Depan: Dari Tradisional, Modern, Hingga Post
Modern (Jakarta, Listafariska Putra, 2005), h. 13. Namun Mahmud Yunus punya
pendapat sebaliknya. Mahmud Yunus , Sejarah Pendidikan Islam di Indonesia
(Jakarta: Mutiara, 1979). Namun terlepas dari itu semua, pesantren adalah sistem
sekaligus format pendidikan tertua yang menjadi identitas Kenusantaraan. Ahmad
Baso, Pesantren Studies 2a: Pesantren, Jaringan Pengetahuan dan Karakter
Kosmopolitanisme Kebangsaannya (Tangerang Selatan: Pustaka Afid, 2012), h. 45.
69
Aboe Bakar, Sedjarah al-Qur’an (Jakarta: Sinar Pudjangga, 1952), h. 286.
70
Taufik Abdullah dan Endjat Djaenuderadjat, Sejarah Kebudayaan Islam Indonesia
II: Tradisi, Intelektual dan Sosial (Direktorat Jenderal Kebudayaan Kemendikbud,
2015), h. 6.

34
tumbuhnya tradisi penulisan syarah hadis di Nusantara tidak bisa
diukur sebagaimana perkembangan penulisan syarah hadis diukur
dalam konteks Arab-Islam.
Dengan kata lain, menakar perkembangan tradisi penulisan
syarah hadis di Nusantara tidak bisa hanya diacu kepada kuantitas
karya yang muncul ataupun format metodologis yang tersaji di
dalamnya. Proses vernakularisasi yang terjadi antara seorang
pensyarah hadis dan teks hadis yang disyarah, sejatinya adalah
esensi dari perkembangan hadis Nusantara itu sendiri. Karena itu,
amatan yang harus dilakukan harus melampaui amatan-amatan
terhadap aspek sistematika, teknik pensyarahan dan klasifikasi
metodologi pensyarahan. Yang lebih relevan untuk dilakukan
justru adalah model amatan yang menelusur hingga ke ruang
konfigurasi wacana yang bertindihan di balik teks, yang menjadi
ruang pertarungan antara realitas teks dengan subyektifitas
seorang pensyarah hadis.
Ini alasan yang kemudian melatarbelakangi sebuah fakta
bahwa perkembangan studi hadis atau tradisi penulisan hadis di
Nusantara diawali dengan kegiatan mensyarah hadis. Studi hadis
Nusantara tidak berkembang sebagaimana kronologi
perkembangan studi hadis dalam sejarah Islam. Hadis Nusantara
tidak sedang menghadapi problem pemalsuan hadis atau memiliki
masalah otentitas periwayatan. Ia mengalami keterputusan
epistemologis71 dengan konteksnya yang Arab-Islam. Oleh karena
itu, penulisan kitab-kitab ilmu hadis di Nusantara hanya segelintir,
dan kalaupun ada, bisa dipastikan terformat sebagaimana layaknya
kitab syarah.
Berdasarkan fakta tersebut, yang tengah dihadapi oleh ulama
hadis Nusantara adalah problematika vernakularisasi Islam, yang
pada saat bersamaan menuntut hadis-hadis Nabi yang lahir dari
konteks Arab-Islam dilebur dan ditemukan dengan bentuk
ejawantahannya yang baru. Maka epistemologi hadis Nusantara
pun pada akhirnya dibentuk oleh upaya-upaya konseptual,

71
Menurut al-Jabiri, yang dimaksud dengan “keterputusan epistemologis” (al
qati’ah al-ibistimulujiyah) adalah fusi keterputusan yang mengandaikan satu proses
transisi kesadaran subyek, dari yang awalnya sangat “hadisionalis” (ka’inah
hadithiyyah; kondisi ketika subyek tertindih oleh beban konteks hadis-hadis Nabi yang
arabsentris ) menuju kondisi “hadisionis” (ka’inah laha hadith; kondisi ketika subyek
merdeka dan secara produktif serta aktif mendialogkan hadis-hadis Nabi dengan
subyektifitasnya). Muhammad ‘Ābīd al-Jābirī, Nahnu wa al-Turāth; Qira’āt
Mu’āṣirah fī Turāthina al-Falsafī, (Bayrūt: Markaz al-Thaqāfī al-‘Arabī, 1993), h. 21.
Fase ini yang kemudian menentukan suksesnya proses reaktualisasi dan
kontekstualisasi hadis-hadis Nabi dalam ruang kenusantaran.

35
metodologis dan praksis soal bagaimana mereaktualisasi dan
merekontekstualisasi hadis-hadis Nabi dalam ruang
kenusantaraan.

2. Ciri Khas dan Karakteristik Umum Syarah Hadis Nusantara


Hingga Abad 17 M
Pionir penulisan syarah hadis di abad 17 adalah Nuruddin al-
Raniri dengan karyanya Hidāyat al-Ḥabīb. Peran al-Raniri yang
mengawali tradisi penulisan hadis di Nusantara telah diulas oleh
Oman Fathurrahman. Namun sayangnya, Oman lebih banyak
menjelaskan persoalan materil naskah Hidāyat al-Ḥabīb.72
Apa yang hendak ditampilkan dalam sub bab ini justru adalah
mode al-Raniri ketika menulis maupun mensyarah hadis. gaya,
model dan karakteristik semacam itu bisa saja terkuak dari diksi,
cara al-Raniri menggunakan kata, simbol, penamaan bab dan
substansi dari hadis-hadis yang ia kompilasi. Telaah atas
karakteristik semacam ini sedikit banyak akan menguji asumsi
yang sudah saya jelaskan di awal mengenai latar epistemologis di
balik kerja al-Raniri dan seluruh ulama hadis Nusantara dalam
mensyarah hadis.
Ada beberapa informasi dari artikel Oman yang bisa dijadikan
acuan awal untuk melihat karakteristik syarah hadis di Nusantara
melalui karya al-Raniri;
Pertama, meskipun tidak menyematkan materi sanad dalam
kitabnya, al-Raniri tetap memberikan simbol rujukan untuk
memperjelas kitab hadis apa yang dia acu. Dalam catatan Oman,
ada setidaknya 22 kitab hadis yang dirujuk oleh al-Raniri dalam
menyusun Hidāyat al-Ḥabīb. Al-Raniri merujuk kepada Al-Kutub
al-Sittah kecuali Sunan al-Nasa’i, tiga kitab al-Sahih al-Mujarrad,
Musnad Ahmad bin Hanbal, karya al-Daruqutni, al-Bayhaqi, al
Daylami dan kitab-kitab lainnya.73
Kedua, al-Raniri menyajikan materi dalam kitabnya dengan
dua bahasa; Bahasa Arab dan Bahasa Melayu. Ada sekitar 831
hadis yang disuguhkan al-Raniri dalam kitabnya tersebut. Mula
mula hadis-hadis tersebut ditulis dalam teks aslinya yang
berbahasa Arab, lalu hadis tersebut akan diterjemah dan dijelaskan
oleh al-Raniri dalam Bahasa Melayu.

72
Ini bisa dimaklumi mengingat Oman adalah seorang filolog. Lihat dalam:
Oman Fathurrahman, “The Roots of The Writing Tradition of Hadith Works in
Nusantara: Hidayat al-Habib by Nur al-Din al-Raniri” dalam Studia Islamika, vol. 19,
no. 1, 2012.
73
Oman Fathurrahman, “The Roots of The Writing Tradition of Hadith
Works in Nusantara: Hidayat al-Habib by Nur al-Din al-Raniri”.

36
Ketiga, ke 831 hadis yang tersaji, ditebar ke dalam 53 bab.
Gaya penamaan bab nya pun deskriptif, seolah-olah al-Raniri
sudah menjuruskan hadis yang dia sajikan kepada makna dan
maksud tertentu. Menariknya, ada dua kata kata yang sering
digunakan oleh al-Raniri dalam penjudulan bab-bab tersebut, yaitu
kata “menggemari” dan “menakut”. Dalam tradisi penulisan hadis
di periode akhir, model sistematika “al-targhib wa al-tarhib”
memang banyak dilakukan. Model semacam ini merupakan wujud
kesekian dari kerja mensyarah hadis. Simplisitas, to the point dan
praksis adalah beberapa kelebihan format kitab “al-targhib wa al
tarhib”. Tampaknya, al-Raniri juga memilih menggunakan format
tersebut semata-mata karena alasan fungsionalisasi hadis dalam
tema hidup sehari-hari.
Keempat, dilihat dari penjudulan bab-babnya, karakteristik
sufisme sangat kentara.74 Ini terlihat misalnya dalam penjelasan al
Raniri, bahwa sistematika syarah hadis yang dipilihnya memang
dimaksudkan untuk pecinta akhirat. Al-Raniri menulis “wa
ja’altuhu mubawwaban li-yu’imma al-naf’a li al-raghibin” yang
dia terjemah “dan kujadikan ia beberapa bab supaya manfaatnya
bagi segala yang menggemari akhirat.” Dan memang, dalam
penjudulan bab, kata “akhirat” muncul beberapa kali. Begitu juga
dengan tema-tema yang diangkat, yang al-Raniri arahkan agar
pembacanya menujukan hidupnya pada akhirat dan tidak
berorientasi dunia.
Kelima, dalam bab keenam kitabnya, al-Raniri memberikan
judul “Bab pada menyatakan menggemari berjamu-jamuan”.
Sebagaimana penjelasan sebelumnya, al-Raniri menggunakan kata
“menggemari” untuk menjelaskan maksud “al-targhib”. Dalam
penulisan judul tersebut, al-Raniri juga menyitir kalimat “berjamu
jamuan”. Jamu-menjamu memang sudah menjadi karakter orang
Nusantara. Berbagai acara dihelat dalam bentuk makan bersama
dengan keluarga, kerabat, tetangga dan orang kampung.75

74
Sufisme yang dimaksud bisa bermakna tata nilai sufistik yang menjadi
spirit kehidupan berikut kesadaran beragama Muslim Nusantara, maupun tema-tema
spesifik yang biasa diperbincangkan dalam nomenklatur tasawwuf. Selain al-Raniri,
al-Singkili juga punya karakteristik yang sama. Dalam kitabnya Mawa’idh al-
Badi’ah, al-Singkili masuk dalam perdebatan soal wujudiyah. Lihat: Mawa’izhul
Badi’ah MSS 3565 Perpustakaan Negara Malaysia; Voorhoeve, Bayan Tajalli
(Bahan-bahan untuk mengadakan penyelidikan lebih mendalam tentang Abdurrauf
Singkel), terj. Aboebakar Atjeh (Banda Aceh: Pusat Dokumentasi dan Informasi
Aceh, 1980), h. 19.
75
Karakteristik ini sama persis dengan narasi-narasi sosialistik yang dipakai
al-Marbawi dalam Baḥr al-Mādhī. Contoh kecilnya, al-Marbawi selalu memulai
perbincangan sebuah masalah dengan salam sapaan interaktif “wahai saudaraku”,
“duhai saudaraku” dan “ya saudaraku”. Karakter semacam ini tidak akan ditemukan

37
Secara umum, apa yang ditampilkan dalam karya al-Raniri
adalah warna karakter yang bisa ditemukan hampir dalam seluruh
karya ulama Nusantara.76 Tidak hanya hadis, tapi juga karya fikih,
tafsir, teologi sampai tasawwuf. Meskipun di akhir abad 19 dan
awal 20 M, karena faktor kolonialisme, muncul varian lain yang
berupaya menggugurkan otoritas diskursus hadis yang telah
dibangun di abad-abad sebelumnya.77

C. Relasi Islam dan Kolonial: Dua Wacana Besar Konfrontasi Agama


Vis A Vis Budaya
Membicarakan dialektika syarah hadis di Indonesia tentu tidak bisa
terlepas dari problematika perkembangan Islam itu sendiri. Di abad 19, Islam
Indonesia sebagai wacana keilmuan dianggap sudah matang. Nico Kaptein
misalnya, mengatakan bahwa Islam Indonesia telah menemukan formulasinya
dan stabil secara struktur pengetahuan di abad 19. 78 Dan al-Marbawi sendiri,
merupakan tokoh dengan karya yang muncul di abad setelahnya. Kalaupun

dalam syarah-syarah hadis lain. Tidak akan ditemukan misalnya narasi sapaan “ya
akhi” dan lain sebagainya dalam proses pensyarahan, termasuk hadis. Sebagai contoh,
lihat dalam: al-Marbawi, Baḥr al-Mādhī, hl. 3-10. Al-Marbawi selalu memberikan
tanda kurung ketika menggunakan sapaan tersebut.
76
Meskipun para sejarawan cenderung sepakat, pasca al-Raniri dan al
Singkili, tradisi penulisan hadis mengalami kevakuman. Tradisi tersebut kemudian
muncul kembali di akhir abad XIX melalui Mahfudh al-Termasi, Nawawi al-Bantani
dan beberapa ulama Nusantara lain yang mulai menulis karya-karya di bidang hadis.
Namun yang perlu dicatat di sini, makna vakum diukur berdasarkan indikator karya
yang muncul. Meski begitu, tradisi pengajian, periwayatan dan pensyarahan hadis
secara oral kemungkinan besar masih ramai dilakukan di abad-abad kevakuman
tersebut. Pertanyaan lain yang muncul, faktor apa yang menyebabkan kevakuman?
Setidaknya ada dua pendapat yang muncul; pertama, dominasi fikih dan syariat yang
membuat diskursus hadis tenggelam. Kedua, kesibukan para ulama menginisiasi
perlawanan terhadap kolonial.
77
Kemunculan varian ini disepakati oleh Agung Danarta dan peneliti peta
perkembangan studi hadis Nusantara lainnya. Menurut Danarta, munculnya geliat
diskursus hadis di akhir abad 19 dan awal abad 20, salah satunya dipengaruhi oleh
faktor menguatnya gerakan purifikasi dan kampanye “kembali ke al-Quran dan
Hadis”. Fase ini juga menandai lahirnya pergeseran otoritas sosial-keagamaan yang
awalnya diacu kepada madzhab fikih, lalu diacu kepada hadis langsung. Agung
Danarta, “Perkembangan Pemikiran Hadis di Indonesia: Sebuah Pemetaan”, dalam
Jurnal Tarjih edisi 7 (Januari 2004), h. 74. Salah satu tokoh hadis yang menjadi kunci
munculnya varian otoritas hadis semacam itu adalah Sayyid Usman.
78
Nico J.G. Kaptein, Islam, Kolonialisme dan Zaman Modern di Hindia
Belanda: Biografi Sayid Usman (1822-1914) (Yogyakarta: Suara Muhammadiyah,
2017), kata pengantar.

38
asumsi tersebut benar, al-Marbawi dan Baḥr al-Mādhī berarti lahir dalam
situasi wacana yang sudah [di]stabil[kan].
Lalu pertanyaannya, penstabilan dan peresmian wacana semacam apa
yang terjadi? Di sini pentingnya membahas setidaknya tiga hal, yang saling
berkaitan antara satu dengan yang lain; Pertama soal Islam Indonesia sebagai
materi wacana [di]resmi[kan]. Kedua soal dialektika kolonialisme dan realitas
keberagamaan di Indonesia, seperti tarekat, yang sedikit banyak menyumbang
bentuk dan mengisi makna “Islam Indonesia” itu sendiri. Ketiga adalah soal
peran kolaborator dari kalangan ulama dan posisinya dalam sengkarut relasi
kolonial yang muncul.79
Hipotesa terbaru menyatakan bahwa Islam menyebar ke Indonesia
melalui guru-guru sufi keturunan langsung Rasulullah SAW dari jalur ‘Alī bin
Abī Ṭalib.80 Corak Islam yang datang pun tampak sufistik. Sebagaimana
karakteristik sufisme, Islam di Nusantara dikenal luwes, adoptif dan moderat.
Maka diskursus hadis, termasuk kegiatan mensyarah hadis, awalnya juga
bercorak sufistik dan akhlaqi. Materi-materi yang muncul tak jauh dari
persoalan iman, etika Islam, ibadah dan lain sebagainya. Tema-tema dalam
nuansa al-Targhib wa al-Tadhhib mewarnai kitab-kitab syarah di abad 17.81
Menariknya, sufisme di Nusantara tidak lantas hanya berwujud
praktek dzikir dan ritual. Ajaran-ajaran sufi berikut tata lakunya
menginspirasi Muslim pribumi untuk menagah perlawanan anti-kolonial dan
sedikit banyak menyuplai basis bagi kesadaran berbangsa. Puncaknya terjadi
di masa Diponegoro.82
Meskipun kalah, Perang Jawa tetap mewarisi trauma bagi status quo
kekuasaan kolonial. Belum lagi dengan aksi pemberontakan beruntun yang

79
Misalnya Sayyid Usman dan proyek syariahisasinya yang menjadi ventilasi
untuk melihat bagaimana variabel-variabel tersebut bersentuhan. Selain Sayyid
Usman, ada juga Haji Hasan Mustapa dan Raden Aboe Bakar. Ketiganya mewakili
keragaman relasi antara kolonial dan intelektual pribumi kaitannya dengan Islam.
80
Asumsi ini didasarkan pada temuan S.Q. Fatimisebelumnya. Soal ator-aktor
ini adalah keturunan Rasul, bisa dibaca dalam: Ahmad Baso, Islamisasi Nusantara:
Dari Era Khalifah Usman bin Affan hingga Wali Songo [Studi tentang Asal-Usul
Intelektual Islam Nusantara] (Tangerang Selatan: Pustaka Afid, 2018).
81
Ini sebagaimana yang terlihat dalam Hidāyah al-Ḥabīb.
82
Perang Diponegoro 1825-1830 adalah titik picu untuk mendapatkan gambar
bagaimana sufisme mewujudkan dirinya dalam bentuk pembangkangan terhadap
kuasa kolonial. Selama hampir lima tahun peperangan yang sengit, kolonial Belanda
ternyata tak cukup kuat untuk mengimbangi dan menghabisi pasukan Diponegoro.
Skema dan bentuk pertempuran yang sama sekali tidak pernah mereka bayangkan
sebelumnya hadir dengan rupa yang paling menakutkan sekaligus membingungkan.
Kemenangan tak kunjung diraih meskipun 25 juta gulden (setara + 2,5 miliar US$)
dan 15.000 serdadu sudah dikeluarkan pemerintah belanda. Peter Carey, Takdir:
Riwayat Pangeran Diponegoro (1785-1855) (Jakarta: Kompas, 2014), h. xxi.

39
terjadi di tahun-tahun setelahnya, yang ternyata juga diinisasi oleh para ulama
dan kelompok tarekat.83 Secara tidak langsung, realitas tersebut membuka
perspektif baru mengenai posisi dan fungsi agama di tengah masyarakat
pribumi. Sekaligus, ia menyumbang format baru bagi praktek kolonialisasi di
tahun-tahun berikutnya.
Dengan kata lain, kolonialisme berkesimpulan bahwa ada dua
tantangan yang akan mengguncang status quo mereka. Pertama adalah
konfigurasi agama dan budaya yang menjadi tata nilai normatif yang dianut
untuk menjaga sumber daya alam. Kedua, konfigurasi agama dan budaya juga
jadi pemicu lahirnya sikap antipasti dan gerakan pemberontakan. Maka, cara
yang paling efektif untuk dilakukan guna mengurai problem tersebut adalah
dengan mengkonfrontasi relasi agama-budaya melalui pendekatan puritanisme
dan sekularisme.
Di sini posisi Snouck Hugronje menjadi sangat penting. Dalam sebuah
surat yang ditulisnya tak lama dari tahun meletusnya peristiwa pemberontakan
petani di Banten, Snouck menulis sebuah rekomendasi untuk Pemerintah
Kolonial untuk menjalan program pengawasan:

“Pengawasan yang teratur dari pihak Pemerintah Daerah atas


pengajaran agama Mohammadan. Ini tidak semata-mata dapat disebut
pengajaran agama. Sebab bukan hanya bidang-bidang sastra termasuk
di situ, melainkan juga bidang hukum dalam seluruh aspeknya.
Sementara itu, pengajaran mistik kepada beberapa orang saja
memberikan kekuasaan atas orang lain sedemikian rupa, sehingga
Pemerintah Pusat boleh dianggap perlu mengenal ‘penguasa-
penguasa’ itu secara lebih dekat, yaitu sebelum mereka
menyalahgunakan kekuasaan mereka.”84

Ini yang juga mendorong Snouck dan pemerintah kolonial membuat


kategorisasi yang; Islam politik dan Islam kultural.85 Melalui agenda
pengawasan dan politik terminologi tersebut, pemerintah kolonial berupaya
untuk menghapus “ekses politis” dari agama.86 Tentu saja yang dimaksud

83
Pemberontakan Petani Banten atau Geger Cilegon di tahun 1888. Sartono
Kartodirdjo, Pemberontakan Petani Banten 1888 (Depok: Komunitas Bambu, 2015),
h. 155.
84
E. Gobee dan C. Adriaanse, Nasihat-Nasihat C. Snouck Hurgronje Semasa
Kepegawaiannya kepada Pemerintah Hindia Belanda 1889-1936, Seri Khusus INIS
XI, terj. Sukarsi (Jakarta: Indonesia-Netherlands Cooperation in Islamic Studies,
1995), h. 2142.
85
Harry J. Benda, The Crescent and The Rising Sun (The Hague, 1958), h. 20. 86 Bagi
Snouck, yang harus dibasmi adalah Islam politik. Sebaliknya, pemerintah kolonial
harus memberikan ruang dan tidak ikut campur dalam gerakan-

40
politik oleh pemerintah kolonial sangat spesifik. Yaitu sikap pembangkangan
dan gerakan pemberontakan terhadap kekuasaan kolonial. Dan untuk
mendorong suksesnya sekularisasi tersebut, pemerintah kolonial mengadopsi
ideologi Islam Puritan yang menganggap budaya dan hal-hal lain selain yang
tergambar dalam teks agama, adalah penyimpangan.
Dalam program dan agenda inilah Sayyid Usman dan para kolaborator
dari kalangan tokoh agama “ditemukan”. Mereka diproyeksikan sebagai aktor
ganda; selain diposisikan aktor kunci yang diarahkan untuk mengambil peran
sebagai pengendali proyek puritanisasi atau depolitisasi gerakan umat Islam
yang berpijak dan bersandar kepada semangat tarekat-sufistik, para kolaborator
juga diposisikan sebagai telik sandi yang melaporkan kabar-kabar terbaru
mengenai kejadian yang terjadi di masyarakat.

1. Antara Wacana Puritanisasi dan Wacana Ambivalensi: Kasus


Sayyid Usman dan Haji Hasan Mustapa
Para kolaborator yang diinvensi oleh kolonial memang tidak
tunggal. Ada yang sesuai dengan proyeksi awal untuk menjadi juru
bicara puritanisme agama dan actor kunci suksesnya sekularisasi
Islam-Politik dan Islam-Budaya, ada juga yang diam-diam
membelot, menemukan caranya sendiri untuk terus melawan dari
dalam. Sayyid Usman adalah tokoh yang bisa dijadikan sampel
untuk melihat realitas kolaborator sekaligus keberlangsungan
wacana keagamaan Indonesia di bawah tekanan kolonial.
Kajian tentang Sayyid Usman sendiri terbelah pada dua sudut
pandang umum. Ada yang memandangnya sebagai kolaborator
kolonial, yang selalu berkaitan dengan agenda kolonialisasi,
termasuk produksi gagasan dan karya-karyanya. Ini terlihat
misalnya dalam Islam Pasca-Kolonial karya Ahmad Baso.87 Namun

gerakan Islam kultural. Oleh karena itu, Snouck tidak setuju dengan cara Belanda
mengintervensi dan melarang umat Islam untuk bergerak dalam bidang-bidang
kultural, seperti membangun madrasah, mengadakan pengajian serta ritual ibadah
lainnya seperti pelaksanaan ibadah haji. Menurut Aqib Suminto, tidak selamanya
kolonial netral dalam soal agama. Belanda masih memiliki keyakinan bahwasanya
kristenisasi adalah cara ampuh untuk masuk dan mengubah kultur masyarakat
Indonesia yang mayoritas beragama Islam. Aqib Suminto, Politik Islam Hindia
Belanda (Jakarta: LP3ES, 1985), h. 162.
87
Ahmad Baso, Islam Pasca-Kolonial: Perselingkuhan Reformisme Agama,
Kolonialisme dan Liberalisme (Tangerang Selatan: Pustaka Afid, 2016). Dalam buku
ini Sayyid Usman banyak disebut; h. 267-283 dan 341-372. Namun Ahmad Baso juga
mengakui bahwa ada semacam ambivalensi dalam posisi Sayyid Usman di hadapan
kolonialisme. Penggambaran A. Baso tentang sosok Sayyid Usman dalam bukunya itu
juga tidak mengarah pada satu bentuk relasi yang tunggal. Tapi memang, faktor
kolonialisme harus diperhitungkan karena Sayyid Usman memang memiliki relasi

41
beberapa peneliti seperti Azyumardi Azra, Aqib Suminto, Nico
Kaptein dan Ahmad Athoillah memilah posisi Sayyid Usman
secara lebih spesifik. Azra misalnya, memposisikan kritik Sayyid
Usman terhadap jihad sebagai kritik terhadap substansi ritualnya
saja, bukan pada impuls politik yang mendorongnya lahir. 88
Ahmad Athoillah dalam tesisnya juga memperkuat hal itu dengan
menyajikan data-data empirik-historis yang memperlihatkan
retakan relasi antara Sayyid Usman sebagai ulama “Arab” dan
petugas pemerintah kolonial.89 Perbedaan cara pandang mengenai
Sayyid Usman merupakan indikasi betapa rumitnya dan
kompleksnya relasi yang terbentuk dalam konteks kolonialisme.
Dalam perbincangan soal nalar atau al-aql, posisi Sayyid
Usman sebagai Hadrami-Alawi, ulama hadis, penasehat
kehormatan kolonial, bagian dari masyarakat terjajah dan subyek
yang ada dalam konteks wacana sosial-ekopol seluruhnya akan
dipandang berkaitan dan berjalin kelindan layaknya montase dalam
satu dramaturgi kesejarahan.90 Maka untuk menangkap apa yang
sebenarnya terjadi, data-data sarat kronologi akan disisir guna
menemukan jaringan mekanisme kerja yang menyambungkan satu
kejadian dengan kejadian lainnya.
Politik pecah belah Snouck dengan mendikotomi Islam politik dan
Islam kultural langsung digarap oleh Sayyid Usman melalui
beberapa kitab yang berisi kritik terhadap praktek tarekat saat itu.
Kitab-kitab varian ini juga yang awalnya menarik perhatian Snouck
atas sosok Sayyid Usman. Terlepas dari asumsi-asumsi bahwa
Sayyid Usman melakukan kritik tersebut dalam tataran ritual dan
syariat bukan impuls politiknya91, bagi saya apa yang terlihat sama
colonial encounter dengan kolonial. Di sinilah pembacaan lanjutan harus dilakukan.
Satu-satunya cara yang bisa memperjelas posisi dan nalar Sayyid Usman adalah
dengan membaca seluruh karya-karya yang muncul.
88
Azyumardi Azra, “Hadhrami Scholars in the Malay-Indonesian Diaspora:
A Preliminary Study of Sayyid Uthman” dalam Indonesian Journal for Islamic
Studies STUDI ISLAMIKA, vol. 2 no. 2 (1995), h. 18.
89
Ahmad Athoillah, Pandangan Sayyid Usman bin Yahya al-Alawi Penasihat
Kehormatan Bangsa Arab Terhadap Kehidupan Masyarakat Arab di Jakarta 1870-
1914-an (Tesis: Universitas Gajah Mada, 2015).
90
Al-Aql bagi al-Jābirī adalah distingsi yang mendorong bukan hanya bagi
munculnya pemikiran, pendapat, gagasan dan identitas primordial (ke-Arab-an atau ke
Indonesia-an), tapi juga bagi lahirnya metode berpikir yang menghubungkan dan
melampaui batas periode maupun tema. Lihat: Muhammad ‘Ābid al-Jābirī, Takwīn al-
‘Aql al-‘Arabī (Bayrūt: Markaz al-Thaqāfī al-‘Arabī, 1991), h. 12.
91
Sebagaimana asumsi yang dikemukakan oleh Azra dalam “Hadhrami Scholars in the
Malay-Indonesian Diaspora” serta diperkuat oleh Noupal dalam: Muhammad Noupal,
Pemikiran Keagamaan Sayyid Usman bin Yahya (1822-1914):

42
sekali tidak bisa dilepaskan dari jaringan orientalisme kolonial
yang kebetulan memiliki niat yang sama.
Beberapa kitab Sayyid Usman sontak memantik ruang
perdebatan. Al-Naṣīḥah al-Anīqah lil Mutalabbisīna bi al-Ṭarīqah,
al-Dīn al-Salāmah dan beberapa buklet kitab yang disusun
memang untuk meluruskan amalan kelompok tarekat ditebar dan
disponsori oleh kolonial. Dari sini, strategi divide et impera
melahirkan sub politik pecah belah lainnya berwujud Islam Murni
dan Islam Tradisi. Yang pertama harus ditegakkan, yang kedua
harus disingkirkan karena sesat dan bidah.
Dalam konstruksi wacana semacam ini, muncul untuk pertama
kalinya penggunaan term “bidah” guna mempertegas kontradiksi
Islam Murni dan Islam Tradisi tersebut. 92 Hadis “kullu bid’ah
ḍalālah, wa kullu ḍalālah fiī al-nār” pun diperkenalkan dan dalam
waktu singkat menjadi slogan. Secara otomatis, gerakan-gerakan
anti-kolonialisme yang dirawat di langgar-langgar dan cangkruk
tarekat juga terlibas secara ontologis dan terlumpuhkan. Islam
politik versus Islam kultural mengarah pada pembelahan antara
Islam bidah versus Islam ‘alā manhaj al-Qur’ān wa ṭarīqah al
nubuwwah.
Ada sekitar dua puluh dua amalan dan tradisi yang dikritik
melalui terminologi bid’ah oleh Sayyid Usman, yang menurutnya
sudah menyimpang dari ajaran Islam.93 Seiring dengan itu, upaya
untuk mengembalikan wujud Islam kepada bentuknya yang paling
puritan dilakukan oleh Sayyid Usman melalui media yang sama:
penulisan dan penyebaran kitab-kitab serta fatwa. Ini di satu sisi.
Di sisi yang lain, posisi Sayyid Usman sebagai seorang mufti
pribumi juga bermanfaat bagi pemerintahan kolonial untuk
merekonstruksi ruh hukum Islam agar sejalan dengan hukum dan
agenda kolonial. Sayyid Usman kembali mendapatkan peran
keduanya sebagai arsitektur wacana dalam agenda konfrontasi
lanjutan dari puritanisme Islam, yakni Hukum Islam vis a vis
Hukum Adat. Bagi Sayyid Usman – dan Kolonial –, hukum Islam

Respons dan Kritik Terhadap Kondisi Sosial Keagamaan di Indonesia (Disertasi SPs
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2008) dan Ahmad Athoillah dalam: Ahmad
Athoillah, “Kritik Sayyid Utsman bin Yahya terhadap Ideologi Jihad dalam Gerakan
Sosial Islam pada Abad 19 dan 20” dalam Jurnal Refleksi vol. 12, no, 5 (Oktober
2013), h. 582.
92
Azyumardi Azra, “Hadhrami Scholars in the Malay-Indonesian Diaspora”,
h. 20-23.
93
Azyumardi Azra, “Hadhrami Scholars in the Malay-Indonesian Diaspora”,
h. 22.

43
memiliki otoritas yang lebih besar dan berposisi jauh di atas hukum
adat.94
Dalam konteks kolonialisme, Sayyid Usman adalah
komparador atau subyek yang tidak sepenuhnya berada dalam
ruang subyektifitasnya sebagai orang Indonesia, tidak pula
sepenuhnya berada dalam ruang subyektifitas kolonial sebagai The
Other-nya. Kompleksitas posisi inilah yang membuat Sayyid
Usman
meniscayakan kontroversi dan sulit untuk diidentifikasi. Namun
sebaliknya, peran Sayyid Usman juga mampu menjelaskan dan
menggambarkan satu situasi keterbelahan subyek.
Keberadaan tokoh-tokoh dari kalangan intelektual yang
merawat kekaburan biner seperti Sayyid Usman memang lumrah
ditemukan dalam banyak kasus kolonialisme. Fanon menyatakan
bahwa proses tarik ulur relasi antara subyek kolonial dan subyek
jajahan ditentukan oleh posisi kaum intelektual bangsa jajahan. 95
Kekaburan relasi ini bisa melahirkan dua konsekuensi yang
bertolak belakang sekaligus; apropriasi subyek terjajah ke dalam
subyek penjajah (disciplinary gaze) atau hibriditas yang
mengandaikan proses dekolonisasi (displacing gaze).96
Dalam ruang pembelahan inilah kajian hadis yang dibawa
Sayyid Usman digulirkan. Kalaupun Sayyid Usman diposisikan
sebagai tokoh kajian hadis di abad 19, bagi saya perannya bukan
semata melanjutkan jalinan epistemologis wacana hadis Nusantara
sebagaimana yang telah dibangun di abad-abad sebelumnya.
Sayyid Usman muncul dengan pretensi diskursus yang lebih politis
sehingga kajian hadis yang dihadirkan sama sekali berbeda.
Dengan kata lain, kehadiran Sayyid Usman justru memutus
pertalian epistemologis dengan tradisi kajian hadis sebelumnya.
Kalaupun Nico Kaptein berulang kali menyatakan bahwa
Sayyid Usman adala aktor utama yang membentuk “Islam

94
Lihat misalnya dalam: Sayyid Usman bin Yahya, al-Qawānīn al-
Shar’iyyah li Aḥl al-Majālis al-Hukmiyyah bi Taḥqīq al-Masā’il li Yatamayyaza
Lahum al-Ḥaq wa al-Bāṭil (Jumadil Akhir 1298/ Mei 1881). Lihat juga: Nico
Kaptein, Islam, Kolonialisme dan Zaman Modern di Hindia-Belanda, h. 137-138.
95
“Colonized intellectual. In its narcissistic monologue the colonialist
bourgeois, by way of its academics, had implanted in te minds of the colonized that
the essential values – meaning Wstern values – remain eternal despite all errors
attributable to man”. Frantz Fanon, The Wretched of The Earth (New York: Grove
Press, 2004 [1963]), h. 10-11.
96
Babha dengan bagus menjelaskan proses pembalikan gaze (tatapan) dalam
relasi kolonial, “unsettles the mimetic and narcissistic demands of colonial power but
reimplicates its identifications in strategies of subversion that turn the gaze of the
discriminated back upon the eye of power”. Homi K. Bhabha, The Location of Culture
(London & New York: Routledge, 1994), h. 159.

44
Indonesia”97, berdasarkan ulasan sebelumnya saya juga harus
bertanya, “Islam Indonesia seperti apa yang dibentuk? Atmosfer
kesarjanaan muslim seperti apa yang dikatakan mapan? Dan model
reformasi Islam seperti apa yang muncul?” Jawabannya adalah
Islam yang muncul dan keterbelahan antara politik dan kultural,
antara yang asli dan yang bidah, antara yang murni dan yang adat
dan dikotomi-dikotomi orientalistik lainnya. Dengan bahasa yang
lebih mudah, kodifikasi Islam Indonesia yang terbentuk di abad 19
adalah kodifikasi Islam yang praktis, mengaku paling syar’i dan
berbasis al-Quran plus Hadis.
Dari kondisi wacana semacam ini, hadis-hadis ibadah, tibb al
nabawi dan amaliyah sekunder lain yang sebenarnya tidak begitu
fundamental muncul dan bertebaran. Intinya, yang laku kemudian
adalah hadis-hadis yang menawarkan satu model keberagamaan
yang terlihat syar’i, mudah dan sederhana sekaligus praktis. Hadis
hadis yang digunakan mendobrak amaliyah keagamaan yang
sosialis dan mengakar dalam tradisi Islam di Nusantara sejak lama.
Lain halnya dengan Haji Hasan Mustapa.98 Dalam surat
suratnya dengan Snouck Hugronje, tampak sekali bahwa Hasan
Mustapa memiliki karakteristik subyektifitas yang berbeda. Visi
keagamaan dan caranya bergerak dalam relasi kolonial pun berbeda
dengan Sayyid Usman.99
Dalam surat-suratnya dengan Snouck Hugronje, Haji Hasan
Mustapa tidak begitu mempermasalahkan kegiatan-kegiatan tarekat
sebagaimana yang dipermasalahkan oleh Sayyid Usman. Dalam
satu surat, ketika Snouck menanyakan sebuah kasus yang
menyangkut kelompok tarekat, Haji Hasan Mustapa dengan tenang
dan hibrid menjelaskan kalau itu adalah gambar dari keragaman
sikap keberagamaan orang Indonesia.100 Tidak ada yang perlu
97
Nico J.G. Kaptein, Islam, Kolonialisme dan Zaman Modern di Hindia
Belanda: Biografi Sayid Usman (1822-1914).
98
Haji Hasan Mustapa lahir di Cikajang, Garut Selatan, 3 Juni 1852 M./ 15
Sha’ban 1268 H. Sejak usia 8 tahun, Hasan Mustapa sudah dikenalkan pada model
pendidikan Barat oleh K.F. Holle. Ia pun dikenal sebagai sahabat dekat Snouck, yang
banyak membantu Snouck membuat laporan mengenai Aceh. Sampai akhir hayatnya,
Hasan Mustapa dan Snouck tetap saling berkirim surat. Edi S. Ekajati dkk, Empat
Sastrawan Sunda Lama (Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1995), h. 25-30.
99
Ini nampaknya juga disadari Martin Van Bruinessen. Dia mengelompokkan
komparador Snouck menjad dua; Kelompok Sayid Usman dan Hoesein
Hadjajadiningrat. Martin Van Bruinessen, “Foreward”, dalam Julian Millie (ed.),
Hasan Mustapa: Ethnicity and Islam in Indonesia (Australia: Monash University,
2017), h. vii.
100
Kedekatan Haji Hasan Mustapa dengan Snouck pun melahirkan banyak
persepsi dan stigma konspiratif. Salah satunya dari Sayyid Usman. Dalam sebuah

45
dikhawatirkan, apalagi sampai menganggapnya sebagai lembaga
pemberontakan.101
Penghargaan Haji Hasan Mustapa dan kesadarannya mengenai
lokalitas benar-benar terbentuk. Selain itu, Hasan Mustapa adalah
seorang sufi dan penganut waḥdat al-wujūd.102 Kesadaran mengenai
budaya dan sufisme yang dianutnya kemudian mendorong Hasan
Mustapa untuk menulis karya-karya sastra sufistik berbentuk
danding dan lain sebagainya.103
Dengan kata lain, ada wacana keagamaan dan kesadaran
tandingan yang sebenarnya terpolakan di abad 19 dan 20 M. Selain wacana
purifikasi dan fundamentalisasi agama model Sayyid Usman, muncul juga
wacana sufistik dan ambivalensi sebagaimana yang diperlihatkan oleh Haji
Hasan Mustapa.104 Sebagai
tulisannya yang diterbitkan di sebuah surat kabar berbahasa Arab di Timur Tengah,
Usman benar-benar “membantai” Mustafa dan menuduhnya sebagai “setan dari
Bandung”. Tulisan Sayyid Usman ini jelas memiliki dampak yang luas, apalagi ia
adalah tokoh yang sangat berpengaruh. Jajang Jahroni, The Life and Mystical Thought
of Haji Hasan Mustafa (1852-1930) (MA Thesis. Leiden University, 1999). Dinukil
lagi dalam; Jajang Jahroni, “Menemukan Haji Hasan Mustafa (1852-1930)” dalam
Studia Islamika, vol. 25, No. 12 (2018), h. 413.
101
Jajang Jahroni, Informan Sunda Masa Kolonial: Surat-Surat Haji Hasan
Mustapa untuk C. Snouck Hurgronje dalam Kurun 1894-1923 (Yogyakarta: Octopus
Publishing, 2018), h. 254.
102
Jajang Jahroni, “Menemukan Haji Hasan Mustafa (1852-1930)”, h. 417.
Meskipun berlatar Sunda, Menurut Nancy Florida, Hasan Mustapa juga dipengaruhi
oleh suluk Jawa.
103
Lebih dari 10.000 bait danding dan guguritan sufistik yang sudah ditulis
Hasan Mustapa. Ajip Rosidi, “Menjejaki Karya-Karya Haji Hasan Mustapa”, dalam
Ahmad Rifa’i Hassan, Warisan Intelektual Islam Indonesia: Telaah Atas Karya-Karya
Klasik (Bandung, Mizan, 1992), h. 84. Dalam dangding-dangdingnya, Hasan Mustapa
berupaya mempertemukan dan mendomestifikasi ajaran-ajaran sufisme yang abstrak
ke dalam alam budaya orang Sunda. Di Nusantara, praktek semacam ini hampir
dilakukan di seluruh kawasan. Namun yang patut dicatat, proses pertemuan semacam
itu tidak selalu mengandakan “tradisi besar” dan “tradisi kecil” sebagaimana yang
diasumsikan Bowen dan Bruinessen. John R. Bowen, “Islamic Transformation: From
Sufi Poetry to Gayo Ritual”, dalam Rita S. Kipp and Susan Rodgers, Indonesian
Religions in Transition (Tuscon: University of Arizona Press, 1987.), 113-135 dan
Martin van Bruinessen “Studies of Sufism and Sufi Orders in Indonesia”, dalam Die
Welt des Islams, 38, 2 (1998), 203. Cara pandang hegemonik semacam ini tidak lagi
relevan untuk melihat proses dialog antara sufisme dan lokus kebudayaan yang terjadi
secara hibrid dan ambivalen.
104
Sebenarnya masih ada satu lagi nama, Raden Aboe Bakar (Aboe Bakar
Djajadiningrat), salah seorang informan Snouck di Jeddah. Posisinya sebagai
kolaborator sangat tampak dengan memperlihatkan keberpihakan dan pengabdiannya
kepada kolonial. Sebagai salah satu komparador kolonial yang paling loyal, Raden
Aboe Bakar memainkan peranannya dalam memberikan informasi, rekomendasi dan

46
komparador dan kolaborator kolonial, keduanya berada di area
jangkau colonial encounter yang paling rapat. Karena itu, keduanya
bisa dijadikan representasi untuk melihat kontestasi wacana yang
berkembang.

D. Skema Hermenutis Bahasa Melayu dan Karakter Manhaji dalam


Nomenklatur Islam di Nusantara
Ada dua rumpun konsep yang hendak dibicarakan dalam sub bab ini.
Pertama soal skema hermeneutis dalam Bahasa Melayu dan penjelasan soal
makna vernakularitas tekstual itu sendiri. Dua-duanya saling berkaitan dan
menentukan langkah metodologis dalam penelitian kali ini. Sebagai langkah
analisis, keduanya akan dilakukan dalam sekali tepuk tanpa harus
diperbedakan antara satu kategori analisa dengan kategori yang lain.
Pertama, yang harus diperjelas adalah soal skema hermeneutis dalam
Bahasa Melayu. Kitab Bahr al-Madhi yang jadi obyek adalah kitab berbahasa
Melayu dan beraksara pegon. Pertanyaannya, bagaimana teks dan narasi
semacam itu harus diperlakukan? Mengenatui karakteristik obyek akan
menentukan skema analisa yang akan diterapkan. Dalam hal ini, G. L. Koster
dan H. M. J. Maier punya penjelasan yang bisa dijadikan pembuka;

“The Malay textual system was fundamentally encyclopedic and


citational: every word, phrase and sentence in one way or another
referred to, and was a variation on, similar words, phrases and
sentences in other texts. Every text was a play on previous texts, an
imitation in everchanging ways of existing and already accepted
phrases and fragments, and presented already sanctioned nations and
codes of behavior. In short every texts was in some sense exemplary,
deriving much of its authority from its appeal to hallowed tradition.”105

Poin pertama yang bisa dicatat dari kutipan di atas adalah sistem
tekstual Bahasa Melayu bersifat ensiklopedik dan saling kutip. Setiap unit
bahasa, baik itu kata, kalimat, frasa dan pengibaratan, adalah representasi
rujukan, kutipan sekaligus variasi dari kata, kalimat, frasa dan cara
pengibaratan dalam teks-teks yang lain. Teks, sebagaimana layaknya
sekelompok anak kecil, muncul sebagai strategi mempermainkan – melalui
cara

lain-lain. M. Laffan, “Raden Aboe Bakar; An introductory Note Concerning Snouck


Hurgronje's Informant in Jeddah (1884-1912)” dalam Bijdragen tot de Taal-, Land- en
Volkenkunde 155, no: 4, (Leiden, 1999), 517-542.
105
G. L. Koster and H. M. J. Maier, “A Medicine of Sweetmeats: On the
Power of Malay Narrative” dalam BKI, vol. 141, no. 4 (1985), h. 446.

47
mencontoh aktif – teks-teks sebelumnya dalam hal fragmentasi berbahasa
umum yang dipakai dalam konteks kebudayaan tertentu.
Tidak hanya di level kata, kalimat, frasa ataupun ibarat, permainan
saling contoh dan saling kutip terjadi dalam level gagasan maupun adat tata
krama yang diyakini bersama. Dengan kata lain, menurut Koster dan Maier,
setiap teks Melayu adalah “sebuah contoh terbaik yang ditulis dan disalin
kembali, di mana otoritasnya diperoleh dari keakrabannya dengan tradisi
yang dihormati itu.” Dari sini, teks Melayu selalu mengalami intertekstualitas
dengan teks-teks lainnya.106
Selain intertekstualitas, Ahmad Baso menambah tiga hal yang patut
diperhatikan dalam aspek manhaji teks-teks Nusantara, yaitu: prinsip hakikat
nusus, prinsip al-ta’āmul ma’a al-nuṣūṣ dan faidah-istifadah.107
Pada prinsip yang pertama, teks dipahami sebagai sesuatu yang
menyebar, sirkulatif dan beredar (tadawuli). Prinsip ini memberikan perhatian
pada aspek material dari suatu teks. ia dibentuk dan membentuk identitas
subyek, komunitas pembaca dan khalayak sosialnya. 108 Ia bukan tabula rasa
yang kosong dan tanpa warna. Selain sirkulatif, teks juga merupakan sesuatu
yang bergerak, cair dan selalu dalam proses menjadi (in state becoming).109
Prinsip selanjutnya adalah interaksi dengan teks. Ahmad Baso dalam
hal ini menyitir teori resepsi sastra.110 Dari konsep tersebut, prinsip interaksi
dengan teks bisa dimaknai ke dalam lima aspek utama; 1) pembaca sebagai
produsen makna, 2) tradisi dan kerangka imajinasi pembaca, 3) sifat
pembawaan, cara kehadiran dan tampilan suatu teks kepada dunia
khalayaknya,

106
Hal ini sewarna dengan apa yang disampaikan Jonathan Culler.
Menurutnya, “In all reading and writing the constitutive principle is intertextuality…”
G.L. Koster, “The Soothing Works of The Seducer and Their Dubious Fruits;
Interpreting The Syair Buah-Buahan”, dalam C.M.S. Hellwig and S.O. Robson (ed.),
A Man of Indonesian Letters: Essays in Honour of Professor A. Teeuw (Seri VKI No.
121) (Dordrecht: Foris, 1986), h. 78.
107
Ahmad Baso, “Pengantar: Aspek Manhaji Teks-Teks dan Sastra
Pesantren”, dalam Ahmad Baso, Pesantren Studies 2b; Sastra Pesantren dan Jejaring
Teks-Teks Aswaja-Keindonesiaan dari Wali Songo ke Abad 19 (Tangerang Selatan:
Pustaka Afid, 2012), h. 1-9.
108
Sejalan dengan Foucault yang menjelaskan teks atau arsip sebagai “a
discursive system of historical a priori that rules over the formation of particular
discourse”. Michel Foucault, The Archeology of Knowledge and The Discourse an
Language, A.M. Sheridan Smith (terj.) (New York: Pantheon Books, 1972), h. 21.
109
Ahmad Baso, “Pengantar: Aspek Manhaji Teks-Teks dan Sastra
Pesantren”, h. 1.
110
Ahmad Baso menimba konsep ini dari: Umar Junus, Resepsi Sastra:
Sebuah Pengantar (Jakarta: Gramedia, 1985) dan Louis Althusser, “Ideology and
Ideological State Apparatuses”, dalam Julian Rivkin dan Michel Ryan (ed), Literary
Theory: An Anthology (Oxford: Blackwell, 2004).

48
4) horizon penerimaan sosial-budaya dalam kerja-kerja kongkretisasi dan
rekonstruksi dan 5) suatu sistem yang kompleks dari berbagai macam unsur
yang diharapkan komunitas penerimanya.111
Prinsip ketiga adalah faidah-istifadah. Prinsip ini mengandaikan
bahwa semua varian teks dan dokumen sejajar sama penting. Semua data teks
akan diposisikan sebagai satu kesatuan dengan teks induknya. Dari prinsip ini
tidak ada diferensiasi antara “yang induk” dan “yang pinggiran”. 112 Eskpresi
berbahasa, data tekstual pinggiran, termasuk ulasan-ulasan dan penjelasan
berfungsi sebagai revisi atas teks induk yang memungkinkan hadirnya
keterbukaan dan ketakterdugaan. Keterbukaan ini mewakili satu kondisi
kemerdekaan subyektifitas, yang dalam kasus tertentu – khususnya masyarakat
korban kolonialisme – merupakan suatu pemberontakan atas suara dominan
yang dipaksakan.113
Dengan demikian, Baḥr al-Mādhī sebagai sebuah dokumen, teks dan
arsip keislaman di Nusantara akan diperlakukan dalam empat prinsip tersebut.
Setiap data tekstual yang tampil akan dihargai dan diacu untuk melihat situs
wacana kebudayaan yang melatarbelakanginya.

E. Vernakularitas Tekstual dan Relasi Subyek-Obyek: Tawaran al


Jabiri
Setelah memahami obyek yang hendak diteliti, tugas selanjutnya
adalah menentukan metode dan langkah yang tepat, yang sesuai dengan
karakteristik obyek. Karena itu, penelitian ini menggunakan kerangka konsep
vernakularisasi dan menimba isinya dari Muḥammad ‘Ābīd al-Jābirī.
Secara umum, vernakular berasal dari kata vernacullus yang bermakna
lokal, domestik, asli dan pribumi. Istilah ini awalnya dikenal dalam dunia
arsitektur untuk membahasakan sebuah gaya arsitektur yang dirancang dan
dikembangkan berdasarkan lokalitas bahan, fungsi dan nilai sebuah bangunan.
Teori arsitektur vernakular menyandarkan model kepada format dan prinsip
pembangunan yang muncul dari proses panjang dialektika manusia dengan
kondisi dan alam sekitarnya.
111
Ahmad Baso, “Pengantar: Aspek Manhaji Teks-Teks dan Sastra
Pesantren”, h. 5.
112
“Yang induk” dan “yang pinggiran” berposisi sama layaknya langue dan
parole. Langue adalah bahasa sebagai sistem resmi, sedangkan parole adalah ekspresi
berbahasa. Di kalangan strukturalis klasik, keduanya diperbedakan dan disenjangkan.
Lihat misalnya: Roland Barthes, Elements of Semiology (Ney York: Hill and Wang,
1994).
113
Ahmad Baso, “Pengantar: Aspek Manhaji Teks-Teks dan Sastra
Pesantren”, h. 6-7.

49
Dalam terminologi yang lebih luas, Menurut Johns, vernakularisasi
adalah proses akulturasi budaya atau pembahasa-lokalan.114 Vernakularisasi
tidak hanya terjadi dalam bentuk mengalihkan bahasa dan menerjemah saja,
tapi juga mengandaikan satu olah gagasan berdasar format bahasa, tradisi dan
budaya masyarakat lokal.115
Gusmian dan Nur Ichwan memberikan catatan, bahwa vernakularisasi
tidak selamanya kerja pembahasa-lokalan saja, namun juga bisa berbentuk
penyerapan struktur linguistik Bahasa Arab itu sendiri.116 Lalu Ashcroft,
Griffiths dan Tiffin memberikan perluasan maksud, bahwa terkadang
vernakularisasi bisa berwujud abrogasi. Yakni ketika bahasa asli tetap
digunakan dalam struktur fonetiknya, namun dalam kondisi dimana relasi
semiotis makna yang terangkai di dalamnya sudah dipatahkan oleh lokalitas
dan paradigma kebudayaan subyek.117
Dengan kata lain, vernakularisasi adalah upaya untuk merawat apa
“yang lama”, “yang lokal”, “yang asli” dan domestik dalam setiap usaha untuk
merumuskan konsep bangunan baru, yang bahkan paling modern sekalipun.
Pemahaman ini selaras dengan visi kerja pensyarahan hadis di Nusantara. Apa
yang sebenarnya dilakukan oleh para ulama hadis adalah upaya untuk
menampilkan unsur-unsur kenusantaraan sebagai “yang lokal” dan “yang
domestik” dalam sebuah bangunan teks dan wacana hadis Arab-Islam.
Vernakularisasi, dalam konteks kitab syarah hadis, terekam dalam pemilihan
diksi, istilah dan cara seorang syarih menjelaskan hadis berdasarkan
subyektifitasnya.
Skema relasi obyek-subyek dalam vernakularisasi, atau bahkan cara
kerja vernakularisasi itu sendiri, akan menjadi sangat jelas dengan
114
Anthony H. Johns, “Qur’anic Exegesis in The Malay World”, dalam
Andrew Rippin (ed.), Approaches to The History of The Interpretation of The Qur’an
(Oxford: Clarendon Press, 1988), h. 579.
115
Anthony H. Johns, “Qur’anic Exegesis in The Malay World”, h. 258-260.
Baca juga: Farid F Saenong, “Vernacularization of the Qur’an: Tantangan dan Prospek
Tafsir al-Qur’an di Indonesia.” Interview dengan A. H. Johns, Jurnal Studi al-Qur’an,
Vol. 1, No. 3, 2006, hlm. 579.
116
Moch. Nur Ichwan, “Literatur Tafsir Al-Qur’an Melayu Jawi di Indonesia:
Relasi Kuasa, Pergeseran dan Kematian”, Visi Islam vol. 1 No. 1 Januari 2002, h. 13;
Islah Gusmian, “Bahasa dan Aksara Tafsir Al-Qur’an di Indonesia: dari Tradisi,
Hierarki hingga Kepentingan Pembaca”, dalam Jurnal Tsaqafah, vol. 6, No. 1, 2010,
h. 1-25.
117
Makna abrogasi ini relevan jika melihat realitas penulisan karya oleh
ulama Nusantara yang tidak hanya berbahasa Melayu, namun juga berbahasa Arab.
Namun yang menarik, meskipun menggunakan Bahasa Arab, orang Arab sebagai
penutur aslinya tetap susah mengakses karena struktur epistem dalam rangkaian
maknanya telah diperkaya oleh alam kenusantaraan. Bill Ashcroft, Gareth Griffiths
and Helen Tiffin, The Empire Writes Back: Theory and Practice in Post-Colonial
Literatures (London and New York: Routledge, 2002), h. 37-42.

50
memanfaatkan tawaran metodologi dari al-Jābirī. Dalam karya-karyanya, al
Jābirī hampir menjejakkan seluruh analisisnya dalam dua skema metodologi
yang dia ramu sendiri; al-faṣl dan al-waṣl.
Al-faṣl dan al-waṣl mulanya dirumuskan oleh al-Jābirī untuk
membangun metodologi pembacaan baru yang lebih kontemporer atas tradisi.
Dari amatan yang dilakukannya terhadap tiga model pembacaan besar yang
dominan digunakan oleh para sarjana, intelektual dan pemikir Arab modern
kontemporer atas tradisi selama ini, al-Jābirī menemukan bahwa seluruh
model pembacaan itu ternyata ahistoris dan tidak obyektif. 118 Dua hal tersebut
muncul karena dua penyakit yang masing-masing teridap dalam struktur
metodologi (al-manhaj) dan struktur perspektif atau visinya (al-ru’yah)
sekaligus.119

1. Mekanisme al-Faṣl dan Problem Jarak Subyek-Obyek Mulanya,


al-faṣl merupakan skema analisis yang ditujukan untuk
menyelesaikan problem metodologis (al-manhaj) yang hampir
menjangkiti tiga wacana besar pemikiran Arab Modern
Kontemporer tentang relasi dengan tradisi (al-turāth). Namun
secara umum, langkah al-faṣl harus ditunaikan dalam setiap kerja
membaca, mengingat masalah utama yang muncul ketika seseorang
berhadap-hadapan dengan teks adalah, antara dirinya yang tertelan
teks, atau dia yang menelan teks. Al-faṣl, dengan demikian,
menyasar problem obyektifikasi dan distansiasi fenomenologis
subyek-obyek.
Problem metodologi (afāt wa ‘illat fī al-manhaj) yang ada
mengandaikan satu problem keterkurungan subyektifitas dan
ketiadaan independensi, baik bagi subyek maupun obyek untuk
berbicara atas dirinya sendiri. Melalui al-faṣl, al-Jābirī
menghendaki satu model vernakularisasi yang proporsional, yang
dialogis dan produktif, antara subyek dan obyek. Kalau mau
menggunakan bahasa al-Jābirī, bahwa tujuan dari proses
obyektifikasi al-faṣl adalah agar masing-masing dari subyek

118
Al-Jābirī melakukan kritik terhadap Fundamentalisme Agama,
Fundamentalisme-Orientalistik dan Fundamentalisme Kiri-Marxis sebagai tiga model
pembacaan besar yang banyak dianut oleh pemikir Arab modern-kontemporer ketika
membahas tradisi. Muḥammad ‘Ābīd al-Jābirī, Nahnu wa al-Turāth; Qira’āt
Mu’āṣirah fī Turāthina al-Falsafī (Bayrūt: Markaz al-Thaqāfī al-‘Arabī, 1993), h. 12-
16.
119
Pemetaan antara al-manhaj dan al-ru’yah dalam analisa Jabirian adalah
pemetaan dasar untuk mengetahui seluruh kegiatan membaca yang akan
dilangsungkan. Pemetaaan ini berkaitan dengan dua ranah garapan dalam proses
membaca yang masing-masing mengandaikan satu tahapan tertentu namun berkaitan
antara satu dengan yang lain. Muḥammad ‘Ābid al-Jābirī, Naḥnu wa al-Turāth;
Qira’āt Mu’āṣirah fī Turāthina al-Falsafī (Bayrūt: Markaz al-Thaqāfī al-‘Arabī,
1993), h. 26.

51
maupun obyek bisa relevan dengan dirinya sendiri (mu’āṣiran li
nafsihi). Dan ini harus ditunaikan melalui skema ganda al-faṣl,
yakni faṣl al-qāri’ ‘an al-maqrū’ dan faṣl al-maqrū’ ‘an al-qāri’.120
Skema analisa ganda tersebut kemudian dikonkretkan lagi al
Jābirī menjadi tiga lapis analisa; kritik struktural, kritik ideologi
dan kritik sejarah.121 Kritik struktural (al-mu’ālajah al-
bunyawiyyah) dilakukan untuk memilah unsur yang tetap nan
stabil (thābit) dan berubah-ubah (taḥawwulāt) dalam obyek. Lapis
analisa ini masuk ke dalam struktur untuk memahami keseluruhan
konfigurasi pemikiran yang terbentuk. Kritik struktural, menurut
al-Jābirī, ditempuh dengan kerja-kerja mengumpulkan, membaca,
memahami dan membandingkan seluruh korpus dan literatur terkait
obyek, baik yang ditulis secara khusus maupun secara umum.
Selanjutnya adalah kritik atau studi sejarah (al-tahlīl al
tārīkhī). Kritik ini didominasi oleh amatan terhadap ruang historis
obyek dari seluruh lininya; sosial, politik, ideologi dan kebudayaan.
Ia dilakukan bukan hanya untuk mengetahui unsur kesejarahan
obyek, namun juga untuk melacak “kemungkinan-kemungkinan
sejarah” (al-imkān al-tārīkhī) yang ada. Dengan kata lain, analisa
sejarah dilakukan untuk memvalidasi keabsahan “inti pengetahuan”
(al-bunyawi). Kritik sejarah akan melalukan pengujian apakah
yang dianggap “inti” itu memang benar-benar inti, bukan
kamuflase inti atau inti cangkokan.122
Tapi al-Jābirī memberikan catatan penting. Pertama, kritik
sejarah tidak hanya berfungsi untuk menguji kontradiksi “inti
pengetahuan” dengan fakta-fakta sejarah yang muncul. Meskipun
nantinya dibutuhkan, ia tidak dominan. Kedua, yang paling penting
untuk dilakukan dalam tahap analisa sejarah adalah mencari
“kemungkinan-kemungkinan sejarah” (al-imkān al-tārīkhī);
beragam kemungkinan yang jadi bahan untuk mengamati dengan
jelas “apa yang seharusnya terkandung dalam teks” dan “apa yang
seharusnya tidak”, “apa yang seharusnya terkatakan dalam teks”

120
al-Jābirī, Naḥnu wa al-Turāth, h. 21. Memisah subyek dari obyek adalah
upaya untuk mengembalikan keadaan obyek yang sudah tercabik-cabik oleh asumsi
dan anggapan subyek. Stigma, perasaan, anggapan, imajinasi dan prediksi yang
ditagahkan subyek di awal pembacaan, yang sudah terlebih dahulu menindih obyek
yang hendak dibaca, akan meniadakan obyektifitas obyek itu sendiri. Maka
mengembalikan keadaan obyek sebagaimana ia lahir di awal sebagai pra-kondisi
adalah medan pertama al-faṣl yang harus dituntaskan.
121
al-Jābirī, Naḥnu wa al-Turāth, h. 24.
122
Al-Jābirī, Naḥnu wa al-Turāth, h. 24.

52
dan “apa yang seharusnya tidak” berikut “apa yang seharusnya
terdiamkan dalam teks” dan “apa yang dipaksa diam”.123
Lapis analisa ketiga yang juga tak kalah penting adalah kritik
ideologi (al-ṭarh al-idiyūlūjī). Menurut al-Jābirī, kritik sejarah tidak
akan sempurna jika tidak digenapi oleh kritik ideologi. Kritik
ideologi bertugas di sisi yang lain. Ia dilakukan untuk melihat
fungsi-fungsi ideologis yang menggerakkan sebuah pemikiran
tertentu.
Mengapa kritik ideologi menjadi penting? Ini soal bagaimana
menggerakkan dan menghidupkan kembali fungsi medan sejarah
yang dinonaktifkan dalam proses kritik struktural. Sebelumnya,
dalam kritik struktural, medan historis adalah salah satu unsur yang
dinonaktifkan karena ia mengikat dan membatasi prosedur hanya
pada cara baca kronologis. Karena yang hendak dicari adalah
kesatuan dan keutuhan sebuah struktur pengetahuan sekaligus
unsur yang fundamental dan menggerakkan, maka cara baca
kronologi harus dilampaui dan tiap sekat pembatasan pembacaan
lainnya harus diterabas. Melalui kritik struktural bisa saja akan
melahirkan –dan ini sering– satu fakta dan kesimpulan yang
nampaknya ahistoris.124 Penampakan ini memang akan terlihat
begitu ketika ia ditatap dari sudut pandang kronologis. Kritik
struktural bekerja bukan dalam medan amatan yang kronologis, ia
justru lebih banyak bekerja secara diakronis dan intertekstualitas.
Maka sudah menjadi kebutuhan dan keniscayaan ketika fungsi
historisitas teks dinonaktifkan sementara waktu.
Kritik ideologi membangkitkan kembali fungsi historis dari
sebuah teks. Maka kata al-Jābirī, sudah barang tentu proses kritik
ideologi menjelma satu tahapan penting ketika kita hendak menjadi
teks relevan dengan dirinya sendiri berikut seluruh unsur yang
melingkupi dan membentuknya (mu’āṣiran li nafsihi). Kritik
ideologi adalah instrumen metodologis untuk mengembalikan ruh
kesejarahan dan nilai relevansi teks bagi teks itu sendiri. Kritik

123
Al-Jābirī memberikan contoh bagus mengenai kritik sejarah ketika
mengamati proses ‘aṣr al-tadwīn. Al-Jābirī menemukan sesuatu “yang didiamkan”
dalam teks al-Dhahabī yang dikutip al-Ṣuyūṭī dalam Tārikh al-Khulafā’ terkait proses
kodifikasi. Jalāluddīn al-Ṣuyūṭī, Tārikh al-Khulafā’ (Kairo, 1959), h. 115. Amati kritik
al-Jābirī dalam: Muḥammad ‘Ābid al-Jābirī, Takwīn al-‘Aql al-‘Arabī (Bayrūt: Markaz
al-Thaqāfī al-‘Arabī, 1991), h. 62-63.
124
Ini misalnya yang dihasilkan al-Jābirī ketika mengatakan al-Ghazālī itu
“yufassiru ma qablahu wa mā ba’dahu”. Baca dalam: Muḥammad ‘Ābid al-Jābirī,
“Fikr al-Ghazālī: Mukawwinātuhu wa Tanāquḍātuhu” dalam Muḥammad ‘Ābid al
Jābirī, al-Turāth wa al-Hadāthah: Dirāsāt wa Munāqashāt (Bayrūt: Markaz Dirāsāt al
Wiḥdah al-‘Arabiyyah, 1991), h. 161-174.

53
ideologi adalah tahapan ketika fungsi kesejarahan diaktivasi
kembali untuk kepentingan selanjutnya.
Dalam kasus al-Marbawī dan Baḥr al-Mādhī, skema ini akan
digunakan untuk mengurai relasi yang terbentuk antara al-Marbawī
sebagai orang Nusantara dengan teks hadis yang muncul dari
wacana keagamaan Arab-Islam. Ada dua realitas yang tengah
berdialog; realitas al-Marbawī dan alam kenusantaraan, serta
realitas teks hadis berikut seluruh problematika Arab-Islamnya.
Melalui teks-teks Baḥr al-Mādhī dan perangkat analisa al-Jābirī,
akan dilihat model interaksi semacam apa yang tengah
berlangsung.

2. Mekanisme al-Waṣl dan Problem Internalisasi Problematika


(Wiḥdah al-Ishkāliyyah)
Skema al-waṣl ditujukan untuk problem visi (al-ru’yah), yang
menurut al-Jābirī tak kalah pentingnya untuk melihat pola kerja
vernakularisasi yang terjadi. Al-waṣl adalah momentum ketika
subyek mampu mengurai obyek tanpa intervensi dan pemaksaan
dan menemukan titik sambungnya dengan alam realitas subyeknya.
Sekelumit tentang proses al-faṣl hanya upaya untuk
mengamputasi problem metodologi dan menggantinya dengan
bangunan baru yang lebih relevan dan kontemporer (al-qaṭī’ah al
ibistimūlūjiyah). Sebelumnya telah dijelaskan bahwa pemikiran
juga memiliki problem di ranah perspektif atau visi (al-ru’yah).125
Secara umum, al-ru’yah bisa dimaknai kosmologi, pandangan
dunia atau world view yang membentuk cara pandang seorang
individu ataupun masyarakat terhadap sesuatu. Sisi ini juga
memiliki urgensi dan relevansinya ketika seorang pembaca hendak
mengambil istifadah dari teks yang dibacanya untuk kepentingan
peneguhan kekiniannya sebagai anak zaman.
Ada beberapa kata kunci yang diungkap al-Jābirī terkait
karakter metodis proses al-waṣl. Selain visi atau kosmologi, al-
waṣl juga terkait dengan problem kontinuitas (al-istimrāriyah),
subyektifitas dan instumennya, yakni “intuisi matematis”. 126

125
Keterikatan antara metodologi dan visi dijelaskan oleh al-Jābirī, “kullu
manhaj yaṣduru ‘an ru’yah… wa al-wa’yu bi ab’ād al-ru’yah sharṭun ḍarūrī li
isti’māli al-manhaj isti’mālan salīman muthmiran. Al-ru’yah Tu’aṭṭir al-manhaj,
tuḥaddidu lahu ufuqahu wa ab’ādahu, wa al-manhaj yughni al-ru’yah wa
yuṣaḥḥiḥuhā.” al-Jābirī, Naḥnu wa al-Turāth, h. 26. Artinya ada ikatan yang kuat
antara metodologi dan visi sebagai dwitunggal, yang saling melengkapi dan
menyempurnakan proses membaca dan mengaji. Karena itu, selain menopang soal
metodologi, al-Jābirī juga hendak mengurai persoalan “visi” yang juga tak kalah
krusial. Di sinilah kita akan mulai membicarakan al-waṣl.
126
al-Jābirī, Naḥnu wa al-Turāth, h. 27.

54
Ketika al-faṣl bisa disimpulkan sebagai proses obyektifikasi
[atau distansiasi], maka al-waṣl adalah proses subyektifikasi [atau
internalisasi dan personifikasi]. Yakni sebuah proses kembali
kepada pembaca sebagai subyek yang relevan dengan dirinya,
kekiniannya dan ke-naḥnu-annya. Pada tahap selanjutnya, proses
personifikasi tersebut mengandaikan terjadinya kesatuan dan
kontinuitas. Artinya, tradisi atau obyek bacaan tidak hanya berhenti
dan berjarak dengan subyek setelah di-faṣl. Tapi ia juga harus
berlanjut, mengalir dan bersatu bersama sang pembaca dalam
menyelesaikan dan merespon problematika kekinian sang pembaca.
Dengan kata lain, seorang pembaca melihat dan membaca dirinya
dalam obyek yang dibacanya. Ia melakukan dialog bersama obyek
dengan tetap mempertahankan independensi struktur obyek
sebagaimana adanya, sekaligus menjaga kesadarannya sebagai
subyek dan konsisten merawat subyektifitasnya. Proses al-waṣl
mempertemukan independensi obyek dan independensi subyek
yang kukuh merawat kesadaran, relevansi berikut kekiniannya.
Oleh karena itu, menurut al-Jābirī , instrumen yang digunakan
dalam proses al-waṣl harus melampaui batasan bahasa dan logika
(manṭiq). Mengapa? Karena dua instumen tersebut tidak akan
mampu menangkap dan melampaui hasil dari titik singgung
dialektis antara subyek pembaca dan obyek bacaan melalui data
data obyektif yang berhasil diperas pasca al-faṣl. Maka “intuisi” (al
hads) merupakan instrumen satu-satunya yang bisa
mengoptimalkan kerja al-waṣl. Intuisi yang dimaksud oleh al-Jābirī
bukanlah intuisi ala sufi, Bergsonian atau fenomenologi, tapi
“intuisi matematis” (al-hads al-riyāḍī) yang merupakan pandangan
langsung, bersifat “segera”, dan menjadi pionir yang mampu
menyingkap fenomena.127
Ahmad Baso, mengutip penjelasan langsung al-Jābirī dalam al
Madkhal ilā Falsafah al-‘Ulūm menjelaskan maksud dari “intuisi
matematis” lebih lanjut. Intuisi matematis bisa dimulai dari
pemahaman bahwa “setiap pernyataan, interpretasi atau konklusi
yang berbasis intuisi merupakan keputusan ‘segera’ (immediate)
terhadap suatu situasi atau masalah.” Oleh karena itu, “Intuisi
merupakan ‘kognisi segera’ (immediate cognition).” Cara kerja
intuisi matematis bisa dicontohkan misalnya dalam kasus ketika
“seseorang dengan segera dapat menyimpulkan bahwa meja-meja
127
al-Jābirī, Naḥnu wa al-Turāth, h. 27.

55
di depannya berbeda ukurannya, berbeda warnanya atau berbeda
bentuknya”.128
Kesegeraan yang menjadi karakter kunci intuisi adalah cara satu
satunya untuk melampaui batasan dalam logika dan bahasa.
Spontanitas seseorang dalam merespons sesuatu adalah cara kerja
kognisi yang biasanya berpangkal pada kemurnian dan produksi
pengetahuan berbasis intensitas dan sensitifitas. Artinya, tidak
perlu proses yang cukup lama dalam merespons sesuatu karena ia
sudah menjadi bagian dari dirinya sendiri, dia hidupi dan gumuli
selama ini. Al-waṣl adalah proses yang mengandalkan
subyektifitas. Subyektifitas lahir dan muncul dalam bentuk
spontanitas dan immediate cognition. Sedangkan logika dan
bahasa adalah non
immediate cognition yang tak lagi murni, telah bersentuhan dengan
banyak bentuk dan seringkali sudah ditekan sekaligus dibentuk
oleh aturan dan disiplin tertentu
128
Ahmad Baso, Al-Jābirī, Eropa dan Kita: Dialog Metodologi Islam
Nusantara Untuk Dunia (Tangerang Selatan: Pustaka Afid, 2018), h. 93. Lihat
footnote no. 139.

56
BAB III
Mengamati Al-Marbawi dan Baḥr al-Mādhī

A. Mengamati Idris al-Marbawi


Al-Marbawi harus diakui adalah seorang ulama dengan tingkat
produktifitas tinggi yang karyanya menjangkau berbagai lintas disiplin. Tidak
hanya hadis, al-Marbawi juga tercatat memiliki karya di bidang fikih, akidah
dan tafsir, bahkan kebahasaan. Kapabilitasnya di berbagai bidang keilmuan
tidak lantas menggerus posisi al-Marbawi dari statusnya sebagai muhaddis.
Sebaliknya, keragaman ilmu dan kemampuan yang dimiliki al-Marbawi
membuatnya mampu menjelaskan hadis dari berbagai aspek, dan lebih jauh
lagi, menulis sebuah karya tebal di bidang syarah hadis.
Berikut akan dijelaskan biografi sosok al-Marbawi dan pemikirannya;
dari mana ia berasal, dengan dan di mana dia belajar serta karya apa saja yang
sudah dihasilkan?

1. Biografi Muhammad Idris al-Marbawi


Muhaddis yang bernama lengkap Muhammad Idris bin Abdul
Rauf bin Ja’far bin Idris al-Marbawi al-Azhari ini lahir di
Misfalah Mekkah pada 12 Mei 1896 M atau 28 Dzulqa’dah 1313
H.129 Pada tahun 1990-an, al-Marbawi dan keluarganya yang
memang berasal dari Lubuk Merbau pulang ke kampung
halamannya. Di Nusantara, al-Marbawi memulai proses
pengajiannya di Sekolah Melayu Lubuk Merbau. Setelah itu,
secara beruntutan, al-Marbawi mengaji kepada Syeikh wan
Muhammad Wan (w. 1929) Husein di Bukit Chandan Kuala
Langsar selama tiga tahun, kepada Tuan Husein al-Mas’udi (w.
1936) di Kedah, di Pesantren al-Masriyah milik Syeikh Ahmad
al-Fattani di Bukit Mertajam selama empat tahun dan kepada
Syeikh Muhammad bin Yusuf atau Tok kenali (w. 1933). 130
Pada tahun 1924 al-Marbawi melanjutkan perantauannya ke
al-Azhar Mesir. Al-Marbawi tidak mencukupkan diri hanya pada
perkuliahan di kampus, dia juga mengikuti beberapa pengajian di
luar kampus. Salah seorang guru yang disebut oleh al-Marbawi
dan turut mendorong ketertarikannya di bidang hadis adalah
Syeikh Muhammad Ibrahim al-Samaluti (w. 1355 H). Pengajian
Syeikh al-

129
Mohamed Idris ‘Abd al-Rauf al-Marbawi, Kamus Idris al-Marbawi Arabi
Melayu (Bayrut: Dâr al-Fikr, t.t.), h. 292.
130
Mesbahul Hoque dkk., Phase In The Life of The Malaysian Scholar
Sheikh Muhammad Idris al-Marbawi and His Contribution of Knowledge, dalam
Journal of Hadith Studies, vol. 3, no. 1 (June 2018).

57
Samaluti yang biasa digelar di Masjid Sayyidina Husain dan
Masjid Sayyidah Zainab ini rajin diikuti al-Marbawi. Melalui
Syeikh al-Samaluti juga al-Marbawi terpukau kepada Sunan al
Tirmidhi dan berazam akan mensyarahinya kelak. Selain Syeikh
Muhammad Ibrahim al-Samaluti, al-Marbawi juga berguru kepada
Syeikh Mahmud Ghunaym131, Syeikh Muhammad Bakhit, Syeikh
Abu al-A’la al-Falaki132, Syeikh Muhammad Ali al-Maliki133,
Syeikh Abdul Wasif bin Muhammad dan Syeikh Yusuf al-
Hawi.134
Bakat menulis dan konsistensi al-Marbawi dalam berkarya
sudah nampak sejak berguru kepada Tok Kenali. Di al-Azhar, al
Marbawi sempat dipercaya menjadi redaktur sebuah majalah
bernama Seruan al-Azhar. Selain itu, pada tahun 1927, al-
Marbawi menginisasi sebuah penerbitan bernama al-Matba’ah al
Marbawiyyah dan sempat menyunting serta menerbitkan beberapa
buku.
Sejak lulus dari al-Azhar, al-Marbawi lebih banyak
menghabiskan waktunya di Mesir. Sampai tahun kewafatannya, al
Marbawi tercatat beberapa kali kembali ke Nusantara; tahun 1967
hingga 1969, tahun 1980, 1987 dan 1988. Kebanyakan dari
kunjungan yang dilakukan al-Marbawi adalah menerima
penghargaan dari kerajaan maupun perguruan tinggi Malaysia.
Al-Marbawi wafat di Ipoh, sebuah kota di Malaysia, pada
tanggal 13 Oktober 1989 dan dimakamkan di Lubuk Merbau
Kuala Langsar, di samping pusara istrinya yang meninggal lima
bulan sebelumnya.

2. Al-Marbawi dalam Peta Jaringan Ulama Nusantara Dalam


biografi ringkas yang sudah dijelaskan sebelumnya, ada beberapa
orang guru yang menjadi titik masuk bagi al-Marbawi

131
Namanya gurunya ini disebut langsung oleh al-Marbawi dalam Bahr al
Madhi. Lihat: al-Marbawi, Baḥr al-Mādhī, j. 22, h. 226-227.
132
Salah seorang guru yang mengajarkan Ilmu Falak kepada al-Marbawi,
sekaligus orang yang mencetuskan dan menginspirasi al-Marbawi menyusun Kamus
al-Marbawi. Faisal bin Ahmad Shah, “Malay Success and Excellence Factors as
Perceived by Mohamed Idris al-Marbawi” dalam Jurnal Pengajian Melayu, jil. 20
(2009), h. 29.
133
Nama guru yang disebut al-Marbawi dalam karyanya Terjemah Bulugh al
Maram. Muhammad Idris bin Abdul Rauf al-Marbawi, Bulugh al-Maram Serta
Terjemah Melayu (Mesir: Matba’ah al-Anwar al-Muhammadiyyah), halaman
mukadimah.
134
Seorang guru al-Marbawi yang turut mentashih Kamus al-Marbawi. Faisal
bin Ahmad Shah, “Malay Success and Excellence Factors as Perceived by Mohamed
Idris al-Marbawi”, h. 30.

58
dalam lintasan jaringan ulama Nusantara. Jaringan keulamaan dan
sanad keilmuan al-Marbawi setidaknya bisa ditelusuri dari tiga
orang nama; Tok Kenali, Syeikh Ibrahim al-Samaluthi dan Syeikh
Muhammad Bakhit al-Mu’thi. Disadari atau tidak, masuknya al
Marbawi ke dalam jaringan ulama Nusantara memberinya dua
keuntungan; warisan otoritas keilmuan yang diakui di Timur
Tengah dan mudahnya al-Marbawi masuk ke dalam jaringan
percetakan, yang memungkinkan karya-karyanya terpublikasi dan
diterbitkan untuk pembaca Internasional.
Guru pertama yang menjadi gerbang masuknya al-Marbawi ke
dalam peta jaringan ulama Nusantara adalah Tok Kenali al
Kelantani, atau Syeikh Muhammad bin Yusuf (w. 1933).135 Tok
Kenali adalah salah seorang ulama berpengaruh di zamannya.
Sanad keilmuan Tok Kenali bersambung kepada Syeikh Ahmad al
Fatani. Dari Tok Kenali dan melalui Pesantren Masriyah, al
Marbawi terlibat dalam jaringan ulama Fattani.
Syeikh Ahmad Fattani masyhur dikenal sebagai seorang
pembaharu, ulama kenamaan, pemikir dan aktivis yang punya
sikap politik. Selain Tok Kenali, Syeikh Ahmad al-Fatani adalah
guru bagi sejumlah ulama Nusantara lain. Muridnya antara lain,
KH. Muhammad Kholil Bangkalan, Syeikh Mahfudh Termas,
Syeikh Abdul Hamid Asahan dan lain-lain. Syeikh Ahmad al
Fatani juga dikenal dekat dengan Syeikh Mustafa, pendiri
percetakan terkenal Mustafā al-Bābi al-Halabī, dan lama bekerja
sebagai editor bagi kitab-kitab yang hendak diterbitkan. Dengan
kata lain, sejak abad 18, Syeikh Ahmad al-Fatani adalah salah satu
ulama Nusantara yang menjadi kunci bagi penerbitan kitab-kitab
karya ulama Nusantara di Timur Tengah.136

135
Muhammad Yusuf bin Ahmad atau lebih dikenali dengan nama Tok
Kenali. Dilahirkan pada 1870 M di Kampung Kubang Kerian, Mukim Kenali, Kota
Bharu, Kelantan. Menurut Abdullah al-Qari, Tok Kenali ialah seorang ilmuwan,
ulama, serta guru agama di Nusantara pada awal abad ke-20 Masihi. Tok Kenali juga
dikenal memiliki karomah sebagaimana layaknya seorang wali. Lihat Abdullah al-
Qari Haji Salleh, Tuk Kenali Penggerak Ummah (Kuala Lumpur: Dewan Bahasa dan
Pustaka, 2009), h. 5. Tok Kenal juga diposisikan sebagai tokoh pembaharu Islam di
abad 20. Ia disejajarkan dengan Hamzah Fansuri, Said Nursi, Muhammad Abduh dan
tokoh pembaharu lainnya. Alexander Wain and Mohammad Hashim Kamali (ed.),
The Architects of Islamic Civilisation (Malaysia: Pelanduk Publications and IAIS,
2017), h. 264.
136
Meskipun pada akhirnya muncul konflik antara Syeikh Ahmad al-Fatani
dan Syeikh Mustafa. Misinya untuk terus mencetak dan menerbitkan buku-buku ulama
Nusantara masih dipegang oleh Syeikh Ahmad al-Fatani pasca konflik internal yang
terjadi antara dirinya dan Syeikh Mustafa. Syeikh Ahmad kemudian menginisiasi
penerbitan bersama pemodal Turki. Wan Mohd. Shaghir Abdullah, Syeikh Ahmad al-

59
Ibrahim al-Samaluti Muhammad Bakhit

Al-Marbawi Yasin al-Fadani

Syeikh Mahfudz Termas KH. Kholil Bangkalan


Tok Kenali

Syeikh Ahmad al-Fatani

Diagram 3.1: Jejaring keilmuan al-Marbawi

Dari jalur Syeikh Ibrahim al-Samaluti137, al-Marbawi


bergabung dalam jaringan keilmuan Syeikh Yasin al-Fadani.
Syeikh Yasin sendiri adalah murid dari Syeikh Ibrahim al
Samaluti, sekaligus murid dari Syeikh Muhammad Bakhit al
Mu’thi138 yang juga merupakan guru al-Marbawi. Dikenal sebagai
seorang muhaddis, Syeikh Ibrahim al-Samaluti semasa dengan
Syeikh Shiddiq al-Ghumari, salah seorang muhaddis Maroko.
Dari Syeikh Yasin, al-Marbawi terlibat dalam satu jejaring yang
teramat luas mengenai sanad, silsilah dan lintasan tali
pengetahuan ulama Nusantara.

Fathani; Pemikir Agung Melayu dan Islam jilid II (Kuala Lumpur: Persatuan
Pengkajian Khazanah Klasik Nusantara dan Khazanah Fathaniyah, 2005). 137 Ibrahim
al-Samaluthi memegang ijazah keilmuan hadis yang terhubung sampai al-Bukhari.
Ahmad 'Umar Hashim, al-Muhaddithūn fī Miṣr wa al-Azhar wa Dawruhum fi Ihyā'
al-Sunnah al-Nabawiyyah al-Sharifah (Mesir: Maktabah Gharīb, tt.), h. 378.
138
Dalam Baḥr al-Mādhī,, al-Marbawi bercerita, "… adapun Syeikh Muhammad
Bahich ada pengarang Bahr al-Madhi ini hadir mengaji di hadapannya dan tuan
syeikh ini seorang yang tua di dalam mazhab Abu Hanifah dan ia sebesar besar
ulama dalam mazhab Abi Hanifah mahsyur bijaknya dan alimnya di dalam Mesir dan
ia masa muda telah menjadi mufti Kerajaan Mesir di dalam Madzhab Hanafi sampai
tua ia bersara dan menghambur fatwa yang penting-penting dan mengajar sampai
kembali ke rahmat Allah. Maka kepadanyalah kerajaan dan orang-orang Mesir
bersandar fatwa yang penting-pentingdan kepadanya tempat keputusan masalah
masalah di dalam Madzhab Hanafi". Lihat al-Marbawi, Baḥr al-Mādhī, j. 12, h.133.
60
3. Karya-Karya al-Marbawi
Al-Marbawi, sebagaimana yang sudah diulas di awal, memiliki
karya hampir di setiap bidang keilmuan. Produktifitas al-Marbawi
dipengaruhi oleh beberapa orang gurunya, terutama Tok Kenali
murid Syeikh Ahmad al-Fatani yang juga terkenal produktif dalam
berkarya.
Dalam bidang bahasa, perkamusan dan ensiklopedia, al Marbawi
memiliki beberapa karya: Kamus al-Marbawi139, Ringkasan
Kamus Melayu-Arab Bergambar Dan Teladan Belajar Arabnya
yang Senang, Al- Marbawi Qamus al-Jayb ‘Arabi – Melayu Latin,
Kitab Perbendaharaan Ilmu dan Mu‘jam al-Kainah.
Dalam bidang tafsir al-Quran, al-Marbawi memiliki dua
karya: Tafsir al-Quran al-Marbawi Juzu’ Alif Lam Mim dan
Tafsir Surah Yasin Bahasa Melayu.140 Sedangkan dalam bidang
hadis, beliau

139
Kamus yang akrab digunakan oleh para santri dan pelajar di Indonesia.
Kamus al-Marbawi terdiri dari dua jilid dengan total tebal 800-an halaman. Kamus ini
memuat hampir 36.000 kata berikut dengan gambar, ilustrasi dan contoh kalimat atau
ungkapan untuk menunjukkan indikator penggunaan kata. Muhammad Idris 'Abdul
Rauf al-Marbawi, Kamus Idris al-Marbawi, cet. V, (Mesir: Dar al-'Ulum, 1354 H.).
Menurut Adian Hizani, sebagai sebuah kamus, hanya ada satu kekurangan yang bisa
ditemukan dalam Kamus al-Marbawi. Yakni penggunaan Bahasa Melayu beraksara
Arab sebagai padanannya. Menurut Hizani, hal itu justru menyulitkan pembaca yang
tidak terbiasa dengan pegon melayu. Selain itu, rentang jarak yang seringkali
menimbulkan pergeseran perbendaharaan kata maupun makna, turut membentuk
masalah lain yang membuat Kamus al-Marbawi sulit diakses bagi sebagian orang.
Adian Hizani, Kamus Idris al-Marbawi dalam Tinjauan Leksikologi (Analisis Metode
dan Isi), dalam Jurnal Alfaz, vol. 2, No. 2 (Juli-Desember 2014).
140
Selain dua kitab tersebut, sebenarnya banyak karya tafsir lain yang ditulis
al-Marbawi. Baik itu tulisan asli atau karya saduran dari kitab tafsir lain. Selain dua
kitab tersebut, al-Marbawi juga menulis Quran Bergantung Makna, Tafsir Surah
Yasin (Terjemahan Tafsir Fath al-Qadir), Tafsir al-Qur’an al-Marbawi, Tafsir Quran
Marbawi, Surah Yasin, Tafsir al-Qur’an Nur al-Yaqin, Tafsir Juz ‘Amma dan Tafsir al
Fatihah. Sayangnya, beberapa naskah di antaranya tidak bisa ditemukan. Nor Azlida
Aziz, Metodologi Pentafsiran Sheikh Muhammad Idris al-Marbawi dalam Kitab
Tafsir Quran Marbawi (Disertasi Akademi Pengajian Islam Universiti Malaya, 2010).
Namun menurut Abdul Salam dan Haziyah Husein dkk, beberapa judul kitab tersebut
adalah nama lain untuk kitab yang sama. Misal, Tafsir Fath al-Qadir adalah nama
lain dari Tafsir Surah Yasin dan kitab Tafsir Qur’an al-Marbawi Juz Alif Lam Mim
adalah nama lain dari Tafsir al-Qur’an al-Marbawi. Abdul Salam Muhamad Shukri,
“Al-Sheikh Dr. Muhammad Idris al-Marbawi’s Contribution to Islamic Studies in The
Malay World,” dalam Mohamad Som Sujimon (ed.), Monograph on Selected Malay
Intellectuals (Kuala Lumpur: Research Centre International Islamic University
Malaysia, 2003), h. 87-112. Baca juga: Haziyah Husein dkk., “Pemikiran Tafsir
Sheikh Mohamed Idris al
Marbawi dalam Manuskrip Quran Bergantung Makna Melayu”, dalam Jurnal al
Turath vol. 1 No. 1 (2016).
61
memiliki beberapa karya: selain Bahr al-Madhi, kitab yang dikaji
sebagai obyek dalam penelitian ini, beliau juga menulis Kitab
Idangan Guru Sahih al-Bukhari dan Muslim dan Kitab Bulugh al
Maram Serta Terjemah Melayu.
Di bidang lainnya yang meliputi fikih, ahlak-tasawwuf dan
tauhid, al-Marbawi juga menulis beberapa kitab: Punca Agama
dan Pati Hukum Ibadat, Nidham al-Hayat (Peraturan Hidup Umat
Islam) dan Asas Islam. Selain kitab dan karya ilmiah utuh, al
Marbawi juga menjadi redaktur dan rajin menulis dalam majalah
serta surat kabar. Beberapa di antaranya dalam Majalah Pengasoh
dan Seruan al-Azhar.

B. Mengamati Kitab Baḥr al-Mādhī


Nama lengkap dari kitab Baḥr al-Mādhī adalah Baḥr al-Mādhī Syarh
141
Bagi Mukhtaṣar Ṣaḥīḥ al-Tirmidhī. Namun dalam penamaan yang lain,
judul
kitabnya kadang bernama Mukhtaṣar al-Tirmidhī wa Sharhuhu bi Lughah al
142
Jāwī al-Malayū al-Musammā Baḥr al- Keduanya memang identik.
Mādhī.
Perbedaannya hanya terletak pada kalimat “Syarh Bagi” dan “Sharhuhu bi
Lughah al-Jāwī al-Malayū”.
Baḥr al-Mādhī secara keseluruhan berjumlah 22 jilid. Ia pertama kali
dicetak, diterbitkan dan didistribusikan oleh Shirkah Maktabah wa Maṭba’ah
Musṭafā al-Bābī al-Halabī wa Awlāduhu di Mesir. 22 jilid Baḥr al-Mādhī
tidak dicetak dalam waktu yang bersamaan. Jilid pertamanya mulai dicetak
pada tahun 1933 M/1352 H143, sedangkan juz atau jilid terakhirnya baru
tercetak pada tahun 1960 M./1379 H.
Baḥr al-Mādhī adalah kitab yang mensyarahi Sunan al-Tirmidhi, atau
yang dikenal hari ini sebagai Sunan al-Tirmidhi. Untuk mensyarahi 2781 hadis
yang ada dalam Sunan al-Tirmidhī, Al-Marbawi membutuhkan 5068 total
halaman yang terbagi dalam 22 jilid. Selain itu, al-Marbawi juga membuat
sekitar 8282 sub “masalah” yang dikhususkannya untuk membicarakan banyak
141
Dalam naskah yang saya miliki, judul ini tertulis dalam lembar judul
utama. Muhammad Idris al-Marbawi, Baḥr al-Mādhī Syarah Bagi Mukhtasar Sahih
al Tirmidhi (Mesir: Shirkah Maktabah wa Maṭba’ah Musṭafā al-Bābī al-Halabī wa
Awlāduhu, 1933 M./ 1352 H.), j. 1, lembaran judul.
142
Sedangkan judul ini tertulis dalam lembar judul dalam yang juga memuat
informasi tentang juz kitab dan tema apa saja yang dibahas di dalamnya. Dalam al-Juz
al-Awwal misalnya, ada informasi berupa; “al-Juz’u al-Awwal yaḥtawī ‘alā kitāb al
ṭaharah wa mā yata’allaqu bihā. Ini kitab menerangkan bicara bersuci dan barang
yang taklukannya. Dikeluarkan daripada Sahih al-Tirmidhi”. Al-Marbawi, Baḥr al
Mādhī, j. 1, h. 1.
143
Ini tertulis dalam kolofon naskah yang saya pegang, yang kebetulan
merupakan cetakan pertama Baḥr al-Mādhī yang masih menggunakan kertas buram
dan stensilan tinta sederhana untuk cetakan teks di dalamnya.
62
isu dan problem yang masih berkaitan dengan hadis-hadis yang disyarah
maupun dengan kekinian masyarakat.

1. Alasan, Kitab Rujukan dan Proses Pensyarahan Baḥr al-Mādhī


Dalam lembaran awal juz pertama Baḥr al-Mādhī, al-Marbawi
memberikan sedikit pengantar kitab. Seperti biasa dalam tradisi
menulis kitab, al-Marbawi membukanya dengan memuji Allah dan
menghanturkan salawat kepada Nabi Muhammad. Setelah itu, baru
al-Marbawi menjelaskan mengapa Sunan al-Tirmidhī yang
dipilihnya untuk disyarahi. Apa yang melatarbelakangi dan siapa
yang memotivasinya;

‫اداله كمدين درفد سوده اكو مڠاجى كتاب يڠبر نام صحيح الترمذي‬
‫سودهله جاتوه ددالم هاتيكو براهي دان سوكا كفداڽ اوله اتورانڽ دان‬
‫ دڠن كران‬.‫كپتأنڽ فد سڬل حكم شريعة نبي محمد صل هللا عليه وسلم‬
2‫ حديثڽ كتراڠن امام‬2‫ باب دان احاديث سرت دايكوتڽ تيف‬2‫بريبو‬
‫ جاڠن بچارا الڬى فد سند‬.‫مذهب لبه درى مذهب امفت يڠ معروف‬
‫حديث ايت بوكن ماين الڬى دفرهالوسڽ دان الين درفداڽ ببراف‬
‫علمو‬.

“Adalah kemudian daripada sudah aku mengaji kitab yang beri


nama Sahih al-Tirmidhi sudahlah jatuh di dalam hatiku birahi dan
suka kepadanya oleh aturannya dan dan kenyatannya pada segala
hukum syariat Nabi Muhammad SAW. Dengan karena beribu-ribu
bab dan ahadis serta diikutnya tiap-tiap hadisnya keterangan imam
imam madzhab lebih dari madzhab empat yang maruf. Jangan
bicara lagi pada sanad hadis itu, bukan main lagi diperhaluskannya
dan lain daripadanya beberapa ilmu.”144

Dalam penjelasan al-Marbawi, pemilihan Sunan al-Tirmidhī


untuka disyarah murni karena kecenderungan subyektif al-Marbawi
terhadap kitab tersebut. Dia merasa takjub, jatuh hati dan “birahi”
karena kepiawaian al-Tirmidhi dalam menyusun kitabnya sekaligus
mengelaborasinya dengan persoalan fikih. Al-Marbawi tampaknya
juga terpukau bahwa al-Tirmidhi selalu merujuk penjelasan
penjelasannya kepada para imam mazhab.
Dengan kata lain, satu hal yang paling membuat Sunan al
Tirmidhī menarik hati al-Marbawi adalah cara kitab tersebut masuk
144
Al-Marbawi, Baḥr al-Mādhī, j. 1, h. 2.

63
dan terlibat dalam perbincangan seputar persoalan hukum melalui
hadis-hadis Nabi. Tidak berhenti di situ. Al-Marbawi juga
mendapati, bahwa Sunan al-Tirmidhī tidak hanya memiliki
karakteristik dan keunggulan di persoalan otoritas hadis, tapi juga
soal otentisitas hadis.
Dalam paragraf selanjutnya, al-Marbawi bercerita tentang sosok
yang membuatnya tertarik pada Sunan al-Tirmidhī serta
menginspirasinya untuk melakukan pensyarahan;

‫ كالى اكو مڠاجى دان مڠهادف ڬوروكو حضرة‬2‫كفد اكو تياف‬


‫ الشيخ محمد‬:‫صاحب الفضيلة موالنا مربى ارواحنا األستاذ األكبر‬
‫ابراهيم السمالوطى من هيئة كبار علماء األزهر الشريف ڬورو حديث‬
‫ تاهن د جامع سيدنا الحسين )چوچو‬2‫يڠ مشهور مڠاجر برفوله‬
‫ سودهله اكو‬،‫رسول هللا) دكوتا قاهرة )مصر) دكت أزهر الشريف‬
‫ فاڬى‬2‫ دڠن كران ايتوله برسوڠڬوه اكو تيف‬،‫براسا مينم مادو‬
‫فرڬى منريما فداڽ دڠن كتيدأن لوڬو‬.

“Kepada aku tiap-tiap kali aku mengaji dan menghadap guruku


Hadratu Sahib al-Fadilah Maulana Murabbi Arwahina al-Ustadh al
Akbar al-Shaikh Muhammad Ibrahim al-Samaluti, salah seorang
ulama besar al-Azhar [dan] seorang guru hadis yang masyhur
mengajar berpuluh-puluh tahun di Jami’ Sayyidina al-Hasan (cucu
Rasulullah) di Kota Mesir dekat al-Azhar, sudahlah aku berasa
minum madu, dengan kerana itulah bersungguh-sungguh aku tiap
tiap pagi pergi menerima padanya dengan ketiadaan lugu.”145

Syeikh Muhammad Ibrahim al-Samaluti, sebagaimana yang


sudah diulas dalam peta jaringan keulamaan al-Marbawi
sebelumnya, adalah mahaguru bagi banyak sekali ulama Nusantara.
Satu di antaranya adalah Syeikh Yasin al-Fadani. Dikenal sebagai
seorang muhaddis yang fakih, Syeikh Ibrahim al-Samaluti sudah
berpuluh tahun mengajar dan menggelar pengajian di Masjid
Sayyidina al-Husain, dekat al-Azhar. Melalui Syeikh Ibrahim, al
Marbawi mendapati dirinya bagai “minum madu” dari kitab-kitab
hadis yang dikaji, termasuk Sunan al-Tirmidhi.
Selain Sunan al-Tirmidhi, al-Marbawi juga mengakui telah
menyelesaikan mengaji Ṣaḥīḥ Muslim dan beberapa kitab lainnya.

145
Al-Marbawi, Baḥr al-Mādhī, j. 1, h. 2.

64
Dia juga mengakui mendapatkan syahadah berkat ketekunannya
mengikuti pengajian yang dilangsungkan setiap pagi itu.146
Ketekunan al-Marbawi tidak hanya dia tunjukkan dalam proses
belajar. Ketekunan itu juga ia terapkan dalam proses panjang
mensyarah hadis yang dilakukannya dengan berangsur. Dalam
paragraf selanjutnya al-Marbawi menceritakan proses pensyarahan
kitab;

... ‫كمدين منكال اكو فولڠ كرومه تياداله الڬى برفاليڠ ملينكن اكو‬
‫ سبڬيمان يڠاكو ايڠت دان اكو فهم‬2‫جالنكن باتڠ قلم اكو دفيفى صحيفة‬
‫درفداڽ‬

“... Kemudian menakala aku pulang ke rumah tiadalah lagi


berpaling melainkan aku jalankan batang qalam aku di pipi sahifah
sahifah sebagaimana yang aku ingat dan aku pahami
daripadanya...”147

Menjadi maklum jika proses pensyarahan Baḥr al-Mādhī –


berdasarkan rentang waktu cetak juz pertama hingga juz terakhir –
memakan waktu hingga puluhan tahun. Ketekunan al-Marbawi
dalam menuangkan ingatan dan pemahamannya setiap kali selesai
mengaji adalah proses panjang di balik kelahiran Baḥr al-Mādhī.
Dari sini juga bisa disimpulkan, Baḥr al-Mādhī adalah produk
syarah yang dihasilkan oleh al-Marbawi melalui proses mendengar
penjelasan gurunya Ibrahim al-Samaluti sekaligus informasi yang
didapatnya dari berbagai literatur.
Setelah menceritakan kontribusi gurunya dalam proses
penulisan, al-Marbawi juga menceritakan soal literatur rujukan
yang seringkali digunakan dalam proses pensyarahan;

... ‫ دان‬،‫ فركتأن إمام شافعى ددالم األم‬2‫برايكوت دڠن سديكيت‬


‫ دان ابن‬،‫ دان فركـتأن القسطالنى‬،‫فركتأن نووى ددالم شرح مسلم‬
‫ دان الينڽ‬،‫العربى‬

146
Al-Marbawi, Baḥr al-Mādhī. j. 1, h. 2.
147
Al-Marbawi, Baḥr al-Mādhī, j. 1, h. 3.

65
“...berikut dengan sedikit-sedikit perkataan Imam Syafi’i di dalam
al-Umm, dan perkataan Nawawi di dalam Syarah Muslim, dan
perkataan al-Qastalani, dan Ibn al-Arabi dan lainnya.”148

Al-Umm karya al-Shāfi’ī, al-Muhadhdhab karya al-Nawawi,


Irshād al-Sārī Li Sharhi Ṣaḥīḥ al-Bukhārī karya al-Qasṭalānī dan
karya Ibn Arabi adalah beberapa kitab utama yang dirujuk oleh al
Marbawi dalam proses pensyarahan Sunan al-Tirmidhī. Meskipun
nanti tidak disebutkan secara implisit dalam badan teks Baḥr al
Mādhī, namun setidaknya empat kitab itulah yang membentuk al
Marbawi sekaligus kerangka gagasan dalam Baḥr al-Mādhī.

2. Karakteristik Bahasa; Antara Melayu-Jawi dan Aksara Pegon


al-Marbawi
Secara umum, bahasa yang digunakan oleh al-Marbawi adalah
Bahasa Melayu yang disajikan dengan huruf Arab-Pegon. 149 Tidak
ada aturan ketat bagaimana Arab-Pegon harus dituliskan. Namun
dari Baḥr al-Mādhī ada beberapa karakteristik berbahasa dan
beraksara yang akan sedikit diulas.150

148
Al-Marbawi, Baḥr al-Mādhī, j. 1, h. 3.
149
Arab-Pegon atau tulisan Jawi tersebar dan berkembang di Kepulauan
Melayu seiring penyebaran Islam sebagai agama resmi di kawasan Selatan. Terdapat
catatan pengembara China yang menyatakan pada tahun 55 H/674 M ada penempatan
orang Islam di Sumatera Timur. Saat itu dimulailah perkembangan Bahasa Melayu
dengan meminjam huruf-huruf Arab yang menyamai tulisan Jawi dan dimasukkan ke
dalam Bahasa Melayu, sama ada dikekalkan sebutan dan ejaannya mahupun
diserapkan dan disesuaikan lafaz serta ejaannya dengan lidah sebutan Melayu. Abd
Rahman Hamzah, Khat dan Jawi Mutiara Kesenian Islam Sejagat (Skudai: Universiti
Teknologi Malaysia, 2008) dan Hashim Musa, Sejarah Perkembangan Tulisan Jawi
(Kuala Lumpur: Dewan Bahasa Dan Pustaka, 2006). Bahas Jawi atau Arab-Pegon
yang merupakan bentuk vernakularisasi Bahasa Melayu dengan aksara Arab menjadi
media pemersatu intelektualitas Islam Nusantara, selain Islam itu sendiri. melalui
tulisan Jawi ini pula, “orang Melayu” secara politis menjadi terhubungkan dengan
sebuah komunitas yang lebih besar, yakni komunitas masyarakat Muslim yang
memiliki tradisi keberaksaraan (literate), dan sejajar dengan komunitas bangsa-bangsa
yang telah terlebih dahulu menggunakan tulisan Arab tersebut untuk menuliskan
bahasa-bahasa mereka, seperti Parsi, Urdu, dan Turki. Dengan karakteristik literasi
semacam ini, ulama Nusantara dimungkinkan juga masuk dan mewarnai jaringan
intelektualitas Islam global, termasuk komunitas Haramayn. Taufik Abdullah dan
Endjat Djaenuderadjat, Sejarah Kebudayaan Islam Indonesia II: Tradisi, Intelektual
dan Sosial (Direktorat Jenderal Kebudayaan Kemendikbud, 2015), h. 5-6.
150
Data-data terkait karakteristik bahasa ini diacu kepada halaman-halaman
awal juz pertama Baḥr al-Mādhī. Apa yang ditemukan di halaman-halaman awal ini

66
Dari aspek huruf, Al-Marbawi membedakan huruf “nya”
sebagai bagian dari kalimat dan huruf “nya” sebagai imbuhan.
Untuk kasus huruf “nya” sebagai bagian dari kalimat, al-Marbawi
menggunakan huruf pegon nun dengan titik tiga di bawah. Seperti
contoh kata ‫ مپبوتكن‬,‫كپتأنڽ‬. Sedangkan untuk huruf “nya” sebagai
imbuhan, al-Marbawi menggunakan huruf pegon ‫ )ڽ‬huruf “nun”
dengan titik tiga di atas). Seperti contoh ‫ سندڽ‬,‫ سكيراڽ‬dan ‫درفداڽ‬.
Selain itu, dalam penggunaan huruf “g”, al-Marbawi
mengambil huruf pegon ‫ )ڬ‬huruf “kaf” dengan titik di atas). Ini
berbeda dengan lumrahnya penulisan pegon yang biasa
menggunakan huruf ࢴ dengan titik di bawah sebagai huruf “g”.
Seperti contoh kalimat yang digunakan al-Marbawi: ‫ باڬي‬,‫سبڬيمان‬
dan .‫الڬى‬
Selebihnya, al-Marbawi menggunakan huruf pegon yang
lumrah dipakai. Huruf ‫ )چ‬jim dengan titik tiga) digunakan untuk
huruf “c”. Huruf ‫ )’ڠ‬ayn dengan titik tiga di atas) digunakan untuk
“ng”. Huruf ‫ هـ‬digunakan untuk huruf “h”. Al-Marbawi juga
menggunakan huruf ‫ ك‬untuk huruf “k”, terkadang juga
menggunakan ‫ ق‬untuk huruf yang sama, seperti kata ‫كهنداق‬.
Untuk penulisan huruf vokal, al-Marbawi tidak punya pakem
khusus. Terkadang “a” disimbolkan dengan ‫ا‬, terkadang juga
dibiarkan dan langsung disambung dengan kata yang lain. Misal,
kata ‫ تراڠكن‬menggunakan alif untuk “a”, sedangkan kata ‫اوبه تيدقكو‬
tidak menggunakan alif.
Hal yang sama terjadi dalam penulisan huruf “i”, “e”, “u” dan
“o”. Terkadang al-Marbawi menggunakan huruf ‫ ي‬untuk “i”,
seperti kata ‫سديكيت‬, kadang juga tidak seperti kata ‫ددالم‬. Untuk huruf
“e”, al Marbawi hampir tidak pernah menggunakan huruf tertentu.
Sedangkan untuk huruf “u”, al-Marbawi di satu sisi menggunakan
huruf ‫ و‬seperti kata ‫مپبوتكن‬, namun kadang juga tidak
menggunakannya, seperti kata ‫كمدين‬.
Dalam aspek kalimat, al-Marbawi secara umum mengikuti
format penulisan berdasarkan suku kata dan rumpun kata dalam
Bahasa Melayu. Namun ada beberapa kalimat yang memang tidak
tunduk pada format suku kata dan penggalan yang dikenal dalam
model latinnya. Seperti misalnya kalimat ‫ )كنجادي يڠا‬yanga kanjadi),
‫ )يڠلفس‬yanglepas), ‫ )هدافن يڠد‬yangdi hadapan), ‫ )تيدقكو‬tidakku)
dan kalimat-kalimat lainnya.
Dalam konteks uslub bahasa, secara umum Bahasa Melayu al
Marbawi cenderung lebih mudah dipahami dibanding Bahasa
Melayu yang kini akrab diperdengarkan dari mulut orang Malaysia.

adalah representasi dari tulisan al-Marbawi di halaman-halaman dan juz-juz


berikutnya.

67
Mayoritas kata, kalimat dan gaya bahasanya mudah dipahami,
khususnya dari sudut pandang Bahasa Indonesia. Selain itu tidak
banyak kata asing yang muncul.
Kalaupun ada, level perbedaan sebenarnya berkisar hanya
pada soal sinonimitas bahasa. Misal, al-Marbawi menggunakan
kalimat “yang lepas” dan “yang di hadapan”. Kalimat “yang lepas”
adalah terjemah dari ‫ سلف قد ما‬yang lumrah ditemukan dalam
nomenklatur Islam, yang bermakna “[pembahasan] yang telah
lalu”. Sedangkan “yang di hadapan” adalah terjemah dari istilah
‫ سيأتى كما‬yang juga lumrah ditemukan dan bermakna “pembahasan
yang akan dibahas selanjutnya”. 151 Dengan kata lain, sebagai satu
kesatuan naratif, Bahasa Melayu al-Marbawi adalah Bahasa
Indonesia dalam struktur klasik yang masih mudah dipahami
dalam konteks berbahasa Indonesia hari ini.

3. Sistematika Penjilidan, Pembaban dan “Yang Belum Selesai”


Dalam Baḥr al-Mādhī
Pembahasan ini akan spesifik menjelaskan bagan isi Baḥr al-
Mādhī berdasarkan naskah yang saya gunakan. Naskah Baḥr al-
Mādhī yang saya gunakan adalah naskah kitab cetakan pertama
yang diterbitkan oleh Muṣṭafā al-Bābi al-Halabī Mesir tahun 1933
M./1352 H. Berikut uraian soal penjilidan dan bagian-bagian juz
dari Baḥr al-Mādhī.
Jilid Juz Kitab Ditulis Terbit

1 1 Kitab al-Ṭaharah - 1933/1352

2 Kitab al-Ṣalāh - 1933/1352

2 3 Kitab al-Ṣalāh - 1934/1353

4 Kitab al-Ṣalāh dan al-Zakah - 1934/1353

3 5 Kitab al-Ṣaum - 1934/1353

4 6 Kitab al-Haj - 1936/1355

7 Kitab al-‘Umrah dan - 1936/1355


al Janā’iz

8 Kitab al-Janā’iz dan - 1937/1356


al Nikāh

151
Al-Marbawi, Baḥr al-Mādhī, j. 1, h. 3.

68

Anda mungkin juga menyukai