Anda di halaman 1dari 4

Nama : Abiyyu Hilmy Fatih

NIM : 072011433037
Perubahan Pola Tenaga Kerja: Menakar Prekarisasi Tenaga Kerja di Era Digital

Era digital yang telah berkembang saat ini, memulai pula babak baru dalam pola
ketenagakerjaan. Digitalisasi memiliki peran yang sangat besar dalam perubahan-perubahan
bentuk tenaga kerja. Jenis-jenis pekerjaan yang sebelumnya menuntut kemampuan fisik
yang cukup besar, kini relatif sudah bisa digantikan oleh perangkat mesin-mesin otomatis.
Kemajuan teknologi di era ini, mendorong masyarakat tidak lagi mengandalkan kerja keras
dengan kekuatan fisik, namun bergeser dengan hanya beberapa tenaga professional yang
mengoperasikan sebuah mesin berteknologi tinggi. Pada era digital saat ini, penguasaan
teknologi menjadi prestise dan indikator kemajuan diri seseorang. Efektifitas produksi
menjadi prioritas utama. Oleh sebab itu, digitalisasi melahirkan pekerjaan-pekerjaan baru
yang erat kaitannya dengan teknologi.

Perubahan pola tenaga kerja menjadi sebuah fenomena yang tidak dapat dihindari.
Digitalisasi mengubah pekerjaan-pekerjaan manusia secara signifikan dengan banyak juga
dampak yang harus menjadi sebuah pertimbangan. Disadari atau tidak, terjadi pergeseran
dalam banyak hal, seperti seriap tenaga kerja modern harus memiliki kompetensi dalam
bidang teknologi, sistem informasi, dan lain-lain. Selain itu, digitalisasi juga membuat
pekerjaan yang dilakukan dengan model jarak jauh mnejadi mungkin atau yang biasa disebut
remote work. Pekerjaan ini memungkinkan untuk bekerja dengan lebih fleksibel secara lokasi
maupun waktu. Pekerja dapat bekerja dari mana saja, selama mereka memiliki akses internet
yang memadai. Hal ini memungkinkan orang untuk menghindari perjalanan harian yang
panjang, memungkinkan mobilitas geografis yang lebih besar, dan memungkinkan
perusahaan untuk merekrut bakat dari seluruh dunia. Selain itu, pekerja dapat mengatur
jadwal kerja mereka sesuai dengan kebutuhan pribadi dan profesional mereka. Ini dapat
meningkatkan keseimbangan antara kehidupan kerja dan kehidupan pribadi. Perlu diingat
bahwa pola kerja semacam ini bergantung pada pengunaan teknologi. Meskipun dapat
dikatakan bekerja secara remote dapat meningkatkan keseimbangan kehidupan pekerjaand
dengan pribadi, dalam beberapa kasus alih-alih juga dapat mengaburkan batas antara
keduanya. Seorang pekerja akan merasa sulit untuk benar-benar terlepas dari pekerjaan
mereka ketika berada di rumah. Tidak hanya itu, remote work juga belum memiliki kebijakan
hukum kerja yang jelas dalam pelaksanaanya.

1
Di era digital, ketidapastian dalam pekerjaan merupakan salah satu dampak
signifikan dari perubahan pola tenaga kerja yang disebabkan oleh perkembangan teknologi
informasi dan digitalisasi. Posisi pekerjaan yang sebelumnya stabil dan terdefinisi dengan
jelas dapat berubah atau bahkan menghilang akibat otomatisasi dan perkembangan teknologi.
Hal ini menyebabkan ketidakpastian mengenai apakah pekerjaan seseorang akan tetap
relevan atau tidak dalam jangka panjang. Dalam hal pendapatan pun juga demikian, pekerja
digital yang kebanyakan adalah pekerja lepas atau freelancer berpotensi untuk tidak memiliki
pendapatan yang stabil maupun jaminan pekerjaan yang jelas. Selain itu, para pekerja digital
juga dituntut untuk terus berkembang dan memperbarui keahlian seiring dengan
perkembangan teknologi. Banyak pekerja digital tidak memiliki akses yang sama ke
perlindungan sosial seperti asuransi kesehatan, cuti, atau pensiun. Ini menciptakan
ketidakpastian dalam hal keamanan finansial dan perlindungan terhadap risiko yang mungkin
terjadi.

Berbagai permasalahan ketidakamanan pekerjaan tersebut sering disebut dengan


prekariat. Menurut Guy Standing (2011) precariat adalah sekelompok orang yang mengalami
ketidakamanan hidup dan pekerjaan. Prekariat merupakan kelas sosial baru yang berhaya
dengan didefinisikan dengan situasi dimana pekerjaan yang Ia lakukan mengalami
ketidakamanan. Bahkan Guy Standing (2011) menyebutnya dengan The New Dangerous
Class. Prekarisasi tenaga kerja merujuk pada kondisi pekerjaan yang tidak menawarkan
kepastian dan stabilitas ekonomi, sosial, dan pekerjaan kepada individu. Standing
mengatakan bahwa prekariat memiliki tujuh bentuk, antara lain. Pertama, ada “labor market
security,” yang berkaitan dengan kompetisi di pasar tenaga kerja di mana pekerja bersaing
untuk pekerjaan yang paling menguntungkan. Kedua, “employment security” membahas
perlindungan terhadap fluktuasi pendapatan yang disebabkan oleh kehilangan pekerjaan
akibat krisis ekonomi atau restrukturisasi perusahaan. Ketiga, “job security” mengukur
tingkat kepastian seseorang dalam mempertahankan pekerjaan mereka. Keempat, “work
security” mengacu pada kondisi kerja yang aman, termasuk kesehatan dan keselamatan kerja.
Kelima, “skill reproduction security” membahas akses pekerja terhadap pelatihan dan
pendidikan untuk mempertahankan atau meningkatkan keterampilan mereka.

Selanjutnya, “income security” membahas tingkat pendapatan, jaminan pendapatan,


dan harapan pendapatan di masa depan, baik selama bekerja maupun setelah pensiun.
Terakhir, “representation security” terdiri dari dua aspek. Yang pertama adalah representasi
individu, yang mencakup hak-hak individu dan akses ke institusi representasi. Yang kedua

2
adalah representasi kolektif, yang mencakup hak kelompok untuk diwakili oleh badan yang
mampu menjalankan perundingan atas nama mereka. Semua bentuk prekarisasi ini
mencerminkan aspek-aspek penting dalam pemahaman tentang ketidakpastian pekerjaan dan
tantangan yang dihadapi oleh pekerja di era modern.

Sejauh ini terdapat beberapa hal yang menjadi faktor penyebab prekarisasi tenaga
kerja, yaitu kontrak jangka pendek dan sementara dalam program outsourching dimana
banyak perusahaan cenderung menggunakan kontrak jangka pendek atau pekerjaan
sementara untuk menghemat biaya, yang mengakibatkan pekerjaan yang tidak stabil dan
kurangnya jaminan pekerjaan jangka panjang. Kemudian, pasar tenaga kerja global di era
digitalisasi memungkinkan perusahaan untuk mempekerjakan pekerja dengan upah yang
lebih rendah di negara-negara dengan biaya hidup yang lebih murah. Hal ini dapat
mengakibatkan penurunan upah dan kurangnya keamanan pekerjaan. Fleksibilitas pekerjaan
pun juga menjadi salah satu faktor prekarisasi tenaga kerja meskipun fleksibilitas dalam
pekerjaan dapat bermanfaat, terlalu banyak fleksibilitas sering kali mengarah pada
ketidakpastian, terutama ketika pekerja tidak memiliki jaminan jam kerja tetap atau akses
yang cukup terhadap manfaat seperti asuransi kesehatan. Hukum tenaga kerja yang lemah
atau minimnya perlindungan hukum yang mupumpuni bagi pekerja di era digital yang telah
menembus batas negara juga dapat berkontribusi pada prekarisasi. Ini termasuk kurangnya
regulasi atas kontrak kerja dan hak pekerja.

Digitalisasi memungkinkan perusahaan untuk mengurangi biaya dengan berbagai


cara, termasuk pengurangan staf, outsourcing, dan penggunaan algoritma untuk mengelola
tenaga kerja. Sebagai akibatnya, pekerjaan yang dulunya stabil dan memiliki keamanan
sekarang menjadi kurang pasti, karena perusahaan lebih cenderung mengikuti pasar dan
mengurangi karyawan mereka sesuai kebutuhan. Kemudian, di era digital, persaingan untuk
pekerjaan tertentu menjadi lebih ketat karena banyak pekerja dari seluruh dunia dapat
bersaing untuk posisi yang sama. Ini dapat mengakibatkan tekanan pada upah dan manfaat,
serta mengurangi keamanan pekerjaan. Prekarisasi juga dapat menghasilkan ketidaksetaraan
dalam dunia kerja. Pekerja yang mengandalkan pekerjaan berbasis platform atau pekerjaan
sementara sering kali tidak memiliki akses ke manfaat seperti asuransi kesehatan, cuti, atau
rencana pensiun, yang memperburuk ketidaksetaraan sosial dan ekonomi.

Kesejahteraan sosial dapat saja dipengaruhi oleh ketidakpastian pekerjaan. Individu


yang mengalami prekarisasi cenderung memiliki akses yang lebih terbatas ke manfaat seperti

3
asuransi kesehatan, cuti, dan pensiun. Ini dapat menyebabkan ketidakstabilan dalam
kehidupan keluarga, kesulitan dalam merencanakan masa depan, dan ketidakmampuan untuk
berpartisipasi sepenuhnya dalam kehidupan sosial dan masyarakat. Selain secara sosial,
prekarisasi tenaga kerja dapat memberikan tekanan psikologis yang signifikan.
Ketidakpastian dan perasaan tidak aman terkait pekerjaan dapat menyebabkan stres,
kecemasan, dan depresi. Individu yang mengalami prekarisasi juga mungkin cenderung
merasa tidak memiliki kontrol atas hidup mereka, yang dapat berdampak negatif pada
kesehatan mental. Kemungkinan terburuknya, prekarisasi tenaga kerja dapat berkontribusi
pada ketidakstabilan sosial. Ketidakpastian pekerjaan dan ketidaksetaraan ekonomi dapat
menciptakan ketegangan dan ketidakpuasan sosial, yang pada gilirannya dapat berdampak
pada stabilitas sosial dan politik.

Pada akhirnya, di era digital yang terus berkembang, perubahan pola tenaga kerja
telah menjadi fenomena yang tak terelakkan. Digitalisasi telah mengubah pekerjaan manusia
dengan dampak yang harus menjadi pertimbangan serius. Prekarisasi tenaga kerja, yang
disebabkan oleh ketidakstabilan pekerjaan, ketidakpastian finansial, dan ketidakjelasan status
pekerjaan, telah menjadi lebih umum. Ketidakpastian ini memiliki dampak besar pada
kesejahteraan sosial dan mental individu, serta masyarakat secara keseluruhan. Dalam hal ini,
individu yang mengalami prekarisasi seringkali menghadapi ketidakpastian finansial yang
mengganggu kemampuan mereka untuk merencanakan keuangan dan menjalani kehidupan
dengan tenang. Kesejahteraan sosial juga terpengaruh, karena akses terhadap manfaat seperti
asuransi kesehatan, cuti, dan pensiun menjadi lebih terbatas, menyebabkan ketidakstabilan
dalam kehidupan keluarga dan kesulitan dalam berpartisipasi dalam kehidupan sosial. Di sisi
lain, dampak pada kesehatan mental juga signifikan, dengan stres, kecemasan, dan depresi
menjadi lebih umum di kalangan pekerja yang mengalami prekarisasi. Selain itu, prekarisasi
tenaga kerja juga berpotensi menyebabkan ketidakstabilan sosial yang dapat mempengaruhi
stabilitas sosial dan politik. Oleh karena itu, perlu ada perhatian yang lebih besar terhadap
perlindungan tenaga kerja, perubahan kebijakan yang mendukung pekerja dengan status
prekarius, dan upaya untuk menciptakan lingkungan kerja yang lebih stabil dan aman agar
masyarakat dapat mengatasi dampak negatif dari perubahan pola tenaga kerja di era digital.

Referensi Teori:

Standing, Guy. 2011. The Prekariat: The New Dangerous Class. UK: Bloomsbury Academic

Anda mungkin juga menyukai