Anda di halaman 1dari 25

Asuransi Kesehatan Nasional di Beberapa Negara

Dr. Darmawansyah, SE., M.Si

A. Pendahuluan (Selayang Pandang: Universal Health Coverage)


Pada tanggal 25 Mei 2005 WHO mengadakan pertemuan dengan
agenda “Sustainable Health Financing, Universal Coverage and Social
Health Insirance”. Pada pertemuan itu WHO menyepakati dan
memperkenalkan agenda pencapaian Universal Health Coverage (UHC)
dengan mendorong kepada seluruh Negara untuk 1) menjamin bahwa
system pembiayaan kesehatan termasuk metode untuk kontribusi
keuangan pada sektor kesehatan, risk sharing antara penduduk; 2)
menjamin kecukupan dan distribusi pelayanan kesehatan termasuk
infrastruktur dan sumber daya manusia, sehingga hal tersebut dapat
menjamin seluruh penduduk mendapatkan pelayanan kesehatan yang
bermutu; 3) menjamin seluruh program dan pendanaan dari pihak luar
(funder) turut berkontribusi terhadap pembiayaan kesehatan yang
berkelanjutan; 4) merencanakan transisi setiap Negara menuju Universal
Health Coverage (UHC) kepada seluruh penduduk untuk mendukung
kebutuhan penduduk akan kesehatan yang berkualitas, mengurangi
kemiskinan akibat sakit dan sebagai bagian dari MDGs untuk mencapai
kesehatan untuk semua (WHO, 2005).
UHC didefinisikan sebagai situasi dimana semua orang yang
membutuhkan pelayanan kesehatan (Preventif, promotifn, kuratif,
rehabilitative dan paliatif) tidak memiliki kendala keuangan (WHO, 2010).
UHC terdiri atas tiga dimensi penting sebagai indikator capaian Jaminan
Kesehatan Semesta yaitu: 1) prosentase penduduk yang dicakup; 2)
tingkat kelengkapan layanan kesehatan yang dijamin (seluruhnya atau
sebagian); 3) porsentase biaya kesehatan yang masih ditanggung oleh
penduduk (WHO, 2010).
Dimesi Universal Health Coverage

Sumber: WHO, 2010. The World Report. Health System Financing:


The Path to Universal Coverage.
UHC adalah komponen penting dalam rangka pembangunan
berkelanjutan dan mengurangi kemiskinan, dan salah satu elemen kunci
dalam upaya untuk mengurangi ketidakadilan social. UHC memiliki
dampak langsung kepada kesehatan dan kesejahteraan penduduk. UHC
memberikan jaminan risiko keuangan bagi individu dan keluarga yang
sakit yang dapat mendorong seseorang jatuh miskin apabila mereka
membayar biaya kesehatan dengan Out of Pocket (OOP). UHC
memerlukan suatu system kesehatan yang efektif yang dibentuk oleh
Negara, sehingga pelayanan ini dapat tersedia secara luas dan memiliki
kualitas pelayanan yang memadai (WHO, 2013).
Perkembangan pencapaian UHC tidak terjadi dan tidak sama pada
setiap Negara. Secara global berdasarkan Laporan WHO pada tahun
2010 menunjukkan penduduk bumi saat itu terdiri atas 3 Milyar, dimana
kebanyakan di antaranya termasuk dalam kategori miskin, dan harus
membayar untuk setiap pelayanan kesehatan yang mereka terima (OOP).
Pada 33 negara yang berpendapatan rendah, termasuk sebagian besar
penduduk dunia, membayar secara langsung lebih dari 50% dari total
pengeluaran untuk kesehatan. Diseluruh dunia terdapat 150 juta
penduduk yang menderita penyakit katartropik dengan 100 juta di
antaranya terdorong untuk berada di bawah garis kemiskinan sebagai
akibat dari pengeluaran kesehatan akibat penyakit katastropik yang
mereka derita. Pada beberapa Negara, di atas 11% dari populasinya
sedang menderita dari sisi keuangan sebagai akibat dari pengeluaran
penyakit katastropik yang mereka derita (WHO, 2010).
Tahun 2015 merupakan tahun akhir dari Millenium Development
Goals (MDGs) setelah 1,5 dekade sejak tahun 2000 menjadi cita-cita
dunia. Diantara Goalsnya, ada beberapa indikator yang telah tercapai,
sebagiannya dalam trek pencapaian dan sebagiannya lagi hampir
dipastikan gagal. WHO melalui UNDP merilis Sustainable Development
Goals (SDGs) sebagai salah satu kesepakatan dunia berikutnya untuk
melanjutkan kerja MDGs yang ditargetkan akan dicapai pada tahun 2030.
SDGs memiliki 17 Goals, dan pada Goals ke-3 adalah “Good Health and
Well-Being” yang merupakan komitamen bersama dunia pada bidang
kesehatan dengan 13 target salah satu diantaranya adalah mencapai
Universal Health Coverage yang pada MDGs sebelumnya tidak ditarget
secara inplisit. Tampaknya dengan SDGs ini, Negara di seluruh dunia
semakin didorong untuk mencapai UHC bagi seluruh penduduk pada
tahun 2030, termasuk perlindungan risiko keuangan, akses kepada
pelayanan kesehatan dasar berkualitas dan akses kepada obat-obatan
dan vaksin dasar yang aman, efektif, dan berkualitas bagi semua orang
(Kementerian Kesehatan, 2015; Suresh & Johnson, 2015).

B. Asuransi Kesehatan Nasional


Dalam upaya pencapaian UHC, masing-masing Negara memiliki
model dan system Asuransi Kesehatan Nasional yang berbeda-beda.
Istilah Asuransi Kesehatan Nasional (AKN) atau National Health Insurance
(NHI) kini semakin banyak digunakan di dunia. Model Asuransi setiap
Negara ada yang masih gabungan antara asuransi yang dijamin
pemerintah dan komersial dengan proporsi yang bervariasi, ada pula yang
secara full oleh Pemerintah begitu pula yang masih oleh masyarakat
sendiri dan pemberi kerja. Persentase penduduk yang telah dicoverpun
masih bervariasi. Begitu pula paket Pelayanan kesehatan yang dijamin
pun memiliki perbedaan dari masing AKN (Thabrany, 2015).
Berikut beberapa Asuransi Kesehatan Nasional (AKN) pada beberapa
Negara:
1. Asuransi Kesehatan di Amerika Serikat
Amerika serikat telah lama bergelut untuk mewujudkan sebuah
Asuransi Kesehatan Nasional. Pada saat ini, AS dikatakan mempunyai
asuransi kesehatan nasional rawat inap untuk penduduk di atas umur 65
tahun saja (lansia) yang disebut Medicare Part A. karena JKN di Amerika
hanya berlaku bagi penduduk berumur lansia saja, tidak semua penduduk
yang berjumlah sekitar 280 juta jiwa memiliki asuransi kesehatan. Sekitar
50 juta penduduk yang berusia di bawah 65 tahun (sekitar 25% penduduk
yang berusia produktif) tidak memiliki asuransi kesehatan. Hal itu
merupakan bukti kegagalan mekanisme pasar dalam bidang kesehatan,
karena AS didominasi oleh asuransi kesehatan komersial. Dengan belanja
perkapita hampir US$ 9.400 per tahun (2013), AS merupakan satu-
satunya Negara maju yang tidk mampu memiliki asuransi kesehatan
nasional (Thabrany, 2015; World Bank, 2016a).
Di Amerika di tahun 1970-an, terdapat 15 usulan RUU (Bill) JKN yang
semuanya kandas akibat banyaknya interes bisnis dan politik sehingga
kepentingan masyarakat tidak terlindungi dengan baik. Di kala itu,
penduduk AS tidak memiliki asuransi, sedangkan ditahun 2013 angka
tersebut masih berkisar 15%. Dalam masa hampir 40 tahun, sejak
medicare diluncurkan, AS tidak bisa meningkatkan perluasan penduduk
yang dicakup dalam asuransi. Berbagai reformasi system asuransi
kesehatan dilakukan AS, misalnya dengan undang-undang peortabilitas
asuransi dan berbagai undang-undang lain yang bertujuan memperluas
cakupan asuransi kesehatan secara parsial, tanpa AKN, tidak mampu
mencapai cakupan universal (Thomasson, 2002).
Rubin (2002) seperti yang dikutip Thabrany (2015) menjelaskan
bahwa di AS telah banyak diusulkan berbagai usulan model pendanaan
dan penyelenggaraan yang dapat yang dapat digolongkan dalam 3
golongan, yaitu:
1) Kombinasi kontribusi wajib (payroll taxes) dan anggaran
pemerintah seperti model inggris.
2) Perluasan program medicare dengan konstribusi wajib kepada
seluruh penduduk seperti pada beberapa Negara lainnya.
3) Bantuan premi dari pemerintah untuk penduduk miskin dan tidak
mampu.
Obama Care di Amerika Serikat
Obama Care (OC) adalah upaya Obama untuk mewujudkan system
asuransi kesehatan Nasional yang belum berhasil. Program itu disebut
Obama Care karena memang Presiden Obama yang memiliki inisiatif dan
memperjuangkan cakupan universal di Amerika. Amerika adalah satu-
satunya Negara maju dimana jaminan kesehatan untuk seluruh penduduk
belum terwujud sampai tahun 2014. Obama care adalah julukan UU
penjaminan kesehatan bagi penduduk Amerika (cakupan universal), mirip
JKN. Namun mekanismenya bertumpu pada basis pasar asuransi
kesehatan komersial yang telah seabad berkembang. Amerika
menghadapi masalah besar system pendanaan kesehatan yang kini
menghabiskan sekitar 19% produk domestic bruto (PDB). Belanja
kesehatan di Amerika sudah melebihi US $ 9.000 per orang pertahun.
Namun, sekitar 50 juta (15%) penduduk amerika tidak memiliki asuransi
kesehatan. Dalam system yang berlaku sekaran, semua pekerja wajib
mengiur 2,9% upah untuk menjamin kesehatan seluruh penduduk lansia
dan penduduk, tanpa batas usia yang menderita gagal ginjal. Program
kesehatan wajib itu, gotong royong menanggung lansia, disebut medicare.
Selain membayar asuransi wajib untuk lansia, semua pekerja dan pemberi
kerja harus membeli asuransi komersial untuk menjamin diri dan keluarga
mereka. Untuk menduduk miskin, pemeritah federal dan pemerintah
Negara bagian, menyediakan bantuan biaya berobat yang disebut dengan
Medicaid (Thabrany, 2015).
Pada tahun 2013, di AS sekitar 13,4% (42 juta) penduduk yang tidak
memiliki asuransi sedangkan sisanya (86,6% atau 271.4 juta penduduk)
telah memiliki asuransi kesehatan baik asuransi komersial, asuransi dari
pemberi kerja, Asuransi yang tanggung oleh pemerintah (Medicare dan
Medicaid). Mayoritas penduduk AS memiliki asuransi dari asuransi
komersial yang mencapai 64,2% dimana dari jumlah tersebut sebanyak
53,9% dari asuransi yang menjadi kebijakan perusahaan tempat bekerja.
Asuransi kesehatan yang dijamin oleh pemerintah dalam program
Medicaid dan Medicare sebanyak 34,3% dengan persentase masing-
masing Medicaid sebanyak 17,3% (54,1 juta) dan Medicaid sebanyak
15,6% (49%). Sedangkan bagi anggota Militer memiliki pelayanan
kesehatan sendiri yang mencapai 14,1 juta penduduk (Smith & Medalia,
2014).
Masalah Obama Care
Pelaksanaan OC di AS tidak lah mulus seperti yang diharapkan.
Pelaksanaan OC dijalankan oleh Negara bagian. Subsidi dan insentif
dana federal diberikan kepada Negara bagian yang membuka pasar
asuransi kesehatan, dengan mengorganisir perusahaan asuransi, bagi
penduduk yang kini tidak memiliki asuransi. Teorinya, Negara bagian akan
mendapat insentif dengan membuka pasar ini. Selain insentif uang, kinerja
politik Negara bagian atas perluasan asuransi kesehtan akan naik.
Masalahnya, lebih dari separuh Negara bagian dipimpin oleh partai
Republik yang sejak awal menolak kebijakan ini.
Tantangan juga datang dari pekerja yang kini sudah memiliki asuransi
kesehatan. Mereka harus membayar premi lebih tinggi, 15%-20% untuk
membawa manfaat preventif dan pajak tambahan untuk subsidi premi
penduduk tidak mampu. Pemberi kerja (pengusaha) juga mengeluh,
karena pada akhirnya mereka yang harus membayar. Besarnya premi
asuransi sangat bervariasi, tergantung dari usia, jenis kelamin, perilaku
hidup sehat, penyakit terdahulu dan tempat tinggal. Rata-rata premi
asuransi kesehatan perorang per bulan di AS kini berkisar pada US$ 215
(lebih dari 2 juta).

2. Asuransi kesehatan di Jepang


Sebagai sekutu Jerman di Perang dunia II di Asia, Jepang memiliki
pola system Asuransi Kesehatan yang mengikuti pola Jerman dengan
berbagai modifikasi. Di Jepang istilah JKN (Kokuho, Kokumin Kenko
Hoken) digunakan untuk penyelanggaraan asuransi kesehatan bagi
pekerja mandiri, pensiunan swasta, maupun pegawai negeri, dan anggota
keluarganya. Penyelenggaraan JKN diserahkan kepada pemerintah
daerah. Sedangkan asuransi kesehatan bagi pekerja aktif di sektor formal
diatat dengan UU asuransi social kesehatan secara terpisah. Jepang telah
mengembangkan asuransi kesehatan social sejak tahun 1922 dengan
mewajibkan pekerja di sektor formal untuk mengikuti program asuransi
kesehatan social. Akan tetapi, mewajibkan asuransi kesehatan social
kepada sektor formal saja tidak bisa menjamin penduduk di sektor
informal dan penduduk yang telah memasuki usia pension mendapatkan
asuransi kesehatan. Untuk memperluas cakupan asuransi kesehatan
kepada selurh penduduk (universal coverage), Jepang kemudian
memperluas cakupan asuransi kesehatan dengan mengeluarkan UU
AKN. Dalam system asuransi kesehatan di Jepang, peserta dan seluruh
anggota keluarganya membayar urun biaya (cost sharing) yang besarnya
bervariasi antara 20-30% dari biaya kesehatan di tempat fasilitas
kesehatan. Bagian urun biaya inilah yang menjadi pangsa pasar asuransi
kesehatan komersial (Thabrany, 2015).
Sebagian besar pelayanan kesehatan disediakan melalui sistem
asuransi kesehatan publik yang mencakup seluruh populasi di Jepang.
Asuransi kesehatan publik di Jepang pertama kali dikenalkan untuk para
pekerja pada sektor swasta dengan dasar hukum yaitu The Health
Insurance Law Tahun 1922. The Health Insurance Law berlaku untuk
perlindungan kepada para pekerja, namun cakupannya hanya sebagian
dan manfaatnya tidak komprehensif (Fukawa, 2002) dalam Putri (2010).
Sistem Asuransi Kesehatan di Jepang
Sistem asuransi di Jepang dibiayai dari kontribusi individu, kontribusi
pemberi kerja, dan subsidi pemerintah. Pemerintah Jepang memiliki tiga
kategori dari asuransi kesehatan yaitu:
1) Employer-Based Insurance
Kategori ini meliputi asuransi kesehatan yang diatur oleh lembaga,
asuransi kesehatan yang diatur oleh pemerintah, dan mutual aid
association. Pada asuransi yang diatur oleh lembaga, dana diperoleh
dari pembagian antara pemberi kerja dan pekerja. Asuransi kesehatan
yang diatur oleh pemerintah mencakupi para pekerja sektor swasta
yang tidak tertanggung pada asuransi kesehatan yang diatur oleh
lembaga, dan preminya persentase tetap dari daftar gaji dibagi setara
antara pemberi kerja dan pekerja. Perbedaan kedua sistem yang
telah dijelaskan sebelumnya yaitu pada asuransi yang diatur oleh
lembaga ditawarkan berbagai manfaat, sedangkan yang
pemerintah tawarkan hanya untuk satu paket perawatan. Terakhir,
mutual aid association mencakup pekerja pada sektor publik.
2) National Health Insurance
National Health Insurance adalah asuransi berdasarkan masyarakat
yang mencakup orang-orang yang tidak layak untuk employer-based
insurance, seperti pekerja di bidang agrikultur, wiraswasta, dan
pensiunan dan juga tanggungannya. Pelayanan kesehatan yang
tercakup sama secara umum sama dengan employer-based
insurance, namun cost sharingnya lebih tinggi dan manfaat tunai
biasanya lebih terbatas. Kontribusi beragam dari satu masyarakat
dengan masyarakat lainnya dan berdasarkan atas penghasilan
individu dan aset.
3) Health Insurance for the Elderly
Health Insurance for the Elderly adalah sistem untuk menyebarkan
beban dalam penyediaan perawatan kesehatan untuk penduduk
usia lanjut. Kepesertaannya adalah untuk penduduk usia 70 tahun
lebih dan juga penyandang cacat usia 65-69 tahun.
Cakupan Manfaat
Keseluruhan pendanaan mencakup cakupan yang luas dari pelayanan
medis termasuk rumah sakit dan perawatan dokter, perawatan gigi, dan
obat-obatan, dan juga beberapa sarana transportasi. Pendanaan yang
diatur lembaga secara umum membayar manfaat tunai yang lebih besar
dibanding dengan National Health Insurance. Pengusaha besar
menyediakan beberapa pelayanan preventif, tapi health insurance hanya
mencakup sedikit pelayanan preventif secara umum dan hanya
menyediakan pembayaran tunai untuk kehamilan normal karena di
Jepang kehamilan tidak tergolong dalam suatu penyakit.
Mekanisme Aturan pembayaran
Peraturan untuk pembayaran dokter dan rumah sakit sama untuk
semua sistem asuransi. Pembayaran fasilitas berprinsip atas dasar fee-
for-service, namun pembayaran paket telah digunakan secara parsial
pada Health Insurance for the Elderly. Harga dari masing-masing
perawatan medis yang tercakup oleh asuransi terdaftar pada fee schedule
yang ditentukan oleh pemerintah berdasarkan atas rekomendasi oleh
the Central Social Insurance Medical Council dan direvisi setiap dua
tahun sekali. Standar harga obat-obatan menentukan harga resep obat
yang dapat diklaim oleh fasilitas medis. Tiap bulan, tagihan disampaikan
kepada kantor regional dari dua organisasi pusat pemeriksa dan
pembayaran yaitu the Social Insurance Medical Fee Payment Fund dan
the National Health Insurance Federation. Organisasi ini bertugas untuk
memeriksa tagihan untuk menemukan kesalahan, utilisasi yang
melampaui batas dan kecurangan. Terdapat lampiran reviu utilisasi yang
dibuat oleh dokter untuk kasus-kasus mahal atau yang menggunakan
fasilitas yang spesifik. Setelah disetujui, tagihan dikirim ke dana individu.
Pembayaran ke rumah sakit dan dokter diproses lagi melalui
pemeriksaan ini dan organisasi pembayaran.

3. Medicare, Canada
Terdapat tiga tingkatan utama pada struktur organisasi dari sistem
kesehatan di Kanada yaitu WHO, 2005 dalam Putri (2010): pemerintah
federal, provinsi dan teritorial, dan level antar pemerintahan. Pemerintah
federal bertanggung jawab untuk melindungi kesehatan dan jaminan
penduduk Kanada dengan menetapkan standar untuk sistem nasional
kesehatan yang dikenal dengan medicare, seperti standar kesehatan
publik, standar obat dan regulasi keamanan makanan, data dan
penelitian kesehatan, serta bertanggung jawab menyediakan perawatan
kesehatan bagi kelompok-kelompok populasi tertentu (penduduk aborigin
yang dilindungi oleh perjanjian yaitu penduduk First Nation dan the
Inuit, the Royal Canadian Mounted Police, angkatan bersenjata, para
veteran dan anggota parlemen). Tingkat provinsi dan teritorial mengatur
administrasi pemerintahan dari sistem single payer untuk pelayanan jasa
medis dan rumah sakit universal dan bertanggung jawab untuk
pembiayaan rumah sakit, menetapkan rate remunerasi bagi para dokter
(setelah bernegosiasi dengan asosiasi profesional), menyediakan jasa
kesehatan publik, dan untuk beberapa kasus, menilai teknologi kesehatan
dan membiayai penelitian kesehatan. Provinsi juga menyediakan, secara
langsung ataupun tidak langsung, beragam variasi dari perawatan rumah
dan subsidi jasa perawatan jangka panjang. Otoritas kesehatan regional
provinsi adalah bertanggung jawab untuk mengalokasikan sumber
kesehatan dan merencanakan program kesehatan publik. Badan, komite
dan organisasi antar pemerintah bertugas memfasilitasi dan
mengkoordinasikan beberapa kebijakan dan wilayah program.
Di Kanada jaminan kesehatan dibiayai oleh publik/ pemerintah
(Deber, 2003). Administrasi jasa kesehatan publik di Kanada sangat
terdesentralisasi sebab perawatan kesehatan secara konstitusional
menjadi tanggung jawab pemerintah provinsi di Kanada
(“Canada_Health_Act”). Akibatnya masing-masing provinsi mengelola
program asuransi kesehatannya sendiri. Provinsi menjalankan rencana
asuransi menaungi seluruh penduduk legal dengan kategori pelayanan
yang spesifik, utamanya kebutuhan medis yang diperlukan seperti
pelayanan dokter dan rumah sakit. Kanada terdiri dari 10 provinsi dan 3
wilayah teritorial, yang sangat beragam dari ukuran dan kemampuan fiskal
dan pada tahun 1971 (Deber, 2003), seluruh provinsi memenuhi rencana
mengasuransikan populasinya untuk perawatan rumah sakit dan dokter.
Masing-masing memiliki daerah yurisdiksi, sehingga daerah yang satu
belum tentu sesuai dengan daerah lainnya. Asuransi kesehatan swasta
diperbolehkan (wikipedia), tapi pada enam pemerintah provinsi hanya
untuk layanan tidak tercakup dalam jaminan publik, misalnya, kamar semi-
swasta atau swasta di rumah sakit dan resep obat.
Medicare merupakan (“Comparison Health Insurance”) asuransi
umum ini didanai dari pajak yang terkumpul dalam pendapatan
pemerintah umum dari pendapatan pemerintah umum, meskipun Ontario
dan British Columbia memungut premi wajib dengan tarif flat bagi individu
dan keluarga untuk pendapatan tambahan- pada dasarnya suatu pajak
tambahan. Pemerintah federal mempengaruhi asuransi kesehatan
berdasarkan kekuasaan fiskal dengan mengalihkan kas dan pajak ke
provinsi-provinsi untuk membantu menutupi biaya program asuransi
kesehatan universal. Berdasarkan Undang-Undang Kesehatan Kanada/
the Canada Health Act, dinyatakan bahwa semua orang memiliki akses
bebas terhadap "layanan medis yang diperlukan," terutama didefinisikan
sebagai perawatan yang diberikan oleh dokter atau di rumah sakit, dan
komponen keperawatan perawatan perumahan jangka panjang. Jika
pemerintah provinsi membiarkan dokter atau lembaga untuk
membebankan pasien atas layanan medis yang diperlukan, pemerintah
federal untuk mengurangi pembayaran provinsi tersebut dengan jumlah
biaya yang dibebankan. Oleh sebab itu, asuransi provinsi harus
menyesuaikan dengan peraturan dan kondisi nasional (Invention) yaitu :
1) Administrasi publik, federal mensyaratkan provinsi bahwa asuransi
kesehatan suatu provinsi harus teradministrasikan dan beroperasi
dengan basis non profit oleh otoritas publik yang telah ditunjuk
atau telah didesain oleh pemerintah provinsi dan aktivitasnya harus
diaudit;
2) Komprehensif, cakupan harus termasuk seluruh perawatan
kesehatan asuransi yang disediakan oleh rumah sakit, praktisi
medis atau dokter gigi dan yang diijinkan oleh peraturan provinsi,
atau perawatan tambahan yang diberikan oleh praktisi pelayanan
kesehatan lainnya;
3) Universal, seluruh penduduk harus dijamin pelayanan kesehatan
oleh penyedia pelayanan kesehatan dalam rencana dengan aturan
dan kondisi yang seragam;
4) Portability, harus tersedia ketentuan untuk menaungi penduduk
yang terasuransi ketika mereka berpindah antar provinsi sehingga
perlu dilakukan dengan perjanjian antar propinsi;
5) Aksesbilitas, provinsi harus menyediakan pelayanan kesehatan
yang terasuransikan atas aturan dan kondisi yang seragam.
Ketentuan lainnya mensyaratkan bahwa rumah sakit dan penyedia
kesehatan menerima kompensasi yang sesuai.
Sebagian besar rumah sakit di Kanada adalah swasta, organisasi
non profit dengan badan independen. Rumah sakit tersebut menerima
satu anggaran operasional global dari provinsi. Di bawah Canada Health
Act, seluruh penduduk dari suatu provinsi atau teritori layak menerima
pelayanan jaminan gratis hingga batas pemberian (Deber, 2003) dalam
Putri (2010).
Untuk perawatan rawat Jalan (WHO, 2005) dalam Putri (2010), dokter
umum atau dokter keluarga, menjadi titik kontak pertama pasien. Pasien
memiliki kebebasan pilihan dalam memilih dokter keluarga. Perawatan
sekunder/ rawat inap dan tersier serta perawatan darurat, serta mayoritas
rawat jalan khusus dan operasi elektif, dilakukan di dalam rumah sakit.
Perawatan jangka panjang dan perawatan rumah, sebagian besar
perawatan jangka panjang untuk tergantung, dan sering lemah, orang-
orang tua disediakan di rumah-rumah jompo. Fasilitas ini baik yang
dijalankan oleh otoritas kesehatan regional, atau swasta independen
nirlaba atau tidak untuk organisasi nirlaba. Bagi individu yang memerlukan
perawatan yang kurang intensif, perawatan di rumah dapat menjadi
pilihan, walaupun ketersediaan dan kualitas sangat bervariasi dari satu
provinsi ke provinsi. Sedangkan asuransi kesehatan swasta didesain
untuk penyediaan cakupan bagi jasa dan barang medis yang tidak
tercakup oleh Medicare seperti operasi bedah laser mata, bedah
kosmetik, dan prosedur medis non-dasar lainnya.

4. Asuransi Kesehatan Nasional di Thailand


Penyelenggaraan JKN di Thailand diusulkan sejak tahun 1996.
Program JKN di Thailand sudah mencakup seluruh penduduk, namun
dikelolah oleh 3 (tiga) badan penyelenggara. Saat ini sedang berlangsung
proses penggabungan tiga badan penyelenggara tersebut menjadi satu
badan pengelolah yang akan mengelolah seluruh program JKN. Usulan
penyelenggaraan JKN di Thailand menggabungkan konsep satu badan
nasional sebagai pengelolah dengan desentralisasi pembayaran pada
fasilitas kesehatan (Thabrany, 2015).
Pada tahun 2011 hanya 1,64% masyarakat Thailand yang belum di
Jamin dalam Asuransi Kesehatan Nasional di Thailand. Angka ini turun
dari tahun 2009 dimana pada tahun tersebut persentase penduduk yang
belum tercover dalam AKN sebesar 2,61%. Pembiayaan kesehatan di
Thailand mengalami peningkatan sebesar 75% pada rentang tahun 2005
sampai 2010. Setelah beroperasi selama 10 tahun saat ini di Thailand
setiap penduduk yang akan mendapatkan pelayanan kesehatan baik
rawat inap maupun rawat tidak perlu mengeluarkan biaya Out of Pocket.
Pada tahun 2003 total subsidi pemerintah untuk jaminan kesehatan
sebesar 30 Miliyar Bath (1 Milyar US$) dan meningkat menjadi 40-46
milyar Bath pada tahun 2004-2009. Dengan paket jaminan kesehatan ini
meningkatkan pemanfaatan pelayanan kesehatan oleh masyarakat miskin
(Damrongplasit & Melnick, 2015; Limwattananon, Tangcharoensathien,
Tisayaticom, Boonyapaisarncharoen, & Prakongsai, 2012).
Asuransi kesehatan di Thailand terdiri atas system jaminan kesehatan
pegawai negeri yang paket jaminnya amat liberal yang menjamin tidak
hanya anggota keluarga, tetapi juga mencakup orang tua dan mertua
pegawai. Seluruh pegawai swasta mendapat jaminan kesehatan secara
komprehensif melalui badan jaminan social yang dikelolah oleh Depnaker
Thailand. Sedangkan pekerja informal memperoleh jaminan melalui
National Health Security Office, sebuah independen yang mengelolah
system 30 Bath. Dengan system 30 Bath, seluruh pegawai di luar pegawai
swasta dan pegawai negeri berhak mendapat pelayanan kesehatan
secara komprehensif dengan hanya membayar 30 Bath (kurang lebih
6.000) sekali berobat atau dirawat, termasuk biaya perawatan intensif dan
pembedahan. Dengan demikian, seluruh penduduk Thailand kini juga
telah terbebas dari ancaman menjadi miskin jika jatuh sakit dank arena
akan menjadi produktif dalam membangun negaranya. Sesungguhnya
pembayaran 30 Bath tersebut merupakan copayment, biaya fixed yang
harus dibayar penduduk disektor informal (yang tidak menerima upah) dan
anggota keluarga pekerja swasta. Namun, karena program 30 Bath
membayar fasilitas kesehatan dengan cara kapitasi dan urun biaya
(copayment) dianggap menjadi hambatan penduduk untuk berobat, banya
penduduk yang pergi berobat ketika penyakit sudah relative berat, maka
fasilitas kesehatan menuntut penghapusan copayment. Sejak 2007,
copayment 30 bath di Thailand tidak berlaku lagi, dan system 30 Bath
berubah nama yang lebih dikenal dengan nama Program Cakupan
universal (Universal Health Coverage) yang sepenuhnya didanai oleh
APBN (Thabrany, 2015).
5. Asuransi Kesehatan Nasional di Jerman
Pemerintah Jerman mendukung pencapaian UHC dengan
memberikan cakupan asuransi kepada seluruh penduduk termasuk
pekerja yang bekerja sementara di Negara tersebut. Pada tahun 2009
Jerman menghabiskan sekitar 12% dari GDP untuk pelayanan kesehatan.
Jerman dipandang sebagai negara pertama yang memperkenalkan
asuransi kesehatan sosial di jaman Otto von Bismarck di tahun 1883.
Pada masa lalu, jumlah badan penyelenggara asuransi kesehatan sosial
(sickness funds), yang seluruhnya bersifat nirlaba, berjumlah sekitar lima
ribuan. Namun demikian, karena dorongan efisiensi dan portabilitas,
banyak sickness funds yang merjer sehingga kini jumlahnya sudah
menyusut menjadi 270 saja (Ellis, Chen, & Luscombe, 2013; Thabrany,
2015).
Penyusutan jumlah badan penyelenggara asuransi kesehatan sosial
di Jerman ini menunjukkan bahwa usaha dengan pool kecil tidak mampu
bertahan (sustainable) dan tekanan ekonomi serta tuntutan portabilitas
mengharuskan merjer. Kini asuransi kesehatan sosial terbesar dipegang
oleh badan yang bernama AOK yang mengelola hampir 70% peserta
asuransi kesehatan sosial di Jerman. Semua penduduk dengan
penghasilan di bawah EUR 3.375 per bulan wajib mambayar kontribusi
untuk asuransi kesehatan yang kini mencapai 14% dari upah sebulan.
Penduduk yang berpenghasilan diatas itu, boleh tidak menjadi peserta
sickness funds, akan tetapi sekali mereka tidak ikut (opt out) dengan
membeli asuransi kesehatan komersial, mereka tidak diperkenankan lagi
ikut asuransi sosial. Akibatnya, hanya 10% saja penduduk Jerman yang
membeli asuransi kesehatan komersial (Thabrany, 2015).
Jerman memang tidak memiliki satu lembaga asuransi kesehatan
yang secara khusus dirancang untuk menjamin seluruh penduduk secara
nasional karena sejarah perkembangan negara yang sejak awal terpecah-
pecah dalam negara bagian (lander). Namun demikian, Jerman telah
menjamin seluruh penduduknya dengan biaya separuh dari yang
dikeluarkan Amerika karena sistemnya didominasi asuransi kesehatan
sosial. Hanya karena jumlah badan penyelenggara asuransi sosial yang
banyak dan paket jaminan yang sangat liberal, maka sistem asuransi
kesehatan Jerman hanya sedikit efisien dibandingkan dengan sistem
asuransi kesehatan Amerika yang didominasi oleh usaha asuransi
kesehatan komersial (Greß, 2007).
Pengeluaran kesehatan di Jerman termasuk pada asuransi swasta
sebagian besar berasal dari pendapatan pajak. Pajak ini diambil dari
proporsi pada pendapatan, tergantung pada umur pekerja yang biasayan
berkisar 10-15% dari gaji, termasuk dana share antara pekerja dan
pemberi kerja (Ellis et al., 2013).

C. Universal Health Coverage di ASEAN


Pengeluaran untuk kesehatan Negara-negara ASEAN masih sangat
dibebankan kepada masyarakat sendiri. Pada tahun 2014, Besarnya
pengeluaran kesehatan dari Out of Pocket melebihi 75% kecuali Thailand
(56.7%). Hal ini menjadi beban yang sangat besar mengingat angka
kesakitan pada beberapa penyakit semakin meningkat. Apabila tidak
diatur dalam mekanisme asuransi, akan menyebabkan kemiskinan bagi
masyarakat yang perpendapatan rendah. Dilihat pengeluaran dari
perkapita, pengeluaran kesehatan sangat beragam. Indonesia
menunjukkan pada kurun waktu antara tahun 2011-2014 pengeluaran
biaya kesehatan secara nasional mengalami trend fluktuaktif, yaitu pada
tahun 2011 sebesar US$ 99/perkapita, sempat naik pada tahun 2012 (US
$ 107/ kapita), menurun pada tahun 2013 (US$ 106/perkapita) dan
semakin menurun pada tahun 2014 (US$ 99/kapita). Persentase pada
tahun 2014 ini lebih rendah dari beberapa Negara ASEAN lainnya seperti
Thailand (US$ 360/kapita), Malaysia (US$ 456/kapita), Singapura (US$
2.752/kapita), Brunai Darusalam (US$ 958/kapita), Vietnam (US$
142/kapita) dan Filipina (US$ 127/kapita) World Bank (2016a) World Bank
(2016a) World Bank (2016a) World Bank (2016a) World Bank (2016a)
World Bank (2016a) World Bank (2016a) World Bank (2016a) World Bank
[7] World Bank (2016a) World Bank (2016a) World Bank (2016a).

Tabel 2. Pengeluaran untuk Kesehatan Negara-negara ASEAN 2011-


2014

Negara % of GDP Biaya kes./kapita Out of Pocket


Dalam US$ % of private
expenditure on health
201 201 201 201 2011 2012 2013 2014 201 201 201 201
1 2 3 4 1 2 3 4
Thailand 5.9 6.2 6.2 6.5 306 336 355 360 55.8 56.9 56.7 56.7
Indonesia 2.7 2.9 2.9 2.8 99 107 106 99 76.3 75.1 75.3 75.3
Malaysia 3.9 4.0 4.0 4.2 394 422 427 456 77.8 78.0 79.9 78.8
Singapur 3.9 4.2 4.5 4.9 2.08 2.31 2.53 2.75 93.3 93.2 94.0 94.1
a 6 0 2 2
Brunai 2,2 2,3 2,6 2,6 938 962 1.02 958 97.8 97.8 97.8 97.8
Darusala 3
m
Vietnam 6.2 7.0 7.2 7.1 94 120 134 142 83.2 79.0 77.6 80.0
Myanmar 1.9 2.2 2.2 2.3 19 24 18 29 93.7 93.7 93.7 93.7
Laos 2.2 2.1 2.0 1.9 28 31 33 33 83.6 83.8 78.8 78.8
Kamboja 5.6 6.2 5.9 5.7 50 59 60 61 80.3 93.5 95.6 95.2
Philipina 4.3 4.5 4.6 4.7 102 116 127 135 83.0 83.0 82.6 81.7
Timor 0.8 1.0 1.3 1.5 40 51 57 57 99.5 99.6 99.6 99.6
Leste

Sumber: (World Bank, 2016a, 2016b, 2016c)

Secara umum, negara-negara ASEAN telah membuat kemajuan yang


baik terhadap UHC. Pelayanan kesehatan, baik pelayanan preventif dan
kuratif, telah tersedia di banyak negara ASEAN. Di beberapa negara
seperti Kamboja, Laos, dan Vietnam, sebagian besar pelayanan
pencegahan secara terpisah disediakan di bawah program nasional yang
diprogramkan secara vertical oleh pemerintah pusat.
Di negara-negara ASEAN, Asuransi Kesehatan Sosial telah menjadi
sebagai instrumen untuk mencapai cakupan UHC. Kemajuan yang
signifikan telah dibuat dalam memperluas cakupan asuransi kesehatan,
meskipun masih terdapat kesenjangan asuransi di negara-negara
tersebut. Pada tahun 2012, seluruh penduduk Thailand telah dicover
dalam Asuransi Kesehatan Sosial. Di Malaysia, secara teknis seluruh
penduduk dapat menggunakan layanan kesehatan masyarakat yang
didanai melalui pajak umum dan retribusi rendah. Sementara di
Singapura, 93% dari populasi telah dicover dalam MediShield, dimana
pemerintah wajib menyelenggarakan program jaminan kesehatan. Di
Indonesia, sekitar 60% dari populasi dicover oleh asuransi
kesehatan. Pemerintah Indonesia telah menggulirkan Badan
Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan per 1 Januari 2014,
dengan ambisi untuk mencapai cakupan nasional UHC pada Januari
2019. Inisiatif ini dikoordinasikan oleh BPJS sebuah Administrasi Jaminan
Sosial, badan nasional di bawah naungan Presiden Republik
Indonesia. Cakupan asuransi kesehatan masih rendah di beberapa
Negara seperti di Lao PDR (15%) dan Kamboja (24%). Di Lao PDR,
pemerintah sedang mempertimbangkan untuk penciptaan otoritas
asuransi kesehatan nasional melalui integrasi empat skema perlindungan
kesehatan sosial yang berbeda. Harapannya adalah bahwa pengaturan
kelembagaan terpadu akan menyebabkan cakupan universal pada 2020.
Di Kamboja, kemajuan yang baik telah dibuat dalam menggunakan dana
ekuitas kesehatan untuk mengkover masyarakat miskin. Namun, pegawai
negeri dan karyawan swasta tidak tercakup sama sekali oleh asuransi,
sementara kelompok rentan tertentu seperti orang tua dan cacat
dikecualikan dari skema pembebasan biaya pelayanan kesehatan.
Grafik 1. Cakupan Asuransi Kesehatan Negara ASEAN tahun
2012.

UHC pada Negara-negara ASEAN sebagian besar difokuskan pada


pelayanan kesehatan esensial. Tingkat cakupan pelayanan kesehatan
esensial yang dipilih di negara-negara ASEAN disajikan dalam Tabel
1 (dalam jurnal). Sebagian besar intervensi terkait dengan MDGs
kesehatan (misalnya vaksinasi, perawatan antenatal, persalinan yang
ditolong oleh tenaga kesehatan terlatih) yang tersedia di negara-negara
ASEAN. Cakupan difteri tetanus toksoid dan pertusis (DTP3) vaksinasi
pada anak 1 tahun adalah lebih dari 90% di wilayah, kecuali di Indonesia,
Laos, Myanmar, dan Filipina. Cakupan pelayanan antenatal bagi ibu hamil
juga cukup tinggi di beberapa negara (lebih dari 90%), kecuali di Lao
PDR, Malaysia, dan Myanmar. Proporsi persalinan yang ditolong oleh
tenaga kesehatan terlatih cukup rendah di beberapa negara, seperti Lao
PDR, Filipina, dan Myanmar. Ada variasi yang luas dalam cakupan
Antiretroviral Therapy (ART) di antara orang dengan HIV memenuhi syarat
untuk ART, mulai dari 17% di Indonesia menjadi 84% di Kamboja.
Komitmen politik untuk mendukung UHC memiliki dukungan
pemerintahah yang kuat di negara-negara ASEAN. Negara ASEAN
sebagian besar telah berkomitmen untuk mencapai UHC. Banyak
kebijakan dan strategi telah ditetapkan dan dilaksanakan untuk
memfasilitasi kemajuan menuju UHC. Sebagai contoh, di Thailand, sejak
tahun 2002, komitmen politik untuk akses yang universal bagi kesehatan
ditekankan dalam UU Jaminan Kesehatan Nasional yang menyatakan
bahwa penduduk Thai berhak ke layanan kesehatan dengan standar mutu
yang baik dan efisiensi dalam pelayanan. Di Indonesia, pada tahun 2004,
Undang-undang telah dikeluarkan oleh Presiden dan Dewan Perwakilan
Rakyat dalam Undang-undang Nomor 40/2004 tentang Sistem Jaminan
Sosial Nasional untuk melindungi warga negara Indonesia dari
pengeluaran rumah tangga karena sakit dan kematian, yang saat ini telah
diberlakukan. Di Kamboja, pada tahun 2005, Rencana Induk Asuransi
Kesehatan Social telah mengadopsi dari Negara-negara ASEAN lainnya
yang menandakan langkah penting pertama menuju pembentukan sistem
perlindungan kesehatan terpadu. Di Vietnam, pada tahun 2012, Perdana
Menteri menyetujui Rencana Induk pada UHC dengan membuat roadmap
untuk mencapai asuransi kesehatan universal (UHI) dengan target
cakupan 70% pada tahun 2015 dan 80% pada tahun 2020, dan untuk
mengurangi pembayaran Out Of Pocket sampai 40% pada tahun 2020. Di
Myanmar, pada tahun 2012, Pemerintah telah mengesahkan tujuan untuk
mencapai UHC pada 2030 dengan tujuan untuk meningkatkan status
kesehatan masyarakat miskin dan kelompok rentan, terutama perempuan
dan anak-anak. Di Filipina, pada 2013, telah disahkan Undang-Undang
Republik 10606 yang mengamanatkan pemerintah untuk menanggung
premi untuk asuransi kesehatan bagi orang miskin dan pekerja informal
sehingga menguntungkan banyak orang Filipina. Singapura baru-baru ini
mengumumkan perluasan MediShield, skema asuransi kesehatan yang
dirancang untuk mencegah pengeluaran OOP, yang saat ini mencakup
93% dari populasi. Program ini diperluas akan diberi nama MediShield
Life. Di Malaysia, bentuk UHC terus diperdebatkan, dengan diskusi saat
ini berpusat pada apakah negara harus transisi ke model SHI. Masyarakat
sipil dan serikat pekerja telah menyatakan kekhawatiran bahwa OneCare
akan mensubsidi penyedia swasta dengan mengorbankan masyarakat.
Dalam mewujudkan UHC, semua negara-negara di ASEAN
menghadapi beberapa hambatan umum, yaitu 1) kendala keuangan; 2)
kendala sisi penawaran; dan 3) transisi epidemiologi (Van Minh et al.,
2014).
Kendala keuangan yang penting adalah rendahnya tingkat
pengeluaran pemerintah dan total pengeluaran untuk sektor
kesehatan. Sebagian besar negara di kawasan ASEAN mengalokasikan
kurang dari 5% dari Produk Domestik Bruto (PDB) untuk pengeluaran
pada sektor kesehatan di tahun 2012, dengan pengecualian di Kamboja
(5,4%) dan Vietnam (6,6%). Pengeluaran pemerintah pada sektor
kesehatan sebagai persentase dari total Belanja Kesehatan berkisar dari
23,9% di Myanmar untuk 91.8.1% di Brunei. Organisasi Kesehatan Dunia
berpendapat bahwa sangat sulit untuk mencapai UHC jika Out Of Pocket
sebagai persentase dari total pengeluaran kesehatan sama atau lebih
besar dari 30%. Belanja pemerintah untuk kesehatan sebagai persentase
dari Total Belanja Negara bervariasi, dari yang rendah 1,5% di Myanmar
sampai yang tertinggi 14,2% di Thailand. Secara keseluruhan
pengeluaran Out of Pocket dari masyarakat masih lebih tinggi dari
pengeluaran yang ditanggung oleh pemerintah.
Untuk kendala sisi penawaran/supply pelayanan kesehatan, penyedia
layanan kesehatan yang tidak memadai dan distribusi tenaga kesehatan
yang tidak merata tetap menjadi masalah yang signifikan di negara-
negara ASEAN. Fasilitas kesehatan yang memadai dan tenaga kesehatan
yang berkompeten masih berpusat di daerah perkotaan.
Kendala lain adalah dalam hal transisi epidemiologi dimana Negara
ASEAN merupakan pusat dari penyakit-penyakit menular yang berpotensi
pandemic. Yang sedang berlangsung saat ini ditandai dengan
meningkatnya beban Non Communicable Desease (penyakit tidak
menular), belum dikendalikannya penyakit menular, dan kemunculan
kembali penyakit menular yang berpotensi pandemi. Begitu pula penyakit-
penyakit tidak menular semakin menyerang masyarakat. Jumlah terbesar
terjadi di Indonesia, dimana penyakit jantung menjadi pembunuh nomor
satu di Negara ini. Begitu pula penyakit-penyakit yang dahulu telah
dieliminasi kini muncul kembali dan menjadi beban ganda bagi semua
Negara di ASEAN.
Tantangan lain yang ditimbulkan oleh integrasi regional kebijakan
UHC adalah banyaknya buruh migran dari Negara-negara ASEAN yang
bekerja di Negara ASEAN lainnya. Pekerja migran tidak mungkin secara
otomatis terdaftar dalam skema asuransi kesehatan nasional dan dengan
demikian mungkin tidak memiliki akses layanan kesehatan yang
memadai. Negara-negara pengirim tenaga kerja/migra antar Negara
ASEAN adalah Indonesia dan Filipina. Sedangkan Negara-negara
penerima adalah Malaysia, Singapura dan Thailand. Setiap negara harus
memiliki kebijakan yang jelas mendefinisikan cakupan layanan kesehatan
yang memadai dan paket manfaat bagi para pekerja migrant (Guinto et al.,
2015; Van Minh et al., 2014).
Penelitian dan pengalaman beberapa negara menunjukkan bahwa
penerapan UHC merupakan bagian dari ranah politik tiap Negara dan
bukan merupakan masalah teknis. Perkembangan UHC merupakan
kemajuan yang dicapai secara bertahap dan diperolah dalam waktu yang
lama. UHC dapat dicapai, bahkan oleh negara-negara yang
berpenghasilan rendah dan menengah dengan memperkuat sistem
kesehatan, mengamankan pendanaan berkelanjutan dan adil, memilih
paket manfaat yang tepat, dan reorganisasi pengeluaran kesehatan dalam
negeri untuk digunakan lebih efisien. Harus ada komitmen politik yang
jelas untuk memperluas cakupan kesehatan dan memastikan
keterjangkauan bagi seluruh masyarakat yang membutuhkan pelayanan
kesehaatn, seperti dapat diamati dalam reformasi kebijakan di Indonesia
dan Singapura (Greer & Méndez, 2015; Van Minh et al., 2014).
Untuk negara-negara ASEAN, UHC idealnya harus dipertimbangkan
dalam upaya menuju integrasi ekonomi regional pada tahun 2015.
Kerjasama regional yang dioperasikan pada sistem kesehatan menuju
UHC harus diperkuat dalam waktu mendatang, terutama mengingat
perpindahan penduduk yang semakin meningkat antara Negara-negara
ASEAN. Pada saat yang sama, kolaborasi regional dalam isu-isu prioritas
dalam kesehatan global, seperti munculnya wabah penyakit menular,
kesiapsiagaan bencana, NCD dan migrasi, pembangunan kapasitas
pelayanan, dan pembangunan kesehatan tenaga kerja di seluruh wilayah
ASEAN sangat diperlukan. Pelajaran dan pengalaman dalam pencegahan
dan pengendalian NDC harus dibagi dan direplikasi di antara negara-
negara ASEAN. Dalam menghadapi liberalisasi ASEAN dan di tengah-
tengah ekspansi keseluruhan penyedia kesehatan swasta dan
perusahaan kesehatan transnasional, yang lebih penting daripada yang
sebelumnya bahwa UHC memberikan prioritas yang jelas untuk
melindungi akses pelayanan kesehatan khususnya di kalangan kelompok
yang kurang beruntung.

Referensi
Damrongplasit, K., & Melnick, G. (2015). Funding, coverage, and access
under Thailand’s universal health insurance program: An update
after ten years. Applied health economics and health policy, 13(2),
157-166.
Ellis, R. P., Chen, T., & Luscombe, C. E. (2013). Comparisons of Health
Insurance Systems in Developed Countries. Encyclopedia of Health
Economics; Culyer, AJ, Ed.; Elsevier: Amsterdam, The
Netherlands.
Greer, S. L., & Méndez, C. A. (2015). Universal health coverage: a political
struggle and governance challenge. American journal of public
health, 105(S5), S637-S639.
Greß, S. (2007). Private Health Insurance in Germany: Consequences of
a Dual System. Healthcare Policy, 3(2), 29-37.
Guinto, R. L. L. R., Curran, U. Z., Suphanchaimat, R., & Pocock, N. S.
(2015). Universal health coverage in ‘One ASEAN’: are migrants
included? Global Health Action, 8, 10.3402/gha.v3408.25749. doi:
10.3402/gha.v8.25749
Kementerian Kesehatan. (2015, 1 Desember ). Materi Presentase:
Kesehatan dalam Kerangka Sustinable Development Goals
(MDGs). Paper presented at the Rakorkop Kementerian
Kesehatan, Jakarta.
Limwattananon, S., Tangcharoensathien, V., Tisayaticom, K.,
Boonyapaisarncharoen, T., & Prakongsai, P. (2012). Why has the
Universal Coverage Scheme in Thailand achieved a pro-poor public
subsidy for health care? BMC Public Health, 12(1), 1.
Putri, A. A. P. K. (2010). Analisis Perencanaan Sistem Program Jaminan
Kesehatan Bali Mandara (Jkbm) Tahun 2010 (Tesis), Universitas
Indonesia, Jakarta.
Smith, J. C., & Medalia, C. (2014). Health insurance coverage in the
United States: 2013: US Department of Commerce, Economics and
Statistics Administration, Bureau of the Census.
Suresh, P., & Johnson, L. R. (2015). THE POST-2015 AGENDA: FROM
MILLENNIUM DEVELOPMENT GOALS (MDGS) TO
SUSTAINABLE DEVELOPMENT GOALS (SDGS). International
Journal of Current Research and Review, 7(15), 62-67.
Thabrany, H. (2015). Jaminan Kesehatan Nasional (Kedua ed.). Jakarta:
PT RajaGrafindo Persada.
Thomasson, M. A. (2002). From sickness to health: the twentieth-century
development of US health insurance. Explorations in Economic
History, 39(3), 233-253.
Van Minh, H., Pocock, N. S., Chaiyakunapruk, N., Chhorvann, C., Duc, H.
A., Hanvoravongchai, P., . . . Sychareun, V. (2014). Progress
toward universal health coverage in ASEAN. Global Health Action,
7, 10.3402/gha.v3407.25856. doi: 10.3402/gha.v7.25856
WHO. (2005). Sustainable health financing, universal coverage and social
health insurance. Fifty-eighth World Health Assembly, Geneva,
16e25 May 2005.
WHO. (2010). The World Health Report: Health System Financing, the
Path to Universal Health Coverage. Genewa: World Health
Organization.
WHO. (2013). The World Health Report: Research For Universal Health
Coverage. Genewa: World Health Organization.
World Bank. (2016a). Health expenditure per capita (current US$).
Retrieved 20 April, 2016, from
http://data.worldbank.org/indicator/SH.XPD.PCAP
World Bank. (2016b). Health expenditure, total (% of GDP). Retrieved 20
April, 2016, from
http://data.worldbank.org/indicator/SH.XPD.TOTL.ZS
World Bank. (2016c). Out-of-pocket health expenditure (% of private
expenditure on health). Retrieved 20 April, 2016, from
http://data.worldbank.org/indicator/SH.XPD.OOPC.ZS

Anda mungkin juga menyukai